karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/karakteristik... · web viewpengadaan...

30
KARAKTERISTIK PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DALAM PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH BASO JUHERMAN FakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya Pembimbing : SOEMALI, S.H., M.Hum. e-mail :[email protected] Abstrak Kontrak pengadaan jasa konstruksi merupakan hubungan perdata, dan merupakan pejanjian, prinsip-prinsip dalam Buku III KUH Perdata secara universal digunakan, prinsip konsensualisme, prinsip kekuatan mengikat, prinsip kebebasan berkontrak, prinsip keseimbangan, dan dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi, prinsip transparansi, prinsip tanggung jawab, dan prinsip kepercayaan dalam tender dan pelaksanaan konstruksi secara lancar sesuai dengan yang ditentukan dalam kontrak jasa konstruksi. Karakteristik timbulnya sengketa dalam kontrak pengadaan jasa kontruksi, berkaitan dengan cacat mutu dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dalam spesifikasi teknis dan gambar dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan kegagalan bangunan. Dalam hal terjadi hal demikian ini, penyedia jasa konstruksi berkewajiban untuk memperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan, jika penyedia jasa konstruksi tidak memperbaiki, maka akan terjadi sengketa, dan tindakan yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen memutus kontrak secara sepihak dan memberikan sanksi kepada penyedia jasa konstruksi; Dalam hal terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak pengadaan jasa konstruksi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, yang merupakan karakter dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi, dan selalu dituangkan dalam klausula kontrak konstruksi. Di samping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan mediasi. Penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya terakhir, apabila penyelesaian musayawarah, konsiliasi dan mediasi tidak berhasil. Namun, dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi terdapat klausula bahwa semua sengketa yang timbul dari kontrak ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir. Kata kunci : Penyelesaian sengketa, kontrak jasa konstruksi, pemerintah latar belakang dan rumusan masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional. Pembangunan nasional dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaan

Upload: ngohanh

Post on 10-Jul-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KARAKTERISTIK PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DALAM PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH

BASO JUHERMANFakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya

Pembimbing : SOEMALI, S.H., M.Hum.e-mail :[email protected]

Abstrak

Kontrak pengadaan jasa konstruksi merupakan hubungan perdata, dan merupakan pejanjian, prinsip-prinsip dalam Buku III KUH Perdata secara universal digunakan, prinsip konsensualisme, prinsip kekuatan mengikat, prinsip kebebasan berkontrak, prinsip keseimbangan, dan dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi, prinsip transparansi, prinsip tanggung jawab, dan prinsip kepercayaan dalam tender dan pelaksanaan konstruksi secara lancar sesuai dengan yang ditentukan dalam kontrak jasa konstruksi. Karakteristik timbulnya sengketa dalam kontrak pengadaan jasa kontruksi, berkaitan dengan cacat mutu dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dalam spesifikasi teknis dan gambar dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan kegagalan bangunan. Dalam hal terjadi hal demikian ini, penyedia jasa konstruksi berkewajiban untuk memperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan, jika penyedia jasa konstruksi tidak memperbaiki, maka akan terjadi sengketa, dan tindakan yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen memutus kontrak secara sepihak dan memberikan sanksi kepada penyedia jasa konstruksi; Dalam hal terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak pengadaan jasa konstruksi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, yang merupakan karakter dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi, dan selalu dituangkan dalam klausula kontrak konstruksi. Di samping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan mediasi. Penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya terakhir, apabila penyelesaian musayawarah, konsiliasi dan mediasi tidak berhasil. Namun, dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi terdapat klausula bahwa semua sengketa yang timbul dari kontrak ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.Kata kunci : Penyelesaian sengketa, kontrak jasa konstruksi, pemerintah

latar belakang dan rumusan masalah

Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional. Pembangunan nasional dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaan pembangunan mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral. Kukuhnya negara kesatuan republik Indonesia merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan sesuai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjadi dasar dilaksanakannya pembangunan di segala bidang. Pembangunan nasional dilakukan untuk membangun masyarakat baik secara materiil dan spiritual secara merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan sarana dan prasarana dilakukan guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, meliputi bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan yang menghasilkan hasil akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, salah satunya dilakukan dengan menggunakan jasa konstruksi. Jasa konstruksi tersebut mempunyai peranan penting dan strategis dalam menghasilkan produk akhir berupa bangunan, gedung, jalan raya, jembatan dan/atau bentuk fisik lainnya. Selain itu, jasa konstruksi berperan juga dalam mendukung dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi diperlukan dalam pembangunan sarana dan prasarana baik secara nasional maupun internasional. Pengadaan jasa konstruksi pemerintah dilakukan dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah. Anggaran pendapatan dan belanja negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang.

Presiden mengajukan rancangan undang-undang untuk dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui, maka anggaran pendapatan dan belanja tahun yang lalu yang dijalankan. Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan :(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran

pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu. Pengadaan jasa konstruksi yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara/ anggaran pendapatan dan belanja daerah hasilnya harus dapat dipertanggung- jawabkan, baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, pengadaan jasa konstruksi harus dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, trans-paran, terbuka, dan perlakuan adil bagi semua pihak, yaitu, pihak pengguna jasa konstruksi maupun bagi pihak penyedia jasa konstruksi. Dewasa ini jasa konstruksi merupakan bidang yang banyak diminati oleh anggota masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari makin besarnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. Peningkatan jumlah perusahaan ini, ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualifikasi dan kinerjanya, yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk, kecepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal, dan teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut terjadi karena disebabkan persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan ketrampilan belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang profesional. Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan konstruksi

yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa konstruksi nasional, apalagi hal tersebut diperburuk dengan perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme, dan terlibatnya para oknum politik, seperti kasus pembangunan prasarana dan sarana olah raga yang dikenal kasus hambalang, pembangunan listrik tenaga uap, pembangunan jembatan yang ambruk dan lain sebagainya.

Pengadaan jasa konstruksi dilakukan dengan cara pelelangan dan swakelola. Hasil dari pelelangan dan penunjukkan, kemudian dituangkan dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi. Dalam kontrak jasa konstruksi telah diatur mengenai lingkup pekerjaan (scope of work), waktu pelaksanaan (construction period), metode pelaksanaan (construction method), jadwal pelaksanaan (time schedule), dan cara/metode pengukuran (method of measurenment). Hal-hal tersebut harusnya dijadikan komitmen untuk dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi. Dalam pembuatan kontrak pengadaan jasa konstruksi didasari dengan itikat baik para pihak, yaitu, pihak pengguna dan penyedia jasa konstruksi, namun dalam praktik yang terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi. Dalam sengketa konstruksi dapat terjadi apabila para pihak melakukan wanprestasi, atau perbuatan melanggar hukum karena tidak memenuhi atau tidak berbuat sesuai ketentuan yang terdapat dalam kontrak konstruksi. Sengketa konstruksi merupakan sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan suatu jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam kontrak konstruksi. Sengketa konstruksi yang dimaksudkan adalah sengketa dalam bidang perdata. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :1. Apa karakteristik terjadinya sengketa kontrak jasa konstruksi ? 2. Upaya hukum apa yang dilakukan oleh para

pihak dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi ?

Tipe penulisan

Tipologi penelitian hukum ini adalah deskriptif dan doktrinal (dokumen) berupa penelitian hukum normative (legal research). Pendekatan masalah mengguna-kan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian

hukum ini berkaitan dengan karakteristik penyelesaian sengketa kontrak konstruksi dalam pengadaan jasa konstruksi pemerintah. Konsep-konsep para pakar di bidang hukum yang berkaitan dengan karakteristik penyelesaian sengketa kontrak konstruksi dalam pengadaan jasa konstruksi pemerintah digunakan dalam penelitian dan penulisan hukum berupa skripsi ini.

PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK TERJADINYA SENGKETA KONTRAK PRNGADAAN JASA KONSTRUKSI

Prinsip-prinsip Kontrak Jasa Konstruksi

Prinsip merupakan asas atau dasar kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir dan bertindak. Prinsip merupakan dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Prinsip merupakan dasar atau pokok atau pangkal suatu pendapat atau ajaran atau aturan. Prinsip merupakan dasar cita-cita atau dasar hukum. Contoh misalnya dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Sumber dari segala sumber hukum adalah Pancasila. Cita negara hukum Indonesia adalah cita negara hukum Pancasila. Apabila kata prinsip dihubungkan dengan kata hukum, maka kata tersebut menjadi prinsip hukum atau asas hukum atau dasar hukum, Dalam literasi banyak yang menggunakan kata asas hukum dan prinsip hukum, lalu dasar hukum. Dengan demikian, yang pertama dibahas dan dipahami terlebih dahulu mengenai prinsip hukum atau asas hukum. Hukum banyak yang memberikan pengertian atau definisi. Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang hukum, memberikannya berlainan, seperti yang ditulis oleh Emanuel Kant, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht”.1 Hukum terdapat di seluruh dunia, karena di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dunia, pergaulan hidup manusia, dibagi-bagii dalam sejumlah persekutuan-persekutuan bangsa dan tiap-tiap persekutuan mempunyai hukumnya sendiri, seperti di bidang konstruksi. Hukum mengatur pergaulan hidup secara damai, sebagaimana dinyatakan oleh L.J. van Apeldoorn bahwa “tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai, hukum menghendaki

1 ? L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h. 1.

perdamaian”.2Hukum memerintahkan apa yang patut, menyuruh apa yang baik, melarang apa yang tidak adil, membolehkan apa yang adil, dan kadang-kadang juga apa yang tidak adil, karena takut akan terjadi hal-hal yang lebih buruk. Di sini, hukum bertujuan untuk keadilan, tetapi juga hukum memasukan kepentingan daya guna dan kemanfaatan. Daya guna atau kemanfaatan, dan keadilan harus bekerja bersama dengan kepastian hukum. Ketiga unsur tersebut, yaitu, kepastian hukum, keadilan dan kegunaan, harus bekerja bersama atau dilaksanakan bersama dalam penegakan hukum. Hukum atau dalam bahasa Belanda, yaitu, “recht”, adalah keseluruhan aturan nilai mengenai suatu segi kehidupan masyarakat. Hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah berbagai pihak satu sama lain di dalam pergaulan hidup. Sri Soemantri Martosoewignjo memberikan pengertian hukum adalah “seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat”.3

Dalam hukum terdapat prinsip atau asas hukum. Prinsip hukum, Paul Scholten memberikan definisi sebagai “pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan- ketentuan dan keputusan-keputusan individu dapat dipandang sebagai penja-barannya”.4 Prinsip atau asas hukum berfungsi baik di dalam maupun di belakang hukum positif. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku pada tempat dan waktu tertentu. Prinsip hukum berfungsi demikian karena berisi ukuran nilai. Sebagai kaidah penilai, asas atau prinsip hukum itu mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Itu sebabnya prinsip atau asas hukum itu adalah fondasi dari sistem hukum tersebut. Mengenai, asas atau prinsip hukum, Van Eikema Hommes menyatakan bahwa : “asas hukum itu tidak boleh dianggap

sebagai norma hukum konkret. Akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar

2 Ibid., h. 10.3 Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga

Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, h. 33.

4 ? J.J.H. Bruggingk, Refleksi tentang Hukum, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, ACitra Aditya Bakti. Bandung, 1999, h. 119.

atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif”.5

Untuk menemukan asas atau prinsip hukum harus dicari sifat umum dalam kaidah atau peraturan konkrit. Menurut Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa yang disebut “dengan asas hukum bukanlah kaidah hukum konkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak. Pada umumnya asas hukum dituangkan dalam peraturan hukum konkret”.6Asas hukum tersebut berfungsi sebagai ukuran nilai dan batu uji kritis terhadap sistem hukum. Sistem hukum terdiri dari substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Sistem hukum yang dikaji dan berhubungan dengan asas hukum berkaitan dengan substansi hukum, yaitu, hukum positif, berupa perundang-undangan. Prinsip hukum atau asas hukum di bidang hukum perjanjian misalnya asas atau prinsip “pacta sunt servanda”, janji itu mengikat, artinya perjanjian harus sungguh- sungguh ditepati. Prinsip atau asas hukum tersebut terdapat dalah Buku III KUH Perdata, yang merupakan hukum positif, yang sistem hukumnya terbuka. Pendapat tersebut dikemukakan oleh R. Subekti menyatakan bahwa “sistem yang dianut oleh Buku III itu juga lazim dinamakan sistem terbuka”.7 Buku III berjudul Perihal Perikatan itu, menganut prinsip “kebebasan”, atau asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian. Prinsip tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa semua “perjanjian mengikat bagi para pembuatnya, yang mengandung prinsip kekuatan mengikat. Kontrak adalah perjanjian, tapi bentuknya tertulis. Perjanjian menerbitkan perikatan, sehingga perjanjian sumber perikatan. Perjanjian itu dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu”.8

Jadi, kontrak merupakan perjanjian atau persetujuan, dan perjanjian menerbitkan perikatan, maka ketentuan Buku III tentang Perikatan, berlaku juga bagi kontrak dan perjanjian. Kontrak secara harfiah berarti

5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 32

6 Ibid., h. 33.7 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum

Perdata, Intermasa, Bandung, 1984, h. 128.8 ? R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, 2001, h. 1

perjanjian antara dua orang atau lebih. Kontrak merupakan persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau melakukan kegiatan. Menurut R, Subekti, “perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis”.9Kontrak yang dimaksud di sini berkaitan dengan kontrak jasa konstruksi. Prinsip-prinsip perjanjian berlaku terhadap kontrak . Prinsip-prinsip perjanjian secara pokok adalah prinsip konsensualisme, prinsip kekuatan mengikat (kepastian hukum), prinsip kebebasan berkontrak, prinsip keseimbangan berlaku bagi kontrak. Secara harfiah konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Dalam sebuah bidang arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuan infrastruktur pada sebuah area atau pada beberapa area. Konstruksi juga didefinisikan sebagai objek seluruh bangunan yang terdiri dari bagian-bagian struktur. Konstruksi juga dapat diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan lain sebagainya). Kegiatan konstruksi dikenal sebagai suatu pekerjaan, dalam perkembangan yang ada dalam praktek konstruksi merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari beberapa pekerjaan yang berbeda. Aturan yang berkaitan dengan jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi”. Konsultansi konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan. Dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dikatakan bahwa pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa “penyelenggaraan jasa konstruksi berlandaskan pada asas: a. kejujuran dan keadilan; b. manfaat; c. kesetaraan; d. keserasian; e. keseimbangan; f. profesionalitas; g. kemandirian; h. keterbukaan; i. kemitraan; j. keamanan dan keselamatan; k. kebebasan; l. pembangunan berkelanjutan; dan m. wawasan lingkungan.

9 ? Ibid.

Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Pengguna jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan jasa konstruksi. Penyedia jasa adalah pemberi layanan Jasa konstruksi. Sub penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi kepada penyedia jasa. Pengguna jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan jasa konstruksi. Penyedia jasa adalah pemberi layanan Jasa konstruksi. Sub penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi kepada penyedia jasa. Usaha penyediaan bangunan adalah pengembangan jenis usaha jasa konstruksi yang dibiayai sendiri oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha, atau masyarakat, dan dapat melalui pola kerja sama untuk mewujudkan, memiliki, menguasai, mengusahakan, dan/atau meningkatkan kemanfaatan bangunan. Pengaturan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Bentuk kontrak kerja konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017. Isi kontrak kerja konstruksi, sesuai Pasal 47 paling sedikit harus mencakup uraian mengenai:

a. Para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;

b. Rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsump dan batasan waktu pelaksanaan;

c. Masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;

d. Hak dan kewajiban yang setara, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil jasa konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan jasa konstruksi;

e. Penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;

f. Cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil

layanan jasa konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;

g. Wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;

h. Penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;

i. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;

j. Keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;

k. Kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan;

l. Pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;

m. Pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;

n. Aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;

o. Jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan; dan

p. Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi

Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif. Kontrak kerja konstruksi meliputi untuk layanan jasa perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak kekayaan intelektual untuk kegiatan pelaksanaan layanan jasa konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang sub penyedia jasa serta pemasok bahan, komponen bangunan, dan/atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlak dan yang dilakukan dengan pihak asing, memuat kewajiban alih teknologi. Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi tersebut berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan sub

penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam hal kontrak kerja konstruksi dilakukan dengan pihak asing harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dalam hal terjadi perselisihan dengan pihak asing digunakan kontrak kerja konstruksi dalam bahasa Indonesia. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, para pihak dalam pengikatan jasa konstruksi terdiri atas pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa terdiri atas: a. orang perseorangan; atau b. badan. Pengikatan hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa prinsip kontrak jasa konstruksi adalah berdasarkan prinsip persaingan yang sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam arti pihak penyedia jasa wajib mempunyai kompetensi di bidang keilmuannya. Ketentuan mengenai pengikatan di antara para pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan yang mengatur mengenai hukum keperdataan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Artinya dalam pengikatan berlaku ketentuan yang terdapat dalam Buku III tentang Perikatan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa prinsip-prinsip konsensualisme, prinsip kekuatan mengikat, prinsip kebebasan berkontrak yang merupakan prinsip-prinsip hukum perjanjian diberlakukan dalam kontrak jasa konstruksi. Di sisi lain, karena jasa konstruksi pengadaannya melalui pelelangan dan/atau tender, maka prinsip transparansi, prinsip kepercayaan, prinsip persaingan sehat dan prinsip tanggung jawab juga diberlakukan dalam kontrak jasa konstruksi. Pemilihan penyedia jasa hanya dapat diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan. Pemilihan penyedia Jasa yang menggunakan sumber pembiayaan dari keuangan negara dilakukan dengan cara tender atau seleksi, pengadaan secara elektronik, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tender atau seleksi dapat dilakukan melalui prakualifikasi, pascakualifikasi, dan tender cepat. Pengadaan secara elektronik merupakan metode pemilihan Penyedia jasa yang sudah tercantum dalam katalog. Penunjukan langsung dapat dilakukan dalam hal:

a. penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;

b. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh Penyedia Jasa

c. yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;

d. pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara;

e. pekerjaan yang berskala kecil; dan/atauf. kondisi tertentu.

Pengadaan langsung dilakukan untuk paket dengan nilai tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi tertentu sebagaimana dan nilai tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah. Di sisi lain, berdasarkan Pasal 43 pemilihan penyedia jasa dan penetapan penyedia jasa dalam pengikatan hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kesesuaian antara bidang usaha dan ruang lingkup pekerjaan; b. kesetaraan antara kualifikasi usaha dan beban kerja; c. kinerja penyedia jasa; dan d. pengalaman menghasilkan produk konstruksi sejenis. Dalam hal pemilihan penyedia layanan jasa konsultansi konstruksi yang menggunakan tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan ahli, Pengguna jasa harus memperhatikan standar remunerasi minimal. Standar remunerasi minimal ditetapkan oleh Menteri. Di samping itu, pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender atau seleksi, atau pengadaan secara elektronik.

Karakteristik Sengketa Kontrak Jasa Konstruksi Karakteristik dikaitkan dengan sifat atau pola terjadinya sengketa kontrak konstruksi. Sengketa biasanya terjadi karena adanya wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum. Wanprestasi terjadi karena dalam pelaksanaan prestasi tidak tepat waktu (niet tijdig) dan melaksanakan prestasi tidak sepatutnya. Karekteristik sengketa wanprestasi tidak melaksanakan prestasi tepat waktu berarti “penyedia jasa konstruksi tidak menepati pelaksanaan pemenuhan prestasi sesuai dengan waktu yang ditentukan”.10Akibatnya penyedia jasa konstruksi dapat dapat dianggap melakukan wanprestasi, yang mewajibkan dia membayar ganti rugi (schade vergoeding). Dengan lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam pelaksanaan, penyedia jasa konstruksi sudah dianggap lalai atau berada dalam keadaan lalai yang disebut juga “in mora”, atau dengan istilah

10 ? M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 63.

yang paling umum disebut “versuim”.11

Versuim/lalai artinya penyedia jasa konstruksi tidak tepat waktu/niet tijdig melaksanakan perjanjian atau kontrak jasa konstruksi. Karekteristik terjadinya sengketa jasa konstruksi karena penyedia jasa konstruksi tidak sepatutnya memenuhi prestasi (niet behoorlijk nakoming). Dalam keadaan penyedia jasa konstruksi tidak sepatutnya melaksanakan pemenuhan kontrak jasa konstruksi, menyebabkan pengguna jasa konstruksi tidak perlu lagi melakukan tegoran kelalaian. Dengan demikian, penyedia jasa konstruksi, tanpa tegoran kelalaian telah berada dalam keadaan lalai (in gebrekke steling). Kedua karakteristik adanya wanprestasi tersebut terdapat perbedaan, antara wanprestasi karena tidak tepat waktu dengan wanprestasi karena tidak sepatutnya. Pada wanprestasi karena keterlambatan waktu pelaksanaan prestasi, baru ada setelah lebih dulu melalui proses pernyataan kelalaian (in gebrekke steling). Dalam pelaksanaan prestasi yang tidak sepatutnya, penyedia jasa konstruksi sudah dianggap wanprestasi, tanpa in gebrekke steling. Teguran tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata dinyatakan bahwa :

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Terjadinya sengketa dalam kontrak konstruksi, karena ketidakterlaksananya atau tidak dilaksanakan kontrak tersebut, baik tidak sesuai dengan tepat waktu yang ditentukan, maupun memenuhi pelaksanaan kontrak yang tidak sepatutnya. Ketidakterlaksananya kontrak konstruksi dengan berbagai bentuk atau karakter yang dapat menimbulkan terjadinya sengketa antara lain : keterlambatan, ketidakcocokan, dan kegagalan. Dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa “penyedia jasa yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai

11 ? Ibid., h. 63.

sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; d. pencantuman dalam daftar hitam; e. pembekuan izin; dan/atau f. pencabutan izin. Pasal 63 menyatakan bahwa “penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) yang disebabkan kesalahan penyedia jasa. Dalam Pasal 60 dinyatakan bahwa “ dalam hal penyelenggaraan jasa konstruksi tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pengguna jasa dan/atau penyedia jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penilai ahli. Penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Menteri harus menetapkan penilai ahli dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan. Dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa : “kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan/atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/ atau pengguna jasa setelah penyerahan dinyatakan akhir pekerjaan konstruksi”. Kegagalan bangunan tersebut dapat menimbulkan sengketa jasa konstruksi. Di sisi lain, terjadinya sengketa dalam jasa konstruksi adalah kegagalan pekerjaan konstruksi. Dalam Pasal 31 dinyatakan “kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa”.

Karakteristik Sengketa Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah

Pengadaan jasa konstruksi pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “ pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang proses-nya di mulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk

memperoleh barang/Jasa. Pengadaan barang/asa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD. Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN/APBD mencakup pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pengadaan barang/jasa pemerintah dalam peraturan presiden ini meliputi: a. barang; b. pekerjaan konstruksi; c. jasa konsultansi; dan d. jasa Lainnya. Pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Pekerjaan konstruksi dilakukan berdasarkan pelelangan, yang hasil pemenangnya kemudian dibuat kontrak. Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dilakukan dengan: a. pelelangan umum; b. pelelangan terbatas; c. pemilihan langsung; d. penunjukan langsung; atau e. pengadaan langsung. khusus untuk pekerjaan konstruksi yang bersifat kompleks dan diyakini jumlah penyedianya terbatas, pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dilakukan dengan pelelangan terbatas Kontrak tersebut dikenal dengan kontrak pengadaan barang/jasa yang selanjutnya disebut kontrak adalah perjanjian tertulis antara pejabat pembuat komitmen dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola.

Pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition). Kegagalan bangunan dapat terjadi karena kesalahan dan/atau kelalaian. Kesalahan dan/atau kelalaian yang menyebabkan kegagalan bangunan yang dilakukan penyedia jasa konstruksi dapat menyebabkan terjadinya sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah. Penyebab sengketa dalam pengadaan jasa konstrusi pemerintah, apabila penyedia jasa konstruksi melakukan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan yang sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak. Penyedia jasa konstruksi lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak

memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dapat menyebabkan sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah. Di sisi lain, penyebab timbulnya sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah adalah penyedia jasa terbukti melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; dan/atau pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan jasa dinyatakan benaroleh instansi yang berwenang. Adanya penyebab-penyebab tersebut, sesuai ketentuan Pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, pejabat pembuat komitmen atau PPK dapat memutus kontrak pengadaan jasa konstruksi pemerintah secara sepihak. Sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah dapat terjadi akibat perbuatan atau tindakan penyedia jasa yang berusaha mempengaruhi ULP/pejabat pengadaan/ pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan/kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyebab sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah karena penyedia jasa konstruksi melakukan persekongkolan dengan penyedia jasa lain untuk mengatur harga penawaran di luar prosedur pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi, sehingga mengurangi/menghambat/ memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain; membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan pengadaan jasa konstruksi yang ditentukan dalam dokumen pengadaan. Penyebab sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah karena penyedia jasa mengundurkan diri dari pelaksanaan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/pejabat pengadaan. Penyebab sengketa pengadaan jasa konstruksi pemerintah, yaitu, penyedia jasa konstruksi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak secara bertanggung jawab; dan/atau berdasarkan hasil pemeriksaan ditemu-kan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan barang produksi dalam negeri. Perbuatan-perbuatan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi berupa: a. sanksi administratif; b. sanksi pencantuman dalam daftar hitam; c. gugatan secara perdata; dan/atau d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang. Pemberian sanksi administrasi dilakukan oleh

PPK/ULP/Pejabat pengadaan sesuai dengan ketentuan. Pemberian sanksi pencantumnan daftar hitam dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/ ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan. Gugatan perdata dan pelaporan secara pidana dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan penyedia jasa konstruksi, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang dan dimasukkan dalam daftar hitam. Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan jasa konstruksi, maka ULP: a. dikenakan sanksi administrasi; b. dituntut ganti rugi; dan/atau c. dilaporkan secara pidana.

KARAKTERISTIK PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK PENGADAAN

JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH

Karakteristik Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi

Kontrak konstruksi merupakan hubungan hukum para pihak yang berkaitan dengan bidang hukum keperdataan. Perkataan hukum perdata “dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu, segala hukum pokok yang mengatur kepentingan - kepentingan perseorangan”.12Hukum perdata adalah “sistem aturan yang mengatur berbagai hubungan manusia konteks kedudukannya sebagai individu terhadap individu lain”.13 Paul Scholten, memberikan definisi hukum perdata sebagai “sistem aturan yang mengatur hak dan kewajiban dari perseorangan yang satu terhadap yang lain dalam pergaulan masyarakat dan dalam hubungan keluarga, serta bagaimana cara menegakkan, dan mempertahankannya apabila terjadi sengketa di pengadilan”.14

Dalam menegakkan dan mempertahankan terhadap hak-hak yang merasa atau dirasa oleh orang lain, maka akan dipergunakan hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan hukum formil, sedangkan hukum perdata merupakan hukum materiil. Hukum formil yang dikenal dengan hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara penegakkan hukum perdat materiil atau dengan istilah lain hukum yang mengatur tata cara beracara di muka 12 ? R. Subekti, Op. Cit., h. 1.13 ? Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 49.14 ? Bachsan Mustafa, Sistem Sosial Indonesia, Remaja Karya, Bandung, 1995, h. 51.

pengadilan (perdata). Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah “rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”.15 Dengan demikian, hukum acara perdata sebagai bagian hukum acara dengan fungsi mempertahankan dan ditaatinya ketentuan hukum perdata materiil. Sengketa kontrak konstruksi merupakan sengketa perdata, karena berkaitan dengan kontrak merupakan perjanjian yang dilakukan dalam bentuk tertulis. Sengketa konstruksi biasanya terjadi apabila penyedia jasa konstruksi tidak melaksanakan prestasinya karena tidak tepat waktu dan melaksanakan prestasi yang tidak selayaknya, yang biasa dinamakan wanprestasi. Wanprestasi tersebut bisa terjadi karena keterlambatan waktu pelaksanaan dan/atau kegagalan bangunan atau pekerjaan konstruksi. Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan/atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. Penyedia jasa konstruksi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak secara bertanggung jawab, dapat menyebabkan sengketa kontrak konstruksi. Penyedia jasa konstruksi yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak merupakan terjadinya sengketa jasa konstruksi. Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi. Sengketa konstruksi terjadi akibat tuntutan atau klaim konstruksi tidak dipenuhi atau dilayani yang harus diselesaikan sesuai pilihan/kesepakatan para pihak sebagaimana tercantum dalam kontrak konstruksi. Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi, secara tegas biasanya dicantumkan dalam kontrak konstruksi. Dalam kontrak konstruksi terdapat pilihan forum dalam penyelesaian sengketa konstruksi.

15 ? Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur, Bandung, 1989, h. 12.

Sengketa kontrak konstruksi merupakan sengketa perdata, karena berkaitan dengan kontrak. Karakteristik penyelesaian perkara atau sengketa jasa konstruksi dapat diselesaikan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Upaya penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dinyatakan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa”. Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dikatakan bahwa “arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Definsi ini hampir sama dengan definsi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikatakan bahwa “arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Sedangkan perjanjian arbitrase menurut Pasal 1 angka 3 dinyatakan bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Alternatif penyelesaian sengketa menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Pengertian alternatif penyelesaian sengketa yang terdapat dalam pasal tersebut hampir sama dengan pengertian alternatif penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi diatur tentang penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi. Sengketa yang terjadi dalam kontrak kerja konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Dalam hal musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum

dalam kontrak kerja konstruksi. Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Tahapan upaya penyelesaian sengketa meliputi: a. mediasi; b. konsiliasi; dan c. arbitrase. Selain upaya penyelesaian sengketa para pihak dapat membentuk dewan sengketa. Dalam hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa , pemilihan keanggotaan dewan sengketa dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dikatakan bahwa “penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara: melalui pihak ketiga yaitu: mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh lembaga arbitrase dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa); atau konsiliasi; atau arbitrase melalui lembaga arbitrase atau arbitrase Ad Hoc. Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa mediasi dilakukan dengan bantuan satu orang mediator. Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga. Apabila diperlukan, mediator dapat minta bantuan penilai ahli. Mediator bertindak sebagai fasilitator yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan. Kesepakatan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa konsiliasi dilakukan dengan bantuan seorang konsiliator. Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Konsiliator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh lembaga. Konsiliator menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika rumusan tersebut disetujui oleh para pihak, maka solusi yang dibuat konsiliator menjadi rumusan pemecahan masalah. Rumusan pemecahan

masalah dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Kesepakatan tertulis dalam penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh kedua belah pihak bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa arbitrase dilakukan dengan melalui arbitrase sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat Tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase dilakukan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Karakteristik Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah

Pengadaan jasa konstruksi pemerintah secara khusus diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Secara umum aturan jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan aturan pelaksanaannya, yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi,

Dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 dikatakan bahwa “ sengketa yang terjadi dalam kontrak kerja konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan”. Prinsip penyelesaian sengketa jasa konstruksi tersebut merupakan landasan penyelesaian sengketa di Indonesi berdasarkan cita negara Indonesia, berdasrkan Pancasila. Sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Cita negara atau “staatsidee”, menurut J. Oppenheim, mengemukakan bahwa “staatsidee: dapat dilukiskan sebagai hakekat yang paling dalam dari negara (de staats diapste-wezen) sebagai kekuatan yang membentuk negara-negara (de staten vormende kracht). Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Negara hukum Indonesia adalah negara hukum Pancasila sebagaimana diamanahkan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila sebagai cita hukum negara Indonesia sebagai norma hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 2 UNdang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Pancasila sebagai cita hukum dan sebagai norma hukum negara Indonesia, oleh Hans Nawiasky disebut norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Dalam hal Pancasila sebagai cita hukum Indonesia, Pancasila mempunyai fungsi konstitutif dan regulatif yang menentukan hukum positif Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak adil. Pancasila sebagai norma hukum tertinggi menciptakan ketentuan-ketentuan isi dan muatan lapisan hukum yang lebih rendah. Pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia merupakan landasan dalam hubungan hidup bermasyarakat di Indonesia dan landasan hukum di Indonesia. Pancasila merupakan cita hukum dan norma hukum tertinggi, lebih mendahulukan prinsip-prinsip kerukunan dan keserasian, yang diwujudkan dalam bentuk gotong royong. Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan prinsip kerukunan, sebagai prinsip tentunya sedapat mungkin menghindarkan adanya sengketa. Betapun segala upaya telah dilakukan untuk menghindarkan terjadinya sengketa, tetapi toh tetap terjadi, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui upaya musyawarah untuk mencapai mufakat. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat yang utama dan paling utama dilaksanakan terlebih dahulu, dan penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya terakhir. Dalam dokumen pengadaan jasa konstruksi pemerintah selalu diatur tentang penyelesaian sengketa. Dalam huruf H tentang Penyelesaian Perselisihan angka 8.1 tentang Penyelesaian Perselisihan dalam angka 8.1.1 dinyatakan bahwa “para pihak berkewajiban untuk berupaya sungguh-sungguh menyelesaikan secara damai semua perselisihan yang timbul dari atau berhubungan dengan kontrak ini atau interprestasinya selama atau setelah pelaksanaan pekerjaan”. Dalam angka 8.1.2 dikatakan bahwa “cara penyelesaian perselisihan atau sengketa antara para pihak dalam kontrak dapat dilakukan melalui musyawarah, arbitrase, mediasi, konsiliasi atau pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 dikatakan bahwa “dalam hal musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi”. Dalam kontrak kerja konstruksi selalu dicantumkan klausula tentang penyelesaian sengketa. Dalam klausula tersebut diatur pilihan forum apabila terjadi sengketa jasa konstruksi.

Dalam akta kontrak jasa konstruksi dicantumkan klausula bahwa apabila terjadi sengketa akan diselesaikan secara musyawarah mufakat. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah mufakat tidak tercapat, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara mediasi, konsiliasi, arbitrase. Dalam hal penyelesaian sengketa melalui cara tersebut tidak berhasil, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan. Dalam Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 dikatakan bahwa “Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi secara musyawarah, para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Dalam Pasal 88 ayat (4) Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. mediasi; b. konsiliasi; dan c. arbitrase. Ayat (5) menentukan bahwa selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, para pihak dapat membentuk dewan sengketa. Selain itu, dalam ayat (6) ditentukan bahwa “dalam hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan sengketa dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak”. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pemerintah. Dalam Pasal 94 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ditentukan bahwa :

“Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dalam Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dikatakan bahwa “penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar

pengadilan dapat dilakukan dengan cara melalui pihak ketiga, yaitu, dengan cara melalui mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa); konsiliasi; atau arbitrase melalui lem-baga arbitrase atau arbitrase Ad Hoc. Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan. ww.hukumonline.com Dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dikatakan bahwa “penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa mediasi dilakukan dengan bantuan satu orang mediator”. Mediator ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga. Apabila diperlukan, mediator dapat minta bantuan penilai ahli. Mediator bertindak sebagai fasilitator yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan. Kesepa-katan tersebut dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dikatakan bahwa “penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa konsiliasi dilakukan dengan bantuan seorang konsiliator”. Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. Konsiliator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga. Konsiliator menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika rumusan tersebut disetujui oleh para pihak, maka solusi yang dibuat konsiliator menjadi rumusan pemecahan masalah. Rumusan pemecahan masalah dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Kesepakatan tertulis dalam penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa melaui mediator dan konsiliator yang ditandatangani oleh kedua belah pihak bersifat final dan mengikat para piihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik. Dalam Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 diatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa arbitrase dilakukan dengan melalui arbitrase sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase dilakukan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Upaya Hukum Para Pihak Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Penga-dan Jasa Konstruksi Pemerintah

Sengketa terjadi karena adanya hak dan kewajiban yang pelaksanaannya tidak seimbang. Suatu yang inti yang terkandung dalam suatu hak, yaitu, adanya suatu tuntutan (claim). Dengan demikian apabila kita bicara mengenai hak, maka di dalamnya ada suatu tuntutan, apabila kewajibanya telah dilaksanakan dan/atau tidak dilaksanakan dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi pemerintah. Kewajiban tersebut berupa prestasi, yang harus dilaksanakan atau dipenuhi bagi para pihak sesuai dengan kontrak jasa konstruksi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomr 2 Tahun 2017 dikatakan bahwa jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Konsultansi konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penye-lenggaraan konstruksi suatu bangunan. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pem-bongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan. Usaha penyediaan bangunan adalah pengembangan jenis usaha jasa konstruksi yang dibiayai sendiri oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha, atau masyarakat, dan dapat melalui pola kerja sama untuk mewujudkan, memiliki, menguasai, mengusahakan, dan/atau meningkatkan kemanfaatan bangunan. Pengguna jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan jasa konstruksi. Penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi. Sub penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi kepada penyedia jasa. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Penyelenggaraan jasa konstruksi terdiri atas penyelenggaraan usaha jasa konstruksi dan penyelenggaraan usaha penyediaan bangunan. Penyelenggaraan usaha jasa konstruksi dapat dikerjakan sendiri atau melalui pengikatan jasa konstruksi.penyelenggaraan usaha penyediaan bangunan dapat dikerjakan sendiri atau melalui perjanjian penyediaan bangunan. Para pihak dalam pengikatan jasa konstruksi terdiri atas: pengguna jasa; dan penyedia jasa

Pengguna jasa dan penyedia jasa terdiri atas: orang perseorangan; atau badan. Pengikatan hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Ketentuan mengenai pengikatan di antara para pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum keperdataan, berdasarkan kontrak pengadaan jasa konstruksi Pemilihan penyedia jasa yang menggunakan sumber pembiayaan dari keuangan Negara dilakukan dengan cara tender atau seleksi, pengadaan secara elektronik, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemilihan penyedia jasa dan penetapan penyedia jasa dalam pengikatan hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kesesuaian antara bidang usaha dan ruang lingkup pekerjaan; b. kesetaraan antara kualifikasi usaha dan beban kerja; c. kinerja Penyedia Jasa; dan d. pengalaman menghasilkan produk konstruksi sejenis. Pengaturan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. .Bentuk kontrak kerja konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai dasar penetapan jangka waktu pertanggung jawaban, perencana konstruksi wajib menyatakan dengan jelas dan tegas tentang umur konstruksi yang direncanakan, dalam dokumen perencanaan dan dokumen lelang, dilengkapi dengan penjelasannya. Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan perencana konstruksi, maka perencana konstruksi hanya bertanggung jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum / tidak diubah. Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan pelaksana konstruksi, maka tanggung jawab berupa sanksi dan ganti rugi dapat dikenakan pada usaha orang perseorangan dan atau badan usaha pelaksana konstruksi penanda tangan kontrak kerja konstruksi. Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh pengawas konstruksi, maka tanggung jawab berupa sanksi dan ganti rugi dapat dikenakan pada usaha orang perseorangan dan atau badan usaha pengawas konstruksi penanda tangan kontrak kerja konstruksi. Penyedia jasa konstruksi diwajibkan menyimpan dan memelihara dokumen pelaksanaan konstruksi yang dapat dipakai sebagai alat pembuktian, bilamana terjadi kegagalan bangunan. Lama waktu menyimpan dan memelihara dokumen pelaksana-an

konstruksi adalah sesuai dengan jangka waktu pertanggungan, dengan maksimal lama pertanggungan selama 10 (sepuluh) tahun sejak dilakukan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. Pertanggungjawaban berupa sanksi profesi dan atau administratif dapat dikenakan pada orang perseorangan dan atau badan usaha penandatangan kontrak kerja konstruksi. Sub penyedia jasa berbentuk usaha orang perseorangan dan atau badan usaha yang dinyatakan terkait dalam terjadinya kegagalan bangunan bertanggung jawab kepada penyedia jasa utama. Apabila dokumen perencanaan sebagai bentuk fisik lain dari hasil pekerjaan konstruksi tidak segera dilaksanakan, maka yang dimaksud dengan kegagalan bentuk lain hasil pekerjaan konstruksi ini adalah keadaan apabila dokumen perencanaan tersebut dipakai sebagai acuan pekerjaan konstruksi menyebabkan terjadinya kegagalan bangunan karena kesalahan perencanaannya. Apabila terjadi kegagalan bangunan maka tanggung dalam hal dokumen perencanaannya tidak segera dilaksanakan tetap sebatas umur konstruksi yang direncanakan dengan maksimal 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak penyerahan dokumen perencanaan tersebut. Pengguna jasa wajib melaporkan terjadinya kegagalan bangunan dan tindakan-tindakan yang diambil kepada Menteri atau instansi yang berwenang dan Lembaga. Pengguna jasa bertanggung jawab atas kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan pengguna jasa. Dalam kontrak kerja konstrusksi hak dan kewajiban yang setara, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil jasa konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan jasa konstruksi; Dalam kontrak jasa konstruksi diatur juga tentang wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidakmelaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; kegagalan bangunan, memuat

ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan; Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi. Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan penyedia jasa atas biaya sendiri. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan pekerjaan konstruksi mengakibatkan kerugian dan atau gangguan terhadap keselamatan umum. Dalam hal penyelenggaraan jasa konstruksi tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Pengguna jasa dan / atau penyedia jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan ditetapkan oleh penilai ahli. Penilai ahli ditetapkan oleh menteri. Menteri harus menetapkan penilai ahli dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kega-galan bangunan Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan yang disebabkan kesalahan penyedia jasa. Penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi. Dalam hal rencana umur konstruksi lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan jasa konstruksi. Pengguna jasa bertanggungjawab atas kegagalan bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah ditentukan. Ketentuan jangka waktu pertanggung-jawaban atas Kegagalan bangunan harus dinyatakan dalam kontrak kerja

konstruksi. Pengguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat kegagalan bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu kegagalan bangunan kepada Menteri. Penyedia jasa dan/atau pengguna jasa wajib memberikan ganti kerugian dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan ditentukan sesuai dengan umur konstruksi yang direncanakan dengan maksimal 10 tahun, sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Penetapan umur konstruksi yang direncanakan harus secara jelas dan tegas dinyatakan dalam dokumen perencanaan, serta disepakati dalam kontrak kerja konstruksi. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus dinyatakan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi. Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan. Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih, dan disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan pada keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak. Pelaksanaan ganti rugi dalam hal kegagalan bangunan dapat dilakukan dengan mekanisme pertanggungan pihak ketiga atau asuransi, dengan ketentuan: a. persya-ratan dan jangka waktu serta nilai pertanggungan ditetapkan atas dasar kesepakatan; b. premi dibayar oleh masing-masing pihak, dan biaya premi yang menjadi tanggungan penyedia jasa menjadi bagian dari unsur biaya pekerjaan konstruksi. Dalam hal pengguna jasa tidak bersedia memasukan biaya premi , maka risiko kegagalan bangunan menjadi tanggung jawab pengguna jasa. Ketentuan lebih lanjut mengenai

pertanggungan/asuransi ini diatur oleh instansi yang berwenang dalam bidang asuransi Penetapan besarnya kerugian oleh penilai ahli bersifat final dan mengikat Biaya penilai ahli menjadi beban pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan. Selama penilai ahli melakukan tugasnya, maka pengguna jasa menanggung pembiayaan pendahuluan. Penyedia jasa konstruksi yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak atau bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan tidak melampaui besarnya jaminan pelaksanaan. konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian negara, dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban PPK yang melakukan cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam kontrak, dapat dimintakan ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut: a. besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia; atau b. dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam kontrak. Dalam hal terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan kepada anggota ULP/Pejabat Pengadaan sesuai peraturan perundang-undangan. K/L/D/I dapat membuat Daftar Hitam yang memuat identitas penyedia jasa yang dikenakan sanksi oleh K/L/D/I. daftar hitam, memuat daftar penyedia jasa yang dilarang mengikuti pengadaan jasa konstruksi pada K/L/D/I yang bersangkutan. K/L/D/I menyerahkan Daftar Hitam kepada LKPP untuk dimasukkan dalam Daftar Hitam Nasional. Daftar Hitam Nasional dimutakhirkan setiap saat dan dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional. Penyelesaian sengketa akibat kegagalan bangunan dan/atau sengketa yang terjadi dalam kontrak kerja konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Dalam hal musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi. Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Tahapan upaya penyelesaian sengketa meliputi: mediasi; konsiliasi; dan arbitrase. Selain upaya penyelesaian sengketa, para pihak dapat mem-bentuk dewan sengketa.

Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi. Penyedia jasa wajib mengganti atau memper-baiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan kesalahan penyedia jasa atas biaya sendiri. Keadaan kahar adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi. Kahar dalam bahasa Belanda adalah “overmacht berarti keadaan yang memaksa, atau kejadian yang tiba-tiba, yang menghalangi penunaian perikatan atau perjanjian atau kontrak, dan membebaskan orang dari kewajiban mengganti biaya kerugian dan bunga. Keadaan kahar bahwa penyedia jasa konstruksi terhalang dalam mempengaruhi prestasinya karena suatu hal yang tidak terduga lebih dulu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, maka penyedia jasa konstruksi dibebaskan untuk mengganti biaya rugi dan laba. Ada tiga karakter overmacht, yaitu, harus ada halangan untuk memenuhi kewajibannya; halangan itu terjadi tidk karena kesalahan dari penyedia jasa konstruksi; dan tidak disebabkan oleh kejadian yang menjadi resiko dari penyedia jasa konstruksi. Yang dapat digolongkan sebagai keadaan kahar dalam kontrak pengadaan barang/jasa meliputi: a. bencana alam; b. bencana non alam; c. bencana sosial; d. pemogokan; e. kebakaran; dan/atau f. gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri teknis terkait. Dalam hal terjadi keadaan kahar, penyedia barang/jasa memberitahukan tentang terjadinya Keadaan Kahar kepada PPK secara tertulis dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar, dengan menyertakan salinan pernyataan keadaan kahar yang dikeluarkan oleh pihak/instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak termasuk keadaan kahar adalah hal-hal

merugikan yang disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian para pihak. Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan oleh terjadinya keadaan kahar tidak dikenakan sanksi. Setelah terjadinya keadaan kahar, para pihak dapat melakukan kesepakatan, yang dituangkan dalam perubahan kontrak. Pengguna jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat kegagalan bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu kegagalan bangunan kepada Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan terjadinya kegagalan bangunan diatur dalam Peraturan Menteri. Penyedia jasa dan/atau pengguna jasa wajib memberikan ganti kerugian dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ganti kerugian diatur dalam Peraturan Pemerintah.

PENUTUPKesimpulan1. Kontrak pengadaan jasa konstruksi

merupakan hubungan perdata, dan merupakan pejanjian, prinsip-prinsip dalam Buku III KUH Perdata secara universal digunakan, prinsip konsensualisme, prinsip kekuatan mengikat, prinsip kebebasan berkontrak, prinsip keseimbangan, dan dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi, prinsip transparansi, prinsip tanggung jawab, dan prinsip kepercayaan dalam tender dan pelaksanaan konstruksi secara lancar sesuai dengan yang ditentukan dalam kontrak jasa konstruksi. Karakteristik timbulnya sengketa dalam kontrak pengadaan jasa kontruksi, berkaitan dengan cacat mutu dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dalam spesifikasi teknis dan gambar dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan kegagalan bangunan. Dalam hal terjadi hal demikian ini, penyedia jasa konstruksi berkewajiban untuk memperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan, jika penyedia jasa konstruksi tidak memperbaiki, maka akan terjadi sengketa, dan tindakan yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen memutus kontrak secara sepihak dan memberikan sanksi kepada penyedia jasa konstruksi;

2. Dalam hal terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak pengadaan jasa konstruksi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat, yang merupakan karakter dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi, dan selalu

dituangkan dalam klausula kontrak konstruksi. Di samping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan mediasi. Penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya terakhir, apabila penyelesaian musayawarah, konsiliasi dan mediasi tidak berhasil. Namun, dalam kontrak pengadaan jasa konstruksi terdapat klausula bahwa semua sengketa yang timbul dari kontrak ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.

Saran 1. Dalam pelaksanaan kontrak jasa

konstruksi banyak hal-hal dalam bidang pemeriksaan dan/atau pengawasan dilakukan oleh petugas yang tidak kompetensi dan tanggung jawab, banyak kerjaan konstruksi apabila dilakukan pengujian yang baik dan benar, akan banyak diketemukan pekerjaan konstruksi yang cacat mutu yang pelaksanaannya, tidak sesuai dan tidak tercantum dalam spesifikasi teknis dan gambar. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pengawasan mutu dan pemeriksaan pekerjaan, maka pejabat pembuat komitmen dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, perlu melibatkan ahli yang kompetensi dari unsure akademik berdasarkan rekomendasi dari pimpinan universitas dan/atau fakultasnya agar bisa dipertanggungjawabkan.

2. Dalam pelaksanaan kontrak pengadaan jasa konstruksi, para pihak diharapkan bertindak berdasarkan prinsip saling percaya yang disesuaikan dengan hak dan kewajibannya yang tertuang dalam dokumen kontrak. Para pihak dalam kontrak jasa konstruksi diharapkan berkewajiban untuk bertindak dengan itikat baik dan kejujuran, serta mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan terpenuhinya tujuan kontrak pengadaan jasa konstruksi, dan apabila terjadi sesuatu hal yang dapat menimbulkan sengketa, agar segera diselesaikan sesuai dengan tanggung jawabnya dan melalui musyawarah.

DAFTAR PUSTAKA

1. LiteraturBachsan Mustafa, Sistem Sosial Indonesia, Remaja Karya, Bandung, 1995.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, balai Pustaka, Jakarta, 1991.

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993.

L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

J.J.H. Bruggingk, Refleksi tentang Hukum, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, ACitra Aditya Bakti. Bandung, 1999.

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

N. E. Algra et., al., Kamus istilah Hukum, Fockema Andreae, Belanda Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1983.

Ole R. Holsti, Contens Analysis for the Social Sciences and Humanities, Reading Mass, Addision Wesley. 1969.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Balai Pustaka, Jakarta, 2012.

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1984, -------------, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, 2001.

Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Pres), Jakarta, 1984.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Cetakan Ketiga, Jakarta,1990.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur, Bandung, 1989.

Yan Pramadiya PUSPA, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Aneka Ilmu, Semarang, 1977.

2. Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden; Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/jasa.

Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.