· web viewpada tahun 1993/94 telah diklasifikasi sebanyak 239 restoran dengan daya tampung 47.774...

90
PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI

Upload: lyngoc

Post on 05-May-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI

BAB XV

PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI

A. PENDAHULUAN

Pembangunan pariwisata, pos dan telekomunikasi dilaksanakan dengan senantiasa berpedoman pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya pasal 32 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia, pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pasal 33 khususnya ayat 3 yang mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 32 dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi landasan konstitusional utama bagi pembangunan kepariwisataan yang pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata, yang terwujud antara lain

XV/3

dalam bentuk kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna, kemajemukan tradisi dan seni budaya, serta peninggalan sejarah purbakala yang dimiliki bangsa Indonesia. Pembangunan kepariwisataan yang dilaksanakan melalui pengembangan kekayaan alam serta kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam, juga menjadi sarana untuk mengejawantahkan cita-cita bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melestarikan dan memperkukuh jati diri dan kemandirian bangsa, serta menjadi peranti untuk ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial guna mewujudkan perdamaian yang abadi antara bangsa-bangsa di dunia.

Pariwisata yang semula disebut turisme mempunyai makna kegiatan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Kegiatan kepariwisataan Indonesia dapat dikatakan dimulai dengan dibentuknya Badan Pusat Hotel Negara (BPHN) yang merupakan organisasi perhotelan pertama di Indonesia pada bulan November 1946, yang kemudian dengan Maklumat Presiden No.1/H/47 tanggal 1 Juli 1947 diubah menjadi Badan Hotel Negara dan Turisme (HONET). Badan inilah yang mengatur tempat perundingan antara Pemerintah RI dan Kolonial Belanda di Kaliurang yang dikenal sebagai Perundingan Roem-Rooyen. Tahun 1952 lahir Serikat Gabungan Hotel dan Turisme Indonesia (SERGANTI) yang bertugas mengusahakan terbukanya Indonesia sebagai daerah tujuan wisata (DTW). Selanjutnya pada bulan Mei 1953 dibentuk PT Natour yang merupakan perusahaan negara dalam bidang perhotelan yang bersifat komersial dan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan pariwisata di masa mendatang.

Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung yang merupakan cikal bakal Gerakan Non Blok (GNB) adalah tonggak yang bersejarah bagi perkembangan kepariwisataan Indonesia. Saat itu lahir Yayasan

XV/4

Turisme Indonesia (YTI) yang bertujuan membina dan mengembangkan industri pariwisata secara lebih efektif guna menunjang perekonomian Indonesia. Dari hasil musyawarah YTI pertama pada bulan Juni 1957 di Tugu Jawa Barat, terbentuk Dewan Turisme Indonesia (DTI) yang akan bertindak sebagai badan/lembaga/yayasan di daerah untuk membantu dan mendampingi pemerintah dalam hal pengurusan soal-soal kepariwisataan. Perubahan kata turisme menjadi kata pariwisata adalah merupakan salah satu hasil musyawarah DTI kedua pada tahun 1959. DTI berhasil meyakinkan Dewan Perancang Nasional (DEPPERNAS) untuk memasukkan pariwisata sebagai bagian dari Pembangunan Semesta Berencana. Kemudian melalui musyawarah DTI ketiga pada bulan Agustus 1961 DTI diubah menjadi DEPARI (Dewan Pariwisata Republik Indonesia).

Kurun waktu tahun 1960-1966 merupakan periode "batu loncatan" bagi pariwisata Indonesia yaitu dengan diresmikannya Hotel Indonesia sebagai hotel pertama yang bertaraf internasional pada bulan Agustus 1962 bersamaan dengan dibukanya Asian Games IV di Jakarta. Mulai saat itu Indonesia memasuki era dunia perhotelan modern. Setelah itu berturut-turut didirikan tiga hotel bertaraf internasional lainnya, yaitu Samudera Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, Ambarukmo Palace Hotel di Yogyakarta, dan Hotel Bali Beach di Sanur, Bali. Dalam rangka pengintegrasian, pengusahaan dan pengawasan hotel-hotel pemerintah bertaraf internasional ini, maka pada tanggal 17 Agustus 1966 dibentuk sebuah badan usaha sebagai pengelolanya yaitu PT Hotel Indonesia Internasional (PT. HII). Bersamaan dengan itu dibentuk pula Lembaga Kepariwisataan Republik Indonesia (GATARI) yang kemudian diubah lagi namanya menjadi Lembaga Pariwisata Nasional (LPN). Lembaga ini mendirikan PT Gatari Copter Services (yang belakangan berganti nama menjadi PT Gatari Air Services) yang khusus melayani

XV/5

angkutan wisatawan melalui udara ke objek dan daya tarik wisata. Pada bulan Maret 1969 LPN diubah menjadi Direktorat Jenderal Pariwisata dibawah naungan Departemen Perhubungan.

Untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya manusia pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan Mei 1959 mendirikan lembaga pendidikan perhotelan pertama milik pemerintah dengan nama Sekolah Kejuruan Perhotelan (SKPH) di Bandung. Lembaga tersebut pada bulan Mei 1962 pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Perhubungan Darat; Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata dan .namanya diganti menjadi Sekolah Kejuruan Perhotelan dan Perestoran (SKPP). Sebagai kelanjutan dari SKPP pada bulan Oktober 1962 didirikan Akademi Perhotelan dan Perestoran (APP) di Bandung, yang pada tahun 1965 diubah menjadi Akademi Perhotelan Nasional (APN).

Walaupun beberapa langkah sudah diambil, pada awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I kondisi kepariwisataan nasional, baik objek dan daya tarik wisata maupun aksesibilitas pariwisata, umumnya masih terbatas dan kurang terpelihara. Memasuki PJP I pada awal Repelita I disusun kebijaksanaan yang menjadi landasan pembangunan kepariwisataan nasional, yaitu : memelihara kebudayaan dan kekayaan alam Indonesia yang merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan; melakukan perbaikan dan pembenahan objek dan daya tarik wisata berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP), terutama Bali; menyelenggarakan pemasaran pariwisata yang terkoordinasi; mengadakan bimbingan dan pembinaan tenaga kerja kepariwisataan; serta mengadakan pembinaan pengaturan dan kelembagaan.

Pembangunan pariwisata selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) telah banyak mencapai hasil dan kemajuan yang

XV/6

menjadi dasar yang kuat dalam memasuki tahap pembangunan berikutnya, yaitu PJP II.

Daya tampung akomodasi penginapan telah meningkat dengan pesat, yaitu kurang dari 3 ribu kamar pada awal Repelita I, meningkat menjadi lebih dari 171 ribu kamar pada tahun 1993/94 atau jumlahnya menjadi lebih dari 57 kali lipat.

Pembinaan yang lebih terarah juga dilakukan pada usaha restoran. Pada tahun 1993/94 telah diklasifikasi sebanyak 239 restoran dengan daya tampung 47.774 tempat duduk dalam tiga kelas, yaitu kencana (kelas 1) sebanyak 4 buah dengan kapasitas 535 tempat duduk, seloka (kelas 2) sebanyak 84 buah dengan kapasitas 19.096 tempat duduk dan gangsa (kelas 3) sebanyak 151 buah dengan kapasitas 28.143 tempat duduk.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah wisatawan, usaha perjalanan wisata (UPW) yang terdiri atas biro perjalanan wisata (BPW), cabang biro perjalanan wisata (CBPW) dan agen perjalanan (AP) telah berkembang pesat, yaitu dari hanya 297 buah pada awal Repelita I menjadi 1.539 buah pada tahun 1993/94 atau menjadi lebih dari 5 kali lipat. Jumlah pemimpin perjalanan wisata dan pramuwisata juga telah meningkat masing-masing dari 321 dan 1.177 orang pada tahun 1985/86 menjadi 681 dan 6.479 orang pada tahun 1993/94.

Berbagai kawasan wisata telah dibangun dan beroperasi, antara lain Bali Tourism Development Corporation (Bali TDC) di Bali dan Manado TDC di Manado. Kawasan yang telah dikukuhkan dan segera akan beroperasi adalah Nias TDC, Bintan TDC, Padang TDC, Belitung TDC, Krakatau-Lampung TDC, Baturaden TDC, Lombok TDC, Goa Makasar TDC, dan Biak TDC.

XV/7

Untuk menunjang industri kerajinan rakyat telah dibangun tempat-tempat penjualan cenderamata ekspor yang telah mencapai 1.384 buah dan tersebar di 25 propinsi.

Objek dan daya tarik wisata yang telah berhasil diidentifikasi dan sebagian telah dikembangkan berjumlah 1.597 buah tersebar di berbagai propinsi yang terdiri atas objek dan daya tarik wisata alam sebanyak 903 buah, agrowisata sebanyak 209 buah, dan wisata budaya sebanyak 485 buah.

Objek wisata yang penting di Jakarta adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang mulai dibangun. pada Repelita II dan secara bertahap pembangunannya dilanjutkan.

Untuk memudahkan wisatawan berkunjung ke Indonesia, pada tahun 1983 telah ditetapkan sebanyak 26 negara dibebaskan dari keharusan memiliki visa dan ditetapkan 9 bandar udara serta 7 pelabuhan laut sebagai pintu masuk. Jumlah negara yang bebas visa telah bertambah menjadi 46 negara dan pintu masuk wisatawan telah bertambah menjadi 13 bandar udara serta 16 pelabuhan laut.

Sementara itu Undang Undang tentang Kepariwisataan No.9 Tahun 1990 yang sudah dirintis sejak Repelita I telah disahkan pada bulan September 1990. Dengan demikian pembinaan kepariwisataan dapat dilakukan dengan lebih mantap atas dasar landasan hukum yang kuat.

Kegiatan konvensi di Indonesia berkembang dengan pesat, yaitu dari 273 kegiatan dengan mengikutkan 56.900 peserta pada tahun 1986, meningkat menjadi 642 kegiatan dengan 127.195 peserta pada tahun 1993/94. Dewasa ini telah ada 5 perusahaan yang bergerak

XV/8

dalam usaha jasa konvensi, dan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah.

Sarana konvensi di Indonesia telah berkembang, antara lain yang memenuhi persyaratan internasional adalah Jakarta Convention Center, Jakarta International Trade Center, dan Bali International Convention Center: Di samping itu, sejumlah 51 hotel berbintang 3, 4 dan 5 kelas internasional di Jakarta, Bali, dan berbagai daerah lain juga telah memiliki fasilitas untuk pengaturan ruang pertemuan dalam bentuk dan kapasitas berupa teater sebanyak 69.825 tempat duduk, kelas sebanyak 34.795 tempat duduk, bangket sebanyak 33.558 tempat duduk dan resepsi sebanyak 69.608 tempat duduk. Untuk meningkatkan mutu tenaga kerja di bidang konvensi, dalam 2 tahun terakhir ini telah diadakan kursus tingkat dasar yang diikuti 213 orang dan tingkat lanjutan sebanyak 110 orang.

Pemerintah bersama dengan swasta dan unit usaha milik pemerintah telah semakin aktif berpartisipasi dalam kegiatan promosi di bursa pariwisata internasional utama, seperti Internationale Tourismus Borse (ITB) di Berlin, World Travel Market (WTM) di London, Borse Internationale Turismo (BIT) di Milan Italia, Konichiwa Travel Fair di Tokyo, Inter Tour Hong Kong, Brussel Trade, Pacific and Asia Tourism Association (PATA), Mart & Conference dan Asean Travel Forum (ATF). Di samping itu, telah dilaksanakan pengiriman misi pemasaran atau promosi ke sumber pasar wisatawan mancanegara serta telah diikuti pula program promosi Tourism, Trade, and Investment (TTI) yang dikoordinasikan oleh Departemen Perdagangan tahun 1992 di Finlandia, Norwegia, Denmark, dan Swedia; serta TTI tahun 1993 di Jerman, Inggris dan Swiss. Pada tahun 1989 Indonesia telah turut dalam promosi budaya di kota-kota besar Amerika Serikat melalui Festival Kebudayaan Indonesia Amerika Serikat (KIAS). Berbagai arena promosi dengan

XV/9

jangkauan yang lebih luas telah diikuti pula, antara lain Universal Expo Osaka, Jepang (1970), Tsukuba, Jepang (1985), Vancouver, Kanada (1986), Brisbane, Australia (1985), Tournament of Roses, Pasadena, Amerika Serikat (sejak tahun 1990), dan Universal Expo, Sevilla, Spanyol (1992).

Indonesia telah memperoleh kepercayaan untuk menyelenggara-kan acara kepariwisataan (event) internasional yang penting di dalam negeri dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti Konferensi dan Pata Mart 1974; Konferensi Pata 1991; Pata Board of Director Meeting 1991; Pata Mart 1991; Pata World Chapter Congress 1991; serta ATF tahun 1986 dan 1991; dan General Assembly-World Tourism Organization (WTO) ke 10 tahun 1993 di Bali.

Indonesia telah menjadi anggota beberapa badan internasional di bidang kepariwisataan, seperti WTO, Association of Southeast Asian Nations Sub-Committee on Tourism (ASEAN SCOTT), PATA, International Congress and Convention Association (ICCA), dan ASEAN Association of Convention & Visitor Bureaus (AACVB). Di samping itu juga Indonesia telah terpilih sebagai Presiden WTO untuk periode tahun 1993/94 dan Ketua PATA untuk periode tahun 1994/95.

Sebagai hasil berbagai upaya tersebut, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), yaitu orang asing yang melakukan kunjungan wisata ke Indonesia telah meningkat. Bila pada awal Repelita I kunjungan wisman baru mencapai 86 ribu orang, pada tahun kelima Repelita V telah mencapai 3,4 juta orang. Hal ini telah melampaui sasaran Repelita V, yaitu sebesar 2,5 juta orang.

Dalam urutan perolehan devisa bagi negara, pada tahun 1985 pariwisata masih menduduki urutan setelah minyak dan gas bumi,

XV/l0

kayu, karet, tekstil, dan kopi. Pada tahun 1993 pariwisata telah meningkat posisinya menjadi penghasil devisa terbesar sesudah minyak dan gas bumi, tekstil, dan kayu, dengan perolehan devisa sebesar US$3.984,7 juta. Peningkatan perolehan devisa tersebut bukan hanya karena meningkatnya jumlah wisman yang datang, melainkan juga disertai dengan bertambahnya tingkat pengeluaran.

Pada tahun 1984/85 sekitar 57,9 juta wisatawan nusantara (wisnus), yaitu penduduk Indonesia yang melakukan kunjungan wisata, melakukan perjalanan untuk mengunjungi objek dan Jaya tarik wisata di dalam negeri. Pada tahun 1993/94 jumlah kunjungan wisnus tersebut telah meningkat menjadi 85,6 juta dan sebagian terdiri dari remaja serta pemuda.

Dengan makin berkembangnya kegiatan ekonomi, khususnya kepariwisataan selama ini, jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap oleh usaha pariwisata pada tahun 1993/94 telah mencapai lebih dari 1,9 juta orang.

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan pentingnya pembangunan pariwisata telah dilakukan Kampanye Nasional Sadar Wisata yang dimulai pada tahun 1990, Tahun Kunjungan Indonesia 1991, Tahun Kunjungan ASEAN 1992, dan Tahun Lingkungan Hidup 1993.

Pariwisata kini telah menjadi penghasil devisa yang besar dan telah turut memberikan andil dalam memperluas kesempatan kerja, meningkatkan dan memeratakan pendapatan masyarakat di daerah, serta memperkenalkan Indonesia di luar negeri.

Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 amat menjiwai pembangunan pos dan telekomunikasi yang merupakan

XV/11

kegiatan pelayanan lalu-lintas berita, uang dan barang serta merupakan jaringan yang penting dan mempunyai jangkauan terhadap perkembangan kehidupan manusia dan menjadi faktor yang mempengaruhi proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pembangunan pos dan telekomunikasi telah meningkatkan penyebaran informasi dalam segala aspek kehidupan seperti di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Di samping mem-punyai fungsi sosial, menghilangkan isolasi daerah terpencil, pos dan telekomunikasi juga merupakan alat terdepan dalam upaya menghimpun dan menyalurkan potensi kegiatan ekonomi dari dan kepada seluruh lapisan serta anggota masyarakat. Penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan ruang udara dan angkasa yang di dalamnya terdapat spektrum frekuensi radio, orbit geostasioner, dan orbit lainnya yang merupakan sumber daya alam yang makin terbatas. Penggunaan gelombang radio dan pemanfaatan orbit satelit sangat berkaitan dengan nilai ekonomi, keselamatan jiwa manusia dan liana benda serta keamanan negara.

Sejak awal pergerakan kemerdekaan peranan pos dan telekomunikasi sudah menonjol. Peranannya amat besar dalam penyiaran, perekaman dan penyebar luasan pesan proklamasi kemerdekaan. Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon (PTT) mengguna-kan pemancar Domai Jakarta melalui getaran elektro magnetik mengumandangkan berita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pagi hari jam 10.00 pada tanggal 17 Agustus 1945. Berita proklamasi kemerdekaan ini diteruskan melalui telepon, telegraph, radio dan pos secara beranting ke seluruh kantor PTT. Pada hari yang sama, berita proklamasi kemerdekaan disiarkan ke luar negeri dari Stasiun Radio Pemancar PTT di Dayeuh Kolot, Bandung.

Pada tahun 1947 Jawatan PTT telah memiliki 474 buah kantor pos yang sebagian besar berupa kantor pos kecil dalam berbagai kelas

XV/12

serta 232 kantor pos kereta api. Pada tahun 1953 dimulai otomatisasi sentral telepon Bandung Centrum berkapasitas 4.000 satuan sambungan (ss) dan Bandung Hegarmanah berkapasitas 500 ss. Pemilu pertama dan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 merupakan tantangan besar bagi PTT, yang dapat diatasi dengan baik. Untuk keperluan Konferensi Asia Afrika telah dipasang 12 kanal transmisi Jakarta - Bandung. Hingga tahun 1958 kapasitas telepon telah mencapai 84.785 ss.

Pada tahun 1961 dibangun untuk pertama kali jaringan telex di Jakarta yang menghubungkan 16 kota dengan kapasitas 480 ss. Sampai tahun 1966 jaringan ini telah diperluas sehingga meliputi 23 kota berkapasitas 1.000 ss.

Pada tahun 1961 didirikan Perusahaan Negara (PN) Pos dan Telekomunikasi sebagai perusahaan pelaksana operasional pembangunan pos dan telekomunikasi di bawah pembinaan Kementerian Pos dan Telekomunikasi Kabinet Dwikora dan dikepalai oleh seorang Deputi Menteri yang berada di lingkungan Kementerian Perhubungan.

Pada tahun 1965 PN Pos dan Telekomunikasi dipisah menjadi dua perusahaan yaitu PN Pos dan Giro serta PN Telekomunikasi. Pada tahun 1966 dibentuk Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang berada di lingkungan Departemen Perhubungan yang kemudian menjadi pembina kedua perusahaan negara tersebut.

Dalam masa Orde Baru pembangunan pos dan telekomunikasi telah meningkat lebih pesat lagi.

Pembangunan pos dan giro dalam PJP I telah memperluas jaringan, meningkatkan mutu, serta mengembangkan jenis pelayanan

XV/13

pos dan giro yang makin tepat, cepat, aman, murah serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, baik yang tinggal di perkotaan, perdesaan, daerah permukiman baru, daerah transmigrasi, daerah terpencil maupun daerah-daerah perbatasan di seluruh wilayah Nusantara, serta juga memperluas hubungan dengan dunia internasional.

Bila pada awal Repelita I sarana produksi berupa kantor pos dan giro berjumlah 1.076 buah, maka pada tahun kelima Repelita V telah mencapai 4.673 buah.

Pelayanan pos bergerak juga telah berhasil ditingkatkan. Bila pada awal Repelita I Baru ada 88 trayek, dan pada akhir Repelita I menjadi 111 trayek, maka pada akhir tahun 1993/94 telah mencapai 5.836 trayek. Sampai tahun 1993/94 sebanyak 3.774 ibukota kecamatan dan 970 lokasi transmigrasi telah terjangkau dengan fasilitas fisik pelayanan pos yang berupa kantor pos atau pos bergerak atau unit pelayanan pos lainnya.

Mulai tahun 1971 telah diperkenalkan pelayanan Surat Pos Kilat Khusus yang pada tahap pertama diberlakukan antar 23 kantor pos yang dianggap cukup memadai frekuensi perhubungannya, lancar dan mantap waktu tempuhnya. Selanjutnya mulai tahun 1989 telah dikembangkan berbagai jasa pelayanan baru yaitu pos patas, wesel pos elektronik, cek pos wisata, surat elektronik, biro faksimile, express mail service (EMS), pelayanan jejak lacak kiriman peka waktu, standarisasi sampul surat, serta sistem kode pos.

Pada tahun 1984 ditetapkan Undang-Undang Nomor 6 tentang Pos yang kemudian dijabarkan dalam PP Nomor 24 tentang Perum Pos dan Giro dan PP Nomor 37 Tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Pos.

XV/14

Mekanisasi dan otomatisasi pos telah mulai dilaksanakan di kota besar dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan, terutama dalam hal kecepatan pemrosesan surat pos. Pada bulan Januari 1992 diresmikan penggunaan gedung pos Ibukota yang telah menggunakan teknologi modern untuk mekanisasi dan otomatisasi pelayanan jasa pos dan giro. Kemudian pada bulan Agustus 1992 diresmikan Sistem Perposan Nasional (Sisposnas) yaitu suatu sistem tatanan terpadu perposan di Indonesia yang diharapkan dapat menjalankan misi perposan nasional dan mewujudkan kinerja yang lebih optimal.

Selama Repelita V saja surat pos meningkat rata-rata 10,2 persen per tahun; paket pos juga meningkat rata-rata 9,0 persen per tahun; wesel pos meningkat rata-rata 6,0 persen per tahun dalam jumlah lembar yang dikirim dan 16,5 persen rata-rata per tahun dalam nilai uang; serta giro pos meningkat rata-rata 4,3 persen per tahun.

Indonesia berpartisipasi aktif dalam berbagai organisasi kerjasama pos internasional, baik sebagai anggota dari badan postel PBB yaitu Universal Postal Union (UPU) maupun Asia Pacific Postal Union (APPU). Sejak bulan Nopember 1970 Indonesia telah masuk dan berpartisipasi aktif dalam Asian Oceanic Postal Union (AOPU), yaitu organisasi pos Asia dan Oceania yang juga merupakan negara-negara anggota UPU yang disyahkan keanggotaannya dalam kongres AOPU II di Tokyo Jepang.

Sejak terbentuknya Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI), pada tahun 1985 perkembangan filateli semakin maju. Sampai dengan bulan Maret 1994 anggota perkumpulan ini telah mencapai 149.634 orang. Prangko Indonesia kini sudah banyak digemari oleh filatelis internasional.

XV/15

Di bidang telekomunikasi, pembangunan selama PJP I telah meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan, dengan perluasan jaringan dan sambungan telekomunikasi, serta makin meningkat efisiensinya. Fasilitas telekomunikasi umum makin tersebar dan menjangkau masyarakat banyak baik di perkotaan, perdesaan maupun di daerah-daerah terpencil.

Pada awal Repelita I baru tersedia kapasitas telepon sebanyak 172.000 ss. Sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) masih harus dilaksanakan melalui petugas radio atau kawat (operator) dan baru dapat dilaksanakan antara Bandung-Jakarta saja. Telekomunikasi internasional dimulai dengan dioperasikannya Stasiun Bumi Jatiluhur pada tahun 1969. Telekomunikasi dalam negeri mengalami kemajuan yang pesat sejak diperkenalkannya Sistem Komunikasi Satelit Domestik dengan Palapa Al sebagai satelit generasi pertama pada tahun 1976. Sejak itu Indonesia mulai memasuki era satelit, yang merupakan loncatan besar dalam penerapan teknologi telekomunikasi di Indonesia.

Sampai tahun 1993/94 telah diluncurkan dua buah satelit. Palapa A dan empat buah satelit Palapa B sebagai generasi kedua pengganti generasi pertama. Saat ini beroperasi tiga buah satelit ruang angkasa, yaitu satelit Palapa B2P, B2R dan B4 dengan kapasitas 72 transponder dan 277 buah stasiun bumi sebagai fasilitas pendukungnya. Di samping itu, satelit Palapa B1 masih dimanfaatkan dan dikelola oleh pihak swasta. Satelit Palapa bukan saja menjadi tulang punggung telekomunikasi Indonesia, tetapi juga digunakan oleh negara-negara ASEAN dan beberapa negara lain seperti Australia, Papua Nugini, Selandia Baru, dan Vietnam.

Selain pembangunan transmisi satelit juga telah dilakukan pembangunan transmisi telekomunikasi teresterial. Pada awal tahun

XV/16

1973 telah diselesaikan pembangunan Transmisi Jawa - Bali, yang dilanjutkan dengan Gelombang Mikro Trans Sumatera, Troposcatter Surabaya-Banjarmasin; Gelombang Pendek Jakarta - Medan, Jakarta - Pontianak, Ujung Pandang - Manado, Ujung Pandang - Kendari, Manado - Gorontalo, dan Ambon - Ternate; Gelombang Mikro Backbone dan Spur Route; Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Medan - Penang, South East Asia - Middle East - West Europe (SEA-ME-WE) I dan II, serta Australia - Indonesia - Singapura; Sistem Komunikasi Serat Optik (SKSO) Jakarta - Bandara Sukarno Hatta, Jakarta - Bandung; Gelombang Mikro Digital Cross Kalimantan, Trans Sulawesi, Nusa Tenggara Area; Telekomunikasi Remote I,II, dan III; serta Telekomunikasi Rural I, II, dan III.

Pada awal Repelita I kapasitas telepon baru mencapai 172.000 satuan sambungan (ss) yang terdiri dari 77.700 ss otomat dan 94.300 ss manual. Pada akhir Repelita V kapasitas telepon sudah mencapai lebih dari 3 juta ss atau berhasil ditingkatkan menjadi lebih dari 17 kali lipat, terdiri atas 2.995.694 ss otomat dan hanya sebagian kecil yaitu 17.199 ss yang masih manual.

Fasilitas telepon tersebar di semua propinsi, yaitu di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebanyak 30,5 ribu ss; Sumatera Utara 176,5 ribu ss; Sumatera Barat 55,0 ribu ss; Riau 62,5 ribu ss; Jambi 19,2 ribu ss; Bengkulu 12,5 ribu ss; Sumatera Selatan 64,6 ribu ss; Lampung 46,5 ribu ss; Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1.167,9 ribu ss; Jawa Barat 359,8 ribu ss; Jawa Tengah 230,8 ribu ss; Daerah Istimewa Yogyakarta 28,1 ribu ss; Jawa Timur 367,1 ribu ss; Bali 72,9 ribu ss; Nusa Tenggara Barat 14,4 ribu ss; Nusa Tenggara Timur 17,5 ribu ss; Timor-Timur 3,8 ribu ss; Kalimantan Barat 22,8 ribu ss; Kalimantan Tengah 11,7 ribu ss; Kalimantan Selatan 29,2 ribu ss; Kalimantan Timur 41,7 ribu ss; Sulawesi Utara 25,5 ribu ss; Sulawesi Tengah 12,2 ribu ss; Sulawesi Tenggara 14,0 ribu ss;

XV/17

Sulawesi Selatan 69,8 ribu ss; Maluku 26,9 ribu ss; dan Irian Jaya 29,5 ribu ss.

Dari 2.995.694 ss otomat, hampir 80 persen atau 2.389.436 ss sudah memakai teknologi digital, bukan lagi analog. Tambahan pula, kini seluruh ibukota propinsi dan kabupaten telah berhasil dihubungkan dengan telepon otomat.

Telepon umum juga memperoleh perhatian yang besar. Apabila pada tahun 1984/85 saat pembangunannya dimulai baru terdapat 2.174 unit telepon umum coin (TUC), pada akhir tahun 1993/94 telah meningkat menjadi 43.411 unit TUC dan 10.424 unit telepon umum kartu (TUK). Selain itu, warung telekomunikasi (wartel) juga terus bertambah jumlahnya, sesuai dengan meningkatnya kebutuhan khususnya di lokasi-lokasi perdagangan, industri, pariwisata, pusat kegiatan masyarakat (pusat perbelanjaan, terminal-terminal angkutan, kampus dan lain-lain) serta daerah rawan bencana. Wartel yang diresmikan penggunaannya pertama kali pada tahun 1984, kini telah berkembang menjadi 1.257 buah.

Mengingat perkembangan telekomunikasi yang semakin kompleks, dianggap perlu untuk mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi untuk umum. Sejak bulan Januari 1981 secara resmi dilakukan pemisahan antara penyelenggaraan telekomunikasi untuk umum dalam negeri, yaitu kepada Perumtel dan penyelenggaraan telekomunikasi untuk umum internasional kepada perusahaan PT. Indosat (Persero).

Di samping itu sampai tahun 1993/94 telah dibangun sistem telekomunikasi bergerak (STB) analog sebanyak 88.692 ss dan radio panggil untuk umum (RPUU) sebanyak 87.118 pelanggan. Demikian

XV/18

pula telah dikembangkan pelayanan sambungan langsung internasional (SLI) dari 115 kota di Indonesia ke 208 negara di luar negeri.

Berbagai upaya meningkatkan peran serta swasta dalam pembangunan telekomunikasi telah menunjukkan kemajuan. Melalui kerja sama pola bagi hasil (PBH) selama Repelita V berhasil dibangun sambungan telepon sebanyak 779.000 ss yang tersebar di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.

Dengan, bermodalkan hasil-hasil pembangunan dalam PJP I, pembangunan bidang pariwisata, pos dan telekomunikasi dilanjutkan dan ditingkatkan dalam PJP II, dimulai dengan Repelita VI.

B. PARIWISATA

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan kepariwisataan pada akhir Repelita VI adalah, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun 12,9 persen, jumlah kunjungan wisman diperkirakan mencapai 6,5 juta sehingga dapat menghasilkan penerimaan devisa sekitar US$ 9 miliar. Jumlah kunjungan wisnus diperkirakan 84,2 juta dengan pengeluaran lebih dari Rp 9 triliun. Dengan demikian, akan terbuka 900 ribu lapangan kerja baru di bidang kepariwisataan.

Untuk mencapai sasaran tersebut, pokok kebijaksanaan kepariwisataan dalam Repelita VI meliputi berbagai upaya untuk meningkatkan pariwisata sebagai sektor andalan, meningkatkan daya saing kepariwisataan nasional, mengembangkan pariwisata nusantara, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam kepariwisataan,

XV/19

dan meningkatkan peran serta koperasi, usaha swasta terutama menengah dan kecil, serta masyarakat pada umumnya.

Dalam pelaksanaan Repelita VI pokok kebijaksanaan tersebut dituangkan ke dalam dua program pokok pembangunan yaitu program pemasaran pariwisata dan program pengembangan produk wisata; serta beberapa program penunjang, yaitu program pengendalian pencemaran lingkungan hidup; program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pariwisata; program penelitian dan pengembangan pariwisata; program pembangunan prasarana pariwisata; serta program pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan kesenian.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

Pembangunan kepariwisataan Indonesia dalam tahun pertama Repelita VI yang dilakukan melalui beberapa program pokok dan program penunjang pelaksanaannya adalah sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pemasaran Pariwisata

Program pemasaran pariwisata terdiri dari dua kegiatan utama yakni pemasaran dalam negeri dan pemasaran luar negeri.

a) Pemasaran Dalam Negeri

Kegiatan pemasaran dalam negeri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kepariwisataan. Selain itu juga ditujukan untuk memperkenalkan objek dan daya tarik wisata

XV/20

serta sarana pendukungnya kepada masyarakat Indonesia. Kegiatan yang telah dilaksanakan dapat diuraikan sebagai berikut.

Dalam rangka pengembangan pariwisata nusantara melalui pembinaan masyarakat telah dibentuk Kelompok Sadar Wisata (pokdarwis) yang hingga tahun 1994 sudah berkembang menjadi 625 kelompok yang tersebar di seluruh Indonesia, meningkat dari 537 kelompok pada tahun 1993. Untuk mendorong wisatawan pemuda dilanjutkan pembangunan youth camp di Lampung pada khususnya, dan kegiatan wisata remaja dan pemuda pada umumnya di seluruh propinsi untuk lebih mengenal potensi objek dan days tarik wisata yang tersebar di seluruh tanah air.

Seiring dengan itu dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan pentingnya pembangunan pariwisata telah dilanjutkan Kampanye Nasional Sadar Wisata 1994 dengan tema Tahun Peranan Wanita Dalam Pembangunan Pemuda dan Olahraga.

Berbagai acara kepariwisataan nasional telah diselenggarakan di berbagai daerah antara lain seperti: Festival Danau Toba di Parapat; Festival Krakatau di Lampung; Festival Banten 1994, yang terdiri dari kegiatan Forum Ilmiah, Pameran Seni dan Budaya; Lomba Renang dan Dayung Selat Sunda; Pameran Pekan Raya Jakarta; Festival Borobudur di Candi Borobudur; Ramayana Ballet di Yogyakarta; Festival Bromo di Gunung Bromo; dan Festival Bunaken di Sulawesi Utara.

Untuk meningkatkan mutu berbagai jasa pelayanan pariwisata telah dilakukan pembinaan kepariwisataan di 27 propinsi, antara lain mencakup kegiatan klasifikasi hotel, restoran, usaha jasa pariwisata, dan jasa impresariat.

XV/21

Melalui berbagai upaya tersebut diatas, maka perkembangan kunjungan wisnus yang pada tahun terakhir Repelita V berjumlah 85,6 juta kunjungan, pada tahun pertama Repelita VI telah meningkat menjadi 86,5 juta kunjungan, atau meningkat hampir 1,1 persen dan sebagian besar terdiri dari remaja serta pemuda.

b) Pemasaran Luar Negeri

Kegiatan pemasaran luar negeri bertujuan untuk memperkenalkan objek dan daya tarik wisata Indonesia di luar negeri. Untuk itu berbagai kegiatan yang telah dilakukan antara lain adalah sebagai berikut.

Untuk mendatangkan lebih banyak wisman dari pasar yang potensial di luar negeri pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan peningkatan promosi pariwisata melalui tujuh kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri, yaitu di London, Frankfurt, Los Angeles, Tokyo, Taipei, Singapura, dan Sydney.

Seiring dengan itu mulai dilaksanakan pula promosi pariwisata melalui kegiatan special mission, exhibition, sales mission, dan melalui media massa oleh Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang dibentuk pada bulan September 1989. Pembiayaan promosi oleh BPPI ini berasal dari 20 persen penerimaan Pajak Pembangunan (PB) I pada 10 DTW, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Oleh masing-masing Pemerintah Daerah dana tersebut disetorkan secara periodik ke Rekening Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. Masih dalam rangka promosi, juga telah diundang travel writer dari luar negeri ke Jakarta dan Jawa Barat pada bulan Mei 1994.

XV/22

Dalam acara kepariwisataan di luar negeri telah diikuti beberapa kegiatan yang penting, antara lain PATA Travel Mart, April 1994 di Seoul; International Travel Exposition, Mei 1994 di Hongkong; Travel Mart, Juni 1994 di Davao, Philipina; Holiday and Pavel Show 1994, Juni 1994 di Sydney; World Travel Fair, Desember 1994 di Tokyo; serta ITB, Maret 1995 di Berlin.

Di samping ikut serta pada acara kepariwisataan di luar negeri juga telah dilaksanakan acara kepariwisataan internasional di Indonesia, yaitu ICCA General Assembly bulan Oktober 1994, PATA Life Member dan PATA Youth Forum bulan Desember 1994 di Jakarta, Indonesia Open Nias International Surfing Championship 1994, tanggal 21-24 Juli 1994 di Pantai Sorake Pulau Nias, Kompetisi Gantole Internasional Hang Gliding (Gantole) Championship 1994, tanggal 21-30 Agustus 1994 di Wonogiri Jawa Tengah, serta Lomba Mancing Internasional tanggal 24-27 Nopember 1994 di Pelabuhan Ratu.

Dalam tahun 1994/95 kegiatan wisata konvensi telah meningkat, antara lain tercatat 670 kali penyelenggaraan acara Meetings, Incentives, Congress, and Exhibitions (MICE) dengan peserta sebanyak 134.178 orang, yang berarti kegiatannya naik 4,4 persen dan jumlah pesertanya naik sebesar 5,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Dewasa ini sudah ada 17 perusahaan yang bergerak dalam usaha jasa konvensi, yang berarti meningkat menjadi 3,4 kali lipat dari tahun 1993/94.

Dalam rangka promosi wisata konvensi telah diikuti secara aktif acara promosi Incentive Pavel and Meeting Executive Show (ITME) di Chicago, Incentive Travel and Corporate Meeting Asia (IT & CMA) di Hongkong, Australia International Meeting and Exhibition

XV/23

(AIME) di Australia, dan Europe Incentive Bussines and Travel Marketing (EIBTM) di Geneva.

Melalui berbagai upaya tersebut di atas, jumlah kunjungan wisman meningkat secara pesat. Bila pada tahun terakhir Repelita V berjumlah 3.400.804 kunjungan, maka pada akhir tahun pertama Repelita VI telah mencapai 4.069.478 kunjungan yang berarti suatu kenaikan hampir 20 persen. Penerimaan devisa juga meningkat dari US$ 3.984,7 juta menjadi sebesar US$ 4.860,7 juta atau suatu peningkatan hampir 22 persen sehingga menempatkan pariwisata sebagai penghasil devisa utama setelah minyak dan gas bumi serta tekstil. Perkembangan kunjungan wisman tersebut dapat dilihat pada Tabel XV-1.

2) Program Pengembangan Produk Wisata

Program pengembangan produk wisata bertujuan untuk meningkatkan ragam, daya tampung, mutu objek dan daya tarik wisata serta sarana pendukungnya agar menarik untuk dikunjungi. Program ini antara lain telah dilaksanakan melalui berbagai kegiatan sebagai berikut.

Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan penyusunan perencanaan pengembangan kawasan, objek dan daya tarik wisata, seperti studi dampak/ekonomi pariwisata di Indonesia, penyusunan program tindak (action program) pariwisata di beberapa propinsi dalam rangka kerja sama antar negara, implementasi sistem perencanaan terpadu di lingkungan Direktorat Jenderal Pariwisata, pengembangan sistem informasi manajemen pariwisata, pengembangan pola pembinaan usaha kecil dan masyarakat di sekitar objek dan daya tarik wisata serta kawasan wisata, penyusunan rencana pengembangan kawasan (RPK) Teluk Tapian Nauli Sumatera Utara, RPK wisata Bahorok

XV/24

Sumatera Utara, perencanaan pengembangan kepariwisataan Riau Kepulauan (khususnya Batam, Rempang, dan Galang atau Barulang), RPK prioritas di Tanjung Balai Karimun, penyusunan RIPP Lampung, penyusunan rencana pengembangan pariwisata terpadu Kepulauan Seribu Jakarta, RPK Merapi dan Merbabu Jawa Tengah, RPK Pantai Utara Jawa Tengah, penyusunan studi kelayakan pengembangan kawasan Ratu Boko Yogyakarta, serta RPK prioritas dan jalur wisata Sedudo Jawa Timur.

Selanjutnya juga telah dilakukan kegiatan-kegiatan untuk merintis terjalinnya kerjasama kepariwisataan dengan berbagai negara di ASEAN seperti kerja sama Singapura, Johor dan Riau (Sijori) dalam hal pengembangan pemasaran dan promosi, peningkatan hubungan transportasi, dan program paket wisata; mengembangkan kerja sama Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle (IMT-GT) dalam rangka pemasaran, pengembangan produk dan sumber daya manusia beserta pengaturannya; mulai membuka kerja sama Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippina - East Asean Growth Area (BIMP-EAGA) yang mencakup promosi bersama; mengembangkan kerja sama Indonesia-Singapura dalam hal penyaluran wisatawan yang datang ke Singapura untuk berkunjung ke Indonesia; serta mengembangkan konsep berwawasan lingkungan. Juga telah diupayakan untuk meningkatkan kerjasama dengan berbagai instansi terkait antara lain melalui forum konsolidasi pariwisata, pertukaran informasi dan memperluas peran swasta dalam pengembangan pariwisata, dan penyuluhan kepada masyarakat agar turut aktif dalam pembangunan kepariwisataan.

Pada tahun 1994/95 telah dilakukan identifikasi objek dan daya tarik wisata budaya baru sebanyak 403 buah. Dengan demikian secara keseluruhan objek dan daya tarik wisata yang telah berhasil dan sebagian telah dikembangkan berjumlah 1.848 buah tersebar di seluruh wilayah tanah air, terdiri dari objek dan daya tarik wisata

XV/25

alam sebanyak 778 buah, agrowisata sebanyak 209 buah, dan wisata budaya sebanyak 861 buah.

Dalam tahun pertama Repelita VI juga telah dilakukan penambahan daya tampung akomodasi penginapan sebanyak 4.408 kamar, sehingga secara keseluruhan berjumlah 176.342 kamar, yang terdiri dari kamar hotel berbintang sebanyak 57.398 kamar dan kamar hotel tidak berbintang sebanyak 118.944 kamar. Di bidang perhotelan telah digunakan secara meluas sistem komputerisasi dan hingga kini terdapat 27 buah jaringan International Chain Hotel dan 8 buah National Chain Hotel yang tersebar di seluruh Indonesia.

Usaha perjalanan wisata juga telah bertambah sebanyak 226 buah, sehingga jumlahnya secara keseluruhan mencapai 1.765 buah. Jumlah pimpinan perjalanan dalam tahun 1994/95 masih tetap 681 orang. Namun pramuwisata telah bertambah sebanyak 375 orang, sehingga jumlahnya mencapai 6.854 orang.

Selain itu perluasan pintu masuk internasional melalui udara telah bertambah jumlahnya dari 13 menjadi 19 bandar udara dan diharapkan akan dapat lebih mendukung anus kunjungan wisatawan terutama dari luar negeri.

Upaya meningkatkan peran serta koperasi, swasta, dan masyarakat dilaksanakan antara lain dengan cara mengikut sertakannya pada saat pembukaan jalur-jalur wisata baru serta melalui lembaga usaha pariwisata, perusahaan penerbangan dan media cetak. Upaya tersebut telah membantu biro-biro perjalanan wisata dalam penyusunan paket-paket wisata yang baru.

Dalam hal pembinaan pengusaha kecil dan koperasi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang kepariwisataan seperti PT

XV/26

HII, PT Natour, dan PT BTDC telah disalurkan dana sebesar Rp. 744,6 juta kepada 75 pengusaha kecil dan koperasi, sehingga secara,

kumulatif sampai dengan tahun 1994/95 jumlah dana yang telah disa -lurkan adalah sebesar Rp. 2.397,1 juta kepada 275 pengusaha kecil dan koperasi.

b. Program Penunjang

1) Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup

Tujuan program pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup di daerah objek dan daya tarik wisata serta sarana pendukungnya.

Kegiatan yang telah dilakukan dalam tahun 1994/95 adalah penyusunan dan penyuluhan petunjuk teknis Amdal, serta pemantauan dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup beberapa objek dan daya tarik wisata antara lain di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Sebagai penghargaan atas usaha pelestarian lingkungan dan warisan. budaya, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko telah menerima PATA Gold Award pada tahun 1994 di Seoul, Korea Selatan.

2) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pariwisata

Program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pariwisata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia pariwisata dengan kemampuan yang memadai.

XV/27

Dalam pelaksanaannya telah dilakukan pembinaan, penyuluhan dan pelatihan di bidang kepariwisataan melalui beberapa fasilitas pendidikan dan pelatihan pariwisata di Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata (BPLP) Medan, Bandung, Bali, dan Ujung Pandang. Seiring dengan itu telah dilakukan pula peningkatan BPLP di Bandung dan Bali menjadi Sekolah Tinggi Pariwisata (STP), sehingga nantinya tidak hanya menghasilkan tenaga profesional di bidang keahlian teknis saja tetapi juga keahlian manajerial bidang kepariwisataan. Di samping itu berbagai jenjang dan jenis pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan telah menghasilkan tambahan tenaga kerja pariwisata tahun 1994/95 yang diperkirakan sebanyak 138.683 orang atau meningkat sebesar 11,9 persen, bila dibanding tahun 1993/94 yang berjumlah sebesar 123.955 orang.

3) Program Penelitian dan Pengembangan Pariwisata

Tujuan program penelitian dan pengembangan pariwisata adalah mengembangkan penelitian pariwisata yang dapat mendukung perumusan kebijaksanaan pariwisata.

Dalam pelaksanaannya telah dilakukan penyusunan sistem informasi dan dokumentasi sumber daya manusia pariwisata; peningkatan tenaga peneliti serta pelaksanaan penelitian yang mampu mendukung pencapaian sasaran yang berkaitan dengan usaha pemasaran dan pengembangan produk wisata, seperti penelitian kebutuhan masyarakat akan pelayanan jasa pariwisata; dan penelitian wisman yang akan meninggalkan Indonesia.

4) Program Pembangunan Prasarana Pariwisata

Program pembangunan prasarana pariwisata bertujuan untuk mengoordinasikan pembangunan prasarana penunjang, seperti

XV/28

TABEL XV — 1PERKEMBANGAN

KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA 1)

1968, 1989/90 — 1993/94, 1994/95(orang)

Tahun Jumlah

Awal PJP—I1968 86.100

Repelita V1989/90 1.625.965

1990/91 2.177.160

1991/92 2.569.870

1992/93 3.064.161

1993/94 3.400.8042)

Repelita VI4.069.4783)

1994/95

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

XV/29

transportasi, telekomunikasi, listrik, dan air bersih dengan sektor terkait dalam rangka memenuhi kebutuhan pengembangan kegiatan pariwisata di daerah.

Melalui forum konsolidasi pariwisata yang baru saja terbentuk telah dirintis kerjasama antar sektor terkait untuk menyusun rencana pembangunan prasarana penunjang pariwisata.

5) Program Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian

Tujuan program pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan kesenian adalah memasyarakatkan nilai luhur budaya bangsa termasuk kesenian dalam upaya mempertebal jati diri dan kepribadian bangsa, dan sebagai daya tarik pariwisata.

Dalam tahun 1994/95 telah dilakukan pembinaan terhadap berbagai kelompok seni dan budaya yang ada dalam masyarakat serta telah dilakukan pula pengiriman misi-misi kebudayaan dan kesenian Indonesia pada acara kepariwisataan internasional di luar negeri.

C. POS DAN TELEKOMUNIKASI

1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan pos dan giro dalam Repelita VI adalah meningkatnya mutu pelayanan, efisiensi dan produktivitas, diversifikasi pelayanan, serta perluasan fasilitas fisik pelayanan pos ke seluruh ibu kota kecamatan dan telah mencakup sekurang-kurangnya 40 persen dari seluruh desa yang ada.

XV/30

Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijaksanaan pembangunan pos dan giro dalam Repelita VI meliputi berbagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan dan ketepatan waktu tempuh; meningkatkan mutu, jenis dan efisiensi pelayanan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan iptek; meningkatkan peran serta koperasi dan swasta; dan meningkatkan fungsi pos dan giro sebagai penghimpun dana masyarakat.

Sasaran pembangunan telekomunikasi dalam Repelita VI adalah pembangunan telepon sebanyak 5 juta ss sehingga kepadatan telepon menjadi 3,91 ss per 100 penduduk. Sasaran penting lainnya adalah meningkatnya mutu pelayanan serta jangkauan telekomunikasi sehingga meliputi seluruh ibu kota kabupaten, ibu kota kecamatan, dan 50 persen dari desa yang ada, serta meningkatnya jumlah telepon umum dan waning telekomunikasi.

Untuk mencapai sasaran tersebut, ditempuh berbagai kebijaksanaan, yang pokok-pokoknya adalah meningkatkan jangkauan pelayanan, meningkatkan pemerataan pelayanan, meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan peran serta koperasi dan swasta, meningkatkan efisiensi pelayanan, meningkatkan penguasaan dan penerapan iptek dalam penyelenggaraan telekomunikasi, meningkatkan industri telekomunikasi, meningkatkan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta meningkatkan telekomunikasi khusus dan telekomunikasi hankam.

Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh dalam pembangunan pos dan telekomunikasi selama Repelita VI dituangkan kedalam dua program pokok pembangunan yaitu program pengembangan jasa pos dan giro serta program pengembangan jasa telekomunikasi.

XV/31

Di samping kedua program pokok pembangunan pos dan telekomunikasi tersebut, juga dilaksanakan program penunjang yang meliputi program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, serta program penelitian dan pengembangan pos dan telekomunikasi.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI

Pembangunan pos dan telekomunikasi pada tahun pertama Repelita VI merupakan kelanjutan, perluasan dan peningkatan dari pembangunan tahap sebelumnya. Berbagai upaya tersebut dilaksanakan melalui program-program berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pengembangan Jasa Pos dan Giro

Program pengembangan jasa pos dan giro bertujuan untuk meningkatkan jangkauan, mutu, dan efisiensi pelayanan jasa pos dan giro. Program ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu pembangunan gedung kantor; pengadaan kendaraan; modernisasi loket; pengembangan dan perluasan jasa; dan peningkatan efisiensi, produktivitas serta lingkungan. Berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun 1994/95 dapat diikuti sebagai berikut.

a) Pembangunan Gedung Kantor

Pembangunan gedung kantor pos dan giro pada tahun 1994/95 meliputi penambahan jumlah kantor pos dan giro serta sentral-sentral pelayanan sebanyak 153 buah yang terdiri dari 55 buah kantor pos tambahan dan kantor pembantu, 1 sentral pengolahan pos, 4 kantor pos pembantu kelas IV, 12 unit loket ekstensi dan 81 unit sentral giro

XV/32

gabungan. Dengan penambahan fasilitas tersebut, maka jumlah kantor pos dan giro serta sentral pelayanan yang beroperasi mencapai 4.875 buah yang meliputi 311 buah kantor pos besar/kelas I, 3.321 buah kantor pos tambahan dan kantor pos pembantu, 4 sentral pengolahan pos, 870 kantor pos pembantu kelas IV, 9 sentral giro, 121 sentral giro gabungan, 230 loket ekstensi dan 9 kios benda pos dan meterai (BPM). Jangkauan pelayanan pos dan giro sampai tahun 1994/95 mencapai 3.785 kecamatan, dan 982 lokasi transmigrasi, baik yang telah diserahkan kepada pemda setempat maupun yang masih dalam binaan pusat. Hal ini berarti meningkat dibandingkan jangkauan pelayanan tahun 1993/94 yang baru mencapai 3.774 kecamatan dan 970 lokasi transmigrasi. Perkembangan pembangunan kantor pos dan sarana penunjangnya dapat dilihat pada Tabel XV-2.

b) Pengadaan Kendaraan

Armada pos keliling telah bertambah jumlahnya sebanyak 221 unit yang terdiri dari 41 unit pos keliling kota berupa kendaraan roda empat yang dapat memperluas pelayanan sebanyak 41 trayek baru dan 180 unit pos keliling desa berupa kendaraan roda 2 maupun perahu motor untuk melayani 338 trayek baru. Dengan armada tersebut, maka jumlah pos keliling kota menjadi 498 unit untuk melayani 767 trayek dan jumlah pos keliling desa sebanyak 2.643 unit untuk melayani 5.448 trayek.

c) Modernisasi Loket

Untuk menunjang modernisasi loket, peralatan komputer yang digunakan untuk pos kilat khusus, pos patas, kode pos, loket terpadu, EMS maupun surat elektronik pada tahun 1994/95 telah bertambah jumlahnya sebanyak 114 unit, sehingga secara keseluruhan jumlah komputer telah mencapai 795 unit. Hal ini didukung pula oleh

XV/33

peningkatan jumlah sarana dan peralatan penunjang lainnya yang dari tahun ke tahun kualitasnya semakin baik antara lain bis surat, timbangan elektronik untuk paket pos, timbangan surat, mesin cap dan mesin hitung uang yang secara khusus dipergunakan dan dioperasikan di kantor pos dan giro yang tersebar diseluruh tanah air. Tambahan perlengkapan tersebut telah meningkatkan penyediaan dan modernisasi pelayanan, meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan serta memperluas kesempatan untuk melakukan diversifikasi jenis pelayanan.

d) Pengembangan dan Perluasan Jasa

Pada tahun 1994/95 telah diberlakukan beberapa jenis jasa pelayanan baru seperti Ratron Simpati, yaitu telegram indah ucapan selamat; Pos Serba Ada (Poserba) yaitu belanja kebutuhan sehari-hari lewat pos; Belanja Lewat Pos (BLP) untuk produk-produk khusus; Bulk Mail Services (BMS) yaitu pelayananan khusus untuk kiriman bisnis; pelayanan penjualan telepon kartu; penjualan perangko melalui mesin otomatis; dan Pos Sekolah yaitu pelayanan jasa pos dan giro di sekolah-sekolah.

Untuk pembinaan koperasi dan swasta terutama skala usaha kecil dan menengah telah digalakan kerjasama dalam bentuk keagenan pelayanan pos dan giro ataupun penjualan benda pos. Jika sampai akhir tahun 1993/94 perusahaan jasa titipan berjumlah 384 buah, agen pos berjumlah 753 buah, agen pos desa berjumlah 220 buah dan dipo benda pos dan meterai berjumlah 4.705 buah., maka pada tahun 1994/95 perusahaan jasa titipan telah meningkat menjadi 451 buah, agen pos berjumlah 901 buah, agen pos desa berjumlah 240 buah dan dipo benda pos dan meterai berjumlah 4.815 buah. Selain itu jumlah mitra binaan baik koperasi maupun pengusaha kecil telah meningkat. Perum Pos dan Giro sebagai BUMN di bidang pos dan giro pada

XV/34

tahun 1994/95 telah menyalurkan dana sebesar Rp 2.946,5 juta kepada 2.095 pengusaha kecil dan koperasi. Dengan demikian secara kumulatif sampai dengan tahun 1994/95 jumlah dana yang telah disalurkan adalah sebesar Rp 6.223,9 juta kepada 2.338 pengusaha kecil dan koperasi.

Sementara itu pos dan giro sebagai suatu lembaga keuangan bukan bank yang berfungsi menghimpun dana masyarakat untuk turut serta mendukung pembiayaan pembangunan, dalam tahun pertama Repelita VI telah melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan tabungan masyarakat, giro dan cek pos, serta wesel pos yang secara berturut-turut meningkat sebesar 13,5 persen; 6,7 persen dan 11,2 persen dibandingkan tahun 1993/94. Selain itu pelayanan pengiriman jaminan hidup (jadup) bagi transmigran di daerah transmigrasi di seluruh Indonesia terus ditingkatkan melalui evaluasi dan pembinaan rumah pos di daerah-daerah transmigrasi antara lain di propinsi Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara.

Perkembangan produksi jasa pos dan giro dapat dilihat pada Tabel XV-3.

e) Peningkatan Efisiensi, Produktivitas serta Lingkungan

Dalam pelaksanaan transportasi pelayanan pos dan giro, kerjasama dengan perusahaan-perusahaan angkutan umum baik darat, laut, udara maupun media telekomunikasi terus ditingkatkan secara berkesinambungan atas dasar saling menguntungkan. Hal ini terutama dilakukan untuk angkutan pos jarak jauh baik di dalam negeri maupun dari atau ke luar negeri.

XV/35

Reklasifikasi kantor pos di seluruh Indonesia dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan setiap tahun pada seluruh kantor pos berbagai kelas baik besar maupun kecil. Hal ini ditujukan untuk mempermudah evaluasi terhadap efisiensi sumber daya yang harus disediakan dalam memenuhi jasa pelayanan sesuai kebutuhan.

Untuk menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi masyarakat dalam rangka membudayakan pelayanan jasa pos dan giro, upaya peningkatan kebersihan dan pemeliharaan sarana lingkungan di setiap kantor pos terus digalakan. Untuk itu pula pada setiap pembangunan kantor pos Baru diwajibkan membuat taman dan melakukan penghijauan lingkungan.

Pemasyarakatan filateli semakin ditingkatkan. Jumlah anggota PFI sampai tahun 1994/95 telah mencapai 198.449 orang meningkat 32,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tambahan pula, jenis serta kualitas prangko Indonesia semakin baik sehingga semakin digemari oleh filatelis internasional.

2) Program Pengembangan Jasa Telekomunikasi

Tujuan program pengembangan jasa telekomunikasi adalah meningkatkan jangkauan, mutu dan efisiensi pelayanan jasa telekomunikasi. Kegiatannya meliputi pembangunan sentral telepon, pembangunan sistem transmisi, peningkatan mutu pelayanan, pengendalian frekuensi radio dan pemanfaatan orbit satelit , peningkatan peran serta koperasi dan swasta, dan pengembangan standardisasi peralatan. Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam tahun pertama Repelita VI antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut.

XV/36

a) Pembangunan Sentral Telepon

Pada tahun 1994/95 telah dibangun peralatan sentral telepon baru sebanyak 1.070.951 ss atau sebesar 35,5 persen bila dibandingkan dengan kapasitas pada akhir Repelita V, sehingga kapasitasnya secara keseluruhan menjadi 4.083.844 ss. Jumlah penambahan peralatan telepon tersebut telah melebihi sasaran tahun 1994/95 yang berjumlah 833.400 ss. Untuk pertama kalinya dalam sejarah telekomunikasi dicapai pembangunan sentral telepon lebih dari satu juta ss per tahun. Dengan pembangunan tersebut, kepadatan telepon pada tahun pertama Repelita VI telah mencapai lebih dari 2,0 per 100 penduduk, dibandingkan dengan akhir Repelita V yang baru mencapai kurang dari 1,6 per 100 penduduk.

Dengan tambahan sentral telepon baru lebih dari satu juta ss tersebut, maka kapasitas telepon secara keseluruhan yang tersebar di semua propinsi hingga tahun 1994/95 adalah sebagai berikut: Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebanyak 44,1 ribu ss; Sumatera Utara 216,2 ribu ss; Sumatera Barat 60,9 ribu ss; Riau 103,0 ribu ss; Jambi 30,1 ribu ss; Bengkulu 17,3 ribu ss; Sumatera Selatan 83,1 ribu ss; Lampung 59,4 ribu ss; Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1.644,1 ribu ss; Jawa Barat 522,5 ribu ss; Jawa Tengah 262,2 ribu ss; Daerah Istimewa Yogyakarta 45,8 ribu ss; Jawa Timur 552,5 ribu ss; Bali 74,7 ribu ss; Nusa Tenggara Barat 16,5 ribu ss; Nusa Tenggara Timur 23,2 ribu ss; Timor Timur 4,0 ribu ss; Kalimantan Barat 22,9 ribu ss; Kalimantan Tengah 12,0 ribu ss; Kalimantan Selatan 38,4 ribu ss; Kalimantan Timur 40,0 ribu ss; Sulawesi Utara 28,7 ribu ss; Sulawesi Tengah 14,4 ribu ss; Sulawesi Tenggara 19,0 ribu ss; Sulawesi Selatan 94,9 ribu ss; Maluku 25,1 ribu ss; dan Irian Jaya 28,9 ribu ss.

XV/37

Jumlah telepon umum telah meningkat sebanyak 19.777 ss, sehingga jumlahnya secara keseluruhan menjadi 73.612 ss yang terdiri dari TUC sebanyak 51.123 dan TUK sebanyak 22.592. Terlihat suatu kenaikan sebesar 36 persen dibandingkan dengan jumlah telepon umum pada akhir Repelita V.

Jasa telekomunikasi lain seperti STB pada tahun 1994/95 juga telah bertambah menjadi 157.100 ss yang terdiri dari STB analog 147.100 ss dan STB digital sebanyak 10.000 ss. Berarti terjadi kenaikan sebesar 77 persen dibandingkan dengan jumlah STB pada tahun 1993/94.

Sementara itu untuk mendukung pemerataan penyediaan jasa telekomunikasi kepada masyarakat luas, selain telepon umum pembangunan wartel telah bertambah sebanyak 692 buah atau meningkat 55 persen dari tahun 1993/94, sehingga pada tahun 1994/95 jumlahnya menjadi 1.949 buah, dan RPUU berjumlah 213.662 pelanggan atau bertambah sekitar 145 persen.

Perkembangan kapasitas telepon dan teleks/telegrap di Indonesia dapat dilihat pada tabel XV-4.

b) Pembangunan Sistem Transmisi

Untuk meningkatkan pelayanan telekomunikasi dalam dan luar negeri telah dilaksanakan perluasan transmisi teresterial di Sumatera dan Jawa; pengembangan transmisi gelombang mikro digital Trans Sulawesi, Cross Kalimantan, Nusa Tenggara; transmisi Telekomuni-kasi Rural Phase IV; serta pembangunan SKKL serat optik Indonesia-Perancis yang merupakan bagian dari SKKL SEA-ME-WE-II. Hingga tahun 1994/95 telah dikembangkan jaringan pelayanan SLI dari 115 kota di Indonesia ke 222 negara tujuan di luar

XV/38

negeri. Pelayanan Home Country Direct yang diperkenalkan sejak tahun 1993/94 dan dapat dilakukan dari 172 lokasi di Indonesia ke 32 negara tujuan di luar negeri, pada tahun 1994/95 telah dapat dilakukan dari 204 lokasi ke 41 negara tujuan di luar negeri.

c) Peningkatan Mutu Pelayanan

Berbagai upaya seperti mengintegrasikan pembangunan sentral telepon, jaringan kabel, transmisi dan sarana penunjangnya, menekan jumlah kerusakan dan mempercepat waktu perbaikan, meningkatkan kemampuan operasi dan pemeliharaan seluruh fasili tas telekomunikasi, dan memperluas penyuluhan kepada masyarakat telah meningkatkan mutu pelayanan. Hingga tahun 1994/95 telah dioperasikan sebanyak 12 Pusat Pemeliharaan Jaringan Kabel atau Outside Plant Maintenance Center (OPMC) di 7 kota, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar dan Ujung Pandang. Rasio keberhasilan panggil yang merupakan indikator utama mutu pelayanan pada tahun 1994/95 untuk percakapan dalam negeri sambungan lokal mencapai 54,6 persen dan untuk SLJJ mencapai 44,7 persen. Pada tahun 1993/94 untuk percakapan dalam negeri sambungan lokal baru mencapai 44,7 persen dan untuk SLJJ baru mencapai 36,3 persen. Pada percakapan internasional untuk sambungan telepon masuk ke Indonesia rasio keberhasilan panggil pada tahun 1994/95 mencapai 52,1 persen dan sambungan telepon ke luar negeri mencapai 61,2 persen, meningkat bila dibandingkan tahun 1993/94 dengan percakapan internasional untuk sambungan telepon masuk ke Indonesia mencapai 48,8 persen dan sambungan telepon ke luar negeri mencapai 59,9 persen.

XV/39

d) Pengendalian Frekuensi Radio dan Pemanfaatan Orbit Satelit

Dalam rangka pengendalian frekuensi radio dan pemanfaatan orbit satelit pada tahun 1994/95 telah dapat dibangun 2 Stasiun Bergerak, sehingga secara keseluruhan sampai tahun pertama Repelita VI terdapat 4 Stasiun Tetap, 76 Stasiun Bergerak dan 1 Stasiun Pelacak Frekuensi Otomatis (Automatic Direction Finder). Pemberian izin penggunaan frekuensi radio kepada pemakai telah makin tertib. Sampai dengan tahun 1994/95 telah diterbitkan 706 izin Radio Siaran Non Pemerintah, sedangkan pada tahun 1993/94 baru ada 634 izin. Untuk Radio Konsesi sampai dengan tahun 1994/95 telah diterbitkan izin sebanyak 139.809 buah, sedangkan tahun 1993/94 baru berjumlah 67.876 izin. Di samping itu, sampai dengan tahun 1994/95 telah diberikan izin penggunaan frekuensi untuk Televisi (TV) kepada enam stasiun termasuk lima stasiun TV swasta.

e) Peningkatan Peran Serta Koperasi dan Swasta

PT Indosat sebagai salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang telekomunikasi telah berhasil memasuki pasar modal internasional. Dengan demikian perusahaan tersebut dapat memperbaiki struktur permodalannya, dan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan pembangunan dengan jangka waktu panjang, meningkatkan efisiensi serta menciptakan mekanisme manajemen yang lebih terbuka. PT Telkom masih dalam rintisan untuk dapat menjual sahamnya ke pasar modal internasional. Sementara itu telah dilaksanakan pula restrukturisasi PT Telkom dengan cara mengubah bentuk organisasi dari Kantor Pusat dan Wilayah Usaha menjadi divisional. PT Telkom saat ini mempunyai 8 divisi yang meliputi: Divisi Sumatera, Jakarta, Jawa Barat, Jawa

XV/40

Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, dan Kepulauan, serta Divisi Network (Jaringan).

Pembaharuan bidang telekomunikasi merupakan bagian dari deregulasi ekonomi nasional dan salah satu manifestasinya adalah membuka peluang keikutsertaan koperasi dan swasta dalam pembangunan telekomunikasi melalui pola Kerja Sama Operasi (KSO). Program tersebut meliputi pembangunan telepon baru sebanyak 2 juta ss. Kini masih dalam proses penyelesaian tender untuk kegiatan yang terdiri dari: paket I meliputi seluruh Sumatera; paket II meliputi propinsi Jawa Barat, paket III meliputi propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta; paket IV meliputi seluruh Kalimantan dan; paket V meliputi propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor-Timur, seluruh Sulawesi, propinsi Maluku dan Irian Jaya. Melalui program KSO tersebut diharapkan tersedianya dana pembangunan yang lebih besar, peningkatan sumber daya manusia, penggunaan teknologi baru, serta peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan telekomunikasi.

Dalam hal pembinaan pengusaha kecil dan koperasi oleh BUMN di bidang telekomunikasi seperti PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 1994/95 telah disalurkan dana sebesar Rp23.829,3 juta kepada 3.268 pengusaha kecil dan koperasi. Sehingga secara kumulatif sampai dengan tahun 1994/95 jumlah dana yang disalurkan telah mencapai Rp39.874,9 juta kepada 3.996 pengusaha kecil dan koperasi.

f) Pengembangan Standardisasi Peralatan

Upaya pengembangan standardisasi peralatan telekomunikasi mulai dilaksanakan dengan mengacu pada Rencana Dasar Teknis Nasional 1994 yang mencakup rencana penomoran, interkoneksi antar

XV/41

jaringan, pembebanan, routing, transmisi, pensinyalan, peralatan sentral telepon, sinkronisasi jaringan, ketersediaan dan keamanan jaringan, manajemen jaringan, akses pelanggan, dan penyelenggaraan pelayanan.

Selain itu telah digiatkan pula pertemuan antar instansi pemerintah dan swasta terkait dalam rangka penyebar luasan. ketentuan pelaksanaan standardisasi. Juga telah dilakukan inventarisasi potensi laboratorium yang dapat digunakan sebagai, laboratorium penguji.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan

Program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia pos dan telekomunikasi.

Dalam pelaksanaannya pendidikan formal kedinasan dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Pos dan Giro di Bandung, yang pada tahun 1994/95 telah menghasilkan lulusan sebanyak 792 orang. Dengan demikian secara keseluruhan sampai dengan tahun 1994/95 telah dihasilkan lulusan sebanyak 7.453 orang.

Guna meningkatkan mutu dan jumlah sumber daya manusia telekomunikasi yang berkemampuan memadai untuk menunjang pembangunan nasional, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mewujudkan keunggulan bidang telekomunikasi serta menyiapkan tenaga ahli menjelang abad XXI, dan mengembangkan penelitian di bidang telekomunikasi, telah diresmikan Gedung Sekolah Tinggi Teknologi Telekomunikasi (STT Telkom) pada bulan April 1994 di Bandung.

XV/42

Selain itu berbagai jenjang dan jenis pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan telah dapat memenuhi kebutuhan akan tambahan tenaga kerja pos dan telekomunikasi tahun 1994/95 yang diperkirakan sebanyak 8.476 orang atau meningkat hampir 14 persen, bila dibanding tahun 1993/94.

2) Program Penelitian dan Pengembangan Pos dan Telekomunikasi

Dalam rangka program penelitian dan pengembangan pos dan telekomunikasi antara lain telah dilakukan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pelaksana Pusat Penelitian Pengembangan Telekomuni-kasi (Telecommunication R & D Center) yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi pemerintah terkait serta perusahaan swasta termasuk mitra usaha KSO. Pokja ini bertujuan untuk menunjang dan mempercepat pengembangan industri telekomunikasi nasional.

Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan melalui penerapan teknologi maju, telah dioperasikan Pusat Pemeliharaan Jaringan Kabel. Selain itu telah diselesaikan Sistem Manajemen Telekomunikasi Terpadu atau Integrated Management System (IMS) di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Balikpapan dan Ujung Pandang. Kedua fasilitas tersebut secara langsung amat berperan dalam upaya menaikan rasio keberhasilan panggil, efektivitas serta efisiensi operasi dan pemeliharaan fasilitas telekomunikasi.

Khususnya pada pusat-pusat bisnis dan perkantoran di Jakarta mulai dioperasikan jaringan pelanggan bisnis atau Customer Corporate Network (CCN) yang memberikan banyak kemudahan kepada pelanggan jasa telekomunikasi.

XV/43

Juga telah dilaksanakan penelitian sistem telekomunikasi nasional, penelitian kebutuhan masyarakat akan jasa pos dan telekomunikasi, serta penelitian dampak ekonomi pos dan telekomunikasi.

c. Telekomunikasi Khusus

Selain dari kegiatan telekomunikasi umum di atas, terdapat beberapa kegiatan telekomunikasi khusus dan hankam yang perkembangannya hingga tahun pertama Repelita VI dapat disampaikan sebagai berikut.

Pembangunan telekomunikasi khusus Perusahaan Umum Kereta Api berupa penggunaan Telepon Otomat Kereta Api (TOKA) pada tahun 1994/95 telah berjumlah 4.210 ss dibandingkan tahun 1993/94 yang baru berjumlah 2.500 ss. Selain digunakan sebagai alat komunikasi, TOKA juga digunakan untuk pengendalian operasi kereta api di 21 seksi pengendali meliputi 420 stasiun, meningkat dibandingkan dengan tahun 1993/94 yang masih terdiri 12 seksi. pengendali pada 141 stasiun.

Untuk mendukung keselamatan pelayaran digunakan Stasiun Radio Pantai (SROP) untuk menerima dan memancarkan berita mara bahaya Safe Our Soul (SOS) dari. dan ke kapal. Pada tahun 1994/95 tingkat ketersediaan SROP mencapai 55 persen, dan tingkat keandalan 30 persen dari persyaratan internasional di 214 lokasi.

Fasilitas telekomunikasi khusus kehutanan berupa jaringan telekomunikasi radio yang mulai dibangun tahun 1987, kini telah mencakup 27 Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Kantor Dinas Kehutanan di semua propinsi. Untuk hubungan antar propinsi

XV/44

dipergunakan jaringan transmisi telekomunikasi umum milik PT Telkom.

Sampai akhir tahun pertama pelaksanaan Repelita VI yang bermula dari pemanfaatan keberadaan SKSD Palapa generasi pertama tahun 1976 serta pembangunan 30 stasiun bumi di berbagai lokasi strategis, sistem telekomunikasi pertahanan dan keamanan (hankam) terus berkembang. Pengembangan fasilitas telekomunikasi ini disesuaikan dengan kemajuan teknologi sehingga dapat mendukung secara efektif kelancaran tugas pertahanan keamanan seluruh wilayah tanah air. Pengembangan telekomunikasi hankam didukung oleh kemampuan Iptek khususnya Sistem Komunikasi dan Elektronika yang dapat mempersiapkan ketersediaan informasi yang andal guna peningkatan pertahanan dan keamanan secara keseluruhan.

XV/45

XV/49