-laporan-kp-di-pkn
DESCRIPTION
-Laporan-TRANSCRIPT
DRAFT LAPORAN KERJA PRAKTEK
PERANAN WELLSITE GEOLOGIST DALAM EKSPLORASI BATUBARA (SENGKELAMI PROJECT, KELUBIR MINE OPERATION, PT. PESONA KHATULISTIWA NUSANTARA)
DIENAN FIRDAUS 11/12/2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kerja Praktek merupakan salah satu mata kuliah wajib yang ada pada
kurikulum Teknik Geologi Universitas Diponegoro, dimana mahasiswa
diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat melalui
perkuliahan pada dunia pekerjaan yang berhubungan dengan dunia geologi.
Tempat pelaksanaan kerja praktek geologi dapat bermacam-macam, bisa di
bidang industri seperti industri logam, industri energi maupun pada lembaga
ilmu pengetahuan, pada lembaga survey, serta lembaga pemerintahan yang
berhubungan dengan dunia geologi. Pada kesempatan ini penulis
melaksanakan kerja praktek di bidang pertambangan, tepatnya pertambangan
batubara yang terletak di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur.
Seiring dengan terus melonjaknya harga bahan bakar minyak, kini
permintaan konsumen akan batubara sebagai sumber energi terus meningkat,
terutama digunakan pada pembengkit listrik, industri pengolahan logam,
pabrik semen, dan industri besar lainnya. Pembentukan batubara sendiri
merupakan proses alamiah yang membutuhkan waktu hingga jutaan tahun,
sehingga batubara dapat digolongkan sebagai sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui (unrenewable natural resources). Keterdapatan Batubara
di Indonesia sendiri terutama pada Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Sebelum dapat menambang batubara tentunya harus diketahui terlebih
dahulu cadangan dan jenis batubara pada suatu daerah, apakah ekonomis atau
tidak untuk ditambang. Untuk itu harus dilakukan tahap eksplorasi yang
meliputi survey awal dan survey terperinci. Survey awal adalah melakukan
studi pustaka untuk mengetahui regional geologi daerah yang akan ditambang
dan melakukan pemetaan permukaan (surface mapping) untuk mengetahui
sebaran serta arah kemiringan lapisan batubara. Survey terperinci dilakukan
dengan melakukan pemboran dengan kedalaman hingga mencapai bottom
dari lapisan batubara. Yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan logging
geofisika. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
3
posisi dan kondisi batubara di bawah permukaan serta hubunganya dengan
litologi di sekitarnya. Setelah tahap survey terlaksana baru kemudian
dilakukan analiasis cadangan dan mutu batubara, apakah ekonomis untuk
ditambang atau tidak.
1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud
Maksud dari dilaksanakanya kerja praktek ini adalah untuk terlibat
langsung dalam peranan dan pekerjaan seorang geologist di bidang
pertambangan batubara.
1.2.2. Tujuan
Tujuan dari dilaksanakannya kerja praktek ini adalah agar
mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung mengenai pekerjaan
seorang geologist di perusahaan, dalam hal ini sebagai seorang wellsite
geologist.
1.3. Lokasi Kerja Praktek
Lokasi kerja praktek dilakukan di PT. Pesona Khatulistiwa Nusantara
yang berlokasi di desa Kelubir dan sekitarnya, kecamatan Tanjung Palas
Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur.
1.4. Ruang Lingkup Kerja Praktek
Kerja Praktek yang dilakukan kali ini termasuk dalam tahap eksplorasi
lanjutan, yaitu berkaitan dengan rencana perluasan areal tambang berdasarkan
data yang sudah ada. Pekerjaan yang dilakukan disini adalah sebagai wellsite
geologist, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap suatu titik pemboran
(borehole). Ruang lingkup pekerjaanya adalah mendeskripsisikan sample
batuan yang keluar dari lubang bor yang berupa cutting dan core sample,
serta memberikan keputusan mengenai total depth lubang bor, apabila terjadi
permasalahan teknis pada saat pemboran berlangsung, dan penentuan lokasi
titik pemboran berikutnya.
4
1.5. Sistematika Laporan Kerja Praktek
Dalam penulisan laporan kerja praktek dibagi menjadi beberapa bab
yang menunjang kegiatan selama kerja praktek. Adapun sistematika
penulisannya sebagai berikut,
1.5.1. BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Maksud dan Tujuan
Lokasi Kerja Praktek
Ruang Lingkup Kerja Praktek
Sistematika Laporan Kerja Praktek
Metodologi Program Kerja Praktek
1.5.2. BAB II DASAR TEORI
Pengenalan Batubara
Proses Pembentukan Batubara
Material Penyusun Batubara
Kualitas dan Klasifikasi Batubara
Lingkungan Pengendapan Batubara
Tahapan Penambangan Batubara
Wellsite Geologist Dalam Tahapan Eksplorasi
1.5.3. BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Profil Perusahaan
Bidang Pekerjaan Perusahaan
Organisasi Perusahaan
1.5.4. BAB IV PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
Jenis Pekerjaan Yang Dilakukan
Peralatan Pekerjaan Yang Digunakan
Jadwal Pekerjaan Yang Dilakukan
Pelaksanaan Pekerjaan
5
1.5.5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.6. Metodologi Program Kerja Praktek
Prosedur dalam melaksanakan kerja praktek dilakukan dalam
beberapa tahapan. Dimulai dari pembuatan proposal pengajuan kerja praktek
yang kemudian dikirimkan ke perusahaan yang disertai surat pengantar dari
pihak jurusan. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari perusahaan
kemudian mahasiswa melakukan regristrasi ke bidang akademik jurusan
bahwa telah diterima kerja praktek di suatu perusahaan. Setelah semua
prosedur dan persyaratan dipenuhi kemudaian mahasiswa siap melakukan
kerja praktek di lokasi dan waktu sesuai keputusan perusahaan
6
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Pengenalan Batubara
Batubara merupakan salah satu sumber energi disamping minyak, gas
bumi dan panas bumi. Komposisi kimia batubara hampir sama dengan
komposisi kimia jaringan tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama
yang terdiri dari unsur C (carbon), H (hydrogen), O (oxygen), N (nitrogen), S
(sulphur), dan P (phospor). Hal ini dikarenakan batubara terbentuk dari
jaringan tumbuhan yang telah mengalami proses pembatubaraan
(coalification). Komposisi utama batubara serupa dengan komposisi kimia
arang kayu. Perbedaannya, arang kayu dapat dibuat sebagai rekayasa dan
hasil inovasi manusia selama jangka waktu yang pendek sedangkan batubara
terbentuk oleh proses alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Karena
batubara terbentuk oleh proses alam , maka banyak parameter yang akan
berpengaruh pada pembentukan batubara.
2.2. Proses Pembentukan Batubara
Apabila ada suatu tumbuhan atau pohon yang mati, kemudaian jatuh ke
tanah yang kering, maka tumbuhan tersebut akan membusuk dan akhirnya
hilang tidak meninggalkan sisa organik, karena diuraikan oleh bakteri
pengurai. Akan tetapi apabila suatu tumbuhan atau pohon yang sudah mati
kemudian jatuh di daerah yang berair seperti rawa, sungai, atau danau, maka
tumbuhan tersebut tidak akan mengalami pembusukan secara sempurna,
karena pada kedalaman tertentu bakteri tidak lagi bisa menguraikan tumbuhan
tersebut baik bakteri aerob maupun anaerob. Akibatnya sisa tumbuhan
tersebut akan terus mengendap membentuk suatu sediment fossil tumbuhan
yang selanjutnya mengalami perubahan fisik dan biokimia serta dipengaruhi
oleh waktu , tekanan, dan temperature, sehingga membentuk suatu sediment
atau batuan organik yang sekarang disebut batubara.
7
Proses pembentukan batubara terjadi beberapa tahap, dan tahapan-
tahapan tersebut disebut Coalification. Proses coalification tersebut dimulai
dari Peat sampai Antrasit. Dalam proses pembentukan batubara tersebut
terdapat dua teori penting yang menjelaskan tentang pembentukan batubara,
yaitu teori insitu dan teori drift.
Teori insitu menjelaskan bahwa batubara terbentuk di daerah dimana
tumbuhan tersebut berasal atau dengan kata lain endapan batubara tersebut
berada di hutan atau di daerah bekas hutan tumbuhan yang membentuk
batubara tersebut. Batubara yang terbentuk dengan teori insitu hanya terjadi
di hutan basah atau daerah hutan yang berawa karena di daerah seperti ini
beberapa jenis bakteri pengurai tidak aktif, bahkan mati. Sedangkan di daerah
hutan kering, pembusukan terjadi sempurna sehingga tidak ada material
organik yang tersisa kecuali mineral yang kembali ke tanah dan pada kondisi
in tumbuhan yang mati tersebut tidak akan menjadi batubara.
Teori drift menjelaskan bahwa batubara terbentuk didaerah yang bukan
merupakan daerah dimana tumbuhan pembentuk batubara tersebut berasal.
Tumbuhan atau pohon yang sudah mati, kemudian terbawa oleh air (banjir),
kemudian terendapkan di delta-delta sungai atau didalam danau purba
sehingga pembusukan tumbuhan tersebut tidak sempurna dan akhirnya
membentuk fossil tumbuhan yang kemudian menjadi batubar dengan teori
drift.
Proses atau tahap pertama pembentukan batubara adalah pembentukan
Peat atau yang disebut dengan Peatification. Pada tahap ini terjadi perubahan
secara biokimia atau perubahan diagenetik. Perubahan yang cepat terjadi pada
top 0.5 meter dimana pada kedalaman ini bakteri aerob yang aktif dan
menguraikan vegetasi tersebut. Pada level lebih bawah lagi yang aktif adalah
bakteri anaereob. Bakteri ini mengkonsumsi oksigen dari molekul organik.
Bakteri ini biasanya aktif sampai kedalaman 10 m, di bawah kedalaman
tersebut perubahan yang terjadi adalah perubahan kimia seperti polymerisasi,
reaksi reduksi dan lain-lain. Pada kedalaman ini berat akumulasi peat
menyebabkan tekanan bertambah, dan perubahan fisik pun terjadi pada peat
tersebut. Pada prinsipnya perubahan fisik tersebut merupakan pemerasan
8
kelebihan air dari endapan peat tersebut. Penurunan kandungan moisture pada
proses ini tercatat sekitar 1 % untuk setiap kedalaman 10m. Kandungan
Carbon pada lapisan bagian atas bertambah agak cepat seiring dengan
terjadinya pembusukan pada zat-zat selulosa.
Pada transisi dari Peat ke Lignite dan selanjutnya ke sub-bituminous,
terjadi penurunan porositas secara drastis. Penurunan porositas ini disebabkan
oleh terjadinya kompresi lapisan batubara tersebut oleh berat dari overburden.
Penurunan porositas menyebabkan penurunan pula pada kandungan moisture.
Pada Lignite moisture berkurang sampai 4 % untuk setiap kedalaman 100m.
Sedangkan pada transisi dari Lignite ke sub-bituminou terjadi penurunan
moisture 1 % untuk setiap kedalaman 100-200 m.
Selama transisi dari Lignite ke sub-bituminous menghasilakan produk
dari reaksi coalification yaitu moisture,carbon dioksida, dan gas methan
dalam jumlah yang kecil yang merupakan hasil pembusukan sisa-sisa lignin.
Pada batubara high volatile bituminous kelanjutan tahap coalification
ditunjukan dengan terus berkurangnya oxygen dan moisture yang
menghasilkan naiknya nilai kalori. Perubahan transisi dari biuminous ke
antrasit, diikuti dengan menurunya nilai Volatile matter yang cukup drastis.
Penurunan volatile matter (daf) pada transisi ini mencapai lebih dari 14 % -
40 %. Sedangkan kenaikan carbon (daf) nya adalah dari 85% sampai 90%.
Perubahan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia dalam molekul
batubara.
9
Gambar 1.1. Siklus pembentukan batubara
Proses pembentukan batubara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
terjadi di alam, faktor-faktor tersebut antara lain :
2.2.1. Posisi geoteknik
Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan
cekungan sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya
tektonik lempeng. Adanya gaya-gaya tektonik ini akan mengakibatkan
cekungan sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi penurunan
dasar cekungan, atau menjadi lebih sempit apabila terjadi penaikan
dasar cekungan. Proses tektonik ini dapat pula diikuti oleh perlipatan
perlapisan batuan ataupun patahan. Apabiala proses ini terjadi, suatu
cekungan sedimentasi akan dapat terbagi menjadi dua atau lebih sub
cekungan sedimentasi dengan luasan yang relatif kecil. Proses ini akan
berpengaruh terhadap penyebaran batubara yang terbentuk. Makin
dekat cekungan sedimentasi batubara terbentuk atau terakumulasi
terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, kualitas betubara yang
dihasilkan akan semakin baik.
2.2.2. Keadaan topografi daerah
Daerah tempat tumbuhan berkembang biak merupakan daerah
yang relatif tersedia air. Oleh karena itu tempat tersebut mempunyai
topografi yang relatif lebih rendah dibanding daerah yang
10
mengeliliginya. Makin luas daerah dengan topografi relatif rendah,
makin banyak tanaman yang tumbuh, sehingga makin banyak terdapat
bahan pembentuk batubara.
2.2.3. Iklim daerah
Iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Di daerah
beriklim tropis dengan curah hujan silih berganti sepanjang tahun,
disamping tersedianya sinar matahari sepanjang waktu, merupakan
tempat yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman. Maka dari itu di
daerah yang memiliki iklim tropis pada masa lampau sangat
dimungkinkan didapatkan endapan batubara dengan jumlah banyak.
Kebanyakan luas tanaman yang keberadaannya sangat dipengaruhi
oleh iklim akan menentukan penyebaran dan ketebalan batubara yang
terbentuk.
2.2.4. Proses penurunan cekungan sedimentasi
Cekungan sedimentasi di alam bersifat dinamis, artinya dasar
cekungan akan mengalami proses penurunan atau pengangkatan.
Apabila proses penurunan dasar cekungan sedimentasi lebih sering
terjadi, akan terbentuk penambahan luas permukaan tempat tanaman
mampu hidup dan berkembang. Selain itu penurunan dasar cekungan
akan mengakibatkan terbentuknya lapisan batubara yang cukup tebal.
Di indonesia batubara yang memiliki nilai ekonomis untuk ditambang
terdapat pada cekungan sedimentasi yang berumur tersier dengan
luasan ratusan hingga ribuan hektar terutama di Pulau Sumatra dan
Pulau Kalimantan.
2.2.5. Umur geologi
Jaman karbon (kurang lebih 350 juta tahun yang lalu) diyakini
merupakan awal munculnya tumbuh-tumbuhan di dunia untuk
pertama kalinya. Di indonesia, batubara didapatkan pada cekungan
sedimentasi yang berumur tersier (70 juta tahun yang lalu). Dalam
hitungan waktu geologi, 70 tahun yang lalu masih dianggap terlalu
muda dibandingkan dengan jaman karbon. Oleh karena itu banyak
yang mengatakan bahwa batubara Indonesia adalah batubara muda
11
(young age coal). Hal ini tidak ada hubungannya dengan banyaknya
Antrasit yang ditemukan di daerah Sumatra. Penting untuk dipahami
bahwa tua-mudanya batubara adalah ditentukan oleh umur
pembentukan batubara tersebut. Sedangkan coal rank ditentukan oleh
kualitas batubara tersebut.
2.2.6. Jenis tumbuh-tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara.
Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona
fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu, merupakan faktor
penentu terbentuknya berbagai type batubara. Batubara yang terbentuk
dari tanaman yang keras dan berumur tua akan lebih baik
dibandingkan dengan batubara yang terbentuk dari tanaman yang
berbentuk semak dan hanya berumur semusim.
2.2.7. Dekomposisi
Dekomposisi flora merupakan bagian dari transformasi
biokimia dari organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi.
Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami
perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati,
proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay)
akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini
bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang
lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati.
Dari proses diatas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit
dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi
proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian
unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2),
karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur
atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah.
Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan
tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses
12
pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau penguraian oleh
mikrobiologi.
2.2.8. Sejarah setelah pengendapan
Sejarah cekungan tempat terjadi pembentukan batubara salah
satu faktor faktor diantaranya ditentukan oleh posisi cekungan
sedimentasi tersebut terhadap posisi geoteknik. Makin dekat posisi
cekungan sedimentasi terhadap posisi geoteknik yang selalu dinamis
akan mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan letak
batubara berada. Selama waktu itu pula proses geokimia dan
metamorfisme organik akan ikut berperan dalam mengubah gambut
menjadi batubara. Apabila dinamika geoteknik memungkinkan
terbentuk lipatan pada lapisan batuan yang mengandung batubara, dan
terjadi proses pensesaran, proses ini akan mempercepat terbentuknya
batubara dengan rank yang lebih tinggi. Proses ini akan dipercepat
apabila dalam cekungan tempat batubara tersebut berada terjadi
mroses intrusi magmatis. Panas yang ditimbulkan selama terjadinya
proses perlipatan, pensesaran, dan proses intrusi magmatis akan
mempercepat terjadinya proses coalification.
2.2.9. Struktur geologi
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya
mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan
lapisan batubara dengan bentuk tertentu. Semakin banyak perlipatan
dan pensesaran terjadi di dalam cekungan sedimentasi yang
mengandung batubara, secara teoritis akan meningkatkan mutu
batubara. Oleh sebab itu pencarian batubara bermutu baik diarahkan
pada daerah geosinklin atau geantiklin karena kedua daerah tersebut
diyakini kegiatan tektonik berjalan cukup intensif.
2.2.10. Metamorfosa organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan
atau penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi
biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses
dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut
13
menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi
pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO,
CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya prosentase karbon padat,
belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkkan
oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan
sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik.
14
2.3. Komponen Penyusun Batubara
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan
ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam
penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik
yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari
polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan
penyusunnya. Komponen batubara secara garis besar dapat dibagi menjadi 3
bagian yaitu Moisture/air, Mineral Matter, dan Organik. Lihat ilustrasi
gambar dibawah ini :
Kalau Batubara dimisalkan sebagi batang atau tabung, maka bagian –
bagian komponen batubara adalah sebagai berikut :
Gambar 2.2. Bagian- bagian komponen batubara
15
Substansi batubara selain seperti yang diilustrasikan diatas, juga dapat
digolongkan lagi menjadi beberapa golongan substansi sepeti Proximate,
Ultimate, dan Maceral.
2.3.1. Coal proximate
Batubara dapat dibagi menjadi 4 bagian dalam proximate, dimana
pada bagian organik batubara dibagi lagi menjadi 2 berdasarkan sifat
penguapan atau keteruraian dengan pemanasan pada suhu tertentu dan
waktu tertentu. Bagian Organik yang menguap atau terurai ketika
batubara dipanaskan tanpa oksigen pada temperature 900o Celsius
digolongkan sebagai Volatile Matter. Sedangkan bagian organik
batubara yang tetap pada pemanasan tersebut digolongkan sebagai
Fixed Carbon atau karbon tetap. Volatile matter biasanya berasal dari
struktur alifatik carbon yang mudah putus dengan thermal dekomposisi,
sedangkan fixed carbon berasal dari gugus rantai carbon yang kuat
seperti gugus aromatik. Semakin tinggi peringkat batubara semakin
besar jumlah carbon yang membentuk aromatik, dan semakin tinggi
juga fixed carbon dan semakin rendah Volatile Matter yang diperoleh.
Oleh karena itu peringkat batubara dapat dilihat dengan penurunan
Vlatile matter.
2.3.2. Coal ultimate
Pada penggolongan batubara ultimate, unsur moisture dan mineral
matter tetap, tetapi unsur organiknya dibagi berdasarkan unsur
pembentuk organik tersebut. Unsur- unsur pembentuk organik batubara
terdiri dari Total Carbon, baik yang berasal gugus alifatik maupun yang
berasal dari gugus aromatik, Kemudian Hidrogen (tidak termasuk
hidrogen yang berasal dari air atau moisture. Kemudian Nitrogen,
Sulfur, dan Oksigen. Dalam penentuannya Oksigen tidak secara
langsung ditentukan melainkan dengan cara mengurangkan unsur
organik yang 100% dikurangi dengan Carbon, Hidrogen, Nitrogen dan
Sulfur.
16
2.3.3. Coal maceral
Pada penggolongan Coal Maceral, unsur moisture dan mineral
matter tetap, akan tetapi unsur organiknya dibagi berdasarkan substansi
pembentuk batubara yang terdiri dari 3 golongan atau grup maceral
yaitu Vitrinite, Exinite atau liptinite, dan Inertinite. Grup maceral ini
didasarkan pada fosil atau bahan pembentuk batubara seperti daun, akar
batang, cutikula, spora, dan lain-lain.
Vitrinite
Vitrinite adalah maceral yang paling domonant dalam
batubara. Maceral ini berasal dari batang pohon, cabang, atau dahan,
tangkai, daun, dan akar tumbuhan pembentuk batubara. Nilai
reflectan dari Vitrinite dijadikan penentu peringkat batubara, dan
sering dikorelasikan dengan nilai volatile matter seperti yang
terdapat pada ASTM standard.
Exinite atau liptinite
Seperti namanya, Liptinite berasal dari spora, resin, alga,
cutikula (yang terdapat pad permukaan daun) lilin/parafin, lemak dan
minyak. Suberinite, tidak tercantum diatas, hanya terdapat pada
batubara tersier. Maceral ini berasal dari substansi semacam gabus
yang terdapat pada kulit kayu, dan pada permukaan akar, batang dan
buah buahan. Fungsi dari maceral ini sebenarnya untu mencegah
pengeringan pada tanaman.
Inertinite
Material pembentuk inertinite sebenarnya sama dengan
pembentuk Vitrinite. Yang membedakannya adalah historikal
pembentukannya yang disebut fusination. Charring atau oksidasi
pada saat proses pembentukan batubara berlangsung merupakan
proses yang membedakan substansi Vitrinite dan Inertinite. Inertinite
ini biasanya memiliki kadar carbon yang tinggi, hydrogen yang
rendah serta derajat aromatisisty yang tinggi. Fusinite sering juga
disebut sebagai “mother of charcoal” karena diidentikan dengan
17
terjadinya forest fire pda saat dekomposisi batubara. Pada batubara
Indonesia Maseral dari grup inertinite seperti sclerotinite banyak
ditemukan dan biasanya berasal dari sisa-sisa atau fosil fungi.
2.4. Kualitas dan Klasifikasi Batubara
Hasil dari analisa dan pengujian contoh batubara digunakan oleh
Geologis eksplorasi untuk mengevaluasi apakah deposit batubara memiliki
potensi untuk mensuplai pasar yang telah ada dan yang akan datang , dan
feasibility study apakah layak untuk melakukan operasi penambangan pada
cadangan batubara tersebut. Maka dari itu perlu dilakukan pengujian terhadap
sampel batubara yang sudah didapat dari data pemboran.
Tingkat perubahan yang dialami batubara, dari gambut sampai menjadi
antrasit disebut sebagai pengarangan dan memiliki hubungan yang penting
dan hubungan tersebut disebut sebagai „tingkat mutu‟ batubara. Batubara
dengan mutu yang rendah, seperti batubara muda dan sub-bitumen biasanya
lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah.
Batubara muda memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan
karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah.
Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan
seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu
yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat
kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak.
Antrasit adalah batubara dengan mutu yang paling baik dan dengan demikian
memiliki kandungan karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat
kelembaban yang lebih rendah
Pengujian yang dilakukan digunakan untuk menentukan karakteristik
batubara sesuai dengan peringkat (rank) dan potensi pemanfaatannya, yang
terdiri dari ;
Pengujian fisik, seperti Hardgrove Grindability Index, Relative Density,
Sizing
Analysis, Handling, Float & Sink Test.
Pengujian kimia, seperti analisa proksimat, analisa ultimat, nilai kalori
18
Pengujian pemanfaatan batubara thermal, seperti ash fusion, ash analysis
untuk elemen mayor dan elemen mikro, trace element, fly ash properties.
Evaluasi Petrografik.
Ada beberapa sistem klasifikasi yang biasanya digunakan untuk
menentukan rank suatu batubara yaitu :
2.4.1. ASTM Classification
Sistem klasifikasi ini mempergunakan volatile matter (dmmf),
fixed carbon (dmmf) dan calorific value (dmmf) sebagai patokan.
Untuk anthracite, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan utama,
sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Bituminous
mempergunakan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua.
Lignite mempergunakan calorific value (dmmf) sebagai patokan.
2.4.2. Seyler’s Classification
Ralston‟s mempergunakan hasil analisa ultimate yang sudah
dinormalisasi (C + H + O = 100). Ditampilkan dalam bentuk triaxial
plot. Band yang terdapat pada triaxial plot tersebut ialah area dimana
batubara berada.
2.4.3. Ralston’s Classification
System klasifikasi ini mempergunakan % carbon (dmmf) dan %
hydrogen (dmmf) sebagai dasar utama. Klasifikasi ini ditampilkan
dalam bentuk beberapa grafik kecil yang bertumpu pada grafik utama.
Grafik utama menghubungkan % carbon (dmmf) dengan % hydrogen
(dmmf). sedangkan grafik kecil menggambarkan hubungan calorific
value (dmmf) dengan % volatile matter (dmmf) dan % moisture (adb),
menggambarkan % oxygen (dmmf), crucible swelling number dan
rasio O/H=8. Ditengah grafik tersebut terdapat band yang
menggambarkan yang menggambarkan area dimana 95% batubara
inggris akan berada serta menunjukkan jenisnya.Batubara yang jatuh di
atas band disebut per-hydrous sedangkan yang jatuh di bawahnya
disebut sub-hyrous. Seyler‟s chart ini tidak cocok untuk low rank coal.
19
2.4.4. ECE Classification (Economic Commission for Europe)
ECE membuat system klasifikasi yang dapat dipergunakan secara
luas, pada tahun 1965 yang kemudian menjadi standar
international.Sistem ini mengelompokkan batubara dalam class, group
dan sub-group. Coal class mempergunakan calorific value atau volatile
matter sebagai patokan. Coal group mempergunakan Gray-king coke
type atau maximum dilatation pada Audibert-Arnu dilatometer test
sebagai patokan, sedangkan coal sub-group mempergunakan crucible
swelling number dan Roga test sebagai patokan. Sistem ini mampu
menunjukkan coal rank dan potensi penggunaannya, terutama coal
group dan coal sub-group yang menjelaskan perilaku batubara jika
dipanaskan secara perlahan maupun secara cepat sehingga dapat
memberikan gambaran kemungkinan penggunaannya. Pada tahun 1988
sistem ini dirubah dengan lebih menekankan pada pengukuran
petrographic.
2.4.5. International Classification for Lignite
ISO 2960:1974 “Brown Coals and Lignites. Classification by
Type on the Basis of Total Moisture content and Tar Yield”.
Mengelompokkan batubara yang mempunyai heating value (moist,ash
free) lebih kecil dari 5700 cal/g. Batubara dikelompokkan dalam coal
class dengan patokan total moisture dan coal group dengan patokan tar
yield. Tar yield diukur dengan Gray-King Assay, dimana batubara
didestilasi dan hasilnya berupa gas, air, cairan, tar dan char dilaporkan
dalam persen. Tar yield mempunyai korelasi dengan hydrogen dan
pengukuran ini cukup baik sebagai indicator komposisi petrographic.
Diantara sistem klasifikasi diatas yang paling sering digunakan adalah
sistem klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Material).
Dimana sistem ini membagi rank atau golongan batubara menjadi beberapa
kelas seperti dibawah ini:
20
Tabel 2.1. Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit
Wood et al., 1983)
2.5. Lingkungan Pengendapan Batubara
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada
kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai
pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-
pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan
kerumitan struktur yang bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran
lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan
suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana
terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan
namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat
sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat
terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik
(pantai) dan limnik (rawa-rawa).
21
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90%
batubara di dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang
berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai,
lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan
utama pembentuk batubara (Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid
plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta plain, backbarrier
strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi
dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Tabel 2.2. Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara(Diesel, 1992)
Environment Subenvironment Coal Characteristics
Gravelly braid
plain
Bars, channel, overbank
plains, swamps, raised bogs
mainly dull coals, medium
to low TPI, low GI, low
sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank
plains, swamp, raised bogs,
mainly dull coals, medium
to high TPI, low to medium
GI, low sulphur
Alluvial valley and
upper delta plain
channels, point bars,
floodplains and basins,
swamp, fens, raised bogs
mainly bright coals, high
TPI, medium to high GI,
low sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays,
channel, swamps, fans and
marshes
mainly bright coals, low to
medium TPI, high to very
high GI, high sulphur
Backbarrier strand
plain
Off-, near-, and backshore,
tidal inlets, lagoons, fens,
swamp, and marshes
transgressive : mainly bright
coals, medium TPI, high GI,
high sulphur
regressive : mainly dull
coals, low TPI and GI, low
sulphur
Estuary channels, tidal flats, fens and
marshes
mainly bright coal with high
GI and medium TPI
22
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan
lingkungan fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan
sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta dengan mekanisme
pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan
delta yang terletak di atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang
berkembang di lingkungan delta plain ialah endapan channel, levee, crevase,
splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat
diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen
cross bedding, graded bedding, paralel lamination, dan cross lamination
yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah berupa kontak
erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara
dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur
menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat
tanggul alam (natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah
dari channel. Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan
batulanau dengan struktur sedimen ripple lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee
dan membentuk crevase play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir
halus – sedang dengan struktur sedimen cross bedding, ripple lamination, dan
bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum
ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan
umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi
endapan flood plain. Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus
yang diendapkan secara suspensi dari air limpahan banjir. Endapan flood
plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak
membawa batubara karena lingkungan pengendapannya yang terendam oleh
air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut.
23
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh
pohon-pohon keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan
tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah
pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).
2.6. Tahapan Penambangan Batubara
Tahapan kegiatan penambangan batubara yang diterapkan untuk
tambang terbuka adalah sebagai berikut :
2.6.1. Persiapan
Kegiatan ini merupakan kegiatan tambahan dalam tahap
penambangan. Kegiatan ini bertujuan mendukung kelancaran kegiatan
penambangan. Pada tahap ini akan dibangun jalan tambang (acces
road), stockpile, dll.
2.6.2. Pembersihan lahan (land clearing)
Kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan daerah yang akan
ditambang mulai dari semak belukar hingga pepohonan yang
berukuran besar. Alat yang biasa digunakan adalah buldozer ripper
dan dengan menggunakan bantuan mesin potong chainsaw untuk
menebang pohon dengan diameter lebih besar dari 30 cm.
2.6.3. Pengupasan Tanah Pucuk (top soil)
Maksud pemindahan tanah pucuk adalah untuk menyelamatkan
tanah tersebut agar tidak rusak sehingga masih mempunyai unsur
tanah yang masih asli, sehingga tanah pucuk ini dapat diguanakan dan
ditanami kembali untuk kegiatan reklamasi.
Tanah pucuk yang dikupas tersebut akan dipindahkan ke tempat
penyimpanan sementara atau langsung di pindahkan ke timbunan. Hal
tersebut bergantung pada perencanaan dari perusahaan.
2.6.4. Pengupasan Tanah Penutup (stripping overburden)
Bila material tanah penutup merupakan material lunak (soft rock)
maka tanah penutup tersebut akan dilakukan penggalian bebas.
Namun bila materialnya merupakan material kuat, maka terlebih
dahulu dilakukan pembongkaran dengan peledakan (blasting)
24
kemudian dilakukan kegiatan penggalian. Peledakan yang akan
dilakukan perlu dirancang sedemikian rupa hingga sesuai dengan
produksi yang diinginkan.
2.6.5. Penimbunan Tanah Penutup (overburden removal)
Tanah penutup dapat ditimbun dengan dua cara yaitu backfilling
dan penimbunan langsung. Tanah penutup yang akan dijadikan
material backfilling biasanya akan ditimbun ke penimbunan sementara
pada saat taambang baru dibuka.
2.6.6. Penambangan Batubara (coal getting)
Untuk melakukan penambangan batubara (coal getting) itu
sendiri, terlebih dahulu dilakukan kegiatan coal cleaning. Maksud dari
kegiatan coal cleaning ini adalah untuk membersihkan pengotor yang
berasal dari permukaan batubara (face batubara) yang berupa material
sisa tanah penutup yang masih tertinggal sedikit, serta pengotor lain
yang berupa agen pengendapan (air permukaan, air hujan, longsoran).
Selanjutnya dilakukan kegiatan coal getting hingga pemuatan ke alat
angkutnya. Untuk lapisan batubara yang keras, maka terlebih dahulu
dilakukan penggaruan.
2.6.7. Pengangkutan Batubara (coal hauling)
Setelah dilakukan kegiatan coal getting, kegiatan lanjutan adalah
pengangkutan batubara (coal hauling) dari lokasi tambang (pit)
menuju stockpile atau langsung ke unit pengolahan.
2.6.8. Pengupasan parting (parting removal)
Parting batubara yang memisahkan dua lapisan atau lebih
batubara peerlu dipindahkan agar tidak mengganggu dalam
penambangan batubara.
2.6.9. Backfilling (dari tempat penyimpanan sementara)
Tanah penutup maupun tanah pucuk yang sebelumnya disimpan
di tempat penyimpanan sementara akan diangkut kembali ke daerah
yang telah tertambang (mined out). Kegiatn ini dimaksudkan agar pit
bekas tambang tidak meninggalkan lubang yang besar dan digunakan
untuk rehabilitasi lahan pasca tambang.
25
2.6.10. Perataan dan Rehabilitasi Tanah (spreading)
Terdiri dari pekerjaan penimbunan, perataan, pembentukan, dan
penebaran tanah pucuk diatas disposal overburden yang telah di
backfilling, agar daerah bekas tambang dapat ditanami kembali untuk
pemulihan lingkungan hidup (reclamation).
2.6.11. Penghijauan (reclamation)
Merupakan proses untuk penanaman kembali lahan bekas
tambang, dengan tanaman yang sesuai atau hampir sama seperti pada
saat tambang belum dibuka.
2.6.12. Kontrol (monitoring)
Kegiatan ini ditujukan untuk pemantauan terhadap aplikasi
rencana awal penambangan. kontrol akan dilakukan terhadap lereng
tambang, timbunan, ataupun lingkungan, baik terhadap pit yang
sedang aktif maupun pit yang telah ditambang.
2.7. Wellsite Geologist Dalam Tahapan Eksplorasi batubara
Pada tahapan eksplorasi, salah satu tahapan yang memegang peranan
penting adalah tahapan pemboran awal, dimana pada tahapan ini diperlukan
adanya pengawasan lapangan yang merupakan peranan seorang wellsite
geologist. Wellsite geologist merupakan seorang pengawas lapangan yang
bertugas dan bertanggung jawab mengawasi suatu lokasi pemboran dalam
suatu kegiatan eksplorasi pemboran demi kelancaran pemboran tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka peranan seorang wellsite geologist dalam
kelancaran pemboran sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, akan dijelaskan
peranan seorang wellsite geologist dalam eksplorasi pemboran batubara yang
dilakukan oleh suatu perusahaan.
Dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan maka seorang wellsite
geologi harus memiliki kemampuan yang dapat menunjang pekerjaan di
lapangan. Adapun beberapa kemampuan umum yang perlu dimiliki oleh
seorang wellsite geologi,
Memiliki pengetahuan tentang ilmu geologi
Mengerti tentang tahapan eksplorasi batubara
26
Memahami teori-teori tentang batubara
Mengenal kondisi lapangan (lokasi penelitian)
Memahami tentang standart operational prosedur (SOP) perusahaan
sebagai wellsite geologi.
27
Diagram alir kerja Wellsite Geologist
Data Geologist Rencana
Aktivitas Kerja
Mobilisasi
Lapangan
Penentuan titik
Pemboran
Setup Rig
Drilling & Diskripsi cutting / coring
Redrill Compare Data Drlling dan Logging
Sampling
Batubara
logging
Packing Sample
Sample
Delivery
Pengambilan koordinat lubang
bor
Test Laboratory
Data Lapangan
Report
Coal Recovery >90% Coal Recovery <90%
28
Dalam kegiatana eksplorasi, peranan seorang wellsite geologist dibagi
dalam beberapa tahapan, yaitu :
2.7.1. Tahap Pemboran
Salah satu jenis kegiatan dalam eksplorasi untuk penyelidikan di
bawah permukaan bumi adalah pemboran. Maksud dan tujuan kegiatan
pemboran dalam eksplorasi geologi adalah :
Untuk mengetahui jenis dan urutan lapisan batuan
Untuk mengetahui adanya indikasi geologi struktur
Untuk mengambil sample yang diperlukan dalam eksplorasi geologi
Proses pemboran memiliki beberapa macam kategori yang
ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya :
Berdasarkan metode penetrasi lapisan batuan dan jenis mesin yang
digunakan, pemboran dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Pemboran dengan menggunakan sistem putaran (rotari drilling).
Umumnya dilakukan untuk pemboran pada batuan yang relatif
keras dan pengambilan contoh batuan dalam kondisi disturb
(kondisi terganggu).
2. Pemboran dengan menggunakan sistem tumbukan (percussion
drilling).
Umumnya dilakukan untuk pemboran pada batuan / tanah yang
relatif lunak dan pengambilan contoh batuan dalam kondisi
undisturb (kondisi tidak terganggu).
3. Pemboran dengan menggunakan sistem campuran antara rotary
drilling dengan sistem tumbukan (percussion drilling).
Umumnya dilakukan untuk pemboran pada batuan atau tanah
yang relatif lunak , keras dan pengambilan contoh batuan dalam
kondisi disturb dan undisturb (kondisi terganggu dan kondisi
tidak terganggu).
Berdasarkan arahnya, pemboran dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu:
1. Pemboran vertikal yaitu pemboran yang arahnya relatif tegak
lurus dengan permukaan bumi.
29
2. Pemboran horisontal yaitu pemboran yang arahnya relatif sejajar
dengan permukaan bumi.
3. Pemboran directional yaitu pemboran yang arahnya ditentukan
berdasarkan arah tertentu.
Berdasarkan metode pengambilan sampel batuan, pemboran dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Pemboran full coring, yaitu pemboran yang dilakukan dengan
mengambil semua sample batuan.
2. Pemboran open hole, yaitu pemboran yang dilakukan dengan
tidak mengambil sample batuan, dimana data yang data
pemboran ini berdasarkan deskripsi cutting yang diambil
permeternya.
3. Pemboran touch coring, yaitu pemboran yang merupakan
kombinasi antara pemboran open hole dengan pemboran coring,
dimana pemboran coring hanya dilakukan pada lapisan batuan
yang diinginkan.
Berdasarkan kedalaman penetrasi, pemboran dibagi dua jenis,yaitu:
1. Pemboran dalam (deep drilling), yaitu pemboran yang dilakukan
dengan kedalaman pemboran mencapai 51 meter atau lebih.
2. Pemboran dangkal (shallow drilling), yaitu pemboran yang
dilakukan dengan kedalaman pemboran antara 30 sampai 50
meter, bahkan kurang dari 30m.
Dalam tahapan pemboran, tugas dan peranan seorang wellsite
geologist antara lain, yaitu penentuan titik bor, pengawasan proses
pemboran, dan penentuan pemindahan lokasi/titik bor :
1. Penentuan Titik Bor
Tahapan awal yang dilakukan oleh wellsite geologist dalam
proses pemboran adalah menentukan lokasi titik bor yang akan
dilakukan proses pemboran. Penentuan titik bor ini diinstruksikan
oleh wellsite geologist kepada juru bor (driller) berdasarkan data
yang sudah ada di GPS dan data survei yang meliputi letak, nomor
titik bor, dan elevasinya atas persetujuan geoevaluator site. Dalam
30
penentuan titik bor terkadang terdapat ketidaksesuaian antara data
survei pada GPS dengan kondisi di lapangan. Berdasarkan hal
tersebut, maka wellsite geologist dituntut untuk memperbaiki
penetuan titik bor tersebut. Apabila penentuan suatu titik bor selesai,
maka wellsite geologist memberikan perintah dimulainya pemboran.
2. Pengawasan Proses Pemboran
Pada eksplorasi pemboran batubara di suatu perusahaan,
kegiatan pemboran dilaksanakan oleh pihak kontaktor. Kegiatan
pemboran yang dilaksanakan membutuhkan paling sedikitnya 4
orang untuk menjalankan aktifitas pemboran batubara tersebut.
Dimana terdiri atas 1 orang operator (driller) dan 3 orang sebagai
pembantu operator (drilling crew). Dalam pelaksanaannya seorang
operator pemboran wajib menjalankan keputusan seorang wellsite
geologist, jadi dengan kata lain seorang operator pemboran
bertanggung jawab kepada wellsite geologist yang sedang bertugas
di lokasi pemboran tersebut. Selama pemboran berlangsung menjadi
tugas seorang Wellsite geologist merekam dan mengawasi setiap hal
yang terjadi menyangkut proses pemboran. Wellsite Geologist
berhak pula untuk menghentikan atau meneruskan proses pemboran
dengan berbagai alasan teknis atau dalam keadaan yang tidak aman,
serta memastikan semua peralatan pemboran berfungsi dengan baik.
Peralatan pemboran yang berfungsi dengan baik akan menunjang
kelancaran proses pemboran dan keamanan dalam prose pemboran.
3. Penentuan pemindahan lokasi/titik bor
Setelah proses pemboran pada suatu titik bor selesai, maka
selanjutnya wellsite geologist bertanggungjawab memberikan
perintah kepada operator/juru bor untuk melakukan pemboran di
lokasi/titik bor yang baru. Adapun suatu titik bor dianggap telah
selesai apabila hasil pemboran (dalam hal ini sampel batubara yang
diperoleh) telah memenuhi ketentuan atau standar yang telah
ditentukan, yaitu berupa nilai “coal recovery”. Dimana standar yang
biasa digunakan adalah nilai coal recovery dalam range 90 – 100 %.
31
Jika hasil pemboran tidak memenuhi nilai coal recovery yang
ditentukan, maka wellsite geologist harus melakukan beberapa
analisa untuk memutuskan apakah lokasi/titik bor tersebut harus
dilakukan pemboran kembali (redrill) atau dinyatakan selesai.
2.7.2. Tahap pengambilan data dan sampel pemboran
Proses pemboran yang diawasi oleh wellsite geologist pada
tahapan eksplorasi yang sering dilakukan pada saat ini termasuk dalam
pemboran dengan metode touch coring. Metode ini berupa metode
pemboran yang merupakan kombinasi antara pemboran open hole
dengan pemboran coring, dimana pemboran coring hanya dilakukan
pada lapisan batuan yang diinginkan. Dalam proses pegeboran ini
seorang wellsite geologist harus mengambil semua data tentang
pemboran. Pada saat pemboran open hole, wellsite geologist harus
mendiskripsi kan cutting yang keluar dari lobang pemboran tiap
meternya.
Pendeskripsian cutting yang dilakukan wellsite geologist
didasarkan atas parameter yang telah ditentukan atau berdasarkan
standar yang ditentukan oleh perusahaan. Adapun parameter
pendeskripsian yang biasa dilakukan oleh wellsite geologist pada tahap
eksplorasi, yaitu :
Pemerian pada batubara yang perlu diperhatikan adalah :
a. Warna (color), adalah warna yang terlihat dipermukaan dengan
mata telanjang.
b. Gores (streak), adalah warna dari batubara yang telah digores
menjadi serbuk.
c. Tingkat kelapukan,
d. Pecahan (fracture), istilah yang dipakai even, uneven, conchoidal,
sub conchoidal, flat.
e. Kilap (luster/bright), istilah ini dinyatakan dalam prosentase,
misal : bright 60%
Pemerian pada litologi selain batubara yang perlu diperhatikan adalah :
32
a. Warna (color) lithologi
b. Besar butir (grain size), adalah ukuran (diameter dari fragmen
batuan). Skala pembatasan yang dipakai adalah “Skala
Wentworth”.
c. Pemilahan (sorting), adalah tingkat keseragaman besar butir.
Istilah – istilah yang dipakai adalah terpilah baik (butir – butir
sama besar), terpilah sedang dan terpilah buruk.
d. Kebulatan (roundness), adalah tingkat kelengkungan dari setiap
fragmen butiran. Istilah – istilah yang dipakai adalah :
- wellrounded (membundar baik)
- rounded (membundar)
- sub rounded (membundar tanggung)
- angular (menyudut0
- sub angular (menyudut tanggung)
e. Kemas (fabric), adalah sifat hubungan antar butir, kesatuannya di
dalam satu massa dasar atau di antara semennya. Istilah kemas
terbuka digunakan untuk butiran yang tidak saling bersentuhan,
dan kemas tertutup untuk butiran yang saling bersentuhan.
f. Porositas, adalah perbandingan antara jumlah volume rongga dan
volume keseluruhan dari satu batuan. Dalam hal ini dapat dipakai
istilah – istilah yang kualitatif yang merupakan fungsi daya serap
batuan terhadap cairan, yaitu porositas sangat baik (very good),
baik (good), sedang (fair), buruk (poor) diuji dengan meneteskan
cairan.
g. Semen dan Massa Dasar (matrix)
Semen adalah bahan yang mengikat butiran. Semen terbentuk
pada saat pembentukan batuan, dapat berupa silika, karbonat,
oksida besi atau mineral lempung. Massa dasar (matrix) adalah
massa dimana butiran/fragmen berada dalam satu kesatuan.
Massa dasar terbentuk bersama fragmen pada saat sedimentasi,
dapat berupa bahan semen atau butiran yang lebih halus.
33
h. Struktur Sedimen
Struktur sedimen termasuk ke dalam struktur primer, yaitu
struktur yang terbentuk pada saat pembentukan batuan (pada saat
sedimentasi). Beberapa struktur sedimen hanya dapat diamati
pada satu atau beberapa satuan perlapisan. Perlapisan dapat
ditunjukkan oleh perbedaan besar butir atau warna dari bahan
penyusunannya. Perlapisan beragam dari yang tipis (laminasi)
sampai tebal.
Setelah kegiatan pengeboran open hole sampai pada kedalaman
yang diinginkan atau sudah sampai pada lapisan batubara, maka
selanjutnya dilakukan coring untuk mengambil sampel batubara yang
diinginkan. Untuk mengambil inti/core batuan, maka digunakan suatu
alat yang dinamakan core barel. Biasanya dalam satu penangkapan
inti/core batuan dengan menggunakan core barel, panjang maksimal
inti/core batuan yang dapat tertangkap yaitu 1.60 m. Kegiatan
eksplorasi pemboran batubara yang menggunakan core barel dengan
kapasitas 1.60 m maka dimana satu kali proses penangkapan atau
pengambilan inti/core batuan dengan menggunakan core barrel
biasanya disebut satu run. Adapun tugas wellsite geologist dalam tahap
pengambilan sampel batubara adalah sebagai berikut :
a. Melakukan pencatatan kedalaman (interval) “run” setiap kemajuan
coring
b. Melakukan pengukuran panjang core pada tabung inner split setiap
kemajuan coring (run). Inner split dikeluarkan dari tabung split
dengan cara menyemprot memakai pompa air, tidak dengan cara
yang bisa merusak core di dalam inner split, misalnya : memukul
core barrel
c. Core sampel yang berada dalam tabung core barel dikeluarkan
bersama – sama dengan tabung split.
d. Panjang core sampel langsung diukur untuk mengetahui recovery
core sampel.
34
Panjang core sampel yg didapat
Recovery core sampel = X 100 %
Panjang coring yg dilakukan
e. Melakukan deskripsi terhadap core batubara dan non batubara.
f. Membungkus core batubara dengan plastik “wrap” dan letakkan
pada tempat yang terhindar dari cahaya matahari langsung dengan
tujuan tetap menjaga kelembaban inti/core sample.
g. Core sampel yang sudah dikeluarkan kemudian diletakkan pada core
box (kotak core). Core box dibuat sesuai dengan ukuran core sampel,
panjang 1 meter lebar disuaikan. Satu core box dibuat untuk total
kedalaman 5 meter.
h. Penyusunan core sampel dimulai dari ujung pojok kiri (top/roof) dan
seterusnya menyambung dari top/roof sampai bottom/floor.
1
2
3
4
5
Gambar : Core Box (pandangan atas), tanda panah dalam box
menunjukkan arah cara meletakan sampel
i. Core box diberi tanda atau kode nomor lokasi bor, interval
kedalaman bor dan nomor box.
j. Kondisi core sampel maupun core box harus dalam keadaan aman.
k. Melakukan pengambilan sampel batubara
Lakukan deskripsi/pemerian sampel secara megaskopis dengan
teliti dan benar.
Tentukan bagian roof dan bagian floor.
1 meter
Top/roof
Bottom/floor
35
Pastikan dengan teliti dan benar, ada parting atau tidak, ada yang
loss atau tidak sebagai pertimbangan untuk menentukan panjang
pembagian sampel (ply by ply) yang akan diambil.
Tentukan batas panjang bagian sampel (ply) dan jumlah sampel
yang akan diambil.
Tulis interval sampel pada buku deskripsi.
Tulis nomor sampel, nomor kode lokasi bor, lokasi pengambilan
sampel, interval sampel, tebal sampel, nomor bag (plastik sampel)
berapa dari total bag berapa, tulis remarks (misal : sampel lapuk,
parting ikut disampel, interval loss sampel) pada kartu sampel.
Siapkan plastik sampel dan tulis nomor kode lokasi bor dan
nomor sampel, interval sampel, tebal sampel, nomor bag berapa
dari bag berapa.
Ambil dan masukkan sampel pada plastik sampel, bagian per
bagian sesuai dengan nomor bagian (ply). Sampel tidak boleh
terkontaminasi dengan kotoran atau sampel lain.
Masukkan kartu sampel pada plastik sesuai dengan nomor
sampel. Kartu sampel tidak boleh kontak langsung dengan sampel
(kartu sampel dilapisi plastik supaya tidak tembus uap air atau
rusak).
Ikat plastik sampel dengan kuat dan benar sesuai petunjuk,
menggunakan tali yang sudah disediakan.
Masing – masing plastik sampel (bag) dijadikan satu sesuai
dengan nomor lokasi bor atau sesuai dengan satu lapisan dan
diikat dengan kuat dan benar supaya tidak berhamburan atau
tercecer dan memudahkan untuk pengecekan ulang.
Sampel langsung dibawa ke camp atau tempat yang sudah
disediakan sebelum dibawa ke laboratorium. Jika lokasi dekat
dengan laboratorium sampel dapat langsung dibawa ke lab.
Dari tempat lokasi pengambilan sampel sampai dengan
laboratorium, sampel tidak boleh kehujanan atau rusak karena
dapat mengurangi keakurasi hasil analisa.
36
Gambar Contoh penulisan kartu sampel
2.7.3. Tahap perekeman data Elektrik Logging
Perekaman data secara manual kadang kala kelihatannya kurang
akurat dikarenakan dalam kegiatan pemboran biasanya sering terjadi
kesalahan- kesalahan yang disebabkan dari kesalahan teknik pemboran
(adanya water lost, core lost, dan sebagainya) maupun disebabkan hal
lainnya. Sedangkan data yang diperlukan memerlukan keakuratan yang
baik untuk dijadikan data penunjang dalam evaluasi dan tahapan
eksploitasi (penambangan). Sehingga untuk mengantisipasi hal-hal
tersebut maka digunakanlah elektrik logging dalam perekaman data.
Dengan metode geofisika tersebut pengambilan data lapangan bisa
menjadi lebih akurat walaupun tidak secara detail, sebagai pendamping
pelaksana kegiatan pemboran. Dengan metode Logging Geofisika -
Elektrik Logging, seorang wellsite geologist dapat mengetahui dan
memperoleh data sebagai berikut :
Jenis litologi, baik batubara maupun batuan pengapitnya.
Kedalaman dan ketebalan lapisan seam batubara.
Lapisan pengotor (parting).
Perbandingan ketebalan batubara dari data elektrik logging
dengan data pemboran
Parameter yang digunakan dalam perekaman dan pengukuran data
electric logging terdiri atas empat (4) parameter untuk pemboran dalam
(deep drilling) yaitu : gamma ray, density, resistivity, dan caliper serta
PT. PESONA KHATULISTIWA NUSANTARA
Sample No : 01
Bore Hole : PKN-11-S_020
Location : SENGKELAMI
Sample Interval : 15.00 to 18.00 M
Sample Thickness : 3.00 M
Bag : 01 OF 02
Remarks : 2 BAG
37
dua (2) parameter untuk pemboran dangkal (shallow drilling) yaitu
hanya gamma ray, density.
1. Electric Logging Gamma Ray
Elektrik logging ini berfungsi untuk menentukan lithologi
batuan berdasarkan unsur radioaktif. Shale dan batulempung
(mudstone) mempunyai tingkat radioaktif yang tinggi dibanding
batupasir (sandstone) dan batubara (coal). Untuk defleksi dari batuan
lempung tersebut simpangan mengarah ke kanan dari diagram.
Sedangkan batubara yang mempunyai tingkat radioaktif yang kecil
maka arah dari defleksi simpangan mengarah ke kiri diagram.
Adapun cara penentuan top dan bottom batubara untuk penentuan
ketebalan mengacu pada BPB Company. Dimana ditetapkan bahwa
untuk perhitungan top batubara ditentukan 1/3 dari bagian atas garis
kelurusan kurva yang menunjukkan perubahan lithologi dari
batubara dengan lithologi lain di atasnya dan untuk perhitungan
bottom batubara ditentukan 1/3 dari bagian atas garis kelurusan
kurva yang menunjukkan perubahan lithologi dari batubara dengan
lithologi lain di bawahnya.
2. Electric Logging Density
Electric logging density merupakan suatu pengukuran yang
berfungsi untuk mengukur kerapatan elektron pada suatu lapisan
batuan. Metode kerja dari elektrik logging ini didasarkan pada massa
jenis dan sifat kerapatan yang dikandung oleh lapisan batuan,
dimana batubara mempunyai massa jenis dan sifat (kerapatan) yang
besar dibandingkan dengan batuan lainnya sepert limestone,
mudstone, dan sandstone. Untuk penentuan top dan bottom batubara
untuk mengukur ketebalan dari data density yaitu dengan cara
menentukan 1/2 dari bagian atas garis kelurusan kurva yang
menunjukkan perubahan lithologi dari batubara dengan lithologi lain
di atasnya (untuk perhitungan top batubara) dan 1/2 dari bagian atas
garis kelurusan kurva yang menunjukkan perubahan lithologi dari
batubara dengan litologi lain di bawahnya (untuk bottom batubara)
38
3. Electric Logging Resistivity
Electric logging resistivity didasarkan pada porositas dari
tahanan jenis yang diselidiki. Untuk batuan dengan porositas tinggi
akan mempunyai tahanan jenis rendah dan sebaliknya. Untuk
batubara merupakan jenis batuan yang mempunyai porositas paling
rendah dibandingkan dibandingkan dengan batuan yang lainnya,
sehingga batubara mempunyai tahanan jenis yang tinggi.
2.7.3. Tahap Pelaporan Data
Setelah melakukan beberapa tahapan dari seluruh rangkaian
tahapan eksplorasi, maka tahapan akhir yang harus dilaksanakan oleh
seorang wellsite geologist, yaitu tahapan pelaporan data. Tahap ini
meliputi pelaporan dari seluruh rangkaian tahapan eksplorasi, mulai
dari tahap pemboran sampai dengan tahap pengambilan/perekaman
data. Tahap pelaporan data ini nantinya akan menghasilkan suatu
laporan yang mencakup seluruh rangkaian pemboran eksplorasi pada
suatu titik/lokasi bor. Dimana laporan tersebut selanjutnya diserahkan
kepada supervisor lapangan yang bertanggung jawab atas keseluruhan
pemboran di area tersebut. Seorang wellsite geologist
bertanggungjawab penuh akan kesempurnaan dan kelengkapan laporan
yang akan dibuat. Oleh karena itu, tahapan-tahapan sebelumnya, berupa
tahap pemboran dan tahap pengambilan data, harus dilaksanakan
dengan baik.
Adapun jenis laporan yang menjadi tanggung jawab seorang
wellsite geologist untuk dikerjakan dan diselesaikan antara lain, yaitu :
a. Laporan harian / Daily report
Laporan harian ini merupakan laporan yang wajib
dibuat oleh seorang wellsit geologist setiap harinya. Laporan
harian ini berisi tentang segala jenis kegiatan yang dilakukan
di titik pemboran yang menyangkut tentang pemboran dalam
satu hari. Hal ini dilakukan untuk mengetahui progres
pemboran yang dikerjakan di suatu titik pemboran. Hal-hal
39
yang perlu dimasukkan dalam laporan harian adalah sebagai
berikut :
Nomor titik bor yang diawasi.
Tanggal dan waktu kerja.
Nama operator bor (driller) yang bertugas di lokasi/titik
bor yang diawasi.
Unit mesin bor yang digunakan.
Waktu dimulainya (start) pemboran dan waktu
dihentikannya (finish) pemboran pada hari tersebut.
Kedalaman penetrasi pemboran pada proses open hole.
Interval dan tebal coring (apabila pada hari tersebut
dilakukan proses coring).
Setiap kegiatan lainnya yang terjadi yang berhubungan
dengan proses pemboran, seperti break time (istirahat),
adanya masalah (trouble), adanya kecelakaan kerja
(accident), dan lainnya.
Wellsite geologist yang bertugas disertakan dengan paraf.
b. Laporan akhir pemboran
Laporan akhir pemboran dibuat apabila kegiatan di suatu
titik pemboran telah selesai dilakukan. Pembuatan laporan
akhir ini merupakan gabungan dari laporan-laporan harian
yang telah dibuat. Laporan akhir pemboran ini terdiri dari log
bore secara keseluruhan, list sampel dan berita acara
pemboran. Dalam berita acara pemboran seorang Wellsite
geologist harus melaporkan semua hal yang sudah dilakukan
dalam kegiatan pemboran. Beberapa hal yang perlu
dimasukkan dalam berita acara pemboran adalah sebagai
berikut :
1. Hari, tanggal, dan waktu mulai pemboran dan selesai
pemboran.
2. Lokasi dan nomor titik bor.
3. Unit bor
40
4. Total kedalaman pemboran.
5. Interval batubara, terdiri dari kedalaman dan ketebalan
batubara.
6. Total meteran coring.
7. Total core recovery.
8. Total coal recovery.
9. Total meteran non coring.
10. Pemakaian polymer.
11. Jarak moving ke titik selanjutnya
12. Waktu selesai melakukan pillot hole
13. Menulis nama wellsite yang disertakan dengan tanda tangan
yang diketahui oleh seorang coordinator site
41
BAB III
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
3.1.Profil Perusahaan
PT. Pesona Khatulistiwa Nusantara (PKN) adalah perusahaan
pertambangan batubara yang berproduksi di Kabupaten Bulungan,
Provinsi Kalimanatn Timur di bawah kontrak kerja PKP2B generasi ke 3.
Berjarak sekitar 500 km di utara kota Balikpapan. PT. PKN berdiri sejak
tahun 1995 dan merupakan anak perusahaan dari PT. Bhakti Energy
Persada (BEP) yang juga merupakan sebuah perusahaan batubara. Namun
pada tanggal 21 Desember 2010 telah disetujui penyerahan manajemen
PT. PKN dari PT. BEP ke PT. Energy Nusa Mandiri, dimana pendiri dan
pemegang saham mayoritasnya juga memegang saham mayoritas di PT.
Adaro Energy, salah satu produsen batubara terbesar di Indonesia.
Total area konsesi PT PKN adalah seluas 23.646 ha yang terbagi
menjadi tiga lokasi yang berbeda, yaitu di ; Kelubir (KLB) 6,150 ha di
sebelah Utara, Mangkupadi (MKP) 4,536 ha di sebelah Selatan dan
Sekayan (SKY) 12,960 ha di antara keduanya. Total cadangan yang
diperkirakan sebesar 119.758 juta ton, dengan rincian ; Kelubir (18.518 jt.
Gambar 3.1 Peta Lokasi Kerja PT. PKN
42
ton) ; Sekayan (88.974 jt. ton ) dan Mangkupadi ( 12.366 jt. ton ). Hingga
saat ini yang telah selesai tahap eksplorasi adalah blok Kelubir dan blok
Sekayan. Produksi batubara pertama dimulai pada bulan September 2009,
dan pengapalan hasil produksi pertamanya pada bulan Desember 2009.
Kontrak penjualan batubara PT PKN meliputi pasar domestik dan
internasional. Langkah selanjutnya dari PT PKN adalah mengembangkan
blok Sekayan seoptimal mungkin, mengingat jumlah cadangan terbesar
berada di blok tersebut. Sejalan dengan visi perusahaan yang berbunyi :
“To be a World Class Coal Mining Enterprise that Extracts and Adds
Value to the Coal for the Benefit of the Mankind” maka hingga saat ini
PT PKN terus meningkatkan kinerjanya dalam hal produksi, manajemen,
pengembangan sosial sekitar tambang, serta rehabilitasi lingkungan.
3.2. Produksi Batubara
Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa total cadangan
batubara yang diperkirakan sebesar 119.758 juta ton. Sedangkan untuk
mutu batubaranya, hasil produksi PT PKN termasuk kelas Lignite (brown
coal) dengan calorivic value 3,400 – 3,600 kcal/kg (gar), kadar abu
rendah / low ash (average 4%), kadar belerang rendah/ low sulphur (less
than 0.2%) dan tingkat kelembapan tinggi/high moisture (43%) sehingga
dapat disebut sebagai batubara yang ramah lingkungan. Berikut detil dari
mutu batubara yang diproduksi oleh PT PKN :
Gambar 3.2 kualitas batubara produksi PT PKN dari blok Kelubir dan Sekayan
* Fixed Carbon by difference
** CV adb determined on stated
IM
43
Secara sekilas, tahapan produksi batubara di PT PKN meliputi
Coal Getting, Hauling, Crushing, Barge Loading, dan Barging. Tahapan
coal getting adalah usaha untuk mengambil seam batubara menggunakan
ekskavator dan menempatkan di Dump Truck. Kemudian batubara
dibawa menggunakan dump truk ke tempat penampungan sementara
(Stock Pile), perjalanan dari pit menuju stock pile disebut Hauling.
Kemudian di stock pile batubara dimasukkan ke mesin penghancur
(crusher) dengan ukuran tertentu sesuai keinginan konsumen. Proses ini
disebut Crushing. Setelah selesai proses crushing kemudian dengan
menggunakan ban berjalan (conveyor) batubara di muat ke ponton.
Setelah proses loading pontonn selesai, batubara siap di kapalkan ke
konsumen. Produksi batubara di PT PKN ditargetkan semakin
meningkat hingga tahun 2021.
3.3. Struktur Organisasi Perusahaan
Gambar 3.3 bagan produksi batubara di PT PKN dan Rencana produksi hingga tahun 2021
44
BAB IV
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
4.1.Jenis Pekerjaan Yang Dilakukan
Jenis pekerjaan yang dilakukakan pada kerja praktek kali ini adalah
sebagai seorang wellsite geologist . Pekerjaan yang dilakukan adalah
sebagai pengawas lapangan selama kegiatan pemboran berlangsung.
Keberadaan seorang wellsite geologist di lokasi pemboran sangat penting
untuk menunjang kelancaran proses pemboran itu sendiri. Mengingat
pentingnya peranan tersebut, diperlukan pemahaman dan pengetahuan
yang baik untuk menunjang tanggung jawab seorang wellsite geologist.
Adapun pengetahuan yang harus dimilki antara lain :
Pengetahuan akan dasar-dasar ilmu geologi
Pengetahuan mengenai tahapan-tahapan eksplorasi
Pengetahuan dasar mengenai batubara dan klasifikasinya
Pengetahuan navigasi dan mengenali daerah di sekitar titik
pemboran
Pengetahuan akan metoda pemngambilan data-data pemboran yang
sesuai dengan SOP (Standard Operational Procedure)
Pengetahuan akan cara-cara perlakuan terhadap sample batuan
yang keluar dari lubang bor.
Penguasaan ilmu komunikasi yang baik serta jiwa kepemimpinan
yang mencukupi.
4.2.Peralatan Pekerjaan Yang Digunakan
Peralatan yang mendukung kinerja seorang wellsite geologi dibagi
menjadi 2, yaitu peralatan kerja wellsite dan peralatan kerja pemboran.
Peralatan kerja wellsite merupakan peralatan kerja yang disediakan
perusahaan untuk kelancaran kinerja seorang wellsite geologi dalam
merekam data lapangan. Sedangkan peralatan pemboran merupakan
45
serangkaian alat bor yang disediakan oleh kontraktor pemboran yang
bekerjasama dengan pihak perusahaan. Adapun rincian alatnya sebagai
berikut,
4.2.1. Peralatan Kerja Wellsite
Lembar Log Bor
Permanent dan Board Marker
Core box
Pipa PVC diameter 4”
Penggaris
Papan sampel
Plastik wrap
Kamera digital
Helm safety
Sepatu safety
Kantong sampel untuk cutting dan core sample
Pita warna
Cutter
Clip board
Buku catatan lapangan
GPS
Meteran
46
4.2.2. Peralatan Pemboran
Sebagai seorang pengawas kegiatan pemboran, seorang
wellsite geologist juga harus mengerti mengenai jenis dan fungsi
masing-masing rangkaian alat pemboran. Hal ini berguna agar
pada saat terjadi kendala teknis wellsite geologist dapat
memberikan keputusan yang cepat dan bijaksana. Untuk
rangkaian alat pemboran kali ini (rig), digunakan Tipe Jackro
175, dengan kemampuan untuk mengebor hingga kedalaman
antara 100-150m.
Mesin bor tersebut terdiri atas serangkaian alat-alat dan
mesin penggerak yang bekerja saling sinergis satu sama lain.
Adapun alat-alat tersebut adalah sebagai berikut :
Menara Bor, adalah menara yang menyangga
keseluruhan sistem gerak dari mesin bor, di bagian bawah
menara disangga oleh pondasi yang berupa dua batang
besi yang terpasang secara paralel. Menara bor
memastikan lubang yang dibuat tetap lurus.
Gambar 4.1 Serangkaian alat bor yang disebut rig
47
Pipa Bor, adalah pipa yang digunakan untuk membuat
lubang bor, sebagai tempat terpasangnya drill bit, dan
sebagai saluran untuk menembakkan lumpur pemboran ke
dalam lubang bor. Untuk jenis pipa pemboran kali ini
digunakan pipa AW, dengan diameter 3 inchi dan panjang
pipa 1.5 meter. Pipa terbuat dari baja, dan terdapat ulir
pada bagian pangkal dan ujungnya, agar dapat
disambungkan dengan pipa yang lainnya.
Gambar 4.2 Gambar di atas menunjukkan menara bor yang siap di rangkai
Gambar 4.3 Tumpukan pipa bor jenis AW
48
Mata Bor, mata bor yang digunakan disini ada dua
macam yaitu yang digunakan untuk membuat open hole
dan mata bor yang digunakan untuk membuat core
sample, biasa disebut core bit.
Rotary, alat untuk memutar pipa pemboran, sistem
perputaran pada rotary dikontrol oleh gerakan hidrolis
yang terhubung pada tuas (handle), yang dioperasikan
oleh juru bor.
Orbit, adalah alat untuk menaik turunkan meja putar,
sistem kerjanya secara hidrolis, dikontrol menggunakan
handle oleh juru bor. Orbit menempel pada sebuah poros
besi di ujung menara bor, pada poros tersebut terdapat dua
buah gear yang tersambung melalui rantai ke meja putar.
Putaran orbit mengakibatkan gerakan naik –turun pada
meja putar.
Gambar 4.4 Rotary yang memutar pipa bor, dikendalikan oleh juru bor.
Gambar 4.4 Mata Bor
49
Handle, alat untuk mengendalikan pipa bor. Terdapat dua
buah tuas, yang pertama terhubung ke rotary dan yang
kedua pada orbit.
Safety, alat untuk mencabut pipa pemboran, namun fungsi
utamanya adalah untuk mengamankan agar pipa bor tidak
tenggelam ke dasar lubang.
Gambar 4.5 Orbit terhubung langsung ke poros pada menara bor.
Gambar 4.6 Juru Bor mengendalikan laju pemboran melalui handle.
Gambar 4.7 Safety
50
Oil Cooler, alat untuk mendinginkan cairan hidrolik,
menjaga agar sistem hidolik tetap stabil. Alat ini
berbentuk balok besi yang berisi air.
Oil Filter, alat untuk menyaring kotoran-kotoran yang
terbawa bersama cairan hidrolis. Menghindarkan
kerusakan mesin.
Gambar 4.8 Oil Cooler
Gambar 4.9 Filter Oli
51
Hidraulyc Pump, pomba hidrolis yang mendorong cairan
hidrolis. Tenaga dorongan pompa ini dihasilkan oleh
perputaran turbin yang tersambung dengan mesin diesel.
Core Barrel, adalah alat untuk mengambil core sample
atau biasa disebut sebagai metode coring. Dalam
penggunaanya maka pada ujung core barrel dipasangkan
dengan core bit. Alat ini berbentuk tabung berongga
dengan panjang 1.5-2m, sehingga ketika core barrel terus
turun maka sample batuan akan dengan sendirinya masuk
kedalam. Di dalam core barrel terdapat tabung yang dapat
dibagi menjadi dua dan menjadi tempat melekatnya core
sample, yaitu split.
Gambar 4.10 Pompa Hidrolis
Gambar 4.11 Core barrel
52
Selang Air, selang air sangat penting perananya dalam
proses pemboran, sebab dalam pelaksanaanya pemboran
selalu membutuhkan air. Hal pertama yang dicari oleh
driller ketika melakukan survey titik pemboran adalah
ketersediaan air, jika letak air cukup jauh dari titik
pemboran, diperlukan selang yang panjang. Selang yang
dipakai kali ini ada yang mencapai panjang 250m.
Mesin Diesel, mesin ini digunakan sebagai penggerak
utama dalam sistem hidrolis. Merk mesin diesel kali ini
adalaha YANMAR TF85MLYS-di.
Gambar 4.12 Selang
Gambar 4.12 Mesin diesel
53
Mesin Water Flush, adalah mesin yang digunakan untuk
menembakkan lumpur pemboran ke dalam lubang bor.
Fungsi utamanya adalah untuk menembah laju pemboran.
Lumpur pemboran diambil dari bak sirkulasi. Merk mesin
yang digunakan kali ini adalah YAMAHA MT-110
4.3.Jadwal Pekerjaan Yang Dilakukan
Kerja praktek dilakukan setiap hari tanpa libur dalam arti 1 minggu penuh,
hal ini dikarenakan pemboran tidak berhenti sebab pihak perusahaan mengejar
target data hasil pemboran untuk segera dianalisis. Kegiatan pekerjaan
dilakukan pagi hari yang dimulai dari pukul 07.00 WITA menuju titik bor
yang telah diberikan tanggung jawab oleh koordinator lapangan. Pemboran
berlangsung sampai pukul 17.00 WITA dengan asumsi keadaan pemboran
tidak mengalami trouble, jika terjadi trouble pada saat pemboran berlangsung,
maka waktu kerja menyesuaikan kondisi permasalahan yang terjadi
Gambar 4.13 Mesin Water Flush
54
4.4.Pelaksanaan Pekerjaan
4.4.1 Lingkup Pekerjaan
Ruang Lingkup Pekerjaan pada kerja praktek kali ini yaitu peranan
wellsite geologist dalam eksplorasi batubara. Eksplorasi yang
dimaksud kali ini adalah eksplorasi lanjutan dalam rangka perluasan
areal tambang. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan
pemboran dalam untuk mendapatkan data sebaran batubara. Pada
lokasi pengeboran, seorang wellsite geologist bertindak sebagai
pengawas jalannya aktivitas pemboran serta memperhatikan faktor
keselamatan orang-orang di lokasi pemboran, dengan kata lain
seorang wellsite geologist memastikan proses pengeboran berjalan
lancar. Tidak hanya itu, seorang wellsite geologist juga harus
mendeskripsikan cutting dan core sample yang keluar dari lubang
bor, pencatatan data yang baik sangat dibutuhkan oleh perusahaan.
Setelah selesai deskripsi juga harus melakukan sampling batubara
dan juga untuk keperluan geologi teknik. Menjadi pengawa pada saat
proses e-logging juga merupakan tugas dari seorang wellsite
geologist. Pada saat selesai proses pemboran, wellsite geologist
harus menentukan titik pemboran berikutnya guna kelancaran proses
moving alat-alat pemboran.
4.4.2 Deskripsi Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan pada kerja praktek kali ini adalah
sebagai wellsite geologist, secara umum yaitu sebagai pengawas
jalannya proses pemboran. Proses pemboran sendiri terbagi menjadi
3, yaitu : Open Hole, Touch Coring, dan Full Coring. Pemboran
Open Hole yakni melakukan pemboran menerus tanpa mengambil
core sample, hasil yang dideskripsi berupa cutting, yakni remah-
remah batuan yang hancur oleh mata bor, sedangkan mata bor yang
digunakan adalah drill bit. Metode Full Coring adalah metode untuk
mengambil semua sample batuan yang ada pada lubang bor (core
sample), menggunakan alat yang disebut core barrel. Mata bor yang
55
digunakan adalah core bit. Sedangkan metode Touch Coring
merupakan metode gabungan antara keduanya. Yang pertama dibuat
adalah Open Hole untuk mengetahui roof dari batubara. Kemudian
dilanjutkan dengan coring untuk mendapatkan sample batubara
hingga mencapai bagian floor-nya. Setelah itu dibuatkan lubang
kantongan maksimal sedalam 5 m untuk keperluan logging
geofisika.
Setiap proses pemboran berlangsung seorang wellsite geologist
harus mendeskripsikan jenis batuan yang keluar dari lubang bor,
baik berupa core sample maupun cutting. Data lithologi tersebut
dicatat dalam kertas bore log. Kronologi tiap-tiap proses pemboran
juga harus dicatat dalam Daily Drilling Progress, hal ini dengan
maksud agar perusahaan mengetahui sejauh mana dan bagaimana
kondisi proses pengeboran telah berlangsung. Adapun deskripsi
pekerjaan wellsite geologist pada masing-masing tahap pengeboran
akan dijelaskan pada sub-bab di bawah ini :
4.4.2.1 Rig Set Up
Adalah tahap paling awal pada rangkaian kegiatan
pemboran. Rig Set Up adalah tahap pendirian rig di lokasi
pemboran, kegiatan ini dilakukan oleh kru pemboran dan
dengan diawasi oleh wellsite geologist. Hal-hal yang
dilakukan pada tahap ini adalah mendirikan menara bor,
perangkaian mesin-mesin dengan rig, pembuatan bak
sirkulasi, intinya adalah pengkondisian lingkungan rig. Untuk
jenis mesin bor yang digunakan kali ini adalah mesin
JACKRO 175 yang mampu mencapai kedalaman 100-150m.
Hal yang tak kalah penting dalam rig set-up adalah pencarian
lokasi keterdapatan air yang cukup untuk kegiatan pemboran.
Air merupakan hal yang vital dalam kegiatan pemboran, air
untuk pemboran dapat diambil dari sungai, rawa, parit dan
sebagainya. Oleh sebab itu pemahaman mengenai kondisi
56
sekitar titik bor sangat penting bagi seorang wellsite
geologist. Air diambil pada sumbernya menggunakan mesin
pomba diesel SANCHIN, kemudian airnya disalurkan ke rig
menggunakan selang berdiameter 1 ich yang panjangnya
dapat mencapai ratusan meter, tergantung jauh dekatnya
sumber air tersebut. Yang harus diperhatikan pada saat rig
set-up adalah ketika titik bor berada di dekat ladang
penduduk, usahakan agar lumpurnya tidak mencemari ladang
maupun sumber air yang digunakan oleh penduduk lokal.
4.4.2.2 Drilling
Setelah proses rig set-up selesai, dilanjutkan dengan proses
pemboran (drilling). Pemboran baru dapat dimulai ketika
wellsite telah menyerahkan surat mulai pemboran kepada
driller/juru bor. Selama proses pemboran, wellsite harus
selalu berada di dekat rig, tujuannya adalah untuk mengawasi
jalannya pemboran, agar pemboran berjalan lancar, meskipun
driller sudah berpengalaman. Selain itu juga wellsite dapat
segera menghubungi Supervisor Geologist jika ada
permasalahan mendadak yang mengakibatkan proses
pemboran terhambat, misalnya water loss, swelling, pipa
terjepit, dan sebagainya. Di sini dibutuhkan pemahaman yang
baik akan prosedur pemboran batubara dan juga kemampuan
Gambar 4.14 Proses Rig Set-Up
57
berkomunikasi yang baik. Faktor keselamatan pekerja di
sekitar rig juga menjadi tanggung jawab wellsite.
4.4.2.3 Deskripsi Cutting
Pada saat pemboran berlangsung, wellsite juga harus
mendeskripsikan litologi apa saja yang ada di dalam lubang
bor, tujuannya adalah untuk mengetahui susuna stratigrafi di
daerah tersebut. Kita dapat mendeskripsikan dua macam,
yaitu cutting dan core sample. Cutting adalah remah-remah
batuan yang hancur oleh gerusan mata bor. Serbuk cutting
keluar bersama air pemboran dalam bentuk lumpur. Deskripsi
cutting dilakukan setiap penambahan kedalaman sebesar 1
meter. Aspek-aspek yang harus dideskripsi antara lain jenis
batuan, warna, ukuran butir, semen pengikat, mineral
penyusun dan kandungan mineral lain.
Sedangkan core sample adalah conto inti batuan yang
didapat dengan menngunakan core barrel, tujuan deskripsinya
sama, hanya saja deskripsi core sample akan menjadi lebih
detail, antara lain jenis batuan, warna, ukuran butir,
elastisitas, kekerasan, dip, mineral penyusun dan kandungan
fossil. Selain dari ciri-ciri lithologinya, perlu juga dideskripsi
mengenai sifat-sifat geologi tekniknya, misalnya RQD (Rock
Gambar 4.15 Berbagai macam kondisi pada saat proses Drilling
58
Quality Designation). Untuk conto inti batubara juga perlu di
deskripsi, yaitu warna, kekerasan, cerat, belahan, pecahan
dan sifat fisik lainnya seperti parting, clay band, bone coal,
dan sebagainya.
Setiap hasil core sample keluar perlu dihitung recovery-
nya, hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah panjang
conto inti yang hancur tergerus (core loss). Untuk sample
cutting bisa dimasukkan di dalam plastik, sedangkan untuk
core sample harus dimasukkan ke dalam core box. Hasil
pencatatan tersebut dituliskan dalam kertas bore log.
4.4.2.4 Perekaman Data e-logging
Setelah pemboran mencapai floor dari seam batubara yang
ditarget, dan wellsite telah selesai melalkukan pencatatan data
litologi dan melakukan foto sampel, maka proses selanjutnya
adalah perekaman data e-logging atau logging geofisika.
Metode ini bertujuan untuk melakukan perekaman data
stratigrafi yang ada di titik tersebut secara lebih akurat,
dibandingkan dengan pencatatan cutting yang sering
terlambat naik ke permukaan.
Prinsip yang dipakai adalah menembakkan unsur-unsur
radioaktif ke dalam formasi kemudian pantulannya direkam
Gambar 4.16 (a) cutting ; (b) core sample
59
oleh sensor. Sebelum pencatatn logging geofisika dimulai,
terlebih dahulu driller mempersiapkan lubang kantongan
untuk probe sedalam 5 meter di bawah floor batubara,
kemudian sebelum pipa bor dicabut diadakan proses
flushing, yaitu menembakkan lumpur pemboran ke dalam
lubang bor, hal ini bertujuan untuk membersihkan lubang bor
dari cutting yang masih tertinggal. Maksudnya agar probe
tidak terjepit di dalam lubang, karena hal tersebut akan sangat
berbahaya mengingat unsur radiokatif yang ada di dalamnya.
Untuk proses flushing ini, lumpur pemboran dicampur
dengan Polymer, yang berfungsi mengikat cutting. Baru
setelah selesai flushing pipa bor dicabut semua dan siap untuk
dilakukan e-logging.
Alat-alat logging geofisika terdiri atas probe, radioaktif,
RecsaLog Data Logger, Winch, Winch Controller, dan
seperangkat komputer. Probe adalah alat untuk
menembakkan unsur radiokatif ke dalam formasi, di ujung
probe terdapat unsur radiokatif berbentuk batang. Di dalam
probe terdapat 4 sensor yang membaca pantulan dari gamma
ray, density, resistivity dan caliper. Untuk menggerakkan
probe masuk-keluar lubang digunakan winch, yang diatur
oleh logger melalui winch controller. Data yang terbaca oleh
sensor di dalam probe kemudian ditransfer ke RecsaLog Data
Logger, sebuah alat untuk membaca data sensor dan
mengubahnya menjadi kurva-kurva log geofisika, yang
nantinya untuk dianalisis oleh geologist. Dari alat RecsaLog
tersebut, disambungkan ke komputer dan datanya diolah
dengan piranti lunak bawaan dari alat RecsaLog tersebut.
Pertama-tama logger menurunkan probe sampai kedalaman
maksimum di bawah floor batubara, kemudian perlahan-
lahan probe dinaikkan sembari sensornya membaca pabtulan-
pantulan radioaktif yang ada.
60
Kehadiran wellsite geologist pada saat proses perekaman
data geofisika sangat penting, wellsite harus memberitahukan
informasi-informasi mengenai lubang bor kepada logger,
misalnya total depth, top and bottom of coal, dan formasi
penyusunnya. Dalam berita acara logging, wellsite menjadi
saksi dari pelaksanaan proses e-logging tersebut. Hasil
printout dari pembacaann data logging dibagi dalam dua
skala, yaitu skala 1 : 20 dan skala 1 : 100. Skala yang pertama
hanya untuk menyantumkan posisi dan ketebalan
batubaranya saja, sedangkan skala 1 : 100 untuk melihat
formasi secara keseluruhan.
Gambar 4.17 Logging Crew memasukkan Probe ke dalam Lubang Bor
Gambar 4.18 Logger sedang mempersiapkan peralatan perekaman data logging geofisika
61
4.4.2.6 Sampling Batubara
Sehabis perekaman data e-logging selesai, maka wellsite
membandingkanya dengan data yang diperoleh melalui core
sample. Perbandingan antara tebal batubara berdasarkan e-
logging dengan tebal batubara berdasarkan panjang core
sample disebut coal recovery, untuk standar perusahaan, coal
recovery minimal adalah 90%. Jika tidak memenuhi standar
tersebut maka harus dilakukan redrill atau pengeboran ulang.
Jika memang sudah memenuhi sarat, maka tugas berikutnya
adalah melakukan sampling batubara. Hasil sample akan
dimasukkan ke dalam kantong plastik menurut aturan ply by
ply, yang kemudian sample tersebut akan dikirim ke
laboratorium untuk dianalisis. Sangat penting untuk menjaga
sample batubara tetap dalam kondisi aslinya, maka harus
segera dimasukkan ke dalam kantong plastik, intinya harus
terlindung dari gangguan luar. Berikut ini adalah aturan
pengambilan sample batubara ply by ply :
Pengambilan sampel batubara tanpa parting (clean
coal)
Untuk bagian ats (top) dan bawah (bottom) dipotong 0,25
m. Kemudian bagian tengah (midlle) apabila lebih besar dari
1 meter, tebal masing-masing ply dibagi sama rata.
Maksimum ketebalan batubara bagian tengah adalah 1 meter.
Pengambilan sampel batubara dengan parting >0,20
meter
Parting dengan ketebalan >0,20 meter harus diambil ply
tersendiri.batubara bagian atas dan bawah parting dipisahkan
dengan ketentuan ply to, midlle, dan bottom seperti
pengambilan sampel pada batubara clean coal. Untuk
batubara bagian tengah dengan ketebalan > 1 meter dibagi
dengan ketebalan ply masing-masing sama rata. Bone coal
diperlakukan sebagai parting.
62
Pengambilan sampel batubara dengan parting <0,20
meter
Parting dengan tebal > 0,20 meter tidak perlu disampling
terpisah dan disatukan dengan ply batubara. Metode
pengambilan sampel sama dengan pengambilan sampel
batubara tanpa parting. Tetapi apabila parting yang ada akan
mempengaruhi kualitas batubara maka harus dipisahkan
menjadi sampel tersendiri.
Setelah semua sampel batubara dibagi per ply kemudian
sampel dibungkus dengan plastik wrap dan kemudian
dimasukkan ke dalam kantong sampel. Sebelumnya kantong
sampel harus ditandai dengan kertas sampel yang
menunjukkan keterangan sampel tiap ply.
Gambar 4.19. Sampel batubara yang sudah dibungkus dengan plastik wrap
4.4.2.6 Rig Down dan Moving
Jika semua proses di atas telah selesai, maka wellsite
membuat berita acara pengeboran yang kemudian
ditandatangani oleh driller dan wellsite. Surat tersebut berisi
data-data mengenai pemboran, meliputi total depth,
kronologi proses pemboran, serta permasalahan teknis yang
ada. Surat tersebut menandai selesainya pemboran di titik
63
tersebut, maka driller dan anggotanya mulai membongkar rig
satu persatu, proses ini disebut dengan rig down. Dalam
proses ini, kru pengeboran merapikan peralatannya agar nanti
mudah dalam proses moving. Moving adalah proses
memindahkan alat pengeboran ke titik berikutnya, tentu saja
berdasarkan petunjuk dari wellsite. Jika menggunakan alat rig
skala besar, proses moving menggunakan dozer, sedangkan
jika menggunakan rig-set kecil maka cukup dipikul saja ke
titik selanjutnya.
Gambar 4.20 Proses rig Down
64
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan atas pelaksanaan kegiatan kerja praktek yang telahh
dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang Wellsite Geologist
memiliki peranan yang penting dalam eksplorasi batubara, tepatnya di bidang
pemboran. Peran tersebut antara lain mengawasi jalannya kegiatan pemboran,
menentukan titik pemoran berikutnya, mengawasi prose logging geofisika,
deskripsi dan pencatatan data stratigrafi melalui conto inti dan cutting, dan
pembuatan laporan progres pemboran. Data pemboran merupakan data yang
penting bagi perusahaan dann menentukan jumlah cadangan serta mutu
batubara yang akan ditambang, maka peranan wellsite geologist juga penting
bagi perusahaan.
Selain pemahaman di atas, melalui kegiatan kerja praktek ini mahasiswa
juga mendapatkan banyak pengalaman, anatara lain pengalaman menjadi
pemimpin operasional pemboran, bersosialisasi dengan penduduk lokal,
menjelajahi hutan rimba, serta pengalaman untuk melihat langsung proses
penambangan batubara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan kerja
prakek ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan serta soft skill
mahasiswa.
5.1 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk rekan-rekan yang ingin melaksanankan
kerja praktek di konsesi pertambangan batubara antara lain :
Menjaga kesehatan jasmani dan mempersiapkan mental sebelum
turun langsung ke lapangan, sebab seringkali lokasi pemboran
berada di medan yang berat, misalkan hutan yang belum pernah
dijamah, rawa-rawa, dan sebagainya
Selalu persiapkan peralatan lapangan seperti tas, ponco, botol
minum, dan sebagainya
65
Memperhatikan faktor keselamatan kerja dengan senantiasa
memakai Alat Pelindung Diri, helm, dan sepatu boot ketika berada di
areal tambang. Tak lupa pula untuk berperilaku safety.
Siapkan materi-materi penunjang studi, supaya lebih cepat
memahami pekerjaan yang dilaksanakan.
Jangan sungkan untuk bertanya kepada pembimbing yang ditunjuk
dari perusahaan, karena bisa menambah ilmu yang tidak didapat
melalui perkuliahan.
Bertutur kata yang santun, karena dimanapun kita pergi kita selalu
membawa nama almamater, serta bersosialisasi yang baik kepada
para karyawan di pertambangan dan juga kepada penduduk lokal.