laporan kp di pkn

Upload: yunanardhifaisal

Post on 12-Jul-2015

2.086 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

DRAFT LAPORAN KERJA PRAKTEK

PERANAN WELLSITE GEOLOGIST DALAM EKSPLORASI BATUBARA(SENGKELAMI PROJECT, KELUBIR MINE OPERATION, PT. PESONA KHATULISTIWA NUSANTARA)

DIENAN FIRDAUS 11/12/2011

BAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Kerja Praktek merupakan salah satu mata kuliah wajib yang ada pada kurikulum Teknik Geologi Universitas Diponegoro, dimana mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat melalui perkuliahan pada dunia pekerjaan yang berhubungan dengan dunia geologi. Tempat pelaksanaan kerja praktek geologi dapat bermacam-macam, bisa di bidang industri seperti industri logam, industri energi maupun pada lembaga ilmu pengetahuan, pada lembaga survey, serta lembaga pemerintahan yang berhubungan dengan dunia geologi. Pada kesempatan ini penulis

melaksanakan kerja praktek di bidang pertambangan, tepatnya pertambangan batubara yang terletak di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Seiring dengan terus melonjaknya harga bahan bakar minyak, kini permintaan konsumen akan batubara sebagai sumber energi terus meningkat, terutama digunakan pada pembengkit listrik, industri pengolahan logam, pabrik semen, dan industri besar lainnya. Pembentukan batubara sendiri merupakan proses alamiah yang membutuhkan waktu hingga jutaan tahun, sehingga batubara dapat digolongkan sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable natural resources). Keterdapatan Batubara di Indonesia sendiri terutama pada Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Sebelum dapat menambang batubara tentunya harus diketahui terlebih dahulu cadangan dan jenis batubara pada suatu daerah, apakah ekonomis atau tidak untuk ditambang. Untuk itu harus dilakukan tahap eksplorasi yang meliputi survey awal dan survey terperinci. Survey awal adalah melakukan studi pustaka untuk mengetahui regional geologi daerah yang akan ditambang dan melakukan pemetaan permukaan (surface mapping) untuk mengetahui sebaran serta arah kemiringan lapisan batubara. Survey terperinci dilakukan dengan melakukan pemboran dengan kedalaman hingga mencapai bottom dari lapisan batubara. Yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan logging geofisika. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai

2

posisi dan kondisi batubara di bawah permukaan serta hubunganya dengan litologi di sekitarnya. Setelah tahap survey terlaksana baru kemudian dilakukan analiasis cadangan dan mutu batubara, apakah ekonomis untuk ditambang atau tidak.

1.2. Maksud dan Tujuan 1.2.1. Maksud Maksud dari dilaksanakanya kerja praktek ini adalah untuk terlibat langsung dalam peranan dan pekerjaan seorang geologist di bidang pertambangan batubara. 1.2.2. Tujuan Tujuan dari dilaksanakannya kerja praktek ini adalah agar mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung mengenai pekerjaan seorang geologist di perusahaan, dalam hal ini sebagai seorang wellsite geologist.

1.3. Lokasi Kerja Praktek Lokasi kerja praktek dilakukan di PT. Pesona Khatulistiwa Nusantara yang berlokasi di desa Kelubir dan sekitarnya, kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur.

1.4. Ruang Lingkup Kerja Praktek Kerja Praktek yang dilakukan kali ini termasuk dalam tahap eksplorasi lanjutan, yaitu berkaitan dengan rencana perluasan areal tambang berdasarkan data yang sudah ada. Pekerjaan yang dilakukan disini adalah sebagai wellsite geologist, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap suatu titik pemboran (borehole). Ruang lingkup pekerjaanya adalah mendeskripsisikan sample batuan yang keluar dari lubang bor yang berupa cutting dan core sample, serta memberikan keputusan mengenai total depth lubang bor, apabila terjadi permasalahan teknis pada saat pemboran berlangsung, dan penentuan lokasi titik pemboran berikutnya.

3

1.5. Sistematika Laporan Kerja Praktek Dalam penulisan laporan kerja praktek dibagi menjadi beberapa bab yang menunjang kegiatan selama kerja praktek. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut, 1.5.1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Maksud dan Tujuan Lokasi Kerja Praktek Ruang Lingkup Kerja Praktek Sistematika Laporan Kerja Praktek Metodologi Program Kerja Praktek 1.5.2. BAB II DASAR TEORI Pengenalan Batubara Proses Pembentukan Batubara Material Penyusun Batubara Kualitas dan Klasifikasi Batubara Lingkungan Pengendapan Batubara Tahapan Penambangan Batubara Wellsite Geologist Dalam Tahapan Eksplorasi 1.5.3. BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Profil Perusahaan Bidang Pekerjaan Perusahaan Organisasi Perusahaan 1.5.4. BAB IV PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK Jenis Pekerjaan Yang Dilakukan Peralatan Pekerjaan Yang Digunakan Jadwal Pekerjaan Yang Dilakukan Pelaksanaan Pekerjaan

4

1.5.5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

1.6. Metodologi Program Kerja Praktek Prosedur dalam melaksanakan kerja praktek dilakukan dalam beberapa tahapan. Dimulai dari pembuatan proposal pengajuan kerja praktek yang kemudian dikirimkan ke perusahaan yang disertai surat pengantar dari pihak jurusan. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari perusahaan kemudian mahasiswa melakukan regristrasi ke bidang akademik jurusan bahwa telah diterima kerja praktek di suatu perusahaan. Setelah semua prosedur dan persyaratan dipenuhi kemudaian mahasiswa siap melakukan kerja praktek di lokasi dan waktu sesuai keputusan perusahaan

5

BAB II DASAR TEORI

2.1. Pengenalan Batubara Batubara merupakan salah satu sumber energi disamping minyak, gas bumi dan panas bumi. Komposisi kimia batubara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang terdiri dari unsur C (carbon), H (hydrogen), O (oxygen), N (nitrogen), S (sulphur), dan P (phospor). Hal ini dikarenakan batubara terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami proses pembatubaraan

(coalification). Komposisi utama batubara serupa dengan komposisi kimia arang kayu. Perbedaannya, arang kayu dapat dibuat sebagai rekayasa dan hasil inovasi manusia selama jangka waktu yang pendek sedangkan batubara terbentuk oleh proses alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Karena batubara terbentuk oleh proses alam , maka banyak parameter yang akan berpengaruh pada pembentukan batubara.

2.2. Proses Pembentukan Batubara Apabila ada suatu tumbuhan atau pohon yang mati, kemudaian jatuh ke tanah yang kering, maka tumbuhan tersebut akan membusuk dan akhirnya hilang tidak meninggalkan sisa organik, karena diuraikan oleh bakteri pengurai. Akan tetapi apabila suatu tumbuhan atau pohon yang sudah mati kemudian jatuh di daerah yang berair seperti rawa, sungai, atau danau, maka tumbuhan tersebut tidak akan mengalami pembusukan secara sempurna, karena pada kedalaman tertentu bakteri tidak lagi bisa menguraikan tumbuhan tersebut baik bakteri aerob maupun anaerob. Akibatnya sisa tumbuhan tersebut akan terus mengendap membentuk suatu sediment fossil tumbuhan yang selanjutnya mengalami perubahan fisik dan biokimia serta dipengaruhi oleh waktu , tekanan, dan temperature, sehingga membentuk suatu sediment atau batuan organik yang sekarang disebut batubara.

6

Proses pembentukan batubara terjadi beberapa tahap, dan tahapantahapan tersebut disebut Coalification. Proses coalification tersebut dimulai dari Peat sampai Antrasit. Dalam proses pembentukan batubara tersebut terdapat dua teori penting yang menjelaskan tentang pembentukan batubara, yaitu teori insitu dan teori drift. Teori insitu menjelaskan bahwa batubara terbentuk di daerah dimana tumbuhan tersebut berasal atau dengan kata lain endapan batubara tersebut berada di hutan atau di daerah bekas hutan tumbuhan yang membentuk batubara tersebut. Batubara yang terbentuk dengan teori insitu hanya terjadi di hutan basah atau daerah hutan yang berawa karena di daerah seperti ini beberapa jenis bakteri pengurai tidak aktif, bahkan mati. Sedangkan di daerah hutan kering, pembusukan terjadi sempurna sehingga tidak ada material organik yang tersisa kecuali mineral yang kembali ke tanah dan pada kondisi in tumbuhan yang mati tersebut tidak akan menjadi batubara. Teori drift menjelaskan bahwa batubara terbentuk didaerah yang bukan merupakan daerah dimana tumbuhan pembentuk batubara tersebut berasal. Tumbuhan atau pohon yang sudah mati, kemudian terbawa oleh air (banjir), kemudian terendapkan di delta-delta sungai atau didalam danau purba sehingga pembusukan tumbuhan tersebut tidak sempurna dan akhirnya membentuk fossil tumbuhan yang kemudian menjadi batubar dengan teori drift. Proses atau tahap pertama pembentukan batubara adalah pembentukan Peat atau yang disebut dengan Peatification. Pada tahap ini terjadi perubahan secara biokimia atau perubahan diagenetik. Perubahan yang cepat terjadi pada top 0.5 meter dimana pada kedalaman ini bakteri aerob yang aktif dan menguraikan vegetasi tersebut. Pada level lebih bawah lagi yang aktif adalah bakteri anaereob. Bakteri ini mengkonsumsi oksigen dari molekul organik. Bakteri ini biasanya aktif sampai kedalaman 10 m, di bawah kedalaman tersebut perubahan yang terjadi adalah perubahan kimia seperti polymerisasi, reaksi reduksi dan lain-lain. Pada kedalaman ini berat akumulasi peat menyebabkan tekanan bertambah, dan perubahan fisik pun terjadi pada peat tersebut. Pada prinsipnya perubahan fisik tersebut merupakan pemerasan

7

kelebihan air dari endapan peat tersebut. Penurunan kandungan moisture pada proses ini tercatat sekitar 1 % untuk setiap kedalaman 10m. Kandungan Carbon pada lapisan bagian atas bertambah agak cepat seiring dengan terjadinya pembusukan pada zat-zat selulosa. Pada transisi dari Peat ke Lignite dan selanjutnya ke sub-bituminous, terjadi penurunan porositas secara drastis. Penurunan porositas ini disebabkan oleh terjadinya kompresi lapisan batubara tersebut oleh berat dari overburden. Penurunan porositas menyebabkan penurunan pula pada kandungan moisture. Pada Lignite moisture berkurang sampai 4 % untuk setiap kedalaman 100m. Sedangkan pada transisi dari Lignite ke sub-bituminou terjadi penurunan moisture 1 % untuk setiap kedalaman 100-200 m. Selama transisi dari Lignite ke sub-bituminous menghasilakan produk dari reaksi coalification yaitu moisture,carbon dioksida, dan gas methan dalam jumlah yang kecil yang merupakan hasil pembusukan sisa-sisa lignin. Pada batubara high volatile bituminous kelanjutan tahap coalification ditunjukan dengan terus berkurangnya oxygen dan moisture yang menghasilkan naiknya nilai kalori. Perubahan transisi dari biuminous ke antrasit, diikuti dengan menurunya nilai Volatile matter yang cukup drastis. Penurunan volatile matter (daf) pada transisi ini mencapai lebih dari 14 % 40 %. Sedangkan kenaikan carbon (daf) nya adalah dari 85% sampai 90%. Perubahan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia dalam molekul batubara.

8

Gambar 1.1. Siklus pembentukan batubara

Proses pembentukan batubara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi di alam, faktor-faktor tersebut antara lain : 2.2.1. Posisi geoteknik Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan cekungan sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya tektonik lempeng. Adanya gaya-gaya tektonik ini akan mengakibatkan cekungan sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi penurunan dasar cekungan, atau menjadi lebih sempit apabila terjadi penaikan dasar cekungan. Proses tektonik ini dapat pula diikuti oleh perlipatan perlapisan batuan ataupun patahan. Apabiala proses ini terjadi, suatu cekungan sedimentasi akan dapat terbagi menjadi dua atau lebih sub cekungan sedimentasi dengan luasan yang relatif kecil. Proses ini akan berpengaruh terhadap penyebaran batubara yang terbentuk. Makin dekat cekungan sedimentasi batubara terbentuk atau terakumulasi terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, kualitas betubara yang dihasilkan akan semakin baik. 2.2.2. Keadaan topografi daerah Daerah tempat tumbuhan berkembang biak merupakan daerah yang relatif tersedia air. Oleh karena itu tempat tersebut mempunyai topografi yang relatif lebih rendah dibanding daerah yang

9

mengeliliginya. Makin luas daerah dengan topografi relatif rendah, makin banyak tanaman yang tumbuh, sehingga makin banyak terdapat bahan pembentuk batubara. 2.2.3. Iklim daerah Iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Di daerah beriklim tropis dengan curah hujan silih berganti sepanjang tahun, disamping tersedianya sinar matahari sepanjang waktu, merupakan tempat yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman. Maka dari itu di daerah yang memiliki iklim tropis pada masa lampau sangat dimungkinkan didapatkan endapan batubara dengan jumlah banyak. Kebanyakan luas tanaman yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh iklim akan menentukan penyebaran dan ketebalan batubara yang terbentuk. 2.2.4. Proses penurunan cekungan sedimentasi Cekungan sedimentasi di alam bersifat dinamis, artinya dasar cekungan akan mengalami proses penurunan atau pengangkatan. Apabila proses penurunan dasar cekungan sedimentasi lebih sering terjadi, akan terbentuk penambahan luas permukaan tempat tanaman mampu hidup dan berkembang. Selain itu penurunan dasar cekungan akan mengakibatkan terbentuknya lapisan batubara yang cukup tebal. Di indonesia batubara yang memiliki nilai ekonomis untuk ditambang terdapat pada cekungan sedimentasi yang berumur tersier dengan luasan ratusan hingga ribuan hektar terutama di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan. 2.2.5. Umur geologi Jaman karbon (kurang lebih 350 juta tahun yang lalu) diyakini merupakan awal munculnya tumbuh-tumbuhan di dunia untuk pertama kalinya. Di indonesia, batubara didapatkan pada cekungan sedimentasi yang berumur tersier (70 juta tahun yang lalu). Dalam hitungan waktu geologi, 70 tahun yang lalu masih dianggap terlalu muda dibandingkan dengan jaman karbon. Oleh karena itu banyak yang mengatakan bahwa batubara Indonesia adalah batubara muda

10

(young age coal). Hal ini tidak ada hubungannya dengan banyaknya Antrasit yang ditemukan di daerah Sumatra. Penting untuk dipahami bahwa tua-mudanya batubara adalah ditentukan oleh umur

pembentukan batubara tersebut. Sedangkan coal rank ditentukan oleh kualitas batubara tersebut. 2.2.6. Jenis tumbuh-tumbuhan Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara.

Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu, merupakan faktor penentu terbentuknya berbagai type batubara. Batubara yang terbentuk dari tanaman yang keras dan berumur tua akan lebih baik dibandingkan dengan batubara yang terbentuk dari tanaman yang berbentuk semak dan hanya berumur semusim. 2.2.7. Dekomposisi Dekomposisi flora merupakan bagian dari transformasi

biokimia dari organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati. Dari proses diatas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan

perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses

11

pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. 2.2.8. Sejarah setelah pengendapan Sejarah cekungan tempat terjadi pembentukan batubara salah satu faktor faktor diantaranya ditentukan oleh posisi cekungan sedimentasi tersebut terhadap posisi geoteknik. Makin dekat posisi cekungan sedimentasi terhadap posisi geoteknik yang selalu dinamis akan mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan letak batubara berada. Selama waktu itu pula proses geokimia dan metamorfisme organik akan ikut berperan dalam mengubah gambut menjadi batubara. Apabila dinamika geoteknik memungkinkan terbentuk lipatan pada lapisan batuan yang mengandung batubara, dan terjadi proses pensesaran, proses ini akan mempercepat terbentuknya batubara dengan rank yang lebih tinggi. Proses ini akan dipercepat apabila dalam cekungan tempat batubara tersebut berada terjadi mroses intrusi magmatis. Panas yang ditimbulkan selama terjadinya proses perlipatan, pensesaran, dan proses intrusi magmatis akan mempercepat terjadinya proses coalification. 2.2.9. Struktur geologi Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk tertentu. Semakin banyak perlipatan dan pensesaran terjadi di dalam cekungan sedimentasi yang mengandung batubara, secara teoritis akan meningkatkan mutu batubara. Oleh sebab itu pencarian batubara bermutu baik diarahkan pada daerah geosinklin atau geantiklin karena kedua daerah tersebut diyakini kegiatan tektonik berjalan cukup intensif. 2.2.10. Metamorfosa organik Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut

12

menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkkan oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik.

13

2.3. Komponen Penyusun Batubara Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya. Komponen batubara secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Moisture/air, Mineral Matter, dan Organik. Lihat ilustrasi gambar dibawah ini : Kalau Batubara dimisalkan sebagi batang atau tabung, maka bagian bagian komponen batubara adalah sebagai berikut :

Gambar 2.2. Bagian- bagian komponen batubara

14

Substansi batubara selain seperti yang diilustrasikan diatas, juga dapat digolongkan lagi menjadi beberapa golongan substansi sepeti Proximate, Ultimate, dan Maceral. 2.3.1. Coal proximate Batubara dapat dibagi menjadi 4 bagian dalam proximate, dimana pada bagian organik batubara dibagi lagi menjadi 2 berdasarkan sifat penguapan atau keteruraian dengan pemanasan pada suhu tertentu dan waktu tertentu. Bagian Organik yang menguap atau terurai ketika batubara dipanaskan tanpa oksigen pada temperature 900o Celsius digolongkan sebagai Volatile Matter. Sedangkan bagian organik batubara yang tetap pada pemanasan tersebut digolongkan sebagai Fixed Carbon atau karbon tetap. Volatile matter biasanya berasal dari struktur alifatik carbon yang mudah putus dengan thermal dekomposisi, sedangkan fixed carbon berasal dari gugus rantai carbon yang kuat seperti gugus aromatik. Semakin tinggi peringkat batubara semakin besar jumlah carbon yang membentuk aromatik, dan semakin tinggi juga fixed carbon dan semakin rendah Volatile Matter yang diperoleh. Oleh karena itu peringkat batubara dapat dilihat dengan penurunan Vlatile matter. 2.3.2. Coal ultimate Pada penggolongan batubara ultimate, unsur moisture dan mineral matter tetap, tetapi unsur organiknya dibagi berdasarkan unsur pembentuk organik tersebut. Unsur- unsur pembentuk organik batubara terdiri dari Total Carbon, baik yang berasal gugus alifatik maupun yang berasal dari gugus aromatik, Kemudian Hidrogen (tidak termasuk hidrogen yang berasal dari air atau moisture. Kemudian Nitrogen, Sulfur, dan Oksigen. Dalam penentuannya Oksigen tidak secara langsung ditentukan melainkan dengan cara mengurangkan unsur organik yang 100% dikurangi dengan Carbon, Hidrogen, Nitrogen dan Sulfur.

15

2.3.3. Coal maceral Pada penggolongan Coal Maceral, unsur moisture dan mineral matter tetap, akan tetapi unsur organiknya dibagi berdasarkan substansi pembentuk batubara yang terdiri dari 3 golongan atau grup maceral yaitu Vitrinite, Exinite atau liptinite, dan Inertinite. Grup maceral ini didasarkan pada fosil atau bahan pembentuk batubara seperti daun, akar batang, cutikula, spora, dan lain-lain. Vitrinite Vitrinite adalah maceral yang paling domonant dalam batubara. Maceral ini berasal dari batang pohon, cabang, atau dahan, tangkai, daun, dan akar tumbuhan pembentuk batubara. Nilai reflectan dari Vitrinite dijadikan penentu peringkat batubara, dan sering dikorelasikan dengan nilai volatile matter seperti yang terdapat pada ASTM standard. Exinite atau liptinite Seperti namanya, Liptinite berasal dari spora, resin, alga, cutikula (yang terdapat pad permukaan daun) lilin/parafin, lemak dan minyak. Suberinite, tidak tercantum diatas, hanya terdapat pada batubara tersier. Maceral ini berasal dari substansi semacam gabus yang terdapat pada kulit kayu, dan pada permukaan akar, batang dan buah buahan. Fungsi dari maceral ini sebenarnya untu mencegah pengeringan pada tanaman. Inertinite Material pembentuk inertinite sebenarnya sama dengan pembentuk Vitrinite. Yang membedakannya adalah historikal pembentukannya yang disebut fusination. Charring atau oksidasi pada saat proses pembentukan batubara berlangsung merupakan proses yang membedakan substansi Vitrinite dan Inertinite. Inertinite ini biasanya memiliki kadar carbon yang tinggi, hydrogen yang rendah serta derajat aromatisisty yang tinggi. Fusinite sering juga disebut sebagai mother of charcoal karena diidentikan dengan

16

terjadinya forest fire pda saat dekomposisi batubara. Pada batubara Indonesia Maseral dari grup inertinite seperti sclerotinite banyak ditemukan dan biasanya berasal dari sisa-sisa atau fosil fungi.

2.4. Kualitas dan Klasifikasi Batubara Hasil dari analisa dan pengujian contoh batubara digunakan oleh Geologis eksplorasi untuk mengevaluasi apakah deposit batubara memiliki potensi untuk mensuplai pasar yang telah ada dan yang akan datang , dan feasibility study apakah layak untuk melakukan operasi penambangan pada cadangan batubara tersebut. Maka dari itu perlu dilakukan pengujian terhadap sampel batubara yang sudah didapat dari data pemboran. Tingkat perubahan yang dialami batubara, dari gambut sampai menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan dan memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut disebut sebagai tingkat mutu batubara. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batubara muda dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Batubara muda memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak. Antrasit adalah batubara dengan mutu yang paling baik dan dengan demikian memiliki kandungan karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih rendah Pengujian yang dilakukan digunakan untuk menentukan karakteristik batubara sesuai dengan peringkat (rank) dan potensi pemanfaatannya, yang terdiri dari ; Pengujian fisik, seperti Hardgrove Grindability Index, Relative Density, Sizing Analysis, Handling, Float & Sink Test. Pengujian kimia, seperti analisa proksimat, analisa ultimat, nilai kalori

17

Pengujian pemanfaatan batubara thermal, seperti ash fusion, ash analysis untuk elemen mayor dan elemen mikro, trace element, fly ash properties. Evaluasi Petrografik. Ada beberapa sistem klasifikasi yang biasanya digunakan untuk menentukan rank suatu batubara yaitu : 2.4.1. ASTM Classification Sistem klasifikasi ini mempergunakan volatile matter (dmmf), fixed carbon (dmmf) dan calorific value (dmmf) sebagai patokan. Untuk anthracite, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan utama, sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Bituminous mempergunakan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Lignite mempergunakan calorific value (dmmf) sebagai patokan. 2.4.2. Seylers Classification Ralstons mempergunakan hasil analisa ultimate yang sudah dinormalisasi (C + H + O = 100). Ditampilkan dalam bentuk triaxial plot. Band yang terdapat pada triaxial plot tersebut ialah area dimana batubara berada. 2.4.3. Ralstons Classification System klasifikasi ini mempergunakan % carbon (dmmf) dan % hydrogen (dmmf) sebagai dasar utama. Klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk beberapa grafik kecil yang bertumpu pada grafik utama. Grafik utama menghubungkan % carbon (dmmf) dengan % hydrogen (dmmf). sedangkan grafik kecil menggambarkan hubungan calorific value (dmmf) dengan % volatile matter (dmmf) dan % moisture (adb), menggambarkan % oxygen (dmmf), crucible swelling number dan rasio O/H=8. Ditengah grafik tersebut terdapat band yang

menggambarkan yang menggambarkan area dimana 95% batubara inggris akan berada serta menunjukkan jenisnya.Batubara yang jatuh di atas band disebut per-hydrous sedangkan yang jatuh di bawahnya disebut sub-hyrous. Seylers chart ini tidak cocok untuk low rank coal.

18

2.4.4. ECE Classification (Economic Commission for Europe) ECE membuat system klasifikasi yang dapat dipergunakan secara luas, pada tahun 1965 yang kemudian menjadi standar

international.Sistem ini mengelompokkan batubara dalam class, group dan sub-group. Coal class mempergunakan calorific value atau volatile matter sebagai patokan. Coal group mempergunakan Gray-king coke type atau maximum dilatation pada Audibert-Arnu dilatometer test sebagai patokan, sedangkan coal sub-group mempergunakan crucible swelling number dan Roga test sebagai patokan. Sistem ini mampu menunjukkan coal rank dan potensi penggunaannya, terutama coal group dan coal sub-group yang menjelaskan perilaku batubara jika dipanaskan secara perlahan maupun secara cepat sehingga dapat memberikan gambaran kemungkinan penggunaannya. Pada tahun 1988 sistem ini dirubah dengan lebih menekankan pada pengukuran petrographic. 2.4.5. International Classification for Lignite ISO 2960:1974 Brown Coals and Lignites. Classification by Type on the Basis of Total Moisture content and Tar Yield. Mengelompokkan batubara yang mempunyai heating value (moist,ash free) lebih kecil dari 5700 cal/g. Batubara dikelompokkan dalam coal class dengan patokan total moisture dan coal group dengan patokan tar yield. Tar yield diukur dengan Gray-King Assay, dimana batubara didestilasi dan hasilnya berupa gas, air, cairan, tar dan char dilaporkan dalam persen. Tar yield mempunyai korelasi dengan hydrogen dan pengukuran ini cukup baik sebagai indicator komposisi petrographic.

Diantara sistem klasifikasi diatas yang paling sering digunakan adalah sistem klasifikasi ASTM (American Society for Testing and Material). Dimana sistem ini membagi rank atau golongan batubara menjadi beberapa kelas seperti dibawah ini:

19

Tabel 2.1. Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)

2.5. Lingkungan Pengendapan Batubara Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruhpengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi. Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

20

Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil. Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara (Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.

Tabel 2.2. Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara(Diesel, 1992)

Environment Gravelly braid plain

Subenvironment Bars, channel, overbank plains, swamps, raised bogs

Coal Characteristics mainly dull coals, medium to low TPI, low GI, low sulphur

Sandy braid plain

Bars, channel, overbank plains, swamp, raised bogs,

mainly dull coals, medium to high TPI, low to medium GI, low sulphur

Alluvial valley and upper delta plain

channels, point bars, floodplains and basins, swamp, fens, raised bogs

mainly bright coals, high TPI, medium to high GI, low sulphur mainly bright coals, low to medium TPI, high to very high GI, high sulphur transgressive : mainly bright coals, medium TPI, high GI, high sulphur regressive : mainly dull coals, low TPI and GI, low sulphur

Lower delta plain

Delta front, mouth bar, splays, channel, swamps, fans and marshes

Backbarrier strand plain

Off-, near-, and backshore, tidal inlets, lagoons, fens, swamp, and marshes

Estuary

channels, tidal flats, fens and marshes

mainly bright coal with high GI and medium TPI

21

Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998). Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple lamination dan paralel lamination. Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus sedang dengan struktur sedimen cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel utamanya dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas. Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain. Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis. Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut.

22

Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).

2.6. Tahapan Penambangan Batubara Tahapan kegiatan penambangan batubara yang diterapkan untuk tambang terbuka adalah sebagai berikut : 2.6.1. Persiapan Kegiatan ini merupakan kegiatan tambahan dalam tahap penambangan. Kegiatan ini bertujuan mendukung kelancaran kegiatan penambangan. Pada tahap ini akan dibangun jalan tambang (acces road), stockpile, dll. 2.6.2. Pembersihan lahan (land clearing) Kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan daerah yang akan ditambang mulai dari semak belukar hingga pepohonan yang berukuran besar. Alat yang biasa digunakan adalah buldozer ripper dan dengan menggunakan bantuan mesin potong chainsaw untuk menebang pohon dengan diameter lebih besar dari 30 cm. 2.6.3. Pengupasan Tanah Pucuk (top soil) Maksud pemindahan tanah pucuk adalah untuk menyelamatkan tanah tersebut agar tidak rusak sehingga masih mempunyai unsur tanah yang masih asli, sehingga tanah pucuk ini dapat diguanakan dan ditanami kembali untuk kegiatan reklamasi. Tanah pucuk yang dikupas tersebut akan dipindahkan ke tempat penyimpanan sementara atau langsung di pindahkan ke timbunan. Hal tersebut bergantung pada perencanaan dari perusahaan. 2.6.4. Pengupasan Tanah Penutup (stripping overburden) Bila material tanah penutup merupakan material lunak (soft rock) maka tanah penutup tersebut akan dilakukan penggalian bebas. Namun bila materialnya merupakan material kuat, maka terlebih dahulu dilakukan pembongkaran dengan peledakan (blasting)

23

kemudian dilakukan kegiatan penggalian. Peledakan yang akan dilakukan perlu dirancang sedemikian rupa hingga sesuai dengan produksi yang diinginkan. 2.6.5. Penimbunan Tanah Penutup (overburden removal) Tanah penutup dapat ditimbun dengan dua cara yaitu backfilling dan penimbunan langsung. Tanah penutup yang akan dijadikan material backfilling biasanya akan ditimbun ke penimbunan sementara pada saat taambang baru dibuka. 2.6.6. Penambangan Batubara (coal getting) Untuk melakukan penambangan batubara (coal getting) itu sendiri, terlebih dahulu dilakukan kegiatan coal cleaning. Maksud dari kegiatan coal cleaning ini adalah untuk membersihkan pengotor yang berasal dari permukaan batubara (face batubara) yang berupa material sisa tanah penutup yang masih tertinggal sedikit, serta pengotor lain yang berupa agen pengendapan (air permukaan, air hujan, longsoran). Selanjutnya dilakukan kegiatan coal getting hingga pemuatan ke alat angkutnya. Untuk lapisan batubara yang keras, maka terlebih dahulu dilakukan penggaruan. 2.6.7. Pengangkutan Batubara (coal hauling) Setelah dilakukan kegiatan coal getting, kegiatan lanjutan adalah pengangkutan batubara (coal hauling) dari lokasi tambang (pit) menuju stockpile atau langsung ke unit pengolahan. 2.6.8. Pengupasan parting (parting removal) Parting batubara yang memisahkan dua lapisan atau lebih batubara peerlu dipindahkan agar tidak mengganggu dalam

penambangan batubara. 2.6.9. Backfilling (dari tempat penyimpanan sementara) Tanah penutup maupun tanah pucuk yang sebelumnya disimpan di tempat penyimpanan sementara akan diangkut kembali ke daerah yang telah tertambang (mined out). Kegiatn ini dimaksudkan agar pit bekas tambang tidak meninggalkan lubang yang besar dan digunakan untuk rehabilitasi lahan pasca tambang.

24

2.6.10. Perataan dan Rehabilitasi Tanah (spreading) Terdiri dari pekerjaan penimbunan, perataan, pembentukan, dan penebaran tanah pucuk diatas disposal overburden yang telah di backfilling, agar daerah bekas tambang dapat ditanami kembali untuk pemulihan lingkungan hidup (reclamation). 2.6.11. Penghijauan (reclamation) Merupakan proses untuk penanaman kembali lahan bekas tambang, dengan tanaman yang sesuai atau hampir sama seperti pada saat tambang belum dibuka. 2.6.12. Kontrol (monitoring) Kegiatan ini ditujukan untuk pemantauan terhadap aplikasi rencana awal penambangan. kontrol akan dilakukan terhadap lereng tambang, timbunan, ataupun lingkungan, baik terhadap pit yang sedang aktif maupun pit yang telah ditambang.

2.7. Wellsite Geologist Dalam Tahapan Eksplorasi batubara Pada tahapan eksplorasi, salah satu tahapan yang memegang peranan penting adalah tahapan pemboran awal, dimana pada tahapan ini diperlukan adanya pengawasan lapangan yang merupakan peranan seorang wellsite geologist. Wellsite geologist merupakan seorang pengawas lapangan yang bertugas dan bertanggung jawab mengawasi suatu lokasi pemboran dalam suatu kegiatan eksplorasi pemboran demi kelancaran pemboran tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka peranan seorang wellsite geologist dalam kelancaran pemboran sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, akan dijelaskan peranan seorang wellsite geologist dalam eksplorasi pemboran batubara yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan maka seorang wellsite geologi harus memiliki kemampuan yang dapat menunjang pekerjaan di lapangan. Adapun beberapa kemampuan umum yang perlu dimiliki oleh seorang wellsite geologi, Memiliki pengetahuan tentang ilmu geologi Mengerti tentang tahapan eksplorasi batubara25

Memahami teori-teori tentang batubara Mengenal kondisi lapangan (lokasi penelitian) Memahami tentang standart operational prosedur (SOP) perusahaan sebagai wellsite geologi.

26

Diagram alir kerja Wellsite Geologist

Data Geologist

Rencana Aktivitas Kerja

Mobilisasi Lapangan

Penentuan titik Pemboran

Setup Rig

Drilling & Diskripsi cutting / coring

logging

Compare Data Drlling dan Logging Coal Recovery >90% Sampling Batubara

Redrill

Coal Recovery 0,20 meter Parting dengan ketebalan >0,20 meter harus diambil ply tersendiri.batubara bagian atas dan bawah parting dipisahkan dengan ketentuan ply to, midlle, dan bottom seperti pengambilan sampel pada batubara clean coal. Untuk batubara bagian tengah dengan ketebalan > 1 meter dibagi dengan ketebalan ply masing-masing sama rata. Bone coal diperlakukan sebagai parting.

61

Pengambilan sampel batubara dengan parting 0,20 meter tidak perlu disampling terpisah dan disatukan dengan ply batubara. Metode pengambilan sampel sama dengan pengambilan sampel batubara tanpa parting. Tetapi apabila parting yang ada akan mempengaruhi kualitas batubara maka harus dipisahkan menjadi sampel tersendiri. Setelah semua sampel batubara dibagi per ply kemudian sampel dibungkus dengan plastik wrap dan kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel. Sebelumnya kantong sampel harus ditandai dengan kertas sampel yang

menunjukkan keterangan sampel tiap ply.

Gambar 4.19. Sampel batubara yang sudah dibungkus dengan plastik wrap

4.4.2.6 Rig Down dan Moving Jika semua proses di atas telah selesai, maka wellsite membuat berita acara pengeboran yang kemudian

ditandatangani oleh driller dan wellsite. Surat tersebut berisi data-data mengenai pemboran, meliputi total depth,

kronologi proses pemboran, serta permasalahan teknis yang ada. Surat tersebut menandai selesainya pemboran di titik

62

tersebut, maka driller dan anggotanya mulai membongkar rig satu persatu, proses ini disebut dengan rig down. Dalam proses ini, kru pengeboran merapikan peralatannya agar nanti mudah dalam proses moving. Moving adalah proses

memindahkan alat pengeboran ke titik berikutnya, tentu saja berdasarkan petunjuk dari wellsite. Jika menggunakan alat rig skala besar, proses moving menggunakan dozer, sedangkan jika menggunakan rig-set kecil maka cukup dipikul saja ke titik selanjutnya.

Gambar 4.20 Proses rig Down

63

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Berdasarkan atas pelaksanaan kegiatan kerja praktek yang telahh dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang Wellsite Geologist memiliki peranan yang penting dalam eksplorasi batubara, tepatnya di bidang pemboran. Peran tersebut antara lain mengawasi jalannya kegiatan pemboran, menentukan titik pemoran berikutnya, mengawasi prose logging geofisika, deskripsi dan pencatatan data stratigrafi melalui conto inti dan cutting, dan pembuatan laporan progres pemboran. Data pemboran merupakan data yang penting bagi perusahaan dann menentukan jumlah cadangan serta mutu batubara yang akan ditambang, maka peranan wellsite geologist juga penting bagi perusahaan. Selain pemahaman di atas, melalui kegiatan kerja praktek ini mahasiswa juga mendapatkan banyak pengalaman, anatara lain pengalaman menjadi pemimpin operasional pemboran, bersosialisasi dengan penduduk lokal, menjelajahi hutan rimba, serta pengalaman untuk melihat langsung proses penambangan batubara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan kerja prakek ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan serta soft skill mahasiswa.

5.1 Saran Saran yang dapat diberikan untuk rekan-rekan yang ingin melaksanankan kerja praktek di konsesi pertambangan batubara antara lain : Menjaga kesehatan jasmani dan mempersiapkan mental sebelum turun langsung ke lapangan, sebab seringkali lokasi pemboran berada di medan yang berat, misalkan hutan yang belum pernah dijamah, rawa-rawa, dan sebagainya Selalu persiapkan peralatan lapangan seperti tas, ponco, botol minum, dan sebagainya64

Memperhatikan

faktor

keselamatan

kerja

dengan

senantiasa

memakai Alat Pelindung Diri, helm, dan sepatu boot ketika berada di areal tambang. Tak lupa pula untuk berperilaku safety. Siapkan materi-materi penunjang studi, supaya lebih cepat memahami pekerjaan yang dilaksanakan. Jangan sungkan untuk bertanya kepada pembimbing yang ditunjuk dari perusahaan, karena bisa menambah ilmu yang tidak didapat melalui perkuliahan. Bertutur kata yang santun, karena dimanapun kita pergi kita selalu membawa nama almamater, serta bersosialisasi yang baik kepada para karyawan di pertambangan dan juga kepada penduduk lokal.

65