©ukdwsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan...

16
2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam perspektif teori sosial sebuah wacana (diskursus) yang berkembang tentu saja dipengaruhi dan mempengaruhi suatu konteks tertentu. Wacana tidak lahir dari kehampaan melainkan dari kompleksitas relasi yang terjadi dalam masyarakat, bahkan menjadi representasi dari realitas dan apa yang terjadi di dalamnya, seabstrak apapun sebuah wacana itu. 1 Sebagai produk dari dan di dalam realitas sosial, wacana sekaligus dipergunakan sebagai alat untuk memandang dan memahami realitas itu. Rose McCloskey menegaskan hal ini dengan menyatakan bahwa wacana merupakan seperangkat keyakinan, praktek, dan pengetahuan yang membangun realitas dan menyediakan cara untuk memahami dunia. Dalam teori sosial kritis, gagasan mengenai wacana sekaligus mengisyaratkan bahwa semua bahasa bersifat sosial, dan bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu. 2 Hal ini berarti bahwa wacana tidak lahir dari pengalaman individu yang independen, tetapi merupakan buah dari proses sosial yang sifatnya timbal-balik. Memang bahwa wacana dapat bersifat personal, tetapi itu tidak berarti bahwa ia lepas dari konteks makro, justru sebaliknya memahami wacana yang sifatnya personal itu harus diletakan dalam kerangka konteks yang lebih luas. 3 Norman Fairclough memberi keterangan yang sangat jelas mengenainya. Ia menggunakan istilah ‘wacana’ untuk menyebut bahasa, baik lisan (pemahaman) maupun tertulis. Menurutnya, wacana merupakan sebuah cara bertindak (mode of action) seseorang terhadap yang lain. Wacana juga dibentuk oleh struktrur sosial dan tidak hanya sekedar untuk merepresentasikan atau merefleksikan dunia, dalam hal ini entitas dan hubungan sosial, melainkan juga turut mengkonstruksi dan menyatukannya dalam kerangka makna. 4 Dari sini ia melihat tiga fungsi wacana yaitu, untuk mengkonstruksi identitas sosial dan mengatur posisi subjek sosial, menciptakan hubungan sosial, serta membangun sistem pengetahuan dan kepercayaan. Ketiga fungsi diskursif ini sejalan dengan sifat fungsional bahasa, yaitu fungsi identitas yang berkaitan dengan bagaimana identitas sosial dibentuk, fungsi relasional yang berhubungan dengan 1 Theo van Leuween, Discourse and Practice: New Tools for Critical Discourse Analysis, (New York: Oxford University Press, 2008), h.5. 2 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis, Nurse Researcher Vol 16, 2008, h.24. 3 Rose McCloskey, A Guide to Discourse Analysis, h.25. 4 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1993), h.64. ©UKDW

Upload: dinhtu

Post on 18-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dalam perspektif teori sosial sebuah wacana (diskursus) yang berkembang tentu saja

dipengaruhi dan mempengaruhi suatu konteks tertentu. Wacana tidak lahir dari kehampaan

melainkan dari kompleksitas relasi yang terjadi dalam masyarakat, bahkan menjadi representasi

dari realitas dan apa yang terjadi di dalamnya, seabstrak apapun sebuah wacana itu.1 Sebagai

produk dari dan di dalam realitas sosial, wacana sekaligus dipergunakan sebagai alat untuk

memandang dan memahami realitas itu. Rose McCloskey menegaskan hal ini dengan

menyatakan bahwa wacana merupakan seperangkat keyakinan, praktek, dan pengetahuan yang

membangun realitas dan menyediakan cara untuk memahami dunia. Dalam teori sosial kritis,

gagasan mengenai wacana sekaligus mengisyaratkan bahwa semua bahasa bersifat sosial, dan

bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini

berarti bahwa wacana tidak lahir dari pengalaman individu yang independen, tetapi merupakan

buah dari proses sosial yang sifatnya timbal-balik. Memang bahwa wacana dapat bersifat

personal, tetapi itu tidak berarti bahwa ia lepas dari konteks makro, justru sebaliknya memahami

wacana yang sifatnya personal itu harus diletakan dalam kerangka konteks yang lebih luas.3

Norman Fairclough memberi keterangan yang sangat jelas mengenainya. Ia menggunakan

istilah ‘wacana’ untuk menyebut bahasa, baik lisan (pemahaman) maupun tertulis. Menurutnya,

wacana merupakan sebuah cara bertindak (mode of action) seseorang terhadap yang lain.

Wacana juga dibentuk oleh struktrur sosial dan tidak hanya sekedar untuk merepresentasikan

atau merefleksikan dunia, dalam hal ini entitas dan hubungan sosial, melainkan juga turut

mengkonstruksi dan menyatukannya dalam kerangka makna.4 Dari sini ia melihat tiga fungsi

wacana yaitu, untuk mengkonstruksi identitas sosial dan mengatur posisi subjek sosial,

menciptakan hubungan sosial, serta membangun sistem pengetahuan dan kepercayaan. Ketiga

fungsi diskursif ini sejalan dengan sifat fungsional bahasa, yaitu fungsi identitas yang berkaitan

dengan bagaimana identitas sosial dibentuk, fungsi relasional yang berhubungan dengan

1 Theo van Leuween, Discourse and Practice: New Tools for Critical Discourse Analysis, (New York: Oxford

University Press, 2008), h.5. 2 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis”, Nurse Researcher Vol 16, 2008, h.24.

3 Rose McCloskey, “A Guide to Discourse Analysis”, h.25.

4 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1993), h.64.

©UKDW

Page 2: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

3

bagaimana hubungan sosial terjadi, dan fungsi ideasional mengenai bagaimana teks menandai

dunia, serta proses, entitas, dan relasinya.5 James Paul Gee memberi komentar yang menarik

mengenai hal ini. Menurutnya, sebuah tindakan juga merupakan wacana. Ia mengungkapkan

bahwa wacana merupakan cara untuk mengkombinasi dan mengintegrasikan bahasa, tindakan,

interaksi, cara berpikir, keyakinan, penilaian, dan dengan menggunakan berbagai simbol, alat,

dan objek untuk memerankan identitas tertentu.6 Dalam konteks ini, ia memperluas pemahaman

mengenai wacana baik dalam aspek tekstual (meliputi tertulis dan lisan) maupun aspek praktek

(tindakan).

Sebuah wacana yang berkembang dipandang mengandung berbagai unsur dan kepentingan.

Kemunculannya tidak lepas dari pergulatan kepentingan demi tujuan melanggengkan

kepentingan tersebut. Kepentingan ini dianggap sebagai representasi dari kekuasaan atau

kekuatan dominatif yang ada. Sebuah wacana yang dikonsumsi secara publik tentu memuat

ideologi-ideologi baik sosial, politik, ekonomi, keagamaan, dll. yang tujuannya ialah

mempengaruhi komunitas. Kepentingan ideologis yang ditransfer melalui wacana ini berpotensi

untuk menimbulkan perubahan sosial yang signifikan. Asumsi mengenai wacana inilah yang

kemudian melahirkan berbagai studi analisa wacana, atau yang secara umum dikenal dengan

Discourse Analysis dan secara khusus Critical Discourse Analysis yang mengungkapkan

ideologi dan relasi kekuasaan di balik sebuah wacana.

Suatu konsepsi teologis atau doktrin keagamaan sebetulnya juga merupakan wacana. Ia tidak

lahir secara magic, bukan juga sebagai suatu pewahyuan(revelation), dan karenanya bersifat

ahistoris. Gagasan teologis, dogma, bahkan Alkitab sendiri merupakan sesuatu yang lahir dalam

proses pergumulan sejarah yang panjang. Leslie Houlden dalam respons kritisnya terhadap

upaya mistifikasi gagasan-gagasan kristologis juga menegaskan hal ini. Menurutnya,

pernyataan-pernyataan yang muncul tentang Yesus (terutama doktrin inkarnasi) sebetulnya

adalah pernyataan-pernyataan yang telah melewati proses pergumulan yang panjang dalam

pentas sejarah kekristenan, dan karena itu pernyataan itu adalah hasil dari pergumulan

kekristenan dan bukan pernyataan yang diberikan secara langsung oleh figur historis Yesus.7

Apa yang dikemukakan oleh John Hick mengenai inkarnasi juga mengindikasikan hal ini,

5 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.63-64.

6 Paul James Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, (New York: Routledge, 2005), h.21

7 Leslie Houlden, “The Creed of Experiences” dalam The Myth of God Incarnate, Ed. By John Hick, (London: SCM

Press, 1977), h.125-133.

©UKDW

Page 3: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

4

dimana ia menegaskan bahwa dogma inkarnasi pun bukanlah merupakan ajaran Yesus tetapi

produk gereja8, bahkan Don Cupitt sepakat dengan asumsi serupa dengan menandaskan bahwa

semua pernyataan yang disebutnya dengan ikon kristologis tidak lagi alkitabiah, melainkan telah

melewati proses inovasi yang membuatnya tidak lagi otentik, karena sekedar merupakan warisan

bapa-bapa gereja yang harus terus dipertahankan.9 Semua gagasan teologi yang lahir ini

mempengaruhi realitas dimana ia ada dan berkembang, terutama konteks hubungan kekristenan

dan agama-agama lain selama ini. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu wacana teologis bahkan

Alkitab sendiri lahir sebagai produk dari suatu konteks historis tertentu dimana di dalamnya ada

banyak unsur yang beragam, tentunya dengan ideologi-ideologi tertentu juga. Berdasarkan hal

ini dan dari teori kritis di atas dapat dinyatakan bahwa gagasan teologis tidak sepenuhnya

bersifat religius.

Bertolak dari pandangan inilah, maka saya tertarik untuk melihat wacana soterio-

kristologisatau paham keselamatan yang berkembang di kalangan pemuda Waai – Ambon.

Dalam pandangan komunitas ini, Yesus dilihat sebagai satu-satunya jalan keselamatan bagi

semua orang, termasuk komunitas berkepercayaan lain. Tidak hanya demikian, dalam

pemahaman mereka Yesus pun diyakini sebagai “sumber” dari keselamatan dan bukan sekedar

agen. Dalam konteks inilah ciri kristomonis10

dari pandangan komunitas menjadi jelas.

Konsekuensi dari wacana seperti ini ialah orang harus menjadi Kristen jika mau menerima

keselamatan. Di sinilah penekanan terhadap pentingnya identitas religius menjadi nampak.

Penitikberatan terhadap identitas religius ini sekaligus memperlihatkan bahwa praksis sosial

merupakan hal yang tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan identitas. Hal ini

dipengaruhi olehpemahamantentang Yohanes 14:1-14, terutama deklarasi “Akulah jalan dan

kebenaran dan hidup”. Deskripsi hasil wawancara dalam bab II nanti akan memperlihatkan

bagaimana hubungan intertekstualitas pandangan komunitas ini dengan teks Yohanes itu.

Selain itu, pandangan mengenai keselamatan komunitas ini juga cenderung menitikberatkan

pada dimensi futuris dimana hal itu dilihat sebagai suatu realitas yang tidak memiliki kaitan

dengan kehidupan sosial masa kini di dunia ini, tetapi sebaliknya akan terjadi pasca kematian

manusia. Berdasarkan observasi dan wawancara awal, ditemukan bahwa pandangan yang

8John Hick, A Christian Theology of Religions, (Louisville: Westminster John Knox, 1995), h.87.

9Don Cupitt, “The Christ of Christendom” dalam “The Myth of God Incarnation”, Ed. By John Hick, (London: SCM

Press, 1977), h. 134-146. 10

Kristomonisme ialah pandangan yang meletakan Yesus sebagai satu-satunya dan pusat atau sumber dari keselamatan.

©UKDW

Page 4: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

5

dominan mengenai keselamatan ialah hal yang berhubungan sesudah kematian, dalam bahasa

mereka, “di dunia lain” atau “bukan dunia yang berhubungan dengan dunia sekarang ini”.

Dalam kesadaran bahwa dalam konteks pluralisme agama dewasa ini pandangan bahwa

Yesus sebagai sumber atau satu-satunya jalan keselamatan dapat berpotensi membangun

eksklusifisme beragama yang mungkin saja dapat bermuara pada konflik, maka dalam tesis ini

saya akan melakukan kajian terhadap pandangan soterio-kristologis itu. Setelah itu akan

dilanjutkan dengan upaya hermeneutis terhadap teks Yohanes 14:1-14. Teks ini dipilih karena ia

seringkali dibaca secara harafiah, dan kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membenarkan

pandangan dan sikap eksklusifisme beragama.Setelah itu, di bagian akhir saya akan melihat,

bagaimana teks Yohanes dapat memberi kontribusi bagi konteks pluralisme di Indonesia. Oleh

karena itu ada tiga isu yang akan dieksplorasi ialah (1) bagaimana pandangan komunitas pemuda

mengenai soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dikonstruksikan; (2)

dari situ saya akan melakukan pengkajian hermeneutis terhadap wacana kristologis Yohanes

14:1-14; dan (3)melakukan dialog kritis antara wacana komunitas pemuda, Yohanes 14:1-14

dan wacana Hick, serta makna Yohanes 14:1-14 bagi konteks pluralisme agama. Dalam

deskripsi dan upaya hermeneutis nanti saya akan menggunakan pendekatan Critical Discourse

Analysis (CDA) yang ditawarkan oleh Norman Fairclough. Pemilihan atas pendekatan CDA

Fairclough didasarkan pada pertimbangan bahwa pendekatan ini secara kritis mengungkapkan

unsur dan pengaruh sosial yang ditimbulkan oleh suatu wacana, serta juga CDA sendiri dinilai

(oleh Heather) sebagai suatu model yang tepat dan berguna bagi studi agama-agama dan

hubungan antar agama.11

Komunitas Waai menjadi fokus dalam penelitian ini atas dua pertimbangan, yakni pertama,

dalam konteks konflik Maluku tahun 2000 jemaat ini menjadi salah satu jemaat yang mengalami

konflik secara langsung, terutama dengan komunitas Islamdi Tulehu dan Liang. Konflik ini

tidak hanya berdampak pada relokasi pemukiman, melainkan juga memakan korban jiwa yang

cukup banyak, menimbulkan kesulitan terhadap akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan, dan

berbagai dampak destruktif lainnya. Kedua, dalam konteks pasca-konflik intensitas relasi

komunitas ini dengan komunitas agama lain semakin tinggi. Perjumpaan itu sering tidak

terhindarkan dari ketegangan antar keduanya yang bermuara pada anarkisme dan kekerasan,

11

Dalam Frans Wijsen and Corry Nicolay, “Interreligious Worship in Friesland”, Studies in Interreligious Dialogue, Vol.

20/2010/1, h. 60.

©UKDW

Page 5: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

6

misalnya kasus Waai – Liang yang terjadi pada September 2010 dimana terjadinya aksi

pelemparan antara pemuda Waai dan Liang yang mengakibatkan terputusnya akses transportasi

dan ekonomi selama beberapa waktu lamanya. Kedua konteks ini, baik konflik maupun pasca-

konflik, sangat mempengaruhi pemahaman orang terhadap yang lain dan sekaligus juga terhadap

diri dan komunitasnya, sebab dalam situasi kritis seperti itu tentu saja orang sering membangun

gagasan-gagasan teologis (kristologis) yang pro terhadap keadaannya. Oleh karena itu,

pengkajian pada isu ini diharapkan pada akhirnya dapat memberi kontribusi untuk penghayatan

iman komunitas pada satu pihak, dan di pihak yang lain mendorong terciptanya relasi

interreligius yang harmonis berdasarkan penghayatan iman kristen.

1.2.Rumusan Masalah

Suatu wacana yang berkembang tentu saja mempengaruhi realitas. Begitu halnya juga

dengan konsep teologi yang terpelihara di dalam kekristenan, terutama wacana kristologis

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”. Wacana ini tentu saja lahir sebagai produk dari realitas

sosial tertentu dan dibentuk oleh banyak unsur yang masing-masing memiliki kepentingan.

Bertolak dari hal ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan dikaji di dalam tesis ini:

1. Apa dan bagaimana wacana soterio-kristologis pemuda Waai-Ambon mengenai “Yesus

sebagai jalan, kebenaran, dan hidup” dikonstruksikan?

2. Apa sebetulnya makna kristologi “Yesus sebagai jalan dan kebenaran dan hidup” dalam injil

Yohanes 14:1-14?

3. Bagaimana relevansi teks Yohanes 14:1-14 bagi konteks Pluralisme Agama di Indonesia?

1.3.Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama yang dibangun dalam penelitian ini ialah bagaimana wacana soterio-

kristologis pemuda Waai mengenai “Yesus ialah jalan, kebenaran, dan hidup” dibentuk? Apa

makna Yohanes 14:1-14 dan relevansinya bagi konteks pluralisme agama di Indonesia?

1.4.Tujuan Penelitian

Bertolak dari pertanyaan penelitian di atas maka tujuan tesis ini ialah:

1. Melihat bagaimana pandangan pemuda Waai mengenai soterio-kristologis “Yesus sebagai

jalan, kebenaran, dan hidup” dan bagaimana itu dikonstruksikan.

©UKDW

Page 6: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

7

2. Melakukan kajian hermeneutis terhadap wacana soterio-kristologis “Yesus sebagai jalan,

kebenaran, dan hidup” dalam Yohanes 14:1-14?

3. Melakukan dialog kritis terhadap wacana soterio-kristologis pemuda Waai , Yohanes 14:1-

14, dan wacana soteriologi pluralisme John Hick, serta menemukan makna Yohanes 14:1-14

bagi konteks pluralisme agama.

1.5.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini akan menjadi penting karena dua alasan berikut:

1. Sebagai bagian dari korban konflik yang memiliki relasi yang intens dengan komunitas

Islam sekitar, jemaat GPM Waai (terutama pemuda) memiliki pandangan tertentu yang akan

mempengaruhi pola relasi itu. Penelitian ini setidaknya akan menolong komunitas ini untuk

mengembangkan sikap-sikap pluralisme yang berakar pada pandangan teologi/kristologi.

2. Memberi kontribusi bagi Gereja Protestan Maluku sebagai pertimbangan dalam rangka

membangun teologi pluralisme yang mendukung hubungan antar agama di Maluku.

3. Dengan menggunakan CDA, maka penelitian ini juga menjadi penting, karena CDA akan

menolong untuk mengungkapkan pandangan-pandangan yang pro-kemapanan, dalam hal ini

ialah struktur sosial.

1.6.Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini sangat bergantung pada judul tesis ini, yakni: “AKULAH

JALAN DAN KEBENARAN DAN HIDUP”, dengan sub Judul:Wacana Soterio-Kristologis

Pemuda Waai-Ambon Pasca Konflik dan Yohanes 14:1-14: Sebuah Tinjauan Critical

Discourse Analysis (Analisa Wacana Kritis). Dengan begitu, penelitian ini dibatasi untuk

melihat bagaimana konsep soterio-kristologis pemuda Waai serta apa makna Yohanes 14:1-14

dan relevansinya.

1.7.Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, ada beberapa proses yang dilakukan:

1. Melakukan penelitian lapangan untuk menemukan informasi yang mendalam mengenai

pandangan kristologi pemuda Waai – Ambon dan konteks Waai secara umum.

a. Teknik Pengumpulan Data

©UKDW

Page 7: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

8

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan ialah wawancara pribadi dan focus group

discussion.

b. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku

Tengah, Maluku.

c. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ialah Januari – Februari 2013.

d. Sumber Data

Yang menjadi sumber data primer ialah pemuda Waai yang berlatar belakang tradisi

GPM, Pantekosta, dan Katolik.

2. Deskripsi, Analisa dan Dialog Kritis

a. Deskripsi Wacana Soterio-kristologis Pemuda Waai – Ambon

Setalah data dikumpulkan, akan dilakukan deksripsi terhadap wacana soterio-

kristologis pemuda Waai. Data yang dideskripsikan ini juga menggunakan kerangka

CDA Fairclough yang diadopsi oleh Frans Wijsen dalam penelitian interreligiusnya.

b. Kajian Analisis atas Yohanes 14:1-14

Berdasarkan deskripsi di atas tadi, maka dalam tahap ini akan dilakukan kajian

hermenutis terhadap Yohanes 14:1-14. Di sini penulis akan menggunakan pendekatan

CDA yang dimulai dari (1) Analisis Linguistik, (2) Analisa Praktek Wacana, dan (3)

Analisa Praktek Sosial.

c. Mendialogkan secara kritis antara Wacana Soterio-Kristologis Pemuda Waai, Wacana

Yohanes 14:1-14, dan WacanaTeologi Pluralisme John Hick.

1.8.Sistematika Penyajian

1. Bab I. Bab ini terdiri dari beberapa sub bagian yaitu; pendahuluan (latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian), metodologi penelitian, dan

kerangka teoritik.

2. Bab II. Bab ini terdiri dari deskripsi data mengenai wacana soterio-kristologis pemuda Waai.

3. Bab III. Bab ini berisi kajian analisiskritis terhadap wacana Yohanes 14:1-14.

©UKDW

Page 8: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

9

4. Bab IV. Bab ini berisi (1) deksripsi pandangan teologi John Hick; (2) dialog kritis antara

wacana pemuda Waai, wacana Yohanes 14:1-14, dan wacana John Hick; (3) kontribusi

Yohanes 14:1-14 bagi pluralisme agama di Indonesia.

5. Bab V.Bab ini berisi kesimpulan akhir, signifikansi pendekatan CDA dalam studi teologi,

dan beberapa pikiran rekomendasi.

1.9. Kerangka Teoritis

Dalam penelitian ini saya akan bertumpu pada teori Norman Fairclough mengenai CDA

yang akan memberi arah bagi pengkajian baik wacana pemuda maupun wacana teks Yohanes

14:1-14. Sedangkan untuk meninjau secara kritis pandangan soterio-kristologis pemuda Waai,

saya akan menggunakan pandangan John Hick mengenai keselamatan dalam perspektif teologi

pluralisme. Untuk penafsiran terhadap teks saya akan menggunakan beberapa pendapat ahli

tafsir

a. Critical Discourse Analysis– Norman Fairclouh

Sebagaimana telah disinggung di atas, sebuah wacana yang berkembang baik secara

lisan ataupun tulisan sebetulnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial yang pada

akhirnya akan kembali mempengaruhi realitas itu juga. Hal ini juga berlaku bagi teologi

atau kristologi yang dikembangkan. Dari sini kemudian muncul berbagai pendekatan dalam

ilmu sosial dan linguistik yang mencoba mengkaji wacana. Chris Setevenson

memperlihatkan dua pendekatan dalam analisa wacana yang selama ini berkembang, yang

pertama pendekatan analisa wacana dalam tradisi para konstruktifis sosial dan dalam tradisi

Foucauldian. Bagi kelompok konstruktifis sosial, tidak ada sesuatu di balik teks dan realitas

pun tidak direpresentasikannya. Fokus analisa mereka pada apa yang dilakukan dengan

wacana yang ada itu. Berbeda dengan teori konstruktifis sosial, kelompok Foucauldian

menempatkan teks sebagai fokus dengan asumsi bahwa dunia dikonstruksi melalui wacana.

Wacana tidak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi juga berpotensi untuk membentuk

masyarakat dan di dalamnya ada relasi kekuasaan yang ter-manifest. Hal ini disebutnya

sebagai “praktek wacana”.12

12

Chris Stevenson, “Theoritical and MethodologicalApproaches in Discourse Analysis”, Nurse Researcher No. 2004,

h.19-21.

©UKDW

Page 9: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

10

Tiga dimensi utama pendekatan CDA Fairclough ialah analisa teks, praktek wacana,

dan praktek sosial. Teks tidak dapat dipisahkan dari praktek produksi dan interpretasi

terhadapnya (praktek wacana), begitu juga dengan praktek sosial. Keberadaan suatu teks

dianggap sebagai representasi dari suatu ideologi tertentu. Untuk menemukan ideologi

tersebut analisis terhadap konteks saat teks itu diproduksi, situasi institusi, dan bagaimana

peran sistem sosial yang ada diperlukan.

Dalam melakukan analisa teks, Fairclough menggunakan kerangka linguistik yang

sekaligus digunakan untuk menginterpretasi makna. Jika mengikuti kerangka linguistik,

maka ada empat aspek yang perlu dilihat dalam hal ini, yakni kosakata (vocabulary), tata

bahasa (grammar), kepaduan (cohesion), dan struktur teks (text structure). Kosakata

terutama berhubungan dengan kata-kata individu, tata bahasa dengan kombinasi kata-kata

di dalam klausa dan kalimat, kepaduan berkaitan dengan bagaimana klausa dan kalimat

berhubungan, dan struktur teks dengan sifat teks. Fairclough juga menambahkan bahwa

tiga aspek lain dalam analisa bahasa yaitu kekuatan ucapan (force), koherensi (coherence),

dan intertekstualitas (intertextuality).13

Fokus terhadap tata bahasa dalam analisa bahasa menjadi penting sebab bahasa

dibentuk dari klausa atau kalimat sederhana, sementara unsur yang paling utama dari klausa

disebutnya ‘kelompok kata’ atau ‘frase’. Kombinasi frase yang membentuk klausa, dan

klausa dengan klausa akan membentuk kalimat yang kompleks. Fairclough melihat klausa

bersifat multifungsional dan karena itu klausa merupakan kombinasi ideasional,

interpersonal (identitas dan relasi) serta makna teks. Pilihan seseorang atas design atau

struktur suatu klausa sekaligus merupakan cara dimana ia menandai dan membentuk

identitas sosial, hubungan sosial, pengetahuan, dan kepercayaan. Kajian tata bahasa akan

diikuti dengan kajian kosakata. Identifikasi kosakata sebetulnya dapat dilakukan dalam

banyak cara, hal ini karena satu kosakata dapat memiliki makna ganda dan tidak dapat

dibatasi dalam pengertian kamus sebab kosakata itu sendiri akan berkaitan dengan wilayah,

institusi, praktek, nilai, dan perspektif yang berbeda. Untuk merujuk pada analisa kosakata,

Fairclough menggunakan istilah “susunan kata” (wording) yang sekaligus menandai proses

leksikalisasi dan pengertian kata. Dalam analisa kosakata atau susunan kata, tiga fokus

utamanya ialah; (1) susunan kata serta makna politis dan ideologisnya. Di sini yang dilihat

13

Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.73-78.

©UKDW

Page 10: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

11

ialah bagaimana suatu isu dalam wilayah pengalaman tertentu “diistilahkan” kembali

(reworded). (2) Fokus keduanya ialah terletak pada makna kata terutama bagaimana makna

kata-kata itu dikemukakan dalam konteks yang lebih luas. Di sini ia juga melihat hubungan

makna kata dengan bentuk hegemoni. (3) Fokus selanjutnya ialah pada metafor, pada

kepentingan ideologis dan politis dari suatu metafor tertentu, dan konflik antar metafor-

metafor alternatif.

Analisa tata bahasa dan kosakata diikuti dengan analisa kepaduan atau kohesi. Dalam

analisa kohesi, orang harus melihat hubungan klausa dengan klausa yang membentuk

kalimat, serta hubungan antar kalimat yang membentuk unit yang lebih besar dalam teks

(misalnya paragraf). Hubungan ini dicapai dalam banyak cara: (1) melalui penggunaan

kosakata, pengulangan kata, penggunaan sinonim yang lebih dekat, (2) melalui perangkat-

perangkat yang merujuk atau mengganti (kata ganti, artikel tertentu, kata ganti penunjuk,

dll.), (2) melalui kata penghubung (oleh karena itu, walaupun, dan, tapi, dll.). Fokus

terhadap kohesifitas merupakan cara dimana Foucault menunjuk pada skema retorik yang

beragam berdasarkan kelompok pernyataan yang dikombinasikan (bagaimana deskripsi,

deduksi, dan defenisi mencirikan arsitektur teks dihubungkan.

Analisa struktur teks juga menjadi penting untuk melihat bentuk atau design sebuah

wacana. Analisa ini juga meliputi bagaimana unsur-unsur atau episode dikombinasikan,

bagaimana rangkaiannya, dll. Dari analisa struktur teks kita juga akan dapat melihat bentuk

teks suatu teks ialah monolog ataukah dialog.

Analisa kedua dalam CDA Fairclough ialah analisis Praktek Wacana (Discursive

Practice). Asumsi dasar analisa ini ialah bahwa suatu teks dalam bentuknya yang sekarang

tentu saja telah melewati proses produksi, distribusi, dan konsumsi (termasuk interpretasi).

Semua proses yang menghasilkan berbagai wacana yang beragam tentu tidak terlepas dari

pengaruh faktor-faktor sosial (terutama konteks sosial). Fairclough memberi contoh artikel

suatu majalah tentu diproduksi di dalam rutinitas kolektif yang kompleks, melalui suatu tim

yang terdiri dari anggota-anggota yang berbeda, serta melalui suatu tahapan produksi yang

berbeda pula. Analisa produksi diperuntukan untuk melihat bagaimana wacana itu

dibangun dan siapa yang turut terlibat dalam mengembangkannya (baik personal maupun

kolektif). Sementara analisa konsumsi berkaitan dengan bagaimana wacana yang sama

berkembang dan dikonsumsikan oleh komunitas. Sama seperi produksi, konsumsi bisa

©UKDW

Page 11: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

12

bersifat individual maupun kolektif. Sebagian teks-teks yang dikonsumsi dapat direkam,

dicatat, dipelihara, dibaca kembali, dst. Sebaliknya ada juga yang setelah itu tidak lagi

dapat dipergunakan melainkan dibuang. Analisa terakhir dalam proses analisis terhadap

praktek wacana ialah analisa distribusi untuk melihat bagaimana proses sebuah wacana

(teks) dapat sampai kepada orang dalam konteks yang berbeda.14

Fairclough juga mengindikasikan bahwa interpretasi teks tidak dapat dilepaskan dari

analisa konteks. Konteks di sini ialah konteks teks. Dalam kaitan dengan analisa konteks

teks, ia menjelaskan tentang kekuatan (force) suatu pernyataan. Baginya, kekuataan suatu

teks merupakan bagian dari komponen yang sifatnya aksional. Berdasarkan analisa ini kita

dapat melihat sifat sebuah statement di dalam teks, apakah termasuk kategori memberi

perintah, mengajukan pertanyaan, janji, keyakinan, dll.

Jika ada yang melihat koherensi sebagai suatu ciri teks, maka Fairclough melihatnya

sebagai ciri interpretasi. Teks yang koheren ialah teks yang memiliki bagian-bagian yang

menyatu (episode dan kalimat) tentu yang berhubungan dengan teks secara keseluruhan dan

membentuk “makna”. Fairclough juga melihat aspek intertekstualitas. Secara mendasar,

intertekstualitas ialah ciri dari suatu teks yang punya hubungan dengan teks-teks lain, yang

mungkin dibatasi dan muncul secara eksplisit. Teks yang muncul sebelumnya sebetulnya

punya pengaruh terhadap suatu teks yang ada, dimana terjadi saling menanggapi serta

adanya antisipasi terhadap teks yang muncul kemudian. Dalam analisa intertekstual, ada

empat aspek yang turut mendapat perhatian (1) kutipan langsung ataupun tidak langsung,

(2) bahasa publik ataupun personal, (3) intertekstualitas yang manifest (meliputi

representasi wacana, pengandaian, negasi, ironi, dan metawacana), serta (4) interdiskursus

(meliputi genre, tipe aktifitas, gaya, dan wacana).

Analisa yang sangat penting dalam pendekatan Fairclough ialah Analisis Praktek Sosial

(Social Practice). Analisa ini diperlukan untuk melihat hubungan wacana dengan ideologi

dan kekuasaan, dan meletakkan wacana dalam pandangan kekuasaan sebagai hegemoni,

serta pandangan mengenai evolusi hubungan kekuasaan sebagai perjuangan hegemonis.

Untuk kepentingan ini, Fairclough mengikuti kerangka pikir Althusser dan Gramsci. Dalam

menganalisa suatu wacana, perhatian harus diarahkan terhadap: pertama, ideologi.

Pandangannya mengenai ideologi sangat dipengaruhi oleh Althusser yang memberi dasar

14

Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.78-86.

©UKDW

Page 12: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

13

bagi perdebatan mengenai hal ini (sekalipun pada akhirnya tidak sepenuhnya pandangan

Althusser mengenai ideologi diadospsinya, terutama asumsi bahwa ideologi secara umum

ialah perekat sosial yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat). Mengenai ideologi,

Fairclough mengemukakan tigas asumsi dasar; (i) ideologi sebagai material berada di

dalam praktek institusi yang membantu untuk menginvestigasi praktek wacana sebagai

suatu bentuk material ideologi. (ii) Ideologi turut berkaitan dengan pandangan mengenai

keberadaan subjek. (iii) Alat-alat negara yang sifatnya ideologis (institusi seperti

pendidikan dan media) berada di dalam perjuangan ideologis.

Fairclough sendiri melihat bahwa ideologi ialah petunjuk atau konstruksi dari realitas

sosial (dunia fisik, hubungan sosial, dan identitas sosial) yang dibangun di dalam beragam

dimensi bentuk atau makna praktek wacana, dan turut berkontribusi terhadap produksi,

reproduksi, atau transformasi hubungan dominasi. Pandangan ini mirip dengan pandangan

Thompson yang melihat penggunaan bahasa dan bentuk-bentuk simbolik lainnya sebagai

yang bersifat ideologis sebab turut membangun dan mendorong hubungan kekuasaan.

Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa Fairclough berupaya untuk menyingkapkan

warisan-warisan ideologis yang termanifestasi di dalam wacana yang tujuannya cenderung

untuk memperkuat hubungan-hubungan kekuasaan serta melanggengkan dan

mentransformasikannya. Singkatnya, dalam suatu wacana tentu ada kepentingan-

kepentingan yang ter-manifest melalui ideologi.15

Fairclough juga meyakini bahwa ideologi terselip di dalam bahasa dalam cara serta

tingkatan yang beragam. Oleh karena itu, untuk menemukan ideologi, baginya, kita harus

berupaya mengidentifikasi apa yang dibahasakannya sebagai locations of ideology (tempat

ideologi). Ideologi suatu wacana umumnya dapat ditemukan di dalam; (1) Struktur dalam

wilayah ini fokus harus diarahkan terhadap kode-kode tertentu, struktur, serta formasi

wacana. Identifikasi akan hal ini tidaklah cukup, dan karena itu perlu juga melihat (2)

peristiwa atau ‘event’ yang menyoroti ideologi sebagai suatu proses, transformasi, dan

perubahan. Struktur (urutan wacana) menjadi penting sebab identifikasi terhadapnya akan

membantu kita menemukan akibat dari suatu proses di masa lampau serta kondisi saat ini,

sedangkan analisa peristiwa akan menolong untuk mereproduksi dan mentransformasi

struktur yang dikondisikan. Ada yang melihat juga bahwa ideologi berada di dalam teks.

15

Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.86-91.

©UKDW

Page 13: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

14

Fairclough menolak asumsi ini dengan menyatakan bahwa tidak mungkin kita menemukan

ideologi di dalam teks (mungkin maksudnya ialah tulisan?) sebab makna baru dapat

diperoleh melalui interpretasi yang mungkin berbeda juga sesuai kepentingan ideologis.

Pertanyaan lain yang mendasar juga ialah dalam ciri serta tingkatan seperti apa suatu

ideologi ditanam. Fairclough melihat hal ini dengan menunjuk pada ‘makna’ atau ‘makna

kata’ (terkadang disebut dengan isi dan bukan bentuk). Baginya, makna suatu teks atau

wacana sangat ideologis. Aspek-aspek makna yang juga turut mengandung ideologi ialah

pengandaian, metafora, dan koherensi teks. Sekalipun begitu, perbedaan yang besar antara

isi, makna dan bentuk tidak harus selalu terjadi, sebab makna suatu teks sangat

berhubungan dengan bentuk teks tersebut. Bukan hanya makna, bentuk, dan isi, tapi juga

gaya (style) suatu teks bisa mengandung ideologi tertentu.

Fairclough akhirnya menyatakan bahwa tidak semua wacana mengandung ideologi

diskriminatif. Kandungan ideologis suatu wacana tergantung pada sejauh mana suatu

wacana memberi kontribusi dalam menopang dan merekonstruksi hubungan-hubungan

kekuasaan. Ideologi yang dibangun tentu berakar di dalam masyarakat dan dicirikan dalam

relasi dominasi kelas, gender, kultur, kelompok dan sebagainya. Ia juga melihat bahwa

subjek dalam wacana ditampilkan secara ideologis, namun di pihak lain subjek ini sendiri

memiliki kepentingan lain.

Hal yang kedua ialah dalam analisa praktek sosial ialah analisa hegemoni. Di sini

Fairclough turut dipengaruhi oleh pandangan Gramsci (1971). Ia melihat bahwa hegemoni

merupakan kepemimpinan atau dominasi atas berbagai wilayah publik dalam masyarakat,

seperti ekonomi, politik, kultural, dll. Hegemoni mendorong terjadinya perjuangan untuk

mencapai kepentingan tertentu. Perjuangan hegemoni dapat terjadi dalam lingkungan yang

lebih luas, meliputi institusi masyarakat sipil seperti pendidikan, keluarga, bahkan juga

institusi agama (mis. gereja), dll. Dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi terjadi

juga perjuangan hegemonis. Oleh karena itu, dalam analisa wacana diperlukan upaya untuk

melihat relasi-relasi hegemoni yang ada.16

16

Norman Fairclough, Discourse and Social Change, h.91-96.

©UKDW

Page 14: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

15

b. Pandangan Keselamatan dalam Perspektif Pluralisme Agama – John Hick

Dalam perspektif teolog agama-agama, dalam hal ini John Hick, pandangan mengenai

keselamatan dalam konteks plralisme dewasa ini harusnya dimulai dengan observasi

terhadap realitas moralitas manusia pada umumnya yang menunjukkan bahwa kualitas

moral suatu penganut tradisi tertentu seperti kekristenan tidaklah lebih baik dari yang

lainnya, atau juga sebaliknya oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa di dalam

keduanya sama-sama ada yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, tidak dapat

disimpulkan bahwa kekristenan lebih superior dari tradisi-tradisi lain secara moral. Dalam

praksis penganut agama-agama lain sendiri esensi dari pengajaran Yesus bisa dijumpai;

memberi makan yang lapar dan minum pada yang haus, menerima orang asing, memberi

pakaian bagi yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara (Mat. 25:31-46)

merupakan praksis-praksis moral yang dikehendaki oleh Yesus. Praksis-praksis seperti ini

tidak partikular hanya dalam kekristenan saja, melainkan bersifat universal dan ditemukan

di agama-agama lain juga. Bahkan, dalam banyak hal pun orang Kristen sendiri terbukti

tidak lebih baik dari para penganut agama lain. Jika demikian, maka bagi Hick, pemahaman

mengenai keselamatan yang konvensional harus diubah ke pandangan yang universal,

sebab pertanyaan yang paling menggelisahkan di sini ialah bahwa “apakah penganut agama

lain yang secara moral baik bisa diselamatkan?”17

Hick melihat bahwa konsep keselamatan yang selama ini dikembangkan ialah

berdasarkan pada peristiwa Yesus di Salib. Jika keselamatan dideskripsikan dan

didefenisikan sebagai pengampunan dan penerimaan oleh Allah melalui kematian Yesus di

kayu salib, maka memang kita akan terjebak ke dalam semacam tautologi yang

menekankan posisi kekristenan sebagai satu-satunya agama yang mengenal dan

memberitakan keselamatan itu, sebab Yesus sebagai dasar iman Kristen dilihat sebagai

sumber keselamatan. Baginya, keselamatan harusnya diihat sebagai suatu realitas yang

terungkap dan termanifestasi di dalam relasi kehidupan manusia setiap hari dan ditandai

dengan “perubahan” atau “transformasi”. Yang dimaksudkan dengan transformasi di sini

ialah pergeseran dari “egosentrisme” atau self-centeredness menuju ke the Real-

centeredness. Egosentrisme sendiri merupakan akar dari seluruh kejahatan manusia,

17

John Hick, “ A Pluralist View”, dalam Four Views on Salvation in a Pluralistic World, Eds. By Dennis L. Okhlom

dan Timothy R. Philips, (Grand Rapids: Zondervan, 1995), h. 42.

©UKDW

Page 15: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

16

sedangkan the Real-centeredness menempatkan Allah sebagai yang utama. Pengutamaan

the Real akan berdampak pada “buah-buah roh”. Inilah yang kemudian akan mempengaruhi

perubahan yang signifikan dalam realitas.18

Jacques Dupuis mengatakan bahwa Hick

menggunakan istilah the Real untuk menunjuk kepada Realitas Terakhir yang dalam tradisi

Kristen dikenal dengan nama Allah. Substitusi istilah itu memiliki tujuan supaya merangkul

semua pandangan agama-agama mengenai tujuan akhir semua agama-agama.19

Jika keselamatan dimanifestasi di dalam “transformasi” realitas, maka Hick

berkesimpulan bahwa keselamatan dapat juga dijumpai di dalam agama-agama lain, bahkan

mungkin juga di luar tradisi-tradisi teistik, yang menempatkan transformasi kualitas sebagai

yang diprioritaskan. Kriteria yang paling umum untuk melihat manifestasi keselamatan

sekarang bukan lagi teori-teori teologis melainkan realitas yang dapat diamati dalam

kehidupan nyata manusia. Oleh karena itu, keselamatan bukan lagi merupakan suatu

“transaksi yuridis” di “sorga” ataupun suatu harapan-harapan di luar kehidupan sekarang

ini, tetapi merupakan perubahan yang holistik dalam struktur kehidupan realitas, baik

spiritual, moral, sosial, dan politik yang telah dimulai sekarang.

Istilah keselamatan (salvation) sendiri dinilai Hick sebagai istilah Kristen yang sejajar

dengan penebusan (redemption) dalam Yudaisme; ketaatan total kepada Allah (total

submission to God) yang dilihat sebagai pemberi hidup bagi manusia (dalam Islam);

pembebasan (liberation), pencerahan (enlightment), dan kebangkitan (awakening) dalam

agama-agama Timur. Semua istilah yang beragam yang menggambarkan keselamatan ini

bertujuan untuk menjelaskan hal yang sama, yakni the Real-centeredness yang

menghendaki transformasi dalam praksis. Dengan demikian, sekali lagi bahwa keselamatan

juga dapat dijumpai dalam agama-agama lain.

Dengan menyoroti the Real sebagai yang utama, maka Hick kembali menempatkan

Allah sebagai sumber keselamatan. Ia menggunakan beragam istilah untuk menyebut Allah

di samping the Real, mis. the Ultimate, the Transcendent, dan Ultimate Reality.

Penggunaan istilah-istilah yang beragam ini ialah untuk menegaskan bahwa Allah

melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia. Ia meminjam pendapat para bapa gereja dan

teolog tradisonal maupun kontemporer yang sama-sama menekankan bahwa pandangan

18

John Hick, “A Pluralist View”, h. 43. 19

Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll: Orbis Books, 1998), h. 308.

©UKDW

Page 16: ©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110289/376e20... · bahwa struktur dan interaksi sosial menghasilkan dan mendukung wacana tertentu.2 Hal ini berarti bahwa

17

yang dikonstruksikan selama ini belumlah cukup apalagi sepenuhnya dapat memahami

realitas yang transenden itu, karena ia merupakan Notum Ignotum (yang dikenal dan tidak

dikenal)20

. Sebagai yang dikenal ia merepresentasikan dirinya melalui figur-figur tertentu

yang menjadi mediator dalam agama-agama, dan di pihak yang lain ia tetap menjadi the

Real a se – Allahpada diri-Nya tidak bisa dikenal secara utuh. Oleh karena itu, setiap

penganut agama hanya perlu menyembah Allah melalui figur yang dijumpai di dalam

agamanya.

Pandangan Hick mengenai keselamatan sebagai transformasi sosial tidak hanya

menegaskan posisi Allah sebagai sumber keselamatan, tetapi juga bahwa dimensi

keselamatan itu sendiri bersifat presentis, yakni sesuatu yang bukan di luar realitas duniawi

sekarang ini, serta mengambil wujudnya bukan dalam rumusan teologi atau identitas sosial,

melainkan praksis.

20

Paul F. Knitter, “Foundations for a Multifaith Pluralistic Theology”, dalam Toward a Planetary Theology, Ed. By. Jose

Maria Vigil, (Montreal: Dunamis Publisher, 2010), h. 77.

©UKDW