zj john hendri 271 283

13
Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 271 TEKNIK DEPROTEINASI KULIT RAJUNGAN (Portunus pelagious) SECARA ENZIMATIK DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Pseudomonas aeruginosa UNTUK PEMBUTAN POLIMER KITIN DAN DEASETILASINYA John Hendri Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung Email : [email protected] ABSTRAK Pada penelitian ini dilakukan deproteinasi polimer kitin secara enzimatik dari kulit rajungan (Portunus pelagious) dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa dan deasetilasi polimer kitin secara kimia dengan larutan NaOH pekat 50%. Proses pembuatan polimer kitin meliputi 3 tahap, yaitu demineralisasi sebesar 20,08%, depigmentasi sebesar 19,52% dan deproteinasi dengan enzim protease. Fermentasi dilakukan pada suhu ruang dengan konsentrasi substrat 5% dengan variasi waktu dan pH, diperoleh waktu optimum 2 hari dan pH optimum 8. Hasil fermentasi dianalisis dengan uji kelarutan dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10% serta uji protein dalam follin cialcateu lalu dikeringkan dalam oven dan spektroskopi IR. Hasil penelitian menunjukkan kitin hasil fermentasi dari kulit rajungan sebesar 93,33%, kadar air 2,84%, kadar abu 1,12% dan kadar nitrogen 1,17%. Kitosan yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin sebesar 72%. Analisis spektrofotometri IR menghasilkan derajat deasetilasi kitin sebesar 38,8% dan derajat deasetilasi kitosan 62,8%. Keywords : rajungan, enzimatik, pseudomonas aeruginosa, kitin, kitosan Pendahuluan Indonesia merupakan negara maritim kaya akan bahan baku kitin yang banyak terdapat dalam kulit udang, kulit kepiting, dan cumi-cumi akan menjadi sangat potensial dalam produksi kitin dan kitosan. Salah satunya propinsi Lampung memiliki potensi yang cukup besar dalam menghasilkan kepiting setiap tahunnya, dari dua perusahaan besar yaitu, PT Panji Saburai Putra dan PT Philip Amanjaya. Pemanfaatan kepiting umumnya baru terbatas untuk keperluan makanan, biasanya hanya dagingnya saja yang diambil sedangkan cangkangnya dibuang, padahal cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang cukup tinggi yaitu, sekitar 20-30 % berat kulit keringnya. Sedangkan kulit kepiting sendiri merupakan limbah pengalengan kepiting yang belum diolah secara maksimal. Penggunaan kitin dibatasi oleh sifat-sifat yang tidak larut dan sulit dipisahkan dengan bahan lain yang terikat terutama protein, sehingga untuk pemanfaatannya kitin perlu diubah terlebih dahulu menjadi kitosan. Kitin merupakan salah satu polisakarida yang melimpah dialam selain selulosa dan pati. Kitin adalah polimer dari N-asetilglukosamin yang terikat secara 1,4 β dengan tingkat terasetilasi yang lebih tinggi. Sedangkan turunannya yang memiliki tingkat terasetilasi lebih rendah disebut kitosan. Setiap tahunnya diproduksi sekitar 10 6 -10 7 ton kitin dari organisme laut (Yu dkk, 1991 dalam Peter, 1995). Kitin dan kitosan dinegara maju telah diproduksi secara komersial mengingat manfaatnya diberbagai industri, seperti bidang farmasi, biokimia, bioteknologi, kosmetika, biomedika, industri kertas, industri pangan, industri tekstil, dan lain-lain. Pemanfaatan tersebut didasarkan

Upload: kartika-primasari

Post on 27-Jun-2015

295 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

Page 1: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 271

TEKNIK DEPROTEINASI KULIT RAJUNGAN (Portunus pelagious) SECARA ENZIMATIK DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Pseudomonas aeruginosa UNTUK PEMBUTAN POLIMER KITIN DAN DEASETILASINYA John Hendri Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung Email : [email protected]

ABSTRAK Pada penelitian ini dilakukan deproteinasi polimer kitin secara enzimatik dari kulit rajungan (Portunus pelagious) dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa dan deasetilasi polimer kitin secara kimia dengan larutan NaOH pekat 50%. Proses pembuatan polimer kitin meliputi 3 tahap, yaitu demineralisasi sebesar 20,08%, depigmentasi sebesar 19,52% dan deproteinasi dengan enzim protease. Fermentasi dilakukan pada suhu ruang dengan konsentrasi substrat 5% dengan variasi waktu dan pH, diperoleh waktu optimum 2 hari dan pH optimum 8. Hasil fermentasi dianalisis dengan uji kelarutan dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10% serta uji protein dalam follin cialcateu lalu dikeringkan dalam oven dan spektroskopi IR. Hasil penelitian menunjukkan kitin hasil fermentasi dari kulit rajungan sebesar 93,33%, kadar air 2,84%, kadar abu 1,12% dan kadar nitrogen 1,17%. Kitosan yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin sebesar 72%. Analisis spektrofotometri IR menghasilkan derajat deasetilasi kitin sebesar 38,8% dan derajat deasetilasi kitosan 62,8%.

Keywords : rajungan, enzimatik, pseudomonas aeruginosa, kitin, kitosan

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara maritim kaya akan bahan baku kitin yang banyak terdapat dalam kulit udang, kulit kepiting, dan cumi-cumi akan menjadi sangat potensial dalam produksi kitin dan kitosan. Salah satunya propinsi Lampung memiliki potensi yang cukup besar dalam menghasilkan kepiting setiap tahunnya, dari dua perusahaan besar yaitu, PT Panji Saburai Putra dan PT Philip Amanjaya.

Pemanfaatan kepiting umumnya baru terbatas untuk keperluan makanan, biasanya hanya dagingnya saja yang diambil sedangkan cangkangnya dibuang, padahal cangkang kepiting mengandung senyawa kitin yang cukup tinggi yaitu, sekitar 20-30 % berat kulit keringnya. Sedangkan kulit kepiting sendiri merupakan limbah pengalengan kepiting yang belum diolah secara maksimal. Penggunaan kitin dibatasi oleh sifat-sifat yang tidak larut dan sulit dipisahkan dengan bahan lain yang terikat terutama protein, sehingga untuk pemanfaatannya kitin perlu diubah terlebih dahulu menjadi kitosan.

Kitin merupakan salah satu polisakarida yang melimpah dialam selain selulosa dan pati. Kitin adalah polimer dari N-asetilglukosamin yang terikat secara 1,4 β dengan tingkat terasetilasi yang lebih tinggi. Sedangkan turunannya yang memiliki tingkat terasetilasi lebih rendah disebut kitosan. Setiap tahunnya diproduksi sekitar 106-107 ton kitin dari organisme laut (Yu dkk, 1991 dalam Peter, 1995).

Kitin dan kitosan dinegara maju telah diproduksi secara komersial mengingat manfaatnya diberbagai industri, seperti bidang farmasi, biokimia, bioteknologi, kosmetika, biomedika, industri kertas, industri pangan, industri tekstil, dan lain-lain. Pemanfaatan tersebut didasarkan

Page 2: ZJ John Hendri 271 283

PROSIDING 272

atas sifat-sifatnya yang dapat digunakan sebagai pengemulsi, koagulasi, pengkelat, dan penebal emulsi (Muzarelli, 1984).

Isolasi kitin dari kulit kepiting dilakukan dengan dua metode, yaitu metode kimia dan metode enzimatik. Pada metode kimia dilakukan tiga tahap yang meliputi tahap pemisahan protein dengan menggunakan larutan NaOH encer, pemisahan mineral dengan larutan asam klorida encer, dan tahap pemutihan hasil dengan aseton. Ketiga tahap ini merupakan faktor yang menentukan kualitas kitin. Produksi kitin secara kimia ini dapat menimbulkan masalah pembuangan limbah yang sangat berpengaruh pada lingkungan hidup dan menyebabkan kitin terdepolimerisasi sehingga rantainya menjadi lebih pendek. Wang (1997) melaporkan bahwa pembuatan kitin secara enzimatik dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa K-187 yang merupakan penghasil enzim kitinase atau lisozim. Dengan proses fermentasi, telah ditemukan bahwa bakteri ini juga memiliki aktivitas protease. Pada penelitian ini dilakukan deproteinasi kitin dari kulit kepiting secara enzimatik menggunakan isolat Pseudomonas aeruginosa dalam medium cair nutrient broth (NB) pada suhu ruang dengan konsentrasi substrat 5%, variasi waktu panen, dan pH diperoleh waktu optimum 2 hari serta pH optimum 8. Untuk proses demineralisasi menghasilkan rendemen sebesar 20,08% dan depigmentasi sebesar19,52%. Sedangkan untuk pembuatan kitosan dilakukan deasetilasi kitin secara kimia menggunakan larutan NaOH pekat 50% (1:15, w/v) pada suhu 100°C selama 6 jam( Muzarelli, 1977). Kitin dan kitosan yang diperoleh diuji kelarutannya dan dianalisis menggunakan spektrofotometer infra merah dengan kitin dan kitosan standar sebagai pembanding.

Metodolgi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: alat-alat gelas, 1 set alat ekstraksi soklet, oven merk Heraeus, magnetik stirer merk Nuova, kondensor refluks, jarum ose, cawan penguap, ayakan 40 mesh, pH meter merk Orion, tanur, atoklaf model S-90N merk Tommy Seiko, desikator, shaker merk Gerhardt Schuttelmaschine RO 10, inkubator merk Selecta, neraca merk Ainsworth AA-160, laminary air flow merk Crumair, ultrasonic merk Branson, penangas air merk Selecta, dan Spektrophotometer Infra Merah (IR).

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit kepiting rajungan (Portunus pelagious), isolat bakteri Pseudomonas aeruginosa, bacto agar, nutrient broth (NB), kapas, akuades, dan laktosa . Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, H2SO4 pekat, HCl pekat, NH4NO3, K2HPO4, MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, NaH2PO4, K2SO4, Na2S2O3, H3BO3, HgO, (NH4)2C2O4, LiCl, NaOCl, CH3COOH, TCA, methylen blue, methylen red, follin cialcateu, dan N,N-dimetilasetamida.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan adalah kulit kepiting rajungan (Portunus pelagious) yang diambil dari PT. Philip Amanjaya. Kulit kepiting yang telah direbus, dibersihkan, dan dikeringkan dengan sinar matahari. Setelah kering digiling dengan mortar dan diayak dengan ayakan ukuran 40 mesh.

Isolasi Kitin Secara Enzimatik

Isolasi kitin dilakukan dengan empat tahap yang meliputi tahap pembuatan media substrat, penyiapan medium fermentasi, pembuatan starter dan penentuan kondisi optimum fermentasi.

Page 3: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 273

Pembuatan Media Substrat

a. Demineralisasi

150 g bubuk kulit kepiting dimasukkan ke dalam gelas beker 2 L dan ditambahkan 1200 ml HCl 2N sedikit demi sedikit sambil diaduk lalu disimpan pada suhu 25oC selama 2 hari. Pemisahan residu dan filtrat dilakukan dengan penyaringan dimana filtrat diuji dengan amonium oksalat. Sedangkan residu di cuci dengan aquades sampai pH netral, lalu dikeringkan pada suhu 60°C selama 4 jam.

b. Depigmentasi

Kitin kasar hasil demineralisasi diekstraksi dengan aseton dengan perbandingan 1:10 selama 7 jam secara sokletasi. Residunya diputihkan dengan NaOCl 0,315% selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian residunya dicuci dengan akuades sampai pH netral dan dikeringkan dengan oven pada suhu 600C selama 4 jam.

Penyiapan Medium Fermentasi

NH4NO3 0,5 g, K2HPO4 0,1 g, FeSO4. 7H2O 0,5 g, MgSO4. 7H2O 0,5 g, laktosa 1 g dan 5 g media kulit kepiting dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan akuades 100 ml. Campuran dikocok dalam shaker sampai homogen. Erlenmeyer kemudian diberi sumbat kapas, disterilisasi pada suhu 121°C, tekanan 15 psi selama 20 menit.

Pembuatan Starter

Starter adalah inokulum yang siap digunakan untuk fermentasi. Starter dibuat dengan cara biakan Pseudomonas aeruginosa yang telah diinkubasi selam 3 hari dalam media nutrient broth agar (NBA) lalu dimasukkan ke media cair NB secara steril, kemudian dilakukan pengocokan pada suhu kamar selama 24 jam dengan kecepatan 100 rpm. Selanjutnya starter siap dimasukkan ke dalam media fermentasi.

Penentuan Kondisi Optimum Fermentasi

a. Penentuan waktu panen optimum

4 buah erlenmeyer yang berisi 45 ml media fermentasi, masing-masing dimasukkan 5,0 ml starter kemudian diinkubasi dalam shaker dengan variasi waktu 1, 2, 3, dan 4 hari. Hasil fermentasinya diuji kelarutannya dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%.

b. Penentuan pH optimum

4 buah erlenmeyer yang berisi 45 ml media fermentasi diatur pH-nya sebagai berikut 7, 7,5, 8, dan 8,5. Kedalam media dimasukkan starter sebanyak 5 ml, dikocok dengan kecepatan 100 rpm sampai waktu panen optimumnya. Hasil fermentasi diuji kelarutannya dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%.

Pembuatan Kitosan Secara Kimia

1 g kitin dicampur dengan 15 ml NaOH 50% dalam bejana tahan asam basa yang dilengkapi dengan pengaduk, termometer, dan penangas air bertermostat. Tahap ini dilakukan selama 6 jam pada suhu 100°C. Residu yang diperoleh dicuci dengan akuades sampai pH netral dan dikeringkan selama 4 jam pada suhu 60°C lalu diuji kelarutannya dalam asam asetat 5%.

Page 4: ZJ John Hendri 271 283

PROSIDING 274

Karakterisasi Kitin dan Kitosan

Analisis kadar air secara gravimetri

Dilakukan penimbangan terhadap cawan penguap yang hendak dipakai, kemudian dimasukkan sampel dengan berat tertentu. Dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC sampai beratnya konstan (± selama 3 jam), didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Analisis kadar abu secara gravimetri

Cawan penguap disiapkan untuk pengabuan. Cawan penguap ditimbang, kemudian dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali. Sampel yang telah ditimbang dimasukkan dalam cawan penguap, kemudian dibakar diatas pembakar gas sampai asapnya habis, selanjutnya diletakkan dalam tanur pengabuan dibakar sampai didapat abu berwarna putih. Pengabuan ini dilakukan pada suhu 6000C-7000C selama 6 jam.

Pengukuran spektroskopi IR

Kitin dan kitosan yang diperoleh diukur dengan spektoskopi IR. Sampel dibuat pelet dengan KBr dan dilakukan scanning pada daerah panjang gelombang 4000 - 400 cm1. Hasil pengukuran yang diperoleh dibandingkan dengan pengukuran kitin dan kitosan standar

Derajat Deasetilasi

Derajat deasetilasi ditentukan dari spektrum serapan spektroskopi IR dengan metode garis dasar. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih. Perbandingan antara absorbansi pada V = 1655 cm-1 ( serapan pita amida) dengan absorbansi V= 3450 cm-1 (serapan pita hidroksi) dihitung untuk N-deasetilasi kitin yang sempurna (100%) diperoleh A1655= 1,33. (Bastaman, 1989 dalam Haryanto, 1995).

Penentuan Kadar Nitrogen

1g kitin dimasukkan kedalam labu kjehdal ditambah dengan 5 mg raksa oksida, 0,2 g kalium sulfat, dan 10 ml asam sulfat pekat, lalu didestruksi sampai cairan berwarna jernih dan didinginkan. Setelah itu ditambah akuades 25 ml dan 10 ml larutan NaOH dengan natrium tiosulfat lalu didestilasi. Gas amoniak yang terjadi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml asam klorida yang telah diberi 4 tetes indikator metil merah. Ujung tabung kondensor harus lebih rendah dibawah larutan asam klorida, selanjutnya destilat dititrasi dengan natrium hidroksida 0,01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu

Hasil dan Pembahasan

Proses Pembuatan Polimer Kitin

Pada penelitian ini dilakukan proses pembuatan kitin dari kulit kepiting rajungan (Portunus pelagious) dengan menggunakan metode kombinasi No (1989) dan Wang (1998) yang meliputi tahap demineralisasi, depigmentasi, dan deproteinasi secara enzimatik. Untuk mengetahui adanya kitin dalam kulit kepiting rajungan (Portunus pelagious) dilakukan uji kualitatif. Sampel ditambahkan dengan I2 dalam KI menimbulkan warna coklat, kemudian bila ditambahkan dengan H2SO4 pekat akan menimbulkan perubahan warna dari coklat menjadi violet. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kulit kepiting rajungan (Portunus pelagious) mengandung senyawa kitin.

a. Demineralisasi

Proses pemisahan ini bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang terdapat pada kulit kepiting. Kandungan mineral yang terbanyak dalam kulit kepiting adalah CaCO3, dan dalam

Page 5: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 275

jumlah yang sedikit terdapat Ca3(PO4)2. Menurut Knorr (1984) mineral CaCO3 lebih mudah dipisahkan dibandingkan protein karena garam anorganik ini dapat dihilangkan dari senyawa kitin dengan menggunakan HCl. Asam klorida efektif untuk melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida, namun asam klorida juga dapat menyebabkan kitin mengalami depolimerisasi (Austin, 1981 dan Shimara, 1988).

Reaksi garam anorganik dengan HCl adalah sbb :

CaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)

Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)

Menurut Turikun (1989) bahwa hasil reaksi tersebut akan larut dan mudah dihilangkan pada tahap pemisahan mineral ini, sampel dilarutkan dalam HCl 2N selama 48 jam pada suhu ruang dengan perbandingan berat sampel dan volume pengekstrak 1 : 8 (w/v) yang hasilnya menunjukkan keefektifan dalam menurunkan kadar abu. Kadar abu yang dihasilkan adalah 1,12%. Terjadinya proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 yang berupa gelembung-gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel.

Setelah proses demineralisasi, dilanjutkan dengan tahap netralisasi. Hasil ekstraksi dicuci dengan aquades sampai pH netral, sebagai indikator digunakan pH universal. Filtrat diuji dengan (NH4)2C2O4 untuk membuktikan adanya mineral kalsium yang dapat dipisahkan selama proses demineralisasi. Ion oksalat akan membentuk endapan putih dengan kalsium. Pencucian ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. Karena kitin juga mengandung beberapa gugus amino bebas baik disebabkan adanya sedikit deasetilasi selama proses pengeringan atau akibat pembentukan asetilasi yang tidak sempurna (Johnson dan Peniston, 1982).

Rendemen yang dihasilkan dari proses demineralisasi adalah 30,13 g dari berat sampel awal 150 g (20,08 %). Hal ini menunjukkan bahwa mineral yang dapat dipisahkan dari sampel adalah 79,91 %.

b. Depigmentasi

Depigmentasi merupakan proses penghilangan warna yang ada pada kitin. Pada penelitian ini kitin hasil demineralisasi menghasilkan warna kuning kemerahan yang warnanya dapat dihilangkan dengan aseton dan sokletasi selama 7 jam dengan perbandingan berat sampel dan volume pelarut 1 : 10 (w/v). Proses sokletasi selama 7 jam menghasilkan 29 siklus yang setiap siklusnya selama 10 menit. Aseton yang berwarna jernih mengalami perubahan menjadi kuning kemerahan. Hal ini membuktikan bahwa zat warna dari kitin dapat dipisahkan dengan aseton.

Pada penelitian ini didapat warna kuning kemerahan pada aseton dimana menunjukkan adanya reduksi astaksantin dari kitin. Purwatiningsih (1992) melaporkan bahwa aseton dapat mereduksi astaksantin dari kitin limbah udang windu. Setelah itu dilakukan pemutihan dengan menggunakan larutan NaOCl 0,315% selama 10 menit. Dari 150 g sampel awal diperoleh kitin seberat 29,20 g (19,52%).

c. Deproteinasi secara enzimatik

Deproteinasi merupakan proses penghilangan protein dari kitin. Proses ini dilakukan secara enzimatik dengan menggunakan isolat bakteri Pseudomonas aeruginosa dalam medium cair NB pada suhu ruang dan konsentrasi substrat 5%. Dengan proses fermentasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan menghasilkan enzim protease. Enzim protease ini mempunyai kemampuan untuk memutuskan ikatan peptida dari residu asam amino dalam molekul protein (Amrizal, 1988).

Page 6: ZJ John Hendri 271 283

PROSIDING 276

Pada tahap deproteinasi dilakukan variasi waktu panen dan pH untuk mendapatkan waktu panen optimum dan pH optimum. Pada tahap ini mula-mula dilakukan pembuatan medium fermentasi uatuk variasi waktu panen 1, 2, 3, dan 4 hari. Media fermentasi yang telah dimasukkan starter kemudian diukur pHnya dengan menggunakan larutan buffer phosfat, larutan buffer ini berfungsi untuk menjaga agar pH tidak berubah. Setelah dilakukan pengukuran pH, media fermentasi diinkubasi dalam shaker dengan kecepatan 100 rpm. Setiap variasi waktu panen pada media fermentasi yang telah diinkubasi, ditambahkan larutan TCA (asam trikhloro asetat) yang berfungsi untuk menginaktifkan enzim protease. Untuk mendapatkan produk dilakukan penyaringan, setiap filtrat yang diperoleh dilakukan pengukuran pH. Setelah produk didapatkan lalu dicuci dengan aquades sampai pH netral dan dilakukan uji kelarutan serta uji protein untuk filtrat. Uji kelarutan menggunakan campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%, sedangkan uji protein dengan menggunakan follin cialcateu.

Kondisi Optimum Fermentasi Kitin

a. Waktu panen optimum fermentasi kitin

Dari hasil penelitian diperoleh waktu panen optimum 2 hari yang akan menentukan pH optimum produk selanjutnya. Hasil ini didapatkan berdasarkan uji kelarutan dengan menggunakan campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10% yang merupakan pelarut efektif untuk melarutkan kitin (Kenzo dkk, 1988). Produk yang diperoleh dilarutkan dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10% lalu diaduk dengan menggunakan alat shaker selama 3 hari untuk menghomogenkan larutan dan diultrasonik 15 menit dengan tujuan untuk memecahkan dinding sel dengan menggunakan gelombang frekuensi tinggi. Gelombang ini dapat menyebabkan dinding sel pecah. Kemudian hasilnya ditimbang untuk mendapatkan berat produk yang terbanyak.

Selain uji kelarutan, dilakukan juga uji protein pada filtrat dengan menggunakan follin cialcateu yang memberikan warna kuning kehijauan, hal ini menunjukkan bahwa dalam filtrat sudah tidak ada protein. Hal ini juga sesuai dengan media fermentasi yang ditambahkan dengan follin cialcateu memberikan warna yang sama, yaitu kuning kehijauan. Hal ini dapat dilihat pada kurva dibawah ini (Gambar 1.) menunjukkan hubungan waktu fermentasi kitin dengan berat produk yang larut dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%, dimana waktu fementasi kitin optimum mampu menghasilkan berat produk terbesar pada hari ke-2.

Gambar 1. Kurva Hubungan Waktu Fermentasi Kitin Vs Berat Produk yang larut dalam N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%

0

100

200

300

400

500

600

1 2 3 4Waktu (Hari)

Ber

at P

rodu

k (m

g)

Page 7: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 277

b. pH optimum fermentasi kitin

Mempertahankan nilai pH tertentu sepanjang pertumbuhan, mempunyai arti penting bagi mikroorganisme yang meskipun memproduksi asam, tetapi tidak tahan terhadap asam, misalnya pada bakteri Pseudomonas aeruginosa (Schlegel dan Schmidt, 1994). Pada umumnya bakteri dapat tumbuh pada pH sekitar 7 meskipun kisaran pHnya adalah 5-8. Banyak bakteri menghasilkan asam; asam ini akan menghambat pertumbuhan bakteri (Lay, 1992). Pada penelitian ini didapatkan pH optimum produk 8 berdasarkan dari waktu optimum fermentasi produk 2 hari. Pada kondisi ini, produk dilarutkan dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10% dan filtrat diuji dengan follin cialcateu yang memberikan hasil positif bahwa produk pada pH 8 tidak mengandung protein dengan memberikan warna kuning kehijauan. Hal ini dapat dilihat pada kurva dibawah (Gambar 2.) yang menunjukkan hubungan pH fermentasi kitin dengan berat produk yang larut dalam campuran N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%. Berat produk terbesar pada pH 8.

Gambar 2. Kurva Hubungan pH Fermentasi Kitin Vs Berat Produk yang larut dalam N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10%

Deasetilasi Polimer Kitin Secara Kimia

Deasetilasi adalah proses penghilangan gugus asetil (−COCH3) dari kitin dengan larutan alkali (Whistler, 1973; Johnson dan Peniston, 1982). Menurut Muzzarelli (1979) dalam Johnson dan Peniston (1982) kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksil. Oleh karena itu pada proses deasetilasi digunakan larutan NaOH dengan konsentrasi tinggi (40-50)% dan suhu tinggi (100- 150)0C untuk mendapatkan kitosan dari kitin.

Pada penelitian ini menggunakan larutan basa NaOH pekat 50% dengan perbandingan berat sampel dan volume pengekstrak 1 : 15 (w/v) pada suhu 1000C selama 6 jam (Muzarelli 1977). Kitosan yang diperoleh diuji kelarutan dengan asam asetat 5%, diaduk dengan menggunakan alat shaker selama 3 hari, dan diultrasonik selama 15 menit, hasil yang diperoleh kitosan larut dan mengental membentuk gel. Hal ini sesuai perlakuannya dengan menggunakan kitosan standar. Asam asetat digunakan sebagai pelarut karena kitosan dapat larut dengan baik dan akan membentuk larutan yang lebih kental pada konsentrasi kitosan yang lebih tinggi (Hayes dkk, 1976). Larutan NaOH berfungsi memutuskan ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen sehingga berubah menjadi gugus amino (−NH2). Dari 1 g kitin diperoleh kitosan seberat 0,72 g kitosan (72%).

0100200300400500600

7 7.5 8 8.5

pH Media

Ber

at P

rodu

k (M

g)

Page 8: ZJ John Hendri 271 283

PROSIDING 278

Karakterisasi Kitin Dan Kitosan

Kadar air secara gravimetri

Kadar air adalah salah satu parameter kualitas penting dari kitin, karena akan mempengaruhi daya simpannya. Adanya kandungan air pada bahan dapat mempengaruhi daya tahan suatu bahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan Aw (aktivitas water) yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan. Dengan kadar air kitin yang berkisar (2-3)%, berarti kitin yang diperoleh mempunyai kestabilan kadar air kitin 2,84%. Pada penentuan kadar air kemungkinan adanya bahan lain yang mudah menguap dan ikut menguap bersama-sama dengan air sewaktu dipanaskan. Untuk menghilangkan air yang terikat secara fisik diperlukan panas rendah untuk menguapkannya pada suhu 100-1050C. Semakin halus butiran-butiran padatan, semakin banyak air yang teradsorpsi karena luas permukaan persatuan berat bertambah (Harjadi, 1993).

Kadar abu secara gravimetri

Abu adalah sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Sebenarnya sisa tertinggal ini merupakan unsur-unsur mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Pada proses pengabuan unsur-unsur itu membentuk oksidanya atau bergabung dengan radikal seperti phosfat, sulfat, nitrat atau klorida. Sedangkan bahan-bahan organik yang lain pada proses ini akan terus terbakar (Bastaman, 1989).

Proses yang berperan penting dalam penentuan kadar abu adalah proses demineralisasi dan netralisasinya. Kadar abu pada kitin terutama disebabkan oleh garam-garam anorganik Ca(PO4)2 dan CaCO3. Dari hasil penelitian menunjukkan kadar abu kitin 1,12 % kitin yang dihasilkan digunakan untuk diubah menjadi kitosan, karena aktivitas proses pembentukan kitosan ini dipengaruhi oleh adanya mineral yang dapat menganggu proses deasetilasi.

Pengukuran Spektroskopi IR

a. Penafsiran Spektrum IR Hasil Fermentasi Kitin

Dari spektrum IR hasil fermentasi kitin diperoleh pita serapan pada 3388,7 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur O-H yang melebar dan vibrasi ulur N-H amida sekunder, pita serapan 3103,3 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur N-H amida sekunder, pita serapan 1627,8-16625,5 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C=O dan vibrasi tekuk N-H pita amida I, pita serapan 1417,6 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-N amina alifatik, pita serapan 1261,3-1315,3 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk O-H dan vibrasi ulur C-N, pita serapan 1028,0-1234,3 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-O dan vibrasi tekuk C-H dalam bidang dan pita serapan 559,3 cm-1 dirujuk sebagai vibrasi tekuk O-H keluar bidang.

Spektrum IR dari hasil penelitian ini (Gambar 3.) sesuai dengan spektrum IR kitin standar produksi Wako Jepang (Gambar 4.), sehingga dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah kitin.

Page 9: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 279

Gambar 3. Spektrum IR Hasil Fermentasi Kitin

Gambar 4. Spektrum IR Kitin Standar Produksi Wako Jepang

b. Penafsiran Spektrum IR Kitosan

Dari spektrum IR kitosan diperoleh pita serapan 3697,3 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur O-H yang tajam, pita serapan 3423,4 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur O-H yang melebar, pita serapan 3273,0 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur N-H amida sekunder, pita serapan 2987,5 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-H alifatik, pita serapan 1598,9 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk N-H

Page 10: ZJ John Hendri 271 283

PROSIDING 280

amida sekunder, pita serapan 1421,4 cm-1 menunjukkan vibrasi C-N amina alifatik, pita serapan 1321,1 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk O-H dan vibrasi ulur C-N, pita serapan 1091,6-1259,4 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-O dan vibrasi tekuk C-H dalam bidang, pita serapan 896,8 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk C-H keluar bidang dan pita serapan 420,4-576,6 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk O-H keluar bidang.

Spektrum IR hasil penelitian ini (Gambar 5.) sesuai dengan spektrum IR kitosan standar produksi Wako Jepang (Gambar 6.), sehingga dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah kitosan.

Gambar 5. Spektrum IR Kitosan

Gambar 6. Spektrum IR Kitosan Standar Produksi Wako Jepang

Page 11: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 281

Derajat Deasetilasi

Menurut Bastaman (1989), kitin adalah suatu polimer N-asetil glukosamin yang terdeasetilasi sedikit (lebih besar dari 25% dan lebih kecil dari 70%). Sedangkan kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin (lebih besar dari 70%). Derajat deasetilasi adalah persentase gugus asetil yang berhasil dihilangkan selama proses deproteinasi kitin, dimana kitin diberi perlakuan dengan menggunakan larutan NaOH 50% pada suhu 1000C yang menyebabkan terhidrolisisnya gugus asetil dari gugus asetamida pada kitin.

Dari hasil penelitian diperoleh derajat deasetilasi kitin sebesar 38,8% dan derajat deasetilasi kitosan sebesar 62,8%. Deproteinasi dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa tidak menyebabkan kitin terdeasetilasi lebih lanjut sehingga menghasilkan derajat deasetilasi kitosan yang kurang dari 70%. Deasetilasi kitin menjadi kitosan menggunakan larutan basa NaOH 50% dengan perbandingan berat sampel dan volume pengekstrak 1:15 (w/v) pada suhu 1000C selama 6 jam menghasilkan derajat deasetilasi kitosan yang rendah. Hal ini disebabkan kurang lamanya proses pemanasan dan suhu yang kurang tinggi, sehingga pemutusan gugus asetil kurang sempurna. Besarnya derajat deasetilasi ditentukan dengan metode garis dasar.

Penentuan Kadar Nitrogen

Banyaknya protein yang terdapat dalam kitin dapat dilihat dari persen nitrogen. Metode yang umum digunakan untuk penentuan kadar nitrogen adalah metode Kjeldahl. Metode ini dilakukan melalui 2 tahap yaitu destruksi dan destilasi. Pada tahap destruksi sampel dioksidasi dengan panas dan pelarut H2SO4 pekat, karbon dan hidrogen diubah menjadi CO2 dan H2O. Nitrogen pada amida dan amina diubah menjadi ion amonium. Proses ini berlangsung lambat sehingga perlu ditambahkan K2SO4 yang berfungsi untuk menaikkan titik didih. H2SO4 dan katalis HgO untuk mempercepat reaksi. Tahap destruksi ini berlangsung selama 12 jam.

Selanjutnya tahap destilasi, dimana campuran hasil destruksi didinginkan, lalu ditambahkan dengan aquades yang disertai dengan pengocokan, kemudian didinginkan kembali lalu ditambahkan NaOH 50% dan Na2S2O3 yang bertujuan untuk menghasilkan amonia. Pada saat penambahan tersebut dilakukan secara perlahan hingga terbentuk dua lapisan, kemudian diputar perlahan agar tercampur dan didinginkan kembali. Pada saat destilasi berlangsung amonia yang dibebaskan ditampung dalam labu penerima yang berisi HCl 0,02 N. Proses destilasi dihentikan setelah dalam labu destilat berisi lebih dari setengah cairan.

Ketika destilasi selesai, labu penerima segera diambil untuk mencegah agar larutan tidak terhisap balik ke dalam labu kjehdal. Lalu kondensor dibilas dengan aquades dan ditampung pada labu penerima. Dilanjutkan dengan titrasi menggunakan NaOH 0,01 N dan sebagai indikator digunakan metil merah (AOAC Official Method 976.05 Protein (crude) in Animal Feed, 1995).

Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Kombinasi antara metode No (1989) dan Wang (1998) dapat digunakan untuk deproteinasi polimer kitin dari kulit rajungan (Portunus pelagious) dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa.

2. N,N-dimetilasetamida dan LiCl 10% merupakan pelarut efektif untuk melarutkan kitin, hal ini terbukti dengan diperolehnya waktu panen optimum 2 hari dan pH optimum 8 yang menghasilkan produk terbanyak.

3. Deproteinasi kitin dari kulit rajungan (Portunus pelagious) menghasilkan rendemen sebesar 93,33% dengan persen protein yang hilang 6,67%, derajat deasetilasi 38,8%, kadar air 2,84%, kadar abu 1,12%, dan kadar nitrogen 1,17%.

Page 12: ZJ John Hendri 271 283

PROSIDING 282

4. Deasetilasi kitin menjadi kitosan menggunakan NaOH 50% memberikan rendemen sebesar 72% dari berat awal 1 g dengan derajat deasetilasi 62,8%.

DAFTAR PUSTAKA

Amrizal, Zey. 1998. Pengaruh Inhibitor EDTA Kation Ca(II) dan Mg(II) terhadap Aktivitas Protease Alkali yang dihasilkan oleh Strain BPPT-CCO3. Majalah BPPT, Jakarta.

Anonim. 1987. Data Pusat Biro Statistik Daerah Propinsi Lampung.

Austin, P.R, C.J. Brine, J.E. Castle and J.P. Zikakis. 1981. Chitin New Facets of Research. Science 212 : 749.

Bastaman. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from prown Shells. The Queen’s. University of Belfast England.

Gupte Satish, M.D. 1990. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta Barat.

Hayes, R. Ernest, Davies, H. Donald dan Munroe, G. Vaughan. 1976. Organic Acid Solvents Systems For Chitosan, 21nd Annual Fisheries Technological Conference

Hendri J., 2005 “Teknik Pengolahan Limbah Kulit Dan Kepala Udang” Suatu Seri Monograf Permasalahan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Provinsi Lampung, Pusat Penelitian Lingkungan, Lambaga Penelitian Unila,

Hendri J., 2007 “Karakterisasi Analisis Kandungan Senyawa Kitin” Suatu Seri Monograf Analisis dan Karakterisasi Senyawa Kimia, Jurusan Kimia FMIPA Unila,

Hendri J., Wardana, Aspita Laila, Irwan Ginting, S, 2007, “Penentuan Kadar Ca Dan Mg Pada Hasil Demineralisasi Optimum Kulit Udang Windu Gravimetri Dan Spektroskopi Serapan Atom Dimuat” dalam Jurnal Sains MIPA, Vol. 13 No. 2, (Edisi Khusus), Vol. 13 No.2,

Hendri J., Desi Indriani, Aspita Laila, Irwan Ginting Suka., 2007 “Pembuatan-Asetilglukosamin Secara Enzimatik Dari Kulit Udang dan Kepiting” Jurnal Ilmiah MIPA (JIM) Vol. 10, N0. 2,

Kenzo Shimara dkk. 1978. A New Isolation Method of Crustacean Chitin Using A Proteolytic Bacterium, Pseudomonas Maltophila. Department of Industrial Chemistry. Faculty of Engineering, Seikei University Musashino-shi, Tokyo 180 Jepang.

Knorr, D. 1982. Functional Property of Chitin and Chitosan, Journal Food Science 40 (298).

Knorr, D. 1983. Dye Binding Properties of Chitin and Chitosan, Journal Food Science 48 (31).

Knorr, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food, Food Technology 38 (1) : 85.

Muzarelli, R.A.A. 1977. Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Ancona Italy 60100, Pergamon Press.

Muzarelli, R.A.A. 1984. Chitin. Pergamon, Oxford.

No., H.K. 1989. Isolasi and Characterization of Chitin from Craw Fish Shell Waste. Vol. 37 No.3. Agriculture and Food Chemistry.

Patricia, Cunnif. 1995. AOAC Official Method 976.05 of AOAC International 16th Edition. Vol 1. Arlington, Virginia USA.

Page 13: ZJ John Hendri 271 283

Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat, Unila, 2008 283

Peter, Martin G. 1995. Application and Environmental Aspect of Chitin and Chitosan. Journal of pure and Appl. Chem. Vol VII.

Purwatiningsih. 1992. Isolasi Kitin dan Karakterisasi Komposisi Senyawaan Kimia dari Limbah Udang Windu (Penaeus monodon). Jurusan Kimia Program Pasca Sarjana ITB, Bandung.

Saipuddin. 1995. Isolasi dan Penentuan Suhu Fermentasi Terbaik Kapang Penghasil Protease Dari Sumber Air Panas Desa Sukamandi Kec. Kalianda Lampung. Skripsi Unila.

Schlegel, H.G dan Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Gajah Mada University Press Yogyakarta.

Shimahara, Kenzo, and Takiguchi, Y. 1988. Methods Enzymol. 161, 417.

Soim. 1994. Pembesaran Kepiting. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Wang. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Willey and Sons, New York Hal 476.

Wang, S.L., Chio, S.H., and Chang, W.T. 1997. Chitin. Proc. Natl Sci Counc ROC(B). 21,17.

Wang. 1998. Deproteinasi dari Kulit Udang dan Kepiting dengan Protease dari Bakteri. Dept of Food Engineering Da-Yeh University. Chang-Hwa, Taiwan.

Winarno, F.G. 1994. Kimia Fangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Wirahadikusumah, M. 1981. Biokimia Protein, Enzim dan Asam Nukleat. Penerbit ITB, Bandung.