z-jawaban uas kepemimpinan pendidikan

Upload: ade-arif-hidayat

Post on 17-Oct-2015

109 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

kepemmpnan pendidian

TRANSCRIPT

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

Matakuliah: Kepemimpinan dan Politik Pendidikan

Dosen: Prof. Dr. Djaman Satori, M.A.

1. Makna pendidikan sebagai human investment dengan memperhatikan nilai-nilai equity dan equality.

Pendidikan merupakan barang investasi (invesment goods) yang berarti sejumlah pengeluaran untuk mendukung pendidikan yang dilakukan orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam jangka pendek untuk mendapatkan manfaat dalam jangka panjang. Keluarga, masyarakat dan pemerintah rela melakukan pengorbanan untuk kepentingan pendidikan demi manfaat dimasa depan.

Pengelola pendidikan adalah pihak yang terkait langsung dengan proses pendidikan. Pendidikan tidak ubahnya dengan proses produksi yang bergerak untuk merubah serangkaian sumber-sumber menjadi output atau keluaran. Dengan demikian proses pendidikan adalah tindakan merubah sumber-sumber pendidikan menjadi keluaran pendidikan.

Pendidikan berbasis pemerintah, dan pendidikan berbasis masyarakat serta keluarga merupakan pengelola pendidik yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. Pengelola-pengelola inilah yang melakukan proses pendidikan. Pengelola pendidikan dalam melakukan proses pendidikan menghadapi berbagai masalah antara lain, Pertama, keluaran pendidikan yang bagaimana yang dikehendaki. Kedua, sumber-sumber pendidikan yang bagaimana yang diperlukan. Biasanya pengelola pendidikan memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan pengelola bisnis pada umumnya.Sejak dasawarsa 1970-an, masalah pemberian kesempatan pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi telah mendapat perhatian yang sangat intens dari pemerintah melalui upaya-upaya perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan (Perspektif kelembagaan formal). Hal ini seiring dengan makin berkembangnya pemikiran bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan bangsa.

Dalam pemahaman teori human capital yang dipelopori oleh Theodore W. Schultz, manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi Sumber daya manusia, dengan pendidikan seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Keadaan tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa negara-negara maju umumnya adalah negara-negara yang tingkat pendidikan masyarakatnya cukup memadai, sehingga makin mendorong negara-negara berkembang untuk mengikutinya melalui berbagai kebijakan peningkatan tingkat pendidikan masyarakat.

Pendekatan teori human capital merupakan salah satu pendekatan (terutama dalam penelitian pendidikan) di samping dua pendekatan lain yaitu teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang dipelopori oleh Burton Clark, menekankan pada preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia, dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat menonjol sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan pemilihan program-program pendidikan disamping perlunya upaya perluasan pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara lembaga pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat termasuk perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.

Sementara itu pendekatan teori empirisme menekankan pada perlunya diagnosis terhadap masalah pemerataan pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi (methodological empiricism). Pendekatan dengan mengacu pada teori ini telah banyak melahirkan hasil-hasil penelitian yang penting. Menurut pemahaman teori ini terjadinya ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan antara kelas-kelas sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang dianggap elit lebih suka mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas populis terus berjuang guna mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan. Lebih jauh diungkap bahwa penelitian mengenai pemerataan pendidikan telah berkembang dalam dua arah yang berlainan (Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, 1993: 26), yaitu: Pertama, penelitian pendidikan yang bersifat empiris dan kuantitatif telah menyerap sejumlah besar dana dan daya, hasil-hasilnya diarahkan untuk melakukan analisis terhadap peranan pendidikan dalam mengurangi atau mempertahankan struktur pemerataan pendidikan. Jenis penelitian ini lahir bersamaan dengan meluasnya faham egalitarianisme secara berkelanjutan dalam bidang pendidikan. Kedua, berkembangnya penelitian-penelitian terapan (action research) pada bidang pendidikan dalam bentuk quasi-experiment.Dari kedua pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi dalam melihaat masalah pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun lingkungan teknologis. Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna menciptakan situasi yang kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.

Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu Equality dan Equity. Equality atau persamaan mengandungn arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Coleman dalam bukunya Equality of educational opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaptar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Ace Suryadi , 1993 : 31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal. Dengan demikian dimensi pemeratan pendidikan mencakup hal-hal sebagai berikut: equality of access, equality of survival, quality of output, dan equality of outcome.Sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

Apabila dimensi-dimensi tersebut menjadi landasan dalam mendekati masalah keadilan dan pemerataan pendidikan, nampak betapa rumit dan sulitnya menilai keadilan dan pemerataan pendidikan yang dicapai oleh suatu daerah, apalagi bagi negara yang sedang membangun dimana kendala pendanaan nampak masih cukup dominan baik dilihat dari sudut kuantitas maupun efektivitas.

Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun milai tahun 1994. upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Di samping itu pada tahapan selanjutnya pemberian program beasiswa (dimensi equality of survival) menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program BOS untuk Pendidikan dasar, hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah. 2. Isu-isu public (public isues) dalam Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.

UU BHP telah disahkan DPR pada 18 Desember 2008 lalu. Munculnya banyak kritik pada UU BHP dari berbagai pihak, antara lain mahasiswa, guru, partai politik, dan elemen masyarakat lainnya.

Adapun, beragam isu persoalan yang masih melekat dalam RUU BHP pada masa kini adalah; 1) konsep otonomi perguruan tinggi vs komersialisasi pendidikan tinggi; 2) eksistensi yayasan dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi dari unsur masyarakat; 3) tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi; 4) kelayakan implementasi BHP-Milik Negara atas seluruh satuan pendidikan formal (TK, SD, MI, SDLB, SMP, Mts, SMPLB, SMA, SMK, SMALB, MA dan MAK); 5) kontroversi audit keuangan dan pelaporan BHP; 6) keterlibatan Notaris sebagai legalisator akta BHP bersama Mendiknas; 7) ekses miss-leading BHP berpotensi mengeksploitasi dana masyarakat; 8) eksistensi model administrasi dan pola manajerial lembaga pendidikan BHP; 9) ekses utang-piutang biaya penyelenggaraan BHP; 10) eksistensi dan sustainabilitas jaminan pendidikan formal yang bermutu dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi; 11) kesiapan sumber daya kependidikan menjelang pemberlakuan BHP; 12) kewajiban Pendidikan Tinggi terhadap negara dan masyarakat (http://www.kompas.com/).

Sesuai dengan permintaan, berikut ini akan dibahas dua isu dari dua belas isu di atas. Kedua isu itu ialah 1) konsep otonomi perguruan tinggi vs komersialisasi pendidikan tinggi, dan 2) kelayakan implementasi BHP-Milik Negara atas seluruh satuan pendidikan formal. Isu-isu ini merupakan isu seputar BHP yang masih umum.

Konsep otonmi perguruan tinggi vs komersialisasi pendidikan. Pendidikan pada dasarnya merupakan amanat konstitusi yang menekankan kepada kuatnya peran negara. Sayangnya, pada kenyataannya hal itu masih jauh dari harapan. Pendidikan tinggi kita bahkan belum mampu bersaing. Keterbatasan dana dari pemerintah ikut menjadi faktor yang menentukan. Misalnya, biaya satuan (unit cost) untuk menjalankan pendidikan tinggi sesuai standar nasional Rp 18,1 juta per mahasiswa per tahun, tetapi subsidi dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri (PTN), misalnya, baru sekitar Rp 6 juta per mahasiswa per tahun. Padahal, untuk mencapai mutu kompetitif tingkat Asia seharusnya Rp 77 juta (http://www.kompas.com/). Angka ini jauh di bawah anggaran Pemerintah Singapura, Rp 150 juta per mahasiswa per tahun. Sementara Malaysia sudah menyediakan anggaran Rp 114 juta per mahasiswa per tahun.

Kenyataan ini menjadi kontroversi ketika UU BHP disahkan. Terkait dengan UU BHP ini, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk melegalisasi `aksi lepas tanggung jawab' Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, "Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional," ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08). Hal ini juga terungkap dalam pasal 34 ayat (3): Pemerintah menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga biaya pendidikan untuk BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHPP sesuai dengan standar nasional pendidikan, dan pasal 38 ayat (1): BHP mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik di dalam satuan pendidikan yang diselenggarakannya.

Namun, kenyataannya masyarakat tetap saja menganggap bahwa UU BHP menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Pendangan ini bukan tanpa alasan, karena pandangan bahwa pendidikan sebagai komoditas itu dilatarbelakangi oleh kesepakatan pada perjanjian GATS (General Agreement on Trade and Service). Perjanjian itu menghasilkan keputasan yang menjadikan pendidikan sebagai sektor jasa. Dengan dijadikannya pendidikan sebagai sektor jasa maka hal ini sama artinya menjadikan pendidikan yang bisa diperjualbelikan (Aang Kusmawan, dalam PR 24 Desember 2008). Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam pertemuan itu tentu saja terikat dengan kesepakatan tersebut. Di sisi lain, pengalaman menunjukkan bahwa di beberapa perguruan tinggi yang sekarang berstatus BHMN biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa melambung tinggi.

Implikasi dan tantangan lain bagi penyelenggara BHP ialah masalah akuntabilitas keuangan. Laporan tahunan BHP pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh akuntan publik atau tim audit yang ditunjuk BHP. Rektor UII menyebutkan: Ini memerlukan biaya yang mahal karena untuk melakukan audit diperlukan tenaga profesional yang bisa jadi sulit dipenuhi oleh BHP, terlebih di daerah,. Bahkan sekolah-sekolah di bawah payung lembaga sosial keagamaan pun menurutnya akan sulit memenuhi hal ini. Jikapun mampu, pastilah sekolah bersangkutan merupakan sekolah mandiri yang sangat baik dan jumlahnya terbatas.

Pada dasarnya UU BHP bertujuan untuk menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN). Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan.

Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU. BHP diharapkan menjadi badan hukum yang dapat mengakomodasi organ yang dikenal pada lembaga pendidikan. Hanya saja RUU yang mengatur badan hukum dan secara eksklusif mengatur pendidikan dapat dipertanyakan. Apakah tepat pengaturan badan hukum untuk melakukan satu kegiatan atau industri secara eksklusif? Dari sejumlah jenis badan hukum yang dikenal, tidak ada satu pun yang secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan atau industri tertentu.

Sebagai contoh BHMN, tidak secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) didirikan dalam bentuk BHMN. Demikian pula PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu kegiatan (single activity) secara eksklusif. Di Indonesia memang dibutuhkan lebih banyak badan hukum agar setiap kegiatan atau industri dapat memilih badan hukum yang sesuai dengan kebutuhan. Namun adalah suatu yang tidak lazim bila penyelenggara pendidikan dilakukan oleh suatu badan hukum yang khusus untuk itu. Bila ditilik ke belakang, ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan. Pertama, lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional. Ada banyak alasan mengapa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah hendak dimandirikan. Alasan bisa muncul dari pemerintah, tetapi juga bisa dari lembaga pendidikan negeri. Dari pengalaman empat perguruan tinggi negeri, UI, ITB, IPB, dan UGM, sewaktu menjadi badan hukum milik negara (BHMN) alasan muncul dari lembaga pendidikan tersebut. Kemandirian dibutuhkan oleh keempat perguruan tinggi negeri tersebut karena penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama dibirokrasikan layaknya instansi pemerintah membuat mereka kehilangan daya saing.

Akibatnya, sulit diharapkan keempat perguruan tinggi itu untuk bersaing dengan perguruan tinggi swasta, apalagi harus bersaing dengan perguruan tinggi di luar negeri. Birokrasi ala pemerintah membuat para pejabat yang mengelola universitas harus memenuhi syarat kepangkatan untuk menduduki eselonisasi tertentu layaknya instansi pemerintah.

Demikian pula urusan anggaran akan mengikat aturan yang berlaku di instansi pemerintah. Bahkan pengisian jabatan kerap dijadikan ajang politik ketimbang amanah untuk mengedepankan suasana akademis. Dari sini terlihat bahwa tujuan mem-BHMN-kan keempat perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan. Bila saat ini di antara empat universitas BHMN terkesan melakukan komersialisasi hal ini terpulang pada kebijakan dari pimpinannya yang harus bergelut dengan minimnya subsidi dari pemerintah. Harus diakui bahwa pendidikan yang prima membutuhkan banyak dana. Menaikkan biaya operasional mahasiswa merupakan kebijakan yang paling mudah meskipun tidak semua universitas melakukannya. Bila kebijakan tersebut yang diambil, maka pimpinan universitas tidak berbeda dengan kepala daerah yang mengenakan retribusi dan pajak daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah.

Alasan kedua dimunculkannya UU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan (http://www.kompas.com/kompascetak/).

Bagi Depdiknas kehadiran UU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, UU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan ditransformasikan menjadi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan. Dengan UU BHP, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan yang dikelola.

Meskipun badan hukum baru yang dijadikan kendaraan untuk penyelenggaraan pendidikan sangat didambakan, UU BHP masih belum dapat menjawab kebutuhan tersebut. Pertama, substansi UU BHP banyak memiliki kekurangan bila yang hendak diatur adalah keberadaan badan hukum. UU BHP perlu mendapat revisi besar-besaran (major revisions). Kedua, ego sektoral dari Depdiknas sangat kental tercermin dalam UU BHP, padahal yang hendak diatur adalah badan hukum. Kekurangan lain dari UU BHP adalah keinginan untuk menyeragamkan lembaga pendidikan dari semua tingkatan.

3. Keterkaitan Visionary Leadership, Transformation Leadership dan Perubahan dengan menggunakan Analisis Balanced Scorecard.

A.Balanced ScorecardBalanced Scorecard terdiri dari dua kata, yaitu scorecard dan Balanced. Scorecard adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh personel di masa depan. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan personel di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya.

Hasil perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja personel yang bersangkutan. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel diukur secara berimbang dari dua aspek yaitu aspek keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Oleh karena itu, jika kartu skor personel digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan, personel tersebut harus memperhitungkan keseimbangan antara pencapaian kinerja keuangan dan non keuangan, antara kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat intern dan ekstern.

Jadi, Balanced Scorecard merupakan contemporary management tool yang digunakan untuk mendongkrak kemampuan organisasi dalam melipatgandakan kinerja keuangan. Balanced Scorecard melengkapi seperangkat ukuran finansial kinerja masa lalu dengan ukuran pendorong (drivers) kinerja masa depan.Seperti apa yang diutarakan di atas bahwa ada 4 perspektif untuk membentuk kerangka kerja balanced scorecard (Robert & Norton, 1996).

Gambar 1 menggambarkan mengenai Balanced Scorecard sebagai kerangka kerja untuk menerjemahkan strategi ke dalam kerangka operasional.

1) Perspektif Finansial

Ukuran finansial sangat penting dalam memberikan ringkasan konsekuensi tindakan ekonomis yang sudah diambil. Ukuran kinerja finansial memberikan petunjuk apakah strategi organisasi, implementasi, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak kepada peningkatan laba perusahaan. Tujuan finansial biasanya berhubungan dengan profitabilitas melalui pengukuran laba operasi, return on capital employed (ROCE) atau economic value added. Tujuan finansial lainnya mungkin berupa pertumbuhan penjualan yang cepat atau terciptanya arus kas.

2) Perspektif Pelanggan

Dalam perspektif pelanggan Balanced Scorecard, manajemen perusahaan harus mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar di mana unit bisnis tersebut akan bersaing dan berbagai ukuran kinerja unit bisnis di dalam segmen sasaran. Perspektif ini biasanya terdiri atas beberapa ukuran utama atau ukuran generik keberhasilan perusahaan dari strategi yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik. Ukuran utama tersebut terdiri atas kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Selain, perspektif pelanggan seharusnya juga mencakup berbagai ukuran tertentu yang menjelaskan tentang proposisi nilai yang akan diberikan perusahaan kepada pelanggan segmen pasar tertentu merupakan faktor yang penting, yang dapat mempengaruhi keputusan pelanggan untuk berpindah atau tetap loyal kepada pemasoknya. Sebagai contoh, pelanggan mungkin menghargai kecepatan (lead time) dan ketepatan waktu pengiriman atau produk dan jasa inovatif yang konstan atau pemasok yang mampu mengantisipasi kebutuhan dan kapabilitas yang berkembang terus dalam pengembangan produk dan pendekatan baru yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Perspektif pelanggan memungkinkan para manajer unit bisnis untuk mengartikulasikan strategi yang berorientasi kepada pelanggan dan pasar yang akan memberikan keuntungan finansial masa depan yang lebih besar.

3) Perspektif Proses Bisnis Internal

Dalam perspektif proses bisnis internal, para eksekutif mengidentifikasi berbagai proses internal penting yang harus dikuasai dengan baik oleh perusahaan. Proses ini memungkinkan unit bisnis untuk (1) memberikan preposisi nilai yang akan menarik perhatian dan mempertahan pelanggan dalam segmen pasar sasaran, dan (2) memenuhi harapan keuntungan financial yang tinggi para pemegang saham.

Ukuran proses bisnis internal berfokus kepada berbagai proses internal yang akan berdampak besar kepada kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan finansial perusahaan.

Perspektif proses bisnis internal mengungkapkan dua perbedaan ukuran kinerja yang mendasar antara pendekatan tradisional dengan pendekatan Balanced Scorecard. Perbedaan yang pertama adalah, bahwa pendekatan tradisional berusaha memantau dan meningkatkan proses bisnis yang ada saat ini. Pendekatan ini mungkin melampaui ukuran kinerja finansial dalam hal pemanfaatan alat ukur yang berdasar kepada mutu dan waktu. Tetapi semua ukuran itu masih berfokus pada peningkatan proses bisnis saat ini. Sedangkan pendekatan scorecard pada umumnya akan mengidentifikasi berbagai proses baru yang harus dikuasai dengan baik oleh perusahaan agar dapat memenuhi berbagai tujuan pelanggan dan finansial. Sebagai contoh, sebuah perusahaan mungkin menyadari perlunya mengembangkan suatu proses untuk mengantisipasi kebutuhan pelanggan atau memberikan layanan yang dinilai tinggi oleh pelanggan sasaran. Tujuan proses bisnis internal Balanced Scorecard akan menyoroti berbagai proses penting yang mendukung keberhasilan strategi perusahaan tersebut, walaupun beberapa di antaranya mungkin merupakan proses yang saat ini sama sekali belum dilaksanakan. Perbedaan yang kedua adalah pendekatan Balanced Scorecard memadukan berbagai proses inovasi ke dalam perspektif proses bisnis internal, sedangkan sistem pengukuran kinerja tradisional berfokus kepada proses penyampaian produk dan jasa perusahaan saat ini kepada pelanggan saat ini. Sistem tradisional digunakan dalam upaya untuk mengendalikan dan memperbaiki proses saat ini yang dapat diumpamakan sebagai gelombang pendek penciptaan nilai. Gelombang pendek penciptaan nilai dimulai dengan diterimanya pesanan produk (atau jasa) perusahaan dari pelanggan dan berakhir dengan penyerahan kepada pelanggan. Perusahaan menciptakan nilai dengan memproduksi, menyerahkan, dan memberikan produk dan layanan kepada pelanggan dengan biaya di bawah harga yang dibayar oleh pelanggan. Sedangkan perspektif proses bisnis internal Balanced Scorecard terdiri atas tujuan dan ukuran bagi siklus gelombang panjang inovasi maupun siklus gelombang pendek operasi. Yang dimaksud dengan proses inovasi gelombang panjang penciptaan nilai adalah proses penciptaan produk dan jasa yang sama sekali baru untuk memenuhi kebutuhan yang terus tumbuh dari pelanggan perusahaan saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, kemampuan mengelola dengan sukses proses jangka panjang pengembangan produk atau pengembangan kapabilitas untuk menjangkau kategori pelanggan yang baru lebih penting daripada kemampuan mengelola operasi saat ini secara efisien, konsisten, dan responsif.

4) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan

Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan mengidentifikasi infra struktur yang harus dibangun perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Sumber utama pembelajaran dan pertumbuhan perusahaan adalah manusia, sistem, dan prosedur perusahaan. Untuk mencapai tujuan perspektif finansial, pelanggan, dan proses bisnis internal, maka perusahaan harus melakukan investasi dengan memberikan pelatihan kepada karyawannya, meningkatkan teknologi dan sistem informasi, serta menyelaraskan berbagai prosedur dan kegiatan operasional perusahaan yang merupakan sumber utama perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.

B. Kepemimpinan Visioner

Globalisasi merupakan gambaran mengenai perubahan yang sangat cepat berubah, hal ini digambarkan oleh segala aspek yang mempengaruhi perkembangan organisasi menjadi begitu sangat besar pengaruhnya, kepemimpinan yang mampu berfikir jauh ke depan, mampu mengantisipasi segala perubahan dan perkembangan zaman, di era yang sangat kompetitif dan tuntutan kebutuhan yang semakin beragam, rinci dan spesifik menjadi sangat relevan untuk mengadapi kondisi dan situasi seperti ini. Organisasi membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengembangkan organisasinya dengan baik sampai jauh ke depan, melampaui usia zamannya. Kepemimpinan visioner (visionary leadership) merupakan syarat mutlak bagi organisasi yang ingin berkembang sampai puluhan tahun ke depan.

Seth Kahan (2002) menjelaskan bahwa kepemimpinan visioner melibatkan kesanggupan, kemampuan, kepiawaian yang luar biasa untuk menawarkan kesuksesan dan kejayaan di masa depan. Seorang pemimpin yang visioner mampu mengantisipasi segala kejadian yang mungkin timbul, mengelola masa depan dan mendorong orang lain utuk berbuat dengan cara-cara yang tepat. Hal itu berarti, pemimpin yang visioner mampu melihat tantangan dan peluang sebelum keduanya terjadi sambil kemudian memposisikan organisasi mencapai tujuan-tujuan terbaiknya.

Corinne McLaughlin (2001) mendefinisikan pemimpin visioner (visionary leaders) adalah mereka yang mampu membangun kondisi kerja dengan intuisi dan imajinasi, penghayatan, dan boldness. Mereka menghadirkan tantangan sebagai upaya memberikan yang terbaik untuk organisasi dan menjadikannya sebagai sesuatu yang menggugah untuk mencapai tujuan organisasi. Mereka bekerja dengan kekuatan penuh dan tercerahkan dengan tujuan-tujuan yang lebih tinggi.Pandangannya jauh ke depan. Mereka adalah para social innovator, agen perubah, memandang sesuatu dengan utuh (big picture) dan selalu berfikir strategis.

Pentingnya seorang pemimpin memiliki kemampuan menggambarkan dengan jelas tujuan-tujuan yang akan diraihnya di masa depan adalah syarat utama bagi seorang pemimpin yang visioner, sehingga kepemimpinan yang efektif harus dimulai dengan visi yang jelas. Visi yang dibuat ini akan menjadi daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Lebih jauh lagi kepemimpinan ini juga dibangun berdasarkan dua aspek mengenai visi, yaitu: [1] visionary role dan [2] implementation role. Artinya, seorang pemimpin selain membangun suatu visi bagi organisasinya juga memiliki kemampuan untuk menjabarkan visi tersebut ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang merupakan upaya untuk mencapai visi itu. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang visioner adalah seorang yang sangat responsif, karena pemimpin ini selalu selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu, selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya.

Berdasarkan pada pendapat tentang kepemimpinan visioner, dapat disimpulkan, bahwa: [1] Kepemimpinan visioner merupakan kepemimpinan yang mampu mengembangkan intuisi, imajinasi dan kretaifitasnya untuk mengembangkan organisasinya, [2] Kepemimpinan ini memiliki kemampuan untuk memimpin menjalankan misi organisasinya melalui serangkaian kebijakan dan tindakan yang progressif menapaki tahapan-tahapan pencapaian tujuannya, adaptif terhadap segala perubaahan dan tantangan yang dihadapi, serta efisien dan efektif dalam pengelolaan segala sumberdaya yang dimilikinya, [3] Pemimpin yang visoner menjalankan kepemimpinannya dengan dukungan penuh dari seluruh staf dan semua pihak yang terkait dengannya, disebabkan kepiawaiannya dalam meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka laksanakan akan memberikan yang terbaik buat semua pihak.

Kepemimpinan visioner merupakan proses penghayatan wawasan serta visi, dan mampu mengungkapkan tujuan yang ingin dicapai, serta mampu memotivasi dan meyakinkan para anggota untuk meraihnya.

C.Kepemimpinan Transformasional

Bangsa ini perlu untuk diarahkan oleh suatu kepemimpinan transformasional, yaitu suatu karakter kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan pada tataran nilai. Kepemimpinan transformasional akan mampu mengajak publik untuk secara teguh menggapai tujuan-tujuan yang lebih hakiki, ketimbang sekadar pemenuhan kepentingan jangka pendek. Pemimpin dengan karakter transformasional terampil untuk secara inspirasional memvisualisasikan bentuk masyarakat baru yang ingin dicapai. Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menggerakan setiap individu untuk menjadi aktor utama proses perubahan.

Pemimpin transformasional merupakan modifikasi dari pemimpin karismatik. Dengan kata lain, semua pemimpin transformasional adalah pemimpin karismatik, namun tidak semua pemimpin karismatik adalah pemimpin transformasional. Pemimpin transformasional memiliki karakter yang karismatik karena mereka mampu untuk membangun ikatan emosional yang kuat dengan publik untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, bagi pemimpin transformasional, ikatan yang dibangun dengan publik lebih bersifat kesamaan sistem nilai ketimbang loyalitas personal (Hughes 2001). Manakala para pemimpin karismatik kerap terjebak pada pemusatan ambisi yang kemudian justru mengerdilkan arti kepemimpinan mereka, pemimpin transformasional memberikan kontribusi substantif dengan keberhasilan mendobrak kultur lama dan merintis tatanan nilai baru. Namun penting untuk disadari bahwa tampilnya para pemimpin dengan kualitas seperti itu ke panggung utama bukanlah melalui proses yang instan, namun melalui penitian karir secara berjenjang dan melalui proses yang berliku.

Perhatian peran kepemimpinan di dalam proses manajemen perubahan mulai muncul, pada waktu orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru untuk menjadikan tempat kerja itu menjadi lebih manusiawi, sehingga dalam merumuskan proses perubahan biasanya dipergunakan pendekatan transformasional di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan, dianggap sebagai proses yang melatar belakangi proses tersebut. Namun di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai entiti ekonomik yang siap dimanipulasikan dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avilio, 1990; Hater dan Bass, 1988 di dalam Yukl, 1994). Sementara Burns (1978) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Dengan demikian pemimpin transformasional dapat meningkatkan kesadaran bawahannya akan tata nilai yang memiliki orde lebih tinggi, seperti kebebasan, keadilan, dan kebersamaan.

Pemimpin disebut transformasional diukur dalam hubungan dengan rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat para pengikut terhadap pemimpin tersebut. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: (1) membuat mereka lebih sadar akan pentingnya hasil suatu pekerjaan, (2) mendorong mereka lebih mendahulukan organisasi atau tim daripada kepentingan dirinya, dan (3) mengaktifkan kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Burns (1978) membedakan kepemimpinan yang mentransformasi dengan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional menumbuhkan motivasi hanya melalui pemenuhan kepentingan pribadi dari anggota kelompok.

Formulasi teori Bass (1985) mencakup tiga komponen kepemimpinan transformasional, yaitu: [1] karisma, [2] stimulasi intelektual, [3] dan konsiderasi individual. Karisma didefinisikan sebagai sebuah proses dengan apa pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses membahas secara terbuka dan intelek isu-isu etikal yang dihadapi perusahaan, dengan apa pemimpin meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah dari perspektif baru. Konsiderasi individual berkaitan dengan memperlakukan anggota perusahaan sebagai pribadi yang utuh dan warga perusahaan yang terhormat. Avilio dan Bass (1990a) menambahkan perilaku motivasi inspirasional yaitu menumbuhkan semangat kerja yang digerakkan oleh aspirasi yang inspirasional.

Kepemimpinan transformasional bertujuan untuk memotivasi pengikut agar berubah dan memiliki komitmen untuk mencapai cita-cita perusahaanyang ideal. Bass (1990) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari keempat cara transformasional berikut ini. Profil perilaku kepemimpinan yang transformasional tercermin dalam empat cara berikut, yaitu: (1) kharisma; memberi wawasan dan kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dalam diri bawahan, (2) motivasi inspirasional; menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha bawahan dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana (Aviolo dan Bass, 1990a), (3) stimulasi intelektual; meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan permasalahan secara saksama, dan (3) konsiderasi individual; memberi perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi.

Yukl (1989) serta Westley dan Mintzberg (1989 di dalam Yukl, 1994) menambahkan bahwa kharisma, stimulasi intelektual, dan konsiderasi individual akan saling berinteraksi untuk memberi pengaruh yang mengubah bawahan; bawahan dimotivasikan karena merasa dihargai dan diberi kekuasaan lebih besar (empowerment). Hal ini dianggap berbeda dengan konsep kepemimpinan kharismatik yang kadang-kadang justru menempatkan bawahan sebagai pihak yang tidak mandiri dan lemah serta menganggap yang perlu ditumbuhkan pada bawahan adalah kesetiaan dan komitmen pada suatu cita-cita. Hartanto (1997) menterjemahkan istilah kharisma dengan istilah cita-cita yang berpengaruh, artinya memberi wawasan dan kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dalam diri bawahan, untuk dapat mewujudkan cita-cita perusahaan.

Perilaku ini diwujudkan dalam aktivitas yang memotivasi anggota tim menggunakan visi untuk menggiatkan semangat, menyentuh dan memotivasi nurani, membangun kepercayaan bersama, memberdayakan dan meninggikan pengikut, membantu pengikut untuk berubah, membangun komitmen ideal.

D. PERUBAHAN

Dikaitkan dengan konsep globalisasi, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.

Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah penolakan atas perubahan itu sendiri. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.

E.ANALISIS BALANCED SCORECARDDalam kepemimpinan visionair, kepemimpinan transformatif, dan perubahan terdapat keterkaitan antara yang satu dengan yang linnya. Berikut ini kita akan melihat keterkaitan tersebut dintijau dari analisis balanced scorecard.1) Perspektif Finansial

Kepemimpinan visioner dan kepemimpinan transformative sama mengharapkan masa depan yang lebih baik. Sehingga, dalam menjalankan keuangannya akan menggunakan prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas. Prinsip efisiensi dan efektifitas mereka terapkan agar sumber daya yang ada dapat digunakan semaksimal mungkin dan tujuan dapat dicapai sesuai dengan harapan.2) Perspektif Pelanggan

Kepemimpinan visoner ditunjukkan dengan karakteristik antara lain (1) berwawasan ke masa depan, bertindak sebagai motivator, berorientasi pada the best performance untuk pemberdayaan, kesanggupan untuk memberikan arahan konkrit yang sistematis, (2) berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Memandang sumber daya, terutama sumberdaya manusia sebagai asset yang sangat berharga dan memberikan perhatian dan perlindungan yang baik terhadap mereka, dan (4) mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola mimpi menjadi kenyataan, mengajak orang lain untuk berubah, bergerak ke new place.

Sementara itu kepemimpinan transformative ditunjukkan dengan karakterisitik antara lain Kualitas kehidupan kerja mempengaruhi kinerja organisasi. Artinya, kinerja seseorang akan meningkat ketika kualitas kehidupan kerja dari individu berada pada posisi yang tinggi. Kualitas kehidupan kerja pada beberapa penelitian dihubungkan dengan kepemimpinan, dimana kepemimpinan yang efektif akan selalu memberikan dampak dengan meningkatnya kualitas kehidupan kerja dari bawahannya. Penelitian Podsakof et al. (1996), menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan akan kualitas kehidupan kerja secara menyeluruh. Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh signifikan terhadap kualitas kehidupan kerja.

Kedua karakteristik kepemimpinan tersebut jika dipandang dari aspek balanced scorecard dapat dipandang dan sesuai dengan perspektif pelanggan. Keduanya sama-sama akan mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Ukuran utama tersebut terdiri atas kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Dan itu bisa diberikan oleh kedua pemimpin seperti di atas. Kaitan dengan peubahan, kepemimpinan visionair dan transformatif sangat dinamis, mereka tidak suka dengan kondisi status kuo, sehingga keduanya akan membawa perubahan untuk perbaikan organisasinya.3) Perspektif Proses Bisnis Internal

Kepemimpinan vionair ditunjukkan dengan (1) berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Memandang sumber daya, terutama sumberdaya manusia sebagai asset yang sangat berharga dan memberikan perhatian dan perlindungan yang baik terhadap mereka, (2) mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola mimpi menjadi kenyataan, mengajak orang lain untuk berubah, bergerak ke new place, (3) mampu mengubah visi ke dalam aksi, menjelaskan dengan baik maksud visi kepada orang lain, dan secara pribadi sangat commited terhadap visi tersebut, dan (4) berpegang erat kepada nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Memiliki integritas kepribadian yang kuat, memancarkan energy, vitalitas dan kemauan yang membara untuk selalu berdiri pada posisi yang segaris dengan nilai-nilai spiritual. Menjadi orang yang terdepan dan pertama dalam menerapkan nilai-nilai luhur.

Sedangkan kepemimpinan transformatif memiliki karakteristik yang sesuai dengan perspektif bisnis internal adalah menambahkan bahwa kharisma, stimulasi intelektual, dan konsiderasi individual akan saling berinteraksi untuk memberi pengaruh yang mengubah bawahan; bawahan dimotivasikan karena merasa dihargai dan diberi kekuasaan lebih besar (empowerment). Hal ini dianggap berbeda dengan konsep kepemimpinan kharismatik yang kadang-kadang justru menempatkan bawahan sebagai pihak yang tidak mandiri dan lemah serta menganggap yang perlu ditumbuhkan pada bawahan adalah kesetiaan dan komitmen pada suatu cita-cita. Hartanto (1997) menterjemahkan istilah kharisma dengan istilah cita-cita yang berpengaruh, artinya memberi wawasan dan kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan dalam diri bawahan, untuk dapat mewujudkan cita-cita perusahaan.

Dipandang dari sisi bisnis internal, kepemimpinan visionair dan transformatif sama memiliki karakter yang sama. Keduanya berupaya meningkatkan kinerja organisasinya melalui upaya-upaya memotivasi bawahan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya kepada pelanggan.4) Perspektif Pembelajaran dan PertumbuhanDipandang dari sisi pembelajaran dan pertumbuhan, kerekteristik kepemimpinan visionair adalah (1) mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam menggapai tujuan, menjadi model (teladan) yang secara konsisten menunjukkan nilai-nilai kepemimpinannya, memberikan umpan balik positif, selalu menghargai kerja keras dan prestasi yang ditunjukkan oleh siapapun yang telah memberi kontribusi, (2) mampu memberi inspirasi, memotivasi orang lain untuk bekerja lebih kreatif dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan situsi dan kondisi yang lebih baik, dan (3) innovative dan proaktif dalam menemukan dunia baru. Membantu mengubah dari cara berfikir yang konvensional (old mental maps) ke paradigma baru yang dinamis. Melaklukan terobosan-terobosan berfikir yang kreatif dan produktif. (out-box thinking). Lebih bersikap atisipatif dalam mengayunkan langkah perubahan, ketimbang sekedar reaktif terhadap kejadian-kejadian. Berupaya sedapat mungkin menggunakan pendekatan win-win ketimbang win-lose.

Sedangkan kepemimpinan transformatif yang paralel dengan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah Kepemimpinan transformasional mungkin dapat dikhtisarkan oleh pernyataan Tichy dan Ulrich sebagai berikut: Apabila manajer transaksional hanya membuat penyesuaian-penyesuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpin transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besaran pada sistem organisasi. Pembongkaran sistem inilah yang benar-benar membedakan pemimpin transformasional dengan transaksional.

Transformasional diasosiasikan dengan inspirasi dan visi, kerjasama dan partisipasi yang enerjik, rekanan dan transformasi perasaan, sikap dan kepercayaan pengikut, dengan penekanan pada pemeliharaan hubungan, kesatuan nilai dan tujuan dan pengembangan budaya institusional (Schein, 1985). Bass & Avolio (1994) menyimpulkan karakteristik kepemimpinan transformasional dalam hal sebagai berikut: pengaruh Ideal (pemimpin sebagai panutan), motivasi inspirasional, rangsangan intelektual, dan pertimbangan Individual (pemimpin sebagai pelatih dan mentor).

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin, 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Bryman, A. (1992) Charisma and Leadership in Organizations, London: Sage.Buchori, 1994. Transformasi, Suksesi Demokrasi, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.

Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Management dan Kepemimpinan Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Case, Agnes. 2003. Transformational Leadership. Dissertation, Doctoral in University at Buffalo in Urban School Districts. =Mail:acase@acsu. buffalo.edu.

Covey, S. R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Simon dan Schuster, Inc.

Depdiknas. 2007. Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.Humble, J. W. 1972. Management By Objectives. Winsley, London.

http://www.kompas.online.com/

Iskandar, M. 2001. Peran Manajemen Kontrak dalam Menghadapi Konflik pada Industri Konstruksi.

Ismawan, I. 1999. Risiko Ekologis; Di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Media Pressindo, Jakarta.

John Hall, et.al. 2002. Transformational Leadership: The Transformation of Managers and Associates. on line: www.edis.ifas.ufl.eduKartono, K. 2003. Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah Pemimpin Abnormal Itu?. Raja Grafindo Utama, Jakarta.

Kaplan, R.S. & Norton, D.P. (1996). The balanced scorecard: translating strategy into action. Boston: Harvard Business School Press.

Koeswara, E. 1989. Motivasi Teori dan Penelitiannya. Angkasa, Bandung.

Mulyadi (2001). Balanced scorecard: alat manajemen kontemporer untuk pelipatganda kinerja keuangan perusahaan. Jakarta: Salemba Empat.

Porter , M. E. 1980. Competitive Strategy. Collier Macmillan Publisher, London.

Sergiovanni, T. (19960 Leadership for the School House, San Francisco: Jossey-Bass.Shaw, M. E. 1971. Group Dynamics: The Psychology of Small Group Behavior. McGraw-Hill, New York.

Siagian, S. P. 1986. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Gunung Agung, Jakarta.

--------------------. 1987. Filsafat Administrasi. Gunung Agung, Jakarta.

--------------------. 1999. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Rineka Cipta, Jakarta.

Sunaryo, I. 1995. Psikologi Industri. Teknik Industri ITB, Bandung.

--------------------. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jurusan Teknik Industri, ITB, Bandung.

Supandi. (1994). Strategi Penerapan dan Pengembangan TQM Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Makalah. Bandung: IKIP Bandung.

Suparlan, P. 1999. Antropologi Indonesia dalam Memasuki Abad ke- 21, Antropologi Indonesia, th. XXIII, No. 58 Jakarta: Universitas Indonesia Kerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia. Supriadi, D. (1997). Profesi Konseling dan Ketenaga kependidikanan. Bandung: PPS IKIP Bandung.

Sutermeister, Robert A. 1976. People and Productivity. Tokyo:Mc Graw-Hill Books Company.

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Startegi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Suwarsono, M. 2000. Manajemen Strategik Konsep dan Kasus. Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta,.

Yukl, G. (2001) Leadership in Organisations, Englewood Cliffs: Prentice-Hall.Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Tilaar, H.A.R. 2008. Stadarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinajauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

Jawaban UAS/MK: Kepemimpinan dan Politik Pendidikan 1Jawaban UAS/MK: Kepemimpinan dan Politik Pendidikan 25