yurisdiksi kewenangan pengadilan terhadap eksekusi …€¦ · yurisdiksi kewenangan pengadilan...

107
YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 Terhadap Pasal 13 PERMA Nomor 14 Tahun 2016) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Fikrotul Jadidah 11140460000049 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439H / 2018M

Upload: others

Post on 09-Nov-2020

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH

(Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun

1999 Terhadap Pasal 13 PERMA Nomor 14 Tahun 2016)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Fikrotul Jadidah

11140460000049

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H / 2018M

Page 2: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun
Page 3: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun
Page 4: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun
Page 5: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

v

ABSTRAK

Fikrotul Jadidah. NIM 11140460000049. YURISDIKSI KEWENANGAN

PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH

(KAJIAN PASAL 59 AYAT (3) UU NO. 48 TAHUN 2009 DAN PASAL 61 UU

NO. 30 TAHUN 1999 TERHADAP PASAL 13 PERMA NO. 14 TAHUN 2016).

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat), Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. x

+ 96 halaman + 80 halaman lampiran.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan ketentuan dan aturan hukum yang

mengatur tentang wewenang eksekusi putusan arbitrase syariah dalam peraturan

perundang-undangan, dan implementasi eksekusi putusan arbitrase syariah pasca

lahirnya PERMA No. 14 Tahun 2016. PERMA tersebut menyatakan secara tegas

bahwa Pengadilan Agama yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan

badan arbitrase syariah, namun peraturan ini dianulir dengan adanya UU No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam penjelasannya

secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase termasuk arbitrase

syariah, dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya

UU No. 30 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase

syariah dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Akar

permasalahannya yakni Pasal 59 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 61

UU No. 30 Tahun 1999. Oleh karena itu selama pasal tersebut masih eksis, maka

ketentuan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase syariah akan dipahami menjadi

kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut menghilangkan

kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Penelitian ini menggunakan metode library research dengan pendekatan

yuridis normatif dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-

undangan, buku-buku, yang berkaitan dengan judul skripsi ini dan pendapat pakar

hukum dan arbiter di BASYARNAS. Dalam penelitian hukum dapat

menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka bahan hukum primer, sekunder

dan tersier yang telah dikumpulkan untuk kemudian dianalisis secara normatif

kualitatif,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pada level kajian akademik

hampir keseluruhan akademisi menyatakan bahwa secara hierarki peraturan

perundang-undangan PERMA No 14 Tahun 2016 tidak boleh menyalahi UU No

48 Tahun 2009 dan UU Nomor 30 Tahun 1999. Akan tetapi, dilihat dari fakta saat

ini ternyata putusan arbitrase syariah dalam hal ini BASYARNAS yang telah

dilangsungkan pada akhir tahun 2017 setelah adanya PERMA No 14 Tahun 2016

yang kemudian diajukan penetapannya kepada Pengadilan Agama telah

memperoleh penetapan.

Kata Kunci : Arbitrase Syariah, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, PERMA.

Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag

Daftar pustaka : 1994 s.d. 2016

Page 6: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan begitu banyak

nikmat bagi kita, khususnya nikmat iman, Islam, dan nikmat sehat sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan baik. Shalawat serta

salam semoga tetap Allah curahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad

SAW, juga kepada keluarganya, para sahabatnya, serta umatnya hingga akhir

zaman nanti. Amiin.

Alhamdulillah segala Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, yang selalu

memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penyusun dapat menyelesaikan

tugas akhir skripsi yang berjudul “Yurisdiksi Kewenangan Pengadilan

Terhadap Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah Dan Implementasi Pasca

Lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016”. Yang disusun untuk memenuhi

syarat dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1) di jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Selama masa penelitian, penyusunan, penulisan dan sampai masa

penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak. Dukungan datang diantaranya dari civitas akademika UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, keluarga, teman-teman, maupun berbagai pihak lainnya

yang telah banyak berjasa dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas

akhir skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA,.

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak A.M. Hasan Ali, M.A, dan Bapak

Dr. Abdurrauf, Lc., MA.

3. Pembimbing skripsi penulis yang sekaligus dosen pembimbing

akademik, Bapak AH. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., yang telah

Page 7: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

vii

membimbing, mengarahkan, dan menyemangati penulis untuk dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khusunya dosen program studi Hukum Ekonomi Syariah yang

telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti dan

bermanfaat bagi penulis.

5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Tim penguji sidang skripsi pada tanggal 30 April 2018, Bapak

7. Kepada kedua orang tua tercinta Abah Ahmad Zainul Abidin, MS dan

Ibu Syafa’ah, terimakasih atas segala doa, kasih sayang, nasehat,

dukungan, motivasi, perhatian, dan bantuan yang telah dicurahkan

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Penulis

percaya bahwa penulis bisa sampai pada titik ini itu karena ridha dan

doa dari Abah dan Ibu.

8. Kepada kakakku tercinta Laili Nafilah dan nenek Zulaikha terimakasih

untuk support, kasih sayang, doa, dan sebagai alarm agar penulis cepat

menyelsaikan tugas akhir skripsi ini.

9. Kepada Hafiz Kamil yang selalu sabar menemani dan mendukung

penulis selama dalam proses penyelesaian tugas akhir skripsi ini.

10. Kepada sahabatku Robi’atul Adawiyah, yang selalu memberi semangat

dan motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

11. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah (Muamalat) angkatan 2014,

khususnya sahabat-sahabatku tercinta Mumtaz Chairunnisa Iris

Putranti, Siti Khodijah, dan teman-teman seperjuangan kelas A yang

telah sama-sama berjuang dan saling memberikan motivasi serta

semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.

12. Teman seperjuangan selama 1 (satu) bulan KKN “Bambusa mellifera”

yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan

tugas akhir skripsi ini.

Page 8: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

viii

13. Teman-teman pondok putri asy-Syifa Tetty Juwairiyah, Febri

Handayani, Nida Hanifah, Fella Suffah Diniyah, Nike Nila Sari, Bapak

Deddy dan Ibu Deddy yang selalu menemani, mendukung, dan

menghibur penulis selama dalam penyusunan tugas akhir skripsi ini.

14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas

akhir skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya satu

persatu.

Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah

mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua

pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ciputat, 25 Maret 2018

Fikrotul Jadidah

Page 9: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI iii

LEMBAR PERNYATAAN iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 5

C. Batasan dan Rumusan Masalah 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7

E. Kajian (riview) Studi Terdahulu 5

F. Kerangka Teori dan Konseptual 11

G. Metode Penelitian 15

H. Sistematika Penulisan 19

BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE DAN HIERARKI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Ruang Lingkup Arbitrase 21

1. Pengertian Arbitrase 21

2. Dasar Hukum Arbitrase 23

3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Arbitrase 25

4. Kewenangan Arbitrase 27

5. Eksekusi Putusan Arbitrase 29

6. Arbitrase Syariah 34

B. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 39

1. Pengertian Undang-Undang 39

2. Asas Perundang-Undangan 40

3. Tata Urutan Perundang-undangan dalam Sistem

Hukum di Indonesia 42

Page 10: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

x

4. Kedudukan PERMA Dalam Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan 45

BAB III KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE

SYARIAH DI INDONESIA

A. Kewenangan Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 48

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 48

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 49

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 53

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 54

5. SEMA Nomor 8 Tahun 2008 56

6. SEMA Nomor 8 Tahun 2010 60

7. PERMA Nomor 14 Tahun 2016 62

B. Analisa Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 63

1. Analisa Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 63

2. Kewenangan Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah 72

BAB IV IMPLEMENTASI PENETAPAN EKSEKUSI PUTUSAN

ARBITRASE SYARIAH PASCA PERMA NOMOR 14

TAHUN 2016

A. Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di Lembaga Badan

Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) 75

B. Argumentasi Ahli Hukum Setelah Adanya Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 Tentang

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 91

B. Saran 92

DAFTAR PUSTAKA 93

LAMPIRAN

Page 11: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial, manusia dalam berinteraksi satu sama lain

seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan

kepentingan (conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi

dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak

dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik

semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan

sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah,

hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang

terjadi. Di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum, maka eksistensi

hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tanpa

hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang.

Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingannya manusia dalam

mempertahankan hak dan kewajibannya.

Seiring dengan tumbuh kembangnya aktivitas ekonomi yang pesat

dan kompleks, melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama yang

semakin kompleks dalam berbisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang

semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa

diantara para pihak yang terlibat. Pada sektor bisnis syariah misalnya,

tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya sengketa. Sengketa muncul

dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya,

terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Dalam

rangka mengantisipasi hal tersebut, para pelaku bisnis dan pakar hukum

bisnis mencari bentuk penyelesaian sengketa yang efektif dan efesien.

Dari segi yurisdiksi, choice of forum akan menjadi penting terkait

penyelesaian sengketa. Pada dasarnya terhadap suatu sengketa, peraturan

perundang-undangan yang berlaku di negara ini telah mengakomodir

Page 12: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

2

bentuk-bentuk penyelesaiannya yang bisa dipilih oleh para pihak, yaitu

dalam bentuk litigasi (peradilan) dan non litigasi (diluar pengadilan).

Kekuasaan kehakiman dalam Islam diurai menjadi tiga bagian,

pertama kekuasaan Al-Qadla, yaitu lembaga yang berwenang untuk

menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana. Kedua, kekuasaan Al-

Hisbah, yakni lembaga resmi pemerintah yang diberi kewenangan untuk

menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya

tidak memerlukan proses peradilan, Dan ketiga, kekuasaan Al-Madzalim,

yaitu lembaga yang dibentuk untuk membela dan menyelesaikan perkara

akibat kesewenangan penguasa, pejabat, hakim, atau lainnya.1 Sementara

penyelesaian perkara diluar kekuasaan kehakiman dapat dilakukan

melalui as-sulhu (perdamaian) atau at-tahkim (arbitrase).2

Tujuan dari tahkim adalah penyelesaian secara damai. Perdamaian

merupakan jalan terbaik dalam pandangan Islam, sehingga untuk itu

masing-masing pihak harus rela meskipun para pihak tersebut mesti

melepaskan haknya. Penyelasaian secara litigasi hanya dilaksanakan

bilamana jalan damai tidak disepakati. Kehadiran tahkim (arbitrase)

membantu peradilan pemerintah dalam mewujudkan perdamaian di tengah

masyarakat.

Membahas lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa melalui

jalur non litigasi (di luar pengadilan) yang diatur dalam UU No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 60 UU

No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan

mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam

penjelasannya, kata final ini dimaksudkan bahwa atas putusan arbitrase

tidak bisa diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.3 Putusan

1 Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2002), h. 29-39. 2 Rika Delfa Yona, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia, Economic:

Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 1 2014, h. 61 3 Penjelasan Undang-undang R.I. Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase danAlternatif

Penyelesaian Sengketa, Pasal 60

Page 13: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

3

arbitrase hanya bisa dilaksanakan atau mempunyai kekuatan eksekusi jika

sudah didaftarkan di pengadilan. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal

59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya

bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase

(termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan

berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu

pihak yang bersengketa.

Diskusi mengenai peradilan mana yang berwenang mengeksekusi

putusan arbitrase syariah, apakah Peradilan Agama atau Peradilan Negeri,

masih terus menimbulkan perdebatan. Awalnya, melalui Surat Edaran

Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan

Arbitrase Syariah dinyatakan secara tegas bahwa Pengadilan Agama lah

yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan badan arbitrase

syariah jika tidak dilaksanakan secara sukarela berdasarkan permohonan

salah satu pihak yang bersengketa.

Namun peraturan ini dianulir dengan direvisinya Undang-Undang

No. 4 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam penjelasannya secara jelas

menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase, termasuk arbitrase syariah,

dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian

berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung

mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak

Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008

tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. SEMA No. 08 Tahun 2010

tersebut diberlakukan atas dasar telah diundangkannya Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Akar permasalahannya adalah bukan pada SEMA No. 8 Tahun

2010 tersebut, akan tetapi justru dasar hukum yang digunakan dalam

pengeluaran SEMA tersebut, yakni pasal 59 ayat (3) UU No. 48 tahun

2009. Oleh karena itu selama pasal tersebut masih eksis, maka ketentuan

Page 14: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

4

pelaksanaan eksekusi maupun pembatalan putusan Basyarnas akan

dipahami menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut

menghilangkan kewenangan absolut Pengadilan Agama yang telah

diberikan kewenangan berdasarkan pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun

2006. Hal ini menggambarkan adanya tarik menarik kewenangan antar dua

lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung RI.

Pembahasan eksekusi putusan arbitrase syariah (Basyarnas) belum

terbahas bahkan pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman masih eksis

sampai sekarang, sedangkan perkara yang ditangani di Basyarnas tidak

hanya perbankan syariah melainkan mencakup semua wilayah perkara

ekonomi syariah. Dengan keeksisan Pasal 59 Ayat (3) tersebut, maka

memberikan pengaruh terhadap Peradilan Agama.

Rentang waktu terakhir ini, bulan Desember 2016 Mahkamah

Agung telah mengeluarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)

Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi

Syariah. Disebutkan pada Pasal 13 ayat (2), bahwa pelaksanaan putusan

arbitrase syariah dan pembatalannya dilaksanakan oleh Pengadilan

Agama. Kembali peraturan mengenai eksekusi putusan arbitrase syariah

mengalami inkonsistensi.

Membahas lebih lanjut mengenai PERMA Nomor 14 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah yang

memberikan kewenangan terhadap Peradilan Agama untuk membatalkan

putusan arbitrase terdapat ketidaksinkronan dengan UU Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan

kepada Peradilan Negeri untuk membatalkan putusan arbitrase yang

tertuang pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa

“Yang dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga

arbitrase syariah” dan lebih lanjut pada Pasal 59 Ayat (3) yang berbunyi

:“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara

sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan

Page 15: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

5

negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Selain itu,

peraturan perundang-undangan lain yang bertentangan dengan PERMA

Nomor 14 Tahun 2016 yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 61 yang berbunyi :

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara

sukarela, putusan dilaksankan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan

Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.

Begitu banyaknya peraturan yang berlaku, membuat Indonesia

ibarat belantara hukum yang kemudian rentan melahirkan persoalan.

Tumpang tindih regulasi dianggap sebagai penyebab utama ketidakpastian

hukum di negara ini. Situasi ini serba multitafsir, konfliktual, dan tidak

taat asas. Akibatnya, efektivitas implementasi regulasi menjadi lemah.

Berangkat dari permasalahan tersebut di atas guna mendapatkan

kepastian hukum dan regulasi yang lebih baik di level Undang-Undang

maupun di level Peraturan Perundang-undangan serta dalam rangka

digunakan untuk memenuhi kewajiban tugas akhir perkuliahan sebagai

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tingkat pendidikan

perkuliahan Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, maka penulis tertarik dan perlu kiranya membahas lebih lanjut

mengenai peraturan Arbitrase Syariah khususnya masalah tumpang

tindihnya peraturan perundang-undangan terkait eksekusi putusan

Arbitrase Syariah dan bagaimana implementasinya pasca lahirnya

PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa

Ekonomi Syariah dengan judul “Yurisdiksi Kewenangan Pengadilan

Terhadap Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah Dan Implementasi Pasca

Lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016”.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bisa terjadi antara peraturan perundang-undangan terjadi

pro dan kontra dalam pengaturannya ?

Page 16: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

6

2. Apakah antara peraturan perundang-undangan terkait eksekusi putusan

arbitrase syariah perlu di tarjih/ dinilai mana yang lebih kuat/

berwenang ?

3. Bagaimana akibat hukum adanya dualisme peraturan terkait dengan

eksekusi putusan arbitrase syariah ?

4. Pengadilan manakah yang lebih berwenang dalam melaksanakan

eksekusi putusan arbitrase syariah ditinjau dari aspek yuridisnya ?

5. Bagaimana pengaruh Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Peradilan Agama ?

6. Bagaimana pengaruh Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Peradilan

Agama ?

7. Apakah ketentuan Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 dan

Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 secara otomatis dengan Peradilan

Agama ?

8. Bagaimana hubungan yuridis antara UU Nomor 48 Tahun 2009, UU

Nomor 30 Tahun 1999 dan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 ?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Definisi kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) adalah: “hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan

sesuatu”. Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan

untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka

penulis membatasai masalah yang akan diteliti dan hanya fokus pada

titik pembahasan kewenangan peradilan terhadap eksekusi putusan

arbitrase syariah kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009

dan Pasal 61 UU Nomor 30 Tahun 1999 terhadap Pasal 13 PERMA

Nomor 14 Tahun 2016.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka

penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi

Page 17: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

7

pembahasan dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahan tersebut

adalah:

a. Bagaimana pengaturan wewenang eksekusi putusan arbitrase

syariah dalam peraturan perundang-undangan ?

b. Bagaimana implementasi eksekusi putusan arbitrase syaiah pasca

lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan

diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan

dan mencari jawaban atas masalah-masalah tersebut dengan upaya

sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui ketentuan dan aturan hukum yang mengatur

tentang wewenang eksekusi putusan arbitrase syariah dalam

peraturan perundang-undangan.

b. Untuk mengetahui implementasi eksekusi putusan arbitrase syaiah

pasca lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian akan lebih bermanfaat apabila mempunyai data yang

akurat dan dapat menambah wawasan pembaca, oleh karena itu,

penulis merumuskan manfaat penelitian sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini digunakan untuk sumber data dan informasi yang

dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

sebagai bahan menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu

Hukum khususnya Hukum Ekonomi Syariah.

2) Sebagai suatu wacana akademik di bidang ilmu hukum yang

perlu ditindaklanjuti melalui pengembangan lebih mendalam

agar dapat diaplikasikan pada masyarakat luas.

Page 18: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

8

3) Sebagai acuan untuk pembelajaran dan pembuatan karya

ilmiah khususnya yang berkaitan dengan kewenangan

(kompetensi absolute) Pengadilan Agama dan Pengadilan

Negeri dan penerapannya setelah lahirnya peraturan

Mahkamah Agung yang mengatur tentang eksekusi putusan

arbitrase syariah.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat

dipergunakan sebagai sumber kajian bagi yang berkepentingan,

terutama bagi praktisi hukum. Dan juga diharapkan dapat berguna

sebagai jawaban dari berbagai persoalan yang terjadi dalam

lingkup penyelesaian sengketa Lembaga Keuangan Syariah.

E. Kajian (riview) Studi Terdahulu

Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang

sudah pernah dilakukan. Kajian Pustaka ini bertujuan untuk memperoleh

suatu gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari

beberapa penelitian terdahulu yang sejenis atau memiliki keterkaitan,

sehingga tidak ada pengulangan penelitian dan duplikasi.

Untuk menghindari kesamaan judul dalam penelitian ini penulis

telah melakukan penelusuran studi terdahulu yang berkaitan dengan

penelitian ini dari beberapa kepustakaan. penelitian tersebut adalah sebagai

berikut :

No Judul/ Penyusun/ Tahun Substansi Perbedaan dengan

Penulis

1. Judul Skripsi :

Kewenangan Peradilan

Agama dan Peradilan

Umum Dalam Memeriksa

dan Memutus Sengketa

Perbankan Syariah (Studi

Pasal 55 UU No. 21 Tahun

2008 Tentang Perbankan

Syariah)

Skripsi ini membahas

tentang implikasi adanya

UU No 21 Tahun 2008

terhadap kewenangan

Peradilan Agama dan

Peradilan Umum dalam

sengketa perbankan syariah

dan penerapan prinsip

syariah dalam hal

Perbedaan penelitian

ini dengan penelitian

skripsi penulis yaitu

pada skripsi ini lebih

fokus kepada

sengketa perbankan

syariah, sedangkan

penelitian penulis

lebih fokus kepada

Page 19: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

9

Penulis :

ACHMAD RIF’AN

Program Studi :

Al- Akhwal Al-Syakhsiyah

(2013)

Universitas :

UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta

penyelesaian sengketa

perbankan syariah

pengaturan

wewenang eksekusi

putusan arbitrase

syariah dalam

peraturan perundang-

undangan dan

implementasinya

pasca lahirnya

PERMA Nomor 14

Tahun 2016.

2. Judul Thesis :

Dualisme Peraturan

Tentang Kewenangan

Pengadilan Terhadap

Eksekusi Putusan Badan

Arbitrase Syariah

(BASYARNAS)

Penulis :

FRISKA MUTHI

WULANDARI

Program Studi :

Magister Hukum Islam

(2017)

Universitas :

UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta

Thesis ini membahas

tentang terjadinya dualisme

peraturan tentang

kewenangan pengadilan

dalam mengeksekusi

putusan BASYARNAS dan

akibat hukumnya dengan

adanya dualisme peraturan

terkait dengan eksekusi

putusan BASYARNAS

Titik letak perbedaan

thesis yang akan

diteliti oleh penulis

dengan skripsi ini

yaitu pada skripsi ini

membahas tentang

mengapa terjadi

dualisme peraturan

tentang kewenangan

pengadilan dalam

mengeksekusi

putusan

BASYARNAS dan

akibat hukumnya,

sedangkan skripsi

yang dibahas pada

penelitian penulis

yaitu terkait

hubungan yuridis

antara UU yang

mengatur tentang

eksekusi putusan

arbitrase syariah, dan

implementasinya

pasca lahirnya

PERMA Nomor 14

Tahun 2016.

3. Judul Thesis :

Implikasi Tugas dan

Kewenangan Badan

Thesis ini membahas

tentang kewenangan

Basyarnas terhadap

Yang membedakan

penelitian ini dengan

penelitian yang akan

Page 20: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

10

Arbitrase Syariah Nasional

dalam Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syariah

Pasca Putusan MK No.

93/PUU-X/2012 Tentang

Pengujian Konstitusional

UU No 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan

Syariah

Penulis :

RATNA SOFIANA

Program Studi :

Magister Hukum Islam

(2015)

Universitas :

UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta

penyelesaian sengketa

ekonomi syariah sebelum

dan setelah adanya putusan

MK No.93/PUU-X/2012

dan implikasi tugas dan

kewenangan Basyarnas

tentang pengujian

konstitusional UU No 21

Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah

dilakukan oleh

penulis yaitu pada

objek penelitiannya,

objek pada penelitian

ini yaitu putusan MK

No.93/PUU-X/2012

sedangkan objek

penelitian penulis

adalah PERMA

Nomor 14 Tahun

2016 tentang Tata

Cara Penyelesaian

Sengketa Ekonomi

Syariah.

4. Judul Skripsi :

Tinjauan Yuridis Terhadap

Putusan

No.792/PDT.G/2009/PA

Jakarta Pusat Tentang

Pembatalan Putusan Badan

Arbitrase Syariah Nasional

Penulis :

HAKAM RIZQI

Program Studi :

Hukum Bisnis Syariah (2013)

Universitas :

UIN Maulana Malik Ibrahin

Malang

Skripsi ini membahas

tentang pertimbangan

hukum penerimaan dan

pengabulan pembatalan

putusan BASYARNAS dan

tijauan yuridis terhadap

pertimbangan hukum

penerimaan dan pengabulan

pembatalan putusan

Basyarnas dalam putusan

Pengadilan Agama Jakarta

Pusat dengan nomor

perkara792/PDT.G/2009/PA

Penelitian ini lebih

menitikberatkan pada

analisis pertimbangan

hukum putusan

Pengadilan Agama

Jakarta Pusat dengan

nomor perkara

792/PDT.G/2009/PA

sedangkan penelitian

penulis lebih kepada

peraturan perundang-

undangan yang

membahas mengenai

kewenangan

pengadilan terhadap

eksekusi putusan

arbitrase syariah.

Page 21: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

11

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori bertujuan untuk memberikan gambaran atas

batasan-batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan

penelitian yang akan dilakukan.

Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan

sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan

hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum public maupun

hubungannya dengan hukum privat.

Kewenangan dapat dibedakan menurut sumbernya,

kepentingannya , teritoria, ruang lingkupnya, dan menurut urusan

pemerintahan. Kewenangan menurut sumbernya dibedakan menjadi

dua macam, yaitu wewenang personal dan wewenang ofisial.

Wewenang personal yaitu wewenang yang bersumber pada intelegensi,

pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin.

Sedangkan wewenang ofisial merupakan resmi yang diterima dari

wewenang yang berada diatasnya.

Max Weber membagi kewenangan menjadi empat macam,

yang meliputi :

a. Wewenang kharismatis, tradisional dan rasional (legal);

b. Wewenang resmi dan tidak resmi;

c. Wewenang pribadi dan territorial; dan

d. Wewenang terbatas dan menyeluruh.

Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan

pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang

melekat pada diri seseorang, kemampuan mana yang diyakini sebagai

pembawaan seseorang sejak lahir. Wewenang tradisional merupakan

wewenang yang dapat dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang.

Wewenang rasional atau legal, yaitu wewenang yang

disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat,

sistem hukum mana dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah

Page 22: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

12

diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat

oleh negara.

Wewenang tidak resmi merupakan hubungan-hubungan yang

timbul antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sifatnya sangat

ditentukan pihak-pihak yang saling berhubungan tadi. Wewenang

resmi sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan dan rasional. Biasanya

wewenang ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang

memerlukan aturan tata tertib yang tegas dan bersikap tetap.

Wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi, dan/ atau

kharisma. Wewenang teritorial merupakan wewenang dilihat dari

wilayah tempat tinggal. Wewenang terbatas adalah wewenang yang

sifatnya terbatas, dalam arti tidak mencakup semua sektor atau bidang

kehidupan, akan tetapi hanya terbatas pada salah satu sektor atau

bidang saja. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang tidak

dbatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu.4

Menurut Roihan Rasyid, kompetensi seringkali juga dimaknai

kewenangan, dan juga dimaknai dengan kekuasaan. Adapun

kompentensi yang dimaksud disini adalah kewenangan mengadili oleh

lembaga peradilan. Roihan Rasyid membagi kompetensi menjadi dua;

Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut.

Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan

yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan

kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.

Atau dengan kata lain bahwa setiap lembaga Peradilan mempunyai

wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau

satu kabupaten.

Kompetensi Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang

berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan

pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis

4 H. Salim HS dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

Tesis dan Disertasi, Cet. 3, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h. 188

Page 23: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

13

pengadilan, atau tingkatan pengadilannya. Misalnya, pengadilan Agama

berkompeten atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam,

sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kompetensi Peradilan Umum.5

2. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan konseptual, akan diuraikan beberapa

konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering

digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UU nomor 30 Tahun 1999

adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan

umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

b. Kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)

adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan

melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Kewenangan

adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki

seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku,

dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi

tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah

formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang

dimiliki oleh pejabat atau institusi.6

c. Yurisdiksi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu: Kekuasaan mengadili; lingkup

kekuasaan kehakiman; peradilan; dan Lingkungan hak dan

kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan

kerja tertentu; kekuasaan hukum.

d. Pengadilan Agama (biasa disingkat PA) adalah pengadilan tingkat

pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan

5 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,

2007), h. 26-28 6 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013),

h. 99.

Page 24: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

14

Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau

kota.7

e. Kewenangan Pengadilan Agama menyelenggarakan penegakan

hukum dan keadilan di tingkat pertama bagi rakyat pencari

keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam

di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Kewenangan penegakan hukum

ekonomi syari'ah oleh Pengadilan Agama disebutkan dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama.

f. Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah

lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang

berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan

Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi

rakyat pencari keadilan pada umumnya.8

g. Peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan yaitu peraturan tertulis yang memuat norma hukum

yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh

lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur

yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

h. Peraturan MA atau PERMA pada dasarnya adalah bentuk

peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara.9 Fungsi

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) adalah untuk

menyelenggarakan aturan lebih lanjut atau mengisi kekosongan

7 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Agama diakses pada tanggal 30 Desember

2017 Pukul 2.33. 8 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Negeri diakses pada tanggal 30 Desember

2017 Pukul 2.38. 9 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-produk-

hukum-ma-perma--sema--fatwa--sk-kma diakses pada tanggal 30 Desember 2017 Pukul 2.55.

Page 25: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

15

aturan yang berkaitan dengan lembaga peradilan dan hukum

acaranya.

G. Metode Penelitian

Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan,

mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan

berarti memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan.

Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu

yang sudah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada

masih menjadi diragu-ragukan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap tahap

dalam penelitian harus didasari pada suatu metode penelitian yang

berfungsi sebagai arah yang tepat untuk mencapai tujuan dari penelitian

yang dilakukan.

Metodologi adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi oleh karena suatu penelitian bertujuan untuk

mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten

dengan mengadakan analisis.10

Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari,

mencatat, merumuskan dan menganalisis suatu hal sampai menyusun

laporannya.11

Oleh karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai

nilai yang tinggi serta dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka

diperlukan suatu metode penelitian yang tepat.

Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci hal-hal yang terkait

dengan metode penelitian pada proposal penelitian ini, yaitu :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian normatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif dengan pendekatan yuridis normatif, dikatakan demikian

karena dalam penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1. 11

Cholid Narbuko, H Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Angkasa,

2002), h. 2.

Page 26: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

16

masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan

perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat

tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan yang berdaulat dan

dengan meneliti bahan pustaka yang ada.12

2. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di

dalam penelitian hukum adalah13

:

Pendekatan undang-undang (statute approach)

Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan historis (historical approach)

Pendekatan komparatif (comparative approach)

Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada

pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14

Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti

aturan-aturan yang berkaitan dengan Undang-undang No 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Ekonomi

Syariah.

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13-14. 13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,

2009), h. 93. 14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,

2009), h. 93.

Page 27: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

17

3. Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang

diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan

pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data

primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan

pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.15

Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan

pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku

perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-

artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari

bahan hukum sekunder tersebut mencakup tiga bagian, yaitu16

:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari wawancara langsung yang dilakukan kepada pihak

BASYARNAS dan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang

No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-

undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, dan PERMA No 14 Tahun 2016 tentang

Tata Cara Penyelesaian Ekonomi Syariah, Undang-Undang No 12

Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-

hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer

dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks

kumulatif dan seterusnya.

15

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 12. 16

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13.

Page 28: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

18

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan

melakukan penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil

penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb).

5. Pengolahan dan Analisis Data

Bahan hukum yang sudah terkumpul akan dianalisis

menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Vertikal, melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan

yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling

bertentangan antara satu dengan yang lain jika dilihat dari hirarki

peraturan perundang-undangan yang ada.17

b. Horizontal, apabila yang ditinjau adalah peraturan perundang-

undangan yang kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang

sama.18

c. Metode Komparasi yaitu membandingkan teori yang satu dengan

teori yang lain dan hasil penelitian yang satu dengan hasil

penelitian yang lain.

Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan diantara

undang-undang dan peraturan-peraturan terkait yang penulis kaji yang

dijadikan dasar kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan

arbitrase syariah dan implementasinya pasca lahirnya PERMA Nomor

14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah.

Dalam penelitian hukum dapat menggunakan pendekatan

yuridis normatif, maka bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan non hukum yang telah dikumpulkan untuk menganalisis

data, kemudian dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu suatu cara

17

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta.:Rajawali Press,2010), h.

94. 18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta.:Rajawali Press,2010), h.

96

Page 29: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

19

menganalisa yang menghasilkan logika penalaran kualitatif. Sehingga

ditampilkan penulis dalam penulisan yang lebih sistematis untuk

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

6. Metode Penulisan Skripsi

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penyajiannya, penulis

menjabarkan dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-

masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan

materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut :

Bab I PENDAHULUAN

Pada bab awal memuat latar belakang masalah, dilanjut dengan

identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian terdahulu,

metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II TINJAUAN UMUM ARBITRASE DAN HIERARKI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pada bab dua ini memuat kajian teori tentang arbitrase dan

hierarki peraturan perundang-undangan yang kemudian dibagi

menjadi dua sub bab yaitu ruang lingkup arbitrase yang terdiri

dari : pengertian arbitrase, dasar hukum arbitrase, prosedur

penyelesaian sengketa arbitrase, kewenangan arbitrase, eksekusi

putusan arbitrase, dan arbitrase syariah. Kemudian yang kedua

yaitu hierarki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :

Pengertian undang-undang, teori pembentukan peraturan

perundang-undangan, dan tata urutan perundang-undangan

dalam sistem hukum di Indonesia

Page 30: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

20

Bab III KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE

SYARIAH DI INDONESIA

Bab tiga menjelaskan tentang kewenangan eksekusi putusan

arbitrase syariah di Indonesia yang kemudian dibagi menjadi

dua sub bab. Yang pertama yaitu kewenangan eksekusi putusan

arbitrase syariah di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang mana didalamnya ada Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012,

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Surat Edaran Ketua

Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008, Surat Edaran

Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2010,

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016.

Yang kedua yaitu membahas mengenai Analisa Eksekusi

Putusan Arbitrase Syariah di Indonesia Berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan yang telah disebutkan diatas.

Bab IV IMPLEMENTASI PENETAPAN EKSEKUSI PUTUSAN

ARBITRASE SYARIAH PASCA PERMA NOMOR 14

TAHUN 2016

Berpijak dari bab sebelumnya maka untuk mempertajam fokus

penelitian ini, penyusun melanjutkan pada bab keempat yang

merupakan implementasi penetapan eksekusi putusan arbitrase

syariah oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

pasca PERMA Nomor 14 Tahun 2016 beserta Argumentasi Ahli

Hukum Setelah Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14

Tahun 2016.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab yang terakhir dari penulisan skripsi,

untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil

penelitian, selain itu penulis menengahkan beberapa saran yang

dianggap penting dan perlu.

Page 31: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

21

BAB II

TINJAUAN UMUM ARBITRASE DAN HIERARKI PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

A. Ruang Lingkup Arbitrase

1. Pengertian Arbitrase

Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan melalui

sebuah badan yang disebut dengan pengadilan. Sudah sejak ratusan

bahkan ribuan tahun badan-badan pengadilan ini telah berkiprah. Akan

tetapi, lama kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam

tembok-tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para justitiabelen

(pencari keadilan), khususnya jika pencari keadilan tersebut adalah

pelaku bisnis, dengan sengketa yang menyangkut dengan bisnis. Maka

mulailah dipikirkan alternative-alternatif lain untuk menyelesaikan

sengketa, diantaranya adalah lewat badan arbitrase.

Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.

Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah

memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan

hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup

mendasar pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter

juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim

pengadilan.1

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa , definisi arbitrase pada

pasal 1 yang berbunyi “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa”. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa

1 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006), h., 24.

Page 32: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

22

sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang

bersifat keperdataan. Para pihak telah menyepakati secara tertulis

bahwa mereka, jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah

mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase dan tidak berpekara di depan peradilan umum.

Mengenai arbitrase, para ahli hukum juga memberikan

definisinya, sebagai berikut :

Pertama, Priyatna Abdurrasyid memberikan definisi arbitrase

adalah suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan

sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun

dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang

disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final

dan mengikat.2

Kedua, Munir Fuady memberikan pengertian yang dimaksud

dengan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang

bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,

di mana pihak penyelesai sengketa (arbiter) tersebut dipilih oleh para

pihak yang bersangkutan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak

berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana

akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.

Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam

arbitrase disebut dengan “arbiter”.3

Ketiga, menurut Mertokusumo arbitrase adalah suatu prosedur

penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para

pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka

kepada seorang wasit atau arbiter.4

2 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ; Suatu

Pengantar, (Jakarta : PT Fikahati Aneska, 2011), h., 61. 3 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h.,

311-312. 4 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006), h., 25.

Page 33: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

23

Banyak penulis mencoba mendefinisikan arbitrase dari sudut

pandang dan pemikiran masing-masing. Secara umum arbitrase adalah

suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa

mereka kepada satu orang atau lebih untuk memperoleh suatu putusan

yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang

harus dipenuhi, yaitu :

a) Adanya suatu sengketa;

b) Kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan

c) Putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.

2. Dasar Hukum Arbitrase

Di Indonesia, saat ini undang undang yang mengatur tentang

arbitrase adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN No. 138 Tahun

1999 TLN No.3872 yang diundangkan tanggal 12 Agustus

1999. Jauh sebelumnya, arbitrase sudah berlaku di Indonesia sejak

zaman kolonial Belanda. Ketentuan arbitrase zaman kolonial Belanda

di atur dalam Pasal 615 sampai dengan 651 Reglement op de

Rechtsvordering (RV), yang mengatur hal-hal sebagai berikut:

- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d

623 RV)

- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)

- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)

- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)

- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)

RV merupakan Kitab Undang Undang Hukum Acara yang

berlaku untuk golongan Eropa, namun Pasal 377 Het Herziene

Indonesisch Reglement (HIR), dan Pasal 705 Rechtsreglement

Bitengewesten (RBG) menyatakan:

“Jika orang Bumiputera dan orang Timur Asing menghendaki

perselisihan mereka diputus oleh arbitrase (juru pisah), maka

mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi

orang Eropa”.

Page 34: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

24

Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang

berlaku bagi Bangsa Eropa yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah

semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.

Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang

perubahan pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik

secara nasional dan internasional serta perlunya pelembagaan

alternatif penyelesaian sengketa, maka melalui perangkat perundang-

undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah mengesahkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif penyelesaian sengketa.5

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5,

objek sengketa arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-

undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa

dan sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian.

Selain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, sumber

hukum berlakunya arbitrase dalam tata hukum di Indonesia diatur

juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. UU

Nomor 48 Tahun 2009 pada Bab Pelaku Kekuasaan Kehakiman

Bagian Kesatu Umum Pasal 18 menyebutkan :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Selain produk hukum Indonesia, dalam hukum arbitrase di

Indonesia juga berlaku produk hukum dari luar negeri

yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of

5 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional Indonesia

dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 7.

Page 35: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

25

Foreign atau sering disebut Konvensi New York 1958. Konvensi

New York 1958 dengan tambahan pernyataan yang dibuat Indonesia

menjadi hukum positif Indonesia karena sudah diratifikasi melalui

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40.

Pada saat melakukan ratifikasi, Indonesia membuat deklarasi

bahwa bagi Indonesia Konvensi New York 1958 hanya berlaku

terhadap perselisihan-perselisihan yang timbul dari hubungan

hukum, baik hubungan hukum yang bersifat kontraktual maupun

hubungan hukum yang tidak bersifat kontraktual, yang dianggap

bersifat komersial berdasar hukum Indonesia. Bahwa atas dasar

prinsip resiproritas, Indonesia akan memberlakukan Konvensi New

York 1958 untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang

dibuat di negara anggota Konvensi lainnya.6

3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Arbitrase

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

menyatakan bahwa :

“para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas

untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam

pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan

dalam Undang-undang ini”.

Ini merupakan prinsip party autonomy yang memberi para

pihak kebebasan penuh untuk memutuskan prosedur beracara arbitrase,

penggunaan arbitrase institusi nasional atau internasional, dan pilihan

hukum. Ayat 3 menyebutkan bahwa :

“Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan

jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan jika jangka

waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis

arbitrase yang akan menentukan”.

Penyelesaian sengketa melalu jalur arbitrase relative singkat

dibandingkan dengan pengadilan nasional. Di Indonesia telah mengatur

6 Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2016), h., 85.

Page 36: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

26

tahap-tahap penyelesaian sengketa dalam arbitrase yaitu dalam UU No. 30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

dalam Pasal 6 yaitu:

a. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para

pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan

pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara

litigasi di Pengadilan Negeri.

b. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternative

penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam

waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan

dalam suatu kesepakatan tertulis.

c. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternative

penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak

dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,

sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang

atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.

d. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat

belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli

maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata

sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah

pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga

arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk

menunjuk seorang mediator.

e. Setelah penunjukkan mediator atau lembaga alternatif penyelesaian

sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi

harus sudah dapat dimulai.

f. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator

sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh

kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus

Page 37: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

27

terapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh

semua pihak yang terkait.

g. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara

tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan

dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

penandatanganan.

h. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

i. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

sampai ayat (6) tidak dapatdicapai, maka para pihak berdasarkan

kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha

penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

4. Kewenangan Arbitrase

Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian

arbitrase yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan

kewenangan dari pengadilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan

atau yang sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula

arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya

perjanjian arbitrase oleh para pihak.7 Hal tersebut senada dengan pasal

3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :

“Pengadilan Negeri tidak berwenang tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian

arbitrase”.

Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur

dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, yang berbunyi :

7 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan

Persoalan Kompetensi (Absolute) yang Tidak Pernah Selesai, (Jakarta : Kencana, 2008), h., 117.

Page 38: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

28

Pasal 5 ayat (1) : “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang

menurut hukum dan peraturan perundnag-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.

Pasal 5 ayat (2) : “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-

undangan tidak dapat diadakan perdamaian”.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain :

perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industry dan hak

milik intelektual. Jadi, suatu sengketa bidang perdagangan, dan

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-

undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan suatu

sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan

melalui arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang

mereka buat. Dengan demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan

menghapuskan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa

yang timbul.

Namun, dalam penyelesaian melaui arbitrase, pengadilan

mempunyai beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan beberapa keterkaitan serta

peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase dari awal

proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.8

Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan

penegasan pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam

penyelesaian sengketa, yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses pemilihan arbiter

khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat (1)

dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada Pasal 22 sampai dengan

8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia

& Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h., 65.

Page 39: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

29

Pasal 25 untuk arbitrase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari

pengadilan dalam arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat

pendaftaran putusan arbitrase dalam rangka pelaksanaan putusan

arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Dari uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan

arbitrase dilandasi pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa

bidang perdagangan. Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut

menghapus kewenangan pengadilan, namun penyelesaian arbitrase

tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan atau

pengeksekusian dari putusan arbitrase.

5. Eksekusi Putusan Arbitrase

Undang-undang menetapkan bahwa putusan akan mengikat

hanya terhadap para pihak yang terlibat secara langsung dan terhadap

pihak ketiga yang mempunyai klaim. Yang dimaksud dengan

pelaksanaan suatu putusan adalah pelaksanaan substansi putusan.

Pelaksanaan putusan harus diselesaikan dengan cara-cara jujur dan

benar, sebaliknya setiap upaya untuk melaksanakan putusan yang

cenderung menyimpang, akan menjadikan pelaksanaannya gugur

menurut hukum.

Bila suatu putusan memerintahkan pembayaran sejumlah uang

di tempat dan waktu tertentu, maka pihak yang diperintahkan itu harus

menyerahkan pada waktu dan tepat yang telah ditentukan pihak

penerima pembayaran. Adalah kewajiban dari pihak yang melakukan

pembayaran untuk mencari para pihak yang harus menerima

pembayaran.9

9 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), ( Jakarta:

Fikahati Aneska, 2011), h., 120.

Page 40: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

30

Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan

sesuai dari jenis putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau

arbitrase internasional, yang akan dijelaskan sebagai berikut:

Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus

memenuhi apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, yang berbunyi:

a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik

putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau

kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.

b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada

bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan

negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan

tersebut merupakan akta pendaftaran.

c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli

pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada

panitera pengadilan negeri.

d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta

pendaftaram dibebankan kepada para pihak.

Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus

memenuhi pasal 59 yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase

berupa lembar asli atau salinan otentik, dalam waktu paling 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, kepada panitera

Pengadilan Negeri.

Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara

sukarela, namun jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah

ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak

sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun dengan memenuhi

pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:

Page 41: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

31

a. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan

eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.

b. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih

dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan

Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

umum.

c. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri

menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan

Ketua Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa

pun.

d. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau

pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan

salah satu pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua

Pengadilan Negeri, Pada permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih

dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi kriteria, sebagai berikut:10

a. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan

diselesaikan melalui arbitrase.

b. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat

dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

c. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan.

d. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang

tidak bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum.

Jika permohonan memenuhi ketentuan tersebut, perintah Ketua

Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam

perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Namun, apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi

10

Fitriana,“Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional”, Skripsi Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2015), h., 42-43.

Page 42: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

32

ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri dapat

menolak permohonan pelaksanaan eksekusi, atas penolakan yang

menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat dilakukan upaya

hukum apapun.

Agar suatu putusan arbitrase benar-benar bermanfaat bagi para

pihak, maka putusan tersebut mestilah dapat dieksekusi. Eksekusi

tersebut dapat dilakukan oleh badan pengadilan yang berwenang. Cara

melakukan eksekusi terhadap suatu putusan arbitrase adalah sebagai

berikut :

a) Eksekusi Secara Sukarela

Yang dimaksud dengan eksekusi secara sukarela adalah

eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak ketua

Pengadilan Negeri mana pun, tetapi para pihak melaksanakan

sendiri secara sukarela terhadap apa-apa yang telah diputuskan

oleh arbitrase yang bersangkutan.11

b) Eksekusi Secara Paksa

Sedangkan eksekusi putusan arbitrase secara paksa adalah

bilamana pihak yang harus melakukan eksekusi, tetapi secara

sukarela tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Untuk itu,

perlu dilakukan upaya-upaya paksa. Dalam hal ini campur tangan

pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak

yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut. Misalnya,

dengan melakukan penyitaan-penyitaan.

Agar suatu putusan pengadilan dapat dieksekusi secara

paksa maka perlu terlebih dahulu dibuat suatu “akta pendaftaran”.

Dengan akta pendaftaran yang dimaksudkan adalah suatu

pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir

dari putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditandatangani

11

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h.,

324.

Page 43: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

33

bersama oleh panitera pengadilan dan arbiter atau kuasanya yang

menyerahkan putusan arbitrase tersebut.

Namun demikian, pengadilan yang berwenang dapat

menolak suatu permohonan pelaksanaan putusan arbitrase jika ada

alasan untuk itu. Terhadap penolakan tersebut, tersedia upaya

hukum kasasi. Sedangkan terhadap putusan ketua pengadilan yang

mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase tidak tersedia upaya

hukum apa pun. Alasan-alasan yang dapat digunakan oleh

pengadilan (dalam hal ini ketua pengadilan) untuk penolakan

eksekusi putusan arbitrase adalah sebagai berikut :

1. Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan

kepadanya.

2. Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan.

3. Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum.

4. Putusan tidak memnuhi syarat-syarat sebagai berikut : sengketa

tersebut mengenai perdagangan, sengketa tersebut mengenai hak

yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa dan sengketa tersebut mengenai hal-hal yang

menurut hukum dapat dilakukan perdamaian.

Suatu sengketa dianggap masuk ke dalam bidang

perdagangan sehingga terhadapnya dapat diputuskan oleh arbitrase

adalah manakala terjadi sengketa dalam bidang-bidang perniagaan,

perbanakan, keuanagan, penanaman modal, industri dan ha katas

kekayaan intelektual.12

Adakalanya dalam praktek perlu untuk diperhitungkan

bilamana suatu putusan tidak dapat dilaksanakan. Disebabkan

sebagai berikut:

1. Putusan diterbitkan secara tidak tertulis, dan dengan demikian

nyata-nyata menyalahi ketentuan arbitrase.

12

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012), h.,

325-326.

Page 44: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

34

2. Jika putusan itu hanya berbentuk suatu pernyataan/

pengumuman.

3. Putusan tidak jelas, juga tata cara melaksanakannya.

4. Putusan merupakan putusan “asing/internasional” fatwa MA

harus diperoleh berdasarkan Undang-Undang.

Bagaimana ketentuan atau isi putusan arbitrase diatur dalam

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 54 UU tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa putusan harus

memuat hal-hal sebagai berikut :

a. Kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. Nama lengkap dan alamat para pihak;

c. Uraian singkat sengketa;

d. Pendirian para pihak;

e. Nama lengkap dan alamat arbiter;

f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase

mengenai keseluruhan sengketa;

g. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat

dalam majelis arbitrase;

h. Amar putusan;

i. Tempat dan tanggal putusan; dan

j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

6. Arbitrase Syariah

Pengertian Arbitrase menurut Black „s law Dictionary yaitu “

Arbitration, a process of dispute resolution in which a neutral third

party (arbitrator) renders a decision after a hearing at which both

parties have an opportunity to be heard. Where arbitration is

voluntary, the disputing parties select the arbitrator who has the

power to render a binding decision.”13

Sedangkan Kamus Hukum

Ekonomi memberikan pengertian bahwa arbitrase adalah metode

penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai jasa wasit

13

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, dalam Muhammad Arifin , Arbitrase

Syariah sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2016), h., 230.

Page 45: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

35

atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Arbitrase dalam studi hukum Islam (fiqh) dikenal dengan

istilah tahkim. Secara literal, tahkim berarti mengangkat sebagai wasit

atau juru damai sehingga dapat diartikan menjadikan seseorang

sebagai penengah suatu sengketa.14

Fathurrahman Djamil mengartikan

tahkim sebagai pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit atau

juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna

menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.15

Arbitrase syariah di Indonesia dapat dikatakan sebagai

perkembangan dari tahkim yang telah ada atau dikenal dalam hukum

Islam. Keberadaan arbitrase syariah memang hanya dikhususkan untuk

penyelesaian sengketa di bidang muamalah yang dilakukan secara

syariah. Sehingga arbitrase syariah hanya menangani dan

menyelesaikan sengketa yang muncul atas akad yang dibuat

berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Meskipun sifatnya hanya sektoral,

arbitrase syariah tetap merupakan bagian dari arbitrase nasional di

Indonesia.

Mengenai arbitrase syariah, di Indonesia memang belum ada

aturan khusus yang mengatur sehingga secara prinsip juga harus tetap

tunduk pada pedoman-pedoman dalam UUAAPS sebagai umbrella act

di bidang arbitrase. Untuk kelembagaannya, dalam UUAAPS dapat

dibentuk lembaga arbitrase adhoc yang dibentuk khusus untuk

penyelesaian perkara-perkara tertentu dan lembaga arbitrase

institusional yang sudah eksis terbentuk sehingga secara praktek

muncul berbagai jenis lembaga arbitrase yang berkutat khusus di

berbagai bidang-bidang tertentu misalnya bidang pasar modal,

14

Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011),

h., 98. 15

Fathurrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, dalam Satria Effendi

M.Zein,et.al, Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994),

h., 31.

Page 46: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

36

hubungan industrial, lingkungan hidup, dll termasuk juga di bidang

syariah. Kesemuanya itu secara normatif tidak melanggar aturan yang

ada di UUAAPS.

Salah satu peraturan yang mengatur tentang penyelesaian

sengketa di sektor jasa keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

yang menetapkan kebijakan bahwa penyelesaian sengketa di sektor

jasa keuangan diselesaikan melalui 2 (dua) tahapan. Tahapan pertama

lembaga jasa keuangan menyelesaikan pengaduan yang disampaikan

oleh konsumen. Tahapan kedua, apabila tidak tercapai kesepakatan

dalam penyelesaian pengaduan tersebut, konsumen dan lembaga jasa

keuangan dapat menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan atau di

luar pengadilan. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah

lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

OJK menetapkan kebijakan bahwa apabila penyelesaian sengketa

dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa, maka

lembaga yang digunakan adalah lembaga alternatif penyelesaian

sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa di Sektor Jasa Keuangan yang ditetapkan OJK.

Disebutkan dalam BAB III Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan yang

berbunyi :

Pasal 4

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh OJK

meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang:

a. mempunyai layanan penyelesaian Sengketa paling kurang berupa:

1) mediasi;

2) ajudikasi; dan

3) arbitrase.

Dalam penjelasannya Pasal 4 menjelaskan bahwa yang

dimaksud “mediasi” adalah cara penyelesaian Sengketa melalui pihak

ketiga yang ditunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk membantu

Page 47: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

37

pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Yang dimaksud

dengan “ajudikasi” adalah cara penyelesaian Sengketa melalui pihak

ketiga yang ditunjuk para pihak yang bersengketa untuk menjatuhkan

putusan atas Sengketa yang timbul diantara pihak dimaksud. Putusan

ajudikasi mengikat kepada Lembaga Jasa Keuangan. Apabila

Konsumen menyetujui putusan ajudikasi meskipun Lembaga Jasa

Keuangan tidak menyetujuinya, maka Lembaga Jasa Keuangan wajib

melaksanakan putusan ajudikasi. Sebaliknya apabila Konsumen tidak

menyetujui putusan ajudikasi walaupun Lembaga Jasa Keuangan

menyetujuinya maka putusan tidak dapat dilaksanakan, dan yang

dimaksud dengan “arbitrase” adalah cara penyelesaian suatu Sengketa

perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa syariah melalui lembaga arbitrase tidak

hanya monopoli oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS), Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

Di Sektor Jasa Keuangan disebutkan bahwa “Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa Keuangan yang

dikoordinasikan oleh asosiasi masing-masing sektor jasa keuangan”.

Yang dalam penjelasannya memberikan Contoh pembentukan

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor Perbankan

dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor

Perbankan, misalnya Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas),

Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpunan Bank

Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank

Pembangunan Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia

(Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia.

Pada tanggal 18 Desember 2017 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

telah memperbaharui daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa

di sektor jasa keuangan berdasarkan Keputusan Nomor KEP-

Page 48: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

38

4/D.07/2017. Daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor

jasa keuangan tersebut adalah sebagai berikut :16

No. Nama LAPS Sektor

1. Badan Mediasi dan Arbitrase

Asuransi Indonesia (BMAI)

Peransurasian

2. Badan Arbitrase Pasar Modal

Indonesia (BAPMI)

Pasar Modal

3. Badan Mediasi Dana Pensiun

(BMDP)

Dana Pensiun

4. Lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa Perbankan Indonesia

(LAPSPI)

Perbankan

5. Badan Arbitrase dan Mediasi

Perusahaan Penjaminan Indonesia

(BAMPPI)

Penjaminan

6. Badan Mediasi Pembiayaan

Pegadaian dan Ventura Indonesia

(BMPPVI)

Pembiayaan

Pegadaian dan Modal

Ventura

Lembaga alternatif penyelesaian sengketa tersebut merupakan

wadah penyelesaian sengketa antara konsumen dengan lembaga jasa

keuangan di sektor peransuransian, pasar modal, dana pensiun,

perbankan, penjaminan, pembiayaan, pegadaian dan modal ventura

yang memenuhi prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efesiensi,

dan efektifitas serta diawasi oleh OJK. Lembaga alternatif

penyelesaian sengketa tersebut selain menyelesaikan sengketa

konvensional juga dapat menyelesaikan sengketa syariah, Tidak ada

perbedaan lembaga antara sengketa konvensional maupun sengketa

syariah.

16

http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/pengumuman/Pages/Daftar-Lembaga-

Alternatif-Penyelesaian-Sengketa-di-Sektor-Jasa-Keuangan-.aspx diakses pada tanggal 05 Maret

2018 pukul 11:07.

Page 49: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

39

Lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa

di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa yang berada di Indonesia diantaranya adalah Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang khusus menyelesaikan

sengketa bisnis konvensional (sektor perdagangan, industry, dan

keuangan). Selain BANI, Kemudian juga ada BASYARNAS

yang merupakan lembaga Arbitrase yang berperan menyelesaikan

sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi

syariah. Oleh karena itu, lembaga atau badan arbitrase yang khusus

menangani sengketa ekonomi syariah di Indonesia adalah

BASYARNAS.

B. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

1. Pengertian Undang-undang

Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa

yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya. Sedangkan dalam arti

materiil merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat

dari isinya disebut undangundang dan mengikat setiap orang secara

umum.17

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum

(suatu pengantar) menyebutkan bahwa pengertian undang-undang

dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) pengertian, diantaranya :18

a. Undang-undang dalam arti materiil

b. Undang-undang dalam formil

Istilah “perundang-undangan” (legislation atau gezetsgebung)

mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :19

17

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2008), h., 89. 18

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2008), h., 83. 19

Azis Syamsudin, Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), h., 13.

Page 50: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

40

a. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau

proses membentuk peraturan-peeraturan negara baik ditingakt

pusat maupun di tiingkat daerah ; dan

b. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara,yang

merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan baik

ditingkat pust maupun di tingkat daerah.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa apabila

berbicara tentang Ilmu perundang-undangan maka dalam prosesnya

akan membahas pula mengenai pembentukan peraturan-peraturan

negara dan sekaligus semuaperaturan negara yang merupakan hasil

dari pembentukan peraturanperaturan negara baik yang ada ditingkat

pusat maupun yang ada ditingkat daerah.

2. Asas Perundang-undangan

Peraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya

berpedoman pada asas-asas perundang-undangan. Asas adalah dasar

atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan

bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti

dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan

perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti

kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan

bertindak.20

Asas dapat diartikan sebagai aksioma yang memberi jalan

pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau aturan yang mana

harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam

pelaksanaannya atau dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan

universal yang berupa pemikiran-pemikiran dasar untuk dijadikan

landasan pengaturan bersama dalam membuat peraturan perundang-

undangan.21

20

http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html

diakses pada tanggal 3 Maret 2018 pukul 01:02 WIB. 21

Ali Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2007), h., 197.

Page 51: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

41

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para

ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi,

pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang

sama. Asas-asas sebagai dimaksud dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Asas lex specialis derogat lex generalis. Yaitu Peraturan

perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Jika dikaitkan

dengan teori ini maka Undang-Undang Arbitrase yang secara

khusus mengatur ketentuan arbitrase-nya, namun secara materilnya

Pengadilan Agama yang lebih berwenang dalam menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah.

2. Asas lex superior derogat legi inferior. Yaitu peraturan perundang-

undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada

pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi

norma dan peraturan perundang-undangan. Jika dikaitkan dengan

teori ini maka Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang tingkatannya lebih

tinggi dari pada Peraturan Mahkamah Agung.

3. Asas lex posterior derogat legi priori. Yaitu yaitu pada peraturan

yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan

yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang

baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak

berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan

ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini. Dalam

setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul

yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan

tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis

yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang

tidak bertentangan. Jika dikaitkan dengan teori ini maka PERMA

No 14 Tahun 2016 yang didahulukan jika terjadi sengketa

Page 52: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

42

ketimbang Undang-Undang Arbitrase dan Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman.

4. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif)/

Asas Legalitas. Yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat

hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah

peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian,

mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk

memenuhi keadilan masyarakat.

Asas-asas peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

berdasarkan ketentuan terbaru dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menjelaskan bahwa :

“Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu :

- Kejelasan Tujuan;

- Kesesuaian antara jenis , hierarki dan materi muatan;

- Dapat dilaksanakan;

- Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

- Kejelasan Rumusan; dan

- Keterbukaan”.

3. Tata Urutan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum di

Indonesia

Peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia

tersusun dalam suatu hierarki atau tingkatan. Konsekuensi hukum dari

bentuk hierarki/bertingkat tersebut adalah peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah harus sesuai (tidak boleh bertentangan)

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tata urutan

peraturan perundang-undangan mengandung makna bahwa peraturan

perundang-undangan yang berlaku memiliki hierarki atau tingkatan.

Peraturan yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan

peraturan yang lain.

Tata urutan perundang-undangan di negara Republik Indonesia

mengalami beberapa kali pergantian. Dari beberapa pergantian tersebut

Page 53: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

43

terlihat unsur yang masih sama, yaitu bahwa UUD 194 selalu berada

dalam posisi tertinggi sehingga tetap merupakan sumber hukum

tertinggi di dalam tata urutan perundang-undangan. Hal tersebut dapat

berarti dua hal. Pertama, bahwa peraturan perundang-undangan

(peraturan hukum) yang ada di Indonesia harus sesuai (Tidak boleh

bertentangan) dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, bahwa peraturan perundang-undangan di bawah UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pencerminan dan

peraturan pelaksana dari ketentuan yang ada di dalam UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Dasar hukum dari tata urutan peraturan perundang-undangan

yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR

Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata

Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden; dan

6. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan

Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.

b. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Perundang-undangan:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia;

3. Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden; dan

7. Peraturan Daerah.

c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan :

Page 54: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

44

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Keputusan Presiden; dan

5. Peraturan Daerah:

i. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama

dengan Gubernur;

ii. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh

Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya

bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.

d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan terhadap

kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan pada pasal 7 ayat 1 disebutkan

bahwa jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun

1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dan pada pasal 7 ayat 2 menegaskan bahwa "kekuatan

hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)". Pada pasal 8 ayat 1

menjelaskan bahwa "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Page 55: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

45

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi

Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi

yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa sejak

tahun 1966 sampai 2011 telah terjadi empat kali pengubahan

terhadap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang sangat

mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan

Republik Indonesia.

4. Kedudukan PERMA Dalam Hierarki Peraturan Perundang-

Undangan

Secara yuridis, Pasal 7 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan menyebutkan

apa saja yang termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, jenis

dan hirarkisnya sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dari sisi jenis dan hirarkis peraturan perundang-undang

tersebut, maka PERMA jelas tidak termasuk. Namun dalam konteks

Page 56: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

46

ini perlu dicermati ketentuan Pasal 8 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011

yang menyebutkan:

“Jenis peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,

badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan

Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala

Desa atau yang setingkat”.

Dari ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011

tersebut, dapat disimpulkan bahwa : Pertama, PERMA diakui

keberadaannya sebagai jenis peraturan perundang-undangan; Kedua,

Keberadaan PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-undangan

yang ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadannya dan

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh

Undang-Undang yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.

Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-

peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12

Tahun 2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan

perundang-undangan, yaitu:

1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; atau

2. dibentuk berdasarkan kewenangan.

Frasa „kekuatan hukum‟ di sini, menurut Yuliandri adalah

sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu

perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang

didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Yuliandri berpendapat jenis peraturan lain

Page 57: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

47

(dalam konteks ini peraturan yang diterbitkan MA) seharusnya juga

tunduk pada prinsip hierarki.22

Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya, Mahkamah

Agung cukup banyak menerbitkan PERMA (Peraturan Mahkamah

Agung). PERMA merupakan peraturan yang diterbitkan dengan

tujuan untuk memperlancar jalannya peradilan, sedangkan produk

yang dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang merupakan norma

hukum yang mengatur secara lebih luas dan bersifat umum tidak

proseduriil seperti PERMA. PERMA tidak mengatur ketentuan-

ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, dan status atau suatu

tatanan berdasarkan Penjelasan Pasal 79 UU No 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung yang menyatakan :

“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau

kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang

membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau

kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung

berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu

soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung

dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-

undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-

undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara

keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan

mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban

warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan,

alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban

pembuktian.”

Atas pengaturan tersebut jelas bahwa PERMA tidaklah

mengatur hak, kewajiban, fungsi, dan status atau suatu tatanan dalam

masyarakat pada umumnya, melainkan hanya terkait penyelenggaraan

pengadilan sebagai bagian dari hukum acara saja (lebih sempit bila

dibandingan perundang-undangan pada umumnya). Selain itu dari segi

22

Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010),

h., 67-68.

Page 58: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

48

tujuan, dikeluarkannya PERMA itu adalah untuk mengisi kekosongan

hukum acara yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan sehingga

penyelenggaraan peradilannya menjadi lancar.23

Oleh sebab itu jelas

bahwa PERMA tidak berisikan tentang hak, kewajiban, maupun fungsi

dalam masyarakat melainkan hanya pengaturan yang bersifat

proseduriil di pengadilan.

23

H.R. Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 1997),

h.,88.

Page 59: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

48

BAB III

KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH

DI INDONESIA

A. Kewenangan Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di Indonesia

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Arbitrase diperkenalkan di Indonesia melalui Pasal 377 Het

Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 705 Rechtsreglement

Bitengewesten (RBg) yang menentukan Buku Pertama, Bagian

Ketiga Reglement op de Rechtsvordering (RV) Pasal 615 sampai

dengan Pasal 651 berfungsi menjadi aturan umum penyelesaian

sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut

sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang

Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3872).

Peraturan yang mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase

yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat pada pasal 61 yang

menyatakan bahwa :

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara

sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang

bersengketa”.

Di dalam UU No. 30 Tahun 1999, aturan hukum mengenai

Pendaftaran Putusan dan Pelaksanaan atau Eksekusi putusan arbitrase,

hanya memuat kewenangan Pengadilan Negeri, tidak memuat

kewenangan Pengadilan Agama, oleh karenanya ada dua pendapat

mengenai hal ini. Pertama, kewenangan tersebut merupakan

Page 60: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

49

wewenang Pengadilan Negeri, berdasar Pasal 59, Pasal 61, Pasal 62,

Pasal 63 dan Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehingga putusan Badan Arbitrase

Syariah Nasional menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Kedua,

berpendapat bahwa semua yang berkaitan dengan penyelesaian

ekonomi syariah berdasar Pasal 49 huruf (i) Undang- Undang tentang

Peradilan Agama merupakan kewenangan Pengadilan Agama,

pendapat ini didasarkan kepada asas hukum lex posteriori derogat legi

priori dan lex specialis derogat legi generali. Berdasarkan asas lex

posteriori derogat legi priori, peraturan perundang-undangan yang

lebih baru didahulukan berlakunya daripada peraturan perundang-

undangan yang lebih lama/terdahulu. Sedangkan menurut asas lex

specialis derogat legi generali, yaitu peraturan perundang-undangan

yang sifatnya khusus didahulukan berlakunya daripada peraturan

perundang- undangan yang sifatnya umum.

Namun perlu diingat bahwa kewenangan Pengadilan Agama

untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah sebatas jika hanya

terjadi sengketa anatar konsumen dengan lembaga keuangan syariah,

namun dalam kasus ini pendaftaran eksekusi putusan arbitrase syariah

tidak mengandung adanya sengketa antara konsumen dengan lembaga

keuangan syariah, dapat diambil kesimpulan bahwa yang berwenang

untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah sesuai dengan

pengaturan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR

93/PUU-X/2012

Saat ini Indonesia memiliki Peraturan Perundang-undangan

mengenai Mahkamah Konstitusi, yaitu Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10

Page 61: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

50

Undang-undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa

Mahkamah kontitusi memiliki wewenang pertama untuk menguji

Undang-undang terhadap UUD 1945, kedua untuk memutus sengketa

wewenang lembaga Negara dimana kewenangannya telah diberikan

oleh UUD 1945, ketiga untuk pembubaran Partai Politik, keempat

untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hasil Pemilu, dan kelima

untuk memberikan putusan mengenai pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah

melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang telah terdapat pada

UUD 1945.1

Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, merupakan

tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah

satunya adalah perkara Nomor 93/PUU-X/2012. Perkara Nomor

93/PUU-X/2012 ini diajukan oleh Bapak Dadang sebagai pemohon,

yang merupakan Nasabah Bank Muamalat Kantor Cabang Bogor.

Pemohon mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah

Konstitusi terkait dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut sebagai

Undang-undang Perbankan Syariah, khususnya Pasal 55 ayat (2) dan

ayat (3) yang mengatur mengenai Penyelesaian Sengketa. Pemohon

menilai bahwa Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang

Perbankan tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana yang

telah diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Penyelesaian sengketa Perbankan syariah, menurut Pasal 55

Undang-undang Perbankan Syariah, dapat diselesaikan dengan cara

sebagai berikut:

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama.

1 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2012), h., 8.

Page 62: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

51

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian

sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Penjelasan isi pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah

berbunyi sebagai berikut:

“yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai

dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. Musyawarah;

b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

Berdasarkan isi pasal 55 Undang-undang Perbankan syariah

tersebut, maka terlihat bahwa penyelesaian sengketa Perbankan

Syariah dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama, Pengadilan

Negeri, serta Alternative Dispute Resolution (ADR) yang dapat

ditempuh melalui Musyawarah, Mediasi Perbankan dan Melalui

Basyarnas atau lembaga arbitrase lainnya.

Penyelesaian sengketa sebagaimana yang terdapat pada pasal

55 Undang-undang Perbankan tersebut dinilai terdapat kontradiktif

antara Pasal 55 ayat (1) yang secara tegas mengatur jika terjadi

sengketa dalam perbankan syariah, maka harus diselesaikan melalui

Pengadilan Agama, sedangkan Pasal 55 ayat (2) memberi pilihan

kepada para pihak untuk memilih lingkungan peradilan lain untuk

menyelesaikan sengketa dan dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.

Pilihan hukum yang terdapat pada Pasal 55 ayat (2) ini tidak

memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28 D

ayat (1) UUD 1945 yang mengamatkan bahwa setiap warga Negara

Indonesia berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan

serta kepastian hukum dan juga perlakuan yang sama di hadapan

hukum.

Page 63: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

52

Hal ini senada dengan pendapat dari Abdul Ghofur Anshori,

yang menyatakan bahwa terdapatnya opsi penyelesaian sengketa dapat

diselesaikan di Pengadilan Negeri pada huruf (d) Penjelasan Pasal 55

ayat (2) UU Perbankan akan berpotensi menimbulkan konflik antar

dua lingkungan peradilan dan mereduksi kewenangan absolut

Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat pada Pasal 49 huruf (i)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut dengan Undang-

Undang Peradilan Agama), yang berisi sebagai berikut:2

“Pengadilan Agama bertugas dan Berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.”

Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan agama

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah, salah

satunya adalah Perbankan Syariah.

Mahkamah Konstitusi mengadili mengabulkan permohonan

untuk sebagian, yang pada intinya berisi Penjelasan Pasal 55 ayat (2)

UU Perbankan Syariah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan

UUD 1945) dan Penjelasan tersebut dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding

tersebut memiliki implikasi hukum tersendiri bahwasannya

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah saat ini

merupakan wewenang Pengadilan Agama. Isi Pasal 55 ayat (2) kini

tidak memiliki penjelasan khusus, dan dalam penjelasannya kini telah

beralih menjadi “cukup jelas”.

2 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, (Bandung : Refika Aditama, 2009),

h., 110.

Page 64: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

53

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas

UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-Undang No.

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan besar bagi

kewenangan Peradilan Agama. Kewenangan Peradilan Agama

diperluas dengan memasukkan bidang ekonomi syariah sebagai salah

satu bidang kompetensinya yang tercantum dalam pasal 49. Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa

masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan

Agama.

Peradilan agama yang memiliki kompetensi absolut menjadi

tidak lagi absolut menurut pendapat beberapa para ahli yakni dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah. Pendapat tersebut didasari pada Pasal 55 Undang-

Undang Perbankan Syariah yang memberikan pengaturan tersendiri

tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah.3

Bunyi Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah ditegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa

Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama; (2) Dalam hal pada pihak telah memperjanjikan

penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3)

Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam penjelasan Pasal 55

Ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian

sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya melalui: a.

Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Badan Arbitrase Syariah

3 Chairul Lutfi, Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Terhadap

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan MK No. 93/Puu-X/2012, h. 18.

Page 65: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

54

Nasional (BASYRANAS) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d.

Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Sudah jelas bahwa dalam sengketa ekonomi syariah yang

mencakup di dalamnya adalah persoalan perbankan syariah menjadi

kewenangan Pengadilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 3

tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Setelah diundangkan undang-undang

tersebut, pengadilan agama tidak saja berwenang dalam menerima,

memeriksa, memutus mengadili dan menyelesaikan sengketa di bidang

perkawinan dan kewarisan, melainkan juga di bidang ekonomi syariah.

Dalam Pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. Bank

syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c. Asuransi syariah; d.

Reasuransi syariah; e. Reksa dana syariah; f. Obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah; h.

Pembiayaan syariah; i. Pegadaian syariah; j. Dana pensiun lembaga

keuangan syariah; dan k. Bisnis syariah.

Berdasarkan pada Pasal 49 huruf (i) yang menjelaskan

beberapa kegiatan usaha dengan prinsip syariah, dapat disimpulkan

bahwa Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut dalam

perkara di bidang ekonomi syariah, antara lain yakni sengketa di

bidang perbankan syariah. Kompetensi absolut berarti bicara mengenai

kewenangan lingkungan peradilan tertentu terhadap suatu jenis

sengketa.4

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kekuasaan

Kehakiman No.48 Tahun 2009 lahir sebagai penyempurna Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya yakni Undang-Undang

4 Khotibul Umam, Opini Konstitusi, Majalah Konstitusi edisi No. 79 September 2013 h. 6

Page 66: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

55

No. 4 Tahun 2004. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman

dibuat untuk menjalankan amanat UUD RI 1945 yang menyatakan

bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang sudah seharusnya

dalam penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tersebut merdeka, dan

bebas dari kepentingan manapun. Hal ini lebih terperinci dikatakan

dalam pasal 24 UUD Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kekuasaan

Kehakiman No.48 tahu 2009 ini lebih lanjut menyempurnakan

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terdahulu, dimana

Mahkamah Konstitusi No.005/PUU2006 yang telah mengeluarkan

putusan membatalkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang

lama tersebut.

Arbitrase diperkenalkan di Indonesia melalui Pasal 377 Het

Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 705 Rechtsreglement

Bitengewesten (RBg) yang menentukan Buku Pertama, Bagian

Ketiga Reglement op de Rechtsvordering (RV) Pasal 615 sampai

dengan Pasal 651 berfungsi menjadi aturan umum penyelesaian

sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut

sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang

Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3872). Keberadaan arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5076) diatur pada Bab XII

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan dari Pasal 58 sampai Pasal

61. Pasal 58 menentukan bahwa “upaya penyelesaian sengketa

perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase

atau alternatif penyelesaian sengketa”. Pasal 59 terdiri dari 3 ayat

yang menentukan bahwa :

Page 67: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

56

(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengket perdata di

luar pengadilan yang didasarkan pad perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh par pihak yang bersengketa.

(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum

tetap dan mengikat para pihak.

(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase

secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua

pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang

bersengketa.

Dalam ketentuan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa

kewenangan mengeksekusi putusan arbitrase apabila para pihak tidak

melaksanakan putusan arbitrase diberikan kepada Pengadilan Negeri.

Dalam penjelasannya Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 59

ayat (1) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan "arbitrase" dalam

ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”. Dapat diambil

kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman memberikan wewenang kepada Pengadilan

Negeri untuk mengeksekusi putusan arbitrase, termasuk juga arbitrase

syariah.

5. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun

2008 Tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah

Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 60 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa putusan arbitrase

bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para

pihak, maka para pihak yang bersengketa diharuskan untuk segera

melaksanakan putusan BASYARNAS secara sukarela. Namun

bilamana putusan BASYARNAS tersebut tidak dapat dilaksanakan

secara sukarela, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 61 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka putusan BASYARNAS

dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan atas permohonan

Page 68: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

57

salah satu pihak yang bersengketa. Ketentuan dalam Pasal 61 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 menetapkan sebagai berikut :

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara

sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang

bersengketa”.

Bilamana merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 61 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka lembaga eksekutorial terhadap

putusan BASYARNAS, putusan BANI, atau putusan arbitrase lainnya,

baik yang kelembagaan maupun perorangan adalah Pengadilan

Negeri.5 Namun bilamana merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menetapkan

bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah,

maka dengan sendirinya dapat ditafsirkan bahwa lembaga eksekutorial

terhadap putusan BASYARNAS adalah Pengadilan Agama.

Sehubungan dengan perbedaan tersebut, Mahkamah Agung

akhirnya mengeluarkan sebuah “beleid” dalam bentuk surat edaran

sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8

Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.

Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008,

Mahkamah Agung memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama

bertindak sebagai eksekutor pelaksanaan putusan BASYARNAS.

Pemberian kewenangan eksekutor bagi Pengadilan Agama terhadap

pelaksanaan putusan BASYARNAS didasarkan pada ketentuan dalam

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang

menetapkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

5 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta : Sinar

Grafika, 2012), h., 418.

Page 69: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

58

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi

syariah, yang di dalam termasuk bank syariah.

Selain menegaskan kewenangan Pengadilan Agama sebagai

eksekutor putusan BASYARNAS, Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 8 Tahun 2008 juga mempertegaskan bahwa putusan

BASYARNAS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap

dan mengikat para pihak, karenanya para pihak harus melaksanakan

putusan BASYARNAS secara sukarela. Dalam hal putusan

BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan

tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama

atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Putusan

BASYARNAS tidak dapat serta-merta dilaksanakan, terkecuali telah

memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 telah

menetapkan beberapa persyaratan pelaksanaan putusan

BASYARNAS. Persyaratan pertama mengenai waktu, bahwa dalam

waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan

BASYARNAS diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan

BASYARNAS diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya

kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi

domisili termohon dalam penyelesaian sengketa melalui

BASYARNAS. Selanjutnya, penyerahan dan pendaftaran pelaksanaan

putusan BASYARNAS, dilakukan dengan pencatatan dan

penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan

BASYARNAS, oleh Panitera Pengadilan Agama dan arbiter atau

kuasanya yang menyerahkan dan catatan tersebut merupakan akta

pendaftaran. Persyaratan ketiga, arbiter atau kuasanya wajib

menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter

atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Agama.

Persyaratan permohonan pelaksanaan putusan BASYARNAS

Page 70: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

59

sebagaimana dikemukakan tersebut, wajib dipenuhi, sebab bila tidak

dipenuhinya, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran

permohonan pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS dibebankan

kepada para pihak.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008

ditegaskan, bahwa perintah pelaksanaan putusan BASYARNAS

diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan

eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal termohon dalam penyelesaian

sengketa melalui BASYARNAS. Sebelum memberikan persetujuan

atas permohonan pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS, Ketua

Pengadilan Agama diwajibkan memeriksa terlebih dahulu hal-hal yang

berkaitannya dengan permohonan pelaksanaan eksekusi putusan

BASYARNAS. Pertama, ketua Pengadilan Agama akan memeriksa

terlebih dahulu apakah persetujuan untuk menyelesaikan sengketa

melalui BASYARNAS dimuat dalam suatu dokumen yang

ditandatangani oleh para pihak. Kemudian kedua, Ketua Pengadilan

Agama memastikan sengketa yang diselesaikan tersebut adalah

sengketa dibidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh

pihak yang bersengketa. Selain itu, Ketua Pengadilan Agama juga

memeriksa apakah putusan BASYARNAS tidak bertentangan dengan

prinsip syariah. Dengan demikian dapat diketahui, bahwa Ketua

Pengadilan Agama dilarang atau tidak memeriksa alasan atau

pertimbangan dari putusan BASYARNAS.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008

menegaskan, bahwa perintah Ketua Pengadilan Agama ditulis dalam

lembar asli dan salinan otentik putusan BASYARNAS yang

dikeluarkan. putusan BASYARNAS yang telah dibubuhi perintah

Page 71: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

60

Ketua Pengadilan Agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun

2010 Tentang Penegasan Tidak Berlakunya SEMA Nomor 8

Tahun 2008

Memperhatikan ketentuan pada angka 4 (em pat) Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 yang intinya berisi bahwa

Ketua Pengadilan Agama berwenang memerintahkan pelaksanaan

putusan Badan Arbitrase Syariah.

Bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya

ditentukan bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan

arbitrase (termasuk arbitrase syari'ah) secara sukarela, putusan

dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas

permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka

diberitahukan kepada Saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 08 Tahun 2008

tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari'ah tersebut

berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya, dinyatakan

tidak berlaku.

Diatas merupakan isi kentuan dari Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 8 Tahun 2010 yang menegaskan bahwa Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tidak berlaku.

Berdasarkan catatan hukumonline, salah satu perkara ekonomi

syariah yang bersinggungan dengan eksekusi adalah gugatan BPR

Syariah Buana Mitra Perwira terhadap Herman Rasno Wibowo di

Pengadilan Negeri Kelas 1 B Purbalingga, Jawa Tengah. Dalam

perkara ini, tergugat dianggap wanprestasi atas pembiayaan

musyarakah sebesar Rp 30 juta. Perkara ini akhirnya masuk ke

Pengadilan Agama Purbalingga. Lantaran tergugat tidak mau

melaksanakan putusan secara sukarela padahal putusan sudah

berkekuatan hukum tetap, penggugat mengajukan eksekusi lelang.

Page 72: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

61

Eksekusi lelang itu akhirnya dilaksanakan setelah Pengadilan Agama

Purbalingga bekerja sama dengan Kantor Kekayaan dan Lelang

Negara.

Berhubung Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang

menjadi dasar rujukan pendirian BASYARNAS, maka eksekusi

putusan BASYARNAS tetap menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

Pelaksanaan eksekusi putusan BASYARNAS tidak dapat dilakukan

oleh Pengadilan Agama, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 yang mempunyai kewenangan memberikan perintah

pelaksanaan putusan arbitrase, termasuk arbitrase syariahyang

diputuskan oleh BASYARNAS adalah Pengadilan Negeri. Bilamana

hendak mengalihkan kewenangan memberikan perintah pelaksanaan

putusan BASYARNAS tersebut kepada Pengadilan Agama, maka

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perlu diubah dengan

memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk

memberikan perintah pelaksanaan putusan BASYARNAS yang tidak

dilaksanakan secara sukarela. Dengan demikian, sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka pelaksanaan putusan

arbitrase, termasuk putusan arbitrase syariah (BASYARNAS)

sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan

Agama, karena itu tidak dapat ditafsirkan secara lain.

Mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dalam

memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah

Nasional tersebut, kembali dipertegas dalam ketentuan Pasal 59 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan penjelasannya. Berdasarkan ketentuan ini, dalam hal

para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase

syariah) secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan

perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak

yang bersengketa. Sehubungan dengan ketentuan ini, Mahkamah

Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun

Page 73: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

62

2010 tentang Penegasan tidak berlakunya Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan

Arbitrase Syariah.

7. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah

Pada 22 Desember 2016, Peraturan Mahkamah Agung Nomor

14 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah

ditetapkan Ketua MA Hatta Ali. Regulasi tersebut berlaku sejak

ditetapkan.

Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 14 Tahun

2016 setelah mempertimbangkan signifikannya perkembangan dunia

usaha yang menggunakan akad-akad syariah. Faktanya, tidak sedikit

terjadi sengketa di antara para pelaku ekonomi syariah. Mahkamah

Agung menyadari, masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian

sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun

sayangnya, ketentuan hukum acara yang ada saat ini, baik dalam HIR

maupun RBg, tidak membedakan tata cara pemeriksaan antara nilai

objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian

perkaranya memerlukan waktu yang lama. Karena terdapat hal-hal

yang belum cukup diatur dengan Undang-Undang, untuk mengisi

kekurangan atau kekosongan hukum acara perdata di bidang ekonomi

syariah, Mahkamah Agung pun akhirnya mengeluarkan PERMA ini.

Secara garis besar, ada tiga aspek yang dibedah dalam peraturan ini,

yaitu :

1. Penegasan kewenangan Peradilan Agama;

2. Teknis peradilan; dan

3. Administrasi perkara ekonomi syariah.

Penegasan kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi

syariah paling gamblang terdapat di Pasal 13 ayat (2) dan (3), yang

menyatakan :

Pasal 13

Page 74: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

63

(2) Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya,

dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

(3) Tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dari isi ketentuan Pasal diatas, bahwa pelaksanaan putusan

perkara ekonomi syariah, putusan arbitrase syariah dan

pembatalannya, dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama. Demikian juga dengan dengan mengacu kepada

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan

pembatalannya, sesungguhnya kewenangan itu pernah diberikan

kepada Peradilan Agama melalui SEMA Nomor 8 Tahun 2008.

Namun kewenangan tersebut lantas dialihkan ke Peradilan Umum,

setelah MA menerbitkan SEMA Nomor 8 Tahun 2010. Dengan

demikian, ketentuan yang terdapat di SEMA Nomor 8 Tahun 2010 itu

kini tidak berlaku lagi, setelah adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penyelesian Perkara Ekonomi Syariah.

B. Analisa Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

1. Analisa Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah Berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan

Ekonomi syariah merupakan usaha atau kegiatan ekonomi yang

dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang

berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi

kebutuhan yang bersifat komersial menurut prinsip syariah, oleh

karena itu lembaga peradilan yang dimaksud untuk menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah adalah lembaga peradilan yang dalam

penyelesaian sengketa tersebut menerapkan hukum berdasarkan pada

prinsip-prinsip syariah Islam.

Dalam ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006

Tentang Perubahan Pertama atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Page 75: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

64

Peradilan Agama, menyatakan secara tegas bahwa Peradilan Agama

bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara sengketa di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

Beberapa waktu yang lalu, banyak terjadi polemik baik

dikalangan pengamat hukum bahkan praktisi hukum sendiri tentang

siapa sebenarnya yang berhak atau memiliki kewenangan untuk

melakukan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional.

Perkara yang ditangani oleh BASYARNAS sendiri adalah

perkara sengketa ekonomi syariah dan proses penyelesaiannya

berdasarkan prinsip syariah, yang putusannya bersifat final dan

mengikat, akan tetapi oleh karena BASYARNAS bukan merupakan

lembaga yudikatif, sehingga tidak bisa melaksanakan eksekusi

putusannya tersebut, oleh karena itu diperlukan lembaga litigasi yang

diberi kewenangan oleh UNDANG-UNDANG untuk itu, namun

problem peradilan mana yang berwenang melaksanakan (eksekusi)

putusan Basyarnas masih dualisme.

Dalam UU 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase disebutkan

bahwa dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan secara

sukarela putusan badan arbitrase maka pengadilan yang berwenang

untuk melakukan eksekusi adalah Pengadilan Negeri. Hal ini menjadi

kerancuan, sebab ketika sengketa ekonomi syariah menjadi

kewenangan Pengadilan Agama, tentu saja seharusnya Pengadilan

Agama pula yang memiliki hak eksekutorial atas putusan Basyarnas.

Pada saat diundangkan UU No. 3 Tahun 2006 hal ini sempat menjadi

polemik di kalangan para praktisi ekonomi syariah. Oleh karena itu

pada tahun 2008 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan

Badan Arbitrase Syariah. Dalam SEMA tersebut tertulis Dalam hal

putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela,

maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Page 76: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

65

Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang

bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang

ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang

memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah.

Terkait dengan kewenangan absolut Peradilan Agama terhadap

perkara ekonomi syariah berdasarkan SEMA tersebut diatas,

sayangnya masih terdapat perundang-undangan yang muncul yang

kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum dalam isi pasalnya.

Perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 59 ayat (3)

tentang Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Arbitrase, yang

menyebutkan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan

arbitrase (termasuk juga arbitrase syariah) secara sukarela, maka

putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri

atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Berdasarkan

ketentuan pasal tersebut maka secara tidak langsung mengandung

makna hukum bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang terhadap

penyelesaian eksekusi putusan BASYARNAS.

Keberadaan Pasal 59 Ayat (3) tersebut telah dianggap sebagai

problem kewenangan, oleh karena itu Dr. Drs. Dadang Muttaqien,

S.H., M.Hum sempat mengajukan peninjauan kembali (judicial

review) pasal tersebut pada tanggal 18 Februari 2010 bersamaan

dengan uji materil Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008 beserta penjelasannya, akan tetapi justru dicabut tanggal 10

Maret 2010 dengan alasan mengingat Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut masih sangat baru

dan belum operasional serta belum tersosialisasi secara luas di tengah

masyarakat.

Page 77: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

66

Akan tetapi telah disayangkan oleh banyak pihak bahwa pada

bulan Mei 2010 Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan

kebijakan yang baru melalui SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang

Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Wakil Ketua Mahkamah

Agung (MA) Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong menerbitkan

Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur

eksekusi putusan badan arbitrase syariah nasional (Basyarnas). Dalam

SEMA tertanggal 20 Mei 2010 itu, MA membatalkan SEMA No. 8

Tahun 2008 yang menyatakan eksekusi putusan Basyarnas adalah

kewenangan Pengadilan Agama. MA mendasarkan pada Pasal 59 ayat

(3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan para pihak yang

tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah)

secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang

bersengketa. “Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka

diberitahukan kepada saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya UU

No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, SEMA No.8 Tahun

2008 dinyatakan tidak berlaku,” demikian bunyi SEMA No. 8 Tahun

2010 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua

Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua

Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.

Akar permasalahannya adalah bukan pada SEMA Nomor 8

Tahun 2010 tersebut, akan tetapi justru dasar hukum yang digunakan

dalam pengeluaran SEMA tersebut, yakni Pasal 59 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009. Oleh karena itu selama pasal tersebut

masih eksis, maka ketentuan pelaksanaan eksekusi maupun

pembatalan putusan BASYARNAS akan dipahami menjadi

kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut menghilangkan

kewenangan absolut Pengadilan Agama yang telah diberikan

kewenangan berdasarkan Pasl 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3

Page 78: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

67

Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Hal ini

menggambarkan adanya tarik menarik kewenangan antar dua lembaga

peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu

bagi Peradilan Agama sendiri adanya ketentuan tersebut, maka

terdapat pereduksian kewenangan, sehingga membentuk opini kepada

publik untuk menangani perkara ekonomi syariah Peradilan Agama

belum siap dan mampu.

Pada tahun 2012 lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 atas peninjauan

kembali (judicial Review) terhadap penjelasan Pasal 55 ayat (2), yang

pada pokoknya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga putusan Mahkamah

Agung tersebut mempertegas kewenangan Peradilan Agama sebagai

satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang menangani sengketa

perbankan syariah.

Rentang waktu terakhir ini, bulan Desember 2016 Mahkamah

Agung telah mengeluarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)

Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara

Ekonomi Syariah. Disebutkan pada Pasal 13 ayat (2), bahwa

pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilaksanakan

oleh Pengadilan Agama. Kembali peraturan mengenai eksekusi

putusan arbitrase syariah mengalami inkonsistensi.

Membahas lebih lanjut mengenai PERMA Nomor 14 Tahun

2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah yang

memberikan kewenangan terhadap Peradilan Agama untuk

membatalkan putusan arbitrase terdapat ketidaksinkronan dengan UU

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

memberikan kewenangan kepada Peradilan Negeri untuk membatalkan

putusan arbitrase yang tertuang pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Page 79: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

68

Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan

“arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah” dan

lebih lanjut pada Pasal 59 Ayat (3) yang berbunyi :“Dalam hal para

pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan

dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas

permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Selain itu, peraturan

perundang-undangan lain yang bertentangan dengan PERMA Nomor

14 Tahun 2016 yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 61 yang berbunyi :

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara

sukarela, putusan dilaksankan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang

bersengketa”.

Dengan lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang

menyatakan kewenangan eksekusi bahkan pembatalan putusan

arbitrase syariah yang dalam hal ini BASYARNAS, tidak begitu saja

permasalahan yang terdapat dalam Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman menjadi selesai. Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman dan PERMA merupakan bagian dari peraturan perundang-

undangan di Indonesia sebagaimana terdapat dalam ketentuan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan terjadi pro kontra dalam pengaturannya, dengan

memberikan kewenangan eksekusi putusan arbitrase syariah kepada

lembaga peradilan berbeda yang sama-sama dibawah Mahkamah

Agung Republik Indonesia. Apakah antara peraturan perundang-

undangan tersebut perlu ditarjih/dinilai yang mana yang lebih kuat ?

atau apakah ketentuan dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman redaksi Pengadilan Negeri secara otomatis

dengan Pengadilan Agama.

Berdasarkan isi Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 61

Undang-undang tentang arbitrase maka yang berwenang untuk

Page 80: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

69

melakukan eksekusi putusan Arbitrase adalah Pengadilan Negeri.

Kewenangan Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi

BASYARNAS ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan

masyarakat. Pendapat pertama mengatakan bahwa kewenangan

tersebut berada dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri. Pendapat

kedua berpandangan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan

penyelesaian sengketa ekonomi syariah termasuk pelaksanaan eksekusi

yang berkaitan dengan perjanjian ekonomi syariah merupakan

kewenangan Pengadilan Agama. Hal ini di didasarkan pada tanggal 20

Maret 2006 telah di sahkan Undang-undang Peradilan Agama, dengan

demikian peraturan yang lebih baru akan lebih didahulukan berlakunya

dibandingkan peraturan yang lebih lama (lex posteriori derogate legi

priori). Selain itu Undang-undang tentang Peradilan Agama juga lebih

khusus mengatur penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

Terjadinya benturan peraturan Perundang-undangan pada Pasal

59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dengan Pasal 49

Undang-undang Peradilan Agama tersebut dapat diselesaikan dengan

asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Arti dari asas Lex Specialis

Derogat Lex Generalis ini adalah apabila terjadi konflik hukum antara

peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (special) dengan

peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum (general), maka

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum akan

dikesampingkan.

Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dapat dipakai

apabila kedua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan

tersebut memiliki derajat yang sama, seperti halnya Undang-undang

Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang Peradilan Agama,

sehingga penyelesaian konflik pengundang-undangan terkat

kewenangan pelaksanaan putusan BASYARNAS dapat diberlakukan

asas ini.

Page 81: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

70

Menurut Faturrahman Djamil, Undang-undang Peradilan

Agama merupakan Undang-undang yang bersifat khusus dalam

penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yang sebelumnya merupakan

bagian dari kewenangan Pengadilan Negeri/ Niaga yang berada dalam

lingkungan Peradilan Umum.6

Namun perlu diingat bahwa kewenangan Pengadilan Agama

untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah sebatas jika hanya

terjadi sengketa anatar konsumen dengan lembaga keuangan syariah,

namun dalam kasus ini pendaftaran eksekusi putusan arbitrase syariah

tidak mengandung adanya sengketa antara konsumen dengan lembaga

keuangan syariah, dapat diambil kesimpulan bahwa yang berwenang

untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah sesuai dengan

pengaturan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.

Secara yuridis, Pasal 7 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan menyebutkan

apa saja yang termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, Dari

sisi jenis dan hirarkis peraturan perundang-undang tersebut, maka

PERMA jelas tidak termasuk. Namun Dari ketentuan Pasal 8 Ayat (1)

UU No 12 Tahun 2011, dapat disimpulkan bahwa : Pertama, PERMA

diakui keberadaannya sebagai jenis peraturan perundang-undangan;

Kedua, Keberadaan PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-

undangan yang ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadannya dan

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh

Undang-Undang yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.

Kesimpulan yang kedua menjelaskan bahwa keberadaan

PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-undangan yang

ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan mempunyai

6 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2012) h., 171.

Page 82: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

71

kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh Undang-

Undang, namun dalam hal ini Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan kewenangan

kepada Mahkamah Agung untuk membuat pengaturan hukum acara

terkait eksekusi putusan arbitrase syariah, kemudian selanjutnya

PERMA dibentuk berdasarkan kewenangan, yang menjadi pertanyaan

selanjutnya yaitu jika berdasarkan wewenangnya, PERMA berwenang

atau tidak membuat hukum acara yang menyalahi atau tidak sinkron

dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, terutama Undang-

Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesian sengketa ?.

Dalam suatu Undang-Undang sering tidak mengatur secara

tuntas tentang hukum acara dari Undang-Undang tersebut. Mahkamah

Agung dengan wewenang yang dimiliki mengeluarkan PERMA untuk

memberikan pengaturan yang lebih rinci dan lebih jelas jika

diperintahkan oleh Undang-Undang untuk mengatur secara rinci

mengenai hukum acara di pengadilan.

PERMA adalah peraturan dari prinsip Mahkamah Agung yang

ditujukan ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang berisi ketentuan

bersifat hukum acara peradilan. Menurut Saleh, menjadi suatu fakta

bahwa dalam suatu undang-undang sering tidak mengatur secara tuntas

tentang hukum acara dari undang-undang tersebut, sehingga

memerlukan peraturan pelaksana. Dan itupun, kata Saleh, tidak

kunjung datang sehingga menimbulkan kesulitan di dalam praktik

peradilan. Untuk itu, MA dengan wewenang yang dimiliki

mengeluarkan PERMA untuk memberikan pengaturan yang lebih rinci

dan lebih jelas.7

Dalam Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung juga

menyatakan Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal

7 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd7d17d0e7d/perma-masih-jadi-solusi-

hukum-acara-perdata-di-indonesia diakses pada 3 Maret 2018 Pukul 15:19 WIB.

Page 83: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

72

yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila

terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU MA tersebut.

Dalam penjelasan Pasal 79 ini disebutkan bahwa :

“penyelenggaraan peradilan yang dimaksud dalam undang-undang ini

hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan.

Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan

melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada

umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian

serta penilaiannya ataupun pembagian pembebanan pembuktian”.

Peraturan perundang-undangan diatas secara eksplisit

memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat

peraturan. Kewenangan ini diberikan dalam hal terjadi kekosongan

hukum tentang suatu hal dan peraturan itu diperlukan untuk kelancaran

penyelenggaraan peradilan. Dilihat dari konteks ini, maksud

diberikannya kewenangan Mahkamah Agung untuk membuat

peraturan adalah untuk menjamin terlaksananya sistem peradilan yang

berkeadilan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.8

2. Kewenangan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama

berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang ekonomi

Syariah. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian bidangbidang yang

termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11 bidang. Adapun

yang dimaksud dengan Ekonomi Syari‟ah adalah perbuatan atau

kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah antara lain

meliputi : bank syari‟ah, lembaga keuangan mikro syari‟ah, asuransi

syari‟ah, reasuransi syari‟ah, reksa dana syari‟ah, obligasi syari‟ah dan

surat berharga berjangka menengah syari‟ah, sekuritas syari‟ah,

pembiayaan syari‟ah, penggadaian syari‟ah, dana pensiun lembaga

keuangan syari‟ah dan bisnis syari‟ah.

8 Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.

(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015, Edisi 8) h., 9.

Page 84: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

73

Penyebutan 11 bidang tersebut di atas, tentulah tidak bersifat

limitatif hal ini dikarenakan sebelumnya didahului oleh kata „antara

lain‟, sehingga tentunya tidak tertutup kemungkinan diluar 11 bidang

dimaksud masih ada bidang kegiatan ekonomi Syariah lainnya yang

masuk. Demikian misalnya masih terbuka pada bentuk kegiatan usaha

seperti perusahaan Syariah, kepailitan Syariah, persaingan usaha

Syariah, dan lain sebagainya. Walaupun menurut Abdurrahman

(Hakim pada Mahkamah Agung Republik Indonesia), hal- hal tersebut

dalam kaitannya dengan kewenangan Peradilan Agama masih terdapat

perbedaan pendapat. 18 Perbedaan pendapat menyangkut bidang yang

belum disebutkan dalam 11 bidang dimaksud tentu selalu saja

menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Agama berwenang untuk

memeriksa dan mengadilinya atau tidak. Tetapi berangkat dari

Penjelasan Pasal 49 tersebut di atas, yang tidak memberikan

pengecualiaan maka lingkup kewenangan Peradilan Agama bidang

ekonomi Syariah adalah meliputi seluruh perbuatan atau kegiatan

usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syariah. Dalam rancangan

semula kewenangan ini hanya terbatas pada persoalan Perbankan

Syariah, tetapi kemudian ditambah menjadi ekonomi Syariah.

Karenanya, dalam Penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan bahwa

penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang Perbankan

Syariah melainkan juga di bidang ekonomi Syariah lainnya.9

Maka semua perkara atau sengketa ekonomi Syariah di bidang

perdata merupakan kewenangan mutlak lingkungan Peradilan Agama

untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, kecuali

kalau secara tegas ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam

9 Diana Rahmi, Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili

Sengketa Ekonomi Syariah, (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Antasari), h. 9.

Page 85: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

74

Undang-undang ini”. Frase “perkara-perkara tertentu”, merupakan

perubahan dari frase “perkara perdata tertentu” dalam Pasal 2 UU No 7

Tahun 1989. Hal ini sebagai konsekuensi yuridis adanya

perkembangan dan kebutuhan hukum bidang ekonomi syariah. Jaenal

Aripin menyebut UU 3/2006 sebagai “perubahan fundamental”

Peradilan Agama.10

Keberadaan KHES memiliki keterkaitan erat dengan pemberian

kewenangan kepada Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah,

kewenangan membuat peraturan yang diberikan oleh undang-undang,

serta realitas akan masih adanya kekosongan hukum di bidang

ekonomi syariah dan kebutuhan masyarakat terhadap peraturan

tersebut dalam penegakan hukum ekonomi syariah.

Lahirnya KHES berarti mempositifkan dan mengunifikasikan

hukum ekonomi syariah di Indonesia. Seandainya KHES tidak disusun

maka hakim pengadilan agama memutus perkara ekonomi syariah

dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang tersebar dalam berbagai

mazhab, karena tidak ada rujukan hukum positif yang bersifat

unifikatif, sehingga terjadilah disparitas dalam putusan antar suatu

pengadilan dengan pengadilan yang lain, antar hakim yang satu dengan

hakim yang lain. Benar-benar berlaku ungkapan different judge

different sentence, lain hakim lain pendapat dan putusannya.11

10

Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015, Edisi 8, h. 6. 11

Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015, Edisi 8, h. 10.

Page 86: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

75

BAB IV

IMPLEMENTASI PENETAPAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE

SYARIAH PASCA PERMA NOMOR 14 TAHUN 2016

A. Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di Lembaga Badan Arbitrase

Syariah Nasional (BASYARNAS)

1. Sejarah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

BASYARNAS merupakan lembaga arbitrase yang berperan

menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad

dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan, untuk mencapai

penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan

mufakat. Putusan BASYARNAS bersifat final dan mengikat (binding),

untuk melakukan eksekusi atas putusan tersebut, penetapan

eksekusinya diberikan oleh Pengadilan Negeri setempat.1

Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS) tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan

sosial ekonomi umat islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan

berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan

Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih

dulu lahir.

Pada tahun 1993 dibentuk Badan Arbitrase Muamalat

Indonesia (BAMUI) yang sekarang bernama BASYARNAS (Badan

Arbitrase Syariah Nasional) sebagai salah satu upaya untuk melakukan

penyelesaian sengketa di bidang mu’amalat khususnya perekonomian

syariah. Berdirinya BAMUI ini dimaksudkan sebagai antisipasi

terhadap permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat penerapan

hukum mu’amalah oleh lembaga keuangan syariah yang pada waktu

itu telah berdiri. Kemudian selain berpedoman pada UUAAPS,

validitas arbitrase syariah juga diperkukuh melalui Fatwa DSN-MUI

1 Imam Jauhari, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam,

(Yogyakarta : CV Budi Utama, 2017), h., 127.

Page 87: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

76

(Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia). Pendirian

BASYARNAS merupakan bentuk hakam yang dilembagakan secara

permanen. Sebagai lembaga permanen, BASYARNAS memiliki

peraturan prosedur yang dijadikan pedoman beracara untuk

menyelesaikan sengketa yang diputus. Sesuai keputusan MUI nomor

Kep.09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawal 1424/24 Desember 2003,

menetapkan bahwa :

a. Mengubah nama BAMUI menjadi BASYARNAS.

b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi

badan yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat

organisasi MUI.

c. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam,

BASYARNAS bersifat otonom dan independen.

d. Mengangkat pengurus BASYARNAS dengan susunan pengurus

yang baru.2

BASYARNAS merupakan lembaga hakam (arbitrase syariah)

satu-satunya di Indonesia yang merupakan perangkat organisasi MUI

yang pengurusnya diangkat dan diberhentikan oleh MUI namun

demikian dalam menjalankan tugasnya BASYARNAS tetap bersifat

otonom dan independen.3

Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah adalah anjuran al-

Qur’an tentang perlunya perdamaian, yaitu QS. Al-Hujarat ayat 9 yang

berbunyi :

2 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia

& Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h., 146. 3 Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa

Perbankan Syariah, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2016), h., 315.

Page 88: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

77

“Artinya :Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau

yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang

melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada

perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya

menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya

Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”

Ayat di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum

muslimin yang antara laindisebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas

kebenarannya. Jika perselihan tersebut terjadi, makaharus didamaikan

dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu pada ayat di atas, diambil

dari kata ashlaha yang asalnya shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa,

kata ini dimaknai dengan antonim darikat fasada yakni rusak. Ia

diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti

tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat,

sedangkan ishlah adalah upaya menghentikan kerusakan atau

meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak

lagi.4

Dasar yang kedua adalah QS. An-Nisa ayat 35 yang berbunyi :

“Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara

keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan

seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu

bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik

kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Mengenal.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi

persengketaan, maka hendaknya diantara kedua belah pihak yang

bersengketa menunjuk seorang juru damai yang bijaksana untuk

menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu,

4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al

Qur’an, jilid 13, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), h., 244.

Page 89: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

78

fungsi utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak

menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh

pasangan yang bertikai maupun tidak.5 Dengan demikian, melihat

tafsir ayat diatas, maka sangat memungkinkan dan relevan untuk

dijadikan dasar terkait dengan pembahasan arbitrase syariah yang

sedang berkembang dewasa ini.

Selain landasan ayat di atas, kita mengetahui bahwa

pelaksanaan syariat Islam di Indonesia didasarkan atas Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2), implementasi adanya landasan

konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang

berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah

dengan Undang-UndangNomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan

Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50

Tahun 2009.

2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah.

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Dalam undang-undang tersebut keberadaan BASYARNAS

dianggap sebagai alternative penyelesaian sengketa perdata di luar

peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika

melakukan akad perjanjian. Dengan demikian, adanya badan arbitrase

sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang

maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang

kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah

5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al

Qur’an, jilid 13, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), h., 433.

Page 90: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

79

(perdata). Hal itu dimaksudkan agar umat Islam terhindar dari

perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan

ukhuwah Islamiyah.

BASYARNAS merupakan sebuah lembaga yang berfungsi

dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah. Kehadiran BASYARNAS

sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar

belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan

syariat Islam secara kaffah, malainkan juga lebih dari itu adalah

menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan

ekonomi dan keuangan di kalangan umat Islam pada khususnya dan

penyebaran sistem ekonomi syariah pada umumnya.

Kehadiran BASYARNAS juga merupakan salah satu upaya

pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan,

ketentraman dan kedamaian dikalangan umat Islam. BASYARNAS

memiliki fungsi di antaranya adalah:

a. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan

prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian (ishlah).

b. Menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya

menggunakan hukum islam.

c. Menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara

bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa

mereka pada khususnya dan antara sesama umat islam yang

melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan

syariat islam sebagai dasarnya.

d. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-

sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan,

industri, jasa dan lain-lain.6

Keberadaan BASYARNAS di Indonesia semakin mempertegas

pengakuan prinsip syariah dalam dalam sistem hukum Indonesia.

6 https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/01/21/eksistensi-basyarnas-dalam-

penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah/ diakses pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 11:30

WIB.

Page 91: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

80

BASYARNAS yang ada saat ini merupakan lembaga arbitrase

institusional yang sah berdasarkan payung hukum arbitrase yaitu

UUAAPS 1999 yang berimplikasi terhadap kemajuan hukum Islam di

Indonesia dalam artian para pihak yang menginginkan putusan atas

suatu sengketa ataupun pendapat mengikat (binding opinion) dari

sebuah lembaga arbitrase nasional yang sah dapat memilih

BASYARNAS sebagai lembaganya.

2. Implementasi Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah di

BASYARNAS Pasca PERMA Nomor 14 Tahun 2016

Secara historis proses perkembangan pengaturan eksekusi

putusan arbitrase syariah mengalami tarik ulur antara kewenangan

Pengadilan Negeri dengan kewenangan Pengadilan Agama. Melalui

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi

Putusan Badan Arbitrase Syariah dinyatakan secara tegas bahwa

Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan

putusan badan arbitrase syariah jika tidak dilaksanakan secara sukarela

berdasarkan permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Namun peraturan ini dianulir dengan direvisinya Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam

penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan

arbitrase, termasuk arbitrase syariah, dilaksanakan berdasarkan

perintah Ketua Pengadilan Negeri. Kemudian berdasarkan Pasal 59

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 8

Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan

Arbitrase Syariah. SEMA No. 08 Tahun 2010 tersebut diberlakukan

atas dasar telah diundangkannya Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Page 92: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

81

Rentang waktu terakhir ini, bulan Desember 2016 Mahkamah

Agung telah mengeluarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung)

Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara

Ekonomi Syariah. Disebutkan pada Pasal 13 ayat (2), bahwa

pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilaksanakan

oleh Pengadilan Agama. Kembali peraturan mengenai eksekusi

putusan arbitrase syariah mengalami inkonsistensi.

Perlu diketahui bahwa eksekusi putusan arbitrase syariah

maupun arbitrase institusional itu sudah di luar kewenangan badan

Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), maupun lembaga

arbitrase lain seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),

Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase

dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), dan lain-

lain. Lembaga arbitrase hanya berkewajiban sampai pada ketok palu

putusan, permasalahan nanti dilaksanakan dengan suka rela atau tidak

itu sudah menjadi di luar kewenangan badan lembaga arbitrase. Tugas

lembaga arbitrase hanya sebatas sampai ketok palu putusan saja

kemudian dilanjutkan dengan mendaftarkan salinan resmi putusan

arbitrase syariah kepada pengadilan yang menjadi kompetensi

kewenangannya.

Hasil wawancara dengan Achmad Djauhari, SH, MH. Yang

merupakan dosen tetap fakultas hukum Universitas Muhammadiyah

Jakarta sekaligus Sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS) menjelaskan bahwa dalam kurun waktu setelah

lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS) hanya menyelesaikan 1 (satu) sengketa

arbitrase syariah yang kemudian telah mendaftarkan salinan resmi

putusan arbitrase syariah di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada

bulan November 2017. Terlepas apakah para pihak pihak bisa

menerima putusan Pengadilan Agama atau tidak jika salah satu dari

Page 93: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

82

kedua belah pihak ada yang tidak setuju dengan putusan

BASYARNAS. Namun sampai saat ini belum ada kelanjutan dari

pendaftaran penetapan putusan arbitrase syariah di Pengadilan Agama

Jakarta Timur.

Dalam kurun waktu tahun 2016 Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS) juga mendaftarkan salinan resmi putusan

arbitrase syariah di Pengadilan Negeri Surabaya sebelum efektifnya

PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang memberikan kewenangan

kepada Pengadilan Negeri. Namun, setelah lahirnya Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS) mendaftarkan salinan resmi putusan

arbitrase syariah di Pengadilan Agama dengan merujuk pada Peraturan

Mahkamah Agung yang telah disebutkan diatas.

Namun, dengan munculnya Peraturan Mahkamah agung yang

baru ada indikasi bahwa PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata

Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah belum tersosialisasikan

dengan baik pada level Pengadilan Agama sehingga saat pihak

BASYARNAS mengajukan pendaftaran putusan arbitrase syariah,

pihak pengadilan pun masih bertanya-tanya apakah pada saat ini

menjadi wewenang pengadilan agama atau tidak. Hingga pada

akhirnya pihak BASYARNAS perlu menjelaskan terlebih dahulu

kepada pihak Pengadilan Agama terkait adanya PERMA Nomor 14

Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama

untuk mengeksekusi putusan arbitrase syariah, baru kemudian pihak

Pengadilan Agama menerima pendaftaran putusan arbitrase syariah

tersebut. Dengan adanya fakta tersebut menunjukkan bahwa pada saat

ini permasalahan eksekusi putusan arbitrase syariah belum selesai

secara akademisi.

Page 94: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

83

B. Argumentasi Ahli Hukum Setelah Adanya Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syariah

Menurut Nur Habibi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta bidang Ilmu Hukum Tata Negara Lahirnya

PERMA Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa

Ekonomi Syariah ini menyalahi aturan, kecuali jika dibuat masa berlaku

terbatas itupun harus mendapatkan persetujuan parlemen karena

menempatkan PERMA setara dengan Undang-Undang. Dalam peraturan

perundang-undangan sudah jelas bahwa hukum yang dibawah tidak boleh

bertentangan dengan hukum yang diatas, dalam hal ini yaitu seharusnya

PERMA tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dalam hal

ini taitu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang

Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengekta. Jika berdasarkan pada

asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis ini adalah apabila terjadi konflik

hukum antara peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

(Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama)

dengan peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum (Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), maka peraturan perundang-

undangan yang bersifat umum akan dikesampingkan, Namun perlu diingat

bahwa kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara

ekonomi syariah sebatas jika hanya terjadi sengketa anatar konsumen

dengan lembaga keuangan syariah, namun dalam kasus ini pendaftaran

eksekusi putusan arbitrase syariah tidak mengandung adanya sengketa

antara konsumen dengan lembaga keuangan syariah, dapat diambil

kesimpulan bahwa yang berwenang untuk mengeksekusi putusan arbitrase

syariah sesuai dengan pengaturan Undang-Undang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu Pengadilan Negeri.7

7 Nur Habibi, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 5 Maret 2018.

Page 95: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

84

Selanjutnya menurut Ismail Hasani, dosen Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta bidang Ilmu Hukum Tata Negara

bahwa dengan lahirnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 merupakan

kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum

yang lebih tinggi yang dalam hal ini yaitu Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Secara formil Mahkamah Agung punya wewenang membentuk

sebuah peraturan (PERMA) akan tetapi tidak dengan konten yang

menyimpang. Conflicting norm dalam kasus yang terjadi pada masalah ini

maka batal demi hukum. Menurutnya lagi jika ingin mengalihkan

kewenangan peradilan manakah yang berhak, maka yang seharusnya

diubah adalah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-

Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Konflik norma

semacam ini tidak bisa diberlakukan asas lex spesialis derogate lex

generalis karena asas tersebut hanya dimungkinkan dengan jenis

Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat. Lanjutnya lagi, jika

basisnya terjadi sengketa maka dibenarkan bahwa Peradilan Agama yang

berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut ini sesuai dengan

Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Perbankan Syariah

dan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian

Ekonomi Syariah, akan tetapi jika tanpa adanya sengketa atau yang dalam

hal ini penetapan eksekusi arbitrase syariah maka berlaku norma hukum

yang limitative ditegaskan dalam Undang-Undang yang mengaturnya

karena penetapan itu bukan sengketa yang hakim tidak berhak memeriksa

perkara lagi.8

Namun berbeda pendapat dengan Zarkasyi, Hakim Pengadilan

Agama Jakarta Selatan berpendapat bahwa tidak terjadi kontradiktif antara

Peraturan Perundang-undangan yang dalam hal ini Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian sengketa dengan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 Tentang

8 Ismail Hasani, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 13 Maret 2018.

Page 96: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

85

Tata Cara Penyelesian Sengketa Ekonomi Syariah karena dilihat dari

terbitnya peraturan tersebut, yang mana hukum yang baru menghapus

hukum yang lama. Zarkasyi juga menjelaskan bahwa unsur kemunculan

peraturan Mahkamah Agung tersebut karena berdasar pada judicial

Riview Undang-Undang Perbankan Syariah yang memberikan dualisme

kewenangan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri untuk

menyelesaikan penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang kemudian

diputus oleh Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 . Semua

penyelesaian perkara atau sengketa yang menggunakan akad syariah

sudah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, termasuk juga penetapan

eksekusi arbitrase syariah yang mana hakim sudah tidak berhak

memeriksa perkara lagi. Zarkasyi, Menuturkan bahwa mahkota dari

proses penyelesaian sengketa secara litigasi atau non litigasi yaitu dengan

adanya eksekusi, jadi sudah jelas bahwa yang berwenang mengeksekusi

putusan arbitrase syariah yaitu Pengadilan Agama dengan merujuk

Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah, putusan

Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012, dan Peraturan Mahkamah

Agung (PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syariah.9

Menurut Djauhari, dosen Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Jakarta yang juga sekaligus sekretaris Badan Arbitrase

Syariah Nasional (BASYARNAS) menuturkan bahwa menarik untuk

dikaji terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut, karena

dilihat dari sisi historisnya Mahkamah Agung tidak konsisten dengan

peraturan eksekusi putusan arbitrase syariah yang telah dikeluarkannya

yang mana PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah bertentangan dengan Undang-

9 Zarkasyi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, interview Pribadi, Pasar Minggu,

29 Maret 2018.

Page 97: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

86

Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar atau payung hukum

dengan terlaksananya penyelesaian sengketa secara non litigasi yang

dalam hal ini yaitu arbitrase. Namun secara praktisi hukum, Djauhari

sebagai sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

tunduk dan mengikuti Peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan

mendaftarkan salinan resmi putusan arbitrase syariah kepada Pengadilan

Agama Jakarta Timur.10

Menurut Achmad Guntur, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan berpendapat bahwa Peraturan Mahkamah Agung pasti diikuti oleh

pengadilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung meskipun di

dalam Peraturan Undang-Undang dibagi menjadi 2 (dua) pengaturan yang

artinya bisa menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Agama atau

Pengadilan Negeri, karena dengan adanya penegasan peraturan dari

Mahkamah Agung untuk menghindari dualisme dari Peraturan Perundang-

Undangan yang lebih tinggi yang jelas mengatur peraturan yang sama

yang dalam hal ini yaitu pengaturan wewenang eksekusi putusan arbitrase

syariah. Achmad Guntur juga menuturkan bahwa Peraturan Mahkamah

Agung yang dalam hal ini PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata

Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah bukan mengalahkan

peraturan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Arbitrase yang secara

hierarki peraturan perundang-undangan kedudukan Undang-Undang

tersebut tidak bisa dikalahkan oleh Peraturan Mahkamah Agung, namun

dalam hal ini termasuk suatu penegasan dari Mahkamah Agung terhadap

peradilan yang berada dibawahnya agar masyarakat tidak bingung dan

terjadi multi tafsir dengan adanya ketentuan undang-undang yang

mengatur peraturan yang sama namun pengaturan tersebut saling bertolak

belakang. Maka, pengadilan yang berada dibawah naungan Mahkamah

10

Djauhari, Sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional, interview Pribadi, Ciputat, 27

Maret 2018.

Page 98: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

87

Agung harus tunduk kepada Peraturan yang telah dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung karena bersifat wajib. Achmad Guntur juga

menjelaskan bahwa dengan adanya peraturan Mahkamah Agung tersebut

merupakan suatu kemajuan hukum karena memang harus dipisahkan

antara sengketa ekonomi syariah dengan sengketa yang konvensional dan

sudah jelas bahwa apapun bentuk transaksi bisnis dan ekonomi jika

menggunakan akad syariah sudah menjadi kewenangan Pengadilan Agama

jika suatu saat terjadi sengketa atau wan-prestasi.11

Menurut Mukhtar Lutfi, Direktur Pasca Sarjana Universitas

Muhammadiyah Jakarta yang sekaligus sebagai pengurus Badan Arbitrase

Syariah Nasional (BASYARNAS) menjelaskan bahwa adanya PERMA

Nomor 14 Tahun 2016 berlandaskan kepada Undang-Undang Nomor 50

Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan

kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan semua sengketa yang

menggunakan akad syariah. Selanjutnya, adanya PERMA tersebut

merupakan suatu diskresi.12

Menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan yang dimaksud Diskresi adalah

keputusan dan/ atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh

pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi

dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-

undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau

tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Namun,

penggunaannya harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan

tujuannya.

Lebih lanjut Mukhtar Lutfi memaparkan bahwa yang seharusnya di

amandemen karena rawan terjadinya konflik baru adalah Undang-Undang

11

Achmad Guntur, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, interview Pribadi, Pasar

Minggu, 2 April 2018. 12

Mukhtar Lutfi, Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, interview

Pribadi, 2 April 2018.

Page 99: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

88

Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa dengan merujuk atau mengikuti Undang-Undang Peradilan

Agama dan Undang-Undang Perbankan Syariah yang secara tegas

memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk melaksanakan

sengketa ekonomi syariah yang termasuk juga pelaksanaan eksekusi

putusan tersebut sehingga tidak lagi terjadinya disharmonisasi antara

peraturan perundang-undangan.

Mukhtar Lutfi berpendapat dan memposisikan diri sebagai ahli

hukum bahwa sebenarnya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tersebut tidak

sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, namun sebagai praktisi hukum harus mengikuti ketentuan

peraturan Mahkamah Agung yang mana puncak kekuasaan lembaga

peradilan adalah Mahkamah Agung, dan wajib bagi praktisi hukum atau

lembaga peradilan untuk taat dan patuh terhadap peraturan yang telah

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.

Berdasarkan uraian mengenai pendapat para ahli baik secara

akademisi maupun praktisi, Pada level kajian akademik hampir

keseluruhan akademisi menyatakan bahwa secara hierarki peraturan

perundang-undangan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah tidak boleh menyalahi Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Akan tetapi, dilihat dari fakta saat ini ternyata

putusan arbitrase syariah dalam hal ini Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS) yang telah dilangsungkan pada akhir tahun 2017 setelah

adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syariah yang kemudian diajukan penetapannya kepada

Pengadilan Agama telah memperoleh penetapan, terlepas apakah para

pihak bisa menerima putusan Pengadilan Agama atau tidak jika salah satu

dari kedua belah pihak ada yang tidak setuju dengan putusan

BASYARNAS.

Page 100: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

89

Namun, ada indikasi bahwa PERMA Nomor 14 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah belum

tersosialisasikan dengan baik pada level Pengadilan Agama sehingga saat

pihak BASYARNAS mengajukan pendaftaran putusan arbitrase syariah,

pihak pengadilan pun masih bertanya-tanya apakah pada saat ini menjadi

wewenang pengadilan agama atau tidak, sehingga pihak BASYARNAS

lebih dulu menjelaskan kepada pihak Pengadilan Agama Jakarta Timur

terkait adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang memberikan

kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk melaksanakan eksekusi

putusan arbitrase syariah. Dengan adanya fakta tersebut menunjukkan

bahwa pada saat ini permasalahan eksekusi putusan arbitrase syariah

belum selesai secara akademisi.

Penyelesaian konflik antar Peraturan perundang-undangan dengan

Peraturan Mahkamah Agung diatas masih menimbulkan perbedaan

pendapat dari berbagai pihak, namun dapat disimpulkan bahwa

kewenangan pelaksanaan putusan/ eksekusi arbitrase syariah yang dalam

hal ini BASYARNAS menjadi kewenangan Pengadilan Negeri

berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan hierarki peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, juga berdasar pada asas

perundang-undangan yaitu asas lex superiori derogate legi inferiori yaitu

peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada

pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hierarki norma

dan peraturan perundang-undangan.

Namun Pengadilan Agama juga mempunyai kewenangan

melaksanakan putusan arbitrase syariah tersebut dengan adanya Peraturan

Mahkamah Agung yang memberikan wewenang tersebut, yang mana

adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tersebut berlandaskan kepada

Page 101: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

90

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Oleh karena itu, demi kemajuan ekonomi syariah, Sudah saatnya

reformasi fundamental sistem alternative dispute resolution, maka harus

diupayakan adanya perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, karena

dengan adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah para praktisi hukum telah

mengikuti dan mendaftarkan putusan arbitrase syariah kepada Pengadilan

Agama meskipun pada implementasinya hanya ada satu putusan yang

telah didaftarkan. Maka PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata

Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah dengan Peraturan

Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak lagi terjadi disharmonisasi,

karena mahkota dari proses penyelesaian sengketa secara litigasi atau non

litigasi yaitu dengan adanya eksekusi, jadi yang berwenang mengeksekusi

putusan arbitrase syariah yaitu Pengadilan Agama dengan merujuk pada

Undang-Undang Nomor Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,

Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012. Selain itu juga agar

tidak terjadi perbedaan antara de facto dan de jure yang mana bahwa

secara de facto para praktisi hukum sudah mengimplementasikan PERMA

Nomor 14 Tahun 2016 namun secara de jure terjadi perdebatan antara para

akademisi dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tersebut.

Page 102: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

91

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat

memberikan kesimpulan dan saran, sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Eksekusi putusan arbitrase syariah diatur berdasarkan peraturan

perundang-undangan yaitu Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal

59 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 13 PERMA Nomor 14 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Dari

peraturan yang ada terdapat ketidaksinkronan antara Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

terhadap PERMA Nomor 14 Tahun 2016. Dilihat secara hierarkis

peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang No

12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan jelas

bahwa PERMA tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini berlaku juga

asas lex superior derogat legi inferior. Yaitu peraturan perundang-

undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada

jenjang lebih tinggi. Namun jika dikaitkan dengan asas lex specialis

derogat lex generalis maka Undang-Undang Arbitrase yang

dimenangkan karena secara khusus mengatur ketentuan arbitrase-nya,

namun secara materilnya Pengadilan Agama yang lebih berwenang

dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

2. Sejak adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, dari sekian lembaga mediasi

yang ada baru satu yang mengajukan pendaftaran penetapan salinan

resmi arbitrase syariah ke Pengadilan Agama, dan telah mendapatkan

Page 103: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

92

penetapan dari Pengadilan Agama. Fakta ini menunjukkan bahwa

meskipun secara hierarki peraturan perundang-undangan PERMA

Nomor 14 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang namun

secara implementasi lembaga mediasi yang ada telah mengikuti apa

yang ditetapkan oleh Peraturan Mahkamah Agung.

B. Saran

Model piranti hukum untuk menentukan langkah kedepan demi

kemajuan hukum maka harus diupayakan adanya amandemen atau

perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, karena secara idealisme hukum

yang tepat menangani sengketa syariah sampai dengan eksekusinya adalah

Pengadilan Agama. Dengan adanya PERMA Nomor 14 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah para praktisi

hukum telah mengikuti dan mendaftarkan salinan putusan arbitrase syariah

kepada Pengadilan Agama. Dengan dilakukannya amandemen terhadap

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 maka antara Peraturan Perundang-Undangan dengan

Peraturan Mahkamah Agung tidak lagi terjadi disharmonisasi.

Selain itu juga agar tidak terjadi perbedaan antara de facto dan de

jure yang mana bahwa secara de facto para praktisi hukum sudah

mengimplementasikan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 namun secara de

jure terjadi perdebatan antara para akademisi dengan adanya Peraturan

Mahkamah Agung tersebut.

Saran tersebut penulis sampaikan mengingat undang-undang

Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa merupakan payung hukum dari terselenggaranya penyelesaian

sengketa melalui arbitrase yang dalam hal ini juga termasuk arbitrase

syariah.

Page 104: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

93

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, Bandung : Refika Aditama,

2009.

Ali Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2007.

Azis Syamsudin, Praktek dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta.: Rajawali Press,

2010.

Cholid Narbuko dan H Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi

Angkasa, 2002.

Chairul Lutfi, Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan MK

No. 93/Puu-X/2012, UIN Maulana Malik Ibrahim.

Diana Rahmi, Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengadili

Sengketa Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN

Antasari.

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

Jakarta : Sinar Grafika, 2012.

Fathurrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, dalam Satria

Effendi M.Zein,et.al, Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta : Badan

Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994.

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional

Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama, 2006.

Gunawan widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2000.

Page 105: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

94

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan

Persoalan Kompetensi (Absolute) yang Tidak Pernah Selesai, Jakarta :

Kencana, 2008.

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, dalam Muhammad Arifin ,

Arbitrase Syariah sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan

Syariah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016.

H.R. Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung: PT Alumni,

1997.

H. Salim HS dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, Cet. 3, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.

Imam Jauhari, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam,

Yogyakarta : CV Budi Utama, 2017.

Khotibul Umam, Opini Konstitusi, Majalah Konstitusi edisi No. 79 September

2013.

Majalah Peradilan Agama, “Memperkuat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015,

Edisi 8.

Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung : Refika Aditama,

2011.

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta : Sinar Grafika, 2012.

Muhammad Arifin, Arbitrase Syariah Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa

Perbankan Syariah, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2016.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al

Qur’an, jilid 13, Jakarta: Lintera Hati, 2002.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media

Group, 2009.

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ;

Suatu Pengantar, Jakarta : PT Fikahati Aneska, 2011.

Page 106: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

95

Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta : Sinar

Grafika, 2012.

Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif , Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2002.

Ramlan Ginting, Hukum Arbitrase, Jakarta: Universitas Trisakti, 2016.

Rika Delfa Yona, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di

Indonesia, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 1

2014

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

2013.

Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT Raja Grafindo

Persada, 2007.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

2008.

Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2010.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-

undangan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan

Nasional (Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Page 107: YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI …€¦ · YURISDIKSI KEWENANGAN PENGADILAN TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE SYARIAH (Kajian Pasal 59 Ayat (3) UU Nomor 48 Tahun

96

Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan

Badan Arbitrase Syariah.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak

Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008

tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah.

PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Ekonomi Syariah.

Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Agama

https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Negeri

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-

produk-hukum-ma-perma--sema--fatwa--sk-kma

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd7d17d0e7d/perma-masih-jadi-

solusi-hukum-acara-perdata-di-indonesia

http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/pengumuman/Pages/Daftar-Lembaga-

Alternatif-Penyelesaian-Sengketa-di-Sektor-Jasa-Keuangan-.aspx

http://jokopas.blogspot.co.id/2013/09/asas-asas-dalam-peraturan-perundang.html

https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/01/21/eksistensi-basyarnas-dalam-

penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah/

Wawancara

Ismail Hasani, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 13 Maret

2018.

Achmad Guntur, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, interview Pribadi,

Pasar Minggu, 2 April 2018.

Djauhari, Sekretaris Badan Arbitrase Syariah Nasional, interview Pribadi,

Ciputat, 27 Maret 2018.

Mukhtar Lutfi, Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta,

interview Pribadi, 2 April 2018.

Nur Habibi, Dosen FSH UIN Jakarta, interview Pribadi, Ciputat, 5 Maret 2018.

Zarkasyi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, interview Pribadi, Pasar

Minggu, 29 Maret 2018.