yang berpengaruh kekambuhan pasien wahab...
TRANSCRIPT
「
FAKTOR.FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEKAMBUHAN PASIEN
PTERIGIUM POST OPERASI DI RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
lda Farida', Syamsul Hidayatb Nataniel Tandirogang'
"Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, SamarindabLaboratorium llmu Kesehatan Mata Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda"Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda
Korespondensi: [email protected]
Abstrak
Pterygium adalah penyakit konjungtiva yang memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi pasca operasi. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi rekurensi pterygium seperti jenis operasi. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui seberapa besar jenis operasi, usia, jenis kelamin dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi
kekambuhan post operatif pterygium. Metode penelitian adalah cross-sectionol dengan menggunakan data
sekunder rekam medis pada periode l Januari 2011 sampai 31 Desember 2015. Data yang diambil adalah datayang sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logistik.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa masing-masing faktor memiliki nilai p > 0,05, dimana faktor seks
memiliki nilai p dan OR masing-masing 0,08 dan L,23; faktor usia memiliki nilai p dan OR masing-masing 0,41
dan 7,02; dan faktor jenis operasi memiliki nilai p dan OR masing-masing 0,99 dan 0,46. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh factor-faktor tersebut dengan kejadian pterigium tidak signifikan. Kesimpulannya adalah
faktor jenis operasi, umur, jenis kelamin dan jenis pekerjaan tidak mempengaruhi kekambuhan post operatifpterygium dengan bore sclero dan outograft konjungtiva.
Kata kunci: kekambuhan pterygium, bore sclero, outogroft konjungtiva
Abstract
Pterygium is a conjunctival disease that have high level of recurrence postoperative. Many factors influence thereccurence of pterygium such as kind of operation. This reesearch aim to know how much the type ofoperation, age, sex and type of job affect postoperative recurrence of pterygium.This study is a cross-sectional
study, using secondary data in the medical record in the period 1 January 2011 - December 31, 2015 and thenselected according to the criteria specified investigators. The results will be analyzed using logistic
regression.Based on logistic regression analysis showed that each factor has a value ( p = > 0.05 ). Sex with a
value(OR=L.225)andvalues(p=O.Oll),agegetvalue(OR=1.0]-9)withvalues(p=0.+fS)andtypeofoperation value ( OR = 457370390.844 ) values ( p = 0.999 ), so the results are not meaningful. lt can be
concluded that there are not influence of the type of operation, age, sex and type ofjob against postoperativerecurrence of pterygium using the bare sclera and conjunctival autograft.The difference results with published
sources because there are other risk factors that can not be controlled.
Keywords: pterygium recurrence,bare sclera , conjunctival autograft
PENDAHUTUAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Biasanya pertumbuhan terjadi di celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan
puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Jika
pteregium membesar dan meluas ke daerah pupil
dapat mengganggu penglihatan.
Jurnal Kedokteran Mulawarmarr, 2018;4(1) 11
Penyebab pterigium diduga merupakan suatu
fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan, dan lingkungan yang berangin.
Sebagian besar pterigium sering terdapat pada orang
yang berada di lingkungan berangin, berdebu, atau
berpasir dan penuh sinar matahari. lndonesia
merupakan negara yang beriklim tropis dan dengan
paparan sinar ultraviolet yang tinggi oleh karena itu
angka kejadian pterigium cukup tinggi di lndoneisa.
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya
pterigium adalah usia, jenis kelamin dan aktivitas
luar ruangan. Pada usia tua banyak yang menderita
pterigium karena lebih sering dan lama beraktivitas
di luar ruangan serta lebih sering mengalami
gangguan pada mata. Dari hasil studi yang dilakukan
Gazzard di Kepulauan Riau menyebutkan pada usia
dibawah 21 tahun sebesar 1O% dan diatas 40 tahun
sebesar 16,8%. Penelitian di Cina tahun 2006
sebanyak 14,49% - 33,0to/o penduduk desa
menderita pterigium dan 2,9% penduduk kota,
karena penduduk desa lebih banyak yang bekerja di
luar ruangan seperti petani. Hal ini juga dibuktikan
pada penelitian yang dilakukan oleh Laszuarni di
Medan bahwa nelayan, petani dan kuli bangunan
53,5% menderita pterigium sedangkan guru, perawat
dan Pegawai Negeri Sipil 273%16. Penelitian yang
dilakukan oleh Liu et., al (2007) hampir tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebanyak
14,5%laki - laki di dunia menderita pterigium karena
memiliki ahivitas di luar ruangan lebih banyak dan
13,6%pada wanita.
Penatalaksanaan untuk pterigium tergantung
pada derajat pterigium yang diderita pasien. Pada
pterigium derajat ringan disarankan untuk
menghindari debu, sinar matahari serta diberikan
obat topikal, vasokonstriktor dan kortikosteroid
untuk menghilangkan gejalae. Tindakan bedah
dilakukan pada pterigium derajat berat karena sudah
t2 Jurlral (*dokiera* ltriulawarr-lan, 2018: 4i1i
mengganggu penglihatan pasien. Metode bedah
yang dilakukan adalah bare sclero, sliding flap,
rotionol flop, conjunctivol autogroft,
conju nctivolimbol o utograft daa o mniotic membro ne
tronsplontotion. Metode yang sering digunakan
sampai saat ini adalah bore sclera dan conjunctivol
outogroft.
Keberhasilan penanganan pterigium adalah
tantangan untuk dokter mata karena tingkat
kekambuhan yang tinggi 2,1% menjadi 87%. Metode
bore sclero dengan cara melakukan eksisi dapat
menimbulkan kekambuhan antara 24%-89%
sedangkan transplantasi menimbulkan kekambuhan
2%-40%. Tingkat kekambuhan pasca ekstirpasi di
lndonesia berkisar 35% - 52%. Penelitian yang
dilakukan oleh (Swastika, 2008) menyebutkan bahwa
kekambuhan terbanyak pada laki - laki 60% dengan
metode bore sclero sedangkan metode conjunctivol
outogroft lebih banyak terjadi kekambuhan pada
wanita 83,33% namun hasilnya belum mendapatkan
cukup bukti karena pada penelitian terdahulu
dengan hasil yang berbeda. Pada usia kurang dari 40
tahun lebih sering mengalami kekambuhan dengan
metode bore sclero dan usia lebih atau sama dengan
40 tahun dengan metode conjunctival autogroft
lebih banyak mengalami ke kambuhan. Kekambuhan
akibat lingkungan kerja luar ruangan dengan metode
bore sclera 90% dan 83,33% menimbulkan
kekambuhan dengan metode conjunctivol autogroft
pada lingkungan kerja dalam ruangan. Kekambuhan
lebih dipengaruhi oleh letak geografis, pekerjaan dan
kebiasaan hidup.
Kekambuhan pterigium merupakan
pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskular
konjungtiva ke kornea pada bekas pembedahan.
Gazzard et ol., l2OO2), menyebutkan kekambuhan
pterigium ditandai dengan adanya jaringan granulasi
dan neurovaskularisasi pada daerah bekas bedah
ISSN 2443-0439
serta dijumpai jaringan yang menyerupai konju ngtiva
yang bertumbuh ke arah kornea. Tanda khas ini
biasanya muncul 2 minggu sampai 4 bulan pasca
bedah dengan gambaran patologi fibroblas dan
fibrovaskular yang meningkat.
Dari latar belakang diatas terlihat bahwa
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kekambuhan pterigium post operasi, Hal ini
menimbulkan pertanyaan seberapa besar faktor-
faktor tersebut memberikan konstribusi terhadap
kekambuhan pterigium post operasi dan apakah
faktor-faktor tersebut berdiri sendiri atau secara
bersamaan dapat menyebabkan kekambuhan
pterigium post operasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahu Disini peneliti tertarik untuk
menelitifaktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kekambuhan pasien pterigium post operasi di unit
bagian mata di RSUD A.W. Sjahranie Samarinda
untuk menimalisirkan kekambuhan yang terjadi pada
pasien pterigium. Dengan mengetahui faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kekambuhan pasien
pterigium post operasi diharapkan dapat
menimalisirkan kekambuhan yang terjadi pada
pasien pterigium.
Penelitian ini bertujuan untukTujuan
dilakukannya penelitian ini adalah Untuk mengetahui
perbedaan antara jenis operasi bore sclero dan
conjunctivol autogroft yang mempengaruhi
terjadinya kekambuhan pterigium post operasi,
mengetahui pengaruh usia, jenis kelamin dan jenis
pekerjaan sebagai faktor kekambuhan pterigium post
operasi dan untuk mengetahui seberapa besar jenis
operasi, usia, jenis kelamin dan jenis pekerjaan
memberikan pengaruh terhadap kekambuhan
pterigium post operasi di unit bagian mata RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Manfaat penelitian bagi praktisi medis adalah
untuk memberikan gambaran faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kekambuhan pterigium post
operasi di unit bagian mata di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda, manfaat ilmiah bagi institusi
pendidikan kedokteran, yaitu penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan
acuan bagi peneliti selanjutnya dan manfaat bagi
peneliti yaitu menambah wawasan ilmiah dan
pengetahuan penulis tentang faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kekambuhan pasien
pterigium post operasi.
METODE PENELITIAN
Penelitan ini adalah menggunakan jenis
penelitian bersifatanalitik cross sectional. Metode
penelitian analitikuntuk menjelaskan hubungan
antara faktor - faktor yang berpengaruh terhadap
kekambuhan pasien pterigium post operasi metode
bare sclera dengan conjunctivol outogroft di rsud
abdul wahab sjahranie samarinda.
Cara pengambilan data dengan menggunakan
data sekunde yang Data sekunder diperoleh dari
data rekam medik pasien rawat inap dengan
diagnosa Pterigium di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda periode 01 Januari 2Ot4 - 31 Desember
2015. ObjekResponden penelitian ini adalah seluruh
pasien pterigium yang menjalani operasi bore sclero
alau conjunctivol outogroft danyang mengalami
kekambuhan post operasi di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda selama periode 01 Januari
2OL4-3L Desember 2015 dan memenuhi kriteria
inklusi. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini
yaitu pasien pterigium dengan perlakuan operasi
bore sclero atau conjunctivol qutagroft dan yang
mengalami kekambuhan post operasi di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda. Kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah pasien dengan data rekam
medis yang tidak lengkap atau tidak mencantumkan
j r: in a i i'.e rir.ri<te ran lvl u ia wa i':i'r ;r,, 2i)!8; 4i 1 ) 13
variabe: yang dite:iti o:eh pene:iti dan pasien vang
tidak dapat dihubungi Oleh pene‖ ti.
Variabel pene!itian ini adalah ieniS Operasi
pterigium′ kekarnbuhan pterigium ροst operasi′ usia
pasien yang menialani Operasi pterigium′ ienis
ke:amin pasien yang menia:ani Operasi pterigium dan
ieniS pekettaan paSien vang meniaiani Operasi
pterigiurn.
Data yang diperoleh ditabulasikan menurut
frekuensi distribusi dan presentase.Pengoiahan data
d‖ akukan dengan menggunakan sけ wareMiCrosar
″Ord 201l dan SPSS Statistics y20‐ 32わたPenvalian
data dilakukan da!am bentuk narasi dan
tabel.Analisis univariat di!akukan dengan
menghitung frekuensi dan ditampi:kan da:am bentuk
tabe!/gra■ k,sedangkan ana:もヽ b市anat dibkukan
dengan membandingkan masing‐ masing faktor
resiko terhadap kekambuhan pterigium ροst operasi
vang dihitung berdasarkan persamaan regresi:ogistik
dengan menentukan OR{Odds RatFO)pada Setiap
tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pene:itian ini menggunakan data sekunder dari
ruamg data rekam medik RSUD Abdu: Wahab
Siahranie samannda selama pe‖ ode 01 Januan
2014‐ 31 Desember 2015, Ditemukan Terdapat 73
kasus pterigium post operasi. Sebanyak 47 kasus
teriadi pada tahun 2014 dan 26 kasus pada tahun
2015. Sebanvak 57 kasus yang memenuhi kriteria
ink!usi. Sedangkan 16 kasus diekslusi karena tidak
memenuhi kriteria inklusi.
Data Hasi! penelitian vang dituniukkan pada
Tabe1 l memperlihatkan menuttukkan bahwa
frekuensi pterigium ρost operasi paiing banyak
ditemukan pada kelompok usia 41‐65 tahun
sebanvak 32 kasus{56′ 1%).POSiSi kedua ke!ompok
14 Jurnal KedokteFan Mulawarrran,2018,4(1)
usia 31-40 tahun sebanyak 11 kasus (19,3%) serta
kelompok usia 21-30 tahun terdapat 7 kasus (12,3%1.
Tabel 1. Distribusi frekuensi sampel berdasarkan usia
Jumlah Persentase
5′3%12,3%
19,3%
56′ 1%
7′0%
Total
Sedangkan pada kelompok usia >65 tahun ada 4
kasus (7,0%l dan kelompok usia <20 tahun
ditemukan 3 kasus (5,3%).
Tabel 2. Distribusi frekuensi sampel berdasarkanjenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
く20
21‐30
31-40
41‐65
>65
3
7
11
32
4
Laki‐Laki
perempuan34
23
59′6%40,4%
100%
Data hasil penelitian yang ditunjukan pada
Tabel 2 memperlihatkan bahwa selama periode
2014-20L5, frekuensi pterigium post operasi lebih
banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan
sebesar 34 kasus {.59,6%1, sedangkan untuk
pterigium post operasi yang berjenis kelamin
perempuan sebesar 23 kasus (40,4%1.
Tabel 3. Distribusi frekuensi sampel berdasarkanjenis pekerjaan
lenis Pekeriaan Jumlah Persentase
Dalam
Ruangan
Luar Ruangan
Tota: 100%
Data hasil penelitian yang ditunjukkan pada
Tabel 3 memperlihatkan menunjukkan bahwa
frekuensi pterigium post operasi paling banyak
5
8
38,5%
61′ 5%
iSSN 2443-0439
Total
-
ditemukan pada kelompok yang bekerja luar ruangan
sebanyak 8 kasus 161,5%1, sedangkan kelompok yang
bekerja dalam ruangan sebanyak 5 kasus (38,5%).
Tetapi data tersebut sebenarnya tidak dapat
didefinisikan karena jumlah sampel variabel yang
didapat tidak sebanding dengan jumlah sampel
variabel yang lainnya.
Data hasll penelitian yang ditunjukan pada
tabel 4 memperlihatkan bahwa selama periode 2014
- 2015, jenis operasi paling sering digunakan adalah
conjunctivol outogroft sebanyak 50 kasus (87,7%l
dan bare sclero sebanyak 7 kasus (72,3%1.
Tabel 4. Distribusi frekuensi sampel berdasarkanjenis operasi
Jenis Operasi Jumlah Presentase
sclero. Tabel 5 menunjukkan bahwa kekambuhan
pterigium post operasi didapatkan pada jenis operasi
conjunctival o utog rafi .
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kekambuhan PterigiumPost Operasi Berdasarkan Jenis Operasi di RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
jenis Operasi Kambuh
Tidak Ya
Bore Sclero
ConjuncvtivolAutogrofi
0
17,5
Totai 100%
Analisis Univariat
Penelitian menunjukkan bahwa sampel yang
mengalami kekambuhan post operasi paling banyak
pada jenis operasi conjunctivol outogroft, Yaitu
sebanyak 10 kasus lL7,SYol sebagaimana yang dapat
dilihat pada Tabel 5 dan sampel yang banyak
mengalami kekambuhan terjadi pada usia antara 41-
65 tahun yaitu 6 kasus (60%).
Untuk jenis kelamin yang banyak mengalami
kekambuhan adalah pada laki-laki 5 kasus (60%)
sedangkan perempuan 4 kasus l4O%1. Jenis
pekerjaan tidak terdapat adanya perbedaan dari
sampel mengalami kekambuhan pekerja dalam
ruangan 5 kasus (50%) begitu juga dengan pekerja di
luar ruangan 5 kasus {50%) pada Tabel 6.
Analisis Bivariat
Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan
kekambuhan posf operasi pada jenis operasi bore
57 77,5
Pada Tabel 7 didapatkan hasll uji analisis
didapatkan jenis kelamin dengan nilai (OR = 1,226)
dan nilai @ = A,077), usia didapatkan nilai {OR =
1,019) dengan nilai (p = 0,418) dan jenis operasi nilai
(OR = 457370390.844) nilai (p = 0,999). Dari masing -masing setiap faktor yang berpengaruh terhadap
kekambuhan pterigium post operasi mendapatkan
nilai (p = > 0,05). Maka disimpulkan tidak terdapat
adanya pengaruh antara jenis kelamin, usia serta
jenis operasi bare sclera dan conjunctivol outograft
terhadap terjadinya kekambuhan pterigium post
operasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Berdasarkan hasil penelitian, pasien pterigium
post operasi lebih banyak pada kelompok usia 41 -
65 tahun yaitu sebanyak 32 orang (55,1%). Hal ini
sesuai dengan epidemiologi pterigium bahwa
prevalensi akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. lnsiden tertinggi antara usia 20-
49 tahun tetapi jarang ditemukan pada usia 20
tahun. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Syukri et al., 112072l,
yang menyebutkan bahwa pasien pterigium di
BKMM (Balai Kesehatan Mata Masyarakat) Sulawesi
Selatan mayoritas berusia 50 tahun.
Di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda,
..r).1 . :: | '.:. , .,,:;, :--) . -:: .: ' 15
Bore Sclera
ConjunctivolAutogroft
72,3%
87,7%
7
5。
Jenis operasi yang lebih sering dipilih untuk tindakan
operasi pterigium di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarindaadalah conjunctivol outogrofi, yaitu
sebanyak 50 kasus (.87,7%1. Kenyon et ol., (t9851
yang pertama kali menjelaskan bahwa operasi
pterigium dengan mengBunakan conjunctivol
outogroft efektif untuk menurunkan resiko
kekambuhan pterigium post operasi. Sejak saat itu
conjunctivol outogroft merupakan pilihan primer
untuk penanganan pterigium.
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Kekambuhan PterigiumPosf Operasi Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan
Jenis Pekerjaan di RSUD Abdul Wahab SjahranieSamarinda
Variabel Junllah
{"=101
く20
21-30
31‐40
41‐65
>65
Jenis Ke:amin
Laki‐ laki
Perempuan
6
4
Jenis Pekerjaan
Dalam ruangan
Luar ruangan
5
5
Analisis Univariat
Tabel 5 menunjukkan bahwa kekambuhan
pterigium post operasi ada pada kelompok
conjunctivol outogroft sebanyak 10 kasus 117,5%1.
Hasil operasi conjunctival outogroft memangrelatif
rendah untuk menimbulkan kekambuhan tetapi
sebagai teknik ia lebih sulitla. Sehingga tidak
menutup ke mu ngkina n conj u n cti vo I o utog roft untuk
menimbulkan kekambuhan karena selain tekniknya
yang lebih sulit, sebagai seorang ahli juga harus tahu
mekanisme dari kekambuhan pterigium post operasi.
Penelitian yang dilakukan Kwon & Kim (2015)
menyebutkan terdapat 14 kasus pterigium yang
menjaf a ni operasi dengan menggu nakan conjun ctivo I
outograft dan didapatkan 5 kasus yang mengalami
kekambuhan secara signifikan.
Dari Tabel 6 terlihat pada usia antara 41-65
yang paling banyak mengalami kekambuhan post
operasi yaitu 6 kasus (60%l.Dari beberapa penelitian
tidak terdapat hasil yang signifikan untuk usia namun
penelitian yang dilakukan oleh Youngson (1972)
menyebutkan bahwa terdapat jumlah lebih besar
pada usia yang lebih muda dengan nilai media 44
tahun dari rentang usia 24-7L. Penelitian Youngson
(1972) sejalan dengan penenelitian yang dilakukan
oleh Zauberman (1967) di lsrael yang disebabkan
karena lesi pada usia muda lebih aktif. Jenis kelamin
yang mengalami kekambuhan post operasi banyak
pada laki-laki 6 kasus (60%)2s. Elder (1965)
menyebutkan laki-laki lebih sering mengalami
kekambuhan karena berhubungan dengan pekerjaan
dan lebih sering berada di luar ruangan. Sejalan
dengan pernyataan Elder (1965), dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rao et o/., {1998) bahwa laki-laki
lebih banyak mengalami kekambuhan sebanyak 47
kasus l,58,75%l dan 33 kasus (4t,25%l pada
perempuan. Dari jenis pekerjaan tidak memiliki
perbedaan yanB bermakna karena baik yang di
dalam ruangan maupun di luar ruangan memiliki
persentase yang sama 50 kasus (50%f '21.
0
2。
2。
60
0
0
2
2
6
0
0
0
6
4
0
0
5
5
t6 Jurnal Kedokteran Mulawarman,2OLS; 4t7| lSSN 2443-0439
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kekambuhan Pterigium Post Operasi diRSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
VVa:d df Sig. Exp(3)
950/.C.l for
EXP(B)
Lower Upper
Jenis
Kelamin(1).732 1 ,781 5,149
Step lキ .655 1 418 1.019 1.066
Jenis Operasi(1) 19.941 15156.382 .000 1 .999 457370390.844
Consta nt -22.260 15156.382 000 1 999 .000
a.Variable(s) entered on step 1: Jenis Kelamin, Umur, Jenis Operasi.
Woodcock et ol., (z0ltl menyebutkan bahwa tidak
ada hubungan antara pekerjaan dengan
kekambuhan pterigium karena dari banyak
penelitian yang dilakukan terjadinya pterigium dan
kekambuhan pterigium berhubungan dengan
lamanya terpapar sinar ultraviolet. Penelitian yang
dilakukan oleh Lima dan Manuputty (2014) juga tidak
mendapatkan hasil yang bermakna.2
Analisis Bivariat
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis
statistik regresi logistik menunjukkan tidak terdapat
adanya perbedaan antara jenis operasi bare sclero
dan conjunctivol autografi yang mempengaruhi
terjadinya kekambuhan pterigium post operasi di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan
nilai sig. lebih dari 0,05. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Swastika di
Semarang(Swastika, 2008) yang juga menyatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti antara
jenis operasi bore sclera dan conjunctivol autogroft
terhadap angka terjadinya kekambuhan.
Tantangan utama pada operasi pterigium
adalah mencegah kekambuhan, laporan - laporan
angka
kekambuhan banyak yang tidak sesuai. Kekambuhan
pterigium merupakan pertumbuhan kembali jaringan
fibrovaskular konjungtiva ke kornea pada bekas
pembedahan.
Mekanisme kekambuhan pterigium tidak
berbeda dengan mekanisme pterigium primer.
Patogenesis pterigium berhubungan dengan ekspresi
okogen p53, tranformasi fibroblas dan perubahan
sitokin seperti Tronslorming Growth Factor Beto
(TCF-B) serta aktivitas maktriks metolloproteinose.
Sinar ultraviolet menyebabkan mutasi tumor
supresor gen p53, yang kemudian memfasilitasi
proliferasi abnormal dari epitel limbus. Sinar
ultraviolet juga dapat menyebabkan perubahan
histologis sel epitel, yaitu jaringan subepitel
menunjukkan elastosis senilis (degenerasi basofilik)
dari substansia propria dengan jaringan kolagen
abnormal. Terjadi disolusi membran Bowmon yang
diikuti oleh invasi kornea superfisial, akibatnya fungsi
borier limbus tidak ada sehingga konjungtiva yang
mengalami inflamasi dan degenerasi dapat dengan
mudah menjalar melewati limbus menuju kornea
dan membentuk jaringan pterigium di daerah
interpalpebra (celah kelopak).
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat
sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan
dengan bagian konjungtiva yang lain karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva
juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung
akibat pantulan dari hidung. Oleh karena itu pada
bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.
.J i.r rn a i fi.e iokie ra n M u ia'wa rmar-., 20 i8 ; 4(ii t7
Peran paparan UV kronis dalam patogenesis
pterigium didukung oleh studi epidemiologi dan
asosiasi klinis. Radiasi ultraviolet yang kronis sangat
berperan pada patogenesis terjadinya pterigium.
Sinar UV-B merupakan UV yang dominan di absorbsi
jaringan mata, dimana sinar ini dapat menyebabkan
trauma pada epitel konjungtiva serta perubahan
fungsi dan biokimiawi jaringan. Kerusakan jaringan
akibat UV disebabkan adanya reaksi intermediet
yaitu sebuah reaksi pembentukan molekul-molekul
tanpa ikatan elektron yang dikenal terbentuknya
prekursor kolagen yang abnormal dan
mengakibatkan terjadinya degenerasi hialin.
Radiasi sinar UV dapat juga menyebabkan
mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53,
sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini
secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini
menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari
proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks
metalloproteinose (MMP) dan jaringan inhibitor
metalloproteinoses tMMPs) tissue inhibitor motriks
metolloproteinoses (TlMPs) pada tepi pterigium
mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi,
tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi
ciri pterigium, serta kerusakan membran bowman
dan invasi pterigium ke dalam kornea. Sinar UV
menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor
TP53 di sel basal limbal dan fibroblast etastik gen di
epitel limbal karena kerusakan pada program
apoptosis p53 oleh sinar UV, hal ini menyebabkan
multi step perkembangan pterigium dan tumor sel
limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel limbal.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Kwon &
Kim" (2015) mendapatkan beberapa kemungkinan
penyebab kekambuhan dari pteregium post operasi
dengan menggunakan conjunctivol autograft yaitu,
proliferasi dari jaringan pterigium yang belum
dieksisi selain itu juga dapat disebabkan karena
epitelnya yang cacat sehingga menyebabkan
proliferasi lebih agresif. Proliferasi epitel yang cacat
tumbuh pelan - pelan sehingga menjadi penghalang
untuk epitel yang sehat tumbuh.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yanB
telah dilakukan, dapat disimpulkan, yaitu :
1. Berdasarkan konsultasi dengan ahliT tidak
terdapat adanya perbedaan antara jenis operasi
bore sclera dan conjunctivol outogroft yang
mempengaruhi terjadinya kekambuhan
pterigiu m post operasi.
2. Berdasarkan konsultasi dengan ahliy tidak
terdapat adanya hubungan antara usia, jenis
kelamin dan jenis pekerjaan dengan faktor
terjadinya kekambuhan pterigium post operasi.
3. Berdasarkan konsultasi dengan ahliT tidak
terdapat adanya pengaruh antara jenis operasi,
usia, jenis kelamin dan jenis pekerjaan terhadap
kekambuhan pterigium post operasi.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa
saran yang sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian ulang dengan sampel
penelitian yang lebih besar.
2. Diharapkan adanya kelengkapan data rekam
medis secara teliti di RSUD Abdul wahab
Sjahranie Samarinda.
18 Jur*a[ Kedokteran Mulawarm an, 2078; 4(1] iSSN 2443‐ 0439
DAFTAR PUSTAKA
l. A‖ an, B.′ Sho軋 P.′ & Crawford′ G.{1988).Pinguecuia and Pterygia. Sury Oρ 力!力armοみ 32
{41),9.
2. Aminiari, A., Singh′ R.′ & Liang, D.(2010).Management of Pterygium.Opわめα′隣た Pcarrs
COrFea.
3. Dushku′ N.′ John′ K.′ Schultz′ S.′ & Reid, W.
(2001). COrneal invasion by MatrixMetal:oproteinase ExpreSsing Aitered Limbal
Ephiteilal Basal Ce‖ s.Pre句燿ガα PhalogeresrsP 13.
4. Dushku, N.′ & Reid, T. (1994).Imrnnunohistochemica: Evidence That Humanpterygia Originate From an invaston of Vimentin‐
Expressing Aitered Lirnbal Epitheliai Basai Celis.
Curr Eソ e Resr 13(473)′ 81.
5. Dzunic,3.′ &Jovanovic, P.{2010).Analysis of
Pathohisto:ogicai Characteristics of Pterygium .
3os″Far Joυ rra′ o/3asた Medicar scierce′ ユo13.
6. Ekantini′ Rり Suhard,o,&Kathmansyah.(2006).
Successfu: of Cs2mak MOdification and sclera
Merest Methods w:th ApplicatiOn of Mitomycin
C in PHmary Pterygium. Kumpura″ Makaraカ
κO″gres IVas′ο,a′ 32 perdamら 9,
7.Elder Duke S.System●J Oρ力tharmOrOgy(■965).
(Vo:.8).Henry KimptOn.London′ 573-582.
8.[rry.MulyanL u.A.′ &Susilowati′ D.(2011).
Distribusi dan Karakteristik Pterigium indonesia.
Buretin Pa″ aritian sistem Kese力 σta19r 14,84-89.
日shet p.(2015).Pterygium.Departmart ofOp力働a′膚Orogy.
9. Francisco′ J.′ Ferrer,G.,Schwab′ l.′ &Shet:ar,D.
{2014).1/aυ gわα″&Asわ tr7 0ra′morog′ t/mυ膚
〔17 ed,).Jakarta:EGC.
10.Gazzard, G.′ Saw, S.′ Faroot M.′ Koh, D.′
Widia"a,D.′ &Chia,S.〔2002).Pterygium in
indonesia prevalance Severity and Risk Factors.
3ritis力 Joυ
“σ′oJ oρわめarmο rOgy7 8ら 1341-
1346.
11.Ho::and′ E.′ &Mannis,M.{2002).OGurarsuFare
D′sease Л"edica′
●″dSurgicar Manageme″ i NewYork.
12.‖ yas′ S.′ &Yunanu,s.(2013).′ 麟υ Perya″t
Mαla.Jakarta:FKUI.
13. KenyOn, K.′ Wagoneら M.′ & HettingerJ M.
(1985〕 . ConiunctiVa:Autograft Transp:antation
for Advance and Recurrent pterygium.
Oρ力働araOrogyr 92(1461),70.
14. Kwon,S.H.′ &Kim,K.H.(2015).Analysis ofRecurrence Patterns Folowing Pterygium
Surgery With Coniunctival Autografts,Madirine
,4(4).
15.Las2uarni.(2009).Prevarersf agrigル ″ ″
Kabtrpatep l●ng々at universitas Sumatera Utara,
1:rnu Kesehatan Mata.
16.Liu′ L.′ Wu′ J.′ Yuan,Z.′ &Huangr D.(2013).
6oograp力たo′ Prevare″ εe a″JRお F々actors for
PterygilJa.BMJ OPEN.
17. Lu,P.′ Chen′ X.′ Kangじ Y.′ Ke′ L.,Wei′ X.′ a zhangr
W.{2007).PFerygilJ""ribetans a PoptrratiOrl
Based StJdy"G力"a.Amenncan Academy ofOphthiamoiogy.
18. McCa疇,A.C.′ Fu′ L.C.′ &Tav!oL R.H.{2000〕 .
Epidemio:ogv of Pterygium in Victoria,Austra‖ a.
BrJ Ophめ●′moみ 84′ 289‐292`
19.Putra′ A.{2003}・ Penata:aksanaan Pterigium.
MaJ.κedo々θtera″ ハtma rayら 2.Raiu′ K.′ Chandra′
A.′ & Doctoら R.{2008),Management ofpterygium.KereraJournar oJορヵ
"働armol。9,4.
20。 Rao S t T.Lekha′ B,N.Mukesh{1998).conJunctiva卜 Limbal Autograft for Primary and
Recurrent Pterygla."dla″ Joυrrlar Or
Op力働α″ηOrogy.{Voi.46)′ 203-209,
21.Sharma′ K.,Wa‖′V.′ & Pandita′ A.(2004}.corneai ConiunctiVal Auto Grafting in Pterygium.
POstgradllate Dep● ■mm=oo/Ophttα′笏o′οgy74.
JurnaI Kedokteran Mulawarman, 2018;4(1] 19
「
「
22.Soewono,W.′ Oetomo,M.′ &Eddyanto.(2006).
Pterigivm pedoma″ Diagnosls dar rerapi
Bag.SMFi:mu penvakit Mata
23.Swastika′ M.〔2008).Parbedaa″ 降ka″わ″わα″Pasca Fkstirpas′ PFerygium Malode 3are Screra
crergO■ cOttυ″ctiVα′ ハυtog″ヵ Universitas
DipOnegoro.
24.Youngson,R.M.{1972}.R“ tlrrerce orρ に,J臨a■er eКiSiO″ (Vol.56).Brit.F.Ophthal.
25,Woodcock,M.′ Huntbach′ J.,Scott′ R{2011).パ
Gase oF σ tJr7わ‐ι″rar pteryg′ JIm ttrate」 tO σ″Urtrstrar OccJpatior. J R Army Med Corps
149(1):56‐ 7.
20 Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2O78; a$l ISSN 2443‐ 0439