wrap up sken 1

41
SKENARIO 1 MATA DIOBATI MENJADI BUTA Tidak terima matanya menjadi buta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari lembaga bantuan hukum kesehatan, mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan malpraktek dokter., Waldensius Girsang di rumah sakit Jakarta Eye Center. Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, terdapat kemerahan pada mata, penglihatan kabur, kepekaan terhadap cahaya (ketakutan di potret), gelap, dan mata sakit sudah disampaikan kepada Dokter Fikri Umar Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit Uveitis Tuberkulosa. Namun beberapa hari kemudian, setelah ditangani oleh dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali berfungsi normal atau menjadi buta. Sementara itu Dokter Purba yang ditemuai di Rumah Sakit Jakarta Eye Center membantah telah melakukan malpraktek terhadap Haslinda. Dalam pengaduannya ke ruang pengaduan Polda Metro Jaya, Haslinda warga kayu mas, Pulo Gadung, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril kepada Dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eye Center sebagai pihak yang diduga melakukan malpraktek. Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan : 1. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 2. Kitab UU Hukum Pidana 3. Kitab UU Hukum Perdata 4. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 5. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 6. UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit 7. Kode Etik Kedokteran 8. UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 1

Upload: rizki-faujiah-munandar

Post on 24-Nov-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SKENARIO 1MATA DIOBATI MENJADI BUTATidak terima matanya menjadi buta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari lembaga bantuan hukum kesehatan, mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan malpraktek dokter., Waldensius Girsang di rumah sakit Jakarta Eye Center.Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, terdapat kemerahan pada mata, penglihatan kabur, kepekaan terhadap cahaya (ketakutan di potret), gelap, dan mata sakit sudah disampaikan kepada Dokter Fikri Umar Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit Uveitis Tuberkulosa. Namun beberapa hari kemudian, setelah ditangani oleh dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali berfungsi normal atau menjadi buta. Sementara itu Dokter Purba yang ditemuai di Rumah Sakit Jakarta Eye Center membantah telah melakukan malpraktek terhadap Haslinda. Dalam pengaduannya ke ruang pengaduan Polda Metro Jaya, Haslinda warga kayu mas, Pulo Gadung, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril kepada Dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eye Center sebagai pihak yang diduga melakukan malpraktek.Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan :1. Pasal 27 ayat 1 UUD 19452. Kitab UU Hukum Pidana 3. Kitab UU Hukum Perdata4. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan5. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran6. UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit7. Kode Etik Kedokteran8. UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

SASARAN BELAJAR

LI 1. Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang MalpraktekLI 2. Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Inform ConsentLI 3. Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Malpraktek dalam Islam

LI 1. Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang MalpraktekA. PENGERTIANIstilah "malpraktek" yang sudah dikenal diantara para tenaga kesehatan di Indonesia sebenarnya hanya merupakan salah satu bentuk "Medical Malpractice" yaitu "Medical Negligence" yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Kelalaian Medis. Malpraktek adalah kelalaian kaum profesi yang terjadi dalam melaksanakan profesinya. Seseorang dianggap lalai, apabila ia telah bertindak kurang hati-hati, acuh terhadap kepentingan orang lain, walaupun tidak dilakukan dengan sengaja dan akibat itu tidak dikehendakinya. Kalau unsur kelalaian itu dijadikan alasan untuk mengadukan dokter ke pengadilan, maka terjadi apa yang disebut "tuduhan malpraktek". Jadi "Kelalaian" adalah suatu kejadian akibat dokter tidak menjalankan tugas profesinya sebagaimana seharusnya. (Soeprapto, ed, 2006 )

B. JENISKelalaiandapatterjadidalam3bentuk,yaitumalfeasance,misfeasancedan nonfeasance: Malfeasanceberartimelakukantindakanyangmelanggarhokum atau tidaktepat/layak(unlawfulatauimproper),misalnyamelakukan tindakanmedistanpaindikasi yang memadai. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakandengan tidak tepat (improper performance),yaitu misalnya melakukan tindakan medisdengan menyalahi prosedur Nonfeasanceadalah tidakmelakukan tindakanmedis yangmerupakan kewajibanbaginya.Bentuk-bentukkelalaiandiatassejalandengan bentuk-bentukerror(mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsurkelalaiandalam hukum khususnyaadanyakerugian, sedangkan errortidak selalu mengakibatkankerugian.

Demikianpulaadanyalatenterroryangtidaksecara langsung menimbulkan dampak buruk .Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:1. Dutyatau kewajiban dokter dandokter gigi untukmelakukan sesuatu tindakanatauuntuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasidan kondisi yang tertentu.2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajibantersebut.3. Damageataukerugian,yaitusegalasesuatuyangdirasakanolehpasiensebagaikerugian akibatdarilayanankesehatan/kedokteranyangdiberikanolehpemberilayanan.4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapathubungansebab akibatantarapenyimpangankewajibandengankerugianyang setidaknya merupakan proximate cause.

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).

1. Malpraktek EtikYang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain : Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis. Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :a. Dibidang diagnostikPemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.b. Dibidang terapiBerbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.

2. Malpraktek YuridikSoedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :A. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa : Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti : Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat) Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis) Ada kerugian Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. Adanya kesalahan (schuld)Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut : Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.B. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional) Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness) Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence) Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.d. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

C. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan KesehatanDalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara, yakni :1. Cara langsungOleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :a. Duty (kewajiban)Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:1. Adanya indikasi medis2. Bertindak secara hati-hati dan teliti3. Bekerja sesuai standar profesi4. Sudah ada informed consent.b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan. c. Direct Cause (penyebab langsung)d. Damage (kerugian)Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).2. Cara tidak langsungCara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi criteria :a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalaib. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokterc. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

D. TANGGUNG JAWAB HUKUMTidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan dokter atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga dokter.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:1. Contractual liability Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.2. Vicarius liabilityVicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.3. Liability in tortLiability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

E. ALUR PELAPORAN DAN PENYELESAIAN MALPRAKTIKPenyelesaian kasus malpraktik medik dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non litigasi (mediasi), dalam jalur litigasi pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum pidana maupun perdata, sedangkan dalam jalur non litigasi pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya konsiliasi, negosiasi, mediasi ataupun upaya penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih oleh pihak yang berperkara. UUNo. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa penyelesaian sengketa medis antara pasien dan dokter diputuskan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) namun upaya tersebut tidak secara serta merta merelatifkan upaya dari pihak yang dirugikan untuk melakukan upaya hukum pidana atau perdata.Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkan nya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasanya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli.Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.Sedangkan dalam hal gugatan secara perdata, pihak yang dirugikan cukup mengajukan gugatan di wilayah pengadilan negeri tergugat. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang layak dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar salahnya suatu perbuatan, hakim akanmembandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).Apabila dipilih proses di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrase, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

F. SANKSISANKSI PIDANAKUHP 359Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.KUHP 3601. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.2. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-.

KUHP 361Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.

UU RI No. 23 Tahun 1992Pasal 80Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima puluh juta rupiah)Pasal 81Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:a. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1.b. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.c. Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).Pasal 82Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengansengaja:d. Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 4.e. Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1.f. Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.g. Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.h. Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2.Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan atau pidana denda paling banyakRp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).

UU RI No. 29 Tahun 2004Pasal 75Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).Pasal 76Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)Pasal 79Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1.b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1.c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

SANKSI PERDATAKUH Perdata 1366Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.KUH Perdata 1367Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya.KUH Perdata 1370Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.KUH Perdata 1371Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.UU RI No. 23 Tahun 1992Pasal 551. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pasal 80 (lihat sanksi pidana)Pasal 81 (lihat sanksi pidana)Pasal 82 (lihat sanksi pidana)UU RI No.29 Tahun 2004Pasal 75 (lihat sanksi pidana)Pasal 76 (lihat sanksi pidana)Pasal 79 (lihat sanksi pidana)SANKSI ADMINISTRATIFUU RI No. 29 Tahun 2004Pasal 661. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.d. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:a. Identitas pengadub. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.c. Alasan pengaduan.2. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.Pasal 67Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.Pasal 691. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia.2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat berupa:a. Pemberian peringatan tertulis.b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.PERMENKES RI No.1419/MENKES/PER/X/2005Pasal 241. Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia, Pemerintah Daerah, dan organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing.2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi.Pasal 251. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran peraturan ini.2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai pencabutan SIP.3. Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dalam memberikan sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.Pasal 26Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:1. Atas dasar keputusan MKDKI2. STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.3. Melakukan tindak pidana.Pasal 271. Pencabutan SIP yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota wajib disampaikan kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan ditetapkan.2. Dalam hal keputusan dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diterima, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk diteruskan kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah keputusan diterima.3. Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat 2 meneruskan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari.Pasal 28Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan dokter gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat.G. UPAYA PENCEGAHAN MALPRAKTIKDengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter karena adanya mal praktek diharapkan para dokter dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni :a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

H. UPAYA MENGHADAPI TUNTUTAN HUKUMApabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga dokter menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga dokter seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian dokter.Apabila tuduhan kepada dokter merupakan criminal malpractice, maka tenaga dokter dapat melakukan :a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya dokter mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya dokter menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana dokter digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (dokter) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kedokteran.

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu :1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang dokter/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

LI 2. Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Informed ConsentA. DefinisiInformed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.Menurut D. Veronika Komalawati, SH , informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

B. Komponen-komponen Informed Consent1. Threshold elementsnElemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu. Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.2. Information elementsTerdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :a. Standar Praktik Profesi Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bakebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.b. Standar Subyektif Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.c. Standar pada reasonable personStandar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.3. Consent elementsElemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannyaC. Tujuan Pelaksanaan Informed ConsentDalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk :a. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya.b. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.D. Fungsi Pemberian Informed Consenta. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusiab. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiric. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care receiver = HCR)d. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasiene. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokterf. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasionalg. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatanh. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam dokterg kedokteran dan kesehatani. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri.E. Ruang Lingkup Informed ConsentRuang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien. Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif.Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:1. Hak atas informasi Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.2. Hak atas persetujuan (Consent) Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).3. Hak atas rahasia medis4. Hak atas pendapat kedua (Second opinion)5. Hak untuk melihat rekam medic6. Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan remaja di bawah umur)7. Hak pasien dalam penelitian8. Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.9. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit10. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi11. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi12. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit13. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya14. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis15. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya16. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit17. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya18. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual19. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

F. Hal hal yang dapat di informasikan1. Hasil Pemeriksaan Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.2. Risiko Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.3. Alternatif Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.4. Rujukan atau konsultasi Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.5. PrognosisPasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent.G. Bentuk-bentuk Informed ConsentInformed consent harus dilakukan setiap kali akan melakukan tindakan medis, sekecil apapun tindakan tersebut. Menurut depertemen kesehatan (2002), informed consent dibagi menjadi 2 bentuk : 1. Implied consent Yaitu persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya: saat dokter akan mengukur tekanan darah ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan membawa sfingmomanometer tanpa mengatakan apapun dan si ibu langsung menggulung lengan bajunya (meskipun tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan bahwa ia tidak keberatan terhadap tindakan yang akan dilakukan dokter).2. Express ConsentExpress consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam bentuk tulisan atau secara verbal. Sekalipun persetujuan secara tersirat dapat diberikan, namun sangat bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan dalam bentuk tertulis karena hal ini dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa mendatang. Contoh, persetujuan untuk pelaksanaan sesar.

Pasien dinyatakan memiliki kapasitas untuk memberi consent apabila :1. Pasien mampu memahami keputusan medis berdasarkan berbagai informasi yang ia peroleh,2. Persetujuan dibuat tanpa tekanan,3. Sebelum memberi consent, pasien harus diberikan informasi yang memadai (informed choice)Persetujuan atau kesepakatan antara tenaga kesehatan dan klien harus mencakup :1. Pemberi penjelasan, yaitu tenaga kesehatan.2. Penjelasan yang akan disampaikan yang memuat lima hal yaitu:1. Tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, 2. Tata cara tindakan yamg akan dilakukan, 3. Resiko yang mungkin dihadapi,4. Alternatif tindakan medik dari setiap alternatif tindakan,5. Prognosis, bila tindakan itu dilakukan atau tidak.Cara menyampaikan penjelasan :a. Pihak yang berhak menyatakan persetujuan yaitu pasien, tanpa paksaan dari pihak manapun.b. Cara menyatakan persetujuan (tertulis atau lisan). Dalam praktiknya, consent dapat diberikan oleh pasien secara langsung atau oleh keluarga/ pihak yang mewakili pasien dalam keadaan darurat. Dalam praktik kedokteran, pasien seringkali dalam keadaan tidal (kompeten untuk mengambil keputusan karena rasa sakit atau penggunaan obat saat persalinan). Oleh karena itu, sangat penting untuk membuat birth plan (rencana persalinan), namun rencana itu masih dapat berubah sesuai dengan keinginan atau kondisi pasien.

H. Akibat Yang Ditimbulkan Dari Adanya Informed ConsentAkibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata, sebagai berikut :a. Pasal 1338 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.b. Pasal 1339Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.Dari kedua pasal tersebut dapat diambil pengertian sebagai berikut :1. Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya.2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain.3. Kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik.4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu pada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien.

I. Aspek Hukum Informed ConsentDalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.a. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;b. Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.J. Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed ConsentBagi pasiena. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknisb. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya jawabc. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasid. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.Bagi petugas kesehatana. Pasien tidak mau diberitahu.b. Pasien tak mampu memahami. c. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.d. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

K. Ketentuan Perundangan Yang Menjadi Dasar Informed ConsentKetentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed Consent adalah :a. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan :3. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.4. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.5. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.b. Permenkes nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis; yaitu :1. Bab II ( Persetujuan )a) Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.b) Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.c) Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang ditimbulkannya.d) Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.e) Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.2. Bab III ( Informasi)a) Pasal 4 ayat (1) : Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.b) Pasal 4 ayat (2) : Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.c) Pasal 4 ayat (3) : Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.d) Pasal 5 ayat (1) : Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilakukan, baik diagnostic maupun terapeutik.e) Pasal 5 ayat (4) : Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.3. Bab IV ( Yang berhak memberikan persetujuan)a) Pasal 8 ayat (1) : Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mentalb) Pasal 8 ayat (2) : Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.c) Pasal 9 ayat (1) : Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatele), persetujuan diberikan oleh wali/curator.d) Pasal 9 ayat (2) : Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orangtua/wali/curator.e) Pasal 10 : Bagi pasien dibawah umur 21 (duapuluh satu) tahun dan tidak mempunyai orangtua/wali dan/atau orangtua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).c. Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu :1. Pasal 45 ayat (1) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan oleh pasien harus mendapatkan persetujuan.2. Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.3. Pasal 45 ayat (3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :1) diagnosis dan tatacara tindakan medis;2) tujuan tindakan medis yang dilakukan;3) alternatif tindakan lain dan risikonya;4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.Penjelasan Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran :1. Pasal 45 ayat (1) yang dapat diuraikan sebagai berikut :a. Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan.b. Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan oleh bukan pasien dalam hal : Pasien berada dibawah pengampuan ( under curetale ); Pasien anak-anak ( belum dewasa ); Pasien tidak sadar.c. Yang berhak mewakili pasien dalam 3 (tiga ) keadaan diatas adalah : Keluarga terdekat antara lain : suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung. Bila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada yang mengantar pasien.d. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya maka dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan, penjelasan diberikan langsung kepada pasien (termasuk anak-anak ) pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar.2. Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran :1. Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.2. Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.3. Pasal 17 ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan pasien.4. Pasal 17 ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.e. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Bab V tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum Pasal 22 ayat (1) huruf c yang berbunyi : Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam menjalankan tugas profesinya berkewajiban :a. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan.b. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. f. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) pada Bab III tentang Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien Pasal 11 yang berbunyi : Rumah Sakit harus meminta persetujuan pasien (Informed Consent) sebelum melakukan tindakan medik.g. KUH Perdata Pasal 1321 bahwa Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan itu diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

KETENTUAN INFORMED CONSENTKetentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :1 Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (SOP) dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.2 Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter3. Informed Consent dianggap benar :a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik.b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukumd. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of medical procedure)b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)c. Tentang risiko d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadie. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative medical procedure and risk)f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukang. Diagnosis5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang bersangkutan6. Cara menyampaikan informasi Lisan Tulisan7. Pihak yang menyatakan persetujuana. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikahb. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak : Ayah/ibu kandung Saudara saudara kandungc. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak : Ayah/ibu adopsi Saudara-saudara kandung Induk semangd. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak : Ayah/ibu kandung Wali yang sah Saudara-saudara kandunge. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) : Wali Kuratorf. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua Suami/istri Ayah/ibu kandung Anak-anak kandung Saudara-saudara kandung 8. Cara menyatakan persetujuan Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi Lisan; tindakan tidak beresiko9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan pimpinan RS.10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.13. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah satu saksi Materai tidak diperlukan Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan informasi Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannyaJika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam medisnya

LI 3. Mampu Memahami dan Menjelaskan tentang Malpraktek dalam IslamPerlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika / akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus mempertanggung jawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zir, ganti rugi, diyat,hingga qishash.A. GOLONGAN MALPRAKTEK Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut:1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam dokterg kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di dokterg kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau: "Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab"

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain. 2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhlafatul Ushl Al-'Ilmiyyah)Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteranPara ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syfi'i rahimahullah misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab.". Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik. 3. Ketidaksengajaan Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tid')Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya. B. PEMBUKTIAN MALPRAKTEKDalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut: 1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrr )Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.2. Kesaksian (Syahdah)Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) [8]. 3. Catatan Medis. Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

C. BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEKJika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:1. QishashQishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja. [9]" 2. Dhamn (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut: a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah. c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja. d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat. 3. Ta'zr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lainTa'zr berlaku untuk dua bentuk malpraktek :a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya. b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah

D. PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWABTanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung. Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

DAFTAR PUSTAKA

AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)

Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.

Departemen Kesehatan RI., Pedoman Sistem Pencatatan Rumah Sakit (Rekam medis/Medical Record , 1994

Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC . 1998

National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available at:wwww.cancer.gov/ClinicalTrials

World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries, 2006

Diakses dari http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent

27