working paper jamkesda

14
Page 1 of 14 WORKING PAPER INISIATIF DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN: POLA DAN PEMBELAJARAN Oleh : Chitra Retna S & Ermy Ardhyanti I. Latar Belakang Penganut system Negara kesejahteraan (welfare state) memaknai sistem jaminan sosial sebagai kewajiban Negara dan bukti eksistensi Negara. Sistem jaminan sosial menurut Bank Dunia dan ILO 1 haruslah meliputi 3 lapis, yaitu : (1) bantuan sosial (social assistance), (2) asuransi sosial dan (3) jaminan sosial sukarela (voluntary). Sejarah sistem jaminan sosial di Indonesia dimulai pada Repelita 1974-1979 dengan perluasan dan peningkatan distribusi jaminan sosial. TASPEN, dana pensiun bagi PNS secara hukum diberlakukan tahun 1969. Tahun1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta formal, ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja) yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Social Tenaga Kerja) pada tahun 1992. Sistem Jaminan Social kemudian berkembang ke sector kesehatan dengan ASKES dan jaminan untuk ABRI (sekarang TNI). Fokus sistem jaminan sosial masih pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh swasta formal dan anggota ABRI (TNI). Sistem ini membiayai 15 juta dari 100 juta angkatan kerja, dari lebih dari 200 juta penduduk Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam perspektif hak pula, Hal ini sesuai dengan mandat yang dituangkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM (1948), dan salah satu turunannya berupa Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 yaitu UU No. 11 tahun 2005 2 memuat hak-hak warga yaitu : (1) hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), (2) hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), (3) hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat 1 Negara Tanpa Jaminan Sosial; Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, Michael Raper, TURC 2006 Bantuan social berfungsi sebagai jarring pengaman (safety net) untuk semua warga Negara, murni berasal dari penerimaan pajak yang diatur oleh negara. Sedangkan asuransi social yang berasal dari kontribusi warga dikelola oleh swasta. Jaminan social sukarela biasanya dalam bentuk tunjangan pensiun yang diadakan warga dengan insentif dari Pemerintah 2 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), Indonesia meratifikasi pada Oktober 2005

Upload: article33

Post on 10-Jun-2015

2.115 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

oleh Chitra Retna

TRANSCRIPT

Page 1: Working Paper Jamkesda

Page 1 of 14

WORKING PAPER INISIATIF DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM JAMINAN

KESEHATAN: POLA DAN PEMBELAJARAN Oleh : Chitra Retna S & Ermy Ardhyanti

I. Latar Belakang

Penganut system Negara kesejahteraan (welfare state) memaknai sistem jaminan sosial

sebagai kewajiban Negara dan bukti eksistensi Negara. Sistem jaminan sosial menurut Bank

Dunia dan ILO1 haruslah meliputi 3 lapis, yaitu : (1) bantuan sosial (social assistance), (2)

asuransi sosial dan (3) jaminan sosial sukarela (voluntary).

Sejarah sistem jaminan sosial di Indonesia dimulai pada Repelita 1974-1979 dengan

perluasan dan peningkatan distribusi jaminan sosial. TASPEN, dana pensiun bagi PNS secara

hukum diberlakukan tahun 1969. Tahun1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta

formal, ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja) yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Social

Tenaga Kerja) pada tahun 1992. Sistem Jaminan Social kemudian berkembang ke sector

kesehatan dengan ASKES dan jaminan untuk ABRI (sekarang TNI). Fokus sistem jaminan

sosial masih pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh swasta formal dan anggota ABRI (TNI).

Sistem ini membiayai 15 juta dari 100 juta angkatan kerja, dari lebih dari 200 juta penduduk

Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam perspektif hak pula, Hal ini

sesuai dengan mandat yang dituangkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM (1948), dan salah

satu turunannya berupa Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005

yaitu UU No. 11 tahun 20052 memuat hak-hak warga yaitu : (1) hak atas jaminan sosial,

termasuk asuransi sosial (Pasal 9), (2) hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11),

(3) hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat

1 Negara Tanpa Jaminan Sosial; Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, Michael Raper, TURC 2006

Bantuan social berfungsi sebagai jarring pengaman (safety net) untuk semua warga Negara, murni berasal dari penerimaan pajak

yang diatur oleh negara. Sedangkan asuransi social yang berasal dari kontribusi warga dikelola oleh swasta. Jaminan social

sukarela biasanya dalam bentuk tunjangan pensiun yang diadakan warga dengan insentif dari Pemerintah

2 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), Indonesia meratifikasi pada Oktober 2005

Page 2: Working Paper Jamkesda

Page 2 of 14

dicapai (Pasal 12). Sebagai Negara Pihak dalam Kovenan, hak warga Negara menjadi

kewajiban bagi Negara untuk mewujudkannya.

Dalam konteks sistem jaminan sosial, Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945 belum

pernah menerapkannya secara universal. Penyediaan jaminan kesehatan terdapat 3 program

asuransi :

1. Jamsostek : asuransi kesehatan untuk buruh swasta formal, melayani 1,5% penduduk

Indonesia.

2. Askes : asuransi kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan PNS

serta anggota TNI dan keluarganya, meleyani 8% penduduk

3. JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) : dimulai tahun 2007, melayani

1,9% dari jumlah penduduk

Tanggal 28 September 2004 DPR mengesahkan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi system jaminan yang lebih komprehensif, terdiri dari

dana pensiun, dana kematian, cacat akibat kecelakaan kerja dan dana kesehatan.

Desentralisasi dan Penanganan Urusan Kesehatan

Dalam UU No.22/1999 j.o UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian

kewenangan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota3 disebutkan dalam pasal 14 ayat (e)

penanganan bidang kesehatan. Dalam Permendagri No.13/2006 j.o Permendagri No.59/2007

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa kesehatan merupakan

salah satu urusan wajib dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Pula, sebagai salah satu sektor

pelayanan dasar selain sektor pendidikan. Sistem jaminan kesehatan, sebagai kebijakan yang

sangat erat terkait dengan pengentasan kemiskinan, merupakan salah satu agenda prioritas

3 Dijelaskan dalam pasal 14 UU No.32 tahun 2004 dijelaskan tentang

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang c. Penyelelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat d. Penyediaan sarana dan prasarana umum e. Penanganan bidang kesehatan

f. Penyelenggaraan pendidikan g. Penanggulangan masalah social h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah j. Pengendalian lingkungan hidup k. Pelayanan pertanahan l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil

Page 3: Working Paper Jamkesda

Page 3 of 14

pemerintah.

Bagi Pemerintah Daerah, sektor kesehatan bermakna 2 hal, pertama, sebagai non profit

oriented yaitu sektor yang menjadi sektor yang bersifat pelayanan dasar dan merupakan

kewajiban Pemda dalam menyediakan pelayanan, kedua adalah sebagai revenue center atau

pusat pendapatan. Di hampir semua daerah, kontribusi PAD dari sektor retribusi kesehatan

berada dalam peringkat pertama (meliputi Retribusi Puskesmas, RSUD dll). Regulasi daerah

yang diperkenankan oleh UU No.32 tahun 2004 juga berimbas pada kewenangan

menentukan aturan yang berkaitan dengan upaya yang terkadang saling bertolak belakang.

Misalnya kebijakan kesehatan gratis di satu sisi dan mempertahankan/dan atau

meningkatkan PAD. 4

Pergulatan regulasi di tingkat Pusat pun mengakibatkan variatifnya bentuk penanganan

kesehatan (terutama untuk masyarakat miskin). Sebagai sistem yang masih sangat prematur,

sistem ini dihadapkan pula pada era dimana desentralisasi sedang mencari bentuk. Disatu sisi

terdapat begitu banyak inovasi daerah yang sangat kaya akan pelajaran. Akan tetapi disisi

lain, terdapat berbagai pertanyaan mendasar yang sangat mempengaruhi orientasi dan

proses pematangan sistem tsb, khususnya terkait peran pusat dan daerah. Sejauh mana

daerah-daerah telah mengembangkan sistem jaminan kesehatan daerah, dan apa faktor-

faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan tsb? Apa permasalahan mendasar

yang dihadapi daerah saat ini?

Kertas kerja ini bertujuan memotret berbagai pola jamkesda yang saat ini dipraktekkan di 7

daerah studi, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta mengangkat persoalan-persoalan

mendasar yang dihadapi daerah. Analisa dilakukan dengan melihat sejauh mana aspek-aspek

penting dari sistem, seperti: orientasi sistem, kepesertaan, cakupan layanan, kelembagaan,

dan pembiayaan, dilihat dari sudut pandang asuransi sosial, dan posisinya terhadap program

yang dikembangkan pemerintah pusat (Jamkesmas).

Ke-7 daerah yang merupakan wilayah studi adalah: kota Solo, kota Jogjakarta, kabupaten

Purbalingga, kota Semarang, kabupaten Kendal, kabupaten Magelang, dan kota Pekalongan.

Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis isi atas berbagai dokumen

4 Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah penyumbang PAD terbesar (31,41% dari total PAD RAPBD 2008

Kabupaten Magelang). Mengalami kenaikan signifikan (sebesar 44,67%) dari Rp. 15,2 M di tahun 2007 menjadi Rp. 21,9 M.

Page 4: Working Paper Jamkesda

Page 4 of 14

terkait, wawancara mendalam, FGD (regional workshop) serta expert meeting sebagai upaya

triangulasi dan penajaman. Studi dilakukan selama 4 bulan, sejak Januari s/d April 2009.

Kotak 1: Profil Daerah

Ke-7 wilayah studi merupakan daerah sedang dengan penduduk antara 400.000 sampai

700.000 jiwa, kecuali Purbalingga & Semarang yang memiliki penduduk diatas 1 juta jiwa.

Proporsi penduduk miskin berkisar antara 17% sampai dengan 35%. Capaian IPM relatif

merata, antara 72 sampai dengan 77.

Kapasitas fiskal rata-rata sedang, dilihat dari besaran APBD tahunan yang berkisar antara 600

milyar dan 800 milyar, kecuali Semarang yang berjumlah diatas 1 trilyun.

Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan memiliki kepala daerah yang sering

dikategorikan 'champion' atau inovator, dan termasuk daerah-daerah pertama yang

menyelenggarakan pilkada secara langsung.

III. Perbandingan Pola: Inovatif, Pemula dan Pra-Jamkesda

Perbandingan dan analisa sistem yang dikembangkan ke-7 daerah difokuskan pada tiga

aspek penting, yaitu: prinsip dan orientasi sistem, kelembagaan, dan pembiayaan. Prinsip dan

orientasi sistem menyangkut cakupan kepesertaan, cakupan layanan, dan mekanisme

pelayanan. Kelembagaan menyangkut dasar hukum dan institusi pengelolaan. Sedangkan

pembiayaan menyangkut besaran, sumber, dan aturan main yang berlaku.

Berdasarkan perbandingan dan analisa atas aspek-aspek diatas, ditemukan adanya 3 pola

atau kelompok daerah, yaitu: (I) Kelompok Jamkesda Inovatif (ii) Kelompok Jamkesda Pemula,

dan (iii) Kelompok Pra-Jamkesda (Komplementer Jamkesmas)

Kelompok Jamkesda Inovatif

Tiga daerah, yaitu Purbalingga, Solo dan Jogjakarta, adalah kelompok daerah yang telah

memiliki sistem Jamkesda relatif inovatif, yaitu program yang tidak hanya melengkapi

program Jamkesmas dari Pemerintah Pusat namun mengembangkan varian yang memiliki

ketercakupan lebih universal (tidak hanya masyarakat miskin) dengan kata lain menjadi

Page 5: Working Paper Jamkesda

Page 5 of 14

sistem jaminan kesehatan yang lebih maju dibandingkan program Jamkesmas (pusat).

Kelompok Jamkesda Pemula

Dua daerah, yaitu Semarang dan Kendal, dikategorikan Kelompok Jamkesda Pemula karena

ke-2 daerah ini telah mulai mengembangkan program Jamkesda, walau saat ini masih

bersifat melengkapi program Jamkesmas (komplementer). Ditujukan untuk pembiayaan

kuratif bagi masyarakat miskin yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas. Masing-masing

dibiayai oleh APBD dengan system “fee for service” pada pelayanan Puskesmas dan Kelas III

RSUD untuk Rawat Inap.

Kelompok Pra-Jamkesda

Dua daerah lainnya, yaitu Magelang dan Pekalongam, mirip dengan kelompok kedua, tetapi

saat ini baru sampai pada tahap inisiatif untuk mengalokasikan APBD sebagai tambahan bagi

Jamkesmas, belum sampai tahap merancang skema jaminan kesehatan daerah.

Dibawah ini disajikan perbandingan dan analisa atas beberapa aspek kritis, yang

menunjukkan adanya ketiga pola diatas. Detil informasi disajikan pada Lampiran 1.

Bentuk dan dasar hukum

Kelompok Jamkesda Inovatif, telah mendesain dan melaksanakan program jaminan

kesehatan daerah dengan nama spesifik, yaitu: Jamkesda untuk Jogjakarta, PKMS untuk

Solo, dan JPKM untuk Purbalingga. Daerah-daerah ini juga telah mengukuhkan

programnya melalui aturan hukum yang mengikat, yaitu Perda (kecuali Jogjakarta,

berupa Perwal). Aturan hukum tsb menjamin kontinuitas program walaupun kelak

terjadi pergantian kepala daerah ataupun birokrasi.

Kelompok Jamkesda Pemula, telah menggunakan tajuk jaminan kesehatan daerah

bagi programnya, yaitu: Jamkesmaskot untuk Semarang, dan Jamkesmasda untuk

Kendal. Walaupun demikian, program ini masih didesain untuk mengikuti pola

Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin, tetapi dengan cakupan yang lebih luas

(menambah kuota untuk maskin ataupun tambahan perawatan yang tidak tercakup

dalam Jamkesmas). Anggaran daerah yang dialokasikan relatif besar (6 – 9 milyar).

Aturan hukum yang memayungi masih berupa Perbub dan Perwal. Sebenarnya

Semarang juga telah membuat Perda, akan tetapi hanya berisi jaminan pembebasan

Page 6: Working Paper Jamkesda

Page 6 of 14

biaya puskesmas dan biaya rawat inap RS kls III, bukan berupa model lengkap

Jamkesda.

Kelompok Pra-Jamkesda, belum menggunakana tajuk Jamkesda dan masih berupa

program, walaupun telah mulai mewacanakan perlunya membangun Jamkesda. Sama

seperti kelompok pemula, program ini masih didesain untuk mengikuti pola

Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin (non-jamkesmas), tetapi dengan

cakupan tambahan (peserta maupun layanan) yang lebih kecil dibanding kelompok

pemula. Anggaran daerah yang dialokasikan pun masih relatif kecil (< 1 milyar). Fokus

utama program adalah meng-cover kelompok miskin yang tidak termasuk dalam kuota

Jamkesmas, atau membiayai perawatan tertentu yang tidak termasuk dalam paket

Jamkesmas. Payung hukum yang dipakai masih berupa Perbub.

Orientasi, kepesertaan, dan layanan

Kelompok Jamkesda Inovatif sejak awal telah dirancang untuk tidak hanya

melengkapi Jamkesmas (Pusat), tetapi juga bergerak lebih jauh dalam rangka

menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya (universal). Bila Jamkesmas

hanya meliputi kelompok miskin, maka kelompok daerah ini telah memperluas

cakupan kepesertaan mencakup kelompok miskin dan non-miskin. Kelompok maskin

yang dicakup adalah maskin non-Jamkesmas, yaitu kelompok miskin yang tidak

tercakup dalam kuota Jamkesmas. Perluasan kepesertaan Ini sesuai dengan cita-cita

ketiga daerah untuk memiliki jaminan kesehatan yang universal, atau mencakup semua

penduduk. Purbalingga bahkan telah memulai menyusun Perda mengenai kepesertaan

wajib (mandatory), yang saat ini masih pada tahap konsultasi (khususnya dengan

pemerintah pusat). Selain itu Purbalingga menciptakan sistem pendataan dan verifikasi

lapangan yang melibatkan kader-kader dari Bapel (Badan Pelaksana) di tiap desa,

sehingga menjamin akurasi data.

Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda menjadikan maskin-non-

jamkesmas sebagai target peserta program, karena masih banyak kelompok miskin

yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas (ditentukan oleh pusat berdasarkan

masukan kabupaten). Data yang digunakan untuk menentukan kepesertaan adalah data

pemda sendiri. Selain itu beberapa daerah menggunakan verifikasi tambahan, bahkan

hingga ke lapangan, untuk menentukan kepesertaan.

Page 7: Working Paper Jamkesda

Page 7 of 14

Cakupan Layanan

Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya memberikan pelayanan (jenis perawatan,

obat, yang ditanggung program) yang, walau disana sini ada perbedaan, tidak berbeda

terlalu jauh dengan Jamkesmas. Inovasi menarik terdapat di Solo, dimana layanan

kesehatan peserta Gold (maskin) justru lebih banyak dibandingkan peserta Silver (non-

maskin). Ini muncul dari pemikiran bahwa kelompok maskin justru harus menjadi

prioritas dan bukannya kelompok tersisih, sehingga bahkan penamaan kartu-pun

dibuat memprioritaskan maskin.

Kelembagaan Kelompok Jamkesda Inovatif menggunakan dua pilihan institusi, yaitu UPT (berada

dibawah Dinas, Jogja dan Solo), dan Bapel (Purbalingga). UPT menjadi pilihan karena

'aman' dari sisi hukum, walaupun mulai dirasakan ruang geraknya kurang untuk

mengembangkan sistem Jamkesda selanjutnya. Purbalingga memilih Bapel, karena

lembaga ini sudah digunakan sejak pilot project JPKM (2002), dan dianggap institusi

yang tepat menjalankan fungsi Jamkesda-nya yang sudah berkembang.

Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda belum memiliki

kelembagaan khusus untuk menjalankan programnya, karena masih berupa program

didalam Dinas Kesehatan.

Sumber Pembiayaan

Kelompok Jamkesda Inovatif menunjukkan variasi pembiayaan (dari APBD) yang

menarik. Jogja dan Solo, menunjukkan trend anggaran yang terus meningkat, bahkan

Solo memulai dengan anggaran yang sudah fantastik besarnya (16,5 milyar). Sebaliknya

Purbalingga, karena model sistemnya yang mengiur, relatif stabil, hanya sampai kisaran

2,8 M (2008). Selain itu di Purbalingga, anggaran yang berasal dari iuran (non-maskin

dan paska maskin) menjadi lebih dominan sebagai sumber pembiayaan dibanding

subsidi APBD.

Kelompok Jamkesda Pemula mengalokasikan anggaran yang relatif besar, bahkan

anggaran Semarang lebih besar dari Kelompok Inovatif (9 milyar). Semua anggaran

terserap untuk pembayaran pelayanan kelompok miskin.

Kelompok Pra-Jamkesda mengalokasikan anggaran relatif kecil, berkisar antara 720 –

750 juta (2008).

Mekanisme Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan variasi dari

Page 8: Working Paper Jamkesda

Page 8 of 14

Pembayaran sisi mekanisme pembayaran, dibandingkan pola Jamkesmas, yaitu menggunakan

prinsip fee for service (dimana pembayaran didasarkan pelayanan yang diberikan)

untuk PPK II (RS) dan kapitasi untuk PPK I (Puskesmas). Belum ada satu daerahpun

yang menerapkan sistem managed care (pembayaran diberikan dan dikelola oleh

pemberi layanan, RS/Puskesmas).

Dari sisi pembayaran ke unit pelayanan, hampir semua memiliki pola yang sama

dengan Jamkesmas, yaitu pembayaran dilakukan oleh Dinas Kesehatan langsung ke PPK

I dan PPK II. Kecuali Jogja yang masih melakukan pola reimbursing, yaitu pasien

membayar dulu biaya untuk kemudian diganti (klaim) oleh Dinas. Ini membuat beban

bagi pasien.

Contoh menarik juga dilakukan Purbalingga, yang berani memakai sistem kapitasi baik

untuk PPK I (puskesmas) maupun PPK II. Premi yang dibayar peserta dibagikan

dengan pembagian: puskesmas (37.000), puskesmas ranap (5.300), RSUD (47.700)

dan Bapel (10.000).

IV. Faktor Berpengaruh, Tantangan dan Masalah

Mencermati dinamika perkembangan sistem jaminan kesehatan daerah diatas, pertanyaan

penting yang muncul adalah: faktor-faktor apa sebenarnya yang secara signifikan

mempengaruhi dinamika tersebut? Apa yang mendorong suatu daerah memilih

mengembangkan Jamkesda, bahkan jauh melebihi pusat, sementara daerah lain memilih

mengalokasikan sejumlah besar anggaran untuk membangun Rumah Sakit, misalnya,

ketimbang mengembangkan Jamkesda? Dibutuhkan satu penelitian lain yang lebih mendalam

untuk mengungkap faktor-faktor determinan tsb, tetapi hasil FGD dan analisa mendalam

dengan stakeholder terkait menunjukan beberapa bukti awal yang menarik.

Pertama, komitmen dan inovasi kepala daerah.

Empat kepala daerah dari ke-7 daerah tsb dikenal sebagai seorang 'champion', atau kepala

daerah yang inovatif dan berani, yaitu Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan. Kepala

daerah hasil pemilihan langsung di empat daerah ini dikenal memiliki komitmen tinggi,

wawasan yang luas, dan berani mengambil langkah inovatif walaupun menghadapi banyak

Page 9: Working Paper Jamkesda

Page 9 of 14

kendala. Walaupun demikian, kasus Pekalongan menjadi sebuah pertanyaan tersendiri,

mengingat Pekalongan memilih menganggarkan puluhan milyar selama tiga tahun terakhir

untuk membangun Rumah Sakit Daerah dibanding mengembangkan Jamkesda yang inovatif.

Pilihan terhadap pembiayaan kesehatan yang dilakukan Purbalingga dengan JPKM pun

beresiko dari sisi regulasi, yaitu substansi dari JPKM sebagai pra-asuransi yang akan

bertabrakan dengan UU Asuransi. Namun, resiko tersebut tak membuat Bupati Purbalingga

menghentikan program JPKM. Pilihan bentuk kelembagaan juga yang membuat beberapa

daerah misalnya Yogya, Solo memilih UPT, sedang yang lain seperti Magelang, Kendal, Kota

Semarang, berada dalam tubuh Dinas Kesehatan.

Kelemahan factor komitmen ini adalah persoalan sustainabilitas program. Pada saat

pergantian kepemimpinan akan berakhir pula komitmen. Akan lebih baik bila komitmen

dilanjutkan dengan regulasi yang lebih mengikat secara administratif dan hukum (misalnya di

dalam Perda).

Kedua, dukungan legislatif yang memadai.

Dukungan kuat dari legislatif atas ide Jamkesda memang terjadi di kelompok pertama, yaitu

Solo, Jogjakarta dan Purbalingga. Walaupun di Solo sempat terjadi perdebatan cukup panas

sebelum PKMS diluncurkan di Solo, tetapi isu perdebatan lebih mengenai besaran premi.

Walikota Solo menginginkan seluruh biaya disubsidi APBD, tetapi dewan berkukuh harus ada

iuran peserta, yang akhirnya diterima walau jumlahnya sangat kecil untuk disebut sebagai

premi. Di Purbalingga, dukungan meluas secara mudah dicapai karena telah adanya proyek

JPKM sejak 2002.

Dukungan legislative ini erat kaitannya dengan factor politik, yaitu relasi antara legislator

dengan konstituen maupun dengan masyarakat secara umum. Elektabilitas seorang calon

legislator juga akan ditentukan oleh isu populis yang diperjuangkan, dalam hal ini, kesehatan

gratis adalah menu yang sangat mudah dijumpai dalam janji caleg karena menyangkut

kepentingan seluruh rakyat. Jadi, mewujudkan kesehatan gratis, selain komitmen moral, juga

akan menjadi salah satu investasi politik di masa depan.

Ketiga, kuatnya tuntutan civil society.

Adanya civil society yang matang ditemui di dua daerah, yaitu Solo dan Jogjakarta. Semenjak

desentralisasi, dorongan dari kalangan masyarakat sipil di Kota Solo dan Yogyakarta untuk

Page 10: Working Paper Jamkesda

Page 10 of 14

penyelenggaraan kesehatan gratis dan berkualitas sangat kuat. Faktor dinamisasi masyarakat

sipil banyak terlihat pada wilayah berbentuk Kota, dimana banyak kelompok penekan yang

tumbuh (akademisi, mahasiswa, wartawan, LSM, Ormas), sehingga control terhadap

Pemerintahan kuat dan perubahan terhadap kebijakan lebih cepat terjadi. Untuk

Purbalingga, sebagai daerah dengan inovasi paling depan, tampaknya lebih didorong oleh

pengaruh pilot project JPKM dibandingkan pengaruh tuntutan civil society.

Selain ketiga faktor diatas, terdapat beberapa masalah mendasar yang dihadapi daerah dalam

mengembangkan Jamkesda.

Pertama, ketidakjelasan lembaga pelaksana.

Daerah Kelompok Jamkesda Inovatif adalah daerah yang berani menabrak atau mengambil

langkah ditengah ketidakjelasan pemerintah pusat atas desain besar jaminan kesehatan

Indonesia, khususnya menyangkut dasar hukum institusi pelaksana. Di tengah perdebatan

besar mengenai bagaimana bentuk BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial), Purbalingga

berani tetap mempertahankan bentuk Bapel. Hal ini khususnya didorong oleh 'kemenangan'

atas Judicial Review UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang mencabut pasal mengenai

dominasi PT Askes sebagai satu-satunya institusi pelaksana. Saat ini langkah lain yang juga

menjadi tonggak bagi percobaan daerah, adalah upaya Purbalingga untuk membuat Perda

mengenai aturan wajib kepesertaan bagi seluruh penduduk (mandatory).

Kedua, masalah portabilitas.

Isu portabilitas menyangkut bagaimana pelayanan diakses oleh warga yang bukan penduduk

resmi suatu daerah. Berbeda-bedanya cakupan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh

Jamkesda masing-masing daerah, dan aturan yang mengharuskan pelayanan hanya diberikan

pada penduduk resmi daerah tsb, menyebabkan sejumlah pihak menganggap jaminan

kesehatan sebaiknya dilakukan secara sentralistik. Isu ini merupakan ganjalan besar bagi

inovasi yang dilakukan daerah-daerah, dan hingga kini belum terpecahkan.

Misal Kota Semarang, dalam Perwal disyaratkan bahwa yang dapat mengakses Jamkesda adalah

yang ber-KK dan berdomisili di Kota Semarang. Alasannya adalah untuk mengontrol moral

hazard penduduk non-Semarang menyeberang untuk mendapatkan pelayanan gratis.

Bagi daerah yang berbentuk Kota (Solo, Yogya, Semarang), yang memiliki kompleksitas masalah

Page 11: Working Paper Jamkesda

Page 11 of 14

perkotaan karena derasnya mobilitas antar daerah dan peboro akan sangat rentan bagi

pertumbuhan kemiskinan baru non-penduduk. Seperti fenomena gunung es yang akan

menimbulkan dampak pada pertumbuhan penyakit-penyakit khas (HIV/AIDS), masalah social

lainnya serta hukum (perdagangan manusia/human trafficking). Peran dari Provinsi adalah

salah satu rekomendasi dari isu portabilitas ini. Contohnya : Provinsi DI Jogjakarta memiliki

Jamkesos. Hal ini dapat mengatasi masalah portabilitas di level antar daerah (eksternalitas

regional). Perjanjian antar daerah (biasanya diwadahi dalam Kerjasama Antar Daerah) belum

menyentuh pada portabilitas pelayanan dasar. Padahal semua Warga Negara berhak mendapat

pelayanan kesehatan.

Ketiga, keberlanjutan dari sisi finansial.

Isu penting dari keberlanjutan inovasi daerah adalah isu finansial. Solo dan Semarang, adalah

dua contoh daerah yang dianggap 'sangat berani' mengalokasikan sejumlah besar anggaran

untuk membiayai program ini, khususnya Semarang yang sebenarnya cakupan pelayanan

belum seluas Solo, Jogjakarta atau Purbalingga. Di Solo sejumlah pihak khawatir dengan

'ketahanan' APBD ke depan, khususnya karena trend alokasi program ini pastinya terus

meningkat (seperti sinyalemen yang mungkin juga dialami oleh Jembrana). Ini karena nyaris

seluruh biaya disubsidi oleh pemerintah daerah, sementara sistem pembayaran yang masih

menggunakan pola 'fee for service' akan mengurangi kontrol biaya. Sebaliknya Purbalingga

merupakan contoh yang lebih baik, karena dukungan iuran warga membuat subsidi

pemerintah terhadap program terkontrol dan justru belakangan menurun.

Keberlanjutan dari sisi financial dipengaruhi pula oleh tren menurunnya Dana Perimbangan

(DAU), pada tahun anggaran 2009 dengan kenaikan gaji PNS sebesar 15%, namun DAU hanya

naik 7%. Padahal peruntukan DAU adalah untuk belanja tidak langsung yang sifatnya fix cost

seperti gaji pegawai. Resikonya adalah belanja langsung atau belanja pembangunan yang akan

dikurangi untuk menutupnya. Di lain pihak, komitmen menggratiskan kesehatan akan

menghilangkan sebagian besar PAD dalam bentuk retribusi pada sektor kesehatan.

Bila pembiayaan kesehatan menggantungkan pada APBD semata, pada kondisi dimana

terdapat external shock seperti turunnya DAU, akan menjadikan ketidakpastian pembiayaan

pada jangka panjang, karena tergantung pada bagaimana kondisi pada saat APBD ditetapkan.

Page 12: Working Paper Jamkesda

Page 12 of 14

Keempat, kapasitas fiscal

Kapasitas fiscal berkaitan erat dengan kemampuan daerah dalam APBD serta kewajiban yang

harus ditanggung. Dalam beberapa daerah dengan kapasitas fiscal besar, sebagian besar

adalah daerah berbentuk Kota (Semarang, Solo, Yogyakarta), walaupun Kabupaten Kendal

juga mengalokasikan anggaran yang besar. Di daerah seperti Kabupaten Magelang, dengan

penduduk 1,3 juta dan APBD sejumlah 800-an M. Argumentasi rendahnya belanja langsung

adalah kewajiban daerah dalam menanggung dampak peraturan, seperti di PP No.72 yang

mengamatkan pe

V. Kesimpulan

Ditengah ketidakpastian mengenai desain dan aturan sistem jaminan kesehatan yang akan

diterapkan di Indonesia, beberapa daerah telah mulai mengembangkan inovasi yang

beragam. Disatu sisi, analisa diatas menunjukkan bahwa ketersediaan anggaran bukanlah

faktor determinan yang utama. Kapasitas fiskal daerah yang relatif sama, memunculkan

variasi model yang kaya ragamnya. Akan tetapi ketersediaan anggaran tanpa desain yang

matang dan efisien juga bisa menimbulkan jebakan finansial di masa depan, yang

mengancam sustainabilitas pelayanan.

Di sisi lain, tampaknya perkembangan inovasi diatas justru lebih dipengaruhi oleh faktor-

faktor non-anggaran. Komitmen kepala daerah, dukungan politik dan keaktifan civil society,

mungkin hanya sebagian dari faktor-faktor internal yang mempengaruhi dinamika.

Sebaliknya, posisi pemrintah pusat justru tidak menjadikan inovasi daerah berkembang,

karena ketidakjelasan aturan main terkait sistem jaminan kesehatan.

Page 13: Working Paper Jamkesda

Page 13 of 14

Lampiran 1: Profil Jaminan Kesehatan Masing-masing Daerah Studi

Purbalingga merupakan daerah yang tergolong paling awal menerapkan sistem ini (2002).

Bermula dari penyelenggaraan program JPSBK pada tahun 2001, yang dikelola oleh lembaga

berupa Badan Penyelenggara (Bapel). Program ini menjadi pemicu Bupati dan jajarannya untuk

mengembangkan program sejenis tetapi dengan orientasi yang lebih maju. Cakupan

kepesertaan total saat ini berkisar antara 60.000 – 70.000/tahun (5%) dengan premi sebesar

Rp 100.000/jiwa/tahun. Kepesertaan terbagi atas tiga kelompok: (i) maskin, premi disubsidi

penuh oleh pemda (ii) paska maskin, premi disubsidi pemda setengahnya, sisanya dibayar

peserta (Rp 50.000) (iii) non-maskin, mengiur premi utuh.

Jogjakarta memulai program pada tahun 2005, berpayung peraturan walikota (Perwal).

Cakupan kepesertaan saat ini sekitar 70.000 (20%). Jogjakarta berbeda dari daerah lain,

menambahkan kelompok khusus sebagai sasaran program, yaitu kelompok yang dianggap

menjadi bagian dari kepemerintahan daerah dan kelompok rentan (PKK, RT/RW, penderita

penyakit tertentu, ibu hamil, dll) yang mencerminkan karakteristik daerah urban. Untuk

Jogjakarta kepesertaan non maskin belum berjalan.

Pencakupan jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin di Jogjakarta juga dibagi dengan

Provinsi dengan program Jamkesos.

Solo termasuk baru memulai program, yaitu pada tahun 2007, dengan payung hukum berupa

Perda. Cakupan kepesertaan total saain ini sekitar 150.000 (35%). Kepesertaan Solo terdiri dari

Kelompok Gold (maskin), dengan iuran premi sebesar Rp 1.000/jiwa/tahun disubsidi

pemerintah, dan Kelompok Silver (non-maskin) yang mengiur Rp 4.000/jiwa/tahun. Dengan

pola seperti itu Solo sudah masuk pada inisiasi Universal Coverage

Page 14: Working Paper Jamkesda

Page 14 of 14