wiro sableng - seribu hawa kematian...wiro sableng seribu hawa kematian 1 kalung kepala srigala...

88

Upload: others

Post on 12-Aug-2020

61 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …
Page 2: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

TDS (TIGA DALAM SATU) • WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN • ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU • KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA

Page 3: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

WWIIRROO SSAABBLLEENNGG

SERIBU HAWA KEMATIAN

PDF E-Book: kiageng80

Page 4: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

WIRO SABLENG

SERIBU HAWA KEMATIAN 1

KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur.

“Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia enak-enakan ngorok!” Wiro mengomel sendiri dalam hati.

Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya. Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat dalam kegelapan.

“Eyang, aku mendengar sesuatu...” Wiro berucap dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh tempo hari.

“Eyang...” Karena tidak mendapat sahutan Wiro memanggil kembali. “Lekas bangun! Ada orang...”

“Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau kukencingi tengkukmu?!”

“Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di sekitar kita...”

“Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!”

Page 5: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang kurus tipis.

“Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencari saat yang tepat untuk melakukan sesuatu...”

“Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka!” kata Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia meneruskan. “Mereka berempat. Mengenakan jubah hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung hitam...”

“Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan Lima Laknat Malam Kliwon!”

“Bukan,” jawab si nenek. “Yang empat ini tidak mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!”

“Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku terancam bahaya!” Pendekar 212 jadi jengkel.

“Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik!” Si nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti terdengar suara dengkurnya.

Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebat mengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan membentak.

“Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri! Jangan berani berlaku keji!”

Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelah kiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin. Wiro memandang berkeliling.

“Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut! Tidak berani unjukkan diri!” Pendekar 212 memaki. Dia

Page 6: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali. Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satu jengkal!

Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanya dengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata merah mencorong.

“Siapa kalian! Apa mau kalian?!” Wiro ajukan pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas dukungannya.

“Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau menyerahkan kalung perak kepala srigala!” Salah seorang dari empat pengurung membuka suara.

Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. “Eh, kau perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek seperti yang aku dukung ini?!”

“Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalau memang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala srigala terbuat dari perak itu!”

“Benda yang kau cari tidak ada padaku!” jawab Wiro. Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putih yang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di balik pakaiannya.

“Seorang pendekar tidak layak berdusta!” Orang berkerudung di sebelah kiri membentak.

Page 7: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini perempuan semua?!” tanya Wiro.

“Seorang pendekar tidak layak berdusta!” Orang yang tadi berkata ulangi ucapannya.

“Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangan nenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.

“Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa tololnya!” Orang berkerudung di samping kanan berucap. Dia memberi isyarat pada tiga kawannya.

Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. “Kami tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kami melihat sendiri kau memasukkannya ke balik pakaian. Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu?!”

“Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian? Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian adalah bangsa penjahat malam. Kalau bukan rampok, pasti maling!”

“Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi pemuda ini!” Orang di samping kiri hilang kesabarannya. Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di depan leher Pendekar 212 berkelebat ke depan.

Breeeetttt! Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak

lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapi tenggorokannya yang jebol!

Empat suitan keras menggelegar di malam dingin. Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat.

Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan.

Wuuuuutttt! Wutttt! Bukkk! Bukkk! Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil

menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan Wiro sebagai senjata penangkis menghantam pergelangan

Page 8: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri karena lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja duduk pejamkan mata di atas pundak muridnya!

Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar menderu ganas.

Breeeettt! Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada

pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan jurus Kincir Padi Berputar dia hantamkan tendangan ke arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis dan pahanya yang dipakai menendang telah berada dalam cengkeraman dua tangan berbentuk cakar! Sedikit saja dia bergerak dan kalau dua lawan mau, maka daging betis dan pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang membuat nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah menempel di batang lehernya!

“Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum mau menyerahkan kalung perak kepala srigala itu?!” Orang berkerudung di depan Wiro membentak. Sepasang matanya berkilat-kilat.

“Tenang... Sabar...” kata Wiro dengan suara bergetar dan tengkuk dingin. “Kau bunuh diriku tak ada gunanya. Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!”

“Dusta besar! Bohong!” “Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda

yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi awas! Kalau kepala srigala itu tidak kalian temukan, jangan iseng mencari kepalaku yang lain! Ha... ha... ha!”

Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Tidak satupun dari empat orang itu bertindak hendak menggeledah.

“Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam?!” tanya Wiro.

“Siapa sudi menggeledah tubuhmu!” teriak orang

Page 9: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu saja merasa jengah menggerayangi sosok Pendekar 212.

“Panggil Ki Tawang Alu!” Salah satu dari empat orang berkerudung berkata. Lalu salah seorang dari mereka keluarkan suitan keras.

Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk. Pandangan matanya tajam angker.

“Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung kepala srigala ada padanya!”

Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendeng yang ada di atas pundak Wiro. Kakek muka putih ini punya banyak pengalaman dan pandai menilai orang. Sesaat dia tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di samping kanan membentak.

“Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!” Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan

dua tangannya. Caranya menggeledah Wiro aneh dan cepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang berkerudung kecewa besar ketika si kakek kemudian berkata sambil mundur.

“Kalung itu tidak ada padanya...!” “Mana bisa jadi!” “Tidak mungkin!” “Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di

balik pakaiannya...!” Ki Tawang Alu menggeleng. “Aku sudah mencari. Tak

mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini. Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari benda lain yang dapat menyembuhkan pimpinan kita dari sakitnya...”

Empat orang berkerudung memandang tidak percaya pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk-garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi, empat orang berkerudung hitam mau tak mau akhirnya

Page 10: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

tinggalkan pula tempat itu. Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam

kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto Gendeng tertawa cekikikan.

“Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perak kepala srigala itu?!”

Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya. Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak berbentuk kepala srigala bermata merah.

“Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka putih itu! Dari tampangnya kentara kulihat dia bangsa manusia yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan. Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih jauh dari sini! Belum lagi Teluk Akhirat!”

***

Page 11: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

WIRO SABLENG

SERIBU HAWA KEMATIAN 2

KAKEK SEGALA TAHU BUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun. Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di salah satu puncak bukit di sebelah timur kelihatan berdiri sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang terbuat dari rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa menahan sinar matahari. Anehnya di dalam teratak atau gubuk itu tampak seorang kakek duduk di atas gundukan batu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tam–balan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya hawa yang keluar dari tanah bukit kapur itu seolah tidak terasa olehnya.

Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping lebar terbuat dari bambu yang diputar-putar demikian rupa hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata si kakek jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih rata. Buta!

Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng penyok-penyok tak karuan rupa. Dengan tangan kanannya kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya. Suara berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek tertawa mengekeh seolah bunyi kerontang kaleng rombeng itu lucu menyenangkan. Dia angkat lagi tangannya lebih tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan itu terasa sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang

Page 12: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

tua ini jadi berubah. Dua matanya yang putih bergerak berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap saja tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam dan geleng-gelengkan kepala.

“Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggu kesenanganku!” kakek itu berhenti memutar caping di tangan kiri. Caping bambu itu diletakkannya di atas kepala sementara tangan kanannya yang memegang kaleng masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk tak bergerak seperti merenung. Lalu dia mendongak sambil menghirup siliran angin yang lewat di bawah teratak. Di antara bau hawa kapur yang mengambang di udara dia membaui sesuatu. Kakek ini menyeringai. Sesaat kemu–dian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit kapur. Bersamaan dengan itu dirasakannya satu kekuatan yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya yang memegang kaleng rombeng lalu berkata.

“Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamu geblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar berhenti aku jadi tua bangka! Ha... ha... ha...!” Lalu si kakek goyangkan tangannya. Suara kerontangan kaleng rombeng yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur itu. Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan.

“Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka?!”

Kakek mata putih terkesiap. “Astaga! Ternyata bukan dia! Celaka! Dugaanku meleset! Tapi...” Kakek ini kembali menghirup udara dalam-dalam. “Tapi bau pesing itu! Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang dengan orang lain. Tapi mengapa aku hanya mendengar langkah-langkah kaki satu orang saja? Aku rasa-rasa kenal suara orang yang barusan bicara!”

Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. “Aneh, bagaimana mungkin ada makhluk yang namanya manusia setinggi itu!” Si kakek membatin.

“Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa

Page 13: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

yang tengah kau lakukan?!” Kakek mata putih berteriak. Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa

cekikikan. Sesaat kemudian muncullah si nenek sakti dari Gunung Gede itu, didukung di atas pundak oleh muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.

Walau dua matanya buta namun kakek di dalam teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat lewat penciuman, perasaan dan pendengarannya.

“Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa yang kau jadikan tunggangan untuk datang ke bukit kapur ini! Edan betul!”

“Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama Wiro Sableng!”

“Huaaaa... ha... ha...! Guru dan murid sama sintingnya! Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian hanya datang percuma mencari angin!”

Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto Gendeng dan Wiro. Seperti dituturkan dalam serial terda–hulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kema–sukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya masih tertolong karena seorang kakek kekasihnya di masa muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiro mau tak mau terpaksa mendukungnya.

“Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama ini baik-baik saja?!” Sinto Gendeng bertanya.

Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk–kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek Segala Tahu.

Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mata putihnya. “Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak bisa berjalan sendiri. Kau diturunkan dan didudukkan. Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau pesing, apa yang terjadi denganmu?”

Page 14: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Dua kakiku lumpuh!” berkata Sinto Gendeng. Rahangnya menggembung.

“Lumpuh? Kau kesambat setan di mana?!” Kakek Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. “Tunggu!” Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek Segala Tahu di bukit kapur itu.

“Tua bangka geblek! Apa yang lucu!” membentak Sinto Gendeng.

“Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau sampai lumpuh begini rupa! Ini akibat terlalu mengobar cinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan jadi lumpuh! Ha... ha... ha...!”

“Tua bangka sinting!” maki Sinto Gendeng. “Enak saja kau bicara! Wiro! Ceritakan pada kakek gila ini apa yang telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menu–duh yang bukan-bukan!”

Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sang guru dia lalu tuturkan malapetaka yang menimpa Sinto Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya dan tarik nafas panjang berulang kali.

“Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek,” kata Wiro memberi tahu. “Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh itu harus dibasmi...”

Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang. “Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah menyingkirkan makhluk kelelawar itu selama dia mengua–sai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari atas ke bawah, sulit dihindari. Satu-satunya cara, kalian harus menghindari tempat terbuka...”

“Bagaimana mungkin Kek!” kata Wiro pula. Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yang

putih berputar-putar. Lalu orang tua ini bertanya. “Sinto, apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh?”

Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro

Page 15: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

langsung saja memberi tahu. “Eyang memang sudah memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan darinya. Tapi guru menyuruh aku menunggu sampai empat puluh sembilan tahun!”

Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya. “Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa menghancurkan Kelelawar Pemancung Roh...”

“Nah Nek, apa kataku!” Wiro menyeletuk. “Kalau saja kau telah mengajarkan padaku ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku sendiri bisa membereskannya!”

“Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti ini hatiku jadi leleh dan mengajarkan ilmu itu padamu. Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi!”

“Nasibku jelek!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempat

dan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan Seribu Hawa Kematian itu...”

“Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk minta petunjukmu...” kata Wiro mulai jengkel melihat tingkah si kakek.

“Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan!” jawab Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng bututnya.

Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan hitam membuat udara menjadi mendung. Petir menyambar beberapa kali dan guntur menggelegar menggetarkan bukit kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya dan goyangkan tangannya berulang kali.

“Itu! Itu kelemahannya!” Si kakek berteriak. Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu

lalu kedipkan matanya pada Wiro. “Apa yang dikatakan tua bangka sinting ini...” bisik Sinto Gendeng pada muridnya.

“Kek, kalau kau memang sudah mengetahui

Page 16: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera memberi tahu pada kami?” ujar Wiro pula.

“Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut, tidak bisa bergerak kalau ada hujan. Begitu juga Seribu Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatan membunuhnya pada saat hujan turun!”

“Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah disekapnya dengan hawa maut itu!” Sinto Gendeng berkata setengah mengomel. Lalu dia berpaling pada muridnya. “Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja! Kau juga harus mencari akal!”

“Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku lagi butek!” jawab Wiro. “Kalau sulit menghadapi makhluk kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian pada hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan kelumpuhan yang kau derita.”

“Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si Raja Obat sanggup menyembuhkannya?”

“Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan. Juga tidak ada satu obat pun. Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil...” Kakek Segala Tahu memandang ke arah Wiro. Dia pegang tangan kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya.

“Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisa menyembuhkan gurumu. Harap kau ceritakan padaku...”

“Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa tahu hal itu!” membatin Wiro.

“Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa tidak menjawab ucapanku!” Kakek Segala Tahu membentak. Bola matanya yang putih memandang berputar ke langit.

“Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Eyang adalah sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap

Page 17: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami gerhana.”

“Weehhhhh!” Sinto Gendeng monyongkan mulutnya yang perot. “Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma satu urusan gila! Mencari bunga matahari mungkin gampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih mungkin. Tapi yang mekar pada saat gerhana matahari dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru akan terjadi seratus tahun lagi. Saat itu aku sudah jadi bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu buat apa aku pikirkan! Hik... hik... hik!”

“Sinto,” kata Kakek Segala Tahu setelah menggoyangkan kalengnya dua kali. “Yang berkata adalah Suro Ageng. Orang yang bisa dipercaya. Ucapannya mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu merupakan satu tamsil yang harus diselidik dan dikaji lebih dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan sekarat. Lalu apa kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernah ada satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga matahari?”

“Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak ingat hal itu!” kata Sinto Gendeng pula. Sesaat wajahnya yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya memancarkan sinar penuh harapan.

“Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhana matahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari sungguhan?”

“Mungkin memang perlu diselidiki.” kata Sinto Gendeng sambil manggut-manggut hingga lima tusuk konde perak yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang dan berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian berpaling pada muridnya. “Wiro, kau harus bawa aku ke puncak Pegunungan Dieng!”

“Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa sembuh!” jawab Wiro namun dalam hati mengeluh, “Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan

Page 18: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

aku musti mendukung nenek bau pesing ini! Remuk aku!” Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada

Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan berbisik. “Aku tahu omelan yang barusan kau ucapkan dalam hati...”

“Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek itu mengomel kalang kabut!” kata Wiro balas berbisik.

“Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini?!” Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. “Aku tahu Pegunungan Dieng jauh dari sini! Sedang Teluk Akhirat lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu apa yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuh sangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar Pemancung Roh itu lebih dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat lebih dulu! Kau dengar itu anak setan?!”

“Aku dengar nenek set...” Wiro tertawa cekikikan dan cepat tutup mulutnya, “Maafkan aku Nek. Karena kau terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah ikut-ikutan memanggilmu nenek set... Ha... ha... ha!”

Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar seperti mau melompat dari rongganya.

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah goyangkan kaleng rombengnya dia berkata, “Aku merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu Sinto. Anak muda, benda apakah itu? Coba keluarkan, mau kulihat!”

Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis pikir bagaimana orang tua yang matanya buta ini mampu mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu menembus pandang dan mengetahui apa yang disimpannya di balik baju.

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di telapak kiri Kakek Segala Tahu lalu jari-jari si kakek ditekuknya hingga membentuk genggaman.

“Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam

Page 19: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan?!” bertanya Kakek Segala Tahu.

Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, “Waktu pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku. Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat dari perak putih. Memiliki sepasang mata merah.” Lalu Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan benda itu.

“Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang benda ini!” kata Kakek Segala Tahu seraya mendongak ke langit, “Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau sampai salah memberikan pada orang lain. Aku mencium bau penyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda banyak malapetaka mengelilingi kalung ini...”

“Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus susah memikirkan!” kata Sinto Gendeng.

Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, “Wiro, simpan benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selama kalung kepala srigala itu ada padamu, kau bakal menghadapi cobaan berat...”

“Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu Kek,” menyahuti Wiro.

Kakek Segala Tahu tersenyum, “Bagaimana kau bisa tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam keadaan bugil rela menyerahkan kehormatannya asal kalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!”

Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan, “Anak setan! Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku khawatir kau tidak sanggup menghadapi cobaan sekali ini. Hik... hik... hik...”

Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ucapan dan kekehan sang guru.

***

Page 20: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

WIRO SABLENG

SERIBU HAWA KEMATIAN 3

EMPAT GADIS BUGIL SEBENTAR lagi malam akan turun. Sebaiknya kau menyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada mata air. Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus sekali!”

Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan pakaiannya basah oleh keringat. Namun dasar pemuda konyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan, “Eyang, sebenarnya kau lebih baik tidak terlalu banyak minum. Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus-terusan!”

“Anak setan!” Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar meringis kesakitan. “Kau benar-benar murid tidak berbudi. Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek mempermainkanku!”

“Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku sangat letih. Apa kita boleh berhenti barang sebentar?”

Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. “Kita baru berhenti kalau sudah sampai di kaki bukit sana!”

“Eyang...” “Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin

yang kuajarkan padamu. Selama perjalanan kulihat kau

Page 21: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu?!”

“Eyang, aku tak punya maksud memperlambat perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya sudah cukup cepat. Kalau kupergunakan ilmu lari Kaki Angin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap di atas pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu hilang keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau sampai begitu nanti aku lagi yang kena omelan...”

“Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu!” kata Sinto Gendeng.

“Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja,” kata Wiro. Dalam hati dia berucap, “Nenek cerewet! Awas kau! Akan kukerjai kau agar tahu rasa!”

Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat laksana anak panah lepas dari busur.

Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlari membuat tubuhnya dan tubuh sang guru yang didukung laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak tenggelam itu. Wiro sengaja lari secepat yang bisa dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya berlari biasa tetapi sesekali melompat atau berjingkrak atau menikung tak karuan hingga tubuh si nenek yang didukungnya terlontar-lontar malang melintang di atas pundaknya. Kadang-kadang dia memperlambat larinya dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong muridnya niscaya akan terlempar jatuh!

Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah pohon-pohon bercabang rendah. Kalau Sinto Gendeng tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh ke belakang atau ke samping niscaya kepala atau dadanya akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah cabang pohon besar Sinto Gendeng tidak keburu

Page 22: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya tinggal kulit membalut tulang dihantamkan ke depan.

Braaaakkk! Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancur

berantakan. “Anak setan! Kau mau membunuh aku?!” Si nenek

menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak rambut Wiro.

“Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang agar aku mempergunakan ilmu lari Kaki Angin. Aku mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku mau membunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil mendukungmu dengan ilmu lari itu bisa berbahaya!”

“Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau mengerjai diriku!” kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala muridnya dua kali hingga Wiro terpekik kesakitan. “Sudah! Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki Angin!”

Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, “Nah sekarang akhirnya kau menyerah juga! Rasakan...”

Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya dikucuri cairan hangat.

“Nek! Kau kencing ya?!” teriak Wiro sambil pencongkan mulut dan hidungnya.

“Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangan kira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa! Hik... hik... hik!” Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa cekikikan. Kalau saja yang ada di atas pundaknya itu bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro membantingkan orang itu ke tanah!

***

BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu sampai di tepi rimba belantara yang membentang

Page 23: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro melihat sebuah telaga kecil di antara pohon-pohon besar. Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera menurunkan si nenek lalu mandi membersihkan diri. Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bau oleh pesing kencingnya sang guru. Namun ketika sampai di tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap.

“Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi menyejukkan diri...”

“Wah, aku keduluan...” ucap Wiro dalam hati. “Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau

menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintip orang!”

“Nek!” kata Wiro jadi kesal, “Perawan saja yang mandi belum tentu aku intip. Apalagi kau yang sudah tua renta begini! Apa untungnya?!”

Sinto Gendeng tertawa panjang. “Mengintip anak gadis mandi sudah biasa! Tapi mengintip nenek-nenek bugil jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin tahu bagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik... hik... hik!”

“Kalau aku amit-amit Nek!” jawab Wiro. Mereka sampai di tepi telaga. Wiro langsung

menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro berkata, “Eyang, kau boleh mandi sampai pagi. Biar aku bisa istirahat yang lama...”

“Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil kau harus segera datang!”

Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu pohon besar dia duduk bersandar dan lunjurkan kaki. Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa kali. Sesaat ketika dia hendak memejamkan mata dari atas pohon besar tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat, melayang turun laksana empat burung raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling dia jadi terkejut lalu menyeringai.

“Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat

Page 24: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

apa lagi?! Mau membetot putus leherku atau menjebol jantungku dengan cakar srigala kalian?!”

Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah masing-masing terpampang gambar kepala srigala berwarna putih perak dengan mata merah menyorot. Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh yang kemarin malam sebelumnya telah mencegat Pendekar 212.

Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah lalu berkata, “Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala srigala itu ada padamu! Kau sembunyikan di satu tempat di balik pakaianmu!”

Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah berubah seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Lalu dia menyambung ucapan temanya, “Kemarim malam kami masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!”

“Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah sekujur tubuhku! Dia tidak menemukan kalung itu! Mana kakek muka mayat itu? Siapa namanya?!”

“Dia tidak ada di sini!” jawab orang berkerudung di ujung kiri.

“Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!” “Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak

mempercayai dirinya!” “Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan

urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!” “Bagaimana aku harus menerangkan!” kata Wiro

sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling. “Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangi sendiri menggeledah tubuhku! Silahkan saja!” Wiro lalu kembangkan dada pakaiannya.

Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah

Page 25: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

kanan yang sejak tadi diam saja maju mendekati Wiro. “Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu.

Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu dicuri orang sepuluh hari lalu. Kami tidak tahu siapa pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon, mungkin juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami tidak perlu nyawa ataupun darahmu. Kami sangat memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai penukarnya akan kami penuhi!”

“Apakah kalung itu memang milik kalian?” Wiro bertanya.

“Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarang dia sedang terbaring sakit. Hanya kalung itu...”

“Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!” tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong ucapan temannya.

“Namamu Rembulan...?” ujar Wiro seraya menatap sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua lobang kecil di bagian depan kerudung hitam. Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau saja aku bisa melihat wajahmu, pasti kau secantik bulan purnama empat belas hari...”

Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari mulutnya. Dalam hati dia membatin. “Apa yang orang bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi ah... Mengapa aku merasa tertarik padanya?” Di balik kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah.

Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan Wiro. “Namaku Mentari Pagi...”

“Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak!” kata Wiro sambil tersenyum

Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi lanjutkan ucapannya, “Kalung itu bagi kami sama nilainya dengan jiwa kami. Kami benar-benar membutuhkan. Kami tidak tahu mengapa kau punya niat jahat menyembunyikan kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!”

“Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku. Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki

Page 26: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Tawang Alu menggeledah diriku. Selain itu bagaimana aku tahu pasti kalung itu memang milik kalian?”

Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak di dada jubah hitamnya. “Kau saksikan sendiri. Gambar kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada padamu!”

“Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh sekaligus! Lalu apa itu berarti kalung kepala srigala perak itu milikku!”

Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata-kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, “Kalau kubunuh pemuda ini lalu ternyata kalung itu memang tidak ada padanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu tidak mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar. Tapi aku yakin kalung itu ada padanya!” Mentari Pagi memandang pada ketiga kawannya, memberi tanda dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung satu persatu anggukkan kepala.

Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya pada Pendekar 212. “Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami menyirap kabar bahwa kau adalah seorang pemuda hidung belang...”

“Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa menuduh aku hidung belang?!” kata Wiro dengan suara keras sambil usap-usap hidungnya. “Eh! Kalian dengar baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku yang akan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku? Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang? Aku atau kalian berempat!”

Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan keluarkan suara-suara marah. “Kau enak saja bicara ngacok!” bentak Mentari Pagi.

Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi kembali membuka mulut, “Kau mau

mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu kami

Page 27: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

bersedia menyerahkan diri kami padamu...” “Menyerahkan diri bagaimana?!” tanya Wiro setengah

melongo. “Jangan berpura-pura!” jawab Mentari Pagi. “Kau boleh

memiliki diri kami malam ini...” “Kalian... Empat-empatnya?!” Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung

lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke balik semak belukar setinggi dada.

“Eh! Kau mau ke mana?!” tanya Pendekar 212. Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di

balik semak-semak dia tanggalkan jubah hitamnya. Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau

tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar yang jadi penghalang tidak seberapa lebat lagi pula demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas sosok tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu.

Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semak belukar yang sama. Seperti Mentari Pagi satu persatu mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua mata Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang mengalir dalam pembuluh di sekujur badannya menjadi panas. Jantungnya berdegup keras.

“Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidak tahu wajah kalian, jangan-jangan kalian empat nenek yang punya kesaktian menipu pandangan mataku...” Ucapan itu keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh tiga kawannya tiba-tiba gerakkan tangan masing-masing, menarik lepas kerudung hitam yang selama ini menutupi kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihat wajah ke empat orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut dua langkah sambil garuk-garuk kepala!

***

Page 28: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

WIRO SABLENG

SERIBU HAWA KEMATIAN 4

SINTO GENDENG LENYAP “YA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyata empat gadis berwajah cantik!” Wiro tegak terkesiap sambil garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan ternyata paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah cantik, namun ada bayangan sifat angkuh serta kehendak memaksakan wibawa. “Ini rupanya cobaan yang dikatakan Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah menghadapi cobaan ini? Gila! Mengapa urusan bisa jadi kapiran seperti ini?!”

“Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh datang ke balik semak belukar ini!” Mentari Pagi berkata.

“Aku... Tidak... tidak!” kata Wiro sambil goyangkan kepala.

“Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak akan memenuhi janji, kalau begitu datanglah ke sini. Kau boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa saja pada kami...”

Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain.

“Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa menolong akan kulakukan! Aku bukan manusia yang menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi melakukan seperti apa yang kalian katakan...!”

Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya. “Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!”

Rembulan tiba-tiba berkata, “Mentari, lihat! Dia

Page 29: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu kalung kepala srigala perak yang kita cari!”

Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke arah Wiro yang saat itu memang sudah mengeluarkan kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itu dia masih berdiri dengan kepala mengarah ke jurusan lain, tak berani memandang ke arah semak belukar.

“Lekas kenakan jubah dan kerudung!” Mentari Pagi berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing. Lalu melangkah ke hadapan Wiro.

Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah Mentari Pagi.

“Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah memberikan barang ini pada kalian!”

“Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalah milik pimpinan kami dan segera akan kami sampaikan kepadanya!” kata Mentari Pagi pula.

“Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah, hatiku lega sekarang...” kata Wiro pula lalu tersenyum.

“Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang sangat berharga ini!” Mentari Pagi cepat-cepat memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kain yang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya.

“Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu yang hendak kau minta dari kami?”

“Tidak... Aku tidak minta apa-apa...” jawab Wiro. “Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai

imbalan?” tanya Mentari Pagi. “Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi...” Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali

memandang pada Pendekar 212. “Jika kau tidak meminta apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa kami jawab?”

Page 30: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Pertanyaan...?” Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau pertanyaan memang banyak!”

“Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu persatu.” kata Mentari Pagi pula.

“Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakan pakaian dan kerudung serba hitam seperti ini? Lalu gambar kepala srigala itu? Aku juga melihat tangan kalian bisa berubah menjadi seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Kata kalian kalung perak itu adalah milik pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang menderita sakit apa?”

“Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!” Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk menjawab.

Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan sesaat jadi kikuk. Matanya menatap wajah Pendekar 212 sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya jadi gemetar.

“Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebut Bumi Hitam. Kami bermukim di lereng bukit timur Gunung Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang konon hanya bisa disembuhkan dengan Kalung Perak Kepala Srigala. Selain itu kalung tersebut adalah pusaka Kelompok Bumi Hitam yang merupakan pertanda bahwa pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagai pimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan karena kami semua adalah perempuan yang rata-rata berusia muda...”

“Dan cantik-cantik!” sambung Wiro lalu tertawa lebar. “Apakah kau masih ada pertanyaan lain?” ujar gadis

bernama Mentari Pagi. Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah

yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara ringkas pada empat orang gadis lalu bertanya, “Apa kalian

Page 31: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

pernah mendengar asap beracun yang disebut Seribu Hawa Kematian itu? Lalu apakah kalian tahu kelemahan serta cara menghadapinya? Menurut seorang sahabat dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus menghindari tempat terbuka dan pada saat hujan turun. Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan sahabatku itu?”

Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung. Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. “Apa yang dikatakan sahabatmu itu memang betul. Tetapi ada satu cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat mematikan itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dari api. Api bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak selamanya. Api yang telah berubah menjadi asap atau hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api juga.”

Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. “Terima kasih Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau pimpinan kalian sedang sakit dan kalian sudah dapatkan kalung kepala srigala itu sebagai obatnya, sebaiknya kalian lekas-lekas menemuinya.”

“Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada orang ini. Jika kau mengizinkan...”

Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap. “Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia tidak pernah jauh dari air. Konon dia bisa dilukai tapi tak bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada dalam jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup yang tidak diketahui apa dan di mana beradanya...”

“Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam dirinya sendiri. Tapi dititipkan pada makhluk lain.” Wiro geleng-geleng kepala.

“Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan bernama Wiro Sableng?”

Page 32: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. “Apa artinya satu nama, apa pula artinya sebuah julukan? Aku ya manusia biasa, begini saja adanya seperti yang kalian lihat. Aku ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku Eyang Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan akibat Seribu Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat atau cara penyembuhannya?”

“Kami tidak bisa memberikan jawaban,” kata Mentari Pagi. “Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke tempat kami di lereng timur Gunung Merapi. Mungkin pimpinan kami bisa menolong...”

“Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat kalian...” kata Wiro pula.

“Satu lagi pertanyaan dariku,” Rembulan kini yang berkata, “Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak? Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang bernama Anggini?”

Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Rembulan, dari mana kabar itu kau dapatkan?”

“Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah diundang datang ke lereng timur Gunung Merapi. Dalam satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut si kakek sudah lama sekali dia tidak bertemu denganmu dan tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang bernama Anggini itu...”

Wiro garuk kepalanya habis-habisan. “Maksud kakek itu baik. Tapi...”

“Tapi apa?” tanya Mentari Pagi. “Anggini tidak suka padamu, atau kau yang tidak tertarik padanya?”

“Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas sana...” kata Wiro sambil menunjuk ke atas. “Siapa tahu Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku berjodoh

Page 33: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

dengan salah satu dari kalian!” Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil.

Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada kawan-kawannya lalu berkata, “Kami pergi sekarang! Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikan Kalung Kepala Srigala...” Keempat gadis itu lalu menjura.

Wiro balas menghormat seraya berkata, “Aku juga berterima kasih. Kalian semua telah memberikan kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan kulupakan seumur hidup!”

Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya, “Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan kuceritakan bagaimana hebatnya kesetiaan kalian padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya...”

“Kami harap...” kata Mentari Pagi dengan suara agak gemetar, “Hal itu jangan kau ceritakan pada Pelangi Indah. Kami...”

“Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidak akan menceritakan apapun pada pimpinan kalian,” kata Wiro pula sambil tersenyum.

“Terima kasih...” kata Mentari Pagi seraya menjura sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya. Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak meninggalkan tempat itu.

“Ada apa...?” tanya Wiro agak heran. “Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada

artinya kalau tidak disertai satu tindakan yang tulus...” “Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan,

Mentari Pagi. Apakah...” Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan

ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu cepat sekali keempatnya berkelebat, dua dari kiri, dua dari kanan.

Cup! Cup! Cup! Cup! “Hai!”

Page 34: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan yang barusan dicium oleh empat gadis itu. Pipi sang pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wiro hanya bisa bertegak diam. Di kejauhan, dalam gelapnya malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu.

***

DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat Mentari Pagi mendekati Rembulan dan berkata, “Sahabatku Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan keras...”

“He, apa maksudmu Mentari Pagi?” tanya Rembulan. Mentari Pagi tersenyum. “Dari caramu menghadapi

pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta dari pandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau suka padanya...”

Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata-kata Mentari Pagi. “Kau menggodaku! Kalau dua teman yang lain sempat mendengar, kabar yang bukan-bukan pasti akan segera menebar...”

Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulan yang untuk beberapa saat lamanya masih tegak tertegun. “Anggini...” katanya dalam hati. “Aku juga belum pernah melihatmu. Secantik apakah dirimu?”

***

TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis dari kelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di tempat itu. “Dewa Tuak... Bagaimana orang tua itu seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan muridnya?” Wiro garuk-garuk kepala. “Ah! Mengapa hal itu

Page 35: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku. Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu Seribu Hawa Kematian sudah kuketahui.”

Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang Sinto Gendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian. Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di sekitarnya. Eyang Sinto Gendeng tidak kelihatan.

“Ke mana perginya orang tua itu?” pikir Wiro. “Kalau masih mandi mengapa tak ada dalam telaga. Pakaiannya tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai mandi mengapa tidak memanggil aku, memberi tahu? Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu...”

Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut benda itu. Ketika diperhatikan berdebarlah dada Pendekar 212.

“Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng...” katanya dengan suara bergetar. Wiro memandang berkeliling. Hanya kegelapan yang kelihatan.

“Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana?!” Wiro berteriak memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. “Nek! Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak akan kudukung lagi kau!”

Wiro terdiam sesaat. “Tidak mungkin nenek itu bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari dalam telaga! Setahuku sekitar kawasan ini tidak ada binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol macan! Lalu kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya menculik nenek tua bangka dan bau pesing begitu?”

Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi, “Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang Sinto Gendeng. Jika sampai menancap di batu mungkin sekali telah dipergunakan untuk menyerang seseorang! Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di

Page 36: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

tempat ini!” Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah

belakang. Wiro cepat berpaling sambil hantamkan tangan kirinya.

Bukkkk! Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa

perih panas. Di depan sana seorang kakek muka putih berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan tadi namun dia masih bisa keluarkan ucapan.

“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata memang bukan nama kosong belaka!”

Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia segera mengenali kakek muka putih itu.

“Ki Tawang Alu!” teriak Wiro geram.

TAMAT

Episode Berikutnya: SRIGALA PERAK

Page 37: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

BASTIAN TITO

P E N D E K A R K E R I S T U J U H

AARRIIOO BBLLEEDDEEGG

PETIR DI MAHAMERU (BAGIAN 2)

PDF E-Book: kiageng80

Page 38: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

ARIO BLEDEG

PETIR DI MAHAMERU 7

PERTEMPURAN DI SENJA HARI KI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalau nenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu diserang dengan satu gerakan cepat dia miringkan badan dan kepala ke kiri.

Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang tua berjubah putih itu. Lalu craasss! Ujung lidah menancap dalam di batang pohon tempat di mana sebelumnya Ki Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu lobang besar mengepulkan asap di batang pohon! Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi hitam gosong seperti terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan kepala tertawa lantang. Lidahnya yang panjang basah keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan semburkan ludah berwarna merah ke tanah.

Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada kakek di hadapannya.

Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri. Tangan kirinya memegang Kitab “Hikayat Keraton Kuno” sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat bambu berwarna kuning. Sebelumnya Ki Suro memang telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya nenek yang ada di hadapannya itu. Namun dia tidak menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat

Page 39: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang begitu kokoh bisa dibuat berlubang dan hangus laksana dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau hatinya tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh ketenangan. Malah dengan suara lembut dia menegur, “Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain secara tidak sah merupakan satu perbuatan tidak terpuji. Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam kebaikan dan persahabatan antara sesama kita umat Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.”

Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh. Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak hidup seperti tumbuhan laut.

“Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini sungguh enak didengar!” kata Si Lidah Bangkai lalu tertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah.

“Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing-masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan atau dalam berkah di jalan lurus yang telah disediakan Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yang benar dan keluar dari kesesatan.”

Si Lidah Bangkai mendengus. “Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan

jalan hidupmu! Setiap manusia punya cara berpikir dan jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah merasa hidup dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri hingga pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidak terpuji! Tapi aku sendiri mengatakan perbuatanku itu justru sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak berada di tanganmu!”

Page 40: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Pusaka keraton? Apa maksud sampeyan?” tanya Ki Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai.

“Kitab di tangan kirimu itu!” kata Si Lidah Bangkai sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya, “Itu yang kumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan kitab itu padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!”

Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh daun lontar di tangan kirinya lalu gelengkan kepala. “Aku tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka keraton. Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka dan membaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan. Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang titipan. Berarti harus kujaga baik-baik.”

“Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus mengambil kitab itu bersama nyawamu!” kata Si Lidah Bangkai pula. Begitu selesai berucap nenek jahat ini menerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang itu mematuk. Yang jadi sasaran kali ini adalah dada Ki Suro Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya.

“Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku. Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hati sampeyan agaknya telah menjadi batu, hingga tak mau mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali. Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk pada sampeyan...” Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro dengan cepat gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya, menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk.

Desss... desss! Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali

berturut-turut. Ki Suro merasakan tangan kanannya bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya

Page 41: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Si Lidah Bangkai kelihatan mengernyit seperti menahan sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang luar biasa. Lidah si nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit tongkat bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan lidahnya maka tongkat itu tertarik keras. Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus amblas ke dalam perut!

Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda. Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang yang kenyang habis menyantap makanan enak. Mulutnya yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi besar berwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah berlelehan ke dagunya.

“Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer, hatimu dibuat leleh dan kau mau menyerahkan kitab itu padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan tongkatmu dalam perut besarku!”

Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek. Dengan tenang dia menjawab, “Memohon pada Tuhan adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon untuk hal yang tidak baik dan bukan bersifat kebajikan. Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada tempatnya. Sampeyan keliru, bukan di dalam perut sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang Maha Kuasa. Jadi harap sampeyan suka mengembalikan tongkatku!”

Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjuk diarahkan ke pusar Si Lidah Bangkai. Ketika jari itu digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang membuat si nenek berseru kaget.

Breeettt!

Page 42: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari robekan itu perlahan-lahan menyembul keluar tongkat bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi ditelannya!

Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Suro gerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti orang memanggil. Settt! Tongkat kuning melesat dan kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua itu. Dengan mata mendelik si nenek perhatikan dan pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari perutnya lewat pusar, jangan-jangan pusarnya telah bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidak cidera. Tapi tengkuknya telah terlanjur dingin karena kecut. Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan.

Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di atas dada Ki Suro berkata, “Cukup sudah kita berlaku seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir. Saat bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyan suka pergi dengan tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang telah terjadi telah kulupakan.” Ki Suro membungkuk memberi hormat pada si nenek.

Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan. Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke tanah dia berkata, “Ki Suro, jangan bertingkah sombong, menyuruh aku pergi! Aku tidak angkat kaki dari tempat ini tanpa kitab itu!”

Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah merah menyembur disusul dengan gulungan lidahnya yang menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan tangan kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali dibetot lidah itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar ludah merah bermuncratan membasahi wajah dan jubah putih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya.

Taarrr! Taaarrr! Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk.

Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah,

Page 43: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

menghantam ke arah Ki Suro Gusti Bendoro! “Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran

menghadapi manusia sesat lupa diri ini,” kata Ki Suro. Lalu dia cepat menghindar.

Bummmm! Kraaak! Satu letusan keras disusul suara patahnya batang

pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk.

“Luar biasa... Luar biasa!” kata Ki Suro dalam hati, “Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan sesat!”

Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar suara seperti petir berkiblat. Cahaya merah bergulung-gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan diri Ki Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek ini digempur habis-habisan. Walau tidak sekalipun cambuk lidah di tangan lawan mengenai diri atau pakaiannya, namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu tidak dapat dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh noda-noda merah seperti diperciki darah.

“Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu! Pergilah dari sini!” Ki Suro memberi ingat. Dia masih berharap agar si nenek sadar dari perbuatannya. “Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan tidak bisa dibuat sadar...” begitu kiai berhati tulus ini berpikir.

***

Page 44: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

ARIO BLEDEG

PETIR DI MAHAMERU 8

KALA SRENGGI NENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitab “Hikayat Keraton Kuno” mana mau perdulikan teriakan Ki Suro Gusti Bendoro. Malah dia lancarkan serangan lebih gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba hitam lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya merah redup membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana curahan hujan mengurung si kakek. Karena mengambil sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang, lama-lama Ki Suro jadi terdesak dan jurus demi jurus keadaannya semakin berbahaya.

“Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di tangan perempuan sesat ini bisa-bisa aku tidak akan tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika aku berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk menghadapinya.” Setelah berucap di dalam hati seperti itu Ki Suro masih belum mau turun tangan. Dia memberi kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu pergi dari situ.

Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt!

Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat keluar dari gulungan serangan lawan. Untung senjata

Page 45: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

lawan tidak sampai melukai kulitnya. “Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar

hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau menyudahi urusan dan pergi dari sini!” Ki Suro memberi ingat untuk kesekian kalinya.

“Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur menentukan minta kitab dan juga nyawamu!” menjawab Si Lidah Bangkai lalu didahului tawa bergelak dia kiblatkan kembali cambuk lidahnya.

Taaarrr! Taarrr! Taaarrr! Cambuk merah mendera udara senja yang semakin

gelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu menghantam ke arah kepala Ki Suro. Satu lagi menyambar ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan kiri yang memegang kitab daun lontar.

Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai memang luar biasa. Ki Suro tidak tahu mana dari tiga ujung lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya. Karenanya untuk membentengi diri dia putar tongkat bambu kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran.

Wuutttt! Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua

cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas karena memang bukan ujung cambuk sebenarnya. Tapi ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telah menyambar pergelangan tangan kiri Ki Suro, langsung melilit naik ke arah kitab daun lontar yang dipegangnya!

Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas orang. Begitu ujung cambuk lidah melesat ke arah kitab daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke udara. Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangan kirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti ada satu kekuatan raksasa menarik tangannya hingga dua kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh lawan melayang di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak

Page 46: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini melancarkan tendangan sekuat tenaga.

Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mental sampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki Suro pergunakan kesempatan untuk menyambut dan menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke tanah dengan ujung tongkat bambu kuningnya. Dengan tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga melayang masuk ke dalam tangan kirinya!

“Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Si Lidah Bangkai. Dengan cepat dia melompat bangkit tapi agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya akibat ‘tempelan’ kaki Ki Suro tadi.

“Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati sendiri. Sampeyan menjual, aku terpaksa membeli. Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi. Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap keras hati keras kepala...”

“Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di depan mata!” teriak Si Lidah Bangkai. Laksana terbang tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya didorongkan ke depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyembur keluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat ganas dalam keadaan saling bergerak bersilangan satu sama lain seperti mata gunting.

“Gunting Iblis!” seru Ki Suro yang mengenali ilmu kesaktian yang dipergunakan si nenek untuk menyerang. Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia pernah mendengar, selama malang melintang di kawasan timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi momok nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan yang tidak mampu menyelamatkan diri dari serangan ini. Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat

Page 47: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

mengerikan seumur hidup! Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki

Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu Gunting Iblis-nya. Tetapi betapa terkejutnya si nenek ketika tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah putih itu lenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan saktinya menghantam tempat kosong lalu merambas serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar. Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan!

“Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!” teriak Si Lidah Bangkai.

“Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurang memasang mata!” tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di belakang. Si nenek cepat membalik sambil kembali hendak menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi sebelum dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia melihat satu benda panjang berwarna merah berkelebat ke arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini hingga Si Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu dua tangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya mulai dari pinggang sampai ke bahu telah terikat!

“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan dua tangan! Tidak mampu melepaskan diri!” Dalam gelap si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadari bahwa benda yang mengikat tubuhnya saat itu bukan lain adalah cambuk lidah miliknya sendiri!

Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si nenek.

“Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di hadapanmu, minta ampun minta dikasihani!” Ucapan si nenek masih keras lantang.

Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Aku memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau kehilangan waktu sholat Magrib-ku. Aku bukan raja kepada

Page 48: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal ini baik-baik. Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan harus disembah! Semoga Tuhan memberi petunjuk padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut. Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka.”

Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. “Tak perlu kau mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan memperhinakan diriku! Tunggu saatnya. Aku akan kembali melakukan pembalasan! Aku akan kembali mengambil kitab dan nyawamu!”

Ki Suro menarik nafas panjang. “Lidah Bangkai, tak ada yang kalah tak ada yang menang di antara kita. Terserah padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan wajib memberi ingat...”

Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro. Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian atas masih terikat dia tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan, Ki Suro yang cukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju ke sebuah mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan pakaiannya dia mengambil wudhu lalu di satu tempat yang bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan berkelebat dari samping kiri.

***

WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari cepat. Di satu tempat dia hentikan larinya ketika tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat di hadapannya. Si nenek cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar. Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan lagi. Tapi Si Lidah Bangkai yakin siapapun adanya orang itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah

Page 49: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga muncul memperlihatkan diri, akhirnya si nenek lanjutkan perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari sepuluh tombak tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi di hadapannya.

“Makhluk kurang ajar!” si nenek berteriak, “Jangan berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau berkelebat, kuputus nyawamu!” Lalu nenek ini buka mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat.

Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan malam di depan sana terdengar orang berseru, “Lidah Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kau rupanya! Tadinya aku merasa ragu!”

Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju kuning lengan panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di punggungnya ada satu bumbung bambu. Orang tua ini melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si Lidah Bangkai buka matanya lebar-lebar. Pada jarak empat langkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu. Maka diapun berseru, “Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya! Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil mempermainkanku!” Si nenek lalu tertawa mengikik.

“Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut nama asliku! Dalam rimba belantara ini bisa ada belasan mata yang melihat dan belasan telinga yang mendengar!” Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir.

“Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau lepaskan ikatan yang melilit tubuhku!” kata si nenek.

Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu melangkah lebih dekat. “Astaga!” kejutnya, “Benda yang mengikatmu ini bukankah cambuk lidah milikmu sendiri? Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu membukanya sendiri! Apa yang terjadi?”

“Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara

Page 50: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

kau menolong aku akan ceritakan apa yang kualami! Aku berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!”

“Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi bahan pembicaraan dan dicari orang sejak puluhan tahun itu?”

Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. “Mulailah melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama samaran yang kau pergunakan sampai saat ini?”

“Kala Srenggi,” jawab orang tua baju kuning. Si nenek menyeringai. “Kala Srenggi! Nama edan! Hik...

hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambu berisi binatang-binatang celaka itu!”

Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh tubuh si nenek di sebelah atas. Sementara ditolong Si Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro.

“Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat kerajaan bahkan diinginkan oleh Sultan ternyata memang ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian tinggi luar biasa. Ketika aku menelan tongkat bambunya dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat pusar tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendak menghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia malah pergunakan cambuk lidahku untuk meringkus diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti tubuhnya, mencincang daging dan tulang belulangnya!”

“Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan! Mau kau apakan benda ini?”

Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuk lidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah terlepas, dengan cepat si nenek mengambil cambuk lidah itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot.

Wettt... weetttt!

Page 51: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai.

“Ilmu gila!” kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala, “Sekarang apa yang akan kau lakukan?”

“Menurutmu bagaimana?” si nenek balik bertanya. “Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di

Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu masih ada di tempat kau sebelumnya meninggalkannya. Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita datangi dia kembali!”

“Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicara berpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu percaya padamu. Kita ke sana dan kau hanya sebagai sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab kuno itu adalah bagianku! Jangan ada pikiran kotor di benakmu untuk ingin memilikinya!”

Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk. Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu dari beberapa penyamaran yang tengah dilakukannya.

Siapakah adanya Kala Srenggi ini? Seperti yang disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi. Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto, putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikat dengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah menduduki jabatan sebagai seorang Tumenggung mau berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan jabatan yang jauh lebih tinggi. Namun kekacauan yang kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan pula semua rencana Pakubumi.

Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah seorang menantu mendiang Pangeran Prawoto dan di masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan

Page 52: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih dikenal dengan nama Adiwijoyo menghimpun kekuatan untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil membangun satu kekuatan besar. Bersama orang-orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat dalam pembunuhan Pangeran Prawoto. Salah seorang di antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian menyembunyikan diri di satu tempat. Ketika dia muncul kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk dengan nama Kala Srenggi.

***

Page 53: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

ARIO BLEDEG

PETIR DI MAHAMERU 9

BENTENG TIGA RATUS ULAR WALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu di dalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk dalam menunaikan sholat Magrib-nya.

Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala Srenggi, “Kesempatan bagus! Selagi dia sembahyang begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis! Masakan tubuhnya tidak akan terkatung-katung!”

“Tunggu dulu sahabatku Lidah Bangkai. Harap kau mau bersabar sedikit dan memberi kesempatan padaku...”

“Apa maksudmu?!” tanya Si Lidah Bangkai. “Binatang peliharaanku! Sudah lama dia tidak diberi

makan!” menjawab Kala Srenggi. “Kau! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan...” “Lidah Bangkai, aku hanya berjanji tidak akan

berselingkuh mengambil kitab kuno itu. Tidak ada perjanjian siapa yang harus menghabisi Ki Suro. Bukankah kau telah mempercayakan diriku sebagai orang yang akan membantu menghadapi Kiai itu. Kau tenang-tenang saja. Biar aku yang mengurusi jiwanya.”

“Kalau begitu lakukan cepat!” kata Si Lidah Bangkai akhirnya menyetujui.

Kala Srenggi tertawa lebar. Dia ambil bumbung bambu besar yang sejak tadi tergantung di punggungnya. Sambil mencangkung bumbung bambu itu diciumnya dua kali lalu selembar kain tebal yang menutupi ujung atas bumbung bambu dibukanya.

Page 54: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Anak-anakku, makanan sudah menunggu kalian. Walau mungkin dagingnya agak alot karena sudah tua, tapi masih lebih baik daripada tidak ada makanan sama sekali!” Kala Srenggi menyeringai. Ujung bumbung bambu yang terbuka diturunkannya ke tanah. Begitu bambu menyentuh tanah maka pukulan kalajengking hitam dan besar laksana kucuran air berhamburan keluar. Binatang-binatang ini merayap cepat di tanah. Seperti sudah tahu apa yang diinginkan Kala Srenggi, puluhan kalajengking itu langsung mendatangi Ki Suro Gusti Bendoro.

Sang Kiai sendiri saat itu masih khusuk melakukan sembahyang. Duduk tahajud terakhir di tanah beralaskan daun-daun besar tak jauh dari sebuah mata air. Dia mendengar kedatangan kedua orang itu. Sayup-sayup dia juga mendengar pembicaraan mereka. Lalu jelas sekali telinganya menangkap suara puluhan kalajengking yang merayap di tanah mendatanginya dengan cepat. Lebih dari itu dia tahu juga bahwa kalajengking-kalajengking yang dilepas Kala Srenggi itu merupakan binatang beracun. Sekali kena sengat atau dijepit, jangankan manusia, seekor kerbau pun akan menemui ajalnya hanya dalam beberapa ketika! Tetapi sang Kiai seolah tidak perduli. Seolah dia memang sudah pasrah kalau harus menemui ajal dalam keadaan menghadap Tuhan.

Hanya beberapa langkah lagi puluhan kala itu akan mencapai sosok Ki Suro, tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat. Lalu menyusul terdengar suara mendesis riuh sekali.

“Apa yang terjadi?!” tanya Si Lidah Bangkai sambil pentang mata lebar-lebar dan memandang berkeliling.

“Tanah bergetar. Aku mendengar suara desisan aneh,” menyahuti Kala Srenggi. Lalu Tumenggung dari Demak ini keluarkan seruan tertahan, “Lihat!” katanya seraya menunjuk ke depan.

Saat itu entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul ratusan ular berbagai ukuran dan berbagai warna. Binatang-binatang ini meluncur di tanah mengeluarkan

Page 55: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

suara menderu lalu mengelilingi sosok Ki Suro Gusti Bendoro. Kalau tadi mereka melata maka kini ratusan ular itu tegak berdiri diujung ekor masing-masing. Mereka bukan saja membentengi rapat sosok Ki Suro tapi dari mulut yang terbuka serta suara mendesis yang mereka keluarkan, jelas ratusan ular itu siap untuk menyerang puluhan kalajengking yang hendak mendatangi sang Kiai.

“Ular... Banyak sekali!” kata Si Lidah Bangkai dengan tengkuk merinding.

“Kurasa ada sekitar tiga ratusan...” berucap Kala Srenggi dengan suara perlahan tercekat. “Kiai satu ini memang sejak lama diketahui bersahabat dengan bangsa ular!” kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung.

“Lihat, puluhan kalajengkingmu seperti dipantek ke tanah. Tidak berani maju lebih jauh mendekati orang tua itu! Binatang-binatang itu agaknya tak bisa menembus benteng tiga ratus ekor ular!”

“Aku harus memberi semangat pada mereka!” kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung. Lalu telapak tangannya ditempelkan ke tanah. Saat itu juga menjalar getaran-getaran halus. Begitu getaran menyentuh puluhan kalajengking, ekor binatang-binatang ini langsung berjingkrak naik. Lalu laksana terbang puluhan kalajengking melesat, coba menembus barisan ular yang berdiri rapat membentengi Ki Suro.

Saat itu Ki Suro baru saja selesai mengucapkan salam pertanda dia telah mengakhiri sholat Magrib-nya. Tapi lagi-lagi orang tua ini seperti tidak acuh. Begitu selesai sembahyang dia tidak langsung bangkit berdiri melainkan terus duduk bersila dan mulai berzikir.

Puluhan ular di barisan terdepan yang mengelilingi Ki Suro, begitu melihat puluhan kalajengking datang menyerang segera keluarkan desisan keras lalu melesat ke depan, menyongsong datangnya serangan. Baik Kala Srenggi maupun Si Lidah Bangkai tidak pernah menyaksikan perkelahian antara binatang dengan binatang. Apalagi antara ular dengan kalajengking.

Page 56: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Keduanya sampai leletkan lidah melihat apa yang terjadi. “Celaka! Kalajengkingku musnah semua!” ujar Kala

Srenggi dengan muka memucat. Bumbung bambu yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh ke tanah.

“Ular-ular itu, tidak seekorpun yang cidera!” menjawab Si Lidah Bangkai, “Biar kuhantam mereka dengan pukulan Gunting Iblis!”

“Aku akan membarengi dengan pukulan Jarum Tanpa Bayangan,” kata Kala Srenggi pula. Lalu ketika si nenek angkat dua tangannya, Kala Srenggi segera pula mengangkat tangan kanannya. Ilmu Jarum Tanpa Bayangan adalah ilmu kesaktian yang bisa mengeluarkan lima siuran angin dari lima ujung jari. Angin tanpa cahaya atau sinar ini di dalamnya justru terkandung puluhan jarum beracun yang tidak bisa terlihat oleh pandangan mata biasa. Akibatnya banyak musuh yang tidak bisa menghindar dari serangan tersebut dan menemui ajal dengan tubuh penuh ditancapi jarum beracun.

Kali ini Ki Suro Gusti Bendoro benar-benar menghadapi maut yang mungkin tidak dapat lagi dihindarinya. Namun, sementara orang tua itu tetap melakukan zikir, tiba-tiba sekitar dua ratus ekor ular goyangkan kepala dan keluarkan suara mendesis. Seratus meluncur cepat di tanah, seratus lagi melayang setinggi pinggang. Semua melesat ke arah Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai! Sementara itu sisa seratus ular masih tetap tegak di atas ekor masing-masing, mengelilingi melindungi Ki Suro.

Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai sama-sama keluarkan seruan terkejut. Mereka berusaha melompat selamatkan diri tapi puluhan ular sudah membelit melingkari dan menggelayuti tubuh mereka.

Saat itulah Ki Suro Gusti Bendoro menyudahi zikirnya, bergerak dari duduknya dan bangkit berdiri.

“Sahabat-sahabatku, jangan celakai dua orang itu. Semua kembali ke sini!”

Mendengar ucapan sang Kiai dua ratus ular yang ada di sekujur tubuh Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai dengan

Page 57: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

patuh segera meluncur turun ke tanah lalu kembali berkumpul dengan seratus kawan-kawannya yang tegak mengelilingi Ki Suro. “Kalian berdua telah diselamatkan oleh Tuhan! Bersyukurlah padaNya. Tinggalkan tempat ini. Tinggalkan hidup dalam kesesatan!”

Masih dalam keadaan ngeri atas apa yang barusan mereka alami, tanpa mampu berkata apa-apa lagi Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai segera tinggalkan tempat itu. Ki Suro memandang berkeliling pada ratusan ular yang ada di sekitarnya.

“Sahabat-sahabatku, aku sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Karena hari sudah malam bukankah lebih baik bagi kalian kembali ke tempat masing-masing?”

Tiga ratus ular mendesis panjang. Satu persatu mereka turunkan tubuh, melata di tanah.

“Sekali lagi aku berterima kasih pada kalian,” kata Ki Suro lalu membungkuk memberi penghormatan. Dia baru meluruskan tubuhnya kembali setelah semua binatang itu lenyap dari tempat tersebut.

Ki Suro menghela nafas lega. Dia merasa gembira karena ratusan ular itu tidak sampai menciderai Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai. Sambil memandang ke arah lenyapnya ke dua orang itu si kakek usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut putih. Dia coba mengingat-ingat, “Orangtua berbaju kuning yang datang bersama Si Lidah Bangkai tadi, aku seperti mengenali suaranya. Tetapi mengapa sosok dan wajahnya berlainan? Aku menduga jangan-jangan dia adalah... Ah! Di usia tua renta begini mungkin saja dugaanku bisa keliru. Biar aku lupakan saja dirinya. Aku harus menyempatkan memeriksa dan membaca kitab yang diberikan pengemis di pedataran Tengger itu.” Lalu orang tua ini naik ke satu bukit kecil. Dekat reruntuhan sebuah arca, Ki Suro duduk. Dikeluarkannya kitab daun lontar dari kempitan tangan kirinya dan membalik halaman pertama.

***

Page 58: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

ARIO BLEDEG

PETIR DI MAHAMERU 10

SUNAN AMPEL DI BAWAH penerangan bulan setengah lingkaran dan taburan bintang-bintang, Ki Suro Gusti Bendoro duduk di puncak bukit. Halaman pertama kitab daun lontar telah dibukanya. Agak sulit juga baginya untuk membaca karena selain ada beberapa bagian yang rusak, tulisan di daun lontar itu banyak yang tidak jelas lagi.

Sesungguhnya sebelum manusia dilahirkan ke dunia, nasib perjalanan dirinya telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, Gusti Allah Seru Sekalian Alam. Tiada beda antara insan satu... lainnya. Kecuali takwa dan kebajikan yang dibuatnya. Semua manusia dijadikan dari sumber dan bentuk yang sama. Karena itu mereka adalah bersaudara satu dengan lainnya. Tetapi di atas dunia mengapa mereka berbeda dalam pikiran, hati dan perbuatan. Mengapa tali persaudaraan mereka ubah menjadi api permusuhan. Mengapa insan lebih... bisikan setan daripada mendengarkan bisikan malaikat. Mereka saling berbunuhan dalam memperebutkan harta, tahta dan wanita. Padahal ajal manusia bukan di tangan manusia lainnya. Ajal manusia adalah kuasa Sang Pencipta. Sebelum ajal berpantang mati. Sekalipun insan berusaha mencari jalan kematiannya sendiri.

Sampai di sini Ki Suro hentikan bacaannya. Dia memandang ke arah kejauhan yang diselimuti kegelapan malam. Diam-diam dia menyadari betapa usianya sudah sangat lanjut. Namun Tuhan masih memanjangkan

Page 59: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

umurnya. Entah sampai kapan. Dia lalu teringat pada mimpi yang pernah dialaminya sampai tiga kali. Ki Suro melanjutkan bacaannya kembali.

Sifat dengki, iri, fitnah dan ingin berkuasa terlahir bersama lahirnya manusia. Janganlah heran kalau kemudian kutuk dan bala diturunkan Allah. Bukan hanya untuk menghu... ummat, tetapi agar mereka juga ingat, segera meninggalkan kesesatan dan kembali ke jalan yang lurus dan benar, jalan yang diredhoiNya.

Sayangnya manusia bersikap pura-pura. Terkadang malah bersikap pongah dan menantang. Ketika mereka berpijak di atas harta dan duduk di atas tahta kekuasaan mereka mengira diri merekalah yang menguasai apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Mereka ingkar pada hati nurani sendiri. Terlebih dari itu mereka ingkar pada Tuhan yang menciptakan mereka.

Konon malapetaka akan... menimpa negeri indah dan subur yang disebut Jawadwipa. Air mata lebih deras dari curahan hujan. Darah akan tumpah menganak sungai. Di dalam kekacauan yang berpusat dari keraton itu di mana tidak lagi diketahui mana kawan, mana lawan, mana anak mana saudara, maka ada seorang anak manusia yang akan diselamatkan oleh tangan Tuhan ke satu puncak tertinggi. Kepadanyalah segala harapan akan ditumpahkan. Kepadanyalah keraton akan banyak menggantungkan nasib.

Di puncak tertinggi ini pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa seorang insan panutan akan menemui hari terakhirnya. Sementara rohnya kembali ke alam barzah, Kuasa Tuhan akan merubah jazadnya menjadi sebilah... berluk tujuh yang diciptakan Tuhan dari raga suci dan petir sakti. Kelak senjata itu akan dikenal dengan nama “Ki Ageng Pitu Bledeg”. Kelak senjata itu akan menjadi salah satu pusaka Keraton. Namun selama negeri dilanda kekacauan, anak yang mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa itu akan menjadi pemiliknya. Dengan berkah dan perlindungan Gusti Allah kelak di kemudian

Page 60: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

hari anak itu berhak menyandang gelar “Pendekar Keris Tujuh Petir”. Barang siapa yang melangkah di jalan lurus maka Allah akan memberkatinya. Barang siapa yang menerima wasiat hikayat ini dan melakukan sesuatu yang diridhoi Allah maka kepadanya Gusti Allah menjanjikan tempat yang sebaik-baiknya di Negeri Akhirat. Tak ada ganjaran yang paling besar dan nyata selain mengerjakan perintahNya dan menjauhkan laranganNya.

Selesai membaca kitab daun lontar yang hanya terdiri dari dua halaman itu ditambah sampul depan dan sampul belakang, lama Ki Suro Gusti Bendoro merenung. Dia seolah bicara dengan dirinya sendiri.

“Kitab ini diberikan seorang pengemis aneh padaku di tengah gurun pasir Tengger. Dia lenyap begitu saja seolah dirinya adalah seorang malaikat Allah. Jika kuhubungkan tiga mimpi yang kualami dengan semua kejadian serta kitab daun lontar ini agaknya aku telah menerima satu amanat, satu wasiat. Di dalam kitab disebutkan satu tempat tertinggi di tanah Jawa. Jika aku hubungkan dengan kekacauan dan peristiwa berdarah yang terjadi di Demak, apalagi yang dimaksudkan dengan tempat tertinggi itu kalau bukan puncak Gunung Mahameru?”

Ki Suro merasakan dadanya berdebar ketika dia ingat pada bacaan yang berbunyi “Di puncak tertinggi itu pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa seorang insan akan menemui hari terakhirnya...”

“Suara hatiku membisikkan aku harus pergi ke puncak Mahameru. Aku mempunyai firasat di tempat itulah agaknya hari terakhirku di dunia ini... Pendekar Keris Tujuh Petir... Apakah aku akan menemuinya di sana? Ini bukan perkara kecil. Aku butuh petunjuk.” Ki Suro memandang ke langit. Cahaya bulan setengah lingkaran kelihatan begitu indah dan terasa sejuk. Dada sang Kiai yang tadi berdebar kini menjadi tenteram kembali. Ki Suro lalu pandangi kitab daun lontar yang ada di pangkuannya. “Kitab berharga ini harus kusimpan baik-baik. Mungkin tidak akan kubawa ke puncak Mahameru. Tetapi kepada siapa kitab sangat

Page 61: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

berharga ini akan kuserahkan? Ya Allah, aku benar-benar perlu petunjukMu.” Ki Suro lalu pejamkan mata dan tampungkan dua tangannya ke atas, berdoa memohon petunjuk. Namun sampai lewat tengah malam orang tua ini masih belum menemukan apa-apa. Ki Suro lalu menghadap kiblat dan bersujud sambil kembali memanjatkan doa.

Tiba-tiba Ki Suro merasakan ada getaran-getaran di keningnya yang menempel di tanah. Lalu sayup-sayup di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda. Derapnya perlahan saja tapi tak selang berapa lama kemudian binatang itu telah berada di atas puncak bukit di hadapan Ki Suro.

Perlahan-lahan Ki Suro bangkit dari sujudnya. Beberapa langkah di depannya berdiri gagah seekor kuda putih yang ekornya selalu digerak-gerakkan kian kemari. Di atas punggung binatang ini duduklah seorang berjubah dan bersorban putih. Sepasang alis matanya hitam tebal. Kumis dan janggutnya tampak rapi. Di tempat itu keadaan cukup gelap tapi anehnya Ki Suro bisa melihat keseluruhan wajah penunggang kuda ini dengan jelas. Satu wajah tua yang bersih dan tenang. Dan begitu mengenali wajah ini terkejutlah Ki Suro. Cepat-cepat dia bangkit berdiri, membungkuk dalam-dalam. Ketika dia hendak memberi salam, si penunggang kuda telah mendahului.

“Salam sejahtera bagimu wahai saudaraku seiman.” “Salam sejahtera juga bagi sampeyan saudaraku

seiman,” balas Ki Suro. “Maafkan saya. Jika saya boleh bertanya bukankah sampeyan ini Wali Allah yang dipanggil dengan nama Sunan Ampel? Yang saya ketahui adalah juga merupakan saudara sepupu mendiang Sultan Demak Raden Patah?”

Orang di atas kuda tersenyum. “Malam begini gelap. Aku gembira kau masih bisa mengenali diriku.”

“Allah Maha Besar. Sungguh satu kebahagiaan dan kehormatan dapat bertemu dengan salah seorang dari Sembilan Wali terkenal. Maafkan kelancangan saya kalau

Page 62: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

saya bertanya bagaimana Wali bisa muncul di tempat ini dan tanpa pengiring atau pengawal sama sekali?”

Sunan Ampel tersenyum kembali lalu turun dari kudanya. Ki Suro cepat menghampiri Wali ini, lalu menyalaminya dengan penuh khidmat

“Allah Maha Besar yang menuntun diriku ke puncak bukit ini. Allah Maha Besar pula yang menjadi pelindung diriku dan kita semua. Hingga perlu apa aku membawa pengiring dan pengawal segala? Saudaraku, melihat begitu lama sujudmu tadi, aku menduga pastilah ada satu hal teramat penting yang tengah kau mohonkan padaNya.”

“Terima kasih Wali mau memperhatikan diri saya. Wali benar adanya,” kata Ki Suro. Lalu meneruskan, “Saat ini saya tengah menghadapi satu perkara besar. Menyangkut mimpi saya yang ada hubungannya dengan kitab daun lontar ini.”

“Kitab apakah itu adanya saudaraku?” tanya Sunan Ampel.

“Kitab ini tidak berjudul. Tapi jika membaca hikayat yang ada di dalamnya, ada sangkut pautnya dengan Keraton Demak serta masa depan tanah Jawa.” Lalu Ki Suro menceritakan isi kitab yang baru saja dibacanya.

“Berbahagialah engkau saudaraku. Tuhan telah mempercayakan kitab itu padamu...”

“Tapi Wali, saya rasa... Saya rasa kitab ini sebaiknya saya serahkan saja pada Wali.”

Sunan Ampel tersenyum. “Pengemis aneh di gurun Tengger itu sudah

mengatakan. Kitab itu berjodoh padamu. Mengapa harus kau serahkan padaku? Bawalah kitab itu ke mana kau pergi. Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan. Tetapi jika kau ingin kejelasan yang lebih baik, mengapa kau tidak melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Dilanjutkan dengan membaca doa petunjuk, doa Istikharah?”

“Terima kasih Wali. Saya akan lakukan apa yang Wali katakan.” kata Ki Suro pula.

Page 63: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Aku harus melanjutkan perjalanan. Semoga Tuhan memberkahi dan melindungi dirimu saudaraku.”

“Terima kasih Wali. Semoga rahmat Tuhan menjadi bagian Wali. Selamat jalan Wali. Assalam mualaikum.” Ki Suro lalu membungkuk penuh hormat.

“Wa alaikum salam.” Sunan Ampel lalu naik ke atas kudanya.

Tak lama setelah Sunan Ampel meninggalkan bukit kecil itu, Ki Suro Gusti Bendoro segera melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Selesai sembahyang Kiai ini lalu duduk bersila. Dengan penuh khidmat dia memanjatkan doa Istikharah.

“Ya Tuhanku. Sesungguhnya saya minta Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuanMu, dan saya minta Engkau memberi saya kekuatan dengan kekuasaanMu, dan saya minta kemurahanMu yang luas, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang saya tidak berkuasa, Engkau mengetahui sedang saya tidak mengetahui, dan Engkau adalah amat mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Tuhanku, kalau memang Engkau ketahui bahwa perkara ini baik bagi saya, untuk agama saya, penghidupan saya dan untuk penghabisan saya, maka berikanlah kepada saya dan mudahkanlah urusan buat saya dan berkatkanlah dia bagi saya. Dan kalau memang Engkau sudah mengetahui bahwa perkara ini tidak baik untuk saya, agama saya, untuk penghidupan saya dan untuk penghabisan saya, maka jauhkanlah dia dari saya dan jauhkanlah saya dari dia, dan berikanlah kepada saya kebaikan dari mana saja datangnya serta jadikanlah saya orang yang ridho akan dia.”

Keesokan paginya, menjelang subuh ketika sang Kiai terbangun, secara aneh dia langsung teringat pada seorang sahabatnya, seorang Empu bernama Bondan Ciptaning.

“Tuhan Maha Besar. Dia telah memberi petunjuk pada tua renta buruk ini. Aku harus menemui empu itu. Agaknya kepadanyalah aku harus menyerahkan kitab ini sebelum

Page 64: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

berangkat menuju puncak Mahameru.” Begitu sang Kiai membatin. Lalu dia ingat pula pada ucapan Sunan Ampel pada pertemuan di awal malam tadi. “Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan...”

***

KI SURO Gusti Bendoro menatap wajah Empu Bondan Ciptaning yang memandang sayu padanya. Ki Suro maklum perasaan yang ada dalam hati sahabatnya yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu. Karenanya dengan tersenyum dia berkata, “Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, begitulah tadi kisah yang bisa aku tuturkan pada sampeyan. Yang Kuasa telah memberi petunjuk. Aku merasa bahagia dan lega dapat menyerahkan kitab itu pada sampeyan. Harap sampeyan mau menjaganya baik-baik. Sekarang, selagi hari masih siang, izinkan diriku berangkat menuju Gunung Mahameru.” Ki Suro memegang bahu sahabatnya itu lalu bangkit berdiri.

“Tunggu dulu Ki Suro,” kata Empu Bondan Ciptaning seraya berdiri pula. “Apakah kau tidak keliru menyerahkan kitab sangat berharga dan sangat keramat ini padaku?”

“Petunjuk Gusti Allah mengatakan begitu. Mana berani aku melakukan hal menyimpang dari itu. Saudaraku, agaknya apakah ada keraguan dalam hatimu?”

“Tidak, sama sekali tidak ada keraguan. Ki Suro, aku mengetahui apa arti perjalananmu ke puncak Mahameru itu. Agaknya hari ini adalah hari pertemuan kita yang terakhir...” Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kelihatan mulai berkaca-kaca.

Kembali Ki Suro Gusti Bendoro memegang bahu sahabatnya itu. Walau dia sebenarnya juga tidak dapat menahan keharuan namun dengan senyum di bibir dia berkata, “Hari ini begini indah, pertemuan kita penuh kegembiraan. Apa yang sampeyan sedihkan saudaraku? Apakah pertemuan, persahabatan dan persaudaraan itu

Page 65: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

hanya terbatas di atas dunia yang serba fana ini? Bukankah agama kita memberi petunjuk bahwa akan ada satu kehidupan baru di alam akhirat, satu kehidupan yang kekal selama-lamanya?”

“Kau benar saudaraku. Mungkin aku terlalu hanyut dalam perasaan...” kata Empu Bondan Ciptaning pula sambil coba mengulum senyum.

“Sebelum kita berpisah ada sesuatu yang hendak aku berikan pada sampeyan,” kata Ki Suro lalu memasukkan tangan kirinya ke dalam saku kanan jubah putihnya. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatanlah seuntai tasbih besar berwarna hijau terbuat dari batu giok asli berasal dari daratan Tiongkok.

Empu Bondan Ciptaning bergerak mundur satu langkah. “Saudaraku Ki Suro, jangan kau bermain-main.”

“Siapa bermain-main? Tasbih ini sudah aku niatkan untuk kuberikan pada sampeyan,” kata Ki Suro pula.

“Tidak saudaraku. Aku tahu betul riwayat tasbih batu giok yang dikenal dengan nama Ki Ageng Bela Bumi ini. Semasa kau muda, dengan tasbih ini kau mendampingi Sultan Demak untuk membangun kerajaan...”

“Lalu apa salahnya aku berikan pada saudaraku sendiri?” ujar Ki Suro lalu sebelum Empu Bondan Ciptaning sempat membuka mulut tasbih besar itu sudah dikalungkannya ke leher sang Empu.

“Ki Suro, perjalanan ke puncak Gunung Mahameru jauh dan banyak rintangan serta bahayanya. Kau pasti membutuhkan tasbih sakti itu untuk melindungi dirimu...”

“Yang menjadi pelindungku adalah Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Aku cukup membawa tongkat bambu kuning ini saja,” kata Ki Suro sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di atas dada. “Saudaraku, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Keadaan akhir-akhir ini semakin tidak karuan. Kita tidak tahu lagi mana lawan mana kawan...”

“Terima kasih atas nasihatmu Ki Suro. Aku akan jaga kitab ini baik-baik. Selamat jalan, semoga Tuhan

Page 66: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

melindungimu hingga kau sampai dengan selamat ke tempat tujuan.”

“Semoga Gusti Allah memberikan berkat dan perlindungan atas dirimu Empu Bondan,” kata Ki Suro lalu dua sahabat itu saling berpelukan beberapa lamanya. Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kembali berkaca-kaca melepas kepergian Kiai Suro Gusti Bendoro hingga akhirnya orang tua berjubah putih itu lenyap di kejauhan.

Empu Bondan menarik nafas panjang. Walau sudah mendengar langsung cerita serta isi kitab daun lontar dari Ki Suro Gusti Bendoro, namun sang Empu ingin membaca sendiri apa yang tertulis di dalam kitab daun lontar yang diberikan Ki Suro kepadanya itu. Maka diapun melangkah ke tepi telaga, maksudnya hendak duduk di atas sebuah batu hitam rata. Namun baru bergerak dua langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda. “Ada orang datang...” kata Empu Bondan dalam hati. Dia cepat menyelinapkan kitab daun lontar ke balik pakaiannya. Ketika dia memutar tubuh dua kuda besar sama-sama berwarna hitam menghambur di kiri kanannya. Kalau orang tua ini tidak gesit menghindar, pasti dia akan kena terjangan kaki atau tubuh kuda-kuda itu. Dari cara muncul kedua orang itu jelas mereka berniat jahat hendak mencelakai Empu Bondan Ciptaning. Lalu ketika dia memperhatikan siapa adanya para dua penunggang kuda, terkejutlah sang Empu. Namun dia tetap berlaku tenang, tak mau memperlihatkan rasa keterkejutannya, apalagi rasa takut.

***

Page 67: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

ARIO BLEDEG

PETIR DI MAHAMERU 11

WAROK WESI GLUDUG PENUNGGANG kuda hitam di sebelah kanan bukan lain adalah nenek berjuluk Si Lidah Bangkai yang sebelumnya telah diceritakan oleh Ki Suro Gusti Bendoro. Di sampingnya juga di atas seekor kuda hitam besar duduk seorang lelaki bertubuh tinggi kekar, mengenakan celana hitam gombrong. Dadanya yang telanjang ditumbuhi bulu lebat. Orang ini memelihara rambut panjang dikuncir ke atas. Mukanya tertutup oleh kumis tebal, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di lehernya ada sebuah kalung digantungi lima buah jimat dibungkus dengan kain hitam. Keangkeran manusia satu ini ditambah lagi dengan sepasang tangannya yang berbulu dan berwarna hitam sebatas siku ke bawah.

Seperti diceritakan sebelumnya, setelah tidak mampu merampas Kitab Hikayat Keraton Kuno dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro, bersama Kala Srenggi nenek itu melarikan diri. Namun di tengah jalan rasa dendam membuat Si Lidah Bangkai mengajak Kala Srenggi menyusun rencana untuk kembali mendatangi Ki Suro. Kala Srenggi menolak dengan alasan bahwa dia punya satu urusan penting di Demak. Alasannya itu memang benar, namun di samping itu Kala Srenggi masih ciut keberaniannya untuk menghadapi Ki Suro. Masih untung dalam pertempuran senja tadi Ki Suro tidak memerintahkan seratus ular membunuhnya, padahal binatang-binatang itu telah menggelung menggayuti dirinya.

Page 68: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Kecewa atas penolakan Kala Srenggi, Si Lidah Bangkai tinggalkan sahabatnya itu lalu memasuki kawasan hutan Roban. Di hutan ini dia menemui seorang gembong rampok yang bukan saja malang melintang berbuat kejahatan tetapi juga diketahuinya pernah berserikat dengan kelompok jahat yang menghancurkan keraton. Ternyata tidak mudah bagi si nenek mencari tokoh penjahat yang dikenal dengan nama Warok Wesi Gludug itu. Lebih dari satu minggu menyusuri rimba belantara lebat barulah dia berhasil menemui sang Warok. Ini pun setelah dia sempat dihadang oleh tiga orang anak buah Warok Wesi Gludug yang kemudian dihajarnya lalu dipaksa membawanya ke tempat persembunyian pimpinan mereka.

Kepada pimpinan rampok hutan Roban itu Si Lidah Bangkai menceritakan tentang kitab kuno yang kini berada di tangan Ki Suro Gusti Bendoro lalu mengajak Warok Wesi Gludug untuk membantu merampasnya.

“Aku memang pernah mendengar riwayat kitab itu sejak belasan tahun silam. Tapi sulit dipercaya benar atau tidak keberadaannya...” kata Warok Wesi Gludug. Sesuai dengan namanya ternyata lelaki tinggi kekar dada berbulu ini memiliki suara besar keras. Siapa yang bicara dengannya akan mengiang dan tergetar gendang-gendang telinganya. Bahkan orang-orang yang tidak membekal ilmu kepandaian bisa berdebar dadanya mendengar suara sang Warok.

“Aku sendiri melihat kitab itu ada pada Ki Suro, apa kau tidak percaya?” kata Si Lidah Bangkai pula.

“Kalaupun memang ada pada Kiai itu, apa artinya sebuah kitab yang sudah lapuk? Apa untungnya membuang waktu bercapai-capai mendapatkannya? Di sini bersama anak buahku dalam satu minggu aku bisa mendapatkan jarahan besar, tanpa bekerja keras,” kata sang Warok lagi tetap enggan membantu Si Lidah Bangkai.

Tapi si nenek berlaku cerdik. “Kalau kau tidak suka membantu tidak jadi apa,” katanya, “Aku bisa mendapatkan bantuan dari para sahabat lainnya. Hanya saja harap di kemudian hari kau tidak merasa menyesal.”

Page 69: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

“Merasa menyesal? Mengapa aku harus merasa menyesal?!” ujar Warok Wesi Gludug.

“Kitab buruk itu diperebutkan banyak tokoh. Berarti ada satu rahasia besar tersimpan di dalamnya. Karena menyangkut keraton, bukan mustahil ada petunjuk tentang harta karun berupa perhiasan atau emas dalam jumlah luar biasa besar. Disembunyikan di satu tempat. Kurasa kau pernah mendengar bahwa dulu ada sebuah kapal besar dari Kerajaan Campa mendarat di pantai Demak membawa barang-barang rahasia berjumlah belasan gerobak besar!” Si nenek menyeringai sambil memperhatikan wajah kepala rampok itu. “Selamat tinggal Warok Wesi Gludug! Perintahkan anak buahmu menunjukkan jalan keluar.” Setelah berucap begitu si nenek putar tubuhnya dan cepat-cepat hendak melangkah seolah-olah dia memang benar-benar hendak tinggalkan tempat itu.

Sikap Warok Wesi Gludug serta merta berubah. “Lidah Bangkai! Tunggu dulu! Aku ikut bersamamu!”

Si Lidah Bangkai tertawa seperti kuda meringkik. “Kalau begitu suruh anak buahmu menyiapkan dua ekor kuda! Perjalanan kita mencari Kiai itu mungkin cukup jauh dan lama!”

Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug tinggalkan hutan Roban menunggang dua ekor kuda hitam besar. Cukup lama mereka melakukan perjalanan, berbilang hari berbilang minggu. Ketika akhirnya mereka berhasil mengetahui di mana beradanya Ki Suro Gusti Bendoro, ternyata sang Kiai dalam perjalanan ke satu tempat berdiam seorang sahabatnya yakni Empu Bondan Ciptaning. Tanpa diketahui Ki Suro kedua orang ini terus menguntit. Mereka berhasil sampai di tempat pertemuan hanya beberapa ketika sebelum Ki Suro meninggalkan tepian telaga, yaitu setelah menyerahkan kitab daun lontar pada Empu Bondan Ciptaning.

“Kita biarkan dulu Kiai itu pergi, baru kita mengerjai sang Empu,” bisik Si Lidah Bangkai yang diam-diam

Page 70: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

rupanya merasa takut juga terhadap Ki Suro. Begitu Ki Suro pergi dan lenyap di kejauhan kedua

orang itu menggebrak kuda masing-masing, langsung menerjang Empu Bondang Ciptaning.

Setelah perhatikan dua orang di atas kuda itu sejenak, Empu Bondan segera maklum kalau orang berniat jahat terhadapnya. “Nenek satu ini jelas masih mencari dan menginginkan kitab yang ada padaku,” kata Empu Bondan Ciptaning dalam hati. “Kawannya ini kalau aku tidak salah menduga adalah pentolan kepala rampok hutan Roban bernama Warok Wesi Gludug, penjahat paling berbahaya yang dicari-cari kerajaan.”

Walau sudah tahu orang berniat jahat tapi Empu Bondan Ciptaning dengan tetap tenang dan wajah polos menegur, “Salam bahagia dan selamat bagi kalian berdua. Sudah lama aku dari tempat jauh ini mendengar nama besar kalian berdua. Jika hari ini nenek hebat Si Lidah Bangkai dan orang terkenal Warok Wesi Gludug datang menyambangi diriku, sungguh aku mendapatkan satu kehormatan besar...” Setelah berucap begitu Empu Bondan Ciptaning lalu bungkukkan badannya memberi penghormatan.

Si Lidah Bangkai menyeringai lalu kedipkan matanya pada Warok Wesi Gludug. Sang Warok balas kedipkan mata lalu tertawa bergelak. Suara tawanya menggetarkan seantero tempat. Apalagi karena dia mengerahkan tenaga dalam maka Empu Bondan merasa telinganya mengiang-ngiang, dadanya bergejolak dan tanah di bawah kakinya bergetar! Cepat-cepat sang Empu kerahkan tenaga dalamnya untuk menolak hawa jahat tenaga dalam orang.

“Sahabatku Lidah Bangkai!” kata Warok Wesi Gludug pada si nenek di sebelahnya, “Kau dengar sendiri orang bicara baik dan sopan pada kita. Berarti kita tidak akan menemui kesulitan berurusan dengan Empu ini! Ha... ha... ha... ha!” Suara tawa Warok Wesi Gludug membahana. Dua ekor kuda hitam tersentak kaget, meringkik keras seperti ketakutan. Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug cepat

Page 71: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

usap-usap leher binatang tunggangannya hingga dua ekor kuda ini menjadi jinak kembali.

“Warok Wesi Gludug, jika kita memang berniat baik dengan siapapun kita melakukan urusan pasti tidak ada kesulitan. Gerangan urusan apakah yang kalian berdua hendak sampaikan padaku. Harap kalian mau memberitahu. Lalu gerangan apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu kalian,” berkata Empu Bondan Ciptaning.

Warok Wesi Gludug angguk-anggukkan kepala. “Orang baik... Empu baik...” katanya berulang kali lalu sepasang lengannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Luar biasanya dua tangan yang saling digosokkan itu mengeluarkan suara grek-grek-grek seperti suara dua potong besi saling digesek. Dari sini saja sudah dapat diketahui bagaimana kehebatan sepasang tangan sang Warok. Ditambah dengan keangkeran wajah dan suaranya maka memang dia pantas dijuluki Warok Wesi Gludug yang berarti “Kepala Rampok Tangan Besi Suara Guntur”.

“Empu Bondan, tentu saja kami datang bukan untuk memesan keris sakti bertuah. Karena kami tahu sudah lama kau tidak pernah duduk di belakang tungku perapian menempa keris. Kami datang membekal satu maksud baik. Sahabatku nenek berjuluk Si Lidah Bangkai ini inginkan sebuah kitab yang ada padamu. Sedangkan aku, mengingat sikapmu yang sopan aku hanya akan meminta tasbih yang melingkar di lehermu!” Selesai berucap begitu sang Warok lalu tertawa bergelak dan kembali gosok-gosokkan dua tangannya satu sama lain.

Empu Bondan Ciptaning tatap wajah dua orang yang masih duduk di atas kuda itu sesaat. Sikap dan raut air mukanya tetap tenang. Tak terpengaruh oleh kata-kata Warok Wesi Gludug tadi padahal orang sudah jelas menyatakan maksud buruknya.

“Warok Wesi Gludug, kau menyebut sebuah kitab. Bisa kau menerangkan kitab apa yang kau maksudkan?” bertanya sang Empu.

“Biar aku yang menjawab!” kata Si Lidah Bangkai

Page 72: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

setelah berdiam diri saja dari tadi, “Kitab yang kami maksudkan adalah sebuah kitab terbuat dari daun lontar. Berisi hikayat keraton kuno...”

“Ah, kitab itu rupanya,” ujar Empu Bondan sambil mengangguk-angguk.

Sebelum dia meneruskan Si Lidah Bangkai kembali membuka mulut, “Seorang Empu tidak akan berkata dusta! Kami melihat sendiri sebelum pergi Kiai Suro Gusti Bendoro menyerahkan kitab itu padamu! Jadi jangan berkilah kitab itu tidak ada padamu!”

Empu Bondan tersenyum. “Kitab yang kalian maksudkan itu memang ada padaku. Tapi harap diketahui, kitab itu bukan milikku. Ki Suro hanya menitipkan padaku agar aku menjaganya baik-baik. Jadi harap dimaafkan kalau aku tidak mungkin menyerahkan kitab itu pada kalian...”

“Hemmm... Begitu?” ujar Si Lidah Bangkai. Sisik hitam kebiruan yang menutupi wajahnya langsung kaku berdiri. Lidahnya yang merah bercabang menjulur menyemburkan percikan cairan merah.

“Kami meminta dengan baik...” Nada suara Si Lidah Bangkai mengandung ancaman.

“Akupun menolak dengan baik,” jawab Empu Bondan. Amarah Si Lidah Bangkai jadi menggelegak. “Empu

tolol! Tua bangka yang sudah bau tanah! Rupanya kau ingin menemui ajal lebih cepat dari takdir!”

“Kita manusia jangan menyalahi ketentuan Yang Maha Kuasa. Soal nyawa dan takdir adalah kuasanya Dia Yang Tunggal,” jawa Empu Bondan pula.

“Bagaimana dengan kalung tasbih batu Giok yang tergantung di lehermu Empu?” bertanya Warok Wesi Gludug, “Apakah kau juga tidak mau menyerahkannya padaku?!”

“Sama saja Warok. Tasbih ini juga titipan orang. Apapun yang terjadi aku harus menjaganya baik-baik.” Jawab Empu Bondan.

Warok Wesi Gludug berpaling pada Si Lidah Bangkai.

Page 73: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Dua orang ini lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba tawa mereka lenyap. Warok Wesi Gluduk keluarkan bentakan garang yang membuat kawasan sekitar telaga jadi bergetar. Air telaga beriak keras. Daun-daun pepohonan bergeser bergemerisik. Si Lidah Bangkai tak mau kalah. Dia keluarkan satu pekik nyaring. Lidahnya bergulung keluar. Lalu sekali membuat gerakan, sosok sang Warok dan si nenek melesat ke atas, begitu turun langsung menyerang ke arah Empu Bondan Ciptaning.

“Tuhan! Saya berpegang pada kekuatanMu dan berlindung di bawah kekuasaanMu. Tolong saya menghadapi manusia-manusia saat ini! Ampuni dosa saya kalau saya sampai menjatuhkan tangan jahat terhadap mereka!” Empu Bondan Ciptaning berkata dalam hati. Lalu dua kakinya digeserkan.

Beettt! Sosok sang Empu berkelebat lenyap. Yang kelihatan

hanya bayang-bayang biru warna pakaiannya. Warok Wesi Gludug dan Si Lidah Bangkai berseru kaget

ketika dapatkan serangan ganas yang mereka lancarkan hanya menghantam tempat kosong. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Yang satu berwarna merah akibat hantaman ujung lidah bercabang Si Lidah Bangkai. Satunya lagi lobang berwarna hitam bekas terkena pukulan tangan besi sang Warok!

(BERSAMBUNG KE BAGIAN-3)

Page 74: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

BASTIAN TITO

KKUUNNGGFFUU SSAABBLLEENNGG

PENDEKAR PISPOT NAGA (THE DRAGON PISPOT)

PDF E-Book: kiageng80

Page 75: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA

(The Dragon Pispot) 1 PERGURUAN kungfu Ban Yak Cing Cong yang dipimpin oleh Tong Pes mengalami kekurangan biaya dan terancam gulung tikar alias tutup. Karenanya sang suhu menyuruh salah seorang muridnya yang terpercaya yaitu Tek Lok pergi ke kotaraja untuk menggadaikan seperangkat pispot antik. Pispot-pispot itu sangat mahal harganya karena konon berasal dari zaman dinasti Cong Ngek 600 abad silam. Maka berangkatlah Tek Lok selama beberapa hari. Ketika ia pulang dari kotaraja alangkah kagetnya pemuda bertubuh gemuk tambun itu karena mendapatkan perguruannya telah diobrak-abrik orang. Di halaman depan bergeletakan sebelas saudara seperguruannya, kebanyakan sudah tidak bernafas lagi. Dua tiga orang memang masih terdengar mengerang. Tapi tak mungkin ditolong karena sebentar lagi mereka pasti akan meregang nyawa.

Sementara itu di serambi depan Tek Lok menyaksikan suhunya bersama seorang murid tingkat utama tengah bertempur mati-matian melawan seorang tinggi besar berdandan aneh. Orang ini mengenakan jubah kuning dengan hiasan naga hitam di bagian dada dan punggung. Di batok kepalanya nangkring satu topi aneh yang bukan lain adalah sebuah pispot putih dihiasi gambar-gambar naga.

Ternyata si topi pispot lawan sang suhu memiliki kungfu luar biasa. Gerakannya cepat sekali, laksana bayang-bayang dikejar setan. Ketua perguruan dan muridnya terdesak hebat hanya dalam beberapa jurus saja. Selain itu yang membuat mereka jadi kelabakan ialah karena setiap

Page 76: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

gerakan yang dibuat lawan, dari balik jubah kuningnya menghambur bau tidak sedap, yakni seperti bau kotoran manusia.

“Jangan-jangan ini olang habis buang ail besal belum cebok alias ngepet!” pikir Tek Lok yang memang cadel dari sononya.

Dalam satu gebrakan hebat kepala si tinggi besar yang disungkup pispot tahu-tahu sudah menghantam dada murid utama. Lelaki kurus kerempeng ini menjerit keras dan terpental. Tubuhnya terbanting di tanah. Dadanya remuk. Tak berkutik lagi. Darah mengucur dari mulutnya. Mata mendelik jereng. Tit sudah!

Sadar kalau seorang diri dan hanya mengandalkan tangan kosong dia tidak akan dapat menghadapi lawan yang begitu lihay maka ketua perguruan Ban Yak Cing Cong segera hunus sebilah golok panjang yang terselip di belakang punggungnya.

“Manusia terkutuk!” memaki Tong Pes. “Hari ini biar pinceng mengadu nyawa denganmu!”

Si topi pispot tertawa bergelak. “Tong Pes! Dulu aku minta kau menjual pispot-pispot

antik itu padaku. Tapi kau menolak dengan sombong! Kau malah menyuruh orang menjualnya ke kotaraja! Hari ini kau bicara segala macam soal adu nyawa! Rupanya kau punya banyak nyawa serep. Aku tuan besarmu Tong Siam Pah akan melayani! Walau begadang sampai pagi sekalipun! Ha... ha... ha!”

Tong Pes kertakkan geraham. Dengan suara menggembor dia putar goloknya laksana curahan hujan. Namun sayang, bagaimanapun hebatnya ilmu golok ketua perguruan kungfu Ban Yak Cing Cong itu dia bukanlah tandingan si topi pispot yang mengaku bernama Tong Siam Pah. Setengah mempermainkan lawannya, setiap Tong Pes membacok, menusuk atau membabatkan goloknya, Tong Siam Pah sengaja angsurkan kepalanya. Maka terdengarlah suara tring... treng... trang... kling berulang kali. Sesekali suara beradunya golok dengan pispot itu

Page 77: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

diseling suara ngek! Yakni suara yang keluar dari mulut Tong Pes akibat jotosan atau tendangan lawan yang mendarat di ulu hatinya!

Tek Lok yang sembunyi di balik sumur menyadari bahaya besar yang tengah mengancam suhunya. Karena tidak ingin dianggap sebagai murid tidak berbakti alias puthauw tanpa pikir panjang Tek Lok segera menyerbu ke tengah kalangan pertempuran guna membantu sang suhu. Namun baru saja dia hendak bergerak mendadak satu tangan yang kuat mencengkeram tengkuknya hingga saking kagetnya Tek Lok sampai keluarkan kentut. Lehernya seperti digencet japitan besar. Kepalanya tidak bisa digerakkan barang sedikitpun!

“Kulang ajal!” maki Tek Lok. Tek Lok kirimkan satu tendangan kungfu ke belakang. Inilah jurus yang disebut “kuda bunting menendang jantan gatal”. Tapi apa lacur, orang yang hendak ditendang rupanya sudah tahu apa yang hendak dilakukan Tek Lok. Dengan cepat dia totok urat besar tepat di atas tulang tunggir murid perguruan Ban Yak Cing Cong yang bertubuh tambun gendut ini. Tak ampun Tek Lok langsung menjadi lumpuh kaku. Tapi mulutnya masih bisa dibuka. Maksudnya mau memaki. Tapi inipun gagal karena di belakang orang yang membokongnya dengan satu gerakan cepat menyumpal mulutnya dengan sebutir buah mengkudu hutan setengah busuk. Membuat Tek Lok bukan saja megap-megap mendelik sulit bernafas tapi juga mau muntah karena tidak tahan bau busuknya buah mengkudu yang menyangsrang di mulutnya itu!

“Anak tolol!” terdengar suara orang memaki di belakangnya. “Apa otakmu di selangkangan dan selangkanganmu menempel di otak mau ikut-ikutan berkelahi! Apa kau buta dan gila berani menantang gunung Thaysan? Selusin saudara seperguruanmu sudah dibuat menghadap Thian alias tit semua! Apalagi kau cuma sendirian! Dasar toylol!”

Tek Lok hanya bisa memaki panjang pendek dalam

Page 78: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

hati. Tapi diam-diam dia menyadari. Suhunya yang begitu tinggi kepandaian kungfu serta ilmu goloknya hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh si jubah kuning bertopi pispot itu! Sedangkan dia sendiri cuma seorang murid perguruan tingkat menengah!

Sementara itu di serambi sana Tek Lok melihat orang bertopi pispot berhasil menyeruduk perut suhunya. Tong Pes mencelat mental, jatuh terduduk di lantai serambi. Selagi dia mencoba bangkit, lawan sudah kirimkan tendangan keras ke kepalanya. Kepala Tong Pes tersentak ke belakang, tubuhnya terlempar melintir, roboh di tanah dan saat itu juga dia sampai pada hari apesnya. Mati!

“Suhu!” Teriak Tek Lok. Tapi teriakannya hanya sampai di tenggorokan karena mulutnya masih tersumbat mengkudu busuk. Kedua tangannya dikepal geram. Mukanya merah, tubuhnya bergetar dan air mata mengucur jatuh ke pipinya yang rada-rada peang.

Dengan mengeluarkan suara tertawa bergelak orang bertopi pispot hancurkan papan nama perguruan Ban Yak Cing Cong lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian Tek Lok merasakan pembokongnya melepaskan totokan di tunggirnya. Dengan cepat Tek Lok mencabut buah mengkudu yang mendekam di mulutnya lalu berpaling ke belakang seraya lancarkan satu jotosan keras dalam jurus bernama “monyet kondor menghajar puncak Thaysan”. Tapi dia hanya menghantam tempat kosong. Orang yang tadi membokongnya telah lenyap entah ke mana!

***

Page 79: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA

(The Dragon Pispot) 2 DI HADAPAN Tek Lok berdiri seorang lelaki bermata jereng. Rambutnya kaku jabrik, pakaiannya compang-camping, penuh tambalan dan bau. Pada pinggangnya bergelantungan berbagai macam dan ukuran kaleng-kaleng kosong. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kecil.

“Tek Lok,” orang tak dikenal menegur. Si pemuda merasa heran, bagaimana orang itu tahu namanya, “Aku adalah gembel tua yang dijuluki Pendekar Pensiunan Pengemis. Adik kandung suhumu yang sudah menghadap Thian. Jadi terhadapku kau boleh memanggil Pak-de Guru!”

Si gendut Tek Lok yang masih bersedih atas ke matian suhunya memandang tak acuh pada orang itu. Lalu berkata seenaknya, “Manusia jabrik dekil! Aku tidak perduli kau Pak-de, Pak-be, Pak-ce atau Pak-zet sekalipun! Kalau tidak kau bokong aku dari belakang, pasti aku bisa menolong suhu dan suhu tidak sampai digusur ke akhirat!” Habis berkata begitu Tek Lok seperti kalap menyerang si jabrik bermata jereng yang mengaku berjuluk Pendekar Pensiunan Pengemis itu.

Yang diserang ganda tertawa lalu gerakkan sedikit tangannya yang memegang tongkat.

Blukkkk! Tek Lok jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia mencoba

bangkit ujung tongkat si gembel telah menindih jidatnya. Tek Lok merasa seolah kepalanya ditindih sebuah batu besar. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja tidak sanggup menggerakkan kepala apalagi mencoba bangkit berdiri. Muka si gendut ini jadi pucat, keringat dingin

Page 80: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

mengucur dari kepala sampai selangkangannya! Kini sadarlah Tek Lok kalau dia berhadapan dengan orang yang bukan sembarangan. Si Pak-de ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa!

“Tek Lok, jangankan kau dan suhumu. Aku sendiri belum tentu mampu menghadapi manusia berjubah kuning bertopi pispot itu. Dia bernama Tong Siam Pah tapi lebih dikenal dengan julukan The Dragon Pispot alias Pendekar Pispot Naga. Selama pispot putih bergambar naga itu masih nongkrong di kepalanya, tidak satu manusiapun bisa mengalahkannya. Juga tidak bangsa iblis atau setan pelayangan. Itulah rahasia kekuatannya!”

“Apapun yang teljadi siapapun bangsat itu adanya, aku Tek Lok tetap akan menuntut balas atas kematian suhu dan semua suheng (kakak seperguruan) selta sute (adik seperguruan),” kata Tek Lok seraya kepalkan dua tinjunya lalu dipukul-pukulkan ke pipinya sendiri.

“Itu namanya kau murid yang berbakti,” sahut Pendekar Pensiunan Pengemis.

“Aku mohon petunjukmu. Tapi halap singkilkan tongkatmu dali jidatku!” kata Tek Lok pula.

Gembel berambut jabrik itu menyeringai. Setelah mengangkat tongkat bambunya dari kening Tek Lok dia lalu berkata, “Gendut, kau dengar baik-baik apa yang pinceng mau ucapkan. The Dragon Pispot tidak mungkin dikalahkan selama pispot masih melekat di batok kepalanya. Adalah sangat sukar untuk menyingkirkan benda itu dari kepalanya. Bahkan pada saat mandi atau berak sekalipun, atau tidur benda itu tidak pernah lepas dari kepalanya!”

“Tapi selagi dia belnama manusia pasti dia punya kelemahan!” kata Tek Lok pula.

Pensiunan Pengemis tersenyum. “Kau cerdik. Memang betul. Dia memang punya kelemahan!”

“Apa?!” Tek Lok langsung menyerobot dengan pertanyaan.

“Perempuan! Dia selalu lemah terhadap perempuan.

Page 81: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Tidak perduli gadis atau yang sudah tua bangka. Tidak perduli si muka licin atau si muka keriputan. Pokoknya masih selama bernama perempuan pasti dikerjainya!”

“Kalau begitu aku akan cali akal!” Tek Lok berpikir sejenak. “Pak-de Suhu. Setahuku setiap lelaki pasti punya selela teltentu telhadap pelempuan. Mungkin Pak-de Suhu tahu kila-kila pelempuan yang bagaimana selelanya si Tong Siam Pah itu!”

Pendekar Pengemis Purnawirawan alias Pensiunan tertawa mengekeh. “Tek Lok, ternyata kau punya otak cerdik. Selera si Pispot Naga adalah perempuan gemuk buntak besar. Makin besar dan makin gemuk, makin banyak lemaknya apalagi putih, huah! Semakin malele dia!”

“Pak-de Suhu, telima kasih atas petunjukmu! Budi baikmu tidak akan aku lupakan!” Tek Lok menjura dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.

***

Page 82: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA

(The Dragon Pispot) 3 SETELAH mendatangi tempat-tempat pelacuran di hampir setengah lusin kota akhirnya di kota Bau Tiut (d/h Bau Ken Tiut), Tek Lok berhasil juga menemui seorang pelacur berbadan luar biasa gemuk serta berkulit putih. Saking gemuknya mukanya yang tembam dan diberi berdandan tebal seronok kelihatan seperti barongsay. Genitnya minta ampun, sebentar-sebentar jari-jarinya mencubit ke sana-sini sambil tertawa cekikikan seperti kuntilanak setengah jadi.

Pada pertemuan pertama begitu Tek Lok masuk ke dalam kamarnya, pelacur gendut ini langsung saja ber-tunabusana alias menanggalkan seluruh pakaiannya. Lalu dia naik ke atas ranjang, melambaikan tangan sambil kedip-kedipkan mata pada Tek Lok dan tentunya tak lupa sambil pasang kuda-kuda! Ranjang reyot itu sampai bergoyang berderak-derik.

“Namamu siapa?” tanya Tek Lok tanpa bergerak dari kursi yang didudukinya di depan ranjang.

“Ling Ling Dut,” jawab si gemuk, tersenyum kembali, ulurkan lidahnya yang merah basah dan lambaikan tangan memberi isyarat agar si Tek Lok yang juga gendut tambun ini segera naik ke atas ranjang.

“Dengal Dut,” kata Tek Lok. “Aku akan membayalmu mahal. Tapi bukan untuk tidul denganmu...”

Tentu saja Ling Ling Dut menjadi terheran-heran. Sebagai seorang pelacur baru hari itu ada tamu yang menjanjikan uang tanpa menidurinya.

Tek Lok mendekati ranjang lalu berkata mengarang cerita. “Yang akan tidul denganmu bukan aku, tapi

Page 83: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

pamanku. Dia sedang kulang enak badan. Ambeien alias wasilnya sedang kambuh! Jadi tidak bisa beljalan jauh. Selama ini dia sudah panas dingin mendengal celita olang tentang kebagusan tubuhmu dan kecantikan kau punya palas.” Maksud Tek Lok dengan pamannya itu adalah si Pendekar Pispot Naga alias The Dragon Pispot, musuh besar yang telah menghabisi suhu serta saudara-saudaranya seperguruannya.

Ling Ling Dut tertawa cekikikan mendengar cerita sang paman yang sedang wasiran tapi masih berminat untuk bersenang-senang dengan perempuan. Sambil mengusap-usap pusarnya yang terbenam di dalam perutnya yang gembrot berlemak, pelacur kota Bau Tiut ini berkata, “Mendengar cerita pamanmu yang sakit itu, terus terang aku tidak berminat melayaninya. Apalagi sakitnya sakit wasir! Hik... hik! Tapi kau beruntung. Hoki-ku lagi jelek. Sudah seminggu aku tidak menerima tamu. Tapi aku minta bayaran besar!”

“Jangan khawatil! Aku akan kasih pelsenan besal. Asal kau jangan lupa melakukan sesuatu yang nanti akan aku beli-tahu padamu!” Tek Lok lalu bicara semacam memberi pengarahan pada pelacur gemuk itu. Ling Ling Dut mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Sebelum pergi ke tempat pamanmu, apa kau tidak mau bersenang-senang dulu denganku?” tanya Ling Ling Dut, tetapi Tek Lok goyangkan tangan gelengkan kepala.

“Kita berdua sama-sama gendutnya. Pasti seru!” kata Ling Ling Dut lalu tertawa cekikikan.

“Justlu itu yang bikin aku khawatil. Lanjang boblok itu bisa jebol nanti!” sahut Tek Lok. “Ayo lekas pakai bajumu Dut! Kita belangkat sekalang juga!”

***

PENDEKAR Pispot Naga yang kerennya disebut The Dragon Pispot mengucak kedua matanya berulang kali saking tidak percaya akan pemandangan di hadapannya.

Page 84: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Seorang perempuan gemuk buntak berlemak tahu-tahu muncul di depan pintu tempat kediamannya yang terletak di tepi danau Xeng Gol.

“Hai yaa! Bidadari dari mana yang siang-siang begini turun ke bumi! Kesasar atau memang sengaja mencari diriku?!” menegur Tong Siam Pah sambil kedip-kedipkan matanya.

Ling Ling Dut balas tersenyum dan kedip-kedipkan matanya pula. Dadanya yang gembrot sengaja dibusungkan. “Hamba bukan bidadari pulang kesiangan. Tapi hanya manusia biasa juga. Sudah lama hamba mendengar nama besar Pendekar Pispot Naga. Hamba ingin sekali belajar kenal. Sebagai kawan sejalan maupun kawan seranjang...!”

Mendengar kata-kata perempuan gemuk itu darah Pendekar Pispot Naga menjadi panas menggelora. Dia tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat ke hadapan Ling Ling Dut. Sekali tarik saja pelacur gemuk itu segera dibawanya masuk ke dalam rumah.

Ling Ling Dut tertawa cekikikan. Dekat pintu kamar pakaiannya tersangkut paku hingga robek besar di bagian perut.

“Paku jahil!” Pendekar Pispot Naga memarahi paku yang merobek pakaian Ling Ling Dut. Matanya mendelik melihat keputihan perut gembrot perempuan itu. Lalu sambil memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya lelaki berjubah kuning ini pergunakan jari tangannya untuk menekan amblas paku besar itu hingga masuk lenyap ke dalam sanding pintu kayu! “Kau tak usah khawatir! Aku akan belikan baju baru pengganti bajumu yang robek ini!” kata Pendekar Pispot Naga kemudian.

“Tidak apa-apa,” jawab Ling Ling Dut. “Bidadari benaran kabarnya memang tidak pakai baju! Hik... hik... hik!”

“Kau pandai melucu! Aku suka padamu!” kata Pendekar Pispot Naga. Lalu membantingkan daun pintu.

***

Page 85: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA

(The Dragon Pispot) 4 SEPERTI yang telah dipesankan oleh Tek Lok, begitu masuk ke dalam kamar Ling Ling Dut langsung melompat ke atas tempat tidur besar terbuat dari besi. Lalu cepat-cepat dia membuka pakaian luarnya. Melihat itu tenggorokan Pendekar Pispot Naga jadi turun naik. Matanya berputar membeliak dan nafasnya kontan memburu. Tak mau kalah, dengan mempergunakan jurus “naga mabok menyambar celana dalam” dia segera pula melompat ke atas ranjang.

Di atas ranjang Ling Ling Dut sudah pentang diri dalam sikap atau jurus “panda gembrot parkir di bawah pohon bambu”. Begitu Pendekar Pispot Naga membaringkan diri di sampingnya langsung dihimpit dengan pahanya yang besar gembrot dan bukan olah-olah beratnya! Pendekar Pispot Naga sampai setengah menggeliat setengah melintir dihimpit begitu rupa. Nafasnya seolah tertahan di tenggorokan. Tiba-tiba Ling Ling Dut membuat gerakan yang disebut “tringgiling atret ke liang naga”. Dia gulingkan badannya ke sudut ranjang hingga ranjang itu bergoncang keras.

“Kekasihku mungil! Mengapa kau menjauhkan diri? Apa mulut atau ketiakku bau tong sampah?!”

“Pendekar gagah tujuh penjuru angin!” sahut Ling Ling Dut. “Terus terang nafsu sudah membakar diriku mulai dari ubun-ubun sampai ujung jempol kaki!”

“Lalu mengapa kau mendekam di sudut ranjang?” tanya Pendekar Pispot Naga heran.

“Soalnya, bagaimana aku bisa bersenang-senang kalau pendekar sendiri masih belum membuka jubah kuning pakaian kebesaran?”

Page 86: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Mendengar kata Ling Ling Dut, Tong Siam Pah alias Pendekar Pispot Naga segera tanggalkan jubah kuningnya dan campakkan ke kolong ranjang.

“Beres! Sekarang ayo kau buka pakaianmu!” Tangan Tong Siam Pah siap menggerayang kian kemari.

“Tentu, untuk kau yang gagah pasti akan kubuka. Tapi engg... Apakah topi kebesaran yang masih bertengger di kepalamu tidak akan mengganggu nantinya? Apalagi aku ini punya kesenangan. Suka menjilati ubun-ubun orang! Hik... hik... hik!”

Pendekar Pispot Naga yang sudah dibakar nafsu dan lupa daratan lupa pantangan segera saja menjawab, “Manisku sayang, untuk bidadari sepertimu apapun katamu akan pinceng ikuti!”

Lalu Pendekar Pispot Naga angkat pispot putih bergambar naga di kepalanya dan letakkan benda itu di satu meja kecil di samping ranjang. Tanpa pispot itu di kepala, maka kesaktiannyapun ikut berpindah, tidak mendekam lagi di dalam tubuhnya!

Setelah meletakkan ‘mahkotanya’ di atas meja kecil, Pendekar Pispot Naga yang sudah tidak sabaran langsung balikkan badan hendak merangkul Ling Ling Dut. Pada saat itulah mendadak pintu kamar didobrak orang dari luar. Sesosok tubuh berkelebat masuk langsung menyambar pispot putih di atas meja.

“Siapa kau?!” bentak Pendekar Pispot Naga seraya melompat turun dari ranjang. Satu tangan dikepalkan satu lainnya dipakai untuk menutupi auratnya.

Orang yang barusan masuk dan menyambar pispot bukan lain adalah Tek Lok, anak murid perguruan Kungfu Ban Yak Cing Cong yang muncul untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat suhu dan saudara-saudara seperguruannya.

“Aku belnama Tek Lok! Anak mulid Pelguluan Ban Yak Cing Cong! Bebelapa bulan lalu kau telah membunuh Tong Pes suhuku selta dua belas saudala sepelguluanku! Hali ini aku datang untuk membalas dendam kematian meleka!

Page 87: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

Hali ini saatnya kau kukilim menghadap malaikat-malaikat maut Giam Lo Ong!”

“Manusia kurang ajar! Lekas kau serahkan pispot itu dan segera minggat dari sini!” bentak Pendekar Pispot Naga dengan suara lantang dan mata membeliak besar.

Tek Lok menyeringai buruk dan melintangkan pispot di depan dada. “Kau inginkan pispot bau tahi ini! Silakan ambil!” kata Tek Lok. Lalu dengan jurus “elang juling menyambar kodok buntet” Tek Lok menerjang sambil menghantamkan pispot putih di tangan kanannya.

Pendekar Pispot Naga keluarkan seruan tertahan. Tak pernah dibayangkannya kalau topi kebesarannya akan dipergunakan orang untuk menyerang dan menghajar dirinya sendiri!

“Sobatku gendut! Kembalikan pispot itu! Apa yang kau orang minta pinceng pasti berikan! Kau mau seratus pispot seperti itu pasti pinceng penuhi! Atau kau mau perempuan gendut ini silakan ambil! Tapi lekas kembalikan pispot itu!” Pendekar Pispot Naga kelihatan ketakutan setengah mati. Dia meminta sambil membungkuk-bungkuk.

Benar seperti yang dikatakan Pak-de suhunya Pendekar Pensiunan Pengemis, tanpa pispot di kepala Pendekar Pispot Naga tidak punya daya apa-apa lagi. Malah saat itu kelihatan dia mulai beser terkencing-kencing. Ketika Tek Lok tak mau memberikan pispot dia mulai menyerang. Tapi kungfunya morat-marit tak karuan. Jangankan tenaga dalam, tenaga luarnya saja sudah amblas. Nafasnya ngos-ngosan padahal belum dua jurus menggebrak. Akibatnya sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki menjadi bulan-bulanan serangan pispot putih miliknya sendiri. Mukanya remuk tak karuan. Hidung melesek, mulut pecah, gigi bertanggalan. Bahu kiri patah, siku tangan kanan hancur, tulang dada amblas, tulang iga berpatahan. Darah membasahi hampir setiap sudut badannya.

Dalam keadaan seperti itu Tong Siam Pah merangkak mendekati tempat tidur. Dari mulutnya tiada henti keluar suara erangan. Tangannya coba menggapai pinggiran

Page 88: WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN...WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN 1 KALUNG KEPALA SRIGALA DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang …

ranjang di mana Ling Ling Dut berada. “Bidadariku... peluk aku... peluk tubuhku. Antarkan aku

ke sorga...” “Ihhhh!” Pelacur gemuk Ling Ling Dut memekik antara jijik dan

ketakutan. Cepat dia melompat turun dari atas ranjang. Masih belum merapikan pakaiannya dia sudah ulurkan tangan pada Tek Lok. Murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini tanpa banyak cing-cong segera keluarkan lima tail perak lalu letakkan di atas telapak tangan Ling Ling Dut yang terkembang.

Sebelum meninggalkan kamar Tek Lok memandang sejurus pada sosok Tong Siam Pah yang tidak berkutik lagi. “Masih untung kau menemui ajal! Kalau masih hidup julukanmu pasti diganti menjadi Pendekal Pispot Bonyok!”

Tek Lok letakkan pispot putih milik Tong Siam Pah di atas kepalanya. Sambil melangkah pergi tinggalkan danau Xeng Gol murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini bersiul-siul menyanyikan lagu kesayangannya yang bernama Di Dadamu Ada Pinceng.

TAMAT