wilayah adat -...
TRANSCRIPT
1
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BARAT
PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA BARAT
NOMOR … TAHUN 2016
TENTANG
WILAYAH ADAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT,
Menimbang : a. bahwa wilayah adat masyarakat adat di Papua Barat yang
terdiri dari tanah, perairan, hutan, bahan tambang, mineral dan
segala sesuatu yang melekat padanya merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan bagi identitas
masyarakat adat yang harus dikelola secara berkelanjutan bagi
sebesar-besar kemakmuran rakyat baik untuk generasi
sekarang maupun yang akan datang.
b. bahwa selama ini pengaturan mengenai keberadaan wilayah
adat belum memadai sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum yang berdampak pada pengabaian hak masyarakat adat
di Papua Barat, konflik dan ketimpangan penguasaan tanah,
serta menurunnya kualitas lingkungan hidup.
c. bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat
Adat dan hak tradisionalnya termasuk mengenai wilayah adat
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dilakukan melalui peraturan daerah;
d. bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam rangka
DRAFT 14 MARET 2016
2
menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan terhadap
Masyarakat Adat dan hak tradisionalnya dapat diatur dalam
Peraturan Daerah; dan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu membentuk Peraturan Daerah Khusus
Provinsi Papua Barat tentang Wilayah Adat.
Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
RI Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara 3419);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati)
(Lembaran Negara RI Tahun 1990 Nomor 41; Tambahan
Lembaran Negara 3556);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 165;
Tambahan Lembaran Negara 3886 );
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkan
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,
3
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
7. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya
dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3894) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya
dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3960) sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 018/PUU-I/2003;
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara RI Tahun 2001
Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4151)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4940);
9. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4725);
10. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara RI
Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4379) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
4
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490);
11. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Provinsi Papua Barat di Provinsi Papua Barat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 193,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4940) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 tahun 2008
tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat di Provinsi Papua
Barat (Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5416);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059);
13. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
(Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara 5168);
14. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5214);
15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5234);
16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315);
17. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan
Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair
and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization
to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya
tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian
5
Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari
Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati)
(Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara 5412);
18. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5432);
19. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5495);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587);
21. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5613);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3696);
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 32);
24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 951);
25. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 742).
6
26. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.32/Menlhk/Setjen/2015 tentang Hutan Hak (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1025).
27. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak dan
Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat (Lembaran Daerah
Provinsi Papua Barat Tahun 2012 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 61).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PROVINSI PAPUA BARAT
dan
GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH KHUSUS TENTANG WILAYAH ADAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Papua Barat.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang terdapat
di Provinsi Papua Barat
3. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Papua Barat.
4. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota se Provinsi Papua Barat;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat, yang selanjutnya disingkat DPRPB
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Majelis Rakyat Papua, Provinsi Barat, yang selanjutnya disingkat dengan MRP
adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu
7
dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan penghormatan
terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan
hidup beragama.
7. Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
sekretariat, dinas, kantor, dan badan di lingkungan pemerintah Provinsi Papua
Barat.
8. Pengakuan adalah pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh
Pemerintah Daerah terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan hak tradisionalnya,
termasuk wilayah adat sebagai perwujudan konstitusional dari negara untuk
menghormati, melindungi, menjamin dan memenuhi hak-hak asasi warga negara.
9. Perlindungan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan atau
lembaga hukum resmi untuk melindungi wilayah dan hak-hak masyarakat adat
dari tindakan gangguan yang mengancam
10. Penetapan wilayah adat adalah pengakuan Pemerintah Daerah terhadap wilayah
adat yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu masyarakat adat.
11. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta
dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;
12. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang memiliki hubungan
historis dan kosmologis dengan tanah, air dan hutan di wilayah tertentu dan hidup
sebagai pemilik ulayat dalam wilayahnya karena terikat kepada hukum adat yang
berlaku dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
13. Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang dapat diterima
sepanjang hukum – hukum itu hidup dan diakui masyarakat pemilik adat untuk
mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;
14. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat adat tertentu
atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya,
yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai
dengan nilai – nilai kemanusiaan, keharmonisan dan keseimbangan alam yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
15. Hak tradisional adalah hak yang melekat dengan keberadaan Masyarakat Adat.
16. Wilayah adat atau yang dipersamakan dengan wilayah hak ulayat adalah ruang
kehidupan yang menjadi tempat keberadaan Masyarakat Adat yang terdiri dari
8
tanah, air dan sumber daya alam yang terdapat di atasnya, yang penguasaan,
pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan menurut hukum adat.
17. Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yang jenis dan
pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat.
18. Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah adat.
19. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari.
20. Lembaga adat adalah pranata pemerintahan adat yang terdiri dari tokoh adat yang
memiliki tanggungjawab menyelenggarakan fungsi adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang secara tradisional di dalam masyarakat adat.
21. Identifikasi wilayah adat adalah pengumpulan data dan informasi mengenai batas-
batas wilayah adat.
22. Verifikasi wilayah adat adalah penilaian terhadap hasil identifikasi wilayah adat.
23. Pemetaan wilayah adat adalah proses menerjemahkan bentang alam ke dalam
bentuk kartografi berdasarkan pada sejarah asal usul dan tata kelola suatu wilayah
adat sesuai dengan sistem pengetahuan dan praktik-praktik yang berlaku pada
suatu Masyarakat Adat.
24. Peta wilayah adat adalah peta tematik dengan skala 1:50.000 yang berisi informasi
mengenai batas luar wilayah adat.
25. Panitia Masyarakat Adat adalah panitia yang dibentuk dengan keputusan
Bupati/Walikota untuk melakukan inventarisasi dan verifikasi wilayah adat,
melakukan penyelesaian keberatan, dan memberikan rekomendasi kepada
Bupati/Walikota untuk menetapkan wilayah adat.
26. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan pemerintah Provinsi
Papua Barat yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Asas dari pengakuan dan perlindungan wilayah adat di Provinsi Papua Barat adalah:
9
a. Kemanusiaan
b. Keberagaman;
c. Pengakuan
d. Keadilan sosial;
e. Kepastian hukum;
f. Kesetaraan dan non-diskriminasi;
g. Keberlanjutan lingkungan;
h. Partisipasi; dan
i. Transparansi.
Pasal 3
Tujuan dari pengakuan dan perlindungan wilayah adat di Provinsi Papua Barat
meliputi:
a. memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan wilayah adat dan hak
Masyarakat Adat;
b. melindungi hak dan memperkuat akses Masyarakat Adat terhadap tanah, air dan
sumber daya alam;
c. meningkatkan peran serta warga Masyarakat Adat dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan wilayah adat;
d. mewujudkan pengelolaan wilayah adat secara lestari berdasarkan hukum adat;
e. meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat;
f. mewujudkan kebijakan pembangunan di daerah yang mengakui, menghormati,
melindungi hak-hak Masyarakat Adat; dan
g. mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis kepada pengakuan dan
penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan hukum adatnya.
Pasal 4
Ruang lingkup peraturan daerah ini meliputi:
a. asas, tujuan dan ruang lingkup;
b. keberadaan dan kedudukan masyarakat adat;
c. wilayah adat;
d. tata cara penetapan wilayah adat;
10
e. Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat
f. hak dan kewajiban dalam pengelolaan adat;
g. pemanfaatan wilayah adat;
h. pemberdayaan masyarakat adat
i. penyelesaian sengketa.
BAB III
KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN HUKUM MASYARAKAT ADAT
Pasal 5
Masyarakat Adat di Provinsi Papua Barat memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok
karena adanya kesamaan nilai – nilai kearifan lokal yang dirawat dan diakui secara
bersama-sama;
2. memiliki lembaga adat yang tumbuh dan di terima (dalam praktek hidup) secara
tradisional;
3. memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat sebagai warisan leluhur;
4. memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan
5. memiliki hak ulayat pada wilayah adat tertentu.
Pasal 6
Pemerintah Daerah mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan Masyarakat
Adat dan hak tradisionalnya.
Pasal 7
(1) Masyarakat Adat berkedudukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban
(2) Lembaga Adat mewakili Masyarakat Adat di dalam maupun di luar pengadilan
dalam melakukan perbuatan hukum.
(3) Pelaksanaan perbuatan hukum oleh Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan berdasarkan persetujuan bersama dari anggota Masyarakat Adat.
Pasal 8
11
(1) Keberadaan Masyarakat Adat di Provinsi Papua Barat terdiri dari suku, marga dan
keret.
(2) Masing-masing suku terdiri dari marga-marga yang menjadi pemilik terhadap
wilayah adat dan memiliki hak-hak tradisional lainnya sebagai masyarakat adat.
Pasal 9
(1) Masyarakat Adat yang mampu menyelenggarakan urusan administrasi
pemerintahan desa dapat ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai Kampung
Adat.
(2) Pengaturan mengenai Kampung Adat dan Penetapan Masyarakat Adat sebagai
Kampung Adat diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IV
WILAYAH ADAT
Pasal 10
(1) Wilayah adat terdiri dari tanah, hutan, perairan, bahan tambang, mineral dan
sumber daya alam lain yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan wilayah
kehidupan masyarakat adat.
(2) Wilayah adat memiliki batas-batas wilayah tertentu baik batas alam dan batas
administratif dengan komunitas lain.
(3) Pemerintah Daerah mengakui wilayah adat Masyarakat Adat yang ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota.
BAB V
TATA CARA PENETAPAN WILAYAH ADAT
Pasal 11
Penetapan wilayah adat Masyarakat Adat dilakukan melalui:
a. Identifikasi;
b. Verifikasi; dan
c. Penetapan.
Pasal 12
12
(1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dilakukan oleh
Masyarakat Adat atau oleh Bupati/Walikota melalui Kepala Distrik.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat sekurang-kurangnya (1) meliputi:
a. sejarah penguasaan wilayah adat;
b. pembagian ruang di dalam wilayah adat;
c. batas wilayah adat; dan
d. aturan mengenai pengelolaan dan perlindungan wilayah adat;
(3) hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dalam
bentuk laporan hasil identifikasi yang penyusunannya dapat dibantu oleh lembaga
swadaya masyarakat atau perguruan tinggi.
(4) Tata cara identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 13
(1) Hasil identifikasi terhadap wilayah adat dilengkapi dengan peta wilayah adat yang
memenuhi kaidah kartografis.
(2) Dalam hal pembentukan peta wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas prakarsa masyarakat yang belum memenuhi kaidah kartografis,
Kepala Distrik memfasilitasi agar wilayah adat bisa dipetakan oleh SKPD terkait.
(3) Tata cara pemetaan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 14
(1) Laporan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilengkapi dengan
persetujuan tertulis dari komunitas yang berbatasan dengan wilayah adat
Masyarakat yang akan ditetapkan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam
musyawarah adat yang diselenggarakan pada tingkat suku, marga, atau keret.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinyatakan dalam
bentuk:
a. surat;
b. pembubuhan tanda tangan pada laporan hasil identifikasi; atau
13
c. bentuk persetujuan tertulis lain.
Pasal 15
(1) Kepala Distrik melakukan pencatatan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ke dalam Daftar Inventarisasi Wilayah Adat.
(2) Pencatatan laporan hasil identifikasi disertai dengan permohonan penetapan
wilayah adat oleh Komunitas Masyarakat Adat.
(3) Hasil identifikasi yang telah dilakukan pencatatan yang disertai dengan surat
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh
Kepala Distrik kepada Panitia Masyarakat Adat.
Pasal 16
(1) Panitia Masyarakat Adat melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi wilayah
adat.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk verifikasi
dokumen dan verifikasi lapangan.
(3) Panitia Masyarakat Adat menyampaikan hasil verifikasi kepada Pemohon.
(4) Panitia Masyarakat Adat mengumumkan hasil verifikasi selama 60 hari dengan cara:
a. menyampaikan kepada komunitas yang berbatasan; dan
b. menempelkan di kantor pemerintahan distrik, kantor pemerintahan kampung,
rumah ibadah atau dalam bentuk lainnya yang mudah diakses oleh masyarakat.
(5) Tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.
Pasal 17
(1) Komunitas yang berbatasan atau pihak lain yang kepentingannya dirugikan dengan
penetapan wilayah adat dapat mengajukan keberatan kepada Panitia Masyarakat
Adat.
(2) Panitia Masyarakat Adat memfasilitasi penyelesaian keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 40 hari.
(3) Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
14
tercantum dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 18
(1) Dalam hal penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tidak
berhasil, Panitia Masyarakat Adat menyatakan penyelesaian keberatan gagal.
(2) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
proses penetapan dihentikan.
(3) Panitia menyampaikan surat pemberitahuan penghentian proses penetapan wilayah
adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon.
Pasal 19
(1) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1), Pemohon dan pihak yang mengajukan keberatan dapat melanjutkan
penyelesaian keberatan dengan bantuan pihak ketiga.
(2) Panitia Masyarakat Adat melanjutkan proses penetapan wilayah adat setelah
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhasil.
Pasal 20
(1) Panitia Masyarakat Adat menyampaikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota
berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Bupati/Walikota melakukan penetapan wilayah adat berdasarkan rekomendasi
Panitia Masyarakat Adat dengan Keputusan Bupati/Walikota.
(3) Bupati/Walikota menyerahkan peta wilayah adat kepada Kepala Kantor Pertanahan
untuk dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan mencantumkan
suatu tanda kartografi yang sesuai.
(4) Bupati/Walikota menyerahkan peta wilayah adat kepada Majelis Rakyat Papua dan
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi untuk menjadi acuan dalam
melakukan perubahan rencana tata ruang wilayah
Pasal 21
(1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus menempatkan wilayah adat sebagai
kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dalam Peraturan Daerah
15
mengenai Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Penetapan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial
budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persetujuan dari
Masyarakat Adat.
BAB VI
PANITIA MASYARAKAT ADAT
Pasal 22
Bupati/Walikota membentuk Panitia Masyarakat Adat yang bertugas:
1. melakukan inventarisasi dan verifikasi hasil pemetaan wilayah adat;
2. memfasilitasi pemetaan wilayah adat untuk dilakukan oleh SKPD terkait;
3. memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul dalam rangka penetapan wilayah
adat; dan
4. memberikan rekomendasi penetapan wilayah adat kepada Bupati/Walikota.
Pasal 23
(1) Panitia Masyarakat Adat terdiri dari:
a. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagai ketua;
b. Kepala kantor pertanahan sebagai wakil ketua;
c. Unsur SKPD yang tugasnya berkaitan dengan masyarakat adat dan wilayah adat
sebagai anggota;
d. Kepala distrik sebagai anggota;
e. Perwakilan lembaga adat sebagai anggota;
f. Akademisi dengan latar belakang ilmu hukum, sejarah, dan antropologi sebagai
anggota; dan
g. Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengalaman melakukan pemetaan
wilayah adat sebagai anggota;
(2) Susunan dan keanggotaan Panitia Masyarakat Adat ditetapkan dengan Keputusan
Bupati/Walikota.
(3) Panitia Masyarakat Adat dibentuk untuk masa tugas 3 (tiga) tahun dan dapat
dibentuk kembali oleh Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal tim inventarisasi dan verifikasi telah dijalankan oleh beberapa
16
kelembagaan yang telah ada, Bupati dapat menetapkan kelanjutan fungsi dari
lembaga-lembaga dimaksud dengan memperhatikan representasi organisasi lain
yang relevan sebagaimana disebut dalam ayat (1).
Pasal 24
Bupati/Walikota, Panitia Masyarakat Adat, dan lembaga adat berkoordinasi dengan
Majelis Rakyat Papua dalam melakukan pendaftaran wilayah adat.
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT ADAT
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH ADAT
Pasal 25
Masyarakat Adat berhak:
a. memperoleh informasi mengenai perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan
yang berdampak terhadap wilayah adat
b. terlibat dalam perencanaan pembangunan yang akan berdampak terhadap wilayah
adat;
c. mendapatkan manfaat dari penggunaan dan pemanfaatan wilayah adat dan sumber
daya alam yang terdapat di dalamnya oleh pihak lain;
d. memperoleh kompensasi karena hilangnya hak dan akses yang ditimbulkan oleh
penggunaan dan pemanfaatan wilayah adat oleh pihak lain;
e. mengajukan keberatan, laporan, dan pengaduan kepada pihak yang berwenang
atas pelanggaran hak masyarakat adat yang berkaitan dengan pemilikan dan
penguasaan wilayah adat; dan
f. melakukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah yang
menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat berkaitan dengan penguasaan dan
pemilikan wilayah adat.
Pasal 26
Masyarakat Adat berkewajiban:
a. menjaga kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan pada wilayah adat;
b. terlibat secara aktif dalam melakukan penataan dan penentuan batas wilayah adat
17
dengan komunitas Masyarakat Adat bersebelahan;
c. menjaga dan memelihara tatanan hukum adat untuk dipatuhi oleh warga
masyarakat hukum adat;
d. menghargai dan menghormati keputusan peradilan adat agar memberikan rasa
aman dan kepastian yang berkaitan dengan pemilikan dan penguasaan wilayah
adat;
e. terlibat aktif dalam menyukseskan program pembanguan di Provinsi Papua Barat;
dan
f. tidak menjadikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat
dari pemerintah daerah untuk keperluan yang bertentangan dengan maksud dari
peraturan daerah ini.
BAB VIII
PEMANFAATAN WILAYAH ADAT
Pasal 27
(1) Masyarakat adat memanfaatkan wilayah adat untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan keberlanjutan lingkungan hidup.
(2) Pemanfaatan wilayah adat serta sumber daya alam yang terdapat di dalamnya oleh
pihak lain baru dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan yang didahului
dengan pemberian informasi secara berimbang dengan bahasa yang dipahami oleh
masyarakat adat mengenai keuntungan dan resiko yang dapat ditimbulkan terhadap
masyarakat adat dan lingkungan hidup.
(3) Penjelasan mengenai manfaat dan resiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
termasuk mengenai besar, bentuk, dan tata cara pembagian keuntungan finansial,
maupun non-finansial yang adil dan seimbang.
(4) Pernyataan persetujuan atau penolakan terhadap pemanfaatan wilayah adat oleh
masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara
musyawarah dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat adat.
Pasal 28
(1) Persetujuan dari masyarakat adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 menjadi
dasar bagi masyarakat adat dengan pihak lain untuk melakukan perjanjian
mengenai pemanfaatan dan penggunaan wilayah adat.
18
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup: besar,
bentuk, dan tata cara pembagian keuntungan finansial, maupun non-finansial yang
adil dan seimbang.
BAB IX
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT
Pasal 29
(1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pemberdayaan
kepada masyarakat secara terencana dan berkesinambungan dalam melakukan
pengelolaan wilayah adat
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk
fasilitas yang meliputi:
a. pengembangan kelembagaan masyarakat
b. bantuan modal
c. bimbingan teknologi
d. penyuluhan
e. pendidikan dan pelatihan
f. pendokumentasian praktik konservasi masyarakat
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bertanggung
jawab menyediakan dukungan fasilitas, sarana dan prasarana serta pendanaan
melalui SKPD terkait untuk melakukan pendaftaran wilayah adat.
(2) Pemerintah Daerah wajib melibatkan Masyarakat Adat, termasuk perempuan, dalam
pembentukan kebijakan dan perencanaan program pembangunan yang
dilaksanakan di wilayah adat.
(3) Pelibatan Masyarakat Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memberikan informasi, melakukan konsultasi dan memperoleh persetujuan suka-
rela dari Masyarakat Adat.
(4) Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan terhadap setiap tindakan yang
langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilangnya keutuhan Masyarakat Adat
dan kerusakan wilayah adat.
19
(5) Pemerintah Daerah harus mencegah setiap bentuk pemindahan Masyarakat Adat
dari wilayah adatnya yang berakibat pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat.
Pasal 31
(1) Pemerintah Daerah harus memberikan pemberdayaan dan pendampingan hukum
kepada Masyarakat Adat dalam rangka melakukan perlindungan terhadap wilayah
adat.
(2) Dalam menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi
bantuan hukum dan/atau organisasi masyarakat lain yang memiliki kapasitas
melakukan pemberdayaan hukum.
(3) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan pada Masyarakat Adat yang
memperoleh kembali wilayah adatnya dari penguasaan pihak luar.
(4) Pemerintah Daerah harus memfasilitasi dilakukannya inventarisasi dan
dokumentasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup yang dilakukan oleh masyarakat adat.
BAB X
PENDANAAN
Pasal 32
(1) Pendanaan penyelenggaraan pendaftaran wilayah adat berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(2) Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari dana hibah, lembaga donor, sumbangan masyarakat, badan
hukum swasta, perseorangan, serta imbal jasa lingkungan hidup.
(3) Pengelolaan sumber pendanaan untuk pendaftaran wilayah adat diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah secara transparan dan akuntabel dengan mengacu kepada
ketentuan pengelolaan keuangan daerah.
BAB XI
20
INFORMASI MASYARAKAT ADAT
(1) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah mengkonsolidasikan informasi terkait
masyarakat adat dari Panitia Masyarakat Adat dan menggunakan informasi
dimaksud dalam perencanaan pembagunan dan tata ruang di tingkat Provinsi
(2) Informasi sebagaimana dimaksud ayat (1) antara lain mencakup peta wilayah
adat, marga, suku, tata ruang wilayah adat
(3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah mengkoordinasikan informasi
masyarakat adat dengan MRP-PB dalam rangka penyediaan informasi di tingkat
Provinsi
(4) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah menyebarkan dan memantau
pendayagunaan informasi masyarakat adat di masing-masing SKPD dalam
rangka perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat atas wilayah
dan sumber daya alam di dalamnya
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 33
(1) Pemerintah Daerah menghormati dan mengakui peradilan adat dan keputusan
peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa antar-warga Masyarakat Adat atas
pelanggaran yang dilakukan oleh orang luar di dalam wilayah adat.
(2) Pemerintah Daerah membantu penyelesaian sengketa antar-Masyarakat Adat
maupun antara masyarakat adat dengan pihak lain mengenai batas wilayah adat
melalui mediasi.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berhasil
sengketa dapat diselesaikan melalui peradilan umum.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN
Pasal 34
(1) Setiap orang luar yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan
menggunakan wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat diancam
21
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 35
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana sebagaimana dimaksud Pasal 34.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Hak milik atas tanah yang terdapat di dalam wilayah adat sebelum Peraturan Daerah
ini berlaku, tetap dilindungi berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 37
(1) Izin pemanfaatan sumber daya alam atau hak atas tanah yang berjangka waktu
yang terdapat di dalam wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini
berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak tersebut.
(2) Dalam hal jangka waktu berlakunya izin pemanfaatan sumber daya alam atau hak
atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, maka Masyarakat Adat
memperoleh kembali penguasaannya atas wilayah adat tersebut.
(3) Izin pemanfaatan sumber daya alam atau hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat ditinjau ulang berdasarkan tuntutan yang mendesak dari
Masyarakat Adat apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat
Adat.
(4) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan hukum kepada Masyarakat Adat
22
dalam melakukan peninjauan ulang terhadap izin pemanfaatan sumber daya alam
atau hak atas tanah yang melanggar hak-hak Masyarakat Adat sebagai dimaksud
pada ayat (3).
(5) Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi kepada Masyarakat Adat untuk
menghormati izin pemanfaatan sumber daya alam atau hak atas tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 38
(1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah adat telah ditunjuk atau ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan hutan, maka wilayah adat tersebut dapat ditetapkan
sebagai hutan adat.
(2) Dalam hal wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah difungsikan oleh
Masyarakat Adat sebagai pemukiman, fasilitas umum atau fasilitas sosial, maka
wilayah adat tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan.
Pasal 39
Bupati/Walikota membentuk Panitia Masyarakat Adat paling lambat enam bulan
setelah Peraturan Daerah Khusus ini diundangkan.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Papua Barat.
Ditetapkan di Manokwari
pada tanggal
GUBERNUR PAPUA BARAT,
23
ttd.
ABRAHAM O. ATURURI
Diundangkan di Manokwari
pada tanggal … bulan … tahun 2016
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT,
ttd.
[NAMA SEKRETARIS DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT]
LEMBARAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2016 NOMOR [.....]