who's pick pocket

Upload: ichwan

Post on 08-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bcnmbmnxzbmcnbmxnzbcmnbxzmn

TRANSCRIPT

Who's Pick Pocket

Who's Pick Pocket ?

Oleh Abang Eddy Adriansyah

Angkutan kota (angkot) melaju pelan disaat memasuki kawasan macet jalan surapati. Bau keringat, udara gerah, aroma teramat khas dalam kabin sebuah angkutan kota. Untung saja, angkot yang saya tumpangi tak seberapa banyak memuat penumpang. Hanya seorang lelaki setengah baya, pasangan orang tua, seorang gadis muda, saya, dan seorang pemuda tanggung yang memilih duduk menyudut di bagian belakang. Air mukanya tampak serius mengamati gerak-gerik penumpang lain, atau terkadang menatap sepi ke seberang kaca belakang.

Di sana, di seberang kaca belakang, seorang pengendara motor tengah berusaha melepaskan diri dari kemacetan. Ruas jalan sempit yang terbagi atas dua jalur, membuat pengendara motor bertubuh gempal itu terpaksa berjibaku mengendalikan laju kendaraannya. Dari arah berlawanan, kendaraan yang melaju tak mudah untuk mengalah dan tak pernah berkurang jumlahnya. Dan karena kelihaian pengemudinya berzigzag, motor sport merah marun itu akhirnya lepas menyusul kendaraan yang saya tumpangi dan beberapa mobil lain di depan. Pengendara nekad itu terus memacu motornya dengan kecepatan tak lazim. Kendaraan yang datang kencang dari arah berlawanan tak juga menyurutkan nyalinya untuk terus merangsek dan menyalip. Gerutuan supir yang terpaksa membanting arah stir untuk menghindari tabrakan, samar-samar saja di telinganya.

Di dalam angkutan kota sepasang orang tua - tampak sang kakek tengah berusaha membuka penutup botol air mineral. Sewaktu tutup botol tak kunjung terbuka, sang nenek, merenggut botol air mineral itu dari tangannya. Dengan telik dan cekatan, tangan keriput sang nenek yang prigel membuka tutup botol air mineral yang ternyata masih rapat terbungkus segel. Setelah botol terbuka, diambilnya sebatang sedotan plastik dari dalam kresek yang sedari tadi ia jinjing. Disodorkannya lagi botol air mineral itu pada sang kakek. Dengan pipi kempat-kempot dan tembolokan naik turun, sang kakek meneguk habis air mineral dalam botol plastik ukuran kecil itu. Alhamdulillah. ucapnya pelan. Lalu, pasangan tua itupun kembali duduk dengan tenang. Menatap lurus ke depan, dan tanpa melepas pandangannya, sang nenek meraih tangan sang kakek lalu meletakkannya di pangkuan.

Disamping pasangan tua itu, seorang lelaki setengah baya berseragam pegawai pemda duduk menekur menahan kantuk. Menguap dengan mata buka-katup. Badannya tambun. Kulitnya coklat tua. Mengkilat karena baluran keringat. Setiap angkot direm, setiap itu matanya membeliak. Lelaki itu sepertinya sedang melawan lelah yang teramat sangat. Kabin panas dan bahan seragam yang terbuat dari potongan drill tebal itu membuat tubuhnya semakin kuyup. Keringat deras mengaliri alur urat-urat kepenatan yang begitu jelas menonjol pada leher sampai lengan yang terlipat di dadanya.

Saya menerawang. Menangkap bayangan wajah Bapak, yang kebetulan juga seorang pegawai rendahan di lingkungan pemerintahan daerah. Mungkin seperti inilah keadaannya sewaktu menempuh perjalanan pulang dari kantor kabupaten menuju desa kami yang terletak jauh di pinggiran kota. Waktu perjalanan setengah jam atau lebih, ia tempuh sembari mengaso, dan menahan kantuk yang berat. Meski begitu, saya kira, Bapak lebih beruntung dari lelaki setengah baya ini. Perjalanan dari kota Sumedang ke desa Tanjung Sari yang setiap hari ditempuh Bapak, tentu tak seruwet perjalanan pulang dari Bandung ke kecamatan Cileunyi yang tampaknya menjadi tujuan lelaki setengah baya ini. Itu karena, jalur Cadas Pangeran di siang hari, tak sepadat lalu lintas jalan raya yang menghubungkan jalan Raya Ujungberung dengan jalan By Pass Soekarno-Hatta, pada waktu yang sama.

Ketika saya tengah asyik mengamati polah lelaki setengah baya itu, tiba-tiba pemuda disamping saya menghentakkan tubuhnya ke depan sambil terbatuk-batuk. Gadis muda berseragam sekolah yang duduk tepat di hadapannya, menyurutkan punggung ke sandaran jok. Melihat gelagatnya, serta-merta sang nenek yang saya perhatikan sebelumnya, mengajukan kantong plastik pada si pemuda lewat perantaraan saya.

Pemuda tanggung meraih kantong plastik itu. Membukanya lebar-lebar. Merunduk. Memuntahkan isi perut. Tak lama kemudian, angin yang baur menyebarkan bau pesing yang menusuk. Mulut ini jadi sebal menahan mual. Dan untuk menekan perasaan itu, maka sayapun beringsut, menggeser posisi duduk ke samping kiri. Tanpa dinyana, sang kakek ternyata telah berada tepat di samping saya. Entah kapan ia berpindah. Tak ayal, karena dorongan tubuh saya yang reflek, ia lantas tersuruk ke arah pintu. Untung saja, tangan kirinya sempat meraih pinggiran pintu. Sehingga, keningnya yang tipis itu tak sampai terantuk keras.

Maaf, Pak. Maaf, saya tidak sengaja. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.. jawabnya sambil merapikan lengan kemeja. Biar saja, Dik. Si Bapak mah pakai pindah-pindah segala sih...timpal sang nenek seraya tersenyum. Sayapun mengangguk. Membantu sang kakek bersandar seperti semula. Namun, sebelum sempat saya berkata-kata, berbasa-basi, tiba-tiba kaki pemuda tanggung itu naik sampai di lutut saya. Sambil menahan nafas karena kesal, saya kembali menggeser posisi duduk. Agaknya, si pemuda tengah kesulitan membuka kaca jendela. Setelah merengut-rengutkan wajahnya beberapa lama, akhirnya sampai juga tenaganya menguakkan kaca jendela itu. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya kantong plastik berisi muntahan perutnya itu keluar angkutan kota. Gadis muda yang duduk tepat didepannya memperhatikan dengan raut jijik. Angin lalu menghambur, menampar pipi dan seluruh wajah pemuda tanggung. Tak lama kemudian, ia merogoh saku celana depannya. Mengeluarkan setoples kecil obat gosok. Tak ayal, aroma menthol kembali berbaur melengkapi segala bau-bauan yang telah berkumpul sebelumnya. Melebur bersama uap bensin, asam keringat, dan asap bahan bakar yang menusuk lewat hidung, lalu singgah di puncak kepala. Membuat kening terasa berat dan jangat. Akan tetapi, kecemasan saya tak sampai berlarut lama. Tulisan terminal cicaheum sudah tampak jelas terbaca di arah kejauhan. Pada badan jembatan penyeberangan yang melintang di atas jalan Raya Ujungberung.

Lelaki setengah baya yang sepanjang perjalanan tadi menahan kantuk, tiba-tiba bangkit tersadar dari duduknya, disaat kendaraan angkutan kota berhenti di jalur perhentian. Dengan sigap, ia melompat turun dari angkot, mendahului penumpang lainnya. Sementara itu, si pemuda tanggung telah kembali berbuat ulah. Ia menumbuk dada gadis muda ketika keduanya bangkit bersamaan dari tempat duduk. Gadis muda mengepit map didadanya erat-erat. Memandang ketus pemuda tanggung yang berlagak batuk. Dalam pada itu, saya memilih untuk turun paling terakhir. Mempersilahkan pasangan tua untuk turun lebih dahulu. Sang nenek, kembali tampak lebih gesit dan sehat daripada suaminya. Ketika kedua kakinya baru saja sejenak menginjak tanah, ia langsung mengulurkan tangan untuk membantu suaminya yang tampak sedikit goyah ketika menjulurkan kakinya keluar kendaraan. Menyaksikan itu, tanpa dimintai, saya berusaha membantu lelaki tua itu berdiri di samping angkot, disaat istrinya membayarkan ongkos perjalanan pada sang supir.

Terima kasih, Nak. Mari. Sama-sama, Bu. Sama-sama, Pak. Silahkan. Kemudian, agak lama juga saya memperhatikan pasangan tua itu berlalu. Hampir saja saya lupa membayarkan ongkos. Tapi sebelum saya sempat mengeluarkan dompet, supir telah mematikan mesin mobil, membuka pintu, dan berjalan kearah sebuah warung nasi. Takana Juo. Masakan Padang.

Bang ! Ongkosnya ? Sudah dibayar sama Ibu yang tadi, Mas !teriak supir angkot tanpa menoleh. Sudah ? Ya, sudah ! Meski sedikit malu mendengarnya, karena tak terlalu beramah-ramah ketika nyaris menyurukkan suaminya di waktu kejadian singkat tadi, dengan hati plong, lega, sayapun melangkah pergi meninggalkan hiruk pikuk terminal di siang hari itu. Setidaknya, saya masih bisa menghibur diri. Menganggap hutang telah terlunasi. Karena, toh saya juga yang membantu menjagakan suaminya selagi sang nenek membayarkan ongkos.

Di kaki jembatan penyeberangan, seorang perempuan pengemis duduk bersimpuh sembari menadahkan tangannya kepada saya. Kasian, Pak. Kasian,Pak...ucapnya lirih. Karena iba menyaksikan keadaan anak yang pulas di dalam gendongan perempuan pengemis itu, saya lantas merogoh saku belakang celana. Alangkah terkejutnya saya, ketika merogoh saku, ternyata dompet sudah tak ada lagi disitu. Pantas saja pantat ini rasanya tepos ketika turun dari kendaraan tadi. Dengan gugup, saya coba mencari ke dalam saku kemeja. Nihil. Di saku celana depan ? Nihil juga.

Hanya satu set kunci kamar dalam gantungan bertuliskan Singapore yang saya temukan disitu. Mata perempuan pengemispun melongo keheranan Seketika pula saya tersadar : saya telah dicopet !

Lesu. Lemas. Tak bisa tidur. Semalaman melek memikirkan apa yang baru saja dialami siang tadi. Jumlah rupiah yang ada dalam dompet yang raib terbilang lumayan juga untuk orang prihatin seperti saya. Dua ratus ribu rupiah lebih sedikit. Tentu bisa untuk makan sepuluh hari lebih. Sambil menyeruput susu kopi, saya mulai memilah-milah siapa pencopet yang telah memangsa dompet beserta seluruh isinya itu. Lelaki setengah bayakah ? Sepasang orang-tuakah ? Gadis mudakah ? Pemuda tanggungkah ? Atau, mungkin saja seorang pencopet yang biasa mangkal di terminal Cicaheum ?

Coba kamu kira-kira. Kalau pegawai pemda itu sih enggak mungkin sepertinya. Wong dia itu kamu lihat tidur terus kok sedari naik angkot. Nah, kalau gadis sekolah fifty-fifty kemungkinannya. Memangnya bagaimana tampang si cewek es-em-u itu, Tar. Coba kamu ceritakan ?timpal Mas Wasid setelah saya bercerita.

"Fifty-fifty bagaimana, Mas ? "Ya, dia kan sempat tubrukan dengan anak muda yang duduk sebelah kamu. Siapa tahu itu untuk memancing perhatian. Eh, tapi kamu perhatikan kedua-duanya ya waktu mereka tumbuk-tumbukan ? "Menurut saya, kalau pelaku langsung ya bukan. Tapi bisa saja, melihat gelagatnya, gadis muda itu mungkin berkomplot sama anak muda disamping kamu itu.ujar Pak Rahmat.

Mata saya memandang kilatan lampu yang membias di badan gelas. Urip, yang sedari awal hanya bertindak selaku pendengar saja, mulai angkat bicara.

Mas Wasid dan Pak Rahmat, kalau kata saya sih lain lagi. Kalau kata saya mah, nenek sama kakek itu juga terlibat. Nah, coba ingat-ingat, Bang Ed. Waktu pemuda tanggung tadi muntah, nenek itu kan yang menyodorkan kantong plastik ? Iya, Rip. Betul. Terus ? Urip tersenyum. Melihat saya, Mas Wasid, dan Pak Rahmat yang tampak begitu rapi, siap mendengarkan. Waktu Bang Ed mengajukan kantong plastik kepada si pemuda, si Kakek pindah duduk ke jok tempat Bang Eddy duduk. Diambilnya dompet Bang Eddy disaat itu. Atau, ada kemungkinan juga, pemuda yang muntah itu yang mengambilnya. Waktunya ? Ya, pada saat Bang Eddy lagi basa-basi sama Kakek-Nenek itu. Pencopet ahli lho sepertinya. Tapi kalau begitu, si gadis anak sekolah itu pasti melihat juga. Tidak, Bang. Pasti karena jijik dia mengalihkan pandangannya ke depan. Tapi kalau mereka itu kelihatan baik-baik. Ah, rata-rata saja penampilannya. Betul. Tak mungkin kalau mereka. Ya, mungkin dong, Bang Eddy. Justru jaman sekarang ini, maling-maling mesti pintar kamuflase. Ada maling berseragam. Ada maling pakai Dasi. Lha, maling motor yang kemarin-kemarin baru ditangkap di komplek sebelah, kan banyak orang mengira dia itu tentara. Setelah diselidiki ternyata cuma rambutnya saja yang cepak. Jangankan kartu anggota, KTP saja ndak punya. Iya, Bang Ed. Ada betulnya juga kata Mas Wasid itu. Yang namanya maling sekarang sudah pintar pasang penampilan. Namanya juga oknum. Sering menyamar. Kalau ada oknum pegawai, oknum militer, oknum pejabat, jangan-jangan karena kejadian yang menimpa Bang Ed, nanti-nanti ada juga yang namanya oknum manula! Ha Ha- Ha ! Kelakaran Urip itu membuat kami berempat terbahak. Untuk sesaat, saya lupa akan semua beban yang bakal berat dipanggul mengingat uang operasional sehari-hari yang berkurang. Apalagi, bulan masih muda. Masih cukup panjang penantian, bagi pegawai swasta rendahan yang cuma punya wewenang mengetikkan hasil bualan para manajer. Setelah Mas Wasid, Pak Rahmat, dan Urip berangsur-angsur kembali ke kamarnya masing-masing, wilayah rumah kontrakan jadi terasa begitu sepi memerihkan buat saya. Alangkah merasa apesnya saya di malam itu. Bagaimana tidak ? Saya rela pindah kerja dari Jakarta ke Bandung, meski jabatan rendah dan gajipun jauh berkurang. Saya pikir, tak apalah. Asalkan tak perlu lagi berurusan dengan tukang palak, copet, penyamun dan sejenisnya yang selalu muncul tiba-tiba dari lorong-lorong gelap di seantero Jakarta. Tapi, setelah kejadian siang itu, saya kembali harus memelas. Bandung dan Jakarta ternyata sama saja. Sama-sama tak berperasaan. Manusia yang berusaha untuk tak punya niat jelek pada orang lainpun, tak luput juga dari intaian nasib buruk. Tapi, bilakah saya mendapat uang lagi ? (red)