iedafith.files.wordpress.com · web viewvirus corona atau covid-19 tengah mewabah dunia. indonesia...

72
Covid-19 Menuntut Manusia Merenung & Perbaiki Diri IN Oleh inilahcom Rabu 22 April 2020 share (Foto: Ilustrasi)

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Covid-19 Menuntut Manusia Merenung & Perbaiki Diri

IN

Oleh inilahcom

Rabu 22 April 2020

share

(Foto: Ilustrasi)

VIRUS Corona atau Covid-19 tengah mewabah dunia. Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia salan satu yang terdampak dengan jumlah korban cukup besar. Kehidupan sosial dan ekonomi luluh lantak akibat pandemi virus mematikan tersebut.

Menurut Profesor Quraish Shihab, bencana tersebut mengharuskan siapa pun untuk merenung.

"Bencana ini mengharuskan kita merenung, mengapa terjadi? Lalu kita berusaha untuk memperbaiki diri guna terhindar darinya," kata Prof Quraish pada acara "Munajat Hamba", Selasa (21/4/2020).

Menurut Prof Quraish, siapa pun harus menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT, tetapi harus disadari pula bahwa kehendak Allah terjadi tidak secara sewenang-wenang. "Kita masih diperintahkan untuk berusaha. Salah satu usaha itu adalah doa kepada Allah subhanahu wa ta'ala," kata ulama tafsir yang dianugerahi Bintang Tanda Kehormatan Tingkat Pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni dari Pemerintah Mesir itu.

Perihal pentingnya doa, Allah telah menyatakan dalam Surat Al-Furqan ayat 77. Artinya, "Katakanlah (Muhammad kepada orang-orang musyrik), Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena doamu. (Tetapi bagaimana Dia mengindahkan kamu), padahal sungguh kamu telah mendustakan (rasul dan Al-Quran)? Karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu).

Baca juga

Keberimbangan Vitamin dan Hati Kita

Ramadan di Mata Tokoh Muslim Dunia

Yuk Sambut Ramadan dengan Suka Cita!

"Begitu juga hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa takdir tidak akan berubah kecuali dengan doa. "La yaruddul qadara illad du'a." Artinya, "Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa."

"Bencana jatuh dari langit. Doa naik membumbung ke atas. Doa bertemu dengan bencana, bisa jadi bencana dialihkannya sehingga tidak turun ke bumi. Bisa jadi juga diperlemah kejatuhnya sehingga dia jatuh bagaikan di atas tumpukan jerami. Oleh karena itu doa sangat dianjurkan," terangnya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Allah menyatakan tidak akan menghukum hamba-Nya selama mereka beristighfar. Artinya, "Allah tidak akan menyiksa mereka selama kamu ada di tengah mereka. Allah tidak akan menghukum mereka, sementara mereka memohon ampun," (Surat Al-Anfal ayat 33).

"Mari kita memanjatkan doa dengan beristighfar sambil berselawat kepada rasulullah SAW," ajak penulis Tafsir Al-Misbah itu. Selain Prof Quraish, turut pula mengikuti acara ini, yaitu lama terkemuka Mesir Syekh Ali Jum'ah, Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon KH Husein Muhammad, Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand Prof Nadirsyah Hosen, dan Pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, KH Abdullah Kafabihi Mahrus. Selain itu, terdapat Pengasuh Pesantren Al-Munawwir Krapyak KH R Najib Abdul Qodir, Pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan KH Idris Hamid, Pengasuh Pondok Roudlotut Thohiriyyah Kajen KH Ahmad Muadz Thohir, Cendekiawan Muslim Ulil Absar Abdalla, dan Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen. [nuol]

Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 di Tengah Covid-19

ARTIKEL • Selasa, 31/03/2020 • Shintya Gugah Asih Theffidy 

   0  8853

SHARE

·

·

·

·

Jauh sebelum terjadinya revolusi industri kita mengenal istilah pra revolusi, di mana seluruh kegiatan dilakukan secara manual dengan tangan manusia tanpa bantuan mesin. Baru sekitar abad ke 17 sampai awal abad ke 18 revolusi industri dimulai dengan kemunculan Revolusi Industry 1.0 (mulai hadirnya pabrik-pabrik dan penemuan tenaga uap oleh ilmuwan). Kemudian Revolusi Industri 2.0 pada sekitar pertengahan abad 18 (adanya pemanfaatan tenaga listrik, hadirnya produksi mobil) dan Revolusi Industri 3.0 sejak tahun 1960 (ledakan informasi digital, komputer, dan smartphone).

Revolusi Industri 4.0 merupakan salah satu pelaksanaan proyeksi teknologi modern Jerman 2020 yang diimplementasikan melalui peningkatan teknologi manufaktur, penciptaan kerangka kebijakan srategis, dan lain sebagainya. Ditandai dengan kehadiran robot, artificial intelligence, machine learning, biotechnology, blockchain, internet of things (IoT),serta driverless vehicle. Bidang pendidikan sangat berkaitan dengan Revolusi Industri 4.0 yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pola belajar dan pola berpikir serta mengembangkan inovasi kreatif dan inovatif dari peserta didik, guna mencetak generasi penerus bangsa yang unggul dan mampu bersaing.

Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0

Ahli teori pendidikan sering menyebut Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 untuk menggambarkan berbagai cara mengintegritaskan teknologi cyber baik secara fisik maupun non fisik dalam pembelajaran. Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 adalah fenomena yang merespons kebutuhan revolusi industri dengan penyesuaian kurikulum baru sesuai situasi saat ini. Kurikulum tersebut mampu membuka jendela dunia melalui genggaman contohnya memanfaatkan internet of things (IOT). Di sisi lain pengajar juga memperoleh lebih banyak referensi dan metode pengajaran.

Akan tetapi hal ini tidak luput dari tantangan bagi para pengajar untuk mengimplementasikannya. Dikutip dari Kompasiana (2019) setidaknya ada 4 kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh pengajar. Pertama keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Merupakan kemampuan memahami suatu masalah, mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sehingga dapat dielaborasi dan memunculkan berbagai perspektif untuk menyelesaikan masalah. Pengajar diharapkan mampu meramu pembelajaran dan mengekspor kompetensi ini kepada peserta didik. Kedua Keterampilan komunikasi dan kolaborasi. Keterampilan ini tidak luput dari kemampuan berbasis teknologi informasi, sehingga pengajar dapat menerapkan kolaborasi dalam proses pengajaran.

Ketiga, kemampuan berpikir kreatif dan inovatif. Diharapkan ide-ide baru dapat diterapkan pengajar dalam proses pembelajaran sehingga memacu siswa untuk beripikir kreatif dan inovatif. Misalnya dalam mengerjakan tugas dengan memanfaatkan teknologi dan informasi. Keempat, literasi teknologi dan informasi. Pengajar diharapkan mampu memperoleh banyak referensi dalam pemanfaatan teknologi dan informasi guna menunjang proses belajar mengajar.

Bagi perguruan tinggi, Revolusi Industri 4.0 diharapkan mampu mewujudkan pendidikan cerdas melalui peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan, perluasan akses dan relevansi dalam mewujudkan kelas dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut interaksi pembelajaran dilakukan melalui blended learning (melalui kolaborasi), project based-learning (melalui publikasi), flipped classroom (melalui interaksi publik dan interaksi digital).

Virus Corona/Covid 19 dan Pelayanan Bidang Pendidikan Era 4.0

Covid-19 yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut Covid-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut, sampai kematian. Indonesia saat ini tengah menghadapi hari-hari melawan covid-19, bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) telah mengeluarkan surat edaran baru yang pada intinya menyatakan perpanjangan masa bekerja dari rumah (Work From Home) dan penyesuaian sistem kerja.

Akan tetapi Menteri PAN-RB menegaskan hal ini bukan berarti pelayanan publik ditiadakan, baik pelayanan publik terkait ruang lingkup barang, jasa maupun administrasi. Hal tersebut ditekankan secara langsung oleh yang bersangkutan pada saat mengumumkan adanya surat edaran terbaru yang menyatakan perlunya penyesuaian sistem kerja dan mengimplementasikan protokol pencegahan Covid-19. Pelayanan dapat dilakukan melalui daring (online) atau jika terdapat pelayanan manual harus mengimplementasikan mengukur suhu pengguna layanan, menyediakan tempat cuci tangan/handsanitizer dan menjaga jarak.

Hal tersebut juga berlaku bagi pendidikan. Dengan dihapuskannya Ujian Nasional, belajar di rumah melalui aplikasi tertentu, kuliah daring, bimbingan dan seminar daring merupakan contoh pelayanan bidang pendidikan yang mempercepat penerapan Pendidikan era Revolusi 4.0. Bagaimana tidak baik pengajar maupun peserta didik dipacu untuk memahami setidaknya penggunaan teknologi digital. Di sisi lain peserta didik juga dipaksa untuk mengeksplor teknologi dan informasi dan menyalurkan kreatifitasnya melalui inovasi-inovasi dalam tugas-tugas yang diberikan.

Kesempatan Kolaborasi di Tengah Wabah Covid-19

Tentu penyesuaian diperlukan dalam menerapkan Pendidikan era Revolusi 4.0. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri adanya wabah Covid-19 menjadi salah satu pendorong penerapan sistem ini. Di sisi lain selain dituntut memahami teknologi dan informasi serta cara mengimplementasikannya, tentu terdapat permasalahan yang timbul yaitu terkait sarana prasarana yang memadai. Misalnya peserta didik dari keluarga yang kurang mampu tidak memiliki laptop/smartphone. Maka kebijakan sudah seharusnya memperhatikan hal tersebut. Pihak sekolah memiliki Surat Keputusan (SK) peserta didik kurang mampu dan melakukan pendampingan belajar bagi mereka yang telah didata dengan memperoleh subsidi silang atau pemecahan masalah lainnya. Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa setidaknya internet tersedia di daerah pendidikan agar menghindari pula alasan untuk pulang ke masing-masing kampung halaman dikarenakan menghindari penyebaran Covid-19.

Di balik hal tersebut peserta didik dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dan memanfaatkan Pendidikan era Revolusi 4.0 dengan menerapkan internet of things (IoT). Sehingga dapat mengembangkan kreatifitas dan inovasinya melalui tugas bersama (kolaborasi), tugas individu maupun project tertentu yang bermanfaat di tengah situasi wabah ini. Contoh kolaborasi misalnya yang telah dilakukan mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Lampung dengan membuat cairan hand sanitizer dengan memanfaatkan alat dan bahan yang tersedia, ataupun penggalangan dana bersama untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas kesehatan.

Tugas individu dengan membuat poster/video tentang himbaun pencegahan Covid-19, atau mengerjakan tugas sesuai kurikulum pendidikan dengan memanfaatkan teknologi dan informasi sehingga memiliki banyak referensi dan dapat memanfaatkan teknologi digital. Project tertentu misalnya mengembangkan kemampuan dalam membuat aplikasi tertentu guna membantu sistem pelayanan publik daring, tanpa mengharuskan pengguna layanan pergi ke lokasi pelayanan. Hal tersebut mungkin saja dapat dilakukan, sebagai contoh Online Single Submision (OSS) yang diterapkan di DPMPTSP. Bukan tidak mungkin peserta didik dapat mewujudkan aplikasi daring yang memudahkan proses penyelenggaraan pelayanan publik.

Pada akhirnya, di tengah merebaknya wabah Covid-19, Pendidikan era Revolusi Industri 4.0 dapat diterapkan dengan penyesuaian tertentu tanpa mennyampingkan hal-hal yang perlu diperhatikan lebih teknis, misalnya dampak dan kelemahannya. Di sisi lain tuntutan peran peserta didik diharapkan mampu membawa perubahan positif di tengah situasi melalui pemahaman yang diberikan oleh pengajar. Sudah saatnya kita berkolaborasi dalam mewujudkan "kesempatan" mengabdi di tengah adanya pandemi ini.

Posted on April 4, 2020 at 11:40 AM

FacebookTwitterWhatsAppLineTelegramFacebook MessengerEmail

Pandemi COVID-19 akan mengubah wajah dunia selamanya. Berikut analisis 12 pemikir global terkemuka terkait prediksi denyut kehidupan setelah wabah virus COVID-19 berlalu.

Seperti jatuhnya Tembok Berlin atau runtuhnya firma perbankan Lehman Brothers, pandemi COVID-19 adalah peristiwa yang menghancurkan dunia. Konsekuensinya yang berjangkauan luas baru bisa kita bayangkan saat ini. Sama seperti penyakit akibat virus corona baru itu telah menghancurkan kehidupan, mengganggu pasar, serta mengungkapkan kompetensi atau ketiadaan pemerintah, wabah kali ini akan menyebabkan perubahan permanen dalam kekuatan politik dan ekonomi dengan cara yang tak terduga.

Untuk membantu kita memahami pergeseran dunia saat krisis ini terjadi, 12 pemikir terkemuka dari seluruh dunia di Foreign Policy berikut ini menyajikan prediksi mereka akan tatanan global setelah berlalunya pandemi.

Baca Juga: Kamp Pengungsi Rohingya Jadi Bom Waktu COVID-19

LEBIH SEDIKIT KETERBUKAAN, KESEJAHTERAAN, DAN KEBEBASAN

Pandemi COVID-19 akan memperkuat negara dan memperkuat nasionalisme. Pemerintah dari semua jenis spektrum politik akan mengadopsi langkah-langkah darurat untuk mengelola krisis. Banyak negara yang bisa jadi enggan melepaskan kekuatan baru ini ketika krisis kesehatan berakhir.

ADVERTISEMENT

Menurut analisis Stephen M. Walt dari Foreign Policy, pandemi COVID-19 juga akan mempercepat pergeseran kekuasaan dan pengaruh dari Barat ke Timur. Korea Selatan dan Singapura telah memberikan tanggapan terbaik, sementara China telah bereaksi dengan baik setelah sempat menunjukkan kesalahan awal. Respons di Eropa dan Amerika Serikat cenderung lambat dan serampangan, yang lebih lanjut menodai reputasi Barat.

Apa yang tidak akan berubah adalah sifat politik dunia yang pada dasarnya saling bertentangan. Wabah-wabah penyakit sebelumnya, termasuk epidemi flu Spanyol selama 1918-1919, tidak mengakhiri persaingan negara-negara kekuatan besar atau mengantar era baru kerja sama global.

Demikian juga dengan COVID-19. Kita akan menyaksikan kemunduran lebih jauh dari hiperglobalisasi, ketika warga negara menuntut pemerintah nasional untuk melindungi mereka serta ketika negara dan perusahaan berusaha mengurangi kerentanan di masa depan.

Singkatnya, pandemi COVID-19 akan menciptakan dunia yang kurang terbuka, kurang sejahtera, dan kurang bebas. Kombinasi dari virus mematikan, perencanaan yang tidak memadai, dan kepemimpinan yang tidak kompeten telah menempatkan umat manusia pada jalan baru yang mengkhawatirkan.

AKHIR DARI GLOBALISASI YANG KITA KENAL

Pandemi COVID-19 bisa menjadi penghambat globalisasi ekonomi. Kekuatan ekonomi dan militer China yang berkembang telah memprovokasi tekad bipartisan di Amerika Serikat untuk memisahkan China dari teknologi tinggi dan kekayaan intelektual yang bersumber dari AS dan mencoba untuk memaksa negara-negara sekutu untuk mengikuti langkah tersebut. Meningkatnya tekanan publik dan politik untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon telah mempertanyakan ketergantungan banyak perusahaan pada rantai pasokan jarak jauh. Sekarang, pandemi COVID-19 memaksa pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk memperkuat kapasitas mereka untuk mengatasi periode isolasi ekonomi yang berkepanjangan.

Menurut analisis Robin Niblett dari Foreign Policy, tampaknya sangat tidak mungkin dalam konteks ini dunia akan kembali ke gagasan globalisasi yang saling menguntungkan yang mendefinisikan awal abad ke-21. Tanpa insentif untuk melindungi keuntungan bersama dari integrasi ekonomi global, arsitektur tata kelola ekonomi global yang didirikan pada abad ke-20 dengan cepat akan berhenti berkembang. Kemudian akan dibutuhkan disiplin diri yang besar bagi para pemimpin politik untuk mempertahankan kerja sama internasional dan tidak mengalami kemunduran ke kompetisi geopolitik yang terbuka.

Dengan membuktikan kepada warga negara mereka dapat mengelola krisis COVID-19, para pemimpin akan menyediakan modal politik bagi diri mereka. Namun, pemerintah negara-negara yang gagal akan merasa sulit untuk menahan godaan menyalahkan pihak lain atas kegagalan mereka.

GLOBALISASI YANG LEBIH BERPUSAT PADA CHINA

Pandemi COVID-19 tidak akan secara fundamental mengubah arah ekonomi global. Itu hanya akan mempercepat perubahan yang telah dimulai sejak beberapa saat: perpindahan dari globalisasi Amerika-sentris ke globalisasi yang lebih China-sentris.

Mengapa tren ini akan berlanjut? Menurut analisis Kishore Mahbubani dari Foreign Policy, rakyat Amerika Serikat telah kehilangan kepercayaan pada globalisasi dan perdagangan internasional. Perjanjian perdagangan bebas adalah racun, dengan atau tanpa Presiden AS Donald Trump.

Sebaliknya, China tidak kehilangan kepercayaan. Mengapa tidak? Ada alasan historis yang lebih dalam. Para pemimpin China sekarang tahu betul, abad penghinaan China sejak 1842 hingga 1949 adalah hasil dari sikap China sendiri yang cepat puas dan upaya sia-sia oleh para pemimpinnya untuk memutuskan negara itu dari dunia. Sebaliknya, beberapa dekade terakhir kebangkitan ekonomi China adalah hasil dari keterlibatan global. Orang-orang China juga mengalami ledakan kepercayaan diri kultural. Mereka percaya mereka bisa bersaing di mana saja.

Akibatnya, dalam buku baru Mahbubani yang bertajuk Has China Won?, Amerika Serikat memiliki dua pilihan. Jika tujuan utamanya adalah mempertahankan keunggulan global, AS harus terlibat dalam kontes geopolitik zero sum dengan China secara politik dan ekonomi. Namun, jika tujuan Amerika Serikat adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang kondisi sosialnya memburuk, AS harus bekerja sama dengan China.

Penasihat yang bijak akan menyarankan kerja sama sebagai pilihan yang lebih baik. Namun, penasihat yang lebih bijak mungkin tidak akan menang di tengah iklim politik AS yang beracun terhadap China.

DEMOKRASI AKAN KELUAR DARI CANGKANGNYA

Franklin Roosevelt (Foto: Getty Images/Keystone)

Dalam jangka pendek, krisis kesehatan kali ini akan memberi bahan bakar bagi semua pihak dari berbagai kubu dalam debat strategi besar Barat. Kaum nasionalis dan anti-globalis, tokoh agresif dalam menyikapi China, dan bahkan internasionalis liberal akan melihat bukti baru untuk urgensi pandangan mereka. Mengingat kerusakan ekonomi dan keruntuhan sosial yang sedang berlangsung, sulit untuk melihat apa pun selain penguatan gerakan menuju nasionalisme, persaingan negara-negara kekuatan besar, keterlepasan strategis, dan sejenisnya.

Namun, seperti pada 1930-an dan 1940-an, mungkin ada juga arus yang lebih lambat berkembang, semacam internasionalisme keras kepala yang mirip dengan yang mulai diartikulasikan mantan Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan beberapa negarawan lain sebelum dan selama perang. Runtuhnya ekonomi dunia selama 1930-an menunjukkan betapa terhubungnya masyarakat modern dan betapa rapuhnya mereka dengan apa yang disebut FDR sebagai penularan.

Menurut analisis G. John Ikenberry dari Foreign Policy, Amerika Serikat tidak begitu terancam oleh kekuatan-kekuatan besar lainnya daripada oleh kekuatan-kekuatan yang dalam dari modernitas. Apa yang diwujudkan FDR dan internasionalis lainnya adalah tatanan pasca-perang yang akan membangun kembali sistem terbuka dengan bentuk-bentuk perlindungan dan kapasitas baru untuk mengelola saling ketergantungan. Amerika tidak bisa hanya bersembunyi di dalam perbatasannya, tetapi harus beroperasi dalam tatanan pasca-perang terbuka yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur global kerja sama multilateral.

Dengan demikian, Amerika Serikat dan negara-negara demokrasi Barat lainnya dapat melakukan perjalanan melalui rangkaian reaksi yang sama yang didorong oleh rasa kerentanan. Respons mereka mungkin lebih nasionalis pada awalnya. Namun, dalam jangka panjang, negara-negara demokrasi akan keluar dari cangkang mereka serta menemukan jenis internasionalisme pragmatis dan protektif yang baru.

LEBIH SEDIKIT KEUNTUNGAN, TETAPI LEBIH BANYAK STABILITAS

Pandemi COVID-19 telah merusak prinsip dasar manufaktur global. Perusahaan-perusahaan sekarang akan memikirkan kembali dan menyusutkan rantai pasokan multitahap dan multinegara yang mendominasi produksi saat ini.

Rantai pasokan global sudah mulai mengalami hambatan secara ekonomi karena kenaikan biaya tenaga kerja China, perang dagang Presiden AS Donald Trump, serta kemajuan dalam bidang robotika, otomatisasi, pencetakan 3D, dan secara politis, karena kehilangan lapangan pekerjaan yang nyata dan yang dirasakan, terutama dalam ekonomi yang matang.

Wabah COVID-19 kini telah memutus banyak jalinan hubungan tersebut: Penutupan pabrik di daerah-daerah yang tertimpa bencana telah membuat pabrik lain sekaligus rumah sakit, apotek, supermarket, dan toko ritel kehilangan persediaan dan produk.

Di sisi lain pandemi, menurut analisis Shannon K. O’Neil dari Foreign Policy, lebih banyak perusahaan akan menuntut untuk mengetahui lebih banyak tentang dari mana pasokan mereka berasal dan akan menukar efisiensi demi redundansi. Pemerintah negara-negara di dunia akan melakukan intervensi juga, memaksa apa yang mereka anggap industri strategis agar memiliki rencana cadangan dan cadangan pasokan domestik. Profitabilitas akan turun, tetapi stabilitas pasokan akan meningkat.

PANDEMI COVID-19 DAPAT MENGHASILKAN TUJUAN BERGUNA

Situasi wabah masih awal, tetapi tiga hal telah tampak jelas. Pertama, pandemi COVID-19 akan mengubah politik Amerika Serikat, di dalam negara-negara bagian maupun di antaranya. Masyarakat bahkan para libertarian telah berpaling kepada kekuatan pemerintah. Keberhasilan relatif pemerintah dalam mengatasi pandemi dan dampak ekonominya akan memperburuk atau mengurangi masalah keamanan dan polarisasi baru-baru ini dalam masyarakat. Bagaimanapun, pemerintah telah kembali memegang posisi unggul.

Pengalaman sejauh ini menunjukkan para pemimpin otoriter atau populis tidak lebih baik daripada satu sama lain dalam menangani pandemi COVID-19. Negara-negara yang merespons awal dan berhasil, seperti Korea Selatan dan Taiwan adalah negara demokrasi, bukan yang dikuasai oleh pemimpin populis atau otoriter.

Kedua, situasi ini bukanlah akhir dari dunia yang saling terhubung. Pandemi COVID-19 sendiri adalah bukti saling ketergantungan umat manusia di seluruh dunia. Namun, di semua pemerintahan, sudah ada pergeseran arah ke dalam, pencarian otonomi, serta kendali akan nasib sendiri. Kita saat ini menuju dunia yang lebih miskin, lebih kejam, dan lebih kecil.

Perayaan Holi di India tak terusik dengan wabah corona. (Foto: AFP)

Baca Juga: Kasus COVID-19 Lebih dari 1.000, Malaysia Kerahkan Tentara Atur Ketertiban

Ketiga, terdapat tanda-tanda harapan dan akal sehat. India mengambil inisiatif untuk mengadakan konferensi video antara semua pemimpin Asia Selatan untuk menyusun tanggapan regional bersama terhadap ancaman wabah. Jika pandemi mengejutkan kita untuk mengakui kepentingan nyata dalam bekerja sama secara multilateral tentang isu-isu global besar yang kita hadapi, Shivshankar Menon dari Foreign Policy menyimpulkan, pandemi COVID-19 pada akhirnya akan menghasilkan manfaat yang tak terduga.

KEKUATAN AMERIKA AKAN MEMBUTUHKAN STRATEGI BARU

Pada 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan strategi keamanan nasional baru yang berfokus pada kompetisi negara-negara kekuatan besar. Pandemi COVID-19 menunjukkan strategi ini tidak memadai. Bahkan jika Amerika menang sebagai kekuatan besar, AS tidak dapat melindungi keamanannya dengan bertindak sendiri.

Sebagaimana Richard Danzig meringkas masalah ini pada 2018: “Teknologi abad kedua puluh satu bersifat global, tidak hanya dalam distribusi mereka, tetapi juga dalam konsekuensinya. Patogen, sistem Kecerdasan Buatan, virus komputer, dan radiasi yang dapat dilepaskan orang lain secara tidak sengaja bisa menjadi masalah kita, sama halnya seperti masalah mereka. Sistem pelaporan yang disepakati, kontrol bersama, rencana kontingensi, norma, dan perjanjian bersama harus dikejar sebagai cara memoderasi berbagai risiko kita bersama.”

Dalam menangani ancaman transnasional seperti COVID-19 dan perubahan iklim, menurut analisis Joseph S. Nye, Jr. dari Foreign Policy, tidak cukup hanya dengan memikirkan kekuatan Amerika atas negara lain. Kunci kesuksesan juga terletak pada belajar mengenai pentingnya kekuasaan dengan pihak lain.

Setiap negara mengutamakan kepentingan nasionalnya. Pertanyaan pentingnya adalah seberapa luas atau sempitnya kepentingan ini didefinisikan. Pandemi COVID-19 menunjukkan Amerika Serikat telah gagal menyesuaikan strategi dengan dunia baru ini.

SEJARAH COVID-19 AKAN DITULIS OLEH PARA PEMENANG

Seperti biasa, sejarah akan ditulis oleh “pemenang”, dalam hal ini ialah pemenang krisis COVID-19. Setiap bangsa dan semakin besar kemungkinan setiap individu mengalami ketegangan sosial dari wabah penyakit kali ini dengan cara baru dan dahsyat. Tidak dapat dihindari, negara-negara yang bertahan, berdasarkan sistem politik dan ekonomi mereka yang unik mau pun dari sudut pandang kesehatan masyarakat, akan mengklaim keberhasilan atas negara-negara yang mengalami hasil yang berbeda dan lebih menghancurkan.

Bagi sebagian pihak, hal ini akan muncul sebagai kemenangan besar dan pasti bagi demokrasi, multilateralisme, dan perawatan kesehatan universal. Bagi pihak lain, kemenangan ini akan menunjukkan manfaat yang jelas dari pemerintahan otoriter yang tegas dan ketat.

Bagaimanapun, menurut analisis John Allen dari Foreign Policy, krisis kesehatan ini akan mengubah struktur kekuatan internasional dengan cara yang tak terbayangkan. Pandemi COVID-19 akan terus menekan aktivitas ekonomi dan meningkatkan ketegangan antar negara. Dalam jangka panjang, pandemi ini kemungkinan secara signifikan akan mengurangi kapasitas produktif ekonomi global, terutama jika banyak bisnis tutup dan orang-orang melepaskan diri dari tenaga kerja.

Risiko dislokasi ini sangat besar bagi negara-negara berkembang dan negara-negara lain dengan sebagian besar pekerja yang rentan secara ekonomi. Sistem internasional pada gilirannya akan mendapat tekanan besar, yang mengakibatkan ketidakstabilan dan konflik yang meluas di dalam negeri dan antar negara.

TAHAP BARU KAPITALISME GLOBAL

Ilustrasi guncangan ekonomi akibat wabah corona di AS. (Foto: Reuters/Lucas Jackson)

Guncangan mendasar terhadap sistem keuangan dan ekonomi dunia adalah pengakuan rantai pasokan global dan jaringan distribusi sangat rentan terhadap gangguan. Pandemi COVID-19 oleh karena itu tidak hanya akan memiliki efek ekonomi yang bertahan lama, tetapi menyebabkan perubahan yang lebih mendasar.

Globalisasi memungkinkan perusahaan untuk keluar dari pabrik di seluruh dunia dan mengirimkan produk ke pasar dengan tepat waktu dan melampaui biaya pergudangan. Persediaan yang terpaksa disimpan di rak selama lebih dari beberapa hari dianggap sebagai kegagalan pasar. Pasokan harus bersumber dan dikirim pada tingkat global yang diatur dengan cermat. Pandemi COVID-19 telah membuktikan, patogen tidak hanya dapat menginfeksi manusia tetapi juga meracuni seluruh sistem yang biasanya berjalan dengan mengandalkan ketepatan waktu.

Mengingat skala kerugian pasar keuangan yang telah dialami dunia sejak Februari 2020, menurut analisis Laurie Garrett dari Foreign Policy, perusahaan-perusahaan kemungkinan akan keluar dari pandemi ini dengan merasa malu tentang model ketepatan waktu dan tentang produksi yang tersebar secara global. Hasilnya bisa menjadi tahap baru dramatis dalam kapitalisme global, di mana rantai pasokan dibawa lebih dekat ke lokasi perusahaan di dalam negeri dan dipenuhi redudansi demi melindungi diri dari kemungkinan gangguan di masa depan. Hal itu mungkin akan memotong keuntungan jangka pendek perusahaan, tetapi membuat seluruh sistem menjadi lebih tangguh.

LEBIH BANYAK NEGARA GAGAL

Krisis kesehatan kali ini setidaknya selama beberapa tahun akan menyebabkan sebagian besar pemerintah negara-negara di dunia beralih ke dalam negeri, berfokus pada apa yang terjadi di dalam perbatasan mereka daripada pada apa yang terjadi di luar negeri.

Richard N. Haass dari Foreign Policy mengantisipasi langkah-langkah yang lebih besar menuju swasembada selektif (dan, sebagai akibatnya, keterlepasan dari satu sama lain) mengingat kerentanan rantai pasokan, bahkan oposisi yang lebih besar terhadap imigrasi skala besar, dan berkurangnya kemauan atau komitmen untuk mengatasi masalah regional atau global, termasuk perubahan iklim. Hal itu terjadi mengingat kebutuhan yang dirasakan untuk mendedikasikan sumber daya untuk membangun kembali di dalam negeri dan menangani konsekuensi ekonomi dari krisis.

Banyak negara mungkin akan mengalami kesulitan untuk pulih dari krisis, dengan kelemahan negara dan negara-negara gagal menjadi fitur yang lebih umum di dunia. Krisis kesehatan kali ini kemungkinan akan berkontribusi pada kemunduran hubungan China-Amerika Serikat yang tengah berlangsung dan melemahnya integrasi Eropa. Di sisi positifnya, kita akan menyaksikan sedikit penguatan tata kelola kesehatan publik global. Namun, secara keseluruhan, krisis yang berakar pada globalisasi akan melemahkan, alih-alih meningkatkan kemauan dan kemampuan dunia untuk menghadapinya.

AMERIKA SERIKAT GAGAL DALAM UJIAN KEPEMIMPINAN

Donald Trump berbicara selama konferensi pers tentang wabah virus corona di Gedung Putih pada 29 Februari. (Foto: Reuters)

Amerika Serikat tidak akan lagi dipandang sebagai pemimpin internasional karena fokus kepentingan pemerintahnya yang sempit dan ketidakmampuan yang membingungkan. Efek global dari pandemi COVID-19 bisa sangat dilemahkan dengan meminta organisasi internasional memberikan informasi lebih banyak dan lebih awal, yang akan memberi pemerintah negara-negara di dunia cukup waktu untuk menyiapkan diri dan mengarahkan sumber daya ke aspek yang paling membutuhkan.

Semua ini seharusnya bisa diorganisasikan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa meskipun ini adalah kepentingan pribadi, krisis ini bukan semata-mata kepentingan pribadi. Menurut analisis Kori Schake dari Foreign Policy, AS telah gagal dalam ujian kepemimpinan dan akibatnya situasi dunia menjadi lebih buruk.

KEKUATAN SEMANGAT DAN KETAHANAN MANUSIA DI SETIAP NEGARA

Pandemi COVID-19 adalah krisis global terbesar abad ini. Kedalaman dan skalanya sangat besar. Krisis kesehatan masyarakat ini mengancam masing-masing dari 7,8 miliar orang di Bumi. Krisis keuangan dan ekonomi akibat wabah virus corona baru dapat melebihi dampak Resesi Hebat 2008-2009. Setiap krisis saja dapat memberikan kejutan seismik yang secara permanen mengubah sistem internasional dan keseimbangan kekuasaan seperti yang kita ketahui selama ini.

Sampai saat ini, kolaborasi internasional masih sangat kurang. Jika Amerika Serikat dan China, negara-negara paling kuat di dunia, tidak dapat mengesampingkan perang retorika mereka yang bertanggung jawab atas krisis dan memimpin dengan lebih efektif, menurut analisis Nicholas Burns dari Foreign Policy, kredibilitas kedua negara dapat berkurang secara signifikan.

Jika Uni Eropa tidak dapat memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran kepada 500 juta warganya, pemerintah negara-negara UE mungkin akan mengambil kembali kekuasaan lebih dari Brussels di masa depan.

Di Amerika Serikat, yang paling dipertaruhkan adalah kemampuan pemerintah federal untuk melakukan langkah-langkah efektif dalam membendung krisis.

Namun, di setiap negara, ada banyak contoh kekuatan semangat, mulai dari dokter, perawat, pemimpin politik, dan warga negara biasa yang menunjukkan ketahanan, efektivitas, dan kepemimpinan. Hal itu memberikan harapan, umat manusia di seluruh dunia dapat menang dalam menanggapi tantangan luar biasa pandemi COVID-19 kali ini.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Pemandangan jalanan setelah pemerintah Wuhan mengumumkan untuk melarang kendaraan yang tidak penting di daerah pusat kota untuk mengekang wabah virus corona, pada hari kedua Tahun Baru Imlek China, di Wuhan, provinsi Hubei, China, 26 Januari 2020. (Foto: cnsphoto via Reuters)

FacebookTwitterWhatsAppLineTelegramFacebook MessengerEmail

Wajah Dunia Setelah Pandemi Corona

Jumat, 10 April 2020 07:41Reporter : Hari Ariyanti

·

 

·

 

·

Masjid di sejumlah negara sepi gara-gara corona. ©AHMAD GHARABLI/AFP

Merdeka.com - Saat ini infeksi Covid-19 meluas ke 176 negara, pandemi ini adalah ancaman paling signifikan terhadap kemanusiaan sejak Perang Dunia II.

Munculnya wabah virus corona pada bulan Desember 2019 adalah krisis yang telah diperkirakan sebelumnya. Spesialis penyakit menular telah menggaungkan kekhawatiran tentang percepatan wabah selama beberapa dekade.

Demam berdarah dengue (DBD), ebola, SARS, flu burung, dan Zika hanya puncak gunung es. Sejak 1980, lebih dari 12.000 wabah terdokumentasi telah menginfeksi dan membunuh puluhan juta manusia di seluruh dunia, banyak dari korban berasal dari negara miskin.

Pada 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeteksi enam wabah dari delapan "penyakit prioritas" untuk pertama kalinya.

Ketika menghadapi kedaruratan Covid-19, kita perlu berpikir secara mendalam tentang mengapa komunitas internasional begitu tidak siap untuk wabah yang begitu tak terhindarkan ini. Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi bencana global.

Seperti apa kondisi dunia setelah pandemi virus corona ini? Ian Goldin, profesor Globalisasi dan Pembangunan dari Universitas Oxford dan Robert Muggah, Dosen Tidak Tetap di Universitas Katolik Kepausan Rio de Janeiro menuliskan analisisnya yang dipublikasikan pertama kali di The Conversation.

1 dari 6 halaman

Ketika dunia menjadi lebih terhubung, entitas di dalamnya juga menjadi lebih saling bergantung. Ini adalah kekurangan dari globalisasi, yang jika dibiarkan tidak terkendali berarti kita akan semakin menderita, risiko sistemik yang semakin berbahaya.

Salah satu demonstrasi paling gamblang adalah krisis keuangan 2008. Keruntuhan ekonomi mencerminkan kelalaian otoritas publik dan para ahli dalam mengelola kompleksitas yang semakin meningkat dari sistem keuangan global. Tidak mengherankan, kecerobohan elit politik dan ekonomi dunia merugikan mereka saat pemungutan suara.

Didorong oleh kemarahan publik, politikus ini mengikuti tradisi kuno, menyalahkan pihak lain dan memalingkan muka dari dunia luar. Presiden AS, khususnya, menolak pemikiran ilmiah, melontarkan berita palsu, dan menghindari sekutu tradisional dan lembaga internasional.

Dengan bukti infeksi meningkat dengan cepat, sebagian besar politikus nasional sekarang mengakui dampaknya terhadap manusia dan ekonomi akibat Covid-19. Prediksi terburuk Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), sekitar 160 juta hingga 210 juta orang Amerika akan terinfeksi pada Desember 2020.

Sebanyak 21 juta orang akan membutuhkan rawat inap dan antara 200.000 dan 1,7 juta orang bisa meninggal dalam setahun. Peneliti Universitas Harvard meyakini 20 persen hingga 60 persen populasi global dapat terinfeksi, dan secara konservatif memperkirakan 14 juta hingga 42 juta orang mungkin kehilangan nyawa mereka. Demikian dikutip dari The Independent, Kamis (9/4).

Sejauh mana angka kematian dapat ditekan tergantung pada seberapa cepat masyarakat dapat mengurangi infeksi baru, mengisolasi orang sakit dan memobilisasi layanan kesehatan, dan pada berapa lama kekambuhan dapat dicegah dan diatasi. Tanpa vaksin, Covid-19 akan menjadi kekuatan yang sangat mengganggu selama bertahun-tahun.

2 dari 6 halaman

Ketika Kerusakan Makin Parah

Pandemi ini akan sangat menghancurkan bagi masyarakat miskin dan rentan di banyak negara, dapat memicu risiko meningkatnya kesenjangan. Di AS, lebih dari 60 persen populasi orang dewasa menderita penyakit kronis. Sekitar satu dari delapan orang Amerika hidup di bawah garis kemiskinan - lebih dari tiga perempat dari mereka hidup dari gaji fan lebih dari 44 juta orang di AS tidak memiliki cakupan kesehatan sama sekali.

Tantangannya bahkan lebih dramatis di Amerika Latin, Afrika dan Asia Selatan, di mana sistem kesehatan jauh lebih lemah dan pemerintah kurang mampu merespons. Risiko laten ini diperparah oleh kegagalan para pemimpin seperti Jair Bolsonaro di Brasil atau Narendra Modi di India untuk menangani masalah ini dengan cukup serius.

Dampak ekonomi dari Covid-19 akan sangat dramatis di mana-mana. Tingkat keparahan dampak tergantung pada berapa lama pandemi berlangsung dan bagaimana pemerintah nasional dan internasional merespons. Tetapi bahkan dalam kasus terbaik, itu akan jauh melebihi krisis ekonomi 2008 dalam skala dan dampak globalnya, yang mengarah pada kerugian yang bisa melebihi USD 9 triliun atau lebih dari 10 persen dari PDB global.

3 dari 6 halaman

Di tengah komunitas warga miskin di mana banyak individu berbagi satu kamar dan harus bekerja setiap hari untuk bisa makan sehari-hari, seruan isolasi sosial akan sangat sulit, bahkan tidak mungkin untuk dipatuhi. Di seluruh dunia, ketika individu kehilangan pendapatannya, seharusnya terjadi peningkatan tunawisma dan kelaparan.

Di AS tercatat 3,3 juta orang telah mengajukan tunjangan pengangguran, dan di seluruh Eropa pengangguran juga mencapai rekor tertinggi. Tetapi sementara di negara-negara kaya ada beberapa jaring pengaman, meskipun compang-camping, negara-negara miskin sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk memastikan bahwa tidak ada yang mati kelaparan.

Dengan putusnya rantai pasokan, ketika pabrik tutup dan pekerja dikarantina, dan konsumen dicegah bepergian, berbelanja - selain untuk makanan - atau terlibat dalam kegiatan sosial, tidak ada ruang untuk stimulus fiskal. Sementara itu kebijakan moneter terhalang karena suku bunga sudah mendekati nol.

Oleh karena itu pemerintah harus fokus pada penyediaan semua kebutuhan dasar dengan pendapatan dasar, untuk memastikan bahwa tidak ada yang kelaparan akibat krisis. Sementara konsep jaminan pendapatan dasar tampaknya utopis hanya sebulan yang lalu, sekarang perlu menjadi fokus utama dari setiap agenda pemerintah.

4 dari 6 halaman

Memperburuk Ketimpangan

Pandemi Covid-19 memberikan titik balik dalam urusan nasional dan global. Ini menunjukkan saling ketergantungan kita dan bahwa ketika risiko muncul kita beralih ke pemerintah, bukan sektor swasta, untuk menyelamatkan kita.

Respons ekonomi dan medis yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara-negara kaya sama sekali tidak tersedia bagi banyak negara berkembang. Akibatnya implikasi tragisnya akan jauh lebih parah dan berlangsung lama di negara-negara miskin. Kemajuan dalam pembangunan dan demokrasi di sejumlah masyarakat Afrika, Amerika Latin dan Asia akan terbalik. Seperti iklim dan risiko lainnya, pandemi global ini akan secara dramatis memperburuk ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara di dunia.

Marshall Plan global, dengan suntikan dana besar-besaran, sangat dibutuhkan untuk menopang pemerintah dan masyarakat.

Pandemi Covid-19 bukanlah lonceng kematian globalisasi, seperti yang diprediksi beberapa pengamat. Saat perjalanan dan perdagangan dibatasi selama pandemi, akan ada kontraksi atau deglobalisasi.

Pandemi akan berdampak pada pertumbuhan robotika, kecerdasan buatan, dan pencetakan tiga dimensi, seiring dengan konsumen yang mengharapkan pengiriman cepat produk-produk yang semakin disesuaikan.

Bukan hanya manufaktur yang sedang diotomatisasi, tetapi juga layanan seperti pusat panggilan dan proses administrasi. Biayanya lebih murah dibandingkan merekrut orang langsung. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan pekerjaan yang membutuhkan tenaga manusia. Ini merupakan tantangan khusus bagi negara-negara berpenghasilan rendah dengan populasi muda pencari kerja. Afrika sendiri mengharapkan 100 juta pekerja untuk memasuki pasar tenaga kerja selama 10 tahun ke depan. Prospek mereka tidak jelas sebelum pandemi melanda. Sekarang mereka bahkan lebih rentan.

5 dari 6 halaman

Dampak Terhadap Stabilitas Politik

Pada saat kepercayaan terhadap demokrasi berada pada titik terendah dalam beberapa dekade, memburuknya kondisi ekonomi akan berdampak luas bagi stabilitas politik dan sosial. Muncul kesenjangan kepercayaan yang luar biasa antara pemimpin dan warga.

Kurangnya kepercayaan ini dapat berpengaruh pada tindakan pemerintah dalam merespons pandemi dan juga mencederai respons global terhadap pandemi.

Rendahnya kepemimpinan internasional dari AS, kota-kota, swasta dan filantropi mengambil langkah. China justru kini menjadi pahlawan dalam menanggapi pandemi, salah satunya dengan mengirim bantuan dan tenaga medis ke negara-negara yang terkena dampak. Peneliti Singapura, Korea Selatan, China, Taiwan, Italia, Prancis dan Spanyol secara aktif menerbitkan dan berbagi pengalaman mereka, termasuk melakukan penelitian cepat terkait pandemi ini.

NGO juga berperan besar dalam upaya bersama mengatasi pandemi ini. Contohnya, The Bill and Melinda Gates Foundation menyumbang USD 100 juta untuk meningkatkan sistem kesehatan lokal di Afrika dan Asia Selatan. Kelompok-kelompok seperti Wellcome Trust, Skoll, Yayasan Masyarakat Terbuka, Yayasan PBB, dan Google.org juga memperbesar jumlah bantuan.

Sekarang bukan waktunya untuk saling tuduh: ini adalah waktunya untuk bertindak. Pemerintah nasional dan kota, swasta, dan warga biasa di seluruh dunia harus melakukan segala yang mereka bisa untuk menurunkan kurva epidemi secepatnya, mengikuti contoh yang ditetapkan oleh Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, Hangzhou dan Taiwan.

6 dari 6 halaman

Negara-Negara di Dunia Harus Bersatu

Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan respons global yang komprehensif. Dalam kemitraan dengan negara-negara G20, koalisi kreatif negara-negara yang bersedia harus mengambil langkah-langkah mendesak untuk memulihkan kepercayaan tidak hanya di pasar tetapi di lembaga-lembaga global.

Uni Eropa, China dan negara-negara lain harus melangkah dan memimpin upaya global, melibatkan AS ke dalam respons global yang mencakup percepatan uji coba vaksin dan memastikan distribusi gratis begitu vaksin dan antivirus ditemukan. Pemerintah di seluruh dunia juga perlu mengambil tindakan dramatis terhadap investasi besar-besaran di bidang kesehatan, sanitasi, dan pendapatan dasar.

Pada akhirnya, kita akan dapat mengatasi krisis ini - tetapi terlalu banyak orang akan meninggal, ekonomi hancur, dan ancaman pandemi akan tetap ada. Maka prioritas harus bukan hanya pemulihan, tetapi juga membangun mekanisme multilateral yang kuat untuk memastikan bahwa pandemi yang serupa atau bahkan lebih buruk tidak pernah muncul lagi.

Dunia Tak Lagi Sama

Tidak ada tembok yang cukup tinggi yang akan mencegah pandemi berikutnya, atau memang ada ancaman besar lainnya untuk masa depan kita. Tapi penghalang ini dapat dihindari dengan teknologi, masyarakat, keuangan, dan sebagian besar dari semua gagasan kolektif dan kemauan untuk bekerja sama yang kita perlukan untuk mengatasi pandemi, perubahan iklim, resistensi antibiotik, teror, dan ancaman global lainnya.

Dunia sebelum virus corona dan setelahnya tidak bisa sama lagi. Kita harus menghindari kesalahan yang dilakukan sepanjang abad ke-20 dan awal abad ke-21 dengan melakukan reformasi mendasar untuk memastikan bahwa kita tidak pernah lagi menghadapi ancaman pandemi.

Jika kita dapat bekerja sama di dalam negara kita untuk memprioritaskan kebutuhan semua warga negara, dan secara internasional untuk mengatasi perpecahan yang telah memungkinkan ancaman pandemi berkembang, dari api pandemi yang mengerikan ini, sebuah tatanan dunia baru dapat ditempa. Dengan belajar bekerja sama, kita tidak hanya akan belajar untuk menghentikan pandemi berikutnya, tetapi juga mengatasi perubahan iklim dan ancaman penting lainnya.

Sekarang adalah saatnya untuk mulai membangun jembatan yang diperlukan di dalam dan luar negeri. [pan]

Dalam Pertempuran Melawan Virus Corona, Umat Manusia Kehilangan Kepemimpinan

Yuval Noah Harari, Time, 15 Maret 2020 Yuval Noah Harari adalah seorang sejarawan, filsuf dan penulis the bestselling "Sapiens, Homo Deus" dan "21 Lessons" untuk Abad ke-21.

Maret 21, 2020

0

315

Banyak orang yang menyalahkan epidemi virus korona pada globalisasi, dan mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk mencegah lebih banyak wabah seperti itu adalah dengan mendeglobalisasi dunia. Bangun tembok, batasi perjalanan, kurangi perdagangan. Namun, sementara karantina jangka pendek sangat penting untuk menghentikan epidemi, isolasi jangka panjang akan menyebabkan keruntuhan ekonomi tanpa menawarkan perlindungan nyata terhadap penyakit menular. Justru sebaliknya. Penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah pemisahan, melainkan kerja sama.

Epidemi membunuh jutaan orang jauh sebelum era globalisasi saat ini. Pada abad ke-14 tidak ada pesawat terbang dan kapal pesiar, namun “Black Death” menyebar dari Asia Timur ke Eropa Barat dalam hanya satu dekade lebih. Ini menewaskan antara 75 juta hingga 200 juta orang – lebih dari seperempat populasi Eurasia. Di Inggris, empat dari sepuluh orang meninggal. Kota Florence kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya.

Pada bulan Maret 1520, pembawa cacar tunggal – Francisco de Eguía – mendarat di Meksiko. Pada saat itu, Amerika Tengah tidak memiliki kereta, bus, atau bahkan keledai. Namun pada Desember, epidemi cacar menghancurkan seluruh Amerika Tengah menurut beberapa perkiraan, membunuh hingga sepertiga dari populasinya.

Pada tahun 1918, jenis flu yang sangat ganas berhasil menyebar dalam beberapa bulan ke penjuru dunia. Ini menginfeksi setengah miliar orang – atau lebih dari seperempat spesies manusia. Diperkirakan flu itu menewaskan 5% populasi India. Di pulau Tahiti 14% meninggal. Di Samoa 20%. Secara keseluruhan pandemi menewaskan puluhan juta orang – dan mungkin hingga 100 juta – dalam waktu kurang dari setahun. Lebih besar dari total jumlah manusia yang terbunuh oleh Perang Dunia I yang brutal, yang berlangsung selama empat tahun.

Pada abad yang berlalu sejak 1918, umat manusia menjadi semakin rentan terhadap epidemi, karena kombinasi populasi yang tumbuh dan transportasi yang lebih baik. Sebuah kota metropolitan modern seperti Tokyo atau Mexico City menawarkan patogen tempat perburuan yang jauh lebih kaya daripada Florence abad pertengahan, dan jaringan transportasi global saat ini jauh lebih cepat daripada pada tahun 1918. Virus dapat melakukan perjalanan dari Paris ke Tokyo dan Mexico City dalam waktu kurang dari 24 jam. Dengan demikian, kita seharusnya sudah bisa memprediksi bahwa kita hidup di dalam sebuah neraka yang penuh infeksi, dengan wabah mematikan yang datang satu demi satu.

Namun demikian, baik insiden maupun dampak epidemi telah turun secara dramatis. Bahkan untuk wabah mengerikan seperti AIDS dan Ebola, pada abad ke-21 epidemi membunuh proporsi manusia yang jauh lebih kecil daripada di masa sebelumnya sejak Zaman Batu. Ini karena pertahanan terbaik manusia terhadap patogen bukanlah isolasi – namun adalah informasi. Kemanusiaan telah memenangkan perang melawan epidemi karena dalam perlombaan senjata antara patogen dan dokter, patogen mengandalkan mutasi buta sementara dokter mengandalkan analisis informasi ilmiah.

Ketika “Black Death” melanda pada abad ke-14, orang tidak tahu apa yang menyebabkannya dan apa yang bisa dilakukan untuk itu. Sampai era modern, manusia biasanya menyalahkan penyakit pada dewa yang marah, setan jahat atau udara buruk, dan bahkan tidak mencurigai adanya bakteri dan virus. Orang-orang percaya pada malaikat dan peri, tetapi mereka tidak bisa membayangkan bahwa setetes air mungkin berisi sepasukan armada pemangsa yang mematikan. Karena itu ketika Black Death atau cacar datang berkunjung, hal terbaik yang dapat dipikirkan oleh pihak berwenang adalah mengorganisir doa-doa massal untuk berbagai dewa dan orang suci. Itu tidak membantu. Justru, ketika orang-orang berkumpul bersama untuk sembahyang massal, itu sering menyebabkan infeksi massal.

Selama abad terakhir, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia mengumpulkan informasi dan bersama-sama berhasil memahami mekanisme di balik epidemi dan cara melawannya. Teori evolusi menjelaskan mengapa dan bagaimana penyakit baru meletus dan penyakit lama menjadi lebih ganas. Genetika memungkinkan para ilmuwan memata-matai instruksi manual patogen itu sendiri. Sementara orang abad pertengahan tidak pernah menemukan apa yang menyebabkan “Black Death”, hanya butuh waktu dua minggu bagi para ilmuwan untuk mengidentifikasi virus corona baru, mengurutkan genomnya dan mengembangkan tes yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi.

Begitu para ilmuwan memahami apa yang menyebabkan epidemi, menjadi lebih mudah untuk melawannya. Vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur medis yang jauh lebih baik telah memungkinkan umat manusia untuk unggul dari predator yang tidak terlihat. Pada tahun 1967, cacar masih menginfeksi 15 juta orang dan membunuh 2 juta dari mereka. Tetapi pada dekade berikutnya, kampanye global vaksinasi cacar sangat berhasil, sehingga pada tahun 1979 Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa manusia telah menang, dan cacar telah sepenuhnya diberantas. Pada tahun 2019 tidak ada satu orang pun yang terinfeksi atau dibunuh oleh cacar.

Black Death atau Pes yang pernah mematikan di Jawa, jauh lebih dulu menyerang Eropa. Menyebar lewat kapal dagang dan migrasi tikus, membunuh 60 persen populasi Eropa.

Spanis Influenza pada tahun 1918

Jaga Perbatasan Kami

 

Apa yang diajarkan sejarah ini kepada kita untuk epidemi Coronavirus saat ini?

 

Pertama, ini menyiratkan bahwa Anda tidak dapat melindungi diri sendiri dengan menutup perbatasan secara permanen. Ingatlah bahwa epidemi menyebar dengan cepat bahkan di Abad Pertengahan, jauh sebelum zaman globalisasi. Jadi, bahkan jika Anda mengurangi koneksi global Anda ke level Inggris pada 1348 – itu masih belum cukup. Untuk benar-benar melindungi diri Anda melalui isolasi, pergi abad pertengahan tidak akan berguna. Anda harus pergi  ke Zaman Batu. Bisakah Anda melakukan itu?

 

Kedua, sejarah menunjukkan bahwa perlindungan nyata berasal dari berbagi informasi ilmiah yang dapat diandalkan, dan dari solidaritas global. Ketika satu negara dilanda epidemi, ia harus bersedia untuk secara jujur berbagi informasi tentang wabah tanpa takut akan bencana ekonomi – sementara negara-negara lain harus dapat mempercayai informasi itu, dan harus bersedia untuk memberikan bantuan daripada mengucilkan korban. Saat ini, Tiongkok dapat mengajarkan banyak pelajaran penting tentang coronavirus ke negara-negara di seluruh dunia, tetapi ini menuntut tingkat kepercayaan dan kerja sama internasional yang tinggi.

 

Kerjasama internasional diperlukan juga untuk langkah-langkah karantina yang efektif. Karantina dan penguncian sangat penting untuk menghentikan penyebaran epidemi. Tetapi ketika negara-negara saling tidak percaya dan masing-masing negara merasa sendirian, pemerintah ragu untuk mengambil langkah drastis tersebut. Jika Anda menemukan 100 kasus virus corona di negara Anda, apakah Anda akan segera mengunci seluruh kota dan wilayah? Sebagian besar, itu tergantung pada apa yang Anda harapkan dari negara lain. Mengunci kota Anda sendiri dapat menyebabkan keruntuhan ekonomi. Jika Anda berpikir bahwa negara-negara lain akan membantu Anda – Anda akan lebih cenderung untuk mengambil tindakan drastis ini. Tetapi jika Anda berpikir bahwa negara-negara lain akan meninggalkan Anda, Anda mungkin akan ragu sampai semuanya terlambat.

 

Mungkin hal terpenting yang harus disadari orang tentang epidemi semacam itu, adalah bahwa penyebaran epidemi di negara mana pun membahayakan seluruh spesies manusia. Ini karena virus berevolusi. Virus seperti korona berasal dari hewan, seperti kelelawar. Ketika mereka melompat ke manusia, awalnya virus tidak beradaptasi dengan host manusia mereka. Saat bereplikasi di dalam manusia, virus sesekali mengalami mutasi. Kebanyakan mutasi tidak berbahaya. Tetapi perlahan mutasi membuat virus lebih menular atau lebih tahan terhadap sistem kekebalan manusia – dan jenis virus mutan ini kemudian akan dengan cepat menyebar dalam populasi manusia. Karena satu orang dapat menampung triliunan partikel virus yang mengalami replikasi terus-menerus, setiap orang yang terinfeksi memberi virus triliyunan peluang baru untuk menjadi lebih beradaptasi dengan manusia. Setiap manusia pembawa (pengidap virus) ibarat mesin judi yang memberikan virus triliunan tiket lotre – dan virus hanya perlu menarik satu tiket yang menang agar dapat berkembang.

 

Ini bukan spekulasi belaka. Krisis Richard Preston di Zona Merah menggambarkan rantai peristiwa yang persis seperti itu dalam wabah Ebola 2014. Wabah dimulai ketika beberapa virus Ebola melompat dari kelelawar ke manusia. Virus-virus ini membuat orang sangat sakit, tetapi mereka masih beradaptasi untuk hidup di dalam kelelawar lebih dari pada tubuh manusia. Apa yang mengubah Ebola dari penyakit yang relatif jarang menjadi epidemi yang mengamuk adalah mutasi tunggal pada gen tunggal dalam satu virus Ebola yang menginfeksi satu manusia, di suatu tempat di daerah Makona di Afrika Barat. Mutasi ini memungkinkan galur Ebola mutan – yang disebut galur Makona – untuk terhubung ke transporter kolesterol sel manusia. Sekarang, alih-alih kolesterol, transporter menarik Ebola ke dalam sel. Jenis Makona baru ini empat kali lebih menular ke manusia.

 

Ketika Anda membaca baris-baris ini, mungkin mutasi serupa terjadi pada gen tunggal dalam coronavirus yang menginfeksi seseorang di Teheran, Milan atau Wuhan. Jika ini benar-benar terjadi, ini adalah ancaman langsung tidak hanya untuk Iran, Italia atau Cina, tetapi juga bagi hidup Anda. Orang-orang di seluruh dunia berjuang mati-matian untuk tidak memberi kesempatan itu pada virus corona. Dan itu berarti bahwa kita perlu melindungi setiap orang di setiap negara.

 

Pada 1970-an manusia berhasil mengalahkan virus cacar karena semua orang di semua negara divaksinasi cacar. Jika bahkan satu negara gagal memvaksinasi populasinya, ia dapat membahayakan seluruh umat manusia, karena selama virus cacar ada dan berevolusi di suatu tempat, ia dapat selalu menyebar lagi di mana-mana.

 

Dalam perang melawan virus, manusia perlu menjaga perbatasan dengan cermat. Tapi bukan perbatasan antar negara. Sebaliknya, ia perlu menjaga perbatasan antara dunia manusia dan lingkungan virus. Planet bumi bekerja sama dengan virus yang tak terhitung jumlahnya, dan virus baru terus berkembang karena mutasi genetik. Batas yang memisahkan ruang virus ini dari dunia manusia melintas di dalam tubuh setiap manusia. Jika virus berbahaya berhasil menembus perbatasan ini di mana pun di bumi, itu akan membahayakan seluruh spesies manusia.

 

Selama abad terakhir, umat manusia telah membentengi perbatasan ini tidak seperti sebelumnya. Sistem perawatan kesehatan modern telah dibangun untuk berfungsi sebagai tembok di perbatasan itu, dan perawat, dokter, dan ilmuwan adalah penjaga yang berpatroli dan mengusir penyusup. Namun, bagian-bagian yang panjang dari perbatasan ini dibiarkan begitu saja. Ada ratusan juta orang di seluruh dunia yang bahkan tidak memiliki layanan kesehatan dasar. Ini membahayakan kita semua. Kita sudah terbiasa memikirkan kesehatan secara nasional, tetapi menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik untuk Iran dan Cina juga berarti melindungi warga Israel dan Amerika dari wabah. Kebenaran sederhana ini harus jelas bagi semua orang, tetapi sayangnya itu gagal dipahami bahkan oleh beberapa orang paling penting di dunia.

 

Dunia Tanpa Pemimpin

 

Saat ini manusia menghadapi krisis akut tidak hanya karena coronavirus, tetapi juga karena kurangnya kepercayaan di antara manusia. Untuk mengalahkan epidemi, orang perlu mempercayai para ilmuwan, warga negara perlu mempercayai otoritas publik, dan negara-negara harus saling percaya. Sayangnya selama beberapa tahun terakhir, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan pada sains, otoritas publik, dan kepada kerja sama internasional. Sebagai akibatnya, kita sekarang menghadapi krisis tanpa pemimpin global yang dapat menginspirasi, mengatur, dan membiayai respons global yang terkoordinasi.

 

Selama epidemi Ebola 2014, AS berperan sebagai pemimpin seperti itu. AS memenuhi peran serupa juga selama krisis keuangan 2008, ketika negara itu mendukung negara-negara yang cukup untuk mencegah krisis ekonomi global. Namun dalam beberapa tahun terakhir AS telah mengundurkan diri dari perannya sebagai pemimpin global. Pemerintahan AS saat ini telah memotong dukungan untuk organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia, dan telah membuatnya sangat jelas bagi dunia bahwa AS tidak lagi memiliki teman sejati – ia hanya memiliki kepentingan. Ketika krisis coronavirus meletus, AS tetap di sela-sela, dan sejauh ini menahan diri untuk tidak mengambil peran utama. Bahkan jika pada akhirnya mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan, kepercayaan pada pemerintahan A.S. saat ini telah terkikis sedemikian rupa, sehingga hanya sedikit negara yang mau mengikutinya. Apakah Anda akan mengikuti pemimpin yang moto-nya adalah “Me First“?

 

Kekosongan yang ditinggalkan oleh A.S. belum diisi oleh Negara lain. Justru sebaliknya. Xenophobia, isolasionisme, dan ketidakpercayaan kini menjadi ciri sebagian besar sistem internasional. Tanpa kepercayaan dan solidaritas global kita tidak akan bisa menghentikan epidemi coronavirus, dan kita cenderung melihat lebih banyak epidemi seperti itu di masa depan. Tetapi setiap krisis juga merupakan peluang. Semoga epidemi saat ini akan membantu umat manusia menyadari bahaya akut yang ditimbulkan oleh perpecahan global.

 

Untuk mengambil satu contoh yang menonjol, epidemi bisa menjadi peluang emas bagi Uni Eropa (UE). untuk mendapatkan kembali dukungan rakyat yang telah hilang dalam beberapa tahun terakhir. Jika anggota UE yang lebih beruntung dengan cepat dan murah hati mengirim uang, peralatan, dan tenaga medis untuk membantu rekan-rekan mereka yang paling terpukul, ini akan membuktikan nilai ideal Eropa lebih baik daripada jumlah pidato. Di lain pihak, jika masing-masing negara dibiarkan berjuang sendiri, maka epidemi itu mungkin akan menjadi lonceng kematian serikat pekerja.

 

Di saat krisis ini, perjuangan krusial terjadi di dalam kemanusiaan itu sendiri. Jika epidemi ini menghasilkan perpecahan yang lebih besar dan ketidakpercayaan di antara manusia, itu akan menjadi kemenangan virus terbesar. Ketika manusia bertengkar – virus berlipat ganda. Sebaliknya, jika epidemi menghasilkan kerja sama global yang lebih dekat, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus corona, tetapi juga terhadap semua patogen di masa depan.

 

(Sumber:https://time.com/5803225/yuval-noah-harari-coronavirus-humanity-leadership/. Dialihbahasakan oleh:Wijayanto)

Wabah Corona dan Bumi sebagai Rumah Manusia

Sejak umat manusia mulai mengenal pertanian sekitar kurang lebih enam ribu tahun silam, sejak itu pula dimulainya peningkatan perkapita manusia dalam teknologi pertanian. Kemudian berlanjut pada era revolusi industri dari yang 1.0 - 4.0 dan meloncat dengan pesatnya melalui revolusi saintifik. Semuanya berkembang dengan cara eksploitasi alam.

Beriringan dengan itu, peningkatan jumlah penduduk juga melonjak hingga dua kali lipat dari populasi dunia sebelumnya. Dan itu terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini; yang sekaligus membuat manusia harus berpikir ulang bagaimana cara mencukupi kebutuhan pangan dan juga energi bagi keberlangsungan hidup mereka di masa-masa yang akan datang.

Hari ini, semua negara sedang mengalami panik massal. Mereka ketakutan bagaimana nasib rakyatnya dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, per 11 Maret 2020 - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengumumkan bahwa virus corona atau Covid-19 sebagai sebuah pandemi. Hal ini memberikan dampak yang sangat signifikan bagi pilar ketahanan suatu bangsa seluruh dunia.

Sebenarnya, organisasi tersebut tidak baru kali ini mengumumkan sebuah wabah yang satusnya menjadi pandemi; penyebab negara menjadi lumpuh sementara. Namun jauh pada abad-abad sebelumnya juga telah terjadi pandemi yang begitu masif dan telah banyak memakan korban hingga puluhan juta jiwa per pandemi.

Seperti misalnya Black Death di Eropa pada tahun 1347, Cacar di Amerika tahun 1492, Flu di Spanyol tahun 1918, Kolera di India tahun 1961, dan belum genap dalam dua dekade terakhir, wabah Sars menyerang China tahun 2003, Flu Babi di Amerika Serikat tahun 2009 serta Ebola di Afrika Barat tahun 2014 yang lalu.

Akibat wabah tersebut, telah menimbulkan berbagai macam reaksi yang terjadi di masyarakat. Ada yang mengatakan peristiwa-peristiwa itu bermula dari para saintis hingga komunis-liberalis; dari ateis hingga pengikut ilumiasi, dan bahkan dari kaum konservatif radikalis.

Seorang aktivis konservatif asal Canada, Paul Watson pernah mengatakan dengan radikalnya bahwa “Kita sekarang harus mampu mengurangi jumlah populasi manusia hingga tidak lebih dari satu milyar banyaknya”. Menurutnya, populasi dunia harus dikendalikan secara radikal demi terwujudnya dunia yang seimbang.

Penulis jadi teringat sebuah novel fenomenal karya Dan Brown yang berjudul “Inferno (2013)”. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa salah seorang ahli rekayasa genetika fanatik yang bernama Zorbrist telah menciptakan senjata biologi yang berupa virus dengan misi menyelesaikan masalah overpopulasi yang mengancam umat manusia.

Namun bagi para religiusitas, hal ini bukan dikarenakan oleh orang-orang yang dianggap kurang kerjaan seperti itu. Apalagi mau memunculkan konspirasi yang sudah sejak lama masyarakat tidak mempercayainya. Tetapi semua ini  merupakan ulah manusia sendiri yang belum mampu menjaga amanah dari Tuhannya.

Manusia sebagai Khalifah

“Manusia telah gagal menjadi khalifah”. Barangkali, frase tersebut tepat untuk diberikan pada umat manusia hari ini. Kerusakan alam semesta telah menjadi tanda ketidakmampuan mereka dalam menjaga dan merawat bumi sebagai huniannya. Dengan bangganya mereka berdalihkan peningkatan ekonomi dan pembangunan menjadikan sebagian lingkungan lainnya harus dikorbankan.

Ulah manusia yang menggersangkan tanah yang subur, menggundulkan segala yang hijau, mengeruhkan segala yang jernih dan menewaskan segala yang hidup. Sehingga bukan suatu keanehan jika perubahan iklim dan cuaca yang sangat signifikan menjadikan semua organisme ganas menjadi ada pada tempat yang bukan seharusnya-lalu menimbulkan kekacauan dengan berevolusi secara cepat hingga menyebabkan mutasi genetik pada manusia.

Kalau Harari dalam artikelnya yang terbit dalam majalah Time beberap waktu yang lalu-mengistilahkannya sebagai dunia tanpa pemimpin (A leaderless world), dan kalau boleh penulis istilahkan juga sebagai dunia tanpa khalifah, mengingat bahwa tugas manusia di muka bumi-sesuai perintah Tuhan adalah sebagai khalifatullah fil ardhi. Dan sungguh beban dan tanggungjawab tersebut telah dilalaikan oleh manusia hari ini.

Lebih lanjut, Noval mengatakan bahwa manusia perlu memberikan batasan antara dunia manusia dan lingkungan-bagi organisme lain seperti virus. Karena planet ini dihidupi organisme yang tak terhitung jumlahnya dan mereka dapat terus berkembang karena mutasi genetik. Salah satu contohnya adalah covid-19. Jika virus berbahaya ini berhasil menembus perbatasan itu, dibelahan bumi manapun; pasti membahayakan seluruh spesies manusia.

Manusia dan alam semesta

Manusia sepertinya tidak pernah memikirkan bagaimana jikalau mereka berposisi sebagai bumi, pohon-pohon, burung, dan ataupun ikan seperti paus. Padahal perkembangan sains hari ini tidak lagi dirasa ada yang kurang sedikitpun dan justru telah dibuat lebih spesifik antara bidang yang satu dengan bidang yang lain.

Sains telah mengungkapkan seluk beluk bumi tanpa mihrab yang menutupinya. Segala macam yang telah menjadi rahasia alam semesta telah dibuka lebar-lebar melalui perkembangan ilmu pengetahuan-misalnya ilmu geologi, biologi, astronomi dan segala macam ilmu alam lainnya.

Namun, pengungkapan rahasia tersebut tidak menjadikan manusia sadar akan fungsingnya dan bahkan mungkin perasaan dan akal sehatnya telah termutasi oleh virus keserakahannya. Itu baru sekitar bumi, bagaimana kalau kita masuk dalam perasaan pohon-pohon dalam hutan, perasaan air dalam lautan, mineral-mineral dalam tanah yang dipijaknya dan perasaan udara sejauh bentangan horizon yang dihirupnya. Mungkinkah alam semesta memang telah murka terhadap keserakahan yang terjadi?, atau boleh jadi Tuhan tidak lagi meridhoi jikalau semesta terus dizolimi oleh tindakan manusia?

Harusnya manusia sadar bahwa ia sebagai antroposen juga setara dengan semesta yang biosentris (organik-inorganik). Karena tugas manusia bukan hanya memanusiakan manusia, melainkan juga harus berusaha untuk memanusiakan alam semesta, sebab mereka juga punya cinta kasih; perasaan-marah dan keinginan berkuasa atas hukumnya masing-masing.

Jika manusia merusak ekologi maka ia juga telah merusak ekosistem yang didalamnya ia hidup. Manusia lupa bahwa bumi sebagai semesta adalah ibu dari mereka sendiri. Tempat ia dilahirkan, dibesarkan dan sekaligus tempatnya ia menumpahkan rasa asih dan sayangnya kepada manusia lainnya.

Sehingga, di era revolusi saintifik ini. Manusia bukan lagi takut akan adanya asteroid yang kapan saja bisa menghancurkan bumi menjadi berkeping-keping. Tapi dengan tangan mereka sendirilah bumi menjadi hancur. Dan tampaknya, peristiwa kiamat yang mereka imani saat ini akan datang dari tangan dan perbuatan mereka sendiri.

Perlunya Kesadaran Manusia

Sesungguhnya apa yang menjadi musuh terbesar umat manusia di abad 21 ini? Apakah wabah dan penyakit? Apakah negara yang memiliki senjata tercanggih di dunia? Atau apakah mereka yang berpegang pada liberalisme, religiousme, komunisme, dan atau bahkan pelaku konservatif liberal sekaligus?

Manusia harus tau bahwa hari ini, pilar ketahanan suatu bangsa (kesehatan, pangan, ekonomi dan politik) dapat diluluhlantahkan oleh makhluk yang semi-makhluk seperti virus covid-19 ini.

Oleh sebab itu, tidak lagi kekuatan bersenjata dari para tentara yang dibutuhkan untuk menghadangnya, bukan lagi kekuatan rudal dan nuklir dari para militer terbaik dunia yang dapat menaklukkannya. Melainkan sebuah kesadaran manusia sendiri yang dapat menjadikan alam sekitarnya menjadi alam yang asalnya alam, bumi yang sebelumnya bumi dan sadar akan dirinya manusia yang manusia.

Karena bumi yang dihuninya sedang merindukan belaian lembut tangan mereka, hangatnya kasih sayang mereka, serta rasa nyaman ketika mereka menjadikan bumi sebagai rumah cinta.

Penulis sangat sepakat; pesan Steven Pinker dalam tulisannya bahwa “seharusnya manusia bisa menjadikan sebuah kemajuan sebagai era ekomodernisme; sebuah era yang dapat mengajarkan environmentalisme humanistik. Sehingga alam semesta tidak akan lagi memberontak secara radikalnya terhadap pasangan sejatinya yang bernama manusia.

---

Ahmadiansyah 

Pegiat Literasi / Mahasiswa Universitas Brawijaya

Tahun politik 2014 yang lalu menyaksikan hadirnya sebuah platform teknologi anyar di tengah puluhan media daring yang sudah meramaikan jagat maya. Inilah IDN Times, media berbasis daring yang dibangun  Winston dan  William Utomo yang tergabung dalam IDN Media. Jargon ‘The Voice of Millennials and Gen Z’ menjadi kalimat ikoniknya.

Generasi Y, atau yang lebih dikenal dengan generasi milenial, terus menjadi perbincangan dalam berbagai industri, tidak terkecuali media massa. Berbagai sektor seakan-akan berlomba menggaet kaum milenial ini. Tetapi, tanpa disadari, generasi Y yang termuda kini sebenarnya sudah menginjak usia 24 tahun dan perhatian pun mulai beralih kepada Generasi selanjutnya, generasi Z. Industri kini mencoba mencari pola perilaku generasi Z yang masih perlu terus dicermati.

Yang jelas, baik milenial maupun generasi Z ini dikenal dinamis tetapi juga cepat bosan. Membanjirnya isu dan informasi, baik di media sosial maupun di media massa, menjadikan kedua generasi ini gamang dalam mencerna inti permasalahan dengan tepat. Bahkan, menurut Uni Lubis, selaku pemimpin redaksi IDN Times, generasi ini tidak hanya mengakui term jurnalistik yang populer dalam generasi sebelumnya, yakni “bad news is good news” tetapi juga percaya bahwa “good news is good news”.

Rupanya, milenial dan generasi Z cenderung terlihat menyukai segala jenis berita. Bukan saja berita feature maupun artikel yang dikemas ringan, tetapi juga isu-isu yang lebih berat seperti  politik, kriminal, maupun ekonomi. Namun, untuk dapat menyasar mereka dengan tepat, dibutuhkan kiat-kiat khusus. Seperti halnya bagi brand manapun, untuk dapat menggaet sasaran yang tepat diperlukan kemasan yang disesuaikan dengan pasar yang dituju.

Apabila milenial masih mengalami sedikit pengaruh konvensional, maka generasi Z lahir di dunia dengan teknologi yang mumpuni. Hal ini pula yang mempengaruhi bagaimana mereka memperoleh informasi, mulai dari sosial media yang banyak memanfaatkan influencer  maupun dari media massa dapat diakses dengan cepat dan mudah.

Tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk dapat menonjol di antara kerumunan media daring yang ada saat ini. Uni Lubis mengatakan, mereka memiliki cara khusus untuk menyasar pasarnya. Menurutnya, selain menyukai berbagai macam jenis berita, milenial dan Gen Z juga diterpa ‘tsunami informasi’, sehingga tidak banyak waktu bagi mereka menyerap bermacam berita. IDN Times pun menerapkan pola listicle, yakni menjabarkan isi berita dengan sejumlah poin utama agar informasi dapat ditangkap secara cepat dan efisien.

Jenis berita yang juga digemari milenial dan Gen Z, menurutnya, adalah explainer, inspiring story, dan tips. Uni menjabarkan, dalam jenis berita explainer penjelasan lengkap tentang hal-hal mendasar akan mampu membantu menjawab berbagai pertanyaan milenial dengan efektif. Sedangkan, sudut pandang seseorang yang dikemas dalam kisah inspiratif seperti cerita mendirikan usaha atau startup, juga kerap disukai milenial. Begitu pula dengan tips ringkas yang dapat diaplikasikan pada kegiatan sehari-hari. Berita-berita tersebut juga harus disajikan dengan visual menarik, baik dalam bentuk foto maupun video yang dapat membantu menyampaikan informasi lebih detail.

Sabtu 04 April 2020, 20:56 WIB

Covid-19 dan Generasi Charlie (Gen C)

Pramudianto, Doktor bidang Sumber Daya Manusia dan Trainer | Opini

 

Dok. PribasiPramudianto, Doktor bidang Sumber Daya Manusia dan Traimer

KITA mengenal generasi silent atau generasi tradisional yaitu mereka yang lahir sebelum tahun 1940. Kemudian, generasi baby boomers yang lahir antara tahun 1940-1960. Di kemudian hari, kita mengenal peristiwa "Baby Boomers Crisis" di Amerika. Generasi X lahir antara tahun 1960-1980, generasi Y atau milenial lahir pada 1980-2000. 

Generasi Y dikenal sebagai generasi yang melek teknologi, sehingga berdampak pada gap yang besar dalam dunia pekerjaan. Selanjutnya, generasi Z lahir pada tahun 2000-2010. Dan terakhir, mereka yang lahir pada tahun 2010-2019 disebut generasi Alpha. 

Sekarang, kita memasuki tahun 2020 dan mereka yang lahir pada tahun 2020-2030 di sebut Generasi Charlie (Gen-C).Charlie menggantikan istilah corona yang saat ini sedang terjadi di seluruh dunia. 

Kata Charlie mengingatkan kita pada beberapa peristiwa. Pertama Checkpoint Charlie (atau "Checkpoint C") adalah nama yang diberikan oleh Sekutu Barat untuk titik penyeberangan antara Berlin Timur dan Berlin Barat di masa Perang Dingin.

Checkpoint Charlie menjadi simbol Perang Dingin, menggambarkan pemisahan Timur dan Barat. Tank Soviet dan Amerika pernah berhadapan di lokasi ini pada Krisis Berlin 1961. Setelah runtuhnya Blok Timur dan Reunifikasi Jerman, bangunan di Checkpoint Charlie menjadi atraksi bagi wisatawan. 

Kedua, Barisan Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan dikenal sebagai Viet Cong (VC), dan tentara AS belakangan menyebut FPN sebagai "Viet Cong", (VC) yang berasal dari istilah bahasa Vietnam untuk Komunis Vietnam (Viet Nam Cong san).

Tentara Amerika biasanya menyebut anggota-anggota Front Pembebasan Nasional (FPN) sebagai "Charlie", yang berasal dari ucapan abjad fonetik Angkatan Bersenjata AS dan NATO  untuk "VC", yaitu "Victor Charlie".

Ketiga, masih ingat film Charlie’s Angels? Film ini menceritakan mengenai tiga wanita cantik yang bekerja untuk seorang detektif misterius, Charles Townsend atau Charlie (John Forsythe) seorang bilyuner misterius yang hanya terdengar suaranya saat memberikan instruksi.

Ketiga peristiwa di atas tidak bisa dipisahkan dengan situasi yang menegangkan, menakutkan yang mengakibatkan muncul rasa cemas, khawatir, berusaha untuk bertahan, melindungi diri dan melawan untuk tujuan kebebasan. 

Sama persis yang kita hadapi saat ini meski dalam konteks yang berbeda. Seluruh dunia tegang, cemas, menutup diri, melakukan lock down, social distancing dan physical distancing. 

Namun di sisi lain muncul rasa kesehatian, saling memberi semangat, bantuan, pengorbanan tanpa mengenal batas ras, suku, agama, dan bangsa. Yang mereka pikirkan adalah satu yaitu manusia ciptaan Tuhan. Semua memiliki tujuan yang sama “bebas dari serangan Covid-19”. 

Situasi saat ini mempengaruhi kehidupan, cara berpikir manusia dan memiliki dampak pada setiap perilaku manusia.

Perhatian khusus

Anak-anak yang lahir pada tahun 2020 mendapat perhatian khusus dari kedua orangtuanya yang work from home (WFH). Kedua orang tuanya menjaga dengan sangat perfect akibat kecemasan yang dialami melalui situasi yang ada. Ditambah, adanya berita-berita yang sering tidak akurat.

Orang tua membangun spiritualitas dalam keluarganya untuk memberikan rasa tenang. Semasa WFH orang tua juga melakukan kreativitas untuk bertahan hidup dan mempersiapkan tantangan di masa depan. 

Kondisi ini akan berlangsung lama, karena berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perusahaan-perusahaan melakukan perencanaan ulang untuk bisnisnya yang dimungkinkan terjadi pengurangan karyawan atau pengangguran. Sehingga, terjadi kesulitan ekonomi secara merata.

Pada tahun 2025-2030 para ahli memerkirakan jumlah usia produktif khususnya di Indonesia paling besar di dunia. Jika kita tidak mampu memersiapkan lapangan pekerjaan, maka akan mengalami tingkat pengangguran yang besar. Ditambah,  pada tahun-tahun tersebut perusahaan-perusahaan di Indonesia gencar-gencarnya melakukan implementasi otomasi dalam berbagai bidang. 

Dengan begitu pertumbuhan anak-anak generasi Charlie, hampir mirip dengan generasi X. Namun, perbedaannya adalah saat ini ditopang dengan teknologi, komunikasi, budaya yang cepat beradaptasi sesuai konteksnya. 

Generasi Alpha kini dikenal sebagai generasi paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Ukurannya adalah umur mereka yang masih sangat dini, tetapi dapat memengaruhi putaran ekonomi dunia.

Generasi ini juga diprediksi akan menjadi generasi yang jauh lebih terdidik daripada Generasi Z, lebih akrab dengan teknologi, dan jadi generasi paling sejahtera.

CEO Beano Studios Emma Scott menyatakan, meski mereka adalah generasi pertama yang lahir di dunia serba digital, mereka tidak kecanduan pada teknologi layaknya orang tua milenial yang kecanduan pada sebuah aplikasi selfie.

Hasil tersebut menyebutkan bahwa generasi ini memiliki keseimbangan antara menggunakan teknologi dan aktivitas fisik maupun sosial. Mereka menikmati beragam aktivitas fisik seperti bermain di luar ruangan serta membuat kerajinan tangan. 

Secara pemikiran, generasi Alpha dinilai memiliki pandangan yang lebih terbuka dan maju dari generasi sebelumnya. Ini membuat mereka mengesampingkan stereotipe terhadap identitas tertentu. Serta, lebih mampu menerima perbedaan. Sikap-sikap itu membuat generasi Alpha memiliki kekuatan untuk mencapai pendidikan yang lebih baik. 

Maka, generasi Charlie ini diperkirakan bakal menjadi generasi yang paling cepat mencari solusi ketika ada persoalan. Karena, mereka tidak egois. Dan, mereka terhubung satu dengan yang lain untuk menemukan berbagai solusi dalam menyelesaikan berbagai masalah apa pun. 

Mereka lebih cerdas dan cekatan dibanding generasi sebelumnya dan tidak grusa-grusu (heboh/panik) dalam menghadapi perubahan. 

Kekuatan berbagi

Gen-C ini akan menguasai minimal bahasa Inggris, Mandarin, Jepang dan Jerman. Meski mereka terlahir dalam dunia digital dan sains, mereka memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, pengorbanan yang tak terbatas. Serta, memiliki kekuatan untuk berbagi dan belajar dari alam. 

Penggabungan antara dunia digital, sains dan alam menjadi fokus pengembangan generasi ini. Maka akan terjadi sebuah budaya baru yang nantinya memiliki dampak pemerataan ekonomi dunia.

Bagaimana dunia pendidikan dan parenting mempersiapkan mereka? Dunia pendidikan dan parenting sampai saat ini masih meraba-raba bagaimana mendidik atau mendampingi generasi Alpha. 

Apakah mereka harus sejak dini diperkenalkan teknologi atau justru penekanannya pada imajinasi, kreativitas dan kerja sama melalui melukis, menyanyi dan olah raga?

Generasi Charlie perlu mendapatkan pendampingan yang tepat. Misalnya, buatlah mereka selalu bahagia di ruang terbuka, alam semesta, seperti pegunungan, pantai, pertanian dan yang lain. 

Buatlah pendidikan yang membuat mereka mampu menjelajahi alam, bukan lagi pendidikan di dalam kelas yang terbatas, bukan memahami alam dengan tayangan-tayangan video.

Mereka harus dipertemukan secara langsung dengan fakta. Anak-anak generasi Charlie  memiliki sikap lebih santun, plural dan memiliki spiritualitas yang baik sebagai bentuk keseimbangan hidup. 

Motto generasi Charlie "di mana kita berada, di situlah kita belajar". Adanya keharmonisan antara apa yang dilakukan dengan tempat mereka berada.

Konteksnya, dalam rangka balance harmony. Sehingga, ide-ide kreatifnya dapat digunakan untuk memelihara alam semesta. 

Tema buat anak-anak generasi Charlie adalah keharmonisan, keterbukaan, pemeliharaan dan kesinambungan. Ke depan, anak-anak generasi paling muda ini diharapkan dapat menjadi perwujudan masa depan dan dunia yang lebih baik.

Per 1 April 2020, 201 negara telah terkontaminasi virus ini dengan jumlah kasus sebanyak 854.608 (0.01 % dari total penduduk dunia).  

Hanya dalam hitungan 4 (empat) bulan, telah terjadi sebuah perubahan peradaban umat manusia yang luar biasa di abad 22 ini. Sebuah revolusi peradaban besar-besaran telah diciptakan oleh suatu gen / cell berukuran micron yang disebut Corona atau Covid-19 (Corona Virus Disease 2019)

Mahluk Sosial Itu Bernama Manusia

Kita sama-sama tahu bahwa dunia modern ini menjadikan manusia menjadi egois seolah anti-sosial, individualistik, masa bodo, cuek. Corona membuat manusia me-manusiakan manusia lainnya. Gotong royong, saling tolong, saling mengingatkan, saling melindungi, saling memberikan dan semua hal-hal yang baik yang ada dalam diri manusia bermunculan dimana-mana.

Terbiasa hidup sehari-hari nyaman dengan air condition, sejak bangun tidur hingga kembali tidur, kita selalu nyaman dibuatnya. Corona membalikkan itu semua, manusia seolah berebut sinar matahari. Panas dan berkeringat justru itu yang dicari dan diharapkan.

Manusia sangat rakus dalam hal makanan. Apapun dimakan dengan dalih menambah kekuatan, kesehatan, kejantanan dan ada pula yang sekedar sensasi. Corona membuat manusia berubah total. Manusia saat ini memilih makanan yang sesuai dengan sunnahtullah.

Saking sibuknya seolah dikejar waktu, manusia jarang mandi. Cukup membersihkan badan ala kadarnya ditambah wewangian parfume / deodorant, dipoles dengan kosmetik. Kertas dibuatnya menjadi alat serba guna untuk menyeka (me-lap), dari mulai setelah buang air besar hingga menyeka keringat. Corona mengembalikan syarat-syarat dasar kebersihan diri manusia. Mandi, cuci tangan, wudlu menjadi hal yang rutin dilakukan manusia saat ini dimanapun dan kapanpun.

Beberapa negara saat itu melarang para perempuan untuk menggunakan hijab / jilbab pada saat bekerja, malah ada yang melarangnya dalam kehidupan sehari-hari. Corona seolah mengharuskan semua orang bukan saja perempuan untuk berpakaian tertutup rapat dimanapun dia berada.

Kehidupan modern menuntut orang untuk meninggalkan rumah. Rumah dianggap sebagai tempat kita sekedar beristirahat memejamkan mata sejenak. Mall, Caf, Resto, Bar, Diskotik, Hotel selalu ramai siang dan malam. Corona membalikan 180 derajat. Saat ini hanya rumah, tempat tinggal kita yang ramai oleh kita sendiri.

Kasus kasus kejahatan di dunia turun cukup signifikan. Corona berhasil membuat niat jahat diurungkan.

Kesibukan duniawi seolah tidak ada batasnya, manusia lupa dengan TUHAN-nya. Corona memaksa manusia kembali ke fitrahnya. Manusia kembali berdo'a setiap saat.

Intinya Corona dalam waktu singkat memaksa manusia kembali kepada habitatnya, fitrahnya.    

Tempat Hidup Manusia Itu Bernama Bumi

Climate change yang dikhawatirkan oleh penduduk dunia, dari mulai pencemaran lingkungan, polusi udara yang sangat parah hingga menipisnya ozon. Corona merubahnya dengan sangat cepat. Udara sangat bersih, bebas polusi. Dimana-mana sungai kembali membiru. Pencemaran lingkungan drastis berkurang jauh dan ozon pun diberitakan menebal.

Berkait dengan pola dan jenis makanan yang dikonsumsi manusia membuat ketidak seimbangan hukum dan metabolisme alam. Tuhan telah menciptakan alam ini lengkap dengan sistem keseimbangannya. Ulah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup primer membuat pola keseimbangan berubah, hukum alam terganggu. Corona mengingatkan manusia untuk mengkonsumsi apa-apa yang telah ditetapkanNYA.

Eksploitasi sumber-sumber alam secara besar-besaran terjadi dimana-mana. Untuk sementara, Corona menghentikannya. Seolah memberi kesempatan kepada manusia untuk berfikir.  Perlukah hal itu dilanjutkan ? atau Adakah cara lain yang dapat ditempuh tanpa merusak sumber daya alam?

Pencapaian manusia dalam teknologi saat ini cukup mencengangkan. Teknologi telah merambah disegala bidang. Corona berhasil mengingatkan umat manusia bahwa teknologi itu tidak menciptakan manusia menjadi egois dan individualis. Teknologi dimanfaatkan lebih kearah humanis.

Saat ini, manusia secara sadar atau tidak telah membuat sekat-sekat, baik itu sekat kelas berbasis ekonomi, kasta, darah biru atau tidak biru, pejabat atau rakyat, kelompok, golongan maupun level-level lainnya.

Sunnahtullah atau hukum alam itu bersifat universal. Tidak berkasta dan tidak bergolongan. Dunia tercengang, Corona menerobos sekat-sekat itu semua. Corona tidak pandang  pejabat atau rakyat jelata, tidak melihat kaya atau miskin, tidak membedakan agama dan suku serta tidak memilih tempat / lokasi gedung mewah atau rumah bilik. Corona menyadarkan seluruh isi alam ini bahwa kita sesungguhnya sama, manusia.

Belajar dari alam, manusia menemukan berbagai ilmu yang pada akhirnya dapat digunakan untuk memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan manusia di bumi. Ilmu Fisika, Kimia, Biologi, Matematik dan berbagai ilmu sosial lainnya menjadikan manusia membusungkan dada dan mengangkat kepala, seolah sudah tahu segalanya. Corona menyadarkan manusia, masih banyak rahasia dan misteri alam ini yang belum diketahuinya. Manusia sekarang sadar akan kelemahan dan ketidakmampuannya.

Koloni Manusia Itu Bernama Negara

Menjadi kebanggaan segelintir manusia di bumi ini akan negaranya. Menikmati negaranya menjadi kuat baik secara ekonomi, pertahanan, persenjataan, teknologi maupun bangga mempunyai kemampuan menciptakan peradaban dengan rumusan macam-macam ideologi, ada yang bernama sosialis, demokratis, komunis dan banyak lagi. 

Corona memporak-porandakan kebanggaan dan kedigdayaan itu semua. Negara dipaksa kembali ke basic, memenuhi kehidupan dan kebutuhan dasar rakyatnya, kebutuhan primer. Negara membutuhkan bantuan negara lain. Lebih lagi, negara membutuhkan bantuan rakyatnya bahkan bantuan rakyat negara lain.

Menuju Peradaban Terbarukan 

Peradaban terbarukan akan muncul. Ini bukan peradaban baru melainkan peradaban yang lama yang sesuai dengan fitrah manusia akan kembali berjaya (terbarukan).

Banyak ahli yang memperkirakan bahwa pandemi ini akan usai di bulan Juni / Juli 2020. Ini artinya dunia telah diputar ulang oleh Corona dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan.

Masa sembilan bulan mengingatkan penulis akan sebuah masa kelahiran normal seorang manusia dari rahim sang ibu guna mengarungi kehidupan baru di dunia ini.

Analogi lain adalah, pertapa yang telah melakukan instrospeksi dan evaluasi diri selama 9  (sembilan) bulan telah turun gunung, guna memulai kehidupan baru dalam pengembaraannya.

Layaknya manusia baru lahir, sifat sifat fitrah manusia lebih menonjol ketimbang kesombongan, keangkuhan dan kecongkakan. Gotong royong, saling membantu, sosial sensitivitas yang tinggi akan mendominasi humanisme kehidupan manusia. Dari kelompok manusia terkecil (keluarga) hingga koloni besar manusia (negara) akan mengusung kehidupan berlandaskan sifat-sifat fitrah tersebut. Tidak perduli dalam satu aspek atau berbagai bidang kehidupan.

Alhasil ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi visi misi baik manusia secara individu maupun negara secara kelompok, tidak mustahil akan tercapai.

The New World Order (#MyBadThinking)

Issue negatif yang menggema dibalik tersebarnya Corona ini, suka atau tidak, sudah beredar ditengah-tengah warga dunia. Saling tuding dari kekuatan dunia saat ini disinyalir sudah terjadi dan sangat tajam.

Corona menjadi alat yang sangat super; alat pemusnah manusia secara masif, alat menekan negara berkembang untuk berhutang, alat politis, alat intimidatif, alat destruktif, alat penjajahan kedaulatan bangsa.

Ujungnya adalah membuat satu negara, satu mata uang dan satu perintah!

Wallahu a'lam

*Penulis merupakan pegiat di bidang teknologi informasi dan pemerhati masalah sosial (@wahyustr)

Standarnya jelas. Setiap Tuhan memberi kenikmatan, di baliknya ada ujian. Setiap ada musibah, di baliknya ada hikmah.

Dan virus Corona (Covid-19) adalah musibah. Di balik musibah itu ada kandungan hikmah yang luar biasa dahsyat. Jauh lebih dahsyat dari pada sisi musibahnya.

Apa itu? Peluang merajut fitrah manusia sebagai mahluk berkeluarga yang sudah terkoyak.

Modernisme dan globalisasi telah memacu manusia menjadi super individualis. Layaknya air yang menciprat dari sebuah arus sungai. Kemudian jatuh di atas batu. Kemudian kering oleh sinar matahari. Arus sungai itu adalah keluarga intinya (batih).

Inti keluarga  adalah suami, istri, anak. Wadahnya adalah rumah. Dan eksistensi rumah terbaik adalah "rumahku surgaku"(baiti jannati).

Secara formal dan fisikal, keluarga itu masih ada. Masih ada surat nikah, akta kelahiran, kartu susuna keluarga. Tinggal serumah.

Tapi, apakah secara substansial dan spiritual masih utuh? Bahkan apakah masih ada? Jangan-jangan sudah sobek. Bahkan mungkin sudah compang camping. Terserpih-serpih seperti daun dimakan ulat. Wujuduhu ka adamih (keberadaannya sama dengan ketidak-adaannya).

Rumah telah menjadi tidak lebih dari tempat persinggahan untuk tidur dan buang kotoran. Secara  psikologis hampir tidak ada benang merah yang mengkaitkan para penghuninya. Layaknya sangkar yang dihuni beberapa ekor burung yang berbeda-beda dengan kicauan yang tak berirama.

Duduk bersama di ruang keluarga, tapi masing-masing asyik berkelana  dengan gadgetnya. Suami istri seranjang tapi masing-masing mengalami orgasme dalam dunia virtualnya.

Berarti keluarga itu sedang diterjang penyempitan spiritual. Pendangkalan makna. Ibarat manusia yang hanya punya mata ekternal tetapi buta mata batinnya.

DALAM KESADARAN

Virus Corona tiba-tiba menyentak batin. Mengharubiru kemanusiaan kita. Menyadarkan kita bahwa Corona mudah sekali menular pada orang yang terdekat secara fisikal.

Orang yang terdekat adalah yang tinggal serumah. Batih  yang terdiri bapak, ibu, anak.

Tiba-tiba bapak dan ibu khawatir anaknya terjengkiti. Jika sampai anak terjangkiti kemungkinan besar menjagkiti dirinya. Seorang anak tiba-tiba juga khawatir ibu, bapak, saudara sekandung terjangkiti. Merebak kekhawatiran jika sekeluarga terjangkiti semua, ada potesi keluarga itu tutup sejarah.

Dalam kesadaran itu tiba-tiba ada anjuran agar bekerja dari rumah. Banyak berdiam di rumah. Tidak banyak keluar rumah jika tidak perlu. Anak-anak belajar di rumah.

Intinya, kita ditarik untuk back to basic. Kembali ke fitrah manusia sebagai mahluk keluarga.

“Gara-gara Corona ini saya baru sadar tentang perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka,” kata seseorang.

Maksudnya adalah perintah Allah di Quran surah At-Tahrim 6: Wahai orang-orang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

“Saat ini saya disadarkan untuk menjaga diri dan keluarga dari ancaman virus Corona. Kalau saja terjangkiti, kemungkinan akan menulari istri dan anak saya. Demikian juga istri atau anak terjangkiti, akan menulari yang lain,” tambahnya.

TIDAK BERMAKNA

Dia sadar bahwa kehidupan rumah tangganya sela