jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_penegakkan_hukum_pasca_pemilu... · web viewperihal tersebut...

21
PENEGAKKAN HUKUM PASCA PEMILU 2009 DI BIDANG POLITIK DAN PEMERINTAHAN DITINJAU DARI SUDUT PANDANG ISLAM (suatu kajian komprehensif dengan merujuk kepada al- Qur’an dan Hadits) Oleh : Sudirman Abstrak Suatu masyarakat dikatakan sebagai masyarakat politik jika mereka memiliki lembaga kekuasaan yang khusus, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang dibuat atau diadopsi, yang mengatur prilaku masyarakat pada umumnya. Pemilu adalah merupakan sarana untuk masyarakat untuk menentukan pilihannya yang layak dan mumpuni dijadikan pemimpin. Berdasarkan kualitas dan kapasitasnya, bahkan moralitas yang sesuai standar al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw harus menjadi landasan di dalam menyikapi program penting yang disebut pemilihan umum. Untuk tingkat nasional adalah seorang kepala Negara, dan tingkat di bawahnya sebagai pejabat politik untuk dipilih menjadi kepala daerah, dari mulai gubernur, bupati/wali kota dan kepala desa karena camat dan lurah tidak melalui pemilihan. Kata Kunci : Pemilu 2009, Penegakkan Hukum, Politik dan Pemerintahan A. PENDAHULUAN Undang-undang dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, harus diakui dan dita’ati karena beresiko dapat menimbulkan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Politik didefinisikan oleh kamus Litttre sebagai, “ilmu pemerintah dan mengatur Negara” (Anthony Quinton, 6). Dalam kamus Robert didefinisikan sebagai, “seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia” (Maurice Douferg, 1962). Definisi Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 75

Upload: others

Post on 22-Nov-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

PENEGAKKAN HUKUM PASCA PEMILU 2009DI BIDANG POLITIK DAN PEMERINTAHAN DITINJAU DARI SUDUT PANDANG ISLAM

(suatu kajian komprehensif dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits)Oleh : Sudirman

AbstrakSuatu masyarakat dikatakan sebagai masyarakat politik jika mereka memiliki lembaga kekuasaan yang khusus, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang dibuat atau diadopsi, yang mengatur prilaku masyarakat pada umumnya. Pemilu adalah merupakan sarana untuk masyarakat untuk menentukan pilihannya yang layak dan mumpuni dijadikan pemimpin. Berdasarkan kualitas dan kapasitasnya, bahkan moralitas yang sesuai standar al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw harus menjadi landasan di dalam menyikapi program penting yang disebut pemilihan umum. Untuk tingkat nasional adalah seorang kepala Negara, dan tingkat di bawahnya sebagai pejabat politik untuk dipilih menjadi kepala daerah, dari mulai gubernur, bupati/wali kota dan kepala desa karena camat dan lurah tidak melalui pemilihan.

Kata Kunci : Pemilu 2009, Penegakkan Hukum, Politik dan Pemerintahan

A. PENDAHULUAN

Undang-undang dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, harus diakui dan dita’ati karena beresiko dapat menimbulkan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Politik didefinisikan oleh kamus Litttre sebagai, “ilmu pemerintah dan mengatur Negara” (Anthony Quinton, 6). Dalam kamus Robert didefinisikan sebagai, “seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia” (Maurice Douferg, 1962). Definisi modern pencakup pengaturan Negara dan mengatur pola kemasyarakatan manusia, sehingga kata “memerintah dan mengatur” saat itu berarti dalam seluruh masyarakat.

Sebuah system politik, baik di dunia muslim maupun di tempat lain niscaya melibatkan manajemen persaingan dan bahkan perbenturan pelbagai kepentingan. Berbagai kewenangan merupakan bagian integral dari proses politik, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan keseluruhan proses politik itu sendiri. Benturan-benturan antar kelompok social sebagai korban ambisi kekuasaan dan kepentingan kelompok elit tertentu (Dale F. Eikelman dan James Piscatori, terjemahan Rofiq Suhud, 1998:16), akan meniscayakan munculnya sikap hipokrit karena terperdaya oleh akal-akalan kelompok pemilik kekuatan yang memiliki kemampuan berkorban dari berbagai sisi, misalnya ekonomi, pengaruh karena memiliki karisma yang tinggi, maupun kekuatan dalam bentuk lainnya.

Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 75

Page 2: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Sudirman Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009

Pemilihan umum merupakan wujud di dalam system demokrasi yang dijalankan pemerintah, sebagai tempat menyalurkan aspirasi rakyat yang menginginkan ada pengakuan terhadap kepemilikan kedaulatannya untuk berpartisipasi. Walaupun di sisi lain masyarakat mayoritas masih bergulat dengan masalah ekonomi, karena ketiadaan situasi perekonomian yang stabil, dalam arti para pelaku ekonomi di dalam berspekulasi beresiko tinggi, akibat konsentrasi pejabat di dalam menangani perekonomian menurun, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Dikatakan oleh Sofyan Wanandi bahwa kemajuan ekonomi yang dikatakan Presiden SBY mencapai 6,sekian, hakikatnya bukan merupakan hasil kinerja pemerintah namun karena para pelaku ekonomi itu sendiri memutar roda perekonomian secara dinamis dan alami.

Perihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara kita ini mengalami dinamika social dan politik yang cepat, apakah karena merasa bosan dengan system pemerintahan di masa lalu (Orde Baru), sementara semacam ada peluang untuk bangkit merubah keadaan. Atau karena rasa ke-“timur”an kita yang selama ini terlalu dielus-elus dengan mimpi-mimpi yang dijanjikan para elit politik sebagai penentu kebijakan, tersadarkan bahwa yang bertanggungjawab membangun Negara adalah bangsa kita sendiri, maka harus dimulai. Walaupun dalam kenyataan sampai hari ini bukan semakin baik, tetapi malah sebaliknya.

Kalaulah kata-kata Rasulullah “apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”, dijadikan renungan oleh setiap pejabat yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk menjaga amanat setelah diberi kepercayaan untuk memimpin, walaupun kepercayaan memimpin itu melalui aturan yang lagi-lagi tidak mengacu kepada sunnah Rasulullah, yaitu musyawarah (dan mufakat) sebagai pelaksanaan firman Allah “musyawarahkanlah dalam segala urusan”. Niscaya Indonesia tercinta tidak akan seperti sekarang ini. Persoalan tersebut muncul sebagai realitas yang nampak dan dirasakan oleh sebagian rakyat Indonesia, karena mereka adalah yang dalam kesehariannya bergelut dengan aktivitas yang langsung merasakan segala resiko yang terjadi, terutama kerugian bagi pelaku ekonomi rakyat, pedagang, petani, buruh, penjual jasa maupun barang lainnya.

Isu penegakkan hukum adalah merupakan makanan sehari-hari yang kedengaran ditelinga mereka. Terkadang bergeser dari kehangatan formal masyarakat yang mendayu-dayu, menuju situasi amnesia kolektif: mencuat kencang sesaat untuk kemudian meredup dalam waktu yang singkat (Rega Wardana Putra, 2010 : 1). Penulis mengangkat tulisan ini untuk mengingatkan kita semua terhadap agenda penegakan hukum yang telah dilakukan, terutama setelah pemilu 2009, dimana pelaksanaan pemilu yang berikutnya dilihat dari perjalanan waktu menjalankan roda pemerintahan berskala nasional, hanyalah sebanding dengan masa tanam padi tiga kali untuk sawah tadah hujan. 76 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011

Page 3: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009 Sudirman

B. PERSEPSI AKADEMIK

Seorang idealis dan pakar hukum tata negara berilusi tentang pemerintahan oleh hukum (government of law) dan tidak pemerintahan oleh manusia (government of men), yang terjadi dalam prakteknya adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh manusia, hukum sebagai alatnya. Seharusnya untuk dapat mewujudkan hukum yang berwibawa dan stabil diperlukan kombinasi (campuran dapat bersifat elastic), terutama dalam masalah bobot yang harus dijadikan pertimbangan antara manusia dengan berbagai kepentingannya, dengan hukum sebagai penyeimbang. Karena keberhasilan maupun kegagalan suatu pemerintahan sangat tergantung kepada kombinasi keduanya ini.

Seorang tokoh Madzhab Historis Frederich Carl von Svigny (1779-1861) mengemukakan bahwa “hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri, tetapi keberadaanya karena dikehendaki”. Apabila melihat firman Allah yang menyatakan : “ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya)” (Qs Al-A’raf : 3). Perintah yang ditujukan kepada manusia disampaikan tidak secara langsung, namun melalui para Rasul yang mempunyai tugas untuk menjelaskan hukum-hukum itu, sehingga mereka wajib diikuti. Tindakan mengikuti para Rasul bukan karena kepada individunya, namun karena kedudukan mereka sebagai duta antara sang Khaliq dan makhluq-Nya, untuk membawa perintah taklif dari-Nya untuk makhluq-Nya.

Para penganjur Positivisme Hukum seperti Rudolf von Jhering (1818-1892) untuk membangun dan menempatkan hukum sesuai dengan fungsinya, dan Hans Kelsen (1881-1973) sebagai tokoh “aliran hukum murni” memandang penting melakukan pembersihan menetralisir hukum dari ketercemaran prilaku bejat para pelaku politik dan penguasa. Kekuasaan cenderung korup, bukanlah omong kosong. Semakin kuat memiliki kemampuan memimpin rakyat, akan semakin lupa terhadap kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Cenderung para pengambil kebijakan yang nota bene sebagai penguasa selalu mengambil jarak dengan rakyat, dengan berbagai alasan yang dijadikan sebagai pembenaran atas sikapnya, terutama alasan keamanan. Lain halnya Rasulullah saw. kedekatan dengan umat bahkan seolah-olah tanpa batas, mana pemimpin dan mana pula rakyat, contoh lain adalah khalifah Umar pada saat melakukan supervisi ke perkampungan.

Dalam tataran idealisnya yang ingin mewarnai system hukum di tanah air Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa kehadiran hukum pada akhirnya akan mengguncang dunia hukum. Finalisasi dari kenyataan itu : hukum melakukan intervensi ke dalam proses dan suasana alami kehidupan manusia, hal tersebut akan membuat hukum menjadi lebih perkasa sebagaimana dikatakan John Austin (1790-Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 77

Page 4: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Sudirman Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009

1861) bahwa: “hukum harus ditentukan oleh penguasa (baca Negara)”, maka akan jadi “Negara hukum” yang menempatkan sentralisasi negara sebagai pelaku tunggal memetakan penempatan dan pemanfaatan hukum untuk “tujuan bernegara”. Suasana seperti ini akan menimbulkan situasi yang berimplikasi besar, disaat harus berhadapan dengan paradigma ketertiban versi masyarakat itu sendiri, lebih-lebih untuk negara dengan kemajemukan berbagai latar belakang penduduknya yang bermacam-macam seperti Indonesia. Alih-alih bertujuan membahagiakan rakyat, justru yang terjadi lahirnya hukum yang menindas.

Aplikasi ayat-ayat Allah untuk menciptakan ketertiban sehingga melahirkan kedamaian harus dihindari sikap mental pendusta dan pengingkar kebenaran. Allah menyatakan dalam firmanNya : “ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah….” (Al-A’raf : 54) dan “orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya…. “ (Al-A’raaf : 36). Dengan demikian paksaan hanya dibenarkan, manakala pemegang otoritas politik betul-betul memerlukannya untuk mendorong warga menghilangkan sikap mementingkan diri sendiri, dengan menjanjikan bahwa setiap warga lainnya akan diminta melakukan pengorbanan yang sama (Stein, 1990 : 32-36). Namun perlu diingat penguasa memaksakan kehendak terkadang menjadi kontra produktif, karena akan memunculkan ketidak stabilan yang lebih parah.

Demi ketertiban bersama, pemegang kekuasaan harus menjembatani perbedaan antar kelompok, sehingga dapat terciptakan negosiasi kebijakan social, ekonomi, dan politik dengan melakukan tindakan penyesuaian hukum secara luwes, di satu pihak tidak merugikan salah satu pihak, namun tidak mengingkari ketetapan hukum yang ada, di sisi lainnya. Islam juga mengajarkan bagaimana bersikap bijak dalam menerapkan suatu aturan, ebagaimana firmanNya: “serulah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan pengajaran yang baik “ (Al-Nahl : 125).

Seperti yang dikatakan Soerjono Soekanto, berfungsinya hukum mempunyai tujuan ideal untuk menyerasikan ketertiban dan ketenteraman di dalam masyarakat. Agar hukum dapat berfungsi diperlukan penegakan hukum yang membutuhkan energi kekuasaan politik yang tidak sedikit, agar keadilan tidak tumpul. Politik mendorong hukum menjadi perisai kekuasaan dengan mengebiri keadilan, politik juga menjadi topeng penguasa agar mudah berbuat sewenang-wenang. Hal ini dapat dipahami meskipun hukum mengandung kekuasaan, tetapi kekuasaan tidaklah serta merta memelihara dan menjaga hukum. Di sini dapat dipahami, walaupun dalam konteks yang lebih moderat, ada tuntutan penguatan kapasitas negara untuk menjadi actor penegakan hukum primer. Karena hanya negaralah secara “moral politik” yang mempunyai kemampuan dan sekaligus kewenangan untuk memaksakan pemberlakuan hukum.

Peran negara tidak hanya semata-mata sebagai corong ketertiban, tetapi harus dapat menciptakan rasa keadilan yang dijunjung tinggi rakyatnya, seperti di tanah air Indonesia ini. Di tengah-tengah mencuatnya system perekonomian kapitalis yang 78 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011

Page 5: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009 Sudirman

mengarah ke ekonomi global, perdagangan bebas, mendorong kesejahteraan warganya, dengan mencoba menerobos pasar regional bahkan global. Di sinilah penegakan hukum khas Indonesia harus mampu membahagiakan rakyat, bagaimana ekonomi Pancasila dapat mengentaskan kemiskinan, tidak malah menciptakan kesengsaraan, kesenjangan-kesenjangan di berbagai lini, sehingga terjadi pergesekan-pergesekan yang pada akhirnya memicu chaos di mana-mana.

Hukum diberlakukan untuk membantu menerapkan system, seperti yang dikatakan Sudikno Mertukusumo, “maka dia bukanlah unsure yang tunggal”. Dalam konteks ini, ketika hukum diharuskan untuk memiliki kemampuan “membahagiakan rakyat”-nya, maka agenda penegakan hukum harus tajam menyorot kepada tujuan tersebut, termasuk pasca Pemilu 2009. Coba bandingkan dengan firman Allah yang menyatakan : “barangsiapa yang tidak menghukumi sesuatu dengan apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) maka mereka itu dianggap dhalim, fasiq”. Berdasarkan ayat di atas Allah menjamin kalau hukum ditegakkan berdasarkan hukum-hukumNya niscaya kebahagiaan akan dapat diraih. Artinya para penegak hukum yang tidak menjalankan hukum Allah (dan hukum positif yang telah dijadikan landasan bernegara) mereka dapat disebut dholim dan fasiq.

Untuk dapat tegaknya hukum menurut Adi Sulistiyono bisa disorot oleh 5 kerangka makro, yaitu :

1. Komitmen presiden dan wakilnya; 2. Nasionalisme parlemen;3. Idealisme aparat para penegak hukm;4. Peta legislasi yang responsive;5. Penguatan budaya hukum. Bahkan penulis menambahkan lagi satu point yaitu; semua yang terlibat

dengan penegakan hukum harus bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka dengan keenam point tersebut di atas apabila benar-benar dilaksanakan

dengan dimilikinya karakter ke enam, yaitu taqwa kepada Allah. Maka mereka dapat dikatakan sebagai “pelaksana amanat yang melaksanakan dengan semestinya”.

Sebagai entry point, penegakan hukum akan menjadi topic pembahasan dalam penulisan ini. Komitmen Presiden sebagai orang nomor satu di Negara Indonesia ini, harus lebih idealis dalam menegakan hukum, dan menjaganya dari anasir-anasir orang-perorang maupun kelompok yang akan menjegal atau menghambat tegaknya hukum di wilayah tanah air ini. Penegakan hukum (modern) dijalankan oleh komponen aparatur negara, oleh sebab itu prilaku aparatur negara dalam struktur hukum Indonesia menjadi amat penting untuk disorot dalam proses penegakan hukum (Satjipto Rahardjo).

Dalam penegakan hukum, langkah paling awal adalah komitmen presiden dan wakilnya beserta para pembantunya (menteri-menteri), dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang terkait dengan topic ini. Apabila mengacu kepada hadits Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 79

Page 6: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Sudirman Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009

Rasulullah saw, bahwa:“setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah….”, maka rakyat tidak perlu risau terhadap mereka para pemegang amanat. Kualitas keimanan seseorang menjadi taruhan untuk ukuran kinerja mereka sesuai dengan TUPOKSI (tugas Pokok dan Fungsi) yang dipercayakan oleh rakyat. Kecerdasan spiritual, demikian kata Ary Ginanjar: akan menjaga kepercayaan yang diberikan rakyat (melalui jabatan di kantornya) untuk merasa selalu diawasi oleh Allah, melalui malaikat pencatat amalnya yang ada di sebelah kiri dan kanannya.

Walaupun telah memasuki era reformasi, akan tetapi wacana-wacana seperti pemerintahan bersih, penghindaran conflict of interest dalam birokrasi, dan ketetapan menjalankan hukum non diskriminatif terus mengemuka. Bahkan kasus Bank Century, rekening gendut perwira polisi, kasus hak angket yang membawa pengaruh kepada persatuan partai koalisi yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan partai penguasa. Tidak kalah pentingnya yang sangat merugikan umat Islam adalah tuduhan miring terhadap teroris, yang nampak diangkat tinggi-tinggi ke permukaan. Seolah-olah umat Islamlah biang kerok pencetak kader-kader teroris, yang dialamatkan ke lembaga pendidikan Islam tradisional yaitu pesantren. Oleh karena itu berhati-hatilah pada pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 nanti, pilihan harus tepat dan jelas, jangan memilih pemimpin yang munafiq yang membenci (umat) Islam.

Berbagai wacana jika dicermati akan membawa kepada satu pemahaman tunggal: supremasi hukum. Kepemimpinan presidency menjadi amat penting, bukan saja pelekatan kepada keteladanan yang terbungkus oleh patronase, akan tetapi pengalaman beberapa tahun terakhir, komitmen sang pemimpin amat menentukan citra pemerintahannya, dan harus diuji oleh rakyat apakah mempunyai komitmen kepada supremasi hukum, ataukah justru menghambat penegakan hukum yang mencederai persepsi public. Sikap tanggap terhadap yang terjadi di masyarakat bagi seorang pemimpin harus dapat meneladani seperti sewaktu Khalifah Umar melakukan control ke perkampungan, melalui temuannya adanya rakyat yang kelaparan, untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan dengan menggoreng batu. Juga perlu diingat terhadap rakyat yang teraniaya akan doa-doanya, perlu direnungkan apa yang disabdakan Rasulullah saw., “bahwa doa orang teraniaya maqbul”.

Dengan komitmen yang melembaga kepada moralitas kepresidenan, diharapkan akan menjadi pendorong bagi berkembangnya idealisme aparatur dalam birokrasi penegakan hukum. Masalah idealisme aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim, sudah menjadi legenda di tanah air. Di negara Indonesia tercinta ini tidak mudah untuk mendapatkan aparat penegak hukum yang baik dan jujur. Kritik pedas yang selama ini masih bergaung untuk menggambarkan betapa legenda itu terus menjadi persoalan negara ini, adalah mafia peradilan. Di tangan para mafia peradilan, hukum lahir sebagai produk yang dapat diperjualbelikan, dan akhirnya 80 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011

Page 7: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009 Sudirman

dinistakan yang akhirnya akan menghancurkan dunia hukum itu sendiri. Mafia peradilan merambah semua lini system hukum kita dari hulu hingga hilir, dari proses “penyelidikan” hingga proses “peninjauan kembali” di Mahkamah Agung, bahkan hingga proses “pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan”.

Terungkapnya praktek jual beli perkara yang dilakukan oleh Harini advokat Probosutejo dengan beberapa pegawai MA, yang diduga melibatkan pula majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut. Kasus jaksa Urip dan Artalyta Suryani beberapa waktu lalu misalnya, hanyalah puncak gunung es, praktek serupa telah, dan masih, bahkan kemungkinan akan terus terjadi. Kasus ini menunjukkan adanya kasus mafia peradilan atau dapat dikatakan sebagai krisis peradilan.

Untuk melakukan pembenahan pengadilan misalnya, dengan adanya pembentukan Komisi Yudisial merupakan terobosan inkonvesional yang cukup penting. Tetapi akibat ketidaksamaan visi mengenai yudicial corruption, maka yang terjadi adalah konflik kelembagaan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Bahkan melalui putusan No.005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi, lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman pasca Perubahan UUD 1945, mengamputasi kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi para hakim dengan alasan tidak jelas dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Kita pun bisa meributkan, di mana saat ini posisi Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan yang bertugas untuk mendorong institusi masing-masing dalam melakukan reformasi internal.

Pada sisi lainnya, dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memberikan kinerja yang amat signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya yang menyeret pejabat negara dan politisi. Akan tetapi keberhasilan itu tidaklah ditanggapi dengan apresiasi yang baik, karena yang muncul adalah dari ke hari ada upaya untuk memojokkan komisi ini, mulai dari pernyataan presiden mengenai watak superbody-nya, keengganan DPR untuk mendukung pendanaan, upaya menggugat UU no.30/2002, hingga penetapan inkonstitusionalitasnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan batas waktu 3 tahun dari sejak 2006 untuk menyempurnakan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi nampaknya amat sulit untuk dipenuhi oleh DPR dan Pemerintah yang telah sepakat untuk mengakhiri keadidayaan KPK. Belum lagi jerat hukum pada diri Ketua KPK Antasari Azhar yang kemudian ditarik ke ranah public dalam persoalan kerja KPK dalam melakukan wewenangnya disertai ancaman memidanakan para pimpinan KPK.

Jangan juga dilupakan, bahwa komposisi parlemen akan menentukan dan membangun realitas penegakan hukum. Harapan besar sangatlah layak dibebankan kepada partai Democrat, yang telah memenangi Pemilu legislative lalu. Kepadanya dinisbatkan keparcayaan untuk mendorong terbentuknya Undang-undang anti korupsi, pemilihan Kepala Kepolisian yang tidak hanya bersemangat memberantas terorisme, tetapi juga memiliki legitimasi moral untuk memberantas korupsi, dan tidak menggunakan kekuasa annya kepada lembaga anti korupsi seperti kejadian Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 81

Page 8: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Sudirman Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009

baru-baru ini. Mereka juga bertanggungjawab untuk memulihkan strukturasi Komisi Yudisial dan memilih anggotanya yang bersih, serta dalam jangka panjang mereka juga harus membangun komitmen yang mendalam untuk mengisi hakim agung dan hakim konstitusi yang secara professional akan mendorong agenda penegakan hukum dalam saat yang mencerahkan. Coba jadikan bahan renungan firman Allah swt ini : “dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan, ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan” (Qs al-A’raf : 181)

Bersama dengan ini upaya pembenahan di Dep.Keuangan, khususnya menyangkut pajak dan bea cukai harus tetap mendapatkan dukungan politik yang kuat dari presiden untuk menarik investasi dengan menunjuk pejabat yang bersih dan bersedia untuk “berjuang” melawan kekuatan abu-abu maupun yang hitam yang mengotori sector itu selama ini. Pada sisi lain, kiranya pelembagaan alternative penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, khususnya untuk sector bisnis dan ekonomi layak untuk dipertimbangkan dan dikembangkan. Walaupun untuk merealisasikannya diperlukan waktu dan biaya yang banyak, namun sekiranya hal ini akan lebih memberikan dampak yang menguntungkan, serta menambah kewibawaan pemerintah, kenapa harus dilewatkan begitu saja.

C. WAWASAN KEBANGSAAN DAN KESADARAN NASIONAL

Dewan Perwakilan Rakyat di pusat maupun di daerah memiliki peranan yang strategis dan menentukan substansi perundang-undangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka departemen, lembaga negara, atau badan negara apabila hendak meloloskan suatu produk hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan ekstra pada komisi terkait. Sudah menjadi rahasia umum menyusun produk undang-undang di Indonesia membutuhkan dana milyaran, apalagi melibatkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang akan memunculkan sikap tawar-menawar yang ujung-ujungnya adalah uang. Sosiolog Universitas Airlangga Daniel Sparingga menyatakan bahwa : “biaya politik saat ini, yang akhirnya politisi lapar uang, bukan dikarenakan penerapan system demokrasi liberal”.

DPR sebagai pembuat undang-undang apakah atas dasar usul inisiatif anggotanya maupun yang berasal dari pemerintah, semuanya dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Setiap satu tahun kerja DPR harus dapat meloloskan undang-undang, dari mulai perencanaan sampai pengesahan, belum lagi apabila harus dilakukan studi banding ke luar negeri. Oleh karena itu anggota DPR seharusnya memiliki wawasan kebangsaan sebagai warga suatu bangsa yang mendapat kepercayaan sebagai wakil rakyat. karena dengan wawasan kebangsaan yang cukup akan dapat membekali dirinya untuk memiliki self of belonging, menjadi pribadi-pribadi yang berkesadaran nasional. Kalaulah ada suatu keterangan yang menyatakan “cinta tanah air adalah 82 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011

Page 9: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009 Sudirman

sebagian dari pada iman” (walaupun ada yang mengatakan bukan hadits), barangkali dapat dijadikan sebagai landasan bertindak dan berbuat.

Seringkali produk hukum yang disusun tidak berkualitas dan mengabaikan kepentingan bangsa sebagaimana termuat dalam konstitusi. Karena didalam melakukan pembahasan pasal-pasal di lembaga legislative itu tidak selamanya steril untuk menuju ke tujuan yang baik, tetapi seringkali lembaga legislative itu merupakan wahana pertempuran untuk memperjuangkan kepentingan konglomerat, perusahan-perusahaan dalam negeri maupun asing, para penguasa yang serakah dan berambisi untuk menjadi kuat dalam posisi/ jabatannya, dipartai-partai, dan sebagainya. Kalau penulis nilai anggota DPR itu layak untuk disebut calo atau broker, yang mau bekerja apabila ada uang yang bakal masuk ke dalam koceknya. Seperti halnya apabila melakukan pembicaraan untuk meloloskan rancangan undang-undang, rancangan kebijakan pemerintah, serta berbagai hal yang memerlukan persetujuan DPR membutuhkan waktu yang tidak diprediksi karena itu juga berdimensi ketidakpastian.

Para politisi di Senayan dapat saja berbicara berbeda-beda dalam menyampaikan argumentasinya untuk memperjuangkan kepentingannya, tetapi ketika kepada mereka diamanahkan untuk meluruskan pasal-pasal legislasi, nampak sebagian politisi integritasnya menurun karena bakal merugikan sehingga timbul semarak korupsi kekuasaan, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Pada hal apabila seorang muslim yang menjadi wakil rakyat dan sehabis shalat membaca do’a memohon kepada Allah untuk diperlihatkan olehNya (Allah) kepadanya bahwa “yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”, kenapa tidak dipraktekkan di lembaga terhormat itu. Memang korupsi tidak hanya dalam bentuk materi, bisa dalam bentuk pengambilan sikap yang keputusannya untuk kepentingan public, sejauhmana keputusannya dapat memberi maslahat dan manfaat terhadap rakyat.

Saat ini cita-cita bersama telah menguap dan diganti oleh politik yang bersifat transaksional dan instrumental. Akibatnya, politisi harus mengeluarkan banyak uang ketika akan meraih kekuasaan. Biaya politik tinggi bukan karena kesalahan system, tetapi karena suatu perencanaan apabila masuk ke DPR untuk sampai menjadi peraturan (undang-undang) banyak yang terlibat untuk memprosesnya, yang semuanya suka uang (karena manusia), yang pada akhirnya masing-masing minta jatah. Sikap bancakan di lembaga legislative ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa apapun yang harus diselesaikan di sana harus dengan uang sebagai imbalannya. Di institusi lain pun ada semacam itu, hal seperti ini berdasarkan pengalaman penulis yang pernah kehilangan barang, kemudian lapor ke polisi – di sana diminta uang untuk ongkos-ongkos, tetapi barang yang hilang tidak pernah ketemu sampai sekarang. Kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi atau golongan harus mulai ditanggalkan, dan harus mengemuka semangat menjaga kepentingan bangsa. Perlu sekali untuk menghindarkan kontroversi legislasi yang Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 83

Page 10: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Sudirman Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009

amat menguras energy, dan harus focus kepada persoalan bangsa yang membutuhkan dukungan legislasi untuk pemecahannya.

Menumbuhkan rasa kebangsaan melalui wawasan kebangsaan memiliki hubungan yang erat dengan upaya pembangunan karakter bangsa yang semestinya harus direalisir, tidak lagi cukup dikemas dalam jargon-jargon retoris yang terakait dengan sikap nasionalis semata, melainkan harus ada upaya yang realistis. Sebagaimana diungkapkan Gumilar Rusiwa Somantri : “membangun karakter bangsa berarti secara nyata dan realistis membangun keunggulan, daya saing, dan penguasaan IPTEK”. Pembangunan karakter bangsa menjadi bagian dari upaya menumbuhkan memori kolektif bangsa untuk ke (masa) depan. Pada masa kini dan masa yang akan datang, Indonesia dihadapkan pada`pilihan antara Nation state yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan suatu bangsa yang dibayangkan memancarkan karakter bangsa tertentu. Pilihan lainnya adalah Welfare state, yaitu Negara yang mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa harus memposisikan idiologi kebangsaan yang kentara sebagai sentralnya. Dalam Welfare state, manusia dipandang sebagai subyek yang dapat berfikir, merancang kehidupannya, dan menghasilkan sesuatu.negara menjadi fasilitator dan tak lagi merupakan kekuasaan sentral yang mendominasi. Dengan peningkatan kesejahteraan, pendidikan, perbaikan hukum secara nyata akan tercipta sebagai kebanggaan suatu bangsa.

D. ELITISME KEBIJAKAN PUBLIK

Semua anggota wakil rakyat di DPR adalah sosok orang yang sedang menjalankan amanah mengemban tugas untuk membantu pemerintah (ekskutif) melalui kewenangannya membuat undang-undang. Meskipun citra pemilihan umum tidak pernah bebas dari noda hitam politik, mereka yang menjadi wakil rakyat seharusnya bertanggungjawab, karena paling mengetahui apa kebutuhan public. Tidak memandang mereka dari partai mana, suara public harus didengar dan diperjuangkan. Rakyat pada dasarnya tidak banyak menuntut kemewahan, sebagaimana mereka yang menjadi wakil rakyat di DPR. Kalau di urut ada sekitar lima hal yang menjadi keinginan mereka (rakyat), cukup terpenuhi standar saja, yaitu; - kesejahteraan – kesehatan – pendidikan – keadilan dan keamanan.

Kebijakan public memang berada dalam ranah politik yang kelam bagi masyarakat awam, tetapi para elit pengambil kebijakan tidak kemudian mereka dianggap tidak perlu mengetahui di dalam mengikuti proses pengambilan kebijakan. Public harus dihargai, karena dalam suatu kehidupan persoalan kurang dan lebih, lurus dan bengkok dan sifat-sifat lainnya untuk menunjukkan karakter dan kapasitas public merupakan “sunnatullah”. Seseorang bisa memiliki kemampuan lebih dari yang lain, namun juga sebaliknya yang memiliki kekurangan juga memiliki kelebihan di bidang lainnya. Mungkin saja mereka yang menjadi wakil rakyat di DPR bicaranya pintar, karena memiliki kemampuan yang telah terlatih di saat 84 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011

Page 11: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009 Sudirman

menjadi anggota partai, disamping pendidikan strata tertentu yang pernah ditempuh (S1,S2 atau S3), tetapi dalam praktek untuk suatu bidang tertentu, rakyat yang lulusan sekolah rendah, karena pengalamannya jauh lebih menguasai untuk bidang (yang sama) itu. Walaupun demikian public tetaplah public yang masih memiliki rasa, cipta dan karsa yang lengkap sebagai manusia.

Kebijakan public seharusnya berada dalam arah kesejahteraan yang berkeadilan. Artinya, negara memiliki kewenangan untuk mendistribusikan kekayaan negara kepada warga negaranya secara berkeadilan, tidak sectarian dan mengutamakan suatu kelompok di atas kelompok yang lain. Kebijakan public adalah media yang dapat dipergunakan pemerintah untuk melakukan fungsi ini, dan pemerintah ditantang untuk mengimplementasikannya. Kebijakan public yang tidak didasarkan pada kehendak umum public, berlaku tidak adil dan “pilih kasih” termasuk kebijakan yang elitis. Kebijakan seperti ini bukan hanya “melukai hati public” tetapi juga telah merampas hak-hak public sebagai warga negara yang memiliki kesamaan hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kenaikan gaji, pemberian tunjangan secara berlebihan yang dilegetimasi dengan undang-undang, ketetapan atau keputusan yang berasal dari pemerintah (baik legislative maupun ekskutif) pada dasrnya juga dapat dikategorikan dalam kelompok kebijakan yang elitis. Public di pelosok desa dan kota masih banyak yang hidup dalam kemiskinan sedang para elit bermandi uang dan kemewahan. Ada logika kebijakan yang tidak masuk di akal, di satu sisi pemerintah mengaku memiliki keterbatasan anggaran untuk pendidikan, di satu sisi pemerintah ternyata seenaknya membelanjakan uang negara untuk para pejabat dan anggota DPR. Anggota DPR pun seakan tidak peduli dengan semua ini. Saat pemerintah mengusulkan adanya kenaikan anggaran untuk pos tunjangan dan lain-lain buat mereka, tidak ada polemic yang panjang tentang hal ini. Meski ada penolakan dari beberapa fraksi di awal pengusulan, pada akhirnya palu pun diketuk dan berseliweranlah amplop kegembiraan buat anggota dewan terhormat itu.

E. BUDAYA HUKUM

Masyarakat Indonesia masih banyak yang kurang memiliki rasa berbudaya hukum, terutama masyarakat bawah yang sangat awam sekali terhadap setiap masalah yang penyelesaiannya sebenarnya membutuhkan aturan/ketentuan yang telah ada, yaitu yang disebut hukum, tetapi mereka tidak mau mempergunakannya. Rakyat kecil yang secara pendidikan sangat rendah, jelas mereka adalah buta hukum, apalagi disertai secara ekonomi tidak tergolong ekonomi menengah apalagi ekonomi kuat, melihat keadaan terakhir jangankan biaya untuk membayar jasa hukum, untuk makan sehari-hari pun serba kekurangan. Sementara mereka pejabat public yang jelas-jelas mengetahui hukum, banyak yang tidak melaksanakannya dalam pengambilan keputusan sesuai dengan hukum yang berlaku, cenderung Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 85

Page 12: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Sudirman Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009

hukum itu dilanggarnya. Dengan adanya KKN (Korupsi – Kolusi – Nepotisme) menunjukkan bahwa mereka melakukan pelanggaran hukum.

Apabila melihat kenyataan seperti di atas, bandingkan dengan pengelompokkan manusia yang menjadi 4 (empat) macam, yaitu;- Orang mengerti dan dia mengerti, kalau dirinya itu mengerti;- Orang mengerti dan dia tidak mengerti, kalau dirinya mengerti;- Orang tidak mengerti, tetapi dia mengerti kalau dirinya tidak mengerti;- Orang tidak mengerti, dan dia tidak mengerti kalau dirinya tidak mengerti.

Unsur hukum dan unsure manusia dalam proses penegakan hukum harus serasi, sehingga nampak harmonis. Apabila dalam suatu proses penegakan hukum, unsure manusia terlalu besar, maka ini akan membahayakan penegakan hukum itu sendiri. Misalnya; terhadap upaya perjuangan hukum dan hak asasi manusia, mencerminkan bahwa ketika unsure manusia menjadi besar, maka hilanglah keadilan dalam masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, apabila dalam suatu system pemerintahan unsure hukum (sebagai sebuah tulisan yang mati) terlalu dipojokkan, maka ini juga akan menghilangkan unsure keadilan, yang justru hendak dicari oleh hukum yang bersangkutan.

Dalam uraian tersebut di atas dengan melihat karakter empat kelompok itu hendaknya dapat mewarnai pemikiran para pengambil kebijakan di saat hendak melaksanakan tugasnya sesuai dengan tupoksi-nya. Oleh karena itu, dalam upaya penegakan hukum diperlukan seni untuk mencari ketepatan dalam mengambil keputusan yang dapat mnemberikan keseimbangan, antara manusia yang penuh emosi dan hukum yang hanya merupakan tulisan. Seperti inilah kepuasan dalam “berhukum” yang dapat mencerminkan keseimbangan dalam mengambil keputusan, sehingga kewibawaan hukum tetap terjaga. Demikian juga dalam tindakan perlu memiliki tiga hal, yaitu : - kecerdasan spiritual – kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.

F. PENUTUP

Dari tahun 1945 setelah Negara kita merdeka sampai sekarang sudah 67 tahun lamanya. Melalui pergantian beberapa kali kepala Negara dengan beberapa kali pemerintah mengamandemen Undang-undang Dasar 1945, penegakan hukum belumlah nampak secara signifikan mengacu kepada kepentingan rakyat. Keadilan hanyalah baru sebatas jargon yang membuahkan pepesan kosong, dimana-mana pejabat public banyak ngomong diberbagai kesempatan dalam forum resmi maupun tidak resmi tentang kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, keadilan dan keamanan. Dari kesemuanya itu belum ada satu pun yang tercapai untuk dapat memenuhi memenuhi harapan rakyat. para pemangku jabatan apakah di ekskutif maupun di legislative semuanya mengamalkan falsafah : “aji mumpung”, mumpung sedang menjabat dimanfaatkan beramai-ramai harta rakyat dipakai bancakan. Sebab mereka 86 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011

Page 13: jurnal.upi.edujurnal.upi.edu/file/06_PENEGAKKAN_HUKUM_PASCA_PEMILU... · Web viewPerihal tersebut tidak perlu dipersoalkan, mengingat secara teoritis semenjak reformasi 1998, Negara

Penegakan Hukum Pasca Pemilu 2009 Sudirman

sebelum menjadi pejabat suap sana-suap sini agar lolos untuk mencapai cita-citanya menjadi pejabat yang masuk criteria jabatan “basah”.

Sebagai seorang beragama seyogyanya dalam melaksanakan tugas-tugas harus mempedomani aturan hukum yang telah ditetapkan sebagai hukum positif untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Pertimbangan nalar dan rasa harus dijadikan acuan di dalam pengambilan keputusan, dengan tidak ditumpangi niat-niat untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Paparan berdasarkan keterangan agama disampaikan di sela-sela tulisan ini, harapan penulis “agama” dapat menjembatani antara hukum positif buatan manusia dengan hukum Allah yang mutlaq kebenarannya. Hendaknya keterangan-keterangan agama mewarnai pula tindakan dan keputusan-keputusan para penentu kebijakan, sehingga hasil akhirnya memiliki nilai ibadah.

G. DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim Anthony Quinton, Political Philosphy, Oxford University, tt,Maurice Douferg, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab

oleh Sami Darub dan Jamal Atasi, Daarul Jail, Beirut. Dale F. Eikelman dan James Piscatori, diterjemahkan Rofiq Suhud, Ekspresi Politik

Muslim, Mizan, Bandung, 1998 Rega Wardana Putra, Ilmu Filsafat, IPDN-SumedangArthur A. 1990, Whay Nation Cooperate: Circumstance and Chance International

Relations, Ithaca : Cornell University Press

Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 1 - 2011 87