wawancara sebulan untuk tangani kasus elpiji filekemudian pada 2006, subsidi bahan bakar minyak...

1
hanya 0,4 kg. Sekarang ini, minyak tanah subsidi harganya Rp2.500 per liter, sedang- kan nonsubsidi harganya Rp8.000 per liter. Sementara itu, elpiji harganya Rp4.250 per kg. Yang berarti 0,4 kg harganya Rp1.800. Jadi, bagi rakyat lebih murah me- makai gas. Dengan menggunakan gas, setiap keluarga menghemat Rp30.000 untuk bahan bakar. Itu sudah kita uji coba di lapangan. Hasilnya, studi awal dengan studi lapangannya, sama. Ada penghemat- an di masyarakat. Uji coba itu setahun. Jadi idenya di Maret 2006, sedangkan pelaksanaan di DKI baru Mei 2007. Setelah uji coba, baru kita mulai produksi. Dulu kita hanya memakai satu pabrik untuk produksi tabungnya. Dengan quality control yang ketat. Ba- janya harus standar, hanya produksi Krakatau Steel (KS). Selain itu se- cara terus-menerus disupervisi oleh Surveyor Indonesia dan Sucondo. Mereka harus tongkrongin itu pabrik selama 24 jam sehingga berjalan. Lalu, kenapa awalnya sangat jelas, baja harus di KS dengan supervisi Surveyor Indonesia dan Sucondo, lantas meluas ke tujuh departe- men? Dulu sangat sederhana. Ada koor- dinasinya di Kementerian ESDM secara sektoral. Pelaksananya PT Per- tamina. Sementara itu, Kementerian Perindustrian tugasnya mengatur produk. Kementerian Perdagangan mengatur bagaimana kalau impor. Kementerian BUMN mungkin terli- bat sebagai atasannya Pertamina. Sementara itu, Kementerian Ko- perasi dan UKM (KUKM) itu karena kita ingin industri kompor berkem- bang. Kalau begitu, kemudian kenapa ada tabung impor? Itu hanya satu tahun pertama. Di 2007, kita butuh 10 juta tabung, sedangkan industri dalam negeri tidak ada. Saya paksa-paksa mereka bikin, hanya satu pe- rusahaan yang mau. Saya perintahkan BUMN, PT Wijaya Karya, bahkan PT Pindad pun saya instruksikan bikin. Bayangkan pabrik senjata saya suruh bikin itu. Karena yang bisa diperintah itu kan BUMN. Akhirnya, karena tidak bisa mem- produksi sendiri, dilakukan impor. Awalnya 6 juta, kemudian ada tambahan dari Thailand menjadi 9 juta. Barang impor ini juga kan harus sesuai aturan perindustrian karena Standar Nasional Indonesia (SNI) tabung saat itu belum ada. Jadi kualitasnya tidak jauh. Tapi, kemudian pada tertarik. Oh, gampang ternyata bikinnya. Maka berlomba-lomba mereka bikin tabung gas. 16 | Wawancara SENIN, 2 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Sehingga, secara persentase (jumlah ledakan dan jumlah tabung), ledakan tabung 12 kg lebih banyak karena hampir 30%. Artinya, ini kasus gas secara keseluruhan. Kemudian, kalau menyinggung soal konversi, kita harus lihat seja- rahnya. Masyarakat suka lupa. Ingat, lima tahun lalu, banyak sekali media memberitakan antrean minyak tanah. Kemudian pada 2006, subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak. Khusus minyak tanah, dari Rp25 triliun menjadi Rp45 triliun. Secara total, subsidi BBM pada 2006 menjadi Rp100 triliun. Makanya, kemudian kita lakukan program konversi. Seberapa besar pengaruh kon- versi minyak tanah ke gas kepada subsidi? Sangat banyak. Harga minyak ta- nah itu Rp6.500 per liter. Karena kita jual Rp2.000 per liter, artinya peme- rintah menyubsidi Rp4.500 per liter. Tahun 2006, ada 11 juta kiloliter (kl) minyak tanah dipakai di Indonesia. Studi konversi itu, saya memakai studi sendiri. Kemudian, meminta studi ke Trisakti. Sesuai tidak per- hitungannya? Ternyata betul, bahwa satu liter minyak tanah untuk me- masak, kalau menggunakan elpiji Sebulan untuk Tangani Kasus Elpiji Ketika itu, terbayang tidak sih, akan ada kejadian ledakan seperti sekarang? Ini gas bukan barang baru. Sudah ada sejak 30 tahun. Sekarang, ambil contoh listrik. Di seluruh DKI, dalam setahun ada 400 kebakaran. Artinya, ada satu setengah kebakaran per hari. Kebakaran karena listrik itu persenta- senya sampai 60%. Sementara itu, ka- rena kompor 20%. Jadi, semua energi itu ada risikonya. Listrik, 60% keba- karan karena listrik. Apakah Anda kapok pakai listrik? Tidak kan? Dengan kejadian ini, apa langkah penanggulangannya? Ada empat sebab (ledakan gas), yakni kualitas tabung dan aksesori yang terdiri dari katup, karet, regula- tor, dan slang. Ini karena umur teknis atau kualitas produk awal tanpa SNI. Jadi mestinya setahun atau dua tahun di ganti, tapi tidak. Kedua, kualitas gas sendiri yang tidak atau kurang bau yang me- nyengat sesuai ketentuan. Bau meru- pakan alarm apabila ada kebocoran. Dalam dua tahun belakang, menurun baunya. Saya coba sendiri. Untuk itu, saya sudah bicara dengan Pertamina. Katanya dia kekurangan alat untuk meng-inject itu. Sekarang sudah ditambah, tapi baru masuk pasar minggu depan. Ketiga, karena cara pemakaian gas oleh konsumen yang tidak sesuai pe- tunjuk. Disebabkan tidak tahu, tidak hirau atau ceroboh. Terakhir, kriminal. Ini yang paling penting. Kalau saya bilang ini ‘so- domi’ karena dari tabung ke tabung, yakni adanya oplosan gas subsidi ke tabung nonsubsidi. Bagaimana agar ke depan ma- syarakat tidak antipati? Pertama, kita perkuat quality con- trol, jadi orang mengatakan tarik, ya tarik yang jelek. Di mana ditarik? Di stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBE). Di Indonesia sekarang ada 420 SPBE. Pertamina harus mengecek kualitasnya, atau kalau tidak dise- rahkan ke Sucondo atau Surveyor Indonesia. Kalau saya katakan, ganti saja lima juta pertama itu. Ganti aksesori yang sudah kedaluwarsa dan tidak sesuai SNI. Konversi ini kan sudah menghemat Rp30 triliun. Untuk lima juta aksesori paling biayanya Rp150 miliar. Tidak bisa perbaikan itu tanpa biaya. Kedua, sosialisasi harus dilakukan. Yang paling efektif adalah melalui televisi. Bagaimana cara penggunaan dan pemeliharaan tabung, kompor, dan aksesori gas. Ketiga, perbaikan kualitas gas, khususnya masalah bau. Harus dicek di semua kilang setiap minggu agar sesuai dengan spesikasi Badan Pe- ngatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. Terakhir yang paling pokok dis- paritas harga. Kenapa banyak terjadi oplosan, karena banyak pengusaha hitam yang mengoplos isi gas 3 kg ke 12 kg. Tetapi pengalaman dulu tidak sepenuhnya efektif. Lebih efektif jika mengurangi disparitas harga. Gas yang 12 kg harganya 5.850/ kg, sedangkan yang 3kg 4.250/kg. Itu perbedaannya Rp1.600/kg. Cu- kup menguntungkan sehingga risiko pengoplosan tinggi. Saran saya, yang 3 kg dinaikkan Rp250 jadi Rp4.500/kg, sedangkan yang 12 kg diturunkan Rp350 men- jadi Rp5.500/kg sehingga selisihnya turun. Supaya rakyat tidak kena (kenaikan), beri mereka semacam bantuan langsung berupa aksesori gratis selama tiga tahun. Kalau Bapak masih menjabat, berapa lama waktu yang dibutuh- kan untuk perbaikan? Satu bulan. Pokoknya kasih tiga ribu inspektor atau kira-kira enam orang satu SPBE. Me-reject tabung yang rusak, diambil. Terus dibawa ke bengkel. Selain itu, sosialisasi besar-besaran. Masa orang bisa tiap hari muncul di televisi buat kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada), tapi untuk yang ini tidak bisa? (E-4) MI/M IRFAN R ENTETAN kasus ledakan gas elpiji yang terjadi akhir- akhir ini membuat semua pihak prihatin, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, salah satu penggagas program kon- versi minyak tanah ke gas. Merasa punya tanggung jawab moril, pekan lalu, dia pun menggagas pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mem- bicarakan masalah tersebut. Apa saja pemikirannya tentang insiden-insiden itu dan program konversi secara keseluruhan? Kepada wartawan Media Indonesia, Ade F Siregar dan Asep Toha, Jusuf Kalla menuturkan di kediamannya, akhir pekan lalu. Peristiwa ledakan gas marak belakangan ini. Bagaimana Anda memandangnya? Konversi memakai elpiji itu berapa kilo? Yang kasus ini yang mana? Dua duanya kan. Yang meledak itu ada yang tabung 3 kilogram (kg) dan juga tabung 12 kg. Lalu, kenapa ledakan tabung 3 kg lebih banyak? Karena pemiliknya juga lebih banyak. Ada sekitar 40 juta-50 juta orang, sedangkan pemilik tabung 12 kg itu hanya 7 juta orang. Perbaikan tidak bisa tanpa biaya.

Upload: phungkhuong

Post on 09-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

hanya 0,4 kg.Sekarang ini, minyak tanah subsidi

harganya Rp2.500 per liter, sedang-kan nonsubsidi harganya Rp8.000 per liter. Sementara itu, elpiji harganya Rp4.250 per kg. Yang berarti 0,4 kg harganya Rp1.800.

Jadi, bagi rakyat lebih murah me-makai gas. Dengan menggunakan gas, setiap keluarga menghemat Rp30.000 untuk bahan bakar.

Itu sudah kita uji coba di lapangan. Hasilnya, studi awal dengan studi lapangannya, sama. Ada penghemat-an di masyarakat.

Uji coba itu setahun. Jadi idenya di Maret 2006, sedangkan pelaksanaan di DKI baru Mei 2007. Setelah uji coba, baru kita mulai produksi.

Dulu kita hanya memakai satu pabrik untuk produksi tabungnya. Dengan quality control yang ketat. Ba-janya harus standar, hanya produksi Krakatau Steel (KS). Selain itu se-cara terus-menerus disupervisi oleh Surveyor Indonesia dan Sucofi ndo. Mereka harus tongkrongin itu pabrik selama 24 jam sehingga berjalan.

Lalu, kenapa awalnya sangat jelas, baja harus di KS dengan supervisi Surveyor Indonesia dan Sucofi ndo, lantas meluas ke tujuh departe-men?

Dulu sangat sederhana. Ada koor-dinasinya di Kementerian ESDM secara sektoral. Pelaksananya PT Per-tamina. Sementara itu, Kementerian Perindustrian tugasnya mengatur produk. Kementerian Perdagangan mengatur bagaimana kalau impor. Kementerian BUMN mungkin terli-bat sebagai atasannya Pertamina.

Sementara itu, Kementerian Ko-perasi dan UKM (KUKM) itu karena kita ingin industri kompor berkem-bang.

Kalau begitu, kemudian kenapa ada tabung impor?

Itu hanya satu tahun pertama. Di 2007, kita butuh 10 juta tabung,

sedangkan industri dalam negeri tidak ada. Saya paksa-paksa mereka bikin, hanya satu pe-rusahaan yang mau.

Saya perintahkan BUMN, PT Wijaya Karya, bahkan PT

Pindad pun saya instruksikan bikin. Bayangkan pabrik senjata

saya suruh bikin itu. Karena yang bisa diperintah itu kan BUMN.

Akhirnya, karena tidak bisa mem-produksi sendiri, dilakukan impor. Awalnya 6 juta, kemudian ada tambahan dari Thailand menjadi 9 juta. Barang impor ini juga kan

harus sesuai aturan perindustrian karena Standar Nasional Indonesia (SNI) tabung saat itu belum ada. Jadi kualitasnya tidak jauh.

Tapi, kemudian pada tertarik. Oh, gampang ternyata bikinnya. Maka berlomba-lomba mereka bikin tabung gas.

16 | Wawancara SENIN, 2 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

Sehingga, secara persentase (jumlah ledakan dan jumlah tabung), ledakan tabung 12 kg lebih banyak karena hampir 30%. Artinya, ini kasus gas secara keseluruhan.

Kemudian, kalau menyinggung soal konversi, kita harus lihat seja-rahnya. Masyarakat suka lupa. Ingat, lima tahun lalu, banyak sekali media memberitakan antrean minyak tanah. Kemudian pada 2006, subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak. Khusus minyak tanah, dari Rp25 triliun menjadi Rp45 triliun. Secara total, subsidi BBM pada 2006 menjadi Rp100 triliun. Makanya, kemudian kita lakukan program konversi.

Seberapa besar pengaruh kon-versi minyak tanah ke gas kepada subsidi?

Sangat banyak. Harga minyak ta-nah itu Rp6.500 per liter. Karena kita jual Rp2.000 per liter, artinya peme-rintah menyubsidi Rp4.500 per liter. Tahun 2006, ada 11 juta kiloliter (kl) minyak tanah dipakai di Indonesia.

Studi konversi itu, saya memakai studi sendiri. Kemudian, meminta studi ke Trisakti. Sesuai tidak per-hitungannya? Ternyata betul, bahwa satu liter minyak tanah untuk me-masak, kalau menggunakan elpiji

Sebulan untuk Tangani Kasus

Elpiji

Ketika itu, terbayang tidak sih, akan ada kejadian ledakan seperti sekarang?

Ini gas bukan barang baru. Sudah ada sejak 30 tahun. Sekarang, ambil contoh listrik. Di seluruh DKI, dalam setahun ada 400 kebakaran. Artinya, ada satu setengah kebakaran per hari. Kebakaran karena listrik itu persenta-senya sampai 60%. Sementara itu, ka-rena kompor 20%. Jadi, semua energi itu ada risikonya. Listrik, 60% keba-karan karena listrik. Apakah Anda kapok pakai listrik? Tidak kan?

Dengan kejadian ini, apa langkah penanggulangannya?

Ada empat sebab (ledakan gas), yakni kualitas tabung dan aksesori yang terdiri dari katup, karet, regula-tor, dan slang. Ini karena umur teknis atau kualitas produk awal tanpa SNI. Jadi mestinya setahun atau dua tahun di ganti, tapi tidak.

Kedua, kualitas gas sendiri yang tidak atau kurang bau yang me-nyengat sesuai ketentuan. Bau meru-pakan alarm apabila ada kebocoran. Dalam dua tahun belakang, menurun baunya. Saya coba sendiri.

Untuk itu, saya sudah bicara dengan Pertamina. Katanya dia kekurangan alat untuk meng-inject itu. Sekarang sudah ditambah, tapi baru masuk pasar minggu depan.

Ketiga, karena cara pemakaian gas

oleh konsumen yang tidak sesuai pe-tunjuk. Disebabkan tidak tahu, tidak hirau atau ceroboh.

Terakhir, kriminal. Ini yang paling penting. Kalau saya bilang ini ‘so-domi’ karena dari tabung ke tabung, yakni adanya oplosan gas subsidi ke tabung nonsubsidi.

Bagaimana agar ke depan ma-syarakat tidak antipati?

Pertama, kita perkuat quality con-trol, jadi orang mengatakan tarik, ya tarik yang jelek. Di mana ditarik? Di stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBE). Di Indonesia sekarang ada 420 SPBE. Pertamina harus mengecek kualitasnya, atau kalau tidak dise-rahkan ke Sucofi ndo atau Surveyor Indonesia.

Kalau saya katakan, ganti saja lima juta pertama itu. Ganti aksesori yang sudah kedaluwarsa dan tidak sesuai SNI. Konversi ini kan sudah menghemat Rp30 triliun. Untuk lima juta aksesori paling biayanya Rp150 miliar. Tidak bisa perbaikan itu tanpa biaya.

Kedua, sosialisasi harus dilakukan. Yang paling efektif adalah melalui televisi. Bagaimana cara penggunaan dan pemeliharaan tabung, kompor, dan aksesori gas.

Ketiga, perbaikan kualitas gas, khususnya masalah bau. Harus dicek di semua kilang setiap minggu agar

sesuai dengan spesifi kasi Badan Pe-ngatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Terakhir yang paling pokok dis-paritas harga. Kenapa banyak terjadi oplosan, karena banyak pengusaha hitam yang mengoplos isi gas 3 kg ke 12 kg. Tetapi pengalaman dulu tidak sepenuhnya efektif. Lebih efektif jika mengurangi disparitas harga.

Gas yang 12 kg harganya 5.850/kg, sedangkan yang 3kg 4.250/kg. Itu perbedaannya Rp1.600/kg. Cu-kup menguntungkan sehingga risiko pengoplosan tinggi.

Saran saya, yang 3 kg dinaikkan Rp250 jadi Rp4.500/kg, sedangkan yang 12 kg diturunkan Rp350 men-jadi Rp5.500/kg sehingga selisihnya turun. Supaya rakyat tidak kena (kenaikan), beri mereka semacam bantuan langsung berupa aksesori gratis selama tiga tahun.

Kalau Bapak masih menjabat, berapa lama waktu yang dibutuh-kan untuk perbaikan?

Satu bulan. Pokoknya kasih tiga ribu inspektor atau kira-kira enam orang satu SPBE. Me-reject tabung yang rusak, diambil. Terus dibawa ke bengkel. Selain itu, sosialisasi besar-besaran.

Masa orang bisa tiap hari muncul di televisi buat kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada), tapi untuk yang ini tidak bisa? (E-4)

MI/M IRFAN

RENTETAN kasus ledakan gas elpiji yang terjadi akhir-akhir ini membuat semua pihak prihatin, termasuk

mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, salah satu penggagas program kon-versi minyak tanah ke gas.

Merasa punya tanggung jawab moril, pekan lalu, dia pun menggagas pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mem-bicarakan masalah tersebut.

Apa saja pemikirannya tentang insiden-insiden itu dan program konversi secara keseluruhan? Kepada wartawan Media Indonesia, Ade F Siregar dan Asep Toha, Jusuf Kalla menuturkan di kediamannya, akhir pekan lalu.

Peristiwa ledakan gas marak be lakangan ini. Bagaimana Anda memandangnya?

Konversi memakai elpiji itu berapa kilo? Yang kasus ini yang mana? Dua duanya kan. Yang meledak itu ada yang tabung 3 kilogram (kg) dan juga tabung 12 kg.

Lalu, kenapa ledakan tabung 3 kg lebih banyak? Karena pemiliknya juga lebih banyak. Ada sekitar 40 juta-50 juta orang, sedangkan pemilik tabung 12 kg itu hanya 7 juta orang.

Perbaikan tidak bisa tanpa biaya.