warga suku dayak dan gereja gpib menganalisa...
TRANSCRIPT
i
WARGA SUKU DAYAK DAN GEREJA GPIB
MENGANALISA ALASAN WARGA SUKU DAYAK AIR DURIAN
BERGEREJA DI GPIB
Oleh
ANDIKA KRISTO ZEFANYA
712012100
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
Teologi (S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan
bertekunlah dalam doa!”
Roma 12:12
“Jawaban sebuah keberhasilan adalah terus belajar dan tak kenal
putus asa”
Kata pengantar
Syukur dan Terima Kasih penulis persembahkan bagi Yesus Kristus, Tuhan
dan Juruselamat, atas pertolongan dan anugerah-Nya yang selalu penulis alami dalam
kehidupan penulis, terkhususnya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini. Penulis sangat
bersyukur telah diberikan kesempatan, waktu, tenaga, dan orang-orang yang terlibat
dalam penyelesaian Tugas Akhir ini. Penulis menyadari bahwa tanpa semuanya itu,
vii
maka penulis tidak dapat sampai pada suatu kebahagiaan yang saat ini penulis alami.
Untuk itu, penulis mengucapkan Terima Kasih kepada:
1. Kedua orang tuaku yakni papa Herry Mony Mawuntu dan mama Ferri
Valintina br. Tarigan yang selalu mendukung, memberikan nasihat,
semangat, dan doa kepada saya. Keempat saudara/i ku yakni kakak
Hartati Fransiska, abang Laudy Kardion Mawuntu, kakak Ida
Damanik, dan adik Gita Kamira Emeralda yang juga selalu
mendukung dan memberikan semangat selama menjalankan
perkuliahan ini hingga selesai.
2. Kepada Pdt. Prof. John. A. Titaley dan Pdt. Dr. Rama . T. Pilakoannu
kedua dosen yang telah bersedia membimbing saya dalam penulisan
tugas akhir ini. Terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya, Untuk
bapak John terima kasih untuk segala nasihatnya selama bimbingan.
Trimakash karena telah memperhatikan saya bukan saja dari segi
akademis tetapi juga prilaku. Semua nasihat bapak akan saya ingat dan
berusaha untuk memenuhinya. Untuk bapak Rama saya hanya ingin
bilang BAPAK IS THE BEST. Semoga Tuhan memberkati bapak-
bapak sekalian.
3. GPIB “Ekklesia” Air Upas terlebih kepada nara narasumber dan
pendeta, Terima Kasih telah bersedia menjadi tempat penelitian
sekaligus tempat praktek lapangan saya dan memberikan semua yang
saya butuhkan dalam penulisan tugas akhir ini.
4. Berikut untuk teman-teman saya yang luar biasa yakni Candra Dwi
Santoso alias Candra Poenya, Billy Fernando Tobing alias Billy Toms,
Ivan Napitupulu alias Lae Ephorus, Lauren Tova Nadapdap alias
Pembalap, Kevin Ekajaya alias Aming, Andricho Sanoe alias
Guakecilmen, Ribka Ika alias Ibupenjabat, Jenifer Ehliani Nonitana
alias Jojon dan semua teman-teman angkatan 2012 trimakasih untuk
lima tahun yang gemerlap dan cetar membahana. Terkhusus bapak
Frejhon Cleiment Lasatira, bapak Sadrah Tuahta Barus dan Ibu Ruth
Kause yang sudah bersedia mereview Tugas Akhir saya sebelum
direview fakultas. Juga terkhusus untuk squad pejuang tugas akhir
yakni Fernando Perananta Alpha Surbakti dan Vivi Usmany yang
viii
selalu mengingatkan satu sama lain dalam menyelesaikan berkas-
berkas. Diatas itu semua trimakasih untuk Anthoneta Sarah Karatem
yang sudah memberikan waktu, pikiran dan tenaga untuk membantu
kami para squad pejuang tugas akhir. Semangat untuk kak Ann. Tuhan
memberikan yang terbaik buat kak Ann. Kakak Ann for Noble prise.
5. Untuk penghuni kos 50a dari jajaran tertinggi hingga terendah saya
ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya karena telah menjadi rumah
ke dua saya selama menjalani perkuliahan di Salatiga.
6. Kepada Fakultas Teologi dan Universitas Kristen Satya Wacana, saya
juga berterima kasih sudah memberikan pengajaran dan pelayanan
yang terbaik bagi para mahasiswa/i nya. Semoga Fakultas dan
Universitas kita terus maju dan selalu menelurkan lulusan-lulusan
yang berkualitas dan berkarakter. HIDUPLAH GARBA ILMIAH
KITA!
7. Dan juga pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Terima kasih atas semua bantuan, topangan dan kerja samanya. TUHAN
memberkati karya dan pelayanan kita.
Salatiga, 12 Oktober 2017
Andika Kristo Zefanya
Penulis
DAFTAR ISI
Cover..............................................................................................................................i
Lembar Pengesahan.....................................................................................................ii
Pernyataan Tidak Plagiat...........................................................................................iii
Pernyataan Persetujuan Akses..................................................................................iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi..............................................................................v
ix
Motto............................................................................................................................vi
Kata Pengantar...........................................................................................................vii
Abstrak.........................................................................................................................ix
Daftar Isi.......................................................................................................................x
1. Pendahuluan.............................................................................................................1
A. Latar Belakang ………...............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................3
C. Tujuan Penelitian........................................................................................3
D. Manfaat Penelitian…..................................................................................3
E. Metode Penelitian........................................................................................4
F. Sistematika Penulisan.............................................................................5
2. Landasan Teori.........................................................................................................6
A.Teori Sosiologi Budaya Koentjaraningrat.................................................6
B. Teori Tindakan Talcott Parson……………..............................................8
C. Teori Spiritualitas Alister E. McGrath.....................................................9
3. Hasil Penelitian.......................................................................................................11
A. Gambaran Kehidupan warga suku Dayak jemaat GPIB Bajem “Bukit
Zaitun” Air Durian dan Sekitarnya……………………………………………..11
4. Analisis Hasil Penelitian. Kehidupan Bergereja Suku Dayak Air Durian dalam
Diskursus Sosial-budaya dan Spiritual....................................................................16
5. Penutup....................................................................................................................19
A. Kesimpulan................................................................................................19
B. Saran...........................................................................................................20
Daftar Pustaka............................................................................................................21
x
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskripsikan alasan warga suku Dayak asli Air Durian
bergereja di GPIB. Menjelaskan alasan mengapa suku Dayak Air Durian dapat menerima
dan bergereja di GPIB. Hal tersebut menjadi menarik karena GPIB bukanlah gereja lokal
dan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan suku Dayak, terkhususnya Dayak Air Durian.
Tujuan dari mendeskripsikan hal tersebut adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran
dalam membangun dan mengembangkan gereja dilingkungan Suku Dayak, terkhususnya
Dayak Air Durian. Metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah metode penelitian
xi
deskriptif dan jenis penelitian kualitatif. Metode penelitian ini mengharuskan penulis untuk
terjun langsung ke lapangan dan mewawancarai secara langsung para narasumber. Dari
hasil penelitian tersebut, penulis mendapat kesimpulan Suku Dayak Air Durian adalah suku
yang terbuka untuk siapa saja dan apa saja. Orang-orang Dayak Air Durian juga mudah
menerima perubahan. Sesuatu yang yang baik dan menguntungkan bagi mereka dapat
dengan mudah mereka terima. Seperti halnya kekristenan yang dibawa oleh misionaris awal
GPIB di sana. Alasan warga suku Dayak bergereja di GPIB dikarenakan GPIB hadir
menjawab kebutuhan mereka baik dari sisi kerohanian juga kebutuhan keseharian mereka.
Meskipun GPIB tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kebudayaan Dayak, tetapi dengan
kehadiran gereja GPIB yang memperhatikan keberadaan jemaatnya, merangkul kebudayaan
setempat, berjuang melakukan pelayanan yang sesuai dengan konteks jemaat dimana gereja
GPIB berdiri.
Kata Kunci: Dayak Air Durian, Gereja GPIB, Budaya, Hubungan Sosial,
Kontekstual, Pedalaman.
1
WARGA SUKU DAYAK DAN GEREJA GPIB
MENGANALISA ALASAN WARGA SUKU DAYAK AIR DURIAN
BERGEREJA DI GPIB
BAB 1.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) diresmikan pada
tanggal 31 Oktober 1948. GPIB diresmikan selaku gereja yang berdiri sendiri
dalam lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI). GPIB memiliki terutama
semua jemaat Gereja Protestan di Indonesia di luar lingkungan 3 gereja
saudaranya yaitu Gereja Masehi Injili Minahasa, Gereja Protestan Maluku dan
Gereja Masehi Injili Timor.1
Kalimantan Barat masuk dalam lingkungan GPIB. GPIB masuk ke daerah
Kalimantan Barat melalui Pekabaran Injil (PI). Usaha PI di daerah-daerah ini telah
dimulai sejak tahun 1973.2 Kegiatan-kegiatan PI di daerah Kalimantan Barat
diadakan dengan cara massal, yaitu dalam arti desa-desa atau kampung-kampung
di-Injili dan diberi pengajaran Kristen. Kegiatan-kegiatan PI ini dilaksanakan oleh
petugas-petugas profesional, maupun warga gereja yang merasa terpanggil.3
Kalimantan Barat mayoritas dihuni oleh suku Dayak. Dayak mempunyai
sekitar 450 subsuku yang tersebar di seluruh Kalimantan. Ada banyak versi
tentang kelompok-kelompok suku tersebut. Yeti Manuarti mengutip pendapat
Tjilik Riwut yang mengatakan orang Dayak terdiri dari dua belas suku, dan dari
kedua belas suku tersebut terdapat tujuh subsuku.4 Penduduk asli pulau
Kalimantan adalah Dayak dan Punan. Paulus Florus mengutip pendapat Michael
1 S.W. Lontoh, Bahtera Guna Dharma Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
(Jakarta : Majelis Sinode XII Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Lembaga Penelitian,
Perencanaan dan Pengembangan GPIB, 1981), 167.
2 Ibid., 499.
3 Ibid., 482.
4 Yerti Manuarti, Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta :
LKiS 2004), 60.
2
Dove yang mengatakan suku Dayak ada berdasarkan budaya, bahasa dan
geografis terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu, (1) kelompok Utara, termasuk
Dusun dan Murut, (2) kelompok Selatan, termasuk Ngaju, dan (3) kelompok
Tengah, termasuk Kenyah, Kayan, Kayang, serta Iban.5 Suku Dayak memiliki
sistem kepercayaan atau agama yang hampir tidak bisa dipisahkan dengan nilai-
nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari. Sebagaimana
disinyalir oleh beberapa Dayakolog dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan
tidak saja dengan sistem kepercayaan atau agama dan adat istiadat atau hukum
adat, tetapi juga nilai-nilai budaya dan etnisitas.6
Seperti halnya suku-suku lainnya, suku bangsa Dayak ini juga memiliki
beragam upacara-upacara atau ritus-ritus. Contohnya adalah upacara belian bagi
orang sakit yang kini masih sering diadakan dalam beberapa wilayah, biasanya
dilihat sebagai seremoni magis atau upacara mantra.7 Contoh berikut adalah
upacara perkawinan menurut adat suku Benua, pengantin pria dan wanita diberi
sebuah periuk yang didalamnya ada sebuah arca. Kedua mempelai itu harus
meludah kedalam periuk tersebut, Kemudian arca yang dibuat khusus untuk
keperluan upacara perkawinan itu dilemparkan ke dalam sungai atau dibuang
kedalam hutan, sebagai tanda untuk menyingkirkan segala mara bahaya. Contoh
lainnya adalah penggunaan arca-arca kecil, yang ditempatkan oleh orang-orang
Benua di pinggir jalan masuk kampung, setelah ada kabar bahwa di kampung-
kampung tetangganya berjangkit suatu penyakit wabah kolera atau penyakit-
penyakit lain yang ditakuti mereka. Orang-orang Dayak memercayai bahwa
pelanggaran ataupun kelalaian terhadap ritus-ritus tersebut dapat mendatangkan
hukuman. Oleh karena itu sikap ketaatan kepada nenek moyang sangat menonjol,
sebab keseluruhan teladan nenek moyang harus diterima dengan sikap ketaatan.
Itu sebabnya orang-orang Dayak akan berpegang teguh dengan tradisi yang
diwariskan kepada mereka.8
5 P. Florus et al., Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi (Jakarta : Gramedia,
1994), 123.
6 Ibid., 22.
7 M. Coomans, Manusia Daya : Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta : Gramedia,
1987), 100. 8 Ibid., 101.
3
Hal yang pokok yang menjadi perhatian adalah bagaimana masyarakat
bersuku Dayak menanggapi kehadiran gereja GPIB di tengah-tengah mereka.
Sedangkan GPIB bukan gereja lokal dan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan
mereka. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hal-hal apa saja yang membuat
GPIB dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan suku Dayak, apakah
dampak dari keberadaan gereja GPIB dalam kehidupan mereka sehari-hari,
bagaimana warga suku Dayak dapat memilih untuk menjadi seorang Kristen dan
bergereja di GPIB sedangkan mereka memiliki adat istiadat kesukuan dan
beragam denominasi gereja disana.
1.2 Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana warga suku Dayak menerima dan bergereja di GPIB?
1.3 Tujuan Penelitian.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan
pemikiran untuk gereja mengenai pandangan jemaat warga suku Dayak terhadap
gereja GPIB dan mendiskripsikan alasan mereka bergereja di GPIB.
1.4 Manfaat Penelitian.
Secara Teoritis
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis adalah dapat memberikan sumbangan
pemikiran mengenai pokok alasan warga suku Dayak Air Durian bergereja di
GPIB.
Secara Praktis.
Secara praktis, penulis mengharapkan setelah membaca hasil penelitian ini,
pembaca mengetahui alasan warga suku Dayak terkhususnya Dayak Air Durian
bergereja di GPIB. Dari pemahaman mengenai alasan warga Suku Dayak Air
Durian bergereja di GPIB ini, penulis mengharapkan dapat memberikan
4
sumbangan pemikiran untuk pengembangan gereja di lingkungan Dayak Air
Durian.
1.5 Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan jenis
penelitian kualitatif. Penelitian kualiatatif adalah manusia atau segala sesuatu
yang dipengaruhi manusia, termasuk tindakan dan perkataan manusia secara
alamiah.9 Atau jenis penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih
mengutamakan penghayatan serta berusaha memahami dan menafsirkan makna
dari suatu peristiwa interaksi dan tingkah laku manusia dalam situasi tertentu
menurut perspektif peneliti sendiri sehingga hal ini mengharuskan peneliti terjun
sendiri ke lapangan secara aktif.10
Wawancara berarti teknik perolehan informasi
melalui tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.11
Hal
tersebut dapat dilakukan melalui wawancara langsung dengan narasumber.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena metode ini sangat
memungkinkan peneliti untuk mengkaji suatu gejala dalam jemaat dan melakukan
proses sosialisasi langsung kepada jemaat, sehingga peneliti dapat mempermudah
pengambilan data dan perolehan informasi di lapangan.
Penulis mengambil narasumber yakni beberapa warga jemaat GPIB “Bukit
Zaitun” Air Durian yang asli bersuku Dayak. Tiga orang dari kalangan majelis,
dua orang dari kalangan jemaat dan satu orang dari kalangan pemuda.
9 J.D. Engel, Metodologi Penelitian Sosial & Teologi Kristen, (Salatiga: Widya Sari, 2005),
21.
10
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), 129.
11
Ibid., 78.
5
1.6 Sistematika Penulisan.
Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian, yakni sebagai
berikut:
Bagian 1 : Pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan).
Bagian 2 : Landasan Teori (Teori sosiologi budaya, teori tindakan, dan
teori spiritualitas)
Bagian 3 : Hasil Penelitian (data hasil penelitian di lapangan).
Bagian 4 : Analisa (analisa terhadap hasil penelitian dengan teori dalam
bag.2).
Bagian 5 : Penutup (kesimpulan akhir dari pengolahan data hasil penelitian)
Kesimpulan
Saran
6
2. Landasan Teori
2.1 Teori Sosiologi Budaya Koentjaraningrat
Penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai sistem nilai budaya.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat sistem nilai budaya merupakan tingkat yang
paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi,
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu
sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia. Sistem–sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret,
seperti aturan-aturan khusus hukum dan norma-norma semuanya juga
berpedoman kepada sistem nilai budaya itu.12
Suatu sistem nilai budaya merupakan bagian dari adat, dan biasanya dianut
oleh suatu persentase yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya,
suatu sikap karena berada dalam jiwa individu, sering hanya ada pada individu-
individu tertentu yang karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, bisa
didapatkan secara meluas pada banyak individu dalam masyarakat.13
Untuk dapat menganalisa semua sstem nilai budaya dari semua kebudayaan di
dunia, Koentjaranignrat mengutip kerangka Kluckhohn. Kerangka ini adalah
kerangka yang dikembangkan seorang ahli antropologi, Clyde Kluckhohn.
Menurut kerangka Kluckhohn, semua sistem nilai budaya dalam semua
kebudayaan di dunia itu sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam
kehidupan manusia.
Masalah pertama mengenai hakekat dalam hidup manusia. Adapun
kebudayaan-kebudayaan memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk,
tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup itu suatu hal yang
baik dan menggembirakan.
12 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta : PT Gramedia,
1975), 32.
13
Ibid., 33.
7
Masalah yang kedua, ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang bahwa
karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup; lain
kebudayaan menganggap hakikat dari karya manusia itu untuk memberikannya
suatu kedudukan yang penuh kehormatan dalam masyarakat; sedangkan lain-lain
kebudayaan lagi menganggap hakikat karya manusia itu sebagai suatu gerak hidup
yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Masalah yang ketiga adalah masalah mengenai hakikat dari kedudukan
manusia dalam ruang waktu. Ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang
penting dalam kehidupan manusia itu masa yang lampau. Dalam kebudayaan-
kebudayaan serupa itu, orang akan lebih sering mengambil sebagai pedoman
dalam kelakuannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa yang
lampau. Sebaliknnya, ada pula banyak kebudayaan yang hanya mempunyai suatu
pandangan waktu yang sempit. Warga suatu kebudayaan yang serupa itu tidak
akan memusingkan dan memikirkan zaman yang lampau maupun masa yang akan
datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini. Lain-
lain kebudayaan lagi malahan justru mementingkan pandangan yang berorentasi
sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang. Dalam kebudayaan yang serupa
itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Selanjutnya mengenai masalah keempat adalah tentang pandangan manusia
terhadap alam. Ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal
yang begitu dahsyat, sehingga manusia itu pada hakikatnya hanya dapat bersifat
menyerah saja tanpa ada banyak yang dapat diusahakannya. Sebaliknnya ada pula
banyak kebudayaan lain yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang bias
dilawan oleh manusia, dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha
menaklukan alam. Lain kebudayaan lagi, menganggap manusia itu hanya bias
berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Masalah yang terakhir adalah masalah hakikat hubungan antara manusia
dengan sesamanya. Ada kebudayaan-kebudayaan yang amat mementingkan
hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Dalam pola kelakuannya,
manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada
tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior, atau orang-orang atasan. Lain
8
kebudayaan lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan
sesamanya. Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu akan amat merasa
tergantung kepada sesamanya, dan usaha untuk memelihara hubungan baik
dengan tetangganya dan sesamanya merupakan hal yang dianggap amat penting
dalam hidup. Kecuali itu ada banyak kebudayaan lain yang tidak membenarkan
anggapan bahwa manusia itu tergantung pada orang lain dalam hidupnya.
Kebudayaan-kebudayaan serupa seperti itu yang amat mementingkan
individualisme, menilai tinggi anggapan bahwa manusia itu harus berdiri sendiri
dalam hidupnya, dan sedapat mungkin mencapai tujuannya dengan sedikit
mungkin bantuan dari orang lain.14
2.2 Teori Tindakan
Pada teori tindakan penulis menggunakan teori tindakan Talcott Parson.
Menurut Talcott Parson titik acuan dari semua istilah dalam teori aksi adalah aksi
dari aktor individu atau dari kolektivitas aktor. Tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau aktor tidak terlepas dari faktor psikologis dimana didalamnya
terdapat insting. Insting seseorang selalu cenderung untuk memenuhi kebutuhanya
seperti kebutuhan viscerogenic. Kebutuhan viscerogenic contohnya seperti tidur,
pangan dan bernafas. Selain itu seseorang juga memiliki kebutuhan untuk
berhubungan sosial. 15
Seorang aktor akan memilih atau berkomitmen untuk
memilih pilihan budaya di antara objek yang dapat diakses berkenaan dengan
potensi kepuasan mereka. Dia juga akan memilih dari antara cara-cara yang paling
tepat dan signifikan baginya. Tindakan tidak hanya melibatkan diskriminasi dan
seleksi antara objek, dan perjuangan, penerimaan, atau penolakan langsung,
namun juga melibatkan orientasi pada kejadian masa depan dengan menghormati
signifikansinya untuk kepuasan atau kekecewaan. Diskriminasi antara kepuasan
yang segera tersedia dan masa depan dan penilaian nilai relatif mereka merupakan
aspek penting tindakan.16
14 Ibid., 36.
15
Talcott Parsons, Toward a General Theory of Action. (London : Oxford University Press,
1951), 10.
16
Ibid., 11.
9
2.3 Teori Spiritualitas
Sebelum masuk dalam teori, penulis akan menjelaskan definisi dari
spiritualitas. Secara etimologis kata spiritual berasal dari kata Ibrani ruach, sebuah
istilah kaya yang biasanya diterjemahkan dengan spirit atau roh. Namun kata itu
juga mencakup serangkaian makna termasuk spirit yang luas cakupannya sampai
ke makna sebagai nafas dan angin. Jika berbicara mengenai spirit, berarti
membahas sesuatu yang memberikan kehidupan maupun semangat bagi
seseorang. Maka dari itu “spiritualitas” berkaitan dengan kehidupan iman, yakni
apa yang mendorong dan memotivasinya dan apa yang menurut orang-orang
dirasa bisa membantu untuk melanggengkan dan mengembangkannya.
Spiritualitas juga menyangkut apa yang memberi semangat terhadap kehidupan
orang-orang beriman serta mendorong mereka memperdalam dan
menyempurnakan apa yang baru saja mereka mulai.17
Setelah mengkaji „spiritualitas‟, sekarang kita bias melangkah lebih lanjut dan
membahas istilah „spiritualitas Kristen‟. Bagi Kekristenan, spiritualitas berkaitan
dengan bagaimana menghayati penjumpaan dengan Yesus Kristus. Istilah
„spiritualitas Kristen‟ menunjuk pada cara bagaimana kehidupan Kristen dipahami
dan bagaimana praktek-praktek devosi secara eksplisit telah dikembangkan untuk
membantu menumbuhkan dan melanggengkan hubungan dengan Kristus. Maka
dari itu, spiritualitas Kristen mungkin bisa dipahami sebagai cara bagaimana
orang-orang Kristen sebagai pribadi maupun sebagai kelompok-kelompok
berusaha memperdalam pengalaman mereka tentang Tuhan atau dengan istilah
lain „mengamalkan kehadiran Tuhan‟.18
Menurut Alister E. McGrath, spiritualitas Kristen dapat dianggap sebagai
upaya untuk mempertemukan dan mengorelasikan seperangkat keyakinan teologis
di satu sisi dengan serangkaian faktor pribadi dan institusional yang sangat
spesifik di sisi lainnya. Sebagian orang memulai dari teologi dan berusaha
mengorelasikannya dengan pengalaman pribadi mereka. Sebagian lagi justru
17 Alister E. McGrath, Spiritualitas Kristen (Medan : Bina Media Perintis, 2007),
3.
18
Ibid., 3.
10
menemukan bahwa pengalaman mereka menimbulkan sejumlah pertanyaan dan
permasalahan yang menuntut informasi dari refleksi teologis. Intinya adalah
bahwa hal ini merupakan suatu proses korelasi yang memiliki arti sentral dalam
spiritualitas. Spiritualitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dideduksi dari aneka
presuposisi teologis. Spiritualitas juga bukan sesuatu yang sepenuhnya
disimpulkan dari pengalaman kita. Spiritualitas muncul dari suatu sintesis dinamis
dan kreatif dari iman dan kehidupan yang ditempa dalam tanur peleburan hasrat
kita untuk menghayati iman Kristen secara otentik, bertanggung jawab, efektif,
dan sepenuh-penuhnya.19
Orang-orang Dayak sebelumnya sudah memiliki sistem kepercayaan, yakni
Kaharingan. Dalam kepercayaan kaharingan sikap religius bukan pengabdian
kepada Tuhan Yang Esa melainkan kepada suatu panteon yang terdiri dari banyak
sekali roh dan nenek moyang yang ajaib. Sikap religiusnya jangan disebut
animisme. Istlilah ini tidak sesuai dengan kenyataan. Teori ini mengemukakan
tentang asal mula berkembangnya agama sebagai hasil pengalaman manusia yang
menyimpulkan adanya daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda
tertentu ataupun pada gejala-gejala tertentu. Lalu benda atau gejala itu dipuja
orang. Gejala-gejala alam yang mempunyai daya hidup atau kekuatan penghidup,
misalnya sungai yang mengalir dengan deras dan penuh gemuruh, gunung yang
tinggi, kilat atau petir yang menyambar, dan sebagainya. Gejala alam dan benda-
benda tertentu tidak dilihatnya sebagai daya hidup atau kekuatan penghidup,
namun sebagai hierofani. Artinya di zaman kejadian purba roh-roh telah
menampakan diri dalam gejala alam tertentu. Tempat penampakan adalah tempat
keramat.20
19 Ibid., 12.
20
M. Coomans, Manusia Daya : Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta : Gramedia,
1987), 88.
11
Orang-orang Dayak percaya bahwa dengan melakukan ritual-ritual pada
tempat keramat tersebut dapat memberikan keberkahan bagi mereka. Dalam
kepercayaan dayak ada sebuah ritual yang dinamakan Tiwah. Tiwah adalah ritual
yang mengarahkan jiwa manusia ke “langit ke tujuh” setelah menyelesaikan
eksistensi mereka di dunia ini. Sepanjang perayaan tiwah, persembahan kurban
diberikan kepada jiwa-jiwa yang ditinggalkan untuk memberi mereka perjalanan
menuju alam sorgawi. Dan juga untuk memastikan kenyamanan mereka saat tiba
di rumah baru mereka.21
3. Hasil Penelitian.
3.1. Gambaran Kehidupan warga suku Dayak jemaat GPIB Bajem “Bukit
Zaitun” Air Durian dan Sekitarnya.
Untuk dapat melakukan penelitan, penulis terjun langsung ke lapangan,
berbincang dan mewawancari secara lansung para narasumber. Jemaat mayoritas
GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian adalah jemaat bersuku Dayak. GPIB
Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian termasuk dalam wilayah GPIB “Ekklesia” Air
Upas. Sebelum dimandirikan, wilayah yang sekarang menjadi wilayah GPIB
“Ekklesia” Air Upas ini menjadi satu dengan wilayah GPIB “Bethesda” Marau.
Saat penulis melaksanakan penelitian di GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian.
Penulis banyak berinteraksi dengan warga suku Dayak Air Durian asli. Mata
pencaharian jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian adalah petani karet
dan sawit, di samping itu ada juga yang berprofesi sebagai guru, kuli, dan
berwirausaha seperti berdagang.
Saat di lapangan, penulis mendapatkan banyak informasi dan keluhan tentang
kebudayaan Dayak asli Air Durian yang kian hari semakin menghilang dan
kondisi mereka yang semakin terpinggirkan. Bapak Iyus Daryanto
mengungkapkan bahwa ritual dan acara-acara adat sudah jarang ditemukan. Hal
ini disebabkan karena masyarakat Suku Dayak Air Durian sudah mulai
meninggalkan kebudayaan mereka. Barang-barang antik peninggalan leluhur yang
21
Anne Schiller, Small Sacrifices : Religious Change and Cultural Indentity among The
Ngaju of Indonesia. (New York : Oxford University Press, 1997) , 3.
12
biasanya dipakai untuk acara kebudayaan dijual untuk keperluan keseharian
mereka.22
Begitu juga dengan pandangan bapak Riwan. Banyak warga suku dayak
yang memiliki barang antik dengan mudahnya menjual barang tersebut jika
sedang terhimpit kebutuhan ekonomi. Beliau berpendapat bahwa warga suku
Dayak Air Durian tidak memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau memberikan
contoh jika mereka membutuhkan sepeda motor, mereka rela menjual tanah
dengan harga yang murah. Dengan cara seperti ini maka makin hari warga suku
Dayak akan semakin terpinggirkan.23
Selama melakukan penelitian di wilayah
GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian, penulis juga merasakan hal yang sama.
Selama tiga bulan di sana, penulis hanya sekali menemukan acara adat. Air
Durian adalah desa dan Air Upas adalah kecamatanya. Penulis mendapatkan
semua toko-toko besar di Air Upas dikuasai oleh pendatang-pendatang. Bukan
hanya toko-toko tetapi juga sudah banyak tanah-tanah yang dikuasai oleh
pendatang. `
Selama melakukan penelitian di GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian,
penulis sekaligus melakukan pelayanan di sana. Selama di sana penulis
memperhatikan di setiap peribadahan, warga jemaat yang berasal dari suku Dayak
Air Durian sering datang bersama keluarganya. Bukan hanya keluarga inti seperti
suami, istri dan anak-anak tetapi juga bersama paman, nenek dan kakek. Penulis
memperhatikan kebanyakan dari mereka jika dalam satu keluarga, ada salah satu
anggota keluarga mengikuti salah satu gereja di sana, anggota keluarga mereka
yang lain akan mengikut. Apalagi yang bergereja itu adalah orang tua mereka atau
sosok yang dituakan.
Rasa solidaritas dan kepedulian jemaat GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian
terhadap gereja amat tinggi. Contohnya saat menjelang perayaan natal. Untuk
mempersiapkan acara natal, seluruh warga jemaat bahu-membahu
mempersiapkannya. Mulai dari merapikan halaman gereja, membangun tenda,
22 Wawancara dengan Bapak Iyus Daryanto Majelis Jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun”
Air Durian, pada hari Selasa tanggal 22 Desember 2016 pukul 20.30 wib.
23
Wawancara dengan Bapak Riwan Majelis Jemaat GPIB Bajem Bajem “Bukit Zaitun”
Air Durian, pada hari Sabtu tanggal 1 Desember 2016 pukul 19.20 wib.
13
dekorasi gereja sampai masak memasak. Semuanya mereka lakukan dengan
semangat dan tanpa imbalan apa-apa.
GPIB dapat tumbuh dan berkembang di wilayah Air Durian dan sekitarnya
seperti saat ini adalah buah hasil dari perjuangan pendeta-pendeta terdahulu.
Kisah perjuangan pendeta yang paling sering terdengar adalah cerita perjuangan
pelayanan Pendeta Urbanus. Menurut cerita yang penulis dengar dari seorang
Majelis GPIB Bajem “Imanuel” Lipat Gunting yakni bapak Frans Yafet sosok
Pendeta Urbanus adalah sosok pendeta yang pekerja keras. GPIB Bajem
“Imanuel” Lipat Gunting termasuk wilayah GPIB “Ekklesia” Air Upas. Saat
Melakukan pelayanan, pendeta Urbanus melayani puluhan pos-pos. jarak pos-pos
tersebut tidaklah berdekatan belum ditambah lagi medan yang begitu sulit, seperti
jalan setapak yang terjal dan berbatu batu. Tetapi pendeta Urbanus selalu berusaha
untuk melakukan pelayanan. Selain itu pendeta Urbanus sering menghadapi
pencobaan dari orang-orang sekitar. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah
saat seorang Dukun mencobai Tuhan melalui pendeta Urbanus. Dukun tersebut
meminta pendeta Urbanus untuk menebang pohon sesembahan Suku Dayak.
Konon menurut cerita setempat pohon itu memiliki kekuatan magis, banyak
warga sekitar datang dan meminta kepada pohon tersebut keberkahan dan
terkabulkan. Dan konon pula jika pohon itu tidak berkenan maka orang yang
menyentuhnya saja dapat meninggal. Tetapi pendeta Urbanus menyanggupi hal
tersebut dan menebangnya. Konon saat pendeta Urbanus menebang pohon
tersebut turun angin yang besar tetapi pendeta Urbanus tetap bertahan. Dan dari
cerita itu banyak orang-orang Dayak sekitar menjadi percaya dan tertarik untuk
bergereja di GPIB.24
Berikut adalah hasil wawancara dari beberapa jemaat asli GPIB “Bukit
Zaitun” Air Durian. Narasumber yang pertama adalah bapak Nikodemus Nyihip.
Beliau adalah mantan Penatua pertama di GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian.
Kini beliau sudah tidak menjadi penatua dikarenakan umurnya yang sudah lanjut.
Tetapi pelayananya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Hendri yang kini
telah menjadi Majelis. Menurut penuturan bapak Nikodemus Nyihip beliau
24 Wawancara dengan Bapak Frans Yafet Majelis Jemaat GPIB Bajem Bajem “Imanuel”
Air Durian, pada hari Jumat tanggal 7 Januari 2017 pukul 17.40 wib.
14
bangga bergereja di GPIB dikarenakan GPIB peduli terhadap keberadaan
jemaatnya terkhususnya jemaat di tempatnya. Beliau menceritakan bahwa gereja
pernah membagikan baju-baju bekas secara gratis pada jemaat. Beliau juga
bangga pada GPIB karena GPIB adalah gereja yang menghormati kebudayaan dan
adat-istiadat Dayak di Air Durian. GPIB adalah gereja pertama yang berinisiatif
melakukan kerja bakti membersihkan dan merapikan makam-makam kuno suku
Dayak Air Durian. Selain itu beliau juga senang dengan Pendeta-pendeta yang
selama ini melakukan tugas pelayanan di GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian
dikarenakan sangat dekat dengan jemaat, selalu datang kerumah jemaat untuk
bersenda gurau.25
Narasumber yang kedua adalah bapak Iyus Daryanto, beliau adalah Majelis
GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian. Dari hasil wawancara denganya, bapak Iyus
Daryanto menuturkan alasannya bergereja di GPIB dikarenakan ia sudah
bergereja sejak ia kecil dan merasa nyaman di GPIB. Beliau juga menambahkan
alasan karena Yesus yang adalah kepala gereja GPIB yang memberikan
keselamatan. meskipun banyak gereja sekitar mengajarkan hal yang sama, beliau
tidak berniat berpindah gereja karena sudah merasa nyaman dengan GPIB. Selain
itu alasannya juga karena struktur gereja yang jelas, merangkul adat-istiadat dan
membaur dengan masyarakat. Contohnya jika ada acara-acara adat. Gereja juga
menjadwalkan untuk mengikuti acara-acara adat tersebut. Beliau mendapatkan
istri yakni ibu Miti Pradita yang adalah temannya dari sekolah Minggunya dulu.
Orang tua dari bapak Yus awalnya tidak beragama Kristen, lalu sempat masuk
gereja GPIB, tetapi kini sudah tidak pernah gereja lagi. Pertama kali beliau masuk
gereja dikarenakan ajakan dari pelayan sekolah minggu yakni bapak Diaz Kristadi
yang kini masih menjabat sebagai penatua di GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air
Durian. Sampai saat ini pak Iyus Daryanto masih setia bergereja di GPIB. Anak-
anak bapak Iyus dan ibu Miti yang bernama Tiuda dan Tiwi juga bergereja di
GPIB.26
25 Wawancara dengan Bapak Nikodemus Nyihip Jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air
Durian, pada hari Selasa tanggal 15 Desember 2017 pukul 19.30 wib.
26
Wawancara dengan Bapak Iyus Daryanto Majelis Jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun”
Air Durian, pada hari Selasa tanggal 4 April 2017 pukul 19.30 wib.
15
Narasumber yang ketiga adalah bapak Riwan. Bapak Riwan ini juga Majelis
GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian. Dalam kehidupan sehari hari bapak Riwan
berprofesi sebagi guru tingkat Sekolah Dasar (SD). Alasan bapak Penatua Riwan
bergereja di GPIB adalah karena gereja GPIB hadir bersama masyarakat dan
menerima kehadiran adat dan budaya. Menurutnya Pendeta-pendeta GPIB
membaur dengan adat, contohnya jika ada acara-acara adat seperti pernikahan dan
lain sebagainya, para Pendeta GPIB menyempatkan diri untuk hadir. Tidak
membatasi diri dengan menolak sesi dalam prosesi adat seperti meminum-
minuman keras. Yang menarik dari gereja GPIB menurut bapak Riwan adalah
GPIB yang selalu hadir di dalam pelayanan masyarakat dan pemerintah, bangsa
dan negara. Contohnya GPIB ikut berperan dalam kegiatan pelayanan pengobatan
massal dan juga selalu memberitahu pemerintah setempat jika melakukan
kegiatan, berkoordinasi dengan baik dengan pemerintah setempat. GPIB juga
membina perkembangan iman, keterampilan dengan cara mengadakan
penyuluhan, pelatihan dan pengobatan gratis oleh tim PelKes (Pelayanan dan
Kesaksian), UP2M (Unit Pembinaan dan Pemberdayaan Masyarakat), dan
kerjasama dalam bidang pendidikan melalui yayasan. Dengan hadirnya GPIB
bapak Riwan merasakan kehadiran Tuhan. Salah satu bukti kehadiran menurutnya
adalah saat ia dipakai Tuhan menjadi Penatua dan menjadi panitia Pesparawi
tingkat kabupaten dan provinsi tahun 2006 & 2007.27
Narasumber yang keempat adalah Majelis Nur Hamidah. Ibu Nur Hamidah
adalah adik dari bapak Riwan. Yang menarik menurut keterangannya, alasan
beliau bergereja di GPIB karena terpanggil. Disaat beliau berdoa meminta
penguatan dari Tuhan, beliau memperolehnya. Menurut ibu Nur Hamidah yang
menarik dari gereja GPIB adalah liturginya. Menurutnya liturgi liturgi GPIB lebih
khusuk dibandingkan liturgi gereja lain.28
Yang kelima adalah ibu Miti Pradita. Alasan ibu Miti yang adalah istri dari
bapak Iyus Daryanto tidaklah berbeda jauh dengan penuturan bapak Iyus
27 Wawancara dengan Bapak Riwan Majelis Jemaat GPIB Bajem Bajem “Bukit Zaitun”
Air Durian, pada hari Selasa tanggal 12 September 2017 pukul 18.30 wib.
28
Wawancara dengan Ibu Nur Hamidah Majelis Jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air
Durian, pada hari Selasa tanggal 12 September 2017 pukul 19.30 wib.
16
Daryanto. Beliau menuturkan alasannya bergereja di GPIB dikarenakan sudah
bergereja di GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian sejak kecil. Perbedaannya dengan
bapak Iyus Daryanto adalah alasan Ibu Miti ditambah dengan hadirnya kedua
orang tuanya yang sampai saat ini aktif bergereja di GPIB.29
Narasumber yang terakhir adalah Kristina. Kristina adalah jemaat anggota
Pelayanan Kategorial Gerakan Pemuda (Pelkat GP). Alasan Kristina bergereja
GPIB adalah adanya kenyamanan yang ia rasakan saat beribadah di GPIB. Ia
merasa nyaman dengan tatacara peribadahannya. Selain itu juga disebabkan
karena ayah dan ibunya sudah lama bergereja di GPIB. Dia juga menuturkan rasa
bangganya terhadap jemaat GPIB yang dinilainya memiliki solidaritas yang tinggi
untuk saling tolong menolong. Di samping itu Kristina menceritakan
pengalamannya dimana dia merasakan kehadiran Tuhan melalui gereja GPIB.
Suatu ketika keluarga ditimpa masalah berat yang mengakibatkan keluarganya
terpecah belah. Saat kejadian itu menerpa, ia selalu datang ke persekutan-
persekutuan dan didoakan secara terus menerus oleh pendeta, majelis dan jemaat
dan pada akhirnya keluarganya dapat hidup rukun kembali.30
4. Analisis Hasil Penelitian. Kehidupan Bergereja Suku Dayak Air Durian
dalam Diskursus Sosial-budaya dan Spiritual.
Pada bagian ini penulis akan mengalisis secara satu persatu dari hasil
wawancara lapangan dengan teori Sosial Budaya, teori tindakan dan teori
Spiritualitas. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang akurat.
Penulis mengategorikan watak warga suku Dayak berdasarkan kerangka
Clyde Kluckhorn. Menurut hemat saya warga suku Dayak termasuk dalam
kategori warga yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Pada
kerangka Kluckhorn yang ketiga tentang masalah mengenai hakikat dari
kedudukan manusia dalam ruang waktu. Di sana dikatakan warga suatu
kebudayaan yang serupa itu tidak akan memusingkan dan memikirkan zaman
yang lampau maupun zaman yang akan datang . Mereka hidup menurut keadaan
29 Wawancara dengan Ibu Miti Pradita Jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian,
pada hari Selasa tanggal 4 April 2017 pukul 20.30 wib.
30 Wawancara dengan Kristina Jemaat GPIB Bajem “Bukit Zaitun” Air Durian, pada hari
Selasa tanggal 12 September 2017 pukul 19.30 wib.
17
yang ada pada masa sekarang ini.31
Hal ini terlihat dari keberadaan budaya di Air
Durian yang sudah jarang dilakukan. Kebudayaan mereka mulai bergeser seiring
dengan modernisasi. Begitu juga dari cerita bapak Frans Yafet mengenai
perjuangan pelayanan Pendeta Urbanus yang membuat cukup banyak warga suku
Dayak tertarik bergereja di GPIB. Dari cerita itu terlihat bahwa orientasi mereka
adalah masa sekarang. Di kala pohon sesembahan berhasil ditebang oleh Pendeta
Urbanus, mereka beralih percaya kepada Tuhan melalui GPIB yang diberitakan
Pendeta Urbanus dan melupakan pohon sesembahan. Selain itu menurut hemat
saya warga suku Dayak Air Durian memiliki kebudayaan yang lebih
mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya. Menurut
kerangka Kluckhorn kelima yang membahas mengenai masalah hakikat manusia
dengan sesamanya. Di sana Kluckhorn menyatakan bahwa orang dalam suatu
budaya serupa itu akan amat merasa tergantung kepada sesamanya, dan usaha
untuk memelihara hubungan baik dengan tetanganya dan sesamanya merupakan
hal yang dianggap amat penting dalam hidup.32
Hal ini terlihat dari pernyataan
narasumber yang diwawancarai. Beberapa diantaranya menyatakan alasan mereka
bergereja adalah karena orang-tua mereka juga bergereja di GPIB Air Durian.
Seperti pernyataan dari Bapak Iyus Daryanto, ibu Miti Pradita dan Kristina.
Selama saya melaksanakan penelitian di Air Durian, saya juga melihat banyak
warga jemaat yang datang bersama dengan keluarga mereka untuk beribadah.
Dari cerita yang disampaikan oleh bapak Frans Yafet, penulis menganalisis
orang-orang suku Dayak tertarik untuk bergereja di GPIB oleh karena pristiwa
pelayanan Pendeta Urbanus ini didorong rasa pemenuhan kepuasan bagi mereka.
Menurut Talcott Parson dalam teori tindakannya mengungkapkan bahwa seorang
aktor akan memilih atau berkomitmen untuk memilih pilihan budaya di antara
objek yang dapat diakses berkenaan dengan potensi kepuasan mereka.33
Dari
cerita ini orang-orang Dayak tertarik kepada GPIB karena GPIB membawa suatu
hal yang baru yang mampu menandingi kepercayaan mereka sebelumnya, yakni
31 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta : PT Gramedia,
1975), 36.
32 Ibid.
33
Talcott Parsons, Toward a General Theory of Action. (London : Oxford University Press,
1951), 11.
18
pohon sesembahan yang ditebang oleh Pendeta Urbanus. Selain itu pohon
sesembahan juga menjadi media unuk meminta keberkahan. Menurut hemat saya,
selayaknya seorang Pendeta, pastilah Pendeta Urbanus juga mengajarkan tentang
berdoa untuk meminta kepada Tuhan. Hal ini makin menguatkan alasan warga
suku Dayak tertarik untuk bergereja di GPIB. Dengan ditebangnya pohon
sesembahan oleh Pendeta Urbanus mengindikasikan bahwa sistem kepercayaan
yang dibawa Pendeta Urbanus lebih kuat daripada pohon sesembahan. Dari hal ini
juga mengindikasikan bahwa daya pemenuhan permintaan lebih besar melalui
sistem kepercayaan yang dibawa oleh Pendeta Urbanus dari pada daya pohon
sesembahan. Dari pilihan ini warga Dayak yang menyaksikan atau mendengar
cerita ini akan tertarik untuk bergereja di GPIB.
Begitu pula dengan hasil wawancara lainnya. Dari hasil wawancara bapak
Nikodemus terlihat bahwa gereja GPIB telah berhasil memberikan kepuasan
kepadanya. Menurut penuturannya ia tersentuh dengan sikap gereja GPIB yang
menghormati kebudayaan dan adat istiadat suku Dayak dengan berinisiatif
melakukan kerja bakti membersihkan dan merapikan makam-makam kuno suku
Dayak Air Durian. Pendeta-pendeta ramah yang senantiasa berkunjung
kerumahnya dan kebijakan gereja yang memperhatikan jemaat, contohnya
membagi-bagikan baju gratis pada jemaat.
Tidak berbeda jauh dengan pernyataan bapak Nikodemus, alasan bapak Riwan
tetap bergereja di GPIB dikarenakan puas dengan kehadiran GPIB. Beliau puas
karena GPIB adalah gereja yang membaur dengan adat istiadat Dayak, contohnya
para pendetanya tidak menolak sesi minum-minuman keras saat prosesi adat. Jika
ada perayaan adat selalu berusaha menyempatkan diri, berhubungan baik dengan
pemerintah setempat dan memiliki program-program gereja yang
menyejahterakan jemaat seperti pengobatan gratis dari tim PelKes (Pelayanan dan
Kesaksian) dan bantuan kesejahteraan dari UP2M (Unit Pembinaan dan
Pemberdayaan Masyarakat).
Dari hasil wawancara, penulis menyimpulkan spiritualitas di kalangan jemaat
GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian sudah ada dan tumbuh berkembang. Contohnya
pernyataan dari bapak Iyus Daryanto, ia menyatakan alasannya tetap bergereja di
19
GPIB dikarenakan adanya keselamatan dari Yesus yang adalah kepala gereja
GPIB. Kepercayaan Yesus adalah jalan keselamatan sama seperti kepercayaan
gereja-gereja di sekitar GPIB “Bukit Zaitun” Air Durian. Dari penyataan ibu
Nurhamidah dan Kristina juga menyinggung aspek spiritualitas. Menurut teori
spiritualitas Alister E. McGrath sebagian orang memulai dari teologi dan berusaha
mengkorelasikannya dengan pengalaman pribadi mereka.34
Pernyataan bapak Yus
masuk dalam kategori orang tersebut. Sedangkan dari pernyataan ibu Nurhamidah
dan Kristina masuk dalam kategori orang-orang menemukan bahwa pengalaman
mereka menuntut informasi dan refleksi teologi. Karena menurut pernyataan
mereka, mereka merasakan suatu pengalaman terlebih dahulu yang akhirnya
membuat mereka lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
5. Kesimpulan dan Saran.
5.1 Kesimpulan.
Suku Dayak Air Durian adalah suku yang terbuka untuk siapa saja dan apa
saja. Orang-orang Dayak Air Durian juga mudah menerima perubahan. Hal yang
yang baik dan menguntungkan bagi mereka dapat dengan mudah mereka terima.
Seperti halnya kekristenan yang dibawa oleh misionaris awal GPIB di sana.
Alasan warga suku Dayak bergereja di GPIB dikarenakan GPIB hadir menjawab
kebutuhan mereka baik dari sisi kerohanian tetapi juga kebutuhan keseharian
mereka. Program-program GPIB seperti pengobatan gratis, pengadaan benih
tanaman dan penyuluhan-penyuluhan amat membantu mereka. Selain itu yang
paling utama adalah karena misionaris awal dan pendeta-pendeta terdahulu
sampai sekarang bekerja dengan baik. Mereka berhasil membina mental dan
kerohanian jemaat hingga seperti sekarang. Meskipun GPIB tidak memiliki
hubungan apa-apa dengan kebudayaan Dayak tetapi dengan kehadiran gereja
GPIB yang memperhatikan keberadaan jemaatnya, merangkul kebudayaan
setempat, berjuang melakukan pelayanan yang sesuai dengan konteks jemaat
dimana gereja GPIB berdiri. Hal ini membuat gereja GPIB diterima dan
berkembang di lingkungan suku Dayak terutama Dayak Air Durian.
34 Alister E. McGrath, Spiritualitas Kristen (Medan : Bina Media Perintis, 2007),
12
20
5.2 Saran.
Saran bagi gereja adalah agar selalu mengembangkan program-program
pelayanan jemaat di pedalaman. Seperti program Pelayanan dan Kesaksian dan
program Unit Pembinaan dan Pemberdayaan Masyarakat. Kedua program ini
amat bermanfaat bagi kehidupan jemaat di pedalaman. Selain dari pada hal
tersebut, melihat kondisi kebudayaan Dayak Air Durian yang sudah mulai
menghilang, penulis menyarankan agar gereja GPIB berinisiatif untuk
melestarikan kebudayaan Dayak Air Durian. Contoh konkretnya seperti
memfasilitasi keberlangsungan acara adat Dayak jemaat, selama acara adat
tersebut tidak bertolak belakang dengan norma-norma dan pandangan kekristenan.
Dengan adanya bantuan semacam itu akan membantu warga jemaat suku Dayak
terkhususnya Air Durian untuk melestarikan budaya mereka. Selain itu penulis
juga memiliki saran agar membuat ibadah-ibadah kreatif yang bertemakan adat
Dayak dan menggunakan bahasa Hulu, bahasa asli suku Dayak.
21
Daftar Pustaka.
a. Buku.
Coomans, Mikhail. Manusia Daya : Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta :
Gramedia, 1987.
Dove, Michael R. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam
Modernisasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Engel, Jacob D. Metodologi Penelitian Sosial & Teologi Kristen. Salatiga: Widya
Sari, 2005.
Florus, Paulus, Sephanus Djuweng, John Bamba, dan Nico Andasputra.
Kebudayaan Dayak : Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: Gramedia,
1994.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XIX:
Pemahaman Iman GPIB. Jakarta: Majelis Sinode, 2010.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XX:
Pemahaman Iman & Akta Gereja. Jakarta: Majelis Sinode, 2015.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XIX:
Pokok-pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja
(PKUPPG). Jakarta: Majelis Sinode, 2010.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XX:
PKPUPPG & Grand Design PPSDI. Jakarta: Majelis Sinode, 2015.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XX:
Tata Ibadah, Musik Gereja dan Pakaian Liturgis. Jakarta: Majelis Sinode,
2015.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XIX:
Tata Ibadah GPIB. Jakarta: Majelis Sinode, 2010.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XIX:
Tata Gereja GPIB. Jakarta: Majelis Sinode, 2010.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, Ketetapan persidangan sinode XX:
Tata Gereja. Jakarta: Majelis Sinode, 2015.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta : PT
Gramedia, 1975.
Koentjaraningrat. Pengantar antropologi. Jakarta : Rineka Cipta, 2003.
Lontoh S. W, dan Jonathans. Bahtera Guna Dharma Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat. Jakarta: Majelis Sinede XII Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat, 1981.
22
Manuarti, Yerti. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta : LKiS, 2004.
McGrath, Alister E. Spiritualitas Kristen. Medan : Bina Media Perintis, 2007.
Niebuhr, Richard. Christ And Culture. New York : Harper Torchbook, 1956.
Newbigin, Lesslie. Injil dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2006.
Parson, Talcott. Toward a General Theory of Action. London : Oxford University Press,
1951.
Schiller, Anna. Small Sacrifices : Religious Change and Cultural Indentity among
The Ngaju of Indonesia. New York : Oxford University Press, 1997.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
van Kooij, Rijnardus A, Sri Agus Padnaningsih, Yam’ah Tsalatsa.Menguak Fakta,
Menata Karya Nyata : Sumbangan Teologi Praktis dalam Penarian Model
Pembangunan Jemaat Kontekstual. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010.
Wiranata, I Gede A.B. Antropologi budaya. Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2002.
Widiarto, Tri. Dasar-dasar antropologi budaya. Salatiga : FKIP Sejarah-UKSW,
2000.
WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Frans Yafet 7 Januari 2017, pukul 17.40 wib
Wawancara dengan Bapak Nikodemus Nyihip 15 Desember 2016, pukul 19.30
wib.
Wawancara dengan Bapak Iyus Daryanto 22 Desember 2016, pukul 20.30 wib
dan 4 April 2017, pukul 19.30 wib.
Wawancara dengan Bapak Riwan 1 Desember 2016, pukul 19.20 wib dan 12
September 2017, pukul 18.30 wib.
Wawancara dengan Ibu Nur Hamidah 12 September 2017, pukul 19.30 wib.
Wawancara dengan Ibu Miti Pradita 4 April 2017, pukul 20.30 wib.
Wawancara dengan Saudari Kristina 12 September 2017, pukul 19.30 wib.