wahana hijau volume 3 no. 1 agustus 2007

61
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah ISSN 1858-4004 Volume 3, Nomor 1, Agustus 2007 DAFTAR ISI Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha dan Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kecamatan Medan Belawan Lindawati Hal. 1 – 8 Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah dalam Mendukung Aktivitas Pengembangan Wilayah di Kota Medan (Studi Kasus: Kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka) Yuanita F.D. Sidabutar Hal. 9 – 17 Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah di Kota Binjai Tuti Hidayati Hal. 18 – 28 Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik pada Pemanfaatan Lahan Irigasi Bajayu Langau, Paya Lombang di Kabupaten Serdang Bedagai Randi Gunawan Hal. 29 – 41 Kontribusi Pasar Mingguan (Onan) terhadap Perekonomian Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Kecamatan Air Batu Kabupaten Asahan Dwi Prawoto Hal. 42 – 49 Wilayah Kecamatan Ulee Kareng Dampak dari Bencana Gempa dan Tsunami Tahun 2004 Cut Driska Hal. 50 – 57 WAHANA HIJAU Volume 3 Nomor 1 Hal.: 1 – 57 Medan, Agustus 2007 ISSN: 1858-4004

Upload: lamanh

Post on 12-Jan-2017

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

117

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah

ISSN 1858-4004 Volume 3, Nomor 1, Agustus 2007

DAFTAR ISI

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha dan Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kecamatan Medan Belawan Lindawati

Hal. 1 – 8

Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah dalam Mendukung Aktivitas Pengembangan Wilayah di Kota Medan (Studi Kasus: Kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka) Yuanita F.D. Sidabutar

Hal. 9 – 17

Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah di Kota Binjai Tuti Hidayati

Hal. 18 – 28

Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik pada Pemanfaatan Lahan Irigasi Bajayu Langau, Paya Lombang di Kabupaten Serdang Bedagai Randi Gunawan

Hal. 29 – 41

Kontribusi Pasar Mingguan (Onan) terhadap Perekonomian Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Kecamatan Air Batu Kabupaten Asahan Dwi Prawoto

Hal. 42 – 49

Wilayah Kecamatan Ulee Kareng Dampak dari Bencana Gempa dan Tsunami Tahun 2004 Cut Driska

Hal. 50 – 57

WAHANA HIJAU Volume 3 Nomor 1 Hal.: 1 – 57 Medan, Agustus 2007 ISSN: 1858-4004

Page 2: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELUANG BERUSAHA DAN KEGIATAN EKONOMI RUMAH TANGGA ISTRI

NELAYAN PEKERJA DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN

Lindawati Alumnus PWD SPs USU

Abstract: Marine resource is potential to improve the welfare of fisherman, but in the contrary the fisherman is still live under the poverty line. The study is aimed to analyse the economic activity of the fisherman’s wife using logit model including factors affecting income simultanously. Income significantly influenced by non fishing working hours and cost. While the fisherman’s income significantly influenced by working hours in fishing sector. Keywords: vacancy and fisherman’s economic activity

PENDAHULUAN Sumber daya perikanan sebenarnya secara potensial dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan nelayan, namun pada kenyataannya masih cukup banyak nelayan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Seharusnya dengan kemajuan teknologi peralatan penangkapan ikan dapat membantu para nelayan untuk meningkatkan jumlah tangkapan ikannya, tetapi karena harga alat-alat penangkapan tersebut cukup mahal, tidak terjangkau oleh mereka dan akibatnya mereka hanya menggunakan alat yang sederhana saja di dalam kegiatan usahanya mencari ikan di laut. Dengan alat tangkap yang sederhana tentunya jumlah ikan yang diperoleh akan sangat terbatas jika dibandingkan dengan para nelayan bermodal kuat yang mampu memiliki kapal-kapal penangkap ikan yang besar maupun peralatan-peralatan modern. Menurut Todaro (1985) agar kebijakan untuk menghapus kemiskinan berhasil, maka harus ada usaha meningkatkan status kaum perempuan. Usaha tersebut harus mempertimbangkan kesempatan pendidikan dan lapangan kerja. Sejalan dengan pendapat tersebut maka perlu adanya peningkatan peran serta kaum perempuan nelayan sebagai faktor produksi dan juga sebagai penunjang dalam peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan yang secara keseluruhan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan kaum perempuan nelayan. Hal ini merupakan cara yang paling baik untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Peranan istri nelayan dalam ekonomi rumah tangga nelayan cukup besar. Istri

nelayan ternyata cukup produktif dalam mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun demikian, untuk mengurangi tingkat kemiskinan di daerah penelitian, usaha produktif istri nelayan belum didayagunakan dan diintensifkan secara optimal, sebagai lokomotif atau penggerak ekonomi bagi rumah tangga nelayan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana kegiatan ekonomi istri nelayan pekerja; 2)Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi peluang dan pengembangan usaha produktif istri nelayan pekerja; dan 3) Bagaimana curahan kerja dan pendapatan istri nelayan pekerja mempengaruhi kegiatan ekonomi rumah tangga istri nelayan pekerja. METODE Lokasi Penelitian dilakukan secara sengaja (purposif), di mana kecamatan yang dipilih adalah kecamatan yang berada di wilayah pesisir di Kota Medan yaitu Kecamatan Medan Belawan. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu dengan mencari istri nelayan yang bekerja secara produktif dengan kriteria suami mereka bekerja sebagai nelayan buruh. Dengan pertimbangan ini penulis mengambil 70 orang responden. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peluang istri nelayan dalam melakukan usaha produktif baik dalam mengolah ikan atau melakukan pekerjaan lainnya, maka kita menggunakan analisis model logit. Model logit didasarkan pada fungsi peluang kumulatif logistik (Pyndyck dan Rubenfeld, 1981).

Page 3: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

2

Pi = F (Yi) = F (α + β xi ) ( )xieze iβα+−+

=−+

=1

1

1

1

di mana: Pi = Peluang istri nelayan untuk

mengolah ikan xi = Peubah penjelas yang sudah

diketahui nilainya e = Bilangan natural ( ≈ 2.718) β = Nilai parameter yang diduga HASIL Keadaan Nelayan Untuk menutupi kebutuhan rumah tangga banyak nelayan melakukan kegiatan di luar sektor, khususnya oleh anggota keluarganya seperti mengolah ikan, berdagang, buruh, dan lain-lain sebagainya. Dari segi sosial ekonomi keadaan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan Kelurahan Belawan Bahari rata-rata berpendidikan rendah (SD), keterampilan kurang memadai, modal usaha kecil, dan pendapatan rendah. Sedangkan dari segi teknologi mereka umumnya masih tergolong tradisional di mana usahanya bersifat turun temurun dengan menggunakan perahu motor yang daerah penangkapannya masih di sekitar pantai.

Kondisi Tempat Tinggal Istri nelayan di samping sebagai ibu

rumah tangga juga sangat menentukan dalam mengurus keluarga termasuk mengurus tempat tinggal (rumah). Karena faktor kemiskinan maka sekitar 85 persen kondisi tempat tinggal keluarga nelayan pada umumnya belum memadai, di mana ukuran rumah sempit (35 m2), lantai rumah 67 persen masih beralaskan papan, dinding rumah umumnya dari sisa olahan kayu dan dari bambu, dan atap rumah umumnya masih dari daun rumbia dan sedikit sekali yang menggunakan seng sebagai atap rumah (15 persen) dari rumah tangga responden. Sedangkan sisanya sekitar 15 persen keluarga nelayan kondisi tempat tinggal ditinjau dan segi kesehatan sudah memadai dan layak huni. Profil Kegiatan Produktif Istri Nelayan Pekerja

Kegiatan produktif istri nelayan dalam memperoleh pendapatan beragam, baik dalam kegiatan yang berhubungan dengan usaha perikanan dan di luar perikanan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 1.

Tabel 1. Ragam Kegiatan Usaha Produktif Istri Nelayan di Dua Kelurahan Penelitian Tahun 2007

Kelurahan No. Uraian Kegiatan Bagan Deli Belawan Bahari

Jumlah (orang)

Persen(%)

1. 2.

Sektor Perikanan a. Pengolah ikan asin/teri

kering b. Dagang ikan asin/teri kering c. Pengumpul kerang d. Dagang ikan segar e. Buruh usaha perikanan Luar Sektor Perikanan a. Penjahit b. Usaha warung/kios c. Usaha kue d. Buruh cuci

1

0

2 1

16

1 12 2 1

9

1

2 0

12

0 5 0 5

10

1

4 1

28

1 17 2 6

14,29 1,43 5,71 1,43 40,00 1,43 24,29 2,86 8,60

Jumlah 35 35 70 100,00 Sumber: Diolah dari Data Primer.

Page 4: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Lindawati: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha...

3

Tabel 2. Pendapatan Rumah Tangga Sektor Perikanan dan Sektor Non Perikanan Tahun 2007

Usaha Sektor Perikanan Usaha Sektor Non perikanan Anggota Keluarga (Rp/tahun) (%) (Rp/tahun) (%) Suami Istri Nelayan

5.930.110 5.907.760

50,09 49,91

740.570 5.091.640

12,70 87,30

Jumlah 11.837.870 100,00 5.832.210 100,00 Sumber: Diolah dari Data Primer.

Tabel 3. Pendapatan Istri Nelayan dari Kegiatan Produktif di Dua Kelurahan Nelayan Tahun 2007

No. Uraian Kegiatan Pendapatan (Rp/tahun) Persentase

1. 2.

Sektor Perikanan a. Pengolah ikan asin b. Dagang ikan asin c. Pengumpul kerang d. Dagang ikan segar e. Buruh usaha perikanan Luar Sektor Perikanan a. Penjahit b. Usaha warung/kios c. Usaha kue d. Buruh cuci

18.747.000 17.850.000 3.948.800

15.300.000 5.286.400

6.120.000 12.075.800 11.690.000 3.420.000

19,85 18,90 4,18

16,20 5,60

6,48 12,79 12,38 3,62

Jumlah 94.336.000 100 Sumber: Diolah dari Data Primer

Tabel 4. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Istri Nelayan untuk Mengolah Ikan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai

Dugaan Nilai Wald

Test Odd Ratio Signifikan

Pendapatan Istri Usaha Perikanan (PIUP) Pendapatan Istri Usaha Non Perikanan (PINP) Pendapatan Suami (PS) Dummy Bantuan Modal (DBM) Konstanta

0,738 -25,159 -0,299 0,336 -7,364

5,990 0,000 0,856 0,010 6,220

2,092 0,000 0,742 1,399 0,001

0,014 0,985 0,355 0,921 0,013

Pendapatan Suami (Nelayan) Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pendapatan suami tetap sebagai penentu utama dalam keluarga nelayan. Pendapatan suami yang terbanyak diperoleh dan usaha sektor perikanan, karena mengingat usaha sektor perikanan terutama melaut merupakan pekerjaan pokok bagi nelayan. Dalam setahun ada bulan dan hari tertentu nelayan tidak terlalu aktif turun ke laut yaitu pada musim barat pada bulan Desember-Februari, dan setiap hari Jumat. Maka pada saat waktu luang tersebut nelayan mencari pekerjaan lain untuk sekedar

memperoleh penghasilan seperti buruh bangunan, tukang ojek. Tetapi pekerjaan di luar sektor perikanan ini sedikit sekali yang mereka kerjakan. Pada Tabel 2 hasil yang mereka peroleh selama setahun adalah Rp 740.570 (12,70 persen) dari total pendapatan rumah tangga. Pendapatan Istri Nelayan Pada Tabel 3 tampak bahwa kegiatan produktif usaha mengolah ikan asin memberikan kontribusi pendapatan yang tertinggi yaitu Rp 18.747.000 (19,85 persen) dari berbagai sumber pendapatan istri.

Page 5: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

4

Besarnya pendapatan tersebut membuktikan usaha mengolah ikan asin mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai usaha agroindustri rumah tangga, tidak terkecuali usaha-usaha produktif lainnya seperti usaha ikan segar dan usaha dagang ikan. Sedangkan di luar sektor perikanan, tampak bahwa usaha warung kecil-kecilan menjadi alternatif yang dapat diandalkan. Peluang Pengembangan Usaha Dalam model logit ini dilihat peluang Istri nelayan untuk mengolah ikan menjadi ikan asin atau melakukan usaha lainnya. Dengan SPSS Versi 13 maka didapat hasil pendugaan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat diinterpretasikan bahwa dari empat variabel bebas yang diduga mempengaruhi peluang seorang istri untuk mengolah ikan, ternyata hanya konstanta dan variabel pendapatan istri usaha perikanan yang signifikan secara statistik. Angka Signifikansi menunjukkan konstanta 0,013 dan pendapatan istri usaha perikanan 0,014 di mana masing-masing nilainya di bawah 0,05. Penafsiran regresi dengan variabel dependen binary adalah dengan pendekatan probabilitas. Nilai dugaan (parameter) untuk variabel pendapatan istri usaha perikanan adalah 0,738 artinya istri yang mempunyai pendapatan pada usaha perikanan berpengaruh kepada peluang untuk mengolah ikan. Nilai odds ratio yang terdapat pada tabel yaitu 2,092 artinya peluang istri nelayan untuk mengolah ikan untuk istri bekerja pada sektor perikanan adalah 2,092 kali daripada yang lain. Pengujian dengan model penuh dengan 4 variabel bebas dibanding model hanya dengan konstanta terbukti secara statistik

dapat dipercaya. Ini terbukti dari Chi-Square (4, N=70)= 47,363 yang signifikan dengan p<0,01 yang memberikan indikasi bahwa sejumlah variabel penjelas mampu melihat peluang untuk mengolah ikan secara meyakinkan. Kemampuan prediksi model bagus, dengan tingkat sukses total 97,1 persen. Peluang istri dalam mengolah ikan asin mampu diprediksi secara benar 90 persen dan peluang usaha lain sekitar 98,3 persen. Menilai keseluruhan model (overall model fit) dilihat dari angka -2 Log Likelihood di mana pada awal (Block Number = 0) bernilai 57,416 sedangkan pada Block Number = 1 turun menjadi 10,054. Penurunan ini menunjukkan model regresi yang lebih baik (Santoso, 2005). PEMBAHASAN Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja

Hasil dugaan model ekonometrika persamaan simultan dengan metode 2 SLS (Two Stage Least Square) pada SPSS Versi 13 menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) persamaan pada kisaran antara 0,37–0,953 dan nilai statistik F berkisar antara 9,458-331,247.

1. Curahan Kerja Istri Usaha Perikanan Dari Tabel 5 didapat hasil dugaan di mana dari enam variabel penjelas sesuai yang diduga mempengaruhi Curahan kerja Istri Usaha Perikanan hanya variabel curahan kerja istri non perikanan dan penghasilan suami yang berpengaruh secara signifikan.

Tabel 5. Hasil Pendugaan Persamaan Curahan Kerja Istri Usaha Perikanan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai Dugaan t-hitung Signifikansi Konstanta Curahan kerja istri non perikanan pendapatan Istri Usaha Perikanan Pendapatan Suami Usia istri Jumlah bayi di bawah tiga tahun Tingkat pendidikan istri R2 Fhit

2708,944 -0,665 29,135

-79,855 -8,837 69,062

-58,324

0,606 16,117

4,542 -6,500 1,603

-2,044 -0,667 0,550

-0,240

0,000 0,000 0,114 0,045 0,507 0,584 0,811

0,000

Page 6: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Lindawati: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha...

5

Tabel 6. Hasil Pendugaan Persamaan Curahan Kerja Istri Usaha Non Perikanan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai Dugaan t-hitung Signifikansi Konstanta Curahan kerja istri usaha perikanan Pendapatan istri non perikanan Pendapatan suami Jumlah tanggungan keluarga R2 Fhit

3368,676 -1,389 46,761

-88,235 -11,348

0,810

69,381

7,452 -8,913 3,188

-2,509 -0,224

0,000 0,000 0,002 0,015 0,824

0,000

Tabel 7. Hasil Pendugaan Persamaan Pendapatan Istri Usaha Perikanan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai Dugaan t-hitung Signifikansi

Konstanta Curahan kerja istri usaha perikanan Upah kerja istri sektor perikanan Pengalaman kerja istri Biaya usaha perikanan R2 Fhit

-0,299 0,001 0,597

-0,007 0,427

0,953

331,427

-0,738 3,786 6,639

-0,154 20,725

0,463 0,000 0,000 0,878 0,000

0,000 2. Curahan Kerja Istri Sektor Non

Perikanan Curahan kerja istri sektor non perikanan

merupakan fungsi curahan kerja istri usaha perikanan (CIUP), pendapatan istri sektor non perikanan (PINP), penghasilan suami (PS), dan jumlah tanggungan keluarga (JTK). 3. Pendapatan Istri Usaha Perikanan

Pendapatan istri sektor perikanan (Tabel 7) menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,953, artinya keragaman dari pendapatan istri sektor perikanan dapat dijelaskan oleh curahan kerja istri sektor perikanan (CIUP), upah kerja istri sektor perikanan (UIP), pengalaman kerja (PKJI), biaya usaha perikanan (BUP) sebesar 95,3 persen.

Berdasarkan nilai uji statistik uji-t ada tiga variabel penjelas yang berpengaruh terhadap penerimaan istri sektor perikanan yaitu curahan kerja istri sektor perikanan, upah istri dan biaya usaha perikanan.

4. Pendapatan Istri Usaha Non perikanan

Penerimaan istri sektor non perikanan dipengaruhi oleh curahan kerja istri non

perikanan (CINP), upah kerja istri non perikanan (UINP), pengalaman kerja (PKJI), biaya usaha istri sektor non perikanan (BINP), untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 8.

Proporsi keragaman pendapatan istri sektor non perikanan yang dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas tersebut adalah 94 persen, di mana koefisien determinasinya adalah 0,94. Curahan kerja istri sektor non perikanan berpengaruh positif, artinya semakin meningkat curahan kerja maka semakin meningkat pula tingkat pendapatan istri sektor non perikanan.

5. Pendapatan Suami Sektor Perikanan

Dengan melihat nilai stastistik uji-t dapat diketahui bahwa hanya ada satu variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan suami sektor-sektor perikanan yaitu curahan kerja suami sektor perikanan. Curahan kerja suami sektor perikanan bertanda positif, artinya semakin besar curahan kerja suami sektor perikanan maka semakin besar pendapatan yang diperoleh dari sektor perikanan.

Page 7: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

6

Tabel 8. Hasil Pendugaan Persamaan Pendapatan Istri Usaha Non Perikanan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai Dugaan t-hitung Signifikansi Konstanta Curahan kerja istri usaha non perikanan Upah kerja istri sektor non perikanan Pengalaman kerja istri Biaya usaha non perikanan R2 Fhit

-1,417 0,004 0,126 -0,026 0,260 0,94 255,200

-2,972 6,797 0,463 -0,374 7,109

0,004 0,000 0,645 0,710 0,000 0,000

Tabel 9. Hasil Pendugaan Persamaan Pendapatan Suami Sektor Perikanan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai Dugaan t-hitung Signifikansi Konstanta Curahan kerja suami sektor perikanan Usia suami Pendapatan suami non perikanan Dummy bantuan modal R2 Fhit

-0,054 0,003 0,003 -0,222 -0,145 0,37 9,458

-0,038 5,834 0,144 -1,617 -0,280

0,970 0,000 0,886 0,111 0,780 0,000

Tabel 10. Hasil Pendugaan Persamaan Pendapatan Suami Sektor Non Perikanan (pada α = 5 persen)

Variabel Nilai Dugaan t-hitung Signifikansi Konstanta Curahan kerja suami sektor non perikanan Jumlah anak sekolah Usia Suami Pendapatan suami sektor perikanan R2 Fhit

1,668 0,002 -0,028 -0,018 -0,122 0,574 21,863

1,533 8,312 -0,219 -1,028 -0,871

0,130 0,000 0,828 0,308 0,387 0,000

Dummy bantuan modal dan usia suami ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan suami sektor perikanan, hal ini karena sebagai kepala rumah tangga suami berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga sehingga usia dan bantuan modal tidak membuat suami menganggur di rumah. Sedangkan pendapatan suami non perikanan berpengaruh negatif artinya apabila ada tambahan pendapatan suami sektor non perikanan maka suami tidak melaut atau mengurangi kegiatan di sektor perikanan. 6. Pendapatan Suami Sektor Non Perikanan Pendapatan suami sektor non perikanan merupakan fungsi dari curahan kerja suami sektor non perikanan (CSNP), jumlah anak sekolah (JAS), usia suami (USS), dan

pendapatan suami sektor non perikanan (PSNP). Pada Tabel 10 persamaan dugaan parameter pendapatan suami sektor non perikanan menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,574. Ini menunjukkan bahwa 57,4 persen keragaman dari penerimaan suami sektor non perikanan dapat dijelaskan oleh curahan kerja suami sektor non perikanan, jumlah anak sekolah, usia suami, pendapatan suami sektor perikanan.

Curahan kerja suami sektor non perikanan memiliki tanda positif dan sangat berpengaruh, yang berarti bahwa semakin meningkat curahan kerja suami sektor non perikanan maka semakin meningkat pula pendapatannya di sektor non perikanan, karena tambahan jam waktu kerja akan

Page 8: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Lindawati: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha...

7

memberikan hasil pendapatan yang tinggi di sektor non perikanan. 7. Keterkaitan dengan Pengembangan

Wilayah Pemerintah sebagai fasilitator dalam pembangunan ekonomi rakyat seyogyanya melihat potensi daripada istri nelayan yang berpeluang dalam mengolah ikan. Dari hasil penelitian mengolah ikan asin memberikan kontribusi terbesar dalam pendapatan istri usaha perikanan, kemudian setelah itu berdagang ikan asin dan dagang ikan segar.

Melihat besarnya kontribusi pendapatan istri terhadap rumah tangga dalam usaha mengolah ikan maka hal ini sebaiknya menjadi perhatian besar pemerintah untuk membuat kebijakan yang berhubungan langsung dalam perekonomian masyarakat nelayan. Perencanaan-perencanaan yang dibuat hendaknya menyentuh langsung aspek ekonomi istri nelayan. Penyaluran modal yang disertai pembinaan, pelatihan, dan evaluasi hasil sebaiknya dilakukan pemerintah bersama-sama dengan rakyat. Sehingga kegiatan ekonomi yang hendak dilaksanakan oleh masyarakat (bottom-up policy) bertemu dengan program pemerintah (top-down policy). Hal ini merupakan wujud dari bentuk dan proses “pemberdayaan masyarakat” karena masyarakat sendirilah yang menggali potensi dirinya kemudian mengusulkan, mengelola program pemerintah dan mengevaluasi hasilnya. Peranan pemerintah dalam hal ini ikut melakukan pengawasan dan pembinaan agar program berjalan sesuai dengan jalurnya.

Kegiatan istri nelayan dalam mengolah ikan pada akhirnya dapat membantu mendukung pembangunan ekonomi regional, pemerataan pembangunan, pemberdayaan masyarakat pantai, dan mengurangi kemiskinan di lokasi pantai. Secara keseluruhan kegiatan istri nelayan dalam mengolah ikan membantu pengembangan wilayah di Kecamatan Medan Belawan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada umumnya istri nelayan bekerja di

sektor perikanan dengan tingkat persentase sebesar 62,86 persen, dan sebagian besar mereka adalah buruh usaha perikanan

dengan persentase sebesar 40 persen. Dari semua kegiatan produktif yang dilakukan istri nelayan, secara ekonomi usaha mengolah ikan mempunyai keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan usaha lain yang layak untuk dikembangkan dan diberdayakan.

2. Kontribusi curahan kerja dalam rumah dari tangga sektor perikanan terbesar oleh suami, sedangkan untuk sektor perikanan non perikanan curahan kerja istri lebih besar dibandingkan dengan suami dan anggota keluarga lain. Pendapatan suami dan pendapatan istri hampir berimbang di sektor perikanan, sedangkan pendapatan istri lebih besar dari suami di sektor non perikanan.

3. Peluang usaha istri nelayan untuk mengolah ikan secara signifikan hanya dipengaruhi oleh pendapatan istri sektor perikanan. Peluang istri nelayan untuk mengolah ikan untuk istri bekerja pada sektor perikanan adalah 2,092 kali daripada yang lain sedangkan probabilitas istri nelayan yang bekerja di sektor perikanan untuk mengolah ikan adalah 68 persen.

4. Hasil pendugaan model ekonometrika rumah tangga istri nelayan pekerja menunjukkan bahwa curahan kerja istri non perikanan dan pendapatan suami berpengaruh signifikan terhadap curahan kerja istri usaha perikanan. Sedangkan curahan kerja istri usaha perikanan, pendapatan suami dan pendapatan istri non perikanan berpengaruh secara signifikan terhadap curahan kerja istri non perikanan.

5. Pendapatan istri usaha perikanan secara signifikan dipengaruhi oleh curahan istri usaha perikanan, upah istri sektor perikanan dan biaya usaha perikanan. Pendapatan istri sektor non perikanan dipengaruhi secara signifikan oleh curahan kerja istri non perikanan dan biaya usaha non perikanan.

6. Pendapatan suami usaha perikanan dipengaruhi secara signifikan oleh curahan kerja suami usaha perikanan sedangkan pendapatan suami sektor non perikanan dipengaruhi secara signifikan oleh curahan kerja suami non perikanan.

Page 9: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

8

SARAN Untuk mengurangi tingkat kemiskinan dalam masyarakat nelayan dan meningkatkan peranan produktif istri nelayan, maka perlu dilakukan upaya: 1. Kegiatan di luar sektor perikanan seperti

menjahit dan membuat kue agar dibina lewat kegiatan pelatihan dan pendidikan. Hal ini untuk meningkatkan mutu dan produktivitas usaha yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan.

2. Sebaiknya pemerintah melakukan pengawasan yang ketat dalam rangka pemberian dana bantuan, karena pembagian bantuan tidak sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan tapi hanya sampai pada lingkaran orang-orang yang menyalurkan bantuan.

3. Pada penelitian lanjutan disarankan untuk meneliti curahan kerja anak, pendapatan anak dan pengeluaran rumah tangga secara keseluruhan dari rumah tangga nelayan untuk mendapatkan analisis yang lebih lengkap.

DAFTAR RUJUKAN Elinur, 2005. Analisis Sosial Ekonomi

Rumah Tangga Industri Produk Jadi Rotan di Kota Pekan Baru. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=283

Gujarati, Damodar. 1978. Ekonometrika

Dasar. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Nachrowi, Jalal dan Hardius Usman, 2005.

Penggunaan Teknik Ekonometrika. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hutajulu, A.T. 1985. Peranan Wanita dalam

Rumahtangga dan Masyarakat di Desa Wonosari, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang. Proyek Penelitian "Peranan Wanita pedesaan Dalam Pembangunan" Oleh Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, Kerjasama Dengan Universitas Sumatera Utara, Medan.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Metode Kuantitatif. Penerbit AMP YKPN, Yogyakarta.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics:

An Introductory Exposition of Econometric Methods. Second Edition. Harper And Row Publishers. Inc., New York.

Miftachuddin, 2003. Peluang Pengembangan

Usaha dan Keragaan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kabupaten Aceh Besar. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Pindyck, R. and D. Rubinfield. 1991.

Econometric Models and Economic Forecast. 3 rd Edition. Mc Graw Hill International Edition. Singapore.

Rochaeni, Siti dan Erna M. lokollo. 2005.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Ekonomi Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi.

Sajogyo dan Mukhtar Sarman. 2000.

Masalah Penangulangan Kemiskinan. Puspa Swara, Jakarta.

Santoso, Singgih. 2005. SPSS Statistik

Parametrik. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Todaro, M. 1988. Pembangunan Ekonomi di

Dunia Ketiga. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Page 10: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

9

PEMANFAATAN KEBERADAAN BANGUNAN BERSEJARAH DALAM MENDUKUNG AKTIVITAS PENGEMBANGAN

WILAYAH DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS: KAWASAN KESAWAN DAN LAPANGAN MERDEKA)

Yuanita F.D. Sidabutar

Alumnus PWD/PWK SPs USU

Abstract: Kesawan and Lapangan Merdeka areas are regarded of existence as representing the historical buildings in Medan City, with potentials from architectural point of view of the buildings and it is in this new area that new activity can emerge to re-live the atmosphere of environment and surroundings such as activities of business, facilities of entertainment, and tourism for community called “Kesawan Square and Merdeka Walk”. The results of the research indicate that (1) utilization of historical building existence in “Kesawan Square” and “Merdeka Walk” serves as “Open Museum” for peoples who want to improve their knowledges about inherited historical buildings in Medan city and to have sale worth from visualization perspective in introducing the architectural development historic values of the buildings, (2) the rapid development of building in “Kesawan Square” and “Merdeka Walk” rewuires the presence of preservation attempt either real preservation or conservation, thus it can be made as commercial asset for tourism activities, (3) labor, number of trade types, number of visitor, and service of visitors have significant effect in increasing the income of traders in “Kesawan Square” and “Merdeka Walk”, (4) Recently Kesawan Square and Merdeka Walk can be made as alternative to increase the native regional income through several collections, retribution gained because of this area is made as one of culinary centers in Medan City. Keywords: historical buildings, labors, number of trade, number of visitors, visitor service

PENDAHULUAN

Kota Medan saat ini telah mengalami kemajuan dan pembangunan yang sangat pesat. Sebagai pusat pemerintahan daerah Sumatera Utara, Medan tumbuh menjadi Kota Metropolitan dengan berpenduduk kurang lebih 2,5 juta jiwa. Sekarang Medan adalah kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan sangat dinamis dan selalu berbenah diri dalam menghiasi wajah kotanya. Selain bangunan-bangunan baru seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan, keistimewaan yang dimiliki Kota Medan menghidupkan aktivitas suasana kawasan bangunan bersejarah dan ruang terbuka (open space) yaitu Jalan Ahmad Yani (Kesawan) dan Jalan Balai Kota (Lapangan Merdeka).

Bagi daerah perkotaan, pelestarian sejarah dapat diperhatikan dari dua kondisi. Kondisi pertama, adalah lokasi atau bangunan

bersejarah. Kondisi kedua, adalah kawasan bersejarah yang mengandung sekumpulan bangunan indah, baik merupakan suatu kawasan yang diperindah dengan tanaman dan mempunyai arti sejarah suatu tempat di mana peristiwa bersejarah pernah terjadi. Nilai sejarah lainnya yang dilestarikan bisa juga berupa suatu contoh yang baik dari gaya arsitektur dalam komposisi komersial. Kawasan bersejarah harus mempunyai suatu karakter yang berbeda dan cukup berharga untuk dilestarikan (Gallion dan Eisner,1997).

Lokasi kawasan Kesawan adalah awal perkembangan Kota Medan modern yang mulai berdiri pada akhir abad XVI dan berkembang pada awal tahun 1800-an. Fungsi yang mendominasi dari kawasan ini adalah gabungan antara fungsi hunian (ruko) dan fungsi komersial (perbelanjaan/retail) dan perkantoran. Pada saat ini kawasan Kesawan sedang mengalami perubahan

Page 11: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

10

akibat adanya penggunaan fungsi bisnis yang sebagian terpusat di Jalan Ahmad Yani (Kesawan) dan Jalan Balai Kota (Lapangan Merdeka) sehingga di masa akan datang menjadi daerah yang makin berkembang.

Keadaan Kesawan pada siang hari disibukkan oleh aktivitas perkantoran, jasa dan komersial akan tetapi kegiatan rekreasi dan hiburan serta beberapa fasilitas yang mendukung tetap ada dari sore sampai malam harinya. Aktivitas malam hari ini disebut dengan “Kesawan Square”. Kesawan Square sejak diresmikan pada 15 Januari 2003, mulai pukul 18.00 WIB sampai 05.00 WIB kawasan yang terletak di sepanjang Jalan Ahmad Yani tertutup untuk lalu lintas kendaraan. Kesawan Square tempat rekreasi malam yang lengkap dengan pilihan wisata kuliner, pusat cinderamata dan berbagai atraksi kesenian daerah.

Ruang terbuka publik merupakan bagian dari pembangunan wilayah di perkotaan yang sangat penting untuk diperhatikan. Koridor “Kesawan Square” (Jalan Ahmad Yani) dan “Merdeka Walk” (Lapangan Merdeka) merupakan wilayah yang memiliki nilai historis yang tinggi, baik dari bangunan maupun lingkungannya sendiri. Perkembangan pembangunan yang pesat menuntut adanya suatu pelestarian baik preservasi maupun konservasi, sehingga hal ini dapat dijadikan suatu aset komersial bagi kegiatan wisata.

Pemerintah Kota Medan justru sekarang telah membuat berbagai aktivitas dalam pelestarian di kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka ini memperkuat bahwa bangunan bersejarah itu memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai citra kota. Aktivitas tersebut lebih condong kepada bisnis, yang bisa membantu pemerintah dalam penanggulangan pengangguran. Menurut Benny Iskandar, ST, MT, Kepala Seksi Tata Ruang di Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan, Pemerintah Kota Medan bekerjasama dengan pihak swasta dalam mengelola ”Kesawan Square” dan ”Merdeka Walk”. Pihak swasta tersebut antara lain Star Production mengelola Kesawan Square dan PT.Multiarta mengelola Merdeka Walk kemudian adanya perjanjian yang dikenal dengan BOT (Build Operate Transfer). Perjanjian ini diberi selama 20

tahun, setelah habis masanya bisa diganti total ataupun dapat diperpanjang. Walikota Medan pada tahun 2000 mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Medan dalam penyempurnaan Perda No. 6 Tahun 1988 mengenai pelestarian bangunan bersejarah dan lingkungan yang bernilai sejarah arsitektur kepurbakalaan serta penghijauan dalam daerah Kota Medan, ini menunjukkan bahwa kepedulian pemerintah dalam konsep pelestarian sangatlah tinggi. Khususnya perhatian pemerintah untuk kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka yang memiliki karakteristik tersendiri. METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik kawasan Kesawan dan kawasan Lapangan Merdeka dalam pemanfaatan/pelestarian bangunan bersejarah sehingga keberadaan-nya berpotensi terhadap aktivitas bisnis di “Kesawan Square” dan “ Merdeka Walk” serta untuk mengkaji sejauhmana faktor tenaga kerja, jumlah jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung berpengaruh terhadap pendapatan pedagang di ”Kesawan Square dan Merdeka Walk”. Metode analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. HASIL Stadia Perkembangan Kesawan dan Lapangan Merdeka 1. Stadia tahun 1590 – 1837 Pada stadia ini, keadaan kawasan Kesawan terdapat masih berupa areal sawah dan kedai berderet. Dan di sekitar areal tersebut juga masih merupakan hutan. Bangunan umum pertama adalah Mesjid Bengkok yang terdapat di Jalan Mesjid sekarang. 2. Stadia tahun 1838 – 1887 Pada stadia ini jalan setapak telah diperkeras dengan batu–batu dan rumah kedai semakin permanen tetapi masih memakai papan, di daerah Jalan Pemuda telah berdiri rumah–rumah tinggal. Pada 1880 inilah, Esplanade (Lapangan Merdeka) terbentuk. Dan Gereja yang pertama di bangun adalah Gereja Katedral yang dibangun pada tahun 1879 untuk keperluan ibadah umat Kristiani. Kemudian pada tahun

Page 12: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Yuanita F.D. Sidabutar: Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah...

11

1883 dibukalah jalur kereta api untuk jurusan Belawan–Medan–Deli Tua–Binjai. 3. Stadia tahun 1888 – 1912 Pada stadia ini, perkembangan yang cukup drastis terjadi di kawasan Kesawan dengan tersedianya kelengkapan fasilitas kota. Perubahan yang cukup drastis tersebut adalah jalan–jalan telah dibuka dan jalur kereta api telah ditambah oleh Belanda. Areal hutan telah berubah menjadi perkampungan seperti Perkampungan Dalam dan Kampung Sawahan.

4. Stadia tahun 1913 – 1937 Pada stadia ini, kawasan Kesawan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan munculnya berbagai macam-macam bentuk bangunan, yang berfungsi baru seperti bangunan tinggal sekaligus usaha (ruko), bangunan pemerintahan, perdagangan dan pusat–pusat hiburan.

5. Stadia tahun 1938 – 1962 Pada stadia ini, terjadi peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia yaitu kemerdekaan Indonesia yaitu tahun 1945. Kejadian ini juga mempengaruhi Kesawan, ditandai sebagai babak baru bagi arsitektur yang pada waktu itu didominasi arsitek Belanda. Terjadi perkembangan

teknologi dan ekonomi pada era modern. Bangunan-bangunan tersebut didirikan dengan fungsi yang beranekaragam. 6. Stadia tahun 1963 – 1995 Pada stadia ini, perkembangan Kesawan mulai ditandai dengan didirikannya bangunan yang relatif lebih tinggi, fasilitas yang dibutuhkan pada pusat kota semakin lengkap. Dengan didirikannya berbagai macam fungsi bangunan baik kantor–kantor pemerintahan swasta, dan hiburan. Ruang dan karakter arsitektur kawasan mulai terpelihara. 7. Stadia tahun 1996 – 2004 Pada stadia ini, perkembangan Kesawan ditandai dengan mulai didirikannya bangunan ruko sampai 5 lantai yang tidak mengikuti struktur tempat yang telah terbentuk dan merusak citra kawasan. Sekarang ini, bangunan tersebut ada difungsikan sebagai ruko dan sarang walet. Dan beberapa bangunan lama tersebut ada yang dirubuhkan dengan alasan keadaan interior bangunan yang sudah lembab serta bangunan tidak berbentuk konsep arsitektur modern sehingga dianggap ketinggalan zaman. Air dan pemasangan keramik pada arcade.

KESAWAN

LAPANGAN MERDEKA

MESJID BENGKOK

Sumber: Badan Warisan Sumatera (BWS) Medan.

Gambar 1. Kondisi Kesawan dan Lapangan Merdeka pada Tahun 1996 – 2002

Page 13: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

12

Sumber: Pemerintah Kota Medan, Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan, Foto Udara Kota Medan.

Gambar 2. Foto Udara Kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka pada Tahun 2007

Pada tahun 2002–sekarang ini, pada malam hari Kesawan dialih fungsikan sebagai pusat jajanan malam. Sehingga terdapat aktivitas yang menonjol pada malam hari. Aktivitas baru ini ditandai dengan didirikannya dua gerbang raksasa yang menandai secara tegas batas Kesawan. Terjadi penataan ulang dan penambahan lampu jalan, aksesoris, instalasi. 8. Stadia tahun 2005–2007 (sekarang) Pada tahun 2005–sekarang keadaan Lapangan Merdeka lebih ramai dan semarak dengan kegiatan rekreasi keluarga dan wisata kuliner yang disebut Merdeka Walk. Didukung pula dengan penataan landscape dan penerangan lampu jalan yang indah serta salah satu counter makanan siap saji buka 24 jam. Ini dapat mengubah pandangan masyarakat karena image masyarakat sebelum adanya Merdeka Walk merasa tidak nyaman (rawan terhadap kejahatan dan tindakan asusila) mengenai aktivitas di sekitar Lapangan Merdeka.

PEMBAHASAN 1. Identitas Responden Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, ada baiknya jika dipaparkan terlebih dahulu mengenai identitas responden dalam penelitian ini. Hal ini dipandang perlu karena setiap jawaban atau tanggapan yang diberikan oleh responden akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang responden yang bersangkutan, seperti: umur, pendidikan dan pekerjaan. Jenjang pendidikan responden terdiri dari lima tingkatan, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, tamat dari akademi (baik pada jenjang diploma tiga maupun diploma satu dan tamat dari perguruan tinggi (baik pada jenjang strata dua maupun strata satu). Dari 80 responden yang diteliti, sebanyak 3 (3,75%) responden berpendidikan SD, 4 (5%) responden berpendidikan SLTP, 49 (61,25%) responden berpendidikan SLTA, 7 (8,75%) berpendidikan diploma, dan 17 (21,25%) berpendidikan sarjana.

Page 14: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Yuanita F.D. Sidabutar: Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah...

13

Pekerjaan responden pada umumnya adalah pengusaha (6 orang dari responden pengunjung dan 40 orang dari responden pengusaha di Kesawan Square dan Merdeka Walk) dengan perincian sebagai berikut: dari 80 responden dalam penelitian ini sebanyak 46 (57,7%) adalah pengusaha, 13 (16,25%) pekerjaan sebagai karyawan swasta, 12 (15%) pekerjaan adalah sebagai pedagang, 4 (5%) pekerjaannya sebagai dosen, 3 (3,75%) pekerjaan sebagai pegawai negri sipil, 1 (1,25%) pekerjaan sebagai guru private dan 1 (1,25%) masih sebagai mahasiswa. 2. Faktor-Faktor yang Berpengaruh

terhadap Pendapatan Pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”

Pada subbab ini dibahas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk” adalah jumlah tenaga kerja, jumlah jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung yang memuaskan. Jumlah Tenaga Kerja Yang dimaksud dengan jumlah tenaga kerja adalah jumlah total keseluruhan orang yang bekerja di gerai makanan. Dan jumlah responden merupakan para pengusaha gerai makanan/pemilik yang menggaji/upah tenaga kerja tersebut. Mengenai tenaga kerja yang digunakan responden, terdiri dari satu hingga tujuh belas orang. Responden yang menggunakan tenaga kerja satu orang, delapan orang dan tujuh belas orang, masing-masing terdapat 5 persen. Responden yang menggunakan tenaga kerja dua orang dan enam orang sama-sama terdapat 10 persen. Yang menggunakan tenaga kerja tiga orang terdapat 25 persen, menggunakan tenaga kerja empat orang terdapat 7,5 persen sedangkan menggunakan tenaga kerja lima orang terdapat 22,5 persen. Selebihnya yang menggunakan tenaga kerja tujuh orang, dua belas orang, tiga belas orang dan empat belas dengan masing-masing terdapat 2,5 persen.

Jumlah Jenis Dagangan Jenis dagangan yang disajikan responden sangat bervariasi, seperti makanan berupa hidangan porsi berat: nasi, ikan panggang, ayam goreng, pizza, dan lain-lainnya. Hidangan porsi ringan: kentang goreng, dim sum, sate vegatarian, dan lain-lainnya, serta juga makanan ringan: roti, kue, dan krupuk. Selain makanan responden juga menyajikan minuman yang variasi dalam rasanya. Dari jumlah jenis dagangan yang didagangkan responden, minimal berjumlah sepuluh macam (item) dan maksimal berjumlah empat puluh lima macam. Responden yang memiliki jumlah jenis dagangan antara 10 hingga 15 macam berjumlah 35 persen. Responden yang menjual dagangan antara 16 hingga 20 macam berjumlah 27,5 persen. Sedangkan responden yang memiliki jenis dagangan antara 21 hingga 25 macam dan 31 hingga 35 macam masing-masing sama 10 persen. Responden yang memiliki 26 hingga 30 jenis dagangan serta yang memiliki 36 hingga 40 macam masing-masing berjumlah 7,5 persen. Dan responden yang memiliki jenis dagangan yang terbanyak 41 hingga 45 macam berjumlah 2,5 persen. Jumlah Pengunjung Jumlah pengunjung yang datang setiap hari untuk makan di gerai makanan responden paling sedikit terdapat sepuluh pengunjung dan pengunjung yang setiap hari paling banyak adalah lima puluh pengunjung. Responden yang menjawab banyaknya pengunjung yang datang untuk datang dan makan di gerai responden antara 10 hingga 20 orang per hari terdapat 62,5 persen. Yang menjawab 21 hingga 30 orang per hari terdapat 17,5 persen sementara responden yang mengatakan 41 hingga 50 orang per hari terdapat 12,5 persen. Dan responden yang mengatakan banyaknya pengunjung yang datang antara 31 hingga 40 orang per hari.

Pelayanan Pengunjung

Pelayanan yang diberikan oleh pihak pedagang “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk” kepada pengunjung juga dapat mempengaruhi minat pengunjung datang kembali lagi untuk berkreasi bersama

Page 15: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

14

keluarga dan menikmati wisata kuliner serta suasana sekitarnya. Pelayanan yang diberikan pihak pedagang “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk” kepada responden/pengunjung dengan tanggapan responden yang menjawab baik (ramah/komunikatif) sebanyak 52,5 persen dan responden/pengunjung yang menjawab pelayanan yang tidak baik (tidak ramah /tidak komunikatif) sebanyak 47,5 persen. Dengan demikian pelayan yang baik (ramah/komunikatif) dapat mempengaruhi minat pengunjung datang kembali lagi untuk berkreasi bersama keluarga dan menikmati wisata kuliner serta suasana sekitar “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”. 3. Pengujian Hipotesis Setelah menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”, maka selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis yang mengatakan “faktor-faktor jumlah tenaga kerja, jumlah jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung berpengaruh signifikan terhadap pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan analisis regresi berganda, menunjukkan bahwa koefisien determinasi (Adjusted R²) untuk model ini meyakinkan yakni sebesar 0,853 (hasil setelah di log). Artinya, terdapat 85,3 persen faktor pendapatan mampu dijelaskan oleh variasi himpunan variabel independen (yaitu tenaga kerja, jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung). Sedangkan sisanya (100%-85,3% = 14,7%) dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi penilaian ini. Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai F hitung signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen, dan t-hitung untuk variabel tenaga kerja, jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung juga berpengaruh signifikan. Hal ini memberikan gambaran bahwa model yang digunakan dalam analisis ini cukup baik untuk mengestimasi parameter variabel yang diikutsertakan dalam model. Untuk melihat signifikan koefisien regresi terhadap setiap variabel bebas dilakukan uji t. Dengan ketentuan : Ho = 0 ; H1 ≠ 0, jika t- hitung < t- Tabel maka Ho diterima, sebaliknya jika t-hitung > t-Tabel maka Ho ditolak.

Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis Regresi Berganda Antara Tenaga Kerja, Jenis Dagangan, Jumlah Pengunjung, dan Pelayanan Pengunjung dengan Pendapatan Pedagang

Variabel Koef. Regresi Stand. Error t-hitung Signifikan Intercept 6,060 0,083

Tenaga Kerja (X1)

0,516 0,052 9,923 0,000

Jenis Dagangan (X2)

0,123 0,048 2,562 0,015

Jumlah Pengunjung

(X3)

0,338 0,052 6,540 0,000

Pelayanan Pengunjung

(X4)

0,053 0,019 2,836 0,008

N = 40 R² = 0,853 F hit = 50,906

Sumber: Diolah dari data primer, 2007

Page 16: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Yuanita F.D. Sidabutar: Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah...

15

Secara parsial, pengaruh dari variabel tenaga kerja, jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung dapat diinterpretasikan sebagai berkut: 1. Tenaga Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan pada derajat satu persen dengan koefisien sebesar 0,516. Hal ini memberikan pengertian bahwa penambahan satu orang tenaga kerja akan menaikkan pendapatan sebesar 0,516 persen. Dengan taraf signifikan pada derajat kepercayaan 5 persen, maka variabel tenaga kerja menunjukkan signifikansi t-hitung (9,923) lebih besar daripada t-tabel (1,994).

2. Jumlah Jenis Dagangan Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah jenis dagangan berpengaruh positif dan signifikan pada derajat satu persen dengan koefisien sebesar 0,123. Hal ini memberikan pengertian bahwa penambahan satu jenis dagangan akan menaikkan pendapatan sebesar 0,123 persen. Dengan taraf signifikan pada derajat kepercayaan 5 persen, maka variabel jumlah jenis dagangan menunjukkan signifikansi t-hitung (2,562) lebih besar daripada t-tabel (1,994).

3. Jumlah Pengunjung Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah pengunjung berpengaruh positif dan signifikan pada derajat satu persen dengan koefisien sebesar 0,338. Hal ini memberikan pengertian bahwa penambahan satu orang jumlah pengunjung akan menaikkan pendapatan sebesar 0,338 persen. Dengan taraf signifikan pada derajat kepercayaan 5 persen, maka variabel jumlah pengunjung menunjukkan signifikansi t-hitung (6,540) lebih besar daripada t-Tabel (1,994).

4. Pelayanan Pengunjung Untuk variabel pelayanan pengunjung digunakan variabel dummy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pelayanan pengunjung berpengaruh secara positif dan signifikan pada derajat satu persen dengan koefisien sebesar 0,053. Hal ini memberikan pengertian bahwa ada perbedaan yang nyata antara pendapatan pengusaha dengan cara memberikan

pelayanan yang baik dengan yang tidak baik. Dengan taraf signifikan pada derajat kepercayaan 5 persen, maka variabel pelayanan pengunjung menunjukkan signifikansi t-hitung (2,836) lebih besar daripada t-Tabel (1,994).

Angka F hitung sebesar 50,906 pada taraf signifikan pada derajat kepercayaan 5 persen, karena probabilitasnya menunjukkan angka 0,000 yang jauh lebih kecil dari pada 0,05, maka model regresi ini dapat dipakai untuk memprediksikan pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”. Dengan kata lain bahwa tenaga kerja, jumlah jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan pedagang. Dengan melakukan perbandingan antara F hitung dengan F Tabel juga menunjukkan bahwa keempat variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. F hitung sebesar 50,906; sedangkan F Tabel adalah sebesar 2,80 dengan tingkat signifikansi pada derajat kepercayaan 5 persen, karena F hitung lebih besar dari pada F Tabel, maka Ho ditolak, berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara tenaga kerja, jumlah jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung dengan pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”. Dengan demikian baik diuji secara serentak maupun secara parsial, keempat variabel bebas (tenaga kerja, jenis dagangan, jumlah pengunjung dan pelayanan pengunjung) berpengaruh secara positif dan signifikan mempengaruhi terhadap pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk”. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Ditinjau dari aktivitas bisnis di

“Kesawan Square” dan “Merdeka Walk” yang diuji secara parsial maupun serempak, keempat variabel bebas, yaitu: variabel tenaga kerja (X1), variabel jumlah jenis dagangan (X2), variabel jumlah pengunjung (X3), dan variabel pelayanan pengunjung (X4) berpengaruh

Page 17: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

16

secara signifikan dalam meningkatkan pendapatan pedagang di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk” dengan taraf kepercayaan 95%.

2. Oleh karena itu, konsep pelestarian karakteristik kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka dengan aktivitas bisnis di “Kesawan Square” dan “Merdeka Walk” kiranya seimbang dan saling berpengaruh positif sehingga aset nasional dalam bentuk bangunan bersejarah penting dirawat bahkan dapat dijadikan salah satu unggulan sektor pariwisata di Sumatera Utara, terutama di Kota Medan.

SARAN 1. Untuk ke depannya diharapkan pemerintah

dapat menjalin kerja sama dengan pemilik bangunan agar tidak merubah bangunan lama/bersejarah dimaksud sehingga menjadi semacam “Museum Terbuka” bagi menambah ilmu masyarakat khususnya di dunia pendidikan arsitektur.

2. Kepada pemilik bangunan agar lebih siap menerima bahwa bangunan atas kepemilikan pribadi itu sudah menjadi bentuk dan konsumsi masyarakat dalam mengamati suatu sejarah perkembangan kota. Selain itu sebagai wujud nyata yang masih tertinggal dalam perkembangan arsitektur kota khususnya “kawasan Kesawan” dan “kawasan Lapangan Merdeka” Medan.

3. Kepada penelitian yang berminat melanjutkan penelitian ini kiranya dapat mendalami faktor-faktor yang masih memungkinkan untuk dikaji. Supaya konsep pelestarian bangunan dan suatu kawasan bersejarah/lama dapat digunakan sebagai aset nasional dan mendatangkan keuntungan bagi negara maupun pemerintah Kota Medan.

DAFTAR RUJUKAN Aldwin, Surya. 2006. Perubahan Sosial

Masyarakat Kota Metropolitan, Medan: Kopertis Wilayah I NAD-Sumut.

Adisti Maritadinda Adamar. 2005.

Perancangan Ruang Terbuka Publik Lama Kesawan, Medan. Jakarta: Tugas Akhir Universitas Trisakti.

Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2006. Kecamatan Medan Barat Dalam Angka, Medan.

Bachtiar Hassan Miraza. 2005. Perencanaan

dan Pengembangan Wilayah,. Bandung: ISEI Bandung.

Datter, Richard, FAIA. 1995. Civil Architecture,

The New Public Infrastructure. Eko Budihardjo. 1992. Arsitektur dan Kota

di Indonesia, Bandung: Alumni. Gothfried, Herbert, dan Jan Jenning. 1988.

American Vernaculer Design 1870-1940, Iowa State University Press.

Hasti Tarekat. 2002. ”Efektifitas Peraturan

Daerah No. 6 Tahun 1988 Tentang Perlindungan Bangunan Bersejarah Dalam Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Medan”. Medan: Tesis Magister PWK-USU.

Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan

Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Yogyakarta. Andi Offset.

Ismail Seraggeldin. 1999. Very Spesial Places:

The Architecture and Ecomomics of Intervening in Historis Cities. Washingthon, D.C The Worls Bank.

Lubis, Hendra. 1990. Arahan Kebijaksanaan

Pelestarian di Kawasan Jakarta Kota, Bandung: Tugas Akhir Jurusan Teknik Planologi ITB.

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah

Tingkat II Medan No. 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan.

Purbayu Budi Santosa dan Ashari, 2005.

Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS, Yogyakarta. Andi Offset.

Page 18: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Yuanita F.D. Sidabutar: Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah...

17

Rustam Hakim. 2006. Unsur Perancangan dalam Arsitektur Landsekap, Jakarta. Bumi Aksara.

Rypkema, Donovan. The Economics of

Heritage Conservation, A paper Presented at ”Capacity Building Training in Heritage Consevation”. Bangka and Palembang 3- 9 July 2005.

Seminar Arsitektur angkatan IX. 1995.

Deskripsi Warisan Arsitektural Kota Medan, Medan. Universitas Katholik ST. Thomas, SU.

Sinaga, Rumandap dkk. 1995. Deskripsi

Warisan Arsitektural Kota Medan, Medan Seminar Arsitektur Angkatan XI Semester IX T.A 1994/1995.

Sinulingga, Budi D. 1999. Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal, Jakarta. Sinar Harapan.

Sibarani, J.P. Martin. 2002. ”Pengendalian

Kawasan Pelestarian Kota Lama di Kawasan Kesawan, Medan”. Bandung: Tesis Magister Rancang Kota ITB.

Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan

Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi. Medan. Bumi Aksara.

Page 19: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

18

PEKERJA SEKTOR INFORMAL DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BINJAI

Tuti Hidayati

Alumnus PWD SPs USU

Abstract: Increasing in population has significant influence on supply of labour, as well as demand of labour. The excess of labour supply will cause informal sector. The study is intended to analyse the influence of labour in informal sector such as; daily work hour, working capital, working experince, education level dan types of business on labour’s income and the influence of informal sector on regional development in Binjai municipality. Descriptive and multiple regression method are used to analyse the data. The age of labour range between 31 to 50 years old while senior high school is dominant education level. The study also shows that working capital, education level, average working hours, work experience dan type of business have positive influence on income. It is also revealed that informal sector has positive impact on regionel development process in Binjai municipality. Keywords: informal sector, regional development

PENDAHULUAN

Pertambahan penduduk yang tinggi di perkotaan telah berdampak pada jumlah penawaran tenaga kerja, jika tidak diimbangi dengan permintaan tenaga kerja akan menambah terjadinya pengangguran. Untuk mempertahankan hidup, mereka akhirnya masuk ke sektor informal.

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2004 di Sumatera Utara terdapat pekerja Informal sebesar 63,9 persen sedangkan pada tingkat nasional pekerja sektor informal mencapai 65,8 persen dari total pekerja. Data ini menunjukkan bahwa sektor informal masih mendominasi jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara maupun di Indonesia.

Jumlah pekerja informal pada tahun 2005 mencapai 61 juta orang atau 64 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Angka tersebut meningkat dari waktu ke waktu karena penyerapan tenaga kerja di sektor formal tidak signifikan. Jumlah angkatan kerja mencapai tidak kurang dari 105,8 juta orang. Tetapi yang bekerja hanya sekitar 94,9 juta orang. Setiap enam bulan jumlah penganggur baru bertambah sebesar 600.000 orang. Itu berarti bahwa sebagian dari yang bekerja dari tambahan pekerja baru diserap oleh sektor informal. Sektor ini sejak dulu berperan sebagai penyangga, baik pada masa normal maupun pada masa krisis (Rachbini, 2006).

Rachbini juga menyebutkan ciri dari sektor informal adalah upah atau gaji yang

tidak tetap, rendah, serta tidak cukup memadai. Produktivitasnya tidak maksimal karena sektor informal tidak menggunakan teknologi atau peralatan modern. Keterampilan tenaga kerja kurang berkualitas relatif dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor formal.

Konsep sektor informal pertama kali diistilahkan oleh Keith Hart pada tahun 1971, seorang antropolog Inggris melalui penelitian di Kota Accra dan Nima, Ghana. Menurut Hart perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri.

Penelitian Charles (1997) menunjukkan bahwa pendapatan beberapa pedagang sektor informal lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak terampil dan oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka lebih suka bertahan di sektor informal sebagai pedagang dari pada menjadi pekerja yang tidak terampil.

Menurut Hadjisaroso (1994), pengembangan wilayah merupakan suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah atau kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Sedangkan menurut Jayadinata (1992), mengemukakan pengembangan wilayah adalah memajukan atau memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada.

Page 20: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Tuti Hidayati: Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah...

19

Berbagai program pembangunan dilakukan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, di mana pembangunan tersebut harus berlandaskan pada pengertian sebagai pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Sasaran pengembangan wilayah harus diterjemahkan dari tujuan pembangunan nasional. Di mana tujuan pembangunan daerah harus konsisten dengan tujuan nasional yang umumnya terdiri atas: a. Mencapai pertumbuhan pendapatan per

kapita yang cepat. b. Menyediakan kesempatan kerja yang

cukup. c. Pemerataan pendapatan. d. Mengurangi perbedaan antara tingkat

pendapatan, kemakmuran, pembangunan serta kemampuan antardaerah.

e. Membangun struktur perekonomian agar tidak berat sebelah (Hadjisaroso, 1994).

Penelitian Idris (2003) studi tentang

Pekerja di Bawah Umur Sektor Informal Perkotaan. Hasil studi menunjukkan bahwa umumnya mereka tamat sekolah dasar, sebagian tidak lagi berada di bangku sekolah dan tidak menamatkan pendidikan dasar. Secara umum jumlah jam kerja rata-rata per hari dan status pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan.

Hasil penelitian Harsiwi (2003) “Dampak Krisis Ekonomi terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima” menunjukkan bahwa usaha pada umumnya dikelola sendiri cukup dengan satu orang tenaga kerja artinya pedagang kaki lima cenderung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian pedagang kaki lima ini sebenarnya salah satu ciri sektor informal perkotaan. Mereka mayoritas berjualan rata-rata jumlah jam kerja 12 jam karena waktu tersebut telah dianggap cukup untuk berusaha di sektor ini. Sebagian besar pedagang kaki lima menggunakan modal sendiri sebagai modal usahanya sehingga dapat dikatakan dalam melakukan usahanya pedagang kaki lima tidak membutuhkan modal yang relatif besar dan tidak perlu meminta bantuan orang/pihak lain. Sebagian besar pedagang kaki lima mendapatkan pendapatan bersih rata-rata yang cukup tinggi yaitu mencapai lebih dari Rp.300.000,-

sehingga dapat dimengerti apabila sebagian besar pedagang kaki lima cukup kerasan bekerja di sektor informal ini.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk melihat profil pekerja sektor informal; menganalisis faktor-faktor jam kerja rata-rata per hari, modal kerja, pengalaman usaha, tingkat pendidikan, dan jenis usaha yang mempengaruhi pendapatan pekerja sektor informal; dan menguraikan kaitan sektor informal terhadap pengembangan wilayah di Kota Binjai. METODE Penelitian di lakukan di Kecamatan Binjai Kota dan Binjai Utara, dengan menggunakan sumber data primer dari responden dan data sekunder dari instansi terkait. Populasi penelitian adalah pedagang makanan dan minuman pada malam hari yang berada di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Sutomo Binjai. Jumlah sampel 40% dari populasi yaitu sebanyak 44 responden yang dipilih secara sistematik. Metode Analisis 1. Untuk melihat profil pekerja sektor

informal digunakan analisis diskriptif. 2. Untuk melihat pengaruh rata-rata jam

kerja per hari, modal kerja, pengalaman usaha, tingkat pendidikan responden dan jenis usaha terhadap pendapatan digunakan analisis regresi linier berganda.

eXXXXXY ++++++= 55443322110 ββββββ Di mana: Y : Pendapatan responden (dalam

satuan rupiah) X1 : Rata-rata jam kerja per hari (dalam

satuan jam) X2 : Modal Kerja (dalam satuan rupiah) X3 : Pengalaman usaha (dalam satuan

tahun) X4 : Pendidikan (variabel dummy: tidak

sekolah/tamat SD, SD, SLTP = 0; SLTA, S1= 1)

X5 : Jenis Usaha (variabel dummy: substitusi nasi (makanan berat) = 1; makanan ringan/minuman = 0)

0β : Konstanta

1β .. 5β : Koefisien regresi e : Error term

Page 21: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

20

3. Untuk melihat kaitan pekerja sektor informal terhadap pengembangan wilayah dilakukan analisis deskriptif.

HASIL Gambaran Umum Kota Binjai Kota Binjai secara geografis berada pada 3o31’40”-3o40’2” Lintang Utara dan 98o27’3”-98o32’32” Bujur Timur dan terletak 28 m di atas permukaan laut. Luas wilayah 90,23 km2 yang terdiri dari 5 kecamatan dan 37 kelurahan.

Profil penduduk sering dijadikan indikator dalam pembangunan karena penduduk memegang peranan dalam pembangunan di mana dapat menjadi modal pembangunan dan dapat menjadi beban pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dengan kualitas yang baik dapat menjadi modal pembangunan, namun akan menjadi beban pembangunan bila kualitasnya rendah. Data kependudukan sangat diperlukan terutama terkait dengan pilar PWD yaitu ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Penduduk Kota Binjai pada tahun 2005 sebanyak 237.904 jiwa, 52.531 rumah tangga dan kepadatan penduduk 2.637 jiwa/km2. Jika dilihat menurut kelompok umur, penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 65,41 persen. Hal ini memberikan indikasi bahwa penduduk di Kota Binjai

mempunyai modal pembangunan yang sangat besar karena penduduknya didominasi oleh penduduk yang berusia produktif. Tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi penghambat dalam pembangunan. Dengan pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas dan mandiri yang akan mengisi peluang-peluang pembangunan. Tingkat pendidikan masyarakat Kota Binjai dominan sudah tamat SLTA. Persentase penduduk yang tamat SLTA sebesar 32,88 persen, diikuti oleh tamat SLTP sebesar 23,03 persen, tamat SD sebesar 21,83 persen. Sedangkan tamat D1 sampai S1 sebanyak 5,44 persen, namun masih cukup banyak penduduk Kota Binjai yang tidak tamat SD atau tidak bersekolah yang mencapai 16,83 persen. Angkatan kerja di Kota Binjai untuk penduduk yang berumur 15 tahun ke atas mencapai 88.271 jiwa dengan penduduk yang bekerja sebanyak 65.577 jiwa dan mencari kerja 22.694 jiwa. Penduduk Kota Binjai yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja telah didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTA yang mencapai 43,55 persen, diikuti oleh yang berpendidikan SLTP sebanyak 21,27 persen, tamat SD sebesar 18,55 persen.

Tabel 1. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Kepadatan Penduduk, dan Sex Rasio Menurut Kecamatan di Kota Binjai Tahun 2005

Kecamatan Luas (km2 )

Rumah Tangga Penduduk

Rata-rata Penduduk per

Rumah Tangga (jiwa)

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)

Sex Rasio

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Binjai Selatan 29,96 9.966 43.920 4 1.466 99,68

2. Binjai Kota 4,12 7.991 35.155 4 8.533 101,66

3. Binjai Timur 21,70 11.668 50.702 4 2.336 100,64

4. Binjai Utara 23,59 14.377 68.841 5 2.918 100,17

5. Binjai Barat 10,86 8.529 39.286 5 3.617 100,34

Total 90,23 52.531 237.904 4 2.637 100,43 Sumber: Binjai Dalam Angka 2006.

Page 22: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Tuti Hidayati: Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah...

21

Tabel 2. Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas Menurut Jenis Kegiatan dan Jenis Kelamin Tahun 2005

Kegiatan Utama Laki-laki Perempuan Total (1) (2) (3) (4)

Angkatan Kerja 59.657 28.164 88.271 - Bekerja 46.139 19.422 65.577 - Mencari Kerja 13.518 9.192 22.694 Bukan Angkatan Kerja 22.775 52.039 74.814 - Sekolah 7.714 7.858 15.599 - Mengurus Rumah Tangga 955 36.027 36.890 - Lainnya 14.106 8.154 22.325

Sumber: BPS Kota Binjai.

Tabel 3. Profil Pekerja Sektor Informal

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

75% 25%

Umur (tahun)

21 – 30 31 – 40 41 – 50 50 +

15,91 % 45,45 % 22,73 % 15,91%

Status perkawinan Belum Kawin Kawin Cerai

18,18 % 79,55 % 2,27 %

Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA Sarjana

13,64 % 34,09 % 45,45 % 6,82 %

Etnis/Suku Padang Jawa Melayu Dll.

45,46 % 18,18 % 11,36 % 25,00 %

Status Domisili Pendatang Asli

13,64 % 86,36 %

Jumlah Tanggungan (orang) 0 1 – 2 3 - 4 5 - 6 7 - 8

15,91 % 13,64 % 45,45 % 18,18 % 6,82 %

Pendidikan Bapak Tidak sekolah/Tidak tamat SD SD SLTP SLTA

18,18 % 47,73 % 11,36 % 22,73 %

Pendidikan Ibu Tidak sekolah/Tidak tamat SD SD SLTP SLTA

13,64 % 68,18 % 6,82 % 11,36 %

Pekerjaan Bapak Pertanian Konstruksi Perdagangan Angkutan Jasa

25,00 % 4,55 % 52,27 % 6,82 % 11,36 %

Sumber: Data Primer.

Page 23: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

22

Lapangan usaha yang dominan di Kota Binjai dalam menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa.

Perkembangan pembangunan yang terjadi di Kota Binjai terlihat dari peningkatan nilai PDRB Kota Binjai dari tahun 2000 hingga tahun 2005. PDRB atas dasar harga berlaku Kota Binjai tahun 2005 mencapai 2,3 trilyun rupiah (1,68 persen dari total PDRB Sumatera Utara sebesar 136,9 trilyun rupiah) sedangkan PDRB atas dasar harga konstan mencapai 1,4 trilyun rupiah. PDRB per kapita sebesar 9.708.101,25 rupiah.

Profil Pekerja Sektor Informal di Kota Binjai

Keterangan mengenai profil atau karakteristik responden mengenai jenis kelamin, umur, status pernikahan, tingkat pendidikan, etnis/suku, jumlah tanggungan, asal penduduk, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan orang tua.

Pekerja sektor informal ternyata sebanyak 33 responden atau 75 persen adalah laki-laki dan 11 responden atau 25 persen perempuan.

Umur responden terendah adalah 21 tahun, umur tertinggi responden adalah 65 tahun sedangkan umur rata-rata responden adalah 39,41 tahun. Jika dilihat jumlah responden berdasarkan kelompok umur maka responden terbanyak berada pada kelompok umur 31-40 tahun mencapai 20 responden atau 45,45 persen, diikuti kelompok umur 41–50 tahun sebanyak 10 responden atau 22,73 persen. Sedangkan kelompok umur 21-30 tahun dan 50 tahun ke atas masing-masing 7 responden atau 15,91 persen.

Status perkawinan, sebanyak 35 responden atau 79,55 persen berstatus kawin, berstatus belum kawin sebanyak 8 responden atau 18,18 persen dan cerai sebanyak 1 responden atau 2,27 persen.

Tingkat pendidikan responden secara umum sudah relatif baik, hal ini terlihat hampir setengah dari responden telah menamatkan SLTA yaitu sebanyak 20 responden atau 45,45 persen, tamat SLTP sebanyak 15 responden atau 34,09 persen yang tamat SD sebanyak 6 responden atau 13,64 persen dan tamat sarjana sebanyak 3 orang atau 6,82 persen. Sedangkan yang tidak sekolah atau tidak tamat SD tidak ditemukan.

Dari hasil di atas menunjukkan bahwa, tingkat pendidikan pekerja sektor informal yang dikemukakan oleh para peneliti terlihat saat ini sudah tidak mutlak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin sulitnya mencari pekerjaan, sehingga mereka yang berpendidikan tinggi pun harus lari ke sektor informal.

Dilihat dari etnis/suku, suku yang terbanyak adalah etnis/suku Padang mencapai 45,46 persen, diikuti etnis/suku Jawa 18,18 persen, Melayu sebanyak 11,36 persen dan Batak 6,82 persen, sedangkan etnis/suku Karo, Mandailing, China masing-masing di bawah 5 persen.

Di samping etnis/suku, responden yang merupakan pendatang seluruhnya berasal dari Sumatera Barat. Responden yang pendatang sebanyak 13,64 persen sedangkan penduduk asli Kota Binjai sebanyak 86,36 persen.

Jumlah tanggungan tentunya akan menjadi beban bagi responden, semakin banyak jumlah tanggungan akan semakin banyak biaya hidup yang diperlukan.

Jumlah tanggungan yang terbesar bagi responden adalah 3 sampai 4 orang sebanyak 45,45 persen, jumlah tanggungan 5 sampai 6 sebanyak 18,18 persen, jumlah tanggungan 1 sampai 2 sebanyak 13,64 persen dengan beban tanggungan 7 sampai 8 sebanyak 6,82 persen. Namun terdapat 15,91 persen responden tidak memiliki tanggungan, artinya seluruh pencahariannya akan dinikmati oleh responden sendiri.

Tingkat pendidikan responden pada umumnya juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tuanya. Orang tua yang sudah berpendidikan tinggi pada umumnya menginginkan anaknya juga berpendidikan yang tinggi, berbeda dengan orang tua yang berpendidikan rendah umumnya pasrah dan tidak termotivasi agar anaknya berpendidikan lebih tinggi.

Secara umum tingkat pendidikan orang tua responden baik bapak maupun ibu adalah tamat SD. Sebanyak 21 bapak (47,73%) responden berpendidikan tamat SD sedangkan ibunya sebanyak 30 orang (68,18%).

Secara uji korelasi Pearson menggunakan SPSS versi 15, juga terlihat adanya korelasi yang positif dan siginifikan antara tingkat pendidikan anak dengan pendidikan bapak pada derajat kepercayaan 1 persen. Sedangkan

Page 24: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Tuti Hidayati: Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah...

23

antara tingkat pendidikan anak dan pendidikan ibu menunjukkan korelasi yang signifikan pada derajat kepercayaan 5 persen.

Jenis pekerjaan dari ibu responden hampir seluruhnya sebagai ibu rumah tangga, hanya satu orang bekerja tani. Bapak dari responden mempunyai pekerjaan yang terdiri dari sektor perdagangan, dikuti oleh pertanian, jasa, angkutan, dan konstruksi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan responden antara lain jumlah jam kerja, modal usaha, pengalaman usaha, tingkat pendidikan responden, jenis pekerjaan, keterampilan, jumlah pembeli dan sebagainya. Namun dalam tesis ini yang diamati adalah rata-rata jam kerja per hari, modal usaha, pengalaman usaha, tingkat pendidikan, dan jenis usaha.

Lamanya responden menekuni usaha ini bervariasi mulai dari 1 tahun hingga 25 tahun. Responden yang berusaha selama 1 sampai 4 tahun sebanyak 54,54 persen, diikuti yang berusaha selama 21 sampai 25 tahun sebanyak 15,91 persen dan yang berusaha 5 sampai 10 tahun sebanyak 13,64 persen.

Hal ini sejalan dengan kondisi yang ada terlihat bahwa dalam lima tahun terakhir perkembangan sektor informal di Kota Binjai banyak bermunculan. Ini menunjukkan semakin sulitnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. Bagi mereka yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan harus mampu bertahan hidup dengan lari ke sektor informal.

Jumlah jam kerja bervariasi dalam setiap usaha sektor informal, ini tergantung dari jumlah/jenis dagangan ataupun modal usaha. Pada dasarnya semakin banyak jumlah jam kerja maka penghasilan atau pendapatan akan semakin besar, namun itu pun akan tergantung dengan modal usahanya.

Rata-rata jumlah jam kerja yang paling dominan adalah antara 5 sampai 10 jam mencapai 75 persen. Diikuti oleh jumlah jam kerja 11 sampai 15 jam sebanyak 25 persen. Pada umumnya mereka memulai usaha pada pukul 17.00 WIB hingga larut malam sesuai dengan jumlah jam kerjanya. Namun mereka tidak mempunyai keterikatan terhadap jumlah jam kerja, tergantung pada barang dagangan.

Modal kerja salah satu syarat mutlak yang diperlukan dalam usaha sektor informal. Pada umumnya usaha sektor informal ini memiliki modal yang terbatas sesuai dengan kemampuan responden. Pada umumnya mereka sangat membutuhkan modal dalam rangka mengembangkan usahanya. Namun ini sering menjadi kendala bagi sektor informal.

Modal kerja antara 1 sampai 5 juta sebulan memiliki persentase terbesar yaitu 56,82 persen. Ini menunjukkan bahwa modal sektor informal sangat terbatas sekali, sehingga usahanya tidak dapat berkembang besar. Modal sekitar 6 sampai 10 juta dan 11 sampai 20 juta masing-masing 18,18 persen. Sedangkan modal 21 sampai 30 juta hanya 6,82 persen.

Rata-rata omset (revenue) sebulan dari usaha sektor informal paling banyak berada pada 1 sampai 5 juta dan 6 sampai 10 juta masing-masing mencapai 38,64 persen dan 34,09 persen. Sedangkan yang revenue 11 sampai 20 juta sebesar 18,18 persen dan pendapatan 21 juta ke atas berjumlah 9,09 persen. Hal ini masih sejalan dengan jumlah modal yang digunakan oleh responden.

Sektor informal ini memiliki jenis usaha yang berbeda-beda, ada yang hanya menjual makanan saja baik berupa makanan ringan atau kue-kue sampai ke makanan yang berat seperti jual nasi. Ada yang menjual khusus minuman seperti jual jus, kopi ataupun jual bermacam-macam es. Namun ada juga pedagang sektor informal ini yang menjual makanan dan juga minuman.

Bertahannya sektor informal ini sangat ditentukan oleh pembeli yang ada. Semakin banyak pembeli maka pendapatan sektor informal akan semakin tinggi. Rata-rata jumlah pembeli dari sektor informal ini sangat bervariasi.

Persentase tertinggi jumlah pembeli adalah 34,09 persen yaitu yang jumlah pembelinya 21 sampai 30 orang per hari. Urutan kedua adalah jumlah pembeli antara 31 sampai 40 orang dengan persentase 22,73 persen. Persentase pembeli yang terkecil adalah 2,27 persen dengan jumlah pembeli antara 1 sampai 10 orang. Pengujian Hipotesis Selanjutnya berdasarkan hasil komputasi diperoleh R Square sebesar 0,983. Artinya,

Page 25: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

24

terdapat 98,3 persen faktor pendapatan responden mampu dijelaskan oleh variasi himpunan variabel independen (yaitu: rata-rata jam kerja per hari, modal, pengalaman usaha, tingkat pendidikan dan jenis usaha). Selebihnya 1,7 persen diterangkan oleh variabel lain yang tidak terangkum dalam model regresi. Hasil penghitungan tabel Anova menunjukkan bahwa model regresi ini memiliki nilai F hitung sebesar 449,222 yang signifikan pada derajat kepercayaan 1 persen. Karena F hitung lebih tinggi dari pada nilai F tabel, maka Ho yang menyatakan bahwa semua variabel independen yang dimasukkan dalam model tidak mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen dapat ditolak. Artinya terbukti bahwa memang semua variabel independen secara simultan mampu menjelaskan variabel dependen.

Secara parsial hanya modal yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan. Sedangkan jam kerja rata-rata per hari, pengalaman usaha, tingkat pendidikan dan jenis usaha berpengaruh terhadap pendapatan tetapi tidak signifikan. Koefisien regresi modal sebesar 1,053 memperlihatkan bahwa jika modal kerja ditambah sebesar 1 rupiah maka, dapat meningkatkan pendapatan responden sebesar 1,053 rupiah per bulan. Semakin besar modal kerja yang digunakan maka akan dapat meningkatkan pendapatan responden. Korelasi Pearson menunjukkan bahwa secara parsial hanya jenis usaha yang berkolerasi secara signifikan terhadap pendapatan pada derajat kepercayaan 5 persen dan modal pada derajat kepercayaan 1 persen. Pengalaman usaha, pendidikan dan rata-rata jam kerja perhari tidak berkolerasi secara signifikan.

Tabel 4. Rangkuman Hasil Analisis Regresi Linear Berganda antara Pendapatan, dengan Modal Kerja, Rata-rata Jam Kerja per Hari, Tingkat Pendidikan, Pengalaman Usaha, dan Jenis Usaha

Variabel Koefisien Regresi t hitung Signifikansi

(1) (2) (3) (4)

Konstanta 678.666,47 0,875 0,387

Rata-rata jam kerja per hari 19.264,159 0,272 0,787

Modal 1,053 41,880 0,000

Pengalaman usaha 697,021 0,036 0,972

Tingkat pendidikan Variabel Dummy: lulus SLTA 234.319,15 0,741 0,463

Jenis usaha Variabel Dummy: subsitusi nasi (makanan berat) 219.349,17 0,647 0,521

Y : 678.666,47 + 19.264,159 X1 + 1,053 X2 + 697,021 X3 + 234.319,15 X4 + 219.349,17 X5

R ² : 0,983

Adjusted R ² : 0,981

F hitung : 449,222 Sumber: Hasil Pengolahan.

Page 26: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Tuti Hidayati: Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah...

25

Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah dapat dilihat

dari penyerapan tenaga kerja, tingkat pendapatan, daya beli masyarakat dan akhirnya pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin baik kesejahteraan masyarakat maka pengembangan wilayah berjalan dengan baik.

Usaha sektor informal ini telah berperan dalam pengembangan wilayah di Kota Binjai, hal ini terlihat dalam penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang diserap sebanyak 84 orang, di mana 39 orang (46,43%) merupakan tenaga kerja yang dibayar dan 45 orang (53,57%) merupakan tenaga kerja yang tidak dibayar atau yang biasa disebut dengan pekerja keluarga.

Sektor informal yang dikelola sendiri hanya menggunakan tenaga kerja 1 atau 2 orang. Ini menunjukkan bahwa pekerja sektor informal cendrung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian ini merupakan salah satu ciri sektor informal di perkotaan.

Penyerapan tenaga kerja sebanyak 84 orang ini tentunya telah meningkatkan

pendapatan/penghasilan sehingga telah dapat menaikkan taraf hidup mereka. Artinya dari sebanyak 44 usaha ini telah mampu menyelamatkan 84 tenaga kerja dari pengangguran. Namun penyerapan tenaga kerja sektor informal ini hanya untuk jangka pendek, menyerap tenaga kerja untuk mengatasi pengangguran.

Tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat dari membaiknya kondisi ekonomi, meningkatnya pendapatan serta terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga. Namun faktor kenyamanan, keamanan, keharmonisan hidup terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan. Menurut persepsi responden pendapatan dan kesejahteraannya selama ini dibandingkan usaha sebelumnya adalah responden yang menjawab meningkat sebanyak 15 responden atau 34,09 persen, sedangkan menjawab tetap sebanyak 29 orang atau 65,91 persen. Namun tidak ada responden yang menjawab pendapatannya menurun dibandingkan usaha sebelumnya.

Tabel 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan

Lama Menekuni Usaha(tahun) 1 – 4 5 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25

54,54% 13,64% 6,82% 9,09% 15,91%

Rata-rata Jam Kerja Sehari (jam) 5 – 10 11 – 15

75% 25%

Rata-rata Modal Kerja Sebulan (Juta rupiah)

1 – 5 6 –10 11 – 20 21 – 30

56,82% 18,18% 18,18% 6,82%

Rata-rata Pendapatan Sebulan (juta rupiah)

1 – 5 6 – 10 11 – 20 21 +

38,64% 34,09% 18,18% 9,09%

Jenis Usaha Makanan Minuman Makanan dan Minuman

75% 9,09% 15,91%

Rata-rata Jumlah Pembeli Setiap Hari (Orang)

1 – 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 +

2,27% 13,64% 34,09% 22,73% 15,91% 11,36%

Sumber: Data Primer.

Page 27: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

26

Tabel 6. Tingkat Pendapatan, Kesejahteraan dan Konsumsi Responden Dibandingkan Usaha Sebelumnya

Indikator Meningkat (%) Tetap (%) Menurun (%)

Pendapatan 34,09 65,91 0 Kesejahteraan 34,09 65,91 0 Konsumsi 56,82 43,18 0

Sumber: Data Primer.

Tabel 7. Persepsi Responden Pembangunan Kota Binjai

Indikator Meningkat (%) Tetap (%) Menurun (%) Pembangunan 100,00 0,00 0,00 Daya beli masyarakat 45,45 54,55 0,00

Sumber: Data Primer.

Menurut persepsi responden, tingkat pengeluaran konsumsinya selama usaha ini dibandingkan sebelumnya sebanyak 56,82 persen meningkat, dan sebanyak 43,18 persen menjawab tetap serta tidak ada yang menjawab berkurang. Pengeluaran konsumsi ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kebutuhan hidup, harga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan sebagainya.

Kendala usaha merupakan salah satu hambatan yang harus diatasi agar usaha tersebut dapat berkembang sehingga berdampak positif terhadap pengembangan wilayah.

Menurut persepsi responden, kendala-kendala yang dihadapi dalam menjalankan usahanya hampir seluruhnya yaitu sebanyak 97,73 persen adalah kendala dalam modal dan 2,27 persen mengatakan banyak saingan.

Selama menjalankan usahanya responden tidak pernah mendapatkan bantuan, baik berupa modal uang ataupun sarana dan prasarana untuk usaha. Ini menunjukkan dalam menjalankan usahanya sektor informal menggunakan modal sendiri sebagai modal usahanya artinya sektor informal mengandalkan kemampuan sendiri dalam menjalankan usahanya.

Modal tentunya akan dapat digunakan untuk mengembangkan usaha, dalam arti dapat meningkatkan modal sehingga pendapatan dapat bertambah maupun membuat usaha yang bersifat informal menjadi formal dengan menempati sebuah tempat yang permanen.

Pemerintah Daerah sesuai dengan amanah yang diembannya harus dapat meningkatkan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun kadangkala pembangunan bisa saja tidak menyentuh seluruh aspek kehidupan sehingga berbagai persepsi masyarakat akan muncul terkait dengan pembangunan yang telah dilaksanakan. Menurut persepsi responden, seluruhnya mengatakan pembangunan di Kota Binjai meningkat. Bila dikaitkan dengan pengamatan dan analisis data penunjang pembangunan, pembangunan Kota Binjai memang berkembang dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh data PDRB, pendapatan per kapita dan realita yang tampak.

Salah satu indikator untuk melihat pengembangan wilayah adalah semakin tingginya daya beli masyarakat. Semakin tingginya daya beli masyarakat tentunya berkaitan erat dengan kondisi perekonomian yang baik dan semakin bertambahnya pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat yang membaik akan mendorong terciptanya daya beli sehingga perekonomian akan semakin berkembang dengan baik.

Berdasarkan jawaban responden, daya beli masyarakat Kota Binjai meningkat mencapai 45,45 persen responden. Yang menjawab tetap sebesar 54,55 persen. Jawaban responden sudah mengindikasikan bahwa daya beli meningkat menunjukkan pengembangan wilayah di Kota Binjai cukup baik.

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa berbagai indikator pengembangan

Page 28: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Tuti Hidayati: Pekerja Sektor Informal dan Pengembangan Wilayah...

27

wilayah di Kota Binjai cukup baik. Sektor informal yang juga telah berperan dalam pengembangan wilayah, di mana mampu menyerap tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja. Di samping itu sektor informal ini juga mempunyai efek multiplier di mana bahan baku dan penolong berasal dari Kota Binjai sendiri sehingga akan memberikan dampak positif juga terhadap pedagang bahan baku dan penolong tersebut. Namun pada sisi lain sektor informal juga memunculkan berbagai permasalahan. Tempat usaha yang berada di tepi jalan telah menimbulkan permasalahan kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan, kebersihan, kesehatan lingkungan sehingga mengurangi keindahan kota. Di samping itu kenyamanan masyarakat sekitar lokasi juga merasa terganggu.

Untuk meningkatkan peran sektor informal di dalam pengembangan wilayah juga diperlukan sebuah kebijakan dari Pemerintah Daerah untuk lebih memberdayakan pekerja sektor informal. Pembinaan terhadap pekerja sektor informal, membentuk beberapa paguyuban usaha sehingga mereka lebih kuat untuk mengembangkan usaha. Di samping itu perlu adanya rencana alokasi pekerja sektor informal di mana tempat tersebut membuat masyarakat nyaman untuk menikmati makanan dan minuman. Alokasi tersebut juga akan membuat kota tertata baik sehingga tidak mengganggu keindahan tata kota dan kenyamanan masyarakat sekitar lokasi saat ini.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Profil pekerja sektor informal di Kota

Binjai dominan laki-laki, berumur 31 sampai 50 tahun. Tingkat pendidikan yang sudah relatif baik SLTA ke atas. Suku Padang adalah suku terbanyak. Umumnya memiliki jumlah tanggungan 3 sampai 4. Pendidikan orang tua masih rendah hanya tamat SD dan mayoritas bekerja di sektor perdagangan.

2. Seluruh variabel bebas (rata-rata jam kerja per hari, modal, pengalaman usaha, tingkat pendidikan dan jenis usaha) secara simultan siginifikan mempengaruhi

variabel terikat (pendapatan). Namun secara parsial hanya modal yang berpengaruh signifikan terhadap pendapatan.

3. Pekerja sektor informal di Kota Binjai telah berperan dalam pengembangan wilayah, hal ini terlihat dari penyerapan tenaga kerja, terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

SARAN 1. Seluruh responden mengalami masalah

dalam usahanya berupa kekurangan modal, maka perlu adanya kerjasama pemerintah dan lembaga swasta terutama perbankan untuk dapat menyalurkan kredit yang dapat mengembangkan usahanya dan diharapkan dengan demikian akan dapat berubah menjadi sektor formal.

2. Untuk meningkatkan peran sektor informal dalam pengembangan wilayah juga diperlukan sebuah kebijakan dari Pemerintah Daerah untuk lebih memberdayakan pekerja sektor informal. Pembinaan terhadap pekerja sektor informal, membentuk beberapa paguyuban usaha sehingga mereka lebih kuat untuk mengembangkan usaha.

3. Di samping itu perlu adanya rencana alokasi pekerja sektor informal di mana tempat tersebut membuat masyarakat nyaman untuk menikmati makanan dan minuman. Alokasi tersebut juga akan membuat kota tertata baik sehingga tidak mengganggu keindahan tata kota dan kenyamanan masyarakat sekitar lokasi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kota Binjai. 2006.

Binjai Dalam Angka 2006. Binjai. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara.

2006. Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi Sumatera Utara. Medan.

Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera

Utara. 2006. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan.

Dinata, Jaya. 1992. Tata Guna Dalam

Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. ITB, Bandung.

Page 29: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

28

Hadjisaroso. 1994. Konsep Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia dalam Prisma No.8, Agustus, Jakarta.

Harsiwi, M, Agung Th. 2003. Dampak Krisis

Ekonomi terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Malioboro. http://artikel.us/amharsiwi. html diakses tanggal 15 Maret 2007.

Hart, Keith. 1973. Sektor Informal dalam

Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal Kota. Penyunting Chris Manning, Tadjuddin Noer Effendi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Idris, Irzal. 2003. Studi tentang Pekerja di

Bawah Umur Sektor Informal Perkotaan (Kasus pada Penyemir Sepatu di Kota Medan), Tesis. Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Rachbini, Didik J. Kompas. 15 April, 2006. Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan Negara.

Rice, Robert Charles. 1997. The Indonesian

Urban Informal Sector: Characteristics and Growth from 1980 to 1990. Population Vol 3.No.1, Jurnal. Demographic Institute.

Sugiyono. 2005. Statistik Untuk Penelitian.

CV. Alfabeta Bandung.

Page 30: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

29

ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI TEKNIK PADA PEMANFAATAN LAHAN IRIGASI BAJAYU LANGAU,

PAYA LOMBANG DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Randi Gunawan Alumnus PWD SPs USU

Abstract: North Sumatra province is potyential in agriculture sector. Irrigation improvement and development is a necessary condition for agricultural development. The government should pay prior attention on the improvement of medium and small irrigation. The irrigation agency of North Sumatra will enforce the operation and maintenance of water control by involving farmers and stakeholders. Keywords: technically economic feasible and irrigation land utilization

PENDAHULUAN Guna mengantisipasi penurunan produktivitas pangan terhadap peningkatan kebutuhan pangan nasional di masa yang akan datang, maka Pemerintah Indonesia lebih menggalakkan lagi usaha ekstensifikasi dan intensifikasi secara terpadu. Yang mana sasarannya adalah untuk mempertahankan dan sekaligus meningkatkan stabilitas ketersediaan pangan nasional, agar pada masa mendatang tindak timbul kesenjangan antara laju produktivitas pangan dengan laju peningkatan kebutuhan pangan. Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi secara terpadu ini oleh Pemerintah Indonesia lebih dititikberatkan pada lahan-lahan potensial yang berada di luar Pulau Jawa. Yang mana selain ketersediaan lahannya yang jauh lebih luas dan belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal, juga dikarenakan tingkat kepadatan penduduknya yang relatif lebih jarang dibanding Pulau Jawa sehingga pengaturan tata ruang pengembangan daerah relatif lebih mudah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perubahan fungsi lahan sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa. Pengembangan areal potensial pada Daerah Irigasi Bajayu/Langau/Paya Lombang di Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara adalah merupakan salah satu bentuk realisasi pemanfaatan lahan secara optimal sesuai dengan potensinya. Dilihat dari keadaan faktor lingkungan dan tataguna lahan untuk tanah pertanian, areal rencana ini mempunyai prospek yang cukup bagus. Dengan memperhatikan potensi sumber daya alam melalui pembuatan sistem jaringan irigasi serta pengoperasian dan

pemeliharaan yang baik diharapkan produksi pertanian akan lebih meningkat, sehingga pendapatan masyarakat akan meningkat. Harapan masyarakat setempat terutama masyarakat petani untuk dapat meningkatkan hasil produksi panen adalah sangat relevan bila dikaitkan dengan kegiatan pengadaan/ peningkatan jaringan irigasi. Untuk itu perlu disiapkan rencana jaringan irigasi teknis agar harapan masyarakat setempat tersebut dapat menjadi kenyataan. HIDROKLIMATOLOGI Hidroklimatologi merupakan keadaan rerata cuaca suatu daerah atau tempat dalam periode/waktu tertentu, dan pada umumnya dipengaruhi oleh letak geografis dan ketinggian daerah tersebut. Variasi iklim ini ditentukan oleh berbagai parameter, antara lain: intensitas curah hujan, hari hujan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari.

Adapun hasil analsis hidrologi daerah irigasi Bajayu sebagai berikut: Sumber Air dari Sungai Padang

Debit andalan yang paling minimum sebesar 10,48 m3/dt

Debit andalan yang paling maksimum sebesar 55,24 m3/dt

Kebutuhan air irigasi (NFR) sebesar 1,09 lt/dt/ha

Altenatif yang terpilih adalah alternatif 21

Luas DAS 946,00 km2 Debit banjir 418,20 m3/dt

Page 31: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

30

Bangunan Utama Bangunan utama jenis ini dipakai pada sungai yang mempunyai debit air cukup tetapi muka air sungai tersebut rendah. Dengan demikian bangunan utama bendung berfungsi sebagai peninggi muka air sungai. Komponen bangunan utama/bendung Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau direncanakan meliputi sebagai berikut:

Luas Areal Irigasi Rencana 3812,90 ha sebelah kiri dan 4000 ha di sebelah kanan Pada Sungai Padang a. Tubuh Bendung Aek Paya

Lombang/Langau & Bajayu • Lebar bendung: 55,00 meter • Tinggi Mercu: 3.50 meter • Jumlah pintu penguras: 4.00 buah • Lebar pintu penguras: 2.00 meter • Konstruksi tubuh bendung: Beton

bertulang K225 b. Intake

• Jumlah Pintu: 6.00 buah • Lebar Pintu: 1.80 meter • Konstruksi Beton bertulang K225

c. Kantong Lumpur • Panjang Kantong Lumpur: 300.00

meter • Lebar kantong lumpur: 7.00 meter

• Konstruksi Kantong lumpur: Pasangan batu kali 1:4

d. Pembilas • Lebar pintu pembilas: 1.80 meter • Junlah pintu pembilas: 6.00 buah

e. Bangunan Pengatur dan Bangunan Ukur Sebelah kanan • Jumlah pintu: 6.00 buah • Lebar pintu: 1.80 meter

METODE Lokasi Secara administrasi lokasi pekerjaan Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara (seperti terlihat dalam Gambar 1). Daerah proyek dapat dicapai melalui jalan darat dari Medan ke Lokasi Proyek sejauh ± 93 km dari kota Medan, dengan kondisi jalan aspal cukup bagus dan ada sebagian jalan yang rusak dari Kecamatan Bandar Khalifah ke lokasi proyek ,di mana rute yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut: • Medan – Tebing Tinggi: ± 85 km • Tebing Tinggi-Lokasi Proyek: ± 8 km Secara Geografis lokasi proyek terletak pada posisi 30 20’00”- 30 29’00” LU ~ 990

10’00” - 990 15’00” BT.

Lokasi Pro\yek

Gambar 1. Lokasi Studi

Page 32: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Randi Gunawan: Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik...

31

Teknik Pengumpulan Data Data sekunder lainnya dihimpun dari instansi terkait seperti: (1) Dinas Pengairan Propinsi Sumatera Utara, (2) Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Kabupaten/Kota, (3) Kantor Statistik Propinsi/Kabupaten/Kota, (4) Bappeda, (5) BMG, (6) Penelitian terdahulu dan instansi lainnya. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mengunakan data sekunder. Data sekunder terkait dengan pemanfaatan air Sungai Bah Bolon untuk pertanian, domestik, perkotaan, industri yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota, Kantor Statistik Propinsi/Kabupaten/Kota, Bappeda, BMG, dan instansi lainnya. HASIL Usulan Pola Tanam Realisasi Proyek ini dimaksudkan untuk mewujudkan fasilitas jaringan irigasi yang mampu memberikan penjatahan air secara terus menerus dan tepat guna serta tepat waktu sehingga dapat mengoptimalkan tataguna lahan di areal rencana. Selain itu, dengan adanya studi ini akan dapat memperluas areal persawahan yang ada di samping juga akan meningkatkan intensitas tanam. Di mana dengan demikian, diharapkan manfaat yang akan diperoleh masyarakat/ petani setempat terutama dari sektor pertanian akan dapat meningkat. Sehubungan dengan usaha meningkatkan intensitas tanam dan memperluas lahan siap olah, maka pola tanam rencana yang diusulkan adalah Padi-Padi-Palawija serta intensitas pengembangan 300% dengan persentase 160% untuk padi dan 140% untuk palawija dengan besaran kebutuhan air irigasi (NFR) sebesar 1,09 lt/det/Ha. Usulan Budidaya Padi Sawah Pelaksanaan kegiatan pertanian pada saat ini dilakukan secara manual, di mana sistem bertani tersebut terlihat tidak akan dapat dirubah dalam jangka pendek. Sedangkan inovasi yang diharapkan dari adanya Studi adalah meliputi intensitas tanam, pemakaian pupuk, pemberantasan hama dan pemanfaatan air yang efektif dan efisien. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka dipandang perlu mengaplikasikan

pedoman operasi dan pemeliharaan yang ada serta mengikuti petunjuk dan bimbingan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat. Dengan selesainya Studi diusahakan melakukan pembinaan dan penyuluhan bagi petugas (PPL). Usaha pembinaan tersebut antara lain: 1. Cara bertani yang baik dengan memanfaatkan

teknologi, sarana dan prasarana yang tersedia atau dapat disediakan.

2. Perlunya dukungan KUD untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian serta pemasaran hasil produksi.

3. Perlunya para petani untuk memeliharan jaringan irigasi yang telah dibangun.

4. Kesadaran kepada setiap para petani terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam masalah kegiatan pertanian.

Untuk berhasilnya tujuan studi, penyebaran informasi untuk perbaikan usaha tani bagi para petani akan dapat manfaat langsung dari studi perlu dilakukan sedini mungkin. Untuk tujuan ini agar dibuat pilot proyek pelatihan para petani di sekitar lokasi studi di bawah bimbingan BPP Pertanian. Estimasi Hasil Produksi Hasil panen yang yang akan datang diharapkan akan meningkat mengingat mengikuti laju pertumbuhan Kabupaten Serdang Bedagai. Setelah Studi selesai, hasil pertanian akan meningkat karena tersedianya air sesuai dengan kebutuhan dan berlangsungnya penyuluhan pertanian. Diharapkan hasil produksi pertanian dengan adanya proyek berkisar antara 4 s.d. 5 ton/ha. Intensitas Tanam, Pola Tanam, dan Produksi Tanam Intensitas tanam padi yang dapat dicapai akibat adanya proyek ini adalah sebesar 160%, palawija sebesar 140% Intensitas tanam ini dapat ditingkatkan hingga mencapai 300% dengan cara mengoptimalkan dan menerapkan pola rotasi atau giliran pemakaian air pada saat masa tanam 2 dan 3. Dengan terjadinya peningkatan intensitas tanam, diharapkan juga terjadi peningkatan produksi tanam.

Page 33: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

32

Analisis Pendapatan Petani Masyarakat petani merupakan pelaku utama dalam menghadapi dampak dari proyek ini, baik dampak yang bersifat positif maupun yang negatif. Salah satu dampak positif yang ada adalah dampak ekonomi terhadap peningkatan pendapatan petani di lingkungan proyek tersebut. Ini mengakibatkan kelayakan proyek dari sektor ekonomi sangat ditentukan seberapa besar dampak proyek tesebut terhadap peningkatan pendapatan petani dibandingkan kondisi sekarang dengan kondisi yang akan datang. Harga satuan dalam analisis pendapatan petani ditentukan sebagai berikut:

Harga satuan dari beras, kedelai, dan pupuk didasarkan pada World Bank Commodity Orice Forrecast May 1996 dengan MUV Index 1990-1997=1.2182.

Nilai Tukar 1 US dollar = Rp. 10.000 (Tahun 2005).

Beras dan kedelai dihitung dengan harga rata-rata import dan export party.

Berdasarkan hasil analisis pendapatan petani pada tabel di bawah ini diperkirakan pendapatan petani untuk padi per satuan hektar pada kondisi pengembangan tanpa proyek sebesar Rp. 1.376.809,-. Angka ini mengalami peningkatan pada kondisi pengembangan dengan proyek, yakni sebesar Rp. 5.565.138,-. Untuk palawija per satuan hektar pada kondisi pengembangan tanpa proyek sebesar Rp. 898.205,-. Angka ini mengalami peningkatan pada kondisi pengembangan dengan proyek, yakni sebesar Rp. 2.083.829.

Tabel 1. Harga Ekonomi Gabah ( Harga tetap 1993) pada Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

Sumber: World Bank Commodity Orice Forrecast May 1996.

Page 34: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Randi Gunawan: Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik...

33

Tabel 2. Harga Ekonomi Palawija (Harga Tetap 1996) pada Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

Sumber: World Bank Commodity Orice Forrecast May 1996.

Tabel 3. Harga Ekonomi Pupuk (Harga Tetap 1996) pada Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

Sumber: World Bank Commodity Orice Forrecast May 1996.

Page 35: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

34

Tabel 4. Analisa Usaha Tani Padi per Hektar Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

Sumber: Hasil Analisis, 2007.

Tabel 5. Analisa Usaha Tani Palawija per Hektar Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

Sumber: Hasil Analisis, 2007. Biaya Proyek Komponen Proyek Perkiraan harga satuan dengan harga standar tahun 2005 untuk Kabupaten Deli Serdang/Serdang Bedagai dan volume dari pada bangunan diperoleh dari perhitungan hasil perencanaan, meliputi: 1. Pekerjaan bendung dan pelengkapnya. 2. Saluran primer dan sekunder. 3. Saluran tersier.

4. Saluran pembuang. 5. Bangunan pelengkap. 6. Dan lain-lain. Harga-harga satuan dari masing-masing volume pekerjaan tersebut dihitung dengan harga-harga berdasarkan letak dan karekteristik proyek. Pekerjaan-pekerjaan persiapan di dalamnya mencakup mobilisasi dan demobilisasi.

Page 36: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Randi Gunawan: Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik...

35

Perkiraan Biaya Dalam pelaksanaan konstruksi, seluruh komponen proyek yang diusulkan dapat dilaksanakan dalam 10(sepuluh) tahun anggaran. Total biaya konstruksi dari komponen proyek yang ada, diperkirakan sebesar Rp. 182.033.908.821,04,-. Secara rinci biaya konstruksi masing-masing komponen proyek yang ada disajikan pada Tabel 6. Jadwal pembiayaan proyek diusulkan dibagi sesuai dengan jadwal pelaksanaan proyek yang diusulkan. Namun jadwal pembiayaan proyek ini direncanakan selama 10 (sepuluh) tahun anggaran. Asumsi-asumsi dasar dalam merencanakan jadwal pembiayaan proyek adalah:

Faktor konversi finansial-ekonomi untuk konstruksi sebesar 0,90.

Dalam perhitungan biaya-biaya ekonomi, keuntungan kontraktor sebesar 10% tidak dimasukkan sehingga nilai konversinya sama dengan 0.

Pajak sebesar 10% hanya masuk dalam biaya finansial saja dan tidak termasuk dalam biaya ekonomi sehingga nilai konversinya = 0.

Berdasarkan perhitungan terlihat jumlah total pembiayaan proyek selama 10 (sepuluh) tahun anggaran berdasarkan nilai ekonomi adalah sebesar Rp. 189.224.248.219,- sedangkan berdasarkan nilai finansial adalah sebesar Rp. 264.813.828.857,-. Adapun rencana penjadwalan pembiayaan pekerjaan dapat dilihat Tabel 7.

Tabel 6. Biaya Konstruksi Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

No. Jenis Kegiatan Jumlah Harga Rp.

I. Pekerjaan Persiapan 288.080.919,78 II. Pekerjaan konstruksi bendung dan 23.162.480.673,88 Bangunan pelengkapnya 22.936.506.796,27 III. Pekerjaan jaringan utama dan tersier - Pengambilan Sebelah Kiri 50.951.294.464,28 - Pengambilan Sebelah Kanan 82.745.895.466,82 IV. Fasilitas umum 1.949.650.500,00

Sub Total ( I + II + III + IV) 182.033.908.821,04

PPn 10% 18.203.390.882,10

Jumlah 200.237.299.703,14

Dibulatkan 200.237.299.700,00

Terbilang

Dua Ratus Milyar Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Dua Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu

Tujuh ratus Rupiah Sumber: Hasil Analisis, 2007.

Page 37: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

36

T

abel

7. R

enca

na J

adw

al P

embi

ayaa

n Su

mbe

r: H

asil

Anal

isis

, 200

7

Page 38: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Randi Gunawan: Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik...

37

Analisis Ekonomi Analisa ekonomi yang dilakukan meliputi perhitungan IRR, BCR, dan NPV. Untuk analisis ini didasarkan pada asumsi sebagai berikut: • Discount rate sebesar 10%. • Usia guna proyek adalah selama 50

tahun. • Lama konstruksi adalah 10 tahun. • Pengembangan lahan secara optimal

diperkirakan sesudah 10 tahun, sehingga dalam jangka waktu tersebut benefit meningkat secara linier.

• 1 US$ = Rp 10.000,- • Bunga Bank berkisar 12,50%.

Berdasarkan asumsi tersebut maka dibuat suatu cashflow seperti pada Tabel 9. Dari hasil perhitungan tersebut didapat hasil sebagai berikut: NPV = Rp. 88.553.686.470 ,- BCR = 1,80 IRR = 17,69% Dari Tabel 8, maka dapat diketahui bahwa rencana pengembagan irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu mempunyai nilai ekonomis yang baik untuk saat ini.

Tabel 8. Analisis Ekonomi Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu

Sumber: Hasil Analisis, 2007.

Page 39: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

38

Tabel 9. Analisis Sensitivitas Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu (COST NAIK 20% BENEFIT TETAP)

Sumber: Hasil Analisis, 2007. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui kelayakan ekonomisnya jika terjadi perubahan biaya maupun benefitnya. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan sebesar 20%. Hasil dari perhitungan analisis sensitivitas adalah sebagai sebagai berikut: • Cost naik 20% dan benefit tetap:

NPV = Rp. 68.802.543.037,- BCR = 1,53 IRR = 15,96%

Untuk analisis sensitivitas dengan mengetahui kelayakan ekonomisnya jika terjadi perubahan biaya maupun benefitnya. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan sebesar 20%. Hasil dari perhitungan analisis sensitivitas adalah sebagai sebagai berikut:

• Cost tetap dan Benefit turun 20%: NPV = Rp.48.675.965.057,- BCR = 1,44 IRR = 15,43%

Untuk analisis sensitivitas dengan mengetahui kelayakan ekonomisnya jika terjadi perubahan biaya maupun benefitnya. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan sebesar 20%. Hasil dari perhitungan analisis sensitivitas adalah sebagai sebagai berikut: • Cost naik 20% dan Benefit turun 20%:

NPV = Rp 28.924.821.624 ,- BCR = 1,22 IRR = 13,82%

Page 40: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Randi Gunawan: Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik...

39

Tabel 10. Analisis Sensitivitas Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau (COST TETAP BENEFIT TURUN 20%)

Sumber: Hasil Analisis, 2007.

Page 41: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

40

Tabel 11. Analisis Sensitivitas Daerah Irigasi Paya Lombang/Langau/Bajayu (COST NAIK 20% BENEFIT TURUN 20%)

Sumber: Hasil Analisis, 2007. KESIMPULAN Berdasarkan berbagai uraian di atas dan pengkajian analisis dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dari segi teknis rencana pengembangan

irigasi layak untuk dikembangkan lebih lanjut.

2. Dari segi ekonomis kelayakan rencana pengembangan pertanian saat ini adalah baik, hal ini ditunjukkan dengan besarnya EIRR (17,69%).

3. Dari segi sosial, rencana pengembangan irigasi memang dibutuhkan mengingat areal pertanian yang ada saat ini belum optimal pemanfaatannya.

SARAN 1. Disarankan tingkatkan koordinasi

bersama antar instansi terkait lainnya dalam melestarikan pengembangan irigasi.

2. Lakukan rehabilitasi dan modernisasi sarana dan prasarana pengairan.

3. Disarankan keikutsertaan swasta dalam pengembangan sumber daya air kerena mempunyai keandalan dalam penyediaan modal, menguasai manajemen dan teknologi ssuai dengan tuntutan zaman, walaupun pihak swasta tentu menginginkan kepastian hukum dan jaminan.

Page 42: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Randi Gunawan: Analisis Kelayakan Ekonomi Teknik...

41

DAFTAR RUJUKAN Aldy Shady M. 1991. ”Is Irrigation Sustainable?

An Approach to Sustainable International Irrigation Development” dalam Canadian Water Resorces Journal, Vol. 16 No. 4 Tahun 1991.

Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera

Utara. Kabupaten dalam Angka. Hansen, VE. Israelsen, OW. dan Stringham,

GE. 1990. Irrigation Principles and Practices, Jhon Willey & Son Press New York.

Hopper. WD. 1976 “The Development of agriculturel in Developing Countries” dalam jurnal Scientific American Vol. 235 No. 3 1996.

Mardjono, 1991, Irigasi dalam Kerangka

Pengembangan Wilayah Sungai, dalam Irigasi di Indonesia Penerbit Penerbit Lembaga penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta.

Suhardjono. 1994. Kebutuhan Air Tanaman.

Penerbit Institute Teknologi Malang. Malang.

Page 43: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

42

KONTRIBUSI PASAR MINGGUAN (ONAN) TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KECAMATAN AIR BATU KABUPATEN ASAHAN

Dwi Prawoto

Alumnus PWD – PWK SPs USU

Abstract: Weekly market (onan) as well as traditional market is the place where buyer and sellers meet at certain day once in a week .The research is to study the impact of onan market on local economic development using logistic regression. Both the seller’s and buyers’ point of view show that onan has significantly influence on local economic. It is noticed that the role of local government has less attention on market infrastructures. The government should develop a local enterprise that can develop the market as well as the infrastructure. Keywords: onan market, people economics and regional development

PENDAHULUAN Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, merupakan saat bagi daerah menuju era otonomi daerah. Walaupun berbagai kendala terjadi pada awal pelaksanaan, pembangunan yang berjalan di era otonomi daerah telah menuntut pemberdayaan potensi dan kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur wilayah sendiri secara lebih luas. Beberapa wilayah baru dibentuk/dimekarkan untuk mendukung pemberdayaan tersebut. Dampaknya adalah semakin bertambahnya jumlah pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Pada tahun 2001 jumlah kabupaten sebanyak 268, jumlah kota sebanyak 85, jumlah kecamatan sebanyak 4.424, dan jumlah desa sebanyak 68.819 desa. Dan pada akhir tahun 2005 jumlah kabupaten menjadi 349, jumlah kota sebanyak 91, jumlah kecamatan sebanyak 5.641, dan jumlah desa menjadi 71.555 buah (BPS, 2006a). Pertambahan jumlah wilayah pemerintah terjadi hampir di setiap wilayah, termasuk Kabupaten Asahan. Jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Asahan pada awal tahun 2007 sebanyak 276, yang sebelum sebanyak 271. Jumlah ini akan terus berkembang dengan terbentuknya Kabupaten Batubara. Dengan bertambahnya jumlah wilayah pemerintahan, akses masyarakat terhadap pusat pemerintahan (desa/kelurahan) menjadi lebih dekat. Harapan selanjutnya adalah semakin meningkatkan kesejahteraan sebagaimana diharapkan dari otonomi daerah.

Sektor perdagangan yang bersifat informal dalam skala lebih luas tercermin tumbuhnya sistem pasar yang mendekatkan ke konsumen, yaitu munculnya pasar mingguan/pekana dikenal dengan “onan”. Onan berasal dari bahasa Batak yang berarti pekan atau pasar (Sarumpaet, 2005). Dalam pengertian masyarakat umum adalah tempat jual beli yang berlangsung pada hari-hari tertentu, misal mingguan. Dan untuk selanjutnya dalam penelitian ini, dalam penyebutan kegiatan jual beli dengan konotasi berlangsung pada hari tertentu dan berada dalam wilayah tertentu disebut dengan onan. Berdasarkan informasi awal diketahui bahwa Kabupaten Asahan terdapat lebih dari 80 lokasi onan, yang tersebar di 17 kecamatan. Sedangkan perkembangan yang tinggi terjadi di Kecamatan Air Batu yaitu sejumlah 2 bangunan pasar semi permanen pada tahun 2002 menjadi 5 pada tahun 2004 dan selanjutnya menjadi 6 buah pada tahun 2005 (BPS, 2006b). Dendi dkk. (2004) menyarankan bahwa mengembangkan perekonomian lokal, pemerintah dapat menempuh cara-cara sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah perlu membuka dialog

untuk melihat kembali sejauh mana rencana tata ruang wilayah yang ada sekarang konsisten dengan prinsip-prinsip pro-masyarakat miskin dan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini peranan forum kemitraan pengembangan ekonomi lokal dipandang sangat penting. Hasil-hasil dialog tersebut seyogyanya menjadi masukan dalam memutakhirkan/ merevisi rencana tata ruang wilayah.

Page 44: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...

43

2. Pemerintah daerah dengan didukung oleh lembaga forum kemitraan pengembangan ekonomi lokal menjabarkan (elaborate) rencana strategik pengembangan ekonomi kabupaten/kota untuk periode 2005-2009, termasuk di dalamnya rencana tata ruang wilayah.

3. Memilih beberapa lokasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru di mana strategi atau komponen strategi pengembangan ekonomi lokal yang relevan diuji coba.

4. Mengembangkan konsep dana bagi hasil antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa yang berdasarkan kriteria-kriteria kebutuhan pembangunan, termasuk keberadaan masyarakat miskin, serta kinerja pemerintahan desa.

Seperti dinyatakan pada bagian sebelumnya, onan berasal dari bahasa Batak yang berarti pasar/pekan. Kemunculannya onan yang secara berkala, tidak tertentu siapa pelakunya, menjadikan sarana jual beli yang dapat muncul dengan sendirinya. Di berbagai wilayah di Indonesia muncul semacam onan dengan berbagai ragam nama, seperti pekanan, pasaran, dan lain-lain. Sebutan lain yang menjadi umum namun berbeda makna adalah pasar rakyat/pasar tradisional. Dilihat dari skala usaha, onan termasuk dalam usaha kecil, dan biasanya tidak/belum berbadan hukum maka layak onan dikatakan sebagai bagian sektor informal terutama di bidang perdagangan. Konsep ekonomi sektor informal baru muncul dan terus dikembangkan sejak tahun 1969 pada saat International Labor Organization (ILO) mengembangkan program World Employment Programme (WEP). Konsep sektor informal pertama kali diistilahkan oleh Keith Hart pada tahun 1973, seorang antropolog Inggris melalui penelitian di Kota Accra dan Nima, Ghana. Menurut Hart perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri. Lokasi penelitian yang dilakukan oleh ILO seperti Free Town, Lago, Kana, Kumasi, Colombo, Jakarta, dan Manila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja informal hidup miskin, berpendidikan sangat rendah, dan

berpenghasilan di bawah upah minimum (Supriyanto, 2006). Ciri dari sektor informal adalah upah atau gaji yang tidak tetap, rendah, serta tidak cukup memadai. Produktivitasnya tidak maksimal karena sektor informal tidak menggunakan teknologi atau peralatan modern. Keterampilan tenaga kerja kurang berkualitas relatif dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor formal (Rachbini, 2006). Wilayah adalah kumpulan daerah berhampiran, sebagai satu kesatuan geografis dalam bentuk dan ukurannya. Wilayah memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia serta posisi geografis yang dapat diolah dan dimanfaatkan secara efisien dan efektif melalui perencanaan yang komprehensif (Miraza, 2005). Secara ringkas konsep mengenai ruang/wilayah ditandai dengan lokasi absolut dan distribusi areal dari gambaran tertentu di permukaan bumi. Ruang memiliki jarak secara geometri, absolut dan unik dalam hubungannya dengan lokasi yang lain, dan memiliki bentuk yang dibatasi oleh batas lokasi yang tetap. Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teroretis dengan penglaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Sehingga pengembangan wilayah menurut Sandy (1992) adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut serta mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan menurut Hadjisaroso (1994) pengembangan wilayah merupakan suatu tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah atau kawasan dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, atau memajukan dan memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada (Jayadinata, 1992) Sedangkan Korompis (2005) melakukan studi lebih khusus tentang pengelolaan pelaku pasar tradisional yaitu pengelolaan pedagang kaki lima (PKL) terhadap penerimaan pendapatan asli daerah Kota Menado. Dari hasil penelitian Korompis ini menyatakan bahwa peranan PKL belum

Page 45: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

44

cukup nyata untuk mencapai target penerimaan restribusi pasar dan kebersihan. Namun secara parsial variabel-variabel pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan usaha dan tingkat pendapatan/profit usaha PKL, memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) dari sisi retribusi daerah. Dengan kata lain PKL di Kota Menado memberi positif dalam meningkatkan perolehan/peneriman pendapatan pemerintah Kota Manado untuk membiayai pembangunan kota. Sebagai pembatasan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa yang dimaksud dengan onan pada penelitian ini adalah sebuah tempat jual beli (pasar) yang berlangsung pada hari-hari tertentu saja, bisa mingguan/pekanan atau dua harian yang memiliki tempat tertentu. Di beberapa wilayah dikenal dengan istilah pasar tradisional, pekanan, pasar mingguan, partiga-tiga, dan sejenisnya. Sehingga penelitian ini difokuskan pada pasar tradisional (onan) yang berada di daerah pedesaan/rural yang cenderung belum dikelola dengan profesional oleh institusi pemerintah. METODE Lokasi penelitan dilakukan di onan yang ada di Kecamatan Air Batu, Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penelitian awal di Kecamatan Air Batu terdapat beberapa desa yang yang memiliki onan yaitu Desa Sei Alim Ulu, Pinanggripan, Hessa Perlompongan, dan Air Genting, yang berjumlah 6 lokasi onan. Jumlah sampel penelitian sebanyak 78 responden untuk pedagang dan 78 responden untuk pembeli, ditambah 6 desa sebagai wakil pemerintah desa dengan menggunakan prosedur simple random sampling yakni proses pemilihan sampel di mana seluruh anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih (Daniel, 2002). Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. HASIL 1. Karakteristik onan Pelaku usaha pasar mingguan (onan) khususnya para penjual pada umumnya masih relatif muda dan masih energik, yang berumur 20-35 tahun sebanyak 29 orang

yang terdiri 22 orang pria dan 7 orang wanita, sedangkan yang berumur di atas 35 tahun sebanyak 49 orang yang terdiri 34 orang pria dan 15 orang wanita. Bila dilihat lebih jauh ternyata pelaku usaha pasar mingguan juga masih mempunyai pekerjaan utama yaitu sebagai petani walaupun sangat kecil dibanding pelaku yang lain memang pekerjaan utamanya sebagai pedagang. Pekerjaan utama pelaku usaha pasar mingguan sebagai penjual hanya 5% mempunyai pekerjaan utama pada sektor agriculture (pertanian) yang umumnya berpendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan 95% pekerjaan utamanya sebagai service (dagang) dengan latar belakang pendidikan telah lulus sekolah lanjutan atas (SLTA) dan beberapa lulusan perguruan tinggi (universitas). Dari pekerjaan utama pada sektor service (dagang) tersebar dalam frekuensi kunjungan ke onan yang ada di daerah sekitarnya. Yaitu 8,97% mempunyai kegiatan ke onan satu kali dalam seminggu berarti hanya pada onan yang sama menjajakan dagangannya. Sedangkan yang melakukan kegiatan ke onan 2–3 kali dalam seminggu ada sebesar 26% dan 65,03% lainnya yang melakukan kegiatan dalam seminggu lebih atau sama dengan 4 kali. Dilihat jarak tempuh dari rumah sampai di tempat onan ternyata yang jaraknya lebih dari 5 kilometer lebih banyak dibanding dengan penjual yang berada di bawah 5 kilometer. Sehingga dapat diduga banyak pelaku pasar mingguan yang datang dari daerah lain di luar kecamatan. Ada 64,37% pelaku usaha pasar mingguan (onan) yang jarak tempuhnya lebih dari 5 kilometer dan sisanya adan 35,63% jarak tempuh kurang dari 5 kilometer. Sedangkan pelaku onan untuk pembeli lebih banyak yang datang ke onan dengan jarak tempuh kurang dari 5 kilometer yaitu sebesar 71,79%.

2. Peranan Pemerintah Daerah dalam

Pasar Mingguan di Kecamatan Air Batu Belum Maksimal

Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semua responden khusus penjual 100% tidak menerima bantuan dari pemerintah. Begitu juga dari hasil wawancara dengan pengelola

Page 46: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...

45

pasar mingguan (onan) dari 6 pengelola 3 di antaranya menggunakan tanah pribadi untuk menyiapkan onan bagi masyarakat, 2 pengelola menggunakan tanah desa, dan 1 pengelola menyatakan tanah pemerintah Kabupaten Asahan. Dalam penggunaan tanah pribadi umumnya pengelola itu perorangan atau kelompok masyarakat desa, sedang yang menggunakan tanah milik desa atau milik Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan, onan dikelola oleh Pemerintah Desa. PEMBAHASAN 1. Model Regresi Logistik untuk Responden

Penjual Dengan memasukan seluruh variabel yaitu, umur (X11), Jenis kelamin (X12), pendidikan (X13), lapangan usaha (X14), jam kerja (X15), frekuensi ke onan (X16), jarak ke onan (X17), omset per onan (X18), dan biaya per onan (X19), diperoleh model regresi sebagai berikut:

Berdasarkan model regresi yang dihasilkan dan dengan melihat hasil uji statistik dengan taraf kepercayaan α=10%, dinyatakan bahwa dari sembilan variabel penjelas yang diduga berpengaruh terhadap persepsi penjual ternyata ada lima variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu jenis kelamin (X12), pendidikan (X13), frekuensi ke onan (X16), jarak ke onan (X17), dan variabel omset per onan (X18). Sedangkan empat variabel lainnya ternyata tidak signifikan yaitu umur (X11), lapangan usaha (X14), jam kerja (X15), dan biaya per onan (X19), sehingga model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi penjual adalah sebagai berikut:

Dengan melihat nilai odds ratio (Exp B) pada lampiran 8, penjual yang berjenis kelamin perempuan mempunyai kecenderungan memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 17,33 kali lebih rendah dibandingkan penjual laki-laki. Dilihat dari tingkat pendidikannya, penjual yang berpendidikan SLTA atau lebih akan memberikan persepsi bahwa onan

berpengaruh terhadap perekonomian 6,22 kali lebih rendah dibandingkan yang berpendidikan SD-SLTP. Penjual yang melakukan kegiatan di onan dengan frekuensi 4 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 59,88 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali. Sedangkan penjual yang frekuensi ke onan-nya 2-3 kali memiliki cenderung untuk memberikan pendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 35,97 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang hanya sekali frekuensi ke onan-nya. Penjual yang menempuh jarak ≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 20,77 kali lebih besar dibandingkan dengan penjual yang menempuh jarak < 5 km. Penjual yang beromset rata-rata ≥ 1.000.000 cenderung akan mempunyai persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 78,74 kali lebih rendah dibandingkan dengan penjual yang beromset rata-rata < 500.000, sedangkan penjual yang beromset rata-rata 500.000-1.000.000 akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 166,67 kali lebih rendah dibandingkan dengan penjual yang beromset rata-rata < 500.000.

2. Model Regresi Logistik untuk

Responden Pembeli Dengan memasukan seluruh variabel untuk responden pembeli yaitu, umur (X21), jenis kelamin (X22), pendidikan (X23), lapangan usaha (X24), jam kerja (X25), frekuensi ke onan (X26), jarak ke onan (X27), dan belanja per onan (X28), diperoleh model sebagai berikut:

Berdasarkan model regresi yang dihasilkan dan dengan melihat hasil uji statistik dengan derajat kepercayaan 10%, terlihat bahwa dari sembilan variabel penjelas yang diduga berpengaruh terhadap persepsi pembeli ternyata ada lima variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu

Page 47: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

46

jenis kelamin (X22), pendidikan (X23), frekuensi ke onan (X26), jarak ke onan (X27), dan variabel nilai belanja per onan (X28). Sedangkan tiga variabel lainnya ternyata tidak signifikan, sehingga model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi pembeli adalah sebagai berikut:

Dengan melihat nilai odds ratio dapat dijelaskan antara lain kecenderungan seorang pembeli yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 22,57 kali lebih rendah dibandingkan pembeli laki-laki. Dilihat dari tingkat pendidikannya, pembeli yang berpendidikan SLTA atau lebih akan memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 27,06 kali lebih tinggi dibandingkan yang berpendidikan < SD, sedangkan yang berpendidikan tamat SD-SLTP akan mempengaruhi 29,96 kali lebih besar dibanding yang pendidikannya < SD. Pembeli yang frekuensi ke onan-nya 2-3 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 21,03 kali lebih besar dibandingkan dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali. Dilihat dari jarak yang ditempuh oleh pembeli maka pembeli yang menempuh jarak ≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 29,68 kali lebih besar dibandingkan dengan pembeli yang menempuh jarak < 5 km. Variabel yang terakhir yang berpengaruh signifikan terhadap persepsi pembeli adalah rata-rata nilai belanja di setiap onan. Pembeli dengan rata-rata belanja per onan ≥ Rp.100.000,- cenderung untuk mempunyai persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 49,75 kali lebih rendah dibandingkan dengan pembeli yang biaya rata-rata belanja per onan-nya < Rp.50.000,-, sedangkan pembeli yang biaya rata-rata belanja per onan-nya Rp.50.000-Rp.99.999 akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 39,37 lebih rendah dibandingkan dengan pembeli yang

biaya rata-rata belanja per onan-nya < Rp.50.000,-. 3. Model Regresi Logistik untuk

Responden Gabungan Dengan memasukan seluruh variabel untuk responden penjual dan pembeli yaitu, umur (X1), Jenis kelamin (X2), pendidikan (X3), lapangan usaha (X4), jam kerja (X5), frekuensi ke onan (X6), jarak ke onan (X7), dan apresiasi terhadap onan (X8). Pada variabel X8 ini merupakan gabungan dari variabel jumlah omset yang dihasilkan oleh penjual untuk setiap onan dan variabel jumlah belanja yang dikeluarkan pembeli pada setiap onan. Ini berarti menggabungkan dari dua pengukuran yang berbeda, menjadi satu ukuran dengan nama apresiasi terhadap onan yang terdiri dari 3 kategori, yaitu apresiasi rendah, sedang dan tinggi. Dengan menggunakan delapan variabel, diperoleh model sebagai berikut:

Dengan taraf kepercayaan α=10% diperoleh model regresi logistik yang terbaik untuk persepsi penjual dan pembeli (pelaku ekonomi) adalah dengan menggunakan variabel jenis kelamin (X2), frekuensi ke onan (X6), jarak ke onan (X7) dan variabel apresiasi terhadap onan (X8), keempat variabel penjelas tersebut merupakan variabel yang mempengaruhi secara signifikan persepsi penjual dan pembeli. Model yang terbentuk sebagai berikut:

Dengan melihat nilai odds ratio pada lampiran 10 di atas dijelaskan antara lain kecenderungan pelaku ekonomi yang berjenis kelamin perempuan cenderung akan memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian 14,41 kali lebih rendah dibandingkan pelaku ekonomi laki-laki. Dengan kata lain pelaku ekonomi yang berjenis kelamin laki-laki memberikan pengaruh 14,41 kali tinggi

Page 48: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...

47

dibanding yang perempuan dalam penentuan persepsi terhadap onan. Pelaku ekonomi yang mempunyai frekuensi ke onan-nya 2-3 kali atau lebih cenderung untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 25,91 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang frekuensi ke onan-nya hanya sekali, sedangkan kecenderungan pelaku ekonomi yang frekuensi ke onan-nya 4 kali atau lebih untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 62,50 kali lebih rendah dibandingkan dengan responden yang ke onan dengan frekuensi hanya sekali. Dilihat dari jarak yang ditempuh oleh para pelaku ekonomi maka mereka yang menempuh jarak ≥ 5 km untuk mencapai onan akan cenderung berpendapat bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 13,14 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang hanya menempuh jarak < 5 km. Variabel yang terakhir yang berpengaruh signifikan terhadap persepsi pelaku ekonomi terhadap onan adalah apresiasi terhadap onan. Pelaku ekonomi yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap onan cenderung untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 28,74 kali lebih rendah dibandingkan dengan pelaku ekonomi apresiasi terhadap onan rendah, sedangkan pelaku ekonomi yang mempunyai apresiasi sedang terhadap onan akan memiliki kecenderungan untuk memberikan persepsi bahwa onan berpengaruh terhadap perekonomian adalah 36,76 kali lebih rendah dibandingkan dengan pelaku ekonomi yang apresiasi terhadap onan rendah.

4. Kaitan Hasil Penelitian dengan

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Dari penjelasan di atas diperoleh hasil bahwa beberapa variabel tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap persepsi yang dimiliki responden. Selanjutnya untuk menghubungkan hasil penelitian ini dengan perencanaan dan pengembangan wilayah dilakukan terlebih dahulu melihat tingkat perekonomian para pelaku onan (penjual). Tingkat perekonomian penjual tersebut dapat ditinjau dari omset yang diperoleh selama sebulan. Omset untuk menjelaskan hal

tersebut dapat dilihat omset dari 78 responden (penjual). Dengan memperhatikan Grafik 4.1, dapat dilihat bahwa secara umum omset penjualan per bulan bekisar dari Rp.100.000,- sampai dengan Rp.3.750.000,-. Sehingga dengan melihat total omset yang diperoleh dari seluruh responden selama sebulan sekitar Rp.94.655.000,-. Dengan menganalogkan bahwa sebesar 20% dari total omset tersebut merupakan keuntungan, maka kita mendapatkan angka Rp. 18.931.000,- per bulan. Angka sebesar itu dalam lingkup survei baru meliputi 78 responden jika nantinya digunakan untuk mengestimasi dari sekitar 350-an jumlah seluruh pedagang adalah angka yang sangat besar. Sebuah peluang untuk menggerakkan perekonomian secara individu/rumah tangga maupun untuk mendorong perkembangan perekonomian secara umum. Dilihat dari segi ruang (wilayah) yang didekati dengan jarak dari penjual di onan, diperoleh hasil bahwa total omset penjual yang memilik jarak ke onan 5 km atau lebih menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu sebesar Rp.64.040.00,- untuk 47 responden. Sedangkan untuk total omset penjualan per bulan yang memiliki jarak kurang dari 5 km hanya sebesar Rp.30.615.000,- untuk 31 penjual. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk penjual sebagai mana umumnya dalam jual beli adalah meminimalkan ongkos dan memaksimalkan laba, ternyata lebih banyak penjual yang berasal dari daerah berjarak 5 km atau lebih. Ini menunjukkan bahwa onan sebagai salah satu faktor terjadinya proses pengembangan wilayah. Hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya onan yang pada awalnya berdiri dengan sendirinya, yang hanya difasilitasi oleh penguasa lahan baik berupa milik sendiri warga masyarakat, tanah kosong yang tidak dipakai ataupun tahan milik negara/pemerintah daerah. Selanjutnya terjadi proses transaksi jual beli yang awalnya mungkin dimonopoli oleh orang-orang tertentu, namun dengan semakin mudah akses dan transportasi membentuk pasar oligopoli walaupun dalam skala kecil (onan). Sebagai mana dalam sisi ekonomi informal, ada istilah “anda jual, saya beli”, proses pembentukan onan ini berlangsung secara alami. Artinya jika tidak ada pembeli maka penjual semakin lama semakin

Page 49: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

48

berkurang dan cenderung sepi, sehingga lama-lama kegiatan onan akan berhenti. Namun di sisi lain, jika pembeli terus bertambah maka kegiatan onan akan terus berkembang. Bahkan secara mandiri onan tersebut akan dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti pembangunan sarana penjualan (atap, lantai), lokasi perparkiran, dan pembuangan sampah. Sampai pada tahap ini biasanya diperlukan peranan pemerintah untuk mengelola dan membina kegiatan onan, karena ini melibatkan banyak institusi dan kelembagaan. Dan pada akhirnya kegiatan onan menjadi kegiatan pasar seperti pada umumnya yang berlangsung secara terus menerus. Hal ini dijumpai adanya sebuah pasar yang berada di Kecamatan Air Batu yang tadinya onan namun sekarang sudah berlangsung setiap hari, sehingga dalam terminologi penelitian ini dikeluarkan dari istilah onan. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengguna onan (pembeli) sebagian besar

adalah perempuan, berdomisili dengan jarak kurang dari 5 (lima) km, melakukan transaksi pembelian 1 (satu) kali per minggu dan pada umumnya mempunyai lapangan usaha pada sektor pertanian (agriculture) dan perdagangan atau jasa (service).

2. Pelaku onan sebagian besar laki-laki sebagai penjual dengan frekuensi kunjungan ke onan 4 (empat) kali dalam seminggu yang berdomisili atau lebih dari 5 (lima) km serta pada umumnya lapangan usahanya adalah perdagangan atau jasa (service).

3. Onan pada umumnya dikelola oleh perorangan atau kelompok masyarakat yang belum ada menerima pembiayaan dan permodalan dari pemerintah.

4. Pada umumnya secara perlahan onan akan berubah menjadi pasar dengan dukungan dari penjual masyarakat dan pemerintah. Dan pada akhirnya terjadi proses pengembangan wilayah.

SARAN Terkait dengan hal tersebut di atas,

disarankan pada penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan onan perlu mempertimbangkan penambahan jumlah sampel, jika memungkinkan dapat dilakukan secara sensus untuk para pelaku onan. Karena onan tumbuh secara alamiah, maka pemerintah perlu memantau dan selanjutnya mengelola onan supaya dapat memberi manfaat kepada lebih banyak masyarakat, tertata secara teratur, walaupun tidak harus onan tersebut berlangsung setiap hari, namun mampu menggairahkan roda perekonomian sehingga mendorong pengembangan wilayah terutama di pedesaan. DAFTAR RUJUKAN Ananta, Aris, 1993, Ciri Demografis,

Kualitas Penduduk, dan Pembangunan Ekonomi, Lembaga Demografi FE-UI, Jakarta.

Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard,

E.R., 1991, Pengantar Psikologi. (8th

edition), Penerbit Erlangga, Jakarta. BPS, 1998a, Indikator Tingkat Hidup Pekerja

1997-1998, Biro Pusat Statistik, Jakarta.

BPS, 1998b, Indikator Kesejahteraan Anak

dan Pemuda, Biro Pusat Statistik, Jakarta.

BPS, 1999, Penyelamat Ketenagakerjaan

Indonesia dalam Info BPS No. 31/I/September 1999, Bagian Laporan Statistik, Jakarta.

BPS, 2006a, Statistik Indonesia 2005/2006,

Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS, 2006b, Kecamatan Air Batu Dalam

Angka Tahun 2006, BPS Kab. Asahan, Kisaran.

BPS, 2006c, Produk Domestik Bruto Kabupaten

Asahan Menurut Kecamatan Tahun 2005, BPS Kab. Asahan, Kisaran.

Page 50: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Dwi Prawoto: Kontribusi Pasar Mingguan...

49

Buwono X, Hamengku, 2005, Perspektif Daerah tentang UU No. 25, UU No. 32 & UU No. 33 Tahun 2004– dalam Seminar Nasional: Tatangan Implementasi UU No.25, UU No. 32 & UU No. 33 Tahun 2004 Dalam Membangun Ekonomi Daerah, Yogyakarta.

Daniel Moehar, 2002. Metode Penelitian

Sosial Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta. Dendi, Astia, Dr., Heinz-Josef Heili,

Mahman, Ruhyatil Hilaliyah, Rifai Saleh Haryono, 2004, Menanggulangi Kemiskinan Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal, Promis-NT, Mataram, http://www.gtzpromis.or.id/PEL/Strategy%20Paper/ Completed%20%20Strategi%20PEL%20(Indonesian).pdf, diakses tanggal 5 Maret 2007.

Effendi, T.N., 1998, Pola Mobilitas Pekerja:

Studi Kasus di Diroprajan Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.

Hosmer, David W. and Stanley Lemeshow,

1989, Applied Logistic Regression, John Wesley and Sons, New York.

Hadjisaroso, 1997, Konsep Dasar Pengembangan

Wilayah di Indonesia, dalam Prisma No. 8 Agustus 1994, Jakarta.

Jayadinata, Johara T., 1992, Tataguna Tanah

Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, ITB, Bandung.

Korompis, Fransiska R., 2005, Pemberdayaan

Sektor Informal: Studi tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya terhadap Penerimaan PAD di Kota Manado, Tesis Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif, Teori Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Jakarta.

Miraza, Bachtiar Hasan, 2005, Perencanaan

dan Pengembangan Wilayah, ISEI Bandung, Bandung.

Rachbini, Didik J., 2006, Ekonomi Informal

di Tengah Kegagalan Negara, Kompas. 15 April, 2006.

Sandy, I Made, 1992, Pembangunan Wilayah,

Monograf, IPB, Bogor. Sarumpaet, J.P., 2005, Kamus Batak–

Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sukirno, Sadono, 1985, Ekonomi Pembangunan,

Universitas Indonesia, Jakarta. Sulistyowati, Dwi Yulita, 1999, Kajian

Persaingan Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan Berdasarkan Pengamatan Perilaku Berbelanja di Kota Bandung, Tugas Akhir, ITB, Bandung.

Supriyanto, Agustinus, 2006, Jamsostek

Pekerja Sosial – Kompas Jogja, 23 Maret 2006, http://www.ilo.org/public/ english/region/asro/jakarta/download/ informal2006.pdf, diakses tanggal 5 Maret 2007.

Todaro, Michael P., 1998, Pembangunan

Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, Alih Bahasa Haris Munandar, Erlangga. Jakarta.

Page 51: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

50

WILAYAH KECAMATAN ULEE KARENG DAMPAK DARI BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI TAHUN 2004

Cut Driska

Alumnus PWD SPs USU

Abstract: The aim of the research is to reveal the impact of earth quake and tsunami in Ulee Kareng, a kecamatan in Banda Aceh that avoid from the disaster. The result of the study shows that the main reason of the people move to Ulee Kareng is secure of disaster. As the impact of migration, the population in Ulee Kareng increased to 32.9% as well as schools including junior scholl and Politechnic. The numbers of housing also increase to be 64.45%. Numbers of merchant also increase significantly to 148% as well as stores. Informal institution such as social institution and merchant union has not been developed yet, because of the homogenous culture, tribes and paradigm of the migrant in the previous living place. Keywords: regional development and tsunami disaster

PENDAHULUAN Bencana alam berupa gempa bumi yang diikuti oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Kota Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bencana ini merenggut puluhan ribu nyawa dan menyebabkan sejumlah orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Selain korban jiwa, gempa bumi dan tsunami juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur seperti jalan, rumah, transportasi, jaringan listrik, jaringan air bersih, drainase, prasarana ekonomi, sarana komunikasi, pendidikan, kesehatan, pusat perdagangan, kantor-kantor pemerintah, TNI/POLRI dan swasta. Bencana ini merupakan yang terbesar dari beberapa bencana yang pernah dialami kota ini sebelumnya. Kehilangan mata pencaharian dan hancurnya sebagian besar sarana dan prasarana ekonomi di wilayah ini, telah berdampak lumpuhnya kegiatan perekonomian, khususnya di kecamatan-kecamatan yang mengalami kondisi terparah akibat bencana tersebut. Bencana gempa bumi dan tsunami telah menyebabkan 3 kecamatan dari 9 kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh, yaitu Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Jaya Baru, dan Kecamatan Kutaraja hancur total. Selain itu, ada 3 kecamatan yaitu Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Syiah Kuala, dan Kecamatan Kuta Alam yang hancur sebagian, dan 3 kecamatan lainnya yaitu

Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan Lueng Bata, dan Kecamatan Banda Raya yang relatif tidak terkena Tsunami (Renstra Kota Banda Aceh, 2005–2009). Pascabencana, wilayah yang terkena dampak menghadapi masalah-masalah yang kompleks, baik dari aspek fisik, ekonomi, sosial-budaya dan kelembagaan. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pada pemulihan kondisi ekonomi dan sosial. Kondisi psikologis akibat trauma serta kondisi wilayah pascabencana dan keinginan masyarakat untuk hidup normal, menyebabkan sebagian warga memilih untuk pindah ke wilayah yang lebih aman dan memiliki fasilitas-fasilitas sosial-budaya. Perpindahan warga ini juga diikuti oleh para pelaku ekonomi yang merasa akan lebih nyaman untuk melaksanakan kegiatan bisnisnya di daerah yang tidak terkena dampak. Daerah tujuan yang lebih menonjol dari ketiga kecamatan yang relatif tidak terkena dampak bencana adalah Kecamatan Ulee Kareng. Kecamatan Ulee Kareng berjarak sekitar 3,5 kilometer dari pusat pemerintahan kota, menjadi daerah tujuan dari kaum migran khususnya dari para pelaku ekonomi dari daerah yang mengalami bencana. Kehadiran kaum migran ini berpengaruh pada perkembangan wilayah Ulee Kareng yang ditandai dengan pertambahan penduduk, bertambahnya fasilitas-fasilitas sosial ekonomi dan perkembangan Pasar Ulee Kareng.

Page 52: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Cut Driska: Wilayah Kecamatan Ulee Kareng...

51

Todaro (2000) lebih jauh juga mengemukakan bahwa fungsi terpenting dari teori pembangunan adalah mengupas dan memecahkan persoalan-persoalan pembangunan akan mempengaruhi suatu strategi pembangunan. Strategi pembangunan (dalam bentuk kebijakan dan tindakan) akan beranjak dari suatu teori pembangunan tertentu. Dampak dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi (Soemarwoto, 1999). Misalnya semburan asap beracun dari kawah gunung adalah aktivitas alam yang bersifat kimia, gempa bumi adalah aktivitas alam yang bersifat fisik dan pertumbuhan massal enceng gondok aktivitas alam biologi. Aktivitas dapat pula dilakukan manusia, yaitu aktivitas pembangunan dan kehidupan sehari-hari yang bisa menimbulkan dampak tertentu.

Pembangunan

Kenaikan kesejahteraan

Dampak biofisik

Dampak sosial-ekonomi-budaya

Dampak sosial-ekonomi-budaya

Dampak biofisik

Dampak Kegiatan Dampak

Gambar 1. Skematis Terjadinya Dampak

(Soemarwoto, 1999) Salah satu indikator dalam memperkirakan dampak bencana alam terhadap pengembangan wilayah dipandang dari sudut ekonomi adalah dengan melihat kecenderungan pengeluaran masyarakat (consumption spending) melalui sisi penjualan. Peningkatan pengeluaran masyarakat akan mendorong peningkatan permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa. Selanjutnya, peningkatan permintaan tersebut akan mendorong produsen untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Dampak berikutnya adalah peningkatan aktivitas perdagangan dengan bertambahnya jumlah unit-unit usaha dan migrasi penduduk. Todaro (2000) menyatakan bahwa, keputusan bermigrasi merupakan suatu

respons terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di kota dibandingkan dengan yang diterima di pedesaan, termasuk kemungkinan memperoleh pekerjaan di perkotaan. Suroso Z (dalam Marbun, BN, 1990: 63), dalam kajian mengenai motivasi migrasi, menemukan kenyataan bahwa bagi sebagian besar responden, faktor penarik orang bermigrasi adalah karena alasan lapangan pekerjaan. Dengan demikian, migrasi dianggap sebagai suatu investasi individu yang diputuskan setelah yang bersangkutan terlibat dalam kalkulasi biaya dan manfaat. Secara spesifik permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah: Apa motivasi masyarakat dalam memilih Kecamatan Ulee Kareng sebagai tempat bermukim? Bagaimana dampak migrasi penduduk dari wilayah yang terkena bencana alam terhadap aspek sosial dan aspek ekonomi, infrastruktur dan kelembagaan di Wilayah Kecamatan Ulee Kareng? Apakah ada perbedaan rata-rata pendapatan pedagang migran dan pedagang lokal sebelum dan setelah bencana alam di Kecamatan Ulee Kareng? METODE Untuk menjawab permasalahan yang pertama, digunakan metode deskriptif yaitu mendeskripsikan motivasi masyarakat dalam memilih lokasi bemigrasi di Kecamatan Ulee Kareng, berdasarkan skala prioritas dan hasilnya diharapkan akan menemukan motivasi utama masyarakat untuk bermigrasi. Untuk menjawab permasalahan yang kedua juga digunakan analisis deskriptif, dengan data sekunder dan hasil pengamatan. Informasi data ditunjukkan dalam persentase. Untuk menjawab permasalahan ke tiga, dilakukan analisis dengan uji beda parametrik uji–t (t–test) berdasarkan matched fair, yang dibantu dengan program komputer SPSS for Windows ver.13.00 HASIL Kecamatan Ulee Kareng adalah salah satu kecamatan di antara 9 kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terdiri atas 9 gampong (dalam bahasa setempat, setingkat kelurahan) dengan Ibu Kota Kecamatan Gampong Ceurih. Wilayah ini memiliki luas 615,0 ha.

Page 53: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

52

Gambaran Umum Responden Responden dalam penelitian ini dikelompokkan pada: (1) Masyarakat migran yaitu masyarakat yang memilih menetap permanen di wilayah Ulee Kareng pascabencana gempa dan tsunami, tujuannya untuk mengetahui motivasi masyarakat dalam memilih wilayah Ulee Kareng sebagai tempat bermukim, (2) Pedagang migran dan pedagang lokal, penetapan pedagang sebagai sampel dalam penelitian ini bertujuan melihat aktivitas ekonomi di sektor perdagangan yang mana kegiatan ini menunjukkan salah satu indikator pengembangan wilayah. Data responden diambil dari Tahun 2004 (sebelum bencana alam terjadi) sampai Tahun 2007. Jumlah responden 91 rumah tangga terdiri dari 27 responden kelompok masyarakat migran, 38 responden kelompok pedagang migran, dan 26 responden pedagang lokal, yang tersebar di wilayah Kecamatan Ulee Kareng. Kelompok sasaran dalam penelitian ini adalah kepala keluarga. 1. Karakteristik Masyarakat Migran di

Kecamatan Ulee Kareng Pengelompokan usia responden berdasarkan usia paling tinggi dan paling rendah dari seluruh data usia responden menunjukkan bahwa secara umum responden berada pada kelompok usia 31–40 tahun (59%), dan 22% berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa usia para kaum migran boleh dikatakan masih relatif muda dan usia produktif. Pekerjaan responden terbanyak adalah sebagai karyawan swasta (56%). Di urutan kedua terbanyak adalah sebagai Pegawai Negeri/TNI/POLRI sebesar 26%. Sebagian dari responden yang berstatus sebagai Pegawai Negeri/TNI/POLRI menyatakan bahwa mereka pindah ke wilayah Kecamatan Ulee Kareng adalah karena pindah tugas. Tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat migran mengalami perubahan. Kenaikan persentase pendapatan terjadi pada responden yang tingkat pendapatan berada pada tingkat Rp 1.201.000–Rp 1.800.000 yaitu sebesar 14,8% pada umumnya kelompok ini bekerja sebagai PNS/TNI/Polri, sedangkan penurunan persentase pendapatan terjadi pada responden yang tingkat pengeluaran berada pada tingkat di atas Rp. 3.000.000,- sebesar 11%.

Perbedaan besarnya pengeluaran konsumsi pangan sebelum dan sesudah bermigrasi sebesar 23,5%. Perubahan yang paling besar terjadi pada sektor perumahan yaitu sebesar 79,9% sementara pendidikan naik 8,7%. Sektor transportasi naik sebesar 23%. Perbedaan jumlah pengeluaran rata-rata sebelum dan sesudah bencana sebesar 17,8% menunjukkan berbagai indikasi antara lain, mahalnya kebutuhan pokok, tingginya harga sewa rumah, dan lain-lain. 2. Karakteristik Pedagang Migran di

Kecamatan Ulee Kareng Usia pedagang migran berdasarkan hasil observasi yang dilakukan dari usia paling tinggi dan paling rendah dari seluruh data usia responden menunjukkan bahwa secara umum responden berada pada kelompok usia kurang dari 30 tahun (58%), dan 36% berada pada kelompok usia di bawah 31–40 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa usia para pedagang migran masih tergolong relatif muda dan usia produktif. Kondisi pendapatan keluarga pedagang migran dari sisi hasil usaha mengalami perubahan yang cukup tajam. Kenaikan persentase pendapatan terjadi pada responden yang tingkat pendapatan berada pada tingkat Rp 1.201.000 – Rp 1.800.000 sebesar 44,7%, sedangkan penurunan juga terjadi pada tingkat pendapatan di bawah Rp. 600.000 sampai Rp. 1.200.000. Sebesar 39,5%. Pada umumnya pedagang migran berdagang pakaian jadi (toko pakaian). Proporsi pengeluaran rumah tangga yang paling besar adalah untuk konsumsi pangan sehari-hari. Namun, perubahan yang paling menonjol dari rata-rata pengeluaran per bulannya terdapat pada pengeluaran untuk biaya perumahan, sebesar 187,1%. Hal ini disebabkan oleh kenaikan biaya perumahan (sewa rumah) pascabencana yang cukup tajam, termasuk harga bahan-bahan yang dibutuhkan untuk perawatan rumah tinggal. Secara keseluruhan, pengeluaran rumah tangga ini mengalami kenaikan sebesar 67,7%, dan dapat dijadikan sebagai indikator perbaikan kondisi ekonomi, bila diimbangi dengan kenaikan tingkat pendapatan yang sebanding.

Page 54: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Cut Driska: Wilayah Kecamatan Ulee Kareng...

53

3. Karakteristik Pedagang Lokal di Kecamatan Ulee Kareng

Usia Pedagang lokal berdasarkan hasil observasi yang dilakukan dari usia paling tinggi dan paling rendah dari seluruh data usia responden menunjukkan bahwa secara umum responden berada pada kelompok usia 31-40 tahun (46%), dan 27% berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun, artinya responden pedagang lokal berada pada usia produktif. Secara umum, tingkat pendidikan pedagang lokal adalah SLTP (62%). menunjukkan hasil observasi adalah 62% responden memiliki tingkat pendidikan SLTP, 19% sekolah dasar, 15% SMU, dan 4% tidak sekolah. Pendapatan responden pedagang lokal mengalami perubahan. Kenaikan persentase pendapatan terjadi pada responden yang memiliki tingkat pendapatan Rp 1.201.000–Rp 1.800.000 sebesar 11,6%. Responden ini umumnya berusaha warung kopi dan pedagang sembako. Penurunan pendapatan terjadi pada responden dengan tingkat pendapatan di bawah Rp. 600.000,-, responden kategori ini pada umumnya berjualan bumbu masak. Pengeluaran rumah tangga yang paling banyak adalah pada klasifikasi konsumsi pangan sehari-hari. Namun, perubahan yang paling menonjol dari rata-rata pengeluaran per bulannya terdapat pada pengeluaran untuk biaya perumahan, sebesar 79,7%. Hal ini dikarenakan oleh kenaikan biaya perumahan (sewa rumah) pascabencana yang cukup tajam, termasuk harga bahan-bahan yang dibutuhkan untuk perawatan rumah tinggal. Secara keseluruhan, pengeluaran rumah tangga ini mengalami kenaikan sebesar 63,5%. PEMBAHASAN Hasil analisis pengeluaran rumah tangga pedagang lokal bila dikaitkan dengan hasil analisis pengeluaran rumah tangga pedagang migran menunjukkan bahwa dampak dari tingginya permintaan terhadap sektor perumahan dirasakan oleh pedagang lokal maupun pedagang migran. Jika diasumsikan bahwa tingginya permintaan terhadap perumahan ini sebagai akibat dari adanya migrasi, maka pedagang lokal dalam hal ini mengalami dampak negatif. Namun analisis perbedaan pendapatan menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan menunjukkan

bahwa pendapatan yang diperoleh lebih tinggi (83%) dibandingkan dengan peningkatan biaya perumahan (79,9%), sehingga dapat disimpulkan adanya migrasi memberikan akumulasi dampak positif bagi pedagang lokal. 1.) Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Motivasi Masyarakat dalam Memilih Kecamatan Ulee Kareng sebagai Tempat Bermukim

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat dalam memilih lokasi tempat tinggal yang sebagai berikut: faktor keamanan; faktor kenyamanan; jauh dari pusat bencana; tersedianya lahan perumahan; dekat dengan pusat kota; mengikuti saudara/ kerabat, dekat dengan pusat pendidikan; dan kawasan pengembangan Kota Banda Aceh. Distribusi pendapat responden berdasarkan motivasi migrasi dapat dilihat pada Tabel 1. 2.) Analisis Dampak Migrasi terhadap

Pengembangan Wilayah di Kecamatan Ulee Kareng

Penduduk merupakan faktor utama dalam pengembangan wilayah, berikut akan dianalisis dampak migrasi penduduk dari wilayah yang terkena bencana alam terhadap: aspek sosial antara lain meliputi fasilitas pendidikan dan perumahan, aspek ekonomi antara lain meliputi jumlah pedagang, jumlah unit usaha dan perbedaan pendapatan pedagang di Kecamatan Ulee Kareng. Jumlah Penduduk Perubahan jumlah penduduk dalam suatu wilayah, secara umum dipengaruhi oleh faktor kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan faktor migrasi masuk dan migrasi ke luar. Terjadi kenaikan jumlah penduduk yang cukup signifikan dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2006. Pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu ini sebanyak 5.642 jiwa, atau angka relatif mencapai 32,9%. Hasil wawancara dengan Camat Ulee Kareng dijelaskan bahwa masyarakat yang memilih wilayah Ulee Kareng sebagai tempat tinggal dan tempat melakukan aktivitas berdagang dalam kurun waktu sekarang bukan saja akibat bencana alam, masyarakat lebih melihat ke prospek pengembangan wilayah Ulee Kareng sebagai kawasan perniagaan.

Page 55: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

54

Tabel 1. Motivasi Masyarakat untuk Bermigrasi ke Wilayah Kecamatan Ulee Kareng

Pendapat No. Motivasi Bermigrasi Setuju % Tidak Setuju %

Total

1. Keamanan 21 77,8 6 22,2 27

2. Kenyamanan 22 81,5 5 18,5 27

3. Jauh dari pusat bencana 23 85,2 4 14,8 27

4. Tersedianya lahan perumahan 10 37,0 17 63,0 27

5. Dekat dengan pusat kota 14 51,9 13 48,1 27

6. Mengikuti saudara/kerabat 9 33,3 18 66,7 27

7. Dekat pusat pendidikan 16 59,3 11 40,7 27

8. Kawasan pengembangan Kota Banda Aceh 11 40,7 16 59,3 27

9. Keberadaan jalur angkutan umum 11 40,7 16 59,3 27

10. Menemani orang tua 2 7,4 25 92,6 27

11. Pindah pekerjaan 5 18,5 22 81,5 27

Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2007.

Fasilitas Pendidikan Data yang diperoleh dari Kecamatan Ulee Kareng menunjukkan bahwa masih terdapat warga yang pada usia sekolah belum menikmati pendidikan. Menyajikan data perbandingan penduduk yang berada pada kelompok usia sekolah tahun 2004 dengan tahun 2006. Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2004, persentase penduduk usia sekolah yang tidak sekolah adalah sebesar 9,8%, sedangkan pada tahun 2006 adalah sebesar 7,8% terjadi penurunan presentase tidak sekolah antara sebelum dan sesudah bencana alam sebesar 2%. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain jumlah fasilitas dan jarak fasilitas pendidikan ke lingkungan perumahan warga. Tabel 4.33, menunjukkan perbandingan jumlah fasilitas pendidikan tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Umum/Kejuruan sebelum bencana alam (tahun 2004) dan sesudah bencana (tahun 2006). Kenaikan jumlah yang terjadi hanya pada tingat Sekolah Dasar yaitu sebanyak dua unit, sedangkan untuk tingkat SLTP belum ada penambahan jumlah, hanya terdapat satu unit dan untuk tingkat SMU/SMK sedang dalam pembangunan.

Fasilitas Perumahan Data mengenai jumlah rumah pada periode sebelum bencana alam (tahun 2004) dan sesudah bencana alam (tahun 2007) yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Camat Ulee Kareng sektor perumahan mengalami peningkatan dari 2.540 unit menjadi 4.177 unit, atau mengalami peningkatan sebesar 64,45%. Peningkatan jumlah rumah yang cukup signifikan difasilitasi oleh Pemerintah Propinsi NAD untuk perumahan karyawan, pihak developer perumahan, dan beberapa NGO. Umumnya pihak developer perumahan sudah memiliki sejumlah lahan yang dibeli jauh sebelum bencana alam terjadi, bahkan sebagian perumahan-perumahan yang sebelum bencana terbengkalai, sesudah bencana pihak developer segera menyempurnakan pembangunan perumahan tersebut. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan akan rumah oleh masyarakat di wilayah Ulee Kareng. Aspek Ekonomi 1. Jumlah Pedagang Migrasi penduduk dari wilayah yang terkena bencana alam ke wilayah yang tidak terkena bencana alam, memiliki dampak terhadap sektor perdagangan di wilayah

Page 56: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Cut Driska: Wilayah Kecamatan Ulee Kareng...

55

Kecamatan Ulee Kareng. Ditinjau dari perubahan jumlah pedagang yang ada di Pasar Ulee Kareng mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan yang dimaksud diindikasikan dengan terjadinya pertambahan jumlah pedagang dalam rentang waktu 2 periode (Tahun 2004-2005 dan Tahun 2005-2006) sebanyak 379 kepala keluarga (148%). 2. Jumlah Unit Usaha Dampak migrasi penduduk dari wilayah yang terkena bencana alam ke wilayah yang tidak terkena bencana alam, ditinjau dari perubahan jumlah unit usaha yang ada di Pasar Ulee Kareng juga mengalami perubahan yang cukup signifikan seiring dengan perubahan jumlah pedagangnya. Pertambahan jumlah unit usaha dalam rentang waktu 2 periode (tahun 2004–2005 dan tahun 2005-2006) sebanyak 389 unit usaha (146,2%). Infrastruktur Fasilitas prasarana perhubungan yang ada di Kecamatan Ulee Kareng berupa jalan sepanjang 83,091 km, yang terdiri atas jalan aspal sepanjang 65,244 km, jalan diperkeras sepanjang 4,319 km dan jalan tanah sepanjang 13,528 km (Kecamatan Ulee Kareng Dalam Angka Tahun 2006). Pascabencana, penambahan ruas jaringan jalan yang sedang dalam proses pembangunan di kawasan ini adalah jaringan Jalan Panglima Nyak Makam-Tanjong sepanjang 2,250 km, yang dilengkapi dengan jembatan sepanjang 200 m yang membelah sungai Krueng Aceh dan menghubungkan Kecamatan Ulee Kareng dengan Kecamatan Lambaro Kabupaten Aceh Besar.

Aspek Kelembagaan Kajian mengenai aspek kelembagaan difokuskan pada pertumbuhan lembaga koperasi yang ada di Kecamatan Ulee Kareng. Jenis koperasi yang mengalami pertumbuhan yang pesat adalah Koperasi Serba Usaha (KSU), yaitu sebesar 3 unit. KSU bergerak di bidang simpan pinjam, anggotanya terdiri dari masyarakat umum diprioritaskan kepada masyarakat yang mempunyai usaha produktif. Pertumbuhan koperasi ini dipicu oleh tingginya minat masyarakat meminjam modal usaha pada koperasi. Pertumbuhan lainnya juga dialami oleh Koperasi Wanita (Kopwan) sebesar 1 unit dan koperasi lainnya sebesar 4 unit. Kopwan adalah koperasi yang memberikan pinjaman kepada ibu-ibu rumah tangga yang mempunyai usaha produktif, seperti usaha berjualan kue tradisional. Koperasi lainnya adalah koperasi yang tidak dapat diklasifikasikan dalam jenis-jenis koperasi di atas, yang dibentuk oleh kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan usaha. 3.) Analisis Perbedaan Pendapatan

Pedagang sebelum dan Sesudah Bencana Alam

Pedagang Migran Hasil analisis perbedaan rata-rata pendapatan pedagang migran sebelum dan sesudah terjadinya gangguan alam di Kecamatan Ulee Kareng, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Rata-Rata Pendapatan Pedagang Migran

Uraian Sebelum Migrasi

Sesudah Migrasi

Perbedaan Pendapatan

% Perbedaan

Rata-rata Pendapatan Pedagang Migran (Rp/bulan) 1.494.737 1.263.158 -231.579 -15.5

Signifikansi = 0,508

t(37 ; 0,025) = 1,960

t(hitung) = 0,668

Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2007.

Page 57: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.3, No.1, Agustus 2007

56

Tabel 3. Hasil Analisis Rata-rata Pendapatan Pedagang Lokal

Uraian Sebelum Bencana

Sesudah Bencana

Perbedaan pendapatan

% Perbedaan

Rata-rata Pendapatan Pedagang Lokal (Rp/bulan) 565.385 1.034.615 469.230 83

Signifikansi = 0,011

t(26 ; 0,025) = 2,.060

t(hitung) = 2,741 Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2007.

Tabel 2, menunjukkan bahwa thitung < ttabel (α = 5 %) atau 0,668 < 1,960 hal ini menunjukkan bahwa H1 ditolak, di mana tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata pendapatan pedagang migran di Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh sebelum dan setelah migrasi. Rata-rata pendapatan pedagang migran menurun sebesar Rp. 231.579,- atau 15,5% per bulan, hal ini disebabkan sebahagian besar pedagang migran mempunyai usaha toko pakaian jadi, sepatu, dan barang pecah belah, yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Penurunan pendapatan pedagang migran cukup kecil, sehingga secara statistik hipotesis ditolak dan dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata pendapatan pedagang migran sebelum dan sesudah bermigrasi ke daerah yang baru. Pedagang Lokal Tabel 3, menyajikan hasil analisis perbedaan rata-rata pendapatan pedagang lokal sebelum dan setelah terjadinya bencana alam di Kecamatan Ulee Kareng. Tabel 3, menunjukkan bahwa thitung > ttabel (α = 5 %) atau 2,741 > 2,060, hal ini menunjukkan bahwa H1 diterima, di mana terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata pendapatan pedagang lokal di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh sebelum dan setelah bencana alam. Peningkatan pendapatan pedagang lokal cukup besar, sehingga secara statistik hipotesis diterima dan dinyatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata pendapatan pedagang lokal sebelum dan sesudah bencana alam.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang disajikan pada bab terdahulu, maka pada bagian ini dirumuskan beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Hasil kajian membuktikan bahwa faktor

yang paling dominan memotivasi masyarakat dalam memilih wilayah Ulee Kareng sebagai tempat bermukim adalah faktor jauh dari pusat bencana.

2. Dampak migrasi penduduk ke wilayah Kecamatan Ulee Kareng dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah terhadap aspek sosial, aspek ekonomi, infrastruktur, dan kelembagaan.

3. Pascabencana alam, rata-rata pendapatan pedagang migran mengalami penurunan sebesar Rp. 231.579,- atau 15,5% per bulan.

SARAN Beberapa saran dari kesimpulan penelitian tersebut di atas, diajukan untuk pihak pemerintah, masyarakat, dan para akademisi, sebagai berikut: 1. Pemerintah

a. Sudah saatnya membuat manajemen mitigasi bencana antara lain kegiatan pelatihan dan sosialisasi untuk meningkatkan kesigapan dan kesadaran masyarakat secara kontinu untuk menghadapi situasi sulit, mengingat potensi gempa dan tsunami di Propinsi NAD amat tinggi.

b. Menata ulang pasar tradisional tersebut untuk jangka pendek, dan untuk jangka panjang memikirkan relokasi pasar mengingat lokasi pasar yang ada sekarang persis di pinggir jalan utama kecamatan, tepat di daerah yang sangat padat arus lalulintas.

Page 58: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

Cut Driska: Wilayah Kecamatan Ulee Kareng...

57

2. Masyarakat Mematuhi kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah khususnya para pedagang dengan berjualan di tempat yang telah ditentukan, agar terhindar dari kesemrautan lalulintas.

3. Akademisi Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan studi pengembangan wilayah Ulee Kareng berkaitan dengan potensi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam, mengingat wilayah Ulee Kareng merupakan wilayah pengembangan Kota Banda Aceh.

DAFTAR RUJUKAN Anonimus, 2005, Rancangan Rencana Induk

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara; Buku IV: Rencana Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan, Republik Indonesia.

, 2005, Rencana Strategis (Renstra)

Kota Banda Aceh 2005–2009, Pemerintah Kota Banda Aceh.

, 2006, Dampak Bencana Gempa

dan Tsunami terhadap Perekonomian Regional Sumatera Utara, Bank Indonesia (Kerjasama antara Bank Indonesia Medan dengan LPPM USU), Medan.

, 2006, Kecamatan Ulee Kareng

Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Kota Banda Aceh.

, 2006, Population of Kota Banda Aceh, Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia.

, 2006, Profil Kecamatan Ulee

Kareng Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.

, 2006, Revisi Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Banda Aceh 2007–2016, Pemerintah Kota Banda Aceh.

Arikunto, S., 2002, Prosedur Penelitian

(Suatu Pendekatan Praktek), PT Rineka Cipta, Jakarta.

Arsyad Lincolin, 1999, Pengantar

Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE Yogyakarta.

Isard, Walter, 1976, Methods of Regional

Science, The Massachusets Institute of Technology, USA

Jayadinata, J.T., 1999, Tata Guna Tanah

dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB Bandung.

Keban, Yeremis T., 1994, Studi Niat

Bermigrasi di Tiga Kota: Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan, Majalah Prisma No. 7, Juli.

Todaro P. Michael, 2000. Ekonomi

Pembangunan di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.

Page 59: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

58

Page 60: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

59

WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah

INFORMASI BERLANGGANAN (Biaya Berlangganan: Kota di Sumatera Rp 85.000/tahun dan Kota di

luar Sumatera Rp 100.000/tahun)

LEMBAR PEMESANAN Nama :_____________________________________

Alamat :_____________________________________

Kota :_____________________________________

Telepon :__________Fax.__________e-mail________

Lembaga :_____________________________________

_____________________________________

Pemesanan Tahun Terbitan :____________________________ Pembayaran Tunai Transfer

Transfer melalui Rekening Bank Mandiri Cabang USU Medan a.n. Muhammad Yusuf No. Rekening: 106 – 00 – 0512719 – 9

Alamat Redaksi Ruang Studio, Program Studi PWD (S2)/Perencanaan Wilayah (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Jl. Prof. T. Maas, Kampus USU

Medan 20155, Telepon 061-8212453 http://pwd.usu.ac.id

Page 61: Wahana Hijau Volume 3 No. 1 Agustus 2007

60