vol.7 no.2 juli 2018 - asekmadb.ac.idasekmadb.ac.id/akademis/jurnal/dokumen/2018/adbs0722018.pdf ·...

142
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 0 Vol.7 No.2 Juli 2018 ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO Oleh: M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd. DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP PENINGKATAN KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M. PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI TERHADAP KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si. PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN PERKANTORAN Oleh: Astuti Widiati, S.E., M.Pd.; Muller Sagala, S.E.,M.M. ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

Upload: lamque

Post on 06-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 0

Vol.7 No.2 Juli 2018

ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI

SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO

Oleh: M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd.

DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP

PENINGKATAN KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN

Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI

TERHADAP KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA

Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.

PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN

PERKANTORAN

Oleh: Astuti Widiati, S.E., M.Pd.; Muller Sagala, S.E.,M.M.

ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS

PEMBANGUNAN MANUSIA

Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 i

Vol.7 No.2 - Juli 2017 ISSN 2089-4198

ADB’S Secretary JURNAL DUNIA SEKRETARIS

Susunan Kepengurusan Jurnal Ilmiah Dunia Sekretaris :

Penanggung Jawab

:

V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.

Mitra Bestari/Reviewer

Pimpinan Redaktur

:

:

Dr. Nicolaus Uskono, S.Sos., M.Si.

Dr. V.W. Cahyana, M.Si.

Dr. Hendrikus Passagi

Dr. Zulkifli Rangkuti

RR. Martha Septina Purbowati, S.S.,M.Pd.

Wakil Pimpinan Redaktur : Muller Sagala, S.E., M.M.

Redaktur : Cecilia Agustien Umbas, S.Kom., M.Pd.

Astuti Widiati, S.E., M.Pd.

Penyunting / Editor : Muller Sagala, S.E., M.M.

Ir. Markonah, ASAI, M.M.

Desain Grafis dan Fotografer : Muller Sagala, S.E., M.M.

Sekretariat : M.V. Mieke Marini M.P., M.Hum.

Theresia Pawarti

A. Niken Budi Palupi

Alamat Redaksi : Kampus Asekma Don Bosco

Jl. Pulomas Barat V

Jakarta Timur

Telp: 021-4898774 Faks:021-4701190.

Situs http://www.asekma.ac.id

Email: [email protected]

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 ii

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat,

Buku Jurnal Dunia Sekretaris nomor Vol.7 No.2 - Juli 2018 ini merupakan karya

ilmiah dari para dosen, alumni, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, dan pegawai

Akademi Sekretari dan Manajemen Don Bosco yang relevan dengan dunia sekretaris. Buku

Jurnal Ilmiah volume ini menyajikan beberapa kajian yang menarik antara lain bagaimana

rasa takut mahasiswa saat melakukan percakapan dalam bahasa Inggris, apa pengaruh

kompetensi lulusan terhadap keberhasilan dalam dunia kerja.

Beberapa tahun terakhir ini ramai dibicarakan tentang financial technology (FinTech).

Bagaimana peran FinTech dalam mengubah sikap masyarakat dalam mengelola transaksi

keuangan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam skala administrasi keuanga

perkantoran. Topik lainnya adalah bagaimana peran sistem ban berjalan dalam

meningkatkan kinerja sistem perkantoran.

Semoga para pengguna buku Jurnal Ilmiah ini mendapatkan manfaat besar dalam

bidangnya masing-masing sekaligus untuk mendorong perkembangan profesi sekretaris

dalam dunia yang terus berubah.

Salam sukses dari Dewan Redaksi.

Jakarta, 2 Juli 2018

Dewan Redaksi

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 iii

Vol.7 No.2 - Juli 2017 ISSN 2089-4198

ADB’S Secretary JURNAL DUNIA SEKRETARIS

DAFTAR ISI

Hal

ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI

SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO

Oleh: M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd.

1

DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP

PENINGKATAN KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN

Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

67

PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI

TERHADAP KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA

Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.

80

PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN PERKANTORAN

Oleh: Astuti Widiati, S.E., M.Pd.; Muller Sagala, S.E.,M.M.

102

ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS

PEMBANGUNAN MANUSIA

Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

122

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 1

ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI

SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO

Oleh : M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd.

(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])

ABSTRAK

Tujuan utama penelitian ini adalah mengukur rasa ketakutan mahasiswa saat percakapan

dalam bahasa Inggris, penyebab rasa ketakutan itu, serta menawarkan cara untuk

mengatasi rasa ketakutan saat berbicara dalam bahasa Inggris.

Tiga pertanyaan dalam penelitian ini. Pertama, ditujukan untuk mengetahui apa saja

ketakutan-ketakutan yang dialami mahasiswa saat harus berbicara dalam bahasa Inggris.

Kedua ditujukan untuk mencari penyebab dari rasa takut mahasiswa untuk berbicara dalam

bahasa Inggris. Dan ketiga dimaksudkan untuk menawarkan cara guna mengatasi rasa takut

untuk berbicara dalam bahasa Inggris.

Sebuah angket yang terdiri dari 33 soal tentang ketakutan di kelas bahasa asing dengan

skala Likert, dibagikan kepada 47 mahasiswa, dan pertanyaan terbuka diberikan kepada

tujuh mahasiswa dan tiga dosen Asekma Don Bosco. Data statistik yang diperoleh kemudian

dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif analisis SPSS versi 16 untuk program

windows dan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini dirangkum dalam tiga poin. Pertama, mahasiswa teridentifikasi positif

mengalami ketegangan saat mereka harus berbicara dalam bahasa Inggris. Kedua, ada

beberapa faktor yang menyebabkan ketegangan saat berbicara dalam bahasa Inggris: takut

membuat kesalahan, takut gagal dalam test bahasa Inggris, masalah dalam penguasaan tata

bahasa dan kosakata, ketakutan karena mahasiswa lain lebih baik dalam berbahasa Inggris,

dan takut atas evaluasi dosen. Ketiga, penelitian ini dapat mengajukan beberapa cara untuk

mengatasi ketegangan mahasiswa untuk berbicara dalam bahasa Inggris, seperti

merancang kegiatan belajar dan menggunakan lebih banyak pendekatan konstruktif terlebih

untuk menguji dan menilai perkembangan mahasiswa.

Kata kunci: foreign language anxiety, EFL, speaking

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 2

CHAPTER I

INTRODUCTION

1.1 Background

Many of us have often experienced fear when we speak in public, especially when

we have to speak in a foreign language. The reasons why we feel stressed when we are

expected to speak in a foreign language vary, but the symptoms of such fear are the same.

Samuelsson (2011, p.1) explained that these symptoms show variation from just trembling,

blushing, and sweating to feeling out of breath, dizziness as well as being frightened to faint

at the moment of speaking.

In second or foreign language learning, oral communication becomes a natural and

important part. Studies of second language use have shown the kinds of problems L2 learner

face – and the skills they need to overcome them – to communicate in an L2 (e.g. Bialystok,

1990). Horwitz et al. (1986, p.125) stated that the major concern that often occurs in speaking

class is the student’s hesitation to speak. There are many reasons behind this and they vary

from one another. Young (1990, p.539) wrote, “Speaking in the foreign language is often

cited by students as their most anxiety-producing experience.”

MacIntyre and Gardner (1991, p.86) wrote that language anxiety is experienced by

learners of both foreign and second language and poses potential problems “as it can interfere

with the acquisition, retention and production of the new language.” Scovel (1978, p.134)

has considered anxiety “as a state of apprehension, a vague fear that is only indirectly

associated with an object, not as a simple, unitary construct, but as a cluster of affective

states, influenced by factors which are intrinsic and extrinsic to the foreign language learner.”

Many learners express their inabilities and sometimes even acknowledge their failure

in learning to speak a second or foreign language. These learners may be good at learning

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 3

other skills, meanwhile, when it comes to learning to speak another language; they claim to

have a ‘mental block’ against it (Horwitz et al., 1986, p.125). What, then, prevents them to

succeed in learning a second/foreign language? In the article by Horwitz et al. (1986, p.125),

it is mentioned that the learners may have an anxiety reaction which impedes their ability to

perform successfully in a foreign language class.

Tsui (1996, p.155) comments on the reason why secondary school students may be

reluctant to use English in class, one reason is “fear of making mistakes and being ridiculed

by classmates.” Tertiary students may still be affected by this fear. Speaking in front of

others, with the possibility of evaluation from the audience, would seem to cause discomfort.

Campbell and Ortiz (1991, p.159) found that language anxiety among university students to

be ‘alarming’ and estimated that up to one half of all language students experience

debilitating levels of language anxiety.

For some time, researchers, language teachers, and even language learners

themselves have been interested in the possibility that anxiety inhibits language learning

(Horwitz, 2001, p.112). She has hypothesized that anxiety impacts on foreign language

learning.

While many scholars have studied general language anxiety, Horwitz, Horwitz, and

Cope (1986, p.128) were the first to suggest that foreign language research had neither

defined anxiety that is specific to foreign language learning nor described the effects of

anxiety on foreign language learning in classroom settings. They hypothesized that anxiety

specific to foreign language learning parallels three related performance anxieties:

communication apprehension, test anxiety, and fear of negative evaluation. Furthermore,

Horwitz et al. (1986, p.128) speculated that foreign language anxiety was not simply the

combination of the three performance anxieties but was a “distinct complex of self-

perceptions, beliefs, feelings, and behaviors related to classroom language learning arising

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 4

from the uniqueness of the (foreign) language learning process.” They hypothesized that

performance difficulties in a foreign language may be due, in some measure, to anxiety.

Teaching English is given a higher priority in Indonesia’s curriculum over all other

foreign language in all school systems at all levels, from Elementary to University (Kerangka

Dasar dan Struktur Kurikulum – Kemendikbud, 2013). Higher education’s students need to

have linguistic knowledge of English as they have to be able to communicate with people in

international communication, especially during discussion in meetings and conferences.

In ESP area, English is taught as the basis competence for these students to be a

personal assistant, now called as executive assistant, in business activity. (Barret, 2015, p.54)

stated that five core attributes of an effective executive assistant are reliability, punctuality,

loyalty, honesty, and a commitment to effective communication with the employee receiving

support. Ability to clearly convey, persuades, and negotiates information and ideas to

individuals or group are the required competence of an executive assistant. This condition

pushed the teachers to give as much as English exposures to students. They are asked to

response and speak in English during the class and when they want to communicate with the

teacher.

Whilst English speaking skill has been given greater priority in the English learning

process, the researcher still finds some problems when inviting students to actively

participate in the classroom. The most apparent problem is related to students’ hesitation in

using English orally as a foreign language. When students are asked and given opportunity

to conduct conversation in English, most of them have lack of willingness to do it. They

prefer to keep silent or use their gesture like giving a smile and move their head, which

indicates they do not want to speak or they do not know what to say, or say one or two

sentences in low voices and sit down in haste when they are asked to answer questions. The

other way of rejecting the chance to produce the language is, they will suddenly stop in the

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 5

process of speaking and after some moments; they will turn to the teacher and ask whether

Indonesian can be used. This problem occurred because in practice, exercises on discourse

level are not given much taught when they were at the secondary school; as a consequence,

students may gain linguistic competence in English but not its functional use. In other words,

skills acquired are applicable only within the classroom but insufficient when applied to

natural settings (Katemba, 2013, p.1).

There were many studies on anxiety conducted by experts, yet study focused on

students of secretarial diploma major is still limited. This research was conducted in

environment where all students were females with various high school backgrounds, SMA

and SMK, and also vary on their English proficiency and capacity.

The use of modern communicative language teaching approaches in the language

classrooms and the wide-spread use of English have increased the demand to learn good

communication skills but existence of anxiety in the learners may prevent them from

achieving the desired goal. Consideration of learners’ anxiety reactions in learning to speak

another language by a language teacher is highly important in order to assist them to achieve

the intended performance goals in the target language.

1.2 Statements of the Problem

Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don Bosco is a Diploma Three (D-

III) education program majoring in secretary, managed by the Yayasan Panca Dharma in

Pulomas, Jakarta Timur. They prepare the students to take part in business field at the

management level as secretaries or personal assistants (PA).

Students are studying English for Specific Purposes, which means, the courses are

directed towards their future profession. They may perceive that English is of crucial

importance for success in finding a job and achieving promotion in their professional career.

Meanwhile, most of the learners have a problem in speaking. Despite the fact that they have

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 6

learned English for at least 6 years in high school, students still have difficulty to use the

language appropriately. In practice, they prefer not to communicate in English even though

they have enough linguistic competence. It can be more stressful when they are expected to

speak before the fluency is achieved. They once were asked to join an English Club to raise

their motivation to use English, but it did not produce a successful result.

Students’ hesitation in speaking English has become a topic which is commonly

discussed among the management and teachers at the researcher’s academy. We often

wonder why this happens. Those who should be responsible for this condition are the English

teachers. For this reason, the researcher conducts this study by involving two subject groups,

the students and teachers, in order to get comprehensive answers of the following research

questions:

1. To what extent are the students of ASEKMA Don Bosco anxious when they have to

speak in English?

2. What are the sources of their anxiety?

3. What strategies can be used to cope with speaking anxiety?

1.3 Objectives of The Study

This research has three objectives as follows:

1. To find out to what extent the students of ASEKMA Don Bosco are anxious when they

have to speak in English;

2. To seek out the source of students’ anxiety;

3. To describe what strategies that can be used to cope with speaking anxieties.

1.4 Limitation of the Study

This research is limited into two scopes, as follows:

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 7

1. This present study focuses on students’ anxiety, sources of their anxiety, and their

strategies to cope with the anxiety, regardless their gender and age, their attitude towards

language learning, and their language proficiency.

2. Students in this study refer to students of ASEKMA Don Bosco Semester II Academic

Year 20014/2015. Thus, the results of this study might not be applicable to another

setting. Teachers at this study refer to two permanent teaching staffs and one part-timer

teacher.

1.5 Significance of Study

From this study, educators, especially lecturers in ASEKMA Don Bosco will get

useful information on students’ anxiety level in speaking English as a foreign/second

language. The information will give them insight of the strategies that can be implemented

to reduce language anxiety and to create less stressful learning atmosphere.

The findings can also be used to help students find suitable strategies to overcome

their anxiety problem. It is essential to ensure that they have the competency in the language

so that they can perform well in English. Last but not least, it is also essential for the

management as they will have a clear answer on the problems of students’ hesitation in

speaking English.

1.6 The Organization of the Paper

This paper is organized in five parts. The first part is the introduction, which covers

the background of the study, statement of problem, objective of the study, limitation of the

study, and the significance of the study.

The second part is the literature review, which discusses the definition of anxiety, the

previous studies on anxiety, the theory of anxiety in second/foreign language, and the

theoretical concept dealing with speaking skills in ESL/EFL and the anxiety in the speaking

class.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 8

The third part discusses the methodology, which includes the choices of research

design. The fourth part focuses on the findings and discussion of the research. And finally,

the fifth part is the conclusion.

CHAPTER II

LITERATURE REVIEW

There is a great deal of research on anxiety related to foreign language learning. This

review first looks at more general on anxieties; the second section will discuss the role of

anxiety in learning a second/ foreign language; the third is about the types of anxiety; and

finally, the previous studies of anxiety in EFL speaking classroom.

2.1 The Definition of Anxiety

Based on Webster’s New World Dictionary, Anxiety is defined as a state of being

uneasy, apprehensive, or worried about what may happen; concern about possible future

event. Other definition is written by Scovel (1991, p.18). As he declared that “anxiety is a

psychological construct; commonly described by psychologists as a state of apprehension, a

vague of fear that is only indirectly associated with an object.” Other psychologists, Horwitz

et al., (1991, p.27) agree with Spielberger and defined anxiety as “the subjective feeling of

tension, apprehension, nervousness, and worry associated with an arousal of the autonomic

nervous system.” Moreover, Hansen (1977, p.91) called anxiety as “an experience of general

uneasiness, it is a sense of foreboding, and a feeling of tension.” Bekleyen (2001) explain

anxiety as “emotional response existed in one personality which threat individual’s values.”

Other definition on anxiety is given by Chastain, 1988, as cited by Riasati (2011,

p.907) that anxiety is “a state of uneasiness and apprehension or fear caused by the

anticipation of something threatening.” It is also said that anxiety is one of the most well

documented psychological phenomena. The definition ranges from a mixture of overt

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 9

behavioral characteristic that can be studied scientifically to introspective feelings that

epistemologically inaccessible (e.g. Casado & Dereshiswsky, 2004). Recently, Cassady

(2010, p.1) introduced the term academic anxiety as “a unifying formulation for the

collection of anxieties learners experience while in schools.”

In linguistics, many researchers examined anxiety together with other affective

variables like attitudes and motivation, as a potential factor influencing language learning

success since the 1970’s. Scovel (1978, p.134) proposes that “anxiety should not be viewed

as an independent construct; it should be examined from a multi-dimensional perspective.”

He defines anxiety as “a state of apprehension, a vague fear that is only indirectly associated

with an object characterized by a cluster of affective states influenced by factors which are

intrinsic and extrinsic to the foreign language learner.”

Horwitz (2001, p.113), writes that “anxiety is the subjective feeling of tension,

apprehension, nervousness and worry associated with an arousal of the autonomic nervous

system. It has been found to interfere with many types of learning and it is only logical that

this would also apply to second language learning.”

2.2 Speaking Skills

Bygate (2001, p.16) stated that “to understand what is involved in developing oral

L2 skill, it is useful to consider the nature and condition of speech.” Levelt (1989) proposed

that speech production involves four major processes: conceptualization, formulation,

articulation, and self-monitoring. Bygate (2001, p.16) stated the details of the processes as

follow: “Conceptualization is concerned with planning the message content. Formulation

is concerned to find the words and phrases to express the meanings, sequencing them and

putting in appropriate grammatical markers. Articulation involves the motor control of the

articulatory organs. Self-monitoring is concerned with language users being able to identify

and self-correct mistakes.”

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 10

Furthermore, Bygate (2001, p.16) also stated that the skills are also affected by the

context. “Speaking is typically reciprocal: any speakers are normally all able to contribute

simultaneously to the discourse, and to respond immediately to each other’s contributions.

Further, speaking is physically situated face to face interaction: speakers can see each other

and so can refer to the physical context and use a number of physical signals to indicate

attention to the interaction, their intention to contribute and their attitude towards what is

being said. Hence, speech can tolerate more implicit reference. Finally, in most speech

situations, speech is produced ‘on-line’. Speakers have to decide on their message and

communicate it without taking time to check it over and correct it: any interlocutors cannot

be expected to wait long for the opportunity to speak themselves. Hence, time pressure

means that the process of conceptualization, formulation, and articulation may not be well

planned or implemented, and need pauses or corrections.”

Moreover Bygate (2001, p.17) said that the ‘on-line’ processing conditions produce

language that is grammatically more ‘fragmented’, uses more formulaic phrases, and

tolerates more easily the repetition of words and phrases within the same extract of discourse.

Hence, oral language differs from written language both in process and product. The

implication for teaching is that oral skills and oral language should be practiced and assessed

under different conditions from written skills, and that a distinct methodology and syllabus

may be needed.

2.3 Anxiety in Learning a Foreign Language

In terms of performing in foreign language, Gardner and MacIntyre (1993), Oxford

(1999, p.59), defined anxiety as “fear of apprehension occurring when a learners is expected

to perform in the second/ foreign language.”

Previously, Krashen (1980) stated that anxiety contribute to an affective filter, which

prevents students from receiving input, and then language acquisition fails to progress.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 11

Horwitz et al. (1986, p.125) wrote, ”Just as anxiety prevents some people from performing

successfully in science or mathematics, many people find foreign language learning,

especially in classroom situation, particularly stressful.” In regards with this finding, Gardner

and MacIntyre (1993, p.5), then, considered that language anxiety ‘is seen as a stable

personality trait referring to the propensity for an individual to react in a nervous manner

when speaking in the second language. It is typified by self-belittling, feelings of

apprehension, and even bodily responses such as a faster heartbeat.”

According to Mitchell and Myles (2004, p.27) “the anxious learner is also less willing

to speak in class, or to engage target language speaker in formal interaction.” And

Onwuegbuzie et al. (1999, p.218) delineated language anxiety as “the feeling of tension

and apprehension specifically associated with second language context, including speaking,

listening, and learning”. And this definition appears to be widely accepted by researchers.

Horwitz et al. (1986, p.130) define foreign language anxiety as “a distinct set of

beliefs, perceptions, and feelings in response to foreign language learner in the classroom”,

and more concretely (p.125) as “an anxiety reaction which impedes their ability to perform

successfully in foreign language class”. Other definition of foreign language anxiety (FLA)

which is more abstract is given by Young (1992, p.157) where she sees FLA as “a

complicated psychological phenomenon peculiar to language learning.” Future research by

Hilleson (1996, p.250) described foreign language classroom anxiety as a situational-specific

form of foreign language anxiety.

People tend to experience with anxiety when they have to speak/ make a speech in

different situations, especially which require public speech. Many researchers agree that

there is a strong bond between anxiety and speaking activities. Daly (1991, p.1) states that

the anxiety experienced by many people while communicating in their first language seems

to have many logical ties to second/foreign language anxiety.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 12

The difference is that when communicating in other than the first language the

difficulty goes a step further in associate with the suitable lexis; construct an appropriate

syntactic structure, the use of comprehendible accent, and the demanding tasks of thinking

and organizing ideas and expressing them at the same time (Tanveer, 2007, p.3).

Many researchers (Bailey, Onwuegbuzie, and Daley, 2000; Spielmann and

Radnofsky, 2001; Young, 1992) have seen foreign language anxiety as a complex, multi-

dimensional construct. The idea of complexity may come from the fact that foreign language

anxiety is seen as being linked to and interacting with a variety of other variables (Phillips,

2005, p.9).

Young (1991a, p.427), listed six types of sources of foreign language anxiety: 1)

personal and interpersonal anxieties; 2) learner’ beliefs about language learning; 3)

instructor’ beliefs about language teaching; 4) instructor-learner interactions; 5) classroom

procedures; and 6) language testing.

It is said by MacIntyre and Gardner (1991b, p.514), that language anxiety linked to

everyday anxieties. The interaction of anxiety and causality has created heated debate, like

there is a question of whether the anxiety is internal and/ or external (Philips, 2005, p.9).

Different opinions to the suitability of using anxiety as a predictor of foreign

language ability have been proposed by many researchers. Onwuegbuzie, Bailey, and Daley

(1999a, p.217) viewed anxiety as a predictor of foreign language achievement; Sparks and

Ganschow (1991; 1995), Ganschow and Sparks (1996), and MacIntyre (1995a;b) look at

causality; does foreign language anxiety lead to poor foreign language ability or vice-versa?

MacIntyre exposes the primary importance of anxiety while Sparks and Ganschow (1996,

p.200) claim that aptitude is the main variable. Young (1991b) backs the latter view in her

study of oral proficiency ratings relevant to teacher certification. Scovel (1978, p.132)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 13

claimed that, there is no interaction between foreign language anxiety and foreign language

ability.

Despite the long debates, it has been found that anxiety centered on the two basic

task requirements of foreign language learning: listening and speaking, because in

interaction, both the skills cannot be separated (Horwitz et al., 1986, p. 129).

2.4 Types of Anxiety

For some time, researchers, language teachers, and even language learners

themselves have been interested in the possibility that anxiety inhibits language learning.

Therefore, some researchers proposed categories of anxiety as follows:

a. Trait, state, and situational specific anxiety

b. Communication apprehension, test-anxiety and fear of negative evaluation

c. Self-efficacy and appraisal

2.4.1 Trait, State, and Situational Specific Anxiety

Horwitz (2001, p.113) stated that anxiety, as perceived intuitively by many language

learners, negatively influences language learning and has been found to be the most highly

examined variables in all of psychology and education. Psychologists make a distinction

between three categories of anxiety: trait anxiety, state anxiety, and situational specific

anxiety.

2.4.1.1 Trait Anxiety

Spielberger (1983, p.83) described individual who are more anxious and more likely

to become anxious regardless of situation are referred to as having trait anxiety. MacIntyre

and Gardner (1991b, p.514) identified trait anxiety as a personality trait that requires therapy

and is more lasting and stable and occurs in a variety of situations. It arises in response to a

perceived threat, but it differs in its intensity, duration and the range of situations in which

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 14

it occurs. Trait anxiety refers to the differences between people in terms of their tendency to

experience state anxiety in response to the anticipation of a threat.

People with a high level of trait anxiety experience more intense degrees of state

anxiety to specific situations than most people do and experience anxiety toward a broader

range of situations or objects than most people (Casado and Dereshiwsky, 2011; Ellis, 2008;

Scovel, 1978; Spielberger, 1972). Thus, trait anxiety describes a personality characteristic

rather than a temporary feeling (Hatfield, 2015, p.1).

Oxford (1999, p.59) stated that students may experience state anxiety in foreign

language classes when they are asked to speak. When anxiety experienced in foreign

language classes becomes permanent, it adversely affects performance and achievement in

foreign language. Pappamihiel (2002, p.330) wrote that “once the anxiety becomes a trait

one, it will hinder language learning.”

2.4.1.2 State Anxiety

Some researchers (Scott, 1986; Young, 1990) found that state anxiety is considered

a normal feeling and it is a more short-term reaction to a certain event. Hatfield (2015, p.1)

writes that “state anxiety describes the experience of unpleasant feelings when confronted

with specific situations, demands or a particular object or event. State anxiety arises when

the person makes a mental assessment of some type of threat. When the object or situation

that is perceived as threatening goes away, the person no longer experiences anxiety. Thus,

state anxiety refers to a temporary condition in response to some perceived threat.”

Riasati (2011, p.908) explained that “this anxiety occurs in learners because they are

exposed to a particular situation or event that is stressful to them; for example, there are some

learners who feel anxious if they are called by the teacher to speak in the classroom. The

good thing about state anxiety is that it diminishes over time as the learners get used to the

new environment or feel comfortable with the teacher.”

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 15

2.4.1.3 Situation Specific Anxiety

In the field of second language acquisition, MacIntyre and Gardner (1991) draw upon

the work done by Spielberger (1983) to make additional distinction. They suggested a type

of anxiety called situation specific anxiety which is experienced only in particular and

specific situation (MacIntyre & Gardner, 1991, p.24). It is refers to anxiety when a specific

event is reoccurred. MacIntyre & Gardner (1991c, p.90) defined state anxiety as “a blend of

trait and situational approaches.” They implied that “the situation-specific approach captured

the essence of foreign language anxiety and demonstrated a role for anxiety in the language

learning process” (MacIntyre & Gardner 1991c, p.87).

Horwitz (2001) also agrees that language anxiety is a more specific anxiety. “Trait,

state, and situation-specific anxiety may all have some effect on public speaking

performance. The impact of anxiety may also be influenced by personality variables”

(Philips, 2005, p.6).

2.4.2 Communication Apprehension, Test-Anxiety, and Fear of Negative Evaluation

Horwitz et al., (1986, p.127-128), connect foreign language anxiety to three

categories: communication apprehension, test-anxiety, and fear of negative evaluation. The

details of each category are as follows:

2.4.2.1 Communication apprehension.

Communication apprehension, oral communication anxiety, “stage fright”

and speaking anxiety are different terms for the manifestation of “difficulty in speaking in

dyads or groups or in public, or in listening to or learning a spoken message” (Horwitz et al.,

p.127).

Horwitz et al., (1986, p.128) describe it as “a distinct complex of perception, beliefs,

feelings, and behavior arising from the uniqueness of the language learning process.” Earlier,

McCroskey (1978, p.193) defined communication apprehension as “a person’s level of fear

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 16

or anxiety associated with either real or anticipated communication with another person or

persons.” He pointed out that typical behavior patterns of communicatively apprehensive

people are the communication avoidance and communication withdrawal.

Keramida (2009, p.39) added that “students who exhibit communication

apprehension do not feel comfortable communicating in the target language in front of others

due to their limited knowledge of the language, especially in relation to speaking and

listening skills.”

2.4.2.2 Test anxiety

Horwitz et al. (1986, p.127) stated that “test anxiety occurs in any testing situation,

and it refers to fear of failure in an individual’s performance. The reason for such anxiety is

often that anxious students put unrealistic demands on themselves feeling that mediocre test

performance is generally a failure.”

Previous studies by researchers (McKeachie et al., 1985; Sarason, 1984; Wine, 1971)

posit that test anxiety occurs when students who have performed poorly in the past develop

negative, irrelevant thoughts during evaluation situations. Aida (1994, p.157) writes that

“students will get difficulties to focus on what is going on in the classroom as they tend to

divide their attention between self awareness of their fears and worries and class activities

themselves.”

Keramida (2009, p.39) stated that “students who experienced test anxiety consider

the foreign language process, and especially oral production, as a test situation, rather than

an opportunity for communication and skills improvements.”

2.4.2.3 Fear of negative evaluation

Horwitz et al.,(1986, p.128) defined it as “apprehension about others’ evaluations,

avoidance of evaluative situations, and the expectation that others would evaluate one-self

negatively.”

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 17

Keramida (2009, p.39) stated that “students who experienced fear of negative

evaluation do not consider language errors as a natural part of the learning process, but as a

threat to their image, and a source for negative evaluations either from the teacher or their

peers. As a result, they are silent and withdrawn most of the time, and do not participate in

language activities.”

Horwitz et al. (1986) created the Foreign Language Classroom Anxiety Scale

(FLCAS) which considered as the first study to propose an anxiety construct that was

specific to the situation of language learning. Horwitz (1986, p.559) said that “the FLCAS

is used in order to measure foreign language anxiety, a self-report measure which assesses

‘the degree of anxiety, as evidenced by negative performance expectancies and social

comparisons, psycho-physiological symptoms, and avoidance behaviors.” The construct of

Foreign Language Classroom Anxiety Scale can be seen in Table 2.1 as follow:

Table 2.1 Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS)

by Horwitz, Horwitz & Cope (1986)

SA = Strongly Agree ; A = Agree ; N = Neither Agree nor Disagree ; D = Disagree ; SD

= Strongly Disagree

No. Statements SA A N D SD

1 I never feel quite sure of myself when I am speaking in

my foreign language class.

2 I don’t worry about making mistakes in language class.

3 I tremble when I know that I’m going to be called on

in language class.

4 It frightens me when I don’t understand what the

teacher is saying in the foreign language.

5 It wouldn’t bother me at all to take more foreign

language classes.

6 During language class, I find myself thinking about

things that have nothing to do with the course.

7 I keep thinking that the other students are better at

language than I am.

8 I am usually at ease during tests in my language class.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 18

9 I start to panic when I have to speak without

preparation in language class.

10 I worry about the consequences of failing my foreign

language class.

11 I don’t understand why some people get so upset over

foreign language class.

12 In language class, I can get so nervous I forget things I

know.

13 It embarrasses me to volunteer answers in my language

class.

14 I would not be nervous speaking the foreign language

with native speakers.

15 I get upset when I don’t understand what the teacher is

correcting.

16 Even if I am well prepared for language class, I feel

anxious about it.

17 I often feel like not going to my language class.

18 I feel confident when I speak in foreign language class.

19 I am afraid that my language teacher is ready to correct

every mistake I make.

20 I can feel my heart pounding when I’m going to be

called on in language class.

21 The more I study for a language test, the more confused

I get.

22 I don’t feel pressure to prepare very well for language

class.

23 I always feel that the other students speak the foreign

language better than I do.

24 I feel very self-conscious about speaking the foreign

language in front of other students.

25 Language class moves so quickly I worry about getting

left behind.

26 I feel more tense and nervous in my language class than

in my other classes.

27 I get nervous and confused when I am speaking in my

language class.

28 When I’m on my way to language class, I feel very sure

and relaxed.

29 I get nervous when I don’t understand every word the

language teacher says.

30 I feel overwhelmed by the number of rules you have to

learn to speak a foreign language.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 19

31 I am afraid that the other students will laugh at me

when I speak the foreign language.

32 I would probably feel comfortable around native

speakers of the foreign language.

33 I get nervous when the language teacher asks questions

which I haven’t prepared in advance.

Moreover, Horwitz (2001, p.114) called this construct of Foreign Language Anxiety,

which they submitted, was “responsible for students’ negative emotional reactions to

language learning.” Wilson (2003, p.65) writes, as ways of measuring anxiety experienced

in the language classroom were sparse at that time, Horwitz et al designed the FLCAS as a

means of evaluating this particular kind of anxiety and creating in the process a scale that

would be used by numbers of researchers from then on.

2.4.3 Self-efficacy and Appraisal

Pappamihiel (2002, p.329) stated that “general theories of anxiety can be

conceptualized using two models by Pekrun’s (1992) Expectancy-Value Theory of Anxiety

(EVTA) and Bandura’s (1991) theory of self-efficacy. The EVTA model combines situation

expectancies (appraisal of situations as being threatening or not) with action-control

expectancies (appraisal about one’s ability to initiate and carry out an effective solution).

Similarly, theory of self-efficacy posits that when a situation is perceived as threatening, the

resultant anxiety is dependent on an individual’s perception of his/her ability to deal

positively with that threat.”

Thus, in general, Pappamihiel (2002, p.331) stated that “anxiety can be associated

with threats to self-efficacy and appraisals of situations as threatening. In a specific situation

such as language learning, a fear of negative evaluation, test anxiety, and communication

apprehension, and threats to one’s sense of self can reduce feelings of self-efficacy and

increase the chances that a second language situation will be seen as threatening.”

2.5 Previous Studies

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 20

There are many researches that have been conducted relating to the students’ anxiety

in foreign language learning. Studies from some researchers, named: Granchow & Sparks;

Sila; and Cao, will be further discussed below and supported by related literature in this

research.

2.5.1 Ganschow and Sparks’ Research (1996)

This research was conducted by two researchers namely Leonore Ganschow and

Richard Sparks in 1996. Leonore Ganschow was from Department of Educational

Psychology Miami University, Oxford, Ohio; while Richard Sparks was from Department

of Education College of Mt. St. Joseph, Ohio. The research’s aim was to examine the

relationship between anxiety and native language skill and foreign language aptitude among

a population of high school foreign language learners.

This research examined students’ anxiety level and measures of native language skill,

foreign language aptitude, and foreign language grades among a population of high school

women enrolled in first-year foreign language classes,

The research samples were 154 females who attended a highly selective, single sex

college preparatory high school and were enrolled in the first of a 3-year foreign language

course sequence. The test instruments that were administered include:

a. The Foreign Language Screening Instrument (FLCAS by Horwitz et al., 1986)

b. The Modern Language Aptitude Test, Long Form (MLAT LF by Carroll & Sapon, 1959)

c. The Nelson-Denny Reading Test (NELSON form E, by Brown, Bennet, & Hanna, 1981)

d. The Peabody Picture Vocabulary Test-Revised (PPVT-R, form L, by Dunn & Dunn,

1981)

e. The Phoneme Deletion (PHON DEL)

f. The Wide Range Achievement Test-Revised, Spelling subtest (WRAT SP by Jastak &

Wilkinson, 1984)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 21

g. The Woodcock Reading Mastery Test-Revised, Form G, Basic Skills Cluster (WRMT

BSC by Woodcock, 1987)

h. The Woodcock-Johnson Psychoeducational Battery, Memory Cluster (WJMC by

Woodcock & Johnson, 1978)

In integrative reasons, the findings showed that low-anxious students perform better

than high-anxious students on measures of native language skill in the

phonological/orthographic domain, on a measure of foreign language aptitude. They found

overall differences among women classified in Hi-, Ave-, and LO-ANX groups on eight of

the nine variables, seven of which had been hypothesized to have significant differences.

The finding of large and significant differences in foreign language grades by ANX

level is consistent with findings by some foreign language researchers, who have examined

the correlation between grades and the FLCAS.

2.5.2 Sila’s Research (2010)

This is a research on young adolescent students’ foreign language anxiety in relation

to language skills at different levels conducted by Sila AY from Ankara University, Turkey,

in 2010. This study concentrates on the relationship between anxiety, language skills, and

levels of instructions.

The data was collected from 55 students of fifth graders, 48 students of sixth graders,

and 57 students of seventh graders, which come to a total of 160 participants of Ankara

University Development Foundation Primary School, and the age ranges were 11 – 13 years

old.

The questionnaire of FLCAS was used as the data collection instrument in the

research. However, as the FLCAS does not focus on the skills individually since it aims to

measure students’ in-class anxiety in general, she then, first modified so as to separate the

skills and then translated into Turkish. It was also simplified because the original scale was

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 22

designed for adult learners. The scale administered consisted of a total of 20 questions, four

each on language skills, there were:

a. speaking,

b. listening,

c. reading,

d. writing, and

e. grammar skills, respectively.

The findings showed that in relation to speaking skills, seventh grade students were

more anxious than sixth and fifth graders. In relation to listening skills, fifth grade students

were more anxious than sixth and seventh graders. In relation to reading skills, fifth grade

students were more anxious than sixth and seventh graders. In relation to writing skills,

seventh grade students were anxious than the sixth and fifth graders. In relation to grammar

skills, fifth, sixth, and seventh grade students hold nearly the same degree of anxiety.

She concluded that this research revealed that the foreign language anxiety,

experienced by young adolescent Turkish students, differs in relation to levels of instruction

and basic language skills. Foreign language anxiety is reported in receptive skills (listening

and reading) at the beginner levels and then in productive skills (speaking and writing) as

the levels advance.

The findings which suggest that beginner-level students are relatively more anxious

seem to contradict MacIntyre’s conception (1999) that foreign language anxiety is an anxiety

felt only when one is required to produce in a foreign language. It is also contradict to

Oxford’s idea (1999) that students may experience state anxiety when they are required to

speak in foreign language classes, but it diminishes as their foreign language skills and levels

of learning increase.

2.5.3 Cao’s Research (2011)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 23

This research is conducted in 2011 by Yuan Cao from De La Salle University, Manila

Philippines. It is aimed to compare two models of foreign language classroom anxiety scale

and to find out which model of FLCAS has better fitness.

There are two models employed in investigating foreign language anxiety (Horwitz

et al., 1986; Na, 2007; Huang, 2008). The first model uses the three domains that cover

communication apprehension, test anxiety, and fear of negative evaluation. The second

model covers communication apprehension, test anxiety, fear of negative evaluation, and

anxiety of English classes.

Cao noticed that Huang study in 2008 used the first model in assessing students’

anxiety in foreign language classroom, where the 33 items were constructed under the three

domains, which are consistent with the model used in Horwitz (1986). The distribution of

the items is as follow:

- communication apprehension are (1, 4, 9, 14, 15, 18, 24, 27, 29, 30, 32);

- test anxiety are (3, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 16, 17, 20, 21, 22, 25, 26, 28); and

- fear of negative evaluation are (2, 7, 13, 19, 23, 31, 33).

However, Aida’s study (1994) revealed FLCAS is a four factor model:

- speech anxiety and fear of negative evaluation;

- fear of failing the Japanese class;

- degree of comfort when speaking with native speakers of Japanese; and

- negative attitudes towards the Japanese class.

Another four factor model was proposed by Zhao (2007) who reconstructed Horwits et al.’s

three factors model into four domains with the items as follow:

- communication apprehension (1, 9, 14, 18, 24, 27, 29, 32)

- test anxiety (2, 8, 10, 19, 21)

- fear of negative evaluation (3, 7, 13, 15, 20, 23, 25, 31, 33)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 24

- anxiety of foreign language class (4, 5, 6, 11, 12, 16, 17, 22, 26, 28, 30)

The questionnaires were distributed to students of the first year of college to fourth

year college students’ ages 18 to 23 years old who studied engineering, information

technology, economy and trade in China mainland.

The findings showed that both models were significant and indicate convergence of

the three and four factors. To find the better fit model, Cao uses chi-square (x2), Root Mean

Square Error Approximation (RMSEA), Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz

Bayesian Criterion (SBC), Browne-Cudeck Cross Validation Index (BCCVI).

As the result, the three factor model has the best fit as it is shown as follow:

Comparison of Fit of the Two Models of FLCAS

Model χ2 RMSEA AIC SBC BCCVI

Three-factor

Model 2169.18 .07 7.72 8.57 7.78

Four-factor

Model 2211.19 .07 7.88 8.77 7.93

**P<.01

Having confirmed the construct of foreign language classroom anxiety allows other

researchers to use and further test the construct to strengthen its general functions.

CHAPTER III

THEORETICAL FRAMEWORK AND RESEARCH METHODOLOGY

This chapter will describe the details of the subjects, the instruments, and the

procedures of this study.

3.1 Theoretical Framework

Researchers (Clement 1980; Young 1992; MacIntyre and Gardner 1994b; MacIntyre

1999; and Zhang, 2001) have given various definitions for foreign language anxiety.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 25

However, Horwitz, Horwitz, and Cope (1986, p 129) described foreign language anxiety as

“a phenomenon related to but distinguishable from other specific anxieties”. As such,

Horwitz, Horwitz and Cope were the first to conceptualize foreign language anxiety as “a

unique type of anxiety specific to language learning” (Trang, 2011, p. 69).

Earlier, Scovel (1978) recognized conflicting findings in the earlier anxiety research

and attributed them to a lack of proper instruments for measuring language anxiety. Gardner

(1985) supported the view and further argued that instruments directly concerned with

foreign language anxiety would be more appropriate for studying foreign language anxiety

than those used for measuring general anxiety. He said that “not all forms of anxiety would

influence second or foreign language learning, but a construct of anxiety which is not general

but instead is specific to the language acquisition context is related to second language

achievement” (p. 34). Gardner, Clement, Smythe, and Smythe (1979) designed a five item

scale instrument, which, though it was restricted in scope, was relevant to foreign language

anxiety.

Horwitz, Horwitz and Cope (1986) then state, “since anxiety can have profound

effects on many aspects of foreign language learning, it is important to be able to identify

those students who are particularly anxious in foreign language class” (p.128).

The study was done during the summer of 1983 to students in the beginning language

classes at the University of Texas. They conducted an experiment and developed the Foreign

Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) which uses a Likert scale (Horwitz et al.,

p.129). The FLCAS has afforded an opportunity to examine the scope and severity of foreign

language anxiety. The 33 items reflected the three categories of foreign language anxiety:

communication apprehension, test-anxiety, and fear of negative evaluation in the foreign

language classroom. The original form of FLCAS has been discussed at the previous can be

seen in Table 2.1.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 26

The FLCAS was introduced as an instrument to measure anxiety levels as evidenced

by negative performance expectancies and social comparison, psycho-physiological

symptoms, and avoidance behaviors (Horwitz et al., 1986, p.126).

According to Horwitz et al., (1986, p.127), communication apprehension is

particularly relevant to the conceptualization of foreign language anxiety. They suggest that

“communication apprehension is a type of shyness characterized by fear of or anxiety about

communicating with people. The manifestation of communication apprehension are various

and, include difficulty in speaking with a partner or in groups (oral communication anxiety),

or in public speaking (“stage fright”), in listening to or learning a spoken message (receiver

anxiety)”. Horwitz et al. (1986, p.127) further said that “people who typically have trouble

speaking in groups are likely to experience even greater difficulty speaking in a foreign

language class where they have little control of the communicative situation and their

performance is constantly monitored. There are eleven statements indicating communication

apprehension.”

The second type of anxiety, test anxiety, Horwitz et al. (1986) considered relevant to

foreign language anxiety as it refers to a type of performance anxiety stemming from a fear

of failure. Gordon and Sarason (1955) as cited in Horwitz et al. (1986, p.127-128), explain

that “anxious students often put unrealistic demands on themselves and feel that anything

less than a perfect test performance is a failure.” Horwitz et al. add that “students who are

test-anxious in foreign language class probably experience considerable difficulty since test

and quizzes are frequent and even the brightest and most prepared students often make

errors.” Moreover, they claim that “oral tests have the potential of provoking both test- and

oral communication anxiety simultaneously in susceptible students” (p.128). There are

fifteen statements indicating test anxiety.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 27

The last manifestation of anxiety is fear of negative evaluation. Horwitz et al. (1986,

p.128) perceive foreign language anxiety “as a distinct complex of self-perceptions, beliefs,

feelings, and behaviors related to classroom language learning arising from the uniqueness

of the language learning process.” Sila (2010, p.83) adds that fear of negative evaluation,

which stems from an individual’s conviction of being evaluated negatively, leads the

individual to avoid others’ evaluation and evaluative situations.”

These descriptions of communication apprehension, test anxiety, and fear of negative

evaluation, proposed by Horwitz (1986) provide useful conceptual building blocks for

defining foreign language anxiety and have been cited by subjects in numerous tests as

causes of language anxiety.

In order to identify the subjective feelings of anxiety, an open-ended questionnaire

was employed. The open-ended questions were developed in a semi-structured format,

consisting of several key questions that help to define the areas to be explored (Gill et al,

2008, p.291). The questions were taken from the model by Tanveer (2007, p.86-88) and

aimed to investigate the factors that cause language anxiety from students and ESL/EFL

teachers’ perspectives (Tanveer, 2007, p.35).

Horwitz et al. (1986) provided a detailed report of the methodology they used to

produce the FLCAS using the beginning language class students at the University of Texas.

By understanding the methodological basis for the construction of the FLCAS, researchers

can make an informed determination about whether the FLCAS is an appropriate tool for

use with students in different context or whether it need to be adapted (Saraj, 2011, p.2).

3.2 Research Methodology

3.2.1 Research Subject and Settings

Subjects were 47 students of Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don

Bosco. All students are females, ranging in age from 18 to 20 years old, and were enrolled

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 28

in the first year of a 3-year study program. Of the 47 students, 10 students had been learning

English since kindergarten, 33 since primary school, and 4 students since junior high school.

They were ready to get involved in the completion of the FLCAS questionnaire used in this

research. Students were also invited to participate in completing the open-ended questions,

and as the result, seven students came to volunteer.

When the data were obtained, these students were taking English for Secretary II,

which was preceded by English for Secretary I in the previous semester. The course is

designed to improve the students’ speaking skill especially for face- to- face and telephone

conversations.

Other participants were two full-time English teachers of Akademi Sekretari dan

Manajemen (ASEKMA) Don Bosco and one native speaker, who is a part-timer. The

purpose to get lecturers involved in this study was to know their opinions as part of the

stakeholders in classroom practices.

This research was conducted in February 2015 at Akademi Sekretari dan Manajemen

(ASEKMA) Don Bosco, jalan Pulomas Barat V, Pulomas, East Jakarta. ASEKMA Don

Bosco is a Diploma Three Program on Secretarial study under Yayasan Panca Dharma,

Jakarta.

The close-ended questionnaires were distributed on the 17th February 2015 to forty-

seven students. Then, the open-ended questionnaires were given to seven students and three

teachers on the 19th of February 2015.

3.2.2 Instruments

This research employed two questionnaires, they are:

1. the FLCAS by Horwitz et al. (1986), and

2. open-ended questions by Tanveer (2007).

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 29

The choice to use these two types of questionnaires was taken in order to attain the most

comprehensive answers on the objective of this research.

The following subsections provide explanations of the nature and process of the

questionnaires and the questions in greater detail.

3.2.2.1 Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS)

This questionnaire used in this research consists of two sections, namely personal

background and the foreign language classroom anxiety scale. A detailed description of each

part of the questionnaire follows:

3.2.2.1.1 Personal Background Information

The first section of the questionnaire pertains to personal background information

and was designed to gather personal information from the research subjects, including age

and the time they started learning English.

3.2.2.1.2 Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS)

The Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS), which was devised by

Horwitz et al. (1986) and named by several researchers as a “valid” and “credible” measuring

instrument, was used as the main instrument for data collection in the research. For the

details, see Chapter II section 2.4.2 and the questionnaire is in table 2.1 (p.20-21).

The 33 items of FLCAS were selected and classified in order to give details of the

research questions as follow:

1. to find out to what extent the students of ASEKMA Don Bosco are anxious when

they have to speak in English, this research will use the item number 3, 9, 12, 16, 17,

18, 20, 22, 24, 25, 26, 27, and 28.

2. to identify the sources of their anxiety, this research will use the item number 1, 2, 4,

6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 19, 21, 23, 29, 30, 31, and 33.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 30

3. to develop strategies to cope with speaking anxiety, this research will use the item

number 5.14, and 32.

An Indonesian translation of the original, which was written in English, was

distributed to the students. The purpose of using Indonesian was to avoid misunderstanding

and to ensure the students’ confidence in responding. In response to each question, the

students were told to choose one of the five options given based on their experiences and

opinions.

Minor modification was made to the instrument. The researcher uses “English” to

substitute the term ‘foreign language’ in the original version. The reason for this change is

that the ‘foreign language’ in question for this study is English, and not other languages,

such as Chinese or Japanese, which are also taught in ASEKMA Don Bosco but will not be

used for this research.

The questionnaire consists of 33 statements with a five-point Likert-scale: ‘strongly

disagree’ (SD), ‘disagree’ (D), ‘neither agree nor disagree’ (N), ‘agree’ (A), and ‘strongly

agree’ (SA). The range of the questionnaire is from 1 to 5 , so the total range of scores is

from 33 to 165; with higher scores indicating higher levels of anxiety and lower scores

indicating lower levels of anxiety. See Appendix 1 for details.

3.2.2.2 The Open-Ended Questions

The open-ended questionnaire consists of two sections: the personal background

information, and the questions. A detailed description of each sections of the questionnaire

follows:

3.2.2.2.1 Personal Background Information

The first section was personal background information and was aimed at gathering

data about the research participants including name and signature. Name and signature are

required as proof of originality.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 31

3.2.2.2.2 Open-Ended Questions for Learners

The open-ended questionnaire for learners was designed by Tanveer (2007), consists

of ten questions. The following is the list of the questions:

Table 3.2

The Questions for The ESL/EFL Learners

1. How long have you been learning English? How do you feel about your experience

of learning English?

2. Please tell me what disturbs you the most about learning and speaking English!

Why?

3. Do you think learning and speaking English as a foreign language is very difficult?

What kind of difficulties or problems do you feel when speaking English?

4. What kind of situations causes stress or anxiety to you?

5. What happens to you when you are in a stressful situation while speaking English?

What do you do in this kind of situations?

6. What do you think are the reasons of this nervousness or anxiety?

7. In which kind of situations do you not feel anxiety or feel less anxiety while

speaking English?

8. Are you afraid of making errors while speaking English? How do you think people

will react if you make mistakes?

9. How do you think your language teacher plays a role in creating or reducing the

feeling of anxiety in the classroom?

10. What would you like to suggest in reducing language anxiety in the learners?

The 10 items of the question were selected and classified in order to investigate of the

following research questions:

1. to find out the level of anxiety experienced by the students of ASEKMA Don Bosco

when they have to speak in English, presented in number 1, 3a, and 4.

2. to identify the sources of their anxiety, this research will use the item number 2, 3b,

6, and 8.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 32

3. to develop strategies to cope with speaking anxiety, this research will use the item

number 5,7, 9, and 10.

The questions were also translated into Indonesian in order to avoid

misunderstanding and to ensure students’ confidence in responding. The adapted question

can be seen in Appendix 2.

3.2.2.2.3 Open-Ended Questions for Teachers

The questions for teachers are developed by Tanver (2007), consist of six questions

related to their experience in teaching activities, how they view anxiety, and ended by asking

for suggestions on how to overcome this problem. The questions are as follows:

1. How you view the role of language anxiety for ESL/EFL learners in learning and

particularly speaking English language.

2. What kinds of situations and language classroom activities have you found to be anxiety-

provoking for the students?

3. What do you think are the causes of students’ anxiety while speaking English?

4. Have you noticed any particular kinds of beliefs or perceptions about learning and

speaking English in your students and do you think they play a role in causing language

anxiety for the learners? Please explain.

5. What signs of anxiety have you noticed in anxious learners during your experience of

teaching English to ESL/EFL learners?

6. How do you think language anxiety can be successfully controlled in the learners?

The 6 items of the question were selected and classified in order to give details of the research

questions as follows:

1. to find out to what extent the students of ASEKMA Don Bosco are anxious when

they have to speak in English, this research will use the item number 2 and 4.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 33

2. to identify the sources of their anxiety, this research will use the item number 3 and

5

3. to develop strategies to cope with speaking anxiety, this research will use the item

number 1 and 6. (See Appendix 3 for details).

3.2.3 Research Procedures

The research procedure was conducted in two parts. The first part was the distribution

of the close-ended questionnaire (FLCAS) to the first grade students, and the second was the

distribution of the open-ended questionnaires to seven students and three teachers.

3.2.3.1 The Close-Ended Questionnaire (FLCAS)

The class was asked to complete the 33 statements of FLCAS on the 17th February

2015. It was briefly explained to subjects that the questionnaire related to research that was

being conducted on speaking anxiety. They were asked to answer the questions honestly to

the best of their knowledge and ability. They were told that some of them would later be

asked if they would volunteer to answer further questions. It is essential that the respondent

should consent to participate in the study as it was conducted on a voluntary basis. They did

not have to complete the questionnaire if they did not want to. Fortunately, no students

refused and all of them completed the questionnaire in full. They worked individually at the

same time in the classroom after class. Some of them requested clarification of certain

statements and all finished within 30 minutes. It was also explained that all the information

provided was confidential and their answers had no relation to their own course work.

3.2.3.2 The Open-Ended Questionnaire

Seven students and three lecturers were approached to volunteer for the follow-up

questions. All respondents wrote their answer in the space provided under the question items

(see Appendix 2 and 3).

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 34

Some students asked for confirmation, whether they were allowed to use Indonesian,

as they had to describe their ideas in details and were concerned about their limited linguistic

competence. The researcher allowed them to use Indonesian as it would give a greater chance

for them to express their feelings and ideas more completely. When the completed

questionnaires were submitted, it transpired that some had in fact been able to answer in

English, while others wrote in Indonesian.

The teachers agreed that the questions were sent via email on the 17th February 2015,

and the result would be sent back, also via email within three days. All teachers responded

each question based on their expertise and experience, and they responded in English. Their

answers to the questions were clear, especially the native speaker, who gave detailed

suggestions for further actions, especially in overcoming students’ anxiety that leads to

hesitation to speak in English.

3.2.4 Research Analysis Technique

The data of the FLCAS questionnaire was analyzed using data coding, descriptive

statistic analysis, while the open-ended questionnaires were input in order to get a summary

of the response to each question.

The analysis of the data is arranged as follow:

Research Question Instruments Analysis

To find out to what extent

are the students of

ASEKMA Don Bosco

anxious when they have

to speak in English?

FLCAS number: 3, 9, 12, 16,

17, 18, 20, 22, 24, 25, 26, 27,

28.

Descriptive analysis using

SPSS 16

Open-ended questions for

students number: 1, 3a, 4

Qualitative analysis

Open-ended questions for

teachers number: 2 and 4

Qualitative analysis

To identify the sources of

their anxiety?

FLCAS number: 1, 2, 4, 6, 7,

8, 9, 10, 13, 15, 19, 21, 23, 29,

30, 31, and 33

Descriptive analysis

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 35

Open-ended questions for

students, number: 2, 3b, 6, and

8

Qualitative analysis

Open-ended questions for

teachers, number: 3 and 5

Qualitative analysis

To develop strategies that

can be used to cope with

speaking anxiety.

FLCAS number: 5, 14, and 32 Descriptive analysis

Open-ended questions for

students, number: 5, 7, and 9.

Qualitative analysis

Open-ended questions for

teachers number: 1 and 6

Qualitative analysis

3.2.4.1 Data Coding

The data obtained from the close-ended questionnaire (FLCAS) were input into a

SPSS program for Windows.

3.2.4.2 Descriptive Statistical Analysis

A descriptive statistical analysis using SPSS for Windows was conducted to answer

the three research questions. The first question was intended to get the actual information of

students’ hesitation to speak English. The second was to identify the sources of their anxiety

in speaking English, and the third was to develop strategies to cope their speaking anxiety.

In this respect, percentages of each Likert point were calculated for each item. SPSS

version 16 for windows was employed during the descriptive analysis of the data.

The researcher used this analysis to find out the level of students anxiety in English

language speaking activities in the classroom and the cause of their anxiety, and to develop

strategy to cope the speaking anxiety. The presentation of the descriptive analysis appears in

Chapter IV.

3.2.4.3 Qualitative Data Analysis

The responses to the open-ended questionnaire were input and classified by their

similarity and differences on each items. The items were classified in order to answer the

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 36

research questions. Students’ responses were especially used to answer the research

questions 1-3. Teachers’ responses were also used to answer the research questions 1-3, and

to generate ideas to cope with the problem of language anxiety.

Having detailed the procedures used in this study, the next chapter presents findings relevant

to the research questions.

CHAPTER IV

RESEARCH FINDINGS AND DISCUSSION

This chapter is mainly intended to provide the answers to the research questions

presented in Chapter 1. The presentation of this chapter is divided into two sections. The

first section presents the result of the close-ended and the open-ended questionnaires while

the second section presents the discussion of the findings.

4.1 Findings

The findings of this study are based on the questionnaires, both close-ended and

open-ended, regarding language anxiety. The data of the Foreign Language Classroom

Anxiety Scale questionnaire was analyzed using descriptive-quantitative analysis. It is

intended to investigate the types of anxiety that experienced by the students, factors that

caused their anxiety, and finally to proposed a solution to cope with the anxiety. The open-

ended questionnaires’ results (both from students and teachers) were analyzed, mainly to

identify the specific information on the type of anxiety that is experienced by the students,

factors that caused their anxiety, and proposed on solution to cope the anxiety.

The presentation of the data is classified into two types. The first is the close-ended

questionnaire’s results and secondly, the open-ended questionnaire results on students’

perceptions towards anxiety in speaking English, and the sources of anxiety, and the

strategies to cope speaking anxiety.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 37

4.1.1 Students’ Anxiety to Speak English

This section describes the finding from both of the questionnaires relates to students’

perceptions towards anxiety in speaking English. The first subsection is intended to describe

the responses from the FLCAS questionnaires, next is from the students and finally the

teachers’ responses on the open-ended questions.

4.1.1.1 FLCAS Findings

This section showed the questionnaire result of Foreign Language Classroom

Anxiety Scale (FLCAS). It presents the data on students’ avoidance to speak English. The

data is presented in number and percentage in order to show the readable and understandable

results of the questionnaire. The statistical results on each item are presented in Appendix 4:

Table 4.1 The Frequency of Students’ Anxiety Level

No Statements SA A N D SD

1 I never feel quite sure of

myself when I am speaking

in my foreign language

class.

3

(6,4%)

20

(42,6%)

17

(36,2%)

5

(10,6%)

2

(4,3%)

3 I tremble when I know that

I’m going to be called on

in English class.

4

(8,5)

16

(34%)

11

(23,4)

13

(27,7%)

3

(6,4%)

6 During language class, I

find myself thinking about

things that have nothing to

do with the course.

1

(2,1%)

6

(12,8%)

8

(17%)

28

(59,6%)

4

(8,5%)

9 I start to panic when I have

to speak without

preparation in language

class.

15

(31,9%)

22

(46,8%)

5

(10,6%)

4

(8,5%)

1

(2,1%)

12 In language class, I can get

so nervous I forget things I

know.

3

(6,4%)

8

(17%)

14

(29,8%)

19

(40,4%)

3

(6,4%)

16 Even if I am well prepared

for language class, I feel

anxious about it.

3

(6,4%)

13

(27,7%)

15

(31,9%)

14

29,8%)

2

(4,3%)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 38

17 I often feel like not going

to my language class.

0 1

(2,1%)

11

(23,4)

20

(42,6%)

15

(31,9%)

18 I feel confident when I

speak in foreign language

class.

1

(2,1%)

5

(10,6%)

28

(59,6%)

9

(19,1%)

4

(8,5%)

20 I can feel my heart

pounding when I’m going

to be called on in language

class.

6

(12,8%)

25

(53,2%)

9

(19,1%)

4

(8,5%)

3

(6,4%)

22 I don’t feel pressure to

prepare very well for

language class.

5

(10,6%)

23

(48,9%)

17

(36,2%)

2

(4,3%)

0

24 I feel very self-conscious

about speaking the foreign

language in front of other

students.

3

(6,4%)

4

(8,5%)

28

(59,6%)

10

(21,3%)

2

(4,3%)

25 Language class moves so

quickly I worry about

getting left behind.

8

(17%)

18

(38,3%)

10

(21,3%)

11

(23,4%)

0

26 I feel more tense and

nervous in my language

class than in my other

classes.

1

(2,1%)

16

(34%)

9

(19,1%)

16

(34%)

5

(10,6%)

27 I get nervous and confused

when I am speaking in my

language class.

0 17

(36,2%)

18

(38,3%)

10

(21,3%)

2

(4,3%)

28 When I’m on my way to

language class, I feel very

sure and relaxed.

3

(6,4%)

13

(27,7%)

23

(48,9%)

8

(17%)

0

Table 4.2 showed the percentage of frequency’s which has been rounded, and then

classified into three categories: ‘agree’ refers to the number of students who agreed and

strongly agreed; ‘neither agree nor disagree’ refers to those who neither agree nor disagree;

and ‘disagree’ that refers to those who disagreed and strongly disagreed.

Table 4.2 The Classification of The Students’ Anxiety Level

Item No. Agree

Neither

Agree nor

Disagree

Disagree

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 39

3 20

(43%)

11

(23%)

16

(34%)

9 37

(78%)

5

(11%)

5

(11%)

12 11

(23%)

14

(30%)

22

(47%)

16 16

(34%)

15

(32%)

16

(34%)

17 1

(2%)

11

(23%)

35

(75%)

18 6

(13%)

28

(60%)

13

(27%)

20 31

(66%)

9

(19%)

7

(15%)

22 28

(59%)

17

(36%)

2

(5%)

24 7

(15%)

28

(60%)

12

(25%)

25 26

(56%)

10

(21%)

11

(23%)

26 17

(36%)

9

(19%)

21

(45%)

27 17

(36%)

18

(38%)

12

(26%)

28 25

(53%)

9

(19%)

13

(28%)

Total 242

(39,5%)

184

(30,1%)

185

(30,4%)

Most students agreed that they feel anxious in learning and speaking English. They

experienced to some signs that indicated anxieties such as: tremble, loose focus, and panic,

nervous, anxious, heart pounding, pressure, self-conscious, worry, tense, confused and

overwhelmed. Table 4.2 proved that 43% of the students feel tremble when they are going

to be called on in English class (item number 3). 78% of the students agreed that they were

panic to speak in English without preparation (item number 9). 23% of the students agreed

that they forgot on things they have known when they were nervous (item number 12). 34%

of the students feel anxious even they were well prepare for language class (item number

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 40

16). Only 2% of the students feel like not going to their English class (item number 17). 13%

of the student agreed that they were confidence in speaking English (item number 18). There

are 66% of the students fell heart pounding when they are going to be called on in language

class (item number 20), and 59% of the students agreed that they did not feel the pressure in

English class (item number 22). 15% of the students agreed of feeling shy when they have

to speak English in front of the other students (item number 24). 56% of the students agreed

that they were worried about getting left behind in English class (item number 25). 36% of

the students agreed that they felt more tense and nervous in English class than in their other

class (item number 26). 36% of the students agreed that they got nervous and confused when

they were speaking in English class (item number 27). However, 53% of students agreed

that they felt sure and relaxed when they were on their way to English class (item number

28).

Chart 4.1 FLCAS Result on Students’ Anxiety to Speak English

Chart 4.1 showed that, the students were experienced with anxiety when they had to

speak English. 39,5% of students agreed that they feel anxious to speak English. That 30,1%

of students were not sure whether they feel anxious to speak English. It is difficult to identify

as t could have two possibilities: first, they did not sure of the feelings; or they wanted to say

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 41

agree or disagree but for some considerations, especially because they do not want to lose

their face in front of their friends and teacher, so they chose this choice. Finally, 30,4% of

students disagreed, which means they did not anxious to speak English.

Findings from the students’ open-ended questions can give clear answer of this

question.

4.1.1.2 Findings from the Open-Ended Questions

4.1.1.2.1 Students’ Responses

Students were asked about their hesitation in speaking English. Three questions were

employed to investigate their hesitation in speaking English, as follows:

1. How long have you been learning English and how do you feel about your experience

of learning English?

The findings are:

Most of the respondents have learnt English for more than ten years, and only one

student who started to learn English when she was in junior high school (14 years old). Five

out of seven students stated that they enjoy learning English while the rest others did not.

3.a Do you think learning and speaking English as foreign language is very difficult?

The findings are:

Four students responded that speaking English is not very difficult; one student

responded that it is moderately difficult, and two students responded that speaking English

is difficult.

4. What kind of situations causes stress or anxiety to you?

The findings are:

Students stated that they have problems to speak English especially in giving

responses in conversations with teachers and friends as well as debates and public speaking.

They are also afraid of making mistake in speaking English.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 42

The result shows that students were actually familiar with English since they have

learnt it for at least more than 5 years but, on the other hand, learning and speaking English

still become problematic to some students especially when they have to deliver public

speaking, debates, do conversations with teachers, or to answer questions as they are afraid

of making mistakes.

4.1.1.2.2 Teachers’ Responses

Teachers were asked about their experience on students’ anxiety in speaking English.

Two questions were employed to investigate the students’ hesitation to speak in English as

follows:

2. What kind of situations and language classroom activities have you found to be anxiety

provoking for the students?

The findings are:

Various responses were gathered from teachers about the students’ anxiety in

speaking English activities. All teachers agreed that there were some situations and language

classroom activities that cause anxiety in the students. They were: speaking performance and

any kinds of tests or assessments that might cause them losing face in front of their fellow

students and their teacher. Most students showed their hesitation in English speaking

activity. Students tended to refuse in participating in speaking for some reasons.

4. Have you noticed any particular kinds of beliefs or perceptions about learning and

speaking English in your students and do you think they play a role in causing language

anxiety for the learners? Please explain.

The findings are:

Students’ perception that learning, especially speaking English, is difficult. This may

hamper the development of their language skills and can cause students to doubt themselves

before even trying.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 43

The second reason is a belief that learning language is no different from learning

other academic subjects where most subjects are largely knowledge-based with a secondary

focus on skills. It is also be detrimental to good progress whereby the students feel the

importance of performing well and the consequences of performing poorly.

4.1.2 Sources of Students’ Anxiety in Speaking English

This section describes the finding from both of the questionnaires relates to the

sources of students’ anxiety in speaking English. The first subsection is intended to describe

the responses from the FLCAS questionnaires, next is from the students and the teachers’

responses on the open-ended questions.

4.1.2.1 The FLCAS Findings

The Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) provides the answer to

investigate students’ avoidance to speak English. The following table explains the result of

the FLCAS questionnaire on the sources of students’ hesitation in speaking English:

Table 4.3 The Frequency on the Sources of Students’ Anxiety

No Statements SA A N D SD

1

I never feel quite sure of

myself when I am

speaking in my foreign

language class.

3

(6,4%)

20

(42,6%)

17

(36,2%)

5

(10,6%)

2

(4,3%)

2

I don’t worry about

making mistakes in

language class.

1

(2,1%)

9

(19,1%)

16

(34%)

19

(40,4%)

2

(4,2%)

4

It frightens me when I

don’t understand what the

teacher is saying in the

foreign language.

4

(8,5%)

13

(27,7%)

14

(29,8%)

9

(19,1%)

7

(14,9%)

6

During language class, I

find myself thinking about

things that have nothing to

do with the course.

1

(2,1%)

6

(12,8%)

8

(17%)

28

(59,6%)

4

(8,5%)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 44

7

I keep thinking that the

other students are better at

language than I am.

10

(21,3%)

26

(55,3%)

7

(14,9%)

2

(4,3%)

2

(4,3%)

8 I am usually at ease during

tests in my language class.

1

(2,1%)

11

(23,4%)

28

(59,6%)

7

(14,9%)

0

9

I start to panic when I have

to speak without

preparation in language

class.

15

(31,9%)

22

(46,8%)

5

(10,6%)

4

(8,5%)

1

(2,1%)

10

I worry about the

consequences of failing my

foreign language class.

17

(36,2%)

20

(42,6%)

3

(6,4%)

4

(8,5%)

3

(6,4%)

13

It embarrasses me to

volunteer answers in my

language class.

5

(10,6%)

18

38,3%)

10

(21,3%)

11

(23,4%)

3

(6,4%)

15

I get upset when I don’t

understand what the

teacher is correcting.

4

(8,5%)

21

(44,7%)

11

(23,4%)

10

(21.3%)

1

(2,1%)

19

I am afraid that my

language teacher is ready

to correct every mistake I

make.

2

(4,3%)

15

(31,9%)

9

(19,1%)

16

(34%)

5

(10,6%)

21 The more I study for a

language test, the more

confused I get.

1

(2,1%)

5

(10,6%)

8

(17%)

23

(48,9%)

10

21,3%)

23 I always feel that the other

students speak the foreign

language better than I do.

4

(8,5%)

28

(59,6%)

10

(21,3%)

4

(8,5%)

1

(2,1%)

29 I get nervous when I don’t

understand every word the

language teacher says.

5

(10,6%)

20

(42,6%)

13

(27,7%)

8

(17%)

1

(2,1%)

30 I feel overwhelmed by the

number of rules you have

to learn to speak a foreign

language.

7

(14,9%)

18

(38,3%)

9

(19,1%)

11

(23,4%)

2

(4,3%)

31 I am afraid that the other

students will laugh at me

when I speak the foreign

language.

8

(17%)

20

(42,6%)

6

(12,8%)

11

(23,4%)

2(4,2%)

33 I get nervous when the

language teacher asks

11

(23,4%)

24

(51,1%)

9

(19,1%)

2

(4,3%)

1

(2,1%)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 45

questions which I haven’t

prepared in advance.

Table 4.4 showed the percentage of frequency’s which has been rounded, and then classified

into three categories: ‘agree’ refers to the number of students who agreed and strongly

agreed; ‘neither agree nor disagree’ refers to those who neither agree nor disagree; and

‘disagree’ that refers to those who disagreed and strongly disagreed.

Table 4.4 The Classification on the Sources of Students’ Anxiety

Item No. Agree Neither Agree

nor Disagree Disagree

1 24

(49%)

17

(36%)

7

(15%)

2 10

(21%)

16

(34%)

21

(45%)

4 17

(36%)

14

(30%)

16

(34%)

6 7

(15%)

8

(17%)

32

(68%)

7 36

(76%)

7

(15%)

4

(9%)

8 12

(25%)

28

(60%)

7

(15%)

9 37

(78%)

5

(11%)

5

(11%)

10 37

(78%)

3

(7%)

7

(15%)

13 23

(49%)

10

(21%)

14

(30%)

15 25

(54%)

11

(23%)

11

(23%)

19 17

(36%)

9

(19%)

21

(45%)

21 6

(13%)

8

(17%)

33

(70%)

23 32

(68%)

10

(21%)

5

(11%)

29 25

(53%)

13

(28%)

9

(19%)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 46

30 25

(53%)

9

(19%)

13

(28%)

31 28

(59%)

6

(13%)

13

(28%)

33 35

(74%)

9

(19%)

3

(7%)

Total 395

(49,2%)

193

(22,9%)

220

(27,9%)

Table 4.4 showed that 49% of the students agreed that they avoid speaking English

because they were not sure of themselves to speak English (item number 1); 21% of the

students agreed that they do not worry about making mistakes in English class (item number

2); 36% of students agreed that they were frightened when they did not understand what the

teacher is saying in English (item number 4); 15% of the students agreed of feeling shy when

they have to speak in front of the other students (item number 6); 76% of the students agreed

that they kept thinking that the other students are better at English then they did (item number

7); 25% of the students agreed that they felt at ease during English test (item number 8); 78%

of the students agreed that they were panic when they have to speak without preparation in

English class (item number 9); 78% of the students agreed that they were worried about the

consequences of failing their English class (item number 10); 49% of the students agreed

that they felt embarrassed to volunteer answers in English class (item number 13); 54% of

the students agreed that they got upset when they did not understand what the teacher was

correcting (item number 15); 36% of the students agreed that they were afraid when their

English teacher was ready to correct every mistake they made (item number 19); 13% of the

students got confuse when they studied more for English test (item number 21); 68% of the

students agreed that the other students spoke English better that they did (item number 23);

53% of the students agreed that they got nervous when they did not understand every word

the English teacher said (item number 29); and 53% of the students agreed that they felt

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 47

overwhelmed by the number of rules they had to learn to speak English (item number 30);

59% of the students agreed that they were afraid that other students would laugh at them

when they speak English (item number 31); and 74% of the students agreed that they got

nervous when the English teacher asked questions which they have not prepared in advance

(item number 33).

Chart 4.2 Result on Causes of Students’ Anxiety in Speaking English

Chart 4.2 showed that 49,2% of the students agreed that students’ fear of making

mistakes; fear of failing the English’ test; their problem that they did not understand the

words or corrections as well as the evaluation given by the teacher; fear of did not have

enough time to prepare in speaking English; fear of the rules that need to be learnt before

speaking English; fear that the other students, who they think had a better English, will laugh

on the mistake he/she made; are the causes of their anxiety in speaking English. 22,9% of

students did not sure whether those factors caused the feeling of anxiety in speaking English;

and 27,9% of students did not see those factors as the sources of their speaking anxiety.

4.1.2.2 Findings from The Open-Ended Questions

4.1.2.2.1 Students’ Responses

Four questions were raised for the students to find out what caused them feel

anxious. The findings would be further discussed below for each question as follows:

2. Please tell me what disturbs you the most about learning and speaking English. Why?

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 48

The findings are:

Five students stated that grammar and vocabulary disturbed them the most, whilst

two students did not give proper answer as required as they wrote that they do not like

English and it was difficult. Accordingly, they could not answers any questions during the

class because they did not understand the questions. One student added that they knew what

the questions asked them to do but it was not easy to answer. Two students admitted that

their vocabularies are limited so it caused problems to answer, mainly to make the sentences.

3.b What kind of difficulties or problems do you feel when speaking English?

The findings are:

Four students clearly addressed that vocabulary limitation is their main problem in

speaking English. One student stated that she was afraid to make mistakes and felt confused

in arranging sentences. Two students stated that they do not understand because English is

difficult.

6. What do you think are the reason of this nervousness or anxiety?

The findings are:

First, they did not know what to say because they scared of saying wrong word(s).

Second, they felt less self-confidence because they realized that they had less proficiency in

English. Next, they got problems in mastering vocabulary so they could not speak English

fluently. And the last reason was meeting their strict and straight - English teacher.

8. Are you afraid of making errors while speaking English? How do you think people will

react if you make mistakes?

The findings are:

Six students agreed that they were afraid of making errors while speaking English and

only one student did not think that she was afraid. Four students believed that people would

understand and helped them by giving corrections on the mistake, meanwhile three other

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 49

students stated that people would laugh at them, then talked about the mistake and kept away

from her because she was stupid.

4.1.2.2.2 Teachers’ Responses

The teachers were also asked from their observation on the causes of the students’

anxiety in speaking English. The questions were:

3. What do you think are the causes of students’ anxiety while speaking English?

The findings are:

All teachers agreed that grammar and vocabulary mastery were the main cause of

students’ anxiety in speaking English. One teacher added that a speaking partner was also a

threat the students especially when the person was their English teachers or anyone who had

better English proficiency. Other teacher added that the main causes of this anxiety was when

teacher gave punishment on students’ poor performance or slow progress and conducted test

too frequent and placed too much importance on the result.

5. What signs of anxiety have you noticed in anxious learners during your experience of

teaching English to ESL/EFL learners?

The findings are:

There were many signs that have been noticed by the teachers in anxious learners

during the English class. Students were usually trembling, playing their hair or nails, not

focused, looked confused and uneasy, insecure, sweating, remained silent during the lessons,

worried and fear in test activities.

4.1.3 Strategies to Cope With Speaking Anxiety

This section describes the finding from both of the questionnaires relates to the ideas

to cope students’ anxiety in speaking English. The first subsection is intended to describe

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 50

the responses from the FLCAS questionnaires, next is from the students and finally the

teachers’ responses on the open-ended questions.

4.1.3.1 The FLCAS Findings

The Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) provides the proposed

strategy to solve the students’ anxiety in learning and especially speaking English. The

following table explains the result of the FLCAS questionnaire from items 5, 14 and 32:

Table 4.5 Frequency of Proposed Strategy to Cope With Speaking Anxiety

No Statements SA A N D SD

5 It wouldn’t bother me at all to take more

foreign language classes.

10 15 16 5 1

14 I would not be nervous speaking the foreign

language with native speakers.

5 11 23 5 3

32 I would probably feel comfortable around

native speakers of the foreign language.

8 18 13 6 2

Table 4.6 showed the percentage of frequency’s which has been classified into three

categories: ‘agree’ refers to the number of students who agreed and strongly agreed; ‘neither

agree nor disagree’ refers to those who neither agree nor disagree; and ‘disagree’ that refers

to those who disagreed and strongly disagreed. The percentages are rounded to the nearest

whole number.

Table 4.6 The Classification on The Propose Strategy to Cope With Speaking Anxiety

Item

Number Agree

Neither Agree

nor Disagree Disagree

5 25

(53%)

16

(34%)

6

(13%)

14 16

(34%)

23

(49%)

8

(17%)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 51

32 26

(55%)

13

(28%)

8

(17%)

Total 67

(47,3%)

52

(37%)

22

(15,7%)

Table 4.6 showed that 53% of students agreed that it would not bother them at all to

take more English classes. 34% of students agreed that they would not be nervous speaking

English with native speakers. 55% of students agreed that they would probably feel

comfortable around native speakers of English.

Chart 4.3 Result on Proposed Strategy to Cope with Speaking Anxiety

Chart 4.3 showed that 47% of students agreed to take more English classes and get

involved with native speakers whilst 37% students got confused and 16% students disagreed

to have extra English class and dealt with the native speakers.

4.1.3.2 Findings from the Open-Ended Questions

4.1.3.2.1 Students’ Responses

The students were asked how they coped with their anxiety in speaking English. Four

questions were employed for this purpose, as follows:

5. What happens to you when you are in a stressful situation while speaking English? What

do you do in this kind of situations?

The findings are:

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 52

All students stated that they suddenly got blank when they were in a stressful

situation while speaking English, so they did not know what they have to say. Five students

tried to keep calm, not to panic even they got heart pounding and felt nervous and panic; and

then tried to remember what they wanted to say, whilst one student really did not know what

to say.

7. In which kind of situations do you not feel anxiety or feel less anxiety while speaking

English?

The findings are:

All students agreed that speaking English in a non-formal situation would reduce

their anxiety. Two students agreed that they would speak in English if the topic that being

discussed is familiar to them, and two students also agreed that talking with friends were less

anxious.

9. How do you think your language teacher plays a role in creating or reducing the feeling

of anxiety in the classroom?

The findings are:

Four students stated that their English teacher plays a big role in creating or reducing

the feeling of anxiety in the classroom. One student added that her English was able to create

an enjoyable learning so that she did not feel afraid during the lessons. Three students gave

some criteria of a good English teacher, they were: should be an easy-going person, patient,

kind, and able to raise students’ self-confidence.

10. What would you like to suggest in reducing language anxiety in the learners?

Some ideas in reducing language anxiety in the learners were suggested as follows:

First, did more English practice. Students need to start using English in their daily activities,

for example:

- read novels, newspaper or web,

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 53

- watch movies with English subtitle,

- sing English songs and listen how to pronounce the lyrics, and

- chat in English among friends in the classroom as well as in the social media (line,

facebook, email, whatsapp and more).

Second is that students might not think that English is difficult. Students had to have more

confidence in their own competence. Other idea stated that students should be brave to speak

even they felt afraid of making mistakes. And finally, two students stated that teacher should

create a nice and friendly class and informed the students that they do not need to be afraid

of making mistakes as the reason of their coming to the class is to learn.

4.1.3.2.2 Teachers’ Responses

The teachers were asked about the role of language anxiety in speaking for EFL

learners and how this anxiety can be coped in the learning process. The questions were as

follows:

1. How do you view the role of language anxiety for ESL/EFL learners in learning and,

particularly, speaking English?

The findings are:

Two teachers agreed that most language anxiety plays negative role for students in

learning and speaking English. They said that language anxiety may hamper students in

developing their language ability. Meanwhile, one teacher stated that language anxiety can

play contradicting roles in the learning process: as negative when it prevents the students

from learning and developing her knowledge and skill; conversely, it plays a positive role

when it motivates students to be able to master the language.

6. How do you think language anxiety can be successfully controlled in the learners?

Language anxiety can be successfully controlled in the learners in many ways:

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 54

1. Teachers need to design especially an anti-anxiety-inducing manner; which means a

secure and comfortable physical environment and fun and interesting learning activities

so that the students can relax and enjoy themselves while learning.

2. Teachers can reduce the risk of losing face amongst peers by establishing a positive

learning environment, wherein students support one another, applauding successes and

assisting with difficulties.

3. Teachers can use more constructive approach to testing and assessment by focusing on

student’s strengths and weaknesses so that they can see assessments as a positive thing

that will help their progress, rather than a scary pass/ fail event.

4. Teachers must establish realistic expectation for their students; they must plan lessons

and learning in line with the true ability of their students and reinforce all progress, no

matter how little.

5. Students should never be expected to do something that they have not yet learnt.

6. Teachers need to improve both Teacher – Students interactions in order to built up

students’ confidence while speaking English with teachers

4.2 Discussion

This section presented the discussion of the findings of the analysis. The discussion

was focused on the students’ perceptions towards anxiety in speaking English, the sources

of students’ anxiety in speaking English, and the strategies to cope the anxiety in speaking

English findings.

The discussion is as follows.

4.2.1 Student’s Anxiety in Speaking English

The FLCAS findings (see Chart 4.1) reported that the percentage of students who

agreed, neither agree nor disagree, and disagree were close in the total percentage, where the

highest percentage is 39,5 ; for those who agreed that they have the language anxiety. More

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 55

than one third of the first grade students felt the anxiety in speaking English. They used to

be panic, got heart pounding, and pressure in preparing themselves to speak English. The

data also showed that most of students were not sure of themselves when they were speaking

English. Reasons of their hesitation in speaking English would be discussed later after this

section.

The findings also showed that students’ hesitation in speaking English did not hinder

their willingness to join the class. They were ready to join in and always focused during the

class. It was also found that they did not want to get left behind and they felt very sure and

relaxed in English class. This finding was in line with the result of the open-ended questions

to students and teachers, where most of the students felt the anxious feeling when speaking

English but they enjoyed learning English.

It could be concluded that the first grade students of Asekma Don Bosco experienced

with anxiety in speaking English as they feel the importance of performing well relates to

their future profession. It is a good sign for teachers to find a way to help the students

controlled their language anxiety.

4.2.2 Sources of Students’ Anxiety

The close-ended questionnaires (see Chart 4.2) reported that there were significant

range on the percentage result of students who agreed, neither agree nor disagree, and

disagree; where the highest percentage is 49,2 for those who agreed that there were specific

reasons of their anxiety in speaking English.

The findings on the close ended question showed that the focuses of the causes of

students’ anxiety were having less time to prepare the dialogue, the consequences of failing

the English class, beliefs that they cannot answer the teacher’s question when they met, and

that their friends were able to perform English better than them. In contrast, the findings

from the open-ended questions showed that students were concerned on problems in

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 56

grammar and vocabulary mastery. They could not response or answer in English because

they were not sure of their understanding on vocabulary and grammar as well as to avoid

from the possibility of being embarrassed and losing face if they performed poorly in front

of their friends and teachers. This finding was in-line with the teachers’ responses where

they claimed that students’ main obstacles in speaking English were grammar and

vocabulary mastery, and followed by fear of failing the class as well as fear of negative

response and evaluations from teachers or friends who have better English than them.

The following data showed the results of students’ response on the foreign language

classroom anxiety scale (FLCAS) that was indeed informed that students’ anxiety was

generally identified with three manifestations which were communication apprehension, test

anxiety, and fear of negative evaluation. The results were presented as follow:

Chart 4.4 Communication Apprehension

Chart 4.4 showed that 36% of the students felt the shyness and difficult to speak,

listen and learning spoken English. Then 43% of students sometimes feel those feelings, but

in some conditions they did not feel it instead. Only 21% of students were ready to participate

in English spoken environment.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 57

Chart 4.5 Test Anxiety

Chart 4.5 showed that more than half of the students felt the fear of failure, and 28%

students expressed that sometimes they felt the fear and sometimes not. There were only

19% of students considered that they did not feel that fear.

Chart 4.6 Fear of Negative Evaluation

As it is shown on the Chart 4.6, less than half of the total students admit that they are

afraid of others’ negative evaluation, 21% students feel that not all of the evaluations are

negative, and the rest are open for any evaluations, the positive and the negative as well.

It could be concluded that this finding on students’ anxiety in speaking English were

indeed proofed that it was caused by negative performance expectancies and social

comparison, psycho-physiological symptoms, and avoidance behaviors.

4.2.3 Proposed Strategies to Cope With Speaking Anxiety

The close-ended questionnaires (see Chart 4.3) reported that there were significant

range on the percentage results of students who agreed, neither agree nor disagree, and

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 58

disagree; where the highest percentage is 47% for students who agreed to take extra English

class/ courses/ exposures to help them in reducing their negative anxiety in speaking English

and guided them to bravely speak in English in their daily life. It could be concluded that

students were opened for any activities to improve their English speaking skill.

The students’ responses of the open-ended questions suggested that a friendly-class

environment and helpful teacher should be created and performed to reduce students’ anxiety

in English speaking class. Friendly class means there will be no laugh or negative comments

for any mistakes make and a kind, patient, and helpful teacher who is able to create enjoyable

learning activities and motivate and raise students’ self-confidence in speaking English.

CHAPTER 5

CONCLUSION AND PEDAGOGICAL IMPLICATIONS

The last chapter is intended to present the conclusion and pedagogical implications.

The conclusion is derived from the research findings and the pedagogical implications are

intended for teachers, students and future researchers who intend to investigate the students’

anxiety in foreign language speaking activities.

5.1 Conclusion

This study is aimed to find out the actual information on students’ hesitation to speak

English and its factors that lay behind the problem. The reasons to take the first grade

students’ participation in the study is to help the teacher in identifying the reasons of

students’ hesitation in speaking English and to find out the best solution to be applied to

improve students’ speaking skills. There are three conclusions drawn from the findings and

discussion in the previous chapter.

First, the descriptive result of students and teachers’ response to students’ hesitation

while speaking English were indicated that the students experienced with anxiety in speaking

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 59

English activities. The result of the students’ perceptions towards the feeling of anxiety was

found that students hold some signs of anxiety such as trembling, heart-pounding, nervous,

panic, sweating, and insecure. It implies that anxious students are common in foreign

language classrooms, here, in the beginning classes on the university level.

Secondly, the descriptive result of students and teachers’ responses to the cause of

speaking English anxiety revealed that fear of making mistakes; fear of failing the English

tests; problems in their grammar and vocabulary mastery, fear that other students had better

English than them, and fear of teachers’ evaluations were considered as the most common

sources of students’ anxiety in speaking English. A formal, strict, and stressful classroom

environment also mentioned as factors that caused the anxiety.

Thirdly, the descriptive result of students and teachers’ responses on suggested

strategy to cope the students’ anxiety in speaking English revealed that a friendly and helpful

teacher as well as the classroom environment were required in order to reduce the students

anxiety in speaking English. Teachers need to design interesting learning activities and use

more constructive approach especially that will be used to test and assessed the students’

progress of the courses.

5.2 Pedagogical Implications

Anxiety can play contradicting roles in the learning process depending on the

learners’ attitude and the attitude of those around them, including their teachers. Anxiety is

more likely to play a negative role if the learner is more submissive or shy in nature or is

surrounded by a less supportive of more pessimistic community. Whereas if the learner has

a more confident approach to challenges and confrontation and has a supportive and

encouraging community, then anxiety is more likely to play a positive role.

5.2.1 Teachers

Teacher can reduce the students’ anxiety in some ways. First and foremost, teachers

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 60

must establish realistic expectations for their students. It must be clear to both the teacher

and the student that progress in language learning will likely be paced differently to progress

in other academic subjects. Based on this, teachers should first plan lessons and learning in

line with the true ability of their students and second reinforce all progress, no matter how

little”.

Teachers can also control anxiety by reducing the risk of losing face amongst peer.

This can be achieved by establishing a positive learning environment, wherein students

support one another, applauding successes and assisting with difficulties. It should be

recognized that this takes a long process of culture-changing to realize. Students should be

encouraged as much as possible to work together, help each other when they can and ask for

help when they need it.

A more constructive approach to testing and assessing will also help reduce anxiety.

Instead of high-stakes test that determine the success of the students, assessments should

instead focus on identifying the students’ strengths and weaknesses so that the next stage of

learning can be better tailored to her needs. This way, students can see assessments as a

positive thing that will help their progress, rather than a scary pass/fail event.

Students should never be expected to do something that they have not yet learned.

Thus, all lessons and indeed syllabi/ curricula should be planned and designed in such a way

that students develop step-by-step from not knowing to knowing. Increasing knowledge and

developing skills bit-by-bit and being assessed only on what has been learned.

Finally, anxiety can be reduced by designing the language classroom and the

language activities in an especially anti-anxiety-inducing manner. This means a secure and

comfortable physical environment and fun and interesting learning activities so that students

can relax and enjoy themselves while learning.

5.2.2 Students

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 61

It is widely known that most of researchers’ results show that students were

experienced with anxiety in speaking a foreign language. One of the results on this research

proposed some strategy to cope this problem. Students can reduce their anxiety by getting

and creating more exposure of English speaking environment as what had been suggested in

the discussion. Students must realize the importance of practicing English outside of the

classroom if they wish to become fluent speakers, especially if they want to develop their

pronunciation.

5.2.3 Future Research

Due to the limitation of my research, more extensive knowledge is required to find

out other factors which affect students’ anxiety in speaking English. There could be extrinsic

and intrinsic motivation, different gender, different age group, and so forth. The results are

expected to find the similarity and the difference between Horwitz et al. model and others.

REFERENCES

Aida, Y. Examination of Horwitz, Horwitz, and Cope's construct of Foreign Language

Anxiety: The case of Students of Japanesse. The Modern Language Journal, 78 ,

155-168. 1994.

Anderson, J. R. ACT,. A Simple Theory of Complex Cognition. American Psychologist, 51

, 355-365. 1996.

Anderson, J. The Architacture of Cognition. Harvard University Press. Cambridge, MA.

1983.

Anthony, E. M. Approach, method and technique. English Language and Teaching, 17 ,

57-63. 1963.

Barret, J. (n.d.). Keys to being an effective workplace personal assistant. Retrieved May

30, 2015, from www.worksupport.com/ documents/chapter5.pdf:

http://www.worksupport.com

Brown, H. D. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy.

Longman/ Pearson Education. White Plains, New York. 2001.

Bygate, M. Speaking. In R. &. Carter, Teaching English to Speakers of Other Languages

(pp. 14-19). Cambridge University Press. Cambridge, UK. 2001.

Campbell, C., & Ortiz, J. Helping students overcome foreign language anxiety: a foreign

language anxiety workshop. In E. K. Horwitz, Language Anxiety: From Theory and

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 62

Research to Classroom Implications (pp. 153-168). Prentice Hall. Englewood

Cliffs, New York. 1991.

Cao, Y. Comparison of Two Models of Foreign Language Classroom Anxiety Scale.

Philippine ESL Journal, 7, 73-93. 2011.

Casado, M., & Dereshiwsky, M. Foreign language anxiety of university students. College

Student Journal, 35 , 539-551. 2001.

Cassady, J. C. Anxiety in Schools: The Causes, Consequences, and Solutions for Academic

Anxieties. Peter Lang. New York. 2010.

Chastain, K. Developing Second-Language Skills: Theory and Practice. Harcourt Brace

Jovanovich, Inc. 1988.

Chomsky, N. Syntactic Structures. The Hague: Mouton & Co. 1957.

Cohen, L, Manion, L., & Morrison K. Research Method in Education. Routledge Falmer.

London. 2000.

Dally, J. (1991). Language anxiety: From theory and research to classroom implication. In

E. K. Horwitz, Understanding Communication Apprehension: An introduction for

language educators (pp. 3-13). New York: Prentice Hall.

De Jong, M. & Schellens, P. J. (1998). Focus group or individual interview? A comparison

of text evaluation approaches. Technical Communication, 45 , 77-88.

Ellis, R. (2008). The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University

Press.

Ely, C. M. (1986). An analysis of discomfort, risktaking, sociability, and motivation in the

L2 Classroom. Language Learning Journal, 36 , 1-25.

Eysenck, M. W. (1979). Anxiety, learning, and memory: A reconceptualization. Journal of

Research in Personality, 13 , 363-385.

Gardner, R. C. and MacIntyre, P.D. (1993). A student's contributions to second

languagelearning. Part II: affective variables. Language Teaching, 26 , 1-11.

Gardner, R. C. (1985). Social Psychology and Second Language Learning. The Role of

Attitudes and Motivation. London: Edward Arnold.

Garnder, R. C., Clement, R., Smythe, P. C., and Smythe, C. L. (1979). The Attitude and

Motivation Text Battery - Revised Manual. Research Bulletin . Ontario, Canada:

Language Research Group,.

Gass, S. (2002). An Interactionist Perspective on Second Language Acquisition. In R.

Kaplan (Ed.), The Oxford Handbook of Applied Linguistics. Oxford: Oxford

University Press.

Gass, S. M., Mackey, A., & Pica, T. (1998). The role of input and interaction in second

language acquisition. The Modern Language Journal, 82(iii) , 299-307.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 63

Gill, P., Stewart, K., Treasure, E. & Chadwick, B. (2008). Methods of data collection in

qualitative research: interviews and focus group. British Dental Journal, 204 , 291-

295.

Gregersen, T., & Horwitz, E. K. (2002). Language learning and perfectionism: anxious and

non-anxious language learners; reactions to their own oral performance. The

Modern Language Journal, 86 , 562-570.

Hatfield, R. (2015, April 14). Livestrong . Retrieved May 26, 2015, from Livestrong Web

site: www.livestrong.com

Haynes, J. (2007). Getting Started With English Language Learners: How Educators Can

Meet The Challenge. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum

Development.

Hilgard, E. R., Atkinson, R. C. & Atkinson, R. L. (1971). Introduction to Psychology. New

York: Harcourt.

Horwitz, E. K. (1986). Preliminary evidence for the reliability and validity of a aoreign

language anxiety scale. TESOL Quarterly, 20 , 559-564.

Horwitz, E. (2001). Language anxiety and achievement. Annual Review of Applied

Linguistics, 21 , 112-126.

Horwitz, E.K., Horwitz, M.B., & Cope, J. (1986). Foreign language classroom anxiety. The

Modern Language Journal, 70 , 125-132.

Howatt, A. P. (1984). A History of English Language Teaching. Oxford: Oxford University

Press.

Huang, H. (2008). University EFL students' and their teachers' preferences for in-class

activities and their relationship to the students' foreign language anxiety. Taiwan:

Unpublished mater thesis, Providence University.

Jones, J. F. (2004). A cultural context for language anxiety. English Australia (EA)

Journal, 21 , 30-39.

Kaplowitz, M. D. (2000). Statistical analysis of sensitive topics in group and individual

interviews. Quality & Quantity, 34 , 419-431.

Keramida, A. (2009). Helping students overcome foreign language speaking anxiety in the

English classroom: Theoretical issues and practical recommendations .

International Education Studies, 4 , 39-44.

Knodel, J. (1997). A case for nonanthropological qualitative methods for demographers.

Population and Development Review, 23 , 847-853.

Krashen, S. & Terrel, T. D. (1983). The Natural Approach. London: Pergamon.

Krashen, S. (1985). The Input Hypothesis. London: Longman.

Lenneberg, E. (1967). Biological Fondations of Language. New York: Wiley & Son.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 64

Lightbown, P. M., & Spada, N. (2006). How Language Are Learnt. Third Edition. London:

Oxford University Press.

Lindfors, J. (1991). Children's Language and Learning. London: Allyn and Bacon.

MacIntyre & Gardner, R. C. (1991). Methods and Results in the Study of Anxiety and

Language Learning: A Review of the Literature. Language Learning, 41 , 85-117.

MacIntyre, P. D. & Garnder, R. C. (1991). Anxiety and second language learning: Towards

a theoretical clarification. In E. K. Horwitz, Language anxiety: From theory and

research to classroom implications (pp. 41-54). Englewood Cliffs, New Jersey:

Prentice Hall.

MacIntyre, P. D. (1995). How Does Anxiety Affect Foreign Language Learning: A Reply

to Sparks and Granschow. The Modern Language Journal, 79 , 90-99.

MacIntyre, P. D. (1999). Language Anxiety: A Review of Literature for Language

Teachers. In D. J. Young, Affect In Foreign Language and Second Language

Learning (pp. 24-43). New York: Mc Graw Hills Companies.

MacIntyre, P. D., & Gardner, R. C. (1991a). Investigating language class anxiety using the

focused essay technique. Modern Language Journal, 75 , 296-304.

MacIntyre, P. D., & Gardner, R. C. (1991b). Language anxiety: Its relationship to other

anxieties and to processing in native and second languages. Language Learning, 41

, 513-534.

MacIntyre, P.D., & Gardner, R.C. (1994). The subtle effects of language anxiety on

cognitive processing in the second language. Language Learning, 44 , 283-305.

Mackey, A. (2006). Second Language Acquisition. In R. W. Fasold, An Introduction to

Language and Linguistics (pp. 434-463). Cambridge: Cambridge University Press.

Malone, S. (2012). Summer Institute of Linguistics, Inc. Retrieved August 19, 2014, from

SIL: www.sil.org

Marckwardt, A. D. (1972). Changing winds and shifting sands. MST English Quarterly 21 ,

3-11.

McCroskey. (1978). Validity of the PRCA as an index of oral communication

apprehension. Communication Monograph, 45 , 192-203.

McCroskey, J. C. (1970). Measures of communication-bound anxiety. Communication

Monograph, 45 , 269-277.

McKeachie, Wilbert J., Donald Pollie & Joseph Spiesman. (1985). Relieving anxiety in

classroom examinations. Journal of Abnormal and Social Psychology, 50 , 93-98.

McKendry, E. (n.d.). Cramlap . Retrieved May 15, 2014, from Cramlap:

http://www.cramlap.org

Menezes, V. (2013). Second language acquisition: Reconciling theories. Open Journal of

Applied Sciences, 3 , 404-412.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 65

Mitchell, R. a. (2004). Second Language Learning Theories. London: Hodder Arnold.

Mukulel, J. (1998). Approaches to English language teaching. New Delhi: Discovery

Publishing House.

Na, Z. (2007). A study of high school students' English learning anxiety. Asian EFL

Journal , 9 , 22-34.

Nunan, D. (1991). Communicative tasks and the language curriculum. TESOL Quarterly

25 , 279-295.

Ohata, K. (2005). Language anxiety from the teacher's perspective: Interviews with seven

experienced ESL/EFL teachers. Journal of Language and Learning, 3 , 133-155.

Onwuegbuzie, A. J., Bailey, P., & Daley, C. E. (1999). Factors associated with foreign

language anxiety. Applied Psycholinguistics, 20 , 217-239.

Oppenheim, A. N. (1992). Questionnaire Design, Interviewing and Attitude Measurement.

New York: Pinter Publishers.

Oxford, R. L. (1999). Anxiety and The Language Learner. New insight. In A. Jane, Affect

in Language Learning (pp. 58-67). Cambridge: Cambridge University Press.

Pappamihiel, N. E. (2002). English as a second language students and English language

anxiety. Research in the Teaching of English, 36 , 327-355.

Phillips, E. M. (1992). The effects of language anxiety on students' oral test performance

and attitudes. The Modern Language Journal, 76 , 14-25.

Prator, C. H. & Celce-Muria, M. (1979). An outline of language teaching approaches. In

McIntosh, L. & Celce Muria, Teaching English as a Second or Foreign Language

(Ed). New York: Newbury House.

Price, M. L. (1991). The Subjective Experience of Foreign Language Anxiety: Interviews

with High Anxious Students. In E. K. Horwitz, Language Anxiety: From Theory

and Research to Classroom Implications (pp. 101-108). Upper Saddle River, New

York: Prentice Hall.

Riasati, M. J. (2011). Language learning anxiety from EFL learner's perspective. Middle

East Journal of Scientific Research, 7 , 907-914.

Sarason, I. G. (1984). Stress, anxiety, and cognitive interference: Reactions to test. Journal

of Personality and Social Psychology, 46 , 929-938.

Sarason, I. G. (1978). The Test Anxiety Scale: Concept and Research. In C. D. Spielberger,

Series in Clinical and Community Psychology. Ed. (pp. 193-216). Washington:

Hemisphere Publishing Corporation.

Scovel, T. (1978). The effect of affect on foreign language learning: A review of the

anxiety research. Language Learning, 28 , 129-142.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 66

Sila, A. (2010). Young adolescent students' foreign language anxiety in relation to

language skills at different levels. The Journal of International Social Research, 3 ,

83-90.

Spielberger, C. D., Gorsuch, R. L., Lushene, R., Vagg, P. R., & Jacobs, G. A. (1983).

Manual for the State-Trait Anxiety Inventory. Palo Alto, California: Consulting

Psychologist Press.

Spielberger, D. D. (1989). State-Trait Anxiety Inventory: Bibliography (2nd ed). Palo Alto,

California: Consulting Psychologists Press.

Spolsky, B. (1989). Conditions for Second Language Learning; Introduction to a general

theory. London: Oxford University Press.

Tanveer, M. (2007). Investigations of the factors that cause language anxiety for ESL/EFL

learners in learning speaking skills and the influence it cast on communication in

the target language. Glasgow, UK: University of Glasgow.

Trang, T. T. (2012). A review of Horwitz, Horwitz, and Cope's theory of foreign language

anxiety and the challenges to the theory. English Language Teaching, 5 , 69-75.

Watson, David & Friend, Ronald. (1969). Measurement of social-evaluative anxiety.

Journal of Consulting and Clinical Psychology, 43 , 448-457.

Weiss, R. S. (1994). Learning from Strangers: The Art and Method of Qualitative

Interview Studies. New York: The Free Press.

Wilson, J. T. (2006). Anxiety in Learning English as A Foreign Language: Its Associations

with Student Variables, with Overall Proficiency, and with Performance on An Oral

Test. Granada: University of Granada.

Wine, J. D. (1971). Test Anxiety and the Direction of Attention. Psychological Bulletin, 76

, 92-104.

Young, D. (1990). An investigation of students' perspectives on anxiety and speaking.

Foreign Language Annals, 23 , 539-553.

Young, D. (1991). Creating a low-anxiety classroom environment: What does language

anxiety research suggest? Modern Language Journal, 75 , 426-439.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 67

DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP PENINGKATAN

KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN

Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])

ABSTRACT

Many found in an employee in their daily life that more time to walk from one work unit to

another work unit. In addition, the location between work units can be far from each other.

Improved organizational performance can be done by utilizing the resources to the

maximum, efficient, and effective. It should be ensured that no steps are taken with fruitless

results. Implementation of conveyor belt system is one of the solution for the implementation

of task can be done maximally, efficiently and effectively. Each step of implementing tasks

in the conveyor system will be greatly reckoned in improving the performance of each

employee. In this study, it is evident that the location of a well-structured work unit according

to the conveyor system can improve performance.

Key words: conveyor belt, performance, effective

PENDAHULUAN

Setiap usaha hampir dapat dipastikan selalu mengharapkan adanya peningkatan

produktivitas setiap periode. Bagi perusahaan manufaktur, manajemen mengharapkan

peningkatan produksi. Bagi perusahaan di bidang jasa marketing selalu mengharapkan

peningkatan penjualan. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan tentunya

mengharapkan peningkatan mutu layanan yang semakin baik. Pemerintah Republik

Indonesia contohnya, pelayanan keluar masuk barang di pelabuhan, pelayanan di pintu toll,

dan di tempat jasa lainnya telah diupayakan agar waktu pelayanan yang semakin cepat, dari

15 menit menjadi 5 menit, dan seterusnya.

Walaupun dorongan perbaikan pelayanan telah dikumandangkan, dalam kenyataannya

masih ada jasa pelayanan di beberapa instansi dan perusahaan belum terlihat upaya

perbaikan. Berbagai alasan yang dapat disampaikan oleh mereka, antara lain belum adanya

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 68

standar pelayanan, masih fokus dalam upaya mencari nasabah, siswa, mahasiswa atau

lainnya, dan masih ada yang beranggapan bahwa hal tersebut akan memerlukan biaya yang

cukup tinggi.

Lalu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dapat meningkatkan jumlah nasabah,

siswa, mahasiswa, produktivitas, dan lainnya apabila mutu pelayanan yang diberikan masih

belum dapat memuaskan nasabah? Tampaknya hal ini seperti lingkaran masalah yang tidak

berujung apabila masih terus diperdebatkan.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis merasa tertarik untuk membuat kajian, apakah benar

peningkatan mutu layanan melalui penerapan sistem ban berjalan dapat meningkatkan

kinerja manajemen sistem perkantoran yang berdampak kepada adanya peningkatan kinerja.

Dalam kajian ini, Penulis membatasi pembahasan peningkatan mutu layanan dengan

menggunakan sistem ban berjalan, dan difokuskan kepada kinerja seorang sekretaris.

Manfaat yang diperoleh dari karya tulis ini adalah setiap pihak yang terlibat dalam

pelayanan akan memahami bahwa dalam melaksanakan pekerjaan selalu membutuhkan

sistem kerja yang efisien dan efektif sehingga berdampak kepada mutu layanan yang lebih

baik. Dan metode kajian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah studi pustaka, pendapat

beberapa praktisi, serta pengamatan dalam penerapannya.

LANDASAN TEORI

Pengertian Sistem Ban Berjalan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua pengertian tentang sistem ban

berjalan, yaitu : (a) lingkar ban terbuat dari kanvas (karet, baja, dan sebagainya) yang

dijalankan oleh mesin, dipakai di pabrik untuk mengangkut barang yang diproses oleh pabrik

itu, dari bagian yang satu ke bagian yang lain dalam suatu sistem produksi; dan (b) sistem

kerja yang menghubungkan bagian yang satu ke bagian yang lain, dari awal sampai akhir

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 69

dan kembali ke bagian awal. Penulis menggunakan pengertian yang kedua dalam hal sistem

ban berjalan dalam kajian ini. (https://www.kamusbesar.com/ban-berjalan

Pengertian sistem ban berjalan menurut sumber lainnya bahwa ban berjalan adalah ban

atau sabuk yang terhubung ke dua atau lebih katrol yang berputar yang digunakan untuk

mengangkut material. Satu atau lebih katrol terhubung ke generator sehingga akan

menggerakkan rangkaian ban atau sabuk tersebut. Katrol adalah suatu roda dengan bagian

berongga di sepanjang sisinya untuk tempat tali atau kabel. Katrol biasanya digunakan dalam

suatu rangkaian yang dirancang untuk mengurangi jumlah gaya yang dibutuhkan untuk

mengangkat suatu beban. Dalam beberapa perusahaan contoh yang dapat menggambarkan

pengertian ban berjalan tersebut antara lain : conveyer di beberapa gudang perusahaan,

pengantaran bagasi penumpang dari pesawat (baggage claim) di bandar udara.

Cara Kerja Sistem Ban Berjalan

Sistem ban berjalan dapat digunakan dalam metode produksi dan keselamatan kerja

bersama-sama dengan sistem lainnya. Telah banyak perusahaan yang menggunakannya

karena dipandang cukup efektif dan efisien dalam membantu peningkatan kinerja.

Misalnya dalam metode produksi. Kelancaran produksi dapat ditentukan oleh cara kerja

yang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja. Sebagai contoh dalam produksi

kerajinan bahan limbah. Dalam contoh ini, ada 2 metode yang dapat dilakukan yaitu metode

tradisional dan metode modern (sistem ban berjalan).

Dalam hal ini, metode tradisional kurang tepat digunakan jika ingin memproduksi dalam

jumlah banyak karena produk yang dihasilkan sulit untuk mencapai standar bentuk yang

sama. Metode yang cocok adalah dengan menggunakan sistem ban berjalan.

Ada beberapa pertimbangan mengapa memilih sistem ban berjalan. Seperti diketahui,

dalam contoh kasus proses pembuatan bahan di atas dan pembentukan material solid sering

menghasilkan sisa potongan atau debu yang dapat melukai bagian tubuh pekerjanya

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 70

sehingga dibutuhkan alat keselamatan kerja berupa kacamata pelindung dan masker. Dalam

proses pembuatan bahan dan finishing, apabila menggunakan bahan kimia yang berbahaya

bagi kulit dan pernafasan, pekerja harus menggunakan sarung tangan dan masker. Selain alat

keselamatan kerja, diperlukan sikap kerja yang rapi, hati-hati, teliti, dan penuh konsentrasi.

Dengan penerapan sistem ban berjalan, semua persyaratan yang disebutkan tadi tidak

diperlukan karena tidak dilakukan oleh sumber daya manusia. Itulah alasannya mengapa

sistem ban berjalan lebih cocok digunakan.

Sistem Perkantoran

J.C. Denyer menjelaskan, sistem perkantoran adalah urutan baku operasi-operasi dalam

suatu kegiatan perusahaan khusus (contohnya pembayaran upah, pembuatan faktur

penjualan, dan sebagainya) yang berkenaan dengan bagaimana operasi-operasi itu

dilaksanakan (metode) maupun dimana dan bilamana dilaksanakan.

Menurut J.C Denyer sistem perkantoran perlu direncanakan secara baik karena berbagai

manfaat, yaitu :

1. Kelancaran pekerjaan perkantoran, dan mencegah kemungkinan kesalahan dalam

pekerjaan.

2. Pengurangan keterlambatan, hambatan.

3. Kontrol yang lebih baik terhadap pekerjaan.

4. Penghematan tenaga kerja dan biaya tata usaha.

5. Koordinasi berbagai seksi dan bagian dalam organisasi.

6. Kemudahan dalam melatih para pegawai tatausaha.

Sistem perkantoran yang baik mempunyai suatu arus kerja yang lancar tanpa terjadi

hambatan-hambatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghindari hambatan

tersebut adalah :

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 71

1. Sistem perkantoran yang baik menghindari terjadinya kekembaran kerja dan

warkat.

2. Sistem mengontrol sehingga perjalanan mondar mandir para petugas terjadi

secara minimum.

3. Sistem menghindari pula tulis-menulis yang tidak perlu.

4. Sistem perkantoran memanfaatkan sebaik-baiknya kelebihan spesialisasi dalam

pelaksanaan kerja.

5. Sistem perkantoran yang baik menjaga sehingga jumlah pekerjaan dengan

perbekalan kertas adalah minimum.

6. Untuk terciptanya prosedur rutin yang tetap, pengecualian terhadap aturan perlu

diusahakan sesedikit mungkin.

7. Untuk mencegah berlangsungnya banyak pencatatan dan pengecekan yang tak

perlu, sistem perkantoran perlu menerapkan prinsip manajemen berdasarkan

pengecualian.

8. Sistem perkantoran yang baik menghindarkan pengecekan yang tidak perlu.

9. Sistem perkantoran yang baik memanfaatkan sebaik-baiknya mesin-mesin, tetapi

tidak mempergunakannya secara berlebihan.

10. Terakhir setiap sistem perkantoran harus berdasarkan asas kesederhanaan.

Dengan demikian, secara garis besar empat faktor berikut ini merupakan keharusan yang

perlu selalu dipertimbangkan dalam sistem perkantoran, yaitu :

1. Lalu lintas keterangan yang simpang siur.

2. Kekembaran keterangan yang banyak.

3. Pembiayaan keterangan yang boros.

4. Kehilangan keterangan yang merugikan organisasi.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 72

PEMBAHASAN

Praktik Perkantoran Secara Umum

Secara umum dalam praktik perkantoran masih ditemukan beberapa hambatan antara

lain :

1. Penyelesaian pekerjaan perkantoran masih lambat.

2. Belum tersedianya sistem / cara mencegah kemungkinan kesalahan dalam pekerjaan.

3. Kurangnya kontrol yang lebih baik terhadap pekerjaan.

4. Belum terjadinya penghematan tenaga kerja dan biaya tata usaha.

5. Kurangnya koordinasi berbagai seksi dan bagian dalam organisasi.

6. Masih adanya perjalanan mondar mandir para petugas yang relatif tinggi.

7. Masih adanya tulis-menulis yang tidak perlu.

8. Belum tercapainya sistem perkantoran berdasarkan asas kesederhanaan.

Kondisi di atas dalam jangka pendek terutama dalam jangka panjang akan mengganggu

peningkatan kinerja. Selain hal tersebut, juga akan berdampak kepada faktor kesehatan dan

keselamatan.

Penerapan Sistem Ban Berjalan

Data untuk penerapan sistem ban berjalan yang akan dibahas dalam kajian ini diambil

dari suatu kondisi salah satu perusahaan yang ada saat ini. Kasus yang akan ditampilkan

adalah penanganan surat masuk.

Kasus tersebut adalah, perusahaan menerima surat undangan dari suatu organisasi

pemerintah tentang sosialisasi penerapan e-learning. Dalam surat undangan tersebut

ditegaskan agar pimpinan menugaskan satu orang yang mewakili perusahaan. Dalam kajian

ini, penerimaan surat masuk masih menggunakan metode konvensional yaitu menggunakan

fisik kertas.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 73

Dalam praktiknya, surat masuk tersebut ditangani menurut alur proses yang secara garis

besar sebagai berikut :

1. Petugas Tata Usaha menerima surat masuk

2. Petugas Tata Usaha mencatat surat masuk dan memberikan nomor agenda sudah masuk

3. Petugas Tata Usaha memberikan kartu kendali

4. Petugas Tata Usaha mengirimkan surat masuk ke Direktur

5. Direktur menerima surat masuk dan memberikan disposisi kepada Manajer 2

6. Petugas Tata Usaha mengambil surat yang telah didisposisi oleh Direktur dari Manajer

2

7. Manajer 2 menerima surat masuk dan memberikan disposisi agar salah satu staf mewakili

untuk menghadiri acara sosialisiasi

8. Petugas Tata Usaha mengambil surat yang telah didisposisi oleh Manajer 2 dan

diserahkan ke salah satu staf yang telah ditunjuk.

9. Staf melaksanakan tugas untuk menghadiri kegiatan sosialisasi.

Sebagai tambahan data analisis, berikut ini digambarkan layout ruang kerja yang ada

saat ini pada suatu perusahaan yang akan digunakan dalam pembahasan kajian dampak

penerapan sistem ban berjalan dalam suatu sistem perkantoran.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 74

Gambar : Layout Ruang Unit Kerja Perusahaan (existing)

Layout Ruang Unit Kerja di atas menjelaskan secara urut alur kerja apabila

menggunakan sistem ban berjalan yaitu dimulai dari nomor 1 (Pintu Masuk), lanjut ke nomor

2 (Ruang Kerja Manajer 2) dan terakhir ke nomor 7 (Ruang Kerja Direktur). Jalan dari pintu

masuk menuju ruang kerja Direktur harus dilakukan menurut alur tersebut.

Analisis Dampak Penerapan Sistem Ban Berjalan

Dalam perusahaan ini dibutuhkan unit-unit yang saling terkait untuk menjalankan

proses bisnis yang ada. Keterlibatan unit-unit kerja akan sangat tergantung kepada sifat

proses bisnis perusahaan. Semakin panjang suatu proses bisnis tersebut semakin banyak

melibatkan unit-unit kerja yang terkait.

Sifat proses bisnis dalam suatu organisasi ada yang alurnya sudah standar akan tetapi

juga ada yang belum standar. Dalam hal ini diperlukan letak lokasi unit-unit kerja yang tidak

berjauhan. Prosedur operasi standar yang akan dibentuk akan sangat membantu lancarnya

pelaksanaan proses bisnis.

Ruang Kerja

Direktur

Ruang

Rapat

Ruang Kerja

Staf

Ruang Kerja

Manajer 2

Ruang Kerja

Manajer 1

Ruang Kerja

Tata Usaha

Taman

Pintu

Masuk 1

2 3 4

5 6 7

7

7

1

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 75

Dalam kasus proses surat masuk tersebut di atas, dapatlah dilakukan pembahasan yang

diterapkan menurut fakta layout ruang kerja masing-masing unit yang saling terkait.

Langkah penanganan surat masuk tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Pengantar surat dari Pintu Masuk (1) memberikan surat ke Petugas Tata Usaha (4).

Petugas Tata Usaha menerima surat masuk dari pengantar surat masuk.

2. Petugas Tata Usaha (4) mencatat surat masuk dan memberikan nomor agenda sudah

masuk.

3. Petugas Tata Usaha (4) memberikan kartu kendali.

4. Petugas Tata Usaha (4) mengirimkan surat masuk ke Direktur (7).

5. Direktur (7) menerima surat masuk dan memberikan disposisi kepada Manajer 2 (2).

6. Petugas Tata Usaha (4) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Direktur (7) dan

diserahkan ke Manajer 2 (2).

7. Manajer 2 (2) menerima surat masuk dari Petugas Tata Usaha dan memberikan disposisi

agar salah satu staf mewakili untuk menghadiri acara sosialisasi.

8. Petugas Tata Usaha (4) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Manajer 2 (2) dan

diserahkan ke salah satu staf (6) yang telah ditunjuk.

9. Staf yang ditunjuk (6) melaksanakan tugas untuk menghadiri kegiatan sosialisasi.

Dari simulasi di atas dapat digambarkan secara ringkas alur proses pada unit-unit kerja

terkait yang harus dilalui yaitu : 1 – 4 – 4 – 4 – 4 – 7 – 7 – 2 – 4 – 7 – 2 - 2 – 4 – 2 – 6 – 6.

Apabila angka-angka yang dibutuhkan dalam proses surat masuk berdasarkan layout unit

kerja ini dijumlahkan akan menjadi 66. Layout ruang kerja ini akan diusulkan untuk

disesuaikan setelah mempertimbangkan faktor efektivitas, efisiensi, keamanan, dan

keselamatan. Dalam hal ini penyesuaian tidak mengubah fisik ruang kerja tetapi hanya

mengubah lokasi unit kerja pada ruang kerja yang sudah ada. Layout ruang kerja yang baru

akan tampak seperti berikut.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 76

Gambar : Layout Ruang Unit Kerja Perusahaan (proposed)

Layout Ruang Unit Kerja Perusahaan (baru, proposed) di atas merupakan salah

alternatif perubahan layout unit kerja. Gambar tersebut menjelaskan secara urut menurut

sistem ban berjalan yaitu dimulai dari nomor 1 (Pintu Masuk), lanjut ke nomor 2 (Ruang

Kerja Tata Usaha), dan terakhir ke nomor 7 (Ruang Kerja Manajer 1). Perubahan telah

mempertimbangkan jarak antar unit kerja yang sering saling berhubungan.

Dalam kasus tersebut di atas, dapatlah dilakukan pembahasan yang diterapkan menurut

fakta layout ruang kerja yang baru (proposed) untuk masing-masing unit yang saling terkait.

1. Pengantar surat Pintu Masuk (1) memberikan surat ke Petugas Tata Usaha (2). Petugas

Tata Usaha (2) menerima surat masuk dari pengantar surat masuk.

2. Petugas Tata Usaha mencatat surat masuk dan memberikan nomor agenda sudah masuk.

3. Petugas Tata Usaha (2) memberikan kartu kendali.

4. Petugas Tata Usaha (2) mengirimkan surat masuk ke Direktur (3).

5. Direktur (3) menerima surat masuk dan memberikan disposisi kepada Manajer 2 (4).

Ruang Kerja

Manajer 1

Ruang

Rapat

Ruang Kerja

Staf

Ruang Kerja

Tata Usaha

Ruang Kerja

Direktur

Ruang Kerja

Manajer 2

Taman

Pintu

Masuk

1

2 3 4

5 6 7

1

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 77

6. Petugas Tata Usaha (2) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Direktur (3) dan

diserahkan ke Manajer 2 (4).

7. Manajer 2 (4) menerima surat masuk dari Petugas Tata Usaha dan memberikan disposisi

agar salah satu staf mewakili untuk menghadiri acara sosialisiasi.

8. Petugas Tata Usaha (2) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Manajer 2 (4) dan

diserahkan ke salah satu staf (6) yang telah ditunjuk.

9. Staf (6) melaksanakan tugas untuk menghadiri kegiatan sosialisasi.

Dari simulasi di atas dapat digambarkan secara ringkas alur proses pada unit-unit kerja

terkait yang harus dilalui yaitu : 1 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 – 3 – 4 – 2 – 3 – 4 - 4 – 2 – 4 – 6 – 6.

Apabila angka-angka yang dibutuhkan dalam proses surat masuk berdasarkan layout unit

kerja yang baru dijumlahkan akan menjadi 50, lebih kecil dari jumlah dengan layout ruang

kerja yang lama. Dengan demikian dapatlah dilakukan perbandingan alur menurut sistem

ban berjalan dengan layout ruang kerja yang lama dan yang baru sbb :

Status Alur kerja Jumlah

Lama 1 – 4 – 4 – 4 – 4 – 7 – 7 – 2 – 4 – 7 – 2 - 2 – 4 – 2 – 6 – 6 66

Baru 1 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 – 3 – 4 – 2 – 3 – 4 - 4 – 2 – 4 – 6 – 6 50

Apabila dilakukan perbandingan secara lebih rinci akan terlihat berikut ini.

Selisih angka antar unit kerja menurut layout ruang kerja yang lama (exist):

Lama 1 – 4 – 4 – 4 – 4 – 7 – 7 – 2 – 4 – 7 – 2 - 2 – 4 – 2 – 6 – 6

Selisih 3 – 0 – 0 – 0 –3 – 0 – 5 – 2 – 3 – 5 – 0 – 2 – 2 – 4 – 0 Total: 29

Min 0

Max 5

Selisih angka antar unit kerja menurut layout ruang kerja yang baru (proposed):

Baru 1 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 – 3 – 4 – 2 – 3 – 4 - 4 – 2 – 4 – 6 – 6

Selisih 1 – 0 – 0 – 0 – 1 – 0 – 1 – 2 – 1 – 1 – 0 – 2 – 2 - 2 - 0 Total: 13

Min 0

Max 2

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 78

Dari perbandingan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sistem ban berjalan akan

berhasil diterapkan secara efektif dan efisien menurut layout ruang kerja setelah disesuaikan

(proposed). Beberapa hal yang menjelaskannya adalah :

1. Total langkah yang dilakukan dalam proses surat masuk menurut layout ruang kerja

yang lama sebesar 66, sedangkan layout ruang kerja yang baru sebesar 50. Dari total

selisih menurut layout ruang kerja yang baru jauh lebih kecil (yaitu 13) dibandingkan

dengan layout ruang kerja yang lama (yaitu 29). Hal ini dapat berarti bahwa jumlah

langkah yang tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan proses surat masuk ada 13

langkah menurut layout ruang kerja yang baru, sedangkan menurut layout ruang kerja

yang lama sebanyak 29 langkah.

2. Angka maksimum selisih menurut layout ruang kerja yang baru jauh lebih kecil

(yaitu 2) dibandingkan dengan layout ruang kerja yang lama (yaitu 5). Hal ini dapat

berarti bahwa jumlah langkah yang dibutuhkan untuk menuju ruang kerja yang satu

ke ruang kerja berikutnya maksimum hanya 2 langkah menurut layout ruang kerja

yang baru, sedangkan menurut layout ruang kerja yang lama membutuhkan 5

langkah.

Dari hasil penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa penerapan sistem ban berjalan

menurut layout ruang kerja yang telah disesuaikan menunjukan hasil yang lebih baik.

Dengan jumlah langkah yang semakin kecil dapat berdampak pada : (1) Pelaksanaan

pekerjaan jauh lebih cepat (efektif); (2) Pelaksanaan pekerjaan memerlukan biaya yang lebih

murah (efisien); dan (3) Pelaksanaan pekerjaan lebih nyaman dan aman. Kesemuanya ini,

penerapan sistem ban berjalan dapat mengakibatkan peningkatan kinerja manajemen sistem

perkantoran.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 79

PENUTUP

Sistem ban berjalan ternyata cocok diterapkan untuk tugas-tugas yang mempunyai alur

kerja yang pasti dan konsisten, dalam hal ini adalah proses surat masuk. Penerapan sistem

ban berjalan dapat menghemat biaya, mempersingkat waktu proses, menjaga keselamatan

kerja, meningkatkan kesehatan kerja termasuk menjaga stamina tetap stabil - tidak mudah

lelah. Dengan demikian hal ini akan mempunyai dampak terhadap peningkatan kinerja para

pelaksana tugas termasuk sekretaris dalam melaksanakan proses administrasi perkantoran

yang ada.

Karya tulis ini dapat dimanfaatkan oleh para pengelola administrasi atau manajemen

organisasi, instansi, atau perusahaan. Namun untuk hal-hal yang terkait yang belum dibahas

dalam kajian ini dapat menjadi bahan referensi untuk melakukan kajian lebih lanjut oleh para

peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don Bosco. Handbook of Modern

Secretary: Panduan Sukses Secretaris dalam Dunia Kerja Modern. Penerbit

PPM. Jakarta. 2010.

https://www.kamusbesar.com/ban-berjalan, diakses tanggal 25 Juni 2018

https://id.wikipedia.org/wiki/Ban_berjalan, diakses tanggal 25 Juni 2018

http://elmiaulianisa.blogspot.com/2017/01/wirausahaproduk-kerajinan-fungsional.html,

diakses tanggal 25 Juni 2018

https://dodiandresia.wordpress.com/2016/10/28/sistem-perkantoran/, diakses tanggal 25

Juni 2018

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 80

PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI TERHADAP

KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA

Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.

(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])

ABSTRACT

The use of technology in everyday life can not be dammed again in the life of the organization

especially in the world of work. Technology really takes control in all aspects of life, in all

situations. But the education that must be owned by human resources is not only technology

but also moral issues, character. Education today is expected to give birth to quality

graduates in technology, knowledge, excellent character superior. Basically, education

makes things better. Cooperation experience also makes things easier to achieve. Education

teaches how to live life in many ways including problem solving. Education makes the

graduates have a different kind of quality different, but all of it is worth the advantages of

each can be meaningful to each other. Graduates' quality is strongly influenced by the

quality of their graduates in facing their work and problems. The quality of soft skill is a

testament to the quality of graduates.

Key words: influence, competence, success of work

DASAR PEMIKIRAN

Penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dibendung lagi, apalagi

dalam kehidupan organisasi dan terlebih di dunia kerja. Teknologi sungguh memegang

kendali untuk semua aktivitas. Dalam segala aspek kehidupan, dalam segala situasi, dalam

real time dimana saja, peran teknologi sangat mendominasi. Kondisi seperti hal tersebut

menjadi salah satu pertimbangan penting bagi orang tua maupun anak-anak muda yang akan

meneruskan studinya ke perguruan tinggi. Studi dengan mendapatkan pengetahuan dan

praktik atas penggunaan teknologi menjadi daya tarik bagi masyarakat. Generasi muda

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 81

sebagai sumber daya manusia sangat membutuhkan pengetahuan teknologi dan

implementasinya sebagai modal diri dalam memasuki dunia kerja.

Seiring kemajuan teknologi yang sudah menjadi konsumsi aktivitas dalam setiap

harinya sumberdaya manusia juga sangat membutuhkan kesiapan diri baik secara mental,

sikap, penalaran, kecerdasan diri dalam pengelolaan diri, kecerdasan emosional, kepintaran

dalam menghadapi peradaban jaman yang berubah begitu cepat karena kemajuan teknologi

yang sangat cepat. Rasanya sumber daya manusia era teknologi ini tidak hanya

membutuhkan skill teknologi saja tetapi juga emotional skill yang baik untuk mengimbangi

dan memaksimalkan penggunaan teknologi secara maksimal dan berkualitas. Pendidikan

yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia bukan saja hanya teknologi akan tetapi juga

masalah moral, budi pekerti atau attitude. Hal ini sangat penting agar risiko-risiko akibat

teknologi bisa diminimalisir dan teknologi sungguh-sungguh bermanfaat secara positif

dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun dalam dunia kerja. Pendidikan jaman sekarang

sungguh diharapkan mampu melahirkan lulusan yang berkualitas secara teknologi,

pengetahuan, berkarakter baik unggul cerdas hati dan cerdas intelektualnya, sigap, punya

hati, pribadi yang tangguh tidak mudah menyerah, kreatif, dan problem solving.

Karya ilmiah ini akan membahas tentang faktor-faktor apa saja yang mendasari

kompetensi lulusan pendidikan sekretaris, dan indikator keberhasilan apa saja yang

diperlukan dalam dunia kerja. Manfaat karya tulis ini adalah masyarakat pada umumnya dan

para mahasiswa di bidang kesekretarisan pada khususnya akan mendapatkan gambaran

komprehensif bagaimana mencapai kompetensi lulusan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.

Metodologi penyusunan karya tulis ini adalah studi pustaka dan pengamatan dalam praktik-

praktik umum dalam pengelolaan tugas-tugas perkantoran.

LANDASAN TEORI

1. Kompetensi Lulusan

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 82

Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berfikir dan bertindak secara konsisten

sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki peserta

didik. Standar kompetensi adalah ukuran kompetensi minimal yang harus dicapai

peserta didik setelah mengikuti suatu proses pendidikan tertentu. Dengan demikian

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dapat dikatakan sebagai kualifikasi kemampuan

lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik

sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati, sebagaimana yang ditetapkan

dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006. Standar

kompetensi kelulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan

peserta didik dari satuan pendidikan.

Oleh karena itu sistem pengajaran di perguruan tinggi harus secara rutin dilakukan

evaluasi dengan mengacu perkembangan pengetahuan, teknologi dan seni serta

perkembangan global dalam masyarakat dunia. Dengan adanya sistem Kurikulum

Berbasis Kompetensi ini merupakan jawaban agar para lulusan perguruan tinggi dalam

negeri mampu bersaing dengan para lulusan perguruan tinggi dari luar negeri. Untuk itu

guna mengukur keberhasilan sistem kurikulum berbasis kompetensi perlu adanya standar

kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan ini bukan merupakan patokan harga

mati tetapi juga bukan standar ukuran yang longgar yang membuat mutu kompetensinya

tidak tercapai. Tujuan utama dari standar kompetensi lulusan adalah untuk

mempersiapkan para lulusan siap bekerja dan dapat langsung bekerja yang sesuai dengan

bidangnya, mampu mengimplementasikan ilmunya serta mampu mengembangkan diri

untuk menjawab tantangan yang baru dan mempunyai pola pikir untuk belajar selama

hidupnya. Dengan kondisi global seperti sekarang ini para lulusan perguruan tinggi

mendapatkan persaingan yang sangat ketat di dunia usaha. Kualitas kompetensi atas ilmu

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 83

yang mereka pelajari selama di perguruan tinggi akan menjadi bukti nyata kemampuan

mereka dalam menghadapi persaingan ketat di dunia usaha.

Persyaratan kerja di era global ini tidak saja membutuhkan kualitas lulusan di

bidang hard skill (kemampuan teknis dan akademis) akan tetapi yang sangat dibutuhkan

juga adalah penguasaan soft skills. Dalam rangka memenuhi kebutuhan kebutuhan di

dunia industri ataupun dunia kerja tentu akan berakibat pada pola pikir ataupun

paradigma berfikir dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Perubahan pola pikir

yang dapat memenuhi proses kegiatan pendidikan yang dapat menghasilkan mutu

lulusan seperti yang dibutuhkan di dunia kerja. Para generasi muda yang mengenyam

studi di perguruan tinggi itu diharapkan mampu menjiwai skills yang terkait dengan

pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Untuk memenuhi standar seperti tersebut di atas diperlukan persyaratan yang harus

dipenuhi yaitu sistem pendidikan, kurikulum, dosen, dan fasilitas yang terintegrasi

mengarah terpenuhinya keberhasikan kurikulum berbasis kompetensi tersebut. Atas

dasar itu salah satu acuan yang harus ada adalah standar kompetensi lulusan perguruan

tinggi (SKL PT). Hal itu dimaksudkan agar pola evaluasi dan pengawasan atau

monitoring keberhasilan kurikulum berbasis kompetensi dapat dilakukan dengan baik

dan konsisten.

2. Pendidikan Sekretari

Dalam era peradaban manusia saat ini kehidupan disegala lini sudah sangat erat

ketergantungannya dengan teknologi. Sungguh sangat luar biasa peran teknologi dalam

kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai makluk sosial, baik dalam

urusan pribadi, kelompok, pekerjaan dan lain sebagainya. Kehadiran teknologi bisa

membuat segala sesuatu menjadi mudah dan nyata. Dalam banyak proses kegiatan

sehari-hari di mana saja tentang apa saja teknologi mendominasi sebagai sarana

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 84

penyelesaiannya/ solving-nya. Lantas bagaimana dengan masalah pendidikan, secara

khusus pendidikan sekretaris? Apakah pendidikan juga akan digeser oleh teknologi?

Jawabnya adalah bukan digeser akan tetapi pendidikan sekretari akan didominasi oleh

pengetahuan dan implementasi dari teknologi. Kecanggihan teknologi dibeberapa ranah

pekerjaan sangat dan telah didominasi oleh teknologi. Akan tetapi meskipun demikian

peran sekretaris maupun sumber daya manusia di lingkungan dunia kerja tetap sangat

dibutuhkan, sebab banyak juga pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.

Kedudukan sekretaris dengan hard skill dan soft skill-nya sangat dibutuhkan di

dunia kerja. Atas dasar itu maka sampai saat ini pendidikan sekretaris tetap dibutuhkan

di dunia kerja. Pendidikan sekretari benar-benar menyiapkan generasi muda untuk siap

memasuki dunia kerja sebab secara hard skiil dengan kemajuan teknologinya disiapkan

akan penggunaannya untuk menyelesaikan pekerjaan secara efektif dan efisien di

lingkungan kantor maupun jejaringnya. Selain itu pendidikan tentang pengembangan diri

yang berpengaruh langsung pada perkembangan kualitas kepribadian seseorang yang

menghasilkan pribadi yang berkarakter unggul yaitu baik, tangguh, peduli, beretika,

wawasan moral baik dan pantas, percaya diri, bermutu dalam sikap dan komunikasi,

problem solving karena kecerdasan logika dan hati yang dimiliki, peduli akan segala

situasi, sigap dalam menangani segala sesuatu dengan hasil yang baik dan positif.

Pendidikan sekretaris sesungguhnya pendidikan yang menyiapkan seseorang

menjadi sekretaris tetapi juga seseorang untuk menjadi manager. Disini seseorang juga

dituntut kemampuannya dalam manajemen yaitu dalam menjalankan fungsi-fungsi

manajemen. Dalam hal tersebut secara otomatis belajar untuk menjadi pemimpin

maupun pimpinan. Lebih luas lagi pendididikan sekretari yang terkait dengan ilmu

manajemen juga mempelajari tentang technical skill dan managerial skill. Dalam

technical skill di sini terkait dengan tugas-tugas operasional. Sedangkan managerial skill

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 85

terkait dengan kemampuan pokok dalam hal conceptual skill yaitu kemampuan

memimpin yang terkait dengan menyusun dan merumuskan suatu strategi yang

dituangkan dalam berbagai rumusan konsep yang harus dijalankan selanjutnya.

Kemampuan lainnya adalah human skill yaitu kemampuan seseorang dalam mendorong

dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikendakinya, sehingga orang lain melakukannya tanpa terpaksa.

3. Keberhasilan di Dunia Kerja

Keberhasilan di dunia kerja sangat ditentukan oleh soft skill yang dimiliki oleh para

pekerja / karyawan. Menurut Dr Syahrial Mukhtar, Vice President Stakeholder Relation

PT.Pertamina (Persero) hadirnya digital ekonomi di dunia kerja memberi pengaruh besar

bagi pertumbuhan ekonomi. Digital ekonomi memang lagi tren sebagai driver untuk

pertumbuhan ekonomi. Dengan digital ekonomi semua tersambung secara inter-

konektif. Informasi teknologi membuat semua terhubung, bahkan bisnis dalam dunia

kerja mayoritas sudah menggunakan itu, seperti e–commerce. Semua bisa diakses

dengan cepat. Dengan adanya sharing ekonomi menjadikan banyak terjadi pergeseran

pandangan. Dalam dunia kerja yang sangat dipentingkan adalah soft skill. Soft skill

adalah modal utama untuk suksesnya seseorang di dunia kerja, karena tidak lebih dari

20% saja ilmu yang didapat di kampus yang nantinya dapat dipakai di dunia kerja.

Menurutnya soft skill-lah yang menentukan seseorang menjadi leader dan mampu

memimpin. Bahkan dengan soft skill yang dimiliki akan mengantarkan seseorang

menjadi transformer sebagai pelaku perubahan. Beberapa soft skill yang di dalam

perusahaan kemudian diwujudkan adalah values perusahaan.

Values ini adalah nilai–nilai soft skill yang menentukan keberhasilan perusahaan

dalam menghadapi tantangan di dunia bisnis. Ada tiga values yang harus kita cermati

agar kita berhasil integritas, kreativitas, dan diversity. Demikian juga hal yang

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 86

disampaikan oleh direktur Bank Jawa Tengah yaitu Dr. Supriyatno,MBA tentang soft

skill menjadi faktor kunci keberhasilan seseorang dalam berbisnis atau dunia kerja.

PEMBAHASAN

“Pintar tetapi tertutup” tidak akan bernilai dalam kehidupan secara luas. Kepintaran

seseorang dalam bidang akademik bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup. Bahkan

bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki cara berfikir

seseorang, sekaligus membebaskan manusia dari berbagai belenggu mitos yang

mengikatnya. Memaknai pembelajaran di perguruan tinggi itu sendiri untuk membebaskan

diri dari ketertutupan. Seperti halnya yang disampaikan oleh Albert Einstein yaitu “ukuran

kecerdasan orang terletak pada kemampuannya untuk berubah”. Dan itulah makna

kecerdasan yang terkait erat dengan keterbukaan dalam berfikir.

1. Indikator Kompetensi Lulusan

a. Logical skills

Kemampuan seseorang dalam berfikir secara logika tidaklah sama. Akan tetapi untuk

ukuran kompetensi lulusan diri suatu perguruan tinggi sangat diperlukan.

Kemampuan berfikir logika sendiri ini merupakan suatu pengetahuan yang

mengajarkan tentang cara berfikir untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki, baik

hal itu dibuktikan secara teori maupun dalam kenyataannya dan hal kebenaran itu

meliputi pemikiran, perbuatan, serta bukti nyata. Jadi bagi para lulusan akan

dinyatakan punya kompetensi salah satu ukuran sudut pandangnya adalah

mempunyai dasar-dasar yang jelas dan bermutu dalam berfikir, berbicara maupun

bertindak.

b. Oral communications skill

Komunikasi adalah aktivitas utama manusia dalam kehidupan sehari-hari,

komunikasi dengan Tuhan, sesama manusia dan makluk lainnya. Komunikasi

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 87

merupakan modal dan kunci sukses dalam pergaulan dan karier karena hanya dengan

komunikasi sebuah hubungan baik dapat dibina dan dibangun. Keterampilan

komunikasi adalah keterampilan utama yang harus dimiliki untuk mampu membina

hubungan yang sehat di mana saja. Mengukur kompetensi lulusan perguruan tinggi

salah satu hal yang sangat penting adalah kualitasnya dalam berkomunikasi. Apabila

seseorang mempunyai kualitas komunikasi yang baik segala persoalan akan

mengalami kemudahan untuk menemukan solusinya dengan tetap menjaga

hubungan baik dengan pihak manapun.

c. Knowledge of technology

Tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa dihindari teknologi sangat memegang kendali

dalam mengukur mutu lulusan sebab dalam segala aktivitas kehidupan terlebih dunia

kerja sangat tergantung dengan teknologi. Lulusan perguruan tinggi merupakan satu

paket dengan standar kualitas terhadap teknologi yang akan mempermudah dan

menjadi sangat efisien dalam menangani banyak pekerjaan. Jadi jelas teknologi

dengan segala manfaat kecanggihannya menjadi syarat mutlak bagi para lulusan .

d. Analytical skillability to work in team settings

Hampir semua bidang pekerjaan menghendaki karyawan bekerja dalam tim. Kerja

dalam tim menjadi elemen penting untuk mencapai visi atau hasil yang sama dengan

cara lebih mudah. Untuk melakukan kerjasama yang baik dalam tim perlu sekali

melakukan hal-hal ini dalam tim:

1) Fokus pada target atau tujuan tim

Untuk bisa mencapai target atau tujuan dalam tim, sangat perlu

mengesampingkan keinginan pribadi agar bisa fokus ke tujuan.

2) Bagi tugas masing-masing anggota tim

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 88

Hal pertama yang harus diketahui oleh aggota tim adalah tujuan kerjasama, hal

ke dua adalah pembagian kerja masing-masing tim. Hal ini penting sekali karena

bisa mendorong anggota tim untuk bekerja lebih produktif, efisien dan sesuai

target. Sementara pemimpin tim bekerja terus untuk mengevaluasi dan

mendukung kerja tim secara berkelanjutan.

3) Membangun kekompakan tim

Untuk terwujudnya kekompakan tim diperlukan adanya seorang

penanggungjawab yang berfungsi untuk mendorong seluruh tim, mengingatkan

untuk saling berkomunkasi dan membangun kekompakan satu dengan yang lain.

Sehingga tidak ada gesekan atau perpecahan di tim kerja.

4) Sediakan waktu untuk rileks

Rutinitas dengan kerja untuk mencapai trget target tertentu sebagai tuntutan kerja

untuk mencapai tujuan perusahaan maupun organisasi sangat menguras energy

positif maupun energy negative bagi siapa saja yang mengalami kendala dalam

mencapai target. Proses mencapai target yang ketemu berbagai macam perbedaan

yang tidak mudah tetap menuntut untuk mampu menemukan solusi solusi yang

efektif agar tujuan tercapai. Hal tersebut tentu mudah menimbulkan ketegangan

dalam berbagai syaraf dan otak dalam tubuh. Dalam situasi yang seperti hal

tersebut akan sangat mengganggu kesehatan dan kerja tidak produktif. Atas dasar

itu semua maka sebagai pribadi maupun tim sangat membutuhkan kondisi situasi

untuk rileks. Rileks adalah suatu kondisi ketika pikiran tidak setres dan tegang,

biasanya ketika rileks dapat belajar dengan lebih fokus, dan mendapatkan

informasi dengan lebih cepat dan akurat. Ada beberapa cara rileks dengan waktu

lebih cepat dan lebih mudah, yaitu :

- Meditasi

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 89

Yaitu dengan melakukan latihan menarik nafas yang dalam. Tutup bibir,

hiruplah udara sedalam dalamnya selama 4 detik, tahan nafas selama 8 detik,

lalu lepaskan nafas selama 8 detik. Lakukan hal tersebut selama 4 kali.

- Peregangan otot

Yaitu melakukan dengan menegangkan otot terlebih dahulu lalu merilekskan

otot. Merilekskan otot-otot dapat membantu perbaikan mental dan membuat

pikiran akan sama dengan tubuh yaitu rileks.

- Melakukan kebiasaan yang sehat

Misalnya dengan yoga, tetapi hindari yoga bila memiliki masalah tubuh

seperti osteoporosis, atau risiko darah beku. Kebiasaan lainnya adalah minum

air banyak air hangat, karena air membuat tubuh segar dan melepaskan racun-

racun. Ada juga dengan membiasakan olah raga disesuaikan dengan kondisi

tubuh, olah raga akan berpengaruh pada hormone endorphin yang akan

memberikan perasaan senang.

- Melakukan kegiatan yang membuat rileks

Bawa diri pada aktivitas yang tidak begitu membutuhkan fokus pikiran,

aktivitas santai, mendengarkan lagu-lagu santai, suara-suara dari alam yang

menyenangkan cuitan burung, suara ombak dan lain-lain, atau lakukan

aktivitas bersama hewan piaraan yang menyenangkan dengan menyentuh

mereka akan menurunkan tekanan darah.

- Hindari hal-hal yang membuat and setres

Misalnya mematikan TV, lap top, hanphone, dan menyendiri dalam

ketenangan.

e. Ability to work independently

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 90

Asah kemampuan untuk mampu bekerja secara mandiri. Kemampuan memecahkan

masalah secara mandiri sangat penting untuk meraih prestasi. Kemandirian pasti

terjangkau dengan kedewasaan atau tingkat kematangan seseorang. Semakin dewasa

dan semakin tinggi posisi orang seharusnya semakin mandiri dalam bekerja. Namun

demikian kedewasaan/ kematangan seseorang belum tentu berbanding lurus dengan

usia. Kadangkala orang yang relatif muda sudah terbiasa mandiri dan sebaliknya

orang yang secara umur sudah lebih tua justru berperilaku sebaliknya. Ada beberapa

faktor yang bisa membuat orang mampu bekerja secara mandiri:

- Faktor Kesadaran

Faktor kesadaran akan peran dan tanggungjawab terhadap pekerjaan memegang

peran sangat penting. Dalam situasi tertentu sering tidak dibekali sistem kerja

yang cukup detail atau memang berada dalam perusahaan baru yang belum

memiliki sistem kerja yang memadai. Namun dengan memiliki kesadaran ini,

akan mencoba memaksimalkan potensi demi mewujudkan peran dan

tanggungjawab tersebut. Seringkali harus berinisiatif terhadap hal-hal yang

belum diatur di perusahaan. Bahkan juga rela membantu bagian lain di luar

bagian diri sendiri.

- Faktor Sistem

Perusahan-perusahaan yang sudah mempunyai sistem dengan baik, apalagi

perusahaan-perusahaan multinasional, semua hal kerja telah terjabarkan dalam

sistem dan job desc seseorang baik melalui prosedur kerja, formulir-formulir

manual ataupun melalui sistem aplikasi perusahaan. Dalam kondisi seperti ini

semua orang secara otomatis harus patuh menjalani sistem yang sudah ada di

perusahaan tersebut dan bekerja secara mandiri sesuai denga ruang lingkup

tugasnya.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 91

- Faktor Atasan

Pada perusahaan yang atasannya memberikan kebebasan pada karyawannya

dalam mengerjakan tugasnya karena atasan begitu percaya kepada bawahannya,

secara otomatis akan melatih dan membentuk bawahan bekerja dengan mandiri.

Kebebasan tersebut diberikan karena atasan tidak mau repot dan tidak mau

terlibat pada urusan-urusan yang mendetail. Dalam konteks luas kemandirian

juga ditentukan oleh keluarga dan lingkungannya. Semakin didikte secara

berlebihan orang cenderung menjadi tidak mandiri. Sebaliknya semakin diberi

kebebasan yang disertai penekanan akan rasa tanggungjawab, justru akan

membuat semakin mandiri.

f. Knowledge of field

Dunia kerja banyak sekali perbedaannya dengan dunia kampus, sementara para

mahasiswa dididik untuk memasuki dan berada di dunia kerja. Ada banyak hal yang

tidak bisa didapatkan di kampus sementara hal tersebut nyata ada di dunia kerja. Atas

dasar itu sangat penting pada saat di kampus para mahasiswa mengikuti pelatihan

dan kuliah umum yang nara sumbernya datang dari dunia kerja. Selain itu untuk

mengukur kompetensi lulusan, kampus sangat perlu punya program yang

memberikan pengalaman nyata tentang dunia kerja. Dari program tersebut bagi para

lulusan maupun mahasiswa gambaran tentang dunia kerja semakin nyata.

Kemampuan para lulusan di dunia kerja sangat menentukan ukuran mutu dari

lulusan. Penting pengetahuan dan praktik nyata di dunia kerja pada saat masih kuliah

agar para mahasiswa dan lulusan sungguh-sungguh mempunyai kemampuan yang

lebih berkualitas dalam menyesuaikan diri di dunia kerja, sehingga mampu

menempatkan diri sebagai lulusan yang punya kualitas soft skill dan hard skill yang

pantas dan baik. Adanya wawasan dan pengetahuan nyata tentang kondisi lapangan

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 92

kerja akan memudahkan para lulusan dalam problem solving maupun dalam

menunaikan tugas dan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan.

Beberapa aspek karakter yang berpengaruh pada pengembangan kompetensi

- Positive attitude (sikap positive)

Sikap positif sangat membantu merasa lebih senang, dan rasa senang itu

mendatangkan kebahagiaan, mendatangkan kesehatan, mendatangkan kebaikan

dalam kehidupan. Ada beberapa cara untuk memiliki sikap positif, yaitu :

Harus dapat mengontrol diri

Belajar cara menghargai diri dan waktu

Pahami prilaku mempengaruhi orang lain

Ubah kosa kata yang digunakan pada saat komunikasi, gunakan kata-kata

positif agar tidak melukai perasaan orang lain

Jadilah proaktif, proaktif bisa dibangun dari membiasakan peduli, peka,

tanggap dalam kehidupan sehari-hari

Nikmati hal-hal kecil, dengan menikmati hal-hal kecil dapat menghargai

segala sesuatunya dan punya rasa syukur yang tulus yang mendatangkan

pola pikir dan sikap positif.

- Self learning (belajar mandiri)

Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri. Belajar mandiri berarti belajar

secara berisiniatif, dengan ataupun tanpa bantuan orang lain dalam belajar. Salah

satu prinsip mandiri adalah mampu mengetahui kapan membutuhkan orang lain,

bertemu orang lain, dan mengetahui proses segala sesuatu untuk tujuan yang

akan dicapai. Yang terpenting adalah mampu mengidentifikasi sumber-sumber

informasi.

- Motivational aspect / self vision (aspek motivasi/ visi diri)

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 93

Aspek motivasi juga sangat berpengaruh terhadap kompetensi lulusan perguruan

tinggi. Karena motivasi ini yang memberikan dorongan semangat untuk

menjalankan aktivitas. Pada dasarnya orang motivasi dirinya baik maka segala

penghambat akan tidak berarti karena motivasi diri jauh lebih kuat. Motivasi

timbul karena adanya suatu kebutuhan. Motivasi ini menjadi kekuatan bagi

setiap orang dalam melakukan berbagai kegiatan.

- Mindset (pola pikir)

Pola pikir seseorang juga sangat berpengaruh dalam kompetensi lulusan, sebab

pola pikir menentukan bagaimana seseorang tersebut melakukan aktivitasnya,

apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya, dengan siapa harus

melakukan, mengapa dilakukan, mengapa semua itu harus dilakukan? Pola pikir

yang kompleks dengan sudut pandang luas akan sangat mempengaruhi semua

itu.

Konsekuensi – konsekuensi yang ada :

- Kemampuan mengelola semakin penting (adaptif)

- Profesionalitas (punya keterampilan yang dalam dan beragam)

- Pekerja otak semakin dominan (unsur jasa, kreatif)

- Keterampilan high touch dan high tech semakin dibutuhkan

- Belajar seumur hidup.

2. Indikator Keberhasilan Dalam Dunia Kerja

a. Pengelolaan Diri

- Visi personal

Visi pribadi merupakan gambaran kehidupan yang ingin dicapai seseorang di

masa depan. Sangat penting rasanya kalau visi pribadi tersebut bisa dibayangkan

dengan jelas dan detail. Mengapa visi itu perlu? Apabila punya visi pribadi yang

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 94

jelas, maka bisa melakukan evaluasi atas langkah-langkah dan tindakan yang

dilakukan. Juga dapatkan memikirkan strategi-strategi yang efektif untuk

mencapai tujuan, bisa memilah-milah tawaran atau ajakan yang mana yang baik.

Dan akhirnya bisa dikuatkan pada saat melaksanakan segala sesuatu untuk

mencapi dan tujuan ketemu dengan masalah. Dengan adanya visi pribadi tersebut

tetap kuat dalam problem solving.

- Integritas/ tanggungjawab

Tanggungjawab merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan

baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggungjawab juga berarti

berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Keberhasilan di dunia

kerja sangat ditentukan juga oleh kualitas tanggungjawab dalam bekerja, karena

tanggungjawab ini yang akan dinilai dirasakan oleh lingkungan kerja kantor.

Semakin punya tanggungjawab yang baik maka kualitas keberhasilan di dunia

kerja akan semakin baik.

- Adaptability (kemampuan beradaptasi)

Kemampuan dalam melakukan penyesuaian diri di dunia kerja sangat

menentukan kemudahan bekerja, sangat menentukn komunikasi kerja dan sangat

menentukan luasnya kerjasama dalam bekerja. Pada umumnya semakin mudah

seseorang melakukan adaptasi maka semakin sukses dia dalam dunia kerja,

karena pertemanan yang luas, sehingga problem solving-nya ada peluang lebih

mudah. Mudah melakukan penyesuaian memudahkan diterima oleh lingkungan.

- Motivation

Motivasi seseorang menjadi alasan kuat seseorang berhasil di dunia kerja atau

tidak. Bagi karyawan motivasi yang dimiliki itu menjadi pendorong atau

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 95

semangat dalam melaksanakan tugas-tugas di dunia kerja. Jadi motivasi yang ada

bisa jadi alasan suksesnya seseorang di dunia kerja.

- Disiplin

Disiplin merupakan parasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya

merupakan tanggungjawabnya. Pendisiplinan adalah usaha untu menanamkan

nilai ataupun paksaan agar subyek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah

peraturan. Apabila seseorang sebagai karyawan mempunyai perasaan yang

seperti tersebut sudah tentu akan menjadi bagian kesuksesan di dunia kerja, sebab

dengan disiplin maka kemudahan untuk berhasil tinggi dimana dengan disiplin

segala sesuatu akan berjalan lancar.

b. Pengelolaan Tugas

- Planning

Pentingnya planning adalah untuk membuat suatu perencanaan, dengan adanya

perencanaan memudahkan dalam melakukan kegitan dan memenuhi segala

sesuatunya.

- Membuat keputusan

Dalam pengelolaan segala tugas mesti jelas agar mudah dalam membuat

keputusan. Keputusan sangat dibutuhkan agar tindak lanjut dari setiap pekerjaan

jelas dan baik. Sebaiknya keputusan yang diambil sudah dipertimbangkan secara

maksimal sehingga diketahui kekuatan dan kelemahannya, agar keputusan yang

diambil tidak salah, atau dengan risiko yang terkecil.

- Berfikir taktis/ strategis

Pentingnya berfikir strategis yaitu berfikir terhadap apa yang akan dikerjakan

dengan pola pikir dan alasan yang jelas dan efekti, yaitu pola pikir yang benar-

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 96

benar efektif dan efisien tidak terjadi pemborosan waktu dan biaya serta tujuan

tercapai.

c. Pengelolaan oran lain

Interpersonal skill (kepedulian, komunikasi), keberhasilan di dunia kerja juga sangat

dipengaruhi oleh bagaimana seseorang bertindak cerdas sigap dan bijaksana terhadap

orang lain. Kemampuan seseorang mengembangkan kepeduliaanya di lingkungan

kerja akan menentukan kualitas komunikasinya. Orang yang berkarakter baik

sesungguhnya mempunyai perilaku otomatis terhadap hal peduli sebagai perwujudan

dan perhatian terhadap lingkungan kerja atau lingkungan pertemanan di dunia kerja.

Kemampuan mengelola orang lain akan memudahkan dalam mencapai tujuan.

d. Kepemimpinan

Jiwa kepemimpinan yang dimiliki seseorang akan sangat terlihat bagaimana cara

seseorang mengelola diri dan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari. Cara

seseorang mempengaruhi orang lain dan problem solving terhadap orang lain akan

menentukan bagaimana seseorang tersebut pantas atau tidak jadi pemimpin. Jiwa

kepemimpinan tinggi yang dimiliki seseorang akan sangat menentukan kesuksesan

di dunia kerja, karena seorang pemimpin tentu punya jiwa yang kuat yang mampu

mengamankan lingkungannya, mampu memotivasi orang-orang yang dipimpinnya,

mampu mengevaluasi kinerja lingkungannya, mampu melakukan pengarahan

dengan jelas dan berani mengambil keputusan.

e. Aspek-aspek yang perlu dilatih

Self confidence, dengan mempunyai rasa percaya diri yang baik akan memudahkan

bagi seseorang untuk bekerja sama, mempengaruhi orang lain, membangun

kepercayaan orang lain dalam meyakinkan segala sesuatunya. Rasa percaya diri juga

mendatangkan simpati dan daya tarik, serta menampilkan diri secara berkualitas dan

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 97

professional. Karena itu sangat penting melatih terus untuk membangun rasa percaya

diri.

- Inisiatif, adalah kemampuan untuk memutuskan dan melakukan sesuatu yang

benar tanpa harus diberitahu, mampu menemukan apa yang seharusnya

dikerjakan terhadap sesuatu yang ada di sekitar, berusaha untuk terus bergerak

untuk melakukan beberapa hal walau keadaan terasa tidak mudah.

- Keberanian, seseorang yang menginginkan dirinya sukses di dunia kerja tentu

harus melatih diri secara terus menerus atas keberaniannya menghadapi orang

lain maupun keberanian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Hal

ini sangat penting karena bekerja itu harus melakukan sesuatu dan bekerja sama

dengan orang lain serta ada target yang harus diselesaikan dengan tepat waktu.

- Sensitivity to others, merupakan kemampuan kepekaan dan sadar akan perasaan

orang lain, akan tetapi tidak membuat kepekaan ini menjadi halangan untuk

membuat keputusan yang obyektif. Ada beberapa cara untuk membangun

kepekaan terhadap orang lain, yaitu:

Menyadari isyarat sosial tentang emosi seperti memperhatikan wajah orang

lain, pelajari tanda-tanda kesedihan, menyadari tanda-tanda ketakutan pada

orang lain pertimbangkan gerakan dan postur tubuh, pertimbangkan nada

suara yang tepat untuk berkomunikasi.

Mendengarkan dengan rasa empati, misalnya klarifikasi apa yang dipahami

dengan yang orang lain katakan, berikan perhatian penuh kepada orang yang

sedang berbicara, dengarkan tanpa menghakimi, gunakan tatakrama dan

sopan santun, mengakui apa yang dikatakan orang lain bila itu baik dan benar,

jangan memberikan respon terlalu cepat.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 98

Berbicara dengan tutur kata yang baik, yaitu ajukan pertanyaan, pilihlah cara

yang paling tepat untuk mengekspresikan perasaan, menerima kritikan,

hindari kata-kata hampa dan klise, gunakan bahasa tubuh yang baik,

Jaga perasaan diri sendiri, misalnya sadar akan perasaan sendiri, belajar

kemampun untuk mengatasi masalah, lindungi diri sendiri jaga kesehatan dan

kenyamanan.

- Empathy

Merupakan kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda mencakup

keadaan yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk

menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain,

mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan. Atau dalam bahasa

Yunani yang berarti ketertarikan fisik, yang berarti respon afektif dan kognitif

yang kompleks pada distress emosi orang lain.

Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain,

merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah dan mengambil

perspektif orang lain. Keberpihakan pada orang lain, ikut merasakan apa yang

dialami dirasakan olah orang lain.

- Pola berfikir (mindset)

Pola pikir adalah cara menilai dan memberikan kesimpulan terhadap sesuatu

berdasarkan sudut pandang tertentu. Pola pikir disebut juga paradigma berfikir

adalah jumlah total keyakinan, nilai, identitas, harapan, sikap, kebiasaan,

keputusan, pendapat dan pola-pola pemikiran tentang diri sendiri, orang lain,

dan bagaimana kehidupan bekerja. Apa yang dipikirkan bakal terjadi sungguh

sungguh terjadi.

- Fleksibilitas

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 99

Merupakan keluesan dalam menghadapi beberapa hal yang terjadi dalam

lingkungan maupun diri sendiri. Di dunia kerja sikap ini sangat diperlukan

apalagi dalam kaitannya dengan pelanggan, atau kondisi yang membutuhkan

orang lain. Sikap ini juga sangat perlu dimiliki dalam menjalin kerjasama

dengan orang lain, karakter orang lain yang berbeda beda. Fleksibilitas perlu

dipakai agar tujuan diri sendiri atau perusahaan tercapai. Ini merupakan sikap

yang tidak kaku yang mengarah kepada sikap yang lebih bijaksana.

- Self discipline dan integritas

Disiplin merupakan soft skill yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja, sebab

discipline berbicara masalah komitmen, ketepatan waktu yang terkait dengan

banyak hal kehadiran, tugas pekerjaan yang selesai tepat waktu, perjanjian

dengan orang lain terkait waktu, kepatuhan terhadap peraturan yang ada, dan

lain-lain. Semua itu penting sekali karena orang yang disiplin biasanya

pembicaraanya jelas terarah dan bisa diajak kerjasama serta terpercaya. Disiplin

bisa dibangun dari hal-hal kecil yang dibiasakan untuk kebaikan. Disiplin dan

tanggungjawab merupakan contoh karakter baik yang pada umumnya saling

terkait, orang yang disiplin biasanya orang yang memegang komitmen baik

sehingga pertanggungjawabannya tidak bisa diragukan lagi. Orang disiplin

adalah orang yang tanggungjawab dalam kehidupan sehari hari, karena karakter

tersebut saling ketergantungan saling mempengaruhi secara positif. Dan sikap

ini modal sukses di dunia kerja karena bisa dipercaya.

- Self concept

Merupakan pandangan sikap individu terhadap diri sediri. Pandangan diri ini

terkait dengan dimensi fisik, karakteristik individual, dan motivasi diri.

Pandangan diri tidak hanya meliputi kekuatan kekuatan individual, tetapi juga

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 100

kelemahan bahkan kegagalan dirinya. Konsep diri positif sangat bagus dimiliki

sebab seseorang merasa setara dengan orang lain, yakin dapat mengatasi segala

masalah, bisa menerima pujian tanpa rasa malu, bisa menyadari bahwa setiap

orang memiliki perasaan keinginan yang tidak setiap orang setuju, bisa

memperbaiki dirinya, dan lain-lain. Di dalam dunia kerja orang-orang yang

punya konsep diri positif sangat berarti untuk menuju kesuksesan, sebab konsep

hidupnya positif. Konsep ini dimiliki seseorang berawal dari lingkungan dalam

proses kehidupan yang dia alami.

PENUTUP

Pendidikan milik siapa saja yang mau mengembangkan diri dengan baik dan sungguh–

sungguh, sebab pada dasarnya pendidikan itu membuat segala sesuatu menjadi lebih baik,

meski sering dijumpai dengan proses yang tidak mudah. Orang berpendidikan karena

menginginkan adanya perubahan yang menuju ke kemajuan wawasannya karena

pengetahuan bertambah, pengalaman-pengalaman tentang praktik dari pengetahuan yang

membuat dirinya semakin berkualitas, kerjasama dengan orang lain yang menjadikan dirinya

berlatih lebih bernilai, karena dengan kerja sama orang bisa mengoreksi diri mengelola diri

baik pola pikir sikap dan perbuatannya.

Pengalaman kerjasama juga menjadikan segala sesuatu lebih mudah dicapai.

Pendidikan juga mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan dalam berbagai hal yang

ketemu masalah tetapi tetap bisa problem solving. Pendidikan menjadikan para lulusannya

mempunyai kualitas yang jenisnya berbeda beda, tetapi semua itu bernilai dengan

keunggulan masing masing bisa saling berarti satu sama lain. Lulusan dari suatu perguruan

tinggi memang dapat diartikan telah memenuhi kriteria kelulusan yang disyaratkan baik

secara akademik/ hard skil maupun soft skill. Ukuran kualitas lulusan setelah di dunia kerja

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 101

tidak cukup di kriteria tersebut, banyak sekali perbedaan situasi dan kondisi yang

kenyataannya tidak bisa ditentukan oleh syarat kelulusan.

Mutu lulusan sangat dipengaruhi oleh berbagai kualitas diri para lulusan tersebut pada

saat menghadapi pekerjaan maupun problema-problema yang ada. Kualitas soft skill

menjadi bukti mutu lulusan. Banyak soft skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja dan itu

menjadi suatu paket mutu yang otomatis bergerak yaitu kreatifitas, inisiatif, komitmen,

kepekaan, tanggungjawab dan disipin, empaty, fleksibilitas, percaya diri, pola pikir positif,

konsep diri yang baik, kemampuan mudah melakukan penyesuaian diri dan lain sebagainya.

Harapannya para lulusan benar-benar mampu menyiapkan diri secara hard skill

maupun soft skill pada saat memasuki dunia kerja, karena bernilainya para lulusan sangat

ditentukan oleh hal hal tersebut, terlebih soft skill.

DAFTAR PUSTAKA

Agung Laksana. Public Relations. PT Entang Pustaka. 2018.

Andri Feriyanto, Endang Shyta Triana. Komunikasi Bisnis. Mediatera. Kebumen. 2015.

Donni Juni Priansa. Manajemen Sekretaris Perkantoran Terampil dan Professional. CV.

Pustaka Setia. Bandung. 2017.

Fasli Jalal PhD, Prof dr. Tantangan Dan Peluang Mewujudkan Pendidikan Karakter.

Seminar Nasional Koran Berani. Jakarta. 2012.

Mulyadi. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit IN MEDIA. Bogor. 2016

Standart Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 49 Tahun 2014

Parino Rahardjo , Sosialisasi Soft Skill, Sarasehan Pembina/Pendamping Kemahasiswaan

Perguruan Tinggi Swasta, Kopertis Wilayah III, Jakarta,2007

Rosidah, Ambar Teguh Sulistiyani. Menjadi Sekretaris Profesional & Kantor Yang Efektif.

Gava Media. Yogjakarta. 2005.

Toni Setiawan, Manajemen Sumber Daya Manusia,

Platinum,[email protected], Cetakan I, 2012

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 102

PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN PERKANTORAN

Oleh:

Astuti Widiati, S.E., M.Pd.

(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])

Muller Sagala, S.E.,M.M.

(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])

ABSTRACT

The ease of services provided by FinTech has been responded positively by the public. The

difficulty of getting a loan fund becomes easier. The public does not need to prepare various

and wait long to get the venture capital, but simply sitting sweet at home will all be over the

internet. In addition to the need for business capital, the community has also been facilitated

by FinTech in terms of payment, remittance, purchasing and selling of products, seeking

information, and so forth. There are several reasons why people are very positive about

using FinTech, among others: provide speed of service, which can not be provided by users

of the service, and wider coverage. In addition to the easiness of the community, of course

there are negative results. The company (banking or non-banking) engaged in the financial

business, refusing to use FinTech ascertained at one moment the stretching of its business

will be stalled. Regulatory factors also give birth because with the provision will provide

convenience transact for all parties.

Keywords: FinTech, Administration; Offices

PENDAHULUAN

Geliat kreativitas dan inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK)

telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia termasuk dunia bisnis. Dari sisi

bisnis inovasi TIK merasuk ke berbagai bidang industri untuk efisiensi dan mengambil

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 103

berbagai ceruk pasar. Financial Technology (FinTech) adalah salah satu bentuk penerapan

teknologi informasi di bidang industri keuangan.

Inovasi industri keuangan ini adalah adaptasi prinsip jaringan komputer. Dengan

inovasi ini penyebarannya menjadi sangat cepat secara global hingga pada akhirnya muncul

juga berbagai jasa crowdfunding khususnya di Indonesia misalnya www.kitabisa.com,

www.gandengtangan.org, www.wujudkan.com.

Saat ini, FinTech telah banyak dikenal di kalangan wirausaha dan sebagian masyarakat.

Ledakan besar dari pemanfaatan FinTech perlu segera diantisipasi melalui instrumen hukum.

Hal ini didasarkan pada pengalaman fenomena perusahaan Go-Jek yang dapat mengancam

bisnis transportasi konvensional. Jika fenomena FinTech disejajarkan dengan fenomena Go-

Jek, maka tidak menutup kemungkinan dalam 2-3 tahun ke depan keberadaan FinTech akan

mengancam institusi keuangan nasional.

FinTech muncul seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang saat ini

didominasi oleh pengguna teknologi informasi dan tuntutan hidup yang serba cepat. Dengan

FinTech, permasalahan dalam transaksi jual-beli, pembayaran, tidak sempat mencari barang

ke tempat perbelanjaan, harus ke bank/ATM untuk mentransfer dana, keengganan

mengunjungi suatu tempat karena pelayanan yang kurang menyenangkan, akhirnya dapat

diminimalkan. Dengan kata lain, FinTech membantu transaksi jual beli dan sistem

pembayaran menjadi lebih efisien dan ekonomis namun tetap efektif.

FinTech telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Peer to Peer (P2P) Lending

misalnya per Agustus 2017 telah mencapai 22 perusahaan dengan jumlah dana yang tersalur

sebesar Rp.1,44 triliun (naik 496,51 persen dari tahun sebelumnya). Jasa FinTech lain yang

telah diminati masyarakat adalah jasa pembayaran berbagai tagihan, jasa penyediaan

informasi, jasa penghimpunan dana, dan jasa berinvestasi.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 104

Masalah yang diangkat dalam karya ilmiah ini adalah sejauh mana peran yang dapat

diberikan oleh layanan FinTech dalam proses administrasi keuangan perkantoran, dan apa

saja yang mungkin menjadi masalah. Manfaat bagi masyarakat yang berhubungan dengan

keuangan adalah akan memahami dan mendapatkan banyak pilihan dari layanan yang

diberikan oleh FinTech. Masyarakat akan menjadi bijak dalam memanfaatkan layanan

FinTech sehingga mendapat kesejahtaraan dalam kehidupannya. Metodologi yang dipakai

dalam karya ilmiah ini adalah studi pustaka dan berbagai sumber yang menggambarkan

fakta.

LANDASAN TEORI

Pengertian Fintech

FinTech merupakan singkatan dari financial technology yang bertujuan untuk

memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan, mempermudah

transaksi, dan juga meningkatkan literasi keuangan. Menurut Wikipedia, FinTech

merupakan teknologi dan inovasi baru dengan tujuan bersaing dengan layanan keuangan

tradisional dan mempermudah akses masyarakat pada layanan tersebut. Sedangkan

pengertian FinTech menurut National Digital Research Centre di Dublin, Irlandia

adalah sebagai innovation in financial services atau inovasi dalam layanan keuangan.

Menurut Bank Indonesia, financial technology (FinTech) merupakan hasil gabungan

antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari

konvensional menjadi moderat. Kegiatan bayar-membayar awalnya harus bertatap-muka

dan membawa sejumlah uang kas, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan

melakukan pembayaran yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja.

Pengertian praktikalnya dapat dijelaskan adalah bagaimana proses seseorang yang

membutuhkan pinjaman modal dalam membuka bisnis baru. Pada keuangan tradisional,

seseorang tersebut biasanya akan pergi ke bank terdekat untuk mengajukan kredit atau

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 105

mencari investor tradisional. Namun dengan jasa FinTech, transaksi peminjaman modal

usaha tersebut telah dapat diakses secara online, efekfif, dan efisien.

Ada berbagai jasa yang ditawarkan oleh FinTech. Bank Indonesia sendiri membedakan

FinTech ke dalam berbagai kategori, yaitu:

1. Crowdfunding dan Peer to Peer Lending

Klasifikasi pertama menurut Bank Indonesia adalah sebagai Crowdfunding dan Peer To

Peer Lending. Fungsinya adalah sebagai tempat pemasaran untuk mempertemukan antar

pihak yang saling membutuhkan dalam hal keuangan. Tempat pemasaran ini ditujukan

untuk memfasilitasi antara mereka yang membutuhkan modal dengan calon investor,

antara penjual dengan pembeli, antara donator dengan pihak yang membutuhkan

bantuan. Diharapkan dengan ini keduanya dapat saling menguntungkan.

2. Market Aggregator

Para pengusaha ataupun konsumen, mereka semua membutuhkan data untuk berbagai

kepentingan mereka. Kebutuhan akan informasi ini dapat dengan mudah dipenuhi jika

menggunakan FinTech. Kumpulan data ini akan sangat membantu pengusaha dalam

menentukan langkah-langkahnya. Kemudahan akses untuk mengetahui berbagai macam

informasi merupakan hal yang sangat penting sebelum memutuskan untuk membuat

langkah apapun.

3. Risk and Investment Management

Bagi seseorang yang sedang berbisnis, keuntungan yang didapat tentu memiliki

kemungkinan risiko yang dapat terjadi. Pengusaha yang ingin sukses akan berupaya

mencari tingkat risiko terkecil. Pencarian informasi yang banyak dan juga tepat dapat

digunakan untuk menghidari kerugian dan risiko. Fungsi dari FinTech ini dapat dijadikan

sebagai perencana keuangan untuk mempertimbangkan kemungkinan risiko yang akan

terjadi, meskipun sebenarnya ancamannya tetap ada.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 106

4. Bidang Payment, Settlement, dan Clearing

Pada saat ini, seseorang yang membeli barang dapat dengan mudah melakukan

pembayaran akibat adanya teknologi FinTech yang membantu proses transaksi antara

penjual dan pembeli. Adanya teknologi canggih memungkinkan kedua pihak dapat

saling bertransaksi keuangan dengan mudah, aman, dan nyaman. Selain itu, teknologi ini

sangat menghemat tenaga dan membuat masyarakat semakin terbiasa dengan FinTech.

Perkembangan Fintech

Secara global perkembangan FinTech yang sangat pesat telah diakui berbagai pihak,

khususnya di Indonesia. Salah satu layanan FinTech yang cepat direspon berbagai pihak

adalah peer-to-peer (P2P) lending. Sektor FinTech ini adalah yang paling banyak

bermunculan pemain baru. Menurut data OJK, hingga Agustus 2017 terlihat gambaran

perkembangan sebagai berikut :

1 Jumlah dana yang disalurkan Rp1,44 triliun (496,51% dari tahun sebelumnya)

2 Jumlah P2P Lending 22 perusahaan

3 Ditribusi daerah penyaluran Pulau Jawa : 83,2%

Di luar Pulau Jwa : 16,8%

4 Total peminjam 120.174 peminjam

5 Total Pemberi pinjaman 48.034 pemberi

Pertanyaannya adalah mengapa perkembangan FinTech begitu cepat? Ada beberapa

alasan mengapa FinTech berkembang dan digemari oleh masyarakat pengguna jasa

keuangan, yaitu :

1. FinTech Memudahkan Berbagai Proses dalam Bidang Keuangan

Secara nyata diakui FinTech memberikan kemudahan dengan jangkauan luar biasa

khususnya bagi mereka yang belum terjangkau produk keuangan bank. Selain itu,

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 107

FinTech juga menyentuh generasi muda yang sudah familiar dengan internet dan

memanfaatkan internet dalam segala kebutuhannya. FinTech juga dapat membuat

segalanya lebih sederhana dan efisien. FinTech membuka peluang usaha bagi generasi

Y yang selalu aktif menyelesaikan masalah.

2. Perkembangan Teknologi yang Menunjang FinTech

Dengan dukungan perkembangan teknologi, muncul berbagai peluang untuk membuat

perusahaan berbasis online, khususnya dalam bidang keuangan. Perusahaan FinTech

terus bermunculan dengan misi memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan

aktivitas keuangan secara online.

3. Terinspirasi Pelaku Bisnis Sebelumnya

Perusahaan startup Gojek telah memberikan inspirasi nyata bagi banyak orang.

Seseorang dapat sukses hanya dalam waktu yang singkat, dan dapat berkembang menjadi

perusahaan multinasional. Para generasi muda terdorong untuk meraih impiannya

melalui industri FinTech, memiliki banyak peluang tinggi dalam memasukinya dan

menjanjikan menjadi sukses di dalamnya.

4. Anggapan Bisnis FinTech yang Fleksibel

Industri FinTech masih dianggap fleksibel dan tidak kaku dibandingkan dengan bisnis

konvensional, ditambah ada anggapan bahwa peraturan yang melingkupinya masih

sedikit. Oleh karena itu, industri ini menjadi lahan yang tepat bagi para pebisnis muda

yang ingin menyalurkan kreativitasnya dalam berbisnis.

5. Penggunaan Teknologi, Software, dan Big Data

Keunggulan dari FinTech lainnya adalah usaha FinTech menggunakan

teknologi, software dan big data. Selain itu FinTech juga menggunakan data dari media

sosial. Data-data tersebut dapat dijadikan bagian dari analisis risiko.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 108

Sementara itu produk-produk layanan yang ditawarkan oleh FinTech di Indonesia

antara lain :

1. Payments FinTech

Perusahaan ini menyediakan layanan pembayaran tanpa menggunakan uang tunai atau

cashless yang dapat digunakan di berbagai transaksi pembelian, baik offline maupun

online. Perusahaan FinTech yang bergerak di bidang pembayaran atau payments ini

merupakan salah satu yang paling banyak pelakunya di Indonesia. Sekarang sudah

banyak fasilitas umum yang menggunakan sistem ini dalam pembelian tiket, contohnya

adalah Transjakarta, KRL Commuter Line.

2. Information FinTech

FinTech dapat memberikan informasi yang lengkap tentang suatu produk dan dapat

diperbandingkan dalam satu layar. Pengguna layanan hanya tinggal memilih yang sesuai

kebutuhannya. Contohnya, aplikasi www.tiket.com untuk berbagai kebutuhan misalnya,

tiket pesawat, kereta api, bahkan hotel, sewa mobil. Disamping spesifikasi produk, juga

diberikan informasi harga yang termurah diantara produk yang dicari.

3. Financial SaaS FinTech

Software as a service atau disingkat SaaS merupakan satu bentuk layanan dari FinTech.

Aplikasi yang disediakan FinTech dapat berupa aplikasi perhitungan pengeluaran dan

pendapatan, aplikasi perhitungan atau kasir, ataupun aplikasi akuntansi. Semua aplikasi

yang dihasilkan oleh financial SaaS FinTech ini berbasis internet ataupun cloud,

sehingga mempermudah penyimpanan datanya.

4. Capital Market FinTech

FinTech memberikan kemudahan dalam berinvestasi terutama bagi pemula, atau bagi

mereka yang tidak mau repot-report. Melalui satu layar, FinTech telah menyediakan

marketplace yang jadi tempat berbelanja instrumen investasi. Instrumen investasi yang

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 109

akan dipilih dapat berupa saham, reksadana, valas, atau lainnya. Dengan menggunakan

layanan dari capital market FinTech, dapat melakukan pembelian investasi dan mengatur

investasi lewat website yang disediakan.

5. Crowdfunding FinTech

FinTech juga menyediakan layanan menghimpun dana dari para donatur. Para donatur

dengan mudah memilih kegiatan apa yang akan dibantu. Melalui FinTech, juga dapat

menyumbangkan berapapun uang yang dikehendaki untuk membantu project yang ada

di dalam platform crowdfunding tersebut. Project yang dapat didanai tidak hanya berupa

project sosial seperti membantu pengobatan seseorang yang sedang sakit atau

membangun rumah seseorang yang habis terkena musibah, tetapi juga dapat mendanai

acara-acara yang akan diselenggarakan (biasanya oleh mahasiswa) yang membutuhkan

dana.

6. Peer to Peer Lending

Peer to peer lending disingkat P2P merupakan salah satu layanan FinTech yang berfungsi

sebagai perantara bagi mereka yang ingin meminjamkan uang dan mereka yang butuh

pinjaman uang. Beberapa contoh aplikasi adalah https://koinworks.com/,

https://modalku.co.id/. Aplikasi ini basisnya menggunakan internet, sehingga setiap

layanan dapat diakses lewat internet, yang tentunya mudah dan menghemat waktu.

Semua yang dilakukan secara online juga membuat proses pengajuan pinjaman dapat

dipangkas, sehingga para peminjam dapat mendapatkan pinjaman dengan bunga yang

lebih rendah daripada bunga pinjaman di institusi keuangan tradisional.

Lingkup Administrasi Keuangan Perkantoran

Administrasi keuangan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang pengertian. Secara

etimologis berasal dari bahasa Latin administration yang artinya pemberian bantuan,

pemeliharaan, pelaksanaan, pimpinan, dan pengelolaan. Administrasi juga berasal dari kata

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 110

Belanda, administratie yang diartikan sebagai istilah tata usaha, yaitu segala kegiatan yang

meliputi tulis menulis, mengetik, koresponden, kearsipan dan sebagainya (office work).

Dalam bahasa Yunani terdiri atas ad dan ministrare, yang berarti mengabdi melayani atau

berusaha untuk memenuhi harapan setiap orang.

Secara terminologis, pengertian administrasi keuangan dibagi menjadi 2 lingkup,yaitu:

1. Administrasi keuangan dalam arti sempit yaitu segala pencatatan masuk dan keluarnya

keuangan untuk membiayai suatu kegiatan organisasi kerja yang berupa tata usaha atau

tata pembukuan keuangan.

2. Administrasi keuangan menurut arti luas yaitu kebijakan dalam pengadaan dan

penggunaan keuangan untuk mewujudkan kegiatan organisasi kerja yang berupa

kegiatan perencanaan, pengaturan pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan.

Administrasi keuangan bertujuan untuk mewujudkan suatu tertib administrasi

keuangan, sehingga pengurusannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Tujuan administrasi keuangan sekolah contohnya adalah mewujudkan:

1. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara efisien,

2. Terjaminya kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah,

3. Tercegahnya kekeliruan, kebocoran atau penyimpangan penggunaan dana,

4. Terjaminnya akuntabilitas perkembangan sekolah.

Fungsi Administrasi Keuangan secara lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Fungsi Investasi, meliputi bagaimana pengelolaan dana ke dalam aktiva-aktiva yang

akan digunakan untuk berusaha mencapai tujuan tersebut. Dana tersebut dapat berasal

dari modal sendiri atau dari luar.

2. Fungsi Mencari Dana, meliputi fungsi pencarian modal yang dibutuhkan untuk

membelanjai usaha-usaha yang dijalankan. Disamping itu, juga berfungsi untuk memilih

sumber-sumber dana yang tepat terhadap berbagai jenis kebutuhan.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 111

3. Fungsi Pembelanjaan, meliputi kegiatan tentang penggunaan dana baik dana dari luar

maupun dana milik sendiri yang dipergunakan untuk membelanjai seluruh kegiatan.

Dalam hal ini pembelanjaan berhubungan dengan proses produksi maupun pendukung

proses produksi.

4. Fungsi Pembagian Laba, yaitu menentukan policy dalam mengadakan pembagian laba

usaha. Maksudnya adalah bahwa diusahakan adanya dana yang berasal dari dalam

perusahaan itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha perusahaan tersebut.

Fungsi-fungsi administasi keuangan perkantoran sebagaimana diuraikan di atas

dimaksudkan untuk mendapatkan beberapa manfaat yaitu : (1) Teraturnya penerimaan

maupun pengeluaran organisasi; (2) Pemanfaatan uang mampu dikendalikan dan

dikoordinasikan dengan baik; dan (3) Berkurangnya kekeliruan dalam pembuatan laporan

keuangan. Untuk mewujudkan-nyatakan manfaat tersebut, diperlukan peran sekretaris

pimpinan yang mempunyai kompetensi mengadministrasikan catatan keuangan perkantoran

tersebut.

Tugas-tugas sekretaris pimpinan meliputi tugas-tugas rutin, tugas-tugas khusus, tugas-

tugas istimewa, tugas resepsionis, tugas keuangan, tugas sosial, tugas insidental, dan tugas-

tugas sekretaris dalam business meeting. Salah satu dari tugas-tugas tersebut menyangkut

mengenai administrasi keuangan yang meliputi tugas : (a) Menangani urusan keuangan

pimpinan dengan bank, misalnya penyampaian / penyimpanan uang di bank; (b) Membayar

rekening-rekening pajak, sumbangan dana atas nama pimpinan; dan (c) mengurus kas kecil,

yaitu mencatat dan menyediakan dana untuk pengeluaran rutin sehari-hari yang jumlahnya

relatif kecil.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 112

PEMBAHASAN

Manfaat dan Risiko Fintech

Ada berbagai faktor yang menyebabkan FinTech berkembang begitu pesat dan

dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa manfaat yang disedikan oleh FinTech adalah :

1. Mendorong Inklusi Keuangan Masyarakat Unbanked

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki program Laku Pandai (Layanan Keuangan

Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif). Layanan perbankan dilakukan dengan

memanfaatkan telepon genggam/ponsel dan didukung jasa agen sebagai perpanjangan

tangan bank. Dengan layanan ini bagi masyarakat yang belum memiliki rekening di bank

dapat dilayani oleh agen. Peran FinTech di bisnis perbankan ini menghasilkan

pertambahan nasabah dan sekaligus mendorong inklusi keuangan sesuai program OJK.

2. Kemudahan Masyarakat Perkotaan untuk Membuka Rekening

Kini layanan produk-produk perbankan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang

mempunyai akses ke bank tetapi melalui jasa FinTech semua masyarakat termasuk di

pedesaan yang tidak mempunyai akses layanan keuangan telah dapat melakukan akses

produk perbankan. Masyarakat tidak harus hadir ke kantor bank karena padatnya

kegiatan harian dan pekerjaan. Kehadiran FinTech di bidang perbankan memberikan

kemudahan untuk melakukan pembukaan rekening.

3. Kemudahan Memilih Produk Keuangan Sesuai Kebutuhan

Masyarakat menghendaki banyak produk pilihan dalam memenuhi kebutuhannya.

Akan tetapi terlalu banyak pilihan produk, seperti produk-produk perbankan, ternyata

juga membuat masyarakat bingung untuk memilih sesuai dengan kebutuhan.

Salah satu aplikasi https://www.cekaja.com/ membantu masyarakat untuk memilih

salah satu produk yang sangat dibutuhkan dari sekian banyak pilihan. Pilihan-pilihan

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 113

tersebut telah dilengkapi dengan berbagai informasi, termasuk informasi mengenai

biaya.

Gambar 1: Tampilan website //www.cekaja.com/

4. Kemudahan Melakukan Investasi

Produk perbankan yang selama ini ada kini telah dapat dinikmati melalui FinTech.

Bahkan FinTech menambah beberapa tambahan layanan (fitur) dan kemudahan akses.

Sebagai contoh aplikasi https://www.bareksa.com/, salah satu perusahaan di bidang

investasi reksadana secara online. Fitur yang tersedia antara lain data market, alat

investasi, berita dan analisis pengambilan keputusan. Layanan ini tidak dimiliki oleh jasa

konvensional.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 114

Gambar 2: Tampilan website https://www.bareksa.com/

5. Kemudahan Melakukan Donasi

Selain jasa komersial, FinTech juga menyediakan jasa penggalangan dana dari

masyarakat (social entrepreneur) yang lebih dikenal dengan (crowdfunding). Dana yang

terkumpul digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sejak awal. Salah satu jasa

FinTech yang ada adalah https://kitabisa.com/.

Gambar 3: Tampilan website https://kitabisa.com/

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 115

6. Kemudahan Pembayaran

Saat ini masyarakat terlalu dimanjakan oleh layanan teknologi termasuk oleh FinTech.

Masyarakat dapat berbelanja dengan mudah, aman, dan nyaman hanya dengan kartu

elektronik tanpa uang tunai. Salah satu penyedia jasa tersebut adalah

https://www.spots.co.id/ (sebelumnya www.kartuku.com).

Gambar 4: Tampilan website https://www.spots.co.id/

7. Kemudahan Pengelolaan Keuangan

FinTech juga menyediakan layanan pengelolaan keuangan pribadi dan pencatatan

pengeluaran untuk keperluan klaim. Masyarakat tidak perlu harus membawa fisik

kwitansi pembelian. Bahkan untuk pembayaran pajak telah dibantu melalui aplikasi

http://ww1.onlinepajak.com/.

Disamping manfaat yang diperoleh dari FinTech, juga terdapat beberapa risiko yang

timbul. Risiko yang saat ini mungkin tumbul masih terkait dengan layanan P2P dari FinTech.

Para Investor seharusnya mengenali profil targetnya, termasuk mengenai risiko yang akan

terjadi. Beberapa risiko yang mungkin timbul adalah :

1. Belum Ada Regulasi

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 116

Sampai saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia masih terus

melengkapi peraturan terkait dengan FinTech. Pengaturan mengenai FinTech tergolong

relatif sulit karena jenis layanannya yang sangat beragam, sehingga kebijakan yang

ditempuh adalah pengaturan secara umum sebagai payung hukum berpijak bagi FinTech.

Risiko yang mungkin timbul adalah tidak adanya perlindungan konsumen dari

regulator; tidak ada standard governance dan compliance mengenai bagaimana

menjalankan usaha P2P Lending. Jika terjadi dispute antara investor dengan pengelola

P2P Lending maka kedua belah pihak dapat melakukan penyelesaian sendiri tanpa

campur tangan regulator.

2. Track Record Pengelola (Masih) Terbatas

Usia bisnis P2P ini yang masih sangat muda di Indonesia menyebabkan

pengalaman dan skill yang masih terbatas. Para investor khususnya para pemula akan

sulit menilai mana kinerja pengelola yang sudah terbukti, mana yang belum.

Pengalaman dan skill pengelola P2P Lending sangat menentukan keamanan dan

kinerja investasi. Dalam website, P2P lending menyajikan sejumlah data untuk

mengevaluasi calon kreditur, namun data tersebut memiliki keterbatasan: (1) scope-nya

terbatas; (2) integritas data ditentukan sepenuhnya oleh pengelola.

3. Kreditur Menunggak, Risiko Ditanggung Investor

Sejak awal sebaiknya investor sudah menyadari bahwa mereka menanggung

sepenuhnya risiko gagal bayar kredit. Pengelola P2P lending tidak mananggung kerugian

jika kreditor menunggak. Ini adalah risiko kredit.

Dalam hal terjadi gagal bayar kredit, pihak pengelola membantu melakukan

penagihan, namun the ultimate risk berada di tangan investor. Inilah salah perbedaan

dengan perbankan. Di bank, deposan tidak menghadapi risiko kredit karena risiko

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 117

tersebut ditanggung bank. Meskipun kreditur menunggak atau gagal bayar, uang deposan

kembali secara utuh.

4. Risiko Operasional, Bangkrut dan Dibawa Lari

Dalam P2P Lending, Investor harus menghadapi dua risiko operasional yang

kritikal, yaitu dana yang disetorkan ke pengelola P2P hilang atau disalahgunakan; atau

kemungkinan pengelola P2P Lending bangkrut.

Dalam hal dana yang disetorkan ke pengelola P2P hilang atau disalahgunakan,

pihak pengelola sudah berusaha memperkecil terjadinya risiko yaitu dengan cara

membuka rekening terpisah virtual account di bank atas nama investor. Namun karena

minimnya regulasi dan otoritas pengawas saat ini, ketentuan mengenai bagaimana

pengelola boleh mengakses virtual account belum jelas.

Dalam hal pengelola P2P Lending bangkrut, Investor menyetor dana ke pengelola

dan disimpan oleh pengelola. Masalahnya, otoritas belum mengeluarkan ketentuan

mengenai permodalan minimum P2P Lending. Siapa pun dapat membuka P2P tanpa

perlu modal yang memadai.

5. Tidak Dapat Menarik Investasi Ditengah Jalan

Sejak awal bila bergabung ke P2P Lending, investor harus mempertimbangan isu

likuiditas dengan matang, karena dana tidak dapat ditarik sebelum waktunya. Berbeda

dengan bank dimana deposan dapat menarik dana kapan diperlukan, begitu pula dengan

investasi saham yang dapat dijual kapan saja. Investor P2P Lending tidak dapat menarik

pendanaan yang sudah dikucurkan sebagai pinjaman sebelum jatuh tempo.

Peran Fintech Dalam Administrasi Keuangan Perkantoran

UMKM Indonesia merasa terbantu dengan adanya kemudahan dalam bertransaksi

dengan konsumennya. Dalam peran yang lebih luas, tingkat kesejahteraan penduduk dapat

semakin meningkat akibat ringannya beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 118

perkonomiannya. FinTech mampu meningkatkan keuangan secara nasional dengan adanya

berbagai kemudahan dalam memenuhi keperluan keuangan, melakukan ekspor, jual beli

antar pulau, dan sebagainya.

Pada prinsipnya FinTech telah mampu menggantikan peran lembaga keuangan formal

seperti bank. Dengan demikian peran FinTech dalam pananganan tugas-tugas admnistrasi

keuangan perkantoran adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan pasar bagi pelaku usaha

2. Menjadi alat bantu untuk pembayaran, penyelesaian/ settlement dan kliring

3. Membantu pelaksanaan investasi yang lebih efisien

4. Mitigasi risiko dari sistem pembayaran yang konvensional

5. Membantu pihak yang membutuhkan untuk menabung, meminjam dana dan

penyertaan modal.

Berdasarkan subjek yang terlibat dalam FinTech, peran FinTech pada masing-masing

subjek tersebut adalah :

1. Bagi Konsumen

Teknologi menciptakan ragam produk dengan kelebihannya masing-masing

sehingga konsumen semakin dimudahkan dalam memenuhi kebutuhannya.

Konsumen dapat semakin mengerti akan banyaknya pilihan produk melalui FinTech.

Banyaknya pilihan konsumen dapat menjadikan produsen berlomba-lomba untuk

mendapatkan perhatian dengan menciptakan suatu produk yang memiliki kualitas

terbaik. Dampak positif lainnya yang akan dirasakan oleh konsumen ialah adanya

persaingan antar pengusaha dalam menjaga kualitas produknya dengan harga

semurah mungkin. Dengan demikian kenaikan harga diharapkan tidak akan terjadi.

2. Bagi Pelaku Bisnis

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 119

Para pelaku bisnis mendapatkan berbagai kemudahan melalui FinTech, diantaranya

adalah mudahnya informasi keuangan yang dapat diakses tanpa perlu ribet. Dengan

adanya informasi keuangan ini akan membuat pengusaha dapat lebih matang dalam

merencanakan usaha, dan dapat membuat mata rantai transaksi keuangan semakin

pendek. Kebaikan yang akan didapatkan adalah semakin efisiennya modal sehingga

biaya yang diperlukan semakin sedikit dan keuntungan yang akan diperoleh lebih

besar.

3. Bagi Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum, adanya FinTech dapat memberikan dampak yang positif terhadap

perekonomian nasional suatu negara, khususnya kesejahteraan masyarakat.

Kecepatan uang beredar juga akan semakin meningkat sebagai akibat adanya

kemudahan dalam transaksi keuangan. Dampak akhir dari adanya kemudahan

transaksi di bidang keuangan ini dapat memengaruhi ekonomi agar menjadi semakin

baik dari tahun ke tahun yang pada akhirnya dapat mensejahterakan rakyat.

Dari penjelasan di atas tentang plus-minus keberadaan FinTech, dapat disimpulkan

bahwa FinTech sangat berperan dalam pengelolaan administrasi keuangan perusahaan

secara legih efektif dan efisien. Peran FinTech juga memberikan dampak yang lebih luas

kepada dampak positif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam mengelola

berbagai transaksi keuangannya.

PENUTUP

Perkembangan penggunaan FinTech dalam penyelesaian transaksi bisnis telah

menunjukan angka yang sangat tinggi. Unit-unit usaha yang ingin berkembang, minimal

bertahan seperti yang ada sekarang seolah dipaksa untuk ikut serta meramaikan penggunaan

FinTech.

Ada beberapa alasan mengapa FinTech semakin digemari oleh masyarakat, yaitu:

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 120

1. FinTech secara nyata-nyata memperlancar proses penyelesaian transaksi bisnis,

tidak berbelit-belit.

2. FinTech mampu memperpendek waktu penyelesaian transaksi bisnis

(mempercepat setlemen transaksi).

3. FinTech terbukti efisien dan efektif dalam membantu tugas-tugas dalam bisnis

termasuk dalam administrasi keuangan perkantoran.

Namun dibalik kemudahan-kemudahan layanan yang diberikan oleh FinTech,

sebaiknya tetap memperhatikan risiko atau ancaman yang mungkin timbul. Bentuk perhatian

terhadap risiko atau ancaman dimaksud yang dapat berasal dari internal atau eksternal, antara

lain:

1. Pengguna layanan FinTech harus mengenal dengan baik produk barang / jasa yang

akan ditransaksikan. Contoh: Spesifikasi dan mutu produk yang dibeli.

2. Pengguna layanan FinTech harus memahami prosedur dan teknis penggunaan alat

(tools) yang disediakan oleh FinTech. Contoh: penggunaan mobile banking.

3. Penggunaan layanan FinTech harus selalu mengupdate informasi eksternal yang

mungkin berkaitan dengan jasa layanan FinTech yang akan diterima. Contoh: Ada

peraturan / kebijakan dari Bank Indonesia atau OJK.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.finansialku.com/peran-FinTech-indonesia/, diakses tanggal 26 Juni 2018

https://www.ajarekonomi.com/2018/01/peran-dan-tantangan-industri-FinTech.html?m=1,

diakses tanggal 26 Juni 2018

https://prezi.com/m/89v94juvqao1/financial-technology-FinTech/, diakses tanggal 26 Juni

2018

https://gudeg.net/read/9928/ini-dia-kelebihan-dan-kekurangan-FinTech-yang-harus-kita-

tahu.html, diakses tanggal 26 Juni 2018

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 121

https://koinworks.com/blog/FinTech-indonesia-dan-perkembangannya/, diakses tanggal 26

Juni 2018

https://dailysocial.id/post/rangkuman-perkembangan-lanskap-FinTech-indonesia-

sepanjang-tahun-2017/, diakses tanggal 26 Juni 2018

http://business-law.binus.ac.id/2016/05/31/mengenal-lebih-dekat-financial-technology/,

diakses tanggal 26 Juni 2018

https://www.finansialku.com/keberadaan-financial-technology-di-indonesia/amp/, diakses

tanggal 26 Juni 2018

http://anisahsuhaimah.blogspot.com/2016/08/administrasi-keuangan.html, diakses tanggal

26 Juni 2018

https://katadata.co.id/berita/2018/04/10/dua-kelemahan-FinTech-versi-ojk, diakses tanggal

26 Juni 2018

http://www.kokogiovanni.com/2016/08/7-manfaat-layanan-FinTech-yang-patut-

ketahui.html, diakses tanggal 26 Juni 2018

https://blog.syarq.com/FinTech-indonesia-perkembangan-dari-masa-ke-masa-

4c941f531557, diakses tanggal 26 Juni 2018

Bisnis.com, diakses tanggal 26 Juni 2018

https://finance.detik.com/moneter/d-4115738/ojk-mau-rilis-aturan-baru-soal-FinTech-ini-

bocorannya, diakses tanggal 26 Juni 2018

https://finance.detik.com/moneter/d-4115826/bisnis-FinTech-ancam-kredit-bank-ini-kata-

ojk, diakses tanggal 26 Juni 2018

https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-

sp/FinTech/Pages/default.aspx, diakses tanggal 26 Juni 2018

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 122

ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS

PEMBANGUNAN MANUSIA

Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.

(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])

ABSTRACT

The level of quality of human resources of a developed country is one of the benchmarks.

The more advanced a country, the more qualified human resources. Human development

can be done through various ways, one of which is through education. Through education

one can become skilled, knowledgeable, moral, ethical. Indonesia has a high commitment to

build quality human resources through education budget allocation. Under the 1945

Constitution, the Government is required to provide a minimum education budget of 20

percent of the state budget. The results of the analysis of the existing data, the rise of human

development index has been in line with the increase of education budget each year. This

could mean that the provision of adequate education budgets, the quality of Indonesian

human resources can be further enhanced.

Key words: quality, education, employment

PENDAHULUAN

Peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia telah lama dicanangkan.

Beberapa usaha telah dilakukan agar SDM Indonesia mampu bersaing di bursa kerja

Internasional. Hal ini semakin teruji ketika diberlakukannya agenda Masyarakat Ekonomi

Asean (MEA) di awal tahun 2016 yang lalu. Salah satu agendanya adalah adanya

keterbukaan sumber daya manusia antar negara ASEAN.

Selama ini yang banyak dikutak-kutik adalah masalah angka pengangguran. Sedangkan

era MEA telah membicarakan tentang mutu SDM. Di era MEA, pasar kerja di industri hanya

akan menerima SDM yang siap kerja dengan high-skilled labour. Lalu dua-tiga tahun

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 123

terakhir ini Pemerintah menunjukan keseriusan tentang pendidikan, termasuk pendidikan

tinggi agar lulusannya siap kerja. Pemerintah telah mematok anggaran pendidikan sebesar

minimal 20 persen dari belanja APBN / APBD sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 31 ayat 4.

Karya tulis ini akan membahas dan memberikan analisis apakah dengan tersedianya

anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN / APBD tersebut akan mampu

meningkatkan mutu SDM Indonesia. Dalam karya tulis ini mutu SDM Indonesia diwakili

dengan angka Index Pembangunan Manusia, dan didukung dengan data lain yang terkait.

Manfaat yang dapat diperoleh dari karya tulis ini adalah masyarakat dapat mengetahui

bahwa Pemerintah telah memberikan prioritas anggaran dalam peningkatan mutu pendidikan

di Indonesia, dan akan mengetahui apakah ada dampaknya terhadap perbaikan mutu SDM

Indonesia. Metode penyusunan karya tulis ini dengan menggunakan library research.

LANDASAN TEORI

1. Pengertian Pembangunan Manusia

Menurut The United Nations Development Programme (UNDP), dimensi

pembangunan manusia terdiri dari dua aspek, yaitu : (1) peningkatan kemampuan

manusia, yang terdiri dari peningkatan waktu hidup yang lebih lama dan sehat,

peningkatan pengetahuan, serta peningkatan standar kehidupan yang layak; dan (2)

penciptaan kondisi yang memungkinkan terjadinya pembangunan manusia.

Beberapa elemen yang terkait dengan hal tersebut adalah partisipasi dalam politik

dan komunitas, kondisi lingkungan dalam jangka panjang, hak dan rasa aman bagi setiap

individu, serta terciptanya kesetaraan dan keadilan sosial (United Nations Development

Programme. Human Development Report 2015).

Untuk mengukur tingkat pembangunan manusia, diciptakanlah seperangkat

instrumen yang bisa diterapkan di berbagai negara, sekaligus menjadi acuan

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 124

(benchmark) dalam menilai seberapa jauh perkembangan pembangunan manusia telah

terjadi. Alat ukur yang dimaksud adalah Human Development Index (HDI) atau indeks

pembangunan manusia. HDI diciptakan dengan penekanan bahwa individu dengan

kapabilitasnya mesti menjadi ukuran utama pembangunan suatu negara; dengan kata

lain, kemampuan/keterampilan manusia bukan semata-mata ditujukan untuk mencapai

tingkat pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, indeks pembangunan manusia merupakan

ringkasan pencapaian rata-rata beberapa dimensi, yakni kehidupan yang sehat,

pengetahuan yang dikuasai, serta standar kehidupan yang layak.

Dengan demikian, Index Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development

Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf,

pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di dunia. Pembangunan manusia itu

sendiri dimaksud untuk menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dan pembangunan,

bukan sebagai alat pembangunan.

Sebagai tambahan pemahaman tentang pembangunan manusia, dalam penelitian

yang dilakukan oleh beberapa pemerhati, konsep pembangunan manusia juga dapat

diterangkan:

a. Pembangunan manusia ditujukan untuk memperbesar kebebasan individu dalam

melakukan dan menjadi sesuatu yang menurut mereka dapat mempunyai nilai.

b. Pembangunan manusia mencakup kebebasan dasar yang berkaitan dengan kehidupan

manusia.

c. Pembangunan manusia merupakan pembangunan yang dilakukan oleh manusia,

berkaitan dengan manusia, dan ditujukan untuk manusia.

d. Untuk mengukur tingkat pembangunan manusia ditetapkan skala prioritas tertentu,

antara lain memasukkan faktor pengentasan kemiskinan, keadilan, efisiensi,

partisipasi, kesinambungan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 125

e. Pembangunan manusia bersifat multidimensional dan setiap komponen di dalamnya

memiliki keterkaitan.

2. Dasar Hukum Anggaran Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu variabel yang menentukan kualitas sumber daya

manusia suatu bangsa. Untuk itu Pemerintah harus dapat menjamin terselenggaranya

pendidikan dengan mutu / kualitas yang baik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diamanatkan bahwa Pemerintah dan

Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Sebagai bukti bentuk keseriusan Pemerintah dan DPR dalam bidang pendidikan

sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-

kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor: 013/PUU-VI/2008, yang pada intinya Pemerintah harus menyediakan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk

memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Alokasi anggaran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang terkait dengan

peningkatan kualitas pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan lebih spesifik dituangkan

dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 yaitu dana pendidikan

selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal

20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Berdasarkan pasal 49 tersebut bahwa alokasi anggaran adalah alokasi pada sektor

pendidikan. Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.101/PMK.02/2011 tentang

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 126

Klasifikasi Anggaran, sektor pendikan dimaksud dirinci menurut fungsi dan sub fungsi.

Fungsi itu sendiri memiliki pengertian perwujudan tugas kepemerintahan di bidang

tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional,

sedangkan subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi.

Berdasarkan klasifikasi anggaran menurut fungsi dibagi dalam : Pelayanan umum

[01]; Pertahanan [02]; Ketertiban dan Keamanan [03]; Ekonomi [04]; Lingkungan Hidup

[05]; Perumahan dan fasilitas umum [06]; Kesehatan [07]; Pariwisata [08]; Agama [09];

Pendidikan dan Kebudayaan [10]; Perlindungan sosial [11].

Fungsi Pendidikan dan Kebudayaan [10] terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini,

Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Non Formal dan Informal,

Pendidikan Kedinasan, Pendidikan Tinggi, Pelayanan Bantuan Terhadap Pendidikan,

Pendidikan Keagamaan, Litbang Pendidikan, Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga,

dan Pendidikan Lainnya.

Apabila sektor pendidikan dibagi menurut sub fungsi maka meliputi : Litbang

Pendidikan; Pendidikan Keagamaan; Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan;

Pendidikan Tinggi; Pendidikan Non-Formal dan Informal; Pendidikan Menengah;

Pendidikan Dasar.

Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang

dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui

transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan,

termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk

membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Persentase anggaran pendidikan tersebut adalah perbandingan alokasi anggaran

pendidikan terhadap total alokasi anggaran belanja negara.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 127

PEMBAHASAN

1. Data Anggaran Pendidikan dan Index Pembangunan Manusia

a. Anggaran Pendidikan

Komitmen negara untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia

sangat tinggi. Salah satu komitmen tersebut adalah tersedianya anggaran pendidikan

yang semakin meningkat setiap tahun.

Berikut ini data APBN / RAPBN periode 2012-2018 yang dinyatakan secara

grafis. Dalam data APBN / RAPBN telah termasuk anggaran pendidikan yang akan

dianalisis lebih lanjut.

Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/, angka dalam triliun Rp., diakses tanggal

28.12.2017, diolah.

Grafik di atas menjelaskan bahwa belanja negara meningkat setiap tahun mulai

tahun 2012 hingga tahun 2018. Jumlah APBN 2012 berjumlah Rp.1,548.3 dan pada

RAPBN 2018 sebesar Rp. 2,220,7 triliun, sehingga terlihat peningkatan dana APBN

yang semakin menaik. Dengan kata lain terdapat kenaikan anggaran sebesar 43.43

persen selama kurun waktu tersebut (kuran waktu enam tahun).

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 128

Selanjutnya data APBN / RAPBN di atas lebih dirinci lagi hingga dapat

menampilkan anggaran khusus untuk pendidikan. Data berikut ini adalah anggaran

pendidikan untuk periode tahun 2012-2018 yang dinyatakan secara grafis.

Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/, diakses tanggal 28.12.2017, diolah

Grafik di atas menjelaskan bahwa belanja negara untuk pendidikan (20 persen

dari APBN/RAPBN) meningkat seiring dengan meningkatnya anggaran belanja

negara setiap tahun mulai tahun 2012 hingga tahun 2018. Anggaran pendidikan pada

APBN 2012 berjumlah Rp.309,7 dan anggaran pendidikan pada RAPBN 2018

berjumlah Rp. 444,1 triliun. Dengan kata lain terdapat kenaikan anggaran pendidikan

sebesar 43.40 persen selama kurun waktu periode tersebut.

b. Index Pembangunan Manusia (IPM)

Sebagaimana dijelaskan di atas, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah

pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar

hidup untuk semua negara seluruh dunia. Pembangunan manusia merupakan salah

satu unsur pokok dalam perencanaan pembangunan. Hal ini penting karena hakekat

pembangunan yaitu pembangunan manusia. Untuk itu perlu ada prioritas alokasi

belanja untuk keperluan pembangunan manusia dalam penyusunan anggaran. Dalam

karya tulis ini angka Index Pembangunan Manusia diasumsikan mewakili angka

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 129

mutu SDM Indonesia. Semakin tinggi angka IPM berarti semakin terlihat dampak

harapan hidup, intelektualitas dan standar hidup layak. Dengan kata lain mutu SDM

Indonesia menjadi lebih baik.

Data Index Pembangunan Manusia berikut ini adalah angka pembangunan

manusia dalam kurun waktu 2010-2016 yang disajikan secara grafis.

Sumber: www.bps.go.id, diolah

Grafik dari data BPS di atas menunjukan angka Indeks Pembangunan Manusia

yang semakin meningkat. Semakin tinggi angka IPM berarti semakin baik angka

intelektualitas. Dengan kata lain mutu sumber daya manusia hasil lulusan pendidikan

semakin baik dan diharapkan semakin mampu bersaing di tingkat internasional.

c. Status Pekerjaan Utama

Dari sisi tenaga kerja, data berikut ini menunjukan distribusi penduduk yang

berumur 15 tahun ke atas, telah bekerja menurut Status Pekerjaan Utama untuk

periode 2008-2017. Angka dinyatakan dalam jumlah orang.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 130

Sumber: www.bps.go.id, diolah

Grafik di atas menunjukan bahwa penduduk 15 tahun ke atas, telah bekerja

menurut Status Pekerjaan Utama secara total untuk Tahun 2008 – 2017. Status

Pekerjaan Utama dimaksud meliputi : (1) Berusaha Sendiri; (2) Berusaha

Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar; (3) Berusaha Dibantu Buruh

Tetap/Buruh Dibayar; (4) Buruh/Karyawan/Pegawai; (5) Pekerja Bebas di

Pertanian; (6) Pekerja Bebas di Non Pertanian; (7) Pekerja Keluarga/Tak

Dibayar.

Dalam analisis ini data yang akan digunakan adalah khusus untuk status :

(3) Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar dan (4)

Buruh/Karyawan/Pegawai, dengan grafik sebagai berikut.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 131

Sumber: www.bps.go.id, diolah

Grafik di atas menunjukan bahwa penduduk 15 tahun ke atas, telah bekerja

menurut Status Pekerjaan Utama : (3) Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh

Dibayar dan (4) Buruh/Karyawan/Pegawai menunjukan angka yang semakin

meningkat. Alasan pemilihan dua status pekerjaan ini adalah telah menerima

gaji tetap dan dalam jangka relatif panjang.

Data tersebut dapat berarti bahwa semakin banyak lulusan pendidikan telah

terserap dalam dunia kerja.

d. Data Angkatan Kerja

Data berikut menunjukan kecenderungan secara grafis prosentase jumlah

penduduk berumur 15 tahun ke atas, telah bekerja menurut pendidikan tertinggi

untuk jenjang Akademi/Diploma Tahun 2008-2017.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 132

Sumber: https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/05/1909/penduduk-

berumur-15-tahun-ke-atas-menurut-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-dan-

jenis-kegiatan-selama-seminggu-yang-lalu-2008-2017.html

Dari grafik di atas dapat menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan

peningkatan jumlah lulusan Akademi/Diploma yang bekerja, walaupun pada Tahun

2015 dan 2017 menunjukan angka penurunan. Angka yang mendekati 100.00 artinya

angka pengangguran semakin kecil.

e. Data Mahasiswa dan Perguruan Tinggi

Data dalam web forlap.ristekdikti.go.id per 27 Desember 2017 menunjukan

jumlah mahasiswa dan jumlah perguruan tinggi. Untuk jumlah mahasiswa dalam

prosentase akan diperbandingkan distribusi jumlah antara jenjang Strata-1 dan

Vokasi. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana program Pemerintah untuk

memprioritaskan program vokasi dapat meningkat. Sementara itu akan

diperbandingkan juga jumlah perguruan tinggi swasta dan non swasta. Hal ini

dimaksud untuk melihat apakah sasaran anggaran pendidikan yang cukup besar itu

sungguh dapat meningkatkan lulusan pendidikan yang siap bersaing di pasar kerja

internasional.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 133

Grafik Perbandingan Jenjang Pendidikan Mahasiswa Aktif*

Strata-1 dengan Vokasi (D1-D4)

Sumber:

https://forlap.ristekdikti.go.id/mahasiswa/homegraphperbandinganjenjang

Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat

signifikan antara jumlah mahasiswa yang mengikuti jenjang Strata-S1 dengan vokasi

yaitu 84.90 berbanding 15.10 persen.

Kondisi ini dapat memberikan arti bahwa masyarakat kurang berminat dalam

jenjang vokasi, sementara Pemerintah dan pasar kerja industri lebih memprioritaskan

lulusan yang siap kerja dari lulusan vokasi.

Selanjutnya disajikan secara grafis data jumlah PTS dan non PTS.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 134

Grafik Jumlah Perguruan Tinggi

Sumber: https://forlap.ristekdikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt

Dari grafik di atas dapat menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat

signifikan antara jumlah perguruan tinggi swasta dengan non swasta yaitu 91

berbanding 9 persen dari total 4,594 perguruan tinggi se Indonesia.

2. Analisis Dampak Peningkatan Anggaran Pendidikan

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa anggaran

pendidikan dalam APBN 2016 termasuk yang paling besar sepanjang sejarah. Anggaran

pendidikan Tahun 2016 mencapai Rp.419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja

negara Rp.2.095,7 triliun, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional. Dari jumlah tersebut Rp.49,2 triliun untuk Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, Rp.39,5 triliun untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi, Rp.46,8 triliun untuk Kementerian Agama, dan Rp.10,7 triliun untuk

Kementerian Negara dan Lembaga lainnya, serta sisanya untuk anggaran pendidikan

melalui transfer daerah.

Tabel berikut ini akan menyajikan distribusi dalam prosentase anggaran pendidikan

untuk Tahun 2016.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 135

Tabel Distribusi Anggaran Pendidikan Tahun 2016

No Peruntukan Penggunaan Rp. (Triliun) %

1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 49.2 11.74

2 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan

Tinggi 39.5 9.42

3 Kementerian Agama 46.8 11.17

4 Kementerian Negara dan Lembaga lainnya 10.7 2.55

5 Anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah

dan dana desa 267.9 63.92

6 Anggaran pendidikan melalui pengeluaran

Pembiayaan 5.0 1.19

Total (20 % dari total belanja negara) 419.1 100.00

Sumber: Berbagai sumber, diolah

Dari tabel di atas terlihat alokasi anggaran pendidikan untuk jenjang pendidikan

tinggi termasuk di dalamnya untuk riset dan teknologi hanya 9,42 persen dari total

anggaran pendidikan atau 1,88 persen dari total belanja negara.

Dari seluruh gambaran analisis data di atas dapatlah diringkas sebagai berikut:

a. Jumlah anggaran pendidikan periode tahun 2012-2018 menunjukan trend kenaikan.

b. Index Pembangunan Manusia Indonesia periode tahun 2010-2016 menunjukan

kenaikan angka yang tajam.

c. Penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, telah bekerja menurut Status Pekerjaan

Utama, periode 2010-2017 menunjukan trend yang meningkat.

d. Angka prosentase dari angkatan kerja kelompok Akademi / Diploma, periode 2008-

2017 menunjukan kecenderungan meningkat.

e. Mahasiswa lebih menyukai jenjang Strata-1 dari pada vokasi (D1-D4).

f. Jumlah PTS lebih banyak dibandingkan non PTS, atau 91 : 9 persen.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 136

Dengan demikian kesimpulan yang dapat dinyatakan adalah bahwa kenaikan

anggaran pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap mutu SDM Indonesia.

Beberapa catatan dalam kesimpulan ini antara lain bahwa : (a) sasaran Pemerintah untuk

memprioritaskan jenjang vokasi tidak tercapai karena sebagian masyarakat lebih

berminat masuk jenjang Strata-1; (b) Anggaran pendidikan yang tersedia hanya sebagian

kecil mendukung program PTS sementara jumlah PTS sangat besar dibandingkan

dengan jumlah non PTS; (c) Anggaran pendidikan untuk perbaikan mutu SDM Indonesia

tersebar di beberapa instansi, tidak berada dalam satu instansi.

PENUTUP

Anggaran pendidikan telah ditetapkan sebesar 20 persen dari total belanja negara dalam

APBN dan APBD setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 31 ayat 4. Jumlah anggaran pendidikan meningkat setiap tahunnya. Masyarakat

mengharapkan adanya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia khususnya dalam

rangka memasuki pasar kerja Internasional. Berdasarkan hasil analisis data karya tulis ini

menunjukan bahwa peningkatan anggaran pendidikan juga telah diikuti meningkatnya index

pembangunan manusia, tenaga kerja penduduk umur 15 tahun ke atas dalam kelompok

status pekerjaan utama.

Akan halnya masih ada pengangguran walaupun telah menunjukan angka penurunan

merupakan tantangan tersendiri yang perlu dicari solusinya. Perhatian Pemerintah khususnya

penyediaan anggaran pendidikan sudah cukup tinggi, namun dalam beberapa hal masih ada

masyarakat yang belum dapat merasakan dampaknya di daerah tertentu. Kajian ini masih

perlu diperdalam untuk mengetahui berapa persen peningkatan index pembangunan manusia

atau tenaga kerja pendidik dalam kelompok status pekerjaan utama tertentu yang diakibatkan

peningkatan anggaran pendidikan tersebut.

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 137

DAFTAR PUSTAKA

Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don Bosco. Handbook of Modern

Secretary: Panduan Sukses Secretaris dalam Dunia Kerja Modern. Penerbit

PPM. Jakarta. 2010.

http://bisnis.liputan6.com/read/2356557/anggaran-pendidikan-di-apbn-2016-cetak-sejarah,

diakses tanggal 24 Desember 2017

Hasan Ashari, dalam http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-

anggaran-dan-perbendaharaan/20310-anggaran-pendidikan-20-,-apakah-sudah-

dialokasikan, diakses tanggal 24 Desember 2017

http://www.ajarekonomi.com/2016/01/hakikat-pembangunan-manusia-human.html,

diakses tanggal 24 Desember 2017

Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 138

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Naskah merupakan tulisan yang bersifat ilmiah baik dari dosen, mahasiswa, pegawai

ASEKMA Don Bosco di bidang Sekretaris.

2. Naskah merupakan hasil penelitian lapangan, studi kasus, dan studi kepustakaan yang

bersifat objektif, sistematis, analitis dan deskriptif.

3. Naskah harus asli dan belum pernah dipublikasikan melalui media lainnya.

4. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata Indonesia atau belum menjadi

istilah teknis diketik dengan huruf miring (italic).

5. Naskah diketik dalam Microsoft Word huruf Times New Roman 12, jarak baris 2 spasi,

jumlah halaman seluruhnya 14-20 lembar ukuran A4, dengan margin kiri dan bawah 3

cm, margin kanan dan atas 2.5 cm dan dikirim ke alamat redaksi.

6. Sistematika terdiri dari : Judul, Nama Penulis, Instansi, Alamat Email, ABSTRAK (jika

makalah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris dan

demikian sebaliknya), PENDAHULUAN (latar belakang, permasalahan, tujuan,

manfaat, dan metodologi), PEMBAHASAN, PENUTUP (kesimpulan dan saran), dan

DAFTAR PUSTAKA.

7. ABSTRAK merupakan intisari (substansi) yang mencakup pendahuluan, pendekatan,

metode, hasil dan kesimpulan; ditulis dalam Bahasa Inggris/Indonesia kurang lebih 100-

200 kata, dalam 1 paragraf, dicetak miring (italic).

8. Daftar Pustaka ditulis tanpa nomor, diurutkan secara alfabetis: Nama pengarang (tanpa

gelar). Judul (cetak miring). Penerbit. Kota. Tahun Penerbitan.

Contoh: Ignatius Wursanto. Kompetensi Sekretaris Profesional. Andi. Yogyakarta.

2004.

9. Isi naskah bukan tanggungjawab redaksi. Redaksi berhak memilih naskah dan mengedit

redaksionalnya tanpa mengubah arti.