vol. 02 | no.01-03 juni 2021 buletin tnp2k

42
Dapatkah SMS-Nudges (Kampanye Informasi Kesehatan) Meningkatkan Kualitas Conditional Cash Transfer di Indonesia? Optimalisasi Penggunaan Dana Desa untuk Menekan Dampak Sosial Ekonomi Pandemi Covid-19 di Perdesaan Urgensi dan Upaya Mempertahankan UMKM di Tengah Pandemi Covid-19 BULETIN TNP2K Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 ISSN 977 2723736 009

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Dapatkah SMS-Nudges (Kampanye Informasi Kesehatan) Meningkatkan Kualitas Conditional Cash Transfer di Indonesia?

Optimalisasi Penggunaan Dana Desa untuk Menekan Dampak Sosial Ekonomi Pandemi Covid-19 di Perdesaan

Urgensi dan Upaya Mempertahankan UMKM di Tengah Pandemi Covid-19

BULETINTNP2K

Vol. 02 | No.01-03Juni 2021

ISSN 977 2723736 009

Page 2: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

BULETIN TNP2K

Buletin TNP2K terbit 4 kali dalam setahun pada bulan Juni, September Desember dan Maret diluar edisi khusus. Buletin ini berisi artikel ringkas dari hasil kajian-kajian yang dilakukan oleh TNP2K dan juga berisi artikel-artikel tentang respon pada situasi yang terjadi pada sekitar rentang waktu sebelum terbit. Buletin TNP2K diterbitkan mulai pada bulan Juni 2020 oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dengan mengunakan Bahasa Indonesia.

DEWAN REDAKSI BULETIN TNP2K

Penanggung Jawab Suprayoga Hadi

Pimpinan RedaksiElan Satriawan

Wakil Pimpinan RedaksiSudarno Sumarto

Redaktur PelaksanaRissalwan Habdy Lubis

KontributorAntonius Eko SunardiBudi HaryantoJovanni Enralin SilalahiLuh Rahayu ParamithaMuhammad Farhan AbdillahGina Ridhia Rahma

Penata Letak & Desain GrafisMAHKOTA

Foto SampulDokumen MAHKOTA

PenerbitTim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)

Alamat PenerbitGrand Kebon Sirih Lt.5, Jl. Kebon Sirih Raya No.35Kb. Sirih, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Jakarta 10110.T. 62 21 39 12 812.

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 ISSN 977 2723736 009

Page 3: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 1

Sebagai sebuah think-tank bagi pemerintah, sekretariat TNP2K memiliki tanggung jawab untuk memelihara produktifitas dalam menghasilkan analisis dan rekomendasi kebijakan yang didasari oleh hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan akademis. Serial kajian yang dihasilkan oleh tim di sekretariat TNP2K, dirangkum dalam berbagai kertas kerja yang mencakup banyak tema dan isu kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Kertas kerja yang dihasilkan oleh TNP2K sebenarnya sudah mencakup berbagai rekomendasi teknis untuk para pengambil kebijakan. Namun karena penyajiannya yang masih terkesan saintifik dan kaku, membuat kertas kerja tersebut membutuhkan waktu lebih lama untuk dibaca dan dipahami. Buletin ini merupakan wahana utama untuk “mengemas kembali” versi dari kertas kerja yang “berat” sehingga menjadi lebih “ringan”, dan dapat dengan cepat dibaca dan dipahami oleh para pengambil kebijakan di permerintahan pusat maupun daerah.

Dalam edisi ketiga buletin ini, terdapat empat ringkasan kertas kerja TNP2K yang akan disajikan. Artikel dari kertas kerja yang pertama membahas mengenai dampak kampanye informasi kesehatan melalui Short Message Service (SMS) terhadap kinerja Program Keluarga Harapan (PKH). Pembahasan mengenai kampanye informasi kesehatan melalui SMS sangat menarik untuk dibahas karena cara ini dapat menjadi alat yang murah dan efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktek kesehatan di kalangan penerima manfaat PKH.

Artikel dari kertas kerja yang kedua membahas mengenai faktor-faktor yang membuat rumah tangga miskin dapat keluar dari kemiskinan. Banyak faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab keluarnya keluarga miskin dari kemiskinan, seperti faktor pendidikan, aset, pasar tenaga kerja, demografi rumah tangga, dan lain-lain. Dengan Memahami mengapa rumah tangga dapat keluar dari kemiskinan, usaha dalam pengentasan kemiskinan akan menjadi semakin efektif.

Editorial Buletin TNP2K Edisi 3, Juni 2021

Serial kajian yang di-

hasilkan oleh tim di

sekretariat TNP2K,

dirangkum dalam

berbagai kertas ker-

ja yang mencakup

banyak tema dan isu

kebijakan penanggu-

langan kemiskinan.

Page 4: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

2 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Artikel dari kertas kerja yang ketiga membahas mengenai peran ekonomi lokal dan kapasitas kelembagaan dalam mengurangi kemiskinan di daerah. Artikel ini berfokus pada penjelasan mengapa tiap daerah di Indonesia memiliki progres pengentasan kemiskinan yang berbeda.

Artikel dari kertas kerja yang keempat membahas mengenai hasil ujicoba Transisi Bantuan Pangan dalam Bentuk Barang menjadi Voucher elektronik. Penelitian ini memprediksi masyarakat miskin menerima 45 persen bantuan lebih banyak di tempat yang mengimplementasikan program voucher. Sebaliknya, tempat yang mengimplementasikan bantuan dalam bentuk barang memiliki akurasi penargetan yang lebih rendah kepada masyarakat miskin.

Selain keempat artikel yang bersumber dari kertas kerja di atas, buletin ini juga menyajikan artikel-artikel lain yang berfokus pada permasalahan pandemi Covid-19. Buletin ini memiliki empat artikel terkait isu pandemi Covid-19. Artikel pertama membahas mengenai optimalisasi penggunaan dana desa sebagai upaya menekan dampak sosial-ekonomi pandemi Covid-19. Artikel kedua membahas mengenai peran program BPUM dalam melindungi usaha mikro dari wabah Covid-19. Artikel ketiga membahas mengenai urgensi dan upaya mempertahankan UMKM di tengah pandemi Covid-19. Terakhir, artikel keempat membahas mengenai upaya perlindungan sosial menyeluruh bagi kelompok rentan, terkhusus untuk kelompok lansia.

Terima kasih dan selamat membaca. Redaksi

Page 5: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 3

DAFTAR ISI

DAPATKAH SMS-NUDGES (KAMPANYE INFORMASI KESEHATAN) MENINGKATKAN KUALITAS CONDITIONAL CASH TRANSFER DI INDONESIA?

DESENTRALISASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN: PERAN EKONOMI LOKAL DAN KAPASITAS KELEMBAGAAN DI INDONESIA

APA YANG TERJADI PADA RUMAH TANGGA MISKIN: APAKAH MEREKA BERKURANG, TETAP, ATAU TERPURUK? BUKTI DARI BASIS DATA TERPADU (BDT) INDONESIA

TRANSISI BANTUAN PANGAN DALAM BENTUK BARANG MENJADI VOUCHER: BAGAIMANA DAMPAKNYA?

OPTIMALISASI PENGGUNAAN DANA DESA UNTUK MENEKAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI PANDEMI COVID-19 DI PERDESAAN

URGENSI DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN UMKMDI TENGAH PANDEMI COVID-19

PROGRAM BPUM: UPAYA MELINDUNGI USAHA MIKRO DARI PANDEMI COVID-19

LANSIA DAN COVID-19: UPAYA MEMASTIKAN PERLINDUNGAN SOSIAL MENYELURUH BAGI KELOMPOK RENTAN

5

9

14

20

25

28

32

35

Page 6: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

4 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Page 7: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 5

DAPATKAH SMS-NUDGES (KAMPANYE INFORMASI KESEHATAN) MENINGKATKAN KUALITAS CONDITIONAL CASH TRANSFER DI

INDONESIA?1

ARTIKEL 01

1 Artikel ini merupakan ringkasan dari Kertas Kerja TNP2K yang berjudul “Can Health-Information Campaigns Improve CCT Outcomes - Experimental Evidence From SMS-Nudges in Indonesia” yang ditulis oleh Friederike Lenel, Jan Priebe, Elan Satriawan dan Ekki Syamsulhakim pada Agustus 2020 yang kemudian diintisarikan oleh Muhammad Farhan Abdillah. Bagi pembaca yang tertarik dengan Kertas Kerja ini dalam versi lengkap, silakan kunjungi website TNP2K di www.tnp2k.go.id atau hubungi [email protected].

Program Conditional Cash Transfer (CCT) merupakan program bantuan sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan modal manusia.

Program ini menuntut penerima manfaat untuk memenuhi beberapa persyaratan tertentu, seperti partisipasi sekolah dan pemeriksaan kesehatan. Pada awalnya, program ini diinisiasi oleh Brazil dan Meksiko pada akhir tahun 1990-an. Namun,

sudah banyak negara di seluruh dunia yang menggunakan program ini dalam program pengentasan kemiskinan.

Foto: Dokumentasi MAHKOTA

Page 8: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

6 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Dalam mengoptimalkan kinerja CCT, banyak negara telah menyesuaikan desain original program ini dengan meningkatkan benefit pembayaran, meningkatkan durasi maksimum kelayakan, dan menambahkan fitur tambahan seperti pelatihan bisnis, edukasi khusus, dan sesi kesehatan. Akan tetapi, beberapa penyesuaian ini telah menyebabkan peningkatan biaya operasional.

Mengingat anggaran pemerintah yang terbatas untuk program perlindungan sosial, peneliti telah semakin berfokus untuk mendiskusikan apakah fitur tertentu efektif di dalam desain CCT alternatif. Fitur tertentu yang akan dibahas dalam kajian ini adalah kampanye informasi kesehatan (SMS-Nudges), yang memiliki biaya yang murah, dan dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan diantara penerima manfaat CCT.

Konteks CCT pada studi ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH) di Indonesia. PKH diluncurkan pada tahun 2007 dan telah menjadi program unggulan pada strategi perlindungan sosial nasional. Syarat rumah tangga yang berhak untuk ikut serta dalam PKH adalah rumah tangga miskin yang paling tidak memiliki satu anak berumur di bawah 16 tahun atau paling tidak ada perempuan yang sedang mengandung atau menyusui.

Eksperimen ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan ini: Apakah SMS-Nudges mampu meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan di antara penerima manfaat CCT? Tipe mana dari indikator kesehatan yang responsif terhadap SMS-Nudges? Apa faktor individu dan desa yang memfasilitasi kesuksesan atau kegagalan dari kampanye SMS-Nudge?

Intervensi SMS-Nudge (Kampanye Informasi Kesehatan)Intervensi SMS-Nudge diimplementasikan selama 12 bulan (Maret 2014 hingga Februari 2015) untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan ibu. Rumah tangga PKH yang menerima intervensi ini menerima tiga Short Message Service (SMS) selama seminggu. Totalnya, rumah tangga PKH menerima 156 SMS dari intervensi ini.

Ada beberapa langkah tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan perhatian rumah tangga PKH terhadap intervensi SMS-Nudges ini. Pertama, semua pesan dimulai dengan sapaan personal. Kedua, pengirim SMS selalu terlihat sebagai ‘PKH information’ karena pemerintah telah berpartner dengan perusahaan telekomunikasi. Ketiga, waktu pengiriman SMS ditentukan ketika ibu cenderung memiliki waktu untuk membaca SMS. Keempat, bahasa yang digunakan pada SMS ditentukan untuk non-teknikal, universal, dan mudah dipahami.

Berikut merupakan tiga contoh kampanye informasi kesehatan yang dikirimkan:

Mengenai imunisasi:Bu Anindyah, jangan sampai menunggu sampai anak sakit. Bawa anak ke puskesmas untuk imunisasi. Anak yang diimunisasi lebih sehat dan kuat dalam menghadapi serangan penyakit

Mengenai anemia:Bu Anindyah, anemia atau kekurangan darah bahaya untuk ibu dan bayi. Ketika hamil, cek kepada puskesmas dan minum tablet penambah darah sekali sehari, selama 90 hari

Mengenai cuci tangan:Bu Anindyah, mencuci tangan dengan hanya air belum cukup karena kuman yang menyebabkan penyakit belum mati. Cuci tangan dengan sabun, dan bilas dengan air yang mengalir.

Sumber DataSurvei dasar dilaksanakan pada Desember 2013 untuk mengambil 2.400 sampel rumah tangga. Lalu, setelah intervensi selesai pada April 2015, data akhir telah dikumpulkan. Pengumpulan data akhir terfokus secara eksklusif pada rumah tangga yang merupakan bagian dari clustered-RCT (1.821 rumah tangga PKH).

Target survei dari kajian ini merupakan wanita, khususnya ibu yang telah memiliki anak. Kuesioner juga berisi mengenai latar belakang sosial ekonomi rumah tangga. Modul kesehatan, kemampuan kognitif, ciri-ciri kepribadian, perilaku penggunaan telepon, jaringan sosial, dan proses pembuatan keputusan rumah tangga dari responden.

Page 9: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 7

Hasil dan DiskusiKajian ini mengestimasi efek treatment dengan OLS yang berbasis pada model regresi berikut:

Yivt+1=αs+ βTvt+X'ivt γ+Z'vt θ+ εvt

dimana Yivt+1 adalah variabel outcome untuk individu i di desa v pada waktu t+1, αs mengindikasikan sub-district fixed effects, X adalah variabel kontrol individual dan rumah tangga, dan Z adalah kontrol desa, Tvt adalah variabel dummy mengindikasikan status treatment. Standard error dikluster pada level desa.

Untuk spesifikasi umum, X merupakan umur, gender, status pernikahan, level edukasi, dan agama responden. Lebih lanjut, X merupakan jumlah keluarga, kehamilan responden, jumlah anak di bawah lima tahun, dan apakah responden merupakan kepala rumah tangga. Lalu, Z merupakan jumlah fasilitas keluarga dan anak di desa, variabel dummy apakah bidan tinggal di desa, apakah bertempat tinggal di pedesaan atau semi perkotaan, apakah sektor ekonomi utama di tempat tinggal merupakan pertanian, dan kekuatan sinyal telepon.

Tabel 1. Pengaruh SMS-Nudges terhadap Pengetahuan

Variabel Dependen 1 2

Pengetahuan Anemia 0,060 0,063

(0,017)*** (0,015)***

Pengetahuan Menyusui 0,039 0,047

(0,035) (0,029)

Pengetahuan Kesehatan Setelah Melahirkan

0,074 0,076

(0,017)*** (0,016)***

Pengetahuan Vaksin 0,009 0,017

(0,012) (0,009)*

Pengetahuan Kebersihan 0,026 0,024

(0,009)*** (0,009)***

Knowledge Index 0,042 0,045

(0,014)*** (0,012)***

Kontrol Individu dan Ru-mah Tangga

No Yes

Kontrol Desa No Yes

FE Wilayah No YesCatatan: Estimasi OLS. Standard errors digambarkan dalam tanda kurung. * / ** / *** menunjukkan tingkat signifikansi masing-masing pada 10/5/1 persen.

Tabel 1 dan 2 melaporkan pengaruh SMS-Nudges pada pengetahuan dan praktek kesehatan berturut-turut. Kolom 1 melaporkan estimasi efek treatment tanpa adanya variabel kontrol, sedangkan kolom 2 melaporkan estimasi dengan mengikutsertakan kontrol desa dan ibu, serta sub-district fixed effects.

Tabel 1 menunjukkan bahwa intervensi kampanye informasi kesehatan secara signifikan meningkatkan pengetahuan dengan domain anemia, kesehatan setelah melahirkan, dan kebersihan. Melalui tabel tersebut, kita mengetahui bahwa pengetahuan terkait anemia meningkat sebesar 6 ppt (40%), pengetahuan terkait kesehatan setelah melahirkan meningkat 7 ppt (36%), dan pengetahuan terkait kebersihan meningkat 4 ppt (15%). Efek ini masih signifikan ketika dikontrol oleh karakteristik individu, rumah tangga, dan desa. Lalu, intervensi ini hanya berpengaruh secara marginal di pengetahuan vaksinasi (secara statistik signifikan pada level 10 persen), dan intervensi ini terlihat tidak mempunyai pengaruh kepada pengetahuan menyusui.

Tabel 2. Pengaruh SMS-Nudges terhadap Perilaku

Variabel Dependen 1 2

Praktek Perawatan Setelah Melahirkan

0,079 0,052

(0,035)** (0,025)**

Praktik Vaksinasi 0,891 0,739

(0,116)*** (0,084)***

Praktek Kebersihan 0,106 0,099

(0,021)*** (0,021)***

Kontrol individu dan rumah tangga

Tidak Ya

Kontrol Desa Tidak Ya

FE Wilayah Tidak Ya

Catatan: Estimasi OLS. Standard errors digambarkan dalam tanda kurung. * / ** / *** menunjukkan tingkat signifikansi masing-masing pada 10/5/1 persen.

Selain itu, Intervensi kampanye informasi kesehatan juga mempengaruhi praktek kesehatan (Tabel 2). Melalui Tabel 2, kita mengetahui bahwa Ibu lebih mungkin mempunyai buku catatan kesehatan anak (praktek kesehatan paska melahirkan), dan anaknya menerima rata-rata lebih dari satu vaksinasi daripada kelompok kontrol. Demikian pula, praktik mengenai kebersihan meningkat.

Page 10: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

8 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

KesimpulanKajian ini menguji apakah informasi pesan teks yang simpel dan murah dapat berkontribusi kepada peningkatan pengetahuan dan perilaku kesehatan pada penerima manfaat CCT di Indonesia pada jangka pendek. Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mengimplementasikan clustered RCT yang melibatkan 127 desa dan 1821 penerima manfaat.

Studi ini menemukan keuntungan substansial dalam pengetahuan kesehatan dan peningkatan di praktek kesehatan untuk hampir semua indikator kesehatan sebagai hasil dari kampanye informasi ini. Peningkatan mengenai pengetahuan tentang anemia naik 6 ppt (40%), tentang perawatan pasca melahirkan 7 ppt (36%), dan tentang kebersihan 3 ppt (12%). Sebagai tambahan, kami menemukan bahwa sang ibu lebih mungkin untuk mengikuti rekomendasi kebersihan, sementara anak-anak lebih mungkin untuk divaksin.

Hasil lanjutan pada penelitian ini menunjukkan bahwa hasil ini didorong - walaupun tidak eksklusif - oleh dua faktor. Pertama, Ibu dengan level pengetahuan dan praktik kesehatan yang rendah cenderung lebih untung dari intervensi ini. Jadi, intervensi ini berkontribusi untuk mempersempit gap diantara penerima manfaat CCT. Sebaliknya, penelitian ini tidak menemukan bahwa ibu dengan edukasi yang lebih baik atau kemampuan kognitif yang lebih tinggi cenderung memperoleh keuntungan dari intervensi ini. Hal ini memastikan bahwa pesan teks ini mudah dipahami dan tidak mendiskriminasi ibu dengan level edukasi yang rendah.

Kedua, wanita tertentu dengan relasi sosial yang lebih besar meningkatkan pengetahuan dan praktek kesehatan. Ini memberikan bukti sugestif pada kebutuhan untuk memverifikasi dan mengkonfirmasi ulang terkait informasi kesehatan yang baru dengan teman sebelum mengadopsi pengetahuan dan perilaku baru.

Page 11: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 9

DESENTRALISASI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN: PERAN EKONOMI LOKAL DAN KAPASITAS KELEMBAGAAN DI INDONESIA2

Selama dua dekade hingga 2019, Indonesia telah mencapai kemajuan yang cukup signi ikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan hingga lebih dari 50 persen -

dengan angka kemiskinan menurun dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 9,41 persen pada 2019. Kemajuan ini bertepatan dengan dua peristiwa besar yaitu

periode pertumbuhan ekonomi yang pesat dan desentralisasi di Indonesia. Meskipun terjadi penurunan angka kemiskinan yang cukup signi ikan di tingkat

nasional, namun kemajuan ini tidak merata ke seluruh daerah di Indonesia.

Artikel ini merupakan ringkasan dari Kertas Kerja TNP2K yang berjudul Decentralisation and Poverty Reduction: The Role of Local Economies and Institutional Capacity In Indonesia yang ditulis oleh Esha Chaudhuri, Sandra Kurniawati, Sudarno Sumarto pada November 2019 yang kemudian diintisarikan oleh Budi Haryanto. Bagi pembaca yang tertarik dengan Kertas Kerja ini dalam versi lengkap, silakan kunjungi website TNP2K di www.tnp2k.go.id atau hubungi [email protected].

ARTIKEL 02

Foto: Dokumentasi TNP2K

2

Page 12: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

10 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Dalam negara yang terdesentralisasi, pemerintah daerah memiliki peran penting untuk memberikan pelayanan publik, termasuk dalam pelaksanaan program perlindungan sosial. Sebagai upaya pemerintah pusat untuk mendukung lembaga pemerintah daerah, maka dibentuklah tim koordinasi kemiskinan di tingkat provinsi dan kabupaten, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), yang diketuai oleh wakil bupati di setiap kabupaten (Wakil Bupati atau Wakil Walikota).

Tujuan dari makalah ini bukanlah untuk membahas dampak desentralisasi secara langsung, tetapi lebih pada tren pengurangan kemiskinan setelahnya. Menggunakan kumpulan data panel kabupaten dengan observasi tahunan dari 2010 hingga 2016, dalam kajian ini ditemukan bahwa pengurangan kemiskinan dan keluaran ekonomi daerah sangat terkait.

Teori dan bukti tentang desentralisasi dan penanggulangan kemiskinan yang digunakan dalam kajian ini, diantaranya yaitu tentang teori 1). Pelayanan Publik dan Desentralisasi, 2). Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, 3). Kapasitas Kelembagaan Lokal dan Penanggulangan Kemiskinan. Ketiganya dibahas secara mendalam keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Variasi Wilayah dalam Penanggulangan Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kapasitas Kelembagaan di Indonesia

Penanggulangan Kemiskinan di Tingkat Lokal

Seperti yang telah di jelaskan diawal, meskipun ada kemajuan yang signifikan di tingkat nasional, namun penurunan pada tingkat lokal bervariasi antarprovinsi dan kabupaten. Dalam kajian ini ditemukan bahwa daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan awal yang tinggi mengalami penurunan tingkat kemiskinan yang lebih besar antara tahun 2005 dan 2018 dibandingkan dengan daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang relatif lebih rendah pada tahun 2005. Sedangkan Provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi pada tahun 2005 – seperti Papua dan Maluku – berhasil menurunkan angka kemiskinan sekitar 13 –14 persen antara tahun 2005 dan 2018. Di sisi lain, provinsi dengan angka kemiskinan yang lebih rendah pada tahun 2005 seperti Kalimantan Selatan dan Banten mengurangi kemiskinan kurang dari lima poin persentase selama periode ini.

Gambar: Variasi Regional dalam Perubahan Tingkat Kemiskinan (2010-2016)

Sumber: Susenas 2010–2016.

Page 13: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 11

Kajian ini juga menemukan bahwa angka kemiskinan di tingkat kabupaten cenderung kovergen. Kabupaten dengan angka kemiskinan lebih tinggi dari rata-rata nasional tahun 2010 yang sebagian besar berada di wilayah Papua dan Maluku, cenderung mengalami penurunan angka kemiskinan yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah dengan angka kemiskinan yang lebih rendah secara nasional. Teluk Bintuni, Manokwari, Kota Gunung Sitoli, Kepulauan Meranti, dan Lombok Utara merupakan kabupaten dengan penurunan terbesar sekitar 14 hingga 16 persen pada periode 2010-2018. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa variasi laju penanggulangan kemiskinan cukup besar di antara kabupaten dengan tingkat kemiskinan awal yang sama. Terdapat beberapa kabupaten dengan tingkat kemiskinan awal di atas 25 persen yang mengalami kemajuan yang relatif lebih lambat dalam penanggulangan kemiskinan.

Hasil Ekonomi Lokal

Pertumbuhan ekonomi ditemukan sebagai salah satu faktor yang sangat berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan. Dengan menggunakan kumpulan data panel kabupaten, penulis dapat memetakan pertumbuhan output per kapita dari 511 kabupaten, yang diproksikan dengan menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dari 2010 hingga 2016. Sebagian besar kabupaten mengalami pertumbuhan PDRB per kapita yang positif. Pertumbuhan ekonomi lokal pada periode ini bervariasi dari 20,16 hingga 32,15 persen, dengan pertumbuhan ekonomi lokal tercepat dan paling lambat berada di provinsi yang sama.

Kapasitas Kelembagaan Lokal untuk Penanggulangan Kemiskinan

Sejak tahun 2010, TNP2K melalui Unit Advokasinya telah melaksanakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kapasitas teknis TKPK daerah dan memperkuat kemampuannya dalam merencanakan dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan di daerah. Berdasarkan Permendagri No. 42/2010, TKPK diberi mandat untuk menyusun strategi penanggulangan kemiskinan melalui rapat koordinasi dan menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. TKPK juga

didorong untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan peningkatan kapasitas seperti konsultasi teknis, magang, dan pelatihan yang diselenggarakan oleh TNP2K atau TKPK di tingkat provinsi. Dalam kajian ini, peneliti memperluas analisis dengan memanfaatkan variasi kemampuan TKPK dalam menjalankan fungsinya dari tahun 2011 hingga 2016.

Metodologi

Data

Tim peneliti membangun kumpulan data panel distrik dengan observasi tahunan dari tahun 2010 hingga 2016. Pada periode ini terdapat beberapa formasi distrik baru (pemekaran) yang menyebabkan peningkatan dari 497 distrik pada tahun 2010 menjadi 511 distrik pada tahun 2016. Oleh karena itu, penyesuaian data tahunan dilakukan dengan pembatasan pada 497 kabupaten seperti pada kondisi tahun 2010. Selain itu kajian ini juga menggunakan angka kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan menggabungkan data kemiskinan dengan empat kumpulan data lainnya. Pertama, menggunakan PDRB yang diterbitkan oleh BPS sebagai ukuran output ekonomi daerah. Peneliti menggunakan data PDRB total dan sektoral secara riil dengan harga tetap pada rupiah 2010. Kedua, menggabungkan kumpulan data utama dengan data belanja pemerintah kabupaten yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Di sini peneliti hanya menggunakan belanja pemerintah kabupaten untuk program sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Ketiga, menggunakan data administrasi dari kantor TKPK setempat antara tahun 2011 hingga 2016 yang dikumpulkan oleh Unit Advokasi Kebijakan Daerah, Sekretariat TNP2K. Terakhir, para peneliti menggabungkan kumpulan data utama dengan indikator sosial ekonomi lainnya seperti pencapaian pendidikan kepala daerah, pencapaian pendidikan rata-rata menurut wilayah (perkotaan / pedesaan), dan infrastruktur dasar seperti jalan. Peneliti mengumpulkan indikator-indikator ini menggunakan set data Susenas dan Podes.

Page 14: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

12 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Metode

Dalam memperkirakan faktor penentu pengurangan kemiskinan, peneliti menggunakan kumpulan data panel kabupaten untuk mengeksploitasi variasi dalam tingkat kemiskinan dan variabel minat peneliti diseluruh wilayah dan tahun. Variabel pertama yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah output ekonomi daerah. Untuk menguji hubungan antara keluaran ekonomi dan tingkat kemiskinan, peneliti membangun model berikut:

POVd,t= βO+β1 In Yd t+Xd,t+nd+δt+Ud,t (1)

Di mana POVd,t, adalah angka kemiskinan (P0) dan kesenjangan kemiskinan (P1) kabupaten d pada tahun t; Yd,t adalah PDRB per kapita kabupaten d pada tahun t; Xd,t,adalah sekumpulan faktor yang berubah-ubah waktu yang mungkin berkorelasi dengan tingkat kemiskinan kabupaten; d adalah seperangkat dummy variabel regional yang terdiri dari lima pulau besar di Indonesia; t adalah satu set variabel tahun dummy; dan Ug,t adalah kesalahan idiosinkratik.

Kedua, peneliti memisahkan output ekonomi menurut sektor. Persamaan (1) dimodifikasi untuk membangun model berikut:

POVd,t= βO+β1 In AGd,t+ β2 In MId,t+ β3 In MNd,t+ β4 In SRd,t+ Xd,t+nd+ δt+Ud,t

Di mana AGd,t adalah hasil pertanian per kapita; MINd,t

hasil pertambangan per kapita; MNFd,t ini adalah output manufaktur per kapita; dan SRVd,t adalah output layanan per kapita. Output ekonomi daerah yang digunakan dalam kajian ini semuanya dalam bentuk riil.

Terakhir, selain output ekonomi, untuk menguji korelasi antara kapasitas kelembagaan daerah dengan menggunakan belanja pemerintah daerah dan keterlibatan TKPK sebagai proksi.

POVd,t= βO+β1 In Yd,t+ β2 In Gd,t+yTKPKd+ Xd,t+nd+ δt+Ud,t (3)

Di mana G_(d,t) adalah belanja pemerintah daerah per kapita dan TKPKd adalah variabel dummy untuk kabupaten dengan TKPK aktif. Data belanja pemerintah daerah yang digunakan dalam kajian

ini hanya terdiri dari belanja untuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial karena belanja untuk program sosial diharapkan lebih terkait untuk kemajuan dalam mengurangi kemiskinan. Dalam model Peneliti, variabel kontrol mencakup rata-rata lama sekolah, pencapaian pendidikan pemimpin daerah, dan kondisi jalan sebagai proksi untuk infrastruktur dasar.

Hasil

Berikut adalah beberapa poin yang berhasil ditemukan dalam kajian ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Kajian ini tidak menemukan hubungan antara tingkat kemiskinan di daerah dengan pengeluaran pemerintah per kapita yang dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

2. Terkait dengan keterlibatan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) daerah, hasil estimasi utama dalam kajian ini menunjukkan bahwa kabupaten dengan TKPK aktif cenderung mengurangi kemiskinan sekitar 1,7 - 2,1 poin persentase lebih besar daripada kabupaten dengan TKPK yang tidak aktif.

3. Kemiskinan juga cenderung menurun di kabupaten-kabupaten dengan penduduk yang berpendidikan lebih tinggi, terutama di daerah pedesaan dan juga di wilayah yang didukung dengan insfrastruktur dasar seperti jalan yang baik.

4. Selain temuan utama yang menggunakan kumpulan data yang lengkap, kajian ini juga melakukan analisis menggunakan subset data peneliti dengan memisahkan wilayah barat dan timur. Dalam analisis ini, wilayah barat meliputi kabupaten di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali, sedangkan untuk wilayah timur meliputi sisanya.

5. Output ekonomi secara keseluruhan tampaknya memperlihatkan hanya berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan di wilayah barat. Besarannya bahkan lebih tinggi dari rata-rata yang menggunakan kumpulan data lengkap. Di sisi lain, kajian ini tidak menemukan korelasi antara output ekonomi secara keseluruhan dan pengurangan kemiskinan di wilayah timur.

Page 15: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 13

6. Jika dilakukan analisis dengan menggunakan output ekonomi sektoral, kajian ini menemukan bahwa sektor manufaktur dan output jasa dikaitkan dengan pengurangan tingkat kemiskinan. Output sektor manufaktur tampaknya hanya berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan di wilayah barat, sedangkan output sektor jasa tampaknya hanya terkait dengan kemajuan di wilayah timur. Output sektor pertanian tampaknya tidak memiliki korelasi dengan tingkat kemiskinan di kedua wilayah tersebut. Temuan dalam kajian ini juga menunjukkan bahwa tingkat hasil pertambangan yang lebih tinggi mungkin berkorelasi dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi di wilayah timur.

7. Mengenai kelembagaan lokal, hasilnya menunjukkan bahwa keterlibatan TKPK tampaknya berkorelasi dengan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan, khususnya di wilayah timur. Besarannya bahkan lebih besar daripada yang menggunakan kumpulan data lengkap.

8. Berkenaan dengan belanja pemerintah, hasilnya tetap konsisten di kedua wilayah, bahwa tidak ada hubungan antara belanja kabupaten untuk program sosial dan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan.

KesimpulanTemuan dalam kajian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi regional yang cepat dan berkelanjutan sangat penting untuk pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan dan hasil ekonomi regional ditemukan saling terkait erat. Dilihat dari kontribusi sektoral ekonomi, kemiskinan cenderung lebih menurun di kabupaten dengan output yang lebih tinggi dibanding sektor manufaktur dan jasa, sedangkan pertumbuhan output di sektor pertambangan cenderung malah memperburuk, baik itu angka kemiskinan maupun kesenjangan kemiskinan.

Kapasitas kelembagaan juga tampaknya berkorelasi dengan kemajuan dalam penanggulangan kemiskinan di tingkat Kabupaten. Angka kemiskinan cenderung turun di kabupaten dengan TKPK aktif yang melakukan rapat koordinasi secara berkala, menyerahkan laporan tahunan, serta mengikuti konsultasi dan pelatihan teknis dari tahun 2011 hingga 2016. Korelasi signifikan ditemukan terutama di Kabupaten-Kabupaten yang berada di wilayah Timur.

Secara keseluruhan, temuan dalam kajian ini konsisten dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa strategi pembangunan yang sukses membutuhkan kombinasi pertumbuhan yang efektif dan spesifik kawasan serta kebijakan sosial yang baik. Namun, meningkatkan porsi pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, pendidikan, dan program sosial mungkin tidak efektif dalam mengurangi kemiskinan. Kapasitas kelembagaan yang memadai tampaknya menjadi prasyarat penting untuk penyampaian layanan publik efisien yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan.

Page 16: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

14 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

APA YANG TERJADI PADA RUMAH TANGGA MISKIN: APAKAH MEREKA BERKURANG, TETAP,

ATAU TERPURUK? BUKTI DARI BASIS DATA TERPADU (BDT) INDONESIA3

ARTIKEL 03

Identifikasi penyebab perubahan status kemiskinan pada rumah tangga adalah salah satu upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Dengan mengetahui

penyebab-penyebab tersebut, program yang ditargetkan dapat sesuai sasaran dan efektif. Berbagai studi mengenai perubahan status kemiskinan pada rumah

tangga di Indonesia menggunakan data berbasis survei, seperti Indonesian Family Life Survey (IFLS) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, belum ada studi yang menganalisis menggunakan data

aktual yang biasanya digunakan oleh pemerintah untuk menargetkan program-program sosial.

3 Artikel ini merupakan ringkasan dari Kertas Kerja TNP2K yang berjudul “What Happens to Poor Households: Are They Leaving, Staying or Falling - Evidence from Indonesia’s Unified Database (UDB)” yang ditulis oleh Nadhila Adani dan Achmad Maulana pada November 2019 yang kemudian diintisarikan oleh Gina Ridhia Rahma. Bagi pembaca yang tertarik dengan Kertas Kerja ini dalam versi lengkap, silakan kunjungi website TNP2K di www.tnp2k.go.id atau hubungi [email protected]

Foto: Fauzan Ijazah untuk MAHKOTA

Page 17: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 15

Oleh sebab itu, kajian ini menggunakan Basis Data Terpadu yang merupakan data aktual yang dimaksud untuk melihat perubahan status kemiskinan pada rumah tangga. Ada empat determinan perubahan status kemiskinan yang digunakan pada analisis kajian ini, yaitu sumber daya manusia (SDM), demografi, kepemilikan aset, dan kinerja pasar tenaga kerja.

Data dan Metode Analisis

1. Data

Kajian ini menggunakan Basis Data Terpadu (BDT) yang dibentuk dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 dan pemutakhiran BDT 2015. BDT dirancang untuk mendata 40 persen penduduk termiskin di Indonesia yang kemudian digunakan untuk perancangan program sosial. BDT pada kajian ini mencakup hingga sekitar 20,4 juta rumah tangga di Indonesia.

2. Pengukuran Kemiskinan

Kajian ini menggunakan pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu dengan konsep pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang kemudian digunakan untuk menghasilkan garis kemiskinan. Namun, kajian ini menggunakan garis kemiskinan tersebut untuk melakukan klasifikasi peringkat status rumah tangga dalam bentuk persentil. Jika rumah tangga selalu berada pada persentil terendah pada tahun 2011 dan 2015, maka rumah tangga tersebut diklasifikasikan pada kelompok ‘always poor’. Sebaliknya, jika rumah tangga tidak pernah berada persentil terendah pada dua tahun tersebut, maka rumah tangga tersebut diklasifikasikan pada kelompok ‘never poor’.

Sedangkan rumah tangga berstatus miskin pada 2011, namun berubah menjadi tidak miskin pada tahun 2015, rumah tangga tersebut masuk ke kelompok ‘moving out’. Sebaliknya, jika rumah tangga berstatus tidak miskin pada 2011, namun menjadi miskin pada tahun 2015, rumah tangga tersebut diklasifikasikan menjadi ‘falling into poverty’.

• SDM/Pendidikan Parameter pendidikan diukur menggunakan (i) rata-rata tahun sekolah seluruh anggota rumah tangga; (ii) status lulus sekolah dasar kepala rumah tangga dalam bentuk dummy variable; (iii) status lulus sekolah menengah pertama kepala rumah tangga dalam bentuk dummy variable; (iv) status lulus sekolah menengah atas kepala rumah tangga dalam bentuk dummy variable.

• Demografi Profil demografi diukur dengan melihat berapa banyak orang dewasa dan ibu hamil yang tinggal di rumah tangga tersebut.

• Kepemilikan Aset Kepemilikan aset dalam kajian ini diproxy menggunakan sepeda, sepeda motor, dan kulkas. Tiga aset ini dianggap dapat melihat status ekonomi rumah tangga di Indonesia dan secara statistik signifikan dibandingkan dengan aset lainnya yang biasa dipakai pada survei PPLS 2011 dan BDT 2015.

• Pasar Tenaga Kerja Untuk menentukan kesejahteraan dari sisi ketenagakerjaan, kajian ini menghitung jumlah orang dewasa di rumah tangga yang bekerja dan jumlahnya yang bekerja di sektor formal.

3. Metode Analisis

Model untuk melihat korelasi antara empat karakteristik rumah tangga dan status kesejahteraan

rumah tangga adalah sebagai berikut:

KeteranganPh

r,t : peringkat persentil rumah tangga h di daerah r pada tahun t C : Konstantafr : fixed effect untuk daerahft : fixed effect untuk waktuAh : Vektor aset rumah tanggaDh : Vektor demografi rumah tangga hEh : Vektor pendidikan rumah tangga hLh : Vektor pasar tenaga kerja rumah tangga hCh : Vektor variabel lainnya yang diestimasiγ, β, α, : Parameter

Page 18: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

16 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Model tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan tiga metode, yaitu ordinary least square (OLS), panel fixed effect, dan first difference. BDT tidak terlepas dari nilai pengeluaran per kapita. Oleh sebab itu, kajian ini menggunakan dua skenario yang berbeda, yaitu Skenario A dan Skenario B.

Skenario A menggunakan nilai prediksi pengeluaran per kapita yang didapati langsung dari set data BDT, sedangkan pada Skenario B nilai prediksi pengeluaran per kapita dihasilkan sendiri menggunakan Proxy Means Test (PMT).

Korelasi

Skenario A Skenario B

Selalu Miskin

Masuk Kategori Miskin

Keluar dari Kategori Miskin

Tidak Pernah Miskin

Selalu Miskin

Masuk Kategori Miskin

Keluar dari Kategori Miskin

Tidak Pernah Miskin

Rata-rata Lama Bersekolah

0.056

(0.98)

-0.164

(2.07)*

0.491

(3.26)**

1.184

(10.03)**

-0.026

(1.95)

0.011

(0.15)

0.025

(0.40)

0.181

(1.31)

KK menyelesaikan paling tidak pendidikan dasar

-0.695

(1.82)

0.941

(1.64)

-3.015

(4.12)**

-6.326

(9.27)**

0.151

(1.78)

0.594

(1.43)

-0.299

(0.96)

-0.294

(0.39)

KK menyelesaikan paling tidak pendidikan menengah

-0.557

(2.01)*

-1.115

(2.75)**

0.473

(1.00)

0.943

(1.23)

0.149

(2.67)*

-0.246

(0.39

-0.649

(2.02)*

-1.866

(2.52)*

KK menyelesaikan paling tidak pendidikan lanjutan

1.196

(2.36)*

1.220

(1.91)

3.225

(3.59)**

7.094

(7.58)**

0.001

(0.04)

1.256

(2.76)**

0.615

(1.78)

2.636

(3.79)**

Jumlah orang dewasa dalam keluarga

0.423

(3.59)**

-0.448

(1.03)

0.512

(1.59)

-1.410

(2.01)*

-0.165

(5.27)**

-2.467

(8.05)**

-1.430

(10.82)**

-6.958

(14.74)**

Adanya ibu hamil 0.154

(1.67)

0.93

(1.66)

0.174

(0.54)

-0.046

(0.06)

0.154

(1.67)

0.93

(1.66)

0.174

(0.54

0.046

(0.06

KK memiliki sepeda -0.538

(1.23)

-0.687

(0.46)

-0.749

(1.66)

-1.552

(1.16)

0.021

(0.15)

-0.955

(1.30)

-0.611

(1.13)

-2.956

(2.40)*

KK memiliki sepeda motor

0.173

(0.49)

1.848

(2.00)

2.737

(4.06)*

9.212

(7.49)**

0.509

(5.32)**

2.524

(4.45)**

0.277

(0.64)

4.898

(5.36)**

KK memiliki kulkas -1.134

(2.18)*

-2.394

(1.91)

1.942

(1.86)

9.526

(9.46)**

0.156

(1.19)

3.844

(5.73)**

3.143

(3.11)**

7.151

(4.94)**

Jumlah orang dewasa yang bekerja

-0.738

(3.00)*

0.126

(0.22)

-1.333

(1.79)

-3.778

(3.08)**

0.203

(1.96)

-4.564

(4.10)**

-2.278

(3.59)**

-5.143

(3.10)**

Jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor formal

-0.844

(2.72)**

-2.620

(2.33)*

-0.859

(2.40)*

1.297

(1.30)

-0.216

(1.54)

-0.856

(1.37)

-1.075

(2.22)*

-1.358

(1.07)

R2 0.62 0.63 0.34 0.17 0.27 0.32 0.36 0.23

Jumlah observasi 687,446 768,126 707,903 3,322,298 687,446 768,126 707,903 3,322,298

4. Hasil dan DiskusiKorelasi Kesejahteraan RT Menurut Transisi Kemiskinan: Hasil OLS

Catatan: Standard errors dilaporkan dalam tanda kurung(*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1)

Page 19: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 17

Korelasi Kesejahteraan RT berdasarkan transisi kemiskinan Panel Fixed Effect and First Difference Result

Korelasi

Skenario A Skenario B

Selalu Miskin

Masuk Kategori Miskin

Keluar dari Kategori Miskin

Tidak Pernah Miskin

Selalu Miskin

Masuk Kategori Miskin

Keluar dari Kategori Miskin

Tidak Pernah Miskin

Rata-rata Lama Bersekolah

0.162

(20.48)**

-0.164

(2.07)*

0.491

(3.26)**

1.211

(126.18)**

0.044

(20.44)**

0.147

(8.95)**

0.327

(26.10)**

0.835

(76.15)**

KK menyelesaikan paling tidak pendidikan dasar

-0.695

(1.82)

0.941

(1.64)

-2.976

(32.32)**

-4.505

(60.73)**

-0.096

(6.27)**

0.626

(5.02)**

-1.243

(13.43)**

-0.415

(4.90)**

KK menyelesaikan paling tidak pendidikan menengah

-0.334

(5.95)**

-0.385

(3.92)**

0.830

(8.78)**

1.251

(16.56)**

-0.044

(2.85)**

0.026

(0.21

0.001

(0.01)

-0.939

(10.88)**

KK menyelesaikan paling tidak pendidikan lanjutan

1.162

(16.76)**

0.587

(5.10)**

2.848

(25.84)**

4.564

(54.28)**

0.055

(2.92)**

0.179

(1.24)

0.966

(8.71)**

0.837

(8.71)**

Jumlah orang dewasa dalam keluarga

0.505

(34.13)**

-0.438

(14.12)**

-0.109

(5.12)**

-2.192

(90.62)**

-0.368

(91.09)**

-4.665

(120.30)**

-3.750

(174.95)**

-10.124

(366.20)**

Adanya ibu hamil 0.086

(1.14)

0.479

(3.70)**

0.589

(4.11)**

2.675

(22.10)**

0.320

(15.55)**

2.991

(18.43)**

0.788

(5.46)**

4.981

(36.01)**

KK memiliki sepeda -0.127

(2.92)**

0.291

(3.55)**

-0.057

(0.81)

0.536

(8.71)**

0.249

(21.02)**

-0.435

(4.24)**

0.160

(2.25)*

0.776

(11.04)**

KK memiliki sepeda motor

0.312

(8.51)**

2.979

(44.88)**

3.580

(59.39)**

11.564

(230.05)**

1.055

(106.86)**

4.322

(52.69)**

1.626

(26.94)**

10.173

(177.06)**

KK memiliki kulkas

-0.238

(4.08)**

0.271

(2.70)**

1.514

(20.10)**

4.804

(79.99)**

1.028

(64.63)**

2.982

(23.79)**

4.544

(60.09)**

8.736

(127.26)**

Jumlah orang dewasa yang bekerja

-0.210

(2.56)*

1.651

(20.93)**

0.824

(11.74)**

1.191

(21.48)**

-0.126

(9.82)**

-2.107

(21.30)**

-0.760

(10.77)**

3.237

(51.09)**

Jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor formal

-0.169

(4.43)**

-2.620

(2.33)*

-0.206

(3.14)**

-0.075

(1.35)

0.276

(26.54)**

-0.966

(10.90)**

0.361

(5.47)**

1.435

(22.68)**

R2 0.61 0.68 0.32 0.24 0.18 0.48 0.51 0.14

Jumlah observasi 687,446 768,126 707,903 3,322,298 687,446 768,126 707,903 3,322,298

Page 20: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

18 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Korelasi OLSPanel fixed effect dan

First Difference

Pendidikan

Pada skenario A, rumah tangga yang berhasil keluar dari kemiskinan dan rumah tangga yang tidak pernah miskin memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga yang selalu miskin dan rumah tangga yang jatuh ke dalam kemiskinan.

Pada Skenario A dan B, pendidikan menunjukkan hasil yang positif dan signfikan terhadap semua status kemiskinan rumah tangga.

Pada skenario B, kepala rumah tangga yang menyelesaikan sekolah menengah atas berkorelasi positif dan signifikan dengan rumah tangga yang jatuh ke dalam kemiskinan dan tidak pernah miskin.

Demografi

Pada skenario A, jumlah orang dewasa dalam rumah tangga berkorelasi positif signfikan dengan rumah tangga yang selalu miskin dan berkorelasi negatif signifikan dengan rumah tangga yang tidak pernah miskin.

Pada skenario A dan B, semakin tinggi status rumah tangga tersebut maka semakin tinggi pula nilai korelasi negatif dengan jumlah orang dewasa

Pada Skenario B, semua status rumah tangga berkorelasi negatif dan signifikan dengan jumlah orang dewasa dalam rumah tangga.

Pada Skenario A dan B, terdapat korelasi negatif dan positif antara presensi Ibu Hamil dalam rumah tangga dengan status kemiskinan rumah tangga dan tidak signifikan.

Aset

Pada Skenario A, kepemilikan motor berkorelasi positif dan signifikan dengan rumah tangga yang keluar dari kemiskinan dan tidak pernah miskin, sedangkan kepemilikan kulkas hanya berkorelasi positif dan signifikan pada rumah tangga yang tidak pernah miskin.

Pada skenario A dan B kepemilikan sepeda lebih tinggi korelasinya dengan rumah tangga yang miskin. Sedangkan, kepemilikan motor dan kulkas memiliki korelasi positif yang tinggi dengan rumah tangga yang sudah keluar dari kemiskinan dan tidak miskin.

Pada Skenario B, kepemilikan motor dan kulkas berkorelasi positif dengan semua status rumah tangga.

Page 21: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 19

Korelasi OLSPanel fixed effect dan

First Difference

Pasar Tenaga Kerja

Pada Skenario A dan Skenario B, jumlah orang dewasa yang bekerja dan dalam rumah tangga yang tidak pernah miskin berkorelasi negatif dan signfikan. Untuk orang dewasa yang bekerja di sektor formal juga berkorelasi negatif, namun tidak signifikan.

Pada Skenario A, jumlah orang dewasa yang bekerja berkorelasi positif dengan semua status rumah tangga, kecuali status rumah tangga yang selalu miskin. Sedangkan, jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor formal memiliki korelasi negatif dengan semua status rumah tangga

Pada skenario B, jumlah orang dewasa yang bekerja berkorelasi negatif dan signifikan dengan semua status rumah tangga. Sedangkan jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor formal berkorelasi positif dan signfikan dengan semua status rumah tangga, kecuali rumah tangga yang jatuh ke dalam kemiskinan.

KESIMPULAN

Klasifikasi rumah tangga menjadi empat kelompok pada kajian ini membantu melihat bagaimana mobilitas status kesejahteraan rumah tangga. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa selama empat tahun mobilitas status ini tergolong rendah: 11% rumah tangga rumah tangga tergolong miskin baik pada tahun 2011 maupun 2015, 14% berhasil keluar dari status kemiskinan, dan 16% jatuh ke dalam kemiskinan.

Selain itu juga, kajian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berkorelasi dengan perubahan status kesejahteraan rumah tangga. Oleh sebab itu, kajian ini membantu untuk memahami mengapa rumah tangga bisa masuk atau keluar dari status kemiskinan.

Dengan menggunakan tiga metode analisis regresi, hasil kajian ini menemukan bahwa semakin lama pendidikan yang diselesaikan oleh anggota rumah tangga, semakin tinggi pula probabilitas mereka untuk membantu rumah tangga mereka keluar dari kemiskinan. Kepemilikan aset menunjukkan korelasi yang konsisten untuk dua skenario yang digunakan. Jumlah orang dewasa yang bekerja di sektor formal juga memiliki korelasi positif yang kuat dengan perubahan status kesejahteraan rumah tangga. Sedangkan untuk variabel demografi, kajian ini tidak menunjukkan pola korelasi yang konsisten dengan status kesejahteraan rumah tangga.

Page 22: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

20 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

TRANSISI BANTUAN PANGAN DALAM BENTUK BARANG MENJADI VOUCHER: BAGAIMANA

DAMPAKNYA?4

ARTIKEL 04

Program bantuan pangan merupakan program kesejahteraan paling umum di dunia. Dengan meningkatkan konsumsi pangan kepada kelompok keluarga miskin, program ini bertujuan untuk meningkatkan nutrisi kepada penerima

manfaat sehingga mereka dapat meningkatkan produktifitasnya.

4 Artikel ini merupakan ringkasan dari Kertas Kerja TNP2K yang berjudul “Food vs. Food Stamps: Evidence from an At-Scale Experiment in Indonesia” yang ditulis oleh Abhijit Banerjee, Rema Hanna, Benjamin A. Olken, Elan Satriawan dan Sudarno Sumarto pada Maret 2021 yang kemudian diintisarikan oleh Muhammad Farhan Abdillah. Bagi pembaca yang tertarik dengan Kertas Kerja ini dalam versi lengkap, silakan kunjungi website TNP2K di www.tnp2k.go.id atau hubungi [email protected].

Foto: Rachma Safitri untuk MAHKOTA

Page 23: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 21

Ada dua pendekatan mengenai bagaimana program ini dilakukan. Pendekatan pertama adalah dengan menyebarkan bantuan pangan dalam bentuk barang. Contoh penerapan pendekatan ini adalah program “Baladi Bread” di Mesir dan program “Farmers to Families Food Box” di Amerika Serikat. Pendekatan kedua adalah dengan menyebarkan voucher atau kartu debit elektronik. Voucher ini dapat digunakan untuk membeli makanan tertentu di toko-toko yang bekerja sama dengan pemerintah. Contoh penerapan pendekatan ini adalah Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP) di Amerika Serikat dan Tamween Ration Cards di Mesir.

Kedua pendekatan ini mungkin terlihat memiliki hasil yang sama kepada penerima manfaat program. Akan tetapi, terdapat sejumlah alasan teoritis yang bisa menyebabkan adanya perbedaan diantara dua pendekatan ini. Pertama, bantuan dengan voucher menawarkan lebih banyak fleksibilitas bagi penerima manfaat daripada bantuan pangan yang dikirim secara fisik. Dengan voucher, penerima manfaat dapat memilih berbagai jenis barang sesuai dengan kebutuhan. Berbeda dengan voucher, penyebaran pangan dengan barang membatasi keputusan konsumsi penerima manfaat. Kedua, penyebaran bantuan dengan barang dapat mengintervensi pasar dengan memasok pangan yang disebarkan, sehingga dapat menyebabkan perubahan harga dari barang-barang tersebut. Ketiga, penyebaran program dalam bentuk barang memiliki sifat penargetan melalui pemilihan pangan yang disebarkan. Sering kali bentuk pangan yang disebarkan dalam program ini tidak terlalu dibutuhkan oleh kelompok masyarakat mampu, sehingga kelompok masyarakat mampu cenderung tidak menginginkan bantuan ini.

Lalu, ada alasan lain yang jarang dibahas, yaitu bagaimana pengelolaan bantuan ini di lapangan. Pada negara-negara berkembang, persoalan administratif mungkin menjadi masalah yang utama. Pertama, bantuan pangan melalui voucher dapat memudahkan dan mempermurah proses bantuan bagi pemerintah. Hal ini disebabkan karena penyebaran pangan melalui voucher memiliki biaya logistik yang rendah dibandingkan penyebaran pangan dengan barang. Pemerintah hanya perlu mengisi ulang isi voucher jika ingin menambah bantuan, dan tidak memerlukan usaha logistik. Kedua, pemerintah yang menyebarkan

bantuan dengan voucher mungkin memiliki kontrol lebih besar atas penargetan kepada masyarakat yang berhak. Hal ini dikarenakan praktik program dengan voucher sulit untuk dikorupsi oleh para pejabat pemerintah.

Untuk mengetahui perbedaan antara penyebaran program dalam bentuk barang dan voucher, penelitian ini melakukan eksperimen kebijakan dengan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia. Penelitian ini akan mendiskusikan mengenai bagaimana transisi dari program Rastra (bantuan pangan dalam bentuk barang) ke program BNPT (bantuan pangan dalam bentuk voucher) mempengaruhi kualitas dan kuantitas bantuan, penargetan, biaya administratif, dan pengentasan kemiskinan.

Data dan Sampel

Mulai tahun 2017, Indonesia memulai reformasi nasional untuk menggantikan program pengentasan kemiskinan terbesarnya—“Rastra” (singkatan dari beRAS sejahTeRA), program sembako yang memberikan 10 kg beras gratis per bulan ke 15 juta rumah tangga sasaran secara nasional—dengan program voucher, bernama BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), yang bertujuan untuk memberikan rumah tangga sasaran yang sama dengan voucher/kartu debit yang memungkinkan mereka untuk membeli nilai yang sama dari beras dan telur dari penyedia swasta yang memenuhi syarat. Reformasi ini dilakukan secara bergelombang, karena pemerintah memiliki dana dan kemampuan logistik yang terbatas. Pada tahun 2018, 105 kabupaten dianggap siap untuk dikonversi, tetapi dana hanya dianggarkan untuk menutupi sebagian kecil dari kabupaten ini. Hal ini memungkinkan random assignment: 42 distrik ini secara acak akan menerima program selama tiga gelombang pada tahun 2018, sementara 63 distrik lainnya akan menerima program pada tahun 2019.

Skala besar dari eksperimen ini—105 kabupaten dalam eksperimen memiliki populasi gabungan 53 juta, atau sekitar seperlima dari populasi Indonesia, dengan lebih dari 3,4 juta rumah tangga penerima. Hal ini memungkinkan kita untuk mempelajari bagaimana perbedaan bantuan barang dibandingkan dengan voucher. Untuk mempelajari masalah ini, kami

Page 24: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

22 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

menggunakan tiga kumpulan data utama. Pertama, kami menulis modul khusus yang termasuk dalam tiga gelombang Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Kedua, kami menggabungkan survei SUSENAS dengan database penargetan administrasi di tingkat rumah tangga untuk mengidentifikasi rumah tangga mana yang menjadi sasaran program, dan juga untuk memberikan karakteristik dasar dari rumah tangga tersebut. Ketiga, kami menggabungkan pra-data dari sensus desa (PODES) untuk memberikan data dasar tambahan dan memungkinkan kami mengukur heterogenitas berdasarkan karakteristik desa.

Hasil

A. EstimasiKajian ini mengestimasi dampak eksperimental dari perubahan bantuan dalam bentuk barang menjadi voucher menggunakan persamaan 1:

yhvds= β0+ β1Voucherds+ Xhvds γ+ αs+ Ehvds (1)Di mana y_hvds adalah variabel outcome terkait, Voucherds adalah pengacakan konversasi voucher pada tahun 2018,Xhvds adalah variabel kontrol menggunakan double LASSO1 ; dan αs adalah strata fixed effects. Dalam LASSO, kajian ini menyertakan variabel kontrol dasar seperti: kovariat rumah tangga dari BDT, kovariat tingkat desa dari sensus desa, dan rata-rata variabel kabupaten*perkotaan/pedesaan dari SUSENAS Maret 2018.2

Kajian ini membedakan hasil berdasarkan rumah tangga yang memenuhi syarat dan rumah tangga yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi. Untuk menentukan rumah tangga yang memenuhi syarat atau yang tidak dalam mendapatkan subsidi, kami menggunakan skor Proxy-Means Test (PMT). Skor PMT adalah perkiraan persentil rumah tangga dalam konsumsi per kapita nasional distribusi berdasarkan aset rumah tangga dan komposisi rumah tangga.

B. Siapakah yang menerima lebih banyak bantuan?Tabel 1 mempresentasikan hasil regresi dari estimasi persamaan (1) untuk total subsidi dari semua rumah tangga, rumah tangga dengan skor PMT ≤ 30 (penerima manfaat yang ditargetkan), dan skor PMT >30 (penerima manfaat yang salah sasaran). Hasil kunci dari tabel ini adalah program voucher lebih menguntungkan kepada mereka yang memiliki skor PMT yang rendah. Artinya, masyarakat yang lebih miskin lebih diuntungkan bagi wilayah yang mengimplementasikan program voucher.

Secara spesifik, seperti yang diperlihatkan pada kolom 2, rumah tangga yang ditarget menerima subsidi 45 persen lebih banyak di tempat yang mengimplementasikan program voucher. Sebaliknya, program voucher menyebabkan pengurangan subsidi untuk masyarakat yang mampu (skor PMT >30). Di wilayah yang mengimplementasikan voucher, rata-rata masyarakat mampu (PMT >30) menerima subsidi 28 persen lebih rendah daripada masyarakat yang menerima subsidi dalam bentuk barang. Lalu, secara keseluruhan, rata-rata penerima subsidi lebih besar di area dengan voucher sekitar 9 persen (kolom 1).

1 Belloni, Alexandre, Victor Chernozhukov, Christian Hansen. 2014 “Inference on Treatment Effects after Selection among High-Dimensional Controls.” Review of Economic Studies 81 (2): 608–650.2 Daftar lengkap variabel kontrol yang digunakan dalam LASSO dapat dilihat pada lampiran di paper acuan dari artikel ini.

Page 25: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 23

Total Subsidi (Rp) Subsidi yang DiterimaHanya Penerima

Total Subsidi (Rp)

Rice Quality

All (1)

PMT <= 30 (2)

PMT > 30 (3)

All (4)

PMT <= 30 (5)

PMT > 30 (6)

All (7)

All (8)

Voucher

1304,749

(617,738)

[0,087]

13234,952

(1915,934)

[0,000]

-2571,436

(563,267)

[0,001]

-0,134

(0,019)

[0,000]

-0,105

(0,021)

[0,000]

-0,144

(0,020)

[0,000]

31262,669

(3346,486)

[0,000]

0,203

(0,020)

[0,000]

Observasi 66494 16327 49566 66496 16329 49566 19355 19260

Stratum FE Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes

Double Lasso Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes

DV Mean (Kontrol) 14456,314 29200,535 9161,727 0,393 0,669 0,293 36918,120 0,630

Tabel 1. Perbedaan eksperimental Antara Voucher dan Barang terhadap Outcome Subsidi

C. Kualitas bantuan manakah yang lebih baik?

Selain pertanyaan mengenai jumlah bantuan yang diterima, terdapat pertanyaan mengenai perbandingan kualitas barang antara program voucher dan program barang. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa banyak keluhan mengenai kualitas bantuan dari bantuan dalam bentuk barang. Pada negara maju seperti Amerika Serikat, bantuan yang didapat memang memiliki kualitas yang tinggi. Akan tetapi, di Indonesia, kualitasnya lebih beragam. Beras yang kualitasnya rendah kadang memiliki batu kecil, warna yang pudar, bentuknya yang hancur, dan berbau tidak sedap.

Pada survey rumah tangga SUSENAS, terdapat data mengenai kualitas beras. Tabel 1 pada kolom 8 menunjukkan bahwa kualitas beras pada program voucher secara substansial lebih tinggi, yaitu sekitar 32 persen. Tingginya kualitas pada program voucher tidak lepas dari fakta bahwa sumber beras yang diterima lebih fleksibel. Pada bantuan dalam bentuk barang, semua beras bersumber dari BULOG. Sebaliknya, pada program voucher, penerima manfaat dapat memilih beras yang menurut mereka cocok di warung-warung terdekat yang memenuhi syarat.

D. Temuan lain

Penelitian ini juga mendiskusikan temuan-temuan lain yang hasil lengkapnya dapat dilihat pada paper asli. Pertama, penelitian ini mengemukakan bahwa transisi subsidi barang ke voucher menyebabkan perbedaan pemilihan konsumsi. Hal ini dikarenakan program subsidi dalam bentuk barang hanya menyediakan beras, di mana program voucher memperbolehkan penerima manfaat untuk mendapatkan telur jika mereka memilihnya. Lebih lanjut, kajian ini mengatakan bahwa pada penerima program voucher, ada kenaikan konsumsi telur sebesar 4,3 persen.

Kedua, penelitian ini juga mendiskusikan pengaruh program voucher terhadap harga beras. Penelitian ini mengungkapkan bahwa perubahan harga beras karena program voucher sangat kecil dan tidak signifikan, bahkan di area-area terpencil.

Page 26: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

24 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Ketiga, penelitian ini juga mendiskusikan biaya administrasi program. Kajian ini mengungkapkan bahwa program dalam bentuk barang memiliki biaya administrasi yang lebih besar. Besarnya biaya administrasi pada program dalam bentuk barang dikarenakan lebih besarnya biaya pengantaran barang. Totalnya, biaya pengantaran pada program

berbasis barang adalah sekitar 4,1 persen dari total manfaat. Sebaliknya, biaya administrasi barang pada program berbasis voucher lebih kecil, yaitu 2,16 persen dari total manfaat. Artinya, biaya administrasi untuk program voucher lebih murah sekitar dua kali lipat dibanting program dalam bentuk barang.

KESIMPULAN

Kajian ini menguji dampak perubahan dari program bantuan sosial dalam bentuk barang menjadi program berbasis voucher elektronik. Hasil dari kajian ini mengungkapkan ada perbedaan antara kedua program tersebut. Penelitian ini memprediksi masyarakat miskin menerima 45 persen bantuan lebih banyak di tempat yang mengimplementasikan program voucher. Sebaliknya, tempat yang mengimplementasikan bantuan dalam bentuk barang memiliki akurasi penargetan yang lebih rendah kepada masyarakat miskin. Program voucher memiliki akurasi yang lebih tepat dalam menyasar masyarakat miskin, sehingga lebih efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Dampaknya, untuk 15 persen rumah tangga termiskin, kemiskinan turun sebesar 20%.

Selain itu, Biaya administrasi untuk melaksanakan program berbasis voucher pun berkurang setengah dibandingkan dengan program berbasis barang. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa fleksibilitas program berbasis voucher menyebabkan peningkatan konsumsi protein berbasis telur.

Page 27: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 25

ARTIKEL 05

OPTIMALISASI PENGGUNAAN DANA DESA UNTUK MENEKAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI PANDEMI

COVID-19 DI PERDESAAN5

Pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari satu tahun sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan

masyarakat, pandemi juga memukul dengan telak perekonomian dan berbagai sektor penting lainnya.

Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menekan pergerakan masyarakat secara langsung yang berakibat pada terganggunya proses produksi, distribusi, dan berbagai kegiatan operasional lain, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian nasional. Kontraksi perekonomian meningkatkan jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan tanpa dibayar.

Sejumlah pekerja di kota tidak memiliki pilihan lain selain harus kembali ke desa untuk bertahan hidup karena sudah tidak memiliki pekerjaan di kota. Lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pengangguran yang makin meningkat di perkotaan.

Fenomena ruralisasi atau kembalinya penduduk dari wilayah perkotaan ke perdesaan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas wilayah perdesaan. Jika dikelola dengan baik, hal tersebut akan meningkatkan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sehingga mendorong produktivitas pertanian.

“Berdasarkan data yang dihimpun KADIN Indonesia hingga Oktober 2020, lebih dari 6,4 juta pekerja kehilangan pekerjaannya karena terkena PHK dan dirumahkan tanpa dibayar.”

5 Artikel ini ditulis oleh Antonius Eko Sunardi, diolah dari berbagai sumber dan publikasi yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam merespons pandemi Covid-19.

Foto: Fauzan Ijazah untuk MAHKOTA

Page 28: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

26 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Di desa, tingkat serapan pekerja memang lebih baik dibandingkan di kota. Berdasarkan data Badan Pusat Statitsik, selama pandemi Covid-19 tingkat pengangguran terbuka (TPT) di desa hanya meningkat 0,79 persen atau sebanyak 606.121 jiwa. Angka tersebut berbanding terbalik dengan TPT di kota sebesar 69 persen atau 2.063.879 jiwa. Data itu sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk miskin di wilayah kota dan desa. Di desa, penduduk miskin meningkat sebanyak 0,38 persen atau 250.000 jiwa, sedangkan jumlah warga miskin di kota naik 0,5 persen atau 880.000 jiwa.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan perdesaan memiliki potensi untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Sehingga, pemerintah perlu mengoptimalkan berbagai program di desa, seperti penggunaan dana desa.

Maka, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf (i) dijelaskan bahwa perlu diutamakan penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa, dengan kriteria tertentu. Dalam penjelasan peraturan tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengutamaan penggunaan dana desa” adalah dana desa yang dapat digunakan untuk kepentingan bantuan langsung tunai bagi penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemi Covid-19.

Realokasi Penggunaan Dana Desa

Dalam situasi pandemi Covid-19, desa dapat berperan dalam mengendalikan pandemi serta mengurangi dampak sosial ekonominya melalui berbagai program sesuai dengan kewenangan desa. Sebagai turunan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Menurut surat edaran ini, pemerintah desa dapat memfokuskan penggunaan dana desa untuk

penguatan PKTD dan penguatan kesehatan masyarakat untuk mencegah dan menangani Covid-19 melalui Desa Tanggap Covid-19. Surat edaran tersebut juga mengatur lebih lanjut soal Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) yang berasal dari dana desa.

1. Padat Karya Tunai Desa (PKTD)PKTD merupakan kegiatan pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat desa, khususnya pada kelompok miskin dan marginal yang bersifat produktif, yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi lokal untuk memberikan tambahan upah/pendapatan, meningkatkan daya beli, mengurangi kemiskinan sekaligus mendukung penurunan angka stunting. Pada situasi pandemi Covid-19, optimalisasi program PKTD harus relevan dengan upaya penanganan pandemi dan memiliki sasaran program berbasis komunitas yang mengedepankan musyawarah dan mendorong kearifan lokal sesuai dengan kebutuhan setiap desa.

Secara umum terdapat beberapa acuan dalam penggunaan dana desa untuk optimalisasi PKTD, yaitu:a. Dana desa dikelola secara swakelola dengan fokus

pada penggunaan sumber daya alam, teknologi tepat guna, serta inovasi dan sumber daya manusia desa;

b. Mengutamakan penggunaan tenaga kerja dan bahan baku dari desa setempat yang difokuskan pada masyarakat yang termasuk anggota kelompok marginal; serta

c. Mekanisme pembayaran upah secara langsung kepada warga desa yang terlibat dalam program PKTD yang diberikan secara harian/mingguan.

2. Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD)Sesuai dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah desa diberikan kewenangan untuk menggunakan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa dengan kriteria tertentu. Pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 huruf I Perppu Nomor 1 Tahun 2020 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengutamaan penggunaan dana desa” adalah penggunaan dana desa yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai desa bagi penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemi Covid-19. Dalam penyalurannya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan merekomendasikan penggunaan pendekatan berbasis

Page 29: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 27

komunitas atau community-based targeting dengan tetap memperhatikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk menghindari tumpang-tindih penerima manfaat. Jika terjadi penghitungan ganda pada warga akan dilakukan musyawarah warga dan ditetapkan pilihan antara BLT-DD atau Bantuan Sosial Tunai (BST). Nama calon penerima BLT-DD ditetapkan melalui peraturan desa yang disampaikan ke kabupaten melalui kecamatan dan diumumkan secara terbuka melalui media publikasi warga setempat.

Dalam kondisi mendesak seperti ini, penyederhanaan mekanisme penyaluran dan pelibatan berbagai pemangku kepentingan mendesak dilakukan untuk memastikan BLT-DD tepat sasaran dan mencegah konflik sosial karena penetapan sasaran yang tidak sesuai.

3. Desa Tanggap Covid-19Pembentukan Desa Tanggap Covid-19 merupakan upaya pemerintah untuk mendorong penguatan kesehatan dan pencegahan wabah Covid-19 hingga ke tingkat desa. Dalam penerapannya, dibentuk relawan desa yang diketuai oleh kepala desa secara langsung dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Secara umum, tugas relawan Desa Tanggap Covid-19 adalah melakukan upaya pencegahan melalui kegiatan edukasi mengenai Covid-19 beserta gejala, cara penularan, dan pencegahannya; mendata kelompok rentan dan fasilitas kesehatan; serta menyediakan informasi dan peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung deteksi dini penyebaran Covid-19.

Pada 2021 ini, pemerintah kembali mengalokasikan dana desa. Setelah dianggap berhasil dalam mendorong kontribusi desa dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, pemerintah mengalokasikan anggaran hingga Rp72 triliun atau naik sebesar 1,1 persen dari anggaran 2020 yang mencapai Rp71,19 triliun.

Kebijakan tersebut tertuang dalam dalam Surat Edaran Kementerian Keuangan Nomor 2 Tahun 2021 dan Instruksi Menteri Desa PDT Nomor 1 Tahun 2021. Sesuai dengan Peraturan Menteri Desa PDT Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021, selain dialokasikan untuk BLT-DD, dana desa tahun 2021 juga dibelanjakan untuk tiga prioritas, yaitu pembentukan, pengembangan, dan revitalisasi Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama; penyediaan listrik desa; dan pembangunan usaha ekonomi produktif.

Fokus belanja dana desa pada prioritas di atas diharapkan dapat mendorong kontribusi desa dalam pemulihan ekonomi nasional dan memutuskan rantai penyebaran virus corona. Selain itu, penggunaan dana desa diharapkan dapat meredam dampak sosial ekonomi pandemi Covid-19 dan mengoptimalkan tenaga kerja yang kembali dari kota ke desa untuk melakukan pembangunan di desa, terutama di sektor pertanian.

“Pada 2021, terdapat kebijakan afirmatif bahwa minimal 8 persen dana desa dialokasikan untuk penanganan Covid-19 di tingkat desa.”

Page 30: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

28 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

ARTIKEL 06

URGENSI DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN UMKMDI TENGAH PANDEMI COVID-196

“Dalam kondisi ini, saya justru melihat peluang bagi kita untuk mendorong UMKM sebagai motor pemulihan ekonomi nasional.”

Wakil Presiden Republik Indonesia - Ma’ruf Amin

Pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang sektor kesehatan, tapi juga sektor perekonomian. Perekonomian Indonesia mengalami guncangan sehingga pertumbuhannya negatif. Pada kuartal I 2020, Indonesia mengalami pertumbuhan 2,97 persen. Namun pada kuartal II, pertumbuhan bergerak negatif hingga mencapai -5,32 persen. Pada kuartal III dan IV, pertumbuhan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan meski masih terkontraksi.

Salah satu sektor perekonomian yang paling terdampak adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), terutama UMKM yang berkarakter survivalist, yaitu UMKM yang didirikan untuk menambah pendapatan dan bertahan hidup. Menurut hasil survei cepat Bank Pembangunan Asia (ADB), pandemi Covid-19 telah menyebabkan 50 persen UMKM di Indonesia terpaksa menutup usahanya dan separuh sisanya tetap menjalankan usaha namun dengan omzet yang turun

6 Artikel ini ditulis oleh Gina Ridhia Rahma dan Muhammad Farhan Abdillah, diolah dari berbagai sumber dan publikasi yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam merespons pandemi Covid-19.

Foto: Fauzan Ijazah untuk MAHKOTA

Page 31: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 29

drastis. Hal ini karena UMKM tidak memiliki alternatif modal usaha. Hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan 80 persen UMKM dari total sampel mengalami penurunan omzet akibat pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya mempertahankan keberadaan UMKM di tengah pandemi Covid-19.

Sebelum pandemi Covid-19, UMKM berkontribusi sebesar 61,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 117 juta atau 97 persen dari total pekerja di Indonesia. Untuk mempertahankan kontribusi tersebut, peran pemerintah sangat diperlukan.

Maka, pemerintah memberikan sejumlah bantuan bagi UMKM. Untuk melindungi dan memulihkan UMKM di tengah pandemi Covid-19, pemerintah setidaknya menyediakan lima skema yang meliputi bantuan sosial, insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM, perluasan pembiayaan bagi UMKM, dan pemulihan serta konsolidasi usaha.

Bantuan sosial ditujukan kepada pelaku usaha yang termasuk dalam kategori miskin, rentan, dan terdampak Covid-19. Pemerintah berupaya agar pelaku usaha yang memenuhi kriteria tersebut menerima bantuan program sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), program Sembako, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, Bantuan Sosial Tunai, pembebasan/pengurangan tarif listrik, dan Kartu Prakerja.

Skema insentif perpajakan ditujukan kepada pelaku UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun. Adanya penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final dari 0,5 menjadi 0 persen dari bulan April hingga September 2020 adalah kebijakan khusus yang dicantumkan dalam skema ini.

Selanjutnya, pada relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM, pemerintah memberikan toleransi penundaan angsuran dan memberikan subsidi bunga selama enam bulan bagi penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pembiayaan Ultra-Mikro (UMi), Permodalan Nasional Madani Membina Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar), Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), dan penerima bantuan permodalan dari beberapa kementerian.Adapun perluasan pembiayaan bagi UMKM ditujukan kepada pelaku UMKM yang belum pernah mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan maupun sistem perbankan dalam bentuk stimulasi bantuan modal kerja darurat khusus bagi pelaku UMKM terdampak Covid-19. Terakhir, skema pemulihan dan konsolidasi usaha, dilakukan melalui kementerian/lembaga (K/L), Badan Usaha Milik Negara, dan pemerintah daerah sebagai penyangga UMKM.

Lima skema tersebut merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional yang diluncurkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang kemudian diubah dengan PP Nomor 43 Tahun 2020. Anggaran untuk UMKM pada 2020 dialokasikan sebesar Rp123,46 triliun dari total anggaran PEN yang mencapai Rp695,2 triliun. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengalokasikan bantuan berupa stimulus sebesar Rp2,4 juta per pelaku usaha mikro untuk 12 juta penerima yang dikenal dengan nama Bantuan Produktif bagi Usaha Mikro (BPUM).

Menurut Kementerian Keuangan, pada 2020 sekitar 37 juta UMKM telah menerima setidaknya satu bantuan pemerintah. Berdasarkan berbagai survei yang dilakukan LPEM-LD FEB UI, BRI Institute, LIPI dan ITB, berbagai bantuan yang disalurkan tersebut telah membantu meningkatkan ketahanan UMKM pada masa pandemi. Walaupun demikian, tidak semua UMKM yang terdampak pandemi mendapatkan bantuan ini. Karena dampak pandemi masih dirasakan pada 2021, pemerintah akan melanjutkan dan memperluas program PEN dalam membantu UMKM di Indonesia.

Lebih lanjut, untuk mendukung pemulihan UMKM dari pandemi Covid-19, pemerintah tetap perlu menggali peluang untuk meningkatkan peran UMKM dalam

“Selain untuk menyelamatkan hidup pelaku UMKM yang bergantung pada usahanya tersebut, urgensi mempertahankan UMKM adalah untuk membantu membangkitkan kembali perekonomian Indonesia.”

Page 32: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

30 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

perekonomian. Berbagai program pemberdayaan UMKM telah dilaksanakan selama ini oleh pemerintah pusat dan daerah. Banyaknya program untuk mendukung UMKM tersebut sayangnya masih tersebar di berbagai K/L dan belum terintegrasi antara satu program dan program lainnya.

Sinkronisasi Program Pemberdayaan UMKM

Sinkronisasi dan kolaborasi antar-program pemberdayaan UMKM perlu dilakukan K/L di pusat maupun pemerintah di daerah (Kemenkop UKM, 2020). Kemenkop UKM memiliki peran penting dalam mengoordinasikan kebijakan, pendataan program UMKM, dan penerima program. Dukungan peraturan, kelembagaan, termasuk di dalamnya penguatan sumber daya manusia, setidaknya dibutuhkan untuk menjadikan Kemenkop UKM mampu menjadi leading sector bagi program pemberdayaan UMKM.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan turut mendukung untuk mewujudkan sinkronisasi program pemberdayaan UMKM melalui kajian Pemetaan Program Pemberdayaan UMKM dan Penelusuran Upaya Sinkronisasi Program Pemberdayaan UMKM. Hasil dari

studi ini memetakan terdapat setidaknya 21 program pemberdayaan UMKM di 19 K/L yang dapat dioptimalkan karena sudah berjalan rutin, didukung dengan anggaran dan penargetan penerima yang relatif besar, serta menyasar kelompok rentan, seperti warga miskin dan perempuan. Sayangnya, program pemberdayaan UMKM masih terfokus pada aspek pembiayaan. Program yang terkait dengan peningkatan kapasitas usaha dan ekosistem dinilai belum optimal. Ini terlihat dari rendahnya cakupan anggaran dan penargetan penerima. Lebih lanjut, kajian membahas tantangan yang dihadapi program pemberdayaan dan upaya sinkronisasi program yang bersumber dari hasil wawancara mendalam beberapa K/L terkait serta akademisi.

Hasil kajian juga merumuskan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sinkronisasi program, di antaranya:• Pembentukan Dewan Nasional Pengembangan

UMKM yang diketuai oleh Presiden RI. Pembentukan ini menunjukkan adanya komitmen yang tinggi. Kemudian, melakukan penyesuaian aturan mengenai kelembagaan Kemenkop UKM sebagai koordinator dan penyelarasan pemberdayaan UMKM di Indonesia.

SKEMA PELAKU BENTUK

Bantuan Sosial Pelaku UMKM dengan kategorimiskin dan rentan terdampakCovid-19

Masuk sebagai penerima bantuansosial dari pemerintah

Insentif Pajak Pelaku UMKM dengan omzetDi bawah Rp4,8 milliar per tahun

Tarif PPh final 0% selama 6 bulan (April-September 2020)

Relaksasi dan Restrukturisasi Kredit UMKM

Penerima KUR, UMi, PNM Mekaar, dan lembaga penyalur kredit program pemerintah

Penundaan angsuran dan subisidi bunga selama 6 bulan

Perluasan Pembiayaan bagi UMKM

Pelaku UMKM yang belum pernah mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan maupun perbankan

Stimulasi bantuan modal kerja

Pemulihan dan Konsolidasi Usaha

Pemerintah melalui K/L, BUMN, dan pemerintah daerah

darurat khusus bagi pelaku UMKM terdampak Covid-19

Sumber: Pemetaan Program Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia

(Lembaga Demografi FE UI dan TNP2K; 2020).

Page 33: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 31

• Menjadikan Kemenkop UKM sebagai koordinator pelaksana dan penyelaras program pemberdayaan UMKM di Indonesia. Hal ini dilakukan agar tercipta pelaporan program pemberdayaan UMKM lintas sektor dalam one-gate-policy dan Kemenkop UKM memiliki kewenangan dan kapasitas untuk melakukan fungsi tersebut.

• Membangun basis data terpadu program pemberdayaan UMKM tingkat nasional dan daerah. Setelah mendapat kewenangan, Kemenkop UKM dapat melakukan pemberdayaan program UMKM dengan mengoordinasi penyusunan data terpadu di tingkat nasional dan daerah. Kemenkop UKM akan dapat mengidentifikasi penerima program dan kebutuhan program untuk berbagai jenis UMKM.

• Membangun sistem pemantauan dan evaluasi program pemberdayaan UMKM. Kemenkop UKM dapat membangun dan menjalankan sistem pemantauan dan evaluasi tersebut serta memberikan umpan balik bagi K/L dalam melaksanakan program dan mencapai target.

Page 34: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

32 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

ARTIKEL 07

PROGRAM BPUM: UPAYA MELINDUNGI USAHA MIKRO DARI PANDEMI COVID-197

“Pada masa pandemi, rentannya usaha mikro dikhawatirkan akan menyumbang pada penambahan pengangguran dan kemiskinan yang besar. Oleh karena itu, tindakan untuk

melindungi usaha mikro perlu dilakukan.”

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Hasil survei Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa kondisi UMKM di Indonesia tergolong buruk pada saat awal pandemi, dengan setengah dari UMKM terpaksa menutup usahanya dan setengah sisanya harus beroperasi dengan omzet yang menurun drastis. Sejak adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), banyak UMKM yang memiliki

masalah dalam hal pembiayaan, produksi, distribusi, hingga permintaan pasar. Di antara usaha berukuran mikro, kecil, dan menengah, usaha mikro adalah yang paling rentan karena sebagian besar usahanya bersifat subsisten dan tidak memiliki alternatif modal usaha. Bahkan, ADB mengatakan bahwa sebanyak 88 persen usaha mikro tidak memiliki tabungan dan kehabisan uang pada masa pandemi.

7 Artikel ini ditulis oleh Muhammad Farhan Abdillah, diolah dari berbagai sumber dan publikasi yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam merespons pandemi Covid-19.

Foto: Fauzan Ijazah untuk MAHKOTA

Page 35: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 33

Gambar 1. Kontribusi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Besar

terhadap PDB Indonesia Tahun 2018

Sumber: Kemenkop UKM (2019)

Perlu dicatat bahwa, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kontribusi usaha mikro terhadap perekonomian sangatlah besar. Jumlah usaha mikro di Indonesia diprediksi mencapai 63,4 juta unit pada 2018. Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa usaha mikro berkontribusi sebesar 29,3 persen terhadap PDB Indonesia pada 2018.

Lalu, usaha mikro merupakan penyerap tenaga kerja yang sangat besar. Berdasarkan Gambar 2, usaha mikro menyerap 89 persen tenaga kerja dunia usaha di Indonesia, disusul oleh usaha kecil sebesar 4,8 persen, usaha menengah sebesar 3,1 persen, dan usaha besar sebesar 3 persen. Pada masa pandemi, rentannya usaha mikro dikhawatirkan akan menyumbang pada penambahan pengangguran dan kemiskinan yang besar. Oleh karena itu, tindakan untuk melindungi usaha mikro penting dilakukan.

Mengingat pentingnya peran usaha mikro, pemerintah melaksanakan program Bantuan bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM), yang merupakan nama lain dari Banpres Produktif Usaha Mikro. Tujuan dari program BPUM adalah memberikan tambahan modal bagi para pelaku usaha mikro agar usahanya tetap bertahan di tengah pandemi dan membantu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Presiden Joko Widodo meluncurkan program ini pada 14 Juli 2020. Dalam program ini, bantuan diberikan satu kali dalam bentuk tunai sebesar Rp2,4 juta.

Gambar 2. Persentase Penyerap Tenaga Kerja Dunia Usaha di

Indonesia Tahun 2018

Sumber: Kemenkop UKM (2019)

Pada 2020, program ini disalurkan kepada 12 juta pelaku usaha mikro dengan total dana mencapai Rp28,8 triliun. Kriteria penerima BPUM didasarkan pada Peraturan Menteri Koperasi dan UKM, yaitu:1. Warga negara Indonesia.2. Mempunyai nomor induk kependudukan.3. Memiliki usaha mikro yang dibuktikan dengan surat usulan calon penerima BPUM dari pengusul BPUM beserta lampirannya yang merupakan satu kesatuan.4. Bukan aparatur sipil negara (ASN), anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian RI, dan pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.

Pada akhir 2020, TNP2K dan Kemenkop UKM melakukan survei terhadap para penerima BPUM untuk melihat karakteristik penerima maupun efektivitas program. Hasil survei menunjukkan bahwa bantuan ini banyak diterima oleh pedagang eceran (37,7 persen), penyedia makanan dan minuman (16,5 persen), dan industri makanan dan minuman (14,3 persen). Berdasarkan jenis kelaminnya, mayoritas penerima BPUM adalah perempuan (64,4 persen). Dilihat dari umurnya, sebagian besar penerima bantuan berasal dari kelompok masyarakat berusia produktif, yaitu di bawah 45 tahun (62,7 persen).

50

40

30

20

10

0Besar

42,8

29,3

14,413,6

Mikro Menengah

Ukuran Usaha

Pres

enta

se

Kecil

100

80

60

40

20

0Besar

3,0

89,0

4,8 3,1

Mikro Menengah

Ukuran Usaha

Pres

enta

se

Kecil

Page 36: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

34 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Gambar 3. Penggunaan Dana pada Program BPUM (%)

88,5

23,4

22,8

10,3

3,4

6,8

2,1

0 20 40 60 80 100

Presentase

Bahan Baku

Alat Produksi

Konsumsi

Menabung

Membayar Utang

Lainnya

Membayar Pegawai

Sumber: TNP2K dan Kemenkop UKM (2020)

Berdasarkan survei ini, dapat dilihat bahwa manfaat BPUM dirasakan sangat besar oleh pelaku usaha untuk dapat bertahan pada masa pandemi. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, sebagian besar dana BPUM digunakan untuk membeli bahan baku (88,5 persen). Selain itu, para penerima manfaat menggunakannya untuk membeli alat produksi (23,4 persen), konsumsi (22,8 persen), menabung (10,3 persen), membayar utang (6,8 persen), membayar pegawai (2,1 persen), dan lain-lain (3,4 persen).

Walaupun program ini sudah berjalan cukup baik, perlu ada dukungan tambahan untuk usaha mikro. Laporan TNP2K bersama Kemenkop UKM merekomendasikan agar program BPUM dapat bersinergi dengan program pemberdayaan UMKM, seperti KUR Super-Mikro, Pembiayaan Ultra-Mikro, pelatihan peningkatan kapasitas pelaku usaha mikro, peningkatan kapasitas pemasaran, dan lain-lain. Penerima BPUM juga harus didorong untuk terkoneksi dengan sistem perizinan, sertifikasi, dan perpajakan.

Sampai saat ini, pemerintah terus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meredam dampak Covid-19 terhadap usaha mikro agar terhindar dari kebangkrutan. Diperkirakan masih banyak usaha mikro yang membutuhkan bantuan pada masa pandemi. Karena itu, pada tahun ini program BPUM dilanjutkan dan menjadi salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2021. Pemerintah berencana menganggarkan dana sebesar Rp17,34 triliun untuk program ini. Dengan dilanjutkannya program BPUM, diharapkan daya tahan usaha mikro pada masa pandemi akan semakin baik.

Page 37: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 35

ARTIKEL 08

LANSIA DAN COVID-19: UPAYA MEMASTIKAN PERLINDUNGAN SOSIAL MENYELURUH BAGI

KELOMPOK RENTAN8

Orang lanjut usia atau lansia adalah salah satu kelompok masyarakat yang memerlukan perhatian khusus pada masa pandemi ini. Sebab, lansia termasuk ke dalam kelompok rentan secara sosial dan ekonomi. Lansia juga banyak yang memiliki penyakit

bawaan, sehingga lebih rentan bila terinfeksi virus corona.

8 Artikel ini ditulis oleh Luh Rahayu Paramitha dan Dyah Larasati, diolah dari berbagai sumber dan publikasi yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam merespons pandemi Covid-19.

Foto: Dokumentasi MAHKOTA

Page 38: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

36 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Orang lanjut usia atau lansia adalah salah satu kelompok masyarakat yang memerlukan perhatian khusus pada masa pandemi ini. Sebab, lansia termasuk ke dalam kelompok rentan secara sosial dan ekonomi. Lansia juga banyak lansia yang memiliki penyakit bawaan, sehingga lebih rentan bila terinfeksi virus corona.

Indonesia secara perlahan menuju negara yang menua. Sebanyak 9,9 persen atau sekitar 26,8 juta masyarakat negeri ini adalah lansia, dengan 11,6 juta di antaranya berada di tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi 40 persen terbawah (BPS, 2020). Kemiskinan yang dialami lansia meningkat seiring dengan bertambahnya usia mereka. Peningkatannya 13 persen untuk mereka yang berusia 60-69 tahun dan lebih dari 20 persen untuk mereka yang berusia 80 tahun ke atas (TNP2K, 2020). Angka kemiskinan lansia tersebut sudah melebihi angka kemiskinan nasional yang mencapai 9,78 persen (Susenas, Maret 2020). Lansia perempuan adalah kelompok lansia yang jumlahnya terus meningkat seiring dengan naiknya harapan hidup dan lebih kecil kemungkinannya untuk menikah lagi jika dibandingkan dengan lansia laki-laki. Sebanyak 54 persen lansia perempuan adalah janda dan hanya 15 persen lansia laki-laki yang berstatus duda (cerai mati) (BPS, 2020)

Fakta di atas ini menunjukkan perlunya perhatian khusus dari pemerintah untuk memastikan perlindungan sosial yang lebih baik bagi kelompok lansia selama masa pandemi Covid-19. Adanya kebijakan pembatasan sosial selama pandemi menjadikan lansia lebih sulit mengakses berbagai layanan dasar, seperti pelayanan kesehatan. Pandemi yang masih berlangsung juga bisa menambah risiko lain, yaitu berkurang/terbatasnya bantuan pendapatan dari anggota keluarga lain karena mereka pun mungkin terdampak pandemi.

Kebijakan pembatasan sosial juga membatasi lansia untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga meningkatkan potensi isolasi lansia dan berdampak pada meningkatnya rasa kesepian dan depresi yang mengganggu kesehatan mental mereka (paparan TNP2K, 2020). Dari segi ekonomi, menurut data TNP2K (2020), lebih dari 80 persen lansia di Indonesia belum memiliki akses terhadap dana pensiun sehingga mereka lebih rentan terhadap guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Untuk merespons kebutuhan kelompok lansia, di tingkat nasional, pemerintah sudah memiliki program seperti Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) yang sebelumnya bernama program Bantuan Bertujuan Lanjut Usia (Bantu LU)/Program Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia (Progres LU), dan Program Keluarga Harapan (PKH) dengan komponen lansia. Namun cakupan kedua program ini masih terbatas.

Pandemi juga mengakibatkan banyak lansia yang tadinya bisa memenuhi kebutuhan dengan secukupnya, menjadi rentan dan membutuhkan bantuan. Kelompok lansia yang menjadi rentan ini merupakan bagian dari kelompok “missing middle” yang sama sekali belum tercakup dan belum memiliki akses yang memadai ke program perlindungan sosial, terutama untuk pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan sosial, serta kesejahteraan selama pandemi. Lansia yang memiliki akses ke pemenuhan kebutuhan dasar ataupun akses ke tabungan atau jaminan pensiun pada masa pandemi sebagian besar adalah lansia menengah ke atas. Lansia miskin dan rentan yang memiliki akses ke berbagai bantuan sosial selama masa pandemi masih sangat sedikit. Keadaan ini menunjukkan pentingnya pemerintah agar sesegera mungkin memperluas dan memperbaiki skema perlindungan sosial agar menjangkau kelompok-kelompok miskin dan rentan secara menyeluruh. Selain kelompok lansia, juga kelompok penyandang disabilitas dan anak. Langkah ini untuk mengantisipasi jika terjadi kejadian luar biasa seperti krisis ataupun pandemi serupa di masa depan.

Pandemi memberikan pembelajaran bagi pemerintah untuk merefleksikan kembali sejauh mana sistem perlindungan sosial di Indonesia sudah cukup memberikan perlindungan yang semestinya kepada seluruh lapisan masyarakat, utamanya kelompok masyarakat rentan dan termarginalkan seperti lansia. Pandemi juga membuka mata mengenai berbagai tantangan yang dihadapi sistem perlindungan sosial, yang menuntut pemerintah melakukan perbaikan sesegera mungkin.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan sebagai lembaga yang terus mendukung pemerintah dalam reformasi kebijakan dan pelaksanaan program perlindungan sosial, secara konsisten melakukan berbagai kajian dan studi untuk terus memberikan

Page 39: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 37

rekomendasi kebijakan dan memastikan tercapainya sistem perlindungan sosial bagi semua. Selain itu, memberikan pemahaman mengenai pentingnya menjangkau dan memastikan perluasan perlindungan sosial bagi kelompok-kelompok yang belum terlindungi dengan baik.

Perbaikan dapat dimulai dengan pemutakhiran sistem pendaftaran penerima manfaat program perlindungan sosial agar menjadi lebih sederhana, sehingga memudahkan kelompok yang berhak seperti lansia dalam mengaksesnya—dan bila diperlukan, ada pendampingan bagi mereka dalam mengurus prosesnya dari awal hingga akhir. Selain itu, mekanisme program hingga kriteria penerima progam perlu disederhanakan dan diperluas cakupannya. Kecukupan nilai manfaat dari bantuan yang diberikan, terutama bagi lansia, juga harus dipastikan.

“Pandemi ini membuka mata dan memberikan pembelajaran bagi pemerintah untuk merefleksikan kembali sejauh mana sistem perlindungan sosial di Indonesia sudah cukup memberikan perlindungan sosial yang semestinya kepada seluruh lapisan masyarakat, utamanya kelompok masyarakat miskin dan rentan.”

Referensi

Larasati, D & Siyaranamual, M. D. 2019. Ringkasan Kebijakan, “Kerentanan Lansia dan Perlindungan Sosial selama Pandemi COVID-19. Jakarta: TNP2K

Pemerintah Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2020. Jakarta: BPS.

Pemerintah Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. Statistik Penduduk Lanjut Usia Desember 2020. Jakarta: BPS.

TNP2K & SMERU. 2020. Laporan Penelitian Situasi Lansia di Indonesia dan Akses terhadap Program Perlindungan Sosial: Analisis Data Sekunder. Jakarta: TNP2K

Page 40: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

38 Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021

Page 41: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

Volume 02/ No.01- 03/ Juni 2021 39

Page 42: Vol. 02 | No.01-03 Juni 2021 BULETIN TNP2K

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Kantor Sekretariat Wakil PresidenJl. Kebon Sirih Raya No.14, Jakarta Pusat, 10110

Telpon : (021) 3912812Faksimili : (021) 3912511Email : [email protected] : www.tnp2k.go.id