v. hasil dan pembahasan · indeks williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama...
TRANSCRIPT
71
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah
Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia
salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah tertinggal. Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki cukup banyak daerah
tertinggal, yaitu sebanyak 199 daerah dimana sebesar 43 persen Kabupaten
tertinggal, dengan konsentrasi kawasan timur Indonesia 62 persen, dan kawasan
barat Indonesia 38 persen. (Menteri, 2008)
Sulawesi Selatan memiliki 13 Kabupaten yang dikategorikan tertinggal, yaitu
Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kepulauan, Luwu Timur, Sinjai,
Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Daerah ini
memiliki permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal, permasalahan aspek
pengembangan sumber daya manusia, permasalahan aspek kelembagaan,
permasalahan aspek sarana dan prasarana dan permasalahan aspek karakteristik
daerah (Soetomo, 2008).
Namun sebaliknya di Sulawesi Selatan juga terdapat beberapa daerah yang
cenderung maju dengan kecenderungan aktivitas perekonomian yang berkembang
cepat. Perbedaan kondisi geografis, sasaran program, serta kebijakan, dan juga
kondisi sarana dan prasarana mengakibatkan terjadinya perbedaan pertumbuhan
ekonomi di masing-masing wilayah. Hal tersbut selanjutnya dapat memicu
terjadinya ketimpangan wilayah. Untuk mengetahui sejauh mana ketimpangan
wilayah yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, maka dilakukan analisis melalui
pendekatan keterkaitan sektoral-spasial (sektoral-spatial linkages approach).
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) indeks Williamson dan (2)
indeks Theil. Indeks Williamon mempunyai keunggulan ukuran nilai ketimpangan
wilayah yang jelas terutama antar subwilayah, sedangkan indeks Theil mampu
menjelaskan penyebab ketimpangan wilayah yang terjadi.
Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering
digunakan dalam mengukur disparitas antar wilayah (Rustiadi et al, 2007). Indeks
Williamson ini digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah dengan
72
menggunakan nilai PDRB per kapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan
ketimpangan wilayah. Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih
besar atau sama dengan nol. Jika dihasilkan nilai indeks sama dengan nol, berarti
tidak ada disparitas antar wilayah yang terjadi, sedangkan indeks lebih besar dari
nol menunjukkan adanya disparitas perekonomian atau pembangunan antarwilayah.
Semakin besar indeks yang dihasilkan maka semakin besar tingkat ketimpangan
antarwilayah di suatu tempat yang lebih luas.
Analisis indeks Williamson ini menggunakan data PDRB per kapita dan
jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun
waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2008, dengan tingkat
disparitas dapat dilihat di Tabel 16.
Tabel 16. Indeks Ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009
No Tahun Indeks Williamson Perubahan
1 2004 0,57 - 2 2005 0,70 0,13 3 2006 0,70 0 4 2007 0,71 0,01 5 2008 0,67 -0,04 6 2009 0,69 0,02
Sumber: Hasil Analisis Indeks Williamson, data diolah
Nilai indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan masih di bawah nilai
Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836 dan Indeks Williamson Kawasan Barat
0,6625 di tahun 2006. Terlihat bahwa ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan
berada di bawah ketimpangan Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Tahun 2009
terjadi ketimpangan yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,69. (BPS, 2007)
73
Gambar 15. Nilai Indeks Williamson dari tahun 2004-2009
Terdapat ketimpangan dari nilai indeks williamson Sulawesi Selatan, terlihat
dari perjalanan 5 tahun tahun 2004-2009 memiliki nilai indeks lebih dari nol. Meski
di bawah Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836, dan berada di atas
ketimpangan kawasan barat Indonesia 0,66 di tahun 2006.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, tingkat disparitas Provinsi Sulawesi
Selatan mengalami kecenderungan peningkatan di tahun 2004 hingga 2005 terlihat
dari hasil analisis dari 0,57 menjadi 0,70. Terjadi peningkatan yang cukup tinggi
pada tahun 2005 sebesar 0,13 pada tahun 2005. Namun setelah 2005 tidak terjadi
peningkatan maupun penurunan di tahun 2006 berada pada 0,70 pada tahun 2006,
dan terus mengalami peningkatan sebesar 0,01 pada tahun 2007 menjadi 0,71. Pada
tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 0,04 menjadi 0,67 dan naik sebesar 0,02 di
tahun 2009 menjadi 0,69. Nilai Indeks Williamson yang berada di atas nol ini
menunjukkan telah terjadi ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan, dan besarnya
nilai Indeks Williamson menunjukkan tingginya ketimpangan yang terjadi di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Selain itu, jika melihat ketimpangan yang ditunjukkan Provinsi Sulawesi
Selatan selama 5 tahun terakhir dengan mengeluarkan 3 kota besar di Provinsi
Sulawesi Selatan, terlihat kecenderungan penurunan ketimpangan. Tetapi besaran
Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan tetap berada lebih dari nol. Jadi
secara umum, peningkatan ketimpangan atau memburuknya ketimpangan yang ada
di Provinsi Sulawesi Selatan lebih dikarenakan kehadiran tiga kota tersebut. Seperti
terlihat pada Gambar 16.
74
Gambar 16. Perbandingan Indeks Willimson tanpa 3 kota di Sulawesi Selatan
Indeks Williamson dapat menunjukkan tingkat ketimpangan suatu wilayah,
namun analisis ketimpangan ini dirasa kurang mendalam dalam melihat hubungan
antarwilayah penyebab ketimpangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga
digunakan analisis indeks Theil untuk lebih jauh mengkaji besarnya disparitas
(disparitas total) yang dikomposisi menjadi dua, yaitu disparitas antar
Kabupaten/kota (between) dan disparitas dalam Kabupaten/kota (within). Dimana
diperoleh bahwa disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar disebabkan
oleh ketimpangan yang terjadi intern kabupaten/kota yang ditunjukkan nilai theil
within yang lebih besar. Seperti terlihat lebih rinci pada Tabel 17.
Tabel 17 . Indeks Theil Within dan Between Tahun 2004-2009
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai
(persen) Nilai
(persen) Nilai
(persen) Nilai
(persen) Nilai
(persen) Nilai
(persen) Theil Within (Sektoral) 0.05 94.18 0.14 62.21 0.12 58.36 0.11 57.23 0.08 53.28 0.09 54.10 Theil Between (Regional) 0.0032 5.82 0.08 37.79 0.08 41.64 0.08 42.77 0.07 46.72 0.08 45.90 Indeks Theil (Total) 0.06 100.00 0.22 100.00 0.20 100.00 0.19 100.00 0.16 100.00 0.17 100.00
Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data dioleh, 2010
Hasil perhitungan indeks Theil menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan di
Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat ketimpangan sebesar 0,06 untuk tahun
2004, 0,22 untuk tahun 2005, 0,20 untuk tahun 2006, 0,19 untuk tahun 2007, dan
0,16 untuk tahun 2008 serta 0,17 untuk tahun 2009. Dari hasil perhitungan Theil
within dan Theil between, diketahui bahwa proporsi theil within lebih besar dari
75
theil between. Dimana nilai indeks theil within sebesar 0,052 atau 94,1838 persen
sedangkan theil between 0,0032 atau 5,8162 persen untuk tahun 2004. Untuk
tahun 2005, theil within sebesar 0,1387 atau 62,2068 persen sedangkan untuk
indeks theil between sebesar 0,0842 atau 37,7932 persen. Untuk tahun 2006, indeks
theil within sebesar 0,1168 atau 58,3614 persen sedangkan indeks theil between
sebesar 0,0834 atau 41,6386 persen. Untuk tahun 2007, indeks theil within sebesar
0,1110 atau 57,2319 persen sedangkan untuk theil between sebesar 0,0830 atau
42,7681 persen. Untuk tahun 2008, indeks theil within sebesar 0,0835 atau 53,2834
persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0733 atau 46,7166 persen.
Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi Indeks Theil dapat diketahui bahwa
sumber disparitas yang berasal dari disparitas dalam Kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti terlihat Gambar 17.
Gambar 17. Komposisi Indeks Theil Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004 - 2009
76
Tabel 18 . Indeks Theil Between Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2004 - 2009
No Kabupaten/Kota Theil
Between 2004
Theil Between
2005
Theil Between
2006
Theil Between
2007
Theil Between
2008
Theil Between
2009 1 Selayar -0.0025 -0.0022 -0.0021 -0.0020 -0.0021 -0.0020 2 Bulukumba -0.0059 -0.0047 -0.0065 -0.0081 -0.0065 -0.0075 3 Bantaeng -0.0039 -0.0040 -0.0037 -0.0035 -0.0023 -0.0036 4 Jeneponto -0.0075 -0.0067 -0.0069 -0.0070 -0.0072 -0.0068 5 Takalar -0.0051 -0.0050 -0.0047 -0.0044 -0.0043 -0.0043 6 Gowa -0.0114 -0.0119 -0.0113 -0.0107 -0.0121 -0.0113 7 Sinjai -0.0028 -0.0036 -0.0038 -0.0040 -0.0033 -0.0032 8 Maros -0.0051 -0.0045 -0.0044 -0.0043 -0.0047 -0.0036 9 Pangkep 0.0090 0.0068 0.0075 0.0083 0.0068 0.0087
10 Barru -0.0024 -0.0023 -0.0019 -0.0016 -0.0018 -0.0010 11 Bone -0.0113 -0.0124 -0.0111 -0.0098 -0.0099 -0.0110 12 Soppeng -0.0025 -0.0033 -0.0033 -0.0034 -0.0022 -0.0019 13 Wajo -0.0014 -0.0018 -0.0022 -0.0025 -0.0020 -0.0021 14 Sidrap -0.0005 -0.0005 -0.0003 -0.0003 -0.0016 0.0008 15 Pinrang 0.0045 0.0042 0.0035 0.0031 0.0024 0.0044 16 Enrekang -0.0037 -0.0045 -0.0042 -0.0040 -0.0036 -0.0038 17 Luwu -0.0039 -0.0030 -0.0031 -0.0032 -0.0026 -0.0005 18 Tana Toraja -0.0066 -0.0078 -0.0091 -0.0101 -0.0082 -0.0090 19 Luwu Utara -0.0099 -0.0041 -0.0039 -0.0038 -0.0038 -0.0029 20 Luwu Timur * 0.0700 0.0666 0.0627 0.0525 0.0467 21 Makassar 0.0753 0.0834 0.0863 0.0896 0.0898 0.0922 22 Parepare -0.0001 0.0005 0.0007 0.0009 0.0000 0.0002 23 Palopo 0.0008 0.0015 0.0012 0.0010 0.0002 0.0005
Tabel 18 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa Kota Makassar mempunyai
konstribusi terbesar terhadap terjadinya ketimpangan antar Kabupaten/kota, yaitu
sebesar 0,0753 di tahun 2004, 0,0834 di tahun 2005, 0,0863 di tahun 2006, 0,0896
di tahun 2007 dan 0,0898 di tahun 2008 dan 0.0922 untuk tahun 2009. Selanjutnya
diikuti oleh daerah lainnya, yaitu Luwu Timur, Kabupaten Pangkep, Kabupaten
Pinrang, Kabupaten Palopo dan Kota Pare-Pare dan Sidrap. Khusus untuk Sidrap
ini menjadi pemberi proporsi ketimpangan antara Kabupaten/kota pada tahun 2009
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk daerah lainnya, menunjukkan belum
optimal atau belum berkembangnya pembangunan di Kabupaten/kota tersebut.
77
Gambar 18. Peta Ketimpangan Daerah
Dari Gambar 18, dapat diketahui bahwa ada 6 daerah yang memberikan
proporsi terbesar terhadap ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan,
yaitu Kota Makassar, Kabupaten Pangkajene dan Kep, Kota Pare-Pare, Kabupaten
Pinrang, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Timur.
78
Tabel 19 . Indeks Theil Within Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
No Kabupaten/Kota
2004 2005 2006 2007 2008 2009
The
il W
ithin
The
il W
ithin
St
anda
rdiz
ed
The
il W
ithin
The
il W
ithin
St
anda
rdiz
ed
The
il W
ithin
The
il W
ithin
St
anda
rdiz
ed
The
il W
ithin
The
il W
ithin
St
anda
rdiz
ed
The
il W
ithin
The
il W
ithin
St
anda
rdiz
ed
The
il W
ithin
The
il W
ithin
St
anda
rdiz
ed
1 Selayar 0.0703 0.0006 0.0482 0.0004 0.0425 0.0004 0.0464 0.0004 0.0864 0.0008 0.0468 0.0004
2 Bulukumba 0.0112 0.0004 0.0193 0.0007 0.0064 0.0002 0.0458 0.0016 0.037 0.0013 0.0244 0.0009
3 Bantaeng 0.0146 0.0002 0.0082 0.0001 0.0103 0.0002 0.0151 0.0002 0.0276 0.0004 0.0081 0.0001
4 Jeneponto 0.0344 0.0007 0.0305 0.0006 0.042 0.0008 0.0549 0.001 0.0449 0.0008 0.0561 0.0010
5 Takalar 0.0341 0.0006 0.0078 0.0001 0.0125 0.0002 0.019 0.0003 0.0197 0.0004 0.0173 0.0003
6 Gowa 0.0163 0.0006 0.019 0.0007 0.0194 0.0007 0.0185 0.0007 0.03 0.0011 0.0123 0.0005
7 Sinjai 0.0255 0.0006 0.0325 0.0007 0.0385 0.0008 0.0417 0.0009 0.0374 0.0008 0.0407 0.0009
8 Maros 0.0632 0.0016 0.0387 0.0009 0.0573 0.0013 0.0874 0.002 0.0818 0.0019 0.0854 0.0020
9 Pangkep 0.3945 0.0201 0.4762 0.0241 0.3893 0.0196 0.3381 0.017 0.3275 0.0165 0.2623 0.0133 10 Barru 0.0124 0.0002 0.0149 0.0002 0.0144 0.0002 0.0322 0.0005 0.0211 0.0003 0.0148 0.0002
11 Bone 0.0333 0.0021 0.0306 0.0019 0.0446 0.0028 0.0826 0.0052 0.0367 0.0023 0.0454 0.0029
12 Soppeng 0.029 0.0007 0.0754 0.0018 0.0711 0.0017 0.0719 0.0017 0.0444 0.0011 0.0548 0.0014
13 Wajo 0.0373 0.0019 0.0755 0.0038 0.0508 0.0025 0.0362 0.0018 0.0638 0.0032 0.0480 0.0024
14 Sidrap 0.0103 0.0003 0.0109 0.0003 0.0129 0.0004 0.0179 0.0005 0.0173 0.0005 0.0062 0.0002
15 Pinrang 0.0061 0.0003 0.0195 0.001 0.0102 0.0005 0.016 0.0008 0.0099 0.0005 0.0272 0.0014
16 Enrekang 0.0607 0.001 0.0698 0.0011 0.0806 0.0012 0.0977 0.0015 0.0779 0.0012 0.0938 0.0014
17 Luwu 0.054 0.0018 0.037 0.0013 0.0566 0.0019 0.0737 0.0025 0.0518 0.0017 0.0325 0.0011
18 Tana Toraja 0.1168 0.0033 0.1666 0.0046 0.1627 0.0044 0.2023 0.0054 0.1472 0.0039 0.1748 0.0023
19 Luwu Utara 0.004 0.0001 0.0322 0.0009 0.0193 0.0006 0.0158 0.0005 0.0143 0.0004 0.0141 0.0004
20 Luwu Timur * * 0.6343 0.0696 0.509 0.056 0.4365 0.0477 0.3389 0.0337 0.4525 0.0412 21 Makassar 0.0515 0.0146 0.0736 0.0211 0.0642 0.0187 0.0593 0.0175 0.0334 0.0102 0.0526 0.0167 22 Parepare 0.0242 0.0004 0.1214 0.0018 0.0625 0.0009 0.0326 0.0005 0.0163 0.0002 0.0505 0.0008
23 Palopo 0.0101 0.0002 0.042 0.0008 0.035 0.0006 0.0415 0.0007 0.0252 0.0005 0.0729 0.0013
0.0522 0.1387 0.1168 0.111 0.0835 0.0931
Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data diolah
Dari data pada tabel 19 diatas menunjukkan bahwa nilai indeks Theil Within
Provinsi Sulawesi Selatan adalah 0,0522 di tahun 2004, 0,1387 di tahun 2005,
0,1168 di tahun 2006, 0,1110 di tahun 2007, 0,0835 di tahun 2008 dan 0,0931 di
tahun 2009. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan di Internal kabupaten/kota
di Sulawesi Selatan. Daerah dengan ketimpangan terbesar di tahun 2004 di
dalamnya adalah Kabupaten Pangkep (0,201) dan Kota Makassar (0,0146). Untuk
Kabupaten Pangkep sendiri, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap
ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya, begitu pula
79
untuk Kota Makassar, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap
ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya.
Tahun 2005, daerah dengan ketimpangan internal terbesar adalah
Kabupaten Luwu Timur (0,0696), Kabupaten Pangkep (0,0241) dan Kota Makassar
(0,0211), begitupula untuk tahun 2006, 2007 dan 2008. Sektor yang memberikan
proporsi ketimpangan terbesar di Kabupaten Luwu Timur adalah sektor lainnya
yang terdiri dari pertambangan, penggalian, transportasi, komunikasi, keuangan
asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi, dan
bisnis jasa. Kabupaten Luwu Timur terkenal dengan pertambangan nikel yang
besar. Oleh sebab itu, sektor lainnya ini yang menjadi sektor dengan penyumbang
terjadinya ketimpangan internal di kabupaten tersebut. Sektor lainnya ini terdiri dari
pertambangan, penggalian dan transportasi, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha
persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi dan bisnis jasa.
Sedangkan untuk Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar, sektor yang menjadi
proporsi ketimpangan dalam kota ini adalah industri pengolahan dan sektor lainnya
yang menjadi pemicu ketimpangan. Untuk Kabupaten Pangkep, sektor industri
pengolahan yang sangat berkembang adalah pengolahan industri semen Tonasa.
Sedangkan untuk melihat seberapa besar perkembangan aktivitas
perekonomian pada suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung diversifikasi
dengan konsep entropi. Prinsip indeks entropi ini adalah semakin beragam aktivitas
atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, yang
berarti bahwa wilayah tersebut semakin berkembang. Aktivitas suatu wilayah dapat
dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB.
Semakin besar indeks entropinya maka dapat diperkirakan semakin berkembang
dan proporsional komposisi antara sektor-sektor perekonomian, dan sebaliknya
semakin kecil indeksnya maka dapat diperkirakan terdapat sektor tidak beragam di
wilayah tersebut. Hasil analisis indeks entropi total untuk seluruh Kabupaten/kota
di provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004-2009 ditunjukkan pada Tabel 27.
Dari hasil entropi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 27 dapat diketahui
bahwa nilai entropi total provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan dalam
kurun waktu 2004 hinggga 2009 meskipun besarnya peningkatan nilai indeks
tersebut tidak terlalu signifikan (yaitu sebesar 4,1497 menjadi 4,2125 di tahun
80
2009). Namun hal tersebut mencerminkan perekonomian di Provinsi Sulawesi
Selatan mengalami perkembangan, khususnya dilihat dari keberagaman jenis
aktivitasnya.
Tabel 20 Indeks Entropi Kabupaten/Kota Berdasarkan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009
No Kabupaten/ Kota
Indeks Entropi
2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-
Rata
1 Selayar 0,0586 0,0577 0,0573 0,0575 0,0576 0,0584 0,0579 2 Bulukumba 0,1649 0,1639 0,1643 0,1644 0,1609 0,1672 0,1643 3 Bantaeng 0,0836 0,083 0,0826 0,082 0,0794 0,0828 0,0822 4 Jeneponto 0,1054 0,1022 0,1005 0,0991 0,0947 0,0972 0,0999 5 Takalar 0,1036 0,1033 0,1028 0,1026 0,0986 0,102 0,1022 6 Gowa 0,1807 0,1807 0,1806 0,181 0,1757 0,1843 0,1805 7 Sinjai 0,1119 0,1114 0,1119 0,1115 0,1088 0,1131 0,1114 8 Maros 0,1317 0,1291 0,1272 0,1257 0,1205 0,1247 0,1265 9 Pangkep 0,2253 0,2239 0,223 0,2226 0,2163 0,2234 0,2224 10 Barru 0,0875 0,0871 0,0861 0,0852 0,0827 0,0852 0,0856 11 Bone 0,2705 0,2677 0,2676 0,2695 0,2627 0,2742 0,2687 12 Soppeng 0,1321 0,1297 0,1304 0,1298 0,1262 0,1309 0,1299 13 Wajo 0,2345 0,2343 0,2336 0,233 0,2263 0,2327 0,2324 14 Sidrap 0,1512 0,1535 0,1547 0,1539 0,1504 0,1562 0,1533 15 Pinrang 0,218 0,219 0,2169 0,2162 0,2102 0,2191 0,2166 16 Enrekang 0,0882 0,0884 0,0868 0,0862 0,083 0,0865 0,0865 17 Luwu 0,1583 0,1595 0,161 0,1613 0,1557 0,1611 0,1595 18 Tana Toraja 0,1421 0,1416 0,1395 0,1392 0,0757 0,0784 0,1194 19 Luwu Utara 0,1289 0,1349 0,1393 0,1411 0,1396 0,1454 0,1382 20 Luwu Timur 0,3168 0,3184 0,319 0,318 0,2951 0,2887 0,3093 21 Toraja Utara - - - - 0,0779 0,0804 0,0792 22 Kota Makassar 0,8651 0,8706 0,8799 0,8889 0,8841 0,9233 0,8853 23 Kota Pare-pare 0,088 0,0879 0,0883 0,0887 0,0851 0,0901 0,0880 24 Kota Palopo 0,1026 0,1039 0,104 0,1045 0,1021 0,1071 0,1040
Total 41.497 41.518 41.574 41.617 40.693 42.125 41.504
Provinsi Sulawesi Selatan
1,93 1,94 1,95 1,96 1,96 1,97 1,95
Sumber : Hasil Analisis Indeks Entropi data diolah
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2009, nilai
entropi tertinggi dan terendah dimiliki oleh daerah yaitu tertinggi oleh kota
Makassar dan terendah oleh Kabupaten Selayar. Dengan angka terendah berturut-
turut dari 2004 hingga 2007 adalah 0.0586, 0.0577, 0.0573, 0.0575 dan 0,0584.
81
Nilai tertinggi berturut-turut dari tahun 2004 hingga 2009 di Makassar adalah
0.8651, 0.8706, 0.8799, 0.8841 dan 0,9233. Sedangkan untuk tahun 2008 terdapat
perubahan untuk daerah dengan nilai entropi terendah yaitu pada Kabupaten
Bantaeng sebesar 0.0576, dan di tahun 2009 Kabupaten Selayar menjadi yang
terendah dengan nilai entropi 0,0584. Hal ini menunjukkan bahwa kota Makassar
merupakan kota/ daerah yang paling berkembang dari wilayah lainnya dari aspek
perekonomiannya dan tiap sektor perekonomiannya berkembang dengan baik
(relatif merata) sehingga tidak didominasi oleh sektor-sektor tertentu saja,
sedangkan untuk Kabupaten Selayar merupakan Kabupaten/daerah yang kurang
berkembang sektor-sektor perekonomiannya, dan cenderung didominasi oleh sektor
tertentu saja, yaitu sektor pertanian sebesar 39,34 persen dari total PDRB
wilayahnya.
Daerah yang memiliki nilai indeks entropi tinggi selain Makassar pada tahun
2008 adalah Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo.
Sedangkan daerah yang memiliki nilai entropi rendah selain Kabupaten Selayar dan
Kabupaten Tana Toraja, adalah Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru dan
Kabupaten Enrekang. Secara umum perkembangan indeks entropi kabupaten/kota
di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2004-2009 dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Perkembangan Entropi Kabupaten/Kota Tahun 2004 hingga 2009
Untuk melihat tingkat penyebaran setiap sektor yang ada di Provinsi Sulawesi
Selatan dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat dari tabel
82
Tabel 21 Penyebaran Setiap Sektor Hasil Analisis Entropy Tahun 2004-2009
No Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-Rata
1 Pertanian 1,3249 1,3055 1,2745 1,2472 1,2429 1,2291 1,2707
2 Pertambangan dan Penggalian 0,2753 0,2742 0,275 0,275 0,261 0,2471 0,2679
3 Industri Pengolahan 0,514 0,5143 0,5128 0,5101 0,5108 0,5062 0,5114
4 Listrik, Gas dan Air Minum 0,0646 0,0637 0,0636 0,0639 0,0658 0,067 0,0648
5 Bangunan/Konstruksi 0,2482 0,2541 0,2622 0,2719 0,2871 0,2982 0,2703
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,5773 0,5845 0,5927 0,5991 0,616 0,6305 0,6000
7 Pengangkutan dan Komunikasi 0,3209 0,3251 0,3242 0,3303 0,3359 0,342 0,3297
8 Keuangan, Perusahaan dan Jasa Perusahaan 0,2956 0,2962 0,3001 0,3095 0,319 0,3325 0,3088
9 Jasa-Jasa 0,5288 0,5343 0,5522 0,5547 0,5543 0,5597 0,5473
Sumber Hasil Analisis Indeks Entropi, data diolah
Tabel 21 diatas menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas di sebagian
besar sektor cenderung belum merata. Sektor pertanian pada tahun 2009 memiliki
nilai indeks entropi yang lebih besar dari yang lain yaitu sebesar 1,2291
menunjukkan bahwa penyebaran aktifitas setiap Kabupaten/kota di sektor pertanian
cenderung merata dibanding sektor lainnya. Sektor yang paling tidak merata
penyebaran aktivitasnya dapat dilihat pada tahun 2009 adalah sektor listrik, gas dan
air minum, indeks entropi menunjukkan sebesar 0.0670 adalah nilai yang terendah
diantara semua sektor.
Pertanian sebagai sektor yang merupakan sektor utama negeri ini, sektor
yang merupakan sektor yang lebih dulu dikenal oleh masyarakat Indonesia
memiliki tingkat penyebaran yang cenderung merata di setiap Kabupaten/kota,
sedangkan listrik, gas dan air minum cenderung tidak merata penyebaran
aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Untuk melihat perkembangan seberapa maksimalkah perkembangan aktivitas
ekonomi dan penyebaran ekonomi provinsi Sulawesi Selatan, dapat dilihat pada
Tabel 22.
83
Tabel 22. Nilai Entropi Tahun 2004-2009
Tahun Entropi Total Entropi Maksimum
Perkembangan Wilayah (Indeks
Diversitas Entropy)
2004 4.1497 5.3327 0.7782 2005 4.1518 5.3327 0.7785 2006 4.1574 5.3327 0.7796 2007 4.1617 5.3327 0.7804 2008 4.1929 5.3753 0.7800 2009 4.2125 5.3753 0.7837
Sumber : Hasil Analisis Entropi, data olah
Perkembangan maksimal yang dapat diperoleh Provinsi Sulawesi Selatan
adalah sebesar 5,3327 untuk tahun 2004 hingga 2007 dan 5,3753 untuk tahun 2008
dan 2009, dimana hingga saat ini Provinsi Sulawesi Selatan memiliki total nilai
entropi berkisar antara 4,1497 hingga 4,2125, menunjukkan belum maksimalnya
perkembangan wilayah yang dilakukan. Meski dari tahun ke tahun ada peningkatan
nilai total entropi yang ada tetapi perkembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
masih berkisar antara 0.7782 hingga 0,7838. Hal ini menunjukkan masih perlunya
Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengembangkan aktivitas perekonomian setiap
Kabupaten/kota. Hasil ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 20. Nilai Entropi Total dari tahun 2004 hingga tahun 2009
84
5.2 Analisis Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan
Analisis sumber disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan. Terkait dengan
belanja yang digunakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mencakup
Rasio Belanja setiap sektor, baik yang terkait sektor pendidikan, sektor kesehatan,
sektor sosial, sektor ekonomi dan infrastruktur umum.
Gambar 21. Perkembangan Persentase Alokasi Belanja per Urusan/Bidang Prov. Sulawesi Selatan 2007 hingga 2009
1. Rasio Belanja Sektor Pendidikan
Rasio belanja yang terkait dengan sektor pendidikan pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan masih belum memberikan belanja yang cukup dan
memenuhi kebutuhan pendidikan. Hal tersebut secara terperinci ditunjukkan
pada gambar 21 yang menerangkan perkembangan rasio belanja di urusan
pendidikan selama kurun waktu 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga
2009.
Dari gambar 21 pada tahun 2009 pemerintah provinsi Sulawesi Selatan
hanya megalokasikan 24,04 persen untuk keperluan belanja yang terkait
dengan urusan pendidikan, mengalami penurunan dari tahun 2007 yang
85
sebesar 23,93 persen, dimana tahun 2008 dengan persentase terbesar yaitu
sebesar 27,55 persen.
2. Rasio Belanja Kesehatan
Masalah kesehatan selalu menjadi hal yang penting dalam suatu
Negara, karena ini merupakan kebutuhan dasar bagi setiap masyarakat yang
ada. Dalam hal ini pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan secara umum dalam
melihat kebutuhan dalam hal kesehatan dapat terlihat dari rasio belanja
urusan kesehatan ini yang terkait dengan belanja dalam kurun waktu 3 tahun
dapat terlihat dari gambar 21.
Dari Gambar 21 terlihat persentase belanja kesehatan untuk Provinsi
Sulawesi Selatan yang pada tahun 2007 sebesar 8,35 persen, meski
mengalami peningkatan di tahun 2008 tetapi alokasi untuk urusan kesehatan
ini masih cukup kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran secara
keseluruhan. Dimana untuk tahun 2008 dengan alokasi belanja kesehatan
terkecil yaitu 9,2 persen dan di tahun 2009 sebesar 9,8 persen.
3. Rasio Belanja Ekonomi
Rasio belanja urusan ekonomi juga mengalami fluktuasi yang cukup
besar yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana
kecenderungannya mengalami peningkatan di tahun 2008. Persentase terkecil
berada di tahun 2007 sebesar 9,025 persen masih lebih besar daripada
persentase urusan kesehatan. Dimana pada tahun 2008 mengalami kenaikan
lagi menjadi 9,4210 persen. Perkembangan Rasio Belanja Ekonomi selama 3
tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 22.
4. Rasio Belanja Sosial
Rasio belanja urusan sosial juga mengalami fluktuasi meski kecil
yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya
mengalami penurunan di tahun 2008. Persentase terkecil berada di tahun
2008 sebesar 1,6260 persen. Dimana pada tahun 2009 mengalami kenaikan
lagi menjadi 1,8515 persen. Perkembangan Rasio Belanja ekonomi selama 3
tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 21.
86
5. Rasio Belanja Infrastruktur
Selain itu Rasio belanja infrastruktur selama tiga tahun terakhir
menunjukkan kecenderungan penurunan dari 19,98persen di tahu 2007, naik di
tahun 2008 menjadi 20,06persen dan turun lagi di tahun 2009 menjadi 17,84persen.
Secara terperinci di tunjukkan pada gambar 21.
Yang kemudian dalam permodelan ekonometrika, faktor-faktor yang
dibahas diatas yang dianggap menjadi sumber disparitas. Variabel-variabel yang
diduga menjadi sumber-sumber disparitas pembangunan wilayah adalah
pertumbuhan PDRB (Y), rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio
belanja kesehatan, rasio belanja sosial,dan rasio belanja ekonomi. Disparitas
pembangunan wilayah akan menggunakan indikator Indeks Williamson yang
menunjukkan disparitas atau ketimpangan dari sisi pendapatan PDRB per kapita di
Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun estimasi permodelan secara matematis dapat
dilihat dibawah ini
Iw = 2,12 - 0,190 Pertumbuhan PDRB - 0,0101 Rasio Infrastruktur - 0,0241 Rasio Pendidikan + 0,0836 Rasio Kesehatan - 0,03 Rasio Sosial + 0,181 Rasio Ekonomi
Tabel 23 Analisis Ekonometrika Regresi Berganda Sumber Disparitas
Pembangunan Wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
Variabel Coef t-stat Prob (t-stat) Constant 2,1209 3,38 0,000
Pertumbuhan PDRB -0,18988 -2,34 0,000
Infrastruktur -0,01011 -0,72 0,000
Pendidikan -0,02411 -2,00 0,000
Kesehatan 0,08363 1,98 0,298
Sosial -0,0312 -2,38 0,000
Ekonomi 0,18118 2,48 0,244
R2 88,6 F-Stat 15,6 Prob (F-Stat) 0,000
Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2011
87
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa F-hitung untuk
model sumber disparitas pembangunan 15,6, jika dibandingkan dengan nilai t-tabel
pada tingkat signifikan 5 persen (2,447), nilai F-hitung yang diperoleh untuk model
tersebut adalah lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
PDRB, rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja
kesehatan, rasio belanja sosial dan rasio belanja ekonomi secara signifikan
berpengaruh terhadap tingkat disparitas yang dinilai melalui indeks Williamson di
Prov Sulawesi Selatan. Pada perhitungan model dapat diketahui bahwa variabel laju
pertumbuhan PDRB memberikan pengaruh paling besar terhadap menurunnya
angka disparitas, yakni 0,18988. Jadi jika terjadi peningkatan laju pertumbuhan
PDRB 1 persen maka Indeks Williamson akan menurun sebesar 0,18988. Variabel
independen lainnya yang juga mempengaruhi penurunan indeks Williamson adalah
rasio belanja infrastruktur (0,01011) , rasio belanja pendidikan (0,02411), dan rasio
belanja sosial (0,0312).
Pertumbuhan PDRB di Provinsi Sulawesi Selatan secara sistematis oleh
pertumbuhan PDRB akan ikut menurunkan tingkat disparitas pembangunan
wilayah (Indeks Williamson). Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita
secara signifikan menjadi salah satu sumber ketimpangan pembangunan yang
diukur dengan Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu,
tingkat ketimpangan pembangunan mampu ditekan sekecil mungkin dengan cara
meningkatkan pertumbuhan PDRB dan juga memperkecil tingkat proporsional pada
PDRB per kapita tiap-tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Selain itu, rasio belanja sosial juga menjadi salah satu sumber disparitas,
kurang diperhatikannya masalah-masalah sosial khususnya di daerah-daerah
tertentu dibanding Kabupaten/kota yang lebih maju menjadi salah satu penyebab
utama disparitas yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Rasio belanja pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu
sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan. Perbedaan rasio belanja ini
juga berimplikasi pada kondisi IPM daerah-daerah di sebelah utara dan sebelah
selatan Sulawesi Selatan. Kondisi daerah-daerah di sebelah utara memiliki tingkat
kualitas sumber daya manusia yang lebih baik jika dibandingkan daerah-daerah di
88
sebelah selatan. Maka salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk
menekan angka disparitas ini adalah dengan meningkatkan belanja pendidikan
khususnya di daerah-daerah selatan dengan tingkat IPM-nya yang cenderung lebih
rendah.
Selain variabel-variabel diatas, rasio belanja infrastruktur juga merupakan
salah satu penyebab terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi
Sulawesi Selatan. Infrastruktur yang dimaksud berupa jalan, jembatan, listrik,
saluran irigasi dan sumberdaya air bersih. Semakin baiknya kondisi infrastruktur
yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini akan meningkatkan akses transportasi
antar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga ini akan
berdampak pada perbaikan pola interaksi dan meningkatkan pula investasi yang
terjadi di daerah tersebut. Tumbuhnya investasi ini akan mendorong peningkatan
kapasitas ekonomi lokal yang akan mampu meningkatkan PDRB setiap
Kabupaten/kota.
Rasio belanja kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat disparitas
pembangunan wilayah yang diukur dengan Indeks Williamson Provinsi Sulawesi
Selatan, sehingga rasio belanja kesehatan ini bukan sumber utama terjadinya
ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan, begitu pula halnya
dengan rasio belanja ekonomi, tidak berpengaruh nyata terhadap disparitas
pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan.
5.3 Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kabupaten/Kota
Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam
pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan
sosial ekonomi dan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui perkembangan
suatu wilayah, dapat dilakukan dengan menganalisis pencapaian hasil
pembangunan melalui indikator-indikator kinerja di bidang ekonomi, sosial,
pendidikan dan kesehatan.
Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi pusat
perkembangan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian
dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu
89
wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan,
sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang lengkap akan menjadi daerah
belakang (hinterland).
Berdasarkan data Podes yang dianalisis, tingkat perkembangan wilayah dapat
dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota (IPK). Pada analisis
skalogram, semakin tinggi IPK maka semakin berkembang atau maju
kabupaten/kota tersebut, sehingga dapat menjadi pusat pelayanan bagi wilayah
sekitarnya atau bagi wilayah yang memiliki nilai IPK yang lebih rendah.
Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat konsentrasi penduduk
(permukiman); pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri; (3) pusat
pelayanan terhadap daerah hinterland, dan (4) lokasi pemusatan industri
manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor
produksi untuk menghasilkan output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi
sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah atau bahan baku; (2)
pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi; (3) daerah pemasaran barang dan
jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan
plasma; (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis.
Setiap pemusatan itu akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif.
Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah, disamping akan
menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup juga akan
menyebabkan dana dan sumber daya untuk pembangunan wilayah menjadi terbatas
(Tarigan, 2002).
90
Tabel 24. Nilai IPK dan Jumlah Jenis Hasil Perhitungan Skalogram 2003
No. Kabupaten/ Kota
Jumlah Penduduk IPK Jumlah Jenis
Fasilitas/Infrastruktur 1 Pare-pare 107.791 80,07 92 2 Palopo 111.856 72,14 91 3 Makassar 1.130.343 61,30 86 4 Soppeng 224.177 49,00 85 5 Maros 277.910 57,94 84 6 Sidrap 241.708 64,57 82 7 Wajo 365.090 53,67 82 8 Gowa 524.020 32,44 82 9 Bone 665.728 46,98 81
10 Bulukumba 357.486 36,75 80 11 Luwu Utara 461.562 48,32 79 12 Barru 154.008 62,24 76 13 Takalar 234.306 41,27 76 14 Pinrang 313.789 25,32 76 15 Jeneponto 358.889 33,22 75 16 Selayar 104.040 76,95 74 17 Pangkajene 274.587 50,31 73 18 Enrekang 170.983 47,08 73 19 Bantaeng 162.859 40,38 73 20 Sinjai 206.936 29,63 73 21 Luwu 286.491 38,56 70 22 Tana Toraja 413.432 43,68 67
Sumber : Data diolah, 2010
Berdasarkan jumlah jenis Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kota Makassar
memiliki jumlah jenis yang lebih besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya.
Ketiga kota ini memiliki perkembangan yang lebih maju jika dilihat dari banyaknya
jumlah fasilitas. Ketiga kota ini cenderung menjadi daerah yang bersifat pusat
kegiatan bagi daerah-daerah di sekelilingnya maupun daerah yang dapat
memberikan pelayanan bagi daerah di sekelilingnya. Baik itu pelayanan dari segi
pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Pola ketersediaan infrastruktur yang
ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini dapat dilihat pada Gambar 22.
91
Gambar 22. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2003
Peta skalogram berdasarkan jumlah jenis dapat terlihat (Gambar 22) daerah-
daerah yang memiliki jumlah fasilitas yang ada di kelas kedua yaitu yang tersebar
merata mengelilingi Kota Pare-Pare dan Kota Makassar, sedsangkan Kota Palopo
dikelilingi daerah-daerah yang terkategori di kelas ketiga. Kecuali daerah-daerah
seperti Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bantaeng dan
Kabupaten Sinjai yang berada di sebelah selatan Pulau Sulawesi ini cenderung
memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit jenisnya. Daerah-daerah ini memiliki
jarak yang jauh dari ibukota Provinsi. Sedangkan untuk melihat ketersediaan
infrastruktur berdasarkan sektor aktivitas pendidikan, kesehatan, sosial dan
92
ekonomi ini dapat dilihat Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota bidang yang
dominan seperti yang ditunjukkan Gambar 23.
Gambar 23. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2003
Berdasarkan jumlah jenis yang dominan di tahun 2003 dari data yang berasal
dari IPK sosial, sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi
Selatan memiliki jumlah IPK sosialnya dominan dibandingkan IPK lainnya, kecuali
Kota Makassar yang didominasi oleh IPK kesehatan, Kabupaten Enrekang oleh
IPK pendidikan serta Kota Pare-Pare dan Kota Palopo IPK pendidikan.
Ketersediaan IPK kesehatan dan pendidikan lebih baik dimiliki oleh ketiga kota
yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan di Kabupaten/kota lainnya
93
perkembangan IPK Sosial belum diimbangi oleh IPK pendidikan, kesehatan
maupun ekonomi.
Sedangkan ketersediaan infrastruktur berdasarkan jumlah jenis yang dimiliki
Provinsi Sulawesi Selatan di tahun 2006 berdasarkan hasil perhitungan Skalogram
2006 adalah dapat terlihat pada peta di bawah (Gambar 24).
Gambar 24. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2006
Ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi
Selatan tahun 2006 dengan jumlah jenis fasilitas yang masuk pada kelas pertama
dengan total berkisar antara 91-99 jenis berada hampir di sebagian besar
Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 13
Kabupaten dan 2 kota. Sedangkan untuk Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto,
Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten
94
Enrekang menjadi daerah yang memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih sedikit
atau berada pada kelas 2 dimana daerah-daerah ini merupakan daerah-daerah yang
memiliki produktivitas rendah terlihat dari nilai kontribusi PDRB terhadap
Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Yang menarik terjadi di Kabupaten Maros
meskipun Kabupaten Maros merupakan daerah yang berbatasan dengan Kota
Makassar dan berjarak 21 Km dan menjadi lebih dekat dengan adanya fasilitas jalan
TOL menuju Maros-Makassar, tidak serta merta membuat Maros di tahun 2003 dan
2006 memiliki jumlah jenis fasilitas yang tinggi. Dikarenakan masyarakat
Kabupaten Maros sendiri lebih sering menikmati fasilitas di Kota Makassar
dibanding di Kabupaten Maros sendiri.
Sementara untuk melihat Ketersediaan Infrastruktur berdasarkan Indeks
Perkembangan Kabupaten/Kota yang dibagi kedalam 4 sektor, yaitu: IPK
pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat terlihat dari pada
peta di bawah ini (Gambar 25).
Gambar 25. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2006
95
Dari peta mengenai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang terkait 4
sektor IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat dilihat
bahwa kondisi yang mendominasi pembangunan infarastruktur di sebagian besar
wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah dengan melihat IPK ekonomi yang
dominan di 14 Kabupaten/kota yang ada. Dan IPK Pendidikan memperlihatkan
kondisi yang semakin membaik dengan munculnya 8 daerah yang dominan nilai
IPK pendidikannya. Sementara untuk IPK kesehatan yang dominan berada di
Kabupaten Soppeng. Terlihat masih rendahnya fokus pembangunan di Bidang
Kesehatan hampir di seluruh Kabupaten/kota yang ada.
Kondisi ketersediaan infrastruktur yang ada di kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 dipetakan berdasarkan jumlah jenis
infrastruktur yang ada (Gambar 26).
Gambar 26. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2008
Berdasarkan jumlah jenisnya ketersediaan infrastruktur di Kota Pare-Pare,
Kota Palopo dan Kabupaten Sidrap memiliki jumlah yang lebih lengkap
96
dibandingkan dengan Kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan
jika dilihat dari sisi jumlah jenis. Sementara 9 Kabupaten/kota berada di kelas 2
dengan jumlah jenis berkisar 56 – 63 dan sebanyak 11 Kabupaten yang berada di
kelas dengan jumlah jenis yang paling sedikit. Jumlah infrastruktur yang paling
sedikit umumnya berada di bagian paling utara yang berada di sekitar kota Palopo
dan di bagian Selatan yang berada di sekitar kota Makassar. Dari daerah-daerah
yang memiliki ketersedian infrastruktur ini dapat diamati sektor apa yang kemudian
di tahun 2008 dominan, seperti terlihat pada peta di bawah (Gambar 27).
Gambar 27. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2008
Dari peta diatas terlihat ketersediaan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi
Selatan terkait IPK pendidikan, kesehatan dan IPK ekonomi cenderung lebih
97
merata. IPK Pendidikan didominasi di 13 Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi
Selatan. Kondisi IPK pendidikan yang semakin membaik, IPK ekonomi di
dominasi di 8 Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan dan Kesehatan hanya
sebanyak 2 Kabupaten
5.4 Analisis Pola Interaksi Antar Kabupaten/Kota
Pendugaan keterkaitan antar wilayah ditinjau berdasarkan asal-tujuan
perjalanan orang, digunakan variabel jarak (dalam satuan kilometer) dengan
memperhitungan pengaruh infrastrukur pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.
Setelah dilakukan pemrosesan data dengan menggunakan analisis entopi interaksi
spasial dengan sowtware statistica, dengan melakukan 5 kali pemrosesan, maka
diperoleh hasil estimasi untuk setiap model. Maka peningkatan fasilitas ekonomi
tidak mendorong terjadinya interaksi yang berlebih karena pada angka di bawah
nilai estimasi untuk ekonomi bernilai negatif (-11,2144). Dari hasil ini juga dapat
dilihat bahwa adanya kecenderungan pemusatan ekonomi pada wilayah tertentu
sehingga tidak memberikan nilai interaksi yang lebih untuk sektor ekonomi
(bernilai negatif). Sedangkan peningkatan infrastruktur pendidikan, peningkatan
infrastruktur kesehatan dan peningkatan infrastruktur sosial memberikan nilai
estimasi yang cenderung lebih baik jika ketiga infrastruktur ini diberikan perhatian
khusus. Karena dengan mengembangkan ketiga sektor ini maka akan meningkatkan
pola interaksi diantara Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara umum, motif pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor
ekonomi.
Dari hasil analisis Interaksi spasial ini akan diperoleh dugaan bernilai
negatif maupun positif. Nilai negatif di setiap dugaan baik daerah asal maupun
daerah tujuan mengindikasikan bahwa penambahan daya tarik atau daya dorong
tidak akan memperluas atau menambah interaksi secara kesuluruhan berbeda
halnya dengan dugaan yang bernilai positif di daerah asal maupun daerah tujuan
maka penambahan daya tarik ataupun daya dorong di Kabupaten/kota tersebut
maka akan meningkatkan interaksi secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi
Selatan. Hasil analisis secara rinci terlihat pada Tabel 25.
98
Tabel 25. Hasil Dugaan Analisis Entropi Interaksi Spasial
No Kabupaten/Kota Dugaan Asal Kabupaten/Kota Dugaan
Tujuan 1 Jeneponto 50.105 Luwu Utara 14.844 2 Selayar 18.299 Bone 14.170 3 Luwu Timur 15.085 Luwu Timur 13.480 4 Wajo 0,967 Gowa 13.216 5 Bone 0,9667 Tana Toraja 10.798 6 Tana Toraja 0,6279 Bulukumba 10.463 7 Luwu Utara 0,5711 Wajo 0,7715 8 Barru 0,4845 Takalar 0,7004 9 Soppeng 0,4636 Luwu 0,6425 10 Pinrang 0,1922 Bantaeng 0,6256 11 Palopo 0,0000 Maros 0,5761 12 Gowa -0,0475 Enrekang 0,4457 13 Pangkep -0,1123 Pinrang 0,4412 14 Makassar -0,6322 Jeneponto 0,3733 15 Enrekang -0,772 Pangkep 0,2312 16 Bantaeng -0,8631 Sinjai 0,1066 17 Bulukumba -11.777 Palopo 0,0000 18 Takalar -13.744 Soppeng -0,0069 19 Sidrap -18.363 Pare-pare -0,0237 20 Pare-pare -20.824 Barru -0,1312 21 Sinjai -22.318 Sidrap -0,208 22 Maros -24.522 Makassar -16.186 23 Luwu -26.341 Selayar -17.228
Sumber data : Hasil Analisis Entropi Interaksi Spasial, 2009
Hasil interaksi tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Makassar dan Kota
Pare-Pare, serta Kabupaten Sidrap memiliki daya dorong (-) dan daya tarik (-) kota
ini dikatakan mandiri, maka kedua kota ini telah tumbuh menjadi pusat
pertumbuhan sendiri sehingga peningkatan kapasitas supply dan demand tak akan
mempengaruhi interaksi. Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dari
Sulawesi Selatan kemudian telah berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah
lainnya, kondisi sektor-sektor yang berkembang pun cenderung lebih merata
dibandingkan daerah lainnya.
Sedangkan untuk kabupaten Sidenreng Rappang memiliki hasil yang sama
dengan Kota Makassar dan Kota Pare-Pare. Daerah ini telah berkembang dan
menjadi pusat pertumbuhan sendiri dan cenderung menjadi daerah yang lebih
99
mandiri. Sehingga peningkatan supply dan demand tidak akan mempengaruhi
interaksi.
Sedangkan untuk daerah-daerah yang bernilai (+) pada perkiraan daerah
asal, seperti Jeneponto, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Pinrang, Tana Toraja, Luwu
Utara, Luwu Timur dan Palopo adalah daerah-daerah yang perlu adanya
peningkatan daya dorong, karena dengan daya dorong ini akan meningkatkan pola
interaksi antara daerah-daerah ini dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi
spasial atau pengembangan wilayah di Kabupaten/kota tersebut ditingkatkan, maka
pengaruh pengembangan di wilayah penelitian secara keseluruhan dapat terlihat
pada Gambar 28.
Gambar 28. Peta Interaksi Kabupaten/Kota (Dugaan Asal)
Jeneponto yang memiliki nilai dugaan tertinggi, dikaitkan dengan
rendahnya PDRB per kapita, dan terbatasnya kemampuan wilayahnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, apabila di wilayah ini
100
dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan daya dorong, maka akan terjadi
peningkatan interaksi spasial dan diduga wilayah penelitian secara keseluruhan
akan semakin berkembang.
Pada Kabupaten Luwu Timur, kehadiran pertambangan nikel di daerah ini,
diduga hasil dari nilai tambah pertambangan ini tidak mengalir menuju wilayah
bersangkutan, tetapi di luar wilayah, dimana PDRB per kapita Luwu Timur yang
tertinggi tahun 2008 (Rp. 18.584.100,-) di duga pendapatan tersebut tidak mengalir
ke wilayah sekitarnya. (Kabupaten Luwu Utara yang mempunyai PDRB per kapita
jauh lebih kecil Rp. 4.690.100,-).
Sedangkan untuk daerah-daerah dugaan asal (+) seperti Kabupaten
Jeneponto dan Kabupaten Selayar memiliki karakteristik daerah yang kurang
berkembang untuk 2 wilayah ini sehingga peningkatan daya dorong di daerah ini
bisa meningkatkan interaksi yang ada secara keseluruhan. Sedangkan daerah seperti
Kabupaten Tana Toraja yang memiliki jarak daerah yang cukup jauh dimana
pariwisata di daerah ini berkembang cukup pesat tetapi dari segi pembangunan dan
aktivitas daerahnya daerah ini masih kurang berkembang, sehingga peningkatan
daya dorong dapat meningkatkan interaksi yang ada.
Begitupula halnya yang terjadi di Kabupaten Bone, Kabupaten Barru,
Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo, dimana sektor yang berkembang adalah
sektor pertanian yang berkisar 40 persen hingga 50 persen. Jika daya dorong di
daerah ini ditingkatkan maka akan terjadinya peningkatan interaksi.
Untuk daerah-daerah yang memiliki nilai (+) pada perkiraan tujuan seperti
Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene, Bone, Wajo,
Pinrang, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo daya
tariknya ditingkatkan, maka akan meningkatkan interaksi. Apabila kebijakan
pembangunan yang berkaitan dengan “daya tarik tujuan perjalanan penumpang
(misalnya penyediaan lapangan kerja) lebih dikonsentrasikan pada wilayah dengan
nilai dugaan (+) maka akan terjadi peningkatan interaksi. Gambaran daerah-daerah
ini dapat kita lihat pada peta dugaan tujuan Gambar 29.
101
Gambar 29. Dugaan Daerah Tujuan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan
Lebih lanjut, untuk daerah Kabupaten Selayar, Kabupaten Barru, Kabupaten
Soppeng jika daya tarik ditingkatkan tidak membawa peningkatan interaksi pada
daerah ini. Ketiga kabupaten ini tergolong daerah dengan kondisi yang kurang
berkembang dimana sumbangan Kabupaten Selayar dan Kabupaten Barru ini
terhadap PDRB Sulawesi Selatan juga sangat kecil. Selain itu untuk daerah dengan
nilai (+) ini memiliki potensi daerah yang baik untuk dikembangkan sehingga
peningkatan daya dorong ini akan meningkatkan interaksi yang ada.
102
5.4 Analisis Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan
Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan yang terjadi secara umum telah
menimbulkan ketimpangan dalam prosesnya yang jika diamati dalam 6 tahun
terakhir 2004 hingga 2009 memberikan gambaran yang sangat fluktuatif dengan
kecenderungan yang terus meningkat. Ketimpangan yang terjadi di Provinsi
Sulawesi Selatan ini memiliki nilai yang cukup tinggi berada di atas ketimpangan
yang terjadi di KBI (Kawasan Barat Indonesia) meski berada di bawah
ketimpangan nasional untuk tahun 2006. Kecenderungan ini jika tidak cepat
diminimalisir akan cenderung semakin memburuk dan membahayakan stabilitas
pembangunan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Ketimpangan yang secara umum terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini tidak
terlepas dari andil 3 kota besar yang memperparah kondisi ketimpangan yang ada
yaitu Kota Makassar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Hadirnya 3 kota besar ini
menyebabkan ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kecenderungan
peningkatan selama 6 tahun terakhir. Meski ketimpangan yang terjadi di Provinsi
Sulawesi Selatan menunjukkan nilai yang relative tetap, namun hal ini perlu diatasi.
Ketimpangan terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan yang memberikan
proporsi terhadap ketimpangan yang ada adalah ketimpangan antar sektor dalam
kabupaten/kota tersebut. Hal ini diperkuat dengan melihat perkembangan aktivitas
ekonomi yang belum mencapai maksimal untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan
perkembangan setiap sektor yang cenderung kurang merata. Sektor pertanian
merupakan sektor yang lebih merata dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan
sektor listrik, gas dan air minum adalah sektor yang paling tidak merata penyebaran
aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota yang ada.
Hadirnya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan selain dilihat dari
aktivitas ekonominya juga bisa dilihat dari realisasi alokasi dana belanja pemerintah
daerah yang tertuang dalam APBD setiap kabupaten/kota. Alokasi dana belanja ini
merupakan stimulus setiap daerah dalam mewujudkan pembangunan daerahnya
yang dapat diukur dengan pertumbuhan PDRB. Alokasi belanja yang kemudian
disederhanakan menjadi beberapa urusan/bidang yang umum dibutuhkan dalam
103
menciptakan pembangunan yaitu terkait belanja infrastruktur, belanja pendidikan,
belanja kesehatan, belanja sosial dan belanja ekonomi. Dari urusan/bidang yang ada
ini kemudian dapat disimpulkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap menurunnya angka disparitas selain pertumbuhan PDRB adalah rasio
belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial. Meskipun
rasio belanja kesehatan tidak signifikan memberikan pengaruh terhadap
menurunnya angka disparitas tetapi dari hasil yang ditunjukkan dapat diketahui
bahwa Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan ini masih memiliki jumlah
infrastruktur kesehatan sangat minim yang terlihat dari nilai IPK kesehatan yang
dimiliki di setiap Kabupaten/kota.
Tiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kota
Palopo, dan Kota Pare-Pare memiliki perkembangan yang lebih baik dari
Kabupaten yang ada. Dilihat dari besarnya kontribusi PDRB terhadap PDRB
Provinsi Sulawesi Selatan, perkembangan aktivitas ekonomi yang terkait aktivitas
setiap sektor yang lebih merata dan berimbang, ketidakberimbangan yang terjadi ini
kemudian menjadi hal yang dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan di Provinsi
Sulawesi Selatan. Begitupula halnya dengan ketersediaan infrastruktur yang ada di
ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini. Ketiganya memiliki jumlah
jenis fasilitas yang lebih lebih baik dengan kategori paling banyak jumlah jenisnya
jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten yang ada. Ketersediaan infrastruktur
yang lebih baik ini merupakan hal yang dapat memicu terjadinya ketimpangan.
Diperkuat dengan melihat pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan yang
cenderung masih sangat kuat motif ekonominya, hadirnya infrastruktur ekonomi di
suatu daerah tidak mempengaruhi interaksi yang ada karena urusan ekonomi ini
hanya difokuskan pada daerah-daerah tertentu saja, hal ini akan mengakibatkan
eksploitatif yang besar.
Hadirnya ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini ternyata tidak
memberikan hasil yang baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten
Gowa dan Kabupaten Maros yang ada di sekitarnya. Karakteristik kedua daerah ini
yang masih dominan oleh sektor pertanian, membuat perkembangan aktivitas
ekonomi per sektornya tidak lebih baik dari daerah-daerah yang berada di utara
Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Pinrang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone.
104
dan Kabupaten Pangkep. Begitupula yang terlihat dari ketersediaan infrastruktur
yang dapat dilihat dari jumlah jenis yang ada, Kabupaten Maros, masih cenderung
tidak seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa perkembangannya. Meski
demikian peningkatan daya tarik yang ada di kedua Kabupaten ini memungkinkan
terjadinya interaksi. Peningkatan daya tarik ini, diharapkan memberikan rangsangan
terhadap sumber daya yang ada di kedua daerah ini agar dapat maksimal
dimanfaatkan di daerah ini agar kebocoran daerah di kedua daerah ini bisa dicegah.
Sedangkan untuk daerah-daerah yang terletak di sebelah selatan yang
memiliki perkembangan yang rendah dibandingkan di daerah utara Sulawesi
Selatan ini. Seperti Kabupaten Selayar dan Kabupaten Jeneponto, dimana
rendahnya perkembangan aktivitas ekonomi dan juga rendahnya kualitas sumber
daya manusia serta karakteristik daerah yang kurang subur cenderung menjadi
daerah kering jika dilihat dari gambaran umum daerah ini, membuat kedua daerah
ini menjadi daerah memiliki perkembangan yang paling kecil jika dibandingkan
Kabupaten lainnya. Tidak meratanya aktivitas penyebaran ekonomi setiap sektor
juga menjadi penyebab kurang berkembangnya daerah ini, sehingga peningkatan
daya dorong dari kedua daerah ini dapat meningkatkan interaksi yang terjadi antara
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini juga dikarenakan karena
terbatasnya daerah ini dalam memenuhi kebutuhan penduduknya.
Untuk Kabupaten Luwu Timur yang memiliki SDA yang lebih baik, belum
bisa memberikan hasil yang lebih baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti
Kabupaten Luwu Utara, terlihat dari PDRB per kapita yang cenderung paling
tinggi di tahun 2008 dan tertinggi menurut rata-rata 5 tahun terakhir ini
dibandingkan PDRB per Kapita Luwu Utara yang jauh lebih kecil. Meski tingginya
PDRB dan PRDB per Kapita di Luwu Timur ini tidak diikuti dengan peningkatan
ketersediaan infrastruktur yang lebih baik. Sehingga mendorong pergerakan
manusia keluar dari Luwu Timur adalah salah satu cara untuk meningkatkan
interaksi antar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Potensi
tambang yang ada di Luwu Timur menjadi sektor yang memiliki proporsi terbesar
dalam menciptakan ketimpangan.
105
Begitupula yang terjadi di Kabupaten Pangkep, adanya industri pengolahan
semen tonasa yang ada di Kabupaten Pangkep memberikan proporsi terbesar bagi
ketimpangan yang ada di dalam Kabupaten Pangkep. Tingginya PDRB per kapita
yang dimiliki Kabupaten Pangkep serta kontribusi yang besar yang dimiliki
Kabupaten Pangkep tidak serta merta memperbaiki ketersedian infrastruktur yang
ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sektor pengolahan ini yang memberikan
kontribusi yang terbesar, meski demikian Kabupaten Pangkep memiliki
perkembangan aktivitas yang cukup merata. Karena besarnya potensi lapangan
kerja yang ada di Kabupaten Pangkep maka untuk meningkatkan intreraksi yang
ada perlunya mengembangkan daya tarik di Kabupaten/kota ini.
Kabupaten Sidrap, Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo adalah daerah-
daerah dengan perkembangan sektor pertanian dimana ketiga daerah ini merupakan
daereh lumbung beras Provinsi Sulawesi Selatan. Perkembanagan aktivitas
ekonomi ketiga daerah ini pun cukup merata dibandingkan daerah lainnya.
Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Tana Toraja
dengan luas yang cukup besar, bahkan Luwu Utara menjadi kabupaten yang terluas,
masih sangat perlu mengembangkan aktivitas sektor-sektornya karena
perkembangannya masih sangat kurang, selain itu ketiga daerah ini perlunya
pengembangan daya dorong dan daya tarik agar tercipta interaksi yang semakin
baik dan semakin sinergis antara Kabupaten/kota yang ada.
Sedangkan untuk daerah-daerah yang berada di selatan Sulawesi Selatan
seperti Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten
Bulukumba perlu pengembangan yang maksimal dalam aktivitas-aktivitas
ekonominya karena kecenderungan memiliki perkembangan yang masih lebih kecil
jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah di selatan Sulawesi Selatan. Meski
kurangnya daya tarik berupa sumber daya alam yang ada, kondisi infrastruktur
yang kurang memadai, kecuali Bulukumba yang memiliki perkebunan yang cukup
besar, dengan adanya perkebunan-perkebunan nasional yang ada di sana sebaiknya
bisa dikembangkan untuk meningkatkan daya tarik agar interaksi yang terjadi
meningkat dan memberikan nilai tambah yang baik.
106
Kabupaten Pinrang sebagai daerah yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi
Barat yang juga termasuk daerah yang memberikan kontribusi terhadap Sulawesi
Selatan yang cukup besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya, juga merupakan
daerah-daerah lumbung beras Provinsi Sulawesi Selatan dengan kontribusi sektor
pertanian sebesar kurang lebih 60 persen. Pinrang ini memiliki ketersediaan
infrastruktur yang cenderung baik dengan kondisi perkembangan Kabupaten lebih
kepada sektor ekonomi. Perkembangan aktivitas-aktivitas ekonomi juga cenderung
lebih merata. Kabupaten Pinrang perlu meningkatkan daya tarik dan daya
dorongnya agar tercipta interaksi yang lebih baik antar Kabupaten/kota.
Secara umum, meski sektor pertanian menjadi sektor yang paling besar
memberikan kontribusi terhadap PDRB Sulawesi Selatan secara keseluruhan tetapi
sektor ini memberikan proporsi yang sangat kecil terhadap ketimpangan sektoral
dalam wilayah Kabupaten/kota yang ada. Pentingnya tetap menjaga sektor
pertanian sebagai leading sektor perekonomian di Sulawesi Selatan dengan diikuti
pengembangan sektor-sektor lainnya dengan potensi masing-masing daerah untuk
dikembangkan. Sektor listrik, gas dan air minum perlu mendapatkan perhatian
khusus dalam pengembangannya di setiap Kabupaten/kota agar penyebarannya
menjadi lebih merata. Selain itu, perlunya pembangunan infrastruktur pendidikan,
kesehatan dan sosial di setiap daerah bukan saja diwujudkan dengan pembangunan
infrastruktur ekonomi sehingga dapat meningkatkan interaksi yang terjadi kearah
yang lebih baik.
Sintesis dan Alternatif Upaya Mengurangi Tingkat Disparitas
Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
Ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/kota merupakan fenomena
universal yang hampir selalu terjadi pada suatu wilayah, namun pada tingkat yang
lebih lanjut dapat berimplikasi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan
lainnya, bahkan memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu upaya
mengurangi ketimpangan merupakan salah satu aspek penting dalam kebijakan
pembangunan guna mewujudkan pemerataan dan mendistribusikan hasil-hasil
pembangunan. Pemerataan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan
107
persamaan pembangunan tetapi lebih kearah mewujudkan adanya keseimbangan
yang proporsional antara kemajuan suatu kabupaten/kota dengan Kabupaten/kota
lainnya, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Dinamika pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, begitupula halnya dengan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di masing-masing Kabupaten/kota. Hal tersebut
juga dapat diamati dari tingkat perkembangan aktivitas perekonomian wilayah di
masing-masing kabupaten/kota. Meskipun cenderung fluktuatif untuk tiap
kabupaten/kota tetapi secara keseluruhan terdapat peningkatan aktivitas
perekonomian (berdasarkan hasil analisis indeks diversitas entropi). Meskipun
dalam peningkatannya masih belum diimbangi dengan pemerataan perkembangan
aktivitas ekonomi yang dimiliki masing-masing sektor.
Sektor Pertanian yang menyerap kurang lebih 50 persen tenaga kerja di
Provinsi Sulawesi Selatan ini yang mendominasi karakteristik perkembangan
aktivitas di Sulawesi Selatan dan cenderung lebih merata, merupakan sektor yang
perlu mendapat perhatian khusus karena dari sisi kontribusi saat ini terdapat
penurunan hingga 31 persen kontribusi untuk PDRB Provinsi Sulawesi Selatan.
Rendahnya kontribusi sektor pertanian khususnya daerah-daerah dengan dominasi
sektor pertanian kiranya dapat meningkatkan produktivitas daerahnya, dengan tidak
hanya mengahasilkan bahan mentah untuk daerahnya tetapi juga dapat mengolah
bahan mentah ini menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi agar nantinya
menciptakan nilai tambah yang jauh lebih besar. Selain itu pengembangan sektor-
sektor lainnya juga dapat diberi perhatian sehingga distribusi penyebarannya dapat
menjadi lebih baik.
Sementara itu, hasil analisis dengan menggunakan indeks Willamson dan
indeks Theil entropy berhasil membuktikan hipotesis yang dikembangkan dalam
penelitian tentang dugaan adanya ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi
Selatan dan seluruh kabupaten/kota yang ada. Dari ketimpangan yang terjadi di
Provinsi Sulawesi Selatan yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Williamson ini
kemudian ditelaah lebih dalam dan kemudian dapat diketahui bahwa yang
memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan yang terjadi adalah
108
ketimpangan dalam Kabupaten/kota (within sektoral) yang lebih ditunjukkan oleh
ketimpangan antar sektor dalam kabupaten/kota tersebut nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan ketimpangan yang terjadi antara Kabupaten/kota (between
regions).
Selain itu dari permodelan ekonometrika yang dilakukan dalam penelitian ini
juga berhasil menguji beberapa variabel yang diduga merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah yang ditinjau dari
besarnya realisasi belanja APBD yang dihabiskan dalam membiayai pembangunan.
Berdasarkan model tersebut dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang signifikan
berpengaruh terhadap penurunan ketimpangan adalah pertumbuhan PDRB, rasio
belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial.
Pertumbuhan penduduk ini meski berpengaruh terhadap penurunan tingkat
disparitas belum merupakan syarat cukup, perlu pula diimbangi dengan faktor-
faktor lain yang berpengaruh terhadap ketimpangan.
Faktor lain yang coba dikaji yang disinyalir menjadi hal yang memicu
terjadinya ketimpangan adalah ketersediaan infrastruktur yang ada di setiap
Kabupaten/kota. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki tingkat
ketersediaan infrastruktur yang lebih baik memiliki tingkat perkembangan aktivitas
perekonomian dan aktivitas sosial lainnya yang lebih baik. Keberadaan
infrastruktur disini merupakan hal yang mutlak diperlukan dan kekurangan
infrastruktur ini akan menghambat ekonomi nasional untuk berkembang. Hasil ini
juga sekaligus membuktikan hipotesis kedua yang dirumuskan pada penelitian ini,
yaitu terdapat perbedaan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana terkait fasilitas
pendidikan dan kesehatan serta aksesibilitas setiap kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Penyebaran aktivitas ekonomi yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan masih
kurang optimal. Oleh karena itu dibutuhkan interaksi spasial yang optimal,
sehingga keterkaitan antar wilayah dapat berlangsung secara dinamis dan
ketimpangan yang terjadi dapat diminimalisir. Interaksi spasial dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan metode interaksi spasial dengan kendala ganda
dengan melihat pengaruh jarak terhadap kendala-kendala keberimbangan
109
infarstruktur yang ada di setiap kabupaten/kota yang terkait sektor dasar yang
dibutuhkan dalam pembangunan, sektor pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.
Dari hasil analisis ini diperoleh bahwa kota-kota yang memiliki ketersediaan
infrastruktur yang lebih baik seperti Kota Makassar dan Kota Pare-Pare cenderung
lebih mandiri dibanding Kabupaten yang lainnya. Kota besar inipun cenderung
menjadi kota yang memberikan sumbangan ketimpangan yang besar untuk Provinsi
Sulawesi Selatan yang jika diamati lebih lanjut dengan mengeluarkan kota-kota
besar ini membuat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan cenderung mengalami
perbaikan. Khusus untuk daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi
yang kecil serta penyebaran aktivitas yang belum merata terutama daerah-daerah di
sebelah selatan Kota Makassar perlu adanya peningkatan daya dorong sehingga
interaksi yang terjadi bisa lebih dinamis. Sedangkan untuk daerah-daerah di utara
Provinsi Sulawesi Selatan, peningkatan daya tarik merupakan salah satu upaya
yang dapat ditempuh dalam menciptakan sinergitas pembangunan Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga tercipta keterkaitan antar wilayah (interaksi spasial)
yang saling memperkuat.
Berdasarkan upaya di atas, secara sederhana dapat dirumuskan alternatif
upaya-upaya dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar Kabupaten/kota,
antara lain: (1) Mendorong bentuk-bentuk pertumbuhan ekonomi yang lebih
berkualitas dalam menciptakan keberimbangan struktur ekonomi Kabupaten/kota
dan keberimbangan antar Kabupaten/kota; (2) Meningkatkan pembangunan
infrastruktur untuk daerah-daerah yang tertinggal, dan (3) Meningkatkan interaksi
untuk daerah-daerah yang membutuhkan optimalisasi peningkatan daya dorong dan
daya tarik sehingga ketimpangan dapat diminimalisir.