v. hasil dan pembahasan 5.1 determinasi...
TRANSCRIPT
38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Determinasi Tanaman
Hasil identifikasi yang dilakukan di Herbarium Jatinangor Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA UNPAD menunjukkan bahwa
tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan tanaman kemangi (Ocimum
sanctum L.). Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 2.
5.2 Pengujian Parameter Non Spesifik (Kadar air) Ekstrak Daun Kemangi
Kadar air merupakan pengukuran kandungan air yang berada dalam suatu
bahan (Irsyad, 2013). Pengukuran kadar air bertujuan untuk menetapkan residu air
setelah proses pengentalan (Khoirani, 2013). Selain itu, pengukuran kadar air pada
ekstrak sangat diperlukan karena tingginya kadar air dapat mengakibatkan
tumbuhnya jamur serta menjaga kualitas ekstrak. Pengujian kadar air ekstrak daun
kemangi dilakukan menggunakan metode gravimetri.
Berdasarkan hasil perhitungan persentase kadar air ekstrak daun kemangi,
menunjukkan bahwa ekstrak daun kemangi yang dihasilkan memenuhi standar
kadar air untuk ekstrak kental yang telah ditetapkan (5% - 30%) yaitu sebesar
26,55% (Voight, 2004). Perhitungan kadar air ektrak daun kemangi dapat dilihat
pada Lampiran 2.
39
5.3 Penentuan Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi
Penentuan aktivitas ekstrak daun kemangi dengan pelarut etanol 70%
menunjukkan adanya aktivitas dengan terbentuknya zona hambat terhadap E. coli
dan A. niger. Antimikroba merupakan bahan yang dapat digunakan untuk
menghambat atau membunuh berbagai mikroba tertentu yang dapat merugikan
manusia. Pengujian antimikroba dapat dilihat dari zona bening yang terbentuk
disekitar kertas cakram yang telah diberi berbagai konsentrasi ekstrak daun
kemangi yakni 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%. Hasil pengukuran zona bening atau
hambat terhadap E. coli dan A. niger dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13.
Gambar 12. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi terhadap E. coli
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 12, menunjukkan bahwa
ekstrak daun kemangi dapat menghambat pertumbuhan E. coli. Aktivitas ekstrak
daun kemangi mulai dapat dilihat pada konsentrasi 25% yakni sebesar 19,08 mm.
Pada konsentrasi 50% menunjukkan daya hambat sebesar 21,01 mm. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi lagi yakni 75% sebesar 21,69 mm. Berdasarkan grafik
0
5
10
15
20
25
30
35
0 25 50 75 100
Dia
met
er Z
ona
Ham
bat
(mm
)
Konsentrasi (%)
40
diatas, dapat dilihat bahwa zona hambat yang dihasilkan konsentrasi 25%, 50%,
dan 75% menunjukkan diameter yang tidak jauh berbeda. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak daun kemangi yang digunakan maka semakin tinggi pula zona
hambat yang dihasilkan yakni mencapai 30,98 mm pada konsentrasi 100%. Pada
kertas cakram yang tidak diberi ekstrak daun kemangi atau konsentrasi 0% tidak
menunjukkan adanya aktivitas terhadap E. coli, hal ini diketahui dengan tidak
adanya zona hambat yang terlihat disekeliling kertas cakram. Berdasarkan Davis
& Stout (1971), zona hambat yang dihasilkan pada konsentrasi 100%, 75%, dan
50% memiliki daya hambat sangat kuat karena memiliki diameter zona hambat >20
mm. Sedangkan daya hambat pada konsentrasi 25% memiliki daya hambat kuat
karena memiliki diameter zona hambat 11-20 mm dan pada konsentrasi 0% tidak
memiliki daya hambat.
Gambar 13. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Kemangi terhadap A.
niger
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 13, menunjukkan adanya
aktivitas antimikroba yang ditunjukkan oleh berbagai konsentrasi ekstrak daun
0
1
2
3
4
5
6
7
0 25 50 75 100
Dia
met
er Z
ona
Ham
bat
(mm
)
Konsentrasi (%)
41
kemangi terhadap A. niger. Pada konsentrasi 0% atau tidak diberi ekstrak daun
kemangi tidak menunjukkan adanya aktivitas antimikroba yang dapat dilihat
dengan tidak adanya zona bening yang terbentuk disekitar kertas cakram. Namun
zona hambat mulai dapat terlihat dari konsentrasi 25%, 50%, 75%, dan 100%
berturut-turut yakni sebesar 1,14 mm, 3,59 mm, 4,31 mm, dan 5,96 mm. Daya
hambat yang dihasilkan pada konsentrasi 100% adalah sedang karena memiliki
diameter zona hambat 6-10 mm, sedangkan daya hambat yang dihasilkan pada
konsentrasi 75%, 50%, dan 25% adalah lemah karena memiliki diameter zona
hambat < 5 mm dan pada konsentrasi 0% tidak memiliki daya hambat terhadap A.
niger (Davis & Stout, 1971).
Berdasarkan kedua grafik diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan maka semakin besar pula diameter zona hambat
terhadap E. coli dan A. niger yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh
semakin tingginya senyawa bioaktif maka umumnya dapat bersifat bakterisida atau
dapat mematikan mikroba, sedangkan kadar senyawa bioaktif yang lebih rendah
umumnya hanya bersifat bakteriostatik atau menghambat pertumbuhannya saja dan
tidak mematikan mikroba (Kamal et al., 2012).
Aktivitas antimikroba yang menghambat pertumbuhan E. coli dan A. niger
oleh ekstrak daun kemangi dapat disebabkan oleh adanya pengaruh senyawa aktif
yang terdapat dalam ekstrak. Pengujian senyawa fitokimia terhadap ekstrak etanol
daun kemangi (O. sanctum) menunjukkan hasil positif mengandung senyawa
tannin, flavonoid, dan minyak atsiri (Angelina dkk., 2015). Selain itu, faktor pelarut
yang digunakan juga dapat mempengaruhi senyawa atau metabolit sekunder yang
42
dihasilkan seperti untuk golongan steroid dapat larut dalam pelarut non polar dan
untuk golongan tannin dan flavonoid dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol
dan golongan alkaloid merupakan senyawa yang tidak dapat larut dalam air
(Harbone, 1987). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Savita
(2008), menunjukkan bahwa terdapat senyawa flavonoid dalam ekstrak O. Sanctum
yang dapat berperan sebagai antibakteri khususnya pada bakteri Klebsialla
pneumonia. Selain itu, beberapa senyawa yang diduga dapat menghambat
pertumbuhan berbagai mikroba pada daun kemangi yakni tetrametil-okta 5,7 dien-
3-on, 2,6 oktadiena 1,8 diol, ekso metil kamfenilol, kamfol, fitol, linalool oksida,
cis geraniol dan cis karveol (Sholikhah dkk., 2016).
Mekanisme tannin sebagai antimikroba adalah melalui reaksi dengan
membran sel, inaktivasi enzim, dan inaktivasi fungsi materi genetik (Rijayanti,
2014). Kemudian mekanisme flavonoid sebagai antimikroba adalah dengan
menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel, dan
menghambat 42egative42m energi (Hendra et al., 2011). Minyak atsiri yang
terdapat dalam daun kemangi memiliki kandungan utama linalool yang juga
termasuk kedalam golongan turunan senyawa fenol. Mekanisme kerja fenol sebagai
antimikroba yaitu dengan cara denaturasi protein (Rijayanti, 2014).
Rendahnya diameter zona hambat yang dihasilkan ekstrak daun kemangi
terhadap A. Niger dapat disebabkan karena kurang efektifnya kerja senyawa
bioaktif yang mampu membunuh A. Niger sehingga ekstrak daun kemangi hanya
bersifat menghambat dengan daya hambat yang rendah. Selain itu, aktivitas
antijamur juga dapat dipengaruhi oleh variasi konsentrasi dari minyak atsiri yang
43
terdapat didalam daun kemangi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Martiningsih dan Suryanti (2017), menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
minyak atsiri maka kecenderungan zona hambat yang dihasilkan semakin tinggi
terhadap isolat jamur. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bansod
dan Rai (2008), yang menyatakan bahwa dari 15 jenis tanaman yang digunakan
sebagai antijamur terhadap A. Niger, daun kemangi (O. Sanctum) memiliki zona
hambat yang paling rendah yakni pada konsentrasi 100 µg sebesar 12 + 0,5 mm dan
pada konsentrasi 15 µg sebesar 8 + 0,5 mm. Selain itu, pada penelitian yang
dilakukan oleh Sabrina dkk (2014), menunjukkan tidak adanya aktivitas antikapang
yang ditunjukkan oleh perasan daun kemangi (O. sanctum L.) terhadap Aspergillus
terreus yang diduga disebabkan oleh aktivitas aksesori konidia dalam menginfeksi
jaringan dan morfologi dari A. terreus yang kuat dalam menyebabkan penyakit.
5.4 Pengujian Kualitas pada Mi Basah
Pengujian yang dilakukan pada kualitas mi basah menggunakan tiga jenis
mi basah yaitu mi basah tanpa perlakuan (kontrol 43egative), mi basah yang
ditambah formalin 0,05% (kontrol positif), dan mi basah yang ditambah ekstrak
daun kemangi konsentrasi 100%. Penggunaan ekstrak daun kemangi dengan
konsentrasi 100% karena pada konsentrasi ini aktivitas ekstrak daun kemangi dalam
menghambat mikroba terutama E. coli sangat tinggi. E. coli adalah salah satu
bakteri gram 43egative yang sangat rentan atau mudah tumbuh diberbagai produk
makanan yang dapat berasal dari air yang digunakan. Menurut Ganiswara (2005),
44
mi basah atau produk pangan lain tidak boleh mengandung bakteri 44egative karena
akan sangat berbahaya bagi tubuh.
5.1 Uji Mikrobiologi
Pada pengujian mikrobiologi kualitas mi basah menunjukkan adanya
penghambatan terhadap pertumbuhan mikroba dan kapang yang terjadi pada mi
basah. Hasil uji mikrobiologi dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Gambar 14. Total Mikroorganisme pada Mi Basah Berbagai Perlakuan
Berdasarkan Gambar 14, menunjukkan adanya peningkatan jumlah mikroba
baik pada mi basah kontrol, mi basah formalin, maupun mi basah yang diberi
ekstrak daun kemangi setiap hari selama penyimpanan. Pada hari ke-0 dapat dilihat
bahwa sudah ada pertumbuhan mikroba pada ketiga jenis mi basah namun, mi basah
formalin menunjukkan aktivitas antimikroba yang paling baik ditunjukkan dengan
paling rendahnya jumlah mikroba yang mulai tumbuh dibandingkan dengan 2
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Jum
lah T
PC
(C
FU
/g)
Pengamatan (hari)
Kontrol Formalin Ekstrak
1,3x109
1,1x109
9x108
7x108
5x108
3x108
1x108
-1x108
1,5x109
1,9x109
45
sampel lainnya yaitu jumlah TPC sebesar 1x106 CFU/g lalu diikuti sampel mi basah
ekstrak daun kemangi yaitu jumlah TPC sebesar 5,8x106 CFU/g dan mi basah
kontrol dengan pertumbuhan yang paling tinggi yakni jumlah TPC sebesar 9,6x106
CFU/g. Menurut Hariyanti (2006) dikutip Satyajaya (2008), jumlah mikroba dalam
mi basah yang sering dijumpai lebih dari 1x107 CFU/g atau melebihi ambang batas
jumlah mikroba dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) mi basah yakni jumlah
TPC sebesar 1x106 CFU/g.
Pada hari ke-1 pertumbuhan mikroba pada mi basah kontrol semakin tinggi
melebihi mi basah formalin dan mi basah ekstrak dengan rentang yang juga cukup
tinggi. Pertumbuhan mikroba pada ketiga jenis sampe mi basah yang digunakan
relatif sama pada hari ke-0 hingga hari ke-2 namun, pada hari ke-2 aktivitas
antimikroba yang ditunjukkan pada mi basah formalin mulai menurun dan jumlah
mikroba yang tumbuh tidak berbeda jauh dengan pertumbuhan mikroba pada mi
basah ekstrak daun kemangi berturut-turut yakni jumlah TPC sebesar 1,87x108
CFU/g dan 1,88x108 CFU/g.
Pada hari ke-3 dan hari ke-4 aktivitas antimikroba pada mi basah ekstrak
menunjukkan hasil yang paling baik ditunjukkan dari pertumbuhan mikroba yang
paling rendah yakni jumlah TPC sebesar 3,8x108 CFU/g pada hari ke-3 dan jumlah
TPC sebesar 4,5x108 CFU/g pada hari ke-4. Sedangkan mi basah formalin
menunjukkan pertumbuhan yang jauh meningkat mulai hari ke-3 yakni jumlah TPC
sebesar 8,3x108 CFU/g dan hari ke-4 jumlah TPC sebesar 1,3x109 CFU/g. Sampel
terakhir adalah mi basah kontrol yang menunjukkan peningkatan pertumbuhan
46
mikroba yang paling tinggi sejak hari ke-0 sampai hari ke-4 dibanding dengan
sampel mi basah formalin dan mi basah ekstrak daun kemangi.
Pada pengamatan hari ke-0 mi basah yang ditambah ekstrak daun kemangi
konsentrasi 100% sudah menunjukkan jumlah total mikroba yang melebihi standar
(1x106 CFU/g), namun mi basah ekstrak daun kemangi konsentrasi 100% masih
memiliki ciri fisik seperti warna dan aroma yang dapat diterima.
Gambar 15. Total Kapang pada Mi Basah dengan Berbagai Perlakuan
Berdasarkan Gambar 15, menunjukkan pertumbuhan kapang pada mi basah
kontrol, mi basah formalin, dan mi basah ekstrak daun kemangi. Pada hari ke-0
tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang pada sampel mi basah formalin,
sedangkan pada mi basah kontrol total kapang yang tumbuh sebesar 9x105 CFU/g
dan pada mi basah ekstrak daun kemangi jumlah kapang sebanyak 4x106 CFU/g.
Pada hari ke-1 sampel mi basah formalin sudah mulai ditumbuhi oleh kapang
sebanyak 1,2x106 CFU/g begitu pula pada sampel mi basah kontrol dan mi basah
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Jum
lah T
PC
(C
FU
/g)
Pengamatan (hari)
Kontrol Formalin Ekstrak
5,8x109
4,8x109
3,8x109
2,8x109
1,8x109
8x108
-2x108
47
ekstrak daun kemangi. Pada hari ke-3 pertumbuhan kapang mi basah kontrol jauh
meningkat sebesar 1,3x109 CFU/g sedangkan peningkatan mi basah formalin dan
mi basah ekstrak relatif stabil. Pada hari ke-4 terlihat perbandingan aktivitas
pertumbuhan kapang yang cukup signifikan yakni mi basah kontrol menunjukkan
pertumbuhan yang paling tinggi yakni jumlah kapang sebesar 5,3x109 CFU/g
diikuti oleh sampel mi basah ekstrak daun kemangi yang juga menunjukkan
pertumbuhan relatif tinggi mencapai jumlah kapang 3,8x109 CFU/g dan pada mi
basah formalin tetap dapat mempertahankan aktivitasnya dalam menghambat
pertumbuhan kapang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan kapang pada grafik yang
jauh lebih rendah yakni sebesar 8,3x107 CFU/g.
Berdasarkan Gambar 15, pada pengamatan hari ke-1 jumlah total kapang
mi basah kontrol sudah cukup tinggi yakni mencapai jumlah kapang 9,2x107 CFU/g
dan pada pengamatan secara visual sudah terlihat tumbuhnya kapang pada beberapa
bagian mi basah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Male et al.
(2017), yang menyatakan bahwa mi basah kontrol atau yang tidak diberikan
perlakuan apapun setelah disimpan selama satu hari sudah terjadi perubahan berupa
aroma berbau dan mulai berjamur. Beberapa tanda-tanda kerusakan pada mi basah
matang selain munculnya aroma asam juga teksturnya berubah menjadi lengket,
berlendir, lembek, dan mudah menjadi hancur. Ciri sudah terjadinya kerusakan
seperti bau asam pada mi basah matang mulai dapat terdeteksi secara subyektif jika
jumlah total mikroba sudah berkisar 107 – 108 CFU/g (Putra,2007).
Mi basah memiliki kadar air yang relatif tinggi sehingga jika tidak diberikan
perlakuan apapun akan memiliki umur simpan yang singkat yakni hanya mencapai
48
10 – 12 jam saja pada suhu kamar atau + 25oC (Astawan, 2006). Berdasarkan pada
Gambar 14 dan Gambar 15, menunjukkan bahwa formalin dan ekstrak daun
kemangi dapat menghambat pertumbuhan mikroba baik bakteri maupun kapang.
Berdasarkan pengamatan subyektif, aroma asam mulai tercium sejak hari ke-1
untuk mi basah kontrol, hari ke-3 untuk mi basah formalin dan untuk mi basah
ekstrak daun kemangi belum tidak tercium sampai hari terakhir pengamatan.
Formalin memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan pangan karena
memiliki gugus aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein membentuk
senyawa metilen (-NCHOH). Sehingga ketika bahan pangan berprotein diberi
formalin maka gugus aldehida dari formaldehid akan mengikat unsur protein.
Protein yang terikat tersebut tidak dapat digunakan oleh bakteri pembusuk sehingga
bahan pangan menjadi lebih awet (Go et al., 2008). Formalin sangat berbahaya
apabila terkonsumsi karena dalam tubuh manusia formaldehid dikonversi menjadi
asam format yang dapat meningkatkan keasaman darah, tarikan napas menjadi
pendek dan sering, hipotermia, merusak berbagai organ tubuh seperti hati, jantung,
limpa, pancreas, ginjal, dan susunan saraf pusat (Tarigan, 2004).
Mi basah yang telah diberi ekstrak daun kemangi relatif menunjukkan
pertumbuhan mikroba yang paling rendah dibanding mi basah kontrol dan mi basah
formalin pada Gambar 14. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Khalil (2013), yang menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi memiliki
aktivitas antibakteri pada beberapa bakteri seperti E.coli dengan zona hambat
sebesar 21 mm pada konsentrasi 200 mg/mL. Maryati (2007), juga menyebutkan
bahwa minyak atsiri yang terdapat dalam daun kemangi memiliki aktivitas
49
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan
konsentrasi bunuh minimal 0,5% dan 0,25% v/v. Selain itu, kemangi juga
mengandung minyak atsiri, flavonoid, dan betakaroten yang mampu menghambat
serta mencegah pertumbuhan bakteri, virus, dan jamur sehingga tidak dapat
langsung menyerang serta merusak mi basah (Zahrah, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian total mikroba yang dilakukan oleh Suryadi
(2014), terhadap mi basah di bawah mikroskop menunjukkan bahwa dari tiga
sampel uji mi basah yang digunakan terdapat banyak bakteri gram negatif dan untuk
bakteri positif terdapat pada satu sampel mi basah dengan pengenceran 105. Mi
basah atau produk pangan lainnya seharusnya tidak boleh mengandung bakteri
gram negatif karena akan sangat berbahaya bagi tubuh dan dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit (Ganiswara, 2000).
Kerusakan pada mi basah lebih didominasi oleh bakteri dibandingkan
kapang yang disebabkan oleh tingginya nilai aw pada mi basah matang yaitu sekitar
0,917 – 0,967. Bakteri umumnya dapat tumbuh pada kisaran aw 0,88 – 0,91, kapang
pada aw 0,80, dan khamir pada aw 0,88 (Farkas, 2001). Jumlah dari total mikroba
mi basah yang sudah matang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
bahan baku baku yang digunakan berupa terigu, kondisi penyimpanan, kadar air
yang tinggi, kebersihan selama proses pengolahan, distribusi, dan adanya
kontaminasi dari lingkungan. Pengolahan perlu dikelola sedemikian rupa agar
keberadaan mikroba dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan dari pangan
(Rahayu, 2007). Jenis bakteri yang mungkin terdapat dalam tepung adalah
Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus dan beberapa spesies
50
Achromobacterium. Sedangkan jenis kapang yang mungkin ditimbulkan dari
tepung antara lain berasal dari kelompok Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium,
dan Penicillium (Christensen, 1974). Sedangkan beberapa jenis mikroorganisme
yang berasal dari air antara lain khamir, spora Bacillus, spora Clostridium, dan
bakteri autotrof (Alcamo, 1983).
Umumnya mikroba dalam produk pangan tidak selalu merugikan atau
membahayakan. Meskipun demikian, adanya mikroba dalam produk pangan
haruslah dihadapi dengan waspada dan hati-hati sehingga perlu disadari arti dari
pentingnya penanganan produk selanjutnya (Soekarto, 1990). Selain kandungan
protein, mi basah juga mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yakni mencapai
14 g/ 100g mi basah. Karbohidrat yang terkandung dapat dijadikan sebagai gizi oleh
mikroba dengan cara melakukan polimerasi beberapa monosakarida untuk
menghasilkan karbohidrat kompleks seperti dekstran, material kapsular, dan
dinding sel khususnya membran luar dan tengah bakteri gram negatif (Ray, 2004).
Hal ini dapat menyebabkan permasalahan dalam tubuh yang disebabkan oleh
pembentukan protein kompleks dan kerusakan pada pangan seperti terbentuknya
lendir (Sopandi dan Wardah, 2014).
Metode perhitungan cawan merupakan metode yang paling efektif untuk
menentukan jumlah jasad renik karena hanya sel yang masih hidup saja yang
terhitung baik bakteri, kapang, maupun khamir dapat sekaligus dihitung, hasilnya
dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi jasad renik karena koloni yang
terbentuk bias berasal dari suatu jasad renik yang memiliki kenampakan yang
spesifik (Sedjati, 2006).
51
Total Coliform
Gambar 16. Nilai Jumlah Total Coliform Pada Berbagai Perlakuan
Keterangan :
* : < 3,6 APM/g
** : > 1100 APM/g
Gambar 17. Hasil Positif pada Uji Penduga Coliform
Penelitian ini meliputi dua tahapan yakni uji pendugaan menggunakan
Lactosa Broth (LB) dan uji konfirmasi menggunakan Eosin Methylene Blue
(EMB). Media LB digunakan untuk mendeteksi adanya Coliform dalam mi basah
uji. Jika pada sampel terbentuk gas maka hal ini menandakan bahwa proses
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Jum
lah
Co
lifo
rm (A
PM
/g)
Pengamatan (hari)Kontrol Formalin Ekstrak
1100
250
50
40
30
20
10
0 ** * ** **
52
fermentasi Coliform telah terjadi. Selanjutnya dilakukan uji konfirmasi dengan
inokulasi kedalam media Eosin Methylene Blue (EMB). Menurut Alang (2015),
media EMB merupakan media selektif untuk menumbuhkan E. coli yang
mengandung laktosa yang apabila dalam biakan terdapat E. coli maka asam yang
dihasilkan dari fermentasi akan berwarna hijau dengan kilap logam sedangkan
Coliform non fecal lain akan berwarna cokelat yang menunjukkan adanya
Enterobacter aerogenes atau koloni lain yang tidak berwarna.
Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 16, menunjukkan bahwa nilai
coliform pada mi basah kontrol atau tanpa perlakuan apapun hari ke-0 adalah
sebesar 6,1 APM/g dan terus meningkat setiap harinya yakni 17,5 APM/g pada hari
ke-1, 31,5 APM/g pada hari ke-2, 250 APM/g pada hari ke-3, dan 1100 APM/g
pada hari ke-4. Sedangkan untuk mi basah yang diberi formalin pada Gambar 16,
menunjukkan nilai coliform sebesar <3,6 APM/g pada hari ke-0, 16 APM/g pada
hari ke-1, 32 APM/g pada hari ke-2, dan >1100 APM/g pada hari ke-3 dan hari ke-
4. Terakhir adalah sampel mi basah yang telah diberi ekstrak daun kemangi
konsentrasi 100% pada Gambar 16, memiliki nilai coliform sebesar <3,6 APM/g
pada hari ke-0 dan hari ke-1, 3,6 APM/g pada hari ke-2, 6,4 APM/g pada hari ke-3
dan 15,1 APM/g pada hari ke-4.
Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (SNI 01-2987-2015) tentang mi
basah, nilai coliform mi basah tanpa perlakuan atau kontrol masih memenuhi
standar yakni dibawah 10 APM/g, namun mulai hari ke-1 nilai coliform sudah
melebihi standar sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Begitu pula pada mi
basah yang telah diberi formalin menunjukkan bahwa pada hari ke-0 nilai coliform
53
masih jauh dibawah standar namun pada hari ke-1 nilai coliform sudah melebihi 10
APM/g. Sedangkan pada mi basah yang telah diberi ekstrak daun kemangi
menunjukkan hasil yang jauh berbeda dengan mi basah kontrol dan mi basah
formalin yakni sejak hari ke-0 sampai hari ke-3 masih memenuhi standar yaitu
dibawah 10 APM/g dan pada hari ke-4 nilai coliform adalah sebesar 15,1 APM/g
sehingga berdasarkan pernyataan tersebut, untuk mi basah ekstrak daun kemangi
masih layak dikonsumsi hingga hari ke-3. Data tersebut ditunjukkan dari hasil
pengamatan swab pada media EMB yang berubah warna menjadi hijau metalik
mulai sejak hari ke-0 pada mi basah kontrol, hari ke-1 pada mi basah dengan
formalin, dan hari ke-2 pada mi basah yang telah diberi ekstrak daun kemangi
konsentrasi 100% seperti pada Gambar 17. Hal ini sesuai dengan Gambar 12, yang
menunjukkan bahwa ekstrak daun kemangi memiliki aktivitas antimikroba yang
sangat tinggi terhadap E.coli pada konsentrasi 100% yakni mencapai 30,98 mm
pada pengujian antimikroba menggunakan metode difusi agar.
Selama pengolahan mi basah juga mengalami pemanasan yang juga dapat
meminimalisir tumbuhnya E. coli. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Fadhilah dan Margawati (2016), yang menyebutkan bahwa E. coli memiliki
daya tahan yang cukup lama bahkan hitungan bulan pada tanah dan dalam air
namun dapat mati dengan pemanasan pada suhu 60oC atau lebih dan menghasilkan
total E. coli pada sampel uji berupa ketupat tanjung yang berada dibawah batas
acuan walaupun proses produksinya menggunakan air dengan kandungan E. coli
diatas batas amannya.
54
5.2 Uji Mutu Kimia
Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan selama 5 hari yang diamati setiap hari
menggunakan metode gravimetri pada mi basah kontrol, mi basah formalin, dan
mi basah ekstrak daun kemangi. Grafik pengamatan kadar air mi basah dapat dilihat
pada Gambar 18.
Gambar 18. Grafik Kadar Air Mi basah pada Berbagai Perlakuan
Berdasarkan Gambar 18, menunjukkan bahwa pada mi basah kontrol
terjadi kenaikan kadar air setiap harinya. Pada hari ke-0 kadar air dari mi basah
kontrol sebesar 51,44%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pahrudin (2006), yang menyatakan bahwa mi basah yang tidak diberikan perlakuan
apapun sudah memiliki kadar air yang cukup tinggi yakni 50% - 52%. Kenaikan
tertinggi pada mi basah kontrol terjadi pada hari ke-2 penyimpanan yakni mencapai
4,75% menjadi 56,51% dan kemudian terus meningkat sampai hari terakhir
pengamatan namun tidak begitu drastis.
0
10
20
30
40
50
60
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Kad
ar A
ir (
%)
Pengamatan (hari)
Kontrol Ekstrak Formalin
55
Daun kemangi memiliki kandungan serat sebanyak 2 g/ 100 g (Siemonsma
dan Piluek, 1994). Pada mi basah yang telah diberi ekstrak daun kemangi
menunjukkan kadar air lebih tinggi dibandingkan mi basah kontrol yakni sebesar
54,76% pada hari ke-0. Hal ini dapat terjadi karena kandungan serat yang terdapat
dalam daun kemangi. Kosasih (2017), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
semakin banyak penambahan bubur daun mulberry, semakin tinggi kadar serat,
semakin banyak air yang terikat, dan semakin tinggi kadar yang terukur karena serat
memiliki kemampuan untuk mengikat air secara cepat dalam jumlah yang banyak.
Kenaikan tertinggi kadar air terjadi pada hari ke-1 yakni mencapai 3,13% menjadi
57,89% dan terus meningkat sampai hari terakhir namun tidak menunjukkan
peningkatan yang drastis.
Berdasarkan Gambar 18, menunjukkan bahwa mi basah formalin memiliki
kadar air yang paling tinggi pada hari ke-0 yakni mencapai 58, 41%. Hal ini
dikarenakan selama penambahan formalin didalam adonan mi basah terjadi
penyerapan formalin seiring turunnya protein yang juga menunjukkan terjadinya
reaksi antara protein (asam amino) dengan formaldehid membentuk senyawa
metilen sehingga mempengaruhi kadar air pada mi basah. Menurut Purawisastra
dan Sahara (2011), semakin lama waktu perendaman mi basah dalam formalin
maka semakin tinggi pula penyerapan mi basah terhadap formalin sehingga dapat
meningkatkan kadar air dalam mi basah.
Menurut Yulizar dkk (2014), penggunaan formalin dalam mi basah serupa
dengan penggunaan natrium karbonat dimana dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastistitas, fleksibilitas, dan
56
menghaluskan tekstur mi basah. Selain itu, fungsi lain dari natrium karbonat juga
dapat mengikat air sehingga menimbulkan reaksi yang membentuk CO2 dan
terbentuk rongga antar ruang granula pati. Hal ini lah yang menyebabkan kadar air
pada mi basah yang diberi formalin paling tinggi karena pada saat dilakukan
perebusan terjadi penyerapan air yang lebih banyak kedalam mi basah.
Berdasarkan penelitian Johnrencius dkk (2017), mengatakan bahwa
peningkatan kadar air pada produk pangan berbanding lurus pada peningkatan
jumlah mikroba yang terdapat pada produk kukis. Kemasan memiliki peranan yang
cukup penting untuk menjaga kualitas dari produk pangan, antara lain untuk
membantu mencegah atau mengurangi kerusakan atau cemaran dan gangguan fisik
(Qanytah dan Ambarsari, 2010). Selain itu, dengan adanya kemasan diharapkan
dapat mengurangi kerusakan dari produk pangan dengan mencegah masuknya
udara sehingga jumlah kadar air tidak bertambah saat dilakukan penyimpanan pada
suhu kamar (Johnrencius dkk, 2017).
Pada penelitian ini sampel disimpan di dalam wadah yang ditutupi oleh
plastik wrap. Plastik wrap memiliki nilai permeabilitas yang rendah sehingga cocok
digunakan untuk membungkus komoditas pertanian yang peka terhadap oksigen
(Averoes et al., 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut, seharusnya mi basah yang
diamati tidak mengalami kenaikan kadar air yang signifikan. Kemungkinan
kenaikan kadar air pada sampel bisa terjadi karena pengamatan yang dilakukan
setiap hari pada sampel dengan wadah yang sama sehingga plastik wrap yang
digunakan sebagai penutup berulang-ulang dibuka dan menyebabkan masuknya air
yang ada pada lingkungan kedalam sampel mi basah.
57
- Kuat
5.3 Uji Organoleptik
Penilaian organoleptik atau penilaian sensori adalah suatu cara penilaian
menggunakan indra dan dinilai secara objektif. Penilaian organoleptik banyak
digunakan untuk menilai mutu dalam produk pangan dan dapat memberikan
penilaian yang teliti sesuai dengan penerimaan konsumen (Wahyuningtias, 2010).
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui penilaian aroma, warna, dan tekstur dari
mi basah kontrol, mi basah formalin, dan mi basah ekstrak daun kemangi
menggunakan uji mutu hedonik.
Aroma
Aroma merupakan salah satu parameter penting untuk konsumen dalam
memiliki produk pangan. Menurut Winarno (2004), banyak hal dalam kelezatan
pada makanan dapat ditentukan oleh aroma atau bau dari makanan tersebut. Hasil
pengujian aroma pada mi basah kontrol, mi basah formalin, dan mi basah ekstrak
daun kemangi dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Tingkat Kesukaan Aroma Mi Basah Berbagai Perlakuan
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Pengamatan (hari)
Kontrol Formalin Ekstrak
Amat
sangat kuat
Sangat
tidak kuat
- Kuat
58
Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 19, menunjukkan nilai
tertinggi adalah sebesar 3,40 atau dikategorikan kedalam aroma yang kuat pada mi
basah kontrol dan terendah adalah sebesar 2,40 atau dikategorikan kedalam aroma
yang sangat kuat pada mi basah formalin. Pada parameter aroma menggunakan
skala pengujian 1 sampai 5 dimana nilai 1 menandakan bahwa aroma amat sangat
kuat dan nilai 5 adalah aroma sangat tidak kuat.
Pada hari ke-0 penyimpanan menunjukkan bahwa mi basah kontrol
memiliki rata-rata nilai mutu yang terendah dibandingkan dengan sampel mi basah
lainnya yakni 3,40 (kuat) kemudian diikuti dengan mi basah formalin dengan rata-
rata nilai mutu sebesar 3,20 (kuat) dan mi basah ekstrak daun kemangi memiliki
rata-rata nilai mutu hedonik terbaik yakni sebesar 3,07 (kuat). Pada pengamatan
hari ke-0 nilai rata-rata yang didapatkan tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan yaitu seluruhnya ada pada kisaran nilai mutu 3 yang menunjukkan bahwa
semua sampel memiliki aroma yang kuat. Berdasarkan penilaian mutu hedonik
aroma oleh panelis, nilai rata-rata mi basah kontrol lebih tinggi atau agak kuat
karena sampel tersebut kurang mengeluarkan aroma atau tidak tercium pada
sebagian panelis. Sedangkan pada mi basah formalin aromanya lebih dapat tercium
walaupun tidak berbeda jauh dengan mi basah kontrol dan pada mi basah ekstrak
daun kemangi aromanya paling tercium karena aroma khas dari ekstrak yang
menyengat.
Pada hari ke-1 penyimpanan menunjukkan bahwa pada mi basah kontrol
dan mi basah formalin menghasilkan nilai yang tidak jauh berbeda dari hari ke-0
namun mengalami penurunan yaitu pada mi basah kontrol memiliki rata-rata nilai
59
mutu tertinggi yakni sebesar 3,33 yang dikategorikan kedalam aroma yang kuat dan
pada mi basah formalin sebesar 3,13 yang juga dapat dikategorikan kedalam aroma
yang kuat. Sedangkan pada mi basah ekstrak daun kemangi tetap memiliki rata-rata
nilai mutu terbaik yakni sebesar 2,80 yang dikategorikan kedalam aroma yang
sangat kuat. Berdasarkan rata-rata nilai mutu dari ketiga sampel menunjukkan
bahwa aroma dari ketiganya semakin kuat dan semakin tercium oleh panelis. Pada
mi basah kontrol aroma yang muncul masih kurang tercium namun lebih kuat dari
sebelumnya dan terdapat panelis yang sudah mencium aroma asam dari sampel.
Kemudian untuk mi basah formalin aroma yang tercium adalah aroma khas terigu
dan mi basah ekstrak daun kemangi adalah kuat atau menyengat dimana panelis
sudah dapat mengenali adanya aroma khas herba.
Pada hari ke-2 mi basah kontrol sudah tidak lagi diamati karena sudah
menunjukkan ciri-ciri fisik mi basah yang tidak layak untuk dikonsumsi berupa hifa
pada beberapa bagian mi basah. Pada mi basah formalin menunjukkan nilai rata-
rata mutu sebesar 3,07 yang dikategorikan kedalam aroma yang kuat dan mi basah
ekstrak daun kemangi memiliki nilai rata-rata mutu aroma sebesar 2,60 yang dapat
dikategorikan kedalam aroma yang sangat kuat. Berdasarkan Gambar 18,
menunjukkan bahwa pada hari ke-2 aroma kedua sampel menimbulkan aroma yang
semakin kuat. Pengamatan panelis terhadap sampel mi basah formalin
menunjukkan aroma yang sedikit lebih kuat dari hari sebelumnya dan beberapa
panelis menyatakan bahwa sudah mulai tercium aroma asam dari sampel.
Sedangkan pada sampel uji mi basah ekstrak daun kemangi, panelis menyebutkan
bahwa sampel menunjukkan aroma khas dedaunan yang lebih menyengat.
60
Pada hari ke-3 penyimpanan terjadi perubahan rata-rata nilai pada mi basah
daun ekstrak menjadi meningkat yakni menjadi 2,80 yang menandakan aroma yang
tercium mulai berkurang tidak sekuat pada hari ke-2. Sedangkan pada mi basah
formalin menunjukkan nilai yang menurun drastis yakni sebesar 2,40 yang
menunjukkan aroma yang ditimbulkan semakin kuat. Pada pengamatan mi basah
formalin menunjukkan aroma asam yang sangat kuat sehingga memiliki nilai yang
lebih rendah. Sampel uji mi basah ekstrak daun kemangi pada hari ke-3
menunjukkan aroma sudah mulai berkurang sehingga aroma khas kemangi sudah
mulai tidak tercium oleh panelis.
Pada hari ke-4 mi basah formalin sudah tidak diamati karena sudah
menunjukkan timbulnya hifa pada permukaan mi basah dan aroma asam yang
menyengat. Pada pengamatan terakhir, hanya sampel mi basah ekstrak kemangilah
yang menunjukkan ciri fisik yang masih baik dan tidak menimbulkan aroma asam.
Namun, pada hari ini aroma yang dihasilkan oleh sampel sudah sangat berkurang
dari hari sebelumnya tetapi panelis masih dapat mencium aroma khas yang keluar
dari sampel.
Hasil pengamatan pada mi basah kontrol sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa pada mi basah kontrol dalam penyimpanan selama 24 jam
sudah menunjukkan adanya tanda kebusukan dan aroma yang asam serta pada hari
ke-2 (48 jam) sudah menunjukkan adanya pertumbuhan jamur (Kesuma, 2018).
Aroma tidak sedap dari mi basah dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi oksidasi
lemak dengan oksigen, penguraian gula reduksi menjadi asam-asam melalui jalur
61
glikolisis, dan pertumbuhan mikroba terutama kapang pada permukaan mi basah
(Satyajaya, 2008).
Aroma khas pada mi basah ekstrak daun kemangi berasal dari kandungan
minyak atsiri dalam daun kemangi yang juga dapat menghambat pertumbuhan
mikroba sehingga tidak menimbulkan aroma asam sampai hari terakhir
pengamatan. Khaira (2015), mengatakan bahwa tahu yang telah diberi formalin
dapat menghambat timbulnya aroma asam karena protein yang telah rusak oleh
formalin tidak bisa diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam
(Khaira, 2015). Hal inilah yang juga terjadi pada sampel uji mi basah yang telah
diberi formalin.
Warna
Warna merupakan komponen penting dalam menentukan kualitas atau daya
penerimaan suatu bahan pangan oleh konsumen. Menurut Winarno (2004), warna
merupakan salah satu penilaian suatu mutu bahan pangan karena pada umumnya
warna adalah indikator yang dapat dinilai terlebih dahulu. Berikut merupakan hasil
pengujian terhadap tingkat kesukaan warna mi basah kontrol, mi basah formalin,
dan mi basah ekstrak daun kemangi.
62
Gambar 20. Tingkat Kesukaan Warna Mi Basah Berbagai Perlakuan
Berdasarkan Gambar 20, menunjukkan bahwa rata-rata mi basah ekstrak
daun kemangi memiliki nilai mutu yang paling baik dimana nilai terbaiknya adalah
sebesar 2,87 yang dikategorikan kedalam warna yang sangat disukai yaitu pada hari
ke-0 yang dikategorikan kedalam warna yang sangat disukai oleh panelis. Pada
pengamatan warna ini menggunakan skala pengujian 1 sampai 5 dimana nilai 1
adalah amat sangat suka dan nilai 5 adalah sangat tidak suka.
Pada hari ke-0 penyimpanan, mi basah kontrol menunjukkan nilai rata-rata
sebesar 3,47 yang dikategorikan kedalam warna yang disukai. Kemudian mi basah
formalin memiliki nilai rata-rata nilai mutu tertinggi yakni sebesar 3,60 yang
dikategorikan kedalam warna yang disukai dan mi basah memiliki nilai rata-rata
mutu yang paling baik yakni sebesar 2,87 yang dikategorikan kedalam warna yang
sangat disukai. Semakin rendah nilai maka mutu mi basah semakin baik. Pada
pengamatan mi basah kontrol menunjukkan warna putih pucat sedangkan pada mi
basah formalin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan yakni berwarna putih
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Pengamatan (hari)
Kontrol Formalin Ekstrak
Amat
sangat suka
Sangat
tidak suka
- Suka
63
dan mi basah ekstrak daun kemangi memiliki warna kecoklatan dan dianggap
menarik karena berbeda dari mi pada umumnya.
Pada hari ke-1 penyimpanan menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu pada
mi basah kontrol dan mi basah formalin mengalami perbaikan nilai yakni berturut-
turut adalah sebesar 3,07 dan 3,20 yang dapat dikategorikan kedalam warna yang
disukai. Sedangkan pada mi basah ekstrak daun kemangi mengalami kenaikan nilai
menjadi 3,07 atau setara dengan nilai mutu hedonik mi basah kontrol yang
dikategorikan kedalam warna yang disukai. Pada pengamatan selanjutnya, panelis
mengalami kesulitan dalam membedakan mi basah kontrol dan mi basah yang telah
diberi formalin karena keduanya sama-sama memiliki warna yang putih pucat.
Sedangkan penilaian mutu terhadap mi basah ekstrak daun kemangi meningkat
karena sampel uji ini dianggap terlalu pekat dan semakin gelap dari hari
sebelumnya.
Pada hari ke-2 sudah tidak dilakukan pengamatan warna pada sampel uji mi
basah kontrol karena sampel sudah tidak layak untuk dinilai oleh panelis.
Berdasarkan Gambar 20, menunjukkan nilai rata-rata yang menurun atau sama
dengan nilai mi basah kontrol dan mi basah ekstrak daun kemangi pada hari ke-1
yakni menjadi sebesar 3,07 yang dikategorikan kedalam warna yang disukai.
Begitupula pada mi basah ekstrak daun kemangi yang mengalami perbaikan mutu
warna namun, hal ini tidak begitu drastis yakni hanya sebesar 3,00 yang juga
dikategorikan kedalam warna yang disukai. Berdasarkan penilaian panelis, warna
mi basah formalin pada hari ke-2 adalah putih dengan kenampakan yang lebih
64
bersih namun tetap pucat. Sedangkan pada mi basah ekstrak daun kemangi
memiliki kenampakan yang dianggap lebih menarik namun sedikit kurang cerah.
Pada hari ke-3 penyimpanan menunjukkan bahwa nilai rata-rata warna pada
mi basah formalin lebih stabil dan disukai oleh panelis dibandingkan dengan mi
basah ekstrak daun kemangi karna memiliki nilai 3,00 yang dapat dikategorikan
kedalam warna yang disukai, sedangkan mi basah ekstrak daun kemangi
menunjukkan nilai yang meningkat drastis yakni menjadi sebesar 3,67 namun
masih dapat dikategorikan kedalam warna yang disukai. Menurut panelis, warna
pada mi basah formalin tidak begitu mengalami perubahan yakni tetap putih pucat
namun lebih dapat diterima daripada mi basah ekstrak daun kemangi karena warna
hijau kecokelatan sudah pudar atau pucat sehingga kurang menarik.
Pada hari ke-4, sudah tidak dilakukan pengamatan terhadap mi basah
formalin karena sudah menunjukkan ciri-ciri fisik yang tidak layak untuk dinilai
oleh panelis lagi. Sedangkan pada mi basah ekstrak daun kemangi masih dapat
diamati karena belum ditemukan ciri fisik yang tidak diterima seperti tumbuhnya
hifa atau kapang pada permukaan dan aroma asam belum terasa. Penilaian mutu
warna mi basah ekstrak daun kemangi pada hari terakhir pengamatan adalah tidak
jauh berbeda dengan hari ke-3 yakni sebesar 3,60 yang masih dapat dikategorikan
kedalam warna yang disukai dengan kenampakan yang gelap dan pucat.
Menurut Winarno (2004), warna yang terkandung dalam bahan pangan
dapat disebabkan oleh beberapa sumber seperti pigmen, proses karamelisasi, reaksi
mailard dan adanya pencampuran bahan tambahan. Umumnya mi basah terbagi
menjadi dua berdasarkan warnanya, yakni mi putih dan mi kuning. Dari kedua jenis
65
mi tersebut, yang paling sering ditemui di pasaran adalah jenis mi yang berwarna
kuning. Warna kuning khas yang terdapat dalam mi basah berasal dari penggunaan
telur. Pada pengujian ini tidak menggunakan telur sehingga mi dikategorikan
kedalam mi basah putih. Selain itu, penggunaan garam pada proses pengolahan juga
dapat mengatur warna pada produk mi (Andarwulan, 2011).
Menurut Billina dkk (2014), warna pucat pada mi yang telah direbus
disebabkan karena mi terurai oleh air pada saat direbus. Menurut Mualim (2013),
kecerahan (lightness) mi basah dapat dipengaruhi oleh jumlah tepung terigu yang
digunakan dalam pembuatan mi basah karena tepung terigu memiliki nilai derajat
putih yang tinggi yang juga mempengaruhi warna pada jenis mi basah putih.
Dengan begitu, warna pucat atau gelap pada mi basah juga dapat dipengaruhi oleh
rendahnya konsentrasi dari tepung terigu yang digunakan.
Menurut Setiari dan Yulita (2009), daun kemangi (O. sanctum) memiliki
kandungan klorofil total yang rendah yakni sebesar 13,8200 mg/g karena daun
kemangi merupakan tanaman semusim dan memiliki ukuran daun yang kecil
dengan helaian daun yang tipis. Selain itu, morfologi daun yang tipis umumnya
sangat mudah layu ketika dipetik sehingga klorofilnya mudah terdegradasi
(Musyarofah dkk, 2006). Hal inilah yang mungkin dapat menyebabkan warna
coklat pada mi basah yang diberi ekstrak daun kemangi.
Tekstur
Tekstur merupakan salah satu aspek penting dalam penilaian mutu dari
produk pangan karena termasuk kedalam salah satu faktor yang dapat
66
mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk pangan. Berikut adalah
hasil pengujian terhadap tingkat kesukaan tekstur mi basah kontrol, mi basah
formalin, dan mi basah ekstrak daun kemangi.
Gambar 21. Tingkat Kesukaan Tekstur Mi Basah Berbagai Perlakuan
Berdasarkan Gambar 21, menunjukkan bahwa mi basah yang telah diberi
formalin memiliki rata-rata nilai mutu yang paling baik yakni mencapai 2,73 yang
dapat dikategorikan kedalam tekstur yang sangat kenyal pada hari ke-1. Secara
umum, nilai yang dihasilkan oleh sampel mi basah kontrol adalah konstan dan mi
basah formalin serta mi basah ekstrak kemangi mengalami fluktuasi. Pada
pengamatan tekstur ini menggunakan skala pengujian 1 sampai 5 dimana nilai 1
adalah amat sangat kenyal dan nilai 5 adalah sangat tidak kenyal atau semakin
rendah nilai maka semakin baik mutu produk mi basah.
Pada hari ke-0 penyimpanan mi basah kontrol dan mi basah ekstrak daun
kemangi tidak menunjukkan perbedaan nilai mutu yang signifikan yakni berturut-
turut sebesar 3,33 dan 3,20 yang dapat dikategorikan kedalam tektur yang kenyal.
Sedangkan pada mi basah formalin menunjukkan nilai rata-rata mutu tekstur yang
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Pengamatan (hari)
Kontrol Formalin Ekstrak
Amat sangat
kenyal
Sangat tidak
kenyal
- Kenyal
67
paling baik yakni sebesar 3,07 yang juga dikategorikan kedalam tekstur yang
kenyal namun lebih unggul karena memiliki nilai yang lebih kecil. Pada saat
pengamatan, panelis menyatakan bahwa ketiga mi basah hampir memiliki tekstur
kekenyalan yang sama.
Pada hari ke-1 penyimpanan menunjukkan bahwa mi basah kontrol tidak
mengalami perubahan nilai rata-rata mutu yakni tetap memiliki nilai rata-rata mutu
sebesar 3,33 yang dikategorikan kedalam tekstur yang kenyal. Hal serupa terjadi
pada nilai rata-rata mutu mi basah ekstrak daun kemangi yang tidak menunjukkan
adanya perbedaan nilai dengan pengamatan sebelumnya. Sedangkan pada mi basah
formalin menunjukkan perubahan nilai rata-rata menjadi 2,73 yang dikategorikan
kedalam tekstur yang sangat Kenyal. Berdasarkan pengamatan panelis, mi basah
kontrol mudah ditekan dan mudah hancur. Selanjutnya mi basah formalin dapat
kembali kebentuk semula saat ditekan (kenyal), sedangkan mi basah ekstrak daun
kemangi ketika diberikan tekanan maka dapat kembali seperti semula namun
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Pada hari ke-2 penyimpanan, mi basah kontrol sudah tidak disediakan lagi
untuk dinilai oleh panelis karena sampel sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Mi
basah formalin mengalami penurunan mutu menjadi 2,93 sedangkan mi basah
ekstrak daun kemangi mengalami kenaikan mutu menjadi 3,07, namun keduanya
masih dikategorikan kedalam tekstur yang kenyal. Walaupun mi basah ekstrak daun
kemangi mengalami kenaikan, tetapi nilainya masih lebih tinggi dibandingkan mi
basah formalin. Menurut panelis, mi basah ekstrak daun kemangi memiliki
68
permukaan yang berminyak, tidak terlalu kenyal, dan mudah putus. Sedangkan mi
basah formalin memiliki tekstur kenyal dan agak sulit terputus ketika ditarik.
Pada hari ke-3 penyimpanan, mi basah formalin tidak begitu menunjukkan
perubahan nilai mutu yang signifikan yakni hanya meningkat menjadi 3,00 yang
masih dikategorikan kedalam tektur yang kenyal. Sedangkan pada mi basah ekstrak
daun kemangi menunjukkan perubahan nilai yang cukup signifikan yaitu
meningkat menjadi 3,40 yang juga dikategorikan kedalam tekstur yang kenyal. Hal
ini menandakan bahwa mi basah ekstrak daun kemangi sudah mengalami
perubahan mutu tekstur pada hari ke-3 pengamatan. Berdasarkan pengamatan
panelis, mi basah ekstrak daun kemangi pada hari ke-3 sangat mudah gepeng saat
ditekan, sedangkan pada mi basah formalin masih kenyal atau yidak mudah gepeng.
Pada hari ke-4 penyimpanan sampel uji yang diamati hanya mi basah
ekstrak daun kemangi karena pada mi basah formalin sudah ditemukan adanya ciri
fisik yang menunjukkan bahwa sampel sudah tidak layak. Pada mi basah ekstrak
daun kemangi menunjukkan adanya perubahan nilai kesukaan mutu panelis yakni
menjadi 3,33 yang dikategorikan kedalam tekstur yang kenyal.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk dapat
mempengaruhi berbagai karakteristik dari produk tersebut seperti teksturnya.
Menurut Kosasih (2017), penirisan pada proses pembuatan mi basah bertujuan agar
minyak yang terserap dapat memadat dan menempel pada mi serta membuat tekstur
mi menjadi kuat.
Menurut Cahyadi (2008), ciri-ciri mi basah yang mengandung formalin
adalah permukaan tampak mengkilat, tidak mudah putus dan tidak lengket,
69
terkadang tercium aroma seperti obat, dan dapat bertahan mencapai dua hari atau
lebih. Formalin memiliki unsur aldehid yang mudah bereaksi dengan protein,
karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu formalin akan mengikat
unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu sampai ke bagian dalamnya.
Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan
tahu terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang
bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, sehingga tahu akan menjadi
lebih awet (Khaira, 2015).
Menurut Mualim dkk (2013), kekenyalan pada mi basah dapat dipengaruhi
oleh gluten dari tepung terigu. Gluten merupakan protein khas yang ada pada
tepung terigu yang terdiri dari gliadin dan glutenin yang dapat membentuk sifat
elastis pada produk olahan pangan (Kusnandar, 2010). Selain itu, kandungan
protein pada mi basah juga mempengaruhi tekstur mi basah karena perlakuan panas
pada proses pengolahan dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi
sehingga membuat mi menjadi kaku dan apabila pemberian protein gluten rendah
akan menyebabkan lembek dan mudah patah pada mi (Setiyoko, 2018).
70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas antimikroba ekstrak daun kemangi
terhadap E. coli dan A. niger serta aplikasinya pada mi basah didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
1) Ekstrak daun kemangi fase etanol 70% memiliki aktivitas antimikroba yang
kuat pada konsentrasi 25% (19,08 mm) dan sangat kuat pada konsentrasi
50% (21,01 mm), 75% (21,69 mm), dan 100% (30,98 mm) terhadap E.coli.
Sedangkan pada A. niger, menunjukkan aktivitas antimikroba yang rendah
pada seluruh konsentrasi yang digunakan.
2) Ekstrak daun kemangi konsentrasi 100% dipilih dalam aplikasi mi basah
karena dapat menghasilkan zona hambat pada E. coli sebesar 30,98 mm
(sangat kuat) dan menghasilkan jumlah total mikroba terendah
dibandingkan dengan mi basah kontrol positif pada hari ke-4.
6.2 Saran
Untuk memastikan ekstrak daun kemangi aman untuk dijadikan pengawet
alami perlu dilakukan pengujian toksisitas ekstrak daun kemangi, serta dilakukan
identifikasi jenis mikroba kontaminan pada mi basah.