uts suganda unggas ok

Upload: aghan-soeganda-su

Post on 19-Jul-2015

350 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

JAWABAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER AGROINDUSTRI PERUNGGASAN

SUGANDA P2DA 11020

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PETERNAKAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012

Nama Nim Tanda Tangan Nilai

: Suganda : P2DA 11020 : :

1. Jelaskan faktor-faktor pendukung dan kendala perkembangan industry perunggasan di Indonesia? Jawab : a. Faktor Faktor Pendukung Perkembangan Industri Perunggasan Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik. Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk: (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Untuk memberi kepastian berusaha pada peternakan mandiri perlu dibuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi DOC, biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga). Menurut Utoyo (2006) agribisnis perunggasan memiliki 2 aspek strategis, yaitu (1) penyediaan sumber pakan hewani yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat dan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) berperan sebagai lokomotif pertumbuhan bidang pertanian. Menurut Darmanto (2007) hal ini didasari pada kenyataan bahwa Indonesia (1) Indonesia memiliki sumber daya peternakan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. (2) Industri di sektor peternakan memiliki keterkaitan yang kuat dengan industri-industri lainnya. (3)Industri peternakan berbasis sumber daya lokal. (3) Indonesia memiliki keunggulan yang tinggi di sektor peternakan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumberdaya ternaknya. Hal ini tentunya merupakan prospek yang sangat berpotensi untuk meningkatkan usaha di sektor peternakan, khususnya dalam usaha unggas ras pedaging/ broiler jika dikelola dengan baik dan benar. b. Faktor Faktor Kendala Perkembangan Industri Perunggasan

Negara indonesia merupakan daerah tropis. Negara yang ber iklim tropis memiliki kendala dalam peternakan unggas diantaranya yaitu : 1) Udara tropis lembab Masalah Utama untuk membangun sebuah peternakan ayam di daerah tropis adalah kelembaban yang tinggi. Udara akan terasa lebih panas, karena ayam mengeluarkan panas dari aktivitas metabolisme yang harus dibuang melalui udara. Namun karena udara jenuh dengan uap air maka dengan cepat udara akan terasa lebih panas dan ayam terlihat panting, paruh ayam akan terbuka lebar sebagai usaha untuk mengeluarkan panas lebih cepat, karena ayam tidak mempunyai kelenjar keringat. Ayam yang panting pasti tidak makan oleh karenanya feed intake tentu saja tidak tercapai, sehingga akan terjadi gangguan produktivitas. 2) Ventilasi Untuk mengatasi panas dan partikulat polutan di dalam maupun diluar bangunan kandang dibutuhkan Ventilasi yang cukup. Ventilasi adalah proses penggantian udara ruangan oleh udara segar dari luar baik secara alami maupun dengan bantuan alat mekanis (kipas angin). 3) Udara di dalam kandang Ada 3 macam udara di dalam kandang, udara atas yang ringan, udara tengah yang mengenai tubuh ayam dan udara bawah yang berat, lembab dan kotor. Udara bawah ini sebagai tempat yang menyenangkan untuk serangga dan mikroba, sehingga ventilasi disamping untuk mengeluarkan panas, kelembaban dan partikulat di dalam kandang, juga terutama diarahkan untuk mengeluarkan udara bawah kandang ini dan mengganti dengan udara dari luar yang masih segar. Luar biasa dibandingkan dengan udara bawah kandang, tempat kotoran ayam menumpuk dan mikroba yang normal ada di atas tanah atau yang dilepaskan oleh tubuh ayam melalui faecesnya. Dari udara bawah inilah sebenarnya sumber pencemaran udara di dalam kandang, selain mikroba partikulat debu, gas ammoniak, gas methan adalah sumber ketidak nyamanan bagi ayam yang hidup di atasnya. Penularan penyakit melalui udara bebas sulit terjadi, oleh karenanya bentuk vegetatif akan lekas musnah terutama di udara bebas, namun jumlahnya tergantung aktivitas dan keadaan lingkungan yang ada. Udara di atas tanah yang

subur mengandung lebih banyak mikroba dari pada udara di atas tanah yang tandus/gundul, udara di atas tanah yang gundul akan lebih banyak mikroba daripada udara di atas tanah yang ditumbuhi tanaman dan yang paling sedikit adalah udara di atas laut. Maka pemilihan lokasi kandang menjadi sangat penting. Kandang dilokasi yang banyak memiliki aliran angin umumnya mempunyai performance yang baik dari pada kandang yang sedikit atau bahkan mati angin. Kandang dengan sistem panggung akan lebih baik performannya dibandingkan sistem postal. Pada kandang ayam petelur dengan sistem baterei, alas kandang yang dibentuk seperti bak dengan pinggiran sekitar 15 atau 20 cm di atas tanah dan berfungsi sebagai penampung faeces (kotoran) akan menghalangi pertukaran udara bawah. Akan lebih baik jika ke dalam bak itu ditambahkan tanah dan zatzat absorben seperti kapur, sekam atau lainnya yang dibentuk seperti bukit sehingga permukaannya lebih tinggi dari permukaan tanah, sehingga masih tetap ada pergantian udara bawah, dengan memasang kipas angin dibawah kolong baterai dalam jumlah yang cukup, ternyata menghasilkan performance yang baik. Manajemen udara bawah dan manajemen untuk mengelola feces di sebuah peternakan ayam petelur menjadi sangat penting (Poultry Indonesia. 2012). Menurut Setiarto (2009) masalah industri perunggasan di Indonesia (1) Bahan baku pakan impor. (2) Indikasi kesetimpangan pasar baik input maupun output. (3) Kemitraan usaha belum berjalan secara optimal. (4) Perunggasan komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal, krisis moneter dan krisis ekonomi, wabah penyakit AI dan krisis finansial. (5) Kebijakan pemerintah tentang perunggasan. Menurut Westra (2009) peternakan berskala rumah tangga (family farming) di desa yang sebenarnya berpotensi dapat memenuhi kebutuhan protein hewani, belum cukup memperoleh perhatian. Banyak kendala pengembangan family farming, namun utamanya adalah keterbatasan lahan, sumberdaya manusia, modal, akses informasi, pasar, teknologi, serta masih kurangnya keberpihakan (kepedulian) pemerintah kepada mereka rumah tangga miskin (RTM) keluarga peternak (petani). Menurut Saptana dan Sumaryanto (2009), kendala bisnis perunggasan di Indonesia terbagi kedalam 6 fase, yaitu :

1) Fase sebelum krisis moneter tahun 1990-1996 Pada tahun 1990-1995 pendapatan yang diperoleh peternak relatif stabil serta pemasaran lancar, tetapi pada tahun 1996 produksi dan pertumbuhan perunggasan sangat pesat, hanya saja daya serap pasar lambat. Tingkat daya beli masyarakat menurun sehingga dapat dikatakan di tahun 1996 pendapatan peternak impas atau profit margin yang minim, karena mulai tidak stabilnya kondisi makro ekonomi. 2) Fase krisis moneter dan penyesuaiannya tahun 1997-1998 Info dirjen peternakan populasi ras pedaging tinggal 30%. Hasil penulusuran data Jawa Barat tahun 1996 masih 58% dari total populasi. Pada tahun 1996 populasi ras pedaging di Jawa Barat mencapai 35, 88 juta ekor. Karakter perubahan fase tahun 1996-1998 adalah Harga pakan naik hingga 3, 5 kali lipat, pakan stater Rp 929/ kg menjadi Rp 3.300/ kg dan pakan finiser Rp 912/ kg menjadi Rp 3.300/ kg. Harga DOC naik hingga 2, 5 kali lipat dari Rp 1.206/ ekor menjadi Rp 2500/ ekor. Harga jual ayam naik 2 kali lipat, untuk ayam hidup dari Rp 3.586/ kg menjadi Rp 6.980/ kg dan karkas dari 4.699/ kg menjadi Rp Rp 10.500/ kg 3) Fase terberat peternak unggas tahun 2003-2004 Pada tahun 2003-2004 ketika adanya AI (Avian Influensa) . Saptana dkk,. (2005) dampak AI di Jawa Tengah antara lain : Penurunan volume produksi di breeder farmsebesar 40%, selain itu penjualan DOC hingga jauh di baeah BEP menurun 70%. Penurunan volume produksi pakan sebesar 14, 58% , tetapi tidak berdampak pada harga malah selalu makin naik dari waktu ke waktu karena pabrik pakan memiliki usaha budidaya dan kemitraan. PS (poultry shop)mengalami penurunan volum penjualan sekitar 40 % (agen) dan sekitar 75% (distributor) Usaha peternakan rakyat banyak yang gulung tikar 30 40 %

Usaha jasa pemotongan mengalami penurunan jumlah ayam yang dipotong sekitar 40% Pedagang atau pengepul ayam broiler mengalami penurunan penjualan sekitar 80%

4) Fase pemulihan tahun 2005-2007 Pada tahun 2005 sudut pandang industri perunggasan mulai berubah dengan diantaranya dengan teknik budidaya yang baik dan benar, lokasi kandang memperhatikan lingkungan, biosecurity diperketat dan

pengelolaan RPA lebih baik. Akhir tahun 2007 kembali mengalami krisis berat yaitu dengan kenaikan harga minyak dunia yang mengakibatkan BBM dalam negri naik, hal ini tentunya sangat memberatkan usaha ternak unggas. 5) Fase krisis finansial global tahun 2007-2009 Krisis keuangan global terasa pada akhir tahun 2008 karena terjadi krisis pangan dan energi dalam waktu bersamaan sehingga negara-negara lain termasuk Indonesia mengalami kenaikan harga bahan pangan yang sangat tinggi sampai 2-3 kali lipat dari tahun 2005 ke 2008. Tentunya hal ini menyebabkan rendahnya tingkat daya beli masyarakat, terlebih sektor peternakan khususnya perunggasan wabah penyakit AI belum tuntas, besarnya ketergantungan impor pakan, meningkatnya harga bahan pakan pakan jagung dan kedelai serta kebijakan antara daerah pemasok dan kebijakan pasar. Hal ini setidaknya akan membebani sektor peternakan dan industri peternakan terlebih peternak di pedesaan. 6) Fase kebijakan pasar unggas perkotaan tahun 2010 Kinerja dan keberhasilan usaha ternak unggas ditentukan banyak faktor antara lain faktor eksternal (tidak dapat dikendalikan) yang berkaitan dengan kebijakan dan faktor internal (dapat dikendalikan) yang berkaitan erat dengan kapabilitas manajerial dalam mengelola usaha ternak, tingkat penguasaan teknologi, budidaya dan pasca panen serta dalam mengendalikan resiko.

2. Harga (DOC) seringkali melambung. Untuk mengatasi hal tersebut ada peternak yang berupaya menetaskan telur dari ayam komersial (final stock)? Jawab : Bibit yang diperjual belikan dipasaran khusus ayam ras, umumnya berupa final stock. Finall stock tersebut merupakan hasil persilangan genetika dari bibitbibit unggul untuk mencapai suatu tujuan yang lebih spesifik dan ekonomis. Misalnya menghasilkan daging (ayam broiler) atau telur (ayam layer) bahkan adapula yang bersifat dwi fungsi. Menurut Westra (2009) Industri perunggasan di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing yang meliputi pengendalian produksi dan pemasaran. Karena sebagian besar perusahaan yang bergerak di industry perunggasan itu orang asing (luar negeri), sehingga mereka menguasai pasar atau produk. Perusahaan dari mulai pembibitan, pakan, vaksin, dan lain-lain milik orang asing. Tangendjaja (2007) perusahaan peternakan memiliki skala usaha besar, motif memaksimumkan laba, pemupukan modal, teknologi canggih, produktifitas tinggi, kultur rasional dan profesional. Menurut Westra (2009) fenomena industri peternakan unggas (broiler, layer, puyuh, itik, dan Iain-lain) dan industri pendukungnya (pakan. obat, bibit, dan Iain-lain) sebagian besar dikuasai oleh corporate. Penggolongan berdasarkan Keturunan: Pure Line (galur murni) >>Grand Parent stok (GPS) >>Parent Stock (PS) >> Final Stok (FS) >>Peternak Komersial

Menurut Ilham (2007) masalah yang sering dihadapi peternak pedesaan adalah harga DOC karena ketidaktepatan peternak dalam memprediksi permintaan produk menyebabkan tidak terjadinya keseimbangan antara DOC yang ditawarkan dengan yang diminta pasar, akibatnya terjadi fluktuasi harga DOC yang merembet pada fluktuasi harga produk daging ayam, ini dapat dihindari jika produsen mendapat informasi berapa besar permintaan sehingga dapat diketahui berapa jumlah DOC yang harus diproduksi.

Yusdja dkk., (2004) Sekalipun pembangunan industri berkembang dengan pesat, namun pencapaian pemerataan tidak atau sangat jauh dari harapan, peternak skala kecil tidak dapat hidup secara mandiri. Artinya, pembangunan industri unggas tetap berada di tangan segelintir orang. Saya setuju dengan dengan peternak yang berusaha menetaskan telur dari ayam komersil, Mubyarto (2000) berpendapat bahwa cara terbaik menghadapi proses globalisasi yang berbahaya, mahal dan penuh resiko ini harus berprinsip pada rasa percaya diri dan semangat kemandirian. Dengan didasari perkembangan populasi perunggasan di Indonesia dari 1, 21 juta ekor (2005) menjadi 1, 52 juta ekor (2008) mengalami peningkatan 6, 6%/ tahun (Ditjennak, 2008). Diantara jenis unggas (buras, petelur, pedaging dan itik) ras pedaginglah yang tumbuh paling besar 8, 7%/ tahun bahkan di akhir 20072008 mencapai 20, 6%/ tahun. Kontribusi daging asal ras pedaging mencapi 992, 7 ton dari unggas lainnya 1, 48 ton atau ras pedaging berkontribusi 70, 24% pada produksi daging unggas total. Tingkat konsumsi unggas tahun 2006 4, 5 kg/ kapita/ tahun (FAO, 2006) dan mengalami kenaikan menjadi 6, 7 kg/ kapita/ tahun (FAO, 2008) atau mengalami kenaikan 13/%/ tahun. Proyeksi yang dilakukan oleh ICN untuk tahun 2012 mencapai 1, 947 juta ekor (ICN, 2009).

3. Industri perunggasan yang bergerak dibidang pembibitan (breeding) maupun pakan tidak boleh bergerak dibidang unggas komersial (final stock) ? dan bagaimana dampaknya terhadap perkembangan

perunggasan! Jawab : Setuju, kerena sebagian besar aktor pembangunan peternakan Indonesia yang bergerak pada domain on farm adalah masyarakat yang berada di Pedesaan, tetapi pada kenyataannya masih kurang sejahtera, kemungkinan besar hal ini dikarenakan kurang berperannya lembaga-lembaga terkait seperti penelitian, permodalan, informasi maupun teknologi dalam pengembangan industri peternakan di Indonesia (Daryanto, 2007). Menurut Ilham (2007) konsep dasar pembangunan peternakan yang utama dalam produksi adalah bibit, pakan dan manajemen. Yusdja dkk., (2004) Sekalipun pembangunan industri berkembang

dengan pesat, namun pencapaian pemerataan tidak atau sangat jauh dari harapan, peternak skala kecil tidak dapat hidup secara mandiri. Artinya, pembangunan industri unggas tetap berada di tangan segelintir orang. Menurut Soedjana (2011) ditinjau dari pelakunya, usaha ternak di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) usaha ternak tradisional; (2) usaha ternak komersial oleh perusahaan besar; dan (3) usaha ternak semi-komersial. Menurut Tri (2008) peternak mandiri yang modalnya paspasan sementara ini sangat memberatkan, sebab untung rugi tidak bisa dihitung hanya dari satu periode pemeliharaan, dibutuhkan 3 4 periode yang dibutuhkan untuk mengevaluasi usaha pemeliharaan. Menurut Westra (2009) Industri

perunggasan di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing yang meliputi pengendalian produksi dan pemasaran. Menurut Soedjana (2011) terdapat beberapa alasan peternak tradisional memiliki respons yang rendah terhadap perubahan, antara lain: (1) keterbatasan kemampuan memasarkan ternak sehigga mengurangi insentif harga yang dapat dinikmati peternak: (2) keterbatasan kemampuan menambah lahan, tenaga keija dan input lainnya pada saat merespons kenaikan harga produk temak: (3) peningkatan skala usaha biasanya berkaitan dengan penurunan produktivitas sumber daya yang digunakan sehingga produktivitas totalnya rendah. Yusdja dkk., (2004) usaha broiler rakyat yang mandiri dapat dikatakan punah sama sekali dan penyebabnya adalah ketidak mampuan peternak rakyat secara mandiri menyediakan industri pasca panen seperti pengolahan ayam hidup menjadi karkas. Mubyarto (2000) berpendapat bahwa cara terbaik menghadapi proses globalisasi yang berbahaya, mahal dan penuh resiko ini harus berprinsip pada rasa percaya diri dan semangat kemandirian. Menurut Ilham (2007) peubah utama yang mengatur pertumbuhan subsektor peternakan melalui peubah produksi (Q) dan harga (P), karena peubah harga cenderung mengikuti mekanisme pasar maka sulit dikendalikan, karena itu dalam memicu pertumbuhan subsektor peternakan lebih difokuskan pada peubah produksi. Menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) kinerja dan keberhasilan usaha ternak unggas ditentukan banyak faktor antara lain faktor eksternal (tidak dapat dikendalikan) yang berkaitan dengan kebijakan dan faktor internal (dapat

dikendalikan) yang berkaitan erat dengan kapabilitas manajerial dalam mengelola usaha ternak, tingkat penguasaan teknologi, budidaya dan pasca panen serta dalam mengendalikan resiko. 4. jelaskan perbedaan manajemen antara breeding farm dan comersial farm Jawaban : Breeding Farm Usaha pembibitan adalah usaha peternakan yang menghasilkan ternak untuk dipelihara lagi dan bukan untuk dikonsumsi. Pemeliharaan ayam bibit merupakan pemeliharaan ayam induk (parent stock) yang di pelihara

bersama-sama pejantan (Sudaryani dan Sentosa, 2003). Industri pembibitan ayam (breeding farm and hatchery) menghasilkan anak ayam (DOC), sekarang ini terdapat beberapa perusahaan berskala besar yang memasok DOC pada peternak yang disalurkan langsung maupun melalui poultry shop.

Usaha Peternakan Komersil Merupakan usaha yang benar-benar telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi antara lain usaha dengan tujuan untuk profit maksimal. Dalam

usaha ini profit adalah motivasinya yang diproyeksikan kepada pasar-pasar yang ada. Sistem perusahaan Peternakan Komersial (SPPK) memiliki ciri-ciri : a) Melaksanakan sekuriti relative intensif b) Modal relative tinggi c) Manajemen sekuriti relatuf moderat sampai tinggi d) Produknys merupakan pangan dengan input tergantung pada Sistem Industri Peternakan Terintegrasi atau impor Usaha komersial dalam bidang peternakan dapat bermacam-macam, misalnya : a) Usaha pembibitan b) Usaha makanan ternak c) Usaha penggemukan d) Usaha ranch, dan lain-lainya

Sebagai gambaran jumlah usaha peternakan yang bergerak dalam tipe komersial antara lain : a) 7 usaha peternak pembibitan ayam tipe GPS (Grant Parent Stock) b) 61 buah usaha peternakan pembibitan type PS (Parent Stock) c) 97 Buah pabrik makanan ternak dengan kapasitas dari 1 ton/jam sampai 60 ton/jam d) 3 jumlah feedlot e) 45 jumlah ranch sapi potong Usaha peternakan komersial umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki modal besar serta menerapkan teknologi modern. Disamping itu usaha peternakan komersial telah melakukan pemeliharaan dalam ruangan tertutup dan menerapkan biosekuriti secara moderat. Seperti usaha lainnya, usaha peternakandapat juga dikelola secara industry. Beberapa jenis ternak yang sudah dikelola secara industi antara lain ayam ras, sapi potong, dan sapi perah. Usaha ternak secara industry sudah berbadan hukum. Usaha peternakan skala bear seyogiyanya berbadan hukum karena

melibatkan banyak pihak yang terdiri dari pemilik modal dan pekerja. Beberapa bentuk badan hukum yang dapat dipilih antara lain yayasan, koperasi, CV, atau perseroan terbatas. Tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100%. Contoh usaha yang dikelola secara industry adalah adalah peter nakan sapi perah. Namun demikian, usaha ini dikelola oleh peternak di bawah

gabungan Koperasi Susu Indonesia (Rohani, 2011).

5. Jika berdasarkan survey, di daerah saudara kekurangan stock telur sebanyak 1,5 ton perhari. Buatlah perencanaan pembangunan industry peternakan ayam petelur untuk memenuhi kebutuhan telur tersebut yang mencakup : pemilihan lokasi, jumlah ayam, pakan, dan kandang. Jawaban : Pemilihan Lokasi Secara teknis, pemilihan lokasi peternakan pembibitan ayam ras ini sebaiknya didasarkan sebagai berikut.

1. Sesuai dengan lokasi yang ditentukan oleh pemerintah daerah setempat. 2. Kondisi sosial dari masyarakat setempat, tidak bertentangan dengan ketertiban dan kepentingan umum. 3. Tidak terletak di pusat kota, berjarak sekurang-kurangnya 250 m dari pemukiman penduduk, dan berjarak tidak kurang dari 250 m dengan lokasi peternakan lain. Apabila masih dalam satu kelompok usaha, jarak antar pemilikan sekurang-kurangnya 50 m. 4. Lokasi peternakan hendaknya lebih tinggi dari daerah sekitarnya (untuk mempermudah perawatan kebersihan, pembuangan kotoran/sisa-sisa perusahaan, dan lain-lain), dekat dengan sumber air dan mudah dijangkau, sehingga transportasi keluar masuk peternakan tidak mengalami kesulitan. 5. Berdekatan dengan produsen atau pabrik pakan ternak. 6. Dekat dengan pasar/konsumen. 7. Berdekatan dengan sentral produksi atau sentral populasi ternak. 8. Sesuai dengan wilayah pengembangan usaha peternakan, wilayah penyebaran industri komoditi peternakan dan wilayah pengembangan ekspor komoditi peternakan. Jumlah ayam Dihitung dari kebutuhan telur ayam sekitar 1,5 ton maka jumlah telur dapat di hitung dengan seperti berikut : Kebutuhan telur 1,5 ton = 1.500.000 gr Berat satu butir telur 65 gr Jadi = 1.500.000/65 = 23.077 butir Itu artinya jumlah ayam yang dipelihara minimal 23.077 ekor itu kalo ayam bertelur semua setiap hari. Jika ayam tersebut bertelur 80% sedang jumlah telur yang di butuhkan 23.077 butir maka ayam yang harus di pelihara adalah 28.846 ekor.

Kebutuhan pakan Kebutuhan pakan dan bobot ayam petelur Lohman umur 10 - 22 minggu Umur (mgg) 10 12 14 16 18 20 22 Konsumsi pakan (gram/ekor/hari) 60 64 68 72 77 82 95 Rata-rata bobot badan (gr) akhir minggu 820 970 1150 1300 1480 1640 1740

Sumber : http://centralunggas.com/2011

Kandang Kandang yang baik dibuat membujur dari barat ke timur dari bahan yang relatif menyerap panas (atap berwarna muda), murah, dan tersedia cukup. Kandang merupakan sarana yang terpenting untuk terselenggaranya usaha peternakan ayam secara intensif. Bagi pengusaha peternakan perlu memahami arti pentingnya fungsi kandang yang dipaparkan sebagai berikut. 1. Memberikan kenyamanan dan melindungi ternak dari panasnya sinar matahari pada siang hari, hujan, angin, udara dingin dan untuk mencegah gangguan seperti predator. 2. Memudahkan tata laksana yang meliputi pemeliharaan dalam pemberian pakan dan minum, pengawasan terhadap ayam yang sehat dan ayam yang sakit. 3. Memudahkan dalam pengambilan telur dan pengumpulan kotoran untuk pupuk kandang.

Syarat Kandang Syarat-syarat umum konstruksi kandang ayam ras petelur yang baik dan memenuhi persyaratan kesehatan bagi kehidupan ayam adalah sebagai berikut. 1. Dinding kandang tidak rapat, harus merupakan celah-celah yang terbuka, dapat dibuat dari dinding kawat atau jeruji bambu. 2. Tempat kandang harus kering dan bersih. 3. Posisi kandang dibangun menghadap ke arah Timur, agar kandang mendapat cukup sinar matahari pagi secara langsung dan bila siang hari ayam terhindar dari panas matahari yang merugikan. 4. Pertukaran udara dalam kandang harus lancar, sehingga diperlukan ventilasi yang cukup. 5. Kandang dibuat cukup tinggi, minimal 3 meter untuk bagian tengahnya. Tinggi bagian samping minimal 2 meter dan tepi atap panjangnya 1 meter. Lebar dan panjang kandang dapat disesuaikan dengan kondisi lahan dan jumlah ayam yang dipelihara. 6. Atap kandang dibuat berbentuk huruf A dengan bagian tengah lebih tinggi dan meluncur ke arah samping (untuk kandang model bateray). 7. Kandang harus tetap bersih, baik yang di dalam maupun yang di luar kandang. Kepadatan Standar kepadatan ayam yang ideal adalah 15 kg/m2 atau setara dengan 6-8 ekor ayam pedaging dan 12-14 ekor ayam petelur grower (pullet) per m2 nya. Kepadatan yang berlebih akan menyebabkan pertumbuhan ayam terhambat (kerdil) karena terjadi persaingan untuk mendapatkan ransum, air minum maupun oksigen (Medion, 2012). Jadi kebutuhan luas kandang untuk memelihara 28.846 ekor yaitu: Luas kandang = 28.846 ekor/7 ekor = 4120, 86 m2

SUMSI-ASUMSI YANG DIGUNAKAN a) periode pemeliharaan selama 27 bulan.rontok bulu dalam 2 periode (selama 4 bulan),sehingga lama produksi telur adalah 23 bulan.

b) peternakan dimulai dengan membeli pullet setiap telur (sekitar 5 bulan)sebanyak 288468 ekor dengan harga Rp.20.000/ ekor. c) pakan yang di gunakan adalah pakan pabrik dengan kebutuhan pakan ratarata 115gram/ekor dan harga pakan rata-rata Rp.5.000/kg d) tingkat kematian dan serangan penyakit ayam sebesar 7% dari populasi. e) produktifitas ayam rata-rata 85% dan ayam bertelur sebanyak satu butir dalam satu hari. f) Berat telur rata 65 gr/butir g) harga jual telur ayam konsumsi Rp.12.0000/kg. h) setelah masa produktif berakhir (apkir), ayam dapat di jual sebagai ayam pedaging dengan harga Rp.25.000/ekor. i) Masa pakai kandang ayam dan perlengkaapanya adalah 10 tahun atau 120 bulan. j) semua komponen analisis di bawah ini di hitung perbulan Analisis Finansial Usaha Peternakan Ayam Petelur 1 biaya Investasi Kandang dan perlengkapan ayam Beli tanah 5000 m2 selama 5 tahun Beli pullet 28.846 ekor x Rp.40.000 Total biaya investasi 2 Biaya Operasional per bulan Biaya tetap Penyusutan pullet 28.846 ekor x (Rp.20.000 Rp.19.000) :27 bulan Penyusutan kandang Penyusutan pembelian lahan Rp.3.600.000 :36 bulan Total biaya tetap 3 Biaya variable Pakan (0,115kg/hari x 28846 ekor x 30 hari xRp.6200/kg) Gaji satu orang pegawai per bulan Obat-obatan dan vitamin Listrik dan air Total biaya variable

28846 20000

Rp 60,000,000.00 Rp 80,000,000.00 Rp 576,920,000.00 Rp716,920,000.00

28846 Rp 60,000,000.00 Rp 80,000,000.00

27 120 36

Rp Rp Rp Rp

1,068,370.37 500,000.00 2,222,222.22 3,790,592.59

Rp 497,593,500.00 Rp 900,000.00 Rp 500,000.00 Rp 800,000.00 Rp499,793,500.00

Total biaya Operasional 4 Penerimaan per bulan Penjualan telur ayam 85% x 93% x 28846 ekorx 30 hari x 0,065 kg/butir x Rp.12.000/kg Penjualan ayam apkir 28800ekor x Rp. 25.000:23 bulan Total pendapatan 5 Keuntungan per bulan Keuntungan = Total pendapatan Total biaya 6 Revenue Coast Ratio (R /C ratio ) R /C Ratio =Total pendapatan/Total biaya 7 Benefit cost ratio (B/C) keuntungan/total biaya

Rp503,584,092.59

Rp 533,584,654.20 Rp 31,304,347.83 Rp 564,889,002.03

Rp 61,304,909.43

1.12

0.12

Berdasarkan hasil analisis R/C bahwa usaha peternakan petelur layak diusahakan dan menguntungkan kaerena nilai R/C lebih besar dari satu (1,12>1). Nilai R/C 1,12 artinya bahwa setiap Rp.1.000,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan sebesar Rp. 1.120,00. Dari analisis B/C diperoleh nilai 0,12 artinya bahwa setiap Rp. 1000,00 biaya yang dikeluarkan, usaha ayam petelur akan menghasilkan manfaat atau keuntungan sebesar Rp. 120,00.

6. Pada industri peternakan ayam petelur dan broiler broiler dikenal dengan adanya system kemitraan. Jelaskan yang saudara ketahui tentang system kemitraan tersebut ! Jawab : Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini antara UKM dan UB, dikenal dengan istilah kemitraan (Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan). Kemitraan berasal dari kata mitra yang artinya teman, kawan atau sahabat. Keinginan bermitra muncul dari masing-masing pihak, walaupun

dapat pula terjadi atau akibat dari peranan pihak ketiga. Akan tetapi sebenarnya kemitraan sebenarnya suatu keharusan atau secara alamiah terjadi. Hal ini terkait dengan dua hal (1) bahwa budidaya ayam broiler dan petelur hanya merupakan satu sub-sistem dari sistem agribisnis peternakan ayam broiler dan petelur secara menyeluruh, maka peternak tidak bisa berdiri sendiri (2) pertimbangan bahwa kekuatan dan kelemahan ada pada masing masing pihak dan masing-masing memiliki keinginan untuk saling mengisi. Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan UB terhadap UKM yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai. Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu : (1).Inti Plasma, (2). Subkontrak, (3).Dagang Umum, (4).Keagenan, dan (5). Waralaba. Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini, UB mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. Pola kedua, yaitu subkontrak merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB, yang didalamnya UKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB sebagai bagian dari produksinya. Subkontrak sebagai suatu sistem yang

menggambarkan hubungan antara UB dan UKM, di mana UB sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada UKM selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Selain itu, dalam pola ini UB memberikan bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi, dan pembiayaan. Pola ketiga, yaitu dagang umum merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB, yang di dalamnya UB memasarkan hasil produksi UKM atau UKM memasok kebutuhan yang diperlukan oleh UB sebagai mitranya. Dalam pola ini UB memasarkan produk atau menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh UB. Pola keempat, yaitu keagenan merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB, yang di dalamnya UKM diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa UB sebagai mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga. Pola kelima, yaitu waralaba merupakan hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan yang diajukan oleh UKM sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga. Kemitraan dengan UB begitu penting buat pengembangan UKM. Kunci keberhasilan UKM dalam persaingan baik di pasar domestik maupun pasar global adalah membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang besar. Pengembangan UKM memang dianggap sulit dilakukan tanpa melibatkan partisipasi usaha-usaha besar. Dengan kemitraan UKM dapat melakukan ekspor melalui perusahaan besar yang sudah menjadi eksportir, baru setelah merasa kuat

dapat melakukan ekspor sendiri. Disamping itu, kemitraan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan antara UKM dan UB. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tumbuh kembangnya UKM di Indonesia tidak terlepas dari fungsinya sebagai mitra dari UB yang terikat dalam suatu pola kemitraan usaha. Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan kemitraan diantaranya adalah (1).meningkatkatnya produktivitas, (2).efisiensi, (3).jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, (4).menurunkan resiko kerugian,

(5).memberikan social benefit yang cukup tinggi, dan (6).meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional. Kemanfaatan kemitraan dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolah sosial-politik. Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan. Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etikan bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Menurut Keraf (1995) etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan tersebut. Disamping itu, ada banyak prasyarat dalam melakukan kemitraan usaha antara UKM dan UB, diantaranya adalah harus adanya komitmen yang kuat diantara pihak-pihak yang bermitra. Kemitraan usaha memerlukan adanya kesiapan yang akan bermitra, terutama pada pihak UKM yang umumnya tingkat manajemen usaha dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah, agar mampu

berperan seabagai mitra yang handal. Pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pemantapan organisasi usaha mutlak harus diserasikan dan diselaraskan, sehingga kemitraan usaha dapat dijalankan memenuhi kaidah-kaidah yang semestinya. Kegagalan kemitraan pada umumnya disebabkan oleh fondasi dari kemitraan yang kurang kuat dan hanya didasari oleh belas kasihan semata atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas kebutuhan untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Kalau kemitraan tidak didasari oleh etika bisnis (nilai, moral, sikap, dan perilaku) yang baik, maka dapat menyebabkan kemitraan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berjalan tidaknya kemitraan usaha, dalam hal ini antara UKM dan UB, tergantung pada kesetaraan nilai-nilai, moral, sikap, dan perilaku dari para pelaku kemitraan. Atau dengan perkataan lain, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesetaran budaya organisasi. Menurut Soedjana (2011) ditinjau dari pelakunya, usaha ternak di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) usaha ternak tradisional; (2) usaha ternak komersial oleh perusahaan besar; dan (3) usaha ternak semi-komersial, termasuk sistem inti-plasma. Perusahaan sebagai inti dan peternak rakyat sebagi plasma, keduanya diharapkan bekerjasama saling menguntungkan. Istilah inti-plasma meminjam istilah biologi, bahwa dalam suatu sel ada satu inti berada di lingkungan plasma ; keduanya harus besinergi sedemikian sehingga kehidupan dalam sel dapat berlangsung secara harmonis. Yusdja dkk., (2004) inti dapat dikelompokkan dalam dua struktur yakni perusahaan swasta dan koperasi. Dari sisi ilmu ekonomi, kedua jenis inti ini mempunyai konsep ekonomi yang berbeda. Perusahaan swasta lebih berorientasi pada tindakan mensejahterakan diri sebagai individu, sementara koperasi berorientasi pada kesejahteraan bersama, sementara pemerintah mempunyai citacita bahwa pada suatu saat usaha swasta akan dilenyapkan dan diganti dengan koperasi. Menurut Daryanto (2007) tipe kemitraan inti plasma, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra bertindak sebagai plasma inti, perusahan mitra membina kelompok mitra

dalam hal (1) Penyediaan dan penyiapan lahan, (2) Pemberian saprodi, (3) Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, (4) Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi, (5) Pembiayaan dan (6) Bantuan lain seperti efisiensi dan produktifitas usaha. Menurut Key dan Runsten (1999) manfaat dari keikutsertaan dalam kontrak yaitu pengembangan akses pasar, kredit, dan teknologi, manajemen resiko yang lebih baik, pengembangan berniaga. Menurut Goodwin, et. al (2005), dalam kontrak antara perusahaan dan peternak, perusahaan berperan dan

bertanggungjawab dalam pengiriman sapronak serta dalam pemanenan, peternak hanya menyediakan perkandangan, peralatan kandang, tenaga kandang (sesuai dengan kriteria perusahaan) dan dalam manajemen pemeliharaan dibantu oleh tenaga ahli dari perusahaan.

Gambar 1. Kelembagaan yang berperan dalam pemasaran broiler hidup, broiler dan hasil olahan broiler Berdasarkan Gambar 1. Dari Gambar tersebut tampak bahwa peternak inti/perusahaan dan PS menjual ayam dalam keadaan hidup maupun daging kepada para bakul yang kemudian memasarkan kepada pengecer di pasar konvensional. Pemasaran dalam bentuk daging broiler ditujukan ke pasar modern,

industri pengolahan maupun ke berbagai konsumen lembaga (rumah sakit, rumah makan/restoran dan hotel). Peternak mandiri umumnya memasarkan produk melalui pedagang pengumpul, pedagang pengecer (bakul) di pasar konvensional maupun langsung ke RPA. Peternak bermitra secara lisan disamping cara tersebut juga dapat memasarkan ke PS, sementara peternak bermitra secara resmi berkewajiban memasarkan produknya kepada inti.Dengan sistem kemitraan dan pemasaran yang telah dikemukakan terdapat perbedaan keuntungan (Rp/ekor/satu kali proses produksi) seperti dikemukakan pada Tabel 3. Peternak mandiri memerlukan input terendah walaupun tenaga kerja dinilai tiga kali lipat daripada peternak lainnya. Dengan demikian mempunyai potensi keuntungan yang lebih besar jika memperoleh bimbingan seperti halnya peternak bermitra secara lisan.Peternak bermitra secara resmi memperoleh keuntungan terendah dibanding peternak bermitra secara lisan dan mandiri, namun demikian jika terjadi wabah masih ada kompensasi dan jika ada kegagalan tidak menanggung risiko biaya input. Karena alasan mencegah risiko kegagalan tersebut peminat peternak mitra semakin meningkat, walaupun mereka belum mengerti sepenuhnya arti dan strategi kemitraan. Berdasarkan beberapa pendapat diatas bahwa dapat disimpulkan dapat membantu pada peternak pemula untuk mempelajari bagaimana memanajemen suatu peternakan dari mulai tatalaksana kandang, pemberian pakan, vaksinansi, dan masih banyak lagi hal yang dapat di pelajari. Sehingga dengan pola kemitraan peternak tersebut dapat menimba pengetahuan dan beberapa periode tersebut dapat beternak mandiri dengan bekal pengalaman yang telah didapat dari pola kemitraan tersebut.

7. Jelaskan, mengapa di Idonesia industri perunggasan terutama ayam broiler mengalami kemajuan paling pesat bila dibandingkan dengan ternak lainya? Jawab : Peternakan unggas secara garis besar terbagi atas dua macam yaitu peternakan komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional (non komersial). Hampir semua peternak komersial memelihara ayam ras (broiler dan

petelur) dan sebaliknya hampir semua peternak tradisional memelihara ayam kampung. Peternak komersial secara fungsional terbagi atas peternak pembibitan (breeder) sebagai penghasil bibit/benih dan peternak budidaya sebagai penghasil ayam siap potong dan telur konsumsi. Walaupun dalam prakteknya sebagian besar breeder juga berfungsi sebagai peternak budidaya untuk menciptakan pasar oligopoli. Di samping itu hampir semua peternak komersial dari skala kecil (1.000 ekor) sampai sedang (20.000 ekor) sangat bergantung pada bibit/benih dan saprodi dari perusahaan besar baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasarnya adalah berhubungan langsung dengan para penampung di pasar-pasar tradisional (pasar becek). Untuk peternak yang menjadi plasma perusahaan besar dalam sistem inti-plasma mempunyai kewajiban untuk menjual pada perusahaan besar (inti) dengan harga pasar, yang sebenarnya harga tersebut sudah terikat dalam sistem oligopoli. Perkembangan ayam ras yang mampu membangun Indonesia untuk mencapai swasembada daging ayam dan telur ayam dengan konsumen yang mencapai hampir seluruh Wilayah Indonesia perlu dicermati dengan baik. Kelembagaan dan jejaring yang terbentuk, telah membangun suatu sistem tersendiri yang disetujui oleh para peternak karena mampu memberikan nilai tambah langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu nilai lebih dari industri unggas di dalam negeri. Hal-hal yang menunjang perkembangan peternakan unggas adalah (i) tersedia akses untuk mendapatkan bibit/benih dan pakan berkualitas, (ii) obat-obatan, (iii) informasi standar manajemen pemeliharaan, (iv) pasar yang siap tampung setiap produk yang dihasilkan serta (v) besaran usaha yang cukup memberikan keuntungan yang dianggap baik bagi peternak yang melakoninya (Talib, Inounu et al. 2007). Perkembangan populasi perunggasan di Indonesia boleh dikatakan cukup pesat dari 1, 21 juta ekor (2005) menjadi 1, 52 juta ekor (2008) mengalami peningkatan 6, 6%/ tahun (Ditjennak, 2008). Diantara jenis unggas (buras, petelur, pedaging dan itik) ras pedaginglah yang tumbuh paling besar 8, 7%/ tahun bahkan di akhir 2007-2008 mencapai 20, 6%/ tahun. Kontribusi daging asal ras pedaging mencapi 992, 7 ton dari unggas lainnya 1, 48 ton atau ras pedaging berkontribusi 70, 24% pada produksi daging unggas total. Tingkat konsumsi unggas tahun 2006 4, 5 kg/ kapita/ tahun (FAO, 2006) dan mengalami kenaikan menjadi 6, 7 kg/

kapita/ tahun (FAO, 2008) atau mengalami kenaikan 13/%/ tahun. Proyeksi yang dilakukan oleh ICN untuk tahun 2012 mencapai 1, 947 juta ekor (ICN, 2009). Bagi konsumen, daging ayam pedaging telah menjadi makanan bergizi tinggi dan berperan penting sebagai sumber protein hewani bagi mayoritas penduduk Indonesia (Muladno dkk., 2008). Kontribusi ayam pedaging dalam penyediaan daging di Indonesia berdasarkan angka-angka sebesar 60.73% (Balitbang 2006). Porsi konsumsi rata-rata orang Indonesia untuk pangan hewani baru mencapai 81,9 gr dari standar ideal 150 gram per hari. Data lebih spesifik untuk konsumsi daging asal unggas baru 3,5 per kapita per tahun. Data ini tentu sangat memperihatinkan kalau dibandingkan dengan negara tetangga, yaitu : daging 36,7 kg (Malaysia) per kapita pertahun (WNPG, 2008). Menurut Soedjana (2011) permintaan produk ternak berupa daging ayam akan terus meningkat seiiring pertumbuhan penduduk dan pedapatan rumah tangga. Menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) sumber-sumber pertumbuhan industri perunggasan ke depan dari sisi permintaan ditentukan oleh jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya, peningkatan pendapatan, tingkat urbanisasi, kualitas dan pengembangan produk (fenomena segmentasi pasar) serta preferensi konsumen. Menurut Tobing (2002) meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging unggas pada saat-saat tertentu, adanya kecenderungan harga jual yang tinggi seperti bulan puasa, hari raya Idul Fitri, Natal dan lain-lain. 8. Setujukah saudara jika semua industri perunggasan di Indonesia harus menggunakan kandang close house ? Jelaskan jawaban saudara. Jawab :

Setuju, Kandang sistem closed house adalah kandang tertutup yang menjamin keamanan secara biologi (kontak dengan organisme lain) dengan pengaturan ventilasi yang baik sehingga lebih sedikit stress yang terjadi pada ternak. Tujuan membangun kandang closed house adalah: 1. Untuk menyediakan udara yang sehat bagi ternak (sistem ventilasi yang baik) yaitu udara yang menghadirkan sebanyak-banyaknya oksigen, dan

mengeluarkan sesegera mungkin gas-gas berbahaya seperti karbondioksida dan amonia. 2. Menyediakan iklim yang nyaman bagi ternak. Untuk menyediakan iklim yang kondusif bagi ternak dapat dilakukan dengan cara: mengeluarkan panas dari kandang yang dihasilkan dari tubuh ayam dn lingkungan luar, menurunkan suhu udara yang masuk serta mengatur kelembaban yang sesuai. Untuk menciptakan iklim yang sejuk nyaman maka bagi ayam harus dikondisikan chilling effect (angin berembus), alat yang digunakan seperti kipas angin (blower). Bila chilling effect tidak mampu mencapai iklim yang diiginkan terutama pada daerah yang terlampau panas maka dapat digunakan cooling system. Yaitu sistem pendingin dengan mengalirkan air pada alat-alat yang berupa cooling pad, cooling net stsu cell deck. 3. Meminimumkan tingkat stress pada ternak. Agar tingkst stress pada ayam lebih minimun maka dapat dilakukan dengan cara mengurangi stimulasi yang dapat menyebabkan stress, dengan cara mengurangi kontak dengan manusia (misalnya dengan feeder dan drinker otomatis, vaksinasi dengan spray dll), meminimumkan cahaya dan lain-lain. Pengelolaan kesehatan unggas dan tingkat produksi dalam suatu peternakan tidak dapat dilepaskan dari manajemen perkandangan. Kandang menjadi hal yang sangat penting karena kenyamanan (comfort zone) kandang berpengaruh terhadap kondisi fisiologi tubuh unggas yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas unggas tersebut. Oleh karena itu, konstruksi maupun jenis kandang yang

digunakan dalam suatu peternakan ditentukan pula oleh jenis iklim di daerah setempat. Menurut Fadilah (2004), kandang sistem tertutup (close house) banyak diterapkan di daerah yang beriklim panas, sedangkan pada daerah sejuk cukup menggunakan kandang sistem postal atau beralas semen. Iklim sangat

berpengaruh terhadap penentuan konstruksi dan kapasitas kandang. Kandang adalah lingkungan terkecil tempat unggas hidup dan berproduksi. Oleh karena itu, dibutuhkan kandang yang nyaman dan berpengaruh terhadap kesehatan unggas yang prima dan menghasilkan produksi yang maksimal. Salah satu

bagian kandang yang berperan sebagai penyedia udara yang bersih adalah sistem

ventilasi yang baik. Aliran udara yang cukup akan mampu memberikan suplai oksigen untuk kebutuhan pernapasan ayam sekaligus mengeluarkan CO2 dan amonia dari dalam kandang. Selain itu, ventilasi yang baik akan menurunkan konsentrasi debu dan mikroorganisme penyebab penyakit. Aliran udara dari dan ke kandang akan sangat baik jika dibantu oleh tiupan angin secara alami. Jika tiupan angin kurang baik dapat dibantu dengan kipas angin yang dipasang di tempat-tempat tertentu di dalam kandang . Penerapan peternakan unggas dengan menggunakan sistem kandang tertutup harus memperhatikan konstruksi kandang dan juga peralatan kandang. Semua bentuk kandang yang dibuat ditujukan agar ayam bisa nyaman dengan lingkungan sehingga ayam dapat berproduksi dengan maksimal. Konstruksi kandang yang baik seharusnya turut memperhatikan sistem ventilasi kandang. Sirkulasi udara dalam kandang close house dapat menggunakan sistem tunnel dan cooling pad. Cooling pad mengalirkan udara segar yang dibutuhkan ke dalam kandang dan exhaust fan mengeluarkan udara kotor ke luar kandang. Kandang tertutup dengan sistem tunnel menggunakan kipas untuk menarik udara ke dalam kandang serta dikeluarkan melalui exhaust fan. Pemilihan model dan sistem kandang sebaiknya memperhatikan kenyamanan unggas yang dipelihara untuk mendapatkan hasil yang maksimal, karena kandang merupakan salah satu unsur penting dalam keberhasilan kapasitas kandang dapat menyediakan

pembibitan unggas. Bentuk serta

lingkungan yang sesuai untuk kehidupan unggas sehingga memungkinkan unggas dapat berproduksi secara maksimal. Model kandang sistem terbuka tidak sesuai lagi dengan perkembangan mutu genetik ayam ras saat ini, yaitu ayam dengan strain-strain modern dengan tingkat pertumbuhan yang cepat bila

dibandingkan dengan strain-strain ayam tempo dulu. Kandang model tertutup dimaksudkan untuk meminimalkan kontak antara ayam dengan kondisi lingkungan di luar kandang. Tujuan pembangunan kandang sistem tertutup adalah menciptakan lingkungan ideal dalam kandang, meningkatkan

produktivitas ayam, efisiensi lahan dan tenaga kerja serta menciptakan usaha peternakan yang ramah lingkungan. Kondisi fisiologis dan metabolisme tubuh unggas sangat tergantung pada suhu dan kelembaban lingkungan atau kandang tempat unggas tersebut dipelihara. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi

produktivitas, kesehatan, dan penampilan unggas meliputi suhu, kelembaban relatif, pencahayaan, sistem perkandangan, dan ventilasi. Pengaturan suhu dan kelembaban memberikan zona nyaman (comfort zone) sehingga meningkatkan produktivitas unggas tersebut. Suhu lingkungan kandang untuk pemeliharaan ayam adalah 25-28C dengan kelembaban relatif 60-70% (Cahyadi, Wijaya et al.). Apabila suhu lingkungan kandang berada di atas zona nyaman, peluang terjadinya heat stress akan semakin tinggi. Heat stress merupakan cekaman yang diakibatkan oleh suhu lingkungan kandang yang berada di atas zona nyaman (comfort zone) atau suhu yang fluktuatif. Heat stress terjadi karena ayam tidak bisa menyeimbangkan antara produksi dan pembuangan panas tubuhnya. Penggunaan sistem kandang tertutup di banyak negara maju dan beberapa peternakan unggas di Indonesia diharapkan mampu memberikan sirkulasi udara yang terbaik bagi ayam. Di Indonesia baru sedikit peternakan yang menggunakan kandang sistem tertutup. investasi yang cukup tinggi padahal Hal ini disebabkan biaya yang sudah

beberapa peternakan

menerapkan sistem kandang tersebut memperoleh keuntungan yang cenderung meningkat (Abidin, 2003) . Selain itu, penerapan sistem kandang tertutup di beberapa negara menjadi salah satu solusi dalam mengatasi kasus flu burung, dimana sistem ini menyediakan keadaaan lingkungan terkendali dan mencegah kontak langsung antara unggas di peternakan dengan burung liar atau hewan lain yang membawa mikroorganisme patogen (Bucher et al, 2009). Peternakan unggas yang menggunakan sistem kandang tertutup (close house system) memiliki beberapa keuntungan dari segi manajemennya. Keuntungan dari penerapan sistem kandang tertutup yaitu efisiensi lahan, pemberian pakan dan minum, tenaga kerja, dan pengelolaan kesehatan. Peternak unggas di berbagai wilayah di dunia telah mengerti bahwa untuk memelihara unggas dengan efisiensi maksimal, beberapa kondisi harus

dipenuhi, yaitu pencegahan stres, pemberian pakan dan minum yang baik, dan sanitasi. Dengan memenuhi kondisi tersebut, pada dasarnya peternak sudah menjamin terlaksananya prinsip kesejahteraan hewan. Peternakan unggas dengan sistem kandang tertutup menyediakan suhu dan kelembaban kandang yang terkontrol. Kepadatan populasi unggas dalam

kandang sistem

tertutup

bisa mencapai

15

ekor

per meter

persegi.

Dibandingkan dengan sistem kandang terbuka, dengan populasi 10 ekor per meter persegi, penggunaan lahan untuk kandang lebih efisien dengan sistem kandang tertutup (Dirjenak, 2002). Kandang model tertutup dimaksudkan untuk mengurangi kontak antara ayam dengan kondisi lingkungan di luar kandang, menciptakan lingkungan ideal dalam kandang, meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ayam, efisiensi lahan, dan tenaga kerja serta menciptakan usaha peternakan yang ramah lingkungan (Fadillah, 2000). Penggunaan kandang tertutup memiliki

keuntungan, yaitu memudahkan pengawasan, pengaturan suhu dan kelembaban, pengaturan cahaya, mempunyai ventilasi yang baik serta penyebaran penyakit mudah diatasi (Surdayani dkk, 2004). Penggunaan sistem kandang tertutup akan memberikan kualitas unggas yang lebih baik dengan tingkat kematian yang rendah, kondisi pertumbuhan unggas yang merata, dan penampilan unggas yang dihasilkan baik secara maksimal (invofet, 2010). Pengelolaan kesehatan unggas di peternakan yang menggunakan sistem kandang tertutup didukung dengan manajemen yang baik, meliputi pemeriksaan kondisi ayam secara konsisten, pengawasan terhadap kesehatan lingkungan kandang, penerapan isolasi terhadap unggas yang sakit, pelaksanaan sanitasi, program vaksinasi dan pemberian obat, vitamin, dan antibiotik, serta pemusnahan unggas yang mati (Rahmadi, 2009) Pembangunan subsektor peternakan unggas dapat dicapai melalui pengelolaan peternakan unggas dengan sistem yang tepat. Pengaruh kondisi lingkungan dan iklim dapat diatasi dengan sistem kandang tertutup (close house system). Penerapan sistem kandang tertutup memiliki kelebihan dalam efisiensi lahan, tenaga kerja, pakan, dan pengelolaan kesehatan unggas sehingga dapat menjadi solusi bagi pembangunan peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Azisa, A., H. Abbasb, Y. Heryandib dan E. Kusnadib. 2011. Pertumbuhan Kompensasi dan Efisiensi Produksi Ayam Broiler yang Mendapat Pembatasan Waktu Makan. Media Peternakan. 50-57 Badan Litbang Pertanian. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. BKP. 2009. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Badan Ketahauan Pangan Departemea Pertanian. Jakarta. Butcher G.D., Miles R. 2009. Heat Stress Management in Broilers. Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida. Cahyadi, D. D., M. R. Wijaya, et al. "SISTEM KANDANG TERTUTUP DALAM MANAJEMEN PETERNAKAN UNGGAS." Chapmann, J.J., 1988. Probiotics. Accidifcrs and Yeasi Culture a Plate for Natural Additives in Pig and Poultry Production. Biotrchnology in the Feed Indistries. Proceedings of Alltechs for Fourth Annual Symposium. 219223. Daryanto, A., 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. PT. Permata Wacana Lestari. Jakarta Direktorat Budidaya Ternak-Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. 2002. Pedoman Budidaya Ternak Ayam Pedaging yang Baik. Good Farming Practice. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Jakarta. Ditjenak, 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan. Deptan. Elijah O.A., Adedapo A, The effect of climate on poultry productivity in Ilorin Kwara State, Nigeria, International Journal of Poultry Science 5 (2006) 1061-1068 Fadilah, R. dan A. Polana, 2004. Panduan Pengelolan Peternakan Ayam Broiler Komersial. PT Agromedia Puslaka. Depok. Jakarta. Food Agriculture Organization. 2008 http//www.fao.org. ________________________. 2006 http//www.fao.org. Goodwin, H. L,. B. L Ahrendsen, L. Barto and J. H. Denton. 2005. Estimated Returns for Contract Broiler Production in Arkansas, Missouri, and Oklahoma: Historical and Future Perspectives. J. Appl. Poult. Res. 14 : 106-115 Hardiyanto, T. 2008. Menghadapi Krisis dan Seluk Beluk Usaha Perunggasan. Seminar Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global. MIPI-FAPET IPB. Bogor. Jullabutradee S., Kyule M.N., Baumann M.P.O., Zessin K.H., 2004. Safety and quality practices in closed-house poultry production in Thailand: lessons from 2004-avian influenza outbreak. Internet Journal of Food Safety 8 3-6.

Ilham, N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5 No. 4 : 335357 Key, N and Rusten, D. 1999. Contract Farming, Smallholders and Rural Development In Latin America. The Organisation of Agroprocessing Firm and the Scale of Outgrower Production, Word Development. Vol. 27 No. 2 : 381-481 Mahyudi, I., Suryahadiz dan Amiruddin Saleh. 2010. Perbandingan Pendapatan Peternak dari Dua Sistem Kemitraan Inti Plasma Berbeda pada Usaha Pembesaran Ayam Ras Pedaging. Manajemen IKM. Vol. 5 No. 2 : 111121 Mardiana, D. 2006. Pendapatan Peternak Ayam Niaga Pedaging Peserta Kemitraan di Kabupaten Bekasi. Tesis Universitas Jendral Soedirman. Mubyarto, 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Edisi Pertama. BFE Yogyakarta. Muladno, Sjaf S, Arifin AY, Iswandari. 2008. Struktur Usaha Broiler di Indonesia. Permata Wacana Lestari. Bogor. Nort, M. O., 1991. Commercial Chicken Production Manual. Avi Book. Published by Van Nostrand Reinhold. New York. Rahardjo, Y., 2002. Globalnya Penyakit, Barunya Bumi. Majalah Infovet. Edisi 101. Desember 2002. 8-9. Rahmadi F.I., .2009. Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur di Peternakan Dony Farm Kabupaten Magelang. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta. Rasyaf, M. 1997. Mengapa Peternakan Broiler Saya Rugi?. Edisi ke- 8 Percetakan Kanisius. Yogyakarta. Rohani, ST. 2011. Pengelolaan Usaha Peternakan. Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakanuniversitas Hasanuddin. Makassar Saptana, E Basuno dan Y. Yusdja., 2005. Dampak Ekonomi Flu Burung Terhadap Kinerja Industri Perunggasan di Provinsi Jateng. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SOCA) Vol. 5 No. 3 : 283-294 Soedjana, Tjeppy D. 2011. Revalensi Usaha Ternak Tradisional Dalam Perspektif Pembangunan Peternakan Menghadapi Pasar Global. Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 4 No. 2 : 156-173 Sumaryanto dan Saptana., 2009. Kebijakan Antisipatif terhadap Peraturan dan Kebijakan Perunggasan Pemerintah DKI 2010. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 4 : 319-335 Sudaryani T., Santoso H. 2004. Pembibitan Ayam Buras. Penebar Swadaya. Jakarta. Talib, C., I. Inounu, et al. (2007). "Restrukturisasi Peternakan di Indonesia." Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007: 1 1.

Tangendjaja, B., 2007. Inovasi Teknologi Pakan Menuju Kemandirian Usaha. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Tobing, V. 2002. Beternak Ayam Broiler Bebas Antibiotika Murah dan Bebas Residu. Penebar Swadaya, Jakarta. Utoyo, Don P. Seminar Bisnis Perunggasan, Poteret 2006, Prospek 2007. Hotel Menara Peninsula, 7 Desember 2006, Jakarta. Priyarsono, D. S., A. Daryanto dan L. Herliana. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?. Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Agro-Ekonomika. Vol. 35 No. 1 : 37-47 Wahyu J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Westra, P. 2009. Reformasi Industri Perunggasan Menuju Ketahanan Pangan (Protein Hewani) Bagi Masyarakat Miskin di Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 3 : 223-230 WNPG. 2008. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi Untiik Mencapai Millenium Development Goal's. Sekretariat Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) IX, Hotel Bumi Karsa Bidakara, Jakarta. Yusdja, Y., Nyak Ilham dan Rosmijati Sayuti. 2004. Tinjauan Penerapan Kebijakan Industri Ayam Ras : Antara Tujuan dan Hasil. Forum Penelitian Agro-Ekonomi. Vol. 22 No. 1 : 22-36 Z. Abidin. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta. http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/tata-laksana/sistemperkandangan-yang-baik/1-tata-laksana/770-sistem-perkandangan-yangbaik