urbanisasi dan ekonomi di kotadepok_compiled

Upload: chotib-hasan

Post on 21-Jul-2015

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

URBANISASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI KOTA DEPOK1 C H O T I B2 dan BETA Y. GITAHARIE3

1. Perkembangan Kota dalam Konteks Global Kota adalah sebuah permukiman yang dihuni secara permanent, yang jelas batas-batas wilayahnya. Penduduk kota bukan hanya sebuah kelompok kerabat, klen atau marga, atau sebuah kelompok sukubangsa yang merupakan penduduk asli kota setempat. Penduduk kota terdiri atas keturunan dari penduduk asli setempat dan penduduk pendatang yang berasal dari berbagai sukubangsa. Penduduk kota ditandai oleh jumlahnya yang besar dan tingkat kepadatannya yang tinggi. Jumlah penduduk yang besar disebabkan oleh adanya arus migrasi dari perdesaan ke perkotaan dan pertumbuhan alamiah (selisih antara angka kelahiran dan angka kematian) penduduk kota itu sendiri. Ciri lain dari kota adalah kegiatan utama ekonomi penduduknya bertumpu pada sektor industri dan pelayanan jasa-jasa. Hal ini disebabkan perekonomian kota tidak tidak tergantung pada memungut atau mengolah hasil alam. Sebuah kota menjadi besar karena adanya pranata-pranata pelayanan, organisasi-organisasi industri, bisnis dan pasar. Karena itu, di daerah perkotaan uang menjadi amat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Di perkotaan, uang tidak hanya sebagai alat tukar tetapi juga sebagai komoditi. Tanpa peredaran uang dalam rangka tukar menukar uang, jasa dan barangbarang, suatu kota tidak mungkin dapat berkembang. Perkembangan kota biasanya meluas ke daerah hinterland-nya sehingga secara administratif, kota makin meluas. Dalam konteks global, proyeksi yang dibuat oleh United Nations (UN) memperlihatkan bahwa penduduk dunia akan meningkat dari 6,1 miliar menjadi 7,8 miliar antara tahun tahun 2000 dan 2025. Pangsa peningkatan tersebut 90 persen diantaranya disumbang oleh penduduk perkotaan di negara-negara berkembangDisampaikan pada acara Seminar Depok 2007: Quo Vadis Depok?Peluang dan Tantangan, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia, Depok 5 September 2007. 2 Staf Peneliti Lembaga Demografi FEUI dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UI, Depok. Alamat Email: [email protected]; [email protected]. 3 Staf Peneliti Lembaga Demografi FEUI dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UI, Depok. Alamat Email: [email protected]. 11

(Brockerhoff, 2000). Bahkan menjelang tahun 2020, mayoritas penduduk negara-negara berkembang akan tinggal di wilayah yang dikatakan sebagai wilayah perkotaan. Sementara itu, UN (2001) memproyeksikan bahwa penduduk perkotaan di negara-negara berkembang terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,4 persen per tahun. Angka ini merupakan dua kali lipat angka pertumbuhan penduduk total negaranegara berkembang pada umumnya, yakni sekitar 1,2 persen. Meski penduduk perkotaan di negara-negara maju juga meningkat dengan angka pertumbuhan yang lebih besar daripada angka pertumbuhan penduduk totalnya, dan juga angka urbanisasinya jauh lebih besar daripada negara-negara berkembang, pertumbuhan perkotaan di negaranegara berkembang tetap lebih cepat disertai dengan meningkatnya penduduk perkotaan secara absolut. Pada 30 tahun mendatang, penduduk perkotaan di negara-negara berkembang diproyeksikan meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 miliar di tahun 2000 menjadi sekitar 4 miliar menjelang tahun 2030. Sebaliknya penduduk perkotaan di negara-negara maju diproyeksikan hanya bertambah dari 900 juta di tahun 2000 menjadi 1 miliar di tahun 2030. Sementara itu angka urbanisasi di negara-negara maju saat ini sudah mencapai 75 persen. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduknya, jumlah kota-kota besar di negara-negara berkembang juga akan meningkat secara substansial. Di tahun 2000 terdapat 388 kota di dunia dengan 1 juta atau lebih penduduknya. Namun menjelang tahun 2015 diperkirakan akan terdapat 554 kota, lebih dari dua per tiga di antaranya (426 kota) akan terdapat di negara-negara berkembang. United Nations juga memperkenalkan istilah megacities untuk menjelaskan kota-kota dengan jumlah penduduk 8 juta orang atau lebih. Institusi ini juga memperkenalkan ambang batas (treshold) untuk status megacity sebesar 10 juta penduduk. Saat ini, ada sekitar 17 megacity yang terdaftar di UN, dengan 4 di antaranya terletak di negara-negara berkembang. Menjelang 2015, proyeksi yang dibuat oleh UN tersebut memperkirakan akan terdapat 21 kota-kota yang memiliki paling sedikit 10 juta penduduk yang tinggal di kota-kota tersebut. (Lihat Tabel 1).

2

Tabel 1. Jumlah Megacity di Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan Kota-kota dengan 10 juta atau lebih penduduk: 1950, 1975, 2001, dan 2015 (Jumlah penduduk dalam jutaan) 1950 1975 2001 Kota Pend. Kota Pend. Kota Pend. 1 New York 12,3 Tokyo 19,8 Tokyo 26,5 2 New York 15,9 Sao Paulo 18,3 3 Shanghai 11,4 Mexico City 18,3 4 Mexico City 10,7 New York 16,8 5 Sao Paolo 10,3 Mumbai 16,5 6 Los Angeles 13,3 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Total 12,3 Sumber: Population Reports (2003) 68,1 238,6 Kolkata Dhaka Delhi Shanghai Buenos Aires Jakarta Osaka Beijing Rio de Jeneiro Karachi Metro Manila 13,3 13,2 13,0 12,8 12,1 11,4 11,0 10,8 10,8 10,4 10,1

2015 Kota Tokyo Dhaka Mumbai Sao Paulo Delhi Mexico City New York Jakarta Kolkata Karachi Lagos Los Angeles Shanghai Buenos Aires Metro Manila Beijing Rio de Jeneiro Cairo Istanbul Osaka Tianjin

Pend. 27,2 22,8 22,6 21,2 20,9 20,4 17,9 17,3 16,7 16,2 16,0 14,5 13,6 13,2 12,6 11,7 11,5 11,5 11,4 11,0 10,3 340,5

2. Teori Perkembangan Kota Urbanisasi bukanlah fenomena kependudukan semata, namun ia juga terkait dengan berbagai dimensi sosio-ekonomi. Terlebih lagi urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan. Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian (Davis, 1969). Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan antara industrialisasi dan perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi desakota yang akhirnya mendorong lebih jauh ke arah urbanisasi. Teori klasik, seperti central-place theory yang dikemukakan oleh Christaller mengilhami model perkembangan kota. Dari sudut pandang geografi, teori ini memiliki dua konsep yaitu: threshold (jarak jangkauan minimal untuk dapat bertahan) dan range3

(jarak jangkauan sesungguhnya yang dapat dicapai). Jika dalam sebuah pasar treshold lebih besar dibanding range, maka ia akan mati, dan sebaliknya jika range lebih besar daripada threshold, maka pasar itu akan berkembang dan bahkan tumbuh menjadi daerah perkotaan. Teori klasik yang cukup banyak dianut di kalangan geografi ini sebenarnya belum dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai urbanisasi kontemporer. Teori klasik umumnya hanya melihat ke dalam ketika menjelaskan faktor-faktor penyebab perkembangan perkotaan. Peran proses (ekonomi) global yang memunculkan fenomena kota-kota global (global cities) tidak mendapat perhatian. Padahal, internasionalisasi produksi, jasa dan kapital yang dimotori oleh perusahaan transnasional amat besar peranannya dalam mempengaruhi perkembangan kota-kota yang terlibat dalam proses tersebut. Menurut McGee (1995) dan Douglass (1995), sebagaimana dikutip oleh Firman (1996), proses urbanisasi yang terjadi di Asia dewasa ini pada dasarnya mencerminkan integrasi kota-kota ke dalam sistem ekonomi global, yang digerakkan oleh akumulasi kapital pada skala dunia. Indonesia. Lebih jauh lagi Armstrong dan McGee (1985) mengajukan teori tentang pembentukan kota-kota berdasarkan penelitiannya di Asia dan Amerika Latin. Mereka mengemukakan bahwa kota-kota pada dasarnya merupakan teater dari akumulasi kapital yang mengalami penetrasi ke negara-negara berkembang. Meskipun urbanisasi yang terjadi di negara berkembang merupakan bagian integrasi dari akumulasi kapital di negara maju, namun dalam proses perkembangannya terdapat banyak perbedaan. Perbedaan itu bertitik tolak dari kenyataan demografi dan ekonomi yang terjadi di negara berkembang. Itu sebabnya urbanisasi yang terjadi di negara berkembang dikatakan sebagai pseudo urbanization, daripada true urbanization di negara maju. Teori yang menekankan adanya interaksi antara sistem produksi dan regulasi pada tingkat nasional, perspektif globalisai dan modernisasi dikembangkan dalam sebuah model perkembangan perkotaan yang lebih komprehensif, yaitu teori regulasi (Prabatmodjo, 2000). Model tersebut mencakup faktor-faktor struktural pada tingkat Proses ini disebut pula sebagai mega-urbanization, yang tampaknya akan menjadi kecenderungan (trends) urbanissi di Asia, termasuk di

4

internasional maupun nasional/regional serta faktor sosial-demografi. 1).

Perkembangan

perkotaan dan urbanisasi merupakan resultante bekerjanya faktor-faktor tersebut (Gambar

Proses Ekonomi Global Internasional Nasional/regional Sistem Produksi Sistem Regulasi

Perkembangan Perkotaan

Faktor Sosial Demografi

Urbanisasi Gambar 1. Model Komprehensif Perkembangan Perkotaan Sumber: Prabatmodjo, 2000

3. Pengukuran Urbanisasi di Indonesia Pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat pesat secara substansial yang terjadi di negara-negara berkembang pada hakekatnya mencerminkan tiga faktor mendasar, yaitu: (1) migrasi dari daerah perdesaan ke perkotaan; (2) pertumbuhan penduduk alamiah (selisih antara jumlah kelahiran dan jumlah kematian) di wilayah perkotaan; dan (3) reklasifikasi wilayah yang semula daerah perdesaan menjadi daerah perkotaan sebagai akibat dari pembangunan wilayah.

5

Untuk perkembangan penduduk perkotaan dapat dilihat dari angka urbanisasi, yaitu angka yang mencerminkan persentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Di Indonesia, untuk melihat persentase penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan, BPS (1988) melakukan scoring system dalam penentuan wilayah perkotaan. Ada tiga kriteria suatu daerah (lokalitas) dijadikan sebagai daerah perkotaan yaitu: 1. Kepadatan penduduk 5000 orang atau lebih per km persegi. 2. Jumlah rumah tangga pertanian 25 persen atau lebih kecil. 3. Memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan. Kriteria desa perkotaan di atas telah digunakan sejak Sensus Penduduk 1980 hingga 1999, yang merupakan penyempurnaan dari kriteria desa perkotaan 1971. Namun demikian, BPS (2000) kini tengah melakukan penyempurnaan kriteria desa perkotaan tahun 2000. Penyempurnaan tersebut meliputi aspek metodologi guna memberikan landasan statistik yang lebih kuat dalam pemberian skor dan penentuan batas skor. Beberapa aspek dalam metodologi 1980 yang memerlukan penyempurnaan dan landasan statistik yang lebih kuat antara lain: 1. Klasifikasi variabel (indikator) dan sistem pemberian skornya. 2. Hanya memperhitungkan keberadaan fasilitas (belum memperhitungkan akses) sehingga desa-desa yang secara praktis tidak memiliki masalah untuk mencapai akses urban menjadi underscored. 3. Beberapa fasilitas yang digunakan perlu ditinjau kembali, karena tidak lagi sensitif (sebagai contoh: bangunan SD). Indikator utama dalam penentuan kriteria perkotaan 2000 pada dasarnya sama dengan tahun 1980. Dua indikator utama 1980, yaitu kepadatan penduduk (KPD) dan persentase rumah tangga pertanian (PRT) tetap digunakan meski dengan sistem pemberian skor dan klasifikasi yang berbeda. Sedangkan indikator ketiga, jenis fasilitas urban (JFU) dimodifikasi untuk mengakomodir akses ke fasilitas urban (AFU). Berdasarkan kriteria 2000, sebagian desa perkotaan hasil kriteria 1980 ternyata terkategori perdesaan (614 desa, atau sekitar 0,9% dari seluruh desa, atau 8,26% dari seluruh desa perkotaan 1980). Sementara itu, muncul desa perkotaan baru sebanyak 7430 desa (10,87%), yang merupakan desa-desa yang karena perkembangannya sejak 1980,

6

pada tahun 1999, berdasarkan kriteria 2000 sudah dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan. Beberapa desa perkotaan 1980 yang terkategori perdesaan pada kriteria 2000, tetap dipertimbangkan sebagai daerah perkotaan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan di samping jumlahnya yang relatif kecil, juga karena daerah-daerah tersebut memiliki perkembangan wilayah yang cukup pesat, sehingga 2-3 tahun lagi, desa-desa tersebut akan memiliki peluang yang besar untuk menjadi daerah perkotaan.

3.1. Kriteria Desa Perkotaan 1980 Kriteria desa perkotaan yang selama ini digunakna adalah kriteria 1980, yang merupakan penyempurnaan kriteria desa perkotaan 1971. Indikator yang digunakan dalam criteria 1980 meliputi: Kepadatan Penduduk (KPD), persentase rumah tangga pertanian (PRT), dan jumlah fasilitas urban (JFU). Masing-masing indicator tersebut diberi skor secara linear dengan pedoman sebagai berikut:Tabel 2. Perhitungan Nilai Skor Desa Perkotaan Tahun 1980 KRITERIA KPD PRT < 500 >95 500-999 91 95 1000 - 1499 86 90 1500 - 1999 76 85 2000 2499 66 75 2500 2999 56 65 3000 3499 46 55 3500 3999 36 45 4000 4999 26 35 5000 25 Sumber: BPS (2000)

NILAI SKOR JFU 0 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kriteria desa perkotaan tahun 1980 adalah: 1. Desa-desa dengan total skor 21 ke atas 2. Desa-desa dengan total skor 19-20 yang memenuhi syarat (1) atau (2): (1). a. Jarak ke perkotaan terdekat kurang dari 5 km b. Menurut pengamatan team klasifikasi adalah perkotaan c. Prospek perkembangan desa adalah sedang (2) a. Jarak ke daerah perkotaan terdekat kurang dari 5 km b. Menurut team klasifikasi adalah mendekat perkotaan

7

c. Prospek perkembangan desa adalah cepat

3.2. Kriteria Desa Perkotaan 2000 Secara rinci, indicator dan sistem pemberian skor disajikan pada table berikut. Terlihat dari table, bahwa sebuah desa dapat memiliki total skor (dari KPD, PRT, atau AFU) bervariasi dari 2 (minimum) sampai dengan 26 (maksimum). Hasil pengujian menunjukkan bahwa skor batas yang paling akurat adalah 10. Jadi kriteria perkotaan 2000 adalah sebagai berikut: Desa Perkotaan: Desa yang memiliki total skor 10 atau lebih.Ta bel 3. Variabel, Klasifikasi dan Skor Metode 1998 (Final) Variabel/Klasifikasi (1) Total Skor Skor Minimum Skro Maksimum 1. Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) < 500 500 1 249 1 250 2 499 2 500 3 999 4 000 5 999 6 000 7 499 7 500 8 499 8 500 + 2. Persentase Rumah Tangga Pertanian 70.00 + 50.00 69.99 30.00 49.99 20.00 29.99 15.00 19.99 10.00 14.99 5.00 9.99 < 5.00 3. Akses Fasilitas Umum A) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Ada atau 2.5 Km B) Sekolah Menengah Pertama Ada atau 2.5 Km C) Sekolah Menengah Umum Ada atau 2.5 Km D) Pasar Ada atau 2 Km E) Bioskop Ada atau 5 Km F) Pertokoan Ada atau 2.5 Km G) Rumah Sakit Ada atau 5 Km H) Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti pijat/Salon Ada Tidak ada I) Persentase Rumah Tangga Telepon >= 8.00 < 8.00 J) Persentase Rumah Tangga Listrik >= 90.00 1 berarti proporsi nilai tambah sektor ke i di Kota Depok lebih besar daripada nilai tambah sector yang sama di tingkat propinsi. Ini mengimplikasikan bahwa sektor ke i mempunyai surplus, sehingga sektor ke i tersebut dapat mengekspor produk dari sektor ke i ke daerah lain. Dengan demikian, sector ke i dapat dinyatakan sebagai sektor basis. Bila koefisien LQi =1 berarti proporsi nilai tambah sector ke i di Kota Depok sama dengan nilai tambah sector yang sama di tingkat propinsi. Ini mempunyai implikasi bahwa sektor ke i adalah self suffiencienttidak harus mengimpor dari atau mengekspor ke daerah lain. Bila koefisien LQi < 1 berarti proporsi nilai tambah sektor ke i lebih kecil daripada nilai tambah sektor yang sama di tingkat propinsi. Ini mengimplikasikan bahwa sector ke i mengalami defisit sehingga sector ke i tersebut harus mengimpor produk sector ke i dari daerah lain. Dengan demikian sector ke i dapat dinyatakan sebagai sector non basis. Berdasarkan hasil perhitungan LQ, di sektor pertanian Kota Depok hanya unggul pada peternakan dan hasil olahannya. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, hanya unggul pada sektor perdagangan kecil dan besar dan restoran. Sektor keuangan persewaan dan jasa bangunan dan swasta. Sektor pengangkutan dan komunikasi unggul pada sektor pengangkutan rel dan jalan raya. perusahaan unggul terutama disektor sewa Selain itu, sektor banguanan juga menjadi salah satu sektor

27

unggulan Kota Depok. Jika diamati lebih mendalam, hampir semua dari sektor unggulan Kota Depok dipengaruhi oleh keberadaan kota ini sebagai daerah sub-urban.

Tabel 11 LQ Kota Depok LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005** 1. PERTANIAN 0.24 0.24 0.25 0.25 0.23 0.24 a. Tanaman Bahan Makanan 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06 0.06 b. Tanaman Perkebunan 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.35 1.50 1.43 1.35 1.13 1.27 d. Kehutanan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 e. Perikanan 0.56 0.60 0.50 0.42 0.35 0.36 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3. INDUSTRI PENGOLAHAN 0.86 0.85 0.87 0.84 0.85 0.82 a. Industri Migas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1. Pengilangan Minyak Bumi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Gas Alam Cair na na na Na Na na b. Industri Tanpa Migas 0.88 0.87 0.91 0.87 0.89 0.86 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 1.51 1.29 1.41 1.34 1.22 1.58 a. Listrik 1.68 1.43 1.61 1.46 1.33 1.70 b. Gas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 c. Air Bersih 1.08 1.00 0.70 0.94 0.94 1.49 5. BANGUNAN 2.32 2.25 2.05 2.16 2.03 1.70 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 1.46 1.55 1.48 1.58 1.67 1.50 a. Perdagangan Besar & Eceran 1.43 1.53 1.43 1.55 1.68 1.45 b. Hotel 0.40 0.34 0.36 0.32 0.28 0.24 c. Restoran 1.81 1.85 1.91 1.93 1.81 1.99 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 1.27 1.31 1.24 1.10 1.02 1.22 a. Pengangkutan 1.54 1.61 1.50 1.32 1.24 1.37 1. Angkutan Rel 3.34 3.66 2.69 2.61 2.59 2.61 2. Angkutan Jalan Raya 1.48 1.53 1.47 1.29 1.21 1.36 3. Angkutan Laut 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5. Angkutan Udara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6. Jasa Penunjang Angkutan 3.64 3.98 3.86 3.64 2.85 2.59 b. Komunikasi 0.34 0.36 0.36 0.35 0.33 0.47 1. Pos dan Telekomunikasi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Jasa Penunjang Komunikasi na na na Na na na 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN 1.31 1.26 1.19 1.20 1.16 1.28 a. Bank 0.18 0.16 0.16 0.17 0.14 0.18 b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 0.06 0.06 0.05 0.05 0.04 0.04 c. Jasa Penunjang Keuangan na na na Na na na

28

d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 2. Jasa Pemerintah lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan & Rekreasi 3. Perorangan & Rumahtangga 7.4 Sektor Strategis

2.09 0.84 1.24 1.02 1.64 0.00 1.55 2.84 1.21 1.29

2.14 0.80 1.08 0.83 1.33 0.00 1.55 2.88 1.30 1.29

1.98 0.78 1.01 0.76 1.23 0.00 1.48 2.50 1.23 1.24

1.96 0.76 0.98 0.79 1.27 0.00 1.31 2.45 1.15 1.06

1.99 0.66 0.93 0.72 1.17 0.00 1.32 2.65 1.00 1.05

2.08 0.90 1.01 0.79 1.27 0.00 1.44 2.85 1.04 1.13

Dengan menggunakan indikator-indikator di atas, identifikasi sektor strategis dapat dilakukan. Salah satu indikator adalah membandingkan pertumbuhan sektoral di daerah dengan pertumbuhan PDRBnyaapakah lebih kecil atau lebih besar. Apabila pertumbuhan sektoral di daerah lebih besar daripada pertumbuhan PDRB daerah secara keseluruhan, maka sektor tersebut mempunyai peluang untuk menjadi sektor strategis. Indikator kedua adalah perbandingan pertumbuhan sektor i di daerah terhadap pertumbuhan sektor i di propinsi. Apabila angka pertumbuhan sektor i di daerah relatif lebih besar daripada angka pertumbuhan sektor i di propinsi, maka sektor i tersebut berpeluang untuk menjadi sektor strategis. Indikator ketiga adalah kontribusi sektoral. Apabila kontribusi sektor i lebih besar daripada 10%, maka sektor i kemungkinan dapat menjadi sektor strategis. Indikator keempat adalah koefisien LQ, apabila sektor i merupakan sektor basis maka sektor tersebut berpeluang untuk menjadi sektor strategis. Indikator kelima adalah koefisien proportional shift (PS) dan dfferential shift (DS). Proportional shift (PS) menunjukkan perubahan aktivitas ekonomi daerah pada sektor i dibandingkan dengan total perubahan aktivitas ekonomi propinsi. Angka ini juga dapat mengindikasikan pertumbuhan relatif ekonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi. Jika PS bernilai positif maka pertumbuhan ekonomi lebih cepat daripada rata-rata pertumbuhan aktivitas ekonomi propinsi. Sedangkan differential shift (DS) menunjukkan kinerja kompetitif ekonomi di suatu daerah dengan ekonomi propinsi untuk sektor yang sama. Jika koefisien DS positif, maka angka tersebut menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi wilayah pada suatu sektor lebih kompetitif daripada di tingkat propinsi. Indikator

29

keenam adalah multiplier effect, yang merupakan rasio antara aktivitas sektor non basis terhadap aktivitas sektor basis. tersebut. Tabel 12 di bawah menunjukkan keenam indikator

Tabel 12 Sektor Strategis Kota DepokLAPANGAN USAHA 1. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih 5. BANGUNAN 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum Gir>Gr 0 0 0 0 Na 0 na 1 na 1 0 0 na 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 na 1 0 0 0 Gir>Gip 1 1 0 0 na 0 na 1 na 1 0 0 na 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 na 1 1 0 0 KS>10% 0 0 0 0 na 0 na 1 na 1 0 0 na 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 na 0 0 0 0 LQ>1 0 0 0 1 na 0 na 0 na 0 1 1 na 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 na 1 0 1 0 PS&DS>0 0 0 0 0 na 0 na 0 na 0 1 1 na 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 na 0 0 0 0 ME>0 0 0 0 1 na 0 na 0 na 0 1 1 na 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 na 1 0 1 1 Jumlah 1.00 1.00 0.00 2.00 Na 0.00 Na 3.00 Na 3.00 3.00 3.00 Na 4.00 2.00 4.00 4.00 0.00 3.00 5.00 4.00 4.00 4.00 3.00 2.00 3.00 1.00 1.00 Na 4.00 1.00 2.00 1.00 KS S na S SS SS KS KS S KS KS S S na KS na S na na KS na 200020005 KS