uppk pada pengelolaan pelayanan masyarakat - bpkp.go.id · pdf filerepublik indonesia upaya...

59
REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002

Upload: lengoc

Post on 04-Mar-2018

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

REPUBLIK INDONESIA

UPAYA PENCEGAHAN DAN

PENANGGULANGAN KORUPSI

PADA

PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

TIM PENGKAJIAN SPKN

2002

SAMBUTAN MENTERI

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan negara sejak tahun 1997.

Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi.

Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD, BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat.

Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien.

Hendaknya selalu diingat bahwa masyarakat sesungguhnya sangat menghendaki

munculnya jiwa kepeloporan dan sifat keteladanan aparatur negara sebagai panutan mereka dengan tindakan nyata mencegah dan memberantas KKN. Dimulai langkah yang terpuji serta kesadaran tinggi dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kiranya tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini mengalami degradasi dapat diperbaiki dan ditingkatkan sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat sukses.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi upaya kita bersama.

Jakarta, 31 Juli 2002

MENTERI

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

FEISAL TAMIN

REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP)

KATA PENGANTAR KEPALA BPKP

Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif - secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas.

Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun 2000-2004, serta sebagai hasil

koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat”.

Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala

keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat diharapkan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di

Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para pimpinan instansi/BUMN/BUMD yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen. Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihak-pihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara berkesinambungan.

Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Jakarta, 31 Juli 2002

KEPALA

ARIE SOELENDRO

DAFTAR ISI

Halaman SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA 2 KATA PENGANTAR KEPALA BPKP 3 DAFTAR ISI 5 Bab I UMUM

A. Dasar Pemikiran 6 B. Pengertian Umum 8 C. Tujuan dan Sasaran 9 D. Ruang Lingkup 10 E. Sistim Pengendalian Manajemen 10 F. Metode Penyajian 11

Bab II UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN

1. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah 1) Bidang Hukum dan Peradilan 13 2) Bidang Keimigrasian 18 3) Bidang Keuangan 21 4) Bidang Ketenagakerjaan 23 5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana 25 6) Bidang Pendidikan 28 7) Bidang Pertanian/Pangan 34 8) Bidang Pertanahan 34 9) Bidang Pekerjaan Umum 37 10) Bidang Perhubungan 39 11) Bidang Kependudukan 45 12) Bidang Permukiman 46

2. Pelayanan oleh BUMN/BUMD 1) Bidang Kelistrikan 48 2) Bidang Transportasi 49

Bab III UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF A. Penyelesaian oleh Unit Kerja Terkait 51 B. Penyelesaian melalui Penyerahan Kasus ke Instansi Penyidik 51 Lampiran : Daftar Kasus/Penyimpangan Tim Penyusun

BAB I

U M U M

A. Dasar Pemikiran

Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalah- gunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya. Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu:

1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ;

2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi ;

3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.

4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara kongkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan di antaranya sebagai berikut:

1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001.

4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

Di samping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus. BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut :

1. Strategi Preventif

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:

1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat ;

2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya ;

3) Membangun kode etik di sektor publik ;

4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis;

5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ;

6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri ;

7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;

8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;

9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) ;

10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;

11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;

2. Strategi Detektif

Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan :

1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat ;

2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu ;

3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;

4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ;

5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;

6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

3. Strategi Represif

Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan :

1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;

2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);

3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ;

4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;

5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ;

6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ;

7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya ;

8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja masing-masing.

B. Pengertian Umum

Dalam buku ini yang dimaksud dengan:

1. Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang korupsi ;

2. Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat segera ditindaklanjuti ;

3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Instansi Pemerintah adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kejaksaan Agung, POLRI, Bank Indonesia, Sekretariat Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, dan Instansi Pemerintah lainnya ;

5. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang modalnya seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah ;

6. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena :

1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ;

2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

C. Tujuan dan Sasaran

Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang pengelolaan pelayanan masyarakat.

Sasarannya adalah :

1. Terciptanya pelayanan kepada masyarakat oleh Instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD secara cepat, tepat, murah dan memuaskan ;

2. Menurunnya penyimpangan pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD, sehingga meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah dan BUMN/BUMD;

3. Menurunnya jumlah kerugian keuangan negara/masyarakat sebagai akibat penyimpangan di bidang pelayanan masyarakat ;

4. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus pelayanan masyarakat yang berindikasi korupsi ;

5. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam menginformasikan kasus penyimpangan pelayanan masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ;

6. Menurunnya jumlah aparatur pemerintah dan BUMN/BUMD yang terlibat/melakukan perbuatan korupsi di bidang pelayanan masyarakat ;

7. Meningkatnya efektifitas sistem pengendalian manajemen dalam pelayanan kepada masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ;

D. Ruang Lingkup

Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Buku ini tidak memuat semua jenis kasus penyimpangan pada semua jenis pelayanan masyarakat secara rinci dan spesifik, mengingat begitu luasnya pelayanan yang diberikan

instansi pemerintah/BUMN/BUMD kepada masyarakat. Namun demikian karena hampir semua jenis pelayanan memiliki ciri yang relatif sama, maka cara pencegahan dan penanggulangan kasus penyimpangan yang terjadi pada jenis pelayanan yang satu, dapat pula digunakan untuk jenis pelayanan masyarakat yang lain.

E. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Pengelolaan Pelayanan Masyarakat

Keberhasilan pelayanan masyarakat ditentukan oleh kompetensi aparatur yang memberikan pelayanan, moral dan kemauannya dalam memberikan pelayanan, serta didukung sistem pengendalian manajemen pelayanan yang prima, perangkat teknologi yang tepat dan prasarana & sarana yang memadai, sehingga dapat menghasilkan produk pelayanan yang profesional dan bersih dari korupsi.

Penanggulangan korupsi oleh karenanya harus dimulai dari internal organisasi, melalui upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem pengendalian manajemen pelayanan masyarakat yang memadai, meliputi :

1. Penataan kembali organisasi dengan memperjelas visi, misi, strategi, kebijakan, indikator keberhasilan, tujuan, sasaran dan aktivitas-aktivitas kerja yang harus dilakukan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas publik;

2. Penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan;

3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward & punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja ;

4. Penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan ;

5. Perbaikan metode dan prasarana & sarana kerja ;

6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban ;

7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal untuk menjaga agar kualitas pelayanan selalu prima.

Dalam menyusun sistem pengendalian manajemen di bidang pelayanan masyarakat, perlu diperhatikan :

1. Sendi-sendi Pelayanan Prima sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18/1993 sebagai berikut :

a. Kesederhanaan, dalam arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan ;

b. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai :

(1) Prosedur/tata cara pelayanan umum ;

(2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif ;

(3) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan umum ;

(4) Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya;

(5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum ;

(6) Hak dan kewajiban dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan hingga ke penyelesaiannya ;

(7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan.

c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

d. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja penanggungjawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

e. Efisien, dalam arti :

(1) Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan;

(2) Mencegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama, dalam hal proses pelayanannya, kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :

(1) Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran ;

(2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum;

(3) Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

2. Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat Sesuai dengan Aspirasi Reformasi, sebagaimana disampaikan Menko Wasbangpan melalui surat edaran No. 56/MK.WASPAN/6 /1998 tanggal 1 Juni 1998, sebagai berikut:

a. Dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor pelayanan termasuk BUMN/BUMD ;

b. Langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut diupayakan dengan:

(1) Memberikan pelayanan secara tertib, cepat dan langsung kepada masyarakat bagi pelayanan yang memerlukan penyelesaian sesaat;

(2) Khusus pelayanan yang memerlukan waktu, agar dilandasi kebijaksanaan yang transparan dan diketahui masyarakat luas, yaitu:

(a) Menerbitkan pedoman pelayanan yang antara lain memuat persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk buku panduan/ pengumuman atau melalui media informasi lainnya ;

(b) Menempatkan petugas yang bertanggungjawab melakukan pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian mengenai diterimanya atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga ;

(c) Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan dan apabila batas waktu penyelesaian yang ditetapkan terlampaui, maka permohonan tersebut berarti (dianggap) disetujui ;

(d) Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain dan meniadakan segala bentuk pungutan liar, di luar biaya jasa pelayanan yang telah ditetapkan ;

(e) Sedapat mungkin menerapkan pola pelayanan secara terpadu (satu atap satu pintu) bagi unit-unit kerja/kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau menghasilkan satu produk pelayanan ;

(f) Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan pelanggan/masyarakat atas pelayanan yang diberikan, antara lain dengan cara penyebaran kuesioner kepada pelanggan/masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti ;

(g) Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat;

3) Membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik langsung maupun melalui media massa untuk menyampaikan saran dan atau pengaduan mengenai pelayanan masyarakat.

3. Perlunya keteladanan pimpinan serta pengembangan dan penerapan nilai-

nilai budaya kerja, sehingga aparat mau dan mampu memberikan pelayanan dengan cepat, tepat, murah dan berkualitas kepada masyarakat.

F. Metode Penyajian

Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan, kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif, disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab III.

BAB II

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA

PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

Penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat pada umumnya berupa pungutan liar (pungli), dan suap serta mahalnya biaya pelayanan akibat adanya korupsi, sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak memuaskan. Kasus-kasus penyimpangan yang disajikan pada bab ini hanya mencakup beberapa kasus berdasarkan temuan hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh APFP termasuk SPI. Dengan demikian, kasus-kasus yang disajikan belum mencakup seluruh kasus penyimpangan yang terjadi pada pelayanan masyarakat.

Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyimpangan/korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat meliputi penyusunan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian dan penerapannya, yang diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Upaya-upaya preventif yang disajikan dalam buku ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan pengendalian minimum yang perlu dilaksanakan secara maksimum. Oleh karena itu, pimpinan instansi/direksi perlu mengembangkan sendiri upaya-upaya lain yang dianggap perlu, sesuai dengan kompleksitas, titik rawan penyimpangan yang dihadapi, dan kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi/ organisasi. Sistem pengendalian manajemen ini perlu terus menerus ditingkatkan keandalannya berdasarkan umpan balik (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif.

Upaya detektif merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat. Upaya detektif ini dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan kompeten untuk mendukung simpulan hasil pemeriksaan sebagai dasar pengambilan tindak lanjut (upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of innosence).

Upaya detektif dalam petunjuk teknis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap penting untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam program pemeriksaan (audit program).

Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam pengelolaan pelayanan masyarakat dapat disajikan sebagai berikut:

A. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah

1. Bidang Hukum & Peradilan

1) Tindakan penyuapan oleh oknum pengacara kepada oknum aparat penegak hukum dan peradilan agar proses dan atau keputusan hukum yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi klien yang sedang dibela.

Upaya-upaya preventif :

a. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan penegakan hukum perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

b. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para hamba hukum secara terus menerus ;

c. Kepada para hamba hukum diberikan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

d. Proses hukum harus dilakukan secara obyektif. Harus diyakini bahwa dalam proses hukum tidak ada hubungan istimewa antara pihak yang terindikasi bersalah, jaksa, hakim, pembela dan lain-lain pihak, yang pada dasarnya masing-masing harus independen ;

e. Pembenahan oleh lembaga persatuan Advokat (misalnya : Ikadin, Serikat Pengacara Indonesia), Hakim, Jaksa, Polisi dll., menyangkut pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi, dan penerapan sanksi-sanksi yang tegas sesuai kode etik profesi yang bersangkutan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para anggotanya ;

f. Dilakukan kampanye anti suap, misalnya melalui penempatan peringatan ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral keagamaan di tempat-tempat yang strategis, seperti kantor pengacara, polisi, kejaksaan dan ruang-ruang sidang pengadilan ;

g. Kekayaan para hamba hukum selaku penyelenggara negara dipantau secara terus-menerus oleh instansi yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku, dan segera dilakukan penelitian jika ditemukan ketidakwajaran mutasinya ;

h. Menerapkan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan, kepada penyuap (yang menyampaikan uang suap dan yang menyuruh melakukan penyuapan) dan penerima suap ;

i. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai perlindungan kepada para saksi pelapor kasus suap ;

j. Metode kerja masing-masing instansi penegak hukum secara terus menerus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh sistem peradilan yang semakin sehat dan transparan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian atas kasus-kasus hukum yang dimenangkan oleh pihak yang terindikasi bersalah ;

b. Mendapatkan informasi mengenai nama pengacara yang membela, polisi / jaksa penyidik / penuntut yang menangani, hakim yang mengadili, ketua panitera yang mengatur dan mencatat proses persidangan, saksi-saksi yang dihadirkan dan meneliti reputasinya masing-masing ;

c. Mendapatkan keterangan dari saksi-saksi yang dihadirkan, mengenai kemungkinan adanya suap dalam proses hukum tersebut;

d. Mempelajari proses hukum yang dilakukan, dan meneliti apakah ada kejanggalan, misalnya pada alat-alat bukti yang diajukan ;

e. Menilai kewajaran peningkatan kekayaan yang dimiliki para penegak hukum di atas dan meneliti adanya peningkatan yang signifikan dan tidak sebanding dengan tingkat penghasilannya yang sah ;

f. Meneliti interaksi pihak yang terindikasi bersalah dan pengacaranya dengan jaksa/polisi penyidik, jaksa penuntut, hakim dan Panitera dan saksi-saksi dan mengamati apakah ada hubungan istimewa di antara mereka yang dapat melemahkan proses hukum.

2) Masyarakat yang meminta perlindungan hukum / keamanan, dimintai sejumlah dana oleh oknum aparat secara tidak sah (pungli), dengan alasan instansinya

tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memberikan pelayanan yang diminta.

Upaya-upaya preventif :

a. Instansi yang berwenang memberikan perlindungan hukum/ keamanan harus secara transparan menyampaikan jenis-jenis pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku disertai dengan prosedur dan syarat-syaratnya secara menyeluruh yang ditempelkan pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan atau disosialisasikan lewat berbagai media massa yang ada ;

b. Diberlakukan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan, kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah (pungli) serta memberikan pelayanan secara diskriminatif ;

c. Dibuat kampanye anti pungli, misalnya melalui penempatan peringatan ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral keagamaan di tempat-tempat yang strategis di lingkungan kantor pemberi pelayanan ;

d. Kepada aparat pemberi pelayanan diberikan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan hukum/keamanan perlu mensyaratkan ketaqwaan-nya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat pemberi pelayanan hukum/keamanan secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Dapatkan informasi mengenai tingkat kepuasan masyarakat yang dilayani dan lakukan evaluasi mengenai kualitas pelayanan perlindungan hukum/keamanan yang telah diberikan kepada masyarakat yang bersangkutan ;

b. Teliti penyebab dari ketidakpuasan masyarakat yang dilayani ;

c. Jika penyebab ketidakpuasan adalah adanya diskriminasi dan pungli, identifikasikan siapa oknum pelakunya dan lakukan penelitian apakah yang bersangkutan telah melaksanakan pelayanan sesuai ketentuan yang berlaku ;

d. Teliti penyebab oknum tersebut melakukan pungli;

3) Anggota masyarakat yang kehilangan kendaraan bermotor (dicuri, dirampok dsb) dan telah berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak yang berwajib, ketika hendak mengambil kendaraan miliknya dari kantor pihak yang berwajib dikenakan biaya oleh oknum pihak yang berwajib secara tidak sah. Di samping itu dalam banyak kasus barang yang ditemukan kembali sudah dalam keadaan tidak lengkap.

Upaya-upaya preventif :

a. Sosialisasikan ketentuan yang berlaku mengenai prosedur pelayanan pencarian barang hilang karena kejahatan (pencurian, perampokan) oleh aparat yang berwajib disertai seluruh persyaratannya secara jelas ;

b. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai cara-cara pengembalian barang yang berhasil ditemukan kembali oleh aparat yang berwajib kepada pemiliknya dan disosialisasikan kepada masyarakat lengkap dengan semua persyaratannya yang sah ;

c. Secara berkala barang-barang hasil kejahatan yang berhasil disita oleh aparat yang berwajib, diumumkan kepada masyarakat luas melalui media massa untuk dicocokkan dengan bukti-bukti kepemilikan yang selanjutnya proses hukum dan pengembaliannya perlu dilakukan dengan segera, sehingga terhindar dari kerusakan-kerusakan/kehilangan bagian-bagian kendaraan akibat terlalu lamanya disimpan di lokasi kantor aparat yang berwajib ;

d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi);

e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan dana operasional yang memadai serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang berwajib secara terus menerus ;

h. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat korban pencurian kendaraan yang melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwajib ;

b. Teliti dari laporan yang masuk, berapa yang diproses dan berapa yang berhasil ditemukan kembali ;

c. Jika jumlah yang diproses rendah, teliti sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan yang memberatkan pelapor, sehingga bagi pelapor yang tidak mau membayar, laporannya tidak diproses ;

d. Lakukan pengamatan atas barang-barang bukti (kendaraan yang berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak berwajib) apakah sudah lama berada di tempat penampungan yang disediakan, dan apakah masih dalam keadaan lengkap. Teliti sebab-sebabnya;

e. Lakukan juga pengecekan apakah atas barang-barang bukti yang ada telah dilakukan pemberitahuan kepada para pemiliknya atau diumumkan di media massa. Teliti pula kemungkinan adanya kesengajaan untuk tidak memberi-tahukan kepada pemilik yang sah, supaya barang bukti tersebut dapat digunakan secara pribadi oleh oknum aparat ;

f. Lakukan konfirmasi secara uji petik kepada para pemilik yang telah mengambil kembali kendaraannya, apakah dikenakan biaya-biaya saat mengambil kendaraannya tersebut ;

g. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan pengurusan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dimintai biaya yang memberatkan oleh oknum pihak yang berwajib.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat prosedur pelayanan SKKB yang sederhana, efisien, dan efektif dengan persyaratan-persyaratan yang ringan bagi masyarakat yang memerlukan ;

b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian SKKB disertai seluruh persyaratannya secara jelas dan transparan kepada masyarakat luas. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen ;

d. Kepada aparat yang memberikan pelayanan diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang bertugas memberi pelayanan secara terus menerus ;

g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat pemohon SKKB ;

b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan ;

c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan SKKB memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5) Proses persidangan kasus pengurusan surat fatwa waris dilaksanakan dengan jadual yang tidak pasti, mengambang dan tidak jelas nama pejabat (Hakim, Panitera) yang ditugasi untuk menangani masalah fatwa waris tersebut. Untuk satu urusan harus dilakukan berulang-ulang dan tidak transparan, sehingga membuka peluang penyelesaian secara kolusif.

Upaya-upaya preventif :

a. Diadakan ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan pelayanan pengurusan fatwa waris ;

b. Pejabat yang ditugaskan untuk melayani (sidang) pengurusan fatwa waris harus ditunjuk secara tegas, sehingga pemohon pelayanan mendapat kepastian mengenai siapa petugas yang memberikan pelayanan kepadanya ;

c. Persidangan dilakukan secara terbuka dan transparan ;

d. Tarif pelayanan yang sah dan prosedur pembayarannya diinformasikan kepada masyarakat pemohon pelayanan melalui berbagai media yang ada, termasuk pada papan-papan pengumuman yang tersedia di tempat-tempat pelayanan ;

e. Memberi peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak disetujuinya ;

f. Membuka kotak pengaduan, dan memproses semua pengaduan yang masuk untuk meningkatkan pelayanan dan atau mengusutnya lebih lanjut sesuai dengan sifat pengaduan yang diterima ;

Upaya-upaya detektif :

a. Menguji apakah pelayanan pengurusan surat fatwa waris telah dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku ;

b. Melakukan pengujian secara uji petik atas permohonan pelayanan yang prosesnya memakan waktu lama dan mempelajari apakah penyebabnya dapat dipertanggungjawabkan ;

c. Meneliti apakah pejabat yang menangani pelayanan telah ditunjuk dengan surat penugasan dari pejabat yang berwenang ;

d. Meneliti apakah pelaksanaan sidang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk ;

e. Menguji apakah pelayanan diberikan menurut urutan permohonan. Jika tidak, diteliti faktor penyebabnya ;

f. Menguji penerimaan biaya-biaya pelayanan, apakah telah disetor dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan ;

g. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon pelayanan tentang biaya-biaya pelayanan yang telah dibayarnya ;

h. Meneliti pengaduan-pengaduan masyarakat yang diterima, dan memeriksa lebih lanjut dengan kenyataannya menurut fakta/bukti-bukti yang ada ;

2. Bidang Keimigrasian

1) Proses pengurusan paspor dan dokumen-dokumen keimigrasi-an berbelit-belit dan diskriminatif, sehingga masyarakat cen-derung menggunakan jasa calo dengan konsekuensi menge-luarkan biaya yang lebih besar dari ketentuan yang seharusnya. Terindikasi adanya kolusi antara oknum petugas dengan calo yang merugikan masyarakat pemohon.

Upaya-upaya preventif:

a. Pemasangan papan pemberitahuan tentang persyaratan permohon-an, tarif biaya pelayanan, prosedur pelayanan dan jangka waktu penyelesaian, disertai dengan contoh-contoh formulir dan cara pengisiannya sesuai ketentuan yang berlaku ;

b. Dilakukan penyederhanaan cara pelayanan dengan memotong jalur birokrasi yang berlebihan, sehingga masyarakat tidak harus berhadapan dengan banyak petugas ;

c. Pemberian tanda-tanda/petunjuk yang jelas pada loket pelayanan, loket informasi, loket pembayaran, ruang sidik jari, ruang foto, ruang wawancara dan lain-lain ;

d. Menyediakan petugas yang memberikan informasi secara langsung kepada pemohon tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan keimigrasian ;

e. Pelayanan diberikan kepada semua pemohon yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sesuai urutan penerimaan permohonan ;

f. Percepatan permohonan hanya dimungkinkan bila ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan ;

g. Dibuat ketentuan mengenai sanksi yang tegas terhadap petugas yang diketahui bekerjasama dengan calo ;

h. Pemasangan kotak pengaduan untuk menampung keluhan dan saran para pemohon ;

Upaya-upaya detektif:

a. Amati apakah persyaratan dan prosedur permohonan paspor dll di kantor pelayanan telah diinformasikan secara jelas di tempat-tempat yang mudah dilihat ;

b. Lakukan pengujian secara uji petik atas berkas-berkas permohonan apakah telah diproses oleh petugas yang berwenang sesuai urutan permohonan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;

c. Teliti apakah permohonan yang diproses telah dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan ;

d. Jika pemrosesan tidak didasarkan pada urutan permohonan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, teliti kemungkinan adanya kerjasama yang tidak sehat antara oknum petugas dengan para calo, dengan cara menemui orang yang proses pelayanannya didahulukan, untuk memastikan apakah pengurusan dilakukan sendiri atau melalui calo ;

e. Mintakan daftar biro jasa yang mendapat ijin dari Kanwil Kehakiman setempat kemudian lakukan pengecekan apakah calo tersebut di atas tercantum dalam daftar dimaksud;

f. Teliti kemungkinan calo tersebut adalah oknum petugas itu sendiri.

2) Tahap kegiatan pelayanan tertentu dalam pengurusan doku-men keimigrasian, seperti paspor dan sebagainya (misalnya pemotretan), dilakukan melalui kerja sama antara instansi imigrasi dengan pihak swasta. Ada indikasi korupsi antara oknum pejabat instansi yang berwenang dengan pihak swasta dalam menetapkan biaya kontrak kerjasama sehingga biaya pelayanan menjadi lebih mahal.

Upaya-upaya preventif:

a. Pungutan kepada masyarakat atas biaya pelayanan harus mengacu kepada ketentuan yang berlaku ;

b. Meninjau kembali kontrak-kontrak kerja sama yang bernuansa korupsi dan mengakibatkan mahalnya biaya pelayanan ;

c. Jika menurut pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan kerja sama dengan pihak swasta sebenarnya tidak membuat biaya pelayanan menjadi mahal dan bahkan lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka hal tersebut perlu disosialisasikan secara transpa-ran kepada masyarakat ;

d. Rincian biaya pelayanan diinformasikan kepada masyarakat ;

e. Penyetoran biaya-biaya pelayanan dilakukan pada loket-loket resmi dan penerimaannya dipertanggungjawabkan oleh petugas loket sesuai ketentuan yang berlaku.

Upaya-upaya detektif:

a. Dapatkan data kontrak-kontrak kerja sama antara instansi pemerintah yang memberikan pelayanan keimigrasian dengan pihak swasta ;

b. Pelajari apakah kerjasama tersebut tidak mahal dan memang diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam hal ini perlu diperhatikan fasilitas-fasilitas pemerintah yang digunakan pihak swasta dan tidak diperhitungkan dalam kontrak kerja sama ;

c. Jika kontrak kerja sama tersebut mahal dan tidak meningkatkan kualitas pelayanan, lakukan pengamatan apakah ada hubungan istimewa antara pihak swasta dengan pimpinan instansi – dan teliti adanya indikasi korupsi dalam menetapkan harga kontrak .

(3) Terhadap WNI (wajib pajak) yang melakukan perjalanan ke luar negeri, petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa tanpa memperhatikan dokumen fiskalnya. Ada indikasi oknum petugas berkolusi dengan calo supaya wajib pajak membayar fiskal dengan tarif lebih murah dari tarif resmi kepada calo tanpa menerima bukti pembayaran fiskal. Selanjutnya calo mengantarkan wajib pajak melewati petugas yang telah berkolusi dengannya.

Upaya-upaya preventif:

a. Sistem pengendalian manajemen penerimaan fiskal luar negeri dan pengawasan keimigrasian perlu disinkronkan dengan melibatkan unsur-unsur/ instansi terkait ;

b. Pemeriksaan atas bukti pembayaran fiskal luar negeri dilakukan secara berlapis dan sistem check dan recheck atas penerimaan fiskal luar negeri tersebut dievaluasi dan disempurnakan ;

c. Perlu dibuat ketentuan mengenai pengenaan sanksi/denda yang tegas/berat kepada petugas/wajib pajak yang tidak menjalankan tugasnya/membayar fiskal sesuai ketentuan yang berlaku dan bahkan bekerja sama dengan calo ;

d. Rotasi petugas diatur sedemikian rupa untuk mencegah peluang terjadinya kolusi antara petugas dan para calo ;

e. Dilakukan pengawasan yang ketat dan penertiban secara terus-menerus kepada para calo/orang-orang yang tidak berkepentingan di tempat-tempat pelayanan fiskal/ embarkasi (bandara/pelabuhan);

Upaya-upaya detektif:

a. Lakukan penelitian apakah setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar negeri telah membayar fiskal luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku ;

b. Jika ada yang tidak membayar fiskal dimaksud, teliti apakah menurut ketentuan yang bersangkutan memang dibebaskan dari pembayaran fiskal LN ;

c. Lakukan pengamatan terhadap efektivitas pengendalian intern dalam pembayaran fiskal LN dan pastikan petugas yang berwenang telah melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen imigrasi termasuk bukti pembayaran fiskal LN atas setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar negeri ;

d. Teliti kemungkinan adanya jalur masuk ke ruang tunggu bandara/ pelabuhan yang tidak resmi sehingga terbebas dari pemeriksaan imigrasi/fiskal dan amati kemungkinan digunakannya untuk menyelundupkan wajib pajak ;

e. Lakukan pengamatan terhadap non penumpang yang senantiasa lalu-lalang melewati petugas imigrasi untuk memastikan kegiatan yang sedang dilaksanakannya ;

f. Lakukan penelitian apakah jumlah bukti pembayaran fiskal telah sesuai dengan jumlah penumpang/wajib pajak yang berangkat ke luar negeri ;

g. Teliti sebab-sebab terjadinya selisih, jika ada.

(4) Orang asing yang bekerja di Indonesia (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang berada di Indonesia melebihi masa tinggal yang telah diberikan ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan TKA tersebut mau memberi sejumlah uang kepada oknum dimaksud.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya yang diperlukan serta lamanya izin tinggal yang diberikan ;

b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan pengecekan terhadap TKA tersebut apakah mematuhi izin tinggal yang diberikan;

c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ;

d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai/petugas secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benar-benar bekerja sesuai izin dan batas waktu yang diberikan ;

b. Jika terdapat TKA yang berkerja dan tinggal tidak sesuai dengan izin yang diberikan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ;

c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan izin tinggal memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3) Bidang Keuangan

(1) Proses restitusi pajak dipersulit sehingga wajib pajak terpaksa memberikan sebagian dari jumlah restitusi pajaknya kepada oknum petugas/pejabat pelayanan pajak agar proses restitusi tersebut berjalan cepat dan lancar. Dalam beberapa kasus terdapat keadaan yang sebaliknya, di mana wajib

pajak yang tidak memenuhi syarat restitusi berusaha menyuap petugas agar restitusi dapat diproses walaupun ada persyaratan yang tidak dipenuhi.

Upaya-upaya preventif :

a. Sosialisasi peraturan, khususnya agar wajib pajak mengetahui dan memahami dengan mudah mengenai prosedur dan persyaratan restitusi pajak yang berlaku ;

b. Adanya peraturan internal yang jelas tentang hubungan wajib pajak yang mengajukan restitusi dengan aparat pelayanan pajak ;

c. Kebijakan rotasi pegawai yang baik di instansi yang memberikan pelayanan perpajakan ;

d. Peningkatan pengawasan dari atasan atau dari aparat pengawasan internal atas kinerja petugas pelayanan ;

e. Pemberian sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar kepada petugas pelayanan pajak ;

f. Pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan ;

g. Membuka kotak pengaduan.

Upaya-upaya deteksi :

a. Mengamati hubungan antara petugas pelayanan pajak dengan wajib pajak untuk melihat adanya hubungan tidak wajar dikaitkan dengan permohonan restitusi pajak ;

b. Pelajari kebijakan rotasi yang ada dan teliti apakah ada pegawai atau pejabat pelayanan pajak yang sudah lama melaksanakan pelayanan restitusi pajak tertentu dan khusus menangani wajib pajak-wajib pajak tertentu. Teliti mengapa kepada yang bersangkutan tidak dikenakan rotasi ;

c. Meneliti berkas wajib pajak yang mengajukan permohonan restitusi untuk memastikan bahwa prosedur dan persyaratan restitusi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

d. Inspeksi mendadak dari atasan langsung atau dari aparat pengawasan internal;

e. Mengamati pola hidup petugas pelayanan pajak untuk menilai kewajarannya dibandingkan dengan tingkat penghasilannya yang sah.

(2) Pengajuan SPP untuk penerbitan SPM atas realisasi anggaran Rutin maupun Pembangunan ke Kas Negara, dipersulit/ diperlambat jika tidak memberikan sejumlah dana tertentu kepada oknum petugas yang memberikan pelayanan.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang transparan dan dipaparkan dalam papan pengumuman dan terlihat jelas oleh setiap peminta pelayanan;

b. Persyaratan pengajuan SPP diinformasikan secara jelas kepada para pimpinan instansi, Bendaharawan Proyek/Rutin dan pihak-pihak lain yang membutuhkan pelayanan pencairan dana ;

c. Petugas pelayanan di Kas Negara diberi sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar ;

d. Dibuat larangan kepada petugas pelayanan untuk meminta dana kepada peminta pelayanan penerbitan SPM/pencairan dana, dan dibuat aturan sanksi yang tegas secara tertulis kepada pelanggarnya;

e. Larangan tersebut pada butir d disosialisasikan kepada para pimpinan instansi, bendaharawan dan semua pihak yang membutuhkan pelayanan (misalnya rekanan) ;

f. Dibuat sistem rotasi pegawai yang dapat menutup peluang kolusi antara pihak pelayan dan pihak yang dilayani ;

g. Dilakukan pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian apakah standar pelayanan yang berlaku diketahui secara luas oleh para pemohon pelayanan ;

b. Melakukan uji petik atas berkas permohonan pelayanan apakah telah diproses sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku. Jika tidak, teliti penyebabnya ;

c. Jika terdapat berkas permohonan yang prosesnya lama, perlu diteliti adanya kemungkinan petugas meminta kelengkapan berkas yang sebenarnya tidak diperlukan, dan atau menganggap tidak sah berkas yang sebenarnya sudah sesuai ketentuan, sehingga timbul kondisi tawar-menawar dengan pemohon pelayanan ;

d. Jika terdapat permohonan yang prosesnya sangat cepat, diteliti apakah persyaratannya telah dipenuhi dengan benar, untuk memastikan bahwa cepatnya pelayanan karena memang kualitas pelayanannya yang baik, bukan karena adanya uang pelicin ;

e. Mengamati apakah aturan rotasi pegawai telah dilaksanakan dengan baik , jika tidak, teliti penyebabnya ;

4) Bidang Ketenagakerjaan

(1) Kepada TKI yang meminta surat keterangan bebas fiskal, dipungut sejumlah biaya tertentu oleh oknum pegawai yang memberikan pelayanan surat keterangan tersebut.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat prosedur pelayanan pemberian surat keterangan bebas fiskal yang sederhana, efisien dan efektif, dengan persyaratan-persyaratan yang ringan bagi masyarakat yang memerlukan ;

b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian surat keterangan bebas fiskal disertai seluruh persyaratannya secara jelas dan transparan kepada masyarakat luas. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada petugas yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

d. Kepada petugas diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para petugas secara terus menerus ;

g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

i. Adanya rotasi pegawai yang bertugas memberikan pelayanan untuk mencegah terjadinya kolusi.

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan para TKI pemohon Surat Keterangan Bebas Fiskal ;

b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan ;

c. Melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap prosedur yang dijalankan dalam pemberangkatan TKI ;

d. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para TKI dan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) tentang adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;

e. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan Surat Keterangan Bebas Fiskal memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Orang asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang bekerja di Indonesia tanpa izin, ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan supaya TKA tersebut memberi sejumlah uang.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya yang diperlukan serta lamanya izin bekerja/tinggal yang diberikan ;

b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan pengecekan terhadap TKA tersebut apakah memiliki izin bekerja dan mematuhi izin bekerja yang diberikan;

c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ;

d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai/petugas secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benar-benar bekerja sesuai izin yang diberikan ;

b. Jika terdapat TKA yang berkerja tidak sesuai dengan izin yang diberikan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ;

c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan izin bekerja memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Uang titipan para TKI untuk pengurusan visa, airport tax, asuransi dan biaya hidup di luar negeri disalahgunakan oleh oknum petugas di instansi yang mengurus ketenagakerjaan.

Upaya-upaya preventif :

a. Buat aturan yang jelas dan transparan mengenai biaya-biaya untuk TKI. Sejauh mungkin dihindari adanya hubungan keuangan antara calon TKI dengan petugas. Titipan uang semacam itu hendaknya dilakukan melalui jasa perbankan oleh, atau atas nama masing-masing TKI.

b. Dibuat sanksi yang tegas terhadap petugas yang melakukan pelanggaran dengan cara berlaku sebagai mediator (calo) ;

c. Adanya lembaga/institusi yang dapat menampung dan memproses setiap laporan penyimpangan yang disampaikan TKI.

Upaya-upaya detektif :

a. Mendapatkan aturan mengenai persyaratan keuangan yang harus dipenuhi TKI yang akan bekerja ke Luar Negeri dan mempelajari apakah ada kebijakan uang titipan tersebut ;

b. Mendapatkan data macam-macam uang yang dititipkan TKI kepada instansi yang memberikan layanan ketenagakerjaan dan tempat penitipannya ;

c. Memeriksa kesesuaian jumlah uang titipan menurut catatan instansi pelayan dengan data menurut bukti-bukti titipan dan uang yang ada;

d. Jika terdapat uang yang dititipkan kepada Bank, perlu diperiksa pendapatannya (bunga, jasa giro) apakah telah dipertanggung-jawabkan dengan benar ;

5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana

(1) Pelayanan obat-obatan (vaksin, vitamin, alat kontrasepsi) kepada masyarakat yang seharusnya cuma-cuma dilakukan dengan memungut jasa pelayanan sejumlah kurang-lebih sama dengan harga jual obat-obatan tersebut, tetapi hasil pungutan tidak disetor ke kas negara.

Upaya-upaya preventif :

a. Dilakukan sosialisasi secara luas kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai adanya pelayanan obat-obatan secara cuma-cuma, lengkap dengan informasi mengenai di mana dapat diperoleh dan persyaratannya ;

b. Pengadaan obat-obatan yang dibiayai dari anggaran negara harus jelas aturan penggunaannya. Jika atas penggunaan obat-obatan tersebut dipungut biaya, maka penerimaan biaya tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan anggaran yang berlaku ;

c. Jika obat-obatan diberikan secara cuma-cuma,maka perlu ada pencantuman label “Cuma-cuma,tidak diperjual belikan” pada kemasan obat-obatan tersebut;

d. Pemungutan biaya pelayanan kesehatan harus jelas rinciannya ;

e. Dilakukan administrasi persediaan yang tertib terhadap pemasukan dan pengeluaran obat-obatan yang telah disediakan pemerintah.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan pengamatan atas distribusi obat-obatan cuma-cuma, apakah telah sesuai dengan rencana pengadaannya dan diberi label “Cuma-cuma, tidak diperjual-belikan” ;

b. Melakukan penelitian apakah obat-obatan cuma-cuma tersebut diterima oleh instansi pelayanan kesehatan yang memang membutuhkan sesuai dengan program pelayanan kesehatan yang sudah direncanakan ;

c. Meneliti apakah adanya obat-obatan cuma-cuma tersebut telah disosialisasikan kepada masyarakat secara memadai ;

d. Meneliti mutasi obat-obatan cuma-cuma, apakah sejalan dengan realisasi program pelayanan kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya ;

e. Pengamatan langsung pelayanan vaksinasi, pemasangan alat kontrasepsi dan pelayanan kesehatan lainnya di pusat-pusat kesehatan, klinik dan di rumah sakit serta pengamatan langsung di apotik atau di tempat-tempat penjualan lainnya yang memberikan pelayanan kesehatan dengan obat-obatan secara cuma-cuma, apakah obat-obatan benar-benar telah diberikan secara cuma-cuma;

f. Melakukan pengamatan secara uji petik ke praktek Bidan/Dokter yang memberikan pelayanan kesehatan/KB mengenai jenis obat/alat kontrasepsi yang digunakan, serta meneliti dari mana memperoleh obat/alat kontrasepsi tersebut ;

g. Melakukan pengamatan di pasaran, untuk memastikan bahwa obat-obatan cuma-cuma tersebut tidak diperjual-belikan. Jika ternyata diperjual-belikan perlu diusut asal-usulnya ;

(2) Oknum dokter-dokter di RSU lebih mengutamakan pelayanan kesehatan di luar RSU, yang lebih memberikan keuntungan finansial secara pribadi.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat aturan yang tegas mengenai kewajiban dan disiplin para dokter RSU dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di RSU beserta sanksi pelanggarannya ;

b. Dibuat evaluasi mengenai kualitas pelayanan RSU akibat tidak disiplinnya para dokter, dan hasilnya diinformasikan kepada pimpinan RSU dan para dokter terkait ;

c. Setiap pelanggaran yang dilakukan dokter, diinformasikan kepada lembaga yang mengawasi pelaksanaan kode etik dokter ;

d. Diberikan penghargaan kepada para dokter yang disiplin dan kinerjanya baik ;

e. Dibekukan sementara izin praktek dokter yang lalai terhadap tugas dan kewajibannya di RSU.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian terhadap daftar absensi dokter dihubungkan dengan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan,visite dokter kepada pasien rawat inap dan kegiatan dokter lainnya di RSU ;

b. Atas pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter, diteliti apakah penyebabnya dapat dipertanggungjawabkan ;

c. Dilakukan penelitian apakah ketidakdisiplinan dokter dilakukan dengan sengaja untuk meraih tujuan-tujuan pribadi ;

d. Menggali informasi dari pasien yang dikirim/dirujuk ke RSU dari tempat praktek dokter.

(3) Pelayanan pengobatan Puskesmas tidak memuaskan karena adanya pungutan yang tidak sesuai ketentuan, rendahnya kehadiran tenaga medis di Puskesmas, kurangnya kunjungan ke rumah penduduk yang membutuhkan, ketidaksesuaian program Puskesmas dengan kebutuhan masyarakat, dan penyalahgunaan sarana Puskesmas.

Upaya-upaya preventif :

a. Sosialisasikan mengenai obat dan pelayanan yang atasnya tidak dipungut pembayaran kepada masyarakat;

b. Menciptakan sistem insentif dan hukuman di mana pembayaran tunjangan tenaga medis dikaitkan dengan kehadiran;

c. Pemerintah setempat, mewakili masyarakat membuat laporan teratur kepada Dinas/Kantor Kesehatan mengenai aktivitas Puskesmas, termasuk mengenai kehadiran dan kunjungan tenaga medis ke masyarakat;

d. Sosialisasi bahwa kunjungan dokter dan tenaga medis lainnya kepada masyarakat adalah bagian dari fungsi pelayanan Puskesmas, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat;

e. Menciptakan fungsi kendali masyarakat (social control) mengenai sarana Puskesmas yang ada, yakni adanya pengetahuan masyarakat mengenai sarana Puskesmas.

Upaya-upaya detektif :

a. Dilakukan inspeksi secara mendadak kepada Puskesmas untuk mengetahui mutu pelayanan yang diberikan ;

b. Meneliti adanya pembayaran kepada Puskesmas yang tidak sesuai dengan ketentuan dengan melakukan konfirmasi langsung kepada para pasien;

c. Mengecek daftar hadir yang dilaporkan Puskesmas dengan kehadiran tenaga medis di Puskesmas ;

d. Meneliti dan menganalisis laporan Puskesmas kepada unit pemerintah daerah terkait berkenaan dengan kunjungan dokter dan tenaga medis kepada penduduk setempat, apakah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika perlu lakukan konfirmasi kepada pihak yang dikunjungi ;

e. Membandingkan program pelayanan Puskesmas yang disetujui/dianggarkan dengan mutasi obat-obatan, sarana yang digunakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat ;

f. Meneliti tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas.

6) Bidang Pendidikan

(1) Penilaian program studi dalam rangka akreditasi kepada Perguruan Tinggi (PT) dilakukan oleh oknum asesor dari instansi yang berwenang memberikan akreditasi tidak obyektif, melainkan dengan cara tawar-menawar sejumlah uang.

Upaya-upaya preventif :

a. Adanya aturan yang jelas dan transparan mengenai prosedur, persyaratan dan biaya-biaya dalam rangka akreditasi program studi di Perguruan Tinggi ;

b. Petugas yang melakukan penilaian harus kompeten, bermoral baik dan punya komitmen tinggi di bidang pendidikan ;

c. Para petugas penilai dilengkapi dengan sarana & prasarana kerja serta penghasilan yang memadai ;

d. Standar dan kriteria penilaian harus jelas ;

e. Laporan hasil penilaian beserta kertas kerjanya diriviu oleh pimpinan instansi yang berwenang secara berjenjang ;

f. Dibuat sanksi yang tegas, kepada petugas penilai yang tidak melaksanakan tugas sesuai standar yang ditetapkan dan bahkan melakukan pungutan-pungutan secara tidak sah ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti program-program studi yang diakreditasi dan mengidenti-fikasi para petugasnya ;

b. Meneliti laporan hasil penilaian program studi yang diakreditasi dan meneliti kertas-kerja serta bukti-bukti yang mendukung penilaian. Evaluasi, apakah penilai telah bekerja sesuai standar dan kesimpulan yang diambil telah mencerminkan kesesuaian antara kriteria yang ada dengan data/bukti-bukti yang diperoleh ;

c. Melakukan konfirmasi data ke Perguruan Tinggi yang diakreditasi;

d. Jika terdapat perbedaan data, dilakukan penelitian mengenai sebab-sebabnya untuk melihat adanya kemungkinan manipulasi data dalam rangka mencapai tingkat akreditasi tertentu ;

(2) Pungutan biaya legalisasi ijazah dan berkas-berkas siswa yang pindah sekolah oleh oknum instansi pendidikan yang berwenang.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan legalisasi ijazah, yang diinformasikan secara luas kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

b. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan

yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

c. Kepada pegawai diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

d. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

e. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara terus menerus ;

f. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

g. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan para pemohon legalisasi ijazah ;

b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan yang tidak sah ;

c. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon legalisasi ijazah tentang adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;

d. Teliti apakah biaya-biaya yang dipungut dalam pengurusan legalisasi ijazah memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Bea siswa untuk mahasiswa tidak diterima penuh, tetapi dipotong sejumlah tertentu dengan alasan untuk biaya administrasi, padahal dana digunakan untuk keperluan taktis dan pribadi.

Upaya-upaya preventif :

a. Anggaran bea siswa untuk mahasiswa harus disertai dengan anggaran untuk biaya administrasinya ;

b. Prosedur dan persyaratan pencairan serta besarnya bea siswa harus diinformasikan secara jelas dan transparan kepada para penerimanya. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

d. Kepada pegawai diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara terus menerus ;

g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Mempelajari ketentuan, syarat, prosedur pemberian bea siswa ;

b. Meneliti apakah bea siswa diberikan kepada mereka yang menurut ketentuan berhak menerimanya ;

c. Memeriksa bukti-bukti pembayaran bea siswa dengan cara mencocokkan bukti pengeluaran kas dengan daftar nominatif/tanda terima yang ditandatangani oleh mahasiswa, atau bukti lain yang sejenis ;

d. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para mahasiswa tentang ada/tidak adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;

e. Meneliti peruntukan uang yang dipotong dari bea siswa ;

(4) Pembelian alat-alat peraga, kesenian dan olah raga untuk sekolah dari dana proyek secara terpusat dengan harga tinggi (dimark-up) tetapi berkualitas rendah, bahkan ada yang diarahkan pada merk tertentu, sehingga cepat rusak dan tidak dapat dimanfaatkan untuk proses belajar-mengajar secara memuaskan.

Upaya-upaya preventif :

a. Jenis dan kualitas alat-alat peraga, kesenian dan olah raga yang diadakan harus berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan oleh sekolah sesuai kurikulum yang berlaku, bukan ditentukan oleh kantor pusat ;

b. Dibuat ketentuan bahwa sekolah harus menolak peralatan yang tidak sesuai jenis dan kualitasnya dengan yang dibutuhkan ;

c. Dibuat aturan bahwa pengadaan secara terpusat harus lebih murah dari pengadaan setempat ;

d. Pembayaran oleh Proyek kepada rekanan hanya dapat dilakukan jika barang telah diterima Sekolah dengan baik ;

Upaya-upaya detektif :

a. Mengecek rincian kebutuhan Sekolah akan alat-alat peraga, kesenian dan olah raga, dan membandingkannya dengan kebutuhan menurut kurikulum yang tersedia ;

b. Mengecek apakah pengadaan peralatan dimaksud oleh proyek didasarkan pada kebutuhan Sekolah-Sekolah. Jika tidak perlu diteliti sebab-sebabnya ;

c. Meneliti apakah pengadaan peralatan tersebut oleh proyek telah memenuhi prinsip kualitas, harga, waktu, dan lain-lain yang paling menguntungkan bagi negara serta peraturan pengadaan barang yang berlaku ;

d. Meneliti apakah peralatan yang diserahkan kepada Sekolah-Sekolah telah sesuai dengan yang dibutuhkan baik jumlah, jenis maupun kualitasnya dan dilaksanakan tepat waktu ;

(5) Berbagai urusan yang berkaitan dengan kepentingan guru di tingkat SD, SLTP, dan SMU yang meliputi urusan kepangkatan, gaji, perpindahan, kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan

lain-lain dipersulit oleh pejabat-pejabat yang berwenang dengan cara-cara : menambah-nambah persyaratan; birokrasi berbelit-belit; mengulur waktu penyelesaian; dan cara-cara lainnya yang pada akhirnya memaksa guru-guru mengeluarkan biaya.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan pengurusan kepangkatan, gaji, perpindahan, kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan lain-lain, yang diinformasikan secara luas kepada para guru. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

b. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai/pejabat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

c. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

d. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara terus menerus ;

e. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

f. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti berkas-berkas kepangkatan, kenaikan gaji, perpindahan, usulan peserta pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan lain-lain apakah telah diproses sesuai ketentuan yang berlaku;

b. Jika terdapat berkas yang diproses secara istimewa, lakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan atau suap ;

c. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para guru terkait mengenai proses pengurusan dan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;

d. Teliti apakah biaya-biaya yang dipungut memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(6) Dana Bantuan Operasional (DBO) yang diberikan kepada sekolah-sekolah (untuk menutupi kekurangan biaya operasional sekolah), oleh oknum instansi yang membawahkan sekolah-sekolah tersebut diarahkan untuk membeli alat peraga, peta dan sebagainya yang sebenarnya tidak diperlukan sekolah, dengan cara berkolusi dengan rekanan. Dalam hal ini Sekolah hanya menerima alat peraga, peta dan lain-lain bentuk barang, yang pengadaannya dilakukan oleh oknum instansi atasan Sekolah secara berkolusi dengan rekanan.

Upaya-upaya preventif :

a. DBO dikirim langsung ke rekening sekolah ;

b. Diadakan ketentuan mengenai larangan instansi atasan sekolah untuk mencampuri urusan penggunaan DBO oleh sekolah, kecuali pengawasan penggunaannya ;

c. Jika penggunaan DBO tidak sesuai dengan ditujuannya, diberikan sanksi kepada Sekolah yang bersangkutan berupa tidak lagi diberi DBO.

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah DBO diterima langsung oleh Sekolah berbentuk uang tunai ;

b. Meneliti apakah penggunaan DBO telah sesuai dengan tujuannya dalam mendukung kegiatan belajar-mengajar;

c. Meneliti apakah penggunaan DBO telah dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku ;

(7) Pungutan oleh oknum pimpinan sekolah kepada siswa pindahan.

Upaya-upaya preventif :

a. Adanya ketentuan dari instansi pemerintah di bidang pendidikan yang melarang pungutan kepada siswa-siswa yang pindah ke sekolah lain ;

b. Adanya ketentuan yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk pindah sekolah yang disosialisasikan secara luas/tertulis di tiap-tiap sekolah dan instansi pemerintah lainnya yang memberikan / mendukung pelayanan di bidang pendidikan ;

c. Kepada para pengelola Sekolah diberikan penghasilan yang layak;

d. Sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kebutuhan proses belajar dan mengajar ;

e. Seluruh pungutan yang diatur secara resmi dalam peraturan perundang-undangan diinformasikan secara transparan kepada masyarakat pengguna pelayanan pendidikan.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian secara uji petik ke Sekolah-Sekolah, untuk mengetahui mutasi siswa ;

b. Mengidentifikasikan siswa yang mutasi dari sekolah lain ;

c. Melakukan konfirmasi kepada siswa yang bersangkutan atau wali murid mengenai biaya-biaya yang dibayar dalam rangka kepindahan siswa ;

d. Mengecek apakah biaya-biaya yang dipungut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan disetorkan kepada pejabat/instansi yang berwenang ;

e. Jika biaya-biaya yang dipungut tidak sesuai dengan ketentuan, sebab-sebabnya perlu diteliti, untuk diambil langkah berikutnya secara tepat berdasarkan peraturan yang berlaku.

(8) Pengaturan Nilai Ebtanas Murni (NEM) oleh oknum pejabat yang berwenang dengan imbalan tertentu dari orang tua murid dengan tujuan agar murid dapat diterima di sekolah yang dianggap favorit.

Upaya-upaya preventif :

a. Kebijakan NEM menjadi pertimbangan utama dalam menerima murid di Sekolah-sekolah perlu dikaji ulang ;

b. Kualitas pendidikan di seluruh sekolah diupayakan merata, dengan cara antara lain, meningkatkan kualitas para guru dan membuat sistem mutasi guru yang dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas sekolah, serta melengkapi prasarana dan sarana sekolah sesuai dengan kebutuhan proses belajar dan mengajar ;

c. Para penyelenggara pendidikan diberi penghasilan yang layak ;

d. Adanya upaya penyadaran kepada pihak-pihak terkait bahwa tindakan pengaturan NEM merupakan tindakan koruptif dan tidak sportif yang sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri ;

e. Dibuat sanksi yang tegas kepada para pelaku, yang diterapkan secara konsekuen dan konsisten.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian secara uji petik di sekolah-sekolah yang dianggap favorit atas NEM dari siswa-siswa yang nilai rapor di jenjang pendidikan sebelumnya lebih rendah dari NEM-nya ;

b. Meneliti dan mengevaluasi hasil ujian akhir siswa yang bersangkutan apakah sama nilainya dengan DANEM yang bersangkutan ;

c. Melakukan konfirmasi kepada para guru-guru yang pernah mengajar mengenai kualitas siswa yang NEM - nya lebih tinggi dari nilai rapornya ;

d. Meneliti apakah ada perubahan angka hasil ujian dengan yang tercantum dalam DANEM, kemudian lakukan analisa kemungkinan ada unsur kerjasama untuk merubah antara unsur oknum sekolah, orang tua murid dan pihak instansi yang menerbitkan DANEM ;

e. Perlu diteliti pula kemungkinan tingginya NEM murid akibat menerima bocoran soal-soal ujian ;

(9) Guru pengganti dan guru kontrak di suatu daerah tidak aktif melaksanakan tugasnya tetapi menerima imbalan berupa honor, biaya penempatan dan THR.

Upaya-upaya preventif :

a. Kepala sekolah yang menerima guru pengganti dan kontrak harus aktif dan membuat/mengirimkan secara periodik laporan kegiatan kehadiran guru tersebut ke proyek;

b. Dibuat teguran kepada para guru pengganti/kontrak yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan ;

c. Dibuat ketentuan yang tegas mengenai sanksi atas ketidakhadiran guru baik secara finansial maupun secara administratif ;

d. Koordinasi pihak proyek dengan Kepala Sekolah di mana guru–guru tersebut melaksanakan tugasnya lebih ditingkatkan.

Upaya-upaya detektif :

a. Dapatkan data-data mengenai guru pengganti dan kontrak yang ditempatkan di sekolah-sekolah untuk suatu periode tertentu;

b. Lakukan konfirmasi ke sekolah-sekolah yang menerima guru pengganti dan guru kontrak dan bandingkan dengan data tersebut di atas;

c. Lakukan penelitian atas pengeluaran dana untuk pembayaran jasa guru pengganti dan guru kontrak pada proyek yang bersangkutan untuk mengetahui apakah pengeluaran tersebut sesuai dengan peruntukannya ;

d. Melakukan penelitian apakah dana yang dikeluarkan untuk guru pengganti dan atau guru kontrak yang indisipliner tersebut benar-benar dibayarkan kepada guru yang bersangkutan atau tidak ;

7) Bidang Pertanian/Pangan

(1) Beras Operasi Pasar Khusus (OPK) yang seharusnya hanya boleh dijual kepada masyarakat miskin dengan harga subsidi pemerintah, oleh oknum aparat pelaksana terkait dijual kepada masyarakat umum dengan harga jauh lebih tinggi dari harga subsidi pemerintah. Selisih harga tersebut dibagi-bagi kepada oknum aparat pelaksana yang bersangkutan. Akibatnya tujuan program pengentasan kemiskinan antara lain melalui OPK tidak tercapai.

Upaya-upaya preventif :

a. Adanya aparat berwenang melakukan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan penyaluran beras OPK agar sesuai prosedur operasional yang telah ditetapkan;

b. Dalam sistem pengawasannya melibatkan masyarat luas dengan cara mensosialisasikan program ini sebelum dilaksanakan;

c. Adanya tanda bukti penerimaan beras (daftar orang yang menerima beras dan kupon) dari masyarakat (daftar orang yang menerima beras dan kupon) yang diketahui oleh RT/RW setempat;

d. Transparansi pada saat penyaluran dan pembagian beras OPK pada setiap level instansi pelaksana;

e. Penjatahan beras OPK berdasarkan usulan dari instansi terkait yang didukung dengan daftar masyarakat miskin setempat yang diketahui oleh RT, RW dan Lurah/Kepala Desa;

f. Adanya pengenaan sanksi yang tegas kepada oknum aparat pelaksana terkait yang menjual beras OPK diluar ketentuan yang telah ditetapkan.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian terhadap usulan penjatahan beras OPK dari instansi terkait yang didukung dengan daftar masyarakat miskin setempat yang diketahui oleh RT, RW dan Lurah/Kepala Desa. Bandingkan usulan tersebut dengan realisasi penjatahannya ;

b. Melakukan penelitian terhadap laporan pertanggungjawaban pada berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan penyaluran beras OPK, kemudian bandingkan dengan prosedur yang berlaku;

c. Melakukan penelitian terhadap laporan pertanggungjawaban pada berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan penyaluran beras OPK, kemudian bandingkan dengan bukti penerimaan beras yang diketahui oleh aparat lurah/ desa setempat ;

d. Melakukan pengujian lapangan atas pelaksanaan penyaluran beras OPK.

8) Bidang Pertanahan

(1) Sertifikasi tanah milik masyarakat (misalnya tanah wakaf) maupun milik pemerintah melalui satuan kerja/proyek-proyek di instansi pemerintah uangnya diserahkan kepada instansi yang berwenang melakukan sertifikasi, namun diterima oleh oknum dan dimanfaatkan dulu secara pribadi. Akibatnya pelaksanaan sertifikasinya menjadi terhambat, dan berakibat lebih lanjut pada permintaan dana tambahan akibat adanya kenaikan tarif pelayanan;

Upaya-upaya Preventif :

a. Kontrak kerja sama antara instansi/unit kerja/proyek dengan instansi yang memberikan pelayanan sertifikasi harus memuat secara tegas mengenai jangka waktu penyelesaian sertifikasi. Jika diperlukan dibuat ketentuan mengenai sanksi yang dapat dikenakan, bila terdapat wanprestasi ;

b. Instansi/unit kerja/proyek yang mengajukan sertifikasi tanah tidak menyetorkan biaya pelayanan sertifikasi kepada oknum, tetapi kepada Bendaharawan Khusus Penerima yang ditunjuk dengan suatu surat keputusan ;

c. Instansi/unit kerja/proyek yang mengajukan sertifikasi tanah memantau perkembangan sertifikasi sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam kontrak, dan memberikan teguran atas keterlambatan yang terjadi dan atau mengenakan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kontrak ;

d. Apabila setelah diberikan sanksi, ternyata instansi yang memberikan pelayanan sertifikasi tetap tidak dapat melaksanakan pelayanannya sesuai kontrak, maka Instansi/unit kerja/proyek yang mengajukan sertifikasi tanah melaporkan masalah ini kepada atasan instansi pelayan dan atasannya sendiri, untuk dilakukan proses tindak lanjut secepatnya .

Upaya-upaya Detektif :

a. Melakukan pengamatan apakah ketentuan kontrak pelayanan sertifikasi telah memuat ketentuan mengenai batas waktu pelaksanaan pelayanan dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan jika terdapat pihak yang melakukan wanprestasi ;

b. Melakukan penelitian atas penyetoran biaya pelayanan, apakah telah dilakukan sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku ;

c. Melakukan pengecekan apakah perkembangan pelaksanaan pelayanan telah dipantau dengan baik ;

d. Melakukan penelitian atas perpanjangan kontrak dan atau perubahan harga kontrak, jika ada, diteliti apakah alasannya dapat dipertanggungjawabkan, jika alasannya tidak logis, perlu diteliti kemungkinan adanya kolusi antara kedua belah pihak.

(2) Prosedur pelayanan sertifikasi tanah dan tarif yang berlaku tidak diinformasikan secara transparan kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga memungkinkan oknum-oknum tertentu yang berhubungan dengan pelayanan sertifikasi mengambil keuntungan pribadi dengan cara memungut biaya-biaya tidak resmi kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

Upaya-upaya preventif :

a. Prosedur standar pelayanan sertifikasi, lamanya waktu yang dibutuhkan beserta tarip yang berlaku hendaknya diinformasikan kepada masyarakat, baik melalui mass media, booklet, papan pengumuman di kantor-kantor pelayanan maupun sarana informasi lainnya yang tersedia ;

b. Dibuat prosedur pengecekan yang memadai untuk memastikan bahwa setiap permohonan pelayanan yang masuk telah dilayani oleh pejabat/pegawai yang berwenang sesuai dengan prosedur standar yang berlaku ;

c. Diupayakan pelayanan diberikan melalui satu loket atau jika hal demikian tidak dimungkinkan, diupayakan sesedikit mungkin. Tidak setiap pegawai

instansi pelayanan yang diperbolehkan menerima permohonan pelayanan, kecuali yang telah ditentukan ;

d. Pegawai yang memberikan pelayanan dilarang meminta/menerima uang jasa dari pemohon pelayanan ;

e. Diatur sanksi yang tegas terhadap para petugas pelayanan yang mempersulit pelayanan dan atau meminta biaya tambahan di luar yang telah ditentukan. Aturan ini hendaknya dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.

Upaya-upaya detektif :

a. Dilakukan penelitian apakah prosedur standar yang telah ditentukan telah diinformasikan secara memadai kepada masyarakat, khususnya yang memohon pelayanan sertifikasi tanah ;

b. Dilakukan pengecekan untuk memastikan bahwa permohonan pelayanan telah diproses oleh pejabat/pegawai yang berwenang sesuai prosedur yang berlaku, dan jika tidak diteliti sebab-sebabnya ;

c. Teliti jumlah penerimaan biaya pelayanan dan hubungkan dengan jumlah permohonan yang diterima ;

d. Lakukan konfirmasi secara uji petik kepada masyarakat yang mengajukan permohonan pelayanan, terutama yang jenis pelayanannya cukup rumit dan biaya pelayanannya cukup tinggi (misalnya HGU tanah perkebunan, pabrik dll).

(3) Pelaksanaan prosedur penerbitan Sertifikat tanah berbelit-belit, pengurusannya tidak mudah dan prosesnya memakan waktu lama, sehingga menyuburkan praktek-praktek percaloan.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu pintu ;

b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan sertifikat tanah disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Setiap permohonan sertifikasi tanah, serta proses pelayannya harus dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas pelayanannya ;

d. Biaya-biaya pengurusan sertifikasi tanah tidak boleh diterima/ disampaikan kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

e. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator (calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang telah mendapatkan izin ;

f. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta bayaran yang tinggi kepada pemohon sertifikasi tanah untuk kepentingan pribadi. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

g. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya secara berkala ;

h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang melayani sertifikasi tanah secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan serta lamanya pengurusan sertifikasi tanah yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas usulan sertifikasi tanah yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);

c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan sertifikasi tanah telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;

d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh pihak pemohon sertifikasi tanah telah sesuai dengan ketentuan dengan jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon ;

9) Bidang Pekerjaan Umum

(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan IMB berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku sehingga pengurusannya membutuhkan waktu yang lama dan menimbulkan praktek percaloan yang memperberat beban biaya bagi pihak pemohon.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit mungkin loket ;

b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan IMB disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Setiap permohonan IMB, serta proses pelayannya harus dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas pelayanannya ;

d. Biaya-biaya pengurusan IMB tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

e. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator (calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang telah mendapatkan izin ;

f. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta bayaran yang tinggi kepada pemohon IMB untuk kepentingan pribadi. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

g. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya secara berkala ;

h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang melayani IMB secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan serta lamanya pengurusan IMB yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan IMB yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);

c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan IMB telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya;

d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh pihak pemohon IMB telah sesuai dengan ketentuan dengan jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon ;

e. Melakukan uji petik terhadap pembangunan-pembangunan baru yang sedang dilaksanakan.

(2) Oknum petugas yang berwenang dalam menertibkan bangunan yang tidak memiliki IMB tidak tegas dan bahkan melakukan pungutan-pungutan di luar ketentuan kepada para pemilik bangunan yang tidak memiliki IMB.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat peta/inventarisasi atas bangunan-bangunan yang tidak memiliki IMB ;

b. Dilakukan penertiban secara berkala dan terus-menerus atas bangunan-bangunan yang tidak memiliki IMB oleh para petugas yang kompeten dengan dilengkapi surat tugas ;

c. Pegawai yang diberi wewenang untuk melakukan penertiban bangunan yang tidak memiliki IMB, harus orang yang memiliki integritas kejujuran dalam melaksanakan tugasnya ;

d. Adanya aturan yang jelas dalam penugasan penertiban IMB, menyangkut masalah antara lain prosedur penertiban, cara-cara/aturan penindakan dan sistem pelaporan hasil penertiban ;

e. Biaya operasional dalam rangka penugasan penertiban IMB harus dianggarkan secara wajar ;

f. Dibuat sanksi yang tegas terhadap para petugas yang tidak menjalankan tugas sesuai ketentuan dan melakukan pungutan-pungutan secara tidak sah. Ketentuan mengenai sanksi ini harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten;

g. Dilakukan pengawasan yang memadai atas kegiatan petugas yang melakukan penertiban IMB .

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti daftar inventarisasi bangunan yang tidak memiliki IMB apakah telah dilakukan tindakan penertiban secara menyeluruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

b. Meneliti secara uji petik terhadap penugasan penertiban bangunan yang tidak memiliki IMB apakah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ;

c. Meneliti kemungkinan adanya bangunan tidak ber IMB yang tidak pernah ditertibkan dan mempelajari sebab-sebabnya ;

d. Meneliti laporan-laporan hasil penertiban dan mengecek secara uji petik dengan keadaan di lapangan. Pada langkah ini dapat dilakukan pula konfirmasi kepada pemilik bangunan mengenai adanya pungutan-pungutan tidak sah yang dilakukan oleh petugas penertiban ;

e. Meneliti apakah penindakan yang diambil sudah sesuai dengan kondisi yang ditemukan dari hasil penertiban ;

10) Bidang Perhubungan

(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan SIM berbelit-belit sehingga pengurusannya menjadi tidak mudah dan prosesnya memakan waktu yang lama dan pada akhirnya makin menyuburkan praktek percaloan.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit mungkin loket ;

b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan SIM disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Setiap permohonan SIM, serta proses pelayannya dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas pelayanannya ;

d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang kompeten/mampu dan ramah, sehingga dapat memberikan pelayanan yang menyenangkan, tidak menakutkan ;

e. Biaya-biaya pengurusan SIM tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator (calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang telah mendapatkan izin ;

g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta bayaran yang tinggi kepada pemohon SIM untuk kepentingan pribadi. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

h. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya secara berkala ;

i. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang melayani SIM secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan serta lamanya pengurusan SIM yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan SIM yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);

c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan SIM telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya;

d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh pihak pemohon SIM telah sesuai dengan ketentuan dengan jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon ;

(2) Pelaksanaan prosedur pengurusan STNK, BPKB dan BBN berbelit-belit sehingga prosesnya memakan waktu yang lama yang mengakibatkan timbulnya praktek pencaloan.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, mudah, murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit mungkin loket ;

b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan STNK, BPKB dan BBN disosialisasikan secara intensif kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Setiap pengurusan STNK, BPKB dan BBN, serta proses pelayannya dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas pelayanannya ;

d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang kompeten/mampu dan ramah, sehingga dapat memberikan pelayanan yang menyenangkan, tidak menakutkan ;

e. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator (calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang telah mendapatkan izin ;

g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta bayaran yang tinggi kepada pemohon pelayanan. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

h. Pengawasan kepada para petugas yang bersangkutan harus lebih ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya secara berkala. Hasil pengawasan ini menjadi bahan penilaian konduite daan rotasi pegawai ;

i. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang pelayanan secara terus menerus.

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan serta lamanya pengurusan STNK, BPKB dan BBN yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan pelayanan STNK, BPKB dan BBN yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);

c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan STNK, BPKB dan BBN telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;

d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh pihak pemohon pelayanan telah sesuai dengan ketentuan, dengan jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon.

(3) Terdapat pungutan-pungutan biaya formulir yang sangat mahal dalam pengurusan STNK, BPKB dan BBN dan tidak jelas pungutan tersebut untuk negara atau pihak-pihak tertentu.

Upaya-upaya preventif :

a. Meninjau kembali kebijakan penetapan tarif-tarif pelayanan. Biaya-biaya yang dikeluarkan instansi yang memberikan pelayanan berasal dari anggaran negara, oleh karenanya seluruh biaya-biaya pelayanan yang dipungut dari masyarakat harus disetorkan pula kepada negara;

b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya-biaya pengurusan STNK, BPKB dan BBN diinformasikan secara transparan kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Seluruh pembayaran biaya pelayanan disetorkan lewat satu loket;

d. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan melalui petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

e. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas yang tidak berwenang tidak menerima biaya pelayanan dari masyarakat dan petugas loket pembayaran harus menerima biaya pelayanan langsung dari pemohon pelayanan ;

f. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

g. Pengawasan kepada para petugas yang melakukan pelayanan harus lebih ditingkatkan dan hasil pelaksanaan pekerjaannya dibuatkan laporannya secara berkala. Hasil pengawasan ini menjadi bahan penilaian konduite daan rotasi pegawai ;

h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang melakukan pelayanan secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan serta lamanya pengurusan STNK, BPKB dan BBN yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah tarif biaya pelayanan STNK, BPKB dan BBN telah diinformasikan secara transparan kepada masyarakat ;

c. Melakukan penelitian apakah seluruh biaya pelayanan telah disetorkan kepada petugas yang ditunjuk secara resmi untuk itu dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku ;

d. Meneliti adanya pungutan-pungutan yang diatur dan disetorkan ke pihak-pihak tertentu secara melawan hukum ;

e. Melakukan konfirmasi langsung kepada pemohon pelayanan secara uji petik.

(4) Pelaksanaan prosedur pengurusan KIR dan Ijin Trayek berbelit-belit sehingga prosesnya memakan waktu yang lama dan menimbulkan percaloan.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, mudah, murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit mungkin loket ;

b. Prosedur, persyaratan teknis & administrasi serta tarip biaya pengurusan KIR dan Ijin Trayek diinformasikan secara luas dan transparan kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Setiap pengurusan KIR dan Ijin Trayek serta proses pelayannya dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas pelayanannya ;

d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang kompeten/mampu, ramah, jujur dan terbuka sehingga dapat memberikan pelayanan yang menyenangkan, tidak menakutkan ;

e. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator (calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang telah mendapatkan izin ;

g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta bayaran yang tinggi kepada pemohon pelayanan. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para pegawai secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, per-syaratan, tarip biaya pelayanan serta lamanya pengurusan KIR dan Ijin Trayek yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan pelayanan KIR dan Ijin Trayek yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);

c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya proses KIR dan Ijin Trayek telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;

d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh pemohon pelayanan telah sesuai dengan ketentuan, dengan jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon secara uji petik ;

e. Melakukan uji petik terhadap kendaraan penumpang umum yang batas waktu KIR ataupun izin trayeknya telah habis.

(5) Parkir kendaraan bermotor di jalan umum, perkantoran dan pertokoan sering dilayani oleh petugas yang tidak berseragam dan berpenampilan kurang

bersahabat, bahkan sering meminta uang yang lebih besar tanpa disertai bukti pembayaran/karcis, padahal masyarakat seharusnya merasa aman karena telah mengeluarkan biaya. Dengan demikian patut dicurigai bahwa penerimaan perparkiran ini tidak disetorkan ke pihak yang kompeten dengan lengkap, bahkan sebagian besar berpotensi bocor ke pihak-pihak tertentu.

Upaya-upaya preventif :

a. Meninjau kembali pasal-pasal perjanjian-perjanjian pengelolaan parkir dengan pihak swasta, jika ada – di mana antara lain perlu diatur bahwa setiap petugas parkir harus memiliki identitas yang jelas, dan pengelola parkir dapat menjamin agar tidak terdapat duplikasi pungutan kepada pemilik kendaraan. Jika menurut pengaduan masyarakat hal tersebut tidak dilaksanakan, maka kontrak harus dibatalkan ;

b. Jika perparkiran dikelola sendiri oleh PEMDA melalui suatu Badan Pengelola, maka personil petugas parkir harus menggunakan pakaian seragam yang rapi dan unik pada saat melaksanakan tugas, dan diberikan sanksi yang tegas kepada mereka yang melanggar ;

c. Badan Pengelola Parkir harus mampu menertibkan juru parkir-juru parkir liar dengan cara melakukan inspeksi secara rutin ;

d. Karcis parkir dibuat secara standar yang mencantumkan lokasi, besarnya tarif dan tanggal parkir;

e. Pada area parkir dipasang rambu-rambu atau papan pengumuman yang jelas mengenai aturan parkir (tarif, jam pemakaian tempat parkir);

f. Badan Pengelola Parkir harus memiliki peta potensi pendapatan parkir di seluruh wilayah kerjanya, sebagai acuan dalam menetapkan target penerimaan dan melakukan pengendalian/pengawasan atas realisasi penerimaannya ;

g. Sistem pertanggungjawaban penerimaan uang parkir harus terus menerus dievaluasi dan disempurnakan sehingga mencerminkan pengendalian penerimaan kas yang baik, dalam rangka memperkecil tingkat kebocoran ;

h. Kepada para petugas parkir diberikan penghasilan dan prasarana & sarana kerja yang memadai ;

i. Adanya pengawasan yang ketat dari pihak pengelola parkir terhadap petugas parkir ;

j. Adanya peran serta aktif dari masyarakat luas untuk meminta karcis parkir setiap membayar pungutan parkir, dan meneliti keabsahan karcis tersebut serta melaporkan adanya kejanggalan-kejanggalan kepada Badan Pengelola Parkir.

Upaya-upaya detektif :

a. Lakukan penelitian apakah ada aturan yang mengatur secara tegas tentang keharusan juru parkir menggunakan pakaian seragam, kemudian cek realisasinya di lapangan ;

b. Pelajari sistem dan prosedur kerja yang berlaku dalam pemungutan dan pertanggungjawaban penerimaan jasa parkir, teliti kemungkinan adanya kerawanan-kerawanan atau peluang-peluang terjadinya penyimpangan ;

c. Dilakukan pengecekan ke lapangan mengenai juru parkir yang bertugas, serta penggunaan karcis parkir dan tarifnya, apakah telah sesuai dengan ketentuan dan penugasan yang berlaku ;

d. Dilakukan pengamatan apakah terdapat mekanisme pengendalian yang memadai terhadap kegiatan perparkiran di lapangan ;

e. Dilakukan penelitian apakah terdapat rambu-rambu atau papan pengumuman yang jelas mengenai aturan parkir (tarif, jam pemakaian tempat parkir) di tempat-tempat yang digunakan sebagai areal/kawasan parkir;

f. Melakukan pengamatan atas potensi penerimaan parkir di suatu kawasan parkir tertentu berdasarkan sampel secara uji petik pada periode tertentu dan membandingkan dengan jumlah relaisasi penerimaan/setoran juru parkir pada periode yang sama.

(6) Retribusi Dispensasi Pemakaian Jalan (RDPJ) yang dipungut oleh pemerintah daerah setempat terlalu mahal dan diragukan bahwa pemungutan retribusi tersebut disetor ke kas daerah karena beberapa pemungutan retribusi tidak disertai dengan bukti pembayaran.

Upaya-upaya preventif :

a. Adanya pungutan RDPJ harus diatur dengan PERDA di mana pasal-pasal aturannya harus mencantumkan dengan jelas maksud dan tujuan pungutan serta tata cara pengelolaan dan pertanggung-jawabannya ;

b. Tarip RDPJ harus ditetapkan berdasarkan suatu perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan pula pungutan-pungutan sejenis yang dilakukan daerah yang bertetangga, agar tarip yang ditetapkan tidak memberatkan pengguna jalan (wajib retribusi) yang melewati beberapa daerah ;

c. Perhitungan tarip dilakukan secara transparan ;

d. Karcis-karcis retribusi dicetak bernomor seri, dicantumkan antara lain besarnya tarip, masa berlaku dan diberi cap oleh instansi berwenang (di luar instansi yang melaksanakan pungutan) ;

e. Karcis retribusi diserahkan kepada instansi yang melakukan pungutan secara bertahap. Instansi yang melakukan pungutan bisa mengambil karcis lagi bila telah mempertanggungjawabkan karcis yang telah diterima sebelumnya ;

f. Sosialisasikan peraturan-peraturan tersebut kepada masyarakat, khususnya masyarakat wajib retribusi dan memberi rambu-rambu tertentu di pos-pos pemungutan;

g. Potensi penerimaan RDPJ harus dihitung dan dijadikan alat pengendalian atas realisasi penerimaan RDPJ ;

h. Sistem pemungutan RDPJ harus disesuaikan dengan kondisi pengguna jalan wajib retribusi. Bagi Wajib Retribusi yang setiap hari menggunakan fasilitas obyek retribusi, diatur agar dapat membayar misalnya secara lumpsum ;

i. Di Pos-pos retribusi dibuat catatan mengenai kendaraan wajib retribusi yang lewat dan catatan penerimaan uang retribusi. Petugas yang mencatat kendaraan, mencatat penerimaan retribusi dan yang mengelola karcis tidak boleh sama ;

j. Pengawasan atas penarikan dan penyetoran RDPJ ditingkatkan dan dibuatkan laporannya.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian apakah ada ketentuan resmi yang mengatur RDPJ ;

b. Melakukan penelitian apakah sistim pengendalian manajemen pengelolaan RDPJ telah memadai untuk menghindari adanya kecurangan;

c. Lakukan pengamatan langsung di lapangan secara uji petik untuk melihat kinerja petugas dalam memberikan pelayanan RDPJ apakah sudah mematuhi ketentuan yang berlaku ;

d. Lakukan pengawasan pemungutan dan pembayaran RDPJ di pos-pos retribusi dengan melakukan opname karcis, dibandingkan dengan catatan kendaraan wajib retribusi yang lewat dan uang yang ada ;

e. Melakukan pengecekan jumlah karcis retribusi yang diterima dibandingkan dengan sisa karcis yang ada dan uang yang telah disetor ke Kas Daerah serta uang yang belum disetor.

f. Melakukan penelitian mengenai tingkat kepuasan wajib retribusi terhadap pelayanan fasilitas jalan yang diterimanya.

11) Bidang Kependudukan :

(1) Pelaksanaan pengurusan KTP atau Akte Kelahiran berbelit-belit, prosesnya memakan waktu lama, sehingga menyuburkan praktek pencaloan yang bekerja sama dengan petugas pelayanan.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang ideal ; Prosedur dan persyaratan dibuat sederhana, sehingga dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, mudah, murah. Sedapat mungkin pelayanan diberikan lewat satu loket atau sesedikit mungkin loket ;

b. Prosedur, persyaratan administrasi dan biaya pengurusan KTP dan Akte Kelahiran diinformasikan secara luas kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini harus dapat dilihat dengan mudah di tempat-tempat pelayanan ;

c. Setiap pengurusan KTP dan Akte Kelahiran serta proses pelayannya dicatat secara kronologis dalam suatu buku, sehingga dapat dipantau efektivitas pelayanannya ;

d. Petugas yang memberikan pelayanan harus orang yang kompeten/mampu, ramah, dan terbuka sehingga dapat memberikan pelayanan yang menyenangkan, tidak menakutkan ;

e. Biaya-biaya pelayanan tidak boleh diterima/disampaikan kepada petugas yang tidak ditunjuk secara resmi untuk itu ;

f. Dibuat larangan secara tertulis agar petugas tidak melayani para mediator (calo) kecuali yang telah diatur secara resmi, yaitu Biro-Biro Jasa yang telah mendapatkan izin ;

g. Dibuat sanksi yang tegas kepada petugas yang melanggar larangan atau bahkan bekerja sama dengan calo atau Biro Jasa dengan tujuan meminta bayaran yang tinggi kepada pemohon pelayanan. Sanksi tersebut harus diterapkan secara konsekuen dan konsisten ;

h. Pembinaan moral keagamaan perlu diberikan kepada para petugas yang pelayanan secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti apakah ada standar pelayanan meliputi prosedur, persyaratan, tarip biaya pelayanan serta lamanya pengurusan KTP atau Akte Kelahiran yang ditetapkan dalam suatu peraturan secara tertulis ;

b. Melakukan penelitian apakah terhadap berkas permohonan pelayanan KTP atau Akte Kelahiran yang persyaratannya lengkap, telah diproses sesuai dengan ketentuan tanpa diskriminasi (membeda-bedakan yang diurus sendiri, lewat calo, atau Biro Jasa);

c. Melakukan penelitian apakah prosedur dan lamanya pengurusan KTP atau Akte Kelahiran telah sesuai dengan ketentuan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;

d. Melakukan penelitian apakah biaya yang dibebankan dan dibayar oleh pemohon pelayanan telah sesuai dengan ketentuan, dengan jalan antara lain konfirmasi langsung kepada pemohon secara uji petik ;

12) Bidang Permukiman

(1) Terdapat tunggakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang merupakan kewajiban pengembang dengan nilai yang sangat signifikan, tidak ditagih oleh instansi yang berwenang, sehingga patut diduga terdapat kolusi antara pejabat yang berwenang dengan para pengembang yang bersangkutan.

Upaya-upaya preventif:

a. Setiap perijinan yang diberikan kepada pengembang oleh pejabat pemda harus mematuhi RUTR dan RTRW yang telah ditetapkan ;

b. Kewajiban para pengembang untuk membangun fasum dan fasos harus dibuat secara jelas dan tertulis pada dokumen perijinan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang ;

c. Dokumen-dokumen terkait harus diadministrasikan dan diarsipkan dengan sebaik-baiknya ;

d. Dilakukan pengawasan terhadap para pengembang mengenai realisasi pembangunan fasos dan fasum yang menjadi kewajibannya;

e. Secara berkala dan sistematis dilakukan teguran kepada para pengembang yang lalai dalam membangun Fasos dan Fasum yang menjadi kewajibannya ;

f. Dibuat sanksi yang berat atas kelalaian para pengembang yang tidak mampu membangun Fasos dan Fasum sesuai batas waktu yang diberikan ;

g. Dibuat sanksi yang berat kepada pejabat berwenang yang berkolusi dengan pihak pengembang dan tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan.

Upaya-upaya detektif:

a. Dapatkan data mengenai RUTR dan RTRW yang telah ditetapkan dan bandingkan dengan lahan untuk pengembang untuk mengetahui apakah peruntukannya telah sesuai RUTR dan RTRW;

b. Melakukan penelitian apakah ijin yang diberikan kepada pengembang telah mencantumkan kewajiban membangun fasum dan fasos secara tertulis disertai dengan seluruh persyaratan dan hak serta kewajiban masing-masing pihak ;

c. Melakukan pengecekan apakah kewajiban para pengembang untuk membangun fasos dan fasum telah dilaksanakan sesuai ketentuan. Jika belum diteliti sebab-sebabnya, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ;

d. Melakukan pemeriksaan mengenai sebab-sebab adanya tunggakan fasos dan fasum oleh para pengembang dengan memperhatikan kemungkinan adanya kolusi antara para pengembang dengan pejabat berwenang terkait ;

e. Lakukan penelitian apakah pejabat yang berwenang telah menetapkan keputusan pengenaan sanksi yang berlaku dalam hal terjadinya pelanggaran kewajiban membangun fasum dan fasos oleh pengembang. Jika belum, selidiki apa sebabnya.

(2) Perusahaan pengembang diminta untuk menyerahkan lahan atau uang yang sifatnya titipan sebagai biaya pembebasan tanah dengan alasan untuk mempercepat proses penyelesaian ijin lokasi dan penerbitan Site Plan pengembang. Uang titipan ini pada akhirnya tidak jelas pertanggungjawabannya.

Upaya-upaya preventif:

a. Adanya ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan ijin lokasi dan penerbitan site plan;

b. Adanya ketentuan yang jelas, tegas dan transparan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak (pemda dan pengembang) sehubungan dengan pembangunan suatu kawasan tertentu oleh pengembang ;

c. Adanya ketentuan yang tegas dan transparan mengenai kewajiban perusahaan pengembang dalam penyediaan lahan untuk prasarana lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial dan perijinan yang diperlukan. Kebijakan penggantian dalam bentuk uang titipan atau bentuk lain perlu ditinjau kembali karena memerlukan pengawasan dan administrasi tambahan serta berpeluang menimbulkan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi ;

d. Adanya pengendalian dan pengawasan yang memadai dari instansi yang berwenang.

Upaya-upaya detektif:

a. Melakukan penilaian terhadap ketentuan uang titipan, apakah diterbitkan oleh instansi yang berwenang ;

b. Mengevaluasi ketentuan tersebut, apakah cara-cara pengelolaannya telah mencerminkan sistem pengendalian yang baik, antara lain diadakan pemisahan antara petugas yang menyimpan, mencatat, dan yang menyetujui penerimaan/pengeluaran serta yang mengawasi uang titipan tersebut;

c. Meneliti apakah terdapat pengawasan yang memadai atas pengelolaan uang titipan tersebut ;

d. Mengecek kesesuaian jumlah/saldo uang titipan yang ada dengan catatan bendaharawan ;

e. Meneliti mutasi uang titipan dan mengecek apakah penerimaannya serta penggunaannya telah sesuai dengan ketentuan ;

(3) Penyerahan luas lahan TPU oleh pengembang tidak sesuai dengan luas menurut kewajibannya antara lain pengembang tidak menyerahkan lahan, luas lahan kurang dari yang seharusnya, dan lahan tidak siap bangun.

Upaya-upaya preventif:

a. Adanya ketentuan pelaksanaan yang tegas yang mewajibkan pengembang menyediakan lahan TPU dalam bentuk lahan matang atau siap bangun dan luasnya sesuai.

b. Setiap penyerahan lahan TPU harus dibuatkan Berita Acara Serah Terima dengan penetapan lokasi dan luas sesuai dengan ijin yang telah diberikan.

c. Penyerahan lahan untuk keperluan TPU harus dilaksanakan pada waktu pengajuan site plan dan pengaturan penyediaan lahan ditetapkan dengan peraturan.

d. Pengawasan yang ketat terhadap kewajiban pengembang untuk menyediakan lahan untuk keperluan TPU.

Upaya-upaya detektif:

a. Lakukan penelitian terhadap ketentuan pelaksanaan yang tegas yang mewajibkan pengembang menyediakan lahan TPU dalam bentuk lahan matang atau siap bangun dan luasnya sesuai.

b. Lakukan penelitian terhadap Berita Acara Serah Terima lahan untuk TPU apakah penetapan lokasi dan luas telah sesuai dengan ijin yang diberikan dan waktu penyerahannya dilaksanakan pada saat pengajuan site plan.

B. Pelayanan oleh BUMN/BUMD

1) Bidang Kelistrikan

(1) Investasi perusahaan untuk sarana pembangkit dan distribusi dan atau pembelian listrik dari swasta terlalu mahal karena adanya unsur korupsi yang menguntungkan oknum-oknum tertentu sehingga biaya investasi menjadi tinggi. Hal ini akan berakibat pada mahalnya tarif listrik yang menjadi beban konsumen.

Upaya-upaya preventif :

a. Penyelenggara tender harus melaksanakan tender secara transparan sesuai ketentuan yang berlaku;

b. Mewajibkan rekanan peserta tender membuat pernyataan yang mengikat bahwa jika perusahaannya terbukti melakukan persaingan yang tidak sehat, maka penawarannya akan dibatalkan;

c. Melibatkan lembaga auditor independen untuk melakukan audit khusus (special audit) dalam menilai kewajaran nilai investasi.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian atas proses tender yang diikuti oleh sedikit peserta atau prosesnya tidak terbuka;

b. Meneliti apakah Owner’s Estimate (OE) telah disusun sesuai ketentuan dan menggambarkan perhitungan yang wajar ;

c. Meneliti kewajaran harga yang ditawarkan oleh rekanan calon pemenang dengan membandingkannya dengan OE ;

d. Meneliti berkas penawaran para rekanan yang kalah untuk melihat adanya unsur rekayasa ;

e. Meneliti berkas-berkas publikasi dan evaluasi penawaran yang dilakukan oleh penyelenggara tender untuk menemukan indikasi pelanggaran prinsip persaingan sehat ;

2) Bidang Transportasi

(1) Oknum petugas kereta api menagih ongkos di atas kereta api dari penumpang yang tidak membeli karcis (penumpang gelap) tidak sesuai dengan ketentuan, dan uangnya masuk ke kantong pribadi oknum tersebut.

Upaya-upaya preventif :

a. Diadakan pemeriksaan tiket sebelum penumpang naik ke Kereta Api ;

b. Untuk Kereta Api kelas eksekutif penjualan tiket sesuai dengan jumlah tempat duduk ;

c. Penumpang tanpa tiket hendaknya diturunkan di stasiun terdekat ;

d. Untuk Kereta Api kelas eksekutif hendaknya ada catatan mengenai mutasi penumpang dari tempat awal perjalanan sampai dengan tujuan akhir ;

e. Adanya ketentuan yang tegas disertai sanksi yang berat kepada petugas yang berkolusi dengan penumpang yang membayar di atas Kereta Api dengan tarif “damai” dan tidak menyetorkan hasilnya ke Kas Perusahaan ;

f. Adanya pengawasan yang ketat, konsekuen dan konsisten dari manajemen kereta api kepada petugas dan penumpang untuk mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan ;

g. Disiapkan rangkaian gerbong kereta yang mencukupi bagi penumpang dalam rangka menghindari penumpang yang berjubel-jubel disetiap gerbong yang akhirnya akan menyulitkan petugas saat pemeriksaan karcis.

Upaya-upaya detektif :

a. Lakukan penelitian apakah jumlah penumpang pada setiap rangkaian perjalanan telah sesuai dengan jumlah karcis terjual;

b. Lakukan penelitian terhadap mutasi penumpang untuk memastikan bahwa seluruh penumpang telah membayar tiket sesuai ketentuan ;

c. Lakukan penelitian apakah pengawasan oleh manajemen telah dilakukan secara periodik, kontinyu dan konsisten kepada petugas maupun pengguna jasa kereta api.

(2) Pelayanan penjualan karcis kereta api terutama untuk trayek jarak jauh (kelas eksekutif) kurang memuaskan karena banyaknya karcis/tiket yang dijual para calo dengan harga tinggi, yang berindikasi berkolusi dengan oknum petugas loket.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat kampanye anti calo secara besar-besaran dengan cara memasang spanduk di tempat-tempat penjualan tiket atau tempat lain yang dianggap strategis ;

b. Di setiap loket penjualan dijaga oleh petugas yang mengatur dan mengawasi calon penumpang yang membeli tiket. Para petugas tersebut, juga bertugas menertibkan para calo yang ikut antri membeli tiket ;

c. Para petugas tersebut pada butir b, rotasi penugasannya diatur untuk mencegah terjadinya kolusi dengan para calo ;

d. Dibuat aturan dan sanksi yang tegas kepada petugas loket yang diketahui menjual karcis kepada calo ;

e. Buka kotak saran/pengaduan di tempat-tempat yang strategis ;

f. Melakukan evaluasi secara berkala mengenai tata cara penjualan karcis/tiket, agar diperoleh cara pelayanan yang lebih memuaskan dan bebas percaloan.

Upaya-upaya detektif :

a. Lakukan penelitian di loket-loket penjualan/pemesanan tiket apakah terdapat calo-calo yang ikut antri membeli tiket ;

b. Lakukan penelitian apakah para calo tersebut sudah saling mengenal dengan petugas loket ;

c. Dengan menyamar sebagai calon penumpang, lakukan wawancara dengan para calo, untuk mengetahui oknum petugas loket yang terlibat ;

d. Lakukan permintaan keterangan/konfirmasi kepada oknum petugas loket yang dicurigai bekerjasama dengan calo, mengenai alasannya menjual tiket kepada calo ;

e. Lakukan opname tiket terjual dengan uang yang diterima, serta sisa tiket/tempat duduk yang masih tersedia ;

f. Lakukan pengecekan secara uji petik mengenai kebenaran identitas penumpang dengan nama yang tercantum dalam tiket, dan teliti penyebabnya jika terdapat perbedaan.

BAB III

UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REFRESIF

Penyelesaian atas kasus penyimpangan dilakukan secara proporsional sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan kewenangan masing-masing instansi. Setiap tahap penyelesaian kasus harus dilakukan pemantauan perkembangannya. Pada dasarnya setiap kasus tindak pidana korupsi harus ditindaklanjuti melalui peradilan sesuai ketentuan yang berlaku. Terhadap kasus yang hanya bersifat penyimpangan prosedur tata kerja dan perlu dilakukan pembinaan secara administratif dapat dilakukan penanganannya secara internal oleh organisasi yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.

Upaya ini merupakan pelaksanaan tindak lanjut atas kasus penyimpangan yang ditemukan pada masing-masing unit kerja dari hasil langkah-langkah detektif yang telah memenuhi hal sebagai berikut :

- Setiap kasus penyimpangan yang telah diidentifikasikan merugikan keuangan negara dari langkah detektif agar didukung dengan bukti yang memadai termasuk penjelasan/keterangan tertulis dari pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.

- Setiap kasus penyimpangan harus dilakukan pembahasan melalui pemaparan kasus untuk menentukan langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan. Dalam pemaparan tersebut, jika perlu, menyertakan pihak dari instansi penyidik guna menentukan ada tidaknya Tindak Pidana Korupsi/Perdata.

A. Penyelesaian Oleh Unit Kerja Terkait

1. Pelaksanaan Tindak Lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja menindaklanjuti kasus penyimpangan yang ditemukan melalui :

a. pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang berlaku.

b. pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) untuk instansi pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku yang selanjutnya dituangkan dalam Surat Kesanggupan dari pejabat/petugas yang bertanggung jawab.

2) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus-kasus penyimpangan yang sanksi TP/TGR-nya tidak ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secara perdata;

3) Pimpinan instansi/unit kerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang diperlukan untuk menanggulangi akibat penyimpangan yang ditemukan.

2. Pemantauan tindak lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau pengenaan sanksi administratif dan pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) dan atau ketentuan lainnya yang berlaku ;

2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan tindak lanjut penyelesaian kasus penyimpangan baik melalui pengenaan PP 30/1980 maupun TP/TGR dan atau ketentuan lainnya yang berlaku kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus kepada Instansi Penyidik.

1. Pelaksanaan tindak lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus penyimpangan yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK) kepada instansi penyidik dan kasus perdata kepada kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku ;

2) Instansi penyidik memproses kasus tindak pidana korupsi/perdata secara hukum dengan prinsip cepat, tepat dan efisien;

3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi penyidik yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pimpinan instansi/unit kerja mengenakan sanksi administrasi berdasarkan PP 30 tahun 1980 dan atau peraturan lain yang berlaku kepada pegawai yang telah dinyatakan bersalah;

4) Instansi penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan kasus tindak pidana korupsi/perdata kepada instansi pelapor secara berkala.

2. Pemantauan Tindak Lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau kasus tindak pidana korupsi/perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik;

2) Pimpinan instansi/unit kerja yang melaporkan kasus tindak pidana korupsi/perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik disertai dengan perkembangan penanganannya kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

LAMPIRAN

DAFTAR KASUS / PENYIMPANGAN PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

No Uraian Halaman

1. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah

1) Bidang Hukum & Peradilan

(1) Tindakan penyuapan oleh oknum pengacara kepada oknum aparat penegak hukum dan peradilan agar proses dan atau keputusan hukum yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi klien yang sedang dibela.

13

(2) Masyarakat yang meminta perlindungan hukum/keamanan, dimintai sejumlah dana oleh oknum aparat secara tidak sah (pungli), dengan alasan instansinya tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memberikan pelayanan yang diminta.

14

(3) Anggota masyarakat yang kehilangan kendaraan bermotor (dicuri, dirampok dsb) dan telah berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak yang berwajib, ketika hendak mengambil kendaraan miliknya dari kantor pihak yang berwajib dikenakan biaya oleh oknum pihak yang berwajib secara tidak sah. Di samping itu dalam banyak kasus barang yang ditemukan kembali sudah dalam keadaan tidak lengkap

15

(4) Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan pengurusan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dimintai biaya yang memberatkan oleh oknum pihak yang berwajib

17

(5) Proses persidangan kasus pengurusan surat fatwa waris dilaksanakan dengan jadual yang tidak pasti, mengambang dan tidak jelas nama pejabat (Hakim, Panitera) yang ditugasi untuk menangani masalah fatwa waris tersebut. Untuk satu urusan harus dilakukan berulang-ulang dan tidak transparan, sehingga membuka peluang penyelesaian secara kolusif

17

2) Bidang Keimigrasian

(1) Proses pengurusan paspor dan dokumen-dokumen keimigrasian berbelit-belit dan diskriminatif, sehingga masyarakat cenderung menggunakan jasa calo dengan konsekuensi mengeluarkan biaya yang lebih besar dari ketentuan yang seharusnya. Terindikasi adanya kolusi antara oknum petugas dengan calo yang merugikan masyarakat pemohon.

18

(2) Tahap kegiatan pelayanan tertentu dalam pengurusan dokumen keimigrasian, seperti paspor dan sebagainya (misalnya pemotretan), dilakukan melalui kerja sama antara instansi imigrasi dengan pihak swasta. Ada indikasi korupsi antara oknum pejabat instansi yang berwenang dengan pihak swasta dalam menetapkan

19

biaya kontrak kerjasama sehingga biaya pelayanan menjadi lebih mahal.

(3) Terhadap WNI (wajib pajak) yang melakukan perjalanan ke luar negeri, petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa tanpa memperhatikan dokumen fiskalnya. Ada indikasi oknum petugas berkolusi dengan calo supaya wajib pajak membayar fiskal dengan tarif lebih murah dari tarif resmi kepada calo tanpa menerima bukti pembayaran fiskal. Selanjutnya calo mengantarkan wajib pajak melewati petugas yang telah berkolusi dengannya.

20

(4) Orang asing yang bekerja di Indonesia (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang berada di Indonesia melebihi masa tinggal yang telah diberikan ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan TKA tersebut mau memberi sejumlah uang kepada oknum dimaksud.

21

3) Bidang Keuangan

(1) Proses restitusi pajak dipersulit sehingga wajib pajak terpaksa memberikan sebagian dari jumlah restitusi pajaknya kepada oknum petugas/pejabat pelayanan pajak agar proses restitusi tersebut berjalan cepat dan lancar. Dalam beberapa kasus terdapat keadaan yang sebaliknya, di mana wajib pajak yang tidak memenuhi syarat restitusi berusaha menyuap petugas agar restitusi dapat diproses walaupun ada persyaratan yang tidak dipenuhi.

21

(2) Pengajuan SPP untuk penerbitan SPM atas realisasi anggaran Rutin maupun Pembangunan ke Kas Negara, dipersulit/ diperlambat jika tidak memberikan sejumlah dana tertentu kepada oknum petugas yang memberikan pelayanan

22

4) Bidang Ketenagakerjaan

(1) Kepada TKI yang meminta surat keterangan bebas fiskal, dipungut sejumlah biaya tertentu oleh oknum pegawai yang memberikan pelayanan surat keterangan tersebut.

23

(2) Orang asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang bekerja di Indonesia tanpa izin, ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan supaya TKA tersebut memberi sejumlah uang.

24

(3) Uang titipan para TKI untuk pengurusan visa, airport tax, asuransi dan biaya hidup di luar negeri disalahgunakan oleh oknum petugas di instansi yang mengurus ketenagakerjaan.

25

5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana

(1) Pelayanan obat-obatan (vaksin, vitamin, alat kontrasepsi) kepada masyarakat yang seharusnya cuma-cuma dilakukan dengan memungut jasa pelayanan sejumlah kurang-lebih sama dengan harga jual obat-obatan tersebut, tetapi hasil pungutan tidak disetor ke kas negara.

25

(2) Oknum dokter-dokter di RSU lebih mengutamakan pelayanan kesehatan di luar RSU, yang lebih memberikan keuntungan finansial secara pribadi.

26

(3) Pelayanan pengobatan Puskesmas tidak memuaskan karena adanya pungutan yang tidak sesuai ketentuan, rendahnya kehadiran tenaga medis di Puskesmas, kurangnya kunjungan ke rumah penduduk yang membutuhkan, ketidaksesuaian program Puskesmas dengan kebutuhan masyarakat, dan penyalahgunaan sarana Puskesmas.

27

6) Bidang Pendidikan

(1) Penilaian program studi dalam rangka akreditasi kepada Perguruan Tinggi (PT) dilakukan oleh oknum asesor dari instansi yang berwenang memberikan akreditasi secara tidak obyektif, melainkan dengan cara tawar-menawar sejumlah uang.

28

(2) Pungutan biaya legalisasi ijazah dan berkas-berkas siswa yang pindah sekolah oleh oknum instansi pendidikan yang berwenang.

28

(3) Bea siswa untuk mahasiswa tidak diterima penuh, tetapi dipotong sejumlah tertentu dengan alasan untuk biaya administrasi, padahal dana digunakan untuk keperluan taktis dan pribadi.

29

(4) Pembelian alat-alat peraga, kesenian dan olah raga untuk sekolah dari dana proyek secara terpusat dengan harga tinggi (dimark-up) tetapi berkualitas rendah, bahkan ada yang diarahkan pada merk tertentu, sehingga cepat rusak dan tidak dapat dimanfaatkan untuk proses belajar-mengajar secara memuaskan.

30

(5) Berbagai urusan yang berkaitan dengan kepentingan guru di tingkat SD, SLTP, dan SMU yang meliputi urusan kepangkatan, gaji, perpindahan, kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan, pengesahan angka kredit dan lain-lain dipersulit oleh pejabat-pejabat yang berwenang dengan cara-cara : menambah-nambah persyaratan; birokrasi berbelit-belit; mengulur waktu penyelesaian; dan cara-cara lainnya yang pada akhirnya memaksa guru-guru mengeluarkan biaya.

30

(6) Dana Bantuan Operasional (DBO) yang diberikan kepada sekolah-sekolah (untuk menutupi kekurangan biaya operasional sekolah), oleh oknum instansi yang membawahkan sekolah-sekolah tersebut diarahkan untuk membeli alat peraga, peta dan sebagainya yang sebenarnya tidak diperlukan sekolah, dengan cara berkolusi dengan rekanan. Dalam hal ini Sekolah hanya menerima alat peraga, peta dan lain-lain bentuk barang, yang pengadaannya dilakukan oleh oknum instansi atasan Sekolah secara berkolusi dengan rekanan.

31

(7) Pungutan oleh oknum pimpinan sekolah kepada siswa pindahan 32

(8) Pengaturan Nilai Ebtanas Murni (NEM) oleh oknum pejabat yang berwenang dengan imbalan tertentu dari orang tua murid dengan tujuan agar murid dapat diterima di sekolah yang dianggap favorit.

32

(9) Guru pengganti dan guru kontrak di suatu daerah tidak aktif melaksanakan tugasnya tetapi menerima imbalan berupa honor, biaya penempatan dan THR.

33

7) Bidang Pertanian/Pangan

(1) Beras Operasi Pasar Khusus (OPK) yang seharusnya hanya boleh dijual kepada masyarakat miskin dengan harga subsidi pemerintah, oleh oknum aparat pelaksana terkait dijual kepada masyarakat umum dengan harga jauh lebih tinggi dari harga subsidi pemerintah. Selisih harga tersebut dibagi-bagi kepada oknum aparat pelaksana yang bersangkutan. Akibatnya tujuan program pengentasan kemiskinan antara lain melalui OPK tidak tercapai

34

8) Bidang Pertanahan

(1) Sertifikasi tanah milik masyarakat (misalnya tanah wakaf) maupun milik pemerintah melalui satuan kerja/proyek-proyek di instansi pemerintah uangnya diserahkan kepada instansi yang berwenang melakukan sertifikasi, namun diterima oleh oknum dan dimanfaatkan dulu secara pribadi. Akibatnya pelaksanaan sertifikasinya menjadi terhambat, dan berakibat lebih lanjut pada permintaan dana tambahan akibat adanya kenaikan tarif pelayanan

34

(2) Prosedur pelayanan sertifikasi tanah dan tarif yang berlaku tidak diinformasikan secara transparan kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga memungkinkan oknum-oknum tertentu yang berhubungan dengan pelayanan sertifikasi mengambil keuntungan pribadi dengan cara memungut biaya-biaya tidak resmi kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

35

(3) Pelaksanaan prosedur penerbitan Sertifikat tanah berbelit-belit, pengurusannya tidak mudah dan prosesnya memakan waktu lama, sehingga menyuburkan praktek-praktek percaloan

36

9) Bidang Pekerjaan Umum

(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan IMB berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku sehingga pengurusannya membutuhkan waktu yang lama dan menimbulkan praktek percaloan yang memperberat beban biaya bagi pihak pemohon.

37

(2) Oknum petugas yang berwenang dalam menertibkan bangunan yang tidak memiliki IMB tidak tegas dan bahkan melakukan pungutan-pungutan di luar ketentuan kepada para pemilik bangunan yang tidak memiliki IMB.

38

10) Bidang Perhubungan

(1) Pelaksanaan prosedur pengurusan SIM berbelit-belit sehingga pengurusannya menjadi tidak mudah dan prosesnya memakan waktu yang lama dan pada akhirnya makin menyuburkan praktek percaloan.

39

(2) Pelaksanaan prosedur pengurusan STNK, BPKB dan BBN berbelit-belit sehingga prosesnya memakan waktu yang lama yang mengakibatkan timbulnya praktek pencaloan

40

(3) Terdapat pungutan-pungutan biaya formulir yang sangat mahal dalam pengurusan STNK, BPKB dan BBN dan tidak jelas pungutan tersebut untuk negara atau pihak-pihak tertentu

41

(4) Pelaksanaan prosedur pengurusan KIR dan Ijin Trayek berbelit-belit sehingga prosesnya memakan waktu yang lama dan menimbulkan percaloan.

42

(5) Parkir kendaraan bermotor di jalan umum, perkantoran dan pertokoan sering dilayani oleh petugas yang tidak berseragam dan berpenampilan kurang bersahabat, bahkan sering meminta uang yang lebih besar tanpa disertai bukti pembayaran/karcis, padahal masyarakat seharusnya merasa aman karena telah mengeluarkan biaya. Dengan demikian patut dicurigai bahwa penerimaan perparkiran ini tidak disetorkan ke pihak yang kompeten dengan lengkap, bahkan sebagian besar berpotensi bocor ke pihak-pihak tertentu

42

(6) Retribusi Dispensasi Pemakaian Jalan (RDPJ) yang dipungut oleh pemerintah daerah setempat terlalu mahal dan diragukan bahwa pemungutan retribusi tersebut disetor ke kas daerah karena beberapa pemungutan retribusi tidak disertai dengan bukti pembayaran.

44

11) Bidang Kependudukan

(1) Pelaksanaan pengurusan KTP atau Akte Kelahiran berbelit-belit, prosesnya memakan waktu lama, sehingga menyuburkan praktek pencaloan yang bekerja sama dengan petugas pelayanan

45

12) Bidang Permukiman

(1) Terdapat tunggakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang merupakan kewajiban pengembang dengan nilai yang sangat signifikan, tidak ditagih oleh instansi yang berwenang, sehingga patut diduga terdapat kolusi antara pejabat yang berwenang dengan para pengembang yang bersangkutan.

46

(2) Perusahaan pengembang diminta untuk menyerahkan lahan atau uang yang sifatnya titipan sebagai biaya pembebasan tanah dengan alasan untuk mempercepat proses penyelesaian ijin lokasi dan penerbitan Site Plan pengembang. Uang titipan ini pada akhirnya tidak jelas pertanggungjawabannya.

47

(3) Penyerahan luas lahan TPU oleh pengembang tidak sesuai dengan luas menurut kewajibannya antara lain pengembang tidak menyerahkan lahan, luas lahan kurang dari yang seharusnya, dan lahan tidak siap bangun.

48

2. Pelayanan oleh BUMN/BUMD

1) Bidang Kelistrikan

(1) Investasi perusahaan untuk sarana pembangkit dan distribusi dan atau pembelian listrik dari swasta terlalu mahal karena adanya unsur korupsi yang menguntungkan oknum-oknum tertentu sehingga biaya investasi menjadi tinggi. Hal ini akan berakibat pada mahalnya tarif listrik yang menjadi beban konsumen.

48

2) Bidang Transportasi

(1) Oknum petugas kereta api menagih ongkos di atas kereta api dari penumpang yang tidak membeli karcis (penumpang gelap) tidak

49

sesuai dengan ketentuan dan uangnya masuk ke kantor pribadi oknum tersebut.

(2) Pelayanan penjualan karcis kereta api terutama untuk trayek jarak jauh (kelas eksekutif) kurang memuaskan karena banyaknya karcis/tiket yang dijual para calo dengan harga tinggi, yang berindikasi berkolusi dengan oknum petugas loket.

49

Lampiran

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

TIM PENYUSUN

Pengarah : 1. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ;

2. Sekretaris Utama BPKP Narasumber : 1. Sjahrudin Rasul ;

2. S. Herutomo ; 3. Pontas R. Siahaan ; 4. Imran ; 5. Atjeng Sastrawijaya ; 6. Joko Susilo

Penanggung jawab : Deputi Kepala BPO Bidang Investigasi

Agus Setiasena Pembantu Penanggung jawab : Direktur Investigasi Hambatan Kelancaran Pembangunan

Gunawan Semedi Ketua Tim : Teguh. W. Utomo Anggota : 1. Djadja Sukirman ;

2. Aprinaldi ; 3. Dadang Budiawan ; 4. Djaenal Arifin ; 5. Suprayitno ; 6. Yohanes Sigit Subandriawan

Tim Perbantuan : 1. Wiharto ;

2. Bram Brahmana ; 3. Gatot Wibisono ; 4. I. G. Made Mandita