updated konsep consolidated position paper

39
MEMBANGUN STRUKTUR INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL YANG KOKOH, ANDAL DAN BERDAYASAING SERTAMEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PELAKU USAHA TUMBUH DAN BERKEMBANG SECARA ADIL MELALUI RESTRUKTURISASI SISTEM Editor Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi Kontributor Gde W Merati, Soeharsojo, Rizal Z Tamin, Muhammad Natsir, Ruslan Rivai, Sukistiarso, Achmad Hanafiah, Muhammad Abduh, Ismono, Biemo W Soemardi, Darmatyanto Sapto Dewa, Andreas Suhono, Sulistijo, Akhmad Suraji, Budi Karya, Djoko Orixahadi, Tri Joko Wahyu Adi, Sapri Pamulu, Hari G Soeparto, Reini D Wirahadikusumah, Krishna S Pribadi, Agus Gendroyono, Steven Budisusetija, Janty Komajaya, Krisna Mochtar. RINGKASAN (a) Indonesia sebagai negara sedang berkembang membutuhkan banyak infrastruktur dan properti. Kontraktor sebagai pelaku utama (focal firm) dari industri konstruksi nasional dituntut memiliki kapasitas, kompetensi dan dayasaing dalam menyelenggarakan konstruksi. Pertanyaan penting adalah apakah klasifikasi, kualifikasi dan spesialisasi para pelaku usaha konstruksi ini sudah membentuk struktur usaha yang kokoh, andal dan berdayasaing. Pertanyaan lainnya adalah apakah perilaku (conduct) dalam industri konstruksi memberi peluang yang sama bagi semua pelaku usaha konstruksi tersebut, termasuk penciptaan lapangan usaha bagi pelaku usaha konstruksi skala mikro kecil dan menengah secara kondusif. (b) Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, GAPENSI, LPJK dan BP KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM, menggagas dan melaksanakan 3 (tiga) seri diskusi nasional dalam bentuk seminar dan lokakarya membangun industri konstruksi yang kokoh, andal dan dayasaing dan menunjang pemerataan kesempatan kerja bagi seluruh pelaku jasa konstruksi. Diskusi nasional ini telah berhasil mengungkap berbagai permasalahan ketimpangan struktur, distorsi pasar, kemitraan semu, rantai pasok rentan dan marginalisasi kontraktor mikro, kecil dan menengah. (c) Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif. Pelaku usaha jasa konstruksi dengan berbagai skala usaha belum saling berkooperasi dan berkolaborasi dalam suatu model kemitraan yang saling menguntungkan (win-win partnership). Kontraktor skala kecil belum mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem subkontrak dengan perusahaan besar. (d) Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Secara hipotetik, 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah 5% dari total 160.000 badan usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan jumlah 85% dari total 160.000 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi. (e) Struktur industri konstruksi nasional didominasi oleh pelaku usaha jasa konstruksi berbagai skala bersifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi masih belum berkembang dan spesialisasi dipandang akan mempersempit peluang usaha. Keterbatasan kesempatan usaha bagi kontraktor skala kecil. Kontraktor skala besar seperti BUMN masih ditengarahi memiliki dominasi dan bahkan melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil menengah serta ekploitasi subkontraktor. (f) Kontraktor besar dinilai belum ikut serta memberdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala kecil lokal dimana pekerjaan konstruksi berada. Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala kecil terbatas. Permasalahan ini dipicu oleh keterbatasan kompetensi SDM, akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi.

Upload: sapri-pamulu

Post on 15-Nov-2015

56 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Updated Konsep Consolidated Position Paper

TRANSCRIPT

  • MEMBANGUN STRUKTUR INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL

    YANG KOKOH, ANDAL DAN BERDAYASAING

    SERTAMEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PELAKU

    USAHA TUMBUH DAN BERKEMBANG SECARA ADIL MELALUI

    RESTRUKTURISASI SISTEM

    Editor

    Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi

    Kontributor Gde W Merati, Soeharsojo, Rizal Z Tamin, Muhammad Natsir, Ruslan Rivai, Sukistiarso,

    Achmad Hanafiah, Muhammad Abduh, Ismono, Biemo W Soemardi, Darmatyanto Sapto Dewa,

    Andreas Suhono, Sulistijo, Akhmad Suraji, Budi Karya, Djoko Orixahadi, Tri Joko Wahyu Adi,

    Sapri Pamulu, Hari G Soeparto, Reini D Wirahadikusumah, Krishna S Pribadi, Agus

    Gendroyono, Steven Budisusetija, Janty Komajaya, Krisna Mochtar.

    RINGKASAN (a) Indonesia sebagai negara sedang berkembang membutuhkan banyak infrastruktur dan

    properti. Kontraktor sebagai pelaku utama (focal firm) dari industri konstruksi nasional

    dituntut memiliki kapasitas, kompetensi dan dayasaing dalam menyelenggarakan

    konstruksi. Pertanyaan penting adalah apakah klasifikasi, kualifikasi dan spesialisasi para

    pelaku usaha konstruksi ini sudah membentuk struktur usaha yang kokoh, andal dan

    berdayasaing. Pertanyaan lainnya adalah apakah perilaku (conduct) dalam industri

    konstruksi memberi peluang yang sama bagi semua pelaku usaha konstruksi tersebut,

    termasuk penciptaan lapangan usaha bagi pelaku usaha konstruksi skala mikro kecil dan

    menengah secara kondusif.

    (b) Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, GAPENSI, LPJK dan BP KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM, menggagas dan melaksanakan 3

    (tiga) seri diskusi nasional dalam bentuk seminar dan lokakarya membangun industri

    konstruksi yang kokoh, andal dan dayasaing dan menunjang pemerataan kesempatan kerja

    bagi seluruh pelaku jasa konstruksi. Diskusi nasional ini telah berhasil mengungkap

    berbagai permasalahan ketimpangan struktur, distorsi pasar, kemitraan semu, rantai pasok

    rentan dan marginalisasi kontraktor mikro, kecil dan menengah.

    (c) Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif. Pelaku usaha jasa konstruksi dengan berbagai skala usaha belum saling berkooperasi dan berkolaborasi

    dalam suatu model kemitraan yang saling menguntungkan (win-win partnership).

    Kontraktor skala kecil belum mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem subkontrak

    dengan perusahaan besar.

    (d) Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Secara hipotetik, 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah 5% dari total 160.000 badan

    usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan

    jumlah 85% dari total 160.000 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di

    pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi.

    (e) Struktur industri konstruksi nasional didominasi oleh pelaku usaha jasa konstruksi berbagai skala bersifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi masih belum berkembang dan

    spesialisasi dipandang akan mempersempit peluang usaha. Keterbatasan kesempatan usaha

    bagi kontraktor skala kecil. Kontraktor skala besar seperti BUMN masih ditengarahi

    memiliki dominasi dan bahkan melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil

    menengah serta ekploitasi subkontraktor.

    (f) Kontraktor besar dinilai belum ikut serta memberdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala kecil lokal dimana pekerjaan konstruksi berada. Kapasitas,

    kompetensi dan dayasaing kontraktor skala kecil terbatas. Permasalahan ini dipicu oleh

    keterbatasan kompetensi SDM, akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi.

    c02179Highlight

  • (g) Pemerintah perlu mewujudkan good construction governance dengan karakteristik partisipatory, concensus oriented, accountable, transparent, responsive, effective &

    efficient, equitable & inclusive, dan follow the rule of law sebagai prasyarat utama

    membangun struktur industri konstruksi nasional. Prasyarat ini untuk memastikan korupsi

    diminimalisasi, pandangan minoritas dipertimbangkan dengan baik dan suara dari pihak

    yang rentan diperhatikan dalam pengambilan keputusan (kebijakan),

    (h) Pemerintah perlu mengembangkan keseimbangan ideal komposisi kontraktor generalis dan kontraktor spesialis seperti Jepang, Amerika dan Inggris memiliki komposisi hampir 30:70

    dan China dengan 50:50 melalui pendekatan restrukturisasi pasar (playing field) dan sistem

    / model kemitraan yang saling menguntungkan.

    (i) Pemerintah perlu menggunakan pengadaan infrastruktur oleh Pemerintah sebagai media utama (playing ground) untuk memberikan kebijakan memihak (affirmative policy) yang

    memicu perkuatan struktur industri konstruksi nasional, termasuk

    (1) mengembangkan segmentasi pasar, (2) memberi insentif bagi kontraktor skala kecil menengah spesialis, (3) melakukan memaketkan pekerjaan bagi usaha skala kecil, (4) menciptakan model-model kemitraan antar pelaku usaha jasa konstruksi, (5) menciptakan peluang/ kesempatan kerja bagi pelaku usaha jasa konstruksi daerah,

    (j) Pemerintah perlu mendorong semua pihak untuk menegakkan etika dalam industri konstruksi yang merupakan kunci penting dalam memperkuat struktur industri konstruksi

    dan membangun kemitraan berdasarkan trust, reciprocity, dan synergy agar tercipta

    kerjasama saling menguntungkan antar rantai suplai konstruksi dengan menjunjung tinggi

    etika pribadi, etika profesional dan etika usaha.

    (k) Pemerintah perlu meninjau ulang atau melakukan restrukturisasi biaya proyek konstruksi (cost structure) agar komponen / elemen biaya dalam penyelenggaraan konstruksi menjadi

    lebih jelas. Perhitungan biaya proyek berdasarkan satuan pekerjaan dengan komponen

    harga satuan bahan, upah tenaga kerja dan alat tidak mengakomodasi biaya para tenaga ahli

    / insinyur profesional,

    (l) Pemerintah perlu mengembangkan model subkontrak dan bahkan termasuk sistem perlindungan subkontraktor melalui kebijakan memihak termasuk payment security acts sebagai upaya menghilangkan praktek pay when to get paid atau kontraktor utama hanya akan membayar subkontraktor kalau sudah dibayar oleh pemilik proyek.

    (m) Pemerintah, melalui pembinaan konstruksi, perlu menfasilitasi pengembangan usaha di sektor konstruksi dengan upaya-upaya antara lain:

    (1) Mengembangkan kerjasama kemitraan melalui prinsip kooperasi dan kompetisi, (2) Meningkatkan produktifitas, efisiensi, kreatifitas dan inovasi secara

    berkesinambungan,

    (3) Mendorong integrasi nilai dari rantai suplai konstruksi, (4) Merevitalisasi profesionalisme dan nasionalisme, (5) Merestrukturisasi sistem industri konstruksi, (6) Mentransformasi struktur industri konstruksi, (7) Membina kontraktor skala kecil menengah yang ingin menjadi kontraktor spesialis

    melalui inkubator bisnis konstruksi dan pelatihan SDM,

    (8) Merevitalisasi peran asosiasi badan usaha agar mampu membina dan memperjuangkan kepentingan anggotanya,

    (9) Meningkatkan aksesibilitas permodalan, pengurangan beban pajak bagi subkontraktor, dan mengeluarkan standard form of subcontract,

    (n) Pemerintah perlu segera menformulasikan restrukturisasi pasar konstruksi (playing field) dan pengembangan model-model pemaketan proyek (project packaging) dan kemudian

    diikuti dengan restrukturisasi industri konstruksi. Selanjutnya, reformulasi regulasi usaha

    dan kebijakan memihak (affirmative policy) perlu dilakukan untuk memastikan bahwa

    industri konstruksi menjadi semakin efisien, efektif, produktif, inovatif dan kompetitif serta

    menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan mampu bermain secara profesional di pasar

    global.

  • A. PENGANTAR 1. Latar Belakang

    (1) Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang membutuhkan industri konstruksi yang kokoh, handal dan berdayasaing dalam menghasilkan

    berbagai bangunan baik berfungsi sebagai infrastruktur maupun properti.

    Pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa investasi infrastruktur hingga

    2025 mencapai lebih kurang IDR 2000 T (MP3EI, 2011). Dikun (2011)

    menyatakan bahwa Indonesia perlu membangun infrastruktur lebih banyak

    dan lebih cepat. Oleh karena itu, industri konstruksi nasional harus mampu

    memperkuat struktur (structure), menyehatkan perilaku (conduct) dan

    meningkatkan kinerja (performance) secara terus menerus agar dapat

    merespon pasar (demand) dari baik pengadaan properti maupun infrastruktur

    yang semakin besar baik dari sisi volume maupun nilai serta kompleksitas.

    (2) Industri konstruksi adalah usaha-usaha yang melakukan proses rancang dan bangun untuk mendirikan suatu bangunan baik yang akan berfungsi sebagai

    infrastruktur maupun properti baik diselenggarakan oleh Pemerintah, Swasta

    maupun Masyarakat atau gabungan dari mereka. Hasil industri konstruksi

    membentuk modal bruto tetap (gross fixed capital formation) dalam bentuk

    lingkungan terbangun (built environment) bagi pembangunan sosial ekonomi

    (construction driven socio-economic development). Industri konstruksi ini

    melibatkan pelaku usaha mulai dari penyelenggara, konsultan keinsinyuran,

    kearsitekturan, dan konsultan manajemen, kontraktor, subkontraktor,

    pemasok material, pemasok peralatan, pemasok pekerja dan para pekerja

    sendiri-sendiri maupun berkelompok. Para pelaku usaha di sektor konstruksi

    ini bekerja mengikuti siklus hidup dari pengembangan aset terbangun (life

    cycle of built asset development).

    (3) Industri konstruksi nasional melibatkan 182.800 perusahaan kontraktor dengan kualifikasi besar (1%), kualifikasi menengah (12%) dan kualifikasi

    kecil (87%). Komposisi ini didominasi perusahaan kontraktor umum (general

    contractors) dan sedikit perusahaan kontraktor khusus (specialist

    contractors).Secara hipotetik, 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh non-

    kecil dengan jumlah 13% dari total 182.800 badan usaha, sedangkan 15%

    nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecildengan jumlah 87%

    dari total 182.800 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha

    di pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi. Pertanyaan

    selanjutnya adalah bagaimana menstrukturkan kembali sistem industri

    konstruksi (restructuring the industry) sehingga para pelaku usaha di sektor

    konstruksi khususnya perusahaan kontraktor tersebut mampu menjadi tuan

    rumah di negeri sendiri dan kemudian juga mampu memperluas pangsa pasar

    di luar negeri.

    (4) Dalam rangka mencari formulasi bagaimana memembangun industri konstruksi nasional tersebut, Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional

    (GAPENSI), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN)

    dan Badan Pembinaan Konstruksi (BP Konstruksi) Kementerian Pekerjaan

    Umum bekerjasama menyelenggarakan 3 (tiga) seri diskusi dalam bentuk

    seminar dan lokakarya nasional. Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah

    menghasilkan suatu dokumen dalam format makalah posisi (position paper)

    yang mengartikulasikan berbagai permasalahan kontemporer mutakhir di

    sektor konstruksi, perspektif berbagai pihak terhadap permasalahan tersebut

    dan rekomendasi kerangka kerja (framework) serta rencana tindak (action

  • plan) dari pemangku kepentingan industri konstruksi nasional untuk

    membangun struktur industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing

    serta memperluas kesempatan usaha bagi pelaku usaha skala mikro, kecil dan

    menengah.

    2. Maksud & Tujuan (5) Maksud makalah posisi (position paper) ini adalah memberikan perspektif

    membangun struktur industri konstruksi nasional yang kokoh, andal dan

    berdayasaing melalui identifikasi permasalahan dan gambaran penyelesaian

    permasalahan tersebut. Sedangkan tujuan position paper ini adalah

    menghasilkan rekomendasi strategi, kebijakan dan rencana aksi untuk

    meningkatkan kapasitas industri konstruksi nasional agar mampu memberi

    nilai tambah berkelanjutan, mampu menyesuaikan denganperubahan nasional

    dan global serta menjadi pelaku utama di negeri sendiri dan mempunyai

    peluang berperan global.

    (6) Position paper ini merupakan konsolidasi dari position paper tentang restrukturisasi industri konstruksi nasional, pengembangan kemitraan dalam

    rantai pasok konstruksi, peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil dan

    menengah di sektor konstruksi dan peningkatan kompetensi SDM Konstruksi.

    Position paper tersebut disusun, disampaikan dan dibahas oleh representasi

    Pemerintah, Pelaku Usaha di sektor konstruksi dan Akademisi.

    3. Metodologi (7) Position paper ini dirumuskan melalui 3 (tiga) seri pertemuan nasional dalam

    bentuk seminar dan lokakarya yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan

    industri konstruksi baik berasal dari Pemerintah, pelaku usaha di sektor

    konstruksi dan peneliti/ akademisi perguruan tinggi. Seminar nasional ini

    bertujuan memetakan masalah dan mengakumulasi isu-isu strategis seputar

    struktur industri konstruksi dan pengembangan kesempatan kerja. Seminar

    nasional ini telah membahas good governance dalam pengembangan industri

    konstruksi, kebijakan dalam pengadaan infrastruktur oleh Pemerintah yang

    berkaitan dengan pengadaan pekerjaan konstruksi, peran asosiasi badan

    usaha, pengalaman kerjasama kontraktor besar dan kontraktor kecil serta

    membahas rekomendasi kepada pemerintah sebagai pembina konstruksi.

    (8) Hasil seminar pertama adalah bahwa good governance dalam industri konstruksi nasional masih menjadi masalah utama. Struktur pasar dan

    struktur industri konstruksi masih mengalami ketidak seimbangan.

    Perusahaan kontraktor spesialis juga belum tumbuh secara terstruktur. Di

    samping itu, kerjasama antara kontraktor besar, menengah dan kecil serta

    mikro belum memiliki model yang saling menguntungkan. Kontraktor besar

    belum semuanya mengambil peran pembinaan terhadap kontraktor mikro,

    kecil dan menengah. Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala

    mikro, kecil dan menengah masih rendah dan memiliki keterbatasan akses

    permodalan, keterbatasan kompetensi SDM dan keterbatasan penguasaan

    teknologi dan sistem manajemen.

    (9) Pertemuan nasional seri kedua dilaksanakan dalam bentuk lokakarya. Dalam lokakarya ini, sejumlah 4 (empat) position paper yang masing-masing

    disusun bersama oleh representasi pemerintah, pelaku usaha dan

    akademisidan 4 (empat) position paper yang masing-masing disusun oleh

    representasi pemilik proyek swasta, pemilik pemerintah dan representasi

    otoritas moneter dan perbankan. Lokakarya ini bertujuan merumuskan

    kerangka kerja (framework) bagaimana merestrukturisasi industri konstruksi

  • nasional (Natsir, Rivai, & Rizal, 2012), memperkuat kemitraan dalam rantai

    pasok konstruksi (Sukistiarso, Hanafiah, & Abduh, 2012) peningkatan

    kapasitas usaha skala mikro, kecil dan menengah di sektor konstruksi

    (Ismono, Saptodewo, & Soemardi, 2012) serta strategi peningkatan

    kompetensi SDM Konstruksi (Suhono, Mulyo, & Suraji, 2012). Perumusan

    hal-hal tersebut dilakukan melalui suatu diskusi kelompok kerja (working

    group discussion) dan konsinyasi serta kemudian diverifikasi melalui

    pertemuan nasional ketiga dalam bentuk seminar nasional. Hasil dari

    lokakarya dan konsinyasi tersebut dirumuskan dalam bentuk dokumen

    position paper ini.

    4. Manfaat (10) Dokumen position paper ini dikontribusikan secara khusus kepada

    Pemerintah sebagai rekomendasi kebijakan pembinaan konstruksi baik dalam

    bentuk pengaturan, pemberdayaan maupun pengawasan dan kepada LPJK

    sebagai rekomendasi perencanaan program dan kegiatan pengembangan

    industri konstruksi nasional serta kepada pelaku usaha di sektor konstruksi

    sebagai rekomendasi pengembangan korporasi dan pengembangan usaha.

    (11) Pendayagunaan position paper ini membutuhkan komitmen dan kemauan bersama semua pemangku kepentingan (stakeholders) industri

    konstruksinasional untuk menempatkan konstruksi menjadi industri (KK

    MRK ITB, 2007) dan bukan sekedar perdagangan jasa perencanaan,

    pelaksanaan dan pengawasan (procurement) dalam suatu penyelenggaraan

    konstruksi tetapi sebagai meso economic systems (Carracus, 2004 dan Barret,

    2005) dan life cycle of the built asset development(Ruddock, 2009) serta

    berorientasi bagi the finest built environment yang bernilai tambah bagi

    kesejahteraan, keadaban dan kedaulatan bangsa (Suraji et al, 2007).

    5. Sistematika (12) Position paper ini terdiri dari 5 (lima) bagian utama. Bagian pertama dari

    position paper ini menjelaskan secara umum gambaran industri konstruksi

    nasional saat ini. Bahasan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman

    tentang posisi dan kondisi industri konstruksi. Selanjutnya, bagian kedua

    position paper ini menjelaskan permasalahan yang dihadapi (perceived

    problems) berdasarkan hasil seminar dan lokakarya nasional.

    (13) Bagian ketiga position paper ini membahas postur ideal industri konstruksi sebagai referensi dalam restrukturisasi industri konstruksi nasional.

    Selanjutnya, substansi utama dari position paper ini dijelaskan pada bagian

    keempat dan kelima. Dalam bagian ini, prasyarat dan model restrukturisasi

    serta strategi dan kebijakan yang diperlukan. Selanjutnya, position paper ini

    juga merekomendasikan rencana aksi bagi pencapaian restrukturisasi tersebut

    kepada Pemerintah, LPJK dan Asosiasi, Korporasi dan Individu.

    B. GAMBARAN INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL 1. Kontribusi Terhadap Perekonomian

    (14) Sektor konstruksi merupakan salah satu sektor perekonomian yang penting di Indonesia karena menyediakan berbagai bangunan yang berfungsi sebagai

    infrastruktur dan prasarana yang menjadi pembentuk modal tetap(gross fixed

    capital formation) bagi berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Sektor ini

    juga menjadi penarik berbagai kegiatan industri penunjang konstruksi, seperti

    industri bahan dan peralatan konstruksi, perbankan dan asuransi, serta

    melibatkan berbagai profesi dan aktifitas lainnya. Sektor konstruksi

  • berkontribusi cukup besar terhadap PDB nasional, antara 8 sampai 10 persen

    (Suraji et al, 2011) dan memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 5 juta

    tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta harian (BPS, 2010) melalui lebih

    dari 175.000 badan usaha konstruksi baik sebagai konsultan, kontraktor,

    pemasok material dan peralatan konstruksi maupun pemasok tenaga kerja.

    (15) Suraji, Pribadi, Widjajanto (2011) melaporkan bahwa kontribusi sektor konstruksi terhadap produk domestik bruto (PDB) adalah 660.967,5 milyar

    rupiah (2010) berdasarkan harga berlaku dan 150.063.3 milyar rupiah (2010)

    berdasarkan harga konstan (2000). Selanjutnya, BPS (2011)

    mempublikasikan bahwatingkat pertumbuhan produk domestik oleh sektor

    konstruksi dari kwartal I (2011) sampai dengan kuartal IV (2011) adalah

    4,5%sedangkan kuarter II (2011) hingga kuarter II (2011) mencapai 7,4%.

    Pertumbuhan investasi di sektor konstruksi terus berubah dari 8,5% (2007),

    7,5% (2008), 7,1% (2009) dan 7,0% (2010). Angka-angka tersebut

    menunjukkan bahwa peran sektor konstruksi terhadap pembangunan nasional

    perlu dipandang sebagai suatu sistem ekonomi meso oleh Pemerintah.

    2. Struktur Pasar Konstruksi Domestik (16) Pasar konstruksi dikonsepsikan sebagai permintaan (demand) barang/ jasa

    yang diperlukan untuk suatu rangkaian proses produksi suatu bangunan

    (Natsir, 2012). Selanjutnya, Natsir (2012) menjelaskan bahwa pasar

    konstruksi memiliki karakteristik antara lain (i) sesuai permintaan (buyer

    depended), (ii) satu pembeli banyak penjual (oligopolistik monopsoni), (ii)

    pembli (client/owner) menentukan delivery system dan skema pembiayaan

    dan (iv) persaingan ketat. Struktur pasar (market structure) adalah

    karakteristik pasar yang mempengaruhi kompetisi dan penentuan harga dan

    menentukan entry barriers dan power distribution yang meliputi quality, scale, share dan benefit. Perilaku pasar (market conduct) adalah serangkaian

    strategi persaingan yang diadopsi oleh pelaku usaha yang meliputi (i) strategi

    pemasaran dan pelaksanaan proyek, (ii) perilaku penentuan harga, (iii)

    penelitian dan inovasi, (iv) investasi dan (v) taktik yang legal. Kinerja pasar

    (market performance) mencerminkan manfaat ekonomi yang meliputi

    penyelenggaraan proyek dalam rangka memenuhi spesifikasi (efektifitas),

    tingkat keuntungan terkait dengn biaya pemasaran dan margin, dan

    fleksibilitas dan integrasi harga (efisiensi).

    (17) Pasar konstruksi dapat distrukturkan berdasarkan distribusi sumber dana.

    (Natsir, 2012) *Kemenhub, Kemenpera, Kemendiknas; ** Proses Update

    Pada tahun 2012 ini, total nilai pasar konstruksi diperkirakan mencapai

    hingga 500 T rupiah dengan sumber pembiayaan APBN, ABPD, BUMN,

  • BUMD, PMDN, PMA dan Gabungan. Pasar konstruksi gabungan,

    pemerintah (APBN/APBD) masih menduduki porsi yang plaing besar disusul

    oleh pasar konstruksi BUMN Infrastruktur dan Properti seperti Pertamina dan

    PLN. Secara spesifik pasar konstruksi kegiatan hulu migas menunjukkan

    bahwa Total nilai komitmen pengadaan barang dan jasa Januari Desember 2011 yang melalui persetujuan BPMIGAS dan diadakan oleh KKKS sendiri

    adalah US$ 11,81 Miliar dengan persentase TKDN sebesar 60,63% (cost

    basis). Selanjutnya, nilai TKDN barang dan jasa menunjukkan bahwa

    proporsi Nilai TKDN Barang (cost basis) adalah US$ 1,30 Milyar (TKDN

    37,60%), sedangkan Nilai TKDN Jasa (cost basis) adalah US$ 5,35 Milyar

    (TKDN 71,23%).Produsen barang / jasa dan tenaga kerja di kegiatan usaha

    hulu migas menunjukkan proporsi lebih besar oleh PMDN (86% untuk jasa

    dan 65% untuk barang), demikian juga untuk tenaga kerja nasional (96,64%)

    (Natsir, 2012).

    (18) Pasar konstruksi tersebut memiliki modalitas informasi pasar, market entry, sistem transaksi dan jaminan mutu (Parikesit et al, 2005, Natsir, 2012).

    Meskipun tidak spesifik, Pemerintah telah mengeluarkan pengaturan pasar

    dan industri konstruksi meliputi informasi pasar dengan peraturan

    perundangan yaitu UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik),

    PP No. 30/2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi), PP No. 38/2007

    tentang Pembagian Kewenangan), PP No. 65/2007 tentang Standar Pelayanan

    Minimum) dan PP No. 61/2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14/2008.

    Selanjutnya, peraturan perundangan terkait market entry meliputi UU No.

    18/1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 7/1994 tentang Ratifikasi WTO,

    PP No. 28/2000 dan perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat

    Jasa Konstruksi, PP No. 29/2000 dan perubahaannya tentang

    Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Perpres No. 54/2010 beserta petunjuk

    pelaksanaannya tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan

    Peraturan Menteri dan Direksi BUMN terkait Pengadaan Barang dan Jasa

    dilingkungan BUMN. Peraturan perundangan terkait penjaminan mutu

    mencakup UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, , PP No. 28/2000 dan

    perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, PP No.

    29/2000 dan perubahaannya tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan

    SNI terkait penyelenggaraan konstruksi. Selanjutnya, peraturan perundangan

    terkait sistem transaksi UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, PP No.

    28/2000 dan perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa

    Konstruksi, PP No. 29/2000 dan perubahaannya tentang Penyelenggaraan

    Jasa Konstruksi, Perpres No. 54/2010 beserta petunjuk pelaksanaannya

    tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan Peraturan Menteri dan

    Direksi BUMN terkait Pengadaan Barang dan Jasa dilingkungan BUMN.

    (19) Asimetri informasi pasar konstruksi akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar dimana pasar tertentu hanya dikases oleh sekelompok badan usaha yang

    dekat dengan sumber informasi, sehingga tidak terjadi persaingan yang sehat

    serta mengurangi efisiensi penyelenggaraan konstruksi. Informasi struktur

    pasar konstruksi yang tidak memadai akan menyulitkan dalam formulasi

    kebijakan perkuatan struktur industri konstruksi, sehingga kebijakan yang

    dihasilkan menjadi tidak efektif atau bahkan Counter Productive. Tanpa pengawasan yang baik terhadap BUJK Asing dalam memenuhi ketentuan

    liberalisasi perdagangan dan perpres 36/2011 tidak akan terjadi transfer of

  • knowledge yang diharapkan.Pelayanan SBU yang tidak sesuai akan menjadi

    entry barrier (Natsir, 2012).

    3. Postur Perusahaan Konsultan dan Kontraktor Konstruksi (20) Industri konstruksi melibatkan berbagai pelaku usaha perdagangan barang

    dan atai jasa yang bergerak dalam suatu rangkaian rantai suplai konstruksi

    dari hulu hingga hilir, seperti konsultan, kontraktor, pemasok material dan

    pemasok peralatan serta pemasok tenaga kerja. Perbandingan postur

    kualifikasi konsultan dan kontraktor dapat dilihat pada tabel berikut ini.

    (LPJKN, 2012 dalam Natsir, 2012)

    Data mutakhir badan usaha konsultan dan kontraktor konstruksi yang

    teregistrasi secara nasional (consulting and contracting companies) tahun

    2012 menunjukkan bahwa perusahaan kontraktor memiliki postur kualifikasi

    1% (1.742) besar, 12 % (21.032) menengah dan 87% kecil (160.026),

    sedangkan postur kualifikasi perusahaan konsultan adalah 7% besar (449),

    4% (264) menengah dan 89% kecil (5.892) (LPJKN, 2012).Postur klasifikasi

    kontraktor nasional adalah kontraktor gedung (22.437), kontraktor pelabuhan

    (3.203), kontraktor bedung/ bendungan (937), kontraktor EPC (5) dan

    kontraktor jalan (17.716) serta kontraktor jembatan (8.850). Jumlah

    kontraktor MIGAS (kontraktor kontrak kerjasama) adalah 500 perusahaa

    (Ismono, 2012). Tabel di bawah ini menggambarkan postur profesi

    keinsinyuran untuk rancang bangun infrastruktur pekerjaan umum (Ismono,

    2012).

    (21) Jumlah perusahaan konsultan dan kontraktor asing dari negara-negara ASIA,

    EROPA dan USA yang beroperasi dan tergistrasi di Indonesia terus

    bertambah sejak tahun 2004. Tabel berikut ini menggambarkan postur

  • perusahaan konsultan dan kontraktor asing di Indonesia (Natsir, 2012)

    (Natsir, 2012)

    Pada lima tahun terakhir pertambahan konsultan dan kontraktor asing di

    Indonesia sangat besar dan sejak pencanangan MP3EI naik hingga 22,2%

    sehingga akumulasi jumlah mreka sampai tahun 2012 mencapai 255

    perusahaan.

    (22) Perusahaan konsultan dan kontraktor dari negara-negara ASIA sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini semakin bertambah pasar konstruksi domestik

    sejak tahun 2005 serta terdorong liberalisasi perdagangan barang dan jasa

    serta perjanjian bilateral antara kedua negara. .

    Perusahaan konsultan dan kontraktor asing dari Jepang mencapai 80

    perusahaan pada tahun 2012 dan menguasai pangsa pasar konstruksi

    domestik bersamaan kehadiran hibah dan pinjaman Pemerintah Jepang

    kepada Indonesia. Perusahaan konsultan dan kontraktor dari Korea juga

    bertambah secara signifikan pasca pencanangan MP3EI dan mencapai jumlah

    60 perusahaan atau nasik (72%) dari tahun 2010 (33 perusahaan). Perusahaan

    konsultan dan kontraktor dari China juga mengikuti ekspansi ke Indonesia

    dan hingga tahun 2012 berjumlah 39 perusahaan atau naik 21,9% dibanding

    tahun 2010 (32), kemudian disusul oleh perusahan konsultan dan kontraktor

    dari India. Jumlah perusahaan konsultan dan kontraktor dari Eropa yang

    beroperasi di Indonesia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 2008

    hingga 2012 berkisar 30 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan konsultan

    dan kontraktor dari USA dan Canada juga tidak berubah banyak sejak tahun

    2008 yaitu 7-8 perusahaan.

    (23) Modalitas industri konstruksi (supply side) meliputi kapasitas (kapital, SDM dan Teknologi), model usaha, katalog produk dan rantai pasok (Parikesit et al,

    2005; Natsir, 2012). Peraturan perundangan terkait kapasitas dan model usaha

    industri konstruksi adalah UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, PP No.

    28/2000 dan perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa

    Konstruksi, dan peraturan LPJK tentang klasifikasi dan kualifikasi. Model

    usaha seperti DB, PBC, BOT dan lain-lain belum diatur. Pengaturan

    segmentasi kapasitas industri konstruksi (kapital, SDM, teknologi) dan

    penerapannya secara konsisten sangat diperlukan guna menjaga rasionalitas

    supply demand (pasar) (Natsir, 2012).

    4. Indikator Bisnis di Sektor Konstruksi (24) Indikator Konstruksi Nasional ini diolah dari data indikator konstruksi (BPS,

    2010). BPS (2010) melaporkan hasil survai nasional terhadap lebih dari 3000

    perusahaan di sektor konstruksi untuk mengetahui prospek dan kondisi bisnis,

    masalah bisnis dan pertumbuhan yang terjadi, disamping hal-hal lainnya.

  • Bagian tulisan ini hanya mengungkap berbagai indikator bisnis di sektor

    konstruksi. Pertama adalah indeks prospek bisnis yang menunjukkan

    kenaikan yang dinamis sejak tahun 2004 hingga tahun 2010. Tetapi indek

    kondisi bisnis menunjukkan kecenderungan menurun sejak 2008.

    Dalam laporan indikator konstruksi 2010, BPS menyatakan bahwa periode

    2004-2010 menunjukkan mayoritas pengusaha lebih optimis terhadap kondisi

    dan prospek bisnis yang ditunjukkan nilai indeks lebih besar 50 dengan nilai

    53, 17 untuk indeks kondisi bisnis dan 54,33 untuk indeks prospek bisnis.

    (25) BPS (2010) juga mengukur indeks masalah bisnis di sektor konstruksi.

    Hasil survai BPS (2010) untuk permasalahan bisnis pada periode 2004-2010

    menunjukkan bahwa pengusaha di sektor konstruksi masih menganggap

    cukup bermasalah dalam menjalankan bisnisnya yang ditunjukkan dengan

    nilai indeks untuk akses kridit, suku bunga terus turun dari 40 hingga 10.

    Demikian juga dengan permasalahan akses kridit dan suku bunga juga

    mengalami cukup bermasalah yang ditunjukkan dengan nilai indeksterus

    0,00

    10,00

    20,00

    30,00

    40,00

    50,00

    60,00

    70,00

    2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

    Business Condition

    Business Prospect

    0,00

    10,00

    20,00

    30,00

    40,00

    50,00

    60,00

    70,00

    80,00

    2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

    Acess to Credit

    Interest Rate

    Competition

    Demand Decreasing

    BPS (2010) diolah

  • turun dari 70 hingga kurang dari 40. Menurut hasil survai BPS (2010)

    masalah utama yang dihadapi oleh para pengusaha di sektor konstruksi adalah

    (i) tidak stabilnya harga bahan bangunan, (ii) penurunan permintaan, (iii) dan

    tingkat persaingan yang tinggi. Gambar berikut ini menjelaskan permasalahan

    harga dan suplai material, tenaga kerja terampil, adminstrasi birokrasi dan

    kondisi atau situasi politik dan keamanan. .

    Laporan BPS (2010) menjelaskan bahwa para pengusaha di sektor konstruksi

    menyatakan harga bahan bangunan sangat menentukan kontrak pekerjaan dan

    bila harga bahan bangunan tidak stabil maka kondisi ini akan merugikan para

    kontraktor karena sering terjadi waktu jeda antara penandatanganan kontrak

    dan pelaksanaan pekerjaan.

    5. Tantangan Industri Konstruksi Nasional (26) Industri konstruksi nasional mau tidak mau suka tidak suka menghadapi

    tantangan besar di masa depan, baik terkait pencapaian visi Indonesia 2025,

    2050 maupun 2100 maupun berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik

    dunia yang sangat dinamis. Pemerintah menghendaki untuk Mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di

    tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi

    tinggi yang inklusif dan berkelanjutan (Menko Perekonomian, 2010) dalam Suhono (2011). Pencapaian cita-cita ini perlu mendapat dukungan

    ketersediaan infrastruktur yang banyak dan berkualitas. Berdasarkan skenario

    pertumbuhan ekonomi lebih besar 6% maka diperlukan investasi infrastruktur

    sebesar 5% PDB. Indonesia diperkirakan membutuhkan 1600T rupiah

    investasi infrastruktur hingga tahun 2025 dan 7000 T rupiah hingga tahun

    2045 (Suhono, 2011).

    (27) Kebutuhan investasi infrastruktur di 6 koridor ekonomi sangat besar (MP3EI, 2011). Para pelaku usaha di sektor konstruksi akan menghadapi permintaan

    yang besar tetapi dengan tututan dan persaingan yang juga semakin besar dan

    sampai dengan 2015 nilai investasi infrastruktur mencapai 1.409.830,555

    milyar rupiah yang akan menjadi pasar konstruksi.

    0,00

    10,00

    20,00

    30,00

    40,00

    50,00

    60,00

    70,00

    80,00

    2002 2004 2006 2008 2010 2012

    Price of Construction Materials

    Supply of Construction Materials

    Skill Human Resources

    Administraction Bearucracy

    Politic and Security

  • Gambar di atas ini menunjukkan estimasi besaran nilai investasi (dalam

    milyar rupiah) 2010 2015 untuk berbagai jenis bangunan untuk infrastruktur transportasi, infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman,

    infrastruktur energi dan infrastruktur telekomunikasi.

    (28) Seiring dengan bertambahnya permintaan infrastruktur tersebut di atas, Industri konstruksi juga akan menghadapi tantangan peningkatan kebutuhan

    SDM Konstruksi 2010-2015 di berbagai koridor ekonomi.

    Gambar di atas ini menunjukkan bahwa kebutuhan SDM Konstruksi yang

    020000400006000080000

    100000120000140000160000180000200000

    Jala

    n &

    Jem

    bat

    an

    SDA

    ,Dra

    inas

    e &

    Air

    Ber

    sih

    Ged

    un

    g &

    Per

    um

    ahan

    Rel

    KA

    & H

    ub

    .Dar

    at

    Pla

    bu

    han

    , Pan

    tai

    & H

    ub

    .Lau

    t

    Ban

    dar

    a &

    Hu

    b.U

    dar

    a

    En

    ergi

    ,Po

    wer

    Pla

    nt

    & T

    ran

    smis

    i

    Jari

    nga

    n I

    T &

    Tel

    eko

    mu

    nik

    asi

    A. B. C. D. E. F. G. H.

    TOTAL INVESTASI DI SUMATERA

    TOTAL INVESTASI DI JAWA

    TOTAL INVESTASI DI KALIMANTAN

    TOTAL INVESTASI DI SULAWESI

    TOTAL INVESTASI DI NUSRA BALI

    TOTAL INVESTASI DI MALUKU PAPUA

    MP3EI (2011) diolah

    0

    1.000

    2.000

    3.000

    4.000

    5.000

    6.000

    7.000

    x 1

    ,00

    0 O

    ran

    g

    Jalan & Jembatan

    SDA,Drainase & Air Bersih

    Gedung & Perumahan

    Rel KA & Hub.Darat

    Plabuhan,Pantai & Hub.LautBandara & Hub.Udara

    Energi,Power Plant & TrnsmisiJaringan IT & Telekomunikasi

    PusbinKPK (2011)

  • berkompeten dalam bekerja di bidang infrastruktur pekerjaan umum,

    permukiman, transportasi, energi dan telekomunikasi di berbagai daerah

    dalam periode 2010 2015. Permintaan terhadap SDM Konstruksi yang berkompenten akan menjadi tantangan industri konstruksi. Kebutuhan SDM

    Konstruksi untuk penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan energi

    menunjukkan porsi yang paling besar di koridor Sumatera dan Jawa. Khusus

    untuk kebutuhan SDM Konstruksi untuk penyelenggaraan bangunan

    permukiman dan gedung menunjukkan di Jawa sangat tinggi.

    C. PROBLEMATIKA INDUSTRI KONSTRUKSI YANG TERIDENTIFIKASI

    1. Ketimpangan KomposisiJumlah Perusahaan Kontraktor (29) Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Secara hipotetik, 85%

    nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah13%

    dari total 182.800 badan usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi

    diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan jumlah 87% dari total 182.800

    badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi

    dengan nilai kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi (Tamin, 2012).Struktur

    industri konstruksi nasional didominasi oleh pelaku usaha konstruksi

    berbagai skala yang memiliki sifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi

    masih belum berkembang dan spesialisasi dipandang akan mempersempit

    peluang usaha.

    (30) Struktur usaha yang kokoh, andal, & berdaya saing belum terbentuk. Jumlah kontraktor lebih dari 150.000 dan hampir 70%-80% berada di Jawa.

    Kemitraan antara badan usaha besar, sedang, dan kecil belum terwujud secara

    sinergis, saling menguntungkan dan resiprokal. Disamping itu, jumlah

    kontraktor kecil lebih banyak bersifat umum; jumlah kontraktor swasta dan

    daerah kecil; jumlah kontraktor spesialis hampir tidak ada (Tamin, 2012).

    Struktur industri konstruksi terfragmentasi sehingga banyak transaksi dan

    banyak kontrak. Dengan demikian, biaya transaksi tinggi sering terjadi.

    Seharusnya terdiferensiasi menjadi generalis dan spedialis bila diarahkan

    dapat terbangun dengan struktur yang seimbang (Soeparto, 2012).

    (31) Stigmatisasi dalam industri konstruksi adalah (i) mengesankan menjadi tempat permainan kotor, (ii) dimanfaatkan untuk meminta jatah, (iii)

    persaingan sangat keras dapat cenderung berbahaya, (iv) lebih berdasar

    ketrampilan dari pada pengetahuan, (iv) banyak Pekerjaan dilakukan

    dilapangan, (vi) biaya murah dan nilai tambah rendah; (vii) cara

    berhubungan yang cenderung memicu conflict/bersifat adversarial; (viii)

    terfragmentasi, terpecah pecah dan berasal dari banyak latar belakang berbeda

    dan (ix) entry barrier rendah dan persaingan berdasarkan harga murah. Secara

    umum kondisi tersebut menjadikan industri konstruksi kurang efisien, kurang

    produktif, kurang innovatif(Soeparto, 2012).

    2. Kualitas dan Produktifitas Perusahaan Kontraktor Rendah (32) Kualitas pekerjaan kontraktor masih rendah yang ditandai oleh konstruksi

    cepat rusak, kecelakaan konstruksi tinggi, kegagalan konstruksi dan bangunan

    mulai terjadi. Selain itu, produktifitas kontraktor rendah, daya saing lemah,

    kalah bersaing dengan kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia, sedikit

    yang berhasil masuk pasar global, tidak responsif terhadap permintaan tinggi

    tenaga kerja konstruksi regional, tidak ada kontraktor tenaga kerja konstruksi

  • (Labor Contractor) dan lapangan usaha terbatas dan belum berkembang

    (KBLI) (Tamin, 2012). Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala

    kecil terbatas. Permasalahan ini dipicu oleh keterbatasan kompetensi SDM,

    akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi. Disamping itu,

    permasalah spesifik pelaku usaha di sektor konstruksi adalah adanya lack of true competition, lack of good governance. Selanjutnya, kebijakan sub-contracting tidak dikembangkan secara khusus. Pengawasan, pemihakan

    pelaku usaha kecil, spesialis, dan daerah kurang dilakukan secara sistematis.

    BUMN tidak mendapat mandat khusus pembinaan pelaku usaha kecil dan

    spesialis.Kebijakan pembinaan terhadap usaha kecil belum intensif seperti

    bantuan pendanaan, pelatihan SDM dan manajemen serta pengembangan

    inovasi teknologi dan penyediaan sistem asuransi dan jaminan yang

    kompetitif.

    3. Kemitraan Saling Menguntungkan Antar Kontraktor Belum Terbentuk (33) Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif.

    Pelaku usaha jasa konstruksi dengan berbagai skala usaha belum saling

    berkooperasi dan berkolaborasi dalam suatu model kemitraan yang saling

    menguntungkan (win-win partnership). Kontraktor skala kecil belum

    mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem subkontrak dengan perusahaan

    besar. Disamping itu, kontraktor kecil mengalami banyak hambatan

    mendapatkan pekerjaan subkontrak dari kontraktor besar. Pada prakteknya,

    hambatan tersebut antara lain adanya hubungan KKN (Kenal Konco Nyantol

    Proyek); Kemampuan subkontraktor baik dari segi SDM, peralatan maupun

    permodalan; kebiasaan kewajiban membayar bayar fee proyek terlebih dulu

    yang berkisar 8% dari nilai proyek dan full finance tanpa uang mukaserta

    harus bersedia dibayar apabila pekerjaan sudah selesai 100%. Disamping itu,

    kontraktor kecil juga kesulitan mendapatkan dukungan modal dari perbankan

    dan menghadapi pembayaran yang sering molor sangat lama atau bahkan

    tidak sesuai perjanjian dan terkadang tidak dibayar. Kontraktor kecil juga

    sangat susah mendapatkan kepercayaan dari main kontraktor (Gendroyono,

    2012). Secara umum, permasalahan usaha skala kecil menengah Indonesia

    adalah (i) akses pasar, (ii) SDM, (iii) manajemen, (iv) akses permodalan, (v)

    dan IT & production technology (Bank BRI, 2012). Resiko pembiayaan

    untuk sektor konstruksi adalah (i) performance kontraktor tidak sesuai standar

    sehingga pelaksanaan kontrak terganggu dan pembayaran tagihan oiw

    bouwheer ke rekening kontraktor bank pemberi kredit mengalami delay dan

    atau dibelokan ke bank lain (Bank BRI, 2012).

    (34) Keterbatasan kesempatan usaha bagi kontraktor skala kecil. Kontraktor skala besar seperti BUMN masih ditengarahi memiliki dominasi dan bahkan

    melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil menengah serta

    ekploitasi subkontraktor. Kontraktor besar dinilai belum ikut serta

    memberdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala kecil

    lokal dimana pekerjaan konstruksi berada.Penggolongan usaha yang kurang

    tepat, dan batasan pasar yang tidak mendukung sehingga mempersempit

    peluang usaha perusahan kecil maka kesempatan mereka hanya menjadi

    subkontraktor, sehingga diperlukan pengaturan segmentasi pasar yang sehat.

    Peraturan perundangan sebenarnya cukup melindungi subkontraktor, namun

    sayang karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku, maka

    timbullah banyak permasalahan-permasalahan dalam

    subkontrak.(Gendroyono, 2012).

  • 4. Kelembagaan Pembinaan dan Pengembangan (35) Peran pembinaan pemerintah belum efektif dan kurang tegas dinyatakan siapa

    yang mewakili pemerintah. Disamping itu, koordinasi yang lemah antara

    stakeholders dan saling mengharapkan antara pemerintah dan

    LPJKN/D.Peran LPJKN/D terbatas dan kemampuan pendanaan yang

    terbatas. Disamping itu, lembaga ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan

    pendanaan dari pemerintah. Dalam kondisi keterbatasan tersebut,

    konsentrasi peran masih sebatas sertifikasi dan registrasi badan usaha, tenaga

    ahli dan tenaga terampil. Sistem dan tatakelola proses sertifikasi masih

    diwarnai oleh conflict of interest. Namun demikian, sudah ada sedikit

    harapan kemajuan dalam penelitian dan pengembangan. Lembaga sudah

    mulaimendorong pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Disamping itu,

    inisiatif pengaturan penilai ahli, arbitrase, dan mediasi, serta peningkatan

    partisipasi masyarakat sudah ada (Tamin, 2012).

    5. Kelemahan Rantai Pasok Konstruksi (36) Kompetisi antar rantai pasok yang dimiliki oleh kontraktor belum terjadi di

    Indonesia. Kondisi ini terjadi karena (i) Kompetisi semu, (ii) Tidak menjadi

    sebuah keharusan dari owner, (iii) Hubungan antar rantai pasok yang ada

    belum berjangka panjang, (iv) dan Tidak ada loyalitas dalam rantai pasok.

    Disamping itu, perbedaan hubungan antara tahap lelang dan tahap

    pelaksanaan juga sering terjadi disebabkan oleh kontraktor belum memiliki

    rantai pasok yang loyal dan stabil, aturan memaksa untuk tidak dapat

    mencantumkan keseluruhan rantai pasok, tidak ada keharusan dari owner dan

    pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan rantai pasok, dan hubungan yang

    tidak berjangka panjang dalam rantai pasok. Permasalahan lain adalah

    lokalisasi kontraktor dalam arti kontraktor lokal melakukan pekerjaan untuk

    pekerjaan lokal tidak terjadi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan oleh

    intervensi kontraktor nasional, kontraktor lokal tidak terbina dan terjadi

    vertical integration yang dilakukan oleh BUMN, meskipun kontraktor BUMN

    memiliki alasan profesionalitas yang valid pula dalam hal ini, sulit

    mendapatkan mitra kerja local yang memenuhi standar kualitas. Beberapa

    pemerintah daerah telah menggunakan aksi afirmatif dengan memaksa

    kontraktor BUMN bermitra dengan lebih dari satu kontraktor local untuk

    pekerjaan konstruksi yang bernilai besar. Namun tetap isyu profesionalitas

    masih ada, sehingga perlu tambahan biaya untuk mengakomodasi aksi

    afirmatif ini bagi kontraktor BUMN (Abduh, 2012).

    6. Kontraktor Selon dan Keterbatasan Kompetensi (37) Pengalamanpraktikal pada pengadaan pekerjaan konstruksi oleh non-

    pemerintah menunjukkan adanya perikatan kesepakatan para kontraktor

    secara terselubung dan kemudian cenderung berusaha mempengaruhi

    /mengatur proses tender. Disamping itu, di lapangan juga muncul adanya

    kontraktor selon yang artinya seseorang yang bisa mempunyai 1001 perusahaan konstraktor dengan berbagai keahlian. Tender terbuka akan

    membuka peluang kontraktor selon untuk mengikuti dan mengatur mitra yang lain dan justru tidak profesional. Kenyataan juga menunjukkan bahwa

    klien non-pemerintah juga mengalami permasalahan mutu pekerjaan

    kontraktor. Kecuali kontraktor besar dan bernama, masih banyak kontraktor

    yang belum memenuhi standard mutu dan belum handal dan efektif dalam

    pengendalian waktu dan klien merasa bagaikan membeli kucing dalam

    karung.Permasalahan tersebut selalu menimbulkan effort tambahan bagi tim

  • tender untuk menyelesaikan hal non teknis bila hal tersebut muncul.

    Kontraktor kecil masih banyak yang tidak bisa memenuhi target biaya, mutu

    dan waktu yang direncanakan (Karya, 2012).

    7. Ketimpangan Kompetensi & Perlindungan SDM Konstruksi (38) Industri konstruksi pada 2011 diperkirakan memiliki 6.34 jt tenaga kerja

    konstruksi dengan komposisi 60% merupakan unskill labour (3,8 jt), 30%

    merupakan skill labour (1,9 jt) dan 10% merupakan tenaga ahli (634 rb)

    dengan kondisi kurang dari 7% yang telah tersertifikasi (Suhono, 2012).

    Kondisi tersebut ditambah dengan berbagai permasalah SDM di sektor

    konstruksi misalnya investasi SDM (recruitment) yang keliru baik di

    kontraktor maupun di konsultan akibat cara-cara procurement yang tidak

    tepat maupun demi kelangsungan hidup.Pengakuan, penghargaan dan

    perlindungan kompetensi SDM di sektor konstruksi yang masih terbatas baik

    disebabkan belum adanya undang-undang profesi keinsinyuran dan

    kearsitekturan, ketimpangan billing rate dan belum adanya asuransi profesi

    (indemnity professional insurance). Disamping itu, profesionalisme, etika dan

    hukum belum ditegakkan serta body of knowledge sertifikasi belum berjalan

    dan banyak yang belum mengenal Contiuning Professional Development

    (CPD) (Mulyo, 2012).

    (39) Permasalahan lain terkait pengembangan kompetensi SDM di sektor konstruksi mencakup antara lain koordinasi antar dan inter lembaga pelatihan

    belum terbentuk; Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) baru saja

    disepakati melalui PP Nomor 8 tahun 2012; Dualisme sistem sertifikasi

    profesi (BNSP & LPKJN); keterbatasan anggaran pemerintah; belum

    optimalnya standard kompetensi, penyelenggaraan pelatihan dan uji bagi

    SDM konstruksi; keterbatasan sarana dan prasarana pelatihan; dan belum

    berkembangnya sistem informasi pembinaan kompetensi dan pelatihan

    konstruksi. Disamping itu, implementasi sertifikasi profesi masih terdistorsi.

    Sertifikasi profesi dilakukan belum secara sistematis dan benar-benar

    obyektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI. Sertitifikasi profesi belum

    merupakan solusi penjaminan profesionalisme praktek profesi keinsinyuran

    dan kearsitekturan tetapi masih menjadi bagian dari transaction cost economy

    yang tinggi serta hanya menjadi kebutuhan administratif bukan kebutuhan

    profesinalisme individu praktek profesi. Sertifikasi profesi masih menjadi

    sumber pengumpulan dana asosiasi dan belum menjadi kebutuhan individu

    (Suhono & Suraji, 2012).

    8. Distorsi Pada Pengadaan dan Kontrak Konstruksi Pemerintah (40) Etika usaha di sektor konstruksi masih belum terinternalisasi secara

    menyeluruh. Permasalah etika pada pengadaan dan pelaksanaan kontrak

    kontrak pemerintah adalah Peminjaman User ID, Peminjaman nama

    perusahaan, Sub-kontrak di luar kendali, Penggunaan produk sub-standar,

    Pekerjaan dibawah standar atau spek teknis, dan Pemalsuan progres fisik.

    Disamping itu, kekurang pahaman terhadap peraturan perundangan misalnya

    Pemahaman terhadap Peraturan pengadaan, Pemahaman terhadap dokumen

    lelang, Pemahaman terhadap konsep ketentuan-ketentun kontrak termasuk

    persyaratan administrasi, kualifikasi dan teknis serta penawaran harga juga

    mempengaruhi distorsi pengadaan dan pelaksanaan kontrak (LKPP, 2012).

    (41) Penyimpangan proses pemilihan penyedia jasa sering terjadi misalnya (i) terbukti melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kecurangan dan/atau

    pemalsuan dalam proses Pengadaan; (ii) mempengaruhi ULP/Pejabat

  • Pengadaan/PPK/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun,

    baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Dokumen

    Pengadaan dan/atau HPS yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak

    sehat; (iii) melakukan persekongkolan dengan Penyedia lain untuk mengatur

    Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan, sehingga

    mengurangi/ menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan

    yang sehat dan/atau merugikan orang lain; (iv) membuat dan/atau

    menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk

    memenuhi persyaratan Pengadaan ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;

    (v) mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak

    dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat

    Pengadaan; (vi) membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau

    keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan yang

    ditentukan dalam Dokumen Pengadaan; (vii) mengundurkan diri pada masa

    penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh

    ULP/Pejabat Pengadaan;(viii) menolak untuk menaikkan nilai jaminan

    pelaksanaan untuk penawaran dibawah 80 % HPS; (ix) mengundurkan

    diri/tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan pada saat

    pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat diterima dalam

    pengadaan barang/pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya; (x) mengundurkan

    diri/tidak hadir bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat klarifikasi

    dan negosiasi teknis dan biaya dengan alasan yang tidak dapat diterima

    dalam pengadaan jasa konsultansi; (xi) memalsukan data tentang TKDN;

    (xii) mengundurkan diri bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat

    penunjukan Penyedia dengan alasan yang tidak dapat diterima; (xiii)

    mengundurkan diri dari pelaksanaan penandatanganan kontrak dengan alasan

    yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh

    PPK (LKPP, 2012)

    (42) Pelanggaran pada pelaksanaan kontrak mencakup antara lain (i) terbukti merakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan

    kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; (ii) menolak

    menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan; (iii) mempengaruhi

    PPK dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung

    guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan

    prosedur yang telah ditetapkan dalam Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan

    perundang-undangan; (iv) melakukan perbuatan lalai/cidera janji dalam

    melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka

    waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak

    oleh PPK; (v) meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak

    secara tidak bertanggungjawab; (vi) memutuskan kontrak secara sepihak

    karena kesalahan Penyedia; (vii) tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi

    audit pihak yang berwenang yang mengakibatkan timbulnya kerugian

    keuangan Negara, dan (viii) melakukan pemalsuan dokumen yang berkaitan

    dengan pelaksanaan kontrak termasuk pertanggungjawaban keuangan (LKPP,

    2012).

  • D. IDEALISASI INDUSTRI KONSTRUKSI NATIONAL 1. Pelajaran dari Postur Kontraktor Negara Lain

    (43) Negara-negara seperti USA, Jepang dan UK serta China memiliki postur kontraktor umum dan spesialis yang proporsional. Komposisi kontraktor

    generalis dan kontraktor spesialis seperti Jepang, Amerika dan Inggris

    memiliki komposisi hampir 30:70 dan China dengan 50:50. Tabel berikut ini

    menggambarkan komposisi kontraktor umum dan spesialis di negara lain.

    Sumber: Wu Jia Ming et.al (2003) dan BP Konstruksi dalam Tamin (2012).

    (44) China mengalami sebelum 2001 jumlah kontraktor 90.000 perusahaan dengan komposisi 74% umum; 26% spesialis. Sesudah 2002, Pemerintah China

    melakukan restrukturisasi sehingga menjadi 64.600 perusahaan dengan 52%

    umum dan 48% spesialis melalui suatu new qualification standards dan

    pembinaan yang progresif. Workshop terbatas Gapensi dan Tsinghua

    University (Beijing, 20 Juli 2012) dan diskusi Gapensi dan CHINCA

    (Beijing, 20 Juli 2012) menginformasikan bahwa jumlah kontraktor di China

    kurang lebih 30.000. Struktur klasifikasi dan kualifikasin kontraktor di China,

    sangat natural; struktur kontraktor berbentuk piramid dengan kontraktor

    besar: jumlah sedikit; harus mampu memperbesar skala ekonomi, cross

    region; transnational, multi project. Kemudian kontraktor spesiali biasanya

    perusahaan kecil, kemampuan terbatas, perlu fleksibel, responsif kepada

    pasar dan jumlah seharusnya bisa banyak jika dibina dengan baik. Dalam hal

    ini, faktor yang mempengaruhi demand kontraktor spesialis akan sangat

    tergantung ada tidaknya kontraktor besar serta peluang usaha terbatas, ada

    proteksi regional dan departemental, kompetisi dari kontraktor asing rendah

    dan ada proteksi. Pada umumnya kontraktor besar adalah BUMN, belum

    modern;, driving force untuk maju lemah dan semangat kompetisi rendah.

    Bagi kontraktor besar swasta juga tidak ada insentif untuk melakukan sub-

    contracting dan margin rendah. Intinya tidak terjadi kompetisi yang sehat,

    terutama akibat proteksi, yang dapat mendorong ko-operasi kontraktor umum

    dan kontraktor spesialis. Faktor penghambat supply kontraktor spesialis

    adalah peraturan per-UU-an belum mendukung dan melindungi kepentingan

    kontraktor kecil dan kontraktor besar mengeksploitasi kontraktor sedang dan

    kecil dan menyulitkan masuk menjadi kontraktor spesialis, serta margin

    kontraktor kecil rendah dan pembayaran owner sering bermasalah.

    Disamping itu, kapasitas rendah (teknologi, peralatan, manajemen, & inovasi)

    dan peluang subcontracting dari kontraktor besar tidak terbuka karena mereka

    terjepit. Subcontracting system merupakan media untuk menghubungkan

    demand dan supply kontraktor spesialis dan rantai subcontracting mengurangi

    transaction cost general contractor dan sebaliknya kontraktor spesialis ikut

    menikmati kontrak besar. Sebagai catatan di China, subcontracting dilarang

    karena mal praktek. Pada level kebijakan di lingkup industri adalah promote

  • competition dengan buka pasar internasional hapus regional dan deparmental

    melalui peraturan per-UU-an melindungi kepentingan kontraktor kecil,

    melakukan pengawasan sub-contracting, promoting insurance and security

    system; pembinaan kontraktor spesialis: teknologi, tenaga kerja, manajemen,

    inovasi, membagi kelompok kontraktor: general contracting, professional

    contracting, labor contracting, mengembangkan advanced project contracting

    (CM, DB, BOT, dll. dalam proyek besar dan kompleks; serta joint venture,

    dan partnership. Dalam kebijakan lingkup perusahaan adalah merumuskan

    strategi spesialisasi, isu market di bidang apa permintaan tinggi, dan masalah

    kompleks; isu teknologi: mulai dengan paten; harus balance antara teknologi

    ada dengan yang advance; kapasitas inovasi;isu efisiensi manajemen: belum

    cukup mendapat perhatian (mutu, biaya, waktu, inovasi, manajemen,

    hubungan bisnis, manajemen efisiensi, marketing;isu partnership dengan

    kontraktor besar (brand building).

    (45) Jepang adalah negara yang mempunyai sistem hubungan kontraktor umum dan spesialis. Jepang mempunyai tradisi melakukan kooperasi kontraktor

    besar dan kontraktor spesialis (dango system). Sistem ini membentuk

    hubungan kontraktor besar, subkontraktor, dan vendor bersifat tetap dan

    jangka panjang mencakup juga training dan education dan didukung dengan

    kemampuan teknologi, peralatan, dan manjemen. kontraktor besar menangani

    manajemen umum; subcontractor dan vendor menangani manufacture dan

    assembly serta produksi parts. Pada tahun 1993, Jepang memiliki 150 general

    contractors dan 525.000 sub-contractors dengan 75% bermodal rendah dan

    80% mempunyai jumlah pegawai kurang dari 10 pegawai. Kontraktor umum

    melakukan kemitraan dengan subkontraktor dengan intervensi sampai ke

    manajemen, metoda dan tenaga kerja. Kondisi ini menciptakan hal positif

    yaitu efisiensi (production bukan sales) dan negatif yaitu rentan jika ada krisis

    karena kontraktor kecil menjadi korban. Oleh karena itu untuk fleksibilitas

    terdapat 2 kelompok tenaga kerja yaitu regular (permanen, temporary, dan

    part time) dan non-regular. Hal negatif terbesar dari dango system (arisan)

    adalah tidak ada kompetisi dan pemain baru serta daya saing rendah.

    Pada tahun 1993 mulai dilakukan reformasi sistem transaksi beralih beralih

    dari closed designated bidding system menjadi competitive bidding system.

    Kemudian Jepang melakukan deregulasi, membuka konstruksi Jepang

    terhadap pemain asing dan materials dari luar negeri dan mulai

    melakukan promosi kompetisi tetapi tetap memfasilitasi kontraktor lemah

    untuk mendapat pekerjaan dan dana murah.

    2. Pelajaran dari Idealisasi Industri Konstruksi Negara-Negara Lain (46) Negara-negara lain seperti Inggris, Australia, Singapore dan Malaysia sangat

    memberi perhatian luar biasa terhadap industri konstruksi. Negara-negara

    tersebut, baik berkembang maupun maju, telah melakukan revitalisasi

    transformasi konstruksi berdasarkan konsep yang mendasar dan implementasi

    yang tegas. Era globalisasi telah mendorong berbagai negara maju dan

    berkembang mencanangkan suatu peta jalan (roadmap) untuk membangun

    industri konstruksi menjadi kelas dunia. Pada tahun 1998 dan 1999, dua

    laporan telah dipublikasikan di UK dan Australia yang berisi hasil kajian

    nasional tentang tantangan dan permasalahan industri konstruksi nasional

    mereka. Laporan tersebut telah merekomendasikan target-target dan inisiatif

    kunci dari industri konstruksi.

  • (47) Di UK, pemerintah melalui telah mengeluarkan suatu konsep dasar membangun industri konstruksi yang dikenal dengan Constructing the Team (Egan, 1994) sebagai upaya untuk memulai suatu a radical movement for change in the British Construction Industry dan Rethinking Construction (DETR, 1998). Secara mendasar, pemerintah Inggris ingin mendapatkan suatu konsep (i) meningkatkan efisiensi dan kualitas dari

    konstruksi di UK, (ii) memperkuat embrio perubahan di sektor konstruksi,

    (iii) membuat industri konstruksi lebih responsif terhadap kebutuhan

    pelanggan dan atau pengguna. Rekomendasi yang dikeluarkan Egan Report

    untuk peningkatan dan perubahan yang harus dilakukan oleh industri

    konstruksi adalah: (i) mengintegrasikan proses disain dan konstruksi, (ii)

    peningkatan standarisasi, (iii) mengakhiri tender kompetitif, dan (iv) phase

    out kontrak pembangunan formal. Dalam rangka mencapai target peningkatan

    di sektor konstruksi, CTF yang dibentuk oleh pemerintah UK

    mengidentifikasi pendorong perubahan sebagai berikut: (i) committed

    Leadership, (ii) a focus on the customer, (iii) integrating of the process and

    the team around the product, (iv) quality driven agenda, dan (v) commitment

    to people.

    (48) Pada tahun 1997, pemerintah Australia membentuk National Building and Construction Committee untuk memberikan saran kepada pemerintah tentang

    upaya memperkuat dan meningkatkan industri konstruksi nasional. Komite

    ini mengeluarkan suatu agenda perubahan dalam dokumen Building for Growth (ISR, 1999). Laporan dari komite ini menjelaskan berbagai solusi dan pendorong perubahan untuk industri konstruksi. Langkah-langkah yang

    direkomendasikan adalah sebagai berikut: (i) integrating the supply chain, (ii)

    industrialisation and increasing the knowledge base, (iii) benchmarking, (iv)

    project delivery mechanisms, (v) innovation and R & D, (vi) sustainable

    construction, and (vii) the alignment of Australian Standards with

    Internasional Standars to reduce conflict and avoid the need of the industry to

    work with differing requirements.

    (49) Rekomendasi dari komite ini juga mendorong industri konstruksi Australia untuk mengadopsi suatu advance industrial model yang bercirikan: (i) inreased automation, (ii) advance logistical systems, (iii) long term strategic

    planning, (iv) supply chain development, (v) quality management systems

    and, (vi) just in time techniques. Disamping itu, dalam rangka meningkatkan

    daya saing dan peningkatan secara terus menerus dari produk dan jasa,

    industri konstruksi membutuhkan keterlibatan dalam disain, pengembangan,

    komersialisasi dan diffusi yang efektif dari produk bangunan, sistem dan

    layanan. Permasalahan mendasar yang membutuhkan penelitian dan

    pengembangan mencakup, (i) site based production, (ii) project size and

    complexity, (iii) risk of failure, (iv) competitive bidding contracts, (v)

    changing finance systems.

    (50) Sebagai negara maju di ASEAN, Singapore juga mengeluarkan suatu peta jalan dalam menjadikan industri konstruksi mereka kelas dunia. Negara ini

    mengeluarkan konsep Reinventing Construction (S&P, 1999) atau lebih dikenal dengan istilah Construction 21. Upaya ini diinisiasi untuk meningkatkan produktifitas Industri konstruksi Singapore melalui suatu a radical structuring of its process, procedures and practices. Panitia pengarah yang dibentuk oleh pemerintah Singapore menetapkan visi Industri

    Konstruksi Singapore untuk abad 21 adalah to be a world class builder in the

  • knowledge age. Transformasi yang dibutuhkan oleh industri konstruksi Singapore menuju a knowledge and high value added industry agar menjadi industri: (i) a professional, productive and progressive industry, (ii) a

    knowledge workforce, (iii) superior capabilities through synergistic

    partnerships, (iv) integrated process for high buildability, (v) contributor to

    wealth through cost competitiveness, (vi) construction expertise as an export

    industry. Dalam rangka mencapai hasil yang dingingkan tersebut,

    Construction 21 dari Singapore ini merekomendasikan 6 (enam) langkah

    strategis untuk membangun industri konstruksi, sebagai berikut: (i) enhancing

    the professionalism of the industry, (ii) raising the skills level, (iii) improving

    Industry practices and techniques, (iv) adopting an Integrated approach to

    construction, (vi) developing and external wing, and (vii) a collective

    championing effort for the construction industry.

    (51) Malaysia sebagai negara berkembang di ASEAN juga mengeluarkan agenda untuk membangun industri konstruksi. Pemerintah negara ini

    mengembangkan suatu Construction Industry Master Plan 2010 . Visi industri konstruksi Malaysia 2020 adalah the Malaysian Construction Industry Shall Be Among the Best In the World. Master plan pengembangan industri konstruksi Malaysia mencakup 6 (enam) strategic thrust, sebagai

    berikut: (i) integrating the construction industry and its value chain to

    enhance efficiency and improve productivity, (ii) benefiting from

    globalisation, (iii) strive for environment-friendly and sustainable

    construction processes and resource management, (iv) embedding intelligence

    to construction output, (v) achieving flexibility in both output and production

    processes to meet customers needs, and (vi) construction entrepreneurs will

    increasingly be required to provide total solutions. Dalam konteks ini

    kebutuhan perubahan paradigma di Industri konstruksi Singapore adalah: (i)

    3P Industry: professional, productive and progressive, (ii) knowledge

    industry, (iii) distributed manufacturing process, (iv) integrated process, (v)

    low cost through high productivity, and (vi) generator of wealth / quality

    lifestyles.

    (52) Pemerintah Malaysia telah mendorong industri konstruksi negara ini untuk melakukan perubahan paradigma juga. Paradigma yang dibangun oleh

    Industri Konstruksi Malaysia adalah sebagai berikut: (i) professional, (ii) a

    career, (iii) clean and unclustered, (iv) productivity driven, (v) modularised

    system built and technology dependant, (vi) high quality, environmental

    friendly, (vii) co-operative competition in networked fragmentation, (viii)

    global, (ix) completely profiled, (x) new material & intelligent, and (xi) more

    self regulatory.Berangkat dari perubahan paradigma tersebut, secara praktif

    membangun industri konstruksi nasional adalah mentransformasikan industri

    konstruksi dari paradigma lama menuju paradigma baru. Paradigma baru

    merupakan refleksi dari wajah industri konstruksi kelas dunia. Oleh karena

    itu, baik pemerintah Singapore maupun Malaysia menggunakan strategic thrust membangun industri konstruksi dalam kerangka menjadikan paradigma baru industri konstruksi mereka. Belajar dari radical transformation atau radical movement for change dari berbagai negara tersebut di atas, pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang strategis

    dalam kerangka meletakan dan melekatkan paradigma baru industri

    konstruksi Indonesia.

  • 3. ArahananIdealisasi Industri Konstruksi (53) Struktur usaha dikonsepsikan sebagai ukuran perusahaan (firm size),

    konsentrasi (concentration) dan differensiasi produk (product differentiation).

    Menata struktur usaha berarti memperbesar peluang atau lapangan kerja dan

    memberikan nilai tambah bagi industri konstruksi. BusinessDictionary.com

    (diakses 10 Juli 2012) mendefinisikan business structure is organization

    framework legally recognized in a particular jurisdiction for conducting

    commercial activities, such as sole-proprietorship, partnership, and

    corporation.

    (54) Penyesuaian klasifikasi usaha di sektor konstruksi dari klasifikasi berbasis ASMET kepada KBLI (klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia) yang

    setara CPC (central product classification). Usulan KBLI (BPS, 2009)

    mengklasifikasikan lapangan usaha di sektor konstruksi menjadi (i)

    Konstruksi gedung; (ii) Konstruksi jalan, (iii) Konstruksi jembatan, (iv)

    Konstruksi pelabuhan, (v) Konstruksi bandar udara, (vi) Konstruksi irigasi,

    pengendalian banjir & pengaman pantai, (vii) Konstruksi penyediaan air

    minum dan sanitasi, (viii) Konstruksi jalan rel, (ix) Konstruksi stasiun kereta

    api, (x) Konstruksi instalasi pembangkit listrik dan telekomunikasi, (xi)

    Konstruksi bangunan lainnya (Tamin, 2012).

    (55) Jenis usaha di sektor konstruksi dikategorsikan berdasarkan tahapan pengkajian, perencanaan, perancangan, pembuatan (pelaksanaan),

    pengoperasian, pemeliharaan, pengubahan/penambahan, pembongkaran, dan

    pembuatan kembali suatu bangunan. Selanjutnya, terdapat kemungkinan

    spesialisasi yang luas untuk berbagi peran dan meningkatkan daya saing

    pelaku usaha, misalnya pelaksanaan konstruksi dari komponen

    (S/G/A/M/E/C/ manufaktur) dari 11 lapangan usaha tersebut di atas serta

    pengembangan spesialisasi kontraktor spesialis struktur, geoteknik, arsitektur,

    M/E, civil, dll dan peluang spesialisasi dari tinjauan project life cycle,

    misalnya kontraktor spesialis operasi; pemeliharaan, rehabilitasi, dll (Tamin,

    2012)

    (56) Konsepsi peningkatan daya saing dengan (a) Peningkatan produktifitas & efisiensi yang dicapai melalui kompetisi yang sehat; misalnya kompetisi antar

    kontraktor dan dengan adanya kompetisi, kontraktor berjuang meningkatkan

    produktifitas dan efisiensi; mutu baik dan harga murah dan kompetisi menjadi

    penting (kasus Cina, Jepang, juga Indonesia) serta perlu kebijakan

    menghapus proteksi; kontraktor umum besar bisa lintas propinsi. (b)

    Peningkatan kapasitas kreatifitas dan inovasi melalui upaya lebih maju; perlu

    transdisiplin; dalam pihak yang akan berkompetisi (kontraktor subkontraktor manufaktur supplier produsen); jangka panjang. Kemudian mengembangkan supply chain; ko-operasi dan kolaborasi dan

    perlu kebijakan sub-contracting.

    (57) Menggabungkan ko-operasi dan kompetisi dan kompetisi antara supply chain, dan mengembangkan integrated value chain melalui (i) kemitraan antara

    kontraktor dalam menyelesaikan proyek (joint operation) atau mendapat

    proyek jangka panjang (joint venture); (ii) kemitraan antara owner dan

    kontraktor beserta seluruh supply chainnya setelah pemenang proyek

    ditetapkan untuk mensukseskan proyek; (iii) penerapan alternative project

    delivery system atau bukan hanya traditional D-B-B, tetapi juga DB,

    Performance Based Contract, PPP. Kedepan proyek konstruksi semakin besar

    dan kompleks; investor atau kontraktor umum semakin memerlukan

  • kontraktor spesialis, manufaktur, dan vendor/supplier untuk berko-operasi

    dan kolaborasi meningkatkan daya saing seluruh rantai suplai konstruksi

    melalui struktur interaksi seperti tergambar di bawah ini (Tamin, 2012).

    E. RESTRUKTURISASI INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL

    1. Prinsip Restrukturisasi (58) Prinsip restrukturisasi industri konstruksi adalah menjaga kesetimbangan

    antara struktur pasar (demand side) dengan struktur industri (supply side)

    kemudian membuat klasifikasi dan kualifikasi pelaku industri konstruksi

    sedemikian rupa sehingga menjamin semua dapat saling berinteraksi

    menghasilkan nilai tambah tinggi. Restrukturisasi industri konstruksi ini

    dilakukan dengan mengembangkan kerjasama kemitraan melalui prinsip

    kooperasi dan kompetisi (koopetisi), meningkatkan produktifitas, efisiensi,

    kreatifitas dan inovasi secara berkesinambungan, mendorong integrasi nilai

    dari rantai suplai konstruksi, merevitalisasi profesionalisme dan nasionalisme,

    merestrukturisasi sistem industri konstruksi, mentransformasi struktur

    industri konstruksi, membina kontraktor skala kecil menengah yang ingin

    menjadi kontraktor spesialis melalui inkubator bisnis konstruksi dan pelatihan

    SDM, merevitalisasi peran asosiasi badan usaha agar mampu membina dan

    memperjuangkan kepentingan anggotanya, dan meningkatkan aksesibilitas

    permodalan, pengurangan beban pajak bagi subkontraktor, dan mengeluarkan

    standard form of subcontract.

    2. Prasyarat Restrukturisasi (59) Good governance, etika usaha (code of ethic and code of conduct) dan

    kapasitas profesional pelaku usaha di sektor konstruksi merupakan prasyarat

    restrukturisasi (Tamin, 2012). Governance adalah the process of decision-

    making and the process by which decisions are implemented (or not

    implemented). Good governance has 8 major characteristics (i) participatory,

    (ii) responsive, (iii) consensus oriented, (iv) effective & efficient, (v)

    accountable, (vi) equitable & inclusive, (vii) transparent, and (viii) follow the

    rule of law (ESCAP, UNDP in Tamin, 2012). It assures that (i) corruption is

    minimized, (ii) the views of minorities are taken into account; (iii) the voices

  • of the most vulnerable in society are heard in decision making. It is also

    responsive to the present and future needs of society (Tamin, 2012).

    3. Model Restrukturisasi (60) Restrukturisasi dimodelkan dengan restrukturisasi struktur usaha dengan

    menentukan jumlah perusahaan dengan skala usaha kecil menengah dan besar

    serta layanan yang disediakan. Gambar di bawah ini memodelkan struktur

    kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar dan cakupan layanan.

    Soeparto (2012).

    (61) Perusahaan generalis adalah mereka yang memberikan layanan dan bertanggungjawab atas keseluruhan produksi suatu bangunan yang dilakukan

    oleh berbagai pihak. A general contractor is the contractor with main

    responsibility for the construction, improvement, or renovation project under

    contract, and is the party signing the prime construction contract for the

    project. The general contractor is the person or entity who hires all of the

    subcontractors and suppliers for a project. It is an individual, partnership,

    corporation, or other business entity that is capable of performing

    construction work as a contractor with overall responsibility for the

    satisfactory completion of a project using its own forces to perform or

    supervise part of the work (uslegal.com, 7 Juni 2012). Sedangkan kontraktor

    spesialis adalah mereka yang memberikan layanan dan bertanggungjawab

    hanya pada bagian khusus/ tertentu dari keseluruhan produksi suatu

    bangunan. "Specialty contractor" means a contractor who performs work on a

    structure, project, development or improvement and whose operations as such

    do not fall within the definition of "general contractor." (oregonlaw.com, 7

    Juni 2012). A specialty contractor refers to a contractor whose scope of

    practice is limited to a specific segment of electrical or alarm system

    contracting established in a category adopted by board rule, including, but not

    limited to, residential electrical contracting, maintenance of electrical

    fixtures, and fabrication, erection, installation, and maintenance of electrical

  • advertising signs together with the interrelated parts and supports thereof.

    Specialty contractors are craftsmen who require a license for practice. A

    specialty contractors can greatly benefit the outcome of a project, favorably

    impacting its budget, schedule, and quality. (uslegal.com, 7 Juni 2012).

    (62) Model-model interaksi antara kontraktor utama dan subkontraktor bervariasi tergantung dari project delivery system yang ditetapkan oleh klien/ owner.

    Gambar di atas ini menjelaskan bahwa kontraktor utama berlaku sebagai

    general kontraktor dan sekaligus manajer konstruksi secara penuh untuk

    semua pekerjaan serta hanya sebagian pekerjaan yang dikerjakan oleh

    subkontraktor. sub-kontraktor dapat mengerjakan sebagian pekerjaan

    Kontraktor Utama, memiliki Sumber Daya terkait, dan memiliki Teknologi

    Umum. Sedangkan kontraktor spesialis dapat juga mengerjakan sebagian

    pekerjaan Kontraktor Utama, memiliki Sumber Daya terkait dan memiliki

    Teknologi Khusus. Selanjutnya, Supplier Produk Konstruksi mensuplai

    produk ke Kontraktor Utama dan layanan terbatas sampai barang ke lokasi.

    Supplier Tenaga Kerja mensuplai tenaga kerja ke Kontraktor Utama dan

    memiliki keterampilan tertentu atau umum. Supplier Alat mensuplai alat dan

    atau operator ke Kontraktor Utama (Abduh, 2012).

    4. Strategi Restrukturisasi (63) Struktur industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing serta

    berkeadilan merupakan visi pembinaan dan pengembangan industri

    konstruksi nasional. Restrukturisasi sistem industri konstruksi dipilih menjadi

    salah satustrategic thrust untuk menghantar pencapaian visi tersebut.

    Selanjutnya, restrukturisasi ini jabarkan menjadi 6 (enam) strategi yaitu (i)

    membangun nilai luhur, etika dan kapasitas profesional sebagai prasyarat

    dasar, (ii) menata dan memperbesar pangsa pasar konstruksi, (iii) menata

    struktur usaha, (iv) mengenalkan kemitraan (partnership) dalam rantai pasok

    (supply chain) berdasarkan kooperasi, kolaborasi dan kompetisi untuk

    menjamin peningkatan nilai tambah, (v) mengembangkan kebijakan

    pemihakan (affirmative policy) bagi pelaku usaha skala mikro dan kecil, (vi)

    menata ulang kerangka regulasi (regulatory framework), tata kelembagaan

    (institutional setting) dan instrumen kebijakan (policy instruments).

  • (64) Strategi restrukturisasi pelaku usaha di sektor konstruksi dilakukan dengan (i) menata ulang lapangan permainan (playing field) yang mengarah pada KBLI

    (CPC) berdasarkan produk bangunan yang dihasilkan sebagai jenis usaha dan

    bidang usaha berbasis life cycle of built asset developmentserta bentuk usaha

    orang perseorangan dan badan usaha dengan kualifikasi dan spesialisasi dan

    (ii) merubah dari interaksi dan transaksi konvensional menjadi supply chain

    management integration. Gambar di bawah ini menjelaskan strukturisasi

    lapangan usaha, jenis, bidang dan bentuk usaha konstruksi.

    Spesialisasi kontraktor dapat juga dikaitkan dengan tahapan penyelenggaraan

    konstruksi, misalnya kontraktor spesialis perawatan gedung atau spesialisai

    dari pekerjaan tertentu dari keseluruhan atau sebagian penyelenggaraan

    konstruksi. Sedangkan sistem rantai pasok konstruksi dapat digambarkan

    berdasarkan struktur dan tatacara interaksi dan transaksi antar bagian dari

    rantai pasok tersebut. Gambar ini menjelaskan rantai pasok konstruksi suatu

    bangunan.

  • Rantai pasok konstruksi akan dipengaruhi oleh sistem penyelenggaraan

    proyek (project delivery system) atau project packaging yang dipilih dan

    ditetapkan oleh pihak klien / owner. Gambar di bawah ini menjelaskan

    pengaruh project delivery system terhadap rantai pasok konstruksi.

    Secara skematis, gambar di bawah ini (Soeparto, 2012) menjelaskan integrasi

    rantai suplai dari engineering sampai dengan konstruksi dengan

    menggunakan general contractor dengan rantai pasok subkontraktor dan

  • pemasok.

    (65) Perubahan dari tradisional menjadi rantai pasok terintegrasi akan memperluas

    kesempatan melalui kemitraan usaha saling menguntungkan dalam mensuplai

    bangunan.

    (66) Strategi restrukturisasi tersebut di atas membutuhkan peran pembinaan dari

    Pemerintah dan pengembanan dari LPJK. Peran ini diperlukan untuk

    mewujudkan interaksi struktur, perilaku dan kinerja rantai suplai konstruksi

    sehingga lebih produktif. Gambar di bawah ini menjelaskan peran Pemerintah

    (BP Konstruksi) dan LPJK dalam mendorong inovasi teknologi dan mengatur

    demand. Disamping itu, Pemerintah dan LPJK dapat mengatur struktur pasar,

    perilaku perusahaan, dan pengadaan yang akan membentuk perkuatan rantai

    suplai.

    (67) Pengaturan perudangan (Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 berserta peraturan lanjutannya) menunjukkan bahwa, secara umum peta pengaturan

    rantai pasok konstruksi dapat dilihat pada gambar berikut. Peraturan

    perundangan tersebut hanya mengatur struktur dan hubungan antara struktur

    hingga tier ke-2 dan hubungan antara pemilik dengan penyedia jasa, dan

    hubungan antara penyedia jasa dengan sub-penyedia jasa. Pada bagian hulu

  • dari rantai pasok konstruksi tersebut, peraturan perundang tersebut tidak

    menjamahnya, karena telah diatur oleh industri lain oleh Kementerian lain

    seperti Kementrian Perdagangan, Perindustrian, ESDM dll. Dengan

    demikian, maka kebijakan dan strategi pengembangan yang terkait dengan

    rantai pasok konstruksi harus memperhatikan pengaturan industri di hulu.

    (68) Untuk rantai pasok konstruksi yang berada dalam lingkup UUJK, maka

    strategi restrukturisasi membutuhkan peran pembinaan dari Pemerintah dan

    pengembanan dari LPJK. Peran ini diperlukan untuk mewujudkan interaksi

    struktur dan perilaku rantai suplai konstruksi sehingga kinerja rantai pasok

    lebih produktif. Di satu pihak, Pemerintah dan LPJK harus mempengaruhi

    sisi demand dan juga sisi supply rantai pasok konstruksi. Sisi demand dapat

    berupa demand terhadap pekerjaan untuk dilaksanakan oleh rantai pasok dan

    teknologi yang harus diakomodasinya. Di lain pihak, sisi supply rantai pasok,

    maka struktur dan perilaku rantai pasok konstruksi harus dikelola dengan

    baik, agar terjadi kinerja rantai pasok tersebut yang efektir. Gambar di bawah

    ini menjelaskan peran Pemerintah (BP Konstruksi) dan LPJK dalam

    mendorong inovasi teknologi dan mengatur demand. Disamping itu,

    Pemerintah dan LPJK dapat mengatur struktur pasar, perilaku perusahaan,

  • dan pengadaan yang akan membentuk perkuatan rantai suplai.

    (69) Bagi rantai pasok konstruksi pada bagian yang lebih hulu, yang tidak dikelola

    oleh UUJK, maka kebijakan dan strategi pengembangan rantai pasok

    konstruksi hanya sebatas mempengaruhi sisi demand berupa kebutuhan

    pekerjaan serta persyaratan teknologi. Jika terdapat gambaran struktur dan

    perilaku rantai pasok di daerah lebih hulu tersebut yang tidak kondusif, maka

    Pemerintah (Kementrian PU) dan LPJK hanya dapat melakukan koordinasi

    dan audiensi dengan pihak dan kementrian yang terkait.

    (70) Pengelolaan rantai pasok menjadi upaya kunci dalam restrukturisasi industri

    konstruksi agar semua pelaku usaha dapat memberikan nilai tambah bagi

    semua baik mereka sendiri maupun klien. Abduh (2012) menjelaskan bahwa

    Supply Chain Management (SCM) atau Pengelolaan Rantai Pasok adalah

    usaha koordinasi dan memadukan aktivitas penciptaan produk diantara pihak-

  • pihak dalam suatu rantai pasok untuk meningkatkan efisiensi operasi,

    kualitas, dan layanan kepada pelanggan untuk mendapatkan sustainable

    competitive advantage bagi semua pihak yang terkait dalam kolaborasi ini.

    (71) Pengelolaan kimitraan dalam rantai pasok dilakuka dengan (i) pengembangan Partnership berdasarkan prinsip bahwa a firm is only as good as its suppliers,

    (ii) evaluasi dan Sertifikasi Pemasok melalui supplier evaluation based on

    performance, dan Supplier certification (internal and external), kemudian (iii)

    Pengembangan Pemasok melalui Pelatihan, Investasi pada operasi pemasok

    dan penilaian kinerja pada saat pekerjaan dilakukan, serta (iv) Penghargaan

    Pemasok melalui prinsip recognize and celebrate the achievements of their

    best suppliers (Abduh, 2012).

    (72) Kemitraan sangat penting untuk meningkatkan dayasaing, profesionalisme dan struktur usaha yang proporsional (Soemardi, 2012). Kemitraan dapat

    memperluas kesempatan usaha, meningkatkan kemampuan permodalan,

    transfer of knowledge antar elemen kemitraan, resiko lebih terkelola dan

    efisiensi pengunaan sumber daya (man, money, machine, material dan

    method). Selanjutnya, Gambar di bawah ini menjelaskan model strategi

    pengembangan kemitraan kontraktor generalis dan specialis (Soemardi,

    2012).

    (73) Pengembangan kemitraan membutuhkan perubahan paradigma di industri

    konstruksi dari orientasi hanya keuntungan menjadi peningkatan dayasaing,

    dari berbagi-bagi proyek menjadi penciptaan nilai tambah, dari pasif,

    berbekal dukungan politik dan nepotisme menjadi budaya kreatif dan inovatif

    berbekal iptek (Soemardi, 2012). Disamping itu, bersinergi dalam orientasi

    kemitraan usaha strategis, menciptakan networking pada tingkat nasional,

    regional dan internasional, peningkatan kompetensi, kapasitas dan kapabilitas

    berkelanjutan dan kegiatan riset dan pengembangan secara nasional

    (Soemardi, 2012). Strategi restrukturisasi perlu diikuti dengan program

    pengembangan kapasitas kontraktor kecil menengah. Pengembangan

    kapasitas ini perlu dibarengi dengan pembenahan eksternal melalui

  • pembinaan badan usaha spesialis dan subkontraktor spesialis dengan

    pengutamaan dari sisi kualitas bukan kuantitas. Perijinan dikembangkan

    melalui sistem yang dirancang jangka panjang agar masing-masing

    perusahaan dapat berkembang dan meningkatkan profesionalitasnya. Suatu

    program pengkondisian agar perusahaan kecil menengah merger dan

    memperkuat diri dari aspek modal, ketrampilan dan mutu produk.(Soemardi,

    2012)

    5. Kebijakan Restrukturisasi (74) Restrukturisasi sistem industri konstruksi dengan 6 (enam) strategi tersebut

    pada penjelasan nomor 62 tersebut di atas perlu ditindaklanjuti dengan

    kebijakan (a course of actions). Arahan kebijakan restrukturisasi sistem

    industri konstruksi mencakup (i) menegakkan good governance dengan memperkuat pengawasan, (ii) mempercepat perubahan klasifikasi ASMET

    menjadi KBLI, (iii) mengembangkan project packaging systems dan project

    delivery system untuk efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan konstruksi,

    (iv) mengembangkan segmentasi pasar konstruksi bagi perluasan kesempatan

    usaha bagi perusahaan skala mikro dan kecil, (v) melakukan sinkronisasi

    peraturan perundangan, (vi) mengubah definisi generalis dan spesialis dari

    berdasarkan jumlah bidang usaha menjadi konsepsi baru yang sesuai,

    termasuk membuka peluang kontraktor labour (labour supply contractors),

    (vii) mengembangkan sistem subcontracting yang berkeadilan, (viii)

    meningkatkan kapasitas dan fasilitasi bagi kontraktor spesialis dalam

    pengembangan kompetensi SDM, inovasi teknologi dan manajemen,

    dukungan dan akses pendanaan / permodalan, serta penjaminan, (ix)

    mendukung pengelolaan rantai pasok dengan menerapkan persaingan

    berbasis persaingan rantai pasok dan melarang vertical integration dimulai

    dari Kontraktor BUMN sebagai contoh, (x) meningkatan kapasitas kontraktor

    lokal melalui pengelolaan rantai pasok kontraktor nasional sebagai

    pemberdayaan dan tindakan keberpihakan, (xi) mengembangkan sistem

    informasi konstruksi Indonesia yang mengintegrasi seluruh rantai pasok

    konstruksi (pelaku usaha, pemasok, produsen), (xii) mengharuskan kontraktor

    asing melakukan kerjasama yang nyata dan melarang kemitraan semu (no

    sleeping partner policy), (xiii) mengharuskan kontraktor nasional melakukan

    kerjasama dengan kontraktor daerah melalui joint operation dan subkontrak

    dengan melengkapi jaminan pembayaran (payment security).

    (75) Kebijakan restrukturisasi tersebut di atas selanjutnya dibarengi dengan kebijakan (i) memutakhirkan peraturan perundangan untuk industri

    ko