upaya pencegahan kabut asap di indonesia

11
1 Upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia Prevention is action: Ex-Ante dan Ex-post sebagai Langkah Pencegahan Kebakaran Hutan dan Pendegradasian Lahan Terbakar Ika Bayu Kartikasari. Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia. 081257745951. [email protected] Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, Indonesia sedang mengalami darurat asap. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebakaran hutan yang menyebar di pulau Sumatra dan Kalimantan. Akibat kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan di ratusan kawasan, Indonesia mengeluarkan emisi karbon lebih banyak ketimbang Amerika Serikat. Padahal, AS selama ini menyandang predikat sebagai sumber gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Cina. Selain itu, polusi asap yang terjadi di Indonesia meluas ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan dengan pemerintah tersebut. Indonesia sebagai Negara tropis yang mempunyai hutan lindung yang menjadi penjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim namun pada kenyataannya menujukkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi, baik disebabkan oleh kebakaran hutan; perubahan tata guna lahan, seperti perubahan hutan menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit, tambang, dll; serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas pemanfaatan yang tidak terkendali. Selain itu, pembakaran lahan gambut dan hutan merupakan penyumbang utama gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Antara 0,81 dan 2,57 gigaton (Gt) karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat dari kebakaran hutan yang meluas di Kalimantan dan Sumatra pada tahun 1997. Hal ini setara dengan 13-40% dari emisi karbon rata-rata tahunan global dari bahan bakar fosil. Kini manusia kian serakah, hutan pun akhirnya dibakar dan dijadikan sebagai kebun kelapa sawit. Jelas, dalam pembukaan lahan tersebut memerlukan biaya lebih dan waktu yang cukup lama. Untuk menyingkat waktu tersebut

Upload: ika-bayu-kartika

Post on 14-Apr-2017

177 views

Category:

Engineering


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

1

Upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

Prevention is action: Ex-Ante dan Ex-post sebagai Langkah Pencegahan

Kebakaran Hutan dan Pendegradasian Lahan Terbakar

Ika Bayu Kartikasari. Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia. 081257745951.

[email protected]

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, Indonesia sedang mengalami darurat asap.

Hal ini disebabkan oleh tingginya kebakaran hutan yang menyebar di pulau

Sumatra dan Kalimantan. Akibat kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran

hutan dan lahan di ratusan kawasan, Indonesia mengeluarkan emisi karbon lebih

banyak ketimbang Amerika Serikat. Padahal, AS selama ini menyandang predikat

sebagai sumber gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Cina. Selain itu,

polusi asap yang terjadi di Indonesia meluas ke negara-negara tetangga seperti

Malaysia dan Singapura, yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan

dengan pemerintah tersebut.

Indonesia sebagai Negara tropis yang mempunyai hutan lindung yang

menjadi penjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim namun

pada kenyataannya menujukkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan terus

terjadi, baik disebabkan oleh kebakaran hutan; perubahan tata guna lahan, seperti

perubahan hutan menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit, tambang, dll;

serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas pemanfaatan yang

tidak terkendali. Selain itu, pembakaran lahan gambut dan hutan merupakan

penyumbang utama gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Antara 0,81 dan 2,57

gigaton (Gt) karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat

dari kebakaran hutan yang meluas di Kalimantan dan Sumatra pada tahun 1997.

Hal ini setara dengan 13-40% dari emisi karbon rata-rata tahunan global dari

bahan bakar fosil.

Kini manusia kian serakah, hutan pun akhirnya dibakar dan dijadikan

sebagai kebun kelapa sawit. Jelas, dalam pembukaan lahan tersebut memerlukan

biaya lebih dan waktu yang cukup lama. Untuk menyingkat waktu tersebut

Page 2: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

2

akhirnya pembakaran hutan pun dilakukan. Tiada asap tanpa api pun akhirnya

disematkan kepada kondisi sekarang ini. Faktor yang membuat api semakin

meluas juga disebabkan oleh iklim, fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Tapi

sayangnya dari semua faktor tersebut tentunya manusia mempunyai peran yang

penting atas perubahan ini.

Kawasan hutan didaerah Sumatra dan Kalimantan memiliki karakteristik

lahan gambut. Ketika lapisan gambut yang kering, kebakaran dapat membakar

akar dan bahan organik tanah selama berhari-hari sampai berbulan-bulan, dan

menyebar di bawah permukaan tanah, yang walaupun penyebarannya sangat

lambat, tetapi tidak hanya menimbulkan ancaman langsung terhadap kesehatan

manusia dan satwa liar, kabut dari kebakaran juga mengganggu transportasi dan

kegiatan ekonomi jutaan orang.

Menurut Usup dkk. (2004) Ada 3 tahap kebakaran hutan dilahan gambut,

yaitu:

a. Pembukaan lahan dengan ditebas kemudian dibakar jika sudah kering,

adalah penyebab utama kebakaran. Kebakaran terjadi dipermukaan

gambut pada lahan yang sudah ditebas kemudian menyebar dan

membakar vegetasi hutan gambut sekunder yang terletak di antara

daerah pedesaan dan wilayah hutan.

b. Kebakaran permukaan yang lama kemudian membakar gambut

permukaan melalui celah-celah atau kumpulan kayu, atau kumpulan

sampah di rongga kecil yang meluas ke dalam tanah gambut. Setelah

gambut permukaan telah terbakar, api kemudian mulai membakar secara

lateral ke bawah permukaan gambut.

c. Kebakaran kemudian berlanjut ke lapisan gambut yang lebih dalam.

Kebakaran gambut dalam adalah tahap akhir dari proses kebakaran

gambut. Api akan menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah

permukaan karena tanpa dipengaruhi oleh angin. Akar dari suatu

tegakan pohon dilahan gambut pun dapat terbakar, sehingga jika

akarnya hancur pohonnya pun menjadi labil dan akhirnya tumbang.

Mengingat tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah dan hanya

Page 3: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

3

asapnya saja yang muncul di permukaan, maka kegiatan pemadaman

akan mengalami banyak kesulitan. Pemadaman secara tuntas terhadap

api di dalam lahan gambut hanya akan berhasil, jika pada lapisan

gambut yang terbakar tergenangi oleh air.

Kabut asap dan kebakaran hutan akhirnya menjadi permasalahan nasional.

Jutaan manusia dibiarkan mati secara perlahan-lahan akibat kabut asap tersebut.

Upaya yang dilakukan pemerintah pun belum ada yang membuahkan hasil, seperti

water boming, hujan buatan, dll. Salah satu yang diusulkan oleh Presiden Joko

Widodo adalah sekat kanal. Yaitu membatasi drainase air gambut yang

menyebabkan lahan menjadi mengering dan akhirnya terbakar.

Namun secara urgenitas, pembuatan sekat kanal membutuhkan waktu yang

lama dan membutuhkan pendanaan yang cukup. Namun masyarakat tidak bisa

tinggal diam, tampak beberapa masyarakat yang telah melakukan aksi preventif

yaitu dengan melakukan pembuatan sumur bor. Dan dengan keberanian mereka,

mereka langsung turun tangan memadamkan api sambil menyaksikan tumbangnya

satu persatu pepohonan yang hangus terbakar.

Dampak dari kebakaran hutan dan lahan gambut terhadap lingkungan sangat

luas, Secara rinci kebakaran hutan berdampak pada hal-hal berikut:

a. Emisi karbon

Gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah

hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut

(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan

biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Karbon yang

tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang.

Penebangan yang diikuti dengan pembakaran mempercepat proses emisi

dari biomassa hutan gambut.

b. Perubahan kualitas fisik gambut

Karakteristik fisik gambut yang penting adalah mengandung kadar air yang

banyak, namun memiliki sifat mengering tidak balik. Gambut yang

mengalami kekeringan karena di drainase, volumenya akan menyusut,

Page 4: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

4

sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Jika terjadi

kebakaran, efeknya akan semakin parah, karena selain membakar gambut,

suhu yang panas akan mengeringkan lapisan gambut yang tidak terbakar

sehingga akan sulit untuk pulih kembali.

c. Perubahan kualitas kimia gambut

Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi

dengan kisaran pH 3 – 5. Kebakaran akan menaikkan pH gambut, tetapi

menurunkan kandungan carbon organik karena terbakar. Perubahan kualitas

sifat kimia gambut setelah terjadinya kebakaran salah satunya dipengaruhi

oleh banyaknya abu yang dihasilkan dari pembakaran. Perubahan ini

selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi di atasnya.

d. Ikut terbakarnya benih-benih vegetasi alam yang sebelumnya

terpendam di dalam lapisan tanah gambut, sehingga perkembangan

populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu atau

berubah dan akhirnya menurunkan keanekaragaman hayati.

e. Rusaknya siklus hidrologi

Kebakaran menurunkan kemampuan serapan air hujan ke dalam tanah

sehingga menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang

mengalir di permukaan yang berdampak pada sedimentasi dan perubahan

kualitas air di perairan. Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi

kering dan mudah terbakar. Pada daerah gambut dekat dengan laut,

kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi

air laut semakin jauh ke darat.

Menurut studi yang dilakukan di Portugal dalam melakukan strategi

pencegahan kebakaran hutan dan teknik pendegradasian kembali lahan terbakar

terdapat dampak dari kebakaran hutan. Diantaranya, tanah rapuh yang

mengakibatkan kesuburan tanah dan kerugian produktivitas lahan.

Oleh karena itu perlunya strategi untuk menyeimbangkan dampak yang

timbul, diantaranya pengetahuan sederhana tentang proses erosi, bio-geo-kimia,

Page 5: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

5

dan pengoptimalisasian tanah dan konservasi air. Tanpa kita sadari, berkurangnya

kepadatan hutan yang ada dapat menyebabkan menurunnya konektivitas dan

transmisi di bagian hulu. Akhirnya berdampak seperti yang kita rasakan sekarang

seperti banjir bila musim hujan dan kekeringan berkepanjangan.

Pengelolaan daerah yang terbakar akan terdiri dari berbagai teknik yang

akan dilakukan sebelum (ex-ante) dan setelah (ex-post) kebakaran yang

merupakan strategi pencegahan dan mitigasi.

Dalam proses Ex-Ante, terdapat 2

tahap yaitu planning dan managemen

vegitasi. Dalam tahap planning, perlu

diperhatikan kawasan yang akan

dikelola. Dimulai dari penyebab

kebakarannya, faktor masyarakat,

topografi dan peremajaan lahan yang

akan dilakukan. Tentunya yang perlu

diperhatikan yaitu harus adanya

keseimbangan antara manusia dengan

alam dan faktor yang akan terjadi

kedepannya karena daya dukung tanah

pun semakin berkurang. (Gomes and

Silva, 2002).

Kemudian melakukan menegemen vegetasi. Menurut Wiersum (1979),

dalam siklus hidrologi vegetasi mempunyai peranan dalam proses-proses

intersepsi, air tembus (through-fall), aliran batang (stem flow), transpirasi dan

fotosintesis yang kesemuanya sangat berperan dalam tata air. Ditinjau dari segi

hidrologis, hutan merupakan bentuk vegetasi yang memegang peranan penting

dalam suatu daerah aliran sungai. Hal ini disebabkan karena vegetasi hutan dapat

memperbaiki/mempertahankan kualitas maupun kuantitas air sungai. Menurut

Manan (1979), vegetasi hutan dan tumbuhan penutup tanah lainnya merupakan

salah satu cara alam dalam mengatur dan menjaga mutu dan jumlah air yang

mengalir di anak-anak sungai dan sungai utama.

Page 6: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

6

Secara umum, yaitu memberikan dampak positif untuk mengurangi dampak

dari kerusakan hutan. Salah satunya adalah melakukan manegemen biomassa.

Biomassa hutan berperan penting dalam

siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan,

sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan (Sutaryo, 2009).

Setelah proses Ex-ante dilanjutkan keproses Ex-post. Dalam kegiatan ini

banyak menggunakan jerami atau rerumputan kering disebabkan karena

penutupan lahan jerami mampu menutupi tanah dan mencegah erosi dan relatif

murah. (Larsen et al., 2009; Prats et al., 2012). Salah satu teknologinya bernama

hydromulch, hydomulch merupakan campuran dari jerami, cacahan kulit kayu,

dan bahan organik lainnya. Kemudian dicampurkan bersama air dan disemprotkan

ke permukaan tanah. Agar menekan kondisi longsor dan erosi pada kondisi basah

atau hujan. Beberapa eksperimen yang dilakukan untuk melakukan percobaan

hydromulch, di dalam tanah terjadi reaksi kimia sufaktan dan poliakrilmida yang

dapat mengurangi erosi tanah dan

mempercepat infiltrasi dalam tanah.

Hal ini membuktikan betapa

pentingnya proses penutupan tanah

dalam pengendalian pasca-

kebakaran. (Riechers et al., 2008;

Davidson et al., 2009)

Kemudian, melakukan

kegiatan penyemaian. Penyemaian

pasca-kebakaran dapat didefinisikan

sebagai penanaman dan

pembentukan spesies vegetasi yang

tumbuh cepat untuk memberikan

penutup tanah untuk tanah sampai

vegetasi asli bisa pulih. Namun,

Beyers (2004) menyoroti bahwa rerumputan bersaing dengan vegetasi asli dan

akhirnya tidak efektif mengurangi erosi tanah. Ada kontroversi tentang

Page 7: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

7

penyemaian daerah terbakar, dan pada kenyataannya Robichaud dkk. (2006)

menunjukkan bahwa penyemaian keberhasilan sangat tergantung pada intensitas

curah hujan dan waktu.

Dalam melakukan penyemaian, terdapat 2 cara yaitu dengan manual

seeding dan Hydro-seeding. Cara manual merupakan kegiatan penyemaian yang

langsung disebarkan kedaerah lahan tetapi kekurangannya membutuhkan waktu

yang sangat lama dan tidak merata. Cara yang kedua adalah hydro-seeding yaitu

mencampurkan antara air, pupuk, dan bibit. Hydro-seeding lebih cepat, mudah

dan lebih merata. Penyemaian dapat dilakukan dengan penyemprotan manual atau

pula dengan menggunakan helikopter. (Rey, 2003).

Langkah selanjutnya peremajaan, Peremajaan hillslope barriers, tujuannya

agar padatan yang berada diatas lereng tidak langsung turun kebawah. Karena

tertahan oleh penghalang. Pehalang dapat dibuat dari tumpukan jerami yang diikat

dan dibentuk seperti gelonggong kayu, atau dapat dibuat dari gelonggongan kayu

tersebut yang ditahan. Peletakan harus diletakan tegak lurus dengan tanah dan

diberikan lubang-lubang air, agar air dapat meresap kedalam tanah. (Robichaud

and Brown, 2005)

Teknik ex-post mempengaruhi kenaikan biomassa ketika pencegahan

erosi, baik dengan jerami, pembibitan dan gelonggong kayu untuk penghalang

erosi, harus diterapkan dalam situs yang paling rentan, dikepadatan yang sesuai.

Yang akan mewakili fraksi kecil dari Total beban bahan bakar vegetasi kawasan

hutan, yang mewakili kontribusi kecil bagi peningkatan risiko kebakaran di tahun-

tahun berikutnya.

Setelah melakukan proses ex-ante dan ex-post masuk kedalam tahap

perawatan dan peremajaan. Perawatan dilakukan untuk menstabilkan gradien

saluran dan mempertahankan sedimen. Robichaud dkk. (2000) menyimpulkan

bahwa perawatan lebih baik dilakukan dibagian hilir. Bahkan, perawatan tidak

selalu menggunakan teknik mitigasi erosi, tetapi menghambatan transportasi

sedimen jangka pendek-menengah-panjang. Mekanisme ex-ante dan ex-post yang

telah dibuat mungkin dapat terjadi kegagalan atau bahkan hancur selama musim

Page 8: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

8

hujan, terutama jika intensitas curah hujan yang tinggi yang disertai badai pertama

setelah kebakaran.

Peremajaan dilakukan pada kondisi, kayu, jerami, aliran, batuan, dan

bagian hilir sungai. Peremaajaan juga berguna untuk memantau perjalanan air

yang mengalir selama 10 sampai 20 tahun kedepan. Sebisa mungkin air terserap

kedalam tanah untuk membentuk vegetasi yang baru. Sebaliknya titik kegagalan

dari peremajaan ini ketika aliran air terus mengalir kehilir tanpa penyerapan dan

membawa sedimen-sedimen yang dapat mencemar dan mengganggu jalannya air.

(WOCAT,2007)

Masalah utama dampak dari kebakaran hutan adalah menyangkut proses

tanah dan air. Pertama, tidak adanya hambatan untuk pemecahan tanah agregat

oleh percikan (yang disebabkan oleh dampak dari hujan di permukaan tanah),

kedua, adanya arah aliran dan bangunan menyebabkan kemampuan untuk

infiltrasi. Oleh karena itu sebagai manusia, perlu adanya kegiatan untuk membuat

lubang infiltrasi, dengan cara membajak. Membajak adalah metode mengubah

tanah dengan membajak dengan traktor, dan membuka permukaan tanah untuk

membentuk alur air dan lubang-lubang resapan. Lubang-lubang tersebut

mengumpulkan air dan dirancang di tempat lebih rendah (Robichaud et al., 2008a,

b).

Kegiatan restorasi adalah proses untuk melaksanakan pemulihan

ekosistem, dan mengubah bentuk lingkungan pasca awal kebakaran menuju yang

lebih baik dan hasilnya dapat dirasakan jangka panjang daripada di periode jangka

pendek. (Valdecantos et al., 2009). Tujuan utama dari restorasi adalah, selain

untuk menjaga air dan tanah yang ada, dan mendorong peningkatan

keanekaragaman hayati di kawasan kebakaran hutan (Vallejo et al., 2006).

Dari hasil yang telah dipaparkan hal tersebut merupakan langkah-langkah

mitigasi dalam penanganan pendegradasian lahan terbakar. Namun hasil yang

dilakukan akan berbanding terbalik jika kita tidak ikut merawat dan menjaga

hutan kita. Perlu adanya hukum dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan

Page 9: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

9

bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Tentunya adanya kerjasama

dalam melakukan aksi untuk menanggulangi kebakaran hutan.

REFERENSI

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151021_indonesia_emisi

_as akses 16 November 2015 8:35

Beyers, J.L., 2004. Postfire seedling for erosion control: effectiveness and impacts

on native plant communities. Conservation Biology 18 (4), 947–956.

Gomes, F., Silva, J.S., 2002. Normas preventivas no planeamento das

arborizações. In: Silva, J.S., Páscoa, F. (Eds.), Manual de Silvicultura para a

prevenção de incêndios VIII. Direcção Geral das Florestas, Lisboa, pp. 1–8.

Larsen, I.J., MacDonald, L.H., Brown, E., Rough, D.,Welsh,M.J., Pietraszek, J.H.,

Libohova, Z., Benavides-Solorio, J.D., Schaffrath, K., 2009. Causes of post-

fire runoff and erosion: water repellency, cover, or soil sealing? Soil Sci.

Soc. Am. J. 73, 1393–1407

Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Fakultas

Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Indonesia.

Riechers, G.H., Beyers, J.L., Robichaud, P.R., Jennings, K., Kreutz, E., Moll, J.,

2008. Effects of three mulch treatments on initial post-fire erosion in North-

central Arizona. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-189. In: Narog, Marcia G.

(Ed.), Proceedings of the 2002 Fire Conference: Managing Fire and Fuels in

the Remaining Wildlands and Open Spaces of the Southwestern United

States.

Riechers, G.H., Beyers, J.L., Robichaud, P.R., Jennings, K., Kreutz, E., Moll, J.,

2008. Effects of three mulch treatments on initial post-fire erosion in North-

central Arizona. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-189. In: Narog, Marcia G.

(Ed.), Proceedings of the 2002 Fire Conference: Managing Fire and Fuels in

the Remaining Wildlands and Open Spaces of the Southwestern United

States.

Rey, M.S., 2003. Catálogo de espécies herbáceas e leñosas bajas autóctonas para

la revegetación de zonas degradadas en La Rioja. Gobierno de La Rioja.

Page 10: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

10

Consejería de Turismo, Medio Ambiente y Política Territorial. Dirección

General de Medio Natural.

Robichaud, P.R., Wagenbrenner, J.W., Brown, R.E., Wohlgemuth, P.M., Beyers,

J.L., 2008b. Evaluating the effectiveness of contour-felled log erosion

barriers as a post-fire runoff and erosion mitigation treatment in the western

United States. Int. J. Wildland Fire 17, 255–273.

Robichaud, P.R., Pierson, F.B., Brown, R.E., Wagenbrenner, J.W., 2008a.

Measuring effectiveness of three postfire hillslope erosion barrier

treatments, western Montana, USA. Hydrol. Process. 22, 159–170.

Robichaud, P.R., 2005. Measurements of post-fire hillslope erosion to evaluate

and model rehabilitation treatment effectiveness and recovery. Int.

J.Wildland Fire 14, 475–485.

Robichaud, P.R., Lillybridge, T.R., Wagenbrenner, J.W., 2006. Effects of post-

fire seeding and fertilizing on hillslope erosion in north-central Washington,

USA. Catena 67, 56–67.

Sutaryo,D.2009. Penghitungan Biomassa ―Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon

Dan Perdagangan Karbon‖.Wetlands International Indonesia Programme.

Bogor.

Usup, A., Hashimoto, Y., Takahashi, H., Hayasaka, H., 2004. Combustion and

thermal characteristics of peat fire in tropical peatland in Central

Kalimantan, Indonesia. TROPICS Vol. 14. Issued August 31, 2004.

Valdecantos, A., Baeza, M.J., Vallejo, V.R., 2009. Vegetation management for

promoting ecosystem resilience in fire-prone Mediterranean shrublands.

Restor. Ecol. 17, 414–421.

Vallejo, R., Aronson, J., Pausas, J.G., Cortina, J., 2006. Mediterranean

woodlands. In: Van Andel, J., Aronson, J. (Eds.), Restoration Ecology. The

New Frontier: Blackwell Science, Oxford, UK, pp. 193–207.

Wiersum, K.F dkk, 1979. Influence of Forest on Erosion. Institute of Ecology,

University of Padjajaran. Bandung

Page 11: upaya Pencegahan Kabut Asap di Indonesia

11

WOCAT, 2007. Where the Land is greener — case studies and analysis and water

conservation iniciatives worldwide. Hanspeter Liniger and William

Critchley.