upaya pembatalan putusan arbitrase nasional

174
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : FITRIANA NIM : 1111048000079 K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/ 2015 M

Upload: vuongtuyen

Post on 12-Jan-2017

245 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

FITRIANA

NIM : 1111048000079

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H/ 2015 M

Page 2: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

i

UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

FITRIANA

NIM : 1111048000079

PEMBIMBING

DWI PUTRI CAHYAWATI, S.H., M.H

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H/2015 M

Page 3: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

ii

Page 4: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau

jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 April 2015

Page 5: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

iv

ABSTRAK

FITRIANA, NIM 1111048000079, “UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN

ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XII/2014)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program

Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. viii + 85 halaman + 77 hal lampiran.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya pembatalan putusan arbitrase

berdasarkan UU No.30 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, untuk

mengetahui pertimbangan hukum putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUU-

XII/2014 atas pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 dan untuk

mengetahui akibat hukum atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap

upaya pembatalan putusan arbitrase. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu

mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase serta mengacu pada putusan

Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. Pendekatan masalah yang digunakan

yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus

(case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan

kepustakaan (library research). Hasil dari penenlitian ini adalah pertama, mengenai

mekanisme pembatalan arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana

telah diatur dalam Ps.70 s.d Ps.72 yaitu para pihak dapat mengajukan permohonan

pembatalan ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pembatalan yang terdapat pada

Ps.70 yang bersifat limitatif dan atas putusan PN terhadap permohonan pembatalan

putusan arbitrase dapat dilakukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung

dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua, pertimbangan hukum pada

putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 terhadap pengujian penjelasan

pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 adalah bahwa pasal 70 sudah cukup jelas (expressis

verbis), dan penjelasan pasal 70 telah mengubah norma pasal, menimbulkan norma

baru dan multitafsir sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan

dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketiga, akibat hukum atas lahirnya putusan

MK No.15/PUU-XII/2014 adalah dalam hal mengajukan permohonan pembatalan

putusan arbitrase atas adanya unsur pembatalan dalam pasal 70 tidak perlu

dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan

penjelasan pasal 70 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan amar putusan

MK No.15/PUU-XII/2014.

Kata Kunci: Putusan Arbitrase, Pembatalan, Pasal 70, Mahkamah Konstitusi.

Dosen Pembimbing: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H

Daftar Pustaka : Tahun 1987 – Tahun 2012

Page 6: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim...

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat serta

anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya

Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan

kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari

zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin

tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.

Asep Saepudin Jahar, MA,.

2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H.,MA, MH. dan Bapak Arip Purkon,

SHI., MA.

3. Pembimbing Skripsi penulis, ibu Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Terimakasih

atas waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis, khususnya kepada Bapak

Nur Rohim Yunus, LLM dan Andi Syafrani, SH., MCCL. yang telah

memberikan arahan terhadap skripsi penulis.

5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

vi

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Ahmad dan Ibunda Euis Hamidah,

terimakasih atas segala doa dan kasih sayang, motivasi, perhatian dan bantuan

yang telah dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. kepada

Kedua Kakak tercinta Yuni Mega Rahayu, S.E dan Nur Rianti A.md terimakasih

atas segala support, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.

7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011. Khususnya Sahabat-sahabatku

tercinta Neysa Sabila, Verina Pradita, Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty

Zahara, Lidia Asrida dan Syahirah Banun dan teman-teman seperjuangan

konsentrasi hukum bisnis yang telah sama sama berjuang dan saling memberikan

motivasi serta semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.

8. Kepada Sahabat-sahabatku tersayang Amaliah, Fitria Tanzila, Sindy Pariamanda,

Tuti Purwaningsih, Serta Gusti Anugrah, Eko, Rudy dan Rano yang telah

memberikan support dan semangat tiada henti kepada penulis dalam

menyelesaikan studi yang penulis tempuh.

9. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah

mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu

penulis haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 15 April 2015

Fitriana

Page 8: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan Masalah dan Permusan Masalah .......................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6

D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu .......................................... 8

E. Kerangka Konseptual ............................................................... 10

F. Metode Penelitian ..................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan .............................................................. 15

BAB II : TINJAUAN UMUM ARBITRASE

A. Pengertian Arbitrase ................................................................. 18

B. Sumber Hukum Arbitrase ........................................................ 20

C. Asas-asas Dalam Arbitrase ...................................................... 24

D. Keunggulan dan Kelemahasan Arbitrase ................................. 27

E. Jenis-Jenis Arbitrase ................................................................. 30

F. Perjanjian Arbitrase .................................................................. 32

G. Kewenangan Arbitrase ............................................................. 35

Page 9: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

viii

BAB III : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

A. Jenis Putusan Arbitrase ............................................................ 39

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ................................................ 40

C. Pembatalan Putusan Arbitrase ................................................. 45

BAB IV :UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

15/PUU-XII/2014)

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014

1. Posisi Kasus ....................................................................... 53

2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

No.15/PUU-XII/2014 ......................................................... 59

3. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

............................................................................................. 65

B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase .......... 75

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 80

B. Saran ......................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85

LAMPIRAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014

Page 10: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada kegiatan perdagangan, tak jarang timbul suatu konflik atau sengketa

dengan bentuk yang beraneka ragam. Sengketa pada dasarnya, hal yang harus

dihindari, karena akibat yang akan ditimbulkan. Sehingga, dalam hubungan

kerjasama perdagangan harus diantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya

suatu sengketa. Sebelum timbulnya sengketa, langkah terlebih dahulu yang dapat

dilakukan yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausul

penyelesaian sengketa dengan memilih upaya yang akan ditempuh sesuai

kesepakatan bersama melalui pengadilan atau luar pengadilan.1 Upaya penyelesaian

sengketa yang dapat ditempuh selain melalui pengadilan yakni melalui jalur non

litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui mediasi, negosiasi, dan konsiliasi serta

arbitrase.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan, cenderung dapat

menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time

consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.2 Untuk itu penggunaan

1 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012), h.54.

2 Frans hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan

Internasional (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h.9.

Page 11: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

2

mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan mulai di minati oleh pelaku

usaha bidang perdagangan, khususnya mekanisme penyelesaian melalui arbitrase.

Arbitrase merupakan sebuah pilihan alternatif penyelesaian sengketa yang

paling menarik, khususnya bagi kalangan atau pihak dalam kegiatan perdagangan

kerena arbitrase dinilai sebagai suatu penyelesaian sengketa yang independen dan

sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.

Arbitrase pada umumnya merupakan pemeriksaan suatu sengketa yang

dilakukan secara judisial, walaupun disederhanakan seperti yang dikehendaki oleh

para pihak yang bersengketa, dalam pemecahannya didasarkan kepada bukti-bukti

yang diajukan oleh para pihak tersebut.3 Sebagai alternatif penyelesaian sengketa

arbitrase menawarkan beberapa kelebihan di banding ranah pengadilan yaitu

penyelesaian yang relatif lebih cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para

pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang netral dan ahli

mengenai pokok sengketa yang dihadapi para pihak serta tentunya dengan biaya

terukur.4

Pada penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyatakan dalam

perjanjian yang memuat klausul bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang

terjadi atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan

3 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS),

(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.12

4 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.59.

Page 12: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

3

suatu perjanjian yang tertulis yang telah disepakati para pihak. Dengan begitu

penyelesaian sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan Pengadilan tetap mempunyai

keterkaitan. Dalam hal ini, keterkaitan atau peranan pengadilan dalam penyelesaian

sengketa melalui arbitrase disebut dalam beberapa pasal, sebagai bentuk memperkuat

proses arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan

putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan ke

Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan

di ucapkan, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan.

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidak dapat

diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan Arbitrase dapat

diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase apabila mengandung unsur-unsur, yang

telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-

unsur antara lain sebagai berikut :

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa

Selanjutnya penjelasan pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan

arbitrase, yang berbunyi :

Page 13: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

4

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan

pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut

terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan

sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan.”

Dengan demikian, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan

putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan pasal

70. Persyaratan pembatalan putusan arbitrase yang tertuang dalam Pasal 70 beserta

Pejelasannya sebenarnya harus dipandang dalam satu kesatuan, hal tersebut dilakukan

untuk membatasi secara tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.5

Namun dalam perkembangannya, mengenai penjelasan pasal 70 Undang-

Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

telah diajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yaitu

Ir.Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna sebagai pihak pemohon

I, dan Drs.Sujana Sulaeman, Direktur utama PT. Bangun Bumi Bersatu sebagai

pihak pemohon II. Dalam hal ini kedua pemohon mempersoalkan penjelasan pasal 70

Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa karena dianggap rancu karena mengandung norma baru dan selanjutnya,

menurut pemohon karena disebabkan oleh penjelasan tersebut, norma pokok Pasal 70

sendiri menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum pemohon memperoleh

5 Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian, Artikel diakses

Pada 4 Februari 2015 dari http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-Putusan-

Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27

Page 14: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

5

keadilan dengan mengajukan pembatalan putusan arbitarase.6 Atas permohonan uji

materil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi,

kemudian lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014

menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

yang membahas mengenai mekanisme dari upaya pembatalan putusan arbitrase

berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah Konstitusi

dalam Putusan No. 15/PUU-XII/2014 dan akibat hukum putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase,

sehingga penulis tuangkan dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Upaya

Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 15/PUU-XII/2014).”

6 Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya,

Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas

putusan arbritase Artikel di akses 5 Februari 2015 dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-perjelas-alasan-pembatalan-putusan-

arbitrase.

Page 15: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka

penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang

terkait dengan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-undang No.30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan dalam latar belakang

masalah, penulis merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan,

sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-

undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa?

b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan nomor 15/PUU-XII/2014?

c. Bagaimana akibat hukum atas putusan Mahkamah konstitusi Nomor 15/PUU-

XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut penjelasan tujuan dan manfaat

dari penelitian ini :

Page 16: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

7

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diketengahkan oleh penulis,

maka tujuan penulisan pada penelitian ini yakni sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan

Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi

No. 15/PUU-XII/2014.

c. Untuk mengetahui akibat hukum setelah lahirnya putusan Mahkamah

konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan

arbitrase.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini, dibedakan menjadi dua,

yakni :

a. Manfaat Teoritis

Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat memberikan

kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang

berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

b. Manfaat Praktis

Manfaat dari hasil penelitian ini secara praktik, diharapkan dapat menambah

wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah bahan rujukan bagi

mahasiswa dalam memahami upaya pembatalan putusan arbitrase.

Page 17: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

8

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, penulis melakukan

pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian

terdahulu yang penulis temukan:

1. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2005, yang

disusun oleh Abdul Wahid, SH., dengan judul “Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase”, pada penelitian ini membahas mengenai

mekanisme penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan pada penelitian ini juga

menelaah mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase

dari pengaturan dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural

(rules) arbitrase institusional, menelaah pada penerapan dari berbagai kasus-kasus

arbitrase. Berbeda dengan penelitian penulis yang membahas mengenai

mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase nasional berdasarkan Undang-

undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa dan Akibat Hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.

2. Tesis Fakultas Pascasarjana, Program studi kajian ilmu kepolisian, Universitas

Indonesia Jakarta Juni 2011, yang disusun oleh Arman, SIK., dengan judul

“Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Di Pengadilan

Negeri Indonesia Dalam Hal Adanya Dugaan Pemalsuan Dikaitkan dengan

Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, pada penelitian membahas pada

permasalahan utamanya mengenai kasus arbitrase antara PT. Krakatau Steel dan

Page 18: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

9

International Piping Product (IPP) dan meneliti penerapan Undang-undang No.30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya

dalam hal pembatalan putusan arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan

dokumen. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas

mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang

No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-

XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum

hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.

3. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta 2014, yang disusun oleh Atiek AF’Idata dengan judul

“Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah

Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012), pada penelitian ini membahas peraturan

mengenai pembatalan putusan arbitrase Internasional serta praktek beracara yang

dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara

arbitrase asing. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas

mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang

No.30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan

khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-

XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum

Page 19: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

10

hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.

E. Kerangka Konseptual

Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.7 Dalam

kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang

digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. berikut kerangka konsepsi yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini :

1. Alternatif Penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau

penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

APS)

2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa. (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan APS)

3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum

7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI PRESS, 2010), h. 132.

Page 20: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

11

timbulnnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan APS)

4. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan

penyelesaiannya melalui arbitrase. (Pasal 1 angka 7 UU No.30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan APS)

5. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga

dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal belum timbulnya sengketa. (pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan APS).

6. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik

Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang

menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan

arbitrase international. (pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan APS).

7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi

tempat tinggal termohon. (pasal 1 angka 4 UU No.30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan APS).

Page 21: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

12

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.8 Selanjutnya,

langkah-langkah yang diambil dalam suatu penelitian hukum harus jelas serta ada

pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan

tidak terkendali.9 berikut uraian mengenai metode penelitian yang akan penulis

gunakan:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif, yaitu

penelitian di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-

norma dalam hukum positif.10 Pada penelitian ini, penulis mengacu pada norma

hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan

pembatalan putusan arbitrase nasional serta mengacu pada putusan Mahkamah

Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014.

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 43.

9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia) h.

294

10 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h.295

Page 22: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

13

(comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).11

Pendekatan-pendekatan masalah tersebut digunakan tujuannya untuk mendapatkan

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.

Pendekatan masalah yang akan penulis gunakan yakni pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang melakukan

pengkajian peraturan perundang-undangan yang menjadi tema sentral penelitian,12

dalam penelitian ini peraturan yang menjadi tema sentral penelitian adalah

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) yang

penulis gunakan yaitu mengacu pada pendekatan kasus pada putusan Mahkamah

Kontitusi No.15/PUU-XII/2014.

3. Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau

data sekunder,13 yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum primer merupakan bahan hukum

yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)

h.133.

12 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h. 295

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 5.

Page 23: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

14

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.14 Dalam penelitian ini bahan

hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan MK

No.15/PUU-XII/2014 dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan

pembatalan putusan arbitrase.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan

terdiri dari buku-buku, artikel-artikel dalam jurnal dan karya ilmiah lainnya.

yang berkaitan dengan Arbitrase .

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,15 contohnya adalah

kamus hukum, indeks artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan Arbitrase.

4. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

penelitan kepustakaan (library research) dengan melakukan penelusuran untuk

mencari bahan-bahan hukum yang relevan yang dapat terdiri dari literatur

kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan sumber

lainnya.

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.181.

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h. 5.

Page 24: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

15

5. Pengolahan dan analisis bahan hukum

Adapun bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta peraturan

perundang-undangan penulis uraikan dan hubungkan, sehingga disajikan dalam

penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan. Kemudian, cara pengolahan bahan hukum dilakukan dilakukan secara

deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum

terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, tahun 2012.16

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang

berjudul “Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014), Maka dirasa perlu untuk

menguraikan kedalam sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yakni

sebagai berikut :

16

Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jamian

Mutu (PPJM), 2012). h. 11- 46.

Page 25: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

16

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini penjelasannya meliputi, latar belakang

masalah, Pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu,

dan metode penelitian serta sistematika penelitian. Dengan demikian

pada bab I ini merupakan gambaran kecil pada proses menelaah

penelitian hukum.

BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE

Dalam bab Kedua ini akan dibahas mengenai tinjauan umum arbitrase

yakni dengan membahas pengertian arbitrase, sumber hukum arbitrase,

asas-asas dalam arbitrase, keunggulan dan kelemahan arbitrase, jenis-

jenis arbitrase, dan perjanjian arbitrase serta kewenangan arbitrase.

BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

Dalam bab ketiga akan dibahas mengenai jenis putusan arbitrase,

pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase

berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

BAB IV UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (ANALISIS

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)

Page 26: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

17

Dalam bab keempat ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni, bagian

pertama, menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

XII/2014 yang terdiri dari posisi kasus, pertimbangan hukum dan amar

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 dan analisis

putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. Bagian kedua,

mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-

XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.

BAB V PENUTUP

Dalam bab kelima merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan

dan saran atas hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

Page 27: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

18

BAB II

TINJAUAN UMUM ARBITRASE

A. Pengertian Arbitrase

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, definisi arbitrase pada pasal 1 ayat berbunyi:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa”.

Mengenai arbitrase para ahli hukum juga memberikan definisinya, yakni

sebagai berikut:

Pertama, menurut Subekti arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan

bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau

para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.17

Kedua, Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi arbitrase adalah suatu

badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus

dalam dunia perusahaan.18

17

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.1

18 Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Gramedia

Widiasarana,2008). h. 202

Page 28: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

19

Ketiga, Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yaitu arbitrase adalah

suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan

para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang

wasit atau arbiter.19

Keempat, menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu

tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat

antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau

beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan

final dan mengikat.20

Kelima, menurut Meria Utama, dalam bukunya hukum ekonomi internasional

memberika definisi arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada

pihak ketiga yang netral.21

Keenam, Gunawan Widjaja mendefinsikan arbitrase merupakan suatu

perjanjian yang melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mecari

penyelesaian sengketa di luar pengadilan.22

Dengan merujuk pada definisi diatas, arbitrase merupakan suatu upaya

penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, yang dapat ditempuh oleh para pihak

19

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia

PustakaUtama, 2006) h. 25, mengutip sudikno mertokusumo, mengenal hukum: suatu pengantar

(yogyakarta: penerbit Liberty), h. 144

20 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS); Suatu

Pengantar (Jakarta: PT.Fikahati Aneska, 2011), h.61

21 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.58

22 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan

Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai (Jakarta:Kencana, 2008), h. 182

Page 29: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

20

yang bersengketa berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah

terjadinya sengketa, dan dalam proses penyelesaiannya ditengahi oleh pihak ketiga

yaitu arbiter.

B. Sumber Hukum Arbitrase

Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase dalam sistem tata hukum

Indonesia, yaitu bertitik tolak pada pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), yang berbunyi: “Jika orang

Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh

juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi

bangsa eropa.”

Pasal ini menegaskan mengenai kebolehan pihak-pihak yang bersengketa

untuk: 23

1. Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase;

2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk

“keputusan”;

3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, wajib tunduk menuruti

peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan eropa

Dengan demikian, berdasarkan pasal 377 HIR/705 RBG memberikan ruang

kepada para pihak untuk dapat membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di

luar jalur kekuasaan pengadilan, apabila menghendakinya dengan begitu penyelesaian

23

Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.1

Page 30: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

21

dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim

dikenal dengan nama arbitrase.24

Pada pasal 377/705 RBG yang merupakan landasan dari penyelesaian

arbitrase ini tidak memberikan aturan lebih lanjut mengenai arbitrase, hanya dalam

pasal tersebut menyebutkan “maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan

yang berlaku bagi bangsa eropa”. Maka selanjutnya mengikuti aturan yang mengatur

golongan penduduk eropa, yakni kitab undang-undang hukum acara perdata

(Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV), arbitrase diatur pada buku

ketiga tentang aneka acara.

Mengenai arbitrase, undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de

Bergerlijk rechsvordering atau RV) mengaturnya dalam lima bagian pokok:25

1. Bagian pertama (615-623 Rv): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator

atau arbiter.

2. Bagian kedua (624-630 Rv): pemeriksaan di muka badan arbitrase

3. Bagian ketiga (631-640 Rv): putusan arbitrase

4. Bagian keempat (641-647 Rv): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase.

5. Bagian kelima (647-651 Rv): berakhirnya Acara-acara arbitrase

Kebolehan penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga termaktub dalam

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang

tersebut mengatur mengenai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu

yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya

24

Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, h.2

25 Yahya Harahap, h.2.

Page 31: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

22

dilingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha

negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan mengenai kebolehan penyelesaian

sengketa melalui arbitrase termaktub dalam pasal 58 yang berbunyi: “Upaya

penyelesaian sengketa perdata dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa.”.

Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang perubahan

pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara nasional dan

internasional serta perlunya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa, maka

melalui perangkat perundang-undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah

mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.26

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5, objek sengketa arbitrase hanya sengketa

dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dan

sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dalam undang-undang ini

pun diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa ke dalam beberapa jenis yaitu

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Selanjutnya, pengaturan mengenai arbitrase asing di Indonesia dapat dilihat

dengan disahkannya UU No.3 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas

26

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional (Jakarta: Sinar Grafika,2011), h.7

Page 32: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

23

Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing

Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes

Between States and national of Other States/ (ICSID)). Tujuan menetapkan

persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut untuk mendorong dan membina

perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab dengan

diakui konvensi tersebut oleh Pemeritah Indonesia sedikit banyak akan memberikan

banyak keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak

dapat dibawa ke forum arbitrase. 27

Pengaturan lain mengenai keberlakuan arbitrase asing ialah Keputusan

Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang pengesahan

Covention on the Recognition and Enforment of Foreign Arbitral Award yang lazim

disebut Konvensi New York 1958. Dengan berlakunya Keppres ini Indonesia telah

mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi

pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing di Indonesia namun tidak

terlepas dengan asas resiprositas, dengan kata lain pelaksanaan putusan arbitrase

asing di Indonesia didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”.

Selanjutnya, pada tanggal 1 maret 1990 telah berlaku Peraturan Mahkamah Agung

No.1 Tahun 1999 (Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 1990). Perma No. 1

Tahun 1999 mengatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang bertujuan

27

Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, h.5

Page 33: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

24

untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan

eksekusi putusan arbitrase asing.

C. Asas-asas dalam Arbitrase

Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:28

1. Asas final dan mengikat (binding)

Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur

pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bab VI mengenai pelaksanaan putusan

arbitrase, yang menyatakan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” dan dalam ketentuan pasal 68

ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa: “terhadap putusan ketua

pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang

mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat

diajukan banding atau kasasi”.

Menurut asas ini, putusan dari arbitrase tidak dapat diganggu gugat

walaupun oleh pengadilan, karena dalam putusan arbitrase tidak dapat dilakukan

upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya berfungsi sebagai eksekutor,

yang hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas tersebut, maka

pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor.

28

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan – Persoalan

Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, h.188.

Page 34: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

25

2. Asas resiprositas

Asas ini tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruf a, Undang-undang

No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat

dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan

hubungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lain dimana dalam

hubungan tersebut antara negara sama-sama mengakui putusan arbitrase negara,

begitu juga sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase

asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada

putusan yang diambil di negara asing yang mempuyai ikatan bilateral dengan

Indonesia dan terkait bersama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi

internasional.29

3. Asas ketertiban umum

Asas ketertiban umum tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruh c,

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa putusan arbitrase internasional

hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan yang tidak

bertentangan dengan ketertiban umum. Asas ini mempunyai arti, bahwa apabila

ada putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia,

permintaan eksekusinya dapat ditolak.

29

Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI,

2010), h.20

Page 35: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

26

4. Asas separabilitas

Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh, para pihak dapat memasukan

perjanjian arbitrase yang berupa klasula arbitrase, yang merupakan bagian dari

perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok.

Apabila perjanjian arbitrase menjadi bagian dari perjanjian, maka hal ini sering

disebut klausul arbitrase.

Asas separabilitas atau lebih dikenal dengan severable clause ini,

mempunyai arti bahwa dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan

dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan

perikatan yang lain menjadi batal. Penerapan asas ini pada perjanjian arbitrase

artinya jika perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, klausul atau pasal

mengenai arbitrase masih tetap eksis.30

Mengenai perjanjian arbitrase Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur dalam

pasal 10 Tentang suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh

keadaan, yaitu :

a. Meninggalnya salah satu pihak

b. Bangkrutnya salah satu pihak

c. Novasi

d. Insolvensi salah satu pihak

e. Pewarisan

f. Berlakunya Syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

30

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia

PustakaUtama, 2006), h. 25.

Page 36: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

27

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak

ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase

tersebut; atau

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Jadi, apabila suatu perjanjian pokok batal, tidak menjadikan klausul

arbitrase yang ada didalam perjanjian pokok tersebut ikut batal namun klasul

arbitrase harus tetap dilaksanakan. Karena klausul arbitrase adalah independen

terhadap pemenuhan kewajiban atau perikatan lain dalam perjanjian tersebut dan

karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.31

D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa, para pihak dengan menimbang

keunggulan dan kelemahan suatu jalur yang akan ditempuhnya agar terakomodir

keinginan-keinginan para pihak. Dalam hal ini akan dibahas mengenai keunggulan

dan kelemahan arbitrase. Berikut penjelasan keunggulan dan kelemahan arbitrase,

menurut pendapat para ahli:32

1. Menurut Subekti, untuk dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa

lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa

dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan secara rahasia.

2. HMN Purwosutjipto, memberikan pendapat mengenai arti penting peradilan wasit

(arbitrase) yaitu

31

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan

Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. h.43

32 Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online. h.24

Page 37: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

28

a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat

b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan,

yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.

c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.

d. Putusan Peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui

tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia

inilah yang dikehendaki oleh para pihak.

3. Gatot Sumartono, memberikan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui

arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut:33

a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga

menghemat waktu, biaya, dan tenaga;

b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar

dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakannya,

sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan

c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak

terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

4. Frans Hendra Winarta, memberikan pedapat bahwa lembaga arbitrase mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:34

a. Sidang arbitrase tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para

pihak terjamin.

b. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan adminstratif dapat

dihindari.

c. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan

mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil serta latar belakang yang

cukup mengenai masalah yang disengketakan.

33

Gatot sumartono Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT

Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 13.

34 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional. h. 62-63.

Page 38: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

29

d. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase

didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap pihak

yang bersengketa.

e. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat

penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.

f. Putusan arbitrase mengikat para pihak (Final and binding) dangan melalui

tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.

g. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena

berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

h. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan

perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan keunggulan yang dikemukaan oleh para ahli, maka penyelesaian

melalui arbitrase lebih disukai dan semakin dipertimbangkan selain melalui badan

peradilan. Namun selain memiliki keunggulan, Penyelesaian sengketa melalui

arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu:35

1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan

keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka

diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan

arbitrase tersebut.

3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing masih

menjadi hal yang sulit.

4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-

perusahaan besar. Oleh karena itu untuk, mempertemukan kehendak para pihak

yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

5. Tidak adanya legal precendence atau keterikatan terhadap putusan arbitrase

sebelumnya.36

35

Frans Hendra Winarta, h.63

36 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.15

Page 39: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

30

E. Jenis-Jenis Arbitrase

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Dalam Hal ini

arbitrase mempunyai dua jenis yaitu arbitrase ad hoc (arbitrase Volunter) dan

arbitrase institusional. Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam

arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan

memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.37

Berikut penjelasannya dari kedua jenis arbitrase :38

1. Abitrase ad hoc (arbitrase volunter)

Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang

dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan

tertentu.39 Arbitrase ad hoc pada dasarnya dibentuk setelah sengketa timbul, dan

akan berakhir apabila sudah selesai dan diputuskannya sengketa. Penyelesaian

melalui arbitrase ad hoc, pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian yang

menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang

disepakati oleh para pihak, untuk itu perlu disebutkan dalam klausul arbitrase.40

Sebuah arbitrase ad hoc pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan

37

Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, h.104

38 Elsi Kartika Sari dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. h. 204

39 Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, h.105

40 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia h.27

Page 40: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

31

yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, yakni Misal Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

UNCITRAL Arbitration rules dan ICC Rules.

2. Arbitrase institusional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan

lembaga arbitrase adalah: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

untuk memberikan putusan mengenai sengeta tertentu; Lembaga tersebut juga

dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal yang timbul sengketa”

Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga permanen yang dikelola

oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan

sendiri.41 Badan atau lembaga dalam arbitrase institusional ini tetap berdiri,

meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.42 Arbitrase

institusional dapat ditempuh sebagai penyelesaian sengketa apabila para pihak

sepakat dan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam hal penyelesaian

sengketa.

Arbitrase institusional, ada yang bersifat nasional dan internasional yaitu

suatu badan atau lembaga arbitrase yang berbeda ruang lingkup keberadaannya

serta yuridiksinya. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, misalnya Badan

41

Gatot Soemartono, h.27.

42 Meria utama, Hukum Ekonomi Internsional, h.59

Page 41: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

32

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan

Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) di Indonesia, Nederlands

Arbitrage Institut di Belanda, dan The Japan Commercial Arbitration

Association di Jepang. Selanjutnya Contoh dari Arbitrase institusional yang

bersifat internasional, yakni Court Arbitration of the international chamber of

commerce (ICC), The International Centre For Settlement of Investment

Disputes (ICSID).

Badan atau lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan

internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri, jadi para

pihak terikat segala pengaturan arbitrase, dari mulai biaya, pemilihan arbiter,

prosedur serta tata cara pelaksanaan arbitrase dan lainnya.

F. Perjanjian Arbitrase

Kebolehan para pihak dalam menentukan penyelesaian suatu sengketa yang

timbul maupun yang akan timbul melalui arbitrase didasari pada pasal 7 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasari

kesepakatan para pihak yang dituangkan secara tertulis melalui suatu perjanjian yakni

perjanjian arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud

Perjanjian Arbitrase adalah : “suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang

Page 42: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

33

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya

sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

timbulnya sengketa.”

Pada dasarnya perjanjian arbitrase adalah sebuah ikatan dan kesepakatan di

antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari

perjanjian melalui mekanisme arbitrase dan mengenyampingkan penyelesaian

melalui badan peradilan.43

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi

pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausul arbitrase”,

merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. meskipun

keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak

mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian.

Jadi, pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan

(accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir

tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu jika perjanjian pokok batal maka kontrak

arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Perjanjian arbitrase

terdiri dari dua bentuk, yaitu:

1. Klausul arbitrase atau clause compromissoire (Pactum De Compromittendo)

43

Yahya Harahap, h.62

Page 43: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

34

Klausul arbitrase merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam

perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul

di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan

diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.44 Dapat diketahui bahwa klausul

arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang timbul di masa

yang akan datang.

Dalam klausul arbitrase para pihak bebas menentukan sesuai kesepakatan

dengan menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung,

hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter dan

bahasa yang dipakai dalam proses arbitrase.45

Jadi, pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang tercantum

dalam perjanjian pokok pada dasarnya dibuat untuk penyelesaian sengketa yang

mungkin timbul dimasa mendatang atau dibuat sebelum adanya suatu sengketa

dengan dilengkapi semua hal yang terkait penyelesaian sengketa yang akan

ditempuh sesuai kesepakatan para pihak.

2. Akta Kompromis

Akta kompromis adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah

terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar

44

Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006) h.32

45 Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.32

Page 44: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

35

diputuskan oleh arbitrase.46 Akta kompromis pada dasarnya sebuah perjanjian

arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak dalam

sebuah perjanjian tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak atau dibuat

dalam bentuk akta notaris. Mengenai akta kompromis telah diatur dalam pasal 9

ayat 1 s.d 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, berdasarkan ayat 3 mengenai persyaratan

dalam hal pembuatan akta kompromis harus memuat :

a. Masalah yang dipersengketakan;

b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;

d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e. Nama lengkap sekretaris;

f. Jangka waktu penyelesaian sengketa;

g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung

segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui

arbitrase;

Persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis ini, bersifat wajib dan

jika tidak dipenuhi akan batal demi hukum berdasarkan pasal 9 ayat 4 Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

G. Kewenangan Arbitrase

Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase

yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan

untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari

46

Gatot soemartono, h. 32

Page 45: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

36

perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum

ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan

pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”

Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 5

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, yang berbunyi:

Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak

yang bersengketa”.

Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan

tidak dapat diadakan perdamaian”

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain: perniagaan,

perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi,

suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan

suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui

arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan

demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan

pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.

47

Gunawan Widjaja, h. 117

48 Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, h. 22.

Page 46: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

37

Namun, dalam penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai

beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan

beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase

dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49

Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan

pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa,

yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses

Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat

(1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal

25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam

arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam

rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional,

tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase

dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan.

49

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia &

Internasional, ( Jakarta: Sinar Grafika,2011) h.65.

Page 47: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

38

Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan,

namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan

atau pengeksekusian dari putusan arbitrase.

Page 48: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

39

BAB III

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

A. Jenis Putusan Arbitrase

Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas

putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak

merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi

terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi:

“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan

oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum

Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter

perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap

sebagai suatu putusan arbitrase international”

Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan

arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor

tertorial.50 Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang

dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar

wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi

(enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan

arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian

50

Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.336

Page 49: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

40

sengketa melalui arbitrase. Artinya apabila para pihak menggunakan hukum asing

sebagai dasar penyelesaian sengketa, walaupun putusannya dijatuhkan di wilayah

hukum Indonesia, putusan tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.51

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang menjadi ciri putusan arbitrase

internasional didasarkan pada faktor wilayah atau territory dan penggunaan pilihan

hukum dalam proses arbitrase. Sehingga dapat dikatakan bahwa, putusan arbitrase

nasional adalah putusan arbitrase yang diputuskan oleh jenis arbitrase ad hoc maupun

institusional yang dijatuhkan di wilayah hukum Indonesia dan mempergunakan

hukum yang berlaku di Indonesia.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan sesuai dari jenis

putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional, yang

akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional

Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus memenuhi

apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:

a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase

diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada

panitera pengadilan negeri.

51

Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h. 70

Page 50: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

41

b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian

akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan

arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut

merupakan akta pendaftaran.

c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli

pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada

panitera pengadilan negeri.

d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaram

dibebankan kepada para pihak.

Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus memenuhi pasal 59

yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase berupa lembar asli atau salinan

otentik, dalam waktu paling 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan

diucapkan, kepada panitera pengadilan negeri.

Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara sukarela, namun

jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah ketua pengadilan negeri atas

permohonan salah satu pihak sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun

dengan memenuhi pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:

1. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi

didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.

2. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih

dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan

Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

umum.

3. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak

permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua

Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa pun.

Page 51: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

42

4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan

dari putusan arbitrase.

Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan salah satu

pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, Pada

permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase

memenuhi kriteria, sebagai berikut:52

1. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan

melalui arbitrase.

2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam

suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan.

4. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak

bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum.

Jika permohonan memenuhi ketentuan tersebut, perintah Ketua

Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara

perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun,

apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat

(2), Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi,

atas penolakan yang menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat

dilakukan upaya hukum apapun.

52

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan

Internasional. h. 71.

Page 52: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

43

2. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional

Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia

didasarkan pada ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pada

perkembangannya Indonesia telah meratifikasi konvensi New York dan telah

mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34

Tahun 1981 dan diterbitkannya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan

Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958, dan selanjutnya

mengenai pengaturan tentang pelaksanaan arbitarase internasional di Indonesia

terdapat di dalam pasal 65 s.d pasal 69 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.53

Kewenangan untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Permohonan pelaksanaan dapat dilakukan setelah putusan arbitrase internasional

diserahkan dan didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan

disertai dengan hal-hal yang tercantum dalam pasal 67 angka (2) yang bersifat

administratif. Tetapi sebelum itu perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan

atas putusan arbitrase internasional, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di

Indonesia sesuai pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi, sebagai berikut:

53

Tim pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI,

2010), h.27

Page 53: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

44

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis

arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada

perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai

pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf

a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia

termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf

a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang

tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia

setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat; dan

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf

a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu

pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh

eksekuatur dari mahkamah Agung Republik Indonesia yang

selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Setelah didaftarkannya putusan arbitrase Internasional kepada Panitera

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya dapat diajukan permohonan

pelaksanaan arbitrase internasional ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas

putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan

putusan arbitrase Internasional tidak dapat ajukan upaya hukum banding atau

kasasi. Namun, apabila permohonan pelaksanaaan di tolak untuk diakui dan

dilaksanakan, terbuka upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dengan jangka

waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari untuk mempertimbangkan dan

memutuskan sejak permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

Namun, eksekusi terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di

Indonesia sering kali dapat penolakan dari pengadilan sehingga putusan arbitrase

masih sulit untuk dilaksanakan di Indonesia, walaupun Undang-Undang No.30

Page 54: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

45

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur

dengan tegas. Menurut M. Husseyn Umar, yang merupakan wakil ketua Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Masalah utama yang sering dipersoalkan

dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sehingga mendapat penolakan

dari pengadilan adalah dengan adanya alasan bahwa putusan bertentangan dengan

public policy atau ketertiban umum, namun menurutnya penerapan kriteria

tersebut secara konkret tidak selalui jelas dan menimbulkan suatu ketidakpastian

hukum.54

Sehingga Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional

mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan memberikan kesan

umum bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”

dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di

Indonesia.

C. Pembatalan Putusan Arbitrase

Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, atau merupakan

putusan pada tingkat terakhir serta mengikat para pihak sehingga tidak dapat diajukan

upaya hukum apapun. Namun menurut Yahya Harahap, mengenai putusan arbitrase

yang bersifat final dan mengikat tersebut, terdapat pengecualian atas alasan yang

sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk

54

M. Husseyn Umar, Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di

Indonesia, artikel diakses 25 April 2015

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-

putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-.

Page 55: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

46

permintaan annulment atau pembatalan putusan,55

hal tersebut senada dengan

pernyataan dari Bambang Sutiyoso dalam bukunya penyelesaian sengketa bisnis,

bahwa pada putusan arbitrase dapat dilakukan pembatalan jika terdapat hal-hal yang

bersifat luar biasa.56

Akibat dari adanya pembatalan putusan arbitrase adalah putusan

tersebut sudah dianggap lenyap secara keseluruhan wujud fisik maupun nilai

yuridisnya, atau seolah-olah sengketa tersebut belum pernah diproses dan diputus dan

secara mutlak putusan arbitrase tersebut dianggap belum pernah ada.57

Mengenai pembatalan putusan arbitrase, tentunya tak semudah yang dikira

karena harus memenuhi unsur-unsur yang dianggap patut untuk dijadikan alasan

terhadap pembatalan. Menurut ketentuan Reglement of de rechtsvordering,

Staatsblaad 1847:52 (R.V) yang berlaku, sebelum berlakunya Undang-undang No.30

Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang merupakan

pedoman beracara bagi pemeriksaan sengketa melalui lembaga arbitrase di Indonesia,

alasan-alasan yang dapat dipakai oleh para pihak untuk mengajukkan bantahan atau

perlawanan terhadap putusan arbitrase lebih bervariasi. Menurut pasal 643 R.v.,

putusan arbitrase hanya dapat dilawan atau dibantah sebagai tidak sah dalam hal-hal

sebagai berikut :58

55

Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990, h.277.

56 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006) h. 141.

57 Yahya Harahap, h.332.

58 BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 (Jakarta: BANI

Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), 2009)). h.14-15

Page 56: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

47

1. Apabila putusan itu telah diberikan melewati batas-batas persetujuan;

2. Apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetujuan yang batal atau telah

lewat waktunya;

3. Apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah arbiter yang tidak berwenang

memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lain;

4. Apabila dalam putusan telah diputus tentang hal-hal yang tidak telah dituntut atau

putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut;

5. Apabila putusan arbiter itu mengandung putusan-putusan yang satu sama lain

bertentangan:

6. Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memberikan putusan tentang satu atau

beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk

diputus;

7. Apabila para wasit telah melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus

diturut atas ancaman kebatalan; tetapi ini hanya berlaku apabila menurut

ketentuan-ketentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan, para arbiter diwajibkan

mengikuti hukum acara biasa yang berlaku di muka pengadilan;

8. Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang setelah keputusan

itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu;

9. Apabila, setelah putusan diberikan, surat-surat yang menentukan, yang dahulu

disembunyikan oleh para pihak, ditemukan lagi.

10. Apabila putusan kemudian diketahui bahwa putusan tersebut didasarkan pada

kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama berjalannya pemeriksaan.

Sedangkan setelah adanya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengenai pembatalan putusan

arbitrase hanya dapat diajukan, jika putusan arbitrase diduga mengandung unsur-

unsur yang telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi sebagai berikut:

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-

unsur antara lain sebagai berikut :

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa

Page 57: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

48

Selanjutnya penjelasan Pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan

arbitrase, yang berbunyi :

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan

pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut

terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan

sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan”

Upaya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase di Indonesia menurut

Munir Fuady Hanya terbatas pada Pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999,59

yang menurut Ramlan ginting, Pasal 70 tersebut bersifat alternatif, artinya masing-

masing alasan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan

arbitrase.60

Namun masih terjadi ketidakseragaman pemahaman pasal 70 dalam

prakteknya, menurut Gatot Sumartono ketidakseragaman pemahaman penafsiran

pasal 70, akibat dari rumusan kata “antara lain” dalam Pasal 70 tersebut sehingga

banyak dimanfaatkan oleh pengacara dan hakim untuk mencari-cari (tambahan)

alasan bagi pembatalan putusan arbitrase, dengan pencampuradukan berbagai alasan,

akhirnya sulit dibedakan antara alasan-alasan yang seharusnya digunakan untuk

menolak “mengakui dan melaksanakan” putusan arbitrase (Misal: alasan

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum) dan alasan-alasan untuk

59

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2000) h.112

60 Ramlan ginting, Transaksi binis dan Perbankan Internasional (Jakarta: Salemba Empat,

2007) h.176

Page 58: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

49

membatalkan putusan arbitrase. Dengan kata lain, frasa “antara lain” menimbulkan

penafsiran bahwa atas unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase tidak

terbatas hanya pada ketiga unsur yang tercantum dalam pasal 70, artinya putusan

arbitrase dapat dibatalkan dengan unsur diluar pasal 70 tersebut. Atas kemungkinan

pembatalan putusan arbitrase di luar pasal 70 juga disampaikan oleh Hikmahanto

Juwana yang menyebut bahwa berdasar dari kewenangan prosedur pengambilan

putusan yang antara lain dalam proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum

yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa, lazim dipergunakan

sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.61

Selanjutnya, menurut Priyatna

Abdurrasyid, Pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan atas putusan dengan

kewenangan yang berlebihan (dalam hal ini putusan dapat dikesampingkan) dan

sebagian yuridiksi yang berlebihan.62

Penafsiran yang berbeda timbul tidak hanya

dari kata “antara lain” tapi berasal kata “dapat” dalam pasal 70, Menurut Erman

Rajagukguk kata “dapat” tersebut dapat diartikan bahwa para pihak tidak wajib

mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan karena

kata dapat sendiri mengandung makna tidak memaksa atau imperatif sehingga

terhadap hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase

61

Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan

Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002. h.68

62 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS),

(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.122

Page 59: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

50

nasional yang telah ditentukan oleh pasal 70 dapat dikesampingkan, dasarnya adalah

pasal 1338 KUH Perdata.63

Selain ketidakseragaman penafsiran pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 70 tersebut pun

tidak menyebut dan menjelaskan apakah pembatalan putusan arbitrase tersebut

berlaku pula terhadap putusan arbitrase internasional. Namun, mengenai pembatalan

putusan arbitrase internasional, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

menegaskan bahwa pasal V New York Convention 1958 yang telah diratifikasi

Indonesia melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1998 telah menyebut syarat-

syarat penolakan atas putusan arbitrase internasional. Adapun pembatalan putusan

arbitrase internasional merupakan kewenangan negara dimana putusan arbitrase itu

dijatuhkan termasuk beberapa pilihan hukum yang disepakati para pihak dan arbiter.64

Sehingga, dapat diketahui bahwa putusan arbitrase internasional yang dapat

dibatalkan di Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, adalah putusan

arbitrase yang dijatuhkan di wilayah indonesia.

Selanjutnya, mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase yang

telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

63

Erman Rajagukguk, Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17 April

2015 dari http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-hukum-1429235310/1

64 Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional .Artikel

diakses pada tanggal 12 April 2015 dari

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-tak-bisa-batalkan-putusan-

arbitrase-internasional

Page 60: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

51

Alternatif Penyelesaian Sengketa pada bab VII pada pasal 70 s.d pasal 72 tentang

Pembatalan Putusan Arbitrase, akan diuraikan sebagai berikut:

1. Memenuhi alasan pembatalan menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi:

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung

unsur-unsur antara lain sebagai berikut :

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh

salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Mengenai unsur-unsur pembatalan pasal 70, menurut penjelasan pasal 70

tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang

menetapkan terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat

digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau

menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan

pengujian materil di Mahkamah Konstitusi, dan merupakan objek analisis dalam

penelitian ini, dan penjelasan pasal 70 oleh Mahkamah Kontitusi yang pada

putusannya bersifat final dan binding telah dinyatakan bertentangan dengan UUD

1945 dan penjelasan pasal 70 telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

Page 61: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

52

2. Mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara

tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh)

hari terhitung sejaak hari penyerahan dan pendaftaran ptusan arbitrase kepada

Panitera Pengadilan Negeri.

3. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diajukan.

4. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Pengadilan Negeri

menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan

arbitrase.

5. Terhadap putusan pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke

Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir. permohonan

banding dilakukan hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan

pada ketiga alasan pembatalan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

6. Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan serta memutuskan permohonan

banding atas putusan pembatalan arbitrase yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan

Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding

tersebut, diterima oleh Mahkamah Agung.

Page 62: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

53

BAB IV

UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014

1. Posisi Kasus

Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 diawali

ketika pada tanggal 6 Februari 2014, diajukan perkara pengujian Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh

pemohon pertama yaitu Ir. Darma Ambiar, M.M. Pemohon adalah Direktur PT.

Minerina Cipta Guna (PT.MCG) dan pemohon kedua yaitu Drs. Sujana

Sulaeman. Pemohon adalah Direktur PT. Bangun Bumi Bersatu (PT.BBB).65

Objek permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah penjelasan pasal

70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan

permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan

dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa

alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan

pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar oertimbangan bagi hakim

untuk mengabulkan atau menolak permohonan”

65

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.1.

Page 63: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

54

Dengan adanya penjelan pasal 70, para pemohon yang dalam kedudukan

hukum (legal standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan

bukti KTP dan sebagai direksi dar PT. Minerina Cipta Guna serta dan direksi PT.

Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian

konstitusional. Kerugian tersebut akan dialami oleh para pemohon dengan alasan

bahwa, pemohon merupakan pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan putusan perkara No.

443/I/ARB-BANI/2012, selanjutnya pemohon mengajukan permohonan

pembatalan putusan arbitrase di Bani ke Pengadilan Negeri Bandung dan Telah

diputus dengan register perkara No.57/Pdt/PPN-BDG/2013. Kemudian atas

Putusan PN Bandung telah diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi

Jawa Barat dan banten (DJBB) yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat

diajukannya permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-undang No.30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah

satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung adalah

terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut.66

Hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang telah

dirugikan dengan adanya penjelasan pasal 70 adalah Pasal 27 ayat (1) dan Pasal

28D ayat 1 yang berbunyi:

66

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.4.

Page 64: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

55

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Setiap warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pada pokok permohonan, pemohon berpendapat bahwa penjelasan pasal

70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang

bertentangan dengan substansi pokok pasalnya. Bahwa norma dan ketentuan

Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa berbunyi: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat

mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga

mengandung unsur-unsur...”, sedangkan penjelasan pasal tersebut berbunyi:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan dipengadilan. alasan-alasan

permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan

dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa

alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan

pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim

untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh pasal 70 Undang-Undang

No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

adalah kata “diduga”, sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan kata-kata

“harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”. Yang berarti bukan lagi

dugaan, melainkan sudah terbukti dan menurut pemohon klausul yang tertuang

dalam penjelasan pasal 70 tersebut mengenai pembuktian dengan putusan

Page 65: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

56

pengadilan merupakan sebuah norma baru yang berbeda, dan bahkan

bertentangan, atau semacam sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang

terkandung di dalam substansi dan pokok isi pasal 70 yang dijelaskannya;

sehingga penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa telah membuat adanya ketidakpastian hukum

bagi para pemohon karena telah menimbulkan norma baru dan membuat

ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau

setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma

pokok yang dituangkan oleh pasal yang dijelaskan.

Selanjutnya, pemohon menjelaskan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-

Undang No. 30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan. Pelaksanaan

ketentuan pasal 70 Undang-Undang No. 30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan

batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif yang dituangkan di dalam

ketentuan pasal 71 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat

30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada

Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan

bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan pembatalan

putusan arbitrase, maka menurut pemohon hampir bisa dipastikan tidak akan

Page 66: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

57

pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat

memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan

Pengadian Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan

putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang

No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Selanjutnya menurut pemohon faktanya, dalam sistem hukum dinegara manapun,

hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang meliputi

penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang dapat

memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hanya 30 hari (kalender). Sehingga

ketentuan pasal 70 dan penjelasannya dikaitkan dengan pasal 71 tidak dapat

dilaksanakan, membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum serta justru

menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang telah

diberikan sendiri oleh Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terkait dengan pembatalan putusan

arbitrase.

Sehingga menurut pemohon penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30

tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menciptakan

kerancuan dan pertentangan hukum. Akibat adanya perbedaan norma antara

substansi pokok atau norma verbatim pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang

1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan yang terkandung

dalam penjelasanya, para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum

karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan

Page 67: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

58

pembatalan putusan arbitrase tersebut, selanjutnya menurut pemohon adanya

kerancuan dan ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang

sebenarnya diberikan haknya sendiri oleh undang-undang, namun dinegasikan

sendiri pula secara implisit melalui penjelasan, bukan redaksi langsung dari

undang-undangnya. Tegasnya, di satu sisi Undang-Undang No.30 Tahun 1999

Teentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan pintu

untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang diduga

memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan yang terdapat pada pasal

70, tetapi di sisi lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh penjelasan pasal.

Kesimpulan yang diuraikan pemohon pada pokok permohonan atas

pengujian penjelasan pasal 70 sehingga dapat menimbulkan kerugian

konstitusional pemohon, yaitu:

1. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa mengandung norma baru atau perubahan

terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya.

2. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak operasional dan menghalangi hak

hukum pencari keadilan.

3. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-undang No.30 Tentang 1999

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menciptakan kerancuan dan

pertentangan hukum.

Page 68: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

59

Sehingga para pemohon meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

untuk memutuskan:67

1. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya;

2. Menyatakan penjelasan pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan UUD 1945;

3. Menyatakan penjelasan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-

XII/2014

Atas pengujian konstitusionalitas penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap

Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama

permohonan para pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan DPR,

keterangan pihak terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh

para pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para pemohon dan presiden

sebagaimana yang termuat pada bagian duduk perkara pada putusan Mahkamah

Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, maka Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki

bebarapa pertimbangan, antara lain sebagai berikut:

67

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.16.

Page 69: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

60

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian penjelasan pasal 70

Undang-Undang 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa terhadap UUD NRI 1945

Berdasarkan pasal 24 ayat 1 UUD 1945, pasal 10 ayat 1 huruf a

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi dan pasal 29 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan

konstitusional mahkamah adalah mengadili pada tingkat tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap UUD 1945 dan permohonan pemohon adalah untuk menguji

konstitusionalitas undang-undang, in casu penjelasan pasal 70 Undang-

Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk

mengadili permohonan.

2. Kedudukan hukum (legal standing) para pemohon untuk mengajukan

permohonan a quo.

Menimbang bahwa pemohon I dan pemohon II adalah perseorangan

warga Indonesia yang masing-masing adalah direktur PT. Bangun Bumi

Bersatu (PT.BBB) dan PT. Minerna Cipta Guna (PT.MCG), yang merupakan

perusahaan yang bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),

Page 70: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

61

pemohon dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase di PN Bandung,

Termohon banding di MA dengan salah satu alasan banding yang diajukan

pemohon banding adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut sehingga

mengalami, atau setidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional

dengan adanya penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena menimbulkan norma

baru yang bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam pasal 70

Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, sehingga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana dijamin

dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Maka menurut

Mahkamah, para pemohon mempunyai hak konstitusional yang dirugikan

oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian

tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal

verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma undang-undang

yang dimohonkan pengujian. Sehingga terdapat kemungkinan apabila

permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan

tidak akan terjadi. Dengan demikian menurut mahkamah, para pemohon

memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan

a quo;

Page 71: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

62

3. Pertimbangan mahkamah terhadap pokok permohonan

Mengenai pokok permohonan para pemohon, mahkamah memberikan

pendapat sebagai berikut:68

a. Menurut mahkamah dalil para pemohon bahwa penjelasan tersebut

menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti

menurut hukum. Pokok permasalahan dalam pengujian konstitusional

tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam

penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan pengertian

hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan

putusan arbitrase. Adapun frasa “harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan” yang terdapat dalam penjelasan pasal tersebut memberikan

pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan

putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud

dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan.

Menurut Mahkamah penjelasan pasal tersebut mengubah norma pasal dan

menimbulkan norma baru. Norma dalam pasal hanya mensyaratkan

adanya dugaan yang bersifat a priori dari pemohon sedangkan dalam

68

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. h.72

Page 72: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

63

penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti

berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori.

b. Menurut mahkamah, pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut sudah cukup jelas

(expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru

menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak

multi tafsir, yaitu:69

1) Bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan

permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai

syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau

2) Bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang

pengadilan mengenai permohonan pembatalan.

Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi

terjadinya ketidakpastian hukum. Sehingga menimbulkan ketidakadilan.

Selain itu menurut Mahkamah, manakala tafsir yang pertama yang

dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan

pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan.

Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip

arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara ain, dalam Pasal 71

Undang-undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

69

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.74-75

Page 73: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

64

Penyelesaian Sengketa yang menyatakan: “Permohonan pembatalan

putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran

putusan arbitrase Kepada panitera Pengadilan Negeri”. Apabila harus

menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30

(tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi.

Berdasarkan seluruh pertimbang hukum di atas, Mahkamah berpendapat

bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan

ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

Dengan demikian permohonan para pemohonan beralasan menurut hukum.

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,

Mahkamah berkesimpulan sebagai berikut:

1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

2. Para pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

3. Pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum

Selanjutnya atas dasar uraian pertimbangan hukum maka Mahkamah

Konstitusi memberikan putusan yang tertuang dalam Amar Putusan, yang

menyatakan: 70

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;

a. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara

70

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.76

Page 74: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

65

Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3872) Bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat

c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

a. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian penjelasan pasal 70

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945.

Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan terdapat pula dalam

Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang mahkamah

Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang salah satunya mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 yang pada

objek permohonannya untuk melakukan pengujian penjelasan pasal 70

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945, yaitu khususnya terhadap Pasal

27 (1) dan 28D (1) UUD 1945 yang menurut pemohon pasal tersebut

Page 75: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

66

mengandung hak konstitusonal pemohon yang diberikan oleh UUD 1945

telah dirugikan akibat berlakunya penjelasan pasal 70 tersebut.

Selanjutnya pemohon telah menguraikan penjelasan pasal 70 yang

dianggap telah melanggar hak konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada pasal 51 ayat (3) UU No.24 Tahun

2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa dalam permohonannya, pemohon

wajib menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau

bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Selanjutnya berdasarkan yurisprudensi pada Putusan Perkara No.005/PUU-

III/2005,71

penjelasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan

satu kesatuan dengan Undang-Undang yang bersangkutan, oleh karena itu

penjelasan pasal 70 dapat diajukan sebagai objek permohonan dalam

pengujian materil ke Mahkamah Kontitusi. Karena dalam praktek, Menurut

Jimly Asshiddiqqie sering ditemukan kenyataan bahwa materi yang

dipermasalahkan oleh pemohon bukanlah norma yang terdapat dalam Pasal

undang-undang, melainkan dalam lampiran undang-undang.72

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang menguji penjelasan pasal 70 yang merupakan satu kesatuan atas

71

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-III/2005 Perkara Pengujian

Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-undang dasar

1945. Dalam putusan ini yang dipermasalahkan mengenai Penjelasan Pasal 59 (1) terhadap UUD 1945.

h.29

72 Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi Press,

2006) h. 52

Page 76: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

67

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian terhadap Undang-undang Dasar NRI 1945.

b. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon lebih tepat sebagai badan

hukum privat.

Pemohon atau pihak yang mengajukan permohonan perkara konstitusi

diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki

kedudukan hukum atau legal standing, sehingga permohonan yang

diajukannya dapat diperiksa, diadili dan diputus sebagaimana mestinya oleh

Mahkamah Konstitusi dengan memenuhi persyaratan formal sebagaimana

yang ditentukan Undang-undang maupun syarat materiil berupa kerugian hak

atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang

sedang dipersoalkan.73

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, menentukan bahwa:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-

undang yaitu (a) perorangan warga Indonesia; (b) kesatuan

masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diiatur dalam undang-undang; (c) badan hukum

publik atau privat atau (d) Lembaga Negara.

Selajutnya, penjelasan pasal 51 ayat (1), memperjelas bahwa:

“yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang

diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945”, dan “Yang dimaksud

dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai

kepentingan sama”.

73

Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.. h. 69

Page 77: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

68

Dengan demikian. dapat diketahui bahwa setiap pemohon harus

memenuhi kriteria dalam mengajukan permohonan perkara konstitusi:74

1. Salah satu dari ke empat kelompok subjek hukum, yang tercantum

pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

2. Subjek hukum tersebut mempunyai hak-hak atau kewenangan-

kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945

3. Hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah

dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian

dari undang-undang yang dipersoalkan tersebut.

4. Adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti

mempunyai hubungan kausal (causal verband) dengan berlakuanya

undang-undang tersebut.

5. Apabila permohonan yang bersangkutan memang dapat dipulihkan

kembali dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud.

Dalam putusan Mahkamah Konsitusi No.15/PUU-XII/2014,

kedudukan hukum (legal standing) para pemohon sebagai perorangan warga

negara Indonesia berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi PT. Minerina

Cipta Guna serta dan direksi PT. Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau

setidaknya akan mengalami kerugian konstitusional. Kerugian tersebut akan

dialami oleh para pemohon dengan alasan bahwa, pemohon merupakan pihak

yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan

telah diputus dengan putusan perkara No. 443/I/ARB-BANI/2012, selanjutnya

pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI ke

Pengadilan Negeri Bandung dan telah diputus dengan register perkara

74

Jimly Asshiddiqqie, h.70

Page 78: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

69

No.57/Pdt/PPN-BDG/2013. Kemudian atas putusan PN Bandung telah

diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan banten

(DJBB) yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat diajukannya

permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah

satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung

adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut.

Sebagai perorangan warga Indonesia dan sebagai direksi Pt.BBB dan

PT.MCG para pemohon mengatakan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-

Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa telah merugikan hak konstitusionalnya, yang tercantum dalam

pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945. Memang benar bahwa,

perorangan warga Indonesia merupakan salah satu subjek hukum yang yang

tercantum pasal 51 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi, dan pemohon selanjutnya dapat menerangkan haknya

yang telah disediakan oleh UUD 1945 yaitu pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1)

UUD 1945 berpotensial dapat dipastikan akan terjadi akibat dari berlakunya

penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, menurut penulis lebih tepat bahwa

kedudukan hukum (legal standing) dari para pemohon adalah sebagai

perusahaaan (badan hukum privat), jika menelaah pada alasan-alasan yang

diberikan pemohon atas kerugian konstitusionalnya yang terlibat adalah

Page 79: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

70

perusahaan, khususnya PT.MCG dan PT.BBB dan pemohon sebagai direksi

dari perusahaan tersebut. Kerena menurut I Dewa Gede Palguna yang

merupakan salah seorang majelis hakim Mahkamah Konstitusi, sengketa

arbitrase itu melibatkan perusahaan bukan perseorangan, maka akan lebih

baik jika kedudukan hukum yang mengajukan permohonan terhadap Undang-

undang arbitrase adalah perusahaan (badan hukum), saran tersebut

dikemukakan dalam sidang perdana pengujian pasal 67 ayat (1) dan pasal 71

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa di gedung Mahkamah kontitusi.75

c. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa menimbulkan ketidakpatian hukum.

Sebelum penulis menganalisis ke dalam pokok permohonan, terlebih

dahulu disajikan selengkapnya isi batang tubuh pasal 70 dan isi penjelasan

pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut:

Isi norma pada batang tubuh pasal 70 menyatakan bahwa:

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga

mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut :

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

75

Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat. Artikel di

akses pada tanggal 12 April 2015.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkan-hak-pembatalan-putusan--uu-

arbitrase-digugat

Page 80: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

71

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh

salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Kemudian, Pasal 70 mempunyai Penjelasan yang menyatakan

bahwa:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap

putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan negeri.

Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus

dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan

menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,

putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan

bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.

Menurut penulis, pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya mengatur

mengenai tiga unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase yang bersifat

limitatif, tetapi disisi lain pada penjelasan pasal 70 menentukan bahwa unsur-

unsur yang ada pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan adanya putusan

pengadilan, justru pembuktian dengan menggunakan putusan pengadilan

menjadi kontradiktif sebab putusan pengadilan mengandung unsur kepastian,

dan bukan merupakan suatu penjelasan pasal melainkan berubah menjadi

ketentuan normatif baru yang tak selaras dan sesuai dengan maksud dan arti

dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur didalam pasal yang

dijelaskan. Dengan begitu penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru atas

pasal 70 tersebut yang seharusnya hanya menjelaskan mengenai alasan

pembatalan yang ada pada batang tubuh pasal 70 Undang-Undang No.30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Page 81: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

72

Dengan begitu penulis, setuju dengan pendapat mahkamah bahwa

dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari

pemohon sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi

sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori,

sehingga penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru dan menimbulkan

ketidakpastian hukum.

Berdasarkan lampiran II Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan peraturan perundang-undangan, pada angka 176 tentang

penjelasan menyatakan bahwa penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi

pembentukan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.

oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat

atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan

contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang

tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang

dimaksud.

Lebih lanjut, angka 186 menyatakan bahwa rumusan penjelasan pasal

demi pasal harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh

2. Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang

ada dalam batang tubuh

3. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam

batang tubuh

4. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa atau pengertian yang telah

dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau

Page 82: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

73

5. tidak memuat rumusan pendelegasian.

Selanjutnya, penulis sependapat dengan Mahkamah bahwa rumusan

pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa telah jelas (expresis verbis), dengan mengatur ketiga

unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Tetapi penjelasan pasal

yang menyatakan unsur-unsur tersebut agar dibuktikan dengan putusan

pengadilan, justru menimbulkan multitafsir, dengan timbul dua tafsir bahwa

unsur-unsur pasal 70 tersebut diperiksa dan diputus lebih dahulu oleh

pengadilan yang berbeda atau diperiksa dan diputus pengadilan tempat

diajukannya permohonan pembatalan.

Lebih lanjut bahwa, pasal 70 sendiri terkait dengan limitasi/batasan

waktu yang diatur dalam pasal 71, yang mengatur bahwa permohonan

pembatalan harus diajukan paling lama setelah 30 (tiga puluh) hari sejak

pendaftaran putusan arbitrase di PN. Timbul pertanyaan apakah

dimungkinkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas dugaan

unsur pembatalan yang bernafaskan pidana yang harus melalui proses pidana

yang telah kita ketahui bersama harus melewati proses penyelidikan,

penyidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan dapat diputus dalam

jangka waktu 30 (hari)? Sementara azas peradilan cepat, sederhana dan biaya

ringan tidak relevan dalam segi praktek pada masa sekarang ini. dan perlu

diingat bahwa arbitrase sendiri merupakan sebuah alternatif penyelesaian

Page 83: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

74

sengketa di luar peradilan, arbitrase dipilih mengingat kelemahan-kelamahan

yang ada pada badan peradilan salah satunya adalah time consuming.

Akibatnya di dalam praktik, timbul ketidakseragaman putusan Pengadilan

Negeri, dalam mempertimbangkan wajib atau tidaknya disertakan putusan

pengadilan. Dengan contoh, perkara PT. krakatau Steel melawan International

Piping Product, Inc. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertimbangan

hakim pada putusan tersebut menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan

pembatalan putusan arbitrase cukup dituangkan dalam putusan hakim yang

memeriksa perkara permohonan tersebut.76

Secara nyata ketentuan pasal 70 dan penjelasan pasal 70 dikaitkan

dengan pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, selain itu membuat para pihak

kebingungan atas ketidakpastian hukum pada pengaturan hukum mengenai

pembatalan putusan arbitrase dan justru menghalangi hak para pencari

keadilan untuk menggunakan haknya yang sudah diberikan sendiri oleh

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 khususnya pada pasal 70 terkait dengan

pembatalan putusan arbitrase.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa penjelasan pasal 70

mengandung norma baru dan multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan

dan ketidakpastian hukum.

76

Hukum Online, beberapa kelemahan ketentuan pembatalan putusan arbitrase. Artikel

diakses pada 11 April 2015, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9134/beberapa-kelemahan-

ketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase .

Page 84: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

75

B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 terhadap

upaya pembatalan putusan arbitrase

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum.77

Dalam penelitian ini, akibat hukum yang dimaksud adalah akibat hukum yang

ditimbulkan oleh lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase di Indonesia.

Upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan

mengikat, menurut Yahya Harahap ada pengecualian atas alasan yang sangat

eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk annulment

atau pembatalan.78

Ketentuan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia termaktub

dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa pada pasal 70 dan pasal tersebut telah menentukan bahwa

putusan arbitrase hanya dapat diajukan permohonan pembatalan apabila mengandung

unsur-unsur: unsur pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam

pemeriksanaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; unsur

kedua setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan; atau unsur ketiga putusan diambil dari hasil tipu

muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa dan

77

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2009), h.296.

78 Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan

prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990,h. 277.

Page 85: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

76

menurut penjelasan pasal 70 tersebut ketiga unsur pembatalan putusan arbitrase harus

dibuktikan melalui putusan pengadilan.

Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 yang

bersifat final dan mengikat (binding), menyatakan bahwa penjelasan pasal 70

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga

bertentangan dengan Pasal 27(1) dan 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan

menyatakan pula bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70

menjadi jelas, karna tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan yang

memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 Undang-Undang

No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya

mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal mengajukan permohonan

pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur pembatalan yang tercantum dalam

pasal 70 tersebut tidak harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan,

yang dapat diajukan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan dan

menolak permohonan pembatalan yang merupakan ketentuan penjelasan pasal 70.

Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan pasal

70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS

Page 86: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

77

harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu Peraturan

Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap pembatalan putusan

arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang menimbulkan norma

baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas dan berdiri sendiri. Namun

terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana, penulis berkesimpulan bahwa

harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur lebih lanjut mengenai mekanisme

upaya pembatalan putusan arbitrase.

Menurut Maria Farida Indrati S, dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan;

Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan” apabila suatu ketentuan dalam undang-undang

memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak

menyebutkan secara tegas untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka Presiden

dapat membentuk Peraturan Pemerintah sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan

lebih lanjut dari undang-undang tersebut.79

Pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang yang dengan tegas

memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah dilandasi suatu kenyataan,

sebagaimana ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan delegasi

kepada setiap Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang, berikut

bunyi pasal 5 ayat (2) UUD 1945: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah

untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

79

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (Jenis,Fungsi, Materi Muatan).

(Yogyakarta: Kanisius, 2007). h.222.

Page 87: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

78

Artinya dengan ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tersebut menjadi

dasar hukum bagi Presiden untuk menerbitkan Peraturan pemerintah sebagai tindak

lanjut penjelasan dan penjabaran dalam ketentuan pasal 70 Undang-Undang No.30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sehingga

memberikan kepastian hukum bagi para pihak bersengketa yang ingin menyelesaikan

permasalahannya melalui jalan arbitrase, selain itu pula dapat memberikan kejelasan

para pihak di saat ingin menempuh upaya membatalkan putusan Arbitrase.

Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa perdagangan diluar

pengadilan yang bertujuan mencapai keadilan, sehingga terwujud perdamaian antar

pihak yang bersengketa. Sehingga sistem arbitrase perlu dipertahankan, sebagaimana

firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat (9) dikatakan:

ن هما فإن ب غت إحداها على وإن طائفتان من المؤمنني اق تت لوا فأصلحوا ب ي تفيء إل أمر الل ن هما الخرى ف قاتلوا الت ت بغي حت فإن فاءت فأصلحوا ب ي

ب المقسطني بالعدل وأقسطوا .إن الل ي

“ Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka

damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap

(golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga

golongan itu kembali (kepada perintah Allah SWT) maka damaikanlah antara

keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah SWT mencintai

orang-orang yang berlaku adil.

Page 88: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

79

Selain itu, dalil arbitrase dalam menengahi sengketa perdagangan demi

tercapainya perdamaian antar pihak yang bersengketa, diperkuat oleh firman Allah

SWT dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat (114) :

ر ف كثري من نواهم إل من أمر بصدقة أو معروف أو إصلح ب ني الناس ل خي لك ابتغاء مرضات الل فسوف ن ؤتيه أجرا عظيما ﴿ ﴾١١١ومن ي فعل ذ

“ Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali

pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat

kebaikan, atau mengadakan perdamaian antara manusia. Barangsiapa berbuat

demikian karena mencapai keridhaan Allah SWT maka kelak kami akan memberinya

pahala yang besar”.

Dengan demikian, pengaturan hukum arbitrase di Indonesia harus diperjelas

agar berjalan efektif, efisien dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang

ingin menyelesaikan perselisihan melalui jalur arbitrase.

Page 89: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

80

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan

kesimpulan dan saran, sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-Undang No.30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur

pada bab VII pada pasal 70 sampai dengan pasal 72 mengenai pembatalan

putusan arbitrase yaitu memenuhi alasan pembatalan menurut pasal 70 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, yaitu pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,

setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah

putusan diambil dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh

pihak lawan ditemukan atau ketiga putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang

dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Adapun unsur-

unsur pembatalan dalam pasal 70, menurut penjelasan pasal 70 tersebut harus

dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang menetapkan

terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat digunakan

menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan pengujian

materil di Mahkamah Konstitusi, dan penjelasan pasal tersebut telah dinyatakan

Page 90: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

81

bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.

Setelah pemohon pembatalan memenuhi pasal 70 tersebut, pemohon dapat

mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, secara tertulis kepada

Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera

Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri

menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan

arbitrase. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan

banding ke Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir.

Permohonan banding dilakukan hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase

yang didasarkan pada ketiga alasan pembatalan pasal 70 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2. Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi putusan No.15/PUU-

XII/2014 adalah pertama, penjelasan pasal 70 tersebut mengubah norma pasal

dan menimbulkan norma baru. Karena norma dalam pasal hanya mensyaratkan

adanya dugaan sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi

sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan. Kedua, pasal 70 tersebut

sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru

menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal 70, yaitu terdapat dua tafsir

apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus

mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan

Page 91: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

82

dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat

untuk pengajuan pembatalan atau syarat alasan yang masih menjadi dugaan

pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di

pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Sehingga menurut

pertimbangan hukum mahkamah, penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah

mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

3. Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70

menjadi jelas, karena tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan

yang memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 Undang-

Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa hanya mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal

mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur

pembatalan yang tercantum dalam pasal 70 tersebut, tidak harus dibuktikan

terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Artinya dasar pertimbangan Hakim

dalam mengabulkan dan menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak

lagi didasarkan pada putusan pengadilan sebagaimana ketentuan penjelasan pasal

70 tersebut.

Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan

pasal 70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

Page 92: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

83

harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu

Peraturan Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap

pembatalan putusan arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang

menimbulkan norma baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas

dan berdiri sendiri. Namun terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana,

penulis berkesimpulan bahwa harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur

lebih lanjut mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase.

B. Saran

Dapat dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dibuat suatu peraturan pelaksana.

Mengenai ketentuan lebih lanjut terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 dan

penjabaran secara terperinci atas mekanisme pembatalan putusan arbitrase. Saran

tersebut penulis sampaikan mengingat undang-undang tersebut merupakan payung

hukum dari terselenggaranya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai Undang-Undang No.30 tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, tetap memperhatikan

jangka waktu penyelesaian sengketa. Karena sebagai salah satu alternatif

penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh arbitrase adalah proses penyelesaian

sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat, selain dari biaya terukur, ditengahi oleh

arbiter yang ahli dan sifat kerahasian dalam proses penyelesaian sengketa.

Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah kewenangan pengadilan. Karena telah

Page 93: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

84

telah diketahui bahwa pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para

pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase serta pengadilam tidak boleh ikut

campur di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.

Adapun yang dimaksud adalah mempertimbangkan ulang terhahap sengketa arbitrase

yang telah diputuskan oleh majelis arbiter.

Page 94: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

85

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Suci:

Al Quran dan Terjemahan

Buku:

Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa

(APS). Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.

Asshiddiqqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi

Press, 2006.

Fuady, Munir. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis). Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2000.

Ginting, Ramlan. Transaksi binis dan Perbankan Internasional. Jakarta: Salemba

Empat, 2007.

Harahap, Yahya. Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan

dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of

Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention

on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma

No.1 Tahun 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang:

Bayumedia Publishing, 2007.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan (Jenis,Fungsi, Materi Muatan).

Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Juwana, Hikmahanto, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan

Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002.

Page 95: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

86

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005.

Sari, Elsi Kartika dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. Jakarta: PT

Gramedia Widiasarana, 2008.

Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

PustakaUtama, 2006.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI PRESS, 2010.

Soeroso, R Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009.

Subekti, R. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta, 1987.

Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media, 2006.

Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan

Jaminan Mutu (PPJM), 2012.

Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online. Jakarta: BPHN-

KEMENKUMHAM RI, 2010.

Utama, Meria. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012.

Widjaja, Gunawan. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan

Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai.

Jakarta:Kencana, 2008.

Winarta, Frans hendra. Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia

dan Internasional. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011.

BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Jakarta: BANI

Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) 2009.

Page 96: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

87

Putusan :

Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014

Putusan No.005/PUU-III/2005 (Yurisprudensi)

Peraturan perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Website :

Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya,

Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak

yang merasa dirugikan atas putusan arbritase. Artikel di Akses pada

tanggal 5 Februari 2015, dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-

perjelas-alasan-pembatalan-putusan-arbitrase.

Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional

Artikel diakses pada tanggal 12 April 2015, dari

Page 97: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

88

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-tak-

bisa-batalkan-putusan-arbitrase-internasional

Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat.

Artikel di akses pada tanggal 12 April 2015, dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkan-

hak-pembatalan-putusan-uu-arbitrase-digugat

Hukum Online, Beberapa Kelemahan Ketentuan Pembatalan Putusan arbitrase.

Artikel diakses pada 11 April 2015, dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9134/beberapa-

kelemahan-ketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase .

Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian. Artikel

diakses Pada tanggal 10 Februari 2015 dari

http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-

Putusan-Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27.

Rajagukguk, Erman. Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17

April 2015, dari

http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-

hukum-1429235310/1

Umar, Muhammad Husseyn. Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Internasional di Indonesia, artikel diakses pada tanggal 25 April 2015

dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok

-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-

oleh-m-husseyn-umar-

Page 98: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

PUTUSAN Nomor 15/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Ir. Darma Ambiar, M.M.

Pekerjaan : Direktur PT. Minerina Cipta Guna

Alamat : Graha Purna Karya Komplek Gedung Antam, Jalan

TB. Simatupang Nomor 1, Jakarta,12530

sebagai -------------------------------------------------------------- Pemohon I; 2. Nama : Drs. Sujana Sulaeman Pekerjaan : Direktur Utama PT. Bangun Bumi Bersatu

Alamat : Jalan Tebet Barat Raya, Nomor 55-56, RT 014, RW

04, Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan

sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon II;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 002/SK/ZiA/II/2014

tertanggal 5 Februari 2014 memberi kuasa kepada Andi Syafrani, S.H., MCCL., H.Irfan Zidny, S.H., S.Ag. M.Si., Rivaldi, S.H., Yupen Hadi, S.H., Muhammad Ali Fernandez, S.HI., advokat/konsultan hukum yang tergabung dalam ZiA &

Partners Law Firm, beralamat di Gedung Darul Marfu, Lantai 3, Jalan H.

Zainuddin, Nomor 43, Radio Dalam, Gandaria Selatan, Kebayoran Baru, Jakarta

Selatan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas

nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;

Mendengar keterangan para Pemohon;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 99: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

2 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Mendengar dan membaca keterangan Presiden;

Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;

Mendengar keterangan Pihak Terkait, Badan Arbitrase Nasional

Indonesia;

Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon dan Presiden;

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan

bertanggal 6 Februari 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 6 Februari 2014

berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 43/PAN.MK/2014 dan

telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 15/PUU-

XII/2014 pada tanggal 18 Februari 2014, yang diperbaiki dengan perbaikan

permohonan bertanggal 14 Maret 2014 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah

pada tanggal 14 Maret 2014, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai

berikut:

A. KEWENANGAN MAHKAMAH

1. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf

a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,

selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah

adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut

UUD 1945) menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 100: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

3 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi”.

3. Bahwa objek Permohonan ini adalah Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa (UUAAPS) yang selengkapnya berbunyi:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan

permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa

alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan

pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim

untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”

4. Bahwa berdasarkan yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

sebelumnya, antara lain Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor

011/PUU-III/2005, serta sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Penjelasan Undang-Undang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan

satu kesatuan dengan Undang-Undang, maka Mahkamah Konstitusi

berwenang untuk mengadili dan memutus Permohonan ini;

5. Bahwa dengan demikian permohonan para Pemohon termasuk ke dalam

salah satu kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi yaitu tentang

menguji materil Undang-Undang terhadap UUD 1945.

B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 beserta penjelasannya menyatakan:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum

adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; d. lembaga

negara”;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 101: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

4 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

2. Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-

III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan 5 (lima)

syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang

diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan

aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian

dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian kontitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;

3. Bahwa para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia

berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi dari PT. BBB dan PT. MCG

berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian konstitusionalnya

sebagaimana telah dialami oleh banyak orang/pihak lainnya terkait dengan

norma dan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAPS yang diujikan dalam

Permohonan ini. Adapun alasan-alasan kerugian konstitusional tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Bahwa para Pemohon adalah pihak yang telah bersengketa di Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan Putusan

perkara Nomor 443/I/ARB-BANI/2012;

b. Bahwa para Pemohon kemudian mengajukan Permohonan Pembatalan

Putusan Arbitrase di BANI tersebut ke Pengadilan Negeri Bandung dan

telah diputus dengan register perkara Nomor 157/Pdt/PN-BDG/2013;

c. Bahwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, telah

diajukan Banding oleh BANI dan PT. PLN Distribusi Jawa Barat dan

Banten (DJBB) yang masih dalam proses di Mahkamah Agung;

d. Bahwa salah satu alasan banding yang diajukan oleh para Pemohon

Banding di Mahkamah Agung adalah terkait dengan Penjelasan Pasal 70

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 102: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

5 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

UUAAPS yang menurut para Pemohon permohonan ini bertentangan

dengan isi dan norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 70

UUAAPS yang karenanya membuat adanya ketidakpastian hukum dalam

proses hukum terkait dengan Permohonan Pembatalan Putusan

Arbitrase yang telah diajukan oleh para Pemohon Permohonan ini, yang

selengkapnya akan diuraikan dalam Pokok Permohonan ini;

e. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS berbunyi: “Terhadap

Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan

apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai

berikut:...”. Sedangkan Penjelasan Pasal tersebut berbunyi: “Permohonan

pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah

didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang

disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.

Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti

atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai

dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan.” Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh Pasal 70

UUAAPS adalah kata “diduga”, sedangkan Penjelasan Pasalnya

menggunakan kata-kata “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”, yang berarti bukan lagi dugaan, melainkan sudah terbukti;

f. Bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 70 UUAAPS a quo tidak berdiri

sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan batasan waktu yang sangat

sempit dan limitatif yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 71

UUAAPS, yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari

terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase

kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya

alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan

permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan Pengadilan

Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan

putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70

UUAAPS. Padahal faktanya, dalam sistem hukum di negara manapun,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 103: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

6 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang

meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

pengadilan yang dapat memutus perkara dugaan pidana dalam waktu

hanya 30 hari (kalender);

g. Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menurut para

Pemohon bertentangan dengan substansi dan norma yang terkandung di

dalam redaksi pasalnya sendiri, maka menurut para Pemohon

Penjelasan Pasal 70 UUAAPS telah merugikan hak konstitusional para

Pemohon;

4. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, para Pemohon memiliki

hak-hak konstitusional antara lain seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.

5. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, para Pemohon juga

berhak secara konstitusional mendapat jaminan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang diatur dalam

Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama di hadapan hukum.”

6. Bahwa dengan demikian para Pemohon memiliki hak konstitusional dalam

mengajukan permohonan ini yaitu melakukan Permohonan Uji Materil

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa yaitu Pasal 70 dan Penjelasannya terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1);

C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa apa yang tertuang di dalam poin A dan B di atas merupakan satu

kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dengan poin C tentang Pokok

Permohonan ini;

2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas

Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) yang

selengkapnya berbunyi:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 104: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

7 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase

yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan

pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut

terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan

sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan.”

3. Bahwa Penjelasan Pasal 70 UUAAPS a quo telah membuat adanya

ketidakpastian hukum bagi para Pemohon karena menimbulkan norma baru

dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang

dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari

substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh Pasal yang

dijelaskannya;

4. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS selengkapnya berbunyi:

“Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan

pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,

setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) setelah

putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu

muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

5. Bahwa oleh karena terdapat perbedaan norma atau memunculkan norma

baru atau perubahan terselubung, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS dan

Penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

6. Bahwa selengkapnya alasan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal

70 UUAAPS tersebut adalah sebagai berikut:

A. PENJELASAN PASAL 70 UUAPS MENGANDUNG NORMA BARU ATAU PERUBAHAN TERSELUBUNG YANG BERTENTANGAN DENGAN SUBSTANSI POKOK PASALNYA. A.1. Bahwa sebagaimana telah dikutip di muka, batang tubuh Pasal 70

UUAAPS secara verbatim menggunakan kata “diduga” sebagai dasar

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 105: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

8 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase,

sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan klausula “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”;

A.2. Bahwa kata “diduga” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara

harfiah berarti “sangkaan” atau “perkiraan”, yakni sesuatu yang belum

pasti ada atau terjadi tetapi masih dalam proses untuk kepastian, atau

singkatnya masih bersifat asumsi. Arti ini sangat jauh berbeda dan

bertolak belakang dengan maksud yang dikandung dalam klausula

redaksi “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang

merupakan penjelasan dari kata “diduga” yang dimaksud dalam Pasal

70 UU AAPS a quo karena sebuah putusan pengadilan berisi tentang

pertimbangan fakta-fakta yang sudah mengalami proses pengujian

pembuktian baik dalam rangka verifikasi ataupun falsifikasi;

A.3. Bahwa klausula yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS

mengenai pembuktian dengan putusan pengadilan merupakan sebuah

norma baru yang berbeda, dan bahkan bertentangan, atau semacam

sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang terkandung di

dalam substansi dan pokok isi Pasal 70 UU AAPS yang dijelaskannya;

A.4. Bahwa sebagaimana termuat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 dinyatakan bahwa:

“sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan

perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum,

penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat

dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat

substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.

Lagi pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas

dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang

merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun

2004 (kini UU Nomor 12 Tahun 2011, Pemohon) tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang antara lain menentukan:

1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan

perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh

karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut

norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 106: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

9 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh

mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;

2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk

membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat

rumusan norma di bagian penjelasan;

3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan

terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang

bersangkutan;

A.5. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan

dan tidak berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan

pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS, melainkan berubah

menjadi ketentuan normatif baru yang tidak selaras dan sesuai dengan

maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur di

dalam pasal yang dijelaskannya;

B. PENJELASAN PASAL 70 UU AAPS TIDAK OPERASIONAL DAN MENGHALANGI HAK HUKUM PENCARI KEADILAN. B.1. Bahwa ketentuan tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase

yang diatur di dalam UUAAPS ditentukan limitasi waktunya sebagaimana

diatur di dalam Pasal 71 yang berbunyi: “Permohonan pembatalan

putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran

putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”;

B.2. Bahwa jika Pasal 71 UU AAPS dikaitkan dengan ketentuan Pasal 70 dan

Penjelasannya, maka secara normatif pengajuan permohonan

pembatalan putusan arbitase ke Pengadilan Negeri harus memenuhi

kualifikasi: a) memenuhi salah satu dari tiga alasan yang ditentukan; b)

harus disertai bukti adanya putusan pengadilan terkait dengan salah satu

alasan tersebut; dan c) harus diajukan dalam waktu paling lambat 30 hari

sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera

Pengadilan Negeri. Waktu pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera

Pengadilan Negeri adalah paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan

(vide Pasal 59 UU AAPS);

Sehingga, jika ditotal, maka batas waktu maksimal yang dimiliki pihak

yang ingin mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 107: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

10 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pengadilan Negeri adalah 60 hari, jika pelaksana arbitrase (in casu BANI)

mengambil batas maksimal untuk pendaftaran putusan ke Panitera

Pengadilan Negeri;

Pertanyaan yang muncul terkait dengan norma-norma pasal-pasal di atas

adalah apakah dalam jangka waktu 60 hari (dengan asumsi waktu

maksimal) akan dimungkinkan adanya sebuah putusan pengadilan yang

dapat memutus dan berkekuatan hukum tetap dalam dugaan tindak

pidana terkait putusan arbitrase yang telah diputuskan? Dalam praktik

proses perkara pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, hingga

pemeriksaan di pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap

(mungkin sampai dengan kasasi), apakah dapat diselesaikan dalam

jangka waktu 30 hari (atau katakanlah paling lama 60 hari) untuk

memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal-pasal di atas? Pertanyaan

inilah yang muncul dalam proses di Pengadilan Negeri sebagai judex

factie dalam kasus yang dialami oleh para Pemohon terkait dengan

pelaksanaan atau operasionalisasi ketentuan Pasal 70, Penjelasan Pasal

70, dan Pasal 71 UUAAPS sebagaimana tertuang dalam pertimbangan

Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.BDG

hal 74-75 sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa dalam praktik proses perkara pidana mulai dari

penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan hingga perkara

diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak

mungkin dilaksanakan hanya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, apalagi

proses perkaranya melalui banding hingga kasasi:

Menimbang, bahwa Majelis berpendapat bahwa bukankah kata-kata yang

tercantum dalam Pasal 70 UUAAPS adalah kata “...diduga...” yang berarti

belum pasti keberadaannya, mengapa dalam Penjelasan Pasalnya

mengharuskan adanya putusan pengadilan yang nota bene sebagaimana

telah dipertimbangkan di atas harus diartikan sebagai putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap?;

Menimbang, bahwa Penjelasan dari pasal-pasal yang bersangkutan

(Pasal 70 dan Pasal 71 UUAPS) seharusnya berfungsi untuk

memperjelas atau mempertegas, namun karena tidak sejalan yang dapat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 108: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

11 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

menghambat hak dari pihak pencari keadilan, maka manakah yang harus

dipertahankan dan mana yang harus dikesampingkan?”

B.3. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara nyata ketentuan Pasal 70 dan

Penjelasannya dikaitkan dengan Pasal 71 tidak dapat dilaksanakan,

membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum, serta justru

menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya

yang telah diberikan sendiri oleh UU AAPS terkait dengan pembatalan

putusan arbitrase;

C. PENJELASAN PASAL 70 UU AAPS MENCIPTAKAN KERANCUAN DAN PERTENTANGAN HUKUM C.1. Bahwa akibat adanya perbedaan norma antara substansi pokok atau

norma verbatim Pasal 70 UU AAPS dengan yang terkandung dalam

penjelasannya, para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum

karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang

terkait dengan pembatalan putusan arbitrase ini;

Bahwa pandangan hakim-hakim progresif yang mencoba memahami dan

mencari solusi pertentangan norma yang terkandung di dalam Pasal 70

dan penjelasannya tersebut dengan berpegang teguh pada norma

eksplisit Pasal 70 sering dibatalkan pada tingkat banding di Mahkamah

Agung dengan alasan teknis dan tidak realistis yakni pembuktian harus

dengan putusan pengadilan sebagaimana tertuang dalam Penjelasan

Pasal 70 UU AAPS, meski tanpa memerhatikan aspek waktu yang

terbatas yang ditentukan dalam Pasal 71 UU AAPS;

Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

855 K/PDT.SUS/2008 bertanggal 21 Januari 2008, Putusan Nomor 729

K/PDT.SUS/2008 bertanggal 30 Maret 2009, Putusan Nomor 16

PK/Pdt.Sus/2010 bertanggal 25 Mei 2010, dan Putusan Nomor 182

K/Pdt.Sus-Arbt/2013 bertanggal 18 Juli 2013;

Akan tetapi, terdapat pula putusan Mahkamah Agung lainnya yang tidak

mempertimbangkan Pasal 70 UU AAPS dan Penjelasannya sebagai

dasar hukum penerimaan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana

tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 03/Arb.Btl/2005

bertanggal 17 Mei 2005;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 109: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

12 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

C.2. Bahwa dari fakta-fakta putusan di atas terlihat bahwa pada dasarnya

sebagian besar hakim di level judex factie dan judex yuris telah berupaya

menerobos pertentangan norma Pasal 70 UU AAPS dengan

Penjelasannya melalui upaya penafsiran literlek/harfiah kata “diduga”

dan pemahaman persoalan faktual penegakan dan pelaksanaan hukum

dalam ranah pidana yang tidak mungkin diselesaikan dalam batas waktu

yang ditetapkan UU AAPS, untuk memberikan rasa keadilan bagi para

pencari keadilan. Akan tetapi, upaya tersebut masih terasa sulit dan

berhadapan dengan tembok hukum Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang

membelenggu dan tidak realistis;

C.3. Bahwa akibat hukum yang muncul dan dirasakan oleh para pencari

keadilan terkait dengan masalah ini adalah adanya kerancuan dan

ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang sebenarnya

diberikan haknya sendiri oleh Undang-Undang, namun dinegasikan

sendiri pula secara implisit melalui penjelasan, bukan redaksi langsung

dari Undang-Undangnya. Tegasnya, di satu sisi UU AAPS memberikan

pintu untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang

diduga memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkannya, tetapi di sisi

lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh Penjelasannya;

7. Bahwa ketiga alasan di atas telah secara nyata bertentangan dengan

Konstitusi, khususnya mengenai adanya hak jaminan kepastian hukum

(rechtszekerheid) yang adil (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) bagi para

Pemohon sebagai warga negara;

8. Bahwa asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang dijamin Konstitusi

tersebut, yang dalam bahasa lainnya dikenal dengan istilah legal certainty

(non-American) atau legal indeterminacy (American), menyaratkan “that all

law be sufficiently precise to allow the person –if need be, with appropriate

advice- to foresee, to a degree that is reasonable in the circumstance, the

consequences which a given action may entail”. Berdasarkan pada syarat

tersebut, Hukum Uni Eropa telah menggariskan 5 aspek yang menjadi indikator prinsip kepastian hukum, yakni: 1) laws and decisions must be made public (hukum dan putusan hakim harus dibuat secara publik); 2) laws and decisions must be definite and clear (hukum dan putusan hakim harus

terbatas dan jelas); 3) decisions of court must be binding (putusan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 110: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

13 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

pengadilan harus mengikat); 4) limitations on recroactivity of laws and decisions must be imposed (batasan terhadap keberlakuansurut hukum

dan putusan harus ditegakkan); dan 5) legitimate expectations must be protected (harapan-harapan yang sah harus dilindungi). (James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The Globalization of the

Rule of Law”, 31 Houston Journal of International Law 27, 2008-2009);

Bahwa indikator prinsip kepastian hukum di atas pada dasarnya mengacu

pada indikator hukum yang baik (internal morality) yang dijelaskan oleh Lon Fuller, yakni: 1) the generality of law (keumuman hukum); 2) the demands

that laws are published (hukum diumumkan secara luas); 3) that laws are not

retroactive (hukum tidak berlaku surut); 4) the clarity of laws (kejelasan

hukum); 5) the consistency of laws (kepaduan hukum); 6) the demands that

the laws do not impose duties that are impossible to perform (hukum tidak

mengatur hal yang mustahil dilaksanakan); 7) that laws are not changed

frequently (hukum tidak gampang berubah); dan 8) the demand that

governmental action is in accordance with the general laws which are laid

down beforehand (tindakan hukum pemerintah sesuai dengan hukum umum

yang ditetapkan) (Lon Fuller, The Morality of Law, Yale University Press,

1973, hal. 262 dikutip dari Patricia Popelier, “Legal Certainty and Principles

of Proper Law Making”, 2 European Journal of Law Reform 321, 2000);

Bahwa keseluruhan indikator prinsip kepastian hukum di atas harus

dicerminkan dalam setiap tindakan hukum yang setidaknya mencakup tiga

aspek: pembuatan hukum (law making), penemuan hukum dan pembuatan

putusan (law finding and judicial lawmaking), dan penerapan hukum (law

applying) (James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The

Globalization of the Rule of Law”, 31 Houston Journal of International Law 27,

2008-2009; dan James R. Maxeiner, “Legal Certainty: A European

Alternative to American Legal Indeterminacy?”, 15 Tulane Journal of

International & Comparative Law 541, 2006-2007);

9. Bahwa ketiga alasan hukum yang disampaikan para Pemohon mengenai

pembatalan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS di atas secara eksplisit telah

bertentangan dengan beberapa indikator prinsip kepastian hukum yang

dijamin Konstitusi, yakni:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 111: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

14 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

A. Adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh Pasal

70 UU AAPS atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan

Pasal 70 UU AAPS secara prinsip bertentangan dengan indikator laws

and decisions must be definite and clear/wet van duidelijke. Dualisme

norma dalam satu pasal ini membuat arti dari Pasal 70 UU AAPS menjadi

vague (kabur) atau unclear (tidak jelas), manakah yang harus dipakai,

apakah norma batang tubuh (diduga) atau norma penjelasan (harus dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap)? Dengan

mengacu kepada konsep Lon Fuller, maka Pasal 70 UU AAPS

mengandung ketidakkonsistenan arti dan pengertian, yang berarti telah

melanggar prinsip the consistency of laws/wet van consistente;

B. Ketentuan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menjamin hak

hukum para Pemohon dalam kaitannya hak untuk dapat mengajukan

klaim pembatalan putusan arbitrase (in casu BANI) bertentangan dengan

indikator legitimate expectations must be protected atau the demands

that the laws do not impose duties that are impossible to perform.

Upaya hukum para Pemohon sebagai pihak yang merasa keberatan

terhadap Putusan Arbitrase untuk mencari jalan berupa permohonan

pembatalan putusan (a legitimate expectation) adalah sebuah upaya

yang harus dilindungi oleh hukum (must be protected). Inilah yang

terkandung secara jelas dalam syarat utama prinsip kepastian hukum,

yakni syarat foreseeability dari sebuah hukum. Hukum harus mampu

menggaransi sebuah tindakan yang baik untuk dapat dilaksanakan dan

setiap warga negara dapat memprediksikan sebuah tindakan berikut

akibatnya dalam sebuah kerangka hukum yang jelas.

Ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 71 telah menghalangi sifat foreseeability hukum karena

jelas mengandung sesuatu yang mustahil (impossible) dilaksanakan.

Karenanya ketentuan Penjelasan Pasal 70 secara nyata telah melanggar

prinsip kepastian hukum yang dijamin Konstitusi;

C. Dengan munculnya keragaman jenis putusan pengadilan mengenai

perkara pembatalan putusan arbitrase akibat adanya dualisme norma

dalam satu pasal (batang tubuh dan penjelasan), prinsip kepastian

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 112: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

15 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

hukum dengan indikator the consistency of laws atau laws and decisions

must be definite and clear telah dilanggar.

10. Bahwa pelanggaran prinsip kepastian hukum yang telah terjadi terkait

dengan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dimohonkan di sini telah

merasuk tidak saja pada level pembuatan hukum (law making), tapi telah

merugikan banyak pihak, khususnya para Pemohon kelak, karena telah

masuk ke level putusan pengadilan (judicial lawmaking) dan penerapan

hukum mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitase (law applying);

11. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara jelas, telah terjadi pertentangan

dan inkonsistensi antara substansi isi dan kata Pasal 70 UUAAPS dengan

penjelasannya yang telah mengakibatkan perbedaan dalam putusan-

putusan hakim dan menciptakan ketidakpastian hukum. Bahwa terkait

dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutus perbedaan

antara substansi pasal dengan penjelasannya dengan menyatakan

penjelasan yang bertentangan tersebut inkonsitusional sebagaimana

tercermin dalam pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005:

“Menimbang bahwa terjadinya pertentangan antara substansi pasal dari

suatu undang-undang dan penjelasannya yang nyata-nyata mengandung

inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan

keragu-raguan dalam pelaksanaanya. Adanya keragu-raguan dalam

implementasi suatu undang-undang akan memunculkan ketidakpastian

hukum dalam praktik. Keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran

terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama di hadapan hukum.” Ketidakpastian hukum demikian tidak sesuai

dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum

sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara

tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana

kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;”

Dan demikian juga sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam

Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 yang berbunyi:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 113: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

16 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

“Penjelasan tersebut di atas semakin menunjukkan adanya pengaturan

yang tidak proporsional yang menimbulkan ketidakpastian hukum (legal

uncertainty, rechtsonzekerheid). Syarat pengunduran diri bagi calon yang

sedang menjabat (incumbent) sebagaimana diatur Pasal 58 huruf q UU

12/2008 menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty,

rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide

Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama

(unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5)

huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal

28D ayat (1) UUD 1945;”

12. Bahwa para Pemohon sebagai pencari keadilan di negara hukum ini yang

masih berperkara terkait dengan pembatalan putusan arbitrase dalam

tingkat banding dan juga mungkin banyak warga negara lainnya, khususnya

para pebisnis yang menggunakan mekanisme Arbitrase sebagai model

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berpotensi dirugikan hak

konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 akibat

adanya ketidakpastian hukum karena adanya Penjelasan Pasal 70

UUAAPS a quo;

13. Bahwa oleh karenanya, beralasan secara hukum bagi Mahkamah Konstitusi

untuk mengabulkan permohonan para Pemohon, yakni menyatakan

Penjelasan Pasal 70 UUAAPS bertentangan dengan UUD 1945 dan

menyatakannya tidak mengikat secara hukum;

D. PETITUM Bahwa berdasarkan uraian, alasan, dan fakta hukum di atas, para Pemohon

memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan:

1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon seluruhnya;

2. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan

UUD 1945;

3. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 114: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

17 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon

putusan seadil-adilnya.

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para

Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1

sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Ir. Darma

Ambiar;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. Sujana

Sulaeman;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Akta Pendirian PT. Minerina Cipta Guna.

4. Bukti P-4 : Fotokopi Akta Pendirian PT. Bangun Bumi Bersatu;

5. Bukti P-5 : Fotokopi Akta No.11 Perjanjian Kerjasama Operasi

tentang Pemanfaatan dan Pengembangan PLTM Cikotok

antara PT. Minerina Cipta Guna dan PT. Bangun Bumi

Bersatu, bertanggal 24 Juli 2008;

6. Bukti P-6 : Fotokopi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) Nomor 443/I/ARB-BANI/2012;

7. Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Sela dan Akhir Pengadilan Negeri

bandung dengan Nomor Register Perkara: 157/Pdt/PN-

BDG/2013.

8. Bukti P-8 : Fotokopi Memori Banding Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) terhadap Putusan Pengadilan Negeri

Bandung Perkara: 157/Pdt/PN-BDG/2013.

9. Bukti P-9 : Fotokopi Memori Banding PT.PLN Distribusi Jawa Barat

dan Banten terhadap Putusan pengadilan Negeri

Bandung perkara: Perkara: 157/Pdt/PN-BDG/2013.

10. Bukti P-10 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, beserta

Penjelasannya.

11. Bukti P-11 : Fotokopi Relaas Pemberitahuan Pernyataan Kasasi

Penyerahan Salinan Memori banding Nomor:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 115: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

18 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

157/PDT/G/2013/PN.BDG, bertanggal 27 Januari 2014

ditujukan kepada Drs. Sujana Sulaeman sebagai

Termohon Kasasi.

12. Bukti P-12 : Fotokopi Relaas Pemberitahuan Pernyataan Kasasi

Penyerahan Salinan Memori Banding Nomor:

157/PDT/G/2013/PN.BDG, bertanggal 27 Januari 2014

ditujukan kepada Ir. Darma Ambiar, M.M., sebagai

Termohon Kasasi.

13. Bukti P-13 : Fotokopi Kontra Memori Banding atas Memori Banding

terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor

157/PDT/G/2013.

14. Bukti P-14 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor

855K/Pdt.Sus/208.

Putusan ini menggunakan dasar hukum Penjelasan Pasal

70 UU AAPS sebagai dasar menolak permohonan kasasi

dalam perkara Permohonan Pembatalan Putusan

Arbitrase.

Selain itu, para Pemohon juga mengajukan dua orang ahli yang

didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 April 2014

yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H

• Dalam beberapa persidangan yang telah diselenggarakan sebelumnya

telah dikemukakan berbagai alasan yang bersifat yuridis, historis,

sosiologis, dan komparatif terkait permohonan ini.

• Untuk menganalisis permasalahan ini dari pelbagai perspektif hukum, saya

akan memfokuskan pada beberapa hal sebagai berikut:

• Dalam pokok permohonannya pihak Pemohon antara lain berargumentasi

bahwa Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan sebagai berikut:

"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan

arbitrase yang telah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan

pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan

tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 116: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

19 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan

atau menolak permohonan"; dipandang bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (atau yang

selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), khususnya Pasal 28D ayat (1)

yang menyatakan sebagai berikut: "Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum".

• Padahal, ketentuan Pasal 70 dari UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan

bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung

unsur-unsur sebagai berikut: (a) surat atau dokumen yang diajukan dalam

pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan

palsu; (b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan

diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam

pemeriksaan sengketa.

• Berkaitan dengan 3 (tiga) persyaratan yang terdapat dalam Pasal 70 UU

Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, sebagai perbandingan, Pasal 643

Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering)

mencantumkan unsur-unsur yang lebih banyak sebagai persyaratan

pembatalan putusan arbitrase, yang mencakup 10 (sepuluh) hal sebagai

berikut: (a) bila putusan arbitrase diambil di luar batas lingkup perjanjian

arbitrase yang bersangkutan; (b) bila putusan didasarkan atas perjanjian

arbitrase yang tidak berharga atau telah gugur; (c) bila putusan dijatuhkan

oleh arbitrase yang tidak berwenang menjatuhkan keputusan di luar

kehadiran yang lain; (d) bila diputuskan tentang sesuatu yang tidak dituntut

atau telah diberikan melebihi dari yang dituntut; (e) bila putusan

mengandung hal-hal yang bertentangan satu dengan yang lain; (f) bila

para arbiter lalai memutus satu atau beberapa hal yang seharusnya

diputuskan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian arbitrase; (g) bila

melanggar bentuk acara yang telah ditetapkan dengan ancaman

kebatalan; tetapi hanya apabila diperjanjikan dengan tegas bahwa para

arbiter wajib memenuhi ketentuan acara biasa; (h) bila diputus

berdasarkan dokumen-dokumen yang setelah ada putusan, diakui sebagai

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 117: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

20 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

palsu atau dinyatakan palsu; (i) bila setelah adanya putusan, ditemukan

dokumen-dokumen yang menentukan yang disembunyikan oleh salah satu

pihak; dan (j) bila putusan berdasarkan adanya penipuan atau tujuan

muslihat yang kemudian diketahui dalam acara pemeriksaan.

• Tidaklah jelas latar belakang politik hukum yang menyebabkan mengapa

Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut akhirnya hanya

mencantumkan 3 (tiga) dari 10 (sepuluh) persyaratan pembatalan

sebagaimana tercantum di dalam Pasal 643 RV.8 Ketiga persyaratan

tersebut juga terkait dengan hal-hal yang lebih bernafaskan (ketentuan)

pidana.

• Dalam praktiknya, seringkali unsur-unsur yang terdapat di dalam ketentuan

Pasal 643 RV9 tersebut digunakan oleh pihak yang kalah dalam suatu

putusan arbitrase untuk sekadar dapat mengulur-ulur kesempatan untuk

memenuhi kewajiban. Hal ini antara lain dikarenakan bahwa dalam

Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa ketiga

alasan tersebut adalah "antara lain", dengan demikian dapat ditafsirkan

bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase masih dapat diajukan

berdasarkan alasan-alasan lain, antara lain ketujuh alasan lain

sebagaimana tercantum dalam Pasal 643 RV.11

• Alasan-alasan lain sebagaimana dimaksud dapat berupa alasan

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, yang sebenarnya

merupakan alasan untuk tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan

arbitrase. Selama ini ada penafsiran bahwa frasa "antara lain" dalam

Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 menjadikan substansi dan

norma yang tercantum dalam Pasal 70 tersebut menjadi tidak bersifat

limitatif; namun demikian, dalam kenyataannya, putusan-putusan

Mahkamah Agung menunjukkan bahwa syarat-syarat permohonan

pembatalan tersebut bersifat limitatif.

• Salah satu permasalahan yang kerap dikemukakan adalah apakah syarat-

syarat pembatalan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut

juga berlaku terhadap suatu putusan arbitrase internasional? Di kalangan

para ahli hukum ada yang berpendapat bahwa suatu putusan arbitrase

internasional tidak dapat dibatalkan, namun dapat tidak dilaksanakan atau

ditolak dalam hal putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 118: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

21 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf c UU Nomor 30 Tahun 1999.

• Permasalahan lain dalam materi muatan UU Nomor 30 Tahun 1999

tersebut adalah tidak adanya ketentuan tentang hukum acara tentang

prosedur pengajuan permohonan pembatalan. Dalam praktiknya

permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan sebagai suatu

gugatan perdata terhadap arbiter-arbiter atau lembaga arbitrase yang

bersangkutan; padahal, sesuai dengan tujuannya, sebenarnya cukup

dimintakan penetapan tentang pembatalan dari Pengadilan Negeri, kecuali

apabila arbiter atau para arbiter melakukan suatu kesalahan terhadap

pihak yang menunjuknya.

• Kita tidak dapat mengingkari pentingnya eksistensi UU Nomor 30 Tahun

1999 dalam perkembangan hukum alternatif penyelesaian sengketa dan

arbitrase di Indonesia. Namun demikian dalam perkembangannya kita

menemukan berbagai hal yang tidak jelas pengaturannya dalam UU ini,

misalnya pengaturan yang terkait dengan batas-batas keterlibatan

lembaga pengadilan. Di samping hal itu juga ada beberapa permasalahan

lain seperti: penerapan ketentuan tentang kompetensi absolut, hak ingkar,

prosedur pembatalan, dan pelaksanaan putusan arbitrase (termasuk

putusan arbitrase internasional) agar hak setiap orang untuk mendapatkan

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal

28D ayat (1) UUD 1945 dapat terpenuhi.

• Kita berharap seyogyanya Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak

peradilan di Indonesia dapat memberikan arahan-arahan mengenai

berbagai permasalahan tersebut; namun pada kenyataannya,

sebagaimana telah diuraikan juga dalam perbaikan permohonan dari

Pemohon, banyak Putusan Mahkamah Agung sendiri terkait hal ini yang

isinya justru saling bertentangan. Hal ini semakin menimbulkan

ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya semakin menyulitkan bagi

setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

• Ketidakjelasan dan ketidaklengkapan perumusan ketentuan Pasal 70 UU

Nomor 30 Tahun 1999 ternyata juga diikuti dengan ketidakkonsistenan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 119: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

22 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

dalam perumusan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun

1999 tersebut. Hal ini mengakibatkan bahwa pelaksanaan ketentuan

mengenai hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, baik di

lingkungan pengadilan maupun di luar pengadilan.

• Mahkamah Konstitusi sendiri melalui beberapa putusannya, antara lain,

Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor 017/PUU-VI/2008,

yang kemudian juga ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah memutuskan bahwa

adanya pertentangan antara materi muatan pasal dan penjelasannya,

yang nyata-nyata mengandung inkonsistensi yang melahirkan interprestasi

ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya, akan

memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Keadaan demikian

dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional

sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketidakpastian

hukum demikian juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum

sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara

tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana

kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan.

• Berdasarkan berbagai uraian tersebut di muka, saya berpendapat bahwa

Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan

UUD 1945.

2. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum Para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas

Penjelasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) yang selengkapnya berbunyi:

"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan".

Adapun norma dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS selengkapnya berbunyi:

"Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai benkut:a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b] setelah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 120: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

23 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu muslihatyang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa."

Ketentuan Pasal 70 UUAAPS menggunakan kata "diduga", sedangkan

pada Penjelasan Pasalnya menggunakan frasa "harus dibuktikan dengan

putusan pengadilan." Frase pada Penjelasan Pasal mengandung arti bahwa

alasan-alasan permohonan pembatalan bukan lagi didasarkan pada dugaan,

melainkan pada alasan-alasan yang harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan.

Penjelasan Pasal 70 UU AAPS a quo telah membuat adanya

ketidakpastian hukum bagi para Pemohon setidaknya karena tiga alasan:

a. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS mengandung norma baru atau perubahan

terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya

Mengacu pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

005/PUU-1II/2005 yang menyatakan bahwa:

"sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan

perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan

berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal

dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama

sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini

ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44

ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan

dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (kini UU Nomor 12 Tahun

2011. Pemohon) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang antara lain menentukan:

1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan

perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh

karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut

norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan

sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh

mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;

2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat

peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma

di bagian penjelasan;

3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 121: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

24 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang

bersangkutan;

Dengan mengacu pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut, maka Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menimbulkan norma

baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang

dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari

substansi dan isi norma pokok yang dituangkan dalam pasal yang

dijelaskannya.

b. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menghalangi hak

hukum pencari keadilan.

UU AAPS menentukan ketentuan limitasi waktu permohonan

pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur pada Pasal 71 yang

berbunyi:

"Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh] hari terhitung sejak hari penyerahan

dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri".

Dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif tersebut, yakni

hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari

penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan

Negeri, maka hampir dapat dipastikan bahwa tidak akan pernah ada

perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi

ketentuan tersebut. Hal itu tercermin dalam banyak putusan Pengadilan

Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan

putusan arbitrase dengan alasan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 70

UUAAPS.

c. Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menciptakan kerancuan dan pertentangan

hukum

Akibat dari adanya perbedaan norma antara materi muatan atau norma

verbatim Pasal 70 UUAAPS dan yang terkandung dalam penjelasannya,

maka para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum karena

perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan

pembatalan putusan arbitrase itu.

Sebagian besar hakim di level judex factie dan judex juris telah

berupaya menerobos pertentangan horma Pasal 70 UUAAPS dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 122: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

25 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Penjelasannya melalui upaya penafsiran letterlijk/hai'fiah kata "diduga" dan

pemahaman persoalan faktual penegakan dan pelaksanaan hukum dalam

ranah pidana yang tidak mungkin diselesaikan dalam batas waktu yang

ditetapkan UUAAPS dengan tujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi

para pencari keadilan, Akan tetapi, upaya tersebut masih terasa sulit dan

berhadapan dengan tembok hukum Penjelasan Pasal 70 UUAAPS yang

membelenggu dan tidak realistis;

Berdasarkan ketiga alasan tersebut, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS

dan Penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang

bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Berkaitan dengan kepastian hukum, Professor Barry E. Hawk dan

Nathalie Denaeijer dalam The Development of Articles 81 and 82: Legal

Certainty (2000) mengatakan bahwa di bawah hukum Uni Eropa kepastian

hukum (legal certainty/legaI determinacy) mengandung dua pengertian pokok,

yakni predictability of outcome and legal consequences of violation

(prediktabilitas hasil dan akibat hukum dari pelanggaran).

Kedua pengertian itu pada dasarnya memberikan jaminan akan adanya

stabilitas sistem hukum, sehingga setiap warga negara dapat merencanakan

semua aktivitasnya dan dapat meramal hasilnya berdasarkan aturan hukum

yang tersedia. Dalam ungkapan Franz Neumann dalam The Rule of Law:

Political Theory and the Legal System in Modern Society (1986:182), kepastian

hukum terkait dengan gagasan Rechtsstaat yang menghendaki agar aturan

hukum "must be predictable and calculable" (harus dapat diramal dan dapat

dihitung) sehingga setiap warga negara dapat merancang kegiatannya sehari-

hari dan dapat meramal serta menghitung hasil yang akan diperolehnya.

Dalam kehidupan ekonomi, aturan hukum yang predictable dan calculable

akan memberikan kemudahan bagi para pelaku ekonomi untuk merancang

kegiatan-kegiatan ekonominya dan memperoleh hasil ekonomi secara efektif

dan efisien.

Dalam kaitan dengan norma dalam suatu undang-undang, kepastian

hukum menghendaki adanya konsistensi internal (internal consistency) di

dalam undang-undang tersebut. Dalam ungkapan Jurgen Habermas dalam

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 123: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

26 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Between Facts and Norms (1997:198),"... the principle of legal certainty

demands decisions that can be consistently rendered within the framework of

the existing legal order. An existing law is the product of an opaque web of

past decision by the legislature and the judiciary ..." (Prinsip kepastian hukum

membutuhkan keputusan-keputusan yang dapat diperoleh secara konsisten

dalam kerangka tata hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku adalah produk

dari sebuah jaringan keputusan masa lain yang tidak transparan oleh legislatif

dan peradilan). Artinya, kepastian hukum harus disediakan oleh aturan hukum,

baik produk legislatif maupun yudisial, yang di dalamnya terdapat norma-

norma yang tersusun secara konsisten atau tidak bertentangan satu sama lain,

sekalipun harus diakui bahwa aturan-aturan hukum tersebut merupakan

produk legislatif dan yudisial yang tidak sepenuhnya transparan.

Berdasarkan pemahaman atas makna kepastian hukum tersebut, maka

adanya perbedaan antara kata "dugaan" pada ketentuan Pasal 70 UU AAPS

dan frasa "harus dibuktikan dengan putusan pengadilan" pada bagian

Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menunjukkan tidak adanya konsistensi internal

di dalam UU AAPS yang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum.

Inkonsistensi internal itu juga menunjukkan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU

AAPS telah mengandung rumusan norma baru yang menghasilkan perubahan

norma secara terselubung dan menimbulkan ketidakjelasan norma yang

terkadung dalam Pasal 70 UU AAPS.

Tidak adanya kepastian hukum dalam UU AAPS itu akan berimplikasi

pada berkurangnya kemampuan UU AAPS untuk menjamin warga negara

dapat memprediksi dan dapat mengkalkulasi hasil dan akibat hukum manakala

hendak melakukan permohonan pembatalan arbitrase yang harus ditempuh

dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan

pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Artinya,

Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menimbulkan kesulitan bagi warga

negara sebagai pencari keadilan untuk memperoleh keadilan. Secara spesifik

dalam konteks kehidupan ekonomi, ketidakpastian hukum yang menimbulkan

hilangnya kemampuan untuk memprediksi dan mengkalkulasi hasil dan akibat

hukum itu juga akan menimbulkan kerugian secara ekonomi dan fmansial yang

pada akhirnya akan menghambat aktivitas perekonomian masyarakat. Dengan

demikian, secara yuridis ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 124: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

27 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menyulitkan bagi para pencari keadilan

sekaligus juga menghambat aktivitas ekonomi masyarakat.

Akhirnya, dalam konteks pengujian UU AAPS terhadap UUD 1945, adanya

ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 70 UU APPS

menunjukkan bahwa Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang a quo bertentangan

dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan hak bagi setiap

orang untuk memperoleh kepastian hukum.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden

menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 April 2014, dan

keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 April

2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang merasa

dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan

berlakunya Penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Kerugian Konstitusional yang

dimaksud adalah adanya ketidakpastian hukum dalam proses hukum terkait

dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah diajukan oleh

Para Pemohon ke Pengadilan Negeri Bandung (Perkara Nomor

157/PdUPN- BDG/2013);

2. Bahwa adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh

Pasal 70 UU a quo atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan

Pasal 70 UU a quo secara prinsip bertentangan dan ketidak konsistenan

dalam pengertiannya;

3. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menghalangi

hak hukum pencari keadilan;

4. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menciptakan kerancuan, pertentangan dan

ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan norma.

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan

Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah

pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 125: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

28 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang

dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih

dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal

51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud

yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;

c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat

berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan

batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat

(1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(vide putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan putusan-putusan berikutnya),

harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah

dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 126: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

29 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,

Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemohon adalah salah satu pihak dalam suatu perjanjian dalam bidang

perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di mana para pihak

telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase yang

memiliki otoritas dan jurisdiksi terhadap sengketanya yang tidak bisa

dicampuri oleh pihak manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak yang

bersengketa.

2. Pemohon dalam positanya tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran

terhadap kerugian hak konstitusionalnya yang mana bagi pemohon baik

secara aktual dan spesifik akan berpotensi terjadi menurut penalaran yang

wajar dalam UU a quo.

Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Para

Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 70 UU

AAPS. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Para Pemohon yang

dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial

yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada

hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-

undang yang dimohonkan untuk diuji. Sehingga ketentuan a quo tidak

bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Dengan demikian Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini

tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal

standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Namun demikian Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia

Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah

Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana

yang ditentukan oteh Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 127: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

30 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan Putusan Nomor

11/PUU-V/2007).

III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sehubungan dengan anggapan Para Pemohon dalam permohonannya yang

menyatakan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan :

Penjelasan Pasal 70 :

"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembataJan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan . Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan"

Ketentuan tersebut oleh Para Pemohon dianggap bertentangan dengan:

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastias hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".

Adapun Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan:

"Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ;atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa” Sebelum Pemerintah memberikan keterangannya terhadap materi muatan

yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu

menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

A. Latar Belakang Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan

dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar

perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter

hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 128: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

31 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai

dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal

651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad

1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene

lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara

Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,

Staatsblad 1927:227).

Selain itu, UU AAPS juga mengatur secara khusus tata cara pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase internasional atas dasar asas timbal balik tidak saja

putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat

dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga putusan arbitrase Indonesia yang

melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.

B. Pengertian Menurut UU AAPS, Pasal 1 ayat (1): "Arbitrase merupakan cara penyelesaian

suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pad a perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Dengan

demikian Arbitrase diartikan sebagai suatu proses di mana para pihak menunjuk,

umumnya dengan suka rela, orang ketiga atau arbiter yang dipilih oleh mereka

untuk menyelesaikan sengketanya berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi yang

disampaikan di Majelis Arbitrase atau melalui proses di luar jurisdiksi pengadilan.

Objek dari arbitrase adalah mendapatkan penyelesaian yang adil oleh Majelis yang

tidak berpihak tanpa penundaan atau biaya yang tidak perlu, dan para pihak

seharusnya bebas untuk sepakat bagaimana sengketa tersebut diselesaikan,

dengan hanya batasan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan

publik. Arbitrase merupakan suatu cara konsesus oleh lembaga pengambil

keputusan di luar pemerintahan yang menghasilkan putusan yang definitif dan

mengikat yang dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional.

Penyelesaian Sengketa dalam bidang perdata melalui arbitrase tersebut

didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam suatu Perjanjian

Arbitrase, yang memiliki empat ciri hak, yaitu:

a) Mereka berdaulat;

b) Mereka memiliki otoritas;

c) Mereka mempunyai jurisdiksi terhadap sengketanya; dan

d) Masing-masing independen tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun tanpa

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 129: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

32 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

kehendak/izinnya.

Kesepakatan tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase

tersebut dapat dituangkan sebagai salah satu pasal ("Klausula Arbitrase") dalam

Perjanjian atau dibuat tersendiri setelah timbul sengketa ("Akta Kompromis"). Agar

Perjanjian Arbitrase atau Akta Kompromis tersebut menjadi efektif, maka perjanjian

untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal) serta tertulis. Perjanjian

tersebut mempunyai 4 (empat) fungsi yang esensial, yakni:

a) Untuk menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory

consequences) bagi para pihak;

b) Untuk mencegah intervensi dari Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa

para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan ;

c) Untuk memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa; dan

d) Untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa.

Dalam melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum "Pacta

Sunt Servanda" sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

(BW), yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Para pihak dapat menetapkan

hukum yang mengatur sengketa atau menyerahkannya kepada putusan

arbiter.

Dengan demikian, para pihak dalam Perjanjian Arbitrase tersebut wajib

menerima putusan yang diambil oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase sebagai

sesuatu yang resmi, final dan mengikat para pihak. Ketidakpatuhan terhadap

Keputusan Arbiter atau Majelis Arbiter, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan

hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) merupakan

suatu pengingkaran terhadap keadilan dan kepastian hukum.

Segera setelah putusan dijatuhkan dan pihak yang kalah tidak mau mentaati

secara sukarela, maka pihak yang menang dapat minta kepada pengadilan untuk

menegakkannya. Pengadilan akan membatasinya semata-mata pada

pengendalian formal dan verifikasi keberadaan perjanjian arbitrase, termasuk

apakah penunjukan arbiter telah dilakukan menurut perjanjian dan putusan telah

memenuhi persyaratan formal yang ditetapkan dalam undang-undang .

Dengan demikian, maka Perjanjian Arbitrase tersebut merupakan suatu

kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui

"Lembaga Arbitrase" yang diinginkan bersama. Pengadilan Negeri tidak

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 130: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

33 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

berwenang untuk mengadili sengketa yang telah terikat Perjanjian Arbitrase.

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI telah mengakui bahwa Arbitrase

sebagai "Extra Judicial' yang lahir dari Perjanjian Arbitrase mempunyai akibat

hukum (legal effect) yang memberi kewenangan mutlak (absolute) kepada Majelis

Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian

berdasar asas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu "Semua

perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang- undang berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya".

C. Tujuan Arbitrase Penggunaan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa telah lama dikenal di

semua masyarakat di dunia dan sistem hukum termasuk dalam hukum adat di

Indonesia. Secara tradisional bentuk yang digunakan adalah konsiliasi diantara

para pihak yang bertujuan hidup bersama dalam masyarakat kecil. Arbitrase dipilih

untuk hubungan pribadi para pihak, dan putusan tidak ditegakkan oleh pengadilan.

Namun, dengan makin terbukanya masyarakat, pengakuan arbitrase yang lebih

formal tumbuh paralel dengan sistem hukum.

Di Indonesia, arbitrase juga mempunyai sejarah lama sejak sebelum Perang

Dunia II, tetapi jarang dipergunakan karena kurang dimengerti manfaat dan tata

caranya. Sampai dengan Agustus 1999, proses berarbritase di Indonesia diatur

berdasarkan Burgelijke Reglement of de Rechtsvordering ('RV') yang dilandasi

pada ketentuan-ketentuan "kebebasan berkontrak" (freedom of contract) dalam

KUHPerdata. Berdasarkan RV, penegakan putusan dilaksanakan dengan cara

yang sama sebagai putusan pengadilan, termasuk eksekusi barang-barang milik

pihak yang kalah. Peraturan hanya menetapkan putusan-putusan arbitrase yang

dijatuhkan di dalam negeri, sedangkan untuk putusan-putusan yang dijatuhkan di

luar negeri tidak dapat dieksekusi di Indonesia.

Alasan mengapa arbitrase komersial makin populer adalah karena hasiI

arbitrase lebih dapat diperkirakan (predictable) tertutup dan dihindarinya publisitas,

serta fleksibel, tidak terlalu formal dan biaya yang lebih terukur/pasti dari pada

proses pengadilan. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya perdagangan

dunia dan kebijakan pasar bebas. Dalam perdagangan internasional, pengaturan

baru di luar negara seperti lembaga-lembaga ekonomi multilateral, adanya

standar-standar hukum supranasional dan badan-badan bukan pemerintahan

yang dipimpin oleh pasar modal serta multilateral corporations telah memberikan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 131: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

34 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

kontribusi yang signifikan dalam pertumbuhan arbitrase sebagai satu cara-cara

menyelesaikan sengketa komersial yang mempunyai sifat internasional dan

mengabaikan berbagai tes dan standar yang ditetapkan dalam sistem hukum

nasional.

Dengan demikian, Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang a quo

merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang

didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua

sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa

mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang

bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.

Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para

pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses

penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding

kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini untuk menjaga agar penyelesaian

sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarut-larut.

Arbitrase dapat dilaksanakan institusional atau ad hoc. Arbitrase institutional

dilaksanakan dengan bantuan suatu lembaga arbitrase, di mana para pihak

sepakat akan menggunakan aturan dari lembaga arbitrase tersebut, seperti

misalnya International Chamber of Commerce (ICC) dan Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI). Dalam arbitrase ad hoc para pihak dapat bersepakat untuk

menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri, aturan atau prosedur

dari salah satu lembaga arbitrase tertentu atau aturan tertentu yang tidak terkait

dengan suatu lembaga aribtrase seperti aturan UNCITRAL Arbitration Rules, yang

diterbitkan oleh The United Nations Commission on International Trade Law.

Karena tidak ada institusi yang melakukan administrasi acara, permasalahan

sering timbul dalam arbitrase ad hoc jika satu pihak menolak untuk menunjuk

seorang arbiter atau jika para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam

memilih ketua. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan

mengenai pemilihan/penunjukan arbiter Pasal 13 UU AAPS mengamanatkan

bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan

Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase dalam rangka penyelesaian

sengketa para pihak.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 132: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

35 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

D. Keuntungan dari Arbitrase Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan

dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif ;

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai

pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai

masalah yang disengketakan ,jujur dan adil;

d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan

e. Putusan arbiter merupakan putusan akhir yang mengikat para pihak dan

f. dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung

dapat dilaksanakan.

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab

di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses

arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat

kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian

penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi,

terutama untuk kontrak bisnis bersifat intemasional.

E. Pelaksanaan Putusan Arbitrase

1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 – Pasal 64

UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasamya para pihak harus melaksanakan

putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan

pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada

kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan

lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau

kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari

setelah putusan arbitase diucapkan.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti

putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap), sehingga Ketua

Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan

dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 133: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

36 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap

putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Berdasar Pasal 62 UU AAPS, sebelum memberi perintah pelaksanaan,

Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi

Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan

ketertiban umum. Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat

menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua

Pengadilan Negeri tersebut tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.

2. Putusan Arbitrase Internasional Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU a quo memberi kewenangan kepada

PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan

Putusan Arbitrase lntemasional, yang menurut Pasal 1 butir (9) adalah putusan

yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar

wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan suatu lembaga

aribtrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia

dianggap sebagai putusan arbitrase internasional

3. Pembatalan Putusan Pasal 70 UU a quo, menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan

arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga

mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam

pemeriksaan palsu atau, disembunyikan dan putusan diambil dari hasil tipu

muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan hanya

dapat diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan di pengadilan dan

alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan.

Alasan pembatalan dalam UU AAPS berbeda dengan UNCITRAL Model

Law, yang menyatakan bahwa pembatalan meliputi (Pasal 34):

a) Satu atau para pihak tidak cakap (Incapacity);

b) Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau

proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya.

c) Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase,

atau berisi putusan-putusan diluar kewenangan arbitrase;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 134: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

37 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

d) Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan

kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang; atau

e) Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat

diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di

Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum

(public policy) dari negara tersebut.

Sementara banyak negara telah membatasi hak untuk banding, namun

demikian hak banding tersebut tetap merupakan ancaman terhadap putusan

arbitrase. Hak banding tersebut telah menghambat eksekusi dan penyelesaian

sengketa. Di sisi lain, hak untuk banding merupakan stimulus bagi para arbiter

untuk bekerja dengan penuh kehati-hatian dan wajar sehingga arbiter

senantiasa harus beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa.

F. Asas Itikad Baik dalam Berarbitrase Arbitrase adalah suatu perjanjian yang dinegosiasikan, disepakati dan

dijalankan; karenanya itikad baik menjadi pusat dalam arbitrase. Sebagai

dipersyaratkan dalam konvensi-konvesi lnternasional dan Undang-Undang, para

pihak dalam arbitrase, termasuk kuasa, arbiter, lembaga arbitrase dan para pihak

yang bersengketa harus beritikad baik ketika memasuki proses arbitrase.

Misalnya, kuasa atau pengacara para pihak tidak menutup kemungkinan untuk

perdamaian dengan cara-cara menunda sidang. Para kuasa atau pengacara

tersebut seyogyanya selalu berkomunikasi dengan kliennya untuk menjajagi

kemungkinan tercapainya penyelesaian segera setelah mengetahui bahwa

pembahasan menuju perdamaian mengenai kasus cukup memberikan harapan.

Dalam setiap arbitrase. tugas dan kewajiban harus dilaksanakan dengan

standar itikad baik dan penyikapan secara penuh (full disclosure). Hal ini berarti

bahwa para pihak dari awal bersedia membahas kepentingannya masing-masing .

Mereka mengerjakannya dengan cara-cara yang efektif dan tidak membuang-

buang waktu, wajar (reasonable) dan menujukkan proaktif keinginan untuk

menyelesaikan sengketa.

Tanpa itikad baik, keunggulan arbitrase dalam penyelesaian sengketa menjadi

tidak efektif atau hilang. Untuk arbiter, itikad baik berarti tidak bersedia menjadi

arbiter jika jadwal yang bersangkutan penuh dan bersedia mengungkapkan

kemungkinan adanya benturan kepentingan (conflict of interest). Karena itu arbiter

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 135: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

38 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebelum dan selama proses harus melakukan introspeksi mengenai sikapnya

sehingga tidak mejatuhkan putusan yang bias. Ketidakberpihakan dan kebebasan

dari seorang arbiter merupakan hal yang esensial dalam pemeriksaan. Dalam

premise tersebut, itikad baik mengharuskan para arbiter bertindak wajar, untuk

melindungi ekspektasi yang berasal dari perjanjiannya.

Hal yang juga cukup relevan tentang itikad baik dalam arbitrase adalah hak

banding atas putusan yang dijatuhkan. Kesepakatan menyelesaikan sengketa

melalui abitrase pada hakekatnya bersedia menerima putusan arbitrase sebagai

putusan terakhir (finaL dari para arbiter, karena itu pengajuan banding kepada

pengadilan untuk membatalkan putusan dapat dipandang sebagai suatu tindakan

yang tidak beritikad baik, selain melanggar cita-cita hukum yang didambakan

tetapi tidak selalu seiring, yaitu asas-asas manfaat, keadilan dan kepastian hukum.

Selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal

70 UU a quo tidak konsisten, tidak operasional dan menimbulkan kerancuan,

Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:

Bahwa sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH dalam

tulisannya yang berjudul "Perihal Undang-Undang", norma atau kaidah merupakan

nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk kata aturan yang berisi kebolehan, anjuran

atau perintah, dan bahwa dengan demikian norma hukum yang tertuang dalam

peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang timbul dari hukum yang

berlaku.

Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan kadang-kadang diperlukan

penjelasan lebih lanjut agar pembentuk Undang-Undang dapat menyampaikan apa

yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang

ditetapkan tersebut. Seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa Penjelasan adalah

tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu

dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap

kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat

disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma

dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari

norma yang dimaksud.(vide Pasal 176 UU No. 12 Tahun 2011).

Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan

"Putusan Arbitrase hanya dapat dibatalkan dalam hal adanya dokumen yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 136: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

39 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

diduga palsu atau dipalsukan atau tipu muslihat" adalah norma yang harus

dipenuhi sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase.

Sedangkan Penjelasan Pasal 70 yang menjelaskan bahwa atas dugaan yang

telah ditetapkan dalam batang tubuhnya harus dibuktikan melalui putusan

pengadilan" adalah putusan pengadilan yang berwenang mengadili pemalsuan

atau tipu muslihat". Hal ini terkait dengan kepastian hukum dan keadilan dalam arti

bahwa seseorang baru dapat dinyatakan bersalah dalam hukum setelah

pembuktian. Sebaliknya jika Penjelasan Pasal 70 dianggap bertentangan dengan

normanya sebagaimana dimaksud oleh Para Pemohon, maka Pasal 70 UU a quo

akan kehilangan penafsirannya, sehingga bagi pihak yang memenangkan perkara

arbitrase akan menghilangkan hak-hak konstitusional dan tidak akan mendapatkan

manfaat, keadilan dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan

arbitrase.

Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan

menjadi normatif baru dan telah selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari

substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 AAPS dan bahwa

dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi sebagai penjelasan yang

memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS.

Terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap dengan terlalu lamanya

waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan sehingga menjadi

adanya ketidakpastian hukum, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai

berikut:

Bahwa dalam pembuktian pengadilan terhadap adanya unsur unsur

sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan 70 UU a quo dibutuhkan waktu yang

lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya

dokumen/fakta palsu atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase

itu merupakan teknis pengadilan, yang tidak sesuai dengan asas peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pemalsuan dokumen dan tipu muslihat masuk ranah hukum pidana, yang

penegakannya dijalankan oleh aparat penegak hukum dan prosesnya untuk

mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan dan

menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang

norma tersebut (total enforcement), yang dibatasi oleh "area of no enforcement'

melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lain, untuk menjaga

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 137: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

40 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan

individu (full enforcement).

Bahwa sebenarnya Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase,

pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 (enam

puluh) hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan pembatalan

berdasar adanya dokumen palsu atau tipu muslihat, yaitu 30 (tiga puluh) hari untuk

pendaftaran putusan dan 30 (tiga puluh) hari untuk pendaftaran permohonan

pembatalan. Pembuktian pemalsuan dokumen atau tipu muslihat seharusnya

dapat dilakukan secara sederhana dan tidak seharusnya memakan waktu lama.

Banyak contoh tentang peradilan cepat itu; antara lain dalam perkara-perkara di

Pengadilan Niaga, di mana dengan pembuktian sederhana Hakim di Pengadilan

Niaga sudah harus menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari.

Bahwa dibatasinya waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan

ada kaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase

merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka memberikan

manfaat, keadilan, dan kepastian hukum kepada para pihak, termasuk pihak yang

telah memenangkan perkara arbitrase.

IV. KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal diatas, Pemerintah dalam keterangannya dapat

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pengajuan pembatalan putusan arbitrase sering tidak dilandasi pada "itikad

baik" yang merupakan asas pokok dalam suatu perjanjian karena arbitrase

merupakan kesepakatan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa

yang didasari atas asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum,

maka para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan

yang dibuat oleh para arbiter yang telah ditunjuknya sendiri. Peran

pengadilan hanya untuk penegakan hukum agar putusan arbitrase ditaati

para pihak.

2. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan

Sederhana, Cepat dan Biaya ringan tersebut sering di latarbelakangi oleh

berbagai faktor, antara lain para pengacara yang tidak selalu secara

professional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya

dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses Pengadilan itu

sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 138: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

41 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Hal

ini mencerminkan perilaku yang tidak beritikad baik, yang dalam hal

pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui

kekalahan dengan mengingkari kesepakatan, bahwa putusan arbitrase

adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda

eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang

akan menghilangkan hak konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan

manfaat, keadilan dan kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang

telah disepakati para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan

mengikat.

3. Bahwa dengan demikian, gugatan Pemohon bahwa terdapat perbedaan

norma atau adanya norma baru atau perubahan terselubung dalam

Penjelasan Pasal 70 tidak terbukti dan patut ditolak.

Berdasarkan kesimpulan diatas, Pemerintah berpendapat jika Penjelasan

Pasal 70 UU AAPS dianggap tidak mempunyai hukum mengikat, maka Pasal 70

UU a quo akan kehilangan tafsir resmi terhadap normanya dan akan menimbulkan

ketidakpastian hukum kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkan keadilan dan

manfaat dari putusan arbitrase berdasarkan hak-hak konstitusionalnya, sehingga

Pemerintah berpendapat dari hasil kesimpulan tersebut Pemohon dalam

permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan

hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara

bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard).

V. PETITUM Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan

memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Terhadap Undang-Undang Dasar

1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Pemohon tidak memiliki Kedudukan hukum (legal standing);

2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-

tidaknya menyatakan permohonan. Para Pemohon tidak dapat diterima (niet

onvankelijk verklaard);

3. Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 139: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

42 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak

bertentangan dengan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Oasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, Presiden mengajukan dua orang ahli yang didengarkan

keterangannya di Persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Agustus 2014, pada

pokoknya sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M 1. Keterangan ahli (affidavit) ini saya buat atas permintaan Pemerintah

Republik Indonesia cq. Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) yang menjadi salah satu pihak atau minimal

yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

2. Keterangan ahli ini saya buat dalam kapasitas saya sebagai sarjana yang

telah cukup lama mempelajari arbitrase. Minat lama saya kepada arbitrase

antara lain tegambar ketika pertama kali menerbitkan buku berjudul

Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers) pada tahun

1991 dan juga menerbitkan buku berjudul: Dasar-dasar, Prinsip dan

Filosofi Arbitrase (Bandung: Keni Media) pada tahun 2014.

3. Permasalahan hukum yang dimintakan kepada saya terkait dengan

Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ("UU") Penjelasan Pasal

70 UU berbunyi:

"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan."

4. Keterangan berupa Pendapat hukum yang saya buat di bawah ini lebih

menitik-beratkan pada prinsip arbitrase.

I. Prinsip Arbitrase: Non Intervensi Pengadilan 5. Salah satu prinsip universal arbitrase yang penting adalah prinsip non-

intervensi pengadilan. Prinsip ini menyatakan bahwa pengadilan harus

sedapat mungkin tidak menyampuri sengketa yang para pihak telah terikat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 140: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

43 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

pada suatu perjanjian arbitrase. Prinsip ini bersifat universal. Prinsip ini

dalam hukum nasional tampak dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase.

6. Pasal 3 UU Arbitrase menyatakan: "Pengadilan Negeri tidak berwenang

untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian

arbitrase."

Pasal 11 UU Arbitrase berbunyi:

(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

7. Dalam hukum arbitrase internasional, prinsip ini termuat dalam Article II

ayat (3) Konvensi New York 1958. Article II (3) Convention berbunyi:

"The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed."

8. Terjemahan Pasal 11 ayat (3) Konvensi berbunyi:

"Pengadilan dari suatu negara peserta Konvensi ini, ketika dimintakan menyelesaikan sengketa yang para pihaknya telah terikat dalam suatu perjanjian arbitrase, wajib merujuk para pihak untuk menyelesaikan sengketanya ke arbitrase, kecuali Pengadilan memutuskan bahwa perjanjian arbitrase yang mengikat para pihak tersebut adalah batal demi hukum, tak bisa dijalankan atau tidak dapat dilaksanakan."

9. Prinsip non-intervensi pengadilan menurut pendapat saya, harus juga

diterapkan pada aspek pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan harus

sedapat-dapatnya menjaga jarak untuk tidak menyampuri sengketa para

pihak yang telah terikat pada arbitrase termasuk mengeluarkan putusan

yang membatalkan putusan arbitrase.

10. Dewasa ini masih terdengar pandangan dari pengusaha luar negeri baliwa

negeri Indonesia dipandang sebagai "unfriendly country” untuk arbitrase.

Istilah "unfriendly country” di sini mengacu kepada pemahaman mereka

bahwa negeri Indonesia tidak ramah (unfriendly) terhadap arbitrase.

Alasan sejatinya, putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat,

temyata dibatalkan. Pembatalan suatu putusan arbitrase melukai perasaan

suatu pihak yang telah beritikad baik di dalam menyelesaikan sengketanya

di arbitrase.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 141: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

44 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

11. Menurut Yang Mulia Hakim Agung Bismar Siregar, putusan arbitrase

adalah mahkota seorang arbiter. Karena itu, pembatalan suatu putusan

arbitrase sejatinya melukai pula perasaan seorang arbiter yang memutus

sengketa arbitrase.

12. Dari perspektif arbitrase, pembatalan suatu putusan arbitrase, apalagi

putusan arbitrase asing, sangat mengundang perhatian dan mengundang

keingintahuan mendalam terhadap alasan-alasan pembatalan atau

mengapa suatu putusan arbitrase dibatalkan.

II. Prinsip Final dan Mengikat Putusan Arbitrase 13. Putusan arbitrase adalah putusan yang dikeluarkan oleh majelis arbitrase

atau seorang arbiter. Prinsip universal yang berlaku terhadapnya adalah

putusan yang bersifat final dan mengikat. Final artinya paling akhir.

Mengikat artinya para pihak yang bersengketa terikat secara hukum untuk

melaksanakan putusan arbitrase.

14. Sifat final dan mengikat putusan arbitrase secara hukum tidaklah dapat

diajukan perlawanan. Tetapi prinsip universal memberi kelonggaran

terhadap prinsip final dan mengikat ini. Putusan arbitrase berdasarkan

Konvensi New York 1958 dan Model Arbitration Law UNCITRAL 1985

dapat dimintakan penolakan pelaksanaannya. Penolakan pelaksanaan

putusan ini karena adanya aturan dasar yang dilanggar, misalnya

kepentingan umum (public policy).

15. Dalam UU, suatu putusan arbitrase dimungkinkan pembatalan. Meskipun

ketentuan UU berbeda dengan Konvensi New York 1958 dan Model

Arbitration Law UNCITRAL, menurut hemat saya, berdasarkan dua prinsip

di atas, yaitu prinsip non-intervensi pengadilan dan prinsip final dan

mengikat putusan arbitrase, pembatalan ini haruslah sangat hati-hati

dilakukan.

16. Alasannya, pertama, pembatalan hanya dapat dilakukan apabila ada hal-

hal yang sifatnya sangat teramat fundamental telah dilanggar oleh suatu

arbitrase. Kedua, pembatalan menimbulkan atau melahirkan dampak

negatif yang sangat teramat fiindamental pula. Pembatalan putusan

arbitrase hanya akan melahirkan kesangsian bahkan keraguan

masyarakat (di dalam dan luar negeri) terhadap arbitrase di Indonesia.

17. Berdasarkan prinsip-prinsip arbitrase di atas, ketentuan dalam UU

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 142: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

45 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Arbitrase khususnya Pasal 70 beserta penjelasannya haruslah dipandang

sebagai suatu ketentuan yang harus membatasi dengan tegas agar

putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.

2. Prof. Dr. Mieke Komar, S.H., M.CL 1. Keterangan ahli ini, saya buat atas permintaan Pemerintah cq

Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif

Penyelesaian Sengketa, khususnya terhadap Penjelasan Pasal 70 .

2. Keterangan ahli ini, saya buat dalam kapasitas saya sebagai akademisi

yaitu dosen/Guru Besar (emeritus) Universitas Padjadjaran, yang di

samping mengajar dalam Hukum Internasional, Hukum Kontrak

Internasional, dll. (sejak 1967-2011 sebagai dosen/GB tetap), sebagai GB

(em) 2011-sekarang), juga sebagai Mantan Hakim Agung Rl (2003-2012),

anggota kamar Perdata Khusus, serta sebagai pemerhati tentang

perkembangan hukum Arbitrage nasional dan internasional.

3. Adapun petitum pihak Pemohon, pada pokoknya memohon Majelis

Mahkamah Konstitusi untuk:

- Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

- Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas

perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil -adilnya (ex aequo et

bono)

4. Pertimbangan Mahkamah Agung. dalam berbagai putusan dapat

menunjukkan arah penyelesaian Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999

beserta Penjelasannya. Terlebih putusan-putusan Mahkamah Agung

sebagai badan Peradilan yang tertinggi merupakan yurisprudensi tentang

penerapan hukum dalam keadaan riil, yang menjadi pegangan atau

pedoman bagi badan-badan peradilan di bawahnya.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 143: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

46 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

"Bahwa pembatalan putusan BANI harus memenuhi syarat syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, yang telah dirinci secara

limitatif sebagai berikut:

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,

yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah

satu pihak dalam pemeriksaan sengketa."

Dengan memperhatikan Penjelasan atas Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999

berbunyi:

"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase

yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan

yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.

Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau

tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar

pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.

- Putusan Nomor 01/Arb.Btl/2006, MA menguatkan putusan Pengadilan

Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo

dengan pertimbangan bahwa alasan alasan pembatalan adalah

bertentangan dengan isi Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan

Penjelasannya; alasan alasan Pasal 70 telah ditentukan secara limitatif.

- Putusan MA Nomor /855K/lPdt.Sus/2008 yang menguatkan putusan

Pengadilan Negeri, bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase

a quo adalah prematur sebab harus dibuktikan lewat putusan pengadilan

terlebih dahulu tipu muslihat/kebohongan (bukan hanya tafsir dari salah satu

pihak), lihat Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, dan Penjelasannya.

- Putusan MA Nomor 729K/PDT.SUS/2008, menegaskan, bahwa alasan-

alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 UU Nomor 30

Tahun 1999 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (dalam

perkara pidana) dan seterusnya permohonan pembatalan harus dinyatakan

tidak dapat diterima (N-O).

- Putusan MA Nomor 109 K/PDT.SUS/2010, yang pada pokoknya menolak

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 144: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

47 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

permohonan pembatalan putusan arbitrase sebab adanya tipu muslihat

yang dilakukan oleh Termohon Banding dalam perkara a quo tidak dapat

dibuktikan adanya unsur tipu muslihat dan tidak disertai dengan bukti

berupa putusan pidana yang menyatakan telah terjadi tipu muslihat yang

dilakukan oleh Termohon Banding, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70

UU Nomor 30 Tahun 1999.

5. Beberapa cuplikan putusan (dari sekian banyak putusan MA Rl) di atas

mempertegas, bahwa isi dari Pasal 70 UU 30 Tahun 1999 harus dibaca dan

diterapkan bersamaan dengan Penjelasannya. Alasan- alasan pembatalan

dalam Pasal 70 mengandung unsur Pidana, dan Penjelasannya memuat

uraian atau penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70, yaitu bahwa

alasan alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan (pidana).

Adalah tidak tepat untuk berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 70 di atas

mengandung norma baru seperti didalilkan Pemohon.

Perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase berada dalam ranah Hukum

Perdata, tetapi unsur unsur Pasal 70 tersebut harus diperiksa oleh peradilan

pidana, sebab peradilan perdata tidak berwenang untuk memeriksa dan

memutuskan perkara yang diduga berisi unsur-unsur pidana.

6. Menurut hemat kami kedudukan Penjelasan pada UU Nomor 30 Tahun

1999 tidak bertentangan dengan pertimbangan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam

Lampiran butir nomor 148-155, UU ini telah disempumakan oleh UU Nomor

12 Tahun 2011.

7. Lain dari pada itu, apabila Penjelasan dicabut dan dianggap bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 70 akan berdiri sendiri,

tetap akan menghasilkan kerancuan dalam penyelesaiannya di peradilan

perdata, yang akan bertentangan dengan Hukum Acara Indonesia

8. Suatu kenyataan bahwa ketentuan pembatasan waktu seperti yang diatur

dalam Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, "Permohonan pembatalan

putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan

arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri", menghambat bagi

penerapan isi Pasal 70 beserta Penjelasan sebagaimana mestinya.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 145: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

48 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

9. Apakah menghapus/mencabut baik Pasal 70 beserta Penjelasannya

merupakan jawabannya, di samping merupakan tuntutan ultra petitum, juga

perlu dipertanyakan apakah absennya upaya permohonan pembatalan

dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan perintah,

maksud dan tujuan dari Pasal 28D UUD 1945?

Mengacu pada hukum Internasional yang mengikat Rl, yaitu Konvensi

Internasional tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,

yang telah diratifikasi oleh Rl pada tahun 1985, mengatur tentang Pembatalan

putusan arbitrase asing dalam Pasal V (l) (e) (pengertian "set aside" sama

dengan "to annul" atau membatalkan), yaitu berkaitan dengan hak suatu negara

anggota untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan (asing), Butir (e):

putusan belum mengikat para pihak atau telah dibatalkan (set aside) atau

ditangguhkan oleh badan yang berwenang dari negara di mana, atau

berdasarkan hukum mana, putusan tersebut dibuat; ((e) the award has not yet

become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a

competent authority of the country in which, or under the law of which, that

award was made) Contoh, putusan arbitrase Indonesia yang diputuskan di

Indonesia dapat dibatalkan di Indonesia atau menurut hukum Indonesia.

Konvensi Internasional ini tidak menetapkan syarat syarat pembatalan

suatu putusan arbitrase asing. Dengan demikian, kewenangan menentukan

syarat-syarat pembatalan suatu putusan arbitrase, baik putusan arbitrase asing

maupun domestik adalah wewenang penuh negara anggota yang bersangkutan.

Menggaris bawahi isi Keterangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) tertanggal 30 April 2014, butir 4) Pasal 34 UNCITRAL Model Law, yang

berisi alasan alasan pembatalan putusan arbitrase (set aside) yaitu apabila:

a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapacity)

b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau

proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya

c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau

berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase

d. Penunjukan majelis arbitrase- atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan

kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang atau

e. Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 146: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

49 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di

Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketentuan umum

(public policy) dari negara tersebut.

f. Diketahui secara luas, bahwa isi UNCITRAL Model Law telah diadopsi oleh

banyak negara, termasuk negara negara tetangga kita. Sekalipun Rl belum

mengadopsi aturan UNCITRAL Model Law tersebut, namun demikian butir-

butir diatas dapat menjadi acuan bagi aturan tentang pembatalan putusan

domestik maupun asing.

Kesimpulan 1. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari

Pasal 70 UU Nomor 30, 1994; Penjelasan tidak memuat norma baru tetapi

memuat penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70 UU Nomor 30

Tahun 1999.

2. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 mempertegas bahwa syarat-

syarat pembatalan dalam Pasal 70 masuk ke ranah pidana (pengadilan

pidana), dan harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan

pidana, seperti dipertimbangkan Mahkamah Agung dalam berpuluh-puluh

putusannya.

3. Dibatalkan Penjelasan Pasal 70 memberikan ketidak pastian, terutama dapat

dianggap bahwa pengadilan (perdata) memiliki wewenang untuk memeriksa

unsur unsur pidana yang terkait dengan permohonan pembatalan tersebut. Hal

mana sangat bertentangan dengan hukum acara Indonesia.

4. Pasal 70 beserta Penjelasan tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945,

namun demikian terkait dengan persyaratan dalam Pasal 71 UU Nomor 30

Tahun 1999 menimbulkan suatu ketidakpastian.

5. Mekanisme pembatalan putusan Arbitrase harus diatur dalam suatu Undang

Undang tentang Arbitrase, untuk menguatkan hak warganegara sesuai dengan

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat

diterapkan secara efektif.

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan

Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di

Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 September 2014, yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 147: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

50 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

A. KETENTUAN UU ARBITRASE YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945

Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas

Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, yang berbunyi sebagai berikut:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan” Para Pemohon beranggapan Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

B. POKOK PERMOHONAN Para Pemohon dalam permohonannya yang pada pokoknya

menyatakan sebagai berikut: 1. Para Pemohon dalam Permohonannya berpendapat berlakunya Penjelasan

Pasal 70 UU Arbitrase telah mengakibatkan atau setidaknya berpotensi

mengakibatkan kerugian konstitusional yaitu ketidakpastian hukum dalam

proses hukum terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase

yang telah diajukan oleh para Pemohon ke Pengadilan Negeri Bandung

(Perkara Nomor 157/Pdt/PN-BDG/2013), karena bersifat tidak operasional

dan menghalangi hak hukum pencari keadilan.

2. Bahwa adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh

Pasal 70 Undang Undang a quo atau bahkan munculnya norma baru dalam

Penjelasan Pasal 70 Undang Undang a quo secara prinsip bertentangan

dan ketidakkonsistenan dalam pengertiannya, sehingga menciptakan

kerancuan, pertentangan dan ketidakpastian hukum karena adanya

perbedaan norma.

C. KETERANGAN DPR RI I. Kedudukan Hukum (Legal Standing)

Mengenai kedudukan hukum para Pemohon a quo, DPR

berpandangn bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih

dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya

ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 148: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

51 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang

dimohonkan untuk diuji.

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR

menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah

Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak

sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang

Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

II. Pengujian UU Arbitrase Terhadap pandangan-pandangan para Pemohon dalam Permohonan

a quo, DPR memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Mekanisme penyelesaian sengketa perdata khususnya dalam bidang

perdagangan (yang meliputi antara lain perniagaan, perbankkan,

keuangan, industri, penanaman modal dan Hak atas Kekayaan

Intelektual) selain dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan

umum juga dapat diselesaikan melalui jalur diluar peradilan umum yang

dikenal dengan lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum yaitu antara

lain:

a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural

dan administratif;

c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya

mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang

cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

dan

e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan

dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun

langsung dapat dilaksanakan.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 149: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

52 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

2. Mekanisme penyelesaian sengketa perdata khususnya bidang

perdagangan melalui Arbitrase telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang

Undang a quo merupakan pengganti dari peraturan yang terdapat

dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering)

yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia perdagangan

sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat

internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non

sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata

(Reglement op de Rechtvordering).

3. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase secara jelas telah

menyebutkan bahwa "Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu

sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa". Berdasarkan ketentuan tersebut arbitrase merupakan

suatu proses di mana pihak-pihak yang bersengketa menunjuk, orang

ketiga atau arbiter yang dipilih oleh mereka untuk menyelesaikan

sengketanya berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi yang

disampaikan di Majelis Arbitrase atau melalui proses di luar jurisdiksi

pengadilan. Dengan demikian Arbitrase dapat diartikan merupakan

suatu cara konsesus oleh lembaga pengambil keputusan di luar

pemerintahan yang menghasilkan putusan yang definitif dan mengikat

yang dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional.

4. Putusan arbitrase merupakan putusan yang bersifat final dan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak yang

bersengketa (vide Pasal 60 UU Arbitrase). Dalam hal setelah putusan

arbitrase dijatuhkan, ada pihak yang tidak mau mentaati secara

sukarela, maka putusan arbitrase dapat dilaksanakan berdasarkan

perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohon salah satu pihak yang

bersengketa (vide Pasal 61).

5. Meskipun Putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat, namun untuk

melindungi kepentingan hukum pihak-pihak yang beritikat baik dalam

penyelesaian sengketa melalui lembaga abitrase, maka dalam

ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase diatur secara tegas bahwa Putusan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 150: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

53 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Arbitrase dengan syarat-syarat tertentu dapat dibatalkan melalui

pengajuan permohonan pembatalan kepada pengadilan negeri.

Permohonan pembatalan Putusan Arbitrase tersebut hanya dapat

dikabulkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah

putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah

satu pihak.

6. Dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase disebutkan bahwa Alasan-

alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini (Pasal 70)

harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Penjelasan Pasal 70

a quo adalah merupakan penjabaran atau uraian lebih lanjut dari norma

yang tertuang dalam batang tubuh dan merupakan kelaziman dalam

penyusunan Undang Undang agar uraian norma menjadi lebih jelas dan

tidak menimbulkan penafsiran ganda. Hal mengenai penjelasan dalam

perumusan Undang Undang tercantum dalam Lampiran II angka 176

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang menyebutkan bahwa penjelasan merupakan tafsir resmi

pembentuk Undang Undang yang hanya memuat uraian terhadap kata,

frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat

disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas

norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya

ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

7. Ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase mengatur persyaratan dapat

dibatalkannya Putusan arbitrase yaitu dalam hal adanya dokumen yang

diajukan dalam pemeriksaan diakui palsu atau dinyatakan dipalsukan

dan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak.

Ketentuan persyaratan tersebut adalah norma yang harus dipenuhi

sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase. Kemudian

dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase diuraikan atau dijabarkan lebih

lanjut bahwa persyaratan dapat dibatalkannya putusan arbitrase

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 151: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

54 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebagaimana ditetapkan Pasal 70 Undang Undang a quo harus

dibuktikan melalui putusan pengadilan”.

8. Penjelasan Pasal 70 sebagaimana diuraikan diatas merupakan

penafsiran resmi pembentuk Undang Undang untuk menguraikan atau

menjabarkan lebih lanjut mengenai norma persyaratan-persyaratan

untuk membatalkan putusan arbitrase yang ada dalam batang tubuh

(Pasal 70 Undang Undang a quo). Penjabaran atau uraian lebih lanjut

dari norma yang tercantum dalam Pasal 70 Undang Undang a quo

adalah salah satu pihak yang mengajukan pembatalan putusan

arbitrase dengan dasar adanya dokumen yang diajukan dalam

pemeriksaan diakui palsu atau dinyatakan dipalsukan dan adanya tipu

muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka demi kepastian

hukum dan keadilan kedua persyaratan tersebut harus dibuktikan

terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Hal tersebut untuk

memberikan kepastian hukum bahwa adanya dokumen palsu dan

adanya tipu muslihat yang dijadikan dasar untuk pembatasan putusan

arbitrase adalah benar menurut hukum dan dapat dibuktikan sehingga

dapat dijadikan dasar untuk membatalkan Putusan arbitrase.

9. Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat penjelasan Pasal 70 UU

Arbitrase, telah selajan dan sesuai dengan maksud dan arti dari

substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 UU

Arbitrase, dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi

sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau

keterangan dari Pasal 70 UU Arbitrase.

10. Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap dengan terlalu

lamanya waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan

sehingga menjadi adanya ketidakpastian hukum, DPR berpendapat

bahwa pembuktian pengadilan terhadap adanya unsur-unsur

sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 70 Undang Undang

a quo yang mebutuhkan waktu untuk mendapatkan putusan akhir

untuk membuktikan adanya dokumen/fakta palsu atau dipalsukan dalam

rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknis pengadilan,

harus dilaksanakan berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 152: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

55 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

biaya ringan. Oleh karenannya hal tersebut bukan persoalan

konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma.

11. Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase, Pasal 71 dan

Pasal 72 UU Arbitrase sudah mengatur secara jelas dan tegas batasan

waktu pengajuan permohonan pembatalan dan batasan waktu bagi

pengadilan untuk memberi putusan mengenai pembatalan tersebut yaitu

para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 (enam puluh)

hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan permohonan

pembatalan kepada pengadilan negeri dan pengadilan sudah harus

menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari.

12. Berdasar uraian-uraian di atas DPR berpendapat, Penjelasan Pasal 70

UU Arbitrase dirumuskan untuk memperjelas ketentuan norma Pasal 70

Undang Undang a quo, sehingga dapat lebih memberikan kepastian

hukum terhadap pelaksanaan putusan arbitrase dan memberikan

perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam lembaga

arbitrase, oleh karenannya tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal

28D ayat (1) UUD 1945.

Demikian keterangan DPR RI ini kami sampaikan untuk menjadi

bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan

putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak

bertentangan dengan UUD 1945;

2. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetap

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait

Badan Arbitrase Nasional Indonesia, telah memberikan keterangan di persidangan

Mahkamah pada tanggal 30 April 2014, yang pada pokoknya menerangkan

sebagai berikut:

1. Tentang BANI BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang

berhubungan dengan arbitrase, mediasi, dan bentuk-bentuk lain dari

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 153: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

56 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977

atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu Almarhum Prof. Soebekti

S.H., dan Haryono Tjitrosoebono S.H., dan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan

dikelola dan diawasi oleh dewan pengurus dan dewan penasehat yang terdiri

dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta

dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya,

Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan, Batam.

Adapun BANI sebagai lembaga arbitrase adalah sesuai dengan

ketentuan umum Pasal 1 butir 8 Undang-Undang AAPS yang menyatakan

bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselenggarakan melalui

lembaga arbitrase, yaitu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa

untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.

Selanjutnya Pasal 1 butir 9 juga mengakui putusan arbitrase

internasional, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau

arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan

suatu lembaga arbitrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum

Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk

bertindak secara otonomi dan independen dalam menegakkan hukum dan

keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk

batasan waktu di mana majelis arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini

dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di

Indonesia. Pada saat ini lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai

profesi, 7% di antaranya adalah arbiter asing terdaftar di BANI.

2. Pengertian tentang Arbitrase. 1) Menurut Prof. R. Soebekti Mantan Ketua Mahkamah Agung, arbitrase

adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim dan

para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada

dan menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang

mereka pilih atau mereka tunjuk. Sebagai salah satu cara penyelesaian

sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase telah lama dikenal

dalam sistem hukum di Indonesia. Kaidah umum tentang arbitrase telah

merupakan bagian dari hukum acara perdata yang berlaku pada Raad Van

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 154: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

57 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Justitie yaitu RV 1847 Nomor 52 juncto S. 1849 Nomor 67 dan Pasal 377

HIR 1941-1944.

2) Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan antara lain bahwa penyelesaian

sengketa di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase

tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai

kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk

dieksekusi (eksekutoar) dari pengadilan.

3) Sengketa yang dapat disengketakan melalui arbitrase adalah hanya

sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh

para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka dan

berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang AAPS penyelesaian

sengketa melalui arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah

perdagangan.

4) Putusan arbitrase adalah bersifat mandiri, final dan mengikat, final and

binding atau seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

sehingga ketua pengadilan negeri tidak lagi diperkenankan memeriksa

alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut. Sesuai ketentuan

Pasal 3 Undang-Undang AAPS, pengadilan negeri tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum

banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, hal ini untuk menjaga agar

penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarut-larut.

5) Yurisprudensi TAP Mahkamah Agung telah mengakui bahwa arbitrase

sebagai ekstra yudisial yang lahir dari perjanjian arbitrase mempunya akibat

hukum (legal effect) yang memberikan kewenangan mutlak (absolute) pada

majelis arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari

perjanjian berdasarkan atas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,

yaitu semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang Undang berlaku

sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam

melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum Pacta Sunt

Servanda, dimana para pihak dapat menetapkan hukum yang mengatur

sengketa atau menyerahkannya pada putusan arbiter. Dengan demikian

para pihak dalam perjanjian arbitrase tersebut wajib menerima putusan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 155: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

58 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai sesuatu yang resmi,

final, dan mengikat para pihak.

6) Abitrase dapat dilaksanakan institusional, dimana proses dilaksanakan

dengan bantuan suatu lembaga arbitrase dengan menggunakan aturan dari

lembaga arbitrase tersebut, seperti misalnya International Court of

Arbitration dari International Chamber Of Commerce (ICC) Singapore

International Arbitration Centre (SIAC), Kuala Lumpur Regional Arbitration

Centre (KLRAC), dan Badan Arbitration National Indonesia (BANI).

Arbitrase juga dapat dilaksanakan secara ad hoc dimana para pihak dapat

bersepakat untuk menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri,

aturan atau prosedur dari salah satu lembaga arbitrase tertentu, atau aturan

tertentu yang tidak terkait dengan suatu lembaga arbitrase, seperti aturan

unsitral, arbitration rules yang diterbitkan oleh United Nations Commission

on International Trade Law di Indonesia mengenai arbitrase ad hoc.

3. Pelaksanaan Putusan Abitrase.

1) Dalam Undang-Undang AAPS pelaksanaan putusan arbitrase diatur dalam

Pasal 59, dan Pasal 64, untuk putusan arbitrase nasional, dan Pasal 65,

dan Pasal 69 yang memberikan kewenangan kepada PN Jakarta Pusat

untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan

secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya

putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan

pengadilan negeri dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau

salinan otentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke

panitera pengadilan negeri dalam waktu 30 hari setelah putusan arbitrase

diucapkan.

2) Karena putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat

ketua pengadilan negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau

pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan

memeriksa yang dimiliki ketua pengadilan negeri terbatas pada

pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang

dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Menurut Pasal 62 UU AAPS,

sebelum memberi perintah pelaksanaan ketua pengadilan memeriksa

dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 secara

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 156: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

59 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

tidak bertentangan atau kesusilaan dan ketertiban umum. Bila tidak

memenuhi maka ketua pengadilan negeri dapat menolak pelaksanaan

eksekusi, dan terhadap putusan ketua pengadilan tersebut tidak terbuka

upaya hukum apapun.

3) Pasal 70 UU AAPS menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan

arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga

mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam

pemeriksaan palsu, atau disembunyikan, dan putusan diambil dari hasil tipu

muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam penjelasan Pasal 70

ini ditegaskan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan

terhadap putusan yang sudah didaftarkan dipengadilan, dan alasan-alasan

permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.

4) Berbeda dengan UU AAPS, UNCITRAL Model Law tidak mengenal

pembatalan, tetapi Pasal 34 UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa

putusan arbitrase dapat di kesampingkan (setting a side) apabila.

a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapability).

b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau

proses arbitrase, atau tidak mempresentasikan perkaranya.

c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau

berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase.

d. Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai

dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang Undang atau.

e. Pengadilan menemukan bahwa pihak pokok perkara dalam sengketa

tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-

undangan di negara tersebut atau putusan bertentangan dengan

ketertiban umum (public policy) dari negara tersebut.

Ketentuan sebagaimana disebutkan dalam UNCITRAL Model Law tersebut

sama dengan ketentuan yang termuat dalam hukum arbitrase nasional di banyak

negara, antara lain Australia, Kanada, Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia,

Filipina, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Demikian pula dalam Pasal 36

Konvensi New York Tahun 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase asing telah digunakan istilah refusal atau penolakan, Indonesia

meratifikasi Konvensi New York dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 157: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

60 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

1981. Perlu dicatat bahwa apa pun alasan dari penolakan atau penyampingan

setting a side, suatu pembuktian tetap diperlukan.

Tanggapan terhadap pertanyaan Majelis Hakim. Bahwa dalam persidangan

tanggal 14 April 2014, Majelis Hakim Konstitusi mengajukan pertanyaan berkaitan

dengan Pasal 70 Undang-Undang AAPS yang mengatur pembatalan putusan

arbitrase dan atas pertanyaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Bahwa Pasal 70 AAPS menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat

diajukan permohonan pembatalannya oleh para pihak, yakni jika putusan

dimaksud.

a. Mengandung unsur-unsur adanya surat atau dokumen yang diakui atau

dinyatakan palsu.

b. Adanya dokumen yang disembunyikan, dan,

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat.

Rincian unsur-unsur tersebut sebagai suatu bentuk perlindungan hukum

bagi pihak yang terlibat dalam proses arbitrase yang memiliki dugaan bahwa

putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter tersebut

mengandung unsur-unsur pemalsuan, penyembunyian fakta, dokumen, dan

adanya unsur tipu muslihat.

2. Bahwa dalam melaksanakan arbitrase, BANI telah menerbitkan kebutuhan

prosedural (prosedural regulation) yang mengatur proses arbitrase yang

diselenggarakan oleh BANI bagi yang menunjuk BANI. Selain ruang lingkup

dan ketentuan-ketentuan umum. Peraturan prosedural BANI memuat proses

arbitrase yang umum berlaku di peradilan umum prosedur pembentukan

majelis arbitrase, termasuk penunjukan, penolakan, pengingkaran, dan

penggantian arbiter, pemeriksaan arbitrase, bahasa pemeriksaan, dan

dokumen bukti, dan persidangan, bobot pembuktian, pemeriksaan saksi-saksi,

dan ahli, dan putusan, dan pendaftaran putusan di pengadilan negeri.

3. Bentuk prosedural BANI memberikan kesempatan seluas-luasnya dengan

memberikan waktu khusus kepada para pihak untuk memeriksa bukti-bukti dan

saksi-saksi dan/atau ahli yang diajukan olehnya dan olehnya dan pihak lawan

dan bahwa pemeriksaan dokumen juga meliputi keaslian dokumen, demikian

pula dengan pemeriksaan para saksi dan ahli dalam persidangan yang

semuanya disumpah menurut agama atau kepercayaan masing-masing dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 158: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

61 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

diharuskan menyampaikan keterangan tertulis (affidavit) sebelum

pemeriksaan.

4. Bahwa tipu muslihat merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan

terhadap harta benda yang di dalam KUHP diatur dalam Bab XXV Pasal 378

sampai 395. Bahwa dengan demikian pembuktiannya masuk dalam ranah

hukum pidana.

5. Bahwa UU AAPS menetapkan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60). Dengan demikian

kesepakatan para pihak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase pada

hakikatnya berarti bahwa para pihak bersedia menerima putusan arbitrase

sebagai putusan terakhir (final) dari para arbiter dan mengikat para pihak yang

berlandaskan pada asas pacta sunt servanda. Dalam hal para pihak tidak

melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Putusan dapat dilaksanakan

berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri (PN) atas permohonan salah

satu pihak yang bersengketa (Pasal 61). Untuk itu putusan arbitrase harus

didaftarkan oleh arbiter kepada panitera pengadilan negeri dalam waktu paling

lama 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan (Pasal 59). Ketua PN tidak

memeriksa alasan atau memperimbangkan dalam putusan arbitrase (Pasal 62

butir 4). Eksekusi putusan arbitrase dapat ditolak oleh pengadilan negeri untuk

dilaksanakan hanya dalam hal putusan arbitrase melanggar kesusilaan dan

ketertiban umum.

6. Pasal 71 Undang-Undang AAPS mengisyaratkan permohonan pembatalan

putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30

hari terhitung sejak dari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase

kepada panitera pengadilan negeri. Selanjutnya, Pasal 59 ayat (1) Undang-

Undang AAPS menentukan bahwa dalam waktu paling lama 30 hari sejak

tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase

diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera

pengadilan negeri. Jadi, maksimum waktu yang yang disediakan untuk

memperoleh putusan pengadilan negeri tersebut adalah 60 hari.

Bahwa memang jangka waktu itu sering dianggap tidak cukup atau

ketentuan ini sulit untuk dapat dijalankan sebagaimana dinyatakan oleh

Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XII/2014. Namun, hal tersebut

semata-mata merupakan teknik pengadilan dan sering merupakan taktik

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 159: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

62 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

penundaan persidangan yang dilakukan oleh para pengacara dan bahwa

pengadilan cepat dapat dibuktikan dapat dilakukan dalam perkara-perkara

kepailitan.

7. Ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

mengatur bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan

permohonan yang harus diajukan secara tertulis dan bahwa ketentuan ini

dapat diartikan bahwa bentuk pengajuan pembatalannya berupa suatu surat

permohonan. Dan bahwa dengan demikian, tunduk pada yurisdiksi voluntair

yang menurut Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung), ciri khas permohonan

atau gugatan voluntair adalah masalah yang diajukan dalam permohonan

tersebut bersifat kepentingan sepihak semata. Atau permasalahan yang

dimohonkan kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa

dengan pihak lain, atau tidak ada orang lain, atau pihak ketiga yang ditarik

sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte.

8. Tentang pemeriksaan atas adanya pemalsuan dokumen, hanya dapat diajukan

dalam bentuk gugatan bukan voluntair dan disidangkan oleh majelis hakim.

Sehingga jelas bahwa Pasal 70 dan Penjelasan Pasal 70 saling melengkapi

proses yang harus diikuti untuk membatalkan putusan arbitrase. Atau

penjelasan Pasal 70 bukan merupakan norma baru. Penjelasan dalam Pasal

70 pada hakikatnya bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum dan

keadilan. Dalam arti bahwa adanya pemalsuan atau pun tipu muslihat harus

dibuktikan melalui gugatan di pengadilan. Sebaliknya, penghapusan

penjelasan Pasal 70, sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon

akan menghilangkan hak-hak konstitusional pihak yang memenangkan

perkara arbitrase untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum

dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase. Bahwa dibutuhkan waktu yang

lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya dokumen,

atau fakta palsu, atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase

itu merupakan teknik pengadilan dan tidak sesuai dengan asas peradilan

sederhana, cepat, dan biaya ringan.

9. Pasal 72 butir 3 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pembatalan

ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak

permohonan diajukan oleh ketua pengadilan negeri. Dan bahwa dengan

demikian, sudah sepatutnya dan selayaknya bukti-bukti adanya dokumen

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 160: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

63 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

palsu atau tipu muslihat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sudah

terbukti sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

10. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan

sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut, sering dilatarbelakangi oleh

berbagai faktor. Antara lain, para pengacara yang tidak secara profesional

bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan para

pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses pengadilan itu sebagai cara

untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana

untuk memenangkan perkaranya dengan cara apa pun. Ini mencerminkan

perilaku yang tidak beriktikad baik, yang dalam upaya pembatalan putusan

arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan

mengingkari kesepakatan bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat.

Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase

akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghilangkan hak

konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan

kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang telah disepakati para pihak

yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat.

11. Pengajuan pembatalan putusan sering tidak dilandasi dengan iktikad baik yang

merupakan asas pokok dari suatu perjanjian bahwa arbitrase merupakan

kesepakan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas

asas pacta sunt servanda dan cita-cita hukum yaitu kemanfaatan, keadilan,

dan kepastian hukum. Oleh karena itu, para pihak yang berkontrak diminta

untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh arbiter yang telah ditujukannya

sendiri. Pengadilan hanya untuk menegakkan hukum agar putusan arbitrase

ditaati para pihak. Selanjutnya bahwa dibatasinya waktu untuk mengadakan

permohonan pembatalan putusan berkaitan erat dengan kesepakatan

bersama para pihak bahwa putusan arbitrase merupakan putusan akhir dan

mengikat para pihak dalam rangka melindungi hak konstitusional para pihak

yang mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum, baik pihak yang

memenangkan maupun yang dikalahkan dalam perkara arbitrase.

Kedudukan Hukum, Legal Standing Pemohon 1. Pemohon dalam perkara di Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXII/2014

adalah pemilik PT. Minerina Cipta Guna (PT MCC), dan PT. Bangun Bumi

Bersatu, (PT. BBB), yang merupakan salah satu pihak dalam suatu perjanjian

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 161: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

64 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

dalam bidang perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di

mana para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa dalam Perkara

Nomor 433/I/ARB.BANI/2012. Melalui proses arbitrase yang memiliki otoritas

dan yurisprudensi terhadap sengketanya yang tidak bisa dicampuri oleh pihak

manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak manapun yang bersengketa.

2. Bahwa Majelis Arbitrase yang memeriksa dan memutus Perkara Nomor

443/I/ARB.BANI/2012 terdiri dari M. Husseyn Umar, S.H., sebagai ketua

majelis dan Dr. Ir. Madjedi Hasan, M.Pe. M.Ph., dan Prof. Dr. Ahmad Ramli,

S.H., M.H. sebagai Anggota Majelis. Dan bahwa setelah melalui pemeriksaan

bukti-bukti berupa dokumen, saksi-saksi, dan para ahli yang diajukan oleh para

pihak dalam persidangan, majelis arbitrase pada tanggal 8 November

2012/2013 memutuskan menolak sebagian permohonan Pemohon yang

diajukan dalam persidangan arbitrase.

3. Bahwa setelah putusan arbitrase a quo dibacakan pada tanggal 8 Februari

2013 dan didaftarkan di pengadilan negeri di Bandung pada tanggal 4 Mei

2013, Pemohon kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan

arbitrase a quo di PN Bandung, di mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Bandung kemudian memutuskan menerima permohonan Pemohon agar

membatalkan Putusan Arbitrase BANI a quo dan mengadili sendiri yang

merupakan lawan Pemohon dalam perkara arbitrase a quo.

4. Bahwa dalam Putusan PN Bandung a quo, BANI dan lawan Pemohon dalam

perkara arbitrase, sesuai ketentuan Pasal 70 Undang-Undang AAPS kemudian

mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang sampai pernyataan ini dibuat

sampai dalam proses dan belum ada putusan.

5. Bahwa Pemohon yang diajukan oleh Pemohon pada Mahkama Konstitusi

untuk menyatakan bahwa penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS telah

menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian

hukum, pada hakikatnya merupakan upaya yang beritikad buruk dari Pemohon

untuk membatalkan Putusan Majelis Arbitrase BANI yang sedang dalam

pemeriksaan banding oleh Mahkamah Agung.

6. Bahwa untuk menggugat pelanggaran hak konstitusional, kiranya perlu

dipertanyakan kepentingan para Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak

yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional dirugikan atas

berlakunya ketentuan tentang pelaksanaan Pasal 70 Undang-Undang AAPS

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 162: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

65 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

dan juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud

bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang

menurut penilaian yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah ada

hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya

ketentuan penjelasan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji?

7. Berdasarkan hal tersebut, BANI berpendapat bahwa Pemohon tidak

memenuhi 3 persyaratan untuk menggugat yang harus dipenuhi di Mahkamah

Konstitusi yaitu.

a. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan

Pemohon yang dilindungi secara hukum dan bersifat spesifik.

b. Ketentuan aktual dalam suatu kontroversi yang bukan bersifat potensial dan

adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya suatu

Undang-Undang. Dan kemudian, dengan diberikannya putusan yang

diharapkan akan merugikan dan dihindarkan untuk dipulihkan.

8. Tidak dipenuhinya hal-hal tersebut di atas BANI berpendapat bahwa Pemohon

dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan konstitusional

terhadap materi dalam suatu undang-undang, sehingga adalah tepat jika

Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon

tidak dapat diterima.

Kesimpulan 1. Pemohon dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak

yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan

konstitusional terhadap materi dalam suatu Undang Undang dan bahwa

adalah tepat jika yang Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan

permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

2. Putusan arbitrase bersumber pada kesepakatan para pihak yang berlandaskan

pada asas pacta sunt servanda untuk menyelesaikan sengketa diantara pihak

melalui majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri dan putusannya merupakan

putusan akhir dan mengikat. Dengan demikian penjelasan Pasal 70 UU AAPS

yang menyatakan bahwa alasan permohonan membatalkan harus dibuktikan

dengan putusan pengadilan negeri dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran

putusan sudah sesuai dengan asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian

hukum.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 163: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

66 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

3. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 akan menghilangkan kepastian hukum

atas putusan arbitrase dan bahwa dengan demikian akan mengingkari hak-hak

konstitusional pihak yang benar yang memenangkan perkara untuk

memperoleh manfaat dan keadilan hukum dari putusan arbitrase yang bersifat

final dan mengikat berdasarkan pada asas pacta sunt servanda, yang dapat

diartikan bahwa para pihak menjamin akan lansung melaksanakan putusan

arbitrase tersebut dan bahwa dengan demikin Majelis Konstitusi tidak

sewajarnya dan sepatutnya menolak, mengabulkan permohonan penghapusan

Penjelasan Pasal 70.

4. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 juga mengingkari penerapan asas

pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang merupakan salah satu hal

yang dituntut pihak ketika memasuki proses peradilan dan merupakan salah

satu asas menyelenggarakan kekuasaan kehakiman sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan bahwa dengan sederhana dalam hal ini

dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan

cara yang efisien dengan tetap tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari

kebenaran dan keadilan.

[2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang

disampaikan oleh para Pemohon dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan

Mahkamah masing-masing pada tanggal 4 September 2014 dan 10 September

2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,

segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara

persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian

konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 164: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

67 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut UU 30/1999) terhadap Pasal

27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan

mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan

permohonan a quo.

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10

ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor

70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya

disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional

Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji

konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999

terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk

mengadili permohonan a quo;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 165: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

68 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta

Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu

Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap

UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat

(1) UU MK;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD

1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005

bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20

September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh

UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat

spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran

yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 166: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

69 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau

kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang

yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak

akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah perseorangan

warga negara Indonesia yang masing-masing adalah Direktur PT. Bangun Bumi

Bersatu (PT. BBB) dan PT. Minerina Cipta Guna (PT. MCG), yang merupakan

perusahaan yang bersengketa di Badan Arbitrase Indonesia (BANI) yang

mengalami, atau setidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional dengan

adanya Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999, karena menimbulkan norma baru yang

bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 70 UU 30/1999,

sehingga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal

27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,

[3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK,

dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil

Pemohon yang menganggap dirugikan akibat ketidakpastian hukum dengan tidak

selarasnya ketentuan dalam Pasal 70 dengan Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999,

maka menurut Mahkamah, para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian

tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband)

antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang

dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan

dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi.

Dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum

(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili

permohonan para Pemohon dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal

standing) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan

mempertimbangkan pokok permohonan;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 167: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

70 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh para

Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999

yang selengkapnya menyatakan, “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan

terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan

permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan

tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan

sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak

permohonan”, sedangkan Pasal 70 UU 30/1999 menyatakan, “Terhadap putusan

arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan

tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

Dengan adanya Penjelasan tersebut menurut para Pemohon mengakibatkan

norma dalam pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang adil,

sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD

1945, yang menyatakan:

Pasal 27

(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

ada kecualinya

Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya para

Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai

dengan bukti P-14, yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 19 Maret

2014;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 168: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

71 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya para

Pemohon mengajukan dua orang ahli, Prof. Satya Arinanto dan Dr. Aidul Fitriciada

Azhari, S.H., M.Hum., yang didengarkan keterangannya di persidangan

Mahkamah pada tanggal 30 April 2014;

[3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden

pada pokoknya mengemukakan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 tidak

bertentangan dengan substansi Pasal 70 UU 30/1999, sehingga tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Justru jika Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999

dianggap tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka Pasal 70 UU 30/1999 akan

kehilangan tafsir resmi terhadap normanya, dan akan menimbulkan ketidakpastian

hukum. Selain itu Presiden juga mengajukan dua orang ahli, Prof. Dr. Huala Adolf

S.H., L.LM., dan Prof. Dr. Mieke Komar S.H., M.CL., yang didengarkan

keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 26 Agustus 2014

[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah menerima keterangan tertulis DPR pada

pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 dirumuskan

untuk memperjelas ketentuan norma Pasal 70 UU 30/1999, sehingga dapat lebih

memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan putusan arbitrase dan bagi pihak-

pihak yang bersengketa dalam lembaga arbitrase.

[3.15] Menimbang bahwa, Badan Arbitrase Indonesia sebagai Pihak Terkait,

memberikan keterangan di persidangan Mahkamah tanggal 30 April 2014 yang

pada pokoknya menerangkan bahwa putusan arbitrase bersumber dari

kesepakatan para pihak yang berlandaskan asas pacta sunt servanda melalui

majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri oleh para pihak. Penghapusan Penjelasan

Pasal 70 UU 30/1999 akan menghilangkan kepastian hukum atas putusan

arbitrase dan akan mengingkari hak-hak konstitusional pihak yang benar dan

memenangkan perkara arbitrase, juga mengingkari penerapan asas pengadilan

sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

[3.16] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama

permohonan para Pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan DPR,

keterangan Pihak Terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh para

Pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para Pemohon dan Presiden

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 169: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

72 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah

berpendapat sebagai berikut:

Pendapat Mahkamah

[3.17] Menimbang bahwa untuk mempertimbangkan pokok permohonan para

Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu perlu mengemukakan hal-hal sebagai

berikut:

Bahwa penyelesaian sengketa perdata, yaitu sengketa hukum yang

menyangkut hubungan hukum antarorang dalam pengertian perseorangan,

khususnya dalam bisnis atau perdagangan, sesungguhnya menjadi urusan mereka

yang terlibat di dalamnya. Meskipun demikian, negara sebagai organisasi

kekuasaan yang dibentuk guna melayani masyarakat dalam memberikan

perlindungan hukum di dalamnya membentuk kekuasaan kehakiman. Di dalam

kekuasaan kehakiman tersebut ditetapkan pengadilan sebagai institusi pelakunya

yang disediakan oleh negara supaya menjadi pihak ketiga yang independen dan

imparsial memberikan pelayanan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.

Bahwa dalam hal sengketa tersebut adalah sengketa hukum di bidang

keperdataan sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya penyelesaian tersebut

menjadi urusan mereka yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, untuk

penyelesaiannya para pihak dapat mengajukan ke pengadilan yang berwenang

yang disediakan oleh negara guna melayani mereka. Dalam memberikan

pelayanan, sebelum menyelesaikan sengketa, pengadilan akan bersungguh-

sungguh berusaha supaya mereka dapat menyelesaikan dengan cara perdamaian.

Baru apabila hal tersebut tidak tercapai maka pengadilan akan menyelesaikan

sengketa dimaksud dengan menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 UUD

1945];

Bahwa oleh karena penyelesaian sengketa tersebut adalah urusan mereka

yang terlibat di dalamnya maka dalam penyelesaian sengketa tersebut selain

mengajukan ke pengadilan, mereka dapat pula mengadakan perjanjian, baik

sebelum atau setelah terjadi sengketa, untuk menyelesaikan sengketa melalui

arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian penyelesaian sengketa yang

dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa [vide Pasal 1 angka1 UU

30/1999]. Bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase para pihak dapat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 170: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

73 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

mengajukan permohonan pendapat hukum atau putusan [vide Pasal 52 UU

30/1999];

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka penyelesaian sengketa,

diajukan kepada lembaga apapun – pengadilan atau arbitrase – sesungguhnya

lembaga dimaksud adalah pihak ketiga yang mendapat kepercayaan dari para

pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, selain lembaga dimaksud harus

independen dan imparsial, para pihak yang bersengketa dalam proses

penyelesaian tersebut harus sungguh-sungguh, terbuka, tulus dan jujur. Tiadanya

hal tersebut pada salah satu dari kedua belah pihak, sehingga merugikan pihak

lain maka pihak lain tersebut harus diberi kesempatan untuk mengajukan

pembatalan kepada pengadilan yang berwenang. Terkait dengan hal tersebut

Pasal 70 UU 30/1999 mengatur, yang pada pokoknya bahwa terhadap putusan

arbitrase salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke

pengadilan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur ketidakjujuran,

yaitu a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil

ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak

lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah

satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Penjelasan pasal tersebut menyatakan,

pada pokoknya, bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap

putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan

pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan

pengadilan. Putusan pengadilan mengenai terbukti atau tidak terbuktinya alasan

permohonan pembatalan putusan arbitrase menjadi dasar pertimbangan bagi

hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal

tersebut para Pemohon mengajukan pengujian konstitusional dengan alasan

sebagaimana diuraikan di atas;

[3.18] Menimbang bahwa terhadap permohonan tersebut Mahkamah

mempertimbangkan, bahwa pasal a quo di dalamnya mengandung norma, pada

pokoknya, bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan

pembatalan manakala ada dugaan mengenai terjadinya salah satu atau beberapa

alasan tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas. Pokok permasalahan dalam

pengujian konstitusional tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 UU

30/1999 yang dalam Penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 171: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

74 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

dengan putusan pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan

pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan

pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya dugaan pemohon

yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase mengenai terjadinya

alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Dugaan pemohon bersifat

hipotetis, subjektif, sepihak, dan a priori. Adapun frasa “harus dibuktikan dengan

putusan pengadilan” yang terdapat dalam Penjelasan pasal tersebut memberikan

pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan

arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal

tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan, bahkan apabila syarat

tersebut memang harus demikian seharusnya ditambah “yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap”, sehingga seharusnya selengkapnya menjadi “harus

dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap”. Menurut hukum akan menjadi masalah bila putusan belum memperoleh

kekuatan hukum yang tetap. Frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”

merupakan pengetahuan yang tidak lagi bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan

apriori, karena telah diverifikasi melalui proses pembuktian. Jadi, menurut hukum

pengetahuan tersebut telah dibuktikan, sehingga bersifat posteriori. Hanya oleh

karena putusan tersebut adalah putusan pengadilan yang didasarkan pada proses

verifikasi oleh pengadilan pula maka mesti tersedia upaya hukum dan oleh karena

itu pula putusan tersebut mestinya harus sudah final. Menurut Mahkamah

Penjelasan tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Norma

dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari

pemohon sedangkan dalam Penjelasan mengubah makna dugaan menjadi

sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon bahwa penjelasan

tersebut menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti

menurut hukum;

[3.19] Menimbang bahwa, dengan adanya penjelasan dimaksud apakah

pasal tersebut menjadi multi tafsir sebagaimana didalilkan para Pemohon,

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Menurut Mahkamah,

pasal tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu

ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut.

Paling tidak multi tafsirnya adalah, (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 172: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

75 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih

dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan

pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan

pembatalan. Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan

pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke

pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan

pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat

alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam

proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan

pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya

ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala

tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan

permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses

pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip

arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara lain, dalam Pasal 71 UU

30/1999 yang menyatakan, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus

diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera

Pengadilan Negeri”. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak

mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi;

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di

atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 telah mengakibatkan

ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal

28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan

menurut hukum;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 173: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

76 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

1.1. Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2. Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Anwar Usman, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh tiga, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal sebelas,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]

Page 174: UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

77 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id

bulan November, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 15.28 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Anwar Usman, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Hamdan Zoelva

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Arief Hidayat

ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi

ttd.

Maria Farida Indrati

ttd.

Muhammad Alim

ttd.

Wahiduddin Adams

ttd.

Anwar Usman

ttd.

Aswanto

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Yunita Rhamadani

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]