upaya meningkatkan hasil belajar matematika...

21
Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015 ISSN 1978 – 8002 1 Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Di Madrasah Ibtidaiyah Nurun Najah 2 Rengas Ciputat Tangerang Selatan Melalui Kegiatan Partisipatory Gelar Dwirahayu, dan Femmy Diwidian Jurusan Pendidikan Matematika FITK UIN Jakarta ABSTRAK Empat kompetensi yang harus dikuasai guru menurut Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yaitu kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional. Kompetensi professional dan kompetensi pedagogic merupakan keterampilan yang berkaitan dengan proses pembelajaran di kelas dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa. Tidak sedikit guru yang mengalami kesulitan dan menghadapi banyak hambatan dalam meningkatkan kompetensinya khususnya pedagogis dan professional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu guru adalah melalui bentuk kerjasama yang disebut dengan participatory action research, kerjasama ini bertujuan untuk (1) Mengimplementasikan teori belajar dan pembelajaran matematika di kelas; (2) Membantu guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran matematika; (3) Mengembangkan inovasi pembelajaran matematika; dan (4) Melakukan kerjasama pengembangan pendidikan antara Perguruan Tinggi dan Sekolah/Madrasah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan kegiatan participatory action research di MI Nurun Najah 2 Rengas Ciputat memberikan dampak positif terhadap kegiatan pembelajaran matematika, khususnya peningkatan pemahaman siswa baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor pada pelajaran matematika. Key words: Partisipatory, Madrasah Ibtidaiyah, hasil belajar Matematika A. PENDAHULUAN Salah satu faktor yang dapat menyebabkan maju atau mundurnya suatu bangsa adalah pendidikan. Pendidikan memiliki peranan penting dalam membentuk generasi muda yang kompeten, dan juga dapat meningkatkan kualitas manusia sehingga mampu berkompetisi dengan masyarakat baik di dalam negeri maupun di luar negeri secara professional. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah peningkatan kualifikasi guru melalui program sertifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa pengajar harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi pribadi dan kompetensi social. Kompetensi pedagogis dan kompetensi professional berkaitan erat dengan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia justru membuat guru menjadi bingung karena banyak perubahan secara administrasi,

Upload: others

Post on 06-Jan-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

1

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Di Madrasah Ibtidaiyah Nurun Najah 2 Rengas

Ciputat Tangerang Selatan Melalui Kegiatan Partisipatory

Gelar Dwirahayu, dan Femmy Diwidian

Jurusan Pendidikan Matematika FITK UIN Jakarta

ABSTRAK

Empat kompetensi yang harus dikuasai guru menurut Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yaitu kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional. Kompetensi professional dan kompetensi pedagogic merupakan keterampilan yang berkaitan dengan proses pembelajaran di kelas dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa. Tidak sedikit guru yang mengalami kesulitan dan menghadapi banyak hambatan dalam meningkatkan kompetensinya khususnya pedagogis dan professional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu guru adalah melalui bentuk kerjasama yang disebut dengan participatory action research, kerjasama ini bertujuan untuk (1) Mengimplementasikan teori belajar dan pembelajaran matematika di kelas; (2) Membantu guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran matematika; (3) Mengembangkan inovasi pembelajaran matematika; dan (4) Melakukan kerjasama pengembangan pendidikan antara Perguruan Tinggi dan Sekolah/Madrasah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan kegiatan participatory action research di MI Nurun Najah 2 Rengas Ciputat memberikan dampak positif terhadap kegiatan pembelajaran matematika, khususnya peningkatan pemahaman siswa baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor pada pelajaran matematika.

Key words: Partisipatory, Madrasah Ibtidaiyah, hasil belajar Matematika

A. PENDAHULUAN Salah satu faktor yang dapat menyebabkan maju atau mundurnya suatu bangsa

adalah pendidikan. Pendidikan memiliki peranan penting dalam membentuk generasi muda yang kompeten, dan juga dapat meningkatkan kualitas manusia sehingga mampu berkompetisi dengan masyarakat baik di dalam negeri maupun di luar negeri secara professional. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah peningkatan kualifikasi guru melalui program sertifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa pengajar harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi pribadi dan kompetensi social.

Kompetensi pedagogis dan kompetensi professional berkaitan erat dengan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia justru membuat guru menjadi bingung karena banyak perubahan secara administrasi,

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

2

akan tetapi pada aspek akademik dalam hal ini adalah kegiatan belajar mengajar di kelas tidak banyak mengalami perubahan, akibatnya perubahan kurikulum tidak memberikan efek yang signifikan terhadap perubahan kemampuan siswa dalam pembelajaran.

Keberhasilan suatu proses pembelajaran secara kognitif lebih mudah terukur daripada sikap/afektif dan psikomotor. Banyak kita temukan di lapangan bahwa sebagian besar siswa yang memperoleh nilai matematika rendah salah satu faktor penyebabnya adalah sikap negative mereka terhadap matematika. Banyak siswa yang mengangap matematika itu sulit dimengerti, matematika itu rumusnya banyak jadi sering lupa, matematika itu menakutkan karena jika tidak bisa menjawab akan dihukum oleh guru dan banyak lagi alasan lainnya. Emosi siswa akan banyak menentukan pada efektivitas belajar, suasana belajar yang tidak menyenangkan dan kaku akan menghambat perkembangan siswa sebaliknya suasana belajar yang aman, nyaman dan menyenangkan dapat mendorong energy positif siswa sehingga dapat meningkatkan fungsi otak dan mengoptimalkan proses belajar serta meningkatkan kepercayaan diri.

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai salah satu lembaga pendidikan memikirkan sebuah upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika baik peningkatan dari sudut pandang guru, dari sudut pandang siswa maupun sudut pandang proses pembelajarannya. Oleh sebab itu, bentuk kerjasama yang ditawarkan adalah participatory action research (PAR). PAR merupakan sebuah kerjasama yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi dan sekolah untuk mencapai tujuan yaitu pencapaian hasil belajar matematika siswa menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah “apakah dengan melakukan kegiatan partisipatory action research dapat membantu meningkatkan hasil belajar siswa khususnya di MI Nurun Najah 2 Rengas Ciputat?”. Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini antara lain: (1) Melakukan kerjasama akademis dalam upaya pengembangan pendidikan matematika antara FITK UIN Jakarta dengan MI Nurun Najah 2 Rengas; (2) Mengimplementasikan teori belajar dan pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru di MI Nurun Najah 2 Rengas; (3) Membantu guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran matematika yang berbasis proses dengan mengembangkan kemampuan komunikasi, koneksi, pembuktian dan penalaran, pemecahan masalah dan representasi; (4) Mengembangkan inovasi pembelajaran matematika serta implementasinya di dalam kelas; dan (5) Meningkatkan hasil belajar matematika siswa MI Nurun Najah 2 Rengas pada aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor.

B. LANDASAN TEORI Kompetensi Guru

Sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang masalah, penelitian ini didasari pada adanya tuntutan bagi guru yang telah disertifikasi untuk memenuhi empat kompetensi yang harus dimiliki yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Tidak bisa kita pungkiri bahwa guru telah banyak mengabdikan dirinya untuk mengajar dan mendidik siswa sebagai generasi penerus bangsa. Dapat kita lihat bahwa guru banyak memberikan ilmu dan pengetahuan bahkan mereka telah banyak memberikan pengaruh kepada siswanya dalam pembentukan karakter.

Kondisi seperti ini mulai luntur seiring dengan perubahan jaman, perubahan kurikulum, perubahan sikap siswa akibat dari adanya teknologi dan lain sebagainya.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

3

Tuntutan dan kondisi yang sulit menyebabkan guru menjadi merasa kesulitan untuk mengelola kelas sebagai tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Diperkuat lagi oleh pendapat Hendrayana (2006) bahwa banyak hal yang perlu dilakukan oleh guru kaitannya dengan kompetensi pegagogis dan professional, diantaranya yakni: (1) Menguasai substansi bidang studi dan metodologi keilmuannya yang dihubungkan dengan teori dan prinsip belajar serta pembelajaran, (2) Menguasai struktur dan materi kurikulum bidang studi sehingga proses pembelajaran akan banyak memfasilitasi pengembangan potensi siswa, melibatkan siswa secara aktif dan menyesuaikan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan gaya belajar dan kesulitan belajar siswa, (3) Merancang, melaksanakan pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi dan (4) Mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri.

Gaffar (2012) memberikan definisi operasional untuk kompetensi pedagogis dan kompetensi professional. Kompetensi pedagogis merupakan kemampuan dalam mengelola pembelajaran peserta didik, yang meliputi: pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi Profesional merupakan kemampuan dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi.

Dengan merujuk pada Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, kualifikasi minimal yang perlu dimiliki oleh guru yaitu memiliki pendidikan minimal S1 dan telah mengikuti pendidikan profesi yang merupakan bagian integral dari program pendidikan guru dengan tujuan untuk menyempurnakan dan menguatkan program pendidikan yang telah ada.

Menurut Gaffar (2012), kualifikasi guru dapat dikembangkan dan ditingkatkan jika pendidikan profesi guru difokuskan pada: a. Pemahaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan peserta didik yang

merupakan objek dan sekaligus juga subjek dalam proses pembelajaran. b. Teori belajar, yang membantu memahami proses pembelajaran peserta didik secara

konseptual dan mendasar. c. Pengembangan kurikulum sekolah, yang merupakan isi proses pembelajaran yang

telah dikemas secara sistematik dan komprehensif. d. Strategi pembelajaran yang merupakan metodologi, pendekatan dan cara yang

dapat digunakan oleh guru dalam proses mengajar dan belajar, termasuk keterampilan berkomunikasi dan pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran.

e. Learning assessment yang mencakup konsep, prinsip dan teknik serta pengolahan hasil assessment yang dapat digunakan untuk menilai dan mengukur proses dan hasil pembelajaran.

f. Management pembelajaran, yang mengkaji berbagai unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran yang harus dikelola secara professional untuk mendukung secara terkoordinir dan sistematik proses pembelajaran.

g. Etika profesi keguruan. h. Teaching practice, atau dengan kata lain selalu mengembangkan cara mengajar. i. Melaksanakan penelitian dalam bidang pendidikan untuk memperkuat kemampuan

professional guru khususnya dalam bidang penelitian atau penyusunan karya tulis ilmiah.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

4

j. Pendalaman bidang studi yang mencakup pendalaman dan perluasan dan bidang keahlian guru sesuai dengan jenis dan jenjang persekolahan dan sesuai pula dengan bidang keahlian yang menjadi andalan guru.

k. Komunikasi dalam pendidikan, dalam arti komunikasi dengan peserta didik dalam proses pembelajaran, komunikasi dengan orang tua dan masyarakat dalam konteks proses pendidikan, dan komunikasi antar guru dalam konteks saling bertukar pengalaman dan saling belajar dalam upaya pengembangan keilmuan untuk kepentingan bersama.

Banyak orang yang mengganggap bahwa mengajar matematika sangatlah mudah, ajarkan rumus kemudian berikan contoh soal terakhir berikan latihan soal yang banyak yang mirip dengan contoh yang diberikan dan guru tidak perlu banyak berpikir bagaimana mengajarkan konsep matematika.Sehingga banyak ditemukan di lapangan bahwa guru yang mengajar bidang studi matematika tidak memiliki latar belakang pendidikan matematika. Disisi lain, NCTM (200) mengatakan bahwa dalam pemahaman konsep matematika ada lima proses berpikir yang harus dikembangkan, yaitu kemampuan penalaran dan pembuktian, kemampuan koneksi, kemampuan komunikasi, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan representasi. Kelima kemampuan tersebut tidak dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi perlu dikembangkan melalui penyusunan perangkat pembelajaran yang baik sehingga proses pembelajaran akan terarah dan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mengajar tidak mengacu pada buku teks yang digunakan ataupun LKS yang sengaja dijual penerbit ke sekolah-sekolah.

Hal serupa juga disampaikan oleh Tanner (2004, h. 70): “we do not intend a particular teaching approach which should be employed in

all circumstance, in fact we believe that to concentrate for too long on single approach is likely to lead to boredom and loss motivation for both pupils and teacher, so you should observed, evaluate, and analyse every approach that you see used in school, whether it is used in a mathematics classroom or elsewhere, and steal the brightest and the best. Good teacher have a wide range of style ang approaches which they selest according the the occasion and their object”.

Sebagaimana menjadi ketentuan dari kualifikasi guru yang telah tersertifikasi

bahwa guru harus memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dengan bidang studi yang diajarkannya. Guru MI atau guru SD harus memiliki latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1 PGMI, karena guru memiliki bekal pendidikan untuk lima bidang studi wajib di tingkat MI/SD yaitu matematika, bahasa indonesia, IPA, PKn dan IPS. Namun keterbatasan materi yang disampaikan dapam perkuliahan sehingga guru pun tidak memiliki pemahaman pada materi secara mendalam baik pada matematika, bahasa indonesia, IPA, PKn maupun IPS karena kelima bidang studi tersebut memiliki karakteristik konsep yang berlainan. Kemampuan guru pada kompetensi pedagogis disini diperlukan karena guru harus pandai memilih strategi pembelajaran yang tepat untuk mengajarkan masing-masing pelajaran. Hakekat Matematika

Matematika merupakan ilmu deduktif, formal, abstrak, dan ratunya ilmu. Matematika juga dapat dipandang sebagai ilmu yang strukturnya dibangun dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi, aksioma/postulat/anggapan dasar,

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

5

dalil/teorema/sifat, dan teori. Dalam prosesnya, terdapat serangkaian kegiatan pematematikaan atau matematisasi. Matematisasi dimaksud meliputi generalisasi dan formalisasi (Gravemeijer, 1994). Formalisasi mencakup pemodelan, penyimbulan, penskemaan, dan pendefinisian. Sedangkan generalisasi adalah pemahaman dalam arti yang lebih luas. Hal ini berhubungan dengan membangun karakteristik yang lebih dari aplikasi pemikiran secara umum. Guru harus mengetahui bahwa proses generalisasi dan formalisasi bukanlah hal yang esensial dalam pikiran siswa.

Mungkin siswa tidak peduli terhadap kedua proses tersebut. Padalah dalam matematika kedua proses itu penting (Gravemeijer, 1994). Oleh karena itu, menjadi tugas guru untuk membimbing dan mengarahkan siswa agar kedua proses tersebut berjalan sebagai mana mestinya melalui proses matematisasi. Freudenthal (Darhim, 2004) menduga ada dua alasan proses matematisasi merupakan kunci dari proses pembelajaran matematika. Pertama, matematisasi bukan hanya merupakan aktivitas ahli matematika saja. Hal ini juga merupakan aktivitas siswa untuk memahami situasi sehari-hari dengan menggunakan pendekatan matematika. Di sini kita akan melihat aktivitas matematis untuk menentukan masalah yang berhubungan dengan sikap matematika, melihat kemungkinan dan keterbatasan pendekatan matematis digunakan, dan untuk mengetahui kapan pendekatan matematika dapat digunakan kapan tidak. Kedua, matematisasi memusatkan pada pembelajaran matematika yang berhubungan dengan penemuan kembali (reinvention) ide. Dalam matematika, tujuan akhirnya adalah formalisasi berdasarkan aksiomatisasi. Tujuan akhir ini tidak harus menjadi titik awal ketika kita akan mengajarkan matematika. Dalam belajar matematika, siswa diarahkan seolah-olah menemukan kembali melalui proses yang mungkin serupa dengan cara para ahli waktu menemukan matematika tersebut.

Treffers (1987) membedakan matematisasi ke dalam dua macam, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Gravemeijer (1994) mendefinisikan matematisasi horizontal adalah kegiatan mengubah masalah kontekstual ke dalam masalah matematika, sedangkan matematisasi vertikal adalah memformulasikan masalah ke dalam beragam penyelesaian matematika dengan menggunakan sejumlah aturan matematika yang sesuai.

Pandangan lain tentang matematisasi berhubungan dengan informal dan formalnya pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika di kelas, pendekatan realistik sangat memperhatikan aspek-aspek informal, kemudian mencari perantara untuk mengantarkan pemahaman siswa terhadap matematika yang formal. De Lange (1987) mengistilahkan matematika informal sebagai matematisasi horizontal, sedangkan matematika formal sebagai matematisasi vertikal. Traffers dan Goffree (1985) juga mengatakan bahwa dalam proses pematematikaan ada dua proses matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Menurut keduanya, mula-mula mengidentifikasi tujuan untuk mentransfer suatu masalah ke dalam masalah yang dinyatakan secara matematis. Melalui penskemaan dan pemvisualan dicari keteraturan dan hubungan yang diperkenalkan untuk dibuat formulanya secara umum.

Sejumlah aktivitas yang termasuk ke dalam matematisasi horizontal ketimbang mendefinisikannya dalam bentuk kata-kata. Aktivitas dimaksud adalah: (1) Pengidentifikasian matematika khusus dalam konteks umum, (2) Penskemaan, (3) Perumusan dan pemvisualan masalah dalam cara yang berbeda, (4) Penemuan relasi (hubungan), (5) Penemuan keteraturan, (6) Pengenalan aspek isomorfik dalam masalah-masalah yang berbeda, (7) Mengubah masalah sehari-hari ke dalam masalah

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

6

matematika, (8) Mengubah masalah sehari-hari ke dalam suatu model matematika yang diketahui.

Setelah proses matematisasi horizontal dipahami siswa, langkah berikutnya adalah matematisasi vertikal. Proses ini dilakukan untuk mencapai aspek-aspek matematika formal. Menurut pendapat De Lange (1987) matematika formal sama dengan matematisasi vertikal. Beberapa aktivitas matematisasi vertikal dimaksud adalah menyatakan suatu hubungan dalam suatu rumus, pembuktian keteraturan, perbaikan dan penyesuaian model, penggunaan model-model yang berbeda, pengkombinasian dan pengintegrasian model-model, perumusan suatu konsep matematika baru, dan penggeneralisasian.

Generalisasi mungkin dipandang sebagai tingkat yang paling tinggi dalam matematisasi vertikal. Ini artinya ketika kita memberikan alasan di dalam model matematika, kita boleh merasa dipaksa untuk mengkonstruksi suatu model matematika yang baru. Dengan model baru ini kita dapat membangun konsep matematika yang lebih abstrak. Proses matematisasi yang dilakukan dalam pembetukan pengetahuan, bisaberbeda-beda. Mungkin seseorang menempuh proses horizontal dan vertikal dalam jalur-jalur yang rumit dan banyak. Mungkin orang lain menempuh proses horizontal dengan jalur-jalur yang sederhana dan singkat tetapi proses vertikalnya ditempuh dengan jalur-jalur yang rumit dan banyak atau sebaliknya. Mungkin pula proses horizontal dan vertikal ditempuh dengan jalur-jalur yang sederhana dan singkat.

Berkenaan dengan rumit tidaknya proses matematisasi horizontal dan vertikal di atas memberikan gambaran bahwa: Pada proses matematisasi dimungkinkan para pengembang menggunakan proses horizontal dan vertikal menempuh jalur yang sederhana dan singkat. Pada umumnya dalam belajar matematika cenderung menggunakan jalur-jalur skema yang mudah dipahami siswa. Seseorang tidak dapat secara pasti menentukan jalur-jalur matematisasi tersebut. Kebanyakan dari latihan-latihan, siswa akan puas dengan bagian-bagian jalur yang pendek saja dan rutenya mungkin bagian horizontal dan disambung dengan beberapa bagian vertikal atau sebaliknya.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa menurut pandangan Freudenthal matematika sebagai aktivitas manusia. Agar matematika dipelajari sebagai aktivitas manusia melalui proses matematisasi, maka sebaiknya matematika tersebut jangan diajarkan dalam bentuk akhir. Bentuk akhir matematika harus ditemukan siswa. Hal ini senada dengan pendapat Freudenthal (1973) bahwa matematika harus diajarkan melalui penemuan kembali (reinvention) atau melalui penemuan (invention). Di samping itu RME mempunyai lima karakteristik seperti dikemukakan De Lange (1996) dan Gravemeijer ( 1994).

Ditinjau dari penggunaan proses matematisasi horizontal dan vertikal Treffers (1987) membedakan empat pendekatan pembelajaran matematika, yaitu pendekatan mekanistik (mechanistic), strukturalistik (structuralistic), empiristik (empiristic), dan pendekatan realistik (realistic). Pendekatan mekanistik baik matematisasi horizontal maupun vertikal tidak digunakan. Pada pendekatan empiristik hanya menggunakan proses matematisasi horizontal. Pendekatan strukturalistik hanya menggunakan proses matematisasi vertikal. Sedangkan pada pendekatan realistik baik proses matematisasi horizontal maupun vertikal digunakan (Treffers, 1987).

Hasil Belajar Matematika

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

7

Sebagaimana kita ketahui, matematika memiliki definisi yang berbeda, berdasarkan sudut pandang para ahli. Ada yang mendefinisikan matematika sebagai ilmu abstrak, matematika sebagai ratunya ilmu, matematika sebagai ilmu hitung yang melibatkan angka-angka, matematika sebagai ilmu yang tersusun menurut struktur, maka dalam belajar matematika hendaknya dilakukan dengan cara yang sistematis, teratur, dan logis sesuai perkembangan intelektual anak dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan karakteristik matematika, hasil belajar matematika juga memiliki makna tersendiri. Ismail (2007) mengatakan bahwa belajar matematika merupakan proses aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan matematika yang melibatkan manipulasi aktif dari pemakna bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Dienes dan Piaget (dalam Wahyudin, 2008) menyatakan bahwa dalam belajar matematika anak harus dilibatkan atau ikut serta dalam aktivitas-aktivitas belajar yang bermakna dan membangkitkan motovasi belajar bagi dirinya karena siswa akan membangun konsep-konsep baru berdasarkan apa yang telah diketahui.

Konsep matematika yang sedang diipelajari akan selalu dikaitkan dengan kosep yang telah dipelajari sebelumnya dan juga konsep yang akan dipelajari dikemudian hari. Konsep yang saling terkait dalam pemikiran siswa disebut dengan struktur kognitif.Ausubel (dalam Wahyudin, 2008) mendefinisikan struktur kognitif sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Cara pembelajaran yang mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya seperti ini akan membentuk kesiapan siswa untuk belajar dan siap menerima pelajaran dilihat dari segi perkembangan intelektualnya. Itulah sebabnya sajian matematika yang diberikan kepada siswa berbeda-beda sesuai dengan jenjang pendidikan dan perkembangan intelektualnya agar bermakna untuk mereka, hakekat belajar matematika seperti ini disebut oleh Ausubel sebagai belajar bermakna atau meaningfull learning.

Lain halnya dengan pendapat Schoenfeld (dalam Wahyudin, 2008), belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakan konsep matematika dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah. Pembelajaran matematika akan melibatkan proses pengamatan, penyelidikan, dan keterkaitannya dengan fenomena fisik dan sosial. Scohenfeld mengatakan bahwa belajar matematika merupakan aktivitas mental untuk memahami arti hubungan-hubungan serta simbol-simbol, kemudian diterapkannya pada situasi nyata, dengan kata lain bahwa belajar matematika merupakan kegiatan yang berkenaan dengan pemilihan sub-sub konsep matematika yang sederhana untuk membentuk konsep baru yang lebih rumit. Demikian seterusnya, sehingga dalam belajar matematika harus dilakukan secara hierarki sehingga menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, afektif/sikap dan psikomotor/keterampilan serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran Matematika, khususnya pada tingkat SD/MI menurut Suwangsih (2006) memiliki beberapa karakteristik yang harus diperhatikan oleh seorang guru SD/MI. Adapun ciri-ciri pembelajaran matematika di SD/MI adalah: a. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral, yakni model pembelajaran

yang selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya. b. Pembelajaran matematika bertahap, yakni pembelajaran matematika yang dimulai

dari konsep-konsep sederhana menuju konsep yang lebih sulit. c. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif, artinya belajar

matematika harus diawali dari proses berfikir dari kejadian khusus ke umum.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

8

d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi, artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya dalam matematika.

e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna, artinya pembelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan

Bloom (Anderson, 2001) mengatakan bahwa untuk menentukan hasil belajar siswa harus berdasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.Tujuan pembelajaran harus mencakup pada tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitif yaitu kemampuan atau pemahaman siswa pada konsep yang telah diajarkan, biasanya kemampuan ini dapat diukur melalui tes.Aspek afektif adalah perubahan sikap siswa dari sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran, apakah siswa menunjukkan perubahan yang positif atau tidak ada perubahan, sikap siswa dapat diukur melalui angket, lembar observasi, atau jurnal harian. Aspek psikomotor adalah keterampilan yang dimiliki siswa setelah pembelajaran yang dilakukan, aspek ini harus diukur ketika proses pembelajaran berlangsung karena berkaitan dengan penggunaan panca indra yang dimiliki oleh siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Participatory Action Research

Istilah participatory dalam bahasa Indonesia adalah partisipasi yang berarti terlibat atau ikut serta dalam mengambil bagian, dengan kata lain keterlibatan seseorang dimaksudkan sebagai keterlibatan mental dan emosi pada pencapaian tujuan tertentu serta ikut bertanggung jawab mulai pada perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya.

Selanjutnya, Bilandzic & Venable (2011) menyebutkan ada 5 jenis partisipasi seseorang dalam kegiatan participatory action research yaitu:

Partisipasi pada diagnosing and problem formulation, kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah melakukan pengambilan keputusan dalam mengidentifikasi masalah yang muncul dan melakukan studi berkaitan dengan masalah tersebut sehingga jelas apa yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalahnya.

Partisipasi pada action planning, kegiatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi dan merencakan tindakan atau langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi atau menyelesaikan masalah tersebut.

Partisipasi pada action taking: design, kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan langkah kerja kongkrit sebagaimana tindakan yang telah direncanakan bersama.

partisipasi pada impact evaluation, yaitu bekerja bersama-sama untuk melakukan evaluasi pada tindakanyang telah dilaksanakan

partisipasi pada reflection and learning, kegiatan yang dilakukan yaitu bersama-sama melaksanakan refleksi terhadap hasil temuan sehingga dapat merencanakan tindakan selanjutnya.

Menurut Crane & O’Regan(2012), satu siklus dalam PAR (lihat Gambar 1) kegiatan PAR diawali dengan observasi (observe), tahapan yang dilakukan adalah melihat fenomena dilapangan, menjelaskan dan merekam semua kegiatan yang sedang dan telah terjadi. Observasi yang baik adalah melihat kondisi secara nyata kemudian menjelaskan apa adanya tanpa ada yang dikurangi atau ditambahkan, sehingga informasi yang diperoleh dari kegiatan observasi memungkinkan menjadi landasan untuk membuat refleksi berdasarkan hasil pemahaman yang lebih luas dan aktual.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

9

Tahapan observasi dapat diposisikan sebagai awal dari sebuah siklus penelitian tindakan karena dengan kegiatan observasi maka kita dapat membandingkan sesuatu yang telah terjadi atau yang tidak terjadi, menggunakan informasi yang tersedia untuk memulai atau merencanakan tindakan, dapat menemukan informasi baru serta dapat menggunakan beberapa informasi seseorang untuk menjelaskan apa yang mereka pikirkan.

Gambar 1 Tahapan Siklus PAR menurut Crane & O’Regan (2012)

Tahap kedua adalah merefleksi (reflect), pada tahap ini beberapa kegiatan yang

dapat dilakukan antara lain: 1. Standing back even more and reflecting on what happened, dengan kata lain bahwa

kita lebih banyak berada di posisi belakang dan lebih banyak merefleksi apa yang terjadi bukan sebagai orang yang serba tahu segalanya.

2. Developing ideas or ‘theories’ about what happened, dengan kata lain bahwa kita harus dapat mengembangkan ide atau teori-teori yang berkaitan dengan apa yang sedang terjadi

3. Sharing ideas with others so that a range of interpretations and ‘meanings’ can be considered, dengan kata lain kita harus berbagi dengan orang lain sehingga apa yang dapat kita interpretasikan dapat dibandingkan dengan pendapat lain.

Tahap ketiga adalah perencanaan (plan), kegiatan yang dapat dilakukan yaitu membuat klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan, mengidentifikasi berbagai tindakan yang mungkin akan dilakukan serta membuat dan mengembangkan rencana tindakannya.

Tahap kelima adalah tindakan (act), dalam hal tindakan dimaksudkan mengujicobakan strategi atau tindakan yang telah dibuat, melakukan observasi pada apa yang terjadi selama tindakan, dan melakukan refleksi pada setiap pertanyaan yang dimunculkan sebelumnya. Dengan melakukan tindakan kelas, kemungkinan kita akan mendapatkan jawaban yang sangat beragam terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi. Acuan yang dapat diperhatikan ketika melakukan tindakan yaitu kita harus melakukan implementasi dari rencana yang telah dibuat secara sistematis dan kreatif, selalu berkomunikasi dengan kolaborator selama proses tindakan dan selalu berada pada jalur yang telah ditetapkan meskipun banyak hal-hal temuan baru.

Satu tahapan yang tidak kalah penting dalam melaksanakan PAR adalah berbagi (share). Tahap ini dilakukan jika terdapat informasi baru yang diperoleh selama

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

10

tindakan, sehingga informasi ini perlu di-share dengan kolaborator, selain itu kita juga bisa mengundang orang lain yang lebih memahami konteks permasalahan untuk membantu memecahkan permasalahan tersebut sehingga pada akhirnya kita dalam grup PAR bisa mengembangkan tindakan atau strategi lain yang lebih tepat.

Kerangka konseptual penelitian ini disajikan pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2 Diagram Kerangka Konseptual Penelitian

C. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah partisipatory action research, dimana

peneliti berkolaborasi dengan guru dalam upaya meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Dalam penelitian ini melibatkan guru, dosen dan siswa sebagai subjek penelitian. Instrumen penelitian terdiri dari: rancangan pembelajaran matematika, tes hasil belajar matematika, lembar observasi, lembar wawancara, respon guru/siswa terhadap pelaksanaan kolaborasi penelitian. MI Nurun Najah 2 Rengas ditentukan sebagai tempat penelitian dengan alasan utama adalah nilai akreditasi dari BAN-SM tahun 2011 yaitu B dengan skor standar isi 65, standar proses 72 dan standar kompetensi lulusan 64, jumlah siswa pada setiap kelas sangat minim yaitu rata-rata jumlah siswa pada setiap kelas tidak lebih dari 10 orang, atar belakang pendidikan guru sebagian besar tidak linear, dan lokasi yang tidak terlalu jauh dari kampus.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini pada intinya melibatkan peneliti, mahasiswa dan guru. Masing-masing memiliki peranan penting dalam pelaksanaan penelitian. Peneliti merupakan

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

11

dosen di jurusan pendidikan matematika dan juga pendidikan guru madrasah ibtidaiyah (PGMI) memiliki peran sebagai perancang penelitian, mulai dari menemukan masalah, menyusun rencana tindakan untuk menyelesaikan masalah sampai pada penyusunan dan pertanggung jawaban laporan penelitian dan juga bertindak sebagai observer, penelitian ini juga melibatkan mahasiswa untuk membantu peneliti dalam hal implementasi tindakan yang telah disusun, mahasiswa yang direkrut adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan perkuliahannya dan memiliki waktu luang untuk melaksanakan pembelajaran di sekolah tempat penelitian, guru dalam hal ini berperan sebagai sumber data, kemudian guru juga bertindak sebagai objek yang diteliti dan sekaligus sebagai observer untuk melihat bagaimana mahasiswa mengajar di kelas dalam upaya membantu guru dalam mengajar khusus pelajaran matematika.

Penelitian ini dilakukan lima tahap pada setiap fasenya, yaitu tahap (1) A good place to start, (2) Observe with others, (3) Reflect with others, (4) Plan with others, dan (5) Act with others. Crane & O’Rega (2012).

A good place to start: mengawali kegiatan dengan memilih tempat terbaik. MI Nurun Najah dipilih sebagai tempat untuk melaksanakan penelitian dengan pertimbangan seperi yang telah diuraikan sebelumnya. Kondisi guru dan lingkungan sekolah yang serba terbatas mendorong peneliti untuk mengimplementasikan pengetahuan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran di MI Nurun Najah 2 Rengas khususnya mata pelajaran matematika. Observe with others: melakukan observasi secara mendalam terkait dengan kondisi guru, kondisi sekolah, kegiatan belajar mengajar, kondisi siswa dan dukungan sarana pembelajaran matematika. Pada awalnya di MI Nurun Najah 2 Rengas terdapat satu orang guru yang khusus mengajar matematika, namun sekarang sudah mutasi ke sekolah lain sehingga pelajaran matematika dikembalikan pada guru kelas masing-masing. Kondisi lain yang ditemukan adalah ketidakfahaman guru tentang pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13) bagi kelas I dan kelas IV akan tetapi silabus dan buku yang digunakan masih kurikulum KTSP. Reflect with others ↔ Share: Hasil refleksi disimpulkan bahwa: (1) perlu memberikan bantuan kepada guru kelas untuk mengajar khususnya mengajar pelajaran matematika sebagai guru model, sehingga guru akan melihat dan belajar bagaimana mengajarkan konsep matematika; (2) Perlu disiapkan buku pegangan matematika bagi guru sehingga dapat menambah wawasan pengetahuan tentang matematika tingkat SD/MI; (3) Perlu disiapkan LKS bagi siswa sehingga mereka mudah mengerjakan soal-soalnya untuk melatih kemampuan berpikir matematik; dan (4) Perlu disiapkan media pembelajaran matematika sehingga memudahkan siswa memahami konsep matematika. Plan with others: Hasil refleksi awal di sekolah dilanjutkan diskusi dengan tim peneliti. Peneliti bersama dengan pembantu peneliti merencanakan pembelajaran matematika dan menyiapkan perangkat pembelajaran matematika. Pembantu peneliti diperbantukan untuk mengimplementasikan desain pembelajaran yang telah disusun. Act with others: act dalam penelitian ini dimaksudkan dengan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan rencana tindakan yang telah didiskusikan. Karena keterbatasan tenaga pengajar, maka penelitian kali ini hanya menggunakan tiga kelas saja yaitu kelas II, kelas V dan kelas VI. Ketika peneliti masuk ke kelas, materi pelajaran sudah dijelaskan semuanya kecuali materi bangun datar di kelas 5 untuk materi lainnya bersifat mengulang.

Implementasi Tindakan Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian kali ini tidak dilaksanakan di semua

kelas, hanya kelas II, kelas V dan kelas VI saja. Materi yang diajarkan di kelas II terdiri

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

12

dari penjumlahan bilangan bulat, letak bilangan, bilangan jam 12-an dan pemecahan masalah pada konsep bilangan jam 12-an. Untuk materi penjumlahan, siswa diajarkan dengan menggunakan urutan bilangan. Misalnya 12 + 7 maka siswa akan menyelesaikan dengan cara 12 ada di kepala kemudian jarinya dibuka sebanyak 7, kemudian menyebutkan setelah 12 sambil menutup jari sampai pada bilangan 19. Cara seperti ini memang tidak disalahkan, akan tetapi kalau sudah masuk pada bilangan yang banyak (misalkan bilangan lebih dari 20) maka siswa akan kesulitan menemukan cara cepat karena penyelesaiannya disebutkan satu persatu.

Peneliti mencoba memberikan penjelasan ulang dengan cara mengajarkan bilangan sekawan 10, artinya harus dicari kawan suatu bilangan sehingga jumlahnya jadi 10. 1 kawannya 9, 2 kawannya 8 dan seterusnya, bilangan sekawan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan lagu:

Satu – Sepuluh (SS) Dua – Delapan (DD) Tiga – Tujuh (TT) Empat – Enam (EE) dan Lima – Lima (LL) Inti dari lagu tersebut adalah pasangan bilangan akan terjadi jika huruf

depannya sama. Sekawan ini harus dihafalkan oleh siswa. Jadi kalau ada soal 17 + 5 = ..., maka siswa akan menyelesaikan dengan cara 7 sekawannya 3 jadi 5-3 adalah 2, tulis angka 1 pada puluhan, dan 1 puluhan ditambah 1 puluhan jadi 2 puluh, maka 17+5 = 22.

Gambar 3 Suasana Belajar di kelas bersama dengan peneliti

Mengajar di kelas V diawali dengan pemberian soal tentang perkalian, ternyata siswa tidak dapat melakukan perhitungan perkalian maka siswa diminta untuk menuliskan perkalian dari 1 sampai 10 di buku masing-masing, dan kemudian diminta untuk menghafalkannya. Kasus yang terjadi, guru bertanya kepada siswa berapakah 4x7, maka siswa menghitung di kertas “oretan” penjumlahan 4 sebanyak 7 kali, kemudian 4x8 maka siswa melakukan perhitungan penjumlahan 4 sebanyak 8 kali. Siswa tidak faham kalau sudah dapat 4x7 maka 4x8 langsung saja menambahkan 4 satu kali. Peneliti meminta siswa untuk menuliskan perkalian 1x1 sampai dengn 1x10 di buku masing-masing dan selanjutnya siswa akan di tes setiap kali pelajaran matematika perkalian bilangan secara acak. Tujuannya adalah agar siswa dapat menghafal perkalian. Meskipun tidak salah jika siswa menyelesaikan perkalian dengan cara penjumlahan berulang.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

13

Materi selanjutnya yang diajarkan adalah layang-layang. Materi ini diajarkan dengan menggunakan pendekatan RME. Artinya bahwa pembelajaran diawali dengan dunia nyata dengan tujuan materi yang diajarkan tidak asing lagi bagi mereka. Konsep layang-layang dalam matematika sama persis dengan permainan layang-layang yang selalu dimainkan oleh anak laki-laki. Peneliti membawa langsung layang-layangnya dan memperlihatkan kepada siswa. Setelah siswa memainkan, memperhatikan layang-layang tersebut pembelajaran dilanjutkan dengan membuat model layang-layang. Seperti yang dilakukan oleh siswa pada Gambar 4

Gambar 4 Siswa membuat bangun datar layang-layang

Sama halnya dengan pembelajaran di kelas V, di kelas VI juga diawali dengan

pemberian soal operasi hitung bilangan bulat, permasalahan klasik adalah siswa tidak menguasai dengan tepat perhitungan perkalian dan pembagian. Selama ini guru mengajarkan ke siswa bahwa perkalian adalah penjumlahan berulang dan pembagian adalah pengurangan berulang maka itulah konsep yang tertanam pada otak siswa. Sekali lagi bahwa cara tersebut tidaklah salah akan tetapi membutuhkan waktu yang relative lama untuk menyelesaikan 12x13. Peneliti menemukan fakta bahwa untuk menyelesaikan soal tersebut masih ada siswa yang menyelesaikan dengan cara 12 + 12 + dst sampai 13 kali. Mereka tidak menguasai cara perkalian biasa. Ketika diminta untuk menghitung 12 x 15 maka siswa akan menghitung ulang 12 + 12 + dst sampai 15 kali bukan menambahkan 2 x 12. Untuk mengatasi masalah tersebut, akhirnya peneliti menjelaskan kembali cara perkalian yang lebih lazim dalam matematika yaitu perkalian dengan cara menyimpan. Selanjutnya siswa menyelesaikan soal latihan di buku masing-masing dan berlomba untuk menyelesaikan lebih cepat, barang siapa yang dapat menjawab dengan cepat dan benar maka akan diberikan bonus nilai. Hasil Belajar Siswa

Berikut adalah deskripsi hasil belajar siswa selama proses pembelajaran yang dibimbing oleh peneliti : Pada materi menaksir hitung bilangan puluhan dan ratusan, siswa yang hadir di

kelas ada 3 orang, peneliti berusaha beradaptasi dengan siswa karena ini adalah pertemuan pertama mengajar di kelas V. Siswa pun merasa canggung karena yang mengajar bukan gurunya. Peneliti memberikan soal-soal tentang materi yang sedang dibahas, ternyata ketiga siswa memiliki kemampuan yang berbeda, yaitu 1 siswa berkemampuan baik, 1 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa berkemampuan

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

14

rendah, walaupun demikian ketiganya menunjukkan semangat belajar yang tinggi walaupun masih terlihat malu-malu.

Pada materi menentukan taksiran hasil operasi hitung 2 bilangan, seluruh siswa hadir, dan hanya satu siswa yang masih merasa kebingungan ketika mengerjakan soal yang ada pada Lembar Kerja Siswa. Peneliti memperhatikan bahwa siswa tersebut tidak konsentrasi ketika guru mengajar akibatnya dia menjadi bingung, peneliti berusaha untuk membuat dia focus pada pembelajaran dengan cara menegur menegur dan meminta dia untuk mengerjakan soal tujuannya agar peneliti dapat membimbingnya. Nampak bahwa siswa tersebut memberikan jawaban dari peneliti dengan asal.

Pada materi tentang operasi hitung bilangan bulat negatif dan positif khususnya penjumlahan dan pengurangan. Terdapat dua orang siswa yang lupa dengan konsep penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif. Peneliti membantu dia untuk mengingat kembali dengan cara memberikan contoh dan langkah-langkah penyelesaiannya, selain itu juga peneliti memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi agar setiap siswa dapat membantu temannya yang masih kesulitan, hasilnya menunjukkan bahwa kedua siswa yang tadinya lupa sudah mulai mengingat kembali dan menyelesaikan soal-soal yang diberikan peneliti dengan benar.

Selanjutnya adalah pembahasan tentang materi operasi hitung perkalian dan pembagian pada bilangan bulat negatif dan bilangan bulat positif. Sebelum masuk pada materi, peneliti menguji kemampuan perkalian dan pembagian siswa dengan cara memberikan soal-soal. Dari hasil tes tersebut terdapat 90% siswa yang hanya hafal perkalian 1 sampai 5, dan semua siswa mampu perkalian 1 sampai 2. Untuk perkalian 3 keatas mereka membutuhkan waktu agak lama untuk menjawab, hal ini terjadi karena mereka melakukan perhitungan perkalian dengan cara penjumlahan berulang. Peneliti meminta siswa untuk menuliskan perkalian 1 sampai 10 di buku masing-masing dan selanjutnya harus dihafalkan karena setiap pertemuan akan ditanyakan. Pertanyaan diberikan kepada siswa secara bertahap, mulai dari perkalian 1 sampai 5, kemudian 1 sampai 7 dan seterusnya secara acak sampai perkalian 10. Dengan menggunakan metode permainan disertai reward bintang, menjadikan siswa aktif dan bersemangat dalam menjawab, seluruh siswa menunjukkan antusias yang tinggi dan terbukti seluruh siswa saling berebut untuk menjawab soal tentang perkalian dan pembagian bilangan bulat.

Materi trapesium, pada pembelajaran kali ini peneliti menggunakan media. Seluruh siswa memperhatikan peneliti karena pembelajaran menggunakan video (lihat gambar 4.14), dan juga menggunakan media kertas berwarna. Sebelum menjelaskan materi tentang trapezium, peneliti bertanya kepada siswa tentang bangun datar segiempat yang mereka ketahui, kemudian bertanya kepada siswa “apakah kalian tahu bentuk trapezium?” siswa menjawab ya, karena materi ini pernah diajarkan di kelas IV maka selanjutnya peneliti membagikan Lembar Kerja Siswa yang berisi tentang gambar benda yang berbentuk trapezium dan yang bukan trapezium. Pembelajaran kali ini dilakukan secara berkelompok, tujuannya agar setiap kelompok dapat menyebutkan benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang berbentuk trapezium sebanyak-banyaknya, siswa terlihat sangat kompak dan bersemangat belajar dalam kelompok. Pembagian kelompok yang dilakukan oleh peneliti tidaklah mulus, karena ada siswa yang hanya mau satu kelompok dengan

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

15

siswa tertentu. Peneliti mencoba memberikan pengertian kepada siswa tersebut bahwa kita harus dapat bekerjasama dengan siapapun tidak hanya dengan satu orang, akhirnya dengan berat hati siswa tersebut mau bergabung dengan kelompok yang dibuat oleh peneliti.

Gambar 5 Siswa memperhatikan video

Materi terakhir yang diajarkan adalah layang-layang, pembelajaran diawali dengan memperlihatkan mainan layang-layang. Peneliti bertanya kepada siswa “apakah kalian tahu benda apakah ini?” seluruh siswa menjawab layang-layang. Karena semua siswa tahu dan pernah memainkannya di lapangan. Selanjutnya peneliti meminta siswa untuk menggambarkan bentuk layang-layang di buku, hasilnya ada siswa yang menggambar sama persis dengan benda layang-layang dan hanya satu orang yang menggambar layang-layang seperti pada konsep matematika. (lihat gambar 4.15)

Gambar 6 Gambar layang-layang

Setelah siswa menggambar layang-layang, peneliti meminta siswa untuk membuat bentuk layang-layang dengan menggunakan kertas berwarna secara berkelompok.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

16

Cara yang dilakukan tujuan untuk mengarahkan pola berpikir siswa bahwa luas layang-layang dapat ditentukan dengan menggunakan luas dua buah segitiga sama kaki yang alasnya saling berimpit.

Siswa sangat antusias sekali dengan pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti, awalnya siswa merasa canggung namun pada akhirnya merasa nyaman karena peneliti mampu berbaur dengan siswa. Siswa yang semula menganggap matematika itu susah dan membosankan berubah menjadi merasa senang belajar matematika. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai tugas yang diberikan oleh guru (peneliti). Hal lain yang menarik yang dilakukan oleh guru adalah memberikan komentar pada setiap hasil kerja siswa. Contoh komentar yang ditulis: Excellent, More practice, Good job. Kalimat seperti ini menjadikan siswa penasaran untuk mengetahui artinya apa, ketika guru menjelaskan artinya mereka bersorak gembira dan tersenyum.

Hasil observasi pelaksanaan tindakan juga menemukan bahwa siswa tidak menulis pelajaran di sembarang buku, dan juga catatannya tidak rapi. Bahkan ada buku siswa yang di dalamnya hanya gambar iseng yang dibuat ketika bosan memperhatikan guru sedang mengajar. Berikut salah satu contoh tulisan siswa.

Gambar 7 Buku Catatan Siswa

Gambar 7 (kiri) merupakan catatan matematika yang digabung dengan pelajaran agama dan (kanan) buku catatan matematika yang digabung dengan oretan siswa sehingga catatan matematika menjadi tidak rapi dan tidak sistematis. Ketidakrapihan catatan ini juga yang menyebabkan siswa lupa dengan materi yang diajarkan, bahkan ketika guru meminta siswa mengumpulkan tugas hari kemarin ada siswa yang menjawab “lupa bu dimana ya saya mencatat PR nya”

Hasil Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru tentang kegiatan ini, maka Guru sangat antusias ketika peneliti membantu mengajar matematika. Bahkan gurunya sendiri ada yang mengatakan “dengan melihat ibu mengajar, selain siswa yang belajar saya juga ikut belajar”. Selain itu, pada peneliti yang lain juga guru mengatakan “dengan adanya kegiatan ini saya sangat terbantu mengajar matematika karena saya sendiri kurang faham dengan matematika”, bahkan kepala MI meminta pembantu peneliti untuk mengajar di kelas II sebagai guru kelas karena guru yang mengajar kelas II pun sudah mutasi ke sekolah lain. Kepercayaan pihak sekolah kepada peneliti, menjadikan peneliti berpikir lebih lanjut bahwa perlu dilakukan kerjasama yang kontinu antara perguruan tinggi dan sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran.

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

17

Sedangkan hasil wawancara dengan siswa, siswa mengatakan bahwa pembelajaran tidak kaku, mereka merasa senang, gurunya baik, jadi mengerti matematika sedikit tapi meskipun demikian siswa menjadi suka dengan matematika, belajar dengan peneliti lebih santai dan mereka bisa bertanya secara bebas karena pengajar menunjukkan sikap terbuka dan sabar untuk menjawab setiap pertanyaan dari siswa, bahkan untuk menghadapi siswa yang kurang focus dalam belajar. Selain itu juga, peneliti memberikan cara pengajaran yang lebih mudah difahami dan dimengerti oleh siswa apalagi belajarnya menggunakan media dan alat peraga.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Kerjasama dalam bentuk participatory action research antara

Universitas/Perguruan Tinggi dengan Stakeholder (sekolah) memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Perguruan Tinggi sebagai lembaga penyedia tenaga pendidik sudah tentu membutuhkan sekolah sebagai tempat penyerapan alumni. Pihak sekolah yang memiliki keterbatasan dalam perekrutan tenaga pengajar maka dengan kegiatan seperti ini akan banyak membantu guru dalam mengajar khususnya matematika.

2. Kerjasama dalam bentuk participatory action research terbukti dapat membantu siswa dalam memahami matematika, selain itu juga daoat mengubah pemikiran siswa yang semula tidak menyukai matematika sekarang menjadi lebih suka karena cara mengajarnya yang menyenangkan, namun menurut siswa mereka tetap banyak yang kurang mengerti dengan matematika, karena selama ini mereka belajar matematika hanya menghafal rumus dan menyelesaikan soal-soal latihan saja. Selain aspek sikap dan kognitif, siswa juga menunjukkan peningkatan pada aspek psikomotornya, siswa yang semula malas untuk menulis di buku masing-masing, maka dengan menggunakan media dan alat peraga pembelajaran yang disertai dengan Lembar Kerja Siswa, mereka berlomba-lomba untuk menyelesaikannya lebih cepat dari teman-teman lainnya.

3. Pelaksanaan tindakan yang semula akan dilakukan oleh guru berdasarkan hasil diskusi rencana tindakan ternyata tidak dapat terlaksana karena guru dan peneliti sulit sekali untuk bertemu dan berdiskusi. Guru mengajar dengan waktu penuh setiap hari dari jam 07.00 sampai 14.45 dan peneliti yang memiliki kesibukan di kampus, maka pelaksanaan tindakan dilakukan oleh pembantu peneliti yang merupakan mahasiswa jurusan PGMI yang telah menyelesaikan semua perkuliahannya, agar bisa melaksanakan pengajaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan

4. Kegiatan partisipatory action research belum dapat meningkatkan kompetensi professional guru baik dalam hal penyusunan perangkat pembelajaran matematika maupun kemampuan mengajar guru dengan menggunakan beragam strategi pembelajaran pembelajaran di kelas, selain itu, selama penelitian juga peneliti menemukan rendahnya tiga kompetensi lainnya yaitu Kompetensi social, Kompetensi kepribadian dan kompetensi pedagogis.

5. Guru memberikan respon positif pada kegiatan partisipatory action research, guru sangat antusias ketika peneliti membantu mengajar matematika karena mereka dapat mengetahui cara mengajar yang berbeda dengan cara yang biasa mereka

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

18

gunakan, bahkan kepala MI meminta pembantu peneliti untuk mengajar di menggantikan salah satu guru yang telah mutasi ke sekolah lain.

F. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W., &Krathwohl (2001) A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: A

Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Anitah, S., dkk, 2009. Strategi Pembelajaran di SD, Jakarta: Universitas Terbuka. Azhari, A. 2004. Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Terazu Mizan. Bilandzic, M & Venable, J (2011) Towards Participatory Action Design Research:

Adapting Action Research and Design Science Research Methods for Urban Informatics. The Journal of Community Informatics. ISSN: 1712-4441 tersedia pada : http://ci-journal.net/index.php/ciej/article/view/ 786/ 804

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal.. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.

De Lange, J. (1987). Mathematics Insight and Meaning. Utrecht: OW & OC. De Lange, J. (1996). Using and applying mathematics in education. In A.J. Bishop (Ed).

International handbook of mathematics education. Dordrecht: Kluwer Academics Publisher.

Dwirahayu, G. 2007. Pendekatan Baru dalam Proses Pembelajaran Matematika dan Sain Dasar, Sebuah Antologi: Penerapan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Matematika MI. Jakarta: PIC UIN Jakarta.

Freudenthal, H. (1973). Mathematics as An Educational Task. Dordrecht: Reidel Publishing Company.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-ß Press, Freudenthal Institute.

Gaffar, M.F 2012. Dinamika Pendidikan Nasional: Isu, Tantangan dan Perspektif Masa Depan. Bandung: UPI Press

Handayani, S (2009) Penerapan Metode Penelitian Participatory Research Apraisal dalam Penelitian Permukiman Vernakular (PemukimanKampung Kota). Prosiding Seminar Nasional Penelitian Arsitektur – Metoda dan Penerapannya Seri 2 UNDIP Semarang.

Hendrayana dkk, 2006, Lesson Study untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press

Ibas, (2013) 10 Negara Peringkat Kemampuan Matematika Di Dunia, Indonesia Masuk Kategori Nomer Berapa?, dapat diakses pada http://www.masibas.my.id/2013/ 12/10-negara-peringkat-kemampuan

Ismail, dkk, 2007. Pembaharuan dalam Pembelajaran Matematika, Jakarta: Universitas Terbuka.

Kirschner, P.A.; Sweller, J.; & Clark, R.E., (2006) Why Minimal Guidance During Instruction Does Not Work: An Analysis of Failure of Constructivits, Discovery, Problem-Based, Experiental, and Inquiry-Based Teaching. Utrecht: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Journal of Educational Psychologist, 41 (2) 75-86.

Lang, H.R & Evan, D.N. 2006. Models, Strategies and Methods for Effective Teaching. Boston: Pearson

Diterbitkan pada Jurnal Jurnal Paradikma Vol. 8 No.1, April 2015

ISSN 1978 – 8002

19

Mulyana, E; Hikmat, S. A; Nurdiansyah, R; (2012) Pandangan Pembelajaran Matematika antara Guru yang sudah Tersertifikasi dan Guru yang belum Tersertifikasi berdasarkan pada Standar Proses. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika UIN Jakarta tahun 2012.

Mulyono, A. 1999. PendidikanBagiAnakBerkesulitanBelajar, cetakan ke-1 Jakarta: PT. Rineka Cipta

National Council of Teacher of Mathematics (2000) Principles and Standards for SchoolMathematics. Reston: The National Councils of Teachers of Mathematics, Inc.

Nazir, 2013. MetodePenelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Phil Crane, dan Maureen O’Regan, 2012. On PAR - Using Participatory Action Research to

Improve Early Intervention, tersedia pada http://www.dss.gov.au/our-responsibilities/housing-support/publications-articles/homelessness-youth/ on-par-using-participatory-action-research-to-improve-early-intervention?HTML

Purwanto, M.N., 2003. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ruseffendi, 1991. Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam

Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: UPI Ruseffendi, 2005. Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Edisi ke

lima. Bandung: Tarsito. Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT

BinaAksara Slavin, R. 2009. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Diterjemahkan oleh Samosir, M.,

Jakarta: PT Indeks. Soemanto, W. 2003. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Streefland, L. (Ed.) (1991). Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht:

CD-ßPress, Freudenthal Institute. Suwangsih, E.&Tuirlina. 2006. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI Press. Tanner, H., Jones, S., 2004. Becoming A Successful Teacher Mathematics. London:

RoutledgerFalmer. Treffers, A. (1987). Three Dimensions a Model of Goal and Theory Description in

Mathematics Education. Dordrecht: Reidel, The Wiscobas Project. Treffers, A. (1991). Realistic mathematics education in the Netherlands 1980 - 1990. In L.

Streefland (Ed.). Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: CD-ßPress, Freudenthal Institute.

Treffers, A. dan Goffree, F. (1985) Rational analysis of realistic mathematics education the Wiscobas Program. In L. Streefland (Ed.). Proceeding of the ninth international conference for the psychology of mathematics education, Noordeijkerhout. 97-121.

Wahyudin, 2008. Pembelajaran dan Model-model pembelajaran, Jakarta: Ipa Abong.

LEMBARIIASIL PENILAIAII SEJAWAT SEBIDANG ATAU PEER REVIEW

KARYA ILMIAH : JURNAL NASIONAL

Judul Makalah

Penulis MakalahStatus PengusulNama PengusulIdentitas Jumal

: ."Upaya Meningkatklan Hasil Belajar Matematika Siswa di Madrasah lbtidaiyah Nurun Najah 2'Rengas Ciputat Tangerang Setatan Metalui Kegiatan Partisipatory

Gelar Dwirahayu dan Femmy DwidianPenulis Kesatu dari DuaGelar Dwirahayua. Nama Jurnal

b. Nomor ISSNc. Penerbitd. Tahun Terbite. Jumlah halaman

PARADIKMA (Jurnal Pendidikan Matematika) Vol.8, No.1 tahun 20151978-8002Pascasarjana Universitas Negeri MedanApril Tahun 20151-19

Kategori Publikasi Ilmiah fl nmilNasional(beri pada kategori yang tepat) f] lurnat Intemasioflal

Catatan Penilaian Buku oleh Reviewer:

Vrt,\ k,^A$tt 1W Dc"'^ P*J frgoq'

Iakarta; ......t.9..--.1.:..H.\2....

Reviewer 1,

Hasil Penilaian Peer Review :

KomponenYang Dinilai

Nilai Maksimal Jurnal Nasional 10

Nilai Akhir YangDiperoleh......

Jurnal Nasional

Zi

Jurnal lnternasional

L__ta. Kelengkapan unsur isi buku (10%) 0.1 ntb. Ruang lingkup dan kedalaman pembahasan

(30%\1.8 tr6

c. Kecukupan dan kemutahiran data/informasi danmetodolosi (30%\

1.8l,€

d. Kelengkapan unsur dan kualitas penerbit B0%\ 1.8 l,*Total = (1007o) 6 (E)Nilai Pensusul =

LEMBARIIASIL PENILAIATI SEJAWAT SEBIDANG ATAU PEER REVIEW

KARYA ILMIA,H : JURNAL NASIONAL

Judul Makalah

Penulis MakalahStatus PengusulNama PengusulIdentitas Jurnal

Kategori Publikasi Ilmiah

(beri pada kategori yang tepat)

: "Upaya Meningkatklan HasilBelajar Matematika Siswa di Madrasah lbtidaiyah Nurun Naiah 2

fiengas Aputat Tangerang Selatan Melalui Kegiatan Partisipatory

6ilar Dwirahayu dan Femmy DwidianPenulis Kesatu dari DuaGelar Dwirahayua. Nama Jumal

b. Nomor ISSNc. Penerbitd. Tahun Terbite. Jumlah halaman

PARADIKMA (Jurnal Pendidikan Matematika) Vol.8, No.1 tahun 20151978-8002Pascasarjana Universitas Negeri MedanApril Tahun 20151-19

V ltmalNasional

fl rurnal Internasional

Hasil Penilaian Peer Review '.

KomponenYang Dinilai

Nilai Maksimal Jurnal Nasional 10

Nilai Akhir YangDiperoleh......

Jurnal Nasional

ZJurnal Internasiona[

tla. Kelenskapan unsur isi buku (10%) 0.1 Oc(b. Ruang lingkup dan kedalaman pembahasan

(30o/o\1.8

1r(c. Kecukupan dan kemutahiran datalinformasi'dan

metodolosi (30%\1.8 (tl

d. Kelenekapan unsur dan kualitas oenerbit (30%\ 1.8 l,ETotal = (100%o) 6 Ur9Nilai Pensusul =

Catatan Penilaian Buku oleh Reviewer:

/r. tUlir 4 me i A

*sif ,

ruLv>n ffa hA.,rvlY,^ g*- A*t fqra4a

J aka*a, :../8...(:...(...Y g.

Reviewer 2,

?i: r:YH , t1t 4NIDN :Z<>o7ilfSolUnitKerja: Ptft Uru ,1alca^p t