upaya mencegah polri terlibat dalam politik praktis
DESCRIPTION
Studi Historis Kasud "VCD Banjarnegara" yaitu terungkapnya skandal upaya mobilisasi dukungan politis Polri secara organisasional pada salah satu Capres dalam Pilpres 2004 oleh sekelompok elit Polri.TRANSCRIPT
UPAYA MENCEGAH POLRI TERLIBAT DALAM POLITIK PRAKTIS
(Studi Historis : Kasus ”VCD Banjarnegara”)
I. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Polri merupakan alat negara yang tugas pokoknya adalah menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum1. Oleh karena itulah, Polri dituntut
untuk dapat secara profesional dalam menjalankan tugas pokoknya
tersebut dengan tidak melibatkan diri dalam politik praktis2 karena
dikhawatirkan bila terjadi hal yang demikian, maka tugas pokok Polri tidak
akan terlaksana dengan optimal disebabkan adanya keberpihakan pada
kekuatan politik tertentu. Namun, di lain sisi, terdapat fakta-fakta dalam
lintasan sejarah Polri bahwa Polri senantiasa diintervensi oleh kekuatan-
kekuatan politik tertentu, antara lain sebagaimana yang terjadi dalam
kasus ”Intervensi oleh Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Polri dalam
Pengangkatan Komjen Pol. Drs. Chaeruddin Ismail sebagai Waka Polri”3
dan kasus ”VCD Banjarnegara”4 serta kasus ”Pemalsuan DPT di Jatim”5.
Dalam pandangan penulis, kewenangan Polri yang sangat luas
terutama dalam bidang penegakan hukum memang merupakan faktor
strategis bagi kekuatan politik tertentu dalam rangka mencapai suatu
tujuan politis sehingga menjadikan Polri tidak pernah lepas dari pergolakan
dinamika politik negara Indonesia. Namun, posisi Polri yang memegang
peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat menuntut
1 Vide Pasal 30 butir ke-4 UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2 Vide Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
3 “Gus Dur Menjelang Sidang Istimewa, Ruang Gerak Makin Sempit”, Gatra, 5 Juni 2001, diakses dari situs : http://www.gatra.com/artikel.php?id=6844, pada tanggal 2 Januari 2009.
4 “Kasus VCD Banjarnegara”, Tempo, 29 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh= AVEGCFQFUwVU, pada tanggal 2 Januari 2009.
5 M. Fadjroel Rahman, “Menyoal Netralitas TNI-Polri”, Kompas, 3 April 2009, diakses dari situs : http://politikana.com/baca/2009/04/03/menyoal-netralitas-tni-polri.html, pada tanggal 2 Januari 2009.
adanya suatu netralitas di bidang politik sehingga Polri senantiasa harus
konsisten agar tidak terlibat dalam suatu politik praktis.
Berbagai peristiwa yang dialami Polri terkait dengan adanya upaya-
upaya intervensi oleh kekuatan poltik tertentu tersebut diatas,
sebagaimana yang tercatat dalam lintasan sejarah, selayaknya tidak
dilupakan begitu saja, khususnya oleh para generasi penerus Polri, karena
dengan mengetahui dan mempelajari sejarah dimaksud, maka diharapkan
Polri tidak lagi dapat diintervensi oleh berbagai kekuatan politik tertentu di
kemudian hari.
Pentingnya para generasi penerus Polri dalam mempelajari sejarah
dimaksud sesuai dengan sebagaimana salah satu kutipan yang paling
terkenal mengenai sejarah dan pentingnya kita belajar mengenai sejarah
yang ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana, yang
berkata : "Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk
mengulanginya." atau sebagaimana yang yang dikatakan oleh seorang
filosuf dari Jerman, George Wilhelm Friedrich Hegel, yang mengemukakan
dalam pemikirannya tentang sejarah : "Inilah yang diajarkan oleh
sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak
pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat
darinya.". Kalimat George Wilhelm Friedrich Hegel tersebut pun kemudian
dituturkan ulang kembali oleh negarawan dari Inggris Raya, Winston
Churchill, yang berkata : "Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah
adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.". Winston Churchill
tersebut, yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoar yang
berpengaruh, pernah pula berkata "Sejarah akan baik padaku, karena
aku akan menulisnya."6
Oleh karena itu selanjutnya dalam penulisan ini, penulis hendak
membahas secara khusus mengenai kasus ”VCD Banjarnegara” sebagai
suatu studi kasus yang merupakan salah satu fakta dalam lintasan sejarah
Polri yang tidak patut terulang lagi di kemudian hari. Sebagai output dalam
penulisan ini, penulis hendak berupaya merekomendasikan upaya-upaya
dalam tataran konseptual yang dapat ditempuh Polri guna mencegah Polri
terlibat dalam suatu politik praktis, baik secara organisasional maupun
6 “Sejarah”, diakses dari situs : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, pada tanggal 2 Januari 2009.
2
individual anggota Polri. Kasus tersebut menarik bagi penulis untuk
meninjaunya secara historis, mengingat banyaknya spekulasi publik dalam
kasus tersebut, apakah kasus tersebut merupakan kasuistis, dalam arti
berdiri sendiri dan dilakukan oleh Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa
secara individual ataukah memang terdapat upaya Polri secara
organisasional melalui ”jalur komando” yang dimiliki Polri untuk
memobilisasi dukungan terhadap pasangan Mega-Hasyim sebagai calon
Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004.
2. PERMASALAHANBerdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang
hendak dibahas oleh penulis dalam penulisan ini adalah : ”Bagaimana
upaya mencegah Polri terlibat dalam politik praktis (dengan studi historis :
kasus ”VCD Banjarnegara”)?”
3. PERSOALAN-PERSOALAN
1. Bagaimana kronologi terjadinya kasus ”VCD Banjarnegara” ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Polri terlibat dalam politik
praktis ?
3. Bagaimana upaya mencegah Polri terlibat dalam politik praktis ?
II. PEMBAHASAN
1. Kronologi Kasus ”VCD Banjarnegara”
Menjelang musim pelaksanaan pemilihan Presiden RI tahun 2004,
publik nasional dikejutkan dengan munculnya kasus ”VCD Banjarnegara”
yang berisikan rekaman mantan Kapolwil Banyumas Kombes Pol. Drs. AA
Mapparessa sedang menggelar tatap muka dengan keluarga besar polisi
di Polres Banjar Negara, Jawa Tengah tanggal 29 Mei 2004, didampingi
istrinya dalam rangka memberikan pemaparan tentang lima calon Presiden
dan Wakil Presiden7. Dalam acara tersebut, muncul kesan bahwa Kapolwil
Banyumas Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa mengarahkan para anggota
Polres Banjarnegara pada khususnya, serta keluarga dari para anggota
tersebut pada umumnya agar mendukung salah satu calon Presiden dalam
pemilu Presiden putaran pertama 5 Juli 20048.
7 ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.tempointeraktif.com/hg/ nasional/2004/07/29/brk,20040729-10,id.html, pada tanggal 2 Januari 2010.
8 “Mapparessa Minta Maaf”, Suara Merdeka, 12 Agustus 2004, diakses dari situs : http://www.suaramerdeka.com/harian/040 8/12/nas04.htm, pada tanggal 2 Januari 2010.
3
Memang benar dalam rekaman VCD dimaksud, Kombes Pol. Drs. AA
Mapparessa dan istrinya tidak secara eksplisit mengarahkan para anggota
Polres Banjarnegara untuk memilih salah satu pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden, tetapi dari serangkaian pengarahan tersebut akan
didapat pesan implisit agar para anggota tersebut turut mendukung salah
satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden saat itu, yaitu Megawati
Soekarno Putri dan KH. Hasyim Muzadi, sebagaimana transkrip komentar-
komentar Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa dan istrinya yang dimuat
dalam harian Suara Merdeka9 sebagai berikut :
Dalam tayangan VCD berdurasi 25 menit itu, Kapolwil mengomentari
beberapa pasangan capres dan cawapres yang gambarnya ditayangkan
dalam sebuah slide.
Ketika gambar pasangan SBY-JK muncul misalnya, dia berkomentar,
"Beliau memanfaatkan kesempatan supaya kita (Polri) ada di bawah
Mendagri. Dahulu anak saya ngefans banget sama beliau, tapi setelah
tahu tidak lagi." Dia mengucapkan seperti itu sambil sekilas
mengacungkan foto SBY yang dipegangnya.
Dalam kesempatan yang sama, istri Kapolwil berceramah tentang
betapa baik capres Megawati Soekarnoputri. Dengan berapi-api, dia
memaparkan kepada istri-istri perwira yang hadir di tempat itu
tentang sejarah mengapa Megawati ingin Polri mandiri.
"Itu ada sejarahnya. Bung Karno itu dahulu sangat cinta polisi,
makanya beliau tidak mau polisi di bawah TNI. Apalagi Ibu (Megawati)
juga berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Dia (Hasyim) kan orang
bersih," kata istri Kapolwil.
Selanjutnya, atas tindakannya tersebut, terhadap Kombes Pol. Drs.
AA Mapparessa dilakukan pemeriksaan melalui mekanisme persidangan
Kode Etik Profesi Polri yang hasilnya adalah bahwa Kombes Pol AA
Mapparessa dianggap telah melanggar Kode Etik Profesi Polri berdasar
Keputusan Kapolri No. Pol. : KEP/32/VII/2003, tertanggal 1 Juli 2003, pasal
9 ayat (4) dan pasal 14. Pasal 9 ayat 4 menyebutkan, setiap anggota Polri
tidak boleh melampaui batas kewenangannya. Pasal 14 menyebutkan,
Polri harus menjaga jarak dengan parpol guna menjaga netralitas dan tidak
9 “Kapolwil Banyumas Dicopot, Terkait Kasus VCD Pro-Mega”, Suara Merdeka, 30 Juli 2004, diakses dari situs : http://www .suaramerdeka.com/harian/0407/30/nas01.htm, pada tanggal 2 Januari 2010.
4
melibatkan diri dalam politik praktis10. Disamping itu Kombes Pol. Drs.
Mapparessa terbukti melanggar perintah Kapolri yang tertuang dalam
Telegram Rahasia (TR) No. Pol : 181/III/2004 tentang ketidakberpihakan
pada partai politik atau calon Presiden dan calon Wakil Presiden tertentu11.
Spekulasi keterlibatan Polri dalam politik praktis dalam kasus ”VCD
Banjarnegara” tersebut sempat dikemukakan oleh banyak pihak, antara
lain sebagaimana yang dikemukakan oleh pengamat politik dari UGM,
Prof. Dr. Riswandha Imawan, yang menyatakan penilaiannya bahwa jika
melihat tayangan video tersebut, bisa menimbulkan dua interpretasi.
Pertama, memang ada orang yang berusaha mencari muka pada Presiden
dengan memberikan instruksi melalui pengarahan tersebut, karena di
ujung pengarahan Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa selaku Kapolwil
Banyumas kepada anggota Polres Banjarnegara, Kapolwil mengatakan
”dengan demikian saya sudah selesai melaksanakan perintah
Kapolri”. Maka dari pernyataan tersebut dapat diduga ada upaya internal
dari Kapolri untuk menunjukkan loyalitasnya pada Presiden. Interpretasi
kedua, menurut Prof. Dr. Riswandha Imawan, jika itu ide pribadi, bukan
institusi, mungkin berhubungan dengan strategi votting. Namun Prof. Dr.
Riswandha Imawan tidak menentukan perspektif mana yang benar.
Karena itu, perlu ada kejelasan, apakah hal itu merupakan kebijakan
Kapolri sebagai institusi, atau inisiatif pribadi.12
Dalam pandangan penulis sebagai anggota Polri, fenomena yang
terjadi dalam kasus ”VCD Banjarnegara” merupakan ”fenomena gunung
es”, artinya bahwa sebenarnya masih banyak hal serupa yang terjadi di
saat menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2004,
sebagaimana yang dialami oleh penulis ketika berdinas di Polda Jatim,
dimana dalam setiap kesempatan apel pagi, seorang pejabat Polda Jatim
secara bergantian melakukan upaya pengarahan terhadap para anggota
Polda Jatim agar mendukung salah satu pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden tertentu, termasuk keluarga para anggota Polri tersebut.
Memang para pejabat tersebut tidak secara eksplisit menyebut nama 10 “Sidang Anggap Mapparessa Langgar Kode Etik”, detikNews, 11 Agustus 2004, diakses dari situs :
http://www.detiknews.com/read/2004/08/11/114120/189599/10/sidang-anggap-mapparessa-langgar-kode-etik-polri, pada tanggal 2 Januari 2009.
11 ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.tempointeraktif.com/hg/ nasional/2004/07/29/brk,20040729-10,id.html, pada tanggal 2 Januari 2010.
12 “Kapolda Pimpin Tim Penelusuran VCD. Riswandha : Kapolri Sulit Mengelak”, Suara Merdeka, 28 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/28/nas01.htm, pada tanggal 2 Januari 2009.
5
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu, namun hanya
secara implisit melalui serangkaian pengarahan tertentu yang diantaranya
terdapat kata-kata : ”Ingat ya, dalam pilpres nanti, jangan lupa untuk
memberitahu keluarga masing-masing agar mencoblos yang merah-
merah, jangan yang lain”. Tentunya dengan sedikit penalaran bahkan
dari orang awam, maksud pengarahan tersebut dapat ditangkap secara
jelas, terkait dengan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mana yang harus didukung oleh anggota Polri. Disamping itu, sudah
bukan rahasia lagi di kalangan anggota Polri bahwa di tiap kesatuan Polri
saat itu memang diarahkan untuk mendukung salah satu pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tertentu, sebagaimana yang terjadi di Polres
Banjarnegara.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Polri terlibat dalam politik praktis
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam kasus ”VCD
Banjarnegara” tersebut serta pengalaman pribadi penulis terkait adanya
upaya politisasi Polri agar mendukung salah satu pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tertentu pada saat pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2004, maka dapat dianalisis bahwa
saat itu terdapat indikasi bahwa Polri memang secara organisasional
terlibat dalam politik praktis dalam rangka memberikan dukungan terhadap
”kekuatan politik” tertentu.
Faktor-faktor utama-dalam pandangan penulis-yang mempengaruhi
Polri secara organisasional hingga terlibat dalam politik praktis
berdasarkan fakta-fakta sebagaimana tersebut diatas antara lain adalah
sebagai berikut :
a. Budaya Patron-Client
Penulis tertarik untuk merujuk pada hasil penelitian D Sudiman
dalam disertasinya yang berjudul “Netralitas PNS Dalam Politik : Studi
Tentang Netralitas PNS Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan
dan Banten.” yang menyatakan bahwa faktor budaya politik dan
budaya birokrasi di Indonesia, ternyata tidak sejalan dengan proses
liberalisasi politik dan sistem demokratisi secara langsung. Pada
masyarakat yang masih menganut patronase politik dan budaya
feodalistik, netralitas birokrasi menjadi sesuatu yang sangat utopia.
6
Pola hubungan patron-client serta politik balas jasa membuat posisi
PNS menjadi lebih mudah terkooptasi oleh kepentingan politik rezim
tingkat lokal13.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, tercermin fakta bahwa
memang benar terdapat fenomena dinamika politik di Indonesia yang
dipengaruhi oleh budaya patron-client. Mindset yang hendak
dikemukakan penulis disini terkait dengan kasus ”VCD Banjarnegara”
pada khususnya maupun dugaan dukungan Polri secara
organisasional kepada pasangan Mega-Hasyim saat pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tahun 200414 pada umunya adalah
dikarenakan eksistensi hubungan patron-client yang oleh Polri saat itu
diposisikan sebagai dukungan optimal yang diberikan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri beserta pemerintahaannya-selaku patron-
dalam perwujudan Polri-selaku client-sebagai organisasi penegak
hukum yang profesional serta posisinya yang langsung dibawah
Presiden. Hubungan patron-client tersebut hendak dipertahankan
Polri hingga masa pemerintahan berikutnya, yaitu periode tahun
2004-2009, dengan Megawati Soekarno Putri yang diharapkan
menjadi Presiden RI kembali.
Dalam pandangan penulis, eksistensi hubungan tersebut pada
mulanya hanya bergulir sampai dengan elite Polri, namun
dikarenakan adanya kepentingan politis tertentu para elite Polri
sehingga bergulirnya hubungan tersebut termobilisasi secara
struktural hinggal kepada anggota Polri di kesatuan-kesatuan
kewilayahan Polri. Disini nampak bahwa para elite Polri berupaya
membawa Polri untuk terlibat dalam politik praktis.
b. Isu Peningkatan Anggaran Polri
Sebagaimana pengalaman penulis saat berdinas di Polda Jatim,
para pejabat Polda Jatim tak henti-hentinya menggulirkan wacana
tentang anggaran Polri yang meningkat secara signifikan semasa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri sehingga Polri pun
13 “PNS Terfragmentasi dalam Politik Praktis”, Republika Newsroom, 3 Juli 2009, diakses dari situs : http://www.republika.co.id/berita/60051/PNS_Terfragmentasi_dalam_Politik_Praktis, pada tanggal 2 Januari 2009.
14 “Polri akan bersifat netral dalam pemilu 2009”, diakses dari situs : http://www.polri.go.id/indexwide.php?op=news&id_ rec=609&pagenow=1&bln=01&thn=2009, pada tanggal 2 Januari 2009. Komentar pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar : “Polri bersikap tidak netral bisa terlihat pada pemilu 2004. Kala itu Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar ada kecenderungan untuk mendukung calon Presiden Megawati.”
7
dapat memenuhi berbagai sarana dan prasarana operasionalnya dan
apabila yang menjabat Presiden RI pada periode 2004-2009 bukan
Megawati Soekarno Putri maka anggaran Polri tidak akan sebesar
yang diterima saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.
Dalam hal ini nampak bahwa isu terkait peningkatan anggaran
Polri tersebut disampaikan tidak secara faktual sehingga bagi
anggota yang tidak memahaminya akan terpengaruh untuk
menganggapnya sebagai kebenaran. Isu tersebut sangat sensitif di
kalangan PNS pada umumnya, termasuk Polri pada khususnya,
mengingat semasa orde lama Polri merupakan ”anak tiri” dari ketiga
organisasi lainnya di dalam ABRI yang membawa konsekuensi dalam
berbagai hal termasuk di bidang anggaran yang selalu paling minim
dibandingkan dengan TNI AD, TNI AL dan TNI AU.
c. Peran dan posisi strategis Polri
Dalam kasus ”Pemalsuan DPT di Jatim” yang ditangani Polda
Jatim, Prof. Bilveer Singh dari National University of Singapore
melihat potensi politik pada postur polisi pascareformasi terkait
dengan sejumlah alasan yang berkaitan dengan kehadiran polisi dan
aktivitasnya, yaitu : (1) berada di garis depan penegakan hukum dan
aturan, (2) pendatang baru yang sedang menegakkan posisi ekonomi
dan politik, (3) langsung di bawah Presiden, bukan Mendagri seperti
umumnya praktik di negara lain, (4) pemain otonom di daerah dan
mudah terseret ke dalam kontroversi politik, (5) ”politicking” di Pilkada
Jatim berpotensi juga terjadi pada Pemilu 2009, (6) dapat
mencerminkan ”TNI Kedua” ketika terseret politik pada masa Orde
Baru dengan segala konsekuensinya di masa depan.15
Berdasarkan pengamatan Prof. Bilveer Singh tersebut, penulis
hendak mengambil mindset bahwa memang sebenarnya Polri
memang memiliki kerentanan tersendiri dalam mendapatkan suatu
intervens dari kekuatan politik tertentu, yang antara lain disebabkan
peran Polri yang strategis sebagai alat negara yang memiliki tugas
pokok di bidang penegakan hukum serta posisinya yang langsung di
bawah Presiden. Dalam pandangan penulis, Polri tidak akan dapat
15 M. Fadjroel Rahman, “Menyoal Netralitas TNI-Polri”, Kompas, 3 April 2009, diakses dari situs : http://politikana.com/baca/2009/04/03/menyoal-netralitas-tni-polri.html, pada tanggal 2 Januari 2009.
8
mewujudkan prinsip ”equality before the law” manakala telah terjadi
suatu intervensi politik terhadap Polri dan justru Polri akan menjadi
”alat kekuasaan” dari kekuatan politik tertentu dalam mencapai tujuan
tertentu sehingga akan terjadi keberpihakan oleh Polri terhadap pihak
atau golongan tertentu di bidang penegakan hukum. Begitu juga
dengan posisi Polri yang langsung di bawah Presiden, memang di
satu sisi dapat menjauhkan Polri dari intervensi kepentingan tertentu
dibandingkan jika berada di bawah suatu departemen tertentu yang
salah satu konsekuensinya adalah panjangnya rantai birokrasi yang
harus dihadapi Polri sehingga muncul kerawanan yang jauh lebih
besar terhadap adanya intervensi pelaksanaan tugas pokok dan
wewenang Polri, namun di sisi lain, posisi dimaksud juga dapat
mendatangkan kerawanan berupa intervensi maupun kolusi politik
secara langsung antara Presiden terhadap Polri manakala Presiden
dan Kapolri tidak memegang teguh amanat yang diberikan
kepadanya untuk menaati segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk dalam hal menjaga netralitas Polri dari politik
praktis.
d. Loyalitas organisasional anggota Polri
Dalam kasus ”VCD Banjarnegara” tersebut terdapat pengaruh
kuat berupa loyalitas para personel Polri terhadap para pimpinan
Polri, sehingga para pimpinan Polri yang hendak memanfaatkan
potensi tersebut dapat dengan mudah menggunakannya sebagai
peluang untuk memobilisasi dukungan politik dari para anggota Polri
bagi salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam
pemilu tahun 2004.
Karakter organisasional Polri yang masih lekat dengan
paradigma militeristik sebagai akibat dari proses integrasi Polri
dengan TNI dalam ABRI semasa orde baru sangat mempengaruhi
secara kuat pembentukan loyalitas anggota Polri terhadap pimpinan
Polri secara individual yang seringkali juga diterjemahkan sebagai
loyalitas secara organisasional. Kultur semacam ini masih melekat di
dalam organisasi Polri sehingga seringkali masih dijumpai para
anggota Polri yang lebih memilih melaksanakan perintah pimpinannya
9
walaupun perintah tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan daripada menolaknya.
3. Upaya Mencegah Polri Terlibat dalam Politik Praktis
Polri senantiasa harus menjaga netralitasnya terhadap berbagai
pengaruh kekuatan politik yang ada oleh karena itu diperlukan serangkaian
upaya guna mewujudkan hal tersebut. Netralitas Polri tersebut memiliki
makna strategis sebagai salah satu jaminan terselenggaranya demokrasi
di Indonesia yang merupakan negara hukum (rechtstaat) karena apabila
Polri tidak netral lagi terhadap berbagai kekuatan politik tersebut, maka
niscaya aspek-aspek kehidupan negara demokrasi pun tidak akan
terwujud di Indonesia. Berikut ini merupakan upaya-upaya dalam tataran
konseptual yang hendak direkomendasikan penulis untuk dapat ditempuh
Polri secara organisasional oleh Polri dalam rangka mencegah terlibatnya
Polri dalam kegiatan politik praktis, antara lain yaitu :
a. Mereduksi paradigma militeristik
Paradigma militeristik yang dimaksud penulis disini berkaitan
dengan loyalitas organisasional anggota Polri terhadap para
pimpinannya yang cenderung dimanfaatkan oleh para pimpinan
tersebut dalam rangka mencapai kepentingan pribadi atau
golongannya, antara lain sebagaimana yang terjadi dalam kasus
”VDC Banjarnegara” dimaksud.
Loyalitas organisasional yang diterapkan ”secara keliru” tersebut
harus ”diluruskan” dengan dimulai oleh kesediaan para pimpinan Polri
untuk tidak senantiasa ”memanipulasi” loyalitas para anggota Polri
hanya guna mencapai kepentingan pribadi atau golongannya,
termasuk kepentingan yang terkait dengan bidang politik tertentu.
Loyalitas dimaksud dalam pandangan penulis terutama sangat
dipengaruhi paradigma militeristik. Oleh karena itu, Polri harus mulai
melakukan reduksi terhadap berbagai aspek atau muatan negatif
yang diakibatkan oleh adanya paradigma militeristik, terutama
penerapan ”loyalitas yang kebablasan” tersebut.
b. Penguatan komitmen organisasi
10
Komitmen organisai Polri tercermin dalam visi dan misi Polri16
serta dilegitimasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan wewenang Polri. Terkait
dengan netralitas Polri terhadap kehidupan politik serta kegiatan
politik praktis di Indonesia hendaknya Polri senantiasa menjaganya
mengingat netralitas Polri tersebut diamanatkan secara khusus dalam
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang merupakan perwujudan dari
amanat rakyat (vide pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Komitmen Polri secara organisasional untuk tetap bersikap
netral tersebut harus terwujud secara riil pada setiap elemen
struktural Polri, mulai dari elemen teratas hingga terbawah.
c. Penerapan sanksi secara tegas dan keras
Penerapan mekanisme punishment secara tegas dan keras
juga tetap diperlukan ketika terjadi pelanggaran oleh anggota Polri
yang terbukti bersikap tidak netral dalam kehidupan politik maupun
terlibat secara langsung dalam kegiatan politik praktis di Indonesia
sehingga terwujud deterrence effect, baik bagi anggota Polri yang
melanggar ketentuan tersebut (personal deterrence) maupun bagi
anggota Polri lainnya (general deterrence) agar tidak melakukan
pelanggaran yang sama.
d. Penerapan prinsip-prinsip good governance
Masyarakat saat ini semakin kritis terhadap pelaksanaan tugas-
tugas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
negara, tak terkecuali pelayanan publik oleh oleh Polri. Oleh karena
itulah, Polri harus menyikapinya menerapkan prinsip-prinsip good
governance17 secara profesional dan proporsional sesuai dengan
ruang lingkup tugas pokok dan wewenang Polri. Misalnya dalam hal
penerapan prinsip tranparansi, jika dilaksanakan dengan benar, maka
tidak akan terjadi ”kebohongan publik” oleh Polri terkait netralitas Polri
dalam kegiatan politik praktis, yang di hadapan publik Polri
16 “Visi dan Misi Polri”, diakses dari situs : http://www.polri.go.id/indexwide.php?op=profile&type=01, pada tanggal 3 Januari 2010.
17 Diakses dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 3 Januari 2010. Prinsip-prinsip dalam good governance yaitu : Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, Peduli pada Stakeholder, Berorientasi pada Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas dan Efisiensi, Akuntabilitas dan Visi Strategis.
11
menyatakan netral namun sementara itu tidak demikian
kenyataannya, Polri justru melakukan manuver politik yang
dimobilisasi oleh para elite Polri sebagaimana yang terjadi dalam
kasus “VCD Banjarnegara”.
e. Reformasi kultural Polri secara riil
Hingga kini memang Polri telah melakukan berbagai upaya
reformasi yang meliputi aspek struktural, kultural maupun
instrumental. Namun, khusus terkait dengan pencapaian reformasi
kultural dirasa belum mencapai target yang diharapkan, terbukti
dengan masih eksisnya persepsi negatif oleh publik terhadap Polri
melalui berbagai survey yang digelar oleh berbagai lembaga, baik
lembaga pemerintah maupun LSM. Ditambah lagi berbagai catatan
public complaint dari masyarakat yang masuk ke Kompolnas maupun
Komisi Ombudsman RI terkait dengan kinerja Polri yang dinilai belum
sesuai dengan harapan masyarakat.
Berdasarkan fenomena tersebut, dalam analisis penulis, antara
lain disebabkan oleh belum tercapainya reformasi kultural secara riil,
dikarenakan reformasi dimaksud cenderung dilaksanakan
menggunakan mekanisme top down, bukan bottom up, sehingga
banyak permasalahan riil di level bawah yang tidak terselesaikan
padahal permasalahan di level bawah memiliki dampak yang
signifikan terhadap laju reformasi dimaksud jika tidak terselesaikan
dengan baik.
Ketidakberhasilan Polri dalam melakukan reformasi dimaksud
selanjutnya membawa dampak antara lain sebagaimana yang terjadi
dalam kasus ”VCD Banjarnegara tersebut”. Dalam kasus tersebut,
penulis melihat bahwa Polri belum dapat merubah kultur negatif yang
diterapkan pada masa orde lama dimana saat itu, baik PNS,
termasuk TNI dan Polri serta para keluarganya bersikap tidak netral
dalam kehidupan politik dan kegiatan politik praktis di Indonesia
dengan senantiasa memihak kepada partai penguasa saat itu, yaitu
Golkar. Kultur tersebut harus dikikis habis dari tubuh Polri sehingga
Polri tidak lagi dijadikan alat kekuasaan kekuatan politik tertentu,
12
namun justru berperan di garda terdepan dalam penegakan prinsip-
prinsip negara demokrasi di Indonesia.
III. KESIMPULAN
Pengaruh dinamika kekuatan politik di negeri ini terhadap Polri memang
tidak mudah untuk dihindari, terutama jika hal tersebut direspon oleh Polri
secara internal, walaupun bukan secara organisasional, misalnya oleh para elit
Polri, maka tentu saja yang nampak secara ekaternal di luar tubuh Polri oleh
publik adalah suatu respon organisasional karena publik cenderung tidak
mempersepsikan respon tersebut sebagai respon individual melainkan sebagai
respon organisasional mengingat publik juga tidak selalu mengetahui berbagai
kondisi riil di dalam tubuh Polri, termasuk manuver-manuver para elit Polri,
sebagaimana halnya yang terungkap dalam ”Kasus VCD Banjarnegara”
tersebut yang menyebabkan publik tersontak bahwa ternyata Polri pun
melakukan manuver politis dalam mendukung salah satu kekuatan politik di
negeri ini.
Dalam pandangan penulis, kondisi yang menjadikan sulitnya Polri lepas
dari berbagai pengaruh kekuatan politik, antara lain dipengaruhi oleh budaya
patron-client yang masih melekat, terutama antara para elit Polri tertentu
dengan para elit politik tertentu yang turut memberikan sumbangsih atas
”kesuksesan” karir para elit Polri dimaksud. Isu tentang anggaran juga
menempati posisi vital ketika dipolitisasi bahwa peningkatan anggaran Polri
adalah karena ”jasa” kekuatan politik tertentu sehingga terjadi upaya mobilisasi
dukungan terhadap kekutan politik dimaksud dari seluruh elemen Polri secara
organisasional oleh para sekelompok elit Polri yang ”berkepentingan” tertentu
bagi diri pribadinya maupun kelompoknya. Faktor yang paling ”menggoda” bagi
kekuatan politik di negeri ini untuk ”merekrut” dukungan Polri adalah terkait
dengan posisi dan peran strategis Polri dalam tata pemerintahan Indonesia.
Tugas pokok maupun wewenang vital, terutama dalam hal penegakan hukum,
dalam pandangan penulis merupakan faktor penting yang menjadi alasan
mengapa Polri selalu ”diperebutkan” oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Didukung pula dengan kultur loyalitas organisasional yang tinggi dari segenap
elemen di tubuh Polri menjadikan Polri semakin rentan dipolitisasi.
Oleh karena itulah diperlukan serangkaian upaya agar Polri dapat
terhindar dari pengaruh-pengaruh politik yang hendak memanfaatkan Polri bagi
13
kepentingan kekuatan politik tertentu. Hal tersebut dapat dilakukan jika Polri
mau belajar dari sejarah yang ada terkait dengan fenomena-fenomena serupa,
menelaahnya dan melakukan langkah-langkah riil guna mencegah terjadinya
hal yang serupa. Upaya-upaya yang dapat ditempuh, dalam pandangan penulis,
antara lain dengan mereduksi paradigma militeristik, dalam artian tidak semua
hal yang bersifat militeristik, namun hanya terhadap paradigma militeristik yang
membawa pengaruh negatif, selanjutnya melakukan penguatan komitmen
organisasi guna mencapai tujuan organisasi sebagaimana yang diamantkan
dalam undang-undang18 dengan didukung mekanisme penerapan sanksi secara
tegas dan keras terhadap para personil Polri yang melanggar ketentuan terkait
larangan keterlibatan dalam kehidupan politik maupun kegiatan politik praktis.
Disamping itu, kepekaan Polri terhadap lingkungan (environmental sensitivity)
juga perlu diperhatikan, baik secara internal maupun eksternal, yang
selanjutnya disikapi dengan upaya melakukan penerapan prinsip-prinsip good
governance serta reformasi kultural Polri secara riil sebagaimana diuraikan
diatas.
Jakarta, 13 Januari 2010
Penulis
HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877
18 Vide Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
3. “Gus Dur Menjelang Sidang Istimewa, Ruang Gerak Makin Sempit”, Gatra, 5
Juni 2001, diakses dari situs : http://www.gatra.com/artikel.php?id=
6844, pada tanggal 2 Januari 2009.
4. “Kasus VCD Banjarnegara”, Tempo, 29 Juli 2004, diakses dari situs :
http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh= AVEGCFQFUwVU, pada
tanggal 2 Januari 2009.
5. M. Fadjroel Rahman, “Menyoal Netralitas TNI-Polri”, Kompas, 3 April 2009,
diakses dari situs : http://politikana.com/baca/2009/04/03/menyoal-
netralitas-tni-polri.html, pada tanggal 2 Januari 2009.
6. “Sejarah”, diakses dari situs : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, pada tanggal 2
Januari 2009.
7. ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari
situs : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/07/29/brk,
20040729-10,id.html, pada tanggal 2 Januari 2010.
8. “Mapparessa Minta Maaf”, Suara Merdeka, 12 Agustus 2004, diakses dari situs
: http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/12/nas04.htm, pada
tanggal 2 Januari 2010.
9. “Kapolwil Banyumas Dicopot, Terkait Kasus VCD Pro-Mega”, Suara
Merdeka, 30 Juli 2004, diakses dari situs :
http://www .suaramerdeka.com/harian/0407/30/nas01.htm, pada
tanggal 2 Januari 2010.
10. “Sidang Anggap Mapparessa Langgar Kode Etik”, detikNews, 11 Agustus 2004,
diakses dari situs : http://www.detiknews.com/read/
2004/08/11/114120/189599/10/sidang-anggap-mapparessa-langgar-
kode-etik-polri, pada tanggal 2 Januari 2009.
15
11. ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari
situs : http://www.tempo -
interaktif.com/hg/nasional/2004/07/29/brk,2004 0729-10,id.html, pada
tanggal 2 Januari 2010.
12. “Kapolda Pimpin Tim Penelusuran VCD. Riswandha : Kapolri Sulit Mengelak”,
Suara Merdeka, 28 Juli 2004, diakses dari situs :
http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/28/nas01.htm, pada
tanggal 2 Januari 2009.
13. “PNS Terfragmentasi dalam Politik Praktis”, Republika Newsroom, 3 Juli 2009,
diakses dari situs : http://www.republika.co.id/berita/60051/PNS_
Terfragmentasi_dalam_Politik_Praktis, pada tanggal 2 Januari 2009.
14. “Polri akan bersifat netral dalam pemilu 2009”, diakses dari situs :
http://www.polri.go.id/indexwide.php?
op=news&id_rec=609&pagenow=1&bln=01&thn=2009, pada tanggal
2 Januari 2009.
15. “Visi dan Misi Polri”, diakses dari situs : http://www.polri.go.id/indexwide.php?
op=profile&type=01, pada tanggal 3 Januari 2010.
16. http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_
pdf=1&id=74, diakses pada tanggal 3 Januari 2010.
16