upaya mencegah polri terlibat dalam politik praktis

24
UPAYA MENCEGAH POLRI TERLIBAT DALAM POLITIK PRAKTIS (Studi Historis : Kasus ”VCD Banjarnegara”) I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Polri merupakan alat negara yang tugas pokoknya adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum 1 . Oleh karena itulah, Polri dituntut untuk dapat secara profesional dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut dengan tidak melibatkan diri dalam politik praktis 2 karena dikhawatirkan bila terjadi hal yang demikian, maka tugas pokok Polri tidak akan terlaksana dengan optimal disebabkan adanya keberpihakan pada kekuatan politik tertentu. Namun, di lain sisi, terdapat fakta-fakta dalam lintasan sejarah Polri bahwa Polri senantiasa diintervensi oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu, antara lain sebagaimana yang terjadi dalam kasus ”Intervensi oleh Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Polri dalam Pengangkatan Komjen Pol. Drs. Chaeruddin Ismail sebagai 1 Vide Pasal 30 butir ke-4 UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2 Vide Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Upload: handik-zusen

Post on 14-Jun-2015

744 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Studi Historis Kasud "VCD Banjarnegara" yaitu terungkapnya skandal upaya mobilisasi dukungan politis Polri secara organisasional pada salah satu Capres dalam Pilpres 2004 oleh sekelompok elit Polri.

TRANSCRIPT

Page 1: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

UPAYA MENCEGAH POLRI TERLIBAT DALAM POLITIK PRAKTIS

(Studi Historis : Kasus ”VCD Banjarnegara”)

I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Polri merupakan alat negara yang tugas pokoknya adalah menjaga

keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani

masyarakat, serta menegakkan hukum1. Oleh karena itulah, Polri dituntut

untuk dapat secara profesional dalam menjalankan tugas pokoknya

tersebut dengan tidak melibatkan diri dalam politik praktis2 karena

dikhawatirkan bila terjadi hal yang demikian, maka tugas pokok Polri tidak

akan terlaksana dengan optimal disebabkan adanya keberpihakan pada

kekuatan politik tertentu. Namun, di lain sisi, terdapat fakta-fakta dalam

lintasan sejarah Polri bahwa Polri senantiasa diintervensi oleh kekuatan-

kekuatan politik tertentu, antara lain sebagaimana yang terjadi dalam

kasus ”Intervensi oleh Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Polri dalam

Pengangkatan Komjen Pol. Drs. Chaeruddin Ismail sebagai Waka Polri”3

dan kasus ”VCD Banjarnegara”4 serta kasus ”Pemalsuan DPT di Jatim”5.

Dalam pandangan penulis, kewenangan Polri yang sangat luas

terutama dalam bidang penegakan hukum memang merupakan faktor

strategis bagi kekuatan politik tertentu dalam rangka mencapai suatu

tujuan politis sehingga menjadikan Polri tidak pernah lepas dari pergolakan

dinamika politik negara Indonesia. Namun, posisi Polri yang memegang

peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat menuntut

1 Vide Pasal 30 butir ke-4 UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2 Vide Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

3 “Gus Dur Menjelang Sidang Istimewa, Ruang Gerak Makin Sempit”, Gatra, 5 Juni 2001, diakses dari situs : http://www.gatra.com/artikel.php?id=6844, pada tanggal 2 Januari 2009.

4 “Kasus VCD Banjarnegara”, Tempo, 29 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh= AVEGCFQFUwVU, pada tanggal 2 Januari 2009.

5 M. Fadjroel Rahman, “Menyoal Netralitas TNI-Polri”, Kompas, 3 April 2009, diakses dari situs : http://politikana.com/baca/2009/04/03/menyoal-netralitas-tni-polri.html, pada tanggal 2 Januari 2009.

Page 2: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

adanya suatu netralitas di bidang politik sehingga Polri senantiasa harus

konsisten agar tidak terlibat dalam suatu politik praktis.

Berbagai peristiwa yang dialami Polri terkait dengan adanya upaya-

upaya intervensi oleh kekuatan poltik tertentu tersebut diatas,

sebagaimana yang tercatat dalam lintasan sejarah, selayaknya tidak

dilupakan begitu saja, khususnya oleh para generasi penerus Polri, karena

dengan mengetahui dan mempelajari sejarah dimaksud, maka diharapkan

Polri tidak lagi dapat diintervensi oleh berbagai kekuatan politik tertentu di

kemudian hari.

Pentingnya para generasi penerus Polri dalam mempelajari sejarah

dimaksud sesuai dengan sebagaimana salah satu kutipan yang paling

terkenal mengenai sejarah dan pentingnya kita belajar mengenai sejarah

yang ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana, yang

berkata : "Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk

mengulanginya." atau sebagaimana yang yang dikatakan oleh seorang

filosuf dari Jerman, George Wilhelm Friedrich Hegel, yang mengemukakan

dalam pemikirannya tentang sejarah : "Inilah yang diajarkan oleh

sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak

pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat

darinya.". Kalimat George Wilhelm Friedrich Hegel tersebut pun kemudian

dituturkan ulang kembali oleh negarawan dari Inggris Raya, Winston

Churchill, yang berkata : "Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah

adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.". Winston Churchill

tersebut, yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoar yang

berpengaruh, pernah pula berkata "Sejarah akan baik padaku, karena

aku akan menulisnya."6

Oleh karena itu selanjutnya dalam penulisan ini, penulis hendak

membahas secara khusus mengenai kasus ”VCD Banjarnegara” sebagai

suatu studi kasus yang merupakan salah satu fakta dalam lintasan sejarah

Polri yang tidak patut terulang lagi di kemudian hari. Sebagai output dalam

penulisan ini, penulis hendak berupaya merekomendasikan upaya-upaya

dalam tataran konseptual yang dapat ditempuh Polri guna mencegah Polri

terlibat dalam suatu politik praktis, baik secara organisasional maupun

6 “Sejarah”, diakses dari situs : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, pada tanggal 2 Januari 2009.

2

Page 3: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

individual anggota Polri. Kasus tersebut menarik bagi penulis untuk

meninjaunya secara historis, mengingat banyaknya spekulasi publik dalam

kasus tersebut, apakah kasus tersebut merupakan kasuistis, dalam arti

berdiri sendiri dan dilakukan oleh Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa

secara individual ataukah memang terdapat upaya Polri secara

organisasional melalui ”jalur komando” yang dimiliki Polri untuk

memobilisasi dukungan terhadap pasangan Mega-Hasyim sebagai calon

Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004.

2. PERMASALAHANBerdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang

hendak dibahas oleh penulis dalam penulisan ini adalah : ”Bagaimana

upaya mencegah Polri terlibat dalam politik praktis (dengan studi historis :

kasus ”VCD Banjarnegara”)?”

3. PERSOALAN-PERSOALAN

1. Bagaimana kronologi terjadinya kasus ”VCD Banjarnegara” ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Polri terlibat dalam politik

praktis ?

3. Bagaimana upaya mencegah Polri terlibat dalam politik praktis ?

II. PEMBAHASAN

1. Kronologi Kasus ”VCD Banjarnegara”

Menjelang musim pelaksanaan pemilihan Presiden RI tahun 2004,

publik nasional dikejutkan dengan munculnya kasus ”VCD Banjarnegara”

yang berisikan rekaman mantan Kapolwil Banyumas Kombes Pol. Drs. AA

Mapparessa sedang menggelar tatap muka dengan keluarga besar polisi

di Polres Banjar Negara, Jawa Tengah tanggal 29 Mei 2004, didampingi

istrinya dalam rangka memberikan pemaparan tentang lima calon Presiden

dan Wakil Presiden7. Dalam acara tersebut, muncul kesan bahwa Kapolwil

Banyumas Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa mengarahkan para anggota

Polres Banjarnegara pada khususnya, serta keluarga dari para anggota

tersebut pada umumnya agar mendukung salah satu calon Presiden dalam

pemilu Presiden putaran pertama 5 Juli 20048.

7 ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.tempointeraktif.com/hg/ nasional/2004/07/29/brk,20040729-10,id.html, pada tanggal 2 Januari 2010.

8 “Mapparessa Minta Maaf”, Suara Merdeka, 12 Agustus 2004, diakses dari situs : http://www.suaramerdeka.com/harian/040 8/12/nas04.htm, pada tanggal 2 Januari 2010.

3

Page 4: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

Memang benar dalam rekaman VCD dimaksud, Kombes Pol. Drs. AA

Mapparessa dan istrinya tidak secara eksplisit mengarahkan para anggota

Polres Banjarnegara untuk memilih salah satu pasangan calon Presiden

dan Wakil Presiden, tetapi dari serangkaian pengarahan tersebut akan

didapat pesan implisit agar para anggota tersebut turut mendukung salah

satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden saat itu, yaitu Megawati

Soekarno Putri dan KH. Hasyim Muzadi, sebagaimana transkrip komentar-

komentar Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa dan istrinya yang dimuat

dalam harian Suara Merdeka9 sebagai berikut :

Dalam tayangan VCD berdurasi 25 menit itu, Kapolwil mengomentari

beberapa pasangan capres dan cawapres yang gambarnya ditayangkan

dalam sebuah slide.

Ketika gambar pasangan SBY-JK muncul misalnya, dia berkomentar,

"Beliau memanfaatkan kesempatan supaya kita (Polri) ada di bawah

Mendagri. Dahulu anak saya ngefans banget sama beliau, tapi setelah

tahu tidak lagi." Dia mengucapkan seperti itu sambil sekilas

mengacungkan foto SBY yang dipegangnya.

Dalam kesempatan yang sama, istri Kapolwil berceramah tentang

betapa baik capres Megawati Soekarnoputri. Dengan berapi-api, dia

memaparkan kepada istri-istri perwira yang hadir di tempat itu

tentang sejarah mengapa Megawati ingin Polri mandiri.

"Itu ada sejarahnya. Bung Karno itu dahulu sangat cinta polisi,

makanya beliau tidak mau polisi di bawah TNI. Apalagi Ibu (Megawati)

juga berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Dia (Hasyim) kan orang

bersih," kata istri Kapolwil.

Selanjutnya, atas tindakannya tersebut, terhadap Kombes Pol. Drs.

AA Mapparessa dilakukan pemeriksaan melalui mekanisme persidangan

Kode Etik Profesi Polri yang hasilnya adalah bahwa Kombes Pol AA

Mapparessa dianggap telah melanggar Kode Etik Profesi Polri berdasar

Keputusan Kapolri No. Pol. : KEP/32/VII/2003, tertanggal 1 Juli 2003, pasal

9 ayat (4) dan pasal 14. Pasal 9 ayat 4 menyebutkan, setiap anggota Polri

tidak boleh melampaui batas kewenangannya. Pasal 14 menyebutkan,

Polri harus menjaga jarak dengan parpol guna menjaga netralitas dan tidak

9 “Kapolwil Banyumas Dicopot, Terkait Kasus VCD Pro-Mega”, Suara Merdeka, 30 Juli 2004, diakses dari situs : http://www .suaramerdeka.com/harian/0407/30/nas01.htm, pada tanggal 2 Januari 2010.

4

Page 5: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

melibatkan diri dalam politik praktis10. Disamping itu Kombes Pol. Drs.

Mapparessa terbukti melanggar perintah Kapolri yang tertuang dalam

Telegram Rahasia (TR) No. Pol : 181/III/2004 tentang ketidakberpihakan

pada partai politik atau calon Presiden dan calon Wakil Presiden tertentu11.

Spekulasi keterlibatan Polri dalam politik praktis dalam kasus ”VCD

Banjarnegara” tersebut sempat dikemukakan oleh banyak pihak, antara

lain sebagaimana yang dikemukakan oleh pengamat politik dari UGM,

Prof. Dr. Riswandha Imawan, yang menyatakan penilaiannya bahwa jika

melihat tayangan video tersebut, bisa menimbulkan dua interpretasi.

Pertama, memang ada orang yang berusaha mencari muka pada Presiden

dengan memberikan instruksi melalui pengarahan tersebut, karena di

ujung pengarahan Kombes Pol. Drs. AA Mapparessa selaku Kapolwil

Banyumas kepada anggota Polres Banjarnegara, Kapolwil mengatakan

”dengan demikian saya sudah selesai melaksanakan perintah

Kapolri”. Maka dari pernyataan tersebut dapat diduga ada upaya internal

dari Kapolri untuk menunjukkan loyalitasnya pada Presiden. Interpretasi

kedua, menurut Prof. Dr. Riswandha Imawan, jika itu ide pribadi, bukan

institusi, mungkin berhubungan dengan strategi votting. Namun Prof. Dr.

Riswandha Imawan tidak menentukan perspektif mana yang benar.

Karena itu, perlu ada kejelasan, apakah hal itu merupakan kebijakan

Kapolri sebagai institusi, atau inisiatif pribadi.12

Dalam pandangan penulis sebagai anggota Polri, fenomena yang

terjadi dalam kasus ”VCD Banjarnegara” merupakan ”fenomena gunung

es”, artinya bahwa sebenarnya masih banyak hal serupa yang terjadi di

saat menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2004,

sebagaimana yang dialami oleh penulis ketika berdinas di Polda Jatim,

dimana dalam setiap kesempatan apel pagi, seorang pejabat Polda Jatim

secara bergantian melakukan upaya pengarahan terhadap para anggota

Polda Jatim agar mendukung salah satu pasangan calon Presiden dan

Wakil Presiden tertentu, termasuk keluarga para anggota Polri tersebut.

Memang para pejabat tersebut tidak secara eksplisit menyebut nama 10 “Sidang Anggap Mapparessa Langgar Kode Etik”, detikNews, 11 Agustus 2004, diakses dari situs :

http://www.detiknews.com/read/2004/08/11/114120/189599/10/sidang-anggap-mapparessa-langgar-kode-etik-polri, pada tanggal 2 Januari 2009.

11 ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.tempointeraktif.com/hg/ nasional/2004/07/29/brk,20040729-10,id.html, pada tanggal 2 Januari 2010.

12 “Kapolda Pimpin Tim Penelusuran VCD. Riswandha : Kapolri Sulit Mengelak”, Suara Merdeka, 28 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/28/nas01.htm, pada tanggal 2 Januari 2009.

5

Page 6: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu, namun hanya

secara implisit melalui serangkaian pengarahan tertentu yang diantaranya

terdapat kata-kata : ”Ingat ya, dalam pilpres nanti, jangan lupa untuk

memberitahu keluarga masing-masing agar mencoblos yang merah-

merah, jangan yang lain”. Tentunya dengan sedikit penalaran bahkan

dari orang awam, maksud pengarahan tersebut dapat ditangkap secara

jelas, terkait dengan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang

mana yang harus didukung oleh anggota Polri. Disamping itu, sudah

bukan rahasia lagi di kalangan anggota Polri bahwa di tiap kesatuan Polri

saat itu memang diarahkan untuk mendukung salah satu pasangan calon

Presiden dan Wakil Presiden tertentu, sebagaimana yang terjadi di Polres

Banjarnegara.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Polri terlibat dalam politik praktis

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam kasus ”VCD

Banjarnegara” tersebut serta pengalaman pribadi penulis terkait adanya

upaya politisasi Polri agar mendukung salah satu pasangan calon

Presiden dan Wakil Presiden tertentu pada saat pelaksanaan pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2004, maka dapat dianalisis bahwa

saat itu terdapat indikasi bahwa Polri memang secara organisasional

terlibat dalam politik praktis dalam rangka memberikan dukungan terhadap

”kekuatan politik” tertentu.

Faktor-faktor utama-dalam pandangan penulis-yang mempengaruhi

Polri secara organisasional hingga terlibat dalam politik praktis

berdasarkan fakta-fakta sebagaimana tersebut diatas antara lain adalah

sebagai berikut :

a. Budaya Patron-Client

Penulis tertarik untuk merujuk pada hasil penelitian D Sudiman

dalam disertasinya yang berjudul “Netralitas PNS Dalam Politik : Studi

Tentang Netralitas PNS Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan

dan Banten.” yang menyatakan bahwa faktor budaya politik dan

budaya birokrasi di Indonesia, ternyata tidak sejalan dengan proses

liberalisasi politik dan sistem demokratisi secara langsung. Pada

masyarakat yang masih menganut patronase politik dan budaya

feodalistik, netralitas birokrasi menjadi sesuatu yang sangat utopia.

6

Page 7: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

Pola hubungan patron-client serta politik balas jasa membuat posisi

PNS menjadi lebih mudah terkooptasi oleh kepentingan politik rezim

tingkat lokal13.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, tercermin fakta bahwa

memang benar terdapat fenomena dinamika politik di Indonesia yang

dipengaruhi oleh budaya patron-client. Mindset yang hendak

dikemukakan penulis disini terkait dengan kasus ”VCD Banjarnegara”

pada khususnya maupun dugaan dukungan Polri secara

organisasional kepada pasangan Mega-Hasyim saat pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden tahun 200414 pada umunya adalah

dikarenakan eksistensi hubungan patron-client yang oleh Polri saat itu

diposisikan sebagai dukungan optimal yang diberikan oleh Presiden

Megawati Soekarnoputri beserta pemerintahaannya-selaku patron-

dalam perwujudan Polri-selaku client-sebagai organisasi penegak

hukum yang profesional serta posisinya yang langsung dibawah

Presiden. Hubungan patron-client tersebut hendak dipertahankan

Polri hingga masa pemerintahan berikutnya, yaitu periode tahun

2004-2009, dengan Megawati Soekarno Putri yang diharapkan

menjadi Presiden RI kembali.

Dalam pandangan penulis, eksistensi hubungan tersebut pada

mulanya hanya bergulir sampai dengan elite Polri, namun

dikarenakan adanya kepentingan politis tertentu para elite Polri

sehingga bergulirnya hubungan tersebut termobilisasi secara

struktural hinggal kepada anggota Polri di kesatuan-kesatuan

kewilayahan Polri. Disini nampak bahwa para elite Polri berupaya

membawa Polri untuk terlibat dalam politik praktis.

b. Isu Peningkatan Anggaran Polri

Sebagaimana pengalaman penulis saat berdinas di Polda Jatim,

para pejabat Polda Jatim tak henti-hentinya menggulirkan wacana

tentang anggaran Polri yang meningkat secara signifikan semasa

pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri sehingga Polri pun

13 “PNS Terfragmentasi dalam Politik Praktis”, Republika Newsroom, 3 Juli 2009, diakses dari situs : http://www.republika.co.id/berita/60051/PNS_Terfragmentasi_dalam_Politik_Praktis, pada tanggal 2 Januari 2009.

14 “Polri akan bersifat netral dalam pemilu 2009”, diakses dari situs : http://www.polri.go.id/indexwide.php?op=news&id_ rec=609&pagenow=1&bln=01&thn=2009, pada tanggal 2 Januari 2009. Komentar pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar : “Polri bersikap tidak netral bisa terlihat pada pemilu 2004. Kala itu Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar ada kecenderungan untuk mendukung calon Presiden Megawati.”

7

Page 8: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

dapat memenuhi berbagai sarana dan prasarana operasionalnya dan

apabila yang menjabat Presiden RI pada periode 2004-2009 bukan

Megawati Soekarno Putri maka anggaran Polri tidak akan sebesar

yang diterima saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.

Dalam hal ini nampak bahwa isu terkait peningkatan anggaran

Polri tersebut disampaikan tidak secara faktual sehingga bagi

anggota yang tidak memahaminya akan terpengaruh untuk

menganggapnya sebagai kebenaran. Isu tersebut sangat sensitif di

kalangan PNS pada umumnya, termasuk Polri pada khususnya,

mengingat semasa orde lama Polri merupakan ”anak tiri” dari ketiga

organisasi lainnya di dalam ABRI yang membawa konsekuensi dalam

berbagai hal termasuk di bidang anggaran yang selalu paling minim

dibandingkan dengan TNI AD, TNI AL dan TNI AU.

c. Peran dan posisi strategis Polri

Dalam kasus ”Pemalsuan DPT di Jatim” yang ditangani Polda

Jatim, Prof. Bilveer Singh dari National University of Singapore

melihat potensi politik pada postur polisi pascareformasi terkait

dengan sejumlah alasan yang berkaitan dengan kehadiran polisi dan

aktivitasnya, yaitu : (1) berada di garis depan penegakan hukum dan

aturan, (2) pendatang baru yang sedang menegakkan posisi ekonomi

dan politik, (3) langsung di bawah Presiden, bukan Mendagri seperti

umumnya praktik di negara lain, (4) pemain otonom di daerah dan

mudah terseret ke dalam kontroversi politik, (5) ”politicking” di Pilkada

Jatim berpotensi juga terjadi pada Pemilu 2009, (6) dapat

mencerminkan ”TNI Kedua” ketika terseret politik pada masa Orde

Baru dengan segala konsekuensinya di masa depan.15

Berdasarkan pengamatan Prof. Bilveer Singh tersebut, penulis

hendak mengambil mindset bahwa memang sebenarnya Polri

memang memiliki kerentanan tersendiri dalam mendapatkan suatu

intervens dari kekuatan politik tertentu, yang antara lain disebabkan

peran Polri yang strategis sebagai alat negara yang memiliki tugas

pokok di bidang penegakan hukum serta posisinya yang langsung di

bawah Presiden. Dalam pandangan penulis, Polri tidak akan dapat

15 M. Fadjroel Rahman, “Menyoal Netralitas TNI-Polri”, Kompas, 3 April 2009, diakses dari situs : http://politikana.com/baca/2009/04/03/menyoal-netralitas-tni-polri.html, pada tanggal 2 Januari 2009.

8

Page 9: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

mewujudkan prinsip ”equality before the law” manakala telah terjadi

suatu intervensi politik terhadap Polri dan justru Polri akan menjadi

”alat kekuasaan” dari kekuatan politik tertentu dalam mencapai tujuan

tertentu sehingga akan terjadi keberpihakan oleh Polri terhadap pihak

atau golongan tertentu di bidang penegakan hukum. Begitu juga

dengan posisi Polri yang langsung di bawah Presiden, memang di

satu sisi dapat menjauhkan Polri dari intervensi kepentingan tertentu

dibandingkan jika berada di bawah suatu departemen tertentu yang

salah satu konsekuensinya adalah panjangnya rantai birokrasi yang

harus dihadapi Polri sehingga muncul kerawanan yang jauh lebih

besar terhadap adanya intervensi pelaksanaan tugas pokok dan

wewenang Polri, namun di sisi lain, posisi dimaksud juga dapat

mendatangkan kerawanan berupa intervensi maupun kolusi politik

secara langsung antara Presiden terhadap Polri manakala Presiden

dan Kapolri tidak memegang teguh amanat yang diberikan

kepadanya untuk menaati segala peraturan perundang-undangan

yang berlaku, termasuk dalam hal menjaga netralitas Polri dari politik

praktis.

d. Loyalitas organisasional anggota Polri

Dalam kasus ”VCD Banjarnegara” tersebut terdapat pengaruh

kuat berupa loyalitas para personel Polri terhadap para pimpinan

Polri, sehingga para pimpinan Polri yang hendak memanfaatkan

potensi tersebut dapat dengan mudah menggunakannya sebagai

peluang untuk memobilisasi dukungan politik dari para anggota Polri

bagi salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam

pemilu tahun 2004.

Karakter organisasional Polri yang masih lekat dengan

paradigma militeristik sebagai akibat dari proses integrasi Polri

dengan TNI dalam ABRI semasa orde baru sangat mempengaruhi

secara kuat pembentukan loyalitas anggota Polri terhadap pimpinan

Polri secara individual yang seringkali juga diterjemahkan sebagai

loyalitas secara organisasional. Kultur semacam ini masih melekat di

dalam organisasi Polri sehingga seringkali masih dijumpai para

anggota Polri yang lebih memilih melaksanakan perintah pimpinannya

9

Page 10: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

walaupun perintah tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan daripada menolaknya.

3. Upaya Mencegah Polri Terlibat dalam Politik Praktis

Polri senantiasa harus menjaga netralitasnya terhadap berbagai

pengaruh kekuatan politik yang ada oleh karena itu diperlukan serangkaian

upaya guna mewujudkan hal tersebut. Netralitas Polri tersebut memiliki

makna strategis sebagai salah satu jaminan terselenggaranya demokrasi

di Indonesia yang merupakan negara hukum (rechtstaat) karena apabila

Polri tidak netral lagi terhadap berbagai kekuatan politik tersebut, maka

niscaya aspek-aspek kehidupan negara demokrasi pun tidak akan

terwujud di Indonesia. Berikut ini merupakan upaya-upaya dalam tataran

konseptual yang hendak direkomendasikan penulis untuk dapat ditempuh

Polri secara organisasional oleh Polri dalam rangka mencegah terlibatnya

Polri dalam kegiatan politik praktis, antara lain yaitu :

a. Mereduksi paradigma militeristik

Paradigma militeristik yang dimaksud penulis disini berkaitan

dengan loyalitas organisasional anggota Polri terhadap para

pimpinannya yang cenderung dimanfaatkan oleh para pimpinan

tersebut dalam rangka mencapai kepentingan pribadi atau

golongannya, antara lain sebagaimana yang terjadi dalam kasus

”VDC Banjarnegara” dimaksud.

Loyalitas organisasional yang diterapkan ”secara keliru” tersebut

harus ”diluruskan” dengan dimulai oleh kesediaan para pimpinan Polri

untuk tidak senantiasa ”memanipulasi” loyalitas para anggota Polri

hanya guna mencapai kepentingan pribadi atau golongannya,

termasuk kepentingan yang terkait dengan bidang politik tertentu.

Loyalitas dimaksud dalam pandangan penulis terutama sangat

dipengaruhi paradigma militeristik. Oleh karena itu, Polri harus mulai

melakukan reduksi terhadap berbagai aspek atau muatan negatif

yang diakibatkan oleh adanya paradigma militeristik, terutama

penerapan ”loyalitas yang kebablasan” tersebut.

b. Penguatan komitmen organisasi

10

Page 11: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

Komitmen organisai Polri tercermin dalam visi dan misi Polri16

serta dilegitimasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan wewenang Polri. Terkait

dengan netralitas Polri terhadap kehidupan politik serta kegiatan

politik praktis di Indonesia hendaknya Polri senantiasa menjaganya

mengingat netralitas Polri tersebut diamanatkan secara khusus dalam

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang merupakan perwujudan dari

amanat rakyat (vide pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Komitmen Polri secara organisasional untuk tetap bersikap

netral tersebut harus terwujud secara riil pada setiap elemen

struktural Polri, mulai dari elemen teratas hingga terbawah.

c. Penerapan sanksi secara tegas dan keras

Penerapan mekanisme punishment secara tegas dan keras

juga tetap diperlukan ketika terjadi pelanggaran oleh anggota Polri

yang terbukti bersikap tidak netral dalam kehidupan politik maupun

terlibat secara langsung dalam kegiatan politik praktis di Indonesia

sehingga terwujud deterrence effect, baik bagi anggota Polri yang

melanggar ketentuan tersebut (personal deterrence) maupun bagi

anggota Polri lainnya (general deterrence) agar tidak melakukan

pelanggaran yang sama.

d. Penerapan prinsip-prinsip good governance

Masyarakat saat ini semakin kritis terhadap pelaksanaan tugas-

tugas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga

negara, tak terkecuali pelayanan publik oleh oleh Polri. Oleh karena

itulah, Polri harus menyikapinya menerapkan prinsip-prinsip good

governance17 secara profesional dan proporsional sesuai dengan

ruang lingkup tugas pokok dan wewenang Polri. Misalnya dalam hal

penerapan prinsip tranparansi, jika dilaksanakan dengan benar, maka

tidak akan terjadi ”kebohongan publik” oleh Polri terkait netralitas Polri

dalam kegiatan politik praktis, yang di hadapan publik Polri

16 “Visi dan Misi Polri”, diakses dari situs : http://www.polri.go.id/indexwide.php?op=profile&type=01, pada tanggal 3 Januari 2010.

17 Diakses dari situs : http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=74, pada tanggal 3 Januari 2010. Prinsip-prinsip dalam good governance yaitu : Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, Peduli pada Stakeholder, Berorientasi pada Konsensus, Kesetaraan, Efektifitas dan Efisiensi, Akuntabilitas dan Visi Strategis.

11

Page 12: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

menyatakan netral namun sementara itu tidak demikian

kenyataannya, Polri justru melakukan manuver politik yang

dimobilisasi oleh para elite Polri sebagaimana yang terjadi dalam

kasus “VCD Banjarnegara”.

e. Reformasi kultural Polri secara riil

Hingga kini memang Polri telah melakukan berbagai upaya

reformasi yang meliputi aspek struktural, kultural maupun

instrumental. Namun, khusus terkait dengan pencapaian reformasi

kultural dirasa belum mencapai target yang diharapkan, terbukti

dengan masih eksisnya persepsi negatif oleh publik terhadap Polri

melalui berbagai survey yang digelar oleh berbagai lembaga, baik

lembaga pemerintah maupun LSM. Ditambah lagi berbagai catatan

public complaint dari masyarakat yang masuk ke Kompolnas maupun

Komisi Ombudsman RI terkait dengan kinerja Polri yang dinilai belum

sesuai dengan harapan masyarakat.

Berdasarkan fenomena tersebut, dalam analisis penulis, antara

lain disebabkan oleh belum tercapainya reformasi kultural secara riil,

dikarenakan reformasi dimaksud cenderung dilaksanakan

menggunakan mekanisme top down, bukan bottom up, sehingga

banyak permasalahan riil di level bawah yang tidak terselesaikan

padahal permasalahan di level bawah memiliki dampak yang

signifikan terhadap laju reformasi dimaksud jika tidak terselesaikan

dengan baik.

Ketidakberhasilan Polri dalam melakukan reformasi dimaksud

selanjutnya membawa dampak antara lain sebagaimana yang terjadi

dalam kasus ”VCD Banjarnegara tersebut”. Dalam kasus tersebut,

penulis melihat bahwa Polri belum dapat merubah kultur negatif yang

diterapkan pada masa orde lama dimana saat itu, baik PNS,

termasuk TNI dan Polri serta para keluarganya bersikap tidak netral

dalam kehidupan politik dan kegiatan politik praktis di Indonesia

dengan senantiasa memihak kepada partai penguasa saat itu, yaitu

Golkar. Kultur tersebut harus dikikis habis dari tubuh Polri sehingga

Polri tidak lagi dijadikan alat kekuasaan kekuatan politik tertentu,

12

Page 13: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

namun justru berperan di garda terdepan dalam penegakan prinsip-

prinsip negara demokrasi di Indonesia.

III. KESIMPULAN

Pengaruh dinamika kekuatan politik di negeri ini terhadap Polri memang

tidak mudah untuk dihindari, terutama jika hal tersebut direspon oleh Polri

secara internal, walaupun bukan secara organisasional, misalnya oleh para elit

Polri, maka tentu saja yang nampak secara ekaternal di luar tubuh Polri oleh

publik adalah suatu respon organisasional karena publik cenderung tidak

mempersepsikan respon tersebut sebagai respon individual melainkan sebagai

respon organisasional mengingat publik juga tidak selalu mengetahui berbagai

kondisi riil di dalam tubuh Polri, termasuk manuver-manuver para elit Polri,

sebagaimana halnya yang terungkap dalam ”Kasus VCD Banjarnegara”

tersebut yang menyebabkan publik tersontak bahwa ternyata Polri pun

melakukan manuver politis dalam mendukung salah satu kekuatan politik di

negeri ini.

Dalam pandangan penulis, kondisi yang menjadikan sulitnya Polri lepas

dari berbagai pengaruh kekuatan politik, antara lain dipengaruhi oleh budaya

patron-client yang masih melekat, terutama antara para elit Polri tertentu

dengan para elit politik tertentu yang turut memberikan sumbangsih atas

”kesuksesan” karir para elit Polri dimaksud. Isu tentang anggaran juga

menempati posisi vital ketika dipolitisasi bahwa peningkatan anggaran Polri

adalah karena ”jasa” kekuatan politik tertentu sehingga terjadi upaya mobilisasi

dukungan terhadap kekutan politik dimaksud dari seluruh elemen Polri secara

organisasional oleh para sekelompok elit Polri yang ”berkepentingan” tertentu

bagi diri pribadinya maupun kelompoknya. Faktor yang paling ”menggoda” bagi

kekuatan politik di negeri ini untuk ”merekrut” dukungan Polri adalah terkait

dengan posisi dan peran strategis Polri dalam tata pemerintahan Indonesia.

Tugas pokok maupun wewenang vital, terutama dalam hal penegakan hukum,

dalam pandangan penulis merupakan faktor penting yang menjadi alasan

mengapa Polri selalu ”diperebutkan” oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Didukung pula dengan kultur loyalitas organisasional yang tinggi dari segenap

elemen di tubuh Polri menjadikan Polri semakin rentan dipolitisasi.

Oleh karena itulah diperlukan serangkaian upaya agar Polri dapat

terhindar dari pengaruh-pengaruh politik yang hendak memanfaatkan Polri bagi

13

Page 14: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

kepentingan kekuatan politik tertentu. Hal tersebut dapat dilakukan jika Polri

mau belajar dari sejarah yang ada terkait dengan fenomena-fenomena serupa,

menelaahnya dan melakukan langkah-langkah riil guna mencegah terjadinya

hal yang serupa. Upaya-upaya yang dapat ditempuh, dalam pandangan penulis,

antara lain dengan mereduksi paradigma militeristik, dalam artian tidak semua

hal yang bersifat militeristik, namun hanya terhadap paradigma militeristik yang

membawa pengaruh negatif, selanjutnya melakukan penguatan komitmen

organisasi guna mencapai tujuan organisasi sebagaimana yang diamantkan

dalam undang-undang18 dengan didukung mekanisme penerapan sanksi secara

tegas dan keras terhadap para personil Polri yang melanggar ketentuan terkait

larangan keterlibatan dalam kehidupan politik maupun kegiatan politik praktis.

Disamping itu, kepekaan Polri terhadap lingkungan (environmental sensitivity)

juga perlu diperhatikan, baik secara internal maupun eksternal, yang

selanjutnya disikapi dengan upaya melakukan penerapan prinsip-prinsip good

governance serta reformasi kultural Polri secara riil sebagaimana diuraikan

diatas.

Jakarta, 13 Januari 2010

Penulis

HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877

18 Vide Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

14

Page 15: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

2. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

3. “Gus Dur Menjelang Sidang Istimewa, Ruang Gerak Makin Sempit”, Gatra, 5

Juni 2001, diakses dari situs : http://www.gatra.com/artikel.php?id=

6844, pada tanggal 2 Januari 2009.

4. “Kasus VCD Banjarnegara”, Tempo, 29 Juli 2004, diakses dari situs :

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh= AVEGCFQFUwVU, pada

tanggal 2 Januari 2009.

5. M. Fadjroel Rahman, “Menyoal Netralitas TNI-Polri”, Kompas, 3 April 2009,

diakses dari situs : http://politikana.com/baca/2009/04/03/menyoal-

netralitas-tni-polri.html, pada tanggal 2 Januari 2009.

6. “Sejarah”, diakses dari situs : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, pada tanggal 2

Januari 2009.

7. ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari

situs : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/07/29/brk,

20040729-10,id.html, pada tanggal 2 Januari 2010.

8. “Mapparessa Minta Maaf”, Suara Merdeka, 12 Agustus 2004, diakses dari situs

: http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/12/nas04.htm, pada

tanggal 2 Januari 2010.

9. “Kapolwil Banyumas Dicopot, Terkait Kasus VCD Pro-Mega”, Suara

Merdeka, 30 Juli 2004, diakses dari situs :

http://www .suaramerdeka.com/harian/0407/30/nas01.htm, pada

tanggal 2 Januari 2010.

10. “Sidang Anggap Mapparessa Langgar Kode Etik”, detikNews, 11 Agustus 2004,

diakses dari situs : http://www.detiknews.com/read/

2004/08/11/114120/189599/10/sidang-anggap-mapparessa-langgar-

kode-etik-polri, pada tanggal 2 Januari 2009.

15

Page 16: Upaya Mencegah Polri Terlibat Dalam Politik Praktis

11. ”Kapolwil Banyumas Dicopot”, Tempo Interaktif, 29 Juli 2004, diakses dari

situs : http://www.tempo -

interaktif.com/hg/nasional/2004/07/29/brk,2004 0729-10,id.html, pada

tanggal 2 Januari 2010.

12. “Kapolda Pimpin Tim Penelusuran VCD. Riswandha : Kapolri Sulit Mengelak”,

Suara Merdeka, 28 Juli 2004, diakses dari situs :

http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/28/nas01.htm, pada

tanggal 2 Januari 2009.

13. “PNS Terfragmentasi dalam Politik Praktis”, Republika Newsroom, 3 Juli 2009,

diakses dari situs : http://www.republika.co.id/berita/60051/PNS_

Terfragmentasi_dalam_Politik_Praktis, pada tanggal 2 Januari 2009.

14. “Polri akan bersifat netral dalam pemilu 2009”, diakses dari situs :

http://www.polri.go.id/indexwide.php?

op=news&id_rec=609&pagenow=1&bln=01&thn=2009, pada tanggal

2 Januari 2009.

15. “Visi dan Misi Polri”, diakses dari situs : http://www.polri.go.id/indexwide.php?

op=profile&type=01, pada tanggal 3 Januari 2010.

16. http://www.governance-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_

pdf=1&id=74, diakses pada tanggal 3 Januari 2010.

16