unud 74 684648981 disertasi mateus

193
DISERTASI PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING RUPA MATEUS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: ivan-firmansyah

Post on 09-Feb-2016

260 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ty6r

TRANSCRIPT

Page 1: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

i

DISERTASI

PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS

DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN

KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH

SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)

DI LAHAN KERING

RUPA MATEUS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

i

DISERTASI

PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS

DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON

ORGANIK DAN KUALITAS TANAH

SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)

DI LAHAN KERING

RUPA MATEUS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

DISERTASI

Page 3: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

ii

PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS

DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON

ORGANIK DAN KUALITAS TANAH

SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)

DI LAHAN KERING

RUPA MATEUS

NIM: 1190471016

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

iii

PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS

DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON

ORGANIK DAN KUALITAS TANAH

SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)

DI LAHAN KERING

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor

Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Pertanian

Program Pascasarjana Universitas Udayana

RUPA MATEUS

NIM: 1190471016

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 5: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

iv

LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL: 13 DESEMBER 2013

Promotor,

Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D.

NIP. 19500126 197302 2 001

Kopromotor I,

Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D.

NIP.19450819 196902 1 001

Kopromotor II,

Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.

NIP.19580403 198603 1 004

Mengetahui:

Ketua

Program Studi Doktor Ilmu Pertanian

Program Pascasarjana Universitas

Udayana,

Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P.

NIP. 19560525 198303 1 002

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)

NIP.19590215 198510 2 001

Page 6: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

v

PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Disertasi Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji Disertasi Program Pascasarjana

Universitas Udayana pada Ujian Tertutup

Tanggal: 13 Desember 2013

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

No: 3181/H.14.4/HK/2013

Tanggal: 04 Desember 2013

Ketua : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S.

Anggota:

1. Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D.

2. Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D.

3. Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.

4. Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P.

5. Prof. Ir. I Nyoman Merit, M.Agr. Ph.D.

6. Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.S.

7. Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS.

Page 7: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

vi

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rupa Mateus

NIM : 1190471016

Program Studi : Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Uiversitas

Udayana

Konsentrasi : Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lahan Pertanian

Judul Disertasi : Peranan Legum Penutup Tanah Tropis dalam Meningkatkan

Simpanan Karbon Organik dan Kualitas Tanah serta Hasil

Jagung (Zea mays L.) di Lahan Kering

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila

dikemudiaan hari ditemukan terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia

menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Bagian dari Disertasi ini juga telah dipublikasikan

pada Journal of Biology, Agriculture and Healthcare; The International Institute for

Science, Technology and Education (IISTE), Volume 3, No. 16, Tahun 2013, halaman

107-114.

Demikian surat penyataan bebas plagiat ini di buat.

Denpasar, 21 Pebruari 2014

Rupa Mateus

Page 8: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji dan syukur

kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan Berkat dan Rahmat-

Nya melalui energi dan kesehatan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana

Denpasar.

Penyelesaian disertasi ini tentunya akan sulit terwujud tanpa arahan, bimbingan

dan kontribusi pengetahuan dari Tim Promotor. Penulis merasa berhutang budi kepada

beliau tim promotor, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D., selaku Promotor yang

dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran

selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini.

Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Ir. I G.M. Oka

Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D selaku kopromotor I dan Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.,

dari Universitas Mataram selaku kopromotor II yang dengan penuh perhatian dan

kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama pula penulis tujukkan kepada Rektor Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KMEMD atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program

Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukkan kepada Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa

program doktor pada Program Studi Doktor Ilmu Pertanian. Terima kasih ini juga

disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P selaku Ketua Program Studi

Doktor Ilmu Petanian atas bimbingan dan arahannya dalam mengikuti program doktor.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para penguji disertasi yang telah

memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud

seperti ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Tim Manajemen

Program Doktor yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk BPPS sehingga

dapat meringankan beban penulis dalam menyelasaikan studi ini.

Page 9: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

viii

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru, mulai dari Sekolah Dasar sampai

Perguruan Tinggi yang telah membimbing penulis sehingga sampai pada jenjang

pendidikan tertinggi ini. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua Bapak dan

Mama yang telah mengasuh dan membersarkan penulis. Akhirnya penulis mengucapkan

terima kasih kepada istri tercinta Ema dan kedua anak terkasih Ririananda Johan Balan

Demoor dan Ciciliananda B.N.Somy Demoor yang dengan penuh pengorbanan,

pengertian, cinta dan kasih serta kesabarannya telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas budi baik dan melimpahkan Berkat-

Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi

ini.

Denpasar, 21 Pebruari 2014

Rupa Mateus

Page 10: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

ix

ABSTRAK

PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN

SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL

JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING

Rendahnya kesuburan tanah, erosi tanah dan masalah gulma pada usaha tani di lahan kering di

negara-negara berkembang mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan dan rendahnya hasil

tanaman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya simpanan C-organik dan kualitas tanah. Tanaman

penutup tanah, terutama legum penutup tanah (LPT) tropis dapat meningkatkan simpanan C-

organik dan kualitas tanah di daerah tropis jika diterapkan secara baik dan benar. LPT tropis dapat

berperan dalam mencapai tujuan pertanian berkelanjutan melalui pengurangan pemakaian pupuk

kimia dan sebagai bahan pembenah tanah lainnya serta memberikan hasil yang setara dengan yang

diberikan oleh pupuk kimia.

Penelitian telah dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai Agustus 2013 di lahan kering milik petani

di desa Oelnasi, kecamatan Kupang Tengah, kabupaten Kupang, provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT). Empat percobaan lapangan telah dilakukan untuk menguji peranan LPT tropis dalam

meningkatkan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung. Keempat percobaan tersebut

masing-masing adalah: (1) Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT dengan metode

litter bags; (2) Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N selama

pertumbuhan vegetatif tanaman jagung; (3) Kajian potensi LPT dalam meningkatkan simpanan C-

organik dan kualitas tanah di lahan kering; dan (4) Pengaruh pengelolaan biomas LPT pasca bera

terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering. Percobaan tersebut

masing-masing dirancang dengan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL), rancangan acak

lengkap (RAL), rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dan rancangan petak terpisah (RPT).

Empat species LPT tropis yang digunakan adalah Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens

L., Crotalaria usaramoensis L. dan Phaseolus lunatus L. Varietas jagung yang digunakan adalah

Lamuru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa P. lunatus L. dan C. usaramoensis L. mempunyai

kualitas kimia yang lebih baik, laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan

simpanan C-organik tanah masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1

) dan 63,16% (86,69 t ha-

1). Peningkatan simpanan C-organik tanah secara signifikan dapat meningkatkan kualitas tanah.

Biomasa kedua species tersebut yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman

jagung dapat meningkatkan bobot biji jagung pipilan kering (k.a. 15%) sebesar 88,17% (7,00 t

ha-1

) dan 86,29% (6,93 t ha-1

) lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh species M.

pruriens L. dan C. pubescenc Benth. Dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan dengan

pemberaan menggunakan LPT tropis adalah potensial untuk meningkatkan produktivitas pertanian

di lahan kering.

Kata kunci: Legum penutup tanah tropis, simpanan karbon organik tanah, kualitas

tanah, hasil jagung, lahan kering.

Page 11: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

x

ABSTRACT

THE ROLES OF TROPICAL LEGUME COVER CROPS IN INCREASING SOIL

STORAGE ORGANIC CARBON, SOIL QUALITY AND YIELDS OF

CORN (Zea mays L.) AT DRYLAND FARMING AREA

Low fertility of soils, erosion, and weed problems on dryland farms in developing

countries resulted in low land productivity and crop yields. This could be due to low soil

storage organic carbon (SOC) and soil quality. Cover crops, particularly tropical legumes

help to increase soil soil SOC and soil quality in tropical drylands by adding crop residues

above and below the ground. The legume cover crops (LCC) can play an important role

toward achieving the objectives of sustainable agriculture through the reduction of

chemical fertilizer and organic amendments used, and yet produce yields equivalent to

those produced with conventional fertilizer rates.

The research was conducted from June 2012 to August 2013 at farmer’s dryland farming

of Oelnasi village, district of Kupang Tengah, Kupang regency, province of Nusa

Tenggara Timur (NTT). Four field experiments were conducted to study the roles of

tropical legume cover crops in increasing soil organic carbon, soil quality and yields of

corn. Those field experiments were respectively: 1) Rates of decomposition and nutrient

release from biomass of several legume cover crop (LCC) species with litter bag method ;

2) The effect of incubation duration of LCC biomass on levels of N nutrient

sincronization during corn vegetative growth; 3) The study of LCC potential in increasing

soil storage organic carbon (SOC) and soil quality at dryland farming; and 4) The effect

of post fallow management of LCC biomass on soil SOC, soil quality and corn yields at

dryland farming. The experiments were designed respectively in completely randomized

block, completely randomized, completely randomized block and split plot designs. Four

species of LCC involved in all experiments were Centrosema pubescens Benth., Mucuna

pruriens L., Crotalaria usaramoensis L. and Phaseolus lunatus L . Corn variety used was

Lamuru.

Results of the research showed that species of P. lunatus L. and C. usaramoensis L. had

better biomass chemical characteristics, the highest rate of decomposistion and were

consequently able to increase soil SOC by 63,18% (86,70 t ha-1

) and 63,16% (86,69 t ha-

1) respectively. The increased SOC significantly increased the quality of soil. Embedded

biomass of the two species in the soil 10 days before corn planting resulted in significant

88.17% (7.00 t ha-1

) and 86.29% (6.93 t ha-1

) higher grain dry weight compared to those

of species of M. pruriens and C. pubescenc Benth. respectively. It can be concluded that

a fallow management system with legume tropical cover crops is potential for increasing

the productivity of dryland farming areas.

Key words:Tropical legume cover crops, soil storage organic carbon (SOC), soil quality,

corn yields, dryland

Page 12: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xi

RINGKASAN

PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN

SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL

JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING

Rendahnya kesuburan tanah, erosi tanah dan masalah gulma pada usaha tani di

lahan kering di negara-negara berkembang mengakibatkan menurunnya produktivitas

lahan dan rendahnya hasil tanaman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya simpanan karbon

(C) organik dan kualitas tanah. Tanaman penutup tanah, terutama legum penutup tanah

(LPT) tropis dapat meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di daerah tropis

dengan cara mengembalikan residu atau biomasa tanaman jika dilakukan dengan cara

yang baik dan benar. LPT tropis berperanan dalam mencapai tujuan pertanian

berkelanjutan melalui pengurangan pemakaian pupuk kimia dan sebagai bahan pembenah

tanah lainnya serta memberikan hasil yang setara dengan yang diberikan oleh pupuk

kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis legum penutup tanah tropis

spesifik yang dapat mengatasi permasalahan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta

hasil jagung dan tanaman pangan semusim lainnya di lahan kering.

Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai Agustus 2013 di lahan

kering milik petani di desa Oelnasi, kecamatan Kupang Tengah, kabupaten Kupang,

provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Empat percobaan lapangan telah dilakukan untuk

mengevaluasi peranan LPT tropis dalam meningkatkan simpanan C-organik, kualitas

tanah dan hasil jagung. Keempat percobaan tersebut masing-masing adalah: 1) Laju

decomposisi dan pelepasan hara dari biomasa beberapa species LPT dengan metode litter

bags; 2) Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N

selama pertumbuhan vegetatif tanaman jagung; 3) Kajian potensi LPT dalam

meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering; dan 4) Pengaruh

pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan

hasil jagung di lahan kering. Percobaan tersebut masing-masing dirancang dengan

rancangan acak kelompok lengkap (RAKL), rancangan acak lengkap (RAL), rancangan

acak kelompok lengkap (RAKL) dan rancangan petak terpisah (RPT). Empat species

LPT tropis yang digunakan adalah Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens L.,

Crotalaria usaramoensis L. dan Phaseolus lunatus L. Varietas jagung yang digunakan

adalah Lamuru.

Page 13: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xii

Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pengelolaan lahan kering

melalui sistem pemberaan dengan legum penutup tanah tropis, potensial untuk

dikembangkan di lahan kering. Hal ini karena secara umum LPT memiliki kualitas

biomasa yang baik dan secara nyata meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas

tanah serta hasil jagung di lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) jenis

biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang diaplikasikan dengan

cara pembenaman mempunyai konstanta laju dekomposisi (k) yang lebih tinggi, yaitu

masing-masing sebesar 0,27 (dengan laju dekomposisi 2,34 g hari-1

atau 0,26 g tahun-1

)

dan 0,24 (dengan laju dekomposisi 2,28 g hari-1

atau 0,25 g tahun-1

), serta berbeda

dengan species biomasa M. pruriens L. (MP) dan C. pubescens Benth. (CP); (ii) masa

inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam secara nyata dapat meningkatkan

sinkronisasi hara N pada tanaman selama fase vegetatif jagung dibandingkan dengan

masa inkubasi 20 dan 30 hari sebelum penanaman jagung; (iii) jenis LPT P. lunatus L.

(PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang digunakan dalam sistem pemberaan lahan

budidaya pertanian, mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah masing-masing

sebesar 63,18% (86,70 t ha-1

) dan 63,16% (86,69 t ha-1

). Peningkatan simpanan C-

organik secara nyata meningkatkan kualitas tanah; (iv) pengelolaan biomasa LPT P.

lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) in situ pasca bera yang dibenamkan ke

dalam tanah 10 hari sebelum penanaman jagung dapat meningkatkan bobot pipilan

jagung kering k.a. 15% sebesar 88,17% (7,00 t ha-1

) dan 86,29% (6,93 t ha-1

) lebih tinggi

dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens dan C. pubescenc Benth.;

dan (v) terdapat hubungan yang erat antara simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah

dengan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1

) di lahan kering yang ditunjukkan

dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,83.

Rekomendasi aplikatif yang dapat diberikan untuk meningkatkan produktivitas lahan

kering terutama tanaman pangan semusim adalah: (a) agar hasil temuan ini dapat

memberikan manfaat bagi petani lahan kering, maka perlu dilakukan desiminasi untuk

memperkenalkan hasil temuan; (b) perlu dilakukan penelitian eksplorasi lanjutan untuk

mengkaji jenis LPT lain yang potensial dikembangkan di lahan kering; (c) produktivitas

lahan kering terutama tanaman pangan semusim dapat ditingkatkan melalui sistem

pemberaan (fallow system) dengan LPT, seperti C. usaramoensis (CU) dan P. lunatus

(PL); dan (d) species M. pruriens dapat dipertimbangkan sebagai tanaman bera untuk

peningkatan simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) di lahan kering,

walaupun kontribisi terhadap hasil jagung masih rendah.

Page 14: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xiii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM...................................................................................... ii

PERSYARATAN GELAR........................................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAAN.......................................... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................................. v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................... vi

UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................ vii

ABSTRAK.................................................................................................... ix

ABSTRACT................................................................................................. x

RINGKASAN.............................................................................................. xi

DAFTAR ISI................................................................................................ xiv

DAFTAR TABEL........................................................................................ xvii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xix

DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. xx

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xxi

I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 6

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7

1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9

2.1. Lahan Kering dan Permasalahannya ............................................. 9

2.2. Karbon Organik Tanah................................................................... 13

2.3. Kualitas Tanah ............................................................................... 16

2.4. Tanaman Legum Penutup Tanah Tropis........................................ 19

2.5. Dekomposisi Bahan Organik ......................................................... 28

2.6. Pengelolaan Bahan Organik (Biomasa tanaman) untuk Mening-

katkan Sinkronisasi Hara pada Tanaman .....................................

32

III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .................. 36

3.1. Kerangka Berpikir.......................................................................... 36

3.2. Konsep Penelitian........................................................................... 40

3.3. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 43

Page 15: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xiv

IV. METODE PENELITIAN ..................................................................... 44

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... 44

4.2. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................ 45

4.3. Metode Penelitian ........................................................................ 46

4.3.1. Observasi pendahuluan ....................................................... 46

4.3.2. Percobaan 1: Kajian laju dekomposisi dan pelepasan

hara dari berbagai biomasa LPT.................................................

47

4.3.3. Percobaan 2: Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT

terhadap tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung

selama fase vegetatif...............................................

51

4.3.4. Percobaan 3: Kajian potensi LPT sebagai tanaman bera

dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah

di lahan kering...........................................................

54

4.3.5. Percobaan 4: Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca

bera terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah serta

hasil jagung di lahan kering.......................................

58

4.4 Analisis Data Penelitian................................................................ 63

V. HASIL PENELITIAN..........................................................................

64

5.1. Kualitas Biomasa LPT................................................................ 64

5.2. Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT terhadap Laju

Dekomposisi dan Besarnya Pelepasan Hara................................

66

5.3. Pengaruh Masa Inkubasi Berbagai Biomasa LPT terhadap

Tingkat Sinkronisasi Hara N pada Tanaman Jagung Selama Fase

Vegetatif..............................................................................

76

5.4. Potensi LPT sebagai tanaman bera dalam meningkatkan

simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering.............

82

5.5. Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap

Simpanan C-organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di Lahan

Kering...............................................................................

95

5.6. Hubungan antara Simpanan C-organik, Kualitas Tanah dan

Hasil Jagung di Lahan Kering......................................................

110

VI. PEMBAHASAN.................................................................................

112

6.1. Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomasa LPT..................... 112

6.2. Kontribusi LPT terhadap Simpanan C-organik dan Kualitas

Tanah di Lahan Kering...............................................................

120

6.3. Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Sinkronisasi

Hara dan Hasil Jagung di Lahan Kering.....................................

131

6.4. Model Pengelolaan Lahan Kering di Masa Depan ..................... 136

Page 16: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xv

6.5. Temuan Baru Penelitian............................................................... 139

VII. SIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 140

7.1. Simpulan....................................................................................... 140

7.2. Saran............................................................................................. 141

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 142

LAMPIRAN-LAMPIRAN..................................................................................... 153

Page 17: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xvi

DAFTAR TABEL

No Judul Hal.

5.1 Rata-rata kualitas kimia dari empat jenis LPT tropis di lahan kering ....... 65

5.2 Rata-rata kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi dalam litter

bag pada masing-masing faktor tunggal .................................

67

5

.

3

Rata-rata pelepasan hara selama masa dekomposisi pada pengaruh

interaksi antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam

litter bag ................................................................................

70

5.4 Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari

dekomposisi pada pengaruh interaksi antara jenis dan metode aplikasi

biomasa dalam litter bag ...................................................

75

5.5 Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap serapan

N tanaman jagung pada fase vegetatif ...............................

80

5.6 Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap bobot

kering total tanaman jagung pada fase vegetatif ....................

81

5.7 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap prosentase

penutupan tanah...............................................................................

83

5.8 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap bobot isi tanah dan

porositas tanah setelah 5 bulan pemberaan......................

86

5.9 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap produksi biomasa,

serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah setelah 5 bulan

pemberaan................................................................

87

5.10 Pengaruh jenis tanaman penutup tanah sebagai tanaman bera terhadap

kadar N total tanaman, ratio C/N dan N yang tertambat setelah 5 bulan

pemberaan................................................................

89

5.11 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap pH tanah, kadar C-

organik tanah dan bahan organik tanah setelah 5 bulan pemberaan ........

90

5.12

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap N total tanah, P-

tersedia, K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan ..

92

5.13 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap infeksi mikoriza

(MVA) dan total koloni mikroba tanah setelah 5 bulan

pemberaan.........................................................................................

94

Page 18: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xvii

5.14

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

rata-rata simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah

setelah panen jagung...............................................

95

5.15 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

rata-rata pH tanah (pH H2O 1:1), kadar C-organik tanah dan bahan

organik tanah setelah panen jagung................................

98

5.16 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca

bera terhadap kadar N total tanah setelah panen

jagung................................................................................................

99

5.17 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca

bera terhadap kadar K tanah setelah panen jagung.................

100

5.18 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

rata-rata kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen

jagung......................................................................................

101

5.19 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca

bera terhadap KTK tanah setelah panen jagung......................

103

5.20 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

rata-rata total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen

jagung.........................................................................

104

5.21 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

rata-rata panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1

, bobot

100 biji jagung........................................................

106

5.22 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

hasil jagung pipilan kering k.a 15% dan bobot kering tanaman

jagung..................................................................................

108

5.23 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

bobot kering gulma.............................................................

109

Page 19: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xviii

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

2.1 Pola curah hujan dalam 10 tahun (2003-2012) di kabupaten Kupang

NTT ....................................................................................

11

3.1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian.......................................... 38

3.2 Kerangka Konsep Penelitian............................................................. 42

5.1 Histogram hasil analisis rata-rata kehilangan berat biomasa LPT (%)

pada pengaruh interaksi antara jenis biomasa dan metode aplikasi

biomasa LPT dalam litter bag.............................................

68

5. 2 Histogram hasil analisis rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) pada

masing-masing jenis biomasa LPT...........................................

73

5.3 Rata-rata kadar N total tanah yang diberi perlakuan masa inkubasi

biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung.............

76

5.4

Rata-rata kadar N-tersedia tanah pada pengaruh masa inkubasi biomasa

LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung dalam

pot.....................................................................................................

78

5.5 Rata-rata kadar air tanah selama masa bera dengan berbagai jenis

LPT....................................................................................................

84

5.6 Rata-rata suhu tanah permukaan selama masa bera dengan berbagai jenis

LPT ............................................................................

85

6.1 Pola tanam yang dipertimbangkan sesuai untuk pengelolaan pertanian

lahan kering berkelanjutan................................................

137

Page 20: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xix

DAFTAR SINGKATAN

NTT : Nusa Tenggara Timur

C-organik : Karbon organik tanah

LPT : Legum penutup tanah

CP : Centrosema pubescens Benth.

MP Mucuna pruriens L.

CU Crotolaria usaramoensis L.

PL Phaseolus lunatus L.

hst : hari setelah tanam

Bst : bulan setelah tanam

cfu : Coloni form unit

k.a. : Kadar air

b.k : Bobot kering

KTK : Kapasitas tukar kation

k : Konstanta pelapukan

Page 21: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xx

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Hal.

1 Analisis Sifat Tanah Percobaan .................................................... 153

2 Deskripsi jagung varietas Lamuru.................................................. 154

3 Denah percobaan lapang (percobaan 3) dalam Rancangan Acak

Kelompok Lengkap (RAKL)..........................................................

155

4 Ukuran petak pada percobaan 3 dan plot pengambilan sampel

LPT.................................................................................................

156

5.a Denah percobaan lapang dan pengacakan pada percobaan 4 yang

disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT).........................

157

5.b Ukuran anak petak, petak utama dan plot pengambilan sampel ubinan,

pada percobaan 4...............................................................

158

6 Data hasil analisis laboratorium kualitas kimia biomasa LPT...... 159

7 Analisis ragam kadar air (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1.....................................................

160

8 Analisis ragam kehilangan berat (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1.............................................

160

9.a Analisis ragam pelepasan C-organik (%) dari biomasa LPT selama

masa dekomposisi pada percobaan 1.................................

160

9.b Analisis ragam pelepasan N (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1......................................................

161

9.c Analisis ragam pelepasan P (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1......................................................

161

9.d Analisis ragam pelepasan K (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1......................................................

161

9.e Analisis ragam pelepasan Ca (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1......................................................

162

10 Analisis ragam konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT selama

masa dekomposisi, pada percobaan 1................................

162

11 Analisis ragam total koloni mikroba biomasa LPT setelah 40 hari masa

dekomposisi, pada percobaan 1.....................................

162

12 Analisis ragam kadar N total tanah (mg kg-1

) selama fase vegetatif

jagung, pada percobaan 2................................................

163

13 Analisis ragam kadar N tersedia tanah (mg kg-1

) selama fase vegetatif 163

Page 22: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xxi

jagung, pada percobaan 2...............................................

14 Analisis ragam serapan N tanaman jagung (mg kg-1

) selama fase

vegetatif, pada percobaan 2..............................................................

163

15 Analisis ragam bobot kering total tanaman jagung (g tanaman-1

) selama

fase vegetatif jagung, pada percobaan 2..............................

163

16 Analisis ragam prosentase penutupan tanah (%), pada percobaan

3........................................................................................................

163

17 Analisis ragam kadar air tanah (%) selama masa bera, pada percobaan

3.......................................................................................

164

18 Analisis ragam suhu tanah (oC) selama masa bera, pada percobaan

3........................................................................................................

164

19 Analisis ragam bobot isi tanah (g cm-3

) dan porositas tanah (%) pasca

bera, pada percobaan 3............................................................

164

20 Analisis ragam produksi biomasa (b.k. t ha-1

), serapan C tanaman (t ha-1

)

dan simpanan C-organik tanah (t ha-1

), pada percobaan 3... 164

21 Analisis ragam kadar N jaringan tanaman (%), Nisbah C/N dan N yang

tertambat (t ha-1

), pada percobaan 3......................................... 165

22 Analisis ragam pH tanah, C-organik (%) dan bahan organik tanah (%),

pada percobaan 3......................................................................

165

23 Analisis ragam kadar N total, P tersedia dan K tanah setelah 5 bulan

pemberaan, pada percobaan 3.................................................

165

24 Analisis ragam Ca (me 100 g-1

tanah), Mg (me 100 g-1

tanah) dan

kapasitas tukar kation (KTK) tanah (me 100 g-1

tanah) setelah 5 bulan

pemberaan, pada percobaan 3.................................................

165

25 Analisis ragam infeksi mikoriza (%) dan total koloni mikroba tanah

(cfu), pada percobaan 3...........................................................

166

26 Analisis ragam simpanan C-organik tanah (t ha-1

), bobot isi tanah (g cm-

1) dan porositas tanah (%), setelah panen jagung (akhir percobaan

4).....................................................................................

166

27 Analisis ragam pH tanah, C-organik dan bahan organik tanah, setelah

panen jagung (akhir percobaan 4..........................................

166

28

Analisis ragam kadar N total tanah (%) dan kadar K tanah (me 100 g-1

tanah), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)................

167

29 Analisis ragam kadar Ca (me 100 g-1

tanah) dan Mg (me 100 g-1

tanah)

dan KTK tanah (me 100 g-1

tanah), setelah panen jagung (akhir

Page 23: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

xxii

percobaan 4)........................................................................... 167

30 Analisis ragam total koloni mikroba tanah (cfu) dan respirasi tanah (mg

CO2 g tanah-1

), setelah panen jagung (akhir percobaan

4)......................................................................................................

167

31 Analisis ragam panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji

tongkol-1

(g), bobot 100 biji (g), pada akhir percobaan

4........................................................................................................

168

32 Analisis ragam bobot kering tanaman (t ha-1

) dan hasil jagung pipilan

kering k.a 15% (t ha-1

), pada akhir percobaan 4.................

168

33 Analisis ragam bobot kering gulma (g m-2

) pada 20 hst dan 40 hst, pada

akhir percobaan 4....................................................................

168

34 Hasil analisis regresi antara simpanan C dengan kualitas tanah, pada

akhir percobaan 4.....................................................................

169

35 Hasil analisis regresi antara hasil jagung dengan simpanan C dan

kualitas tanah, pada akhir percobaan 4.............................................

170

36 Peta Adminstratif Kabupten Kupang, provinsi NTT yang menjadi

lokasi penelitian ...............................................................................

171

Page 24: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pertanian lahan kering merupakan suatu praktek budidaya pertanian

yang sangat beragam, dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada faktor iklim,

sehingga mudah terdegradasi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan

cara-cara yang tepat. Degradasi (kerusakan) tanah pada ekosistem pertanian lahan

kering lebih dominan disebabkan oleh faktor alami (erosi) dan faktor pengelolaan

lahan, seperti kegiatan deforestasi, sistem pertanian konvensional dan pola

usahatani tradisional. Degradasi lahan hampir selalu disertai dengan kemerosotan

simpanan C-organik tanah, yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan

kering (Semaoen et al., 1991; Lal, 1995; Lal et al., 2000; Dariah et al., 2010).

Studi tentang simpanan karbon (Carbon sink) tanah telah menjadi

perhatian dalam rangka menilai kualitas tanah akibat praktek pertanian

konvensional yang cenderung menyebabkan degradasi tanah. Perhatian yang besar

terhadap simpanan C-organik tanah karena, C-organik dalam tanah merupakan

bagian dari sistem tanah yang kompleks dan dinamis, sifatnya yang sangat labil

dan kandungannya dapat berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan

tanah (Lipper dan Uren, 1993; Blair et al., 1998; Nardi et al., 2004; Liu et al.,

2006; Surhone et al., 2010; Seremecic et al., 2011). Kadar C-organik dalam tanah

mencerminkan kandungan bahan organik dalam tanah yang merupakan tolok ukur

yang penting untuk pengelolaan tanah-tanah pertanian. Bahkan C-organik

dipercaya sebagai kunci ketahanan terhadap kekeringan dan kelestarian produksi

pangan (Bot dan Benites, 2005).

Page 25: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

2

Di dalam ekosistem tanah, C-organik merupakan komponen penting yang

mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya untuk mendukung pertumbuhan tanaman,

yaitu sebagai sumber energi dan pemicu ketersediaan hara bagi tanaman (Edwards

et al., 1999; Bot dan Benites, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa C-organik

tanah memegang peranan penting sebagai sumber (source) dan penyerap (sink)

hara serta sebagai substrat bagi mikroba tanah (Lal et al., 2001; Kimble et al.,

2002; Tornquist et al., 2009). Menurut Kuo et al. (1997) dan Collins et al.

(1992), salah satu indikator keberhasilan pengelolaan lahan pertanian adalah tetap

terjaganya cadangan C-organik tanah, sehingga keseimbangan dalam tanah,

lingkungan dan keaneka ragaman hayati tetap terjaga dan lestari.

Tanah-tanah pertanian lahan kering umumnya mempunyai kadar C-

organik yang rendah < 1% (Samosir (2000). Sementara, sistem pertanian bisa

menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan C-organik tanah lebih dari

2% (Young, 1989; Handayanto, 1999). Lebih lanjut menurut Lal (2006), lahan-

lahan pertanian tropis dengan pemanfaatan yang intensif tanpa adanya upaya

konservasi, dapat menyebabkan kehilangan C-organik sebesar 60-80%. Keadaan

itu dapat berdampak pada menurunnya produktivitas lahan kering. Menurunnya

kadar C-organik tanah di lahan kering sangat cepat terjadi bila residu tanaman

dikeluarkan dari lahan produksi ataupun di bakar seperti yang banyak dilakukan

oleh petani.

Sehubungan dengan kendala tersebut, maka diperlukan upaya untuk

memperbaiki kemerosotan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah. Upaya

praktis yang dapat dilakukan adalah melalui penambahan bahan organik sebagai

Page 26: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

3

sumber C-organik tanah. Namun demikian untuk mendapatkan pengaruh yang

nyata, penggunaan bahan organik baik sebagai sumber pupuk organik dan atau

bahan pembenah tanah (soil conditioner) membutuhkan jumlah yang relatif

banyak, yaitu berkisar 5-20 t ha-1

(Dariah et al., 2010) sehingga seringkali sulit

bagi petani, jika sumber bahan organik tidak bersifat in situ.

Peningkatan simpanan C-organik dan kualitas tanah dapat dicapai dengan

penggunaan dan pengelolaan legum penutup tanah (LPT) in situ dalam sistem

budidaya pertanian (Power, 1987; Dinga et al., 2006; Sarrantonio, 2007;

Steenwerth dan Belina, 2008; Acosta, 2009; Wang et al., 2010; Olson et al.,

2010) baik sebagai tanaman sela atau tanaman pengisi selama masa bera.

Pemanfaatan LPT menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah ketersediaan

bahan organik in situ, karena murah dan mudah bagi petani. Penanaman tanaman

LPT dapat dilakukan menjelang panen tanaman semusim dan dibiarkan tumbuh

selama masa bera agar tidak menggangu sistem usahatani tanaman pangan

semusim pada musim hujan.

Tanaman LPT diperlukan dalam pengelolaan kesuburan tanah di lahan

kering, karena memiliki pertumbuhan yang cepat serta adaptif pada kondisi

kering dengan kesuburan tanah yang rendah. Ditinjau dari aspek ekologis

pemanfaatan LPT pada masa bera sangat menguntungkan, karena secara umum

LPT dapat berperan sebagai sumber C-organik tanah dalam memelihara

kesehatan dan kualitas tanah. Keberadaan LPT dalam lahan budidaya selama

masa bera dapat berperan sebagai penyelamat hara (proses daur-ulang hara) dan

menciptakan keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui sistem

Page 27: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

4

perakaran dan input tutupan biomasa tanaman dari waktu ke waktu (La1, 1998;

Reijntjes et al., 1999; Bot dan Benites, 2005; Arsyad, 2010). Penutupan

permukaan tanah oleh LPT selama masa bera juga berdampak pada penekanan

pertumbuhan berbagai jenis gulma (Pettifer, 2003) yang merupakan salah satu

masalah dalam sistem budidaya lahan kering.

Di daerah tropis tersedia banyak jenis LPT seperti Centrosema pubescens

Benth. (CP), Mucuna pruriens L. (MP), Crotolaria usaramoensis L. (CU),

Phaseolus lunatus L. (PL) maupun jenis tanaman penutup tanah lainnya. Jenis

LPT tersebut banyak dikembangkan pada areal perkebunan untuk tujuan

konservasi lengas tanah dan sebagai penyubur tanah (Wilson dan Okigbo, 1982;

Dirjenbun, 1984).

Tanaman LPT merupakan tanaman multi fungsi dan memberikan peranan

penting dalam pengelolaan kesuburan tanah di daerah tropis (Sarrantonio, 2007;

Acosta, 2009). Secara umum LPT memiliki kualitas biomasa yang tinggi,

sehingga dapat menigkatkan ketersediaan unsur hara tanah terutama N dan

memperbaiki sifat-sifat fisik tanah (Haynes, 1986). Namun pemanfaatannya

dalam sistem pertanian lahan kering masih sangat terbatas, karena berbagai

kendala. Kendala tersebut antara lain, petani tidak ingin mengorbankan lahannya

untuk ditanami berbagai tanaman LPT yang tidak memiliki nilai ekonomi secara

langsung. Selain itu faktor pengetahuan atau pemahaman petani mengenai potensi

tanaman LPT masih terbatas. Permasalahan lainnya adalah informasi tingkat

efektifitas LPT sebagai pupuk hijau yang belum jelas. Tingkat efektifitas LPT

dalam perbaikan kualitas tanah pertanian pada prinsipnya tergantung pada

Page 28: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

5

produksi biomasa sebagai sumber bahan organik yang diberikan, komposisi sifat

kimia biomasa asal, serta laju dekomposisi dan mineralisasi. Dekomposisi

merupakan proses biologis yang terjadi secara alamiah dan menentukan besarnya

pelepasan hara (Temel, 2003) dan besarnya simpanan C-organik dalam tanah

(Juma, 1998; Bell et al., 1999; Berge dan McClaugherty, 2002)

Kecepatan pelapukan dan mineralisasi sangat ditentukan oleh kualitas

bahan organik tersebut, yakni kandungan nitrogen, lignin, polifenol dan faktor-

faktor lingkungan lainnya (Tian et al., 1992; Stevenson, 1994; Juma, 1998;

Hairiah et al., 2003). Kualitas bahan organik dinyatakan tinggi apabila

kandungan N tinggi (>2,5%), nisbah C/N rendah (<20) serta kandungan lignin

(<15%) dan polifenol (<4%) sehingga proses pelepasan unsur haranya cepat dan

bertepatan pada saat tanaman membutuhkan (Handayanto dan Ismunandar, 1999;

Hartemink et al., 2001; Oladoye et al., 2005; Shimamura dan Momose, 2005).

Sebaliknya kualitas bahan organik yang rendah akan mengakibatkan proses

pelepasan unsur hara berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lama

sehingga tidak terjadi sinkronisasi (Young, 1989). Sinkronisasi merupakan

ketepatan (matching) menurut waktu, yaitu ketersediaan unsur hara dan kebutuhan

tanaman akan unsur hara (Myers et al., 1997).

Upaya peningkatan sinkronisasi hara dapat dilakukan melalui pengelolaan

waktu pengembalian biomasa LPT in situ dengan waktu tanam. Pengelolaan

biomasa LPT dilapangan dapat dilakukan dengan cara pembenaman (inkorporasi)

bersamaan dengan pengolahan tanah. Menurut Rachman et al. (2006)

pembenaman biomasa segar dapat dilakukan 20-30 hari sebelum tanam.

Page 29: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

6

Pembenaman biomasa tanaman sebelum tanam merupakan cara yang tepat untuk

mempercepat laju dekomposisi sehingga tingkat sinkronisasi hara dapat tercapai.

Penelitian-penelitian tentang peranan LPT terhadap perbaikan kualitas

tanah secara parsial telah banyak dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia

lebih banyak dilakukan pada areal perkebunan untuk tujuan konservasi lengas

tanah. Sedangkan penelitian serupa dalam upaya untuk perbaikan kualitas tanah

dalam sistem pertanian di lahan kering masih sangat terbatas. Selain itu,

penelitian yang secara khusus menelaah perubahan simpanan C-organik dan

kualitas tanah dalam sistem pertanian di lahan kering melalui sistem pemberaan

(fallow system) dengan LPT belum banyak dilakukan. Atas dasar pemikiran

tersebut di atas maka telah dilakukan penelitian tentang “peranan legum penutup

tanah tropis dalam meningkatkan simpanan karbon organik dan kualitas tanah

serta hasil jagung (Zea mays L.) di lahan kering”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka beberapa masalah yang

akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT berbeda

antara jenis LPT dan cara aplikasi?;

2. Apakah masa inkubasi biomasa LPT yang dilakukan sebelum tanam

berpengaruh terhadap tingkat sinkronisasi hara pada tanaman jagung?;

3. Apakah sistem pemberaan lahan dengan LPT berpengaruh terhadap simpanan

C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya di lahan kering?;

Page 30: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

7

4. Apakah pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan mempengaruhi

simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering?;

5. Apakah ada hubungan antara simpanan C-organik tanah dengan kualitas

tanah dan hasil jagung pasca pemberaan dengan LPT?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum adalah untuk menemukan

teknologi pengelolaan lahan kering spesifik dengan berbagai jenis LPT tropis.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini terdiri dari berbagai tahap percobaan, masing-masing dengan

tujuan khusus sebagai berikut:

1. untuk mendapatkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa LPT yang

memberikan laju dekomposisi dan besarnya pelepasan hara tertinggi;

2. untuk mendapatkan waktu inkubasi biomasa LPT sebelum tanam yang dapat

meningkatkan sinkronisasi hara pada tanaman jagung;

3. untuk mengkaji potensi LPT selama masa bera dan pengaruhnya terhadap

simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dalam sistem budidaya pertanian

di lahan kering;

4. untuk mendapatkan jenis LPT potensial lahan kering dan cara pengelolaan

biomasa in situ yang dapat meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas

tanah serta hasil jagung di lahan kering;

5. untuk mengetahui hubungan antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah

dan hasil jagung di lahan kering.

Page 31: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

8

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara akademik (untuk

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi), maupun secara praktis (dapat

memecahkan masalah pembangunan pertanian lahan kering menuju sistem

pertanian yang berkelanjutan).

1.4.1 Manfaat akademik:

1. memberikan informasi terhadap pengembangan pengetahuan terutama

aspek pengelolaan LPT dan hubungannya dengan peningkatan kualitas

tanah di lahan kering.

2. merekomendasikan jenis LPT potensial spesifik untuk mendukung

sistem pengelolaan pertanian lahan kering secara berkelanjutan.

1.4.2 Manfaat praktis:

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi

pengambil kebijakan dalam pengembangan, pemberdayaan dan

pengelolaan sistem pertanian lahan kering secara berkelanjutan.

II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lahan Kering dan Permasalahannya

Lahan kering mempunyai arti yang bermacam-macam. Samosir (2000)

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang

tidak pernah tergenang air sepanjang tahun. Semaoen et al. (1991) berpendapat

bahwa yang dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang pemenuhan

Page 32: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

9

kebutuhan air tanamannya tergantung sepenuhnya kepada air hujan dan tidak

pernah tergenang sepanjang tahun. Oleh para ahli tanah di Indonesia disepakati

defenisi lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian

dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya sumber air ini berasal dari

air hujan (Guritno, 1996). Secara umum lahan kering dapat dibedakan menjadi

dua kelompok, yaitu lahan kering beriklim kering yang banyak dijumpai di

kawasan Timur Indonesia dan lahan kering beriklim basah, yang terdapat di

kawasan Barat Indonesia

Dari segi kesuburan tanah, secara umum pertanian lahan kering memiliki

masalah dengan kadar karbon (C) organik yang rendah (< 1%), kahat hara, KTK

rendah, kejenuhan basah rendah serta rentan terhadap erosi tanah (Samosir, 2000),

pencucian hebat, laju dekomposisi cepat, serta di dominasi oleh tanah masam

(Sanchez, 1992). Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan

kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman lapisan/solum tanah dangkal

yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan

berbukit (kelerengan 15-30%) (Guritno, 1996). Lahan kering berlereng curam

sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan untuk tanaman pangan

semusim.

Menurut Utomo et al. (1992) problem utama dalam pengelolaan lahan

kering adalah kurangnya perlindungan terhadap permukaan tanah dari terpaan

butiran hujan dan radiasi matahari serta pesatnya pertumbuhan gulma di satu sisi

dan disisi lain adalah kurangnya unsur hara , dan rendahnya C-organik tanah. Hal

ini akan menyebabkan pemadatan tanah yang mengakibatkan menurunnya laju

Page 33: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

10

infiltrasi dan meningkatnya laju run-off dan erosi. Radiasi matahari yang

mengenai permukaan tanah akan meningkatkan laju oksidasi bahan organik

sehingga mempercepat kehilangan unsur-unsur hara esensial dan C-organik

dalam tanah.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai keunggulan komparatif

berupa potensi untuk lahan pertanian seluas 1.775.970 ha. Dari luas tersebut,

yang berpotensi untuk pengembangan pertanian lahan kering, sekitar 1.528.258

juta hektar (86,05%) (BAPEDA NTT, 2010). Gambaran ini berarti bahwa lahan

kering di NTT merupakan sumber mata pencaharian penting bagi sebagian besar

penduduk di wilayah ini. Potensi pengembangan pertanian lahan kering cukup

besar dibandingkan dengan lahan sawah karena: (1) sangat dimungkinkan untuk

pengembangan berbagai macam komoditas pertanian untuk keperluan eksport, (2)

dimungkinkan untuk pengembangan pertanian terpadu antara ternak dan tanaman

perkebunan/kehutanan serta tanaman pangan, (3) dimungkinkan dapat membuka

peluang kerja yang lebih besar dengan investasi yang relatif lebih kecil

dibandingkan membangun fasilitas irigasi untuk lahan sawah, dan (4)

dimungkinkan untuk pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan sebagian besar

penduduk yang saat ini menggantungkan hidupnya di lahan kering (Suwardji dan

Tejowulan, 2002).

Walaupun potensi lahan kering di NTT cukup besar, namun

pengelolaannya belum dilakukan secara optimal yang tercermin dari produktivitas

tanaman yang diusahakan yang masih sangat rendah. Faktor penting yang dapat

mengakibatkan rendahnya produktivitas lahan kering adalah kualitas sumberdaya

Page 34: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

11

alam terutama kualitas tanah dan fisiografi/topografi lahan serta teknologi

produksi yang tidak memadai. Selain itu, faktor iklim terutama curah hujan

merupakan kendala utama dalam pengembangan pertanian lahan kering di NTT.

Data Curah hujan 10 tahun terakhir menunjukkan musim penghujan di NTT

sangat pendek (4 bulan basah) dan terjadi antara bulan Desember sampai bulan

Maret, Sedangkan musim kemarau panjang (8 bulan kering) yang terjadi pada

bulan April sampai dengan bulan November (Badan Klimatologi dan Meteorologi

Nusa Tenggarat Timur, 2012).

Gambar 2.1

Pola curah hujan dalam 10 tahun (2003-2012) di kabupaten Kupang NTT

Memperhatikan distribusi hujan tahunan (Gambar 2.1), maka pola

usahatani yang dijalankan secara umum didominasi oleh usahatani tanaman

pangan semusim. Selebihnya sekitar 8 bulan, lahan dibiarkan terbuka (bera alami)

sampai musim tanam berikutnya. Kondisi seperti ini berdampak pada

meningkatkan degradasi (kerusakan) tanah seperti pemadatan tanah,

meningkatnya kepadatan gulma sehingga dapat menurunkan produksi hasil

pertanian di lahan kering.

0

100

200

300

400

500

600

Jan Peb Maret Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des

Ju

mla

h C

ura

h H

uja

n (

mm

)

Bulan

Page 35: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

12

Memperhatikan potensi dan permasalahan lahan kering tersebut maka

diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan kering agar mampu memberikan peran

secara maksimal, yaitu melalui pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan.

Tujuannya adalah untuk melindungi dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan

kering (tanah dan air) agar mampu memenuhi kebutuhan hidup petani lahan

kering secara berkelanjutan dalam jangka waktu panjang dengan tanpa

menurunkan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri (Lal et al., 2000).

Strategi yang dapat dipilih adalah melalui penerapan usahatani konservasi

berbasis tanaman legum penutup tanah (LPT). Pemanfaatan LPT dalam sistem

budidaya pertanian lahan kering sebagai tanaman bera, secara ekonomis

menguntungkan karena sesuai bagi petani lahan kering yang tergolong ekonomi

lemah, secara sosial dapat diaplikasikan oleh petani lahan kering, dan secara

ekologis sangat tepat untuk memelihara kesehatan dan kualitas tanah sehingga

terjadi keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui input tutupan

biomasa tanaman dari waktu ke waktu. (Power, 1987; Lal et al., 2000;

Sarrantonio, 2007).

2.2 Karbon Organik Tanah

Karbon (C) adalah unsur penting pembangun bahan organik, karena

sebagian besar (58%) bahan kering tanaman terdiri dari bahan organik. Unsur C,

ini diserap tanaman dalam bentuk gas CO2 dari atmosfir yang selanjutnya

digunakan dalam proses penting yang disebut fotosintesis dan menyimpan

hasilnya sebagai materi organik dalam bentuk biomasa tanaman. Separuh dari

Page 36: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

13

jumlah karbon yang diserap tanaman dari udara bebas tersebut masuk ke dalam

tanah melalui sisa tanaman (serasah), akar tanaman yang mati, dan organisme

tanah lainnya dan mengalami dekomposisi sehingga terakumulasi dalam lapisan

tanah (Colins et al., 1992; Hikmat, 2005; Ruddiman, 2007).

Kadar C-organik di dalam tanah mencerminkan kandungan bahan organik

tanah yang merupakan tolok ukur pengelolaan tanah pertanian (Bot dan Benites,

2005). Kadar C-organik merupakan faktor penting penentu kualitas tanah

mineral. Semakin tinggi kadar C-organik total maka kualitas tanah mineral

semakin baik (Six et al., 1998; Blair et al., 1998). Komposisi C-organik pada

tanah mineral sangat sedikit (1-5%), namun pengaruhnya terhadap sifat fisik,

kimia dan biologi tanah dan keberlanjutan tanah pertanian sangat besar (Lipper

dan Uren, 1993; Juma, 1998; Liu et al., 2006; Nardi et al., 2004; Surhone et al.,

2010; Seremecic et al., 2011).

Tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan

dan memegang peranan penting dalam siklus karbon global (Eswaran dan van

Den Berg, 1993). Total karbon dalam tanah berasal dari C-organik dan C-

anorganik. Komponen C-organik berada pada fraksi bahan organik tanah,

sementara C- anorganik terutama dijumpai pada mineral karbonat. Keberadaan C-

organik dalam fraksi organik tanah terdiri dari mikroorganisme, sisa-sisa

tanaman/tumbuhan pada berbagai tingkat dekomposisi, dan humus yang lebih

stabil (Lal et al., 2001).

Besarnya simpanan C-organik dalam tanah berbeda-beda tergantung pada

ekosistem, jenis tanaman dan cara pengelolaanya. Pada ekosistem pertanian,

Page 37: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

14

karbon yang masuk ke dalam tanah mencapai 1,2-1,9 t ha-1

tahun-1

, sedangkan

pada ekosistem hutan tropik, karbon yang masuk lebih tinggi mencapai 5,9 t ha-1

tahun-1

(Eswaran dan van Den Berg, 1993). Produksi karbon pada ekosistem

pertanian tropik lebih tinggi, namun karena laju dekomposisi bahan organik

cenderung lebih cepat dibandingkan dengan daerah sub tropis dan erosi yang

tinggi menyebabkan simpanan karbon organik tanah tropika cenderung rendah

(Jime´nez et al., 2009). Ada 3 pool (kantong) utama pemasok karbon ke dalam

tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon, tanaman penutup tanah, dan tanaman

semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui

akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; dan (c)

biota tanah (West dan Post, 2002; Hairiah dan Murdiyarso, 2007).

Menurut Hairiah et al. (2003) tanah-tanah pertanian di daerah tropik

basah umumnya memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah di lapisan

atas <2%). Penurunan simpanan C-organik tanah pada lahan-lahan pertanian

intensif disebabkan oleh berbagai alasan: 1) pelapukan (dekomposisi) bahan

organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah

serta curah hujan yang tinggi; 2) sistem pertanian eksploitatif yang mengangkut

keluar bahan organik sisa hasil panen secara besar-besaran tanpa diimbangi

dengan pengembalian dan pemasukan bahan organik dari luar, sehingga tanah

kehilangan potensi masukan C-organik (Hairiah et al., 2003); (3) dimanfaatkan

oleh biota tanah; (4) karena terbawa oleh erosi tanah atau aliran permukaan; dan

(5) pembakaran lahan pertanian (Prayogo et al., 2000)

Page 38: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

15

Kadar C-organik (bahan organik tanah) mempunyai pengaruh langsung

terhadap perbaikan sifat-sifat tanah, seperti: peningkatan porositas tanah,

menurunkan bobot isi tanah (bulk density), meningkatkan kemampuan manahan

air, penurunan laju erosi tanah dan meningkatkan kapasitas infiltrasi air

(Stevenson, 1994; Jastrow et al., 1996). Selain itu, kadar C-organik (bahan

organik) tanah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kesuburan kimia tanah,

antara lain: terhadap kapasitas pertukaran kation tanah, pH tanah, daya sanggah

tanah dan terhadap keharaan tanah (Stevenson, 1994). Bahan organik juga

mampu memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel

membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur micorhyza dan hasil

eskresi tumbuhan dan hewan lainnya (Rao, 1994).

Uraian di atas, memberikan gambaran bahwa C-organik tanah memegang

peranan penting dalam ekosistem pertanian, untuk itu perlu ada upaya pengelolaan

melalui masukan teknologi pemanfaatan LPT dalam rangka membangun

simpanan C-organik tanah secara berkelanjutan sehingga akan meningkatkan

produktivitas tanah secara berkelanjutan.

2.3 Kualitas Tanah

Soil Science Society of America, mendefinisikan kualitas tanah sebagai

sifat yang melekat pada tanah yang diketahui dari karakteristik tanah atau

observasi langsung (seperti kepadatan dan kesuburan). Kualitas tanah secara

sederhana disamakan dengan produktivitas tanah. Beberapa sifat fisik, kimia, dan

biologi berinteraksi secara kompleks untuk menunjukkan kemampuan potensial

tanah pada produksi berkelanjutan. Integrasi dari faktor-faktor pemacu

Page 39: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

16

pertumbuhan yang menjadikan tanah produktif sering dimaksudkan sebagai

kualitas tanah (SSSA, 1987).

Menurut Doran dan Parkin (1994) kualitas tanah adalah kemampuan suatu

tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung

produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan

kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok

dari definisi tersebut yaitu, (1) produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah

untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, (2) mutu lingkungan yaitu

tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara,

penyakit dan kerusakan sekitarnya, dan (3) kesehatan makhluk hidup. Lebih

lanjut Doran dan Parkin (1994) menambahkan bahwa dampak negatif dari

ketidak-mampuan tanah dalam memenuhi fungsinya adalah terganggunya kualitas

tanah. Kondisi tersebut menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis, menurunnya

produktivitas tanah, dan pencemaran lingkungan secara global.

Kualitas tanah berpengaruh secara signifikan bagi kesehatan ekosistem

dan lingkungan. Proses penting yang dipengaruhi oleh kualitas tanah adalah

pergerakan air dan nutrisi, pendistribusian dan pasokan hara bagi tanaman,

perkembangan akar, kehidupan dan aktivitas biota tanah yang sesuai, serta

respons terhadap pengelolaan (Larson dan Pierce, 1994). Kualitas tanah yang

tinggi berhubungan erat dengan efisiensi penggunaan air, ketersediaan hara,

kualitas air dan udara, mitigasi emisi gas rumah kaca dan peningkatan produksi

agronomis (Lal, 1995).

Page 40: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

17

Kualitas tanah memiliki sifat yang kompleks, sehingga kualitas tanah

tidak dapat diukur namun dapat diduga dari sifat-sifat yang dapat diukur dan dapat

dijadikan indikator untuk menilai kualitas tanah. Indikator kualitas tanah adalah

sifat fisik, kimia dan biologi serta proses dan karakteristik yang dapat diukur

untuk memantau berbagai perubahan dalam tanah. Indikator kualitas tanah yang

digunakan adalah indikator fisik tanah meliputi: tekstur tanah, ketebalan tanah,

bobot isi tanah (bulk density), kapasitas infiltrasi, kemampuan tanah memegang

air, kadar air tanah, dan temperatur tanah. Indikator kimia tanah meliputi: C-

organik, pH, konduktivitas tanah, mineral N, P dan K. Sedangkan indikator

biologi tanah, meliputi: biomasa mikroba (C dan N), potensi N yang dapat

dimineralisasi, respirasi tanah (Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce,

1994). Dari parameter-parameter tersebut, kadar C-organik tanah merupakan

indikator kimia yang utama karena secara langsung mempengaruhi agregasi tanah,

retensi air, ketersediaan hara, simpanan C-organik dan keragaman biologi dalam

tanah (Baldock et al., 2009)

Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah

harus memenuhi kriteria: (a) berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem

dan berorientasi modeling, (b) mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia,

fisika dan biologi tanah, (c) mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang

dan dapat diakses oleh para penggguna, (d) peka terhadap variasi pengelolaan dan

iklim, dan (e) sedapat mungkin merupakan komponen basis tanah.

Ada banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator

kualitas tanah, namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sebagai

Page 41: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

18

indikator kualitas tanah sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi.

Karlen et al. (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian

kualitas tanah, perlu dilakukan indentifikasi indikator-indikator yang sensitif

terhadap praktek produksi pertanian.

Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah terdegradasi yaitu:

menurunnya kandungan bahan organik tanah (C-organik), perpindahan liat,

memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian

unsur hara (Lal, 1995). Khusus untuk tanah-tanah tropik basah terdapat tiga

proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: (1) degradasi

fisik yang berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu

pemadatan tanah, aliran permukaan dan erosi, (2) degradasi kimia yang

berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur-unsur lainnya, dan

(3) degradasi biologi yang berhubungan dengan menurunnya kuantitas dan

kualitas bahan organik tanah, aktivitas biota dan keragaman spesies fauna tanah

yang juga ikut menurun (Karlen et al., 1997).

2.4 Tanaman Legum Penutup Tanah Tropis

Legum penutup tanah (LPT) merupakan tanaman kelompok leguminosa,

yang khusus di tanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi

dan untuk memulihkan kesuburan tanah-tanah pertanian. Selain itu, LPT juga

digunakan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah melalui sistem pergiliran

tanaman maupun dalam sistem rehabilitasi lahan kritis (Utomo, 1994; Samosir,

Page 42: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

19

2000; Arsyad, 2010). Selanjutnya dikemukakan oleh Reinjntjes et al. (1999)

bahwa LPT dapat digunakan untuk menciptakan iklim mikro tanah yang baik,

mengurangi penguapan, dan melindungi tanah dari erosi, juga dapat menyuburkan

tanah karena sifat-sifat pertumbuhannya serta kuantitas dan kualitas bahan organik

yang di hasilkan. LPT mempunyai kemampuan untuk menyuburkan tanah baik

fisik, kimia, maupun biologi bahkan kadang-kadang pula mempunyai peran

sebagai pakan ternak, penahan erosi dan fungsi ekonomi yang lain (van

Noordwijk et al., 1992).

Menurut Dirjenbun (1984), beberapa peran LPT adalah untuk menekan

laju erosi, dan menambah bahan organik tanah, dan melakukan transpirasi yang

dapat mengurangi kadar air tanah saat kadar air tanah tinggi. Menurut Arsyad

(2010) peningkatan kandungan bahan organik tanah akibat adanya penutupan

tanah dapat memperbaiki sifat tanah, seperti meningkatkan ketahanan struktur

tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan manahan air hujan

yang jatuh serta menambah unsur hara.

Di Asia tropis, LPT umumnya dikembangkan pada areal tanaman

perkebunan kelapa sawit dan karet (Wilson dan Okigbo, 1982). LPT ini

dikembangkan dengan tujuan utama sebagai tanaman konservasi lengas tanah

terutama pada areal tanaman perkebunan yang belum berproduksi (tanaman

muda). LPT pada umumnya mampu menyediakan penutupan secara permanen

sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi erosi,

meningkatkan konsentrasi hara tanah dan meningkatkan kadar bahan organik di

dalam tanah. Pemanfaatan LPT, telah dipromosikan sebagai strategi mitigasi

Page 43: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

20

untuk membantu mengimbangi kenaikan kadar karbon dioksida (CO2) atmosfer,

melalui penyerapan karbon di atmosfir (Kuo et al., 1997).

Menurut Sutanto (2002) kriteria untuk memilih LPT yang baik, yakni

produksi biomasa tinggi, sistem perakaran dalam, pertumbuhan awal cepat, lebih

banyak daun dari pada kayu, mampu memfiksasi N, mempunyai hubungan baik

dengan mikoriza, memanfaatkan air secara efisien, bukan tanaman inang bagi

hama, pembentukan biji mudah dan bersifat multiguna (sebagai penutup tanah,

penyubur tanah dan sebagai pakan ternak). Selain itu, tanaman penutup tanah

harus memenuhi syarat tahan kekeringan dan tahan terhadap pemangkasan.

Di daerah beriklim tropis, telah banyak dikembangkan berbagai jenis LPT

untuk tujuan konservasi tanah atau sebagai tanaman penguat teras, karena sistem

perakarannya yang kuat. Kaitannya dengan usaha perbaikan atau pemulihan

kesuburan tanah, penggunaan LPT lebih dominan dikembangkan oleh petani di

daerah tropis, karena berbagai keunggulannya. Keunggulan tanaman penutup

tanah dari kelompok leguminosa adalah kemampuan dalam memfiksasi N bebas

dari udara dengan bantuan bakteri penambat N sehingga kadar N yang terkandung

di dalam tanaman relatif tinggi (Power, 1987; Balkcom et al., 2007)

Peranan LPT dalam meningkatkan kandungan nitrogen tanah telah

banyak mendapat perhatian, karena unsur nitrogen merupakan faktor pembatas

utama dalam produksi tanaman budidaya (Gardner et al., 1991). Menurut Lal et

al. (2000) ; Hairiah et al. (1992), nitrogen yang dihasilkan oleh tanaman legum

penutup tanah melalui fixasi diperkirakan mencapai 200-300 kg N ha-1

.

Disamping nitrogen, juga terjadi peningkatan hara lainnya, yaitu: 20-30 kg P ha-1

,

Page 44: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

21

95-147 kg K ha-1

dan 17-30 kg ha-1

lebih tinggi di bandingkan dengan non

legum.

Selain perannya sebagai sumber nitrogen, manfaat lainnya adalah sebagai

pengendali gulma dan dalam mensuplai C-organik tanah serta meningkatkan

proses biokimia dalam tanah (Sutanto, 2002; Acosta, 2009). Proses biokimia

dalam tanah dapat berjalan karena adanya input C-organik yang masuk ke dalam

tanah berupa biomasa hijauan sebagai sumber makanan bagi mikroba tanah dan

cenderung merangsang perubahan biologis. Proses biokimia mempunyai peranan

dalam memproduksi CO2, NH4, NO3 dan pembentukan senyawa sederhana

lainnya yang bermanfaat bagi tanaman (Hakim et al., 1986). Keunggulan lainnya

adalah, tanaman penutup tanah dapat meningkatkan struktur tanah dan

meningkatkan kapasitas pengikatan air dan berperan sebagai penyanggah

(buffering) nutrisi tanah melalui sistem perakaran.

Hasil analisis yang dilakukan oleh Hairiah et al. (2009) pada LPT dalam

sistem agroforestry, ada tiga proses utama yang terlibat dalam siklus hara: (1)

penambatan N dari udara, yaitu peningkatan jumlah N hasil penambatan dari

udara, (2) mineralisasi bahan organik/sisa tanaman, yaitu peningkatan jumlah

hara dari hasil mineralisasi biomasa tanaman penutup tanah, (3) adanya

peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar tanaman (jenis

legum pohon) yang menyebar cukup dalam ke lapisan atas tanah.

Penelitian yang dlakukan oleh Kuo et al. (1997) mendapatkan bahwa

tanaman penutup tanah mempengaruhi kandungan N tanah dan besarnya

konsentrasi nitrogen ditentukan oleh kadar N jaringan dan besarnya produksi

Page 45: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

22

biomasa tanaman penutup tanah. Selanjutnya Vyn et al. (1999) melaporkan

bahwa tanaman penutup tanah dapat meningkatkan konsentrasi nitrat tanah. Dari

tiga jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (annual ryegrass, oilseed radish

dan red clover) terlihat bahwa red clover memberikan ketersediaan N yang lebih

tinggi yaitu sebesar 21 mg N kg-1

biomasa, dan juga dari penelitian ini dilaporkan

bahwa terdapat korelasi positip antara NO3 tanah dengan hasil tanaman jagung.

Selanjutnya dikemukakan oleh Frye (1983) bahwa tanaman penutup tanah dapat

meningkatkan efisiensi pemupukan N akibat penambahan N tanah (oleh jenis

legum) dan mencegah kehilangan N akibat pencucian dan denitrifikasi.

Selain sebagai pengikat nitrogen dari udara, LPT juga memberikan

keuntungan lain. van Noordwijk et al. (1992) mengemukakan bahwa LPT dapat

memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya. Perbaikan sifat tanah ini terjadi karena

biomasa yang dihasilkan oleh tanaman LPT menjadi sumber bahan organik tanah.

Menurut Hairiah et al. (2000) tanaman LPT dapat memberikan masukan bahan

organik sebanyak 2-3 t ha-1

pada umur 3 bulan dan 3-6 t ha-1

jika dibiarkan

sampai enam bulan. Meningkatnya bahan organik tanah akan memperbaiki sifat

fisik dan kimia tanah setelah biomasa tanaman LPT mengalami pelapukan.

Peningkatan kadar C-organik tanah mengakibatkan agregat tanah menjadi lebih

mantap, pengikatan unsur P pada tanah masam berkurang, penyediaan unsur hara

secara lengkap dan berimbang serta meningkatnya aktivitas biologi dalam tanah.

Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga

akan meningkatkan kapasitas tukaran kation (KTK). Bahan organik tanah yang

telah lapuk akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan kimia tanah antara

Page 46: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

23

lain terhadap KTK tanah. Sekitar 20-70% kapasitas pertukaran kation tanah pada

umumnya bersumber pada koloid humus, sehingga terdapat korelasi antara bahan

organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1994). KTK menunjukkan kemampuan

tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut

termasuk kation hara tanaman, sehingga KTK penting untuk kesuburan tanah.

Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 t ha–1

pada Ultisol mampu

meningkatkan 15,18% KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 c mol (+) kg-1

(Stevenson, 1994).

Pengaruh lainnya, adalah terhadap pH tanah. Penambahan bahan organik

yang belum lapuk, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah

(meningkatnya H+), karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-

asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah (Wiesje, 2008).

Peningkatan pH tanah (meningkatnya OH+) juga akan terjadi apabila bahan

organik yang ditambahkan telah terdekomposisi, sehingga mudah melepaskan

hara bagi tanaman.

Selain perannya dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah, tanaman

penutup tanah juga memberikan peran terhadap perbaikan sifat biologi tanah.

Tanaman penutup tanah dari kelompok legum merupakan inang utama bagi

sebagian mikroba tanah terutama bakteri rhyzobium. Zona perakaran

(rhizosphere) merupakan habitat bagi kehidupan organisme dalam tanah (Lines-

Kelly et al., 2009). Hal ini karena perakaran tanaman umumnya menghasilkan

dan mengeluarkan senyawa-senyawa (eksudat) organik yang sangat bermanfaat

bagi kehidupan organisme tanah. Mikroba rhizosphere selain berperan dalam

Page 47: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

24

fiksasi nitrogen, juga dalam akumulasi dan degradasi bahan organik tanah dan

menyediakan nutrisi bagi tanaman melalui proses mineralisasi (Stevenson, 1994;

Steenwerth dan Belina, 2008).

Legum penutup tanah (LPT) berpengaruh nyata terhadap peningkatan

populasi organisme tanah baik makro maupun mikro (Steenwerth dan Belina,

2008). Populasi bakteri total pada zona perakaran legum penutup tanah berbeda,

yaitu pada C. pubescens (5,21 x 105 g

-1), C. anagyroides (4,85 x 10

5 g

-1) dan M.

pruriens (5,24 x 105 g

-1) lebih tinggi di banding tanpa LPT yang hanya mencapai

3,56 x 105 g

-1 (Utomo et al., 1992; Hairiah et al., 1992). Peningkatan populasi

organisme dalam tanah, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro terutama

ketersediaan karbon, suhu dan kelembaban pada zona perakaran (rhizosphere)

yang relatif sangat mendukung kehidupan organisme tanah

Karakteristik dari LPT yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan

sebagai berikut:

1. Centrosema pubesescens Benth. (Centro)

C. pubesescens Benth., dengan nama lokal disebut centro merupakan

tanaman yang tumbuhnya merambat dan melilit, tanaman ini berasal dari Amerika

Selatan. Tanaman ini mempunyai tulang daun yang menyirip, helai daun

berjumlah tiga buah, memiliki bunga yang berwarna ungu. Polong centro

berwarna hijau dengan panjang 9-17 cm. Setiap polong umumnya menghasilkan

12-20 biji yang berwarna coklat (Dirjenbun, 1984).

Centro tahan terhadap naungan dan sangat cocok dijadikan sebagai

tanaman sela di perkebunan. Centro juga dapat tumbuh subur pada tanah yang

Page 48: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

25

miskin hara dan tahan kekeringan, namun pertumbuhannya terhambat pada

keadaan tergenang (Dirjenbun, 1984). Selama ini centro digunakan sebagai

tanaman pionir dalam merehabilitasi lahan terdegradasi akibat erosi, pada

perkebunan kelapa sawit dan karet digunakan sebagai tanaman penyubur tanah

(Purwanto, 2007).

Keunggulan dari centro adalah dapat tumbuh dengan baik pada tanah

yang kurang subur dan masam tanpa menggunakan pupuk buatan, dapat

menghasilkan daun yang banyak dan batangnya tidak berkayu (saelent) walaupun

umur tanaman telah mencapai 18 bulan. Centro mempunyai jaringan perakaran

yang kuat dan dalam sehingga mampu bertahan pada musim kering yang panjang.

Centro tahan pada kondisi kering, tahan hidup di bawah naungan, dan tahan pada

kondisi tanah masam dengan drainase yang jelek (Dirjenbun, 1984).

2. Mucuna pruriens L. (Kacang koro)

M. pruriens L. dikenal dengan nama lokal kacang koro, merupakan

tanaman yang tumbuh merambat dan melilit dan termasuk tanaman semusim.

Tanaman ini memiliki daun yang lebar dan tajuk yang tebal, bunga berwarna ungu

dan polongnya berwarna cokelat, bijinya berukuran besar. Species ini berasal dari

Amarika Selatan. Jenis ini mempunyai penyebaran yang sangat luas di daerah

tropis. Dapat tumbuh pada tanah masam, beradaptasi baik pada tanah-tanah

dengan tingkat kesuburan yang rendah dan tahan kekeringan (Acosta, 2009).

M. pruriens dapat digunakan sebagai pengisi lahan bera di musim kemarau,

karena tahan kering.

Page 49: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

26

M. pruriens, dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman legum penutup

tropis atau pupuk hijau untuk menjaga kesuburan tanah dan pengendalian gulma.

Berbagai keuntungan dari tanaman ini telah menyebabkan diadopsi secara luas di

banyak negara bagian di Amerika Tengah dan Afrika. Di India Mucuna

merupakan tanaman budidaya yang di pelihara sebagai tanaman penyubur tanah

(Acosta, 2009).

Di Indonesia M. pruriens di kenal dengan nama kacang koro, dan banyak

petani yang telah membudidayakannya karena selain sebagai tanaman penyubur

tanah, kacang koro juga merupakan sumber pangan. Kacang koro biasanya

memiliki kebiasaan pertumbuhan tak tentu dengan panjang sulur antara 3-18 m.

Tanaman memiliki bunga ungu yang menggantung di ketiak daun. Polong ditutupi

dengan rambut halus berwarna gelap yang dapat segera hilang dan dapat

menyebabkan iritasi pada kulit.

Hasil penelitian Suwardjo et al. (1987) menunjukkan bahwa M. pruriens

lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah dan kadar Al yang tinggi

dibanding dengan C. pubescens. Dari penelitian yang sama diperoleh informasi

bahwa M. pruriens mampu memberantas gulma alang-alang mulai pada umur 6

minggu setelah tanam. Tanaman ini berakar dangkal dengan banyak nodul.

3. Crotalaria usaramoensis L. (Krotalaria/Orok-orok)

C. usaramoensis L. (krotolaria atau orok-orok) merupakan tanaman

perdu dengan tinggi 1-1,5 m. Krotalaria mempunyai banyak cabang dan daunnya

merupakan daun trifoliet, bunganya berwarna kuning dan muncul berkelompok

pada ujung batang. Polong krotalaria memiliki ukuran 3-4 cm dengan bentuk

Page 50: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

27

membulat pada ujung polong. Krotalaria tumbuh dari daerah dataran rendah

sampai dataran tinggi, yaitu dari 0 - 1500 m dpl. Tanaman ini toleran terhadap

cekaman kekeringan dan tahan terhadap hujan yang berkepanjangan, pada musim

kemarau batang krotolaria mengering tetapi kuncup baru segera muncul pada

musim hujan berikutnya (Dirjenbun, 1984).

Menurut Cook dan White (1996) krotalaria merupakan salah satu jenis

tanaman penutup tanah yang paling banyak ditanam sebagai pupuk hijau di

seluruh daerah tropis. Krotalaria sering di rotasi dengan berbagai spesies tanaman

yang berbeda. Di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an, dilaporkan menjadi

tanaman yang sangat baik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan juga sebagai

penghasil serat. Di Indonesia tanaman krotalaria dikembangkan sejak tahun 1960-

an, merupakan tanaman wajib pada perkebunan tembakau, yang ditanam pada

saat masa bera, selanjutnya dibenamkan menjelang tanam tembakau. Namun sejak

diperkenalkan pupuk dan herbisida yang relatif murah dan mudah, petani dan

perusahan mulai meninggalkan tanaman ini dengan alasan petani tidak rela

mengorbankan lahannya untuk ditanami tanaman yang tidak memiliki nilai

ekonomis (Rachman et al., 2006).

4. Phaseolus lunatus L. (Arbila hutan)

P. lunatus L., merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan melilit

pada batang pohonan. Daun majemuk, beranak daun tiga, daun berbentuk jorong.

Sayap bunga berwarna putih kekuningan atau ungu, polong lonjong, pipih, berisi

4-5 biji. Bentuk, ukuran dan warna biji beragam.

Page 51: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

28

Tanaman P. lunatus L., tumbuh di dataran rendah tropis sampai daerah

subtropis, serta dapat tumbuh hingga ketinggian 2000-2500 m dari permukaan

laut, dengan curah hujan normal tahunan antara 900-1500 mm. Tanaman ini

menyukai tanah beraerasi dan berdrainase baik dengan pH 6,0-6,8. Berbagai

kultivar tahan terhadap tanah masam dengan pH 4,4. Tanaman ini mempunyai

perakaran dalam, banyak dimanfaatkan sebagai tanaman bera, pencegah erosi,

sumber pupuk hijau, pemberantas alang-alang (Purwanto, 2007). Di daerah

tropika, tanaman ini ditanam secara monokultur di kebun atau tumpangsari

dengan sereal (jagung, gandum) dan ubi kayu atau tanaman lain. Penanaman

tunggal lebih sering dilakukan sebagai tanaman bera, seperti di wilayah Amerika

Serikat, Madagaskar dan Peru. Perakarannya yang dalam menyebabkan tahan

terhadap kekeringan dan potensi biomasa yang tinggi > 8 t ha-1

(Febrina, 2004).

2.5. Dekomposisi Bahan Organik

Dekomposisi merupakan proses yang sangat penting dalam siklus hara

pada suatu ekosistem tanah (Regina dan Tarazona, 2001; Sulistiyanto et al.,

2005). Proses dekomposisi tersebut sangat vital, karena produksi tanaman pada

ekosistem alami, tergantung pada proses daur ulang hara dalam sistem (Oladoye

et al., 2005). Melalui proses dekomposisi biomasa (serasah) akan terjadi proses

pelepasan hara untuk memenuhi kebutuhan tanaman, juga menentukan besarnya

simpanan C-organik tanah dalam suatu ekosistem. Menurut Oladoye et al. (2005),

kecepatan dekomposisi berhubungan dengan pelepasan hara, karena dekomposisi

merupakan proses kunci dalam mengendalikan siklus nutrisi dan pembentukan

C-organik di dalam tanah.

Page 52: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

29

Dekomposisi merupakan proses yang sangat kompleks kerena melibatkan

beberapa faktor. Terdapat tiga faktor utama, yang mempengaruhi kecepatan/laju

dekomposisi biomasa (serasah) yaitu sumber asal dan kualitas bahan organik,

faktor lingkungan, dan keberadaan mikroorganisme dalam tanah (Guo dan Sims,

1999; Sulistiyanto et al., 2005)

Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan

organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke

udara. Ada dua proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu

dari humus dan dekomposisi dari sisa tanaman yang ditambahkan. Laju

dekomposisi C-organik tahunan rata-rata adalah 3% di daerah perladangan

(Barchia, 2009). Sekitar 2-5% dari karbon humus terdekomposisi setiap

tahunnya, tetapi kehilangan humus ini diimbangi oleh adanya suplai bahan

organik dari vegetasi penutupnya. Jumlah CO2 yang hilang karena aktivitas

heterotrop diimbangi oleh suplai bahan humus yang terbentuk dari akar, serasah

dan bagian tanaman dalam tanah yang telah mengalami pelapukan. Laju evolusi

CO2 dari bahan organik tanah berkisar dari 5 sampai 50 mg CO2 kg-1

hari-1

(Barchia, 2009)

Di lapangan laju evolusi CO2 hanya berkisar 0,5 sampai 10 g CO2 m-2

hari-1

, dan dapat juga mencapai 25 g CO2 m-2

hari-1

(Barchia, 2009). Faktor-faktor

yang mempengaruhi laju dekomposisi humus adalah pengolahan tanah,

temperatur, kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Laju evolusi CO2

yang paling besar ada di permukaan tanah dimana terdapat konsentrasi sisa

tanaman yang paling tinggi. Semakin dalam profil tanah, laju produksi CO2

Page 53: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

30

menurun, dan pada kedalaman 50 cm atau lebih evolusi CO2 sudah sangat

terbatas.

Secara umum bahan organik yang bersumber dari jerami/brangkasan

serealia akan lebih lambat terdekomposisi dibandingkan dengan bahan organik

dari golongan legum. Hal ini karena kandungan senyawa kimia yang rendah

terutama nitrogen, dibandingkan dengan kelompok legum yang berkualitas lebih

tinggi. Kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang berkualitas

tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5%, nisbah C/N rendah (<20),

kandungan lignin rendah (<15%) dan polifenol yang rendah (< 4%) (Handayanto

et al., 1997; Rachman et al., 2006), sehingga mudah terdekomposisi oleh

mikroorganisme dalam tanah.

Nisbah C/N menentukan kecepatan dekomposisi, karena senyawa karbon

dan nitrogen penting bagi mikroorganisme selama proses dekomposisi. Karbon

diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan

untuk membentuk protein. Bahan serasah (biomasa) yang mempunyai nisbah C/N

tinggi lebih lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi

berarti N dalam bahan organik (serasah) sangat kecil sehingga N yang ada akan

dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan

organik yang memiliki nisbah C/N yang rendah (seperti golongan legum)

umumnya akan lebih cepat mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk

pada minggu ketiga (Hairiah dan Murdiyarso, 2007).

Selain nisbah C/N, kecepatan dekomposisi bahan organik juga ditentukan

oleh kandungan senyawa lignin dan polifenol (De Santo et al., 1993; Hartemink,

Page 54: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

31

2001; Temel, 2003; Sulistiyanto et al., 2005 dan Oladoye et al., 2005). Biomasa

pangkasan gamal (Gliricidia sepium) mengandung lignin 11% sehingga dalam

waktu 4 minggu sudah habis terdekomposisi. Berbeda dengan serasah yang

berasal dari daun jambu yang kandungan ligninnya lebih tinggi yaitu 32%,

sehingga membutuhkan waktu >4 minggu (Handayanto et al., 1997; Hairiah dan

Rahayu, 2007).

Selain faktor kualitas biomasa, kecepatan dekomposisi juga dipengaruhi

oleh faktor lingkungan terutama pH tanah, suhu dan kelembaban tanah. Menurut

Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan tanah yang optimum adalah: pH netral

antara 5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-280C dan kelembaban tanah

antara 50-60%. Apabila faktor lingkungan (pH, suhu dan kelembaban) berada

dalam kondisi yang optimum, maka aktivitas mikroba perombak meningkat

sehingga proses dekomposisi dan pelepasan hara akan berjalan lebih cepat.

Faktor populasi mikroorganisme dalam tanah juga merupakan penentu

kecepatan dekomposisi. Serasah yang berada pada tanah yang banyak jasad

reniknya cenderung lebih cepat terdekomposisi dibanding dengan tanah yang

populasi jasad reniknya sedikit (Saetre, 1998; Sutedjo et al., 1991). Organisme

(jasad renik) di dalam tanah berperan menghancurkan sisa-sisa tanaman dan

binatang serta menggunakan komponen organik sebagai makanan/sumber

energinya. Ketika organisme yang terlibat dalam dekomposisi mati maka akan

terjadi pelepasan dan pembebasan senyawa atau ion (hara) yang berguna bagi

tanaman. Bahan organik adalah sumber hara tanaman. Bahan organik juga

merupakan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Aktivitas mikroba

Page 55: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

32

ini akan merubah senyawa organik menjadi senyawa anorganik dan menghasilkan

asam organik yang mendorong pelepasan hara bagi tanaman (Hartemink, 2001;

Hairiah et al., 2003).

2.6 Pengelolaan Bahan Organik (Biomasa Tanaman) untuk Meningkatkan

Sinkronisasi Hara pada Tanaman

Salah satu upaya perbaikan kualitas tanah yang cukup murah adalah

dengan pengelolaan residu tanaman, hasil pangkasan tanaman atau biomasa

tanaman penutup tanah yang sengaja diintroduksi pada lahan budidaya sebagai

pupuk hijau. Penggunaan residu tanaman sebagai pupuk organik, mempunyai

beberapa kendala yang harus diperhatikan dalam meningkatkan produksi suatu

tanaman, yaitu jumlah residu yang harus dikembalikan, kualitas dari bahan

organik, cara pengelolaannya, waktu dan saat pembenaman, karena berhubungan

dengan tingkat sinkronisasi (Handayanto dan Ismunandar, 1999).

Sinkronisasi adalah matching menurut waktu, yaitu ketersediaan unsur

hara dan kebutuhan tanaman akan unsur hara pada waktu yang sama (Myers et al.,

1997). Apabila penyediaan unsur hara tidak sesuai dengan saat tanaman

membutuhkannya maka akan terjadi defisiensi unsur hara atau juga kelebihan

unsur hara. Menurut Myers et al. (1997); Handayanto dan Ismunandar (1999),

tidak terjadinya sinkronisasi disebabkan oleh dua hal yaitu: (1) jika ketersediaan

hara terjadi lebih lambat dari kebutuhan tanaman, dan (2) jika ketersediaan hara

terjadi lebih awal dibanding kebutuhan tanaman, dimana unsur hara yang tersedia

melebihi kebutuhan tanaman saat itu, sehingga mempunyai resiko hilang menjadi

bentuk tidak tersedia bagi tanaman.

Page 56: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

33

Tingkat sinkronisasi ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan

mineralisasi bahan organik (Handayanto et al., 1997; Myers et al., 1997). Bahan

organik yang berkualitas tinggi akan lebih cepat lapuk akibatnya unsur hara akan

dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia (Murwira, 1994). Jika yang

ditanam adalah tanaman yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan

organik melapuk dan unsur hara N dilepaskan dalam jumlah maksimal ternyata

tanaman belum membutuhkan N dalam jumlah yang banyak. Hal ini berarti

terjadi kelebihan N tersedia tetapi tidak dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga N

yang berlebih ini akan hilang melalui pencucian dan penguapan. Selanjutnya

pada saat tanaman tersebut membutuhkan N dalam jumlah yang banyak ternyata

N yang tetrsedia di dalam tanah tidak mencukupi lagi.

Oleh karena itu pemberian bahan organik sebaiknya diberikan sebelum

tanam, agar pupuk organik yang berupa bahan organik biomasa tanaman tersebut

mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi sehingga tersedia bagi tanaman.

Penentuan lamanya waktu yang diberikan (pembenaman) harus melihat kualitas

dari pupuk organik, yaitu berkualitas tinggi, sedang ataupun rendah, dimana

kualitas yang tinggi, segera mengalami mineralisasi setelah diberikan

(dibenamkan) ke dalam tanah. Saat pemberian/pembenaman bahan organik, juga

harus melihat siklus hidup tanaman yang akan dipupuk, sehingga sinkronisasi

dapat tercapai.

Hasil percobaan Naidu (1981), penggunaan bahan organik baik yang

berasal dari pupuk kandang atau pupuk hijau memberikan hasil panen padi yang

sama dengan pupuk anorganik. Laporan ICRAF (1997) pupuk hijau Tithonia dan

Page 57: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

34

Senna dapat menyumbangkan sejumlah unsur hara pada tanaman jagung di

Kenya, yaitu tanaman jagung yang dipupuk Tithonia dan Senna, masing-masing

5 ton ha-1

dan mampu memberikan sumbangan hara N sebesar 162 kg ha-1

, dan

hara P sebesar 14 kg ha-1

untuk Tithonia, sedangkan Senna menghasilkan 61 kg

N ha-1

, dan 2 kg P ha-1

. Purwanto (1997) menambahkan pupuk G. sepium dosis

10 ton ha-1

pada tanah Ultisol Lampung pada minggu ke-3 mampu meningkatkan

konsentrasi hara P sebesar 14%, dan minggu ke-9 meningkat 34%. Selanjutnya

Supriyadi (2003) menyatakan bahwa Thitonia mempunyai laju dekomposisi yang

cepat. Pelepasan hara N terjadi sekitar satu minggu dan pelepasan hara P dari

biomasa tanaman terjadi sekitar dua minggu setelah dimasukkan (dibenamkan) ke

dalam tanah.

Selain meningkatkan ketersediaan hara, cara pengelolaan bahan organik

secara in situ juga dapat memperbaiki sifat tanah lainnya. Suwardjo, (1981)

menyatakan pengembalian residu tanaman baik dalam bentuk mulsa maupun

dengan pembenaman, akan meningkatkan kualitas fisik tanah, terutama suhu

tanah dapat ditekan lebih rendah 9,41% (26,24oC) dan menurunkan bobot isi

tanah sampai 20% (1,29 g cm-3

) dibandingkan dengan tanpa pengembalian residu

tanaman dengan suhu yang lebih tinggi 28,71oC dan bobot isi yang lebih tinggi

1,46 g cm-3

. Rupa dan Agung (2003) yang melakukan pengkajian untuk melihat

pengaruh pengelolaan sisa tanaman pasca bera terhadap sifat tanah dan hasil

jagung setelah panen, menunjukkan pengelolaan residu tanaman dengan cara

dibenamkan dan dijadikan mulsa, secara signifikan meningkatkan kadar C-

organik tanah sebesar 74%, N total sebesar 25%, dan P tersedia sebesar 35%; serta

Page 58: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

35

tejadi peningkatan hasil jagung 30% lebih tinggi di banding sisa tanaman

dikeluarkan dari lahan dan dibakar.

III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Pemanfaatan lahan kering di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk usahatani

jagung dan tanaman pangan lainnya, belum memberikan hasil yang optimal, hal

ini karena ada banyak faktor penghambat, diantaranya faktor abiotik, biotik dan

kondisi sosial ekonomi petani. Kendala faktor abiotik seperti (1) ketersediaan air

yang terbatas, (2) tanah mudah tererosi, (3) kesuburan kimia tanah yang rendah,

yang diperlihatkan oleh kandungan N tanah yang rendah (0,16%), P-tersedia

rendah (20,55 ppm) dan K-tersedia yang tergolong sedang (192,04 ppm, dan (4)

kandungan bahan organik tanah rendah yang ditunjukkan oleh C-organik yang

rendah sebesar 1,365% (Lampiran 1). Kendala dari faktor biotik yang penting

adalah pesatnya pertumbuhan gulma. Di sisi lain faktor sosial ekonomi petani

juga memegang peranan penting dalam peningkatan produksi serta pengembangan

tanaman jagung. Dampaknya adalah produktivitas lahan terus menurun yang

berdampak pada meningkatnya luas lahan kritis di NTT.

Peningkatan produktivitas lahan kering dapat dilakukan dengan berbagai

tindakan konservasi. Diantara berbagai alternatif untuk mengatasi berbagai

kendala faktor abiotik dan biotik tanah di lahan kering, penggunaan tanaman

legum penutup tanah (LPT) secara in situ merupakan cara yang tepat, murah dan

mudah dilakukan. Penanaman dapat dilakukan secara sekuensial menjelang atau

akhir panen tanaman pangan semusim (akhir musim hujan) dengan memanfaatkan

Page 59: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

36

sisa hujan dan kelembaban tanah. Pada awal musim hujan atau menjelang musim

tanam berikutnya, LPT dimatikan dan dikembalikan ke dalam lahan budidaya

dengan cara pembenaman atau sebagai bahan mulsa (Racmhman et al., 2006;

Acosta, 2009). Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kandungan C-organik

dan N total tanah, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk sintetis sampai

batas yang rasional atau dapat berperan sebagai bahan pembenah tanah.

Beberapa jenis LPT seperti C. pubescens Benth. (CP), M. pruriens L.

(MP), C. usaramoensis L. (CU) dan P. lunatus L. (PL) memiliki potensi untuk

dikembangkan dalam lahan budidaya saat masa bera. Jenis LPT telah banyak

dimanfaatkan di daerah tropis terutama diintegrasikan dalam sistem budidaya

tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan jeruk. Banyak peneliti yang

merekomendasikan bahwa LPT mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam

meningkatkan produktivitas lahan dalam sistem budidaya pertanian (Power, 1987;

Dinga et al., 2006; Sarantino, 2007; Steenwerth et al., 2008). Bila diaplikasikan

ke dalam tanah (sebagai pupuk hijau) akan lebih cepat terdekomposisi sehingga

pelepasan hara N (net release of nitrogen) dan unsur hara lainnya akan lebih cepat

terjadi (Wang et al., 2010; Olson et al., 2010). Keunggulan penggunaan LPT,

selain sebagai sumber bahan organik tanah, juga yang paling penting adalah

kemampuannya dalam meningkatkan simpanan N dalam tanah, melalui

sombiosisnya dengan bakteri penambat.

Besarnya simpanan C-organik, N tanah, dan besarnya pelepasan hara dari

biomasa legum penutup tanah ditentukan oleh proses dekomposisi. Dekomposisi

merupakan proses yang sangat penting dalam dinamika hara pada suatu ekosistem

Page 60: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

37

lahan (Handayanto et al., 1997; Sulistiyanto et al., 2005). Proses tersebut sangat

vital untuk keberlanjutan status hara dan ketersediaannya bagi tanaman budidaya

(Handayanto et al., 1994; Handayanto dan Ismunandar, 1999; Guo dan Sims,

1999).

Dekomposisi Biomasa

Legum Penutup Tanah

Sinkronisasi hara

Pertumbuhan cepat

umur genjah, produk

biomasa tinggi

tahan kering

sesuai sebagai

tanaman bera

Pengelolaan Legum

Penutup Tanah

Kualitas tanah di lahan kering meningkat

Produksi Pertanian

Lahan Kering Rendah:

Faktor abiotik (air terbatas,

mudah tererosi, kesuburan

tanah rendah, C- organik

rendah

Fakror biotik: gulma pesat

Faktor sosial ekonomi

Simpanan C-organik tanah

meningkat >2,0% dan N

tanah meningkat >0,2%

Potensi menyerap

karbon (CO2) di

atmosfir

Sumber C-organik

tanah

Sumber N tanah

Pengelolaan lahan

kering spesifik:

dengan legum penutup

tanah

Pelepasan hara

Pengelolaan lahan

budidaya dengan : C.

pubescens Benth., M.

pruriens L., C.

usaramoensis L., dan

P. Lunatus L.

Hasil jagung di lahan kering

meningkat (>2,3 t.ha-1

)

Kualitas Fisik:

bulk density

porositas, kadar

air, suhu tanah

tatanah,uhu tanah

Kualitas Kimia:

pH, C-organik,

N, P, K, Ca,

Mg, KTK

Kualitas Biologi:

Respirasi mikroba

Jumlah koloni

mikroba

Page 61: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

38

Gambar 3.1

Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian

Kecepatan dekomposisi biomasa bervariasi pada berbagai species LPT, tergantung

pada kualitas biomasanya. Menurut Palm et al. (2001) LPT termasuk sumber

bahan organik yang berkualitas tinggi dibanding dengan sumber bahan organik

non legum. Legum penutup tanah umumnya mengandung kadar N >2,5%, C/N

ratio < 20, kandungan lignin < 15% dan polifenol < 4% yang rendah (Rachman et

al., 2006), sehingga lebih cepat terdekomposisi.

Selain faktor kualitas biomasa, kecepatan dekomposisi juga dipengaruhi

oleh faktor lingkungan terutama pH tanah, suhu dan kelembaban tanah. Menurut

Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan yang optimum adalah: pH netral antara

5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-28oC dan kelembaban tanah antara 50-

60%. Kondisi lingkungan yang optimum ini akan dapat meningkatkan aktivitas

mikroba perombak dalam menguraikan bahan organik.

Pemberian bahan organik pada lahan budidaya pertanian umumnya

belum memberikan hasil yang optimal. Penyebabnya adalah selain rendahnya

kadar hara juga lambannya pelepasan hara dari bahan organik, sehingga tidak

terjadi sinkronisasi (Handayanto dan Ismunandar, 1999). Sinkronisasi adalah

ketepatan (matching) menurut waktu, yaitu ketepatan ketersediaan unsur hara dan

jumlah kebutuhan tanaman akan unsur hara tersebut (Myers et al., 1997).

Sinkronisasi ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineralisasi bahan

organik (Handayanto, 1997). Faktor ini yang menjadi kendala dalam pemanfaatan

bahan organik in situ.

Page 62: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

39

Studi mengenai simpanan karbon organik tanah telah menjadi perhatian

dalam rangka mengevaluasi kualitas tanah akibat praktek pertanian konvensional

yang cenderung meningkatkan degradasi tanah. Menurut Collins et al. (1992)

salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan lahan pertanian adalah tetap

terpeliharanya simpanan C-organik tanah sehingga terjadi keseimbangan dalam

tanah, lingkungan dan biodiversitas. Sebagian lahan pertanian di Indonesia (baik

lahan kering maupun sawah) mempunyai kadar bahan organik < 1-2% (Samosir,

2000). Pada hal kadar C-organik total yang optimum untuk pertumbuhan

tanaman sekitar 2,5-5% (Young, 1989; Rachman et al., 2006). Meningkatnya

simpanan C-organik dalam tanah (>2,5%) akan mempengaruhi kualitas tanah

(baik sifat fisisk, kimia dan biologi) menjadi lebih baik, sehingga pertumbuhan

dan hasil tanaman jagung serta tanaman lainnya meningkat. Secara ringkas

kerangka berpikir penelitian, seperti pada Gambar 3.1.

3.2 Konsep Penelitian

Sistem pertanian lahan kering merupakan suatu praktek budidaya yang

sangat beragam. Salah satu sistem pertanian tradisional yang banyak dipraktekan

petani lahan kering adalah sistem ladang berpindah (shifting cultivation) dengan

basis utamanya adalah usahatani tanaman pangan semusim. Sistem ini, merugikan

apabila dilakukan secara terus menerus (intensif), karena berakibat pada

penurunan produktivitas tanah dan dalam jangka panjang berdampak pada

kerusakan sumberdaya alam termasuk tanah (Suwardjo, 1981; Reijntjes et al.,

1999).

Page 63: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

40

Indikasi kerusakan tanah dapat dilihat dari rendahnya simpanan C-organik

total. Akibat lanjutannya adalah erosi tanah yang tinggi, kerusakan struktur tanah

bagian atas, menurunnya kapasitas pengikatan air (water hollding capacity,

degradasi sifat kimia berupa penurunan cadangan unsur hara dan menurunnya

populasi mikroba dalam tanah (La1, 1998; Bot dan Benites, 2005). Lebih lanjut

Milne (2009) menyimpulkan bahwa jumlah simpanan C-organik total dalam tanah

sangat ditentukan oleh praktek pengelolaan lahan atau teknik budidaya pertanian,

faktor sifat tanah (tekstur), iklim, vegetasi dan sejarah penggunaan (manajemen)

lahan.

Rendahnya simpanan C-organik tanah merupakan masalah dalam sistem

budidaya pertanian di lahan kering. Penanganannya dapat dilakukan melalui

sistem pemberaan dengan LPT. Untuk itu dirancang konsep penelitian seperti

pada Gambar 3.2, yang bertujuan mengevaluasi prospek pemberaan dan

pengelolaan LPT tersebut. Penelitian ini diawali dengan studi pendahuluan

(observasi). Studi ini bertujuan untuk menjajagi potensi LPT di lahan kering,

jenis LPT, kesuburan tanah dan iklim. Pada tahap ini juga dilakukan analisis

terhadap kualitas dari LPT yang di coba. Luaran dari studi pendahuluan ini

adalah menetapkan lokasi penelitian dan jenis LPT yang digunakan dalam

penelitian ini.

Berdasarkan luaran pada studi pendahuluan, maka telah dilanjutkan

dengan penelitian lapang untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah

dirumuskan. Penelitian lapang ini, dirancang dalam empat tahap percobaan, untuk

menjawab masing-masing masalah yang saling terkait, yaitu: Percobaan 1,

Page 64: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

41

bertujuan untuk mengkaji laju dekomposisi atau degradasi biomasa dari berbagai

jenis legum penutup tanah. Percobaan 2, bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara waktu pelepasan hara dengan kebutuhan tanaman (sinkronisasi hara) pada

pengaruh masa inkubasi berbagai jenis biomasa LPT selama fase vegetatif

jagung, dilanjutkan dengan percobaan 3 yang bertujuan untuk mengkaji potensi

Jenis LPT

potensial

Masa inkubasi

biomasa LPT &

waktu penanam-

an jagung yg

sesuai

jenis LPT

yang sesuai

cara

pengelolaan

biomasa

yang tepat

Studi Pendahuluan: Penjajagan potensi LPT, kualitas biomasa,

cara pengelolaan LPT oleh petani,

kesuburan tanah, iklim

Perc. 2: Percobaan pot untuk mengkaji

masa inkubasi biomasa LPT terhadap

tingkat sinkronisasi hara N pada

tanaman jagung

Perc. 1: Percobaan litterbag untuk

mengkaji laju dekomposisi dan

pelepasan hara dari beberapa jenis LPT

Perc 4: Percobaan lapang untuk

melihat efek pengelolaan berbagai jenis

biomasa LPT terhadap simpanan C-

organik dan kualitas tanah serta hasil

jagung di lahan kering

Perc. 3: Percobaan lapang untuk mengkajian potensi berbagai jenis LPT sbg tananaman bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan pengaruhnya terhadap kualitas tanah di lahan kering

Metode

aplikasi

biomasa LPT

yang tepat

Hasil jagung di lahan kering meningkat, >2,3 t ha-1

Simpanan C-organik meningkat

Jenis LPT potensial di lahan kering

Lokasi

penelitian,

jenis LPT

(4 jenis)

Percobaan Lapang

Jenis LPT tropis sangat

banyak, dan memiliki

potensi dan adaptasi

yang berbeda

Masalah 1: Laju

dekomposisi biomasa

LPT dalam menentukan

simpanan C-organik dan

besarnya pelepasan hara

Masalah 2: Tingkat

sinkronisasi hara yang

berasal dari berbagai

biomasa LPT

Masalah 3: Potensi LPT

di lahan kering beragam

Masalah 4: Cara

pengelolaan biomasa

LPT insitu yang belum

efektif

Masalah Penelitian Proses Penelitian Output Penelitian

Page 65: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

42

Gambar 3.2

Kerangka Konsep Penelitian

berbagai jenis LPT dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah

dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering; dan percobaan 4, bertujuan

untuk mengetahui pengaruh pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan

terhadap perubahan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan

kering.

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran dan konsep penelitian yang telah

diuraikan di atas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Jenis biomasa LPT dan bentuk aplikasi biomasa menyebabkan laju

dekomposisi dan pelepasan hara yang berbeda;

2. Masa inkubasi biomasa LPT yang dilakukan dengan cara pembenaman

sebelum tanam dapat meningkatkan sinkronisasi hara pada tanaman jagung;

3. Jenis LPT yang diintroduksi dalam lahan budidaya selama masa bera

berpengaruh nyata meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah

dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering;

4. Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca bera dapat meningkatkan simpanan

C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering;

5. Simpanan C-organik tanah mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas

tanah dan hasil jagung di lahan kering.

Page 66: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

43

IV METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

4.1.1 Tempat penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini telah di lakukan di wilayah kabupaten

Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mulai dari kegiatan observasi

sampai percobaan lapang. Percobaan lapang dilakukan di lahan petani di desa

Oelnasi kecamatan Kupang Tengah kabupaten Kupang, NTT (Lampiran 36).

Lahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah lahan tegalan yang

diusahakan secara intensif selama 4-5 tahun penanaman. Jenis tanah percobaan

berdasarkan Dudal-Soepraptohardjo (1957) termasuk jenis tanah Mediteran. Hasil

analisis tanah awal menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah tergolong rendah

(Lampiran 1). Jenis tanaman yang diusahakan sebelumnya adalah tanaman pangan

semusim yaitu monokultur jagung, kadang-kadang dilakukan pola tanam tumpang

sari antara jagung dan kacang tanah. Penanaman tanaman pangan biasanya di

usahakan pada musim hujan dan setelah panen lahan diberakan secara alami

sampai menunggu hujan tiba untuk dimanfaatkan lagi. Cara persiapan lahan tanam

adalah gulma di bersihkan dengan sabit dan dibakar, tidak dilakukan pengolahan

tanah sebelum tanam.

Analisis kualitas biomasa LPT, sifat kimia dan biologi tanah di lakukan

di Laboratorium Kimia Tanah dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas

Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Analisis sifat fisik tanah dilakukan di

laboratorium Tanah dan Air Politeknik Pertanian Negeri Kupang.

Page 67: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

44

4.1.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2012-Agustus 2013, dengan

tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Observasi lapang dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2012, dilanjutkan

dengan analisis kualitas biomasa legum penutup tanah,

2. Percobaan ke-1 (pertama) dan ke-2 (dua) dilaksanakan pada bulan Juli –

September 2012,

3. Percobaan lapang di lahan budidaya dilakukan dalam dua tahap, yaitu dimulai

dari bulan Juni-November 2012 (untuk percobaan 3). Dilanjutkan percobaam

4 dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013.

4.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan tanaman terdiri dari benih LPT C. pubescens Benth. (CP), M.

pruriens L. (MP), C. usaramoensis L. (CU) dan P. lunatus L. (PL). Benih legum

CP dan MP, diperoleh dari UD Tani Jaya, sedangkan untuk benih CU dan PL

adalah jenis LPT lokal diambil dari petani setempat yang ada di wilayah

kabupaten Kupang NTT. Benih jagung yang digunakan adalah benih jagung

komposit varietas Lamuru (deskrispsi pada Lampiran 2), tanah dan lahan

percobaan, tali rafia, kantong plastik. Alat yang digunakan meliputi: Munshel soil

colour chart, meteran, pacul, parang, pisau, termometer tanah, ring sampel,

timbangan, oven, grain moisture meter, jangka sorong, mistar, dan peralatan

analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah di laboratorium.

4.3 Metode Penelitian

Page 68: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

45

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.

Penelitian ini dirancang untuk dilaksanakan dalam beberapa tahap sesuai dengan

kerangka konsep penelitian, yaitu:

4.3.1 Observasi/penelitian pendahuluan

4.3.1.1 Tujuan

Menjajagi potensi dan kualitas berbagai LPT di lahan kering, sebaran dan

pemanfaatannya oleh petani.

4.3.1.2 Pelaksanaan observasi

Observasi untuk penjajagan potensi dan sebaran bahan organik, mengikuti

protokol penelitian bahan organik oleh ICRAF (ICRAF, 1997). Langkah-langkah

observasi adalah: 1) pengamatan langsung di lapang, meliputi penentuan lokasi

observasi, pencatatan jenis tanaman penutup tanah, pengambilan contoh tanaman

(daun, batang/sulur dan akar), estimasi produksi biomasa legum penutup tanah. 2)

wawancara dengan petani pada berbagai lokasi yang di pilih secara random.

4.3.1.3 Analisis kualitas biomasa LPT

Penentuan kualitas biomasa LPT adalah dengan cara diambil contoh

biomasa segar dilapangan secara acak, selanjutnya dikeringkan, dihaluskan dan

dianalisisi di laboratorium. Kualitas biomasa LPT dianalisis berdasarkan standar

yang ditetapkan oleh Tropical Soil Biologi and Fertility Programme (Anderson

dan Ingram, 1989).

Page 69: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

46

Kualitas biomasa yang dianalisis meliputi: N total (Metode Micro

Kjeldahl), P total (Uji Molibdate Blue), lignin dan polifenol (Metode ADF &

Follin-Denis), C total (Metode Walkey & Balck), Ca dan Mg (Metode ASS), K

(Metode Flamephotometer), Metode analisis kualitas biomasa LPT dilakukan

sesuai petunjuk Anderson dan Ingram, (1989).

4.3.2 Percobaan 1: Kajian laju dekomposisi dan pelepasan hara dari

berbagai biomasa LPT

4.3.2.1 Tujuan percobaan

Percobaan ini bertujuan untuk mengkaji laju dekomposisi atau degradasi

biomasa berbagai jenis LPT yang dicoba, dan untuk menjawab hipotesis

penelitian pertama (ke-1).

4.3.2.2 Rancangan percobaan

Pengelompokan percobaan ini dilaksanakan di lapangan. Percobaan

dirancang dengan rancangan dasar Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)

pola faktorial. Faktor yang diuji adalah jenis biomasa LPT (L) dan bentuk

aplikasi biomasa dalam litter bag (A).

Faktor jenis biomasa legum penutup tanah (L), terdiri dari 4 jenis, yaitu

L1 : biomasa CP

L2 : biomasa MP

L3 : biomasa CU

L4 : biomasa PL

Page 70: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

47

Faktor bentuk aplikasi biomasa dalam litter bag (A), terdiri dari 2 cara yaitu:

A0 : biomasa dalam litter bag di tempatkan di atas permukaan tanah

A1 : biomasa dalam litter bag dibenamkan di dalam tanah

Perlakuan diulang tiga kali, sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Unit

percobaannya adalah biomasa LPT dalam litter bag. Setiap unit terdiri dari 4 unit

litter bag. Pengamatan dilakukan 4 kali sehingga disiapkan 96 unit litter bag.

4.3.2.3 Pelaksanaan percobaan

Percobaan laju dekomposisi biomasa LPT di uji dengan menggunakan

metode “Litter Bag Technique” yang dikembangkan oleh Anderson dan Swift

(1983); Ribeiro et al. (2002). Metode ini dilakukan dengan cara memasukan

biomasa LPT segar yang telah dikeringkan ke dalam kantong serasah (litter bag).

Contoh biomasa LPT segar yang diambil dari lapangan dikering-

anginkan, kemudian dioven pada suhu 70oC selama 48 jam untuk

mengkonstankan kadar airnya, dan dilakukan analisis kandungan kimia awal yang

meliputi: C, N, C/N ratio, P, C/P ratio, K, Ca, Mg, serta kandungan lignin dan

polifenol. Selanjutnya masing-masing biomasa legum penutup tanah di timbang

sebanyak 100 g (berat kering oven). Biomasa (kering oven) dimasukan ke dalam

litter bag yang terbuat dari bahan kassa nilon dengan ukuran 35 cm x 35 cm.

Ukuran lubang (mesh size) kassa nilon adalah 2 mm.

Selanjutnya biomasa dalam litter bag ditempatkan dalam tiga petakan

lahan sebagai ulangan dengan ukuran masing-masing petak 12 x 1 m2. Masing-

masing petak ditempatkan 32 unit litter bag. Cara aplikasi litter bag dilakukan

sesuai perlakuan, yaitu di atas permukaan tanah dan cara yang kedua dibenamkan

Page 71: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

48

dalam tanah pada kedalaman antara 15-20 cm dari permukaan tanah dalam petak

lahan budidaya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi proses dekomposisi secara alami

(Sulistiyanto et al., 2005).

Monitoring litter bag dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada 10, 20, 30

dan 40 hari setelah aplikasi litter bag (interval waktu 10 hari) (Haraguchi et al.,

2002; Maswar, 2005). Setelah litter bag diambil dari lapangan, sampel biomasa

yang tertinggal dalam litter bag (pada setiap pengamatan), dikeluarkan dan

dimasukan ke dalam kantong plastik untuk di analisis di laboratorium. Variabel

yang diukur dalam penelitian ini adalah:

1. Kadar air biomasa dalam litter bag (%)

Prinsip dasarnya adalah air dalam contoh/sampel bahan diuapkan dengan cara

pengeringan (oven) pada suhu 70oC selama 48 jam (Sulaeman et al., 2005).

– ...................................................(1)

dimana, W : bobot contoh awal (g)

W0 : bobot contoh setelah dikeringkan (g)

W1 : berat kering biomasa yang tertinggal setelah waktu t time (g)

100 : faktor konversi ke %; fk (faktor koreksi kadar air) = 100/(100

- % kadar air)

2. Kehilangan berat dan pelepasan hara

Kehilangan berat dihitung berdasarkan ratio antara berat biomasa yang

hilang (periode waktu t) dengan berat biomasa kering sebelum aplikasi (berat

awal). Berat awal biomasa ditetapkan 100 g, dan menjadi dasar dalam analisis

kehilangan berat, laju dekomposisi dan besarnya pelepasan hara.

Page 72: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

49

Sementara jumlah pelepasan hara selama periode waktu dekomposisi

dihitung berdasarkan ratio dari konsentrasi hara saat pengambilan sampel yang

dikoreksi dengan berat kering (pada waktu t) dibanding dengan konsentrasi

hara dalam biomasa saat awal mulai penelitian dan dinyatakan sebagai persen.

Kehilangan berat serasah dan pelepasan hara LPT dihitung dengan cara

yang dilakukan oleh Guon dan Sims (1999); Sulistiyanto et al. (2005); Maswar

(2005), sebagai berikut:

..............................................................................(2)

dan

....................................................................(3)

dimana, L : prosentase biomasa yang hilang (%)

W0 : berat biomasa sebelum aplikasi dimulai

Wt : berat kering biomasa yang tertinggal setelah waktu t

R : prosentase hara yang terlepas (%)

C0 : konsentrasi hara (mg kg-1

) pada biomasa awal

Ct : konsentrasi hara (mg kg-1

) pada biomasa yang masih tertinggal

3. Laju dekomposisi biomasa/serasah.

Laju dekomposisi menggambarkan kecepatan pelapukan biomasa/serasah

tanaman dalam satu perode waktu tertentu. Pada penelitian dekomposisi,

konstanta laju dekomposisi (k) umumnya dipakai untuk membandingkan

kecepatan/laju dekomposisi biomasa berbagai spesies tanaman atau antar

berbagai kondisi lingkungan.

Pendugaan laju dekomposisi biomasa dilakukan sama seperti Guo dan

Sims (1999); Ribeiro et al. (2002); Rogers (2002); Sulistiyanto et al. (2005)

Page 73: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

50

yang mengasumsikan bahwa berat serasah yang hilang terjadi secara

eksponensial, dihitung dengan menggunakan persamaan:

dimana, Wt : bobot biomasa/serasah setelah periode pengamatan (g)

W0 : bobot biomasa/ serasah awal (g)

e : bilangan logaritma (2,71)

K : koefisien (konstanta) laju dekomposisi

t : periode pengamatan (hari)

4. Kandungan kimia biomasa LPT yang masih tertahan pasca dekomposisi,

meliputi: N total (%) dengan metode Kjeldahl, C-organik (%) dengan metode

Walkey & Balck, P total (%) Uji Molibdate Blue, Ca dan Mg (metode ASS), K

(metode Flamephotometer), dianalisis sesuai petunjuk Anderson dan Ingram,

(1989).

4.3.3 Percobaan 2: Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat

sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif

4.3.3.1 Tujuan percobaan

Untuk mengkaji tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung, dan

untuk menjawab hipotesis penelitian ke-2.

4.3.3.2 Rancangan percobaan

Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilakukan di lapangan.

Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan satu

faktor kombinasi perlakuan antara jenis biomasa LPT dan masa inkubasi, sebagai

berikut:

Wt = W0 e-kt

............................................................................................. .(4)

Page 74: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

51

L0 : Tanpa biomasa LPT (kontrol)

L1I10 : biomasa CP diinkubasi 10 hari sebelum tanam

L1I20 : biomasa CP diinkubasi 20 hari sebelum tanam

L1I30 : biomasa CP diinkubasi 30 hari sebelum tanam

L2I10 : biomasa MP diinkubasi 10 hari sebelum tanam

L2I20 : biomasa MP diinkubasi 20 hari sebelum tanam

L2I30 : biomasa MP diinkubasi 30 hari sebelum tanam

L3I10 : biomasa CU diinkubasi 10 hari sebelum tanam

L3I20 : biomasa CU diinkubasi 20 hari sebelum tanam

L3I30 : biomasa CU diinkubasi 30 hari sebelum tanam

L4I10 : biomasa PL diinkubasi 10 hari sebelum tanam

L4I20 : biomasa PL diinkubasi 20 hari sebelum tanam

L4I30 : biomasa PL diinkubasi 30 hari sebelum tanam

Keseluruhan perlakuan (13 unit percobaan) disusun secara acak dengan tiga kali

ulangan dengan tiga kali pengamatan yang dilakukan secara destruktif, sehingga

secara keseluruhan disiapkan 117 polibag.

4.3.3.3 Pelaksanaan percobaan

Tanah untuk percobaan pot ini diambil dari lokasi penelitian untuk tahap

berikutnya. Jenis tanah adalah Mediteran (Dudal-Soepraptohardjo, 1957). Contoh

tanah diambil secara acak pada lapisan permukaan 0-20 cm, contoh tanah

dicampur dan dikering anginkan (kering udara).

Biomasa LPT sebagai sumber bahan organik dikumpulkan dari lapangan.

Biomasa LPT di potong-potong dan di kering anginkan, selanjutnya dioven pada

suhu 70oC selama 24 jam untuk mengkonstankan kadar airnya. Masing-masing

biomasa kering oven ditimbang sebanyak 0,5% dari berat tanah kering udara,

kemudian dicampur dengan media tanah yang telah di persiapkan (dosis: 50 g

Page 75: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

52

biomasa 10 kg-1

tanah), dimasukan dalam karung dan ditempatkan di bawah

naungan dan ditutup dengan terpal agar terhindar dari cahaya langsung,

selanjutnya diinkubasikan sesuai dengan perlakuan lama inkubasi (30, 20 dan 10

hari sebelum tanaman jagung). Setelah masa inkubasi selesai, tanah hasil inkubasi

ditimbang masing-masing 10 kg, dimasukan dalam polibag, dan ditempatkan di

lapang secara acak. Selanjutnya masing-masing polibag ditanami benih jagung

komposit (varietas Lamuru) sebanyak dua biji per lubang. Setelah benih jagung

tumbuh, pada umur 7 hari diseleksi dan dipelihara satu tanaman tiap pot (polibag).

Pemberian air dilakukan setiap hari yaitu pada soreh hari, rata-rata sebesar 800 ml

polibag-1

hingga tanaman mencapai umur vegetatif maksimum (50 hari). Kadar air

tanah untuk masing-masing polibag dipertahankan pada kondisi kapasitas lapang,

dilakukan dengan cara penimbangan.

4.3.3.4 Pengamatan

Pengamatan/pengukuran dilakukan pada saat tanaman berumur 15, 30, dan 45 hari

setelah tanam (hst). Metode analisis tanah dan tanaman dilakukan sesuai

penutujuk Sulaeman et al. (2005). Variabel yang diamati adalah:

1. N total tanah (mg kg-1

), dengan methode Kjeldahl

2. N tersedia (mg kg.1

), dengan methode Kjeldahl

3. N jaringan tanaman (mg kg-1

); metode Kjeldahl.

4. Serapan hara N oleh tanaman jagung (mg kg-1

); Serapan hara ditetapkan

dengan mengalikan konsentrasi hara N jaringan dengan bobot brangkasan

kering bagian atas tanaman.

5. Bobot kering total tanaman (g).

Page 76: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

53

4.3.4 Percobaan 3: Kajian potensi LPT sebagai tanaman bera dalam

meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan

kering

4.3.4.1 Tujuan percobaan

Percobaan ini bertujuan untuk mengkaji potensi berbagai LPT dalam

meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya

pertanian di lahan kering, dan untuk menjawab hipotesis penelitian ke-3.

4.3.4.2 Rancangan percobaan

Penelitian ini merupakan percobaan lapang sebagai dasar untuk percobaan

selanjutnya. Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap

(RAKL), dengan satu faktor pemberaan dengan berbagai jenis legum penutup

tanah sebagai perlakuan. Jenis tanaman legum penutup tanah yang dicoba

senagai tanaman bera (L), adalah :

L0 : Lahan dibiarkan terbuka (tanpa LPT), praktek petani

L1 : Lahan diberakan dengan CP

L2 : Lahan diberakan dengan MP

L3 : Lahan diberakan dengan CU

L4 : Lahan diberakan dengan PL

Lima perlakuan di susun secara acak dengan empat kali ulangan untuk masing-

masing perlakuan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan (denah percobaan hasil

pengacakan, Lampiran 3 dan 4).

4.3.4.3 Pelaksanaan percobaan

Lahan percobaan dibagi menjadi empat blok sebagai ulangan. Pemblokan

didasarkan atas arah kemiringan lereng (kesuburan tanah). Masing-masing blok di

bagi dalam 5 petak sesuai jumlah perlakukan jenis legum penutup tanah. Ukuran

Page 77: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

54

masing-masing petak adalah 18 m x 4 m. Jarak antara blok 1,5 m jarak antar petak

perlakuan 1 m. Petakan percobaan dibersihkan dari gulma selanjutnya dilakukan

penanaman benih legum secara larikan dengan jarak antar larikan/baris 30 cm dan

dalam barisan 20 cm. Penanaman dilakukan pada akhir musim hujan dan di

pelihara selama masa istirahat lahan (bera).

4.3.4.4 Pengamatan

Analisis potensi legum penutup tanah:

1. Prosentase penutupan tanah (area cover): Pengamatan dilakukan pada saat

tanaman berumur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam. Prosentase penutupan tanah

dilakukan dengan cara menghitung seberapa besar kanopi tanaman tersebut

mampu menutupi permukaan tanah setiap bulan. Prosentase penutupan tanah

dilakukan dengan metode kuadrat, dengan persamaan:

PPT = A/B x 100% ..................................................................................... (5)

dimana: PPT: prosentase penutupan tanah (%)

A : jumlah lubang kawat yang tertutupi oleh tajuk LPT

B : jumlah lubang kawat yang belum tertutupi oleh tajuk LPT

2. Produksi biomasa LPT (dihitung dalam bobot kering, b.k. t ha-1

),

Pengukuran dilakukan secara acak dalam petak percobaan dengan metode

kuadrat (1m x 1 m). Total berat kering biomasa dihitung dengan rumus:

BKB = (100 - % Ka)/100 x BBs................................................................... (6)

Dimana: BKB : bobot kering biomasa total (t ha-1

)

%Ka : kadar air biomasa (%)

BBs : total berat biomasa segar (t ha-1

)

Page 78: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

55

3. Serapan karbon tanaman (t ha-1

), dihitung dengan persamaan (Hairiah dan

Murdiyarso, 2007), sebagai berikut:

Serapan karbon (t ha-1

) = 0,5 x bobot kering biomasa (t ha-1

) .....................(7)

4. Simpanan C-organik tanah.

Pada percobaan ini pengamatan dilakukan pada akhir masa bera dengan

legum penutup tanah. Simpanan karbon organik dihitung dari kadar C-

organik tanah (Komatsuzaki dan Syaib, 2010), dengan persamaan sebagai

berikut:

SCS (t ha-1

) = BD x SOC x DP x 100 ...........................................................(8)

dimana:

SCS : soil carbon stock (t ha-1

)

BD : bulk density (g cm-3

)

SOC: soil organic carbon (%)

DP : kedalaman solum tanah (m)

5. Kadar nitrogen (N) jaringan tanaman LPT (%), dianalisis dengan metode

Kjeldahl (Sulaeman et al. 2005)

6. Nitrogen (N) yang tertambat oleh legum penutup tanah (kg ha-1

); ditetapkan

dengan mengalikan konsentrasi N jaringan dengan bobot kering tanaman

LPT.

Analisis kualitas tanah, meliputi:

1. Sifat fisik tanah:

1.1. Kadar air tanah (%), metode gravimetri

Pengukuran kadar air tanah dilakukan secara reguler setiap bulan mulai saat

tanaman legum penutup, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 bulan. Kadar air tanah

diketahui dari perbedaan bobot contoh tanah sebelum dan sesudah

Page 79: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

56

dikeringkan, dihitung dengan persamaan (Sulaeman et al., 2005), dengan

persamaan sebagai berikut:

.................................................................................. (9)

Dimana: U : kadar air (%),

Ba: berat tanah awal ,

BK: berat tanah kering mutlak (1050C)

1.2. Suhu tanah (0C), Pengamatan dilakukan secara reguler bersamaan dengan

pengukuran kadar air tanah

1.3. Bobot isi tanah (g cm-3

), metode gravimetri

Sampel tanah diambil pada masing-masing petak percobaan pada kedalaman

10-15 cm dari permukaan tanah, dalam keadaan tidak terganggu (utuh)

dengan ring sampler (metode ring), dan dibawa ke laboratorium untuk

dianalisis bobot isi. Pengukuran bobot isi tanah dilakukan pada akhir

percobaan. Persamaan bobot isi tanah adalah:

........................................................................................(10)

dimana: pb: bobot isi (bulk density) dalam g cm-3

,

Bp: berat tanah kering mutlak,

vt: volume tanah dalam ring

1.4. Porositas tanah (%); Total porositas tanah (soil porosity) dihitung dengan

persamaan:

(

) .................................................(11)

dimana: Bv : berat volume tanah (g cm-3

)

Bj : berat jenis (particel density)

Page 80: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

57

2. Sifat kimia tanah

Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada akhir percobaan. Parameter

sifat kimia tanah yang diukur meliputi: pH (H2O 1:1 ) larutan tanah, metode

potensiometer, C-organik (Walkey & Black), N total (matode Kjeldahl), C/N

rasio, P tersedia (Bray II), K tersedia (ekstrak HCL dan dibaca dengan

Flamephotometer), Ca dan Mg (titrasi) dan KTK (NH4OAc 1 N pH 7)

(Sulaeman et al., 2005)

3. Sifat biologi tanah: Sifat biologi tanah diamati pada akhir percobaan. Sifat

biologi yang diamati adalah: (1) total koloni mikroba (plate count), (2)

inveksi mikorisa (metode pewarnaan).

4.3.5 Percobaan 4: Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap

simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan

kering

4.3.5.1 Tujuan percobaan

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan biomasa

LPT in situ pasca pemberaan terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan

hasil jagung di lahan kering. Percobaan ini juga ditujukan untuk menjawab

hipotesis penelitian ke-4 dan 5 dari kerangka berpikir.

4.3.5.2 Rancangan percobaan

Percobaan ke-4 (empat) ini merupakan lanjutan dari percobaan ke-3

(tiga) pasca pemberaan dengan LPT. Percobaan ini menggunakan pola

Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design), dengan dua faktor yaitu:

Page 81: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

58

Faktor petak utama adalah jenis biomasa LPT yang merupakan lahan bekas LPT

dengan biomasa insitu (L):

L0 : lahan tanpa legum penutup tanah

L1 : Lahan bekas CP, biomasanya dikembalikan

L2 : Lahan bekas MP, biomasanya dikembalikan

L3 : Lahan bekas CU, biomasanya dikembalikan

L4 : Lahan bekas PL, biomasanya dikembalikan

Faktor anak petak, ditempatkan masa inkubasi (pembenaman) legum penutup

tanah (I), dengan 3 taraf, yaitu:

I10 : biomasa diinkubasi 10 hari sebelum penanaman jagung

I20 : biomasa diinkubasi 20 hari sebelum penanaman jagung

I30 : biomasa diinkubasi 30 hari sebelum penanaman jagung

Kombinasi perlakuan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT), dengan

tiga (tiga) kelompok sebagai ulangan untuk masing-masing perlakuan, sehingga

secara keseluruhan terdapat 45 unit percobaan (denah percobaan hasil

pengacakan, Lampiran 5.a dan 5.b).

4.3.5.3 Pelaksanaan percobaan

Percobaan ke empat ini menggunakan lahan bekas percobaan ketiga yang

terdiri dari 5 (lima) perlakuan jenis biomasa legum penutup tanah (L0, L1, L2, L3

dan L4) yang ditempatkan sebagai petak utama. Selanjutnya masing-masing

perlakuan pada petak utama ini dibagi menjadi tiga anak petak sesuai dengan

perlakuan masa inkubasi biomasa LPT (I10, I20 dan I30). Cara aplikasi perlakuan di

lapangan adalah sebagai berikut:

Page 82: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

59

a. Masing-masing petak utama (18 x 4 m2) di bagi menjadi tiga anak petak

sesuai jumlah perlakuan masa inkubasi. Ukuran anak petak adalah 5 x 4 m2.

Jarak antar anak petak adalah 1 m. LPT pada masing-masing anak petak

dipanen dengan cara mencabut. Biomasa LPT di potong-potong sepanjang 3-

5 cm, ditebarkan kembali secara merata di atas masing-masing petak.

Selanjutnya biomasa dibenamkan dalam tanah bersamaan dengan

pengolahan tanah.

b. Penerapan perlakuan pada anak petak; agar waktu tanam jagung serempak

(bersamaan), maka penerapan perlakuan inkubasi pertama dilakukan pada

plot/petak yang mendapat perlakuan I30, setelah 10 hari kemudian perlakuan

I20 dan 10 hari kemudian perlakuan I10, pada saat bersamaan dilakukan

penanaman jagung pada seluruh anak petak.

c. Setelah penerapan perlakuan masa inkubasi (30, 20, dan 10 hari), masing-

masing anak petak di tanami benih jagung. Penanaman dilakukan secara tugal

dengan jarak antar baris 80 cm dan dalam baris 40 (80 x 40 cm). Jumlah

lubang tanam tiap anak petak yang berukuran 5 x 4 m2

adalah 60 lubang

tanam (31.250 lubang tanam ha-1

).

d. Setelah umur tanaman jagung 2 minggu dilakukan penjarangan dan dibiarkan

2 tanaman untuk setiap lubang tanam, sehingga populasi tanaman tiap anak

petak adalah 120 tanaman (62.500 tanaman ha-1

). Selanjutnya tanaman

jagung dipelihara sampai panen.

Page 83: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

60

4.3.5.4 Pengamatan

Variabel yang diamati dalam penelitian keempat ini terdiri dari:

1. Simpanan C-organik tanah: Pengamatan terhadap simpanan C-organik

(Komatsuzaki dan Syaib, 2010) dilakukan pada akhir percobaan (saat panen

jagung), prinsip pengukuran sama seperti pada pengamatan pada percobaan

terdahulu.

2. Kualitas tanah, yang diamati adalah:

2.1. Sifat fisik tanah: Pengamatan dilakukan pada akhir percobaan (saat panen

jagung). Variabel sifat fisik yang yang diamati meliputi: (1) bobot isi

tanah (g cm-3

), dan (2) Porositas tanah (%). Cara perhitungan sama

seperti percobaan terdahulu.

2.2. Sifat kimia tanah: Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada akhir

percobaan (saat panen jagung). Parameter sifat kimia tanah yang diukur,

meliputi: pH H2O, N total, P-tersedia, K tersedia, Ca, Mg dan KTK.

Prosedur pengambilan sampel dan metode analisis sama seperti

percobaan 3.

2.3. Sifat biologi tanah: Sifat biologi diamati pada akhir percobaan, yaitu (1)

total koloni mikroba (metode plate count), (2) respirasi tanah (Metode

titrasi, Widati, 2007)

Page 84: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

61

3. Komponen hasil jagung: Komponen hasil tanaman jagung yang diamati dalam

penelitian ini mencakup:

3.1. panjang tongkol (cm); pengamatan panjang tongkol dilakukan pada plot

ubinan, dengan cara mengukur panjang tongkol dari 5 tongkol jagung

yang diambil secara acak pada plot ubinan.

3.2. diameter tongkol (cm); pengamatan diameter tongkol dilakukan pada plot

ubinan, dengan cara mengukur diameter tongkol dari 5 tongkol jagung

yang diambil secara acak pada bagian tengah dan kedua bagian ujung,

dengan jangka sorong dan hasilnya dirata-ratakan.

3.3. bobot biji per tongkol (g tongkol-1

), pengukuran dilakukan pada 5 tongkol

sampel dan ditimbang untuk mendapatkan bobot rata-rata pertongkol

3.4. bobot 100 biji (g 100 biji-1

); yaitu dengan menimbang 100 biji pada

tongkol sampel.

4. Hasil jagung pipilan kering (t ha-1

)

Pengukuran hasil biji pipilan kering (k.a.15%) tiap petak dilakukan pada

petak ubinan. Hasil biji pipilan kering (t ha-1

) dihitung dengan persamaan

(Arifuddin dan Yasin, 2002), sebagai berikut

,*

+ *

+- ................. (12)

dimana:

LP : luas petak ubinan 2 m x 2 m

BTK : berat tongkol kupasan per plot ubinan (kg)

R=0,8 : konstanta rendemen biji

k.a. : kadar air biji saat panen (%)

Page 85: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

62

5. Bobot kering tanaman (brangkasan) jagung (t ha-1

); pengukuran dilakukan

pada petak ubinan dengan menimbang brangkasan tanaman bagian atas.

6. Bobot kering gulma (g m-2

); diamati dua kali yaitu pada penyiangan I (20 hst)

dan penyiangan ke II (40 hst). Pengamatan dilakukan pada setiap petak ubinan.

4.4 Analisis Data Penelitian

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam

(Anova) sesuai dengan model dari rancangan yang digunakan untuk masing-

masing percobaan. Kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada

taraf uji 5% untuk membandingkan rata-rata antar perlakuan yang dicoba (Gomez

dan Gomez, 2007). Untuk mengetahui hubungan diantara parameter-parameter

pengamatan dilakukan dengan analisa korelasi dan regresi. Pengolahan data

dilakukan dengan program statistik Costat.

Page 86: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

63

V HASIL PENELITIAN

Bab ini menyampaikan uraian dari hasil penelitian yang telah diperoleh

dalam beberapa rangkaian percobaan. Bagian pertama, menguraikan hasil kajian

tentang kualitas dari legum penutup tanah (LPT) tropis yang merupakan materi

utama dalam penelitian ini. Bagian kedua, menyajikan hasil percobaan litter bag

tentang pengelolaan biomasa LPT yang ditujukan untuk mengetahui laju

dekomposisi dan pelepasan hara selama masa dekomposisi. Bagian ke tiga,

menampilkan hasil percobaan pot tentang pengaruh masa inkubasi biomasa LPT

yang ditujukan untuk mengetahui tingkat sinkronisasi hara pada tanaman jagung

selama fase vegetatif. Selanjutnya bagian ke empat dan ke lima, menampilkan

hasil percobaan di lapangan yang menguraikan secara mendalam tentang potensi

dari LPT sebagai tanaman bera dan cara pengelolaan biomasa in situ pasca bera

dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di

lahan kering. Bagian terakhir dari bab hasil penelitian ini akan menguraikan

Page 87: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

64

hubungan antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah dan hasil jagung.

Secara lengkap uraian hasil penelitian adalah sebagai berikut:

5.1 Kualitas Biomasa LPT

Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar air berbeda antar jenis LPT.

Kadar air biomasa tertinggi ditunjukkan pada jenis C. usaramoensis L. (CU)

sebesar 72,06% diikuti oleh P. lunatus L. (PL) sebesar 70,35%, M. pruriens L.

(MP) 70,28% dan yang paling rendah adalah C. pubescens Benth (CP) dengan

kadar air sebesar 56,43%.

Hasil analisis terhadap kualitas biomasa LPT menunjukkan adanya

perbedaan nilai kandungan sifat kimia antar jenis LPT (Tabel 5.1). Kadar C total

yang paling tinggi ditunjukkan berturut-turut pada jenis MP, diikuti CP, PL dan

CU. Demikian pula dengan kadar N, menunjukkan jenis CU dan PL memiliki

kadar N yang lebih tinggi, diikuti oleh MP dan CP. Sementara kadar P tertinggi

ditunjukkan pada jenis PL diikuti CU, MP dan CP yang lebih rendah.

Tabel 5.1

Rata-rata kualitas kimia dari empat jenis LPT tropis yang dicoba di lahan kering

Komposisi sifat kimia

biomasa LPT*)

Jenis LPT

CP MP CU PL

a. Kadar air biomasa (%) 56,43 70,28 72,06 70,35

b. N total (%) 2,14 3,21 4,19 3,48

c. P total (%) 0,12 0,15 0,25 0,37

d. C total (%) 43,28 46,06 39,22 42,72

e. C/N 20,22 14,35 9,36 10,73

f. C/P 360,67 307,94 156,88 115,46

g. K (%) 0,96 0,98 0,39 1,37

h. Ca (%) 2,67 2,46 3,58 3,56

Page 88: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

65

i. Mg (%) 0,11 0,14 0,03 0,42

j. Lignin (%) 17,64 11,52 9,64 11,36

k. Polifenol (%) 10,32 7,86 3,76 4,01

*) Hasil analisis laboratorium, disajikan pada Lampiran 6.

Selain kadar C, N dan P jaringan LPT, kualitas biomasa LPT juga

ditentukan oleh nisbah C/N, nisbah C/P, lignin dan polifenol yang merupakan

indikator kualitas yang menentukan kecepatan dekomposisi biomasa dan

mineralisasi hara (Tabel 5.1). Nisbah C/N dan C/P yang diukur pada penelitian

ini, menunjukkan jenis CU dan PL memiliki nisbah C/N dan C/P yang lebih

rendah dibanding jenis MP dan CP (Tabel 5.1).

Kandungan lignin yang paling rendah ditunjukkan pada jenis CU diikuti

kandungan lignin pada jenis PL, MP dan CP. Sementara kandungan polifenol

yang dianalisis dalam penelitian ini, menunjukkan jenis LPT CU dan PL

menampilkan kandungan polifenol yang lebih rendah dibanding kandungan

polifenol pada jenis MP dan CP. Selanjutnya kadar K, Ca dan Mg juga

memperlihatkan perbedaan kandungan antara jenis LPT. Kadar K, Ca dan Mg

yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis PL dan diikuti oleh jenis lainnya (Tabel

5.1). Kualitas kimia LPT yang diuraikan di atas merupakan indikator penting dan

penentu dari laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT.

5.2 Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT terhadap Laju Dekomposisi dan

Besarnya Pelepasan Hara

5.2.1 Kadar air biomasa LPT

Page 89: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

66

Hasil analisis ragam terhadap kadar air biomasa LPT selama masa

dekomposisi menunjukkan tidak terjadi interaksi yang nyata (p>0,01), namun

terhadap masing-masing faktor tunggal menunjukkan pengaruh yang sangat nyata

(p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 7). Rata-rata kadar air biomasa

dalam litter bag selama masa dekomposisi disajikan pada Tabel 5.2.

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kadar air biomasa berbeda antara

jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag. Biomasa CU

dan PL menunjukkan kadar air rata-rata yang lebih tinggi selama masa

dekomposisi (10-40 hari) dibanding dengan biomasa MP dan CP.

Tabel 5.2

Rata-rata kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi dalam litter bag pada

masing-masing faktor tunggal

Perlakuan Faktor Tunggal Kadar air biomasa (%)

10 hari 20 hari 30 hari 40 hari

Jenis Biomasa LPT:

Biomasa CP 13,99c 15,38

b 19,80

c 22,76

b

Biomasa MP 15,14bc

16,15b 21,90

b 23,34

b

Bimassa CU 18,19a 20,64

a 26,83

a 27,94

a

Biomasa PL 17,32ab

19,66a 26,38

a 26,88

a

Metode aplikasi biomasa :

Di atas tanah 12,35b 13,76

b 20,11

b 20,86

b

Dibenamkan 19,97a 22,15

a 27,34

a 29,60

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Kadar air yang dicapai pada biomasa CU selama masa dekomposisi

meningkat sebesar 67,79% (18,19% pada awal pengamatan menjadi 27,94% di

akhir pengamatan) dan tidak berbeda nyata dengan rata-rata kadar air pada

Page 90: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

67

biomasa PL dengan peningkatan sebesar 64,43% (dari kadar air 17,32% menjadi

26,88% pada akhir pengamatan). Biomasa MP dan CP memperlihatkan kadar air

biomasa yang lebih rendah selama masa dekomposisi (Tabel 5.2).

Metode aplikasi biomasa secara tunggal juga memberikan pengaruh yang

nyata terhadap tingkat kadar air biomasa. Metode pembenaman, secara nyata

meningkatkan kadar air biomasa yang lebih tinggi mulai hari ke-10 (19,97%)

sampai hari ke-40 (29,60%). Sebaliknya kondisi ini berbeda dengan metode

aplikasi biomasa di atas tanah yang menunjukkan tingkat kadar air biomasa yang

lebih rendah selama masa dekomposisi, yaitu antara 12,35-20,86% (Tabel 5.2).

5.2.2 Kehilangan berat biomasa LPT

Hasil pengukuran kehilangan berat biomasa selama masa dekomposisi

menunjukkan bahwa jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter

bag berinteraksi secara nyata (p<0,01) terhadap kehilangan berat biomasa

(Lampiran 8). Rata-rata kehilangan berat dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi disajikan pada Gambar 5.1.

Page 91: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

68

Prosentase kehilangan berat biomasa tertinggi ditunjukkan pada semua

jenis biomasa yang diaplikasikan dengan cara pembenaman di banding dengan

biomasa yang diaplikasikan di atas tanah (Gambar 5.1).

Metode pembenaman biomasa CU dan PL menunjukkan kehilangan berat

biomasa yang lebih tinggi dan tidak berbeda, sejak hari ke-10 (masing-masing

10,47% dan 9,42%) dan kehilangan tersebut meningkat sampai hari ke-40

(masing-masing 93,63% dan 91,07%) dari bobot awal (100 g). Berbeda dengan

biomasa MP dan CP pada metode aplikasi yang sama menunjukkan kehilangan

berat yang lebih rendah dari CU dan PL (masing-masing sebesar 81,76% dan

61,08%).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

10 20 30 40

c f

d

e

c

e

d

e

bc

d

c

d

c

de

c

de

bc

c

c

c

b

b

b

b

a

a

a

a

a

a

a

a

CP-diatas tanah MP-diatas tanah CU-diatas tanah PL-diatas tanah

CP-dibenam MP-dibenam CU-dibenam PL-dibenam

Lama dekomposisi (hari)

Keh

ilan

gan

ber

at (

%)

Keterangan: Histogram dengan notasi yang sama pada masing-masing masa dekomposisi adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Gambar 5.1

Histogram hasil analisis rata-rata kehilangan berat biomasa LPT (%)

pada pengaruh interaksi antara jenis biomasa dan metode aplikasi

biomasa LPT dalam litter bag

Page 92: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

69

Metode aplikasi biomasa LPT di atas tanah, menunjukkan kehilangan

berat sampai pada akhir pengamatan (40 hari) lebih rendah, yaitu masing-masing

CU (48,42%), PL (44,18%), MP (41,88%) dan CP (39,07%) dari berat awal

dibanding aplikasi pembenaman (Tabel 5.2).

5.2.3 Pelepasan hara dari biomasa LPT

Hasil pengukuran pelepasan hara dan analisis ragam, menunjukkan jenis

biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag berinteraksi secara

nyata (p<0,01) terhadap besarnya pelepasan hara selama periode dekomposisi

(Lampiran 9.a-9.e). Parameter kadar hara yang diamati dalam penelitian ini adalah

C, N, P, K dan Ca. Secara umum metode pembenaman biomasa LPT melepaskan

hara (C, N, P, K dan Ca) lebih besar dan lebih cepat dibanding dengan metode

aplikasi di atas tanah (Tabel 5.3).

Tabel 5.3

Rata-rata pelepasan hara selama masa dekomposisi pada pengaruh interaksi

antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag

Hari ke

Perlakuan jenis biomasa LPT

Besarnya pelepasan hara C-Org N P K Ca

.................................. % ...................................

10

CP-di atas tanah 2,30c 1,92

c 1,46

c 2,50

d 2,20

e

MP-di atas tanah 3,20c 2,90

c 1,92

c 3,42

d 3,91

e

CU-di atas tanah 5,85c 6,84

bc 7,95

bc 6,6

3cd 5,35

-de

PL-di atas tanah 5,25c 6,22

bc 6,66

bc 4,49

d 8,32

cd

CP-dibenam 7,05c 5,73

bc 11,94

ab 6,96

cd 8,97

c

MP-dibenam 12,36b 10,60

b 14,60

ab 10,88

bc 15,50

b

CU-dibenam 18,87a 20,53

a 20,36

a 17,65

a 22,42

a

PL-dibenam 16,73ab

21,10a 19,55

a 14,82

ab 20,05

a

Page 93: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

70

20

CP-di atas tanah 8,88e 10,97

e 13,67

e 8,96

e 7,46

e

MP-di atas tanah 10,94e 11,05

e 19,85

de 11,29

de 11,28

e

CU-di atas tanah 16,31de

17,49d 22,96

d 16,93

d 17,46

d

PL-di atas tanah 18,88cd

16,84d 21,34

d 14,05

de 16,17

d

CP-dibenam 25,25bc

30,00c 34,44

c 24,22

c 27,95

c

MP-dibenam 32,10b 35,66

b 42,92

b 34,26

b 45,65

b

CU-dibenam 57,55a 64,10

a 64,50

a 58,81

a 65,57

a

PL-dibenam 58,04a 60,21

a 64,40

a 56,47

a 63,41

a

30

CP-di atas tanah 24,32e 30,6-

d 39,39

d 29,05f 28,79

e

MP-di atas tanah 26,88e 32,61

d 47,91

d 38,70e 26,46

e

CU-di atas tanah 36,23d 41,91

c 52,31

cd 40,71e 36,45

d

PL-di atas tanah 39,68d 39,97

c 48,63

d 38,95e 35,28

d

CP-dibenam 51,87c 66,11

b 64,57

c 52,91d 54,23

c

MP-dibenam 62,46b 67,79

b 78,92

b 71,69c 75,41

b

CU-dibenam 89,80a 91,00

a 95,09

a 91,54a 90,95

a

PL-dibenam 87,45a 89,84

a 90,69

ab 84,10b 87,33

a

40

CP-di atas tanah 44,00e 48,81

d 50,20

e 46,52

e 45,94

f

MP-di atas tanah 47,09e 50,48

d 61,90

d 55,74

d 45,62f

CU-di atas tanah 58,14d 60,51

c 66,02

d 61,37

c 57,01

d

PL-di atas tanah 56,19d 59,50

c 61,06

d 58,69

cd 52,69

e

CP-dibenam 68,82c 81,58

b 77,97

c 63,99

c 71,12

c

MP-dibenam 88,62b 93,25

a 84,66

bc 77,25

b 89,82

b

CU-dibenam 97,07a 97,44

a 98,23

a 97,38

a 97,77

a

PL-dibenam 95,51a 94,95

a 95,94

ab 98,40

a 95,85

a

Keterangan: Angka yang diikutii huruf yang sama pada kolom dan hari yang sama adalah tidak

berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Hasil analisis sifat kimia biomasa awal terhadap unsur C, N, P, K dan Ca

menunjukkan bahwa unsur C (karbon) merupakan unsur terbesar penyusun

biomasa tanaman di banding unsur lainnya. Jumlah pelepasan unsur C pada

percobaan ini, menunjukkan tren pelepasan yang berbeda antar biomasa LPT dan

metode aplikasi.

Biomasa CU dan PL yang diaplikasikan dengan cara pembenaman dapat

melepaskan C masing-masing sebesar 18,87% dan 16,73% pada hari ke-10 dan

meningkat menjadi masing-masing 97,07% dan 95,51% pada hari ke-40 (Tabel

5.3). Sebaliknya biomasa MP dan CP pada bentuk aplikasi yang sama

Page 94: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

71

memperlihatkan jumlah pelepasan C yang relatif rendah yaitu baru mencapai

masing-masing 88,62% dan 68,82% pada hari ke-40.

Metode aplikasi biomasa LPT di atas tanah sampai akhir pengamatan (hari

ke-40) menunjukkan pelepasan C yang rendah, yaitu untuk biomasa CU dan PL

masing-masing baru mencapai 58,14% dan 56,19%, sedangkan biomasa MP dan

CP masing-masing sebesar 47,09% dan 44% dari berat awal (Tabel 5.3).

Selain pelepasan C, besarnya pelepasan hara N, P, K dan Ca dari biomasa

LPT menunjukkan kecenderungan pelepasan yang berbeda diantara jenis biomasa

dan metode aplikasi serta mengalami peningkatan sampai periode ke-40 hari

(Tabel 5.3). Metode aplikasi biomasa dengan pembenaman menunjukkan bahwa

setelah 20 hari pembenaman, rata-rata besarnya hara (N, P, K dan Ca) yang

dilepaskan dari biomasa CU dan PL sudah mencapai waktu paruh (t50) yang

berarti sudah 50% hara yang dilepas oleh masing-masing biomasa, yaitu: N

(64,1% dan 60,21%), P (64,50% dan 64,40%), K (58,815 dan 56,47%), Ca

(65,57% dan 63,41%) dari konsentrasi awal saat pengambilan sampel. Sementara

biomasa MP dan CP waktu paruh (t50) baru tercapai setelah 30 hari pada bentuk

aplikasi yang sama. Sebaliknya besarnya pelepasan hara tersebut berbeda untuk

aplikasi biomasa di atas tanah yang menunjukkan nilai besarnya pelepasan hara

sangat rendah dan berjalan sangat lambat, dimana waktu paruh (t50) baru tercapai

setelah periode 40 hari dekomposisi (Tabel 5.3).

5.2.4 Laju dekomposisi biomasa LPT

Laju dekomposisi menggambarkan kecepatan pelapukan biomasa/serasah

tanaman dalam satu periode waktu tertentu. Penelitian-penelitian tentang

Page 95: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

72

dekomposisi, konstanta laju dekomposisi (k) umumnya dipakai untuk

membandingkan kecepatan/laju dekomposisi biomasa berbagai species tanaman

atau antar berbagai kondisi lingkungan per tahun. Hasil analisis ragam pada

percobaan ini menunjukkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa

memberikan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap konstanta

laju dekomposisi (k) biomasa LPT dalam litter bag (Lampiran 10). Nilai rata-rata

konstanta laju dekomposisi (k) dari empat jenis biomasa LPT dan bentuk aplikasi

biomasa selama periode dekomposisi disajikan pada Gambar 5.2.

Nilai konstanta laju dekomposisi untuk masing-masing jenis biomasa LPT

pada percobaan ini, dianalisis mengikuti persamaan eksponensial,

. Hasil analisis menunjukkan bahwa konstanta laju dekomposisi dari

masing-masing jenis biomasa LPT yang dicobakan berbeda. Secara umum, jenis

biomasa LPT yang diaplikasikan dengan cara pembenaman, memperlihatkan nilai

konstanta laju dekomposisi (k) yang relatif lebih tinggi, yaitu berkisar antara 0,15-

0,27 di atas tanah, dibandingkan dengan nilai konstanta (k) pada jenis biomassa

LPT yang diaplikasikan di atas tanah, yang hanya mencapai 0,07-0,14 (Gambar

5.2).

Page 96: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

73

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa konstanta laju dekomposisi (k) selama

periode waktu t (40 hari), yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis biomasa CU

yang diaplikasikan dengan cara pembenaman, diikuti jenis PL pada aplikasi yang

sama (dibenamkan). Laju dekomposisi yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis

CU yang dibenam, dengan mengikuti persamaan: YCU-1 (R2: 0,90).

Persamaan ini menunjukkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi biomasa CU

adalah sebesar 0,27; sedangkan laju dekomposisi per waktu sebesar 2,34 g hari-1

atau 0,26 g tahun-1

. Selanjutnya, diikuti jenis biomasa PL yang dibenamkan,

dengan model persamaan eksponensial: YPL-1 (R2: 0,92). Model

persamaan ini menunjukkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi biomasa PL

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

f

e e e d

c

a

b

Ko

nst

an

ta

laju

dek

om

po

sis

bio

ma

sa L

PT

(k

)

Jenis biomasa LPT dengan metode aplikasi

Keterangan: Histogram dengan notasi yang sama pada masing-masing jenis biomasa

adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Gambar 5.2

Histogram hasil analisis rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) pada

masing-masing jenis biomasa LPT

YCP-0 e (R2:,99)

YMP-0 e 3 (R2:0,99)

YCU-0 7 e 3 (R2:0,94

YPL-0 5 5 e (R2:0,99)

YCP-1 9 e (R2:0,99)

YMP-1 e (R2:0,94)

YCU-1 e (R2:0,90)

YPL-1 e (R2:0,92)

Page 97: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

74

yang dibenamkan adalah sebesar 0,24 dengan laju dekomposisi per waktu sebesar

2,28 g hari-1

atau 0,25 g tahun-1

,

Sementara jenis MP yang dibenamkan juga mempelihatkan konstanta laju

dekomposisi sebesar 0,20 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,04 g hari-1

atau

0,22 g tahun-1

) , dengan model persamaan: YMP-1 (R2: 0,94).

Berbeda dengan biomassa CP yang dibenam memperlihatkan konstanta laju

dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,15 (laju dekomposisi per waktu sebesar

1,53 g hari-1

atau 0,17 g tahun-1

), dengan model persamaan, YCP-1 9

(R2: 0,89). Nilai konstanta laju dekomposisi (k) yang tinggi menunjukkan bahwa

laju dekomposisi biomasa per waktu berjalan lebih capat.

Hasil uji korelasi untuk melihat hubungan antara konstanta laju

dekomposisi dengan kualitas sifat kimia biomasa, menunjukkan terdapat korelasi

yang sangat nyata. Selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk menduga keeratan

hubungan, menunjukkan terdapat tiga variabel kualitas sifat kimia yang

mempunyai pengaruh yang kuat terhadap laju dekomposisi, yaitu kadar N

biomasa, nisbah C/N dan kadar polifenol biomasa LPT, dengan persamaan regresi

adalah, Yk = 0,055 + 0,034N + 0,003C/N – 0,005Polifenol (R2= 0,98).

5.2.5 Total koloni mikroba tanah setelah dekomposisi

Hasil analisis ragam antara jenis biomasa dan metode aplikasi biomasa

LPT dalam litter bag menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata

(p<0,01) terhadap total koloni mikroba tanah setelah 40 hari masa dekomposisi

(Lampiran 11). Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari

masa dekomposisi, disajikan pada Tabel 5.4.

Page 98: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

75

Tebel 5.4

Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari dekomposisi

pada pengaruh interaksi antara jenis dan metode aplikasi biomasa dalam

litter bag

Jenis biomasa LPT: Metode aplikasi biomasa

Di atas tanah Dibenamkan

.............. cfu ................

Biomasa CP 7,67x104 f

16,67x105 c

Biomasa MP 11x104 e

22x106 b

Biomasa CU 25,33x104 d

28x106 a

Biomasa PL 24,67x104 d

24x106 ab

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak

berganda Duncan taraf 5%

Rata-rata total koloni mikroba tanah berbeda antara jenis biomasa LPT

dengan metode aplikasi biomasa. Biomasa CU dan PL yang dibenamkan

memperlihatkan total koloni rata-rata lebih tinggi, masing-masing sebesar 28x106

cfu dan 24x106 cfu, diikuti oleh biomasa MP (22x10

6) dibanding dengan

perlakuan lainnya (Tabel 5.4).

Biomasa LPT yang diaplikasikan di atas tanah menunjukkan rata-rata

jumlah koloni mikroba yang lebih rendah yaitu rata-rata berkisar antara 7,67x104-

24,67x104

cfu (Tabel 5.4).

5.3 Pengaruh Masa Inkubasi Biomasa LPT terhadap Tingkat Sinkronisasi

Hara N pada Tanaman Jagung Selama Fase Vegetatif

5.3.1 Kadar N total tanah

Hasil analisisi kadar N total tanah menunjukkan pengaruh yang sangat

nyata (p<0,01) mulai dari 15 hari setelah tanam (hst) sampai 45 hst (Lampiran

12). Rata-rata kadar N total tanah disajikan pada Gambar 5.3.

Page 99: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

76

Keterangan: - Titik dengan notasi yang sama pada umur tanaman yang sama adalah tidak

berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

- Ikb. : masa inkubasi biomasa, sebelum tanam

Gambar 5.3

Rata-rata kadar N total tanah yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung

Secara umum hasil analisis terhadap kadar N total tanah menunjukkan

masa inkubasi biomasa CU dan PL dapat melepaskan N total lebih besar

dibanding dengan MP dan CP (Gambar 5.3).

Perlakuan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari pada biomasa CU dan PL

menunjukkan terjadi peningkatan kadar N total sejak 15, 30 dan 45 hst. Kadar N

total untuk masa inkubasi 10 hari pada legum CU dan PL meningkat masing-

masing sebesar 3467 mg kg-1

menjadi 3700 mg kg-1

dan 3167 mg kg-1

menjadi

3500 mg kg-1

dibanding dengan perlakuan lainnya.

Demikian juga, perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 20

hari sebelum tanam, masing-masing mengalami peningkatan N total sebasar 2733

2000

2200

2400

2600

2800

3000

3200

3400

3600

3800

4000

0 15 30 45

Kad

ar N

to

tal

tan

ah (

mg

kg

-1)

Umur tanaman jagung (hst)

Tanpa LPT CP, ikb. 10 hari CP, ikb. 20 hariCP, ikb. 30 hari MP, ikb. 10 hari MP, ikb. 20 hariMP, ikb. 30 hari CU, ikb. 10 hari CU, ikb. 20 hariCU, ikb. 30 hari PL, ikb. 10 hari PL, ikb. 20 hariPL, ikb. 30 hari

bbbbb b

c

aaaaaa

aaaaaa

d i

b bc cd bc cd cd

a

ab

abc

bc

cd de

ef fg f ghi

fhi

hi

Page 100: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

77

mg kg-1

menjadi 3600 mg kg-1

dan 3367 mg kg-1

menjadi 3400 mg kg-1

.

Sementara masa inkubasi 30 hari pada biomasa yang sama, pada fase awal (15

hst) menunjukkan kadar N total yang lebih tinggi, yaitu (3800 mg kg-1

dan 3600

mg kg-1

), namun setelah 30 - 45 hst terlihat adanya penurunan kadar N total

masing-masing sebesar (3467 mg kg-1

dan 3300 mg kg-1

). Biomasa MP dan CP

pada semua masa inkubasi memperlihatkan kadar N total tanah yang relatif lebih

rendah (Gambar 5.3).

5.3.2 Kadar N-tersedia tanah

Hasil analisis ragam menunjukkan masa inkubasi biomasa LPT ber-

pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar N-tersedia tanah (Lampiran 13).

Secara umum masa inkubasi biomasa menunjukkan kadar N-tersedia yang lebih

tinggi dan berbeda dangan kadar N-tersedia pada kontrol (Gambar 5.4).

50

100

150

200

250

300

350

0 15 30 45

Kad

ar

N-t

erse

dia

tan

ah

(m

g.k

g-1

)

Umur tanaman jagung (hst)

Tanpa LPT CP, ikb. 10 hari CP, ikb. 20 hariCP, ikb. 30 hari MP, ikb. 10 hari MP, ikb. 20 hariMP, ikb. 30 hari CU, ikb. 10 hari CU, ikb. 20 hariCU, ikb. 30 hari PL, ikb. 10 hari PL, ikb. 20 hariPL, ikb. 30 hari

a a abb

c d e ef f g g g

a a ab abc bc c

d d d e ghe

f h

d de e

f fg g

a a ab ab bc c

h

Page 101: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

78

Keterangan: - Titik dengan notasi yang sama pada umur tanaman yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

- ikb. : masa inkubasi biomasa, sebelum tanam

Gambar 5.4 Rata-rata kadar N-tersedia tanah pada pengaruh masa inkubasi biomasa LPT

sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung dalam pot

Hasil analisis kadar N-tersedia tanah selama fase pertumbuhan jagung

terlihat bahwa masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam untuk biomasa

CU secara nyata meningkatkan kadar N-tersedia tanah sebesar 1,69 kali (menjadi

305,40 mg kg-1

pada 45 hst). Kadar N-tersedia yang tinggi dan tidak berbeda,

juga ditunjukkan oleh perlakuan masa inkubasi 10 hari pada biomasa PL yang

dapat meningkatkan kadar N-tersedia tanah sebesar 1,62 kali (297,27 mg kg-1

)

(Gambar 5.4).

Sebaliknya masa inkubasi 30 hari dan 20 hari sebelum tanam pada jenis

biomasa yang sama, menunjukkan bahwa pada 15 hst kadar N-tersedia tanah lebih

tinggi dari semua perlakuan, masing-masing sebesar (298,85 mg kg-1

, 292,22 mg

kg-1

untuk CU) dan (292,03 mg kg-1

, 295,64 mg kg-1

untuk PL), dan meningkat

pada 30 hst sebesar (300,17 mg kg-1

, 307,85 mg kg-1

) dan (296,83 mg kg-1

, 305,65

mg kg-1

).

Namun peningkatan kadar N tersedia itu bersifat fluktuatif, karena pada

akhir masa vegetatif (45 hst) kadar N-tersedia tanah justeru menurun, masing-

masing menjadi (278,56 mg kg-1

, 232,59 mg kg-1

) dan (270,69 mg kg-1

, 243,95

mg kg-1

) (Gambar 5.4). Sementara masa inkubasi yang sama pada jenis biomasa

MP dan CP menunjukkan kadar N-tersedia yang rendah (Gambar 5.4).

5.3.3 Serapan N tanaman jagung pada fase vegetatif

Page 102: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

79

Hasil percobaan pot menunjukkan bahwa perlakuan masa inkubasi

biomasa LPT berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap serapan N jagung

selama fase vegetatif mulai dari 15 hst, 30 hst sampai 45 hst (Lampiran 14).

Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan

masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan performans

tanaman yang lebih baik sejak 15 hst sampai 45 hst, walaupun pada 15 hst tidak

bebeda nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.5).

Performans tanaman ini ditunjukkan oleh serapan N tanaman jagung yang lebih

tinggi dan menunjukkan peningkatan serapan N sejak awal fase vegetatif sampai

akhir fase vegetatif (45 hst) dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum

tanam pada jenis biomasa yang sama.

Perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari

sebelum tanam nyata meningkatkan serapan N rata-rata sebesar 4,1 kali pada 30

hst dan rata-rata 2,31 kali pada 45 hst lebih tinggi dibanding masa inkubasi 30

hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama dengan rata-rata peningkatan

Tabel 5.5

Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap serapan N

tanaman jagung pada fase vegetatif

Masa inkubasi biomasa LPT,

sebelum tanam

Serapan N tanaman jagung (mg kg-1

)

15 hst 30 hst 45 hst

Tanpa biomasa LPT 39,14d 148,55

f 841,92

e

Biomasa CP, inkubasi 10 hari 45,92d 163,87

f 931,76

e

Biomasa CP, inkubasi 20 hari 49,13d 202,45

ef 1046,21

de

Biomasa CP, inkubasi 30 hari 82,90bc

250,70e 1262,60

d

Biomasa MP, inkubasi 10 hari 68,32c 380,29

d 1722,27

c

Biomasa MP, inkubasi 20 hari 80,85bc

410,39cd

1784,64c

Page 103: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

80

Biomasa MP, inkubasi 30 hari 95,48b 479,62

c 1876,23

c

Biomasa CU, inkubasi 10 hari 124,03a 786,34

a 2905,45

a

Biomasa CU, inkubasi 20 hari 125,68a 745,94

a 2696,38

a

Biomasa CU, inkubasi 30 hari 128,01a 590,55

b 2306,00

b

Biomasa PL, inkubasi 10 hari 126,58a 759,02

a 2745,06

a

Biomasa PL, inkubasi 20 hari 122,55a 746,53

a 2831,38

a

Biomasa PL, inkubasi 30 hari 121,67a 611,12

b 2406,70

b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

serapan N sebesar 3,03 kali pada 30 hst dan 1,79 kali pada 45 hst. Sementara

biomasa MP dan CP dengan masa inkubasi yang sama, rata-rata menunjukkan

serapan N tanaman yang rendah. Sebaliknya rata-rata serapan N tanaman yang

paling rendah ditunjukkan pada perlakuan kontrol (tanpa LPT) (Tabel 5.5).

5.3.4 Bobot kering total tanaman jagung

Masa inkubasi biomasa LPT menunjukkan pengaruh yang sangat nyata

(p<0,01) terhadap bobot kering tanaman jagung selama fase vegetatif (Lampiran

15). Rata-rata bobot kering tanaman jagung selama fase vegetatif disajikan pada

Tabel 5.6.

Tabel 5.6

Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap bobot kering total

tanaman jagung pada fase vegetatif

Masa inkubasi biomasa LPT,

sebelum tanam

bobot kering total tanaman (g tanaman-1

)

15 hst 30 hst 45 hst

Tanpa biomasa LPT 5,10d 17,82

c 58,57

e

Biomasa CP, inkubasi 10 hari 5,13d 17,65

c 59,20

de

Biomasa CP, inkubasi 20 hari 5,47cd

18,37b 58,45

e

Biomasa CP, inkubasi 30 hari 5,84bcd

18,82bc

62,63cde

Page 104: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

81

Biomasa MP, inkubasi 10 hari 5,61cd

17,38c 70,75

c

Biomasa MP, inkubasi 20 hari 5,81bcd

19,04bc

68,84cd

Biomasa MP, inkubasi 30 hari 6,04abcd

20,27b 69,38

c

Biomasa CU, inkubasi 10 hari 7,02a 25,00

a 92,44

a

Biomasa CU, inkubasi 20 hari 6,80ab

24,75a 87,49

ab

Biomasa CU, inkubasi 30 hari 6,23abc

23,62a 80,29

b

Biomasa PL, inkubasi 10 hari 6,94a 25,14

a 91,51

a

Biomasa PL, inkubasi 20 hari 6,74ab

24,38a 89,97

ab

Biomasa PL, inkubasi 30 hari 6,40abc

23,19a 82,30

ab

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak

berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Masa inkubasi biomasa LPT menghasilkan rata-rata bobot kering tanaman

yang lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol (Tabel 5.6). Tanaman jagung yang

mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20

hari sebelum tanam menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik

dibanding perlakuan masa inkubasi LPT lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh bobot

kering total tanaman yang lebih tinggi sejak 15 hst - 45 hst, dibanding dengan

perlakuan masa inkubasi biomasa LPT lainnya (Tabel 5.6).

5.4 Potensi LPT Sebagai Tanaman Bera dalam Meningkatkan Simpanan C-

Organik dan Kualitas Tanah di Lahan Kering

Untuk mengetahui potensi LPT terhadap simpanan C-organik tanah dan

kualitas tanah, telah dilakukan percobaan selama masa bera (5 bulan), dari 2 Juni-

30 November 2013 di kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan

percobaan ketiga dari rangkaian penelitian ini. Hasil penelitian tersebut adalah

sebagai kerikut:

Page 105: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

82

5.4.1 Prosentase (kemampuan) penutupan tanah

Hasil percobaan di lapang menunjukkan perlakuan jenis tanaman LPT

berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap prosentase penutupan tanah (area

cover) sejak umur 1 bulan setelah tanam (bst) sampai 3 bst (Lampiran 16). Rata-

rata prosentase penutupan tanah (%) di sajikan pada Tabel 5.7.

Hasil percobaan ini menunjukkan LPT yang diintroduksi dalam lahan

budidaya sebagai tanaman bera memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda.

Legum CP memperlihatkan pertumbuhan yang lambat dibanding dengan tiga

jenis legum lainnya yaitu MP, PL dan CU yang rata-rata memiliki pertumbuhan

yang lebih cepat sejak dari 1 bst-3 bst.

Tabel 5.7

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap prosentase penutupan tanah

Jenis LPT Prosentase penutupan tanah (%)

1 bst 2 bst 3 bst

Kontrol (tanpa LPT) 40,25a 23,43

d 9,50

c

CP 11,22b 37,81

c 64,86

b

MP 39,54a 67,84

a 99,35

a

CU 12,94b 57,37

b 97,18

a

PL 37,73a 65,79

a 98,36

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Memasuki bulan ke-3 (3 bst) jenis LPT MP, PL dan CU rata-rata

prosentase penutupan lahan sudah mencapai (98,36-99,35%). Sementara jenis CP

menunjukkan prosentase penutupan lahan yang rendah (11,22%) pada 1 bst, dan

pada 3 bst prosentase penutupan lahannya baru mencapai 64,86%. Perlakuan

Page 106: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

83

petak kontrol yang tidak ditanami LPT, menunjukan adanya penurunan area

covering, yaitu pada bulan pertama (1 bst) vegetasi alami setelah panen tanaman

pangan masih tersisa sehingga masih dapat menutupi permukaan tanah mencapai

40,25%, namun memasuki bulan ke-2 dan bulan ke-3 terjadi penurunan

prosentase penutupan lahan yang drastis hingga mencapai 9,50% (Tabel 5.7).

5.4.2 Kadar air tanah selama masa bera

Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan LPT selama masa bera

memberikan pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air tanah

mulai 2-5 bst, sedangkan pada umur 1 bst memberikan pengaruh yang tidak nyata

(p>0,05) (Lampiran 17). Rata-rata kadar air tanah selama masa bera disajikan

pada Gambar 5.5.

Gambar 5.5

Rata-rata kadar air tanah selama masa bera dengan berbagai jenis LPT

10

15

20

25

30

35

40

0 1 2 3 4 5

Kad

ar a

ir t

anah

(%

)

Lama/waktu pemberaan (bulan setelah tanam, bst)

Kontrol (tanpa LPT)

Legum CP

Legum MP

Legum CU

Legum PL

a

ab

b

c

d

a

ab

b

d

a ab

b

c

d

b

c

aaa

c

Keterangan: Titik dengan notasi yang sama pada waktu yang sama adalah tidak

berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Page 107: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

84

Penggunaan LPT nyata meningkatkan kadar air tanah dari bulan ke-2

sampai akhir percobaan (bulan ke-5), bulan pertama belum tampak pengaruhnya.

Kebaradaan MP, PL dan CU selama masa bera mampu meningkatkan kadar air

tanah yang nyata lebih tinggi, dengan peningkatan masing-masing sebesar

92,27%, 86,57% dan 77,95%) dibanding CP (48,89% ) dan petak kontrol

(Gambar 5.5).

5.4.3 Suhu tanah permukaan selama masa bera

Hasil percobaan di lapang menunjukkan terjadi penurunan suhu tanah

permukaan (kedalaman 5 cm) secara nyata akibat jenis LPT di banding dengan

perlakuan kontrol (tanpa LPT). Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan

LPT selama masa bera memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01)

terhadap suhu tanah mulai 2-5 bst, kecuali pada umur 1 bst penggunaan LPT

memberikan pengaruh yang tidak nyata (Lampiran 18).

Page 108: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

85

Keterangan: Titik dengan notasi yang sama pada waktu yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Gambar 5.6

Rata-rata suhu tanah permukaan selama masa bera dengan berbagai jenis LPT

Jenis legum MP, PL dan CU nampak nyata menurunkan suhu tanah rata-

rata sebesar 2,25%-6,05% sejak 2 bst sampai 5 bst dibanding tanpa LPT.

Sementara pemberaan dengan legum CP hanya mampu menurunkan suhu tanah

antara 1,14% pada umur 2 bst sampai 3,37% pada umur 5 bst (Gambar 5.6).

5.4.4 Bobot isi tanah dan porositas tanah

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai

tanaman bera nyata menurunkan bobot isi tanah dan meningkatkan porositas tanah

pada akhir masa pemberaan (Lampiran 19). Rata-rata bobot isi tanah (bulk

density) dan porositas tanah pasca bera disajikan pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap bobot isi tanah dan porositas

tanah setelah 5 bulan pemberaan

26

27

28

29

30

0 1 2 3 4 5

Su

hu

tan

ah p

erm

ukaa

n (

oC

)

Lama/waktu pemberaan (bulan setelah tanam, bst)

Kontrol (tanpa LPT)

Legum CP

Legum MP

Legum CU

Legum PL

a

b c c c

a

b bc bc c

a

b

c c c

a

b

c c c

Page 109: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

86

Jenis LPT Bobot isi tanah

(g cm-3

)

Porositas tanah

(%)

Kontrol (tanpa LPT) 1,30a 49,90

c

CP 1,26b 51,25

b

MP 1,21c 53,56

a

CU 1,22c 53,08

a

PL 1,20c 53,75

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Penggunaan LPT jenis MP, PL dan CU sebagai tanaman bera dapat

menurunkan bobot isi tanah (bulk density) rata-rata sebesar 7,69-6,15% (dari 1,3 g

cm-3

menjadi 1,20-1,22 g cm-3

) lebih tinggi dibanding jenis CP. Sebaliknya

penggunaan CP hanya mampu menurunkan bobot isi tanah (bulk density) sebesar

3,17% atau dari 1,30 g cm-3

menjadi 1,26 g cm-3

(Tabel 5.8).

Penggunaan legum MP, PL dan CU secara nyata meningkatkan porositas

tanah rata-rata sebesar 6,37% dibanding CP yang hanya dapat meningkatkan

porositas tanah sebesar 2,71% (Tabel 5.8).

5.4.5 Produksi biomasa, serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah

Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam lahan budidaya memberikan

pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap produksi biomasa, serapan C

tanaman dan simpanan C-organik tanah pasca pemberaan (Lampiran 20).

Produksi biomasa (dalam bobot kering) pada akhir masa pemberaan

tertinggi ditunjukkan oleh legum CU sebesar 11,99 t ha-1

atau terjadi peningkatan

produksi biomasa sebesar 3,52 kali dari kontrol (tanpa LPT).

Page 110: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

87

Tabel 5.9

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap produksi biomasa, serapan C

tanaman dan simpanan C-organik tanah setelah 5 bulan pemberaan

Jenis LPT Produksi biomasa

(b.k. t ha-1

)

Serapan C ta-

naman

(t ha-1)

Simpanan C-

organik tanah

(t ha-1

)

Kontrol (tanpa LPT) 2,65d 1,32

d 53,13

b

CP 5,73c 2,86

c 56,23

b

MP 10,84ab

5,42ab

61,76a

CU 11,99a 5,99

a 62,03

a

PL 10,22b 5,11

b 61,99

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak

berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Produksi biomasa yang dicapai oleh CU juga cenderung tidak berbeda nyata

dengan legum MP, dengan produksi biomasa sebesar 11,99 t ha-1

atau terjadi

peningkatan sebesar 3,09 kali, diikuti PL (10,22 t ha-1

) dengan peningkatan

sebesar 2,85 kali lebih besar dibanding kontrol (2,65 t ha-1

). Produksi biomasa

yang paling rendah ditunjukkan oleh CP (5,73 t ha-1

) atau hanya terjadi

peningkatan produksi biomasa sebesar 1,16 kali dari perlakuan tanpa LPT (Tabel

5.9).

Jenis LPT yang ditanam selama masa bera dapat meningkatkan serapan C

tanaman secara nyata (Tabel 5.11). Hal ini ditunjukkan oleh legum CU yang

selama masa bera dapat menyerap C sebesar 5,99 t ha-1

dan tidak berbeda nyata

dengan MP (5,42 t ha-1

), diikuti oleh PL (5,11 t ha-1

). Serapan C tanaman yang

paling rendah ditunjukkan oleh jenis legum CP yaitu dapat menyerap C sebesar

2,86 t ha-1

(Tabel 5.9).

Page 111: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

88

Pemanfaatan LPT sebagai tanaman bera, juga secara nyata berkontribusi

terhadap peningkatan simpanan C-organik tanah. Pada percobaan ini, jenis CU,

PL dan MP menunjukkan sumbangan simpanan C-organik tanah yang lebih

tinggi dan tidak berbeda nyata diantara ketiganya. Penanaman jenis CU, PL dan

MP dalam lahan budidaya selama masa bera dapat meningkatkan simpanan C-

organik tanah masing-masing sebesar 16,75%, 16,67% dan 18,24% dibanding

dengan tanpa LPT (53,13 t ha-1

). Sementara jenis CP yang diintroduksi selama

masa bera hanya dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 5,83%

(Tabel 5.9).

5.4.6 Kadar N tanaman, Nisbah C/N dan N yang tertambat

Pemberaan lahan budidaya dengan jenis LPT memberikan pengaruhnya

yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar N total tanaman, nisbah C/N dan

besarnya N yang tertambat (Lampiran 21). Kadar N total, nisbah C/N dan N yang

tertambat berbeda antar jenis LPT (Tabel 5.10).

Hasil analisis kadar N jaringan LPT, menunjukkan bahwa jenis legum

CU dan PL sebagai tanaman bera memiliki kadar N jaringan yang lebih tinggi dan

tidak berbeda dibanding MP dan CP. Rata-rata kadar N jaringan tertinggi

ditunjukkan oleh jenis CU dan PL (masing-masing 4,19% dan 3,98%) dibanding

dengan MP dan CP yang kadar N jaringan sebesar 3,21% dan 2,14% (Tebel

5.10).

Tabel 5.10

Pengaruh jenis tanaman penutup tanah sebagai tanaman bera terhadap kadar N

total tanaman, nisbah C/N dan N yang tertambat setelah 5 bulan pemberaan

Jenis LPT N tanaman (%) C/N N yang tertambat (kg ha-1

)

Page 112: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

89

CP 2,14c 20,22

c 122,72

c

MP 3,21b 14,35

b 348,06

b

CU 4,19a 9,36

a 476,66

a

PL 3,98a 10,73

a 350,04

b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Nisbah C/N pada tabel yang sama, juga menunjukkan bahwa LPT CU dan

PL, masing-masing memiliki nisbah C/N yang lebih rendah sebesar 9,36 dan

10,73 dan berbeda nyata dengan jenis MP dan CP yang memiliki nisbah C/N yang

lebih tinggi yaitu sebesar 14,35 dan 20,22. Demikian pula halnya dengan

kemampuan penambatan N, hasil analisis menunjukkan jenis LPT CU dapat

menambat N sebesar 476,66 kg ha-1

lebih tinggi, diikuti PL (350,04 kg ha-1

),

MP (348,06 kg ha-1

) dan yang paling rendah diperoleh pada CP (122,72 kg ha-1

)

(Tabel 5.10).

5.4.7 pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah

Penggunaan LPT sebagai tanaman bera berpengaruh sangat nyata (p<0,01)

terhadap pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah (Lampiran 22).

Rata-rata hasil analisis pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah pasca

pemberaan disajikan pada Tabel 5.11.

Penggunaan LPT sebagai tanaman bera nyata meningkatkan pH tanah

dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa LPT). LPT jenis PL dan CU secara

nyata meningkatkan pH tanah masing-masing sebesar 4,21% 4,35% lebih tinggi

dibanding pelakuan jenis LPT MP dan CP.

Tabel 5.11

Page 113: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

90

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap pH tanah, kadar C-organik

tanah dan bahan organik tanah setelah 5 bulan pemberaan

Jenis LPT pH tanah

(pH H2O 1:1)

C-organik tanah

(%)

Bahan organik

tanah (%)

Kontrol (tanpa LPT) 6,40c 1,36

c 2,34

c

CP 6,44c 1,48

b 2,53

b

MP 6,57b 1,71

a 2,94

a

CU 6,67a 1,70

a 2,92

a

PL 6,68a 1,72

a 2,96

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Kadar C-organik tanah yang diamati pada percobaan ini, juga terlihat

adanya peningkatan yang nyata akibat penggunaan LPT. Kadar C-organik tanah

tertinggi ditunjukkan oleh PL, MP dan CU dan tidak berbeda nyata, dengan

peningkatan C-organik sebesar 25-26% dibanding dengan perlakuan tanpa LPT

(1,36%). Sementara penggunaan tanaman CP hanya mampu meningkatkan kadar

C-organik sebesar 8,82% (1,48%) dari perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.11).

Demikian pula halnya dengan kadar bahan organik tanah pasca bera,

menunjukkan penggunaan jenis LPT PL, MP dan CU mampu meningkatkan kadar

bahan organik tanah sebesar 67,82-70,11% dibandingkan tanpa LPT yang kadar

bahan organik tanahnya hanya mencapai 2,74%. Sementara jenis CP yang

digunakan pada percobaan ini menunjukkan kadar bahan organik yang rendah

(1,74%) atau hanya dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah sebesar

45,40% dibandingkan tanpa LPT (Tabel 5.11).

5.4.8 Kadar N total, P, K, Ca, Mg dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah

Page 114: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

91

Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam lahan budidaya pertanian

berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap sifat kimia tanah yang meliputi kadar

N total, kadar P-tersedia, kadar K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan

pemberaan (Lampiran 23 dan 24). Rata-rata kadar N total, P tersedia, K, Ca, Mg

dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan disajikan pada Tabel 5.12.

Penggunaan jenis legum CU dan PL sebagai tanaman bera dapat

meningkatkan kadar N total tanah berturut-turut sebesar 26,67% (dari 0,15%

menjadi 0,19%) dan 20% (dari 0,15% menjadi 0,18% lebih tinggi dibanding CP

dengan peningkatan sebesar 13,33% (0,17%) dan MP yang hanya dapat

meningkatkan kadar dar N total tanah sebesar 6,67% (0,16%).

Tabel 5.12

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap kadar N total tanah, P-

tersedia, kadar K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan

Jenis LPT

Kandungan kimia tanah pasca bera

N total P-

tersedia K Ca Mg KTK

(%) (mg kg

-1) .............(me 100 g

-1 tanah)................

Kontrol (tanpa LPT) 0,15d 7,31

c 0,17

e 15,36

c 1,23

c 35,95

c

CP 0,17bc

8,72bc

0,24d 17,36

abc 1,82

ab 41,03

b

MP 0,16c 7,86

b 0,26

c 16,43

bc 2,07

a 45,32

a

CU 0,19a 11,83

a 0,31

b 19,25

ab 1,52

bc 46,45

a

PL 0,18ab

11,44a 0,33

a 19,53

a 1,89

ab 47,82

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Page 115: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

92

Kadar P-tersedia tanah setelah 5 bulan pemberaan tertinggi ditunjukkan

oleh legum CU dan PL dengan peningkatan sebesar 61,83% dan 56,49%.

Peningkatan kadar P-tesedia ini lebih tinggi dibanding dengan menggunakan CP

dan MP.

Kadar K tanah yang paling tinggi ditunjukkan pada pemberaan dengan

jenis PL sebesar 0,33 me 100 g-1

tanah dan berbeda dengan CU (0,31 me 100 g-1

tanah), MP (0,26 me 100 g-1

tanah), CP (0,26 me 100 g-1

tanah) dan perlakuan

tanpa LPT sebesar 0,17 me 100 g-1

tanah.

Kadar Ca yang diamati dalam percobaan ini, juga menunjukkan

penggunaan LPT secara nyata meningkatkan kadar Ca tanah. Kadar Ca tanah

yang paling tinggi disumbangkan oleh LPT berturut-turut adalah PL (19,53 me

100 g-1

tanah) dan CU (19,25 me 100 g-1

tanah). Sebaliknya kadar Ca tanah yang

rendah ditunjukkan oleh CP dengan kadar Ca tanah sebesar (17,36 me 100 g-1

tanah), diikuti MP (16,43 me 100 g-1

tanah) dan perlakuan tanpa LPT (15,36 me

100 g-1

tanah).

Kadar Mg yang tertinggi ditujukkan pada jenis LPT MP sebesar (2,07

me 100 g-1

tanah) dan cenderung tidak berbeda dengan PL (1,89 me 100 g-1

tanah). Sebaliknya kadar Mg yang paling rendah ditunjukkan oleh jenis legum

CP, CU dan perlakuan kontrol (Tabel 5.12).

Kadar kapasitas tukar kation (KTK) yang di ukur pada akhir masa

pemberaan menunjukkan adanya peningkatan KTK tanah sebagai respon dari

penggunaan LPT sebagai tanaman bera. Penggunaan LPT jenis PL sebagai

tanaman bera secara nyata dapat meningkatkan KTK tanah sebesar 35,12%

Page 116: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

93

(47,82 me 100 g-1

tanah) dan tidak berbeda nyata dengan penggunaan CU dan MP

yang dapat meningkatkan KTK tanah berturut-turut sebesar 28,45% (46,45 me

100 g-1

tanah) dan 28,06% (45,32 me 100 g-1

tanah) dari kontrol (35,95 me 100 g-1

tanah). Kondisi KTK tanah yang sama berbeda dengan penggunaan LPT jenis CP

yang pada percobaan ini hanya mampu meningkatkan KTK tanah sebesar 15,94%

dari kontrol (Tabel 5.12).

5.4.9 Infeksi mikoriza dan total koloni mikroba tanah

Jenis tanaman LPT sebagai tanaman bera yang digunakan dalam

percobaan ini memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap tingkat

infeksi mikoriza dan total koloni mikroba tanah (Lampiran 25). Pengamatan

terhadap total koloni mikroba tanah pada akhir percobaan, juga memperlihatkan

keberadaan tanaman LPT nampak meningkatkan secara nyata total koloni

mikroba tanah (Lampiran 26).

Jenis LPT yang diuji secara nyata mempunyai kemampuan infeksi

mikoriza pada akar tanaman dan berbeda antara jenis LPT. Hasil pengujian

terhadap potongan akar menunjukkan ke empat jenis LPT memiliki potensi yang

kuat terhadap tingkat infeksi mikoriza. Infeksi mikoriza yang paling tinggi

ditunjukkan pada akar tanaman PL (60,54-%) dan tidak berbeda nyata dengan CU

(58,13%), diikut (MP (53,14%) dan CP (44,89%) (Tabel 5.13).

Tabel 5.13

Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap infeksi mikoriza (MVA) dan

total koloni mikroba tanah setelah 5 bulan pemberaan

Jenis LPT Infeksi MVA

(%)

Total koloni mikroba

tanah (cfu)

Page 117: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

94

Kontrol (tanpa LPT) 0,00d 4,00x10

5 c

CP 44,89c 8,25x10

5 b

MP 53,14b 10,75x10

5 a

CU 58,13a 9,50x10

5 ab

PL 60,54a 10,25x10

5 ab

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda

nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Total koloni mikroba tanah tertinggi dijumpai pada lahan yang diberakan dengan

MP (10,75 x105 cfu) diikuti PL (10,25 x10

5 cfu) dan CU (9,50 x10

5 cfu) dan

ketiganya tidak berbeda nyata lebih tinggi, dibanding dengan CP dan tanpa LPT

yang hanya mampu menghasilkan total koloni mikroba tanah berturut-turut

sebesar 8,25 x105 cfu dan 4,00 x10

5 cfu (Tabel 5.13).

5.5 Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Simpanan C-

Organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di Lahan Kering

5.5.1 Simpanan C-organik, bobot isi tanah dan porositas tanah

Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan menunjukkan pengaruh

interaksi yang tidak nyata (p>0,01) terhadap simpanan C-organik tanah, bobot isi

tanah dan porositas tanah setelah panen jagung (akhir percobaan 4). Sementara

masing-masing faktor tunggal memberikan pengaruhnya yang sangat nyata

(p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 26). Rata-rata simpanan C-

organik, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah panen jagung (akhir

percobaan 4) disajikan pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14

Page 118: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

95

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata

simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah

panen jagung

Perlakuan faktor tunggal

Simpanan C-

organik

tanah (t ha-1

)

Bobot isi

tanah

(g cm-3

)

Porositas

tanah

(%)

Jenis biomasa LPT:

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 58,03c 1,29

a 50,24

b

Biomasa CP 65,11b 1,26

b 51,44

b

Biomasa MP 82,95a 1,15

c 55,59

a

Biomasa CU 86,70a 1,16

c 55,56

a

Biomasa PL 86,69a 1,15

c 55,86

a

Masa inkubasi biomasa:

10 hari 74,11b 1,19

b 54,25

a

20 hari 76,15ab

1,20ab

53,89ab

30 hari 77,39a 1,22

a 53,07

b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Pengelolaan biomasa CU, PL dan MP in situ secara nyata meningkatkan

simpanan C-organik dan ketiganya tidak berbeda nyata; dengan peningkatan

masing-masing berturut-turut sebesar 49,40% (86,70 t ha-1

), 49,38% (86,69 t ha-1

)

dan 42,99% (82,95 t ha-1

) dibanding tanpa LPT. Sementara pengelolaan biomasa

legum CP in situ hanya dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar

12,20% (65,11 t ha-1

) dibanding tanpa LPT (Tabel 5.14).

Perlakuan masa inkubasi biomasa 30 hari dan 20 hari sebelum tanam nyata

meningkatkan simpanan C-organik tanah lebih tinggi dan tidak berbeda nyata

dibanding dengan masa inkubasi biomasa 10 hari sebelum tanam (Tabel 5.14).

Pengelolaan biomasa LPT in situ secara nyata menurunkan bobot isi tanah

(bulk density). Jenis biomasa PL, MP dan CU secara nyata menurunkan bobot isi

Page 119: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

96

tanah dengan penurunan rata-rata sebesar 10,85% (1,15-1,16 g cm-3

) dibanding

dengan perlakuan tanpa LPT, dan pengaruh ke tiga jenis LPT tersebut tidak

berbeda nyata. Sebaliknya pengelolaan biomasa CP in situ hanya dapat

menurunkan bobot isi tanah sebesar 2,33% dibanding tanpa LPT (Tabel 5.14).

Masa inkubasi biomasa secara tunggal juga menurunkan bobot isi tanah

(Tabel 5.16). Masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata

menurunkan bobot isi tanah (bulk density) dan keduanya tidak berbeda nyata,

sementara masa inkubasi 30 hari sebelum tanam terlihat masih menunjukkan

bobot isi tanah (bulk density) yang tinggi, yaitu sebesar 1,22 g cm-3

(Tabel 5.14).

Porositas tanah pada akhir percobaan juga dipengaruhi jenis biomasa LPT

yang dicoba. Jenis biomasa CU, MP dan PL yang dikembalikan pasca bera ke

lahan budidaya secara nyata meningkatkan porositas tanah sebesar 10,59-11,19%

dibanding dengan CP dan tanpa LPT (Tabel 5.16), tetapi secara statistik tidak

terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga jenis LPT tersebut. Sementara

pengelolaan biomasa CP hanya mampu meningkatkan porositas tanah sebesar

2,39% dibanding kontrol (Tabel 5.14).

Masa inkubasi biomasa LPT secara tunggal meningkatkan porositas tanah

secara nyata. Porositas tanah tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan masa inkubasi

10 hari sebelum tanam (54,25%) dan tidak berbeda nyata dengan 20 hari sebelum

tanam (53,89%), sedangkan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam

memperlihatkan porositas tanah yang masih rendah yaitu 153,07% (Tabel 5.14).

5.5.2 pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah

Page 120: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

97

Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca bera menunjukkan interaksi yang

tidak nyata (p>0,01) terhadap pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah

setelah panen jagung, namun secara faktor tunggal masing-masing faktor

memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap parameter tersebut

(Lampiran 27).

Pengelolaan biomasa LPT kecuali CP nyata meningkatkan pH tanah

setelah panen jagung. Diantara jenis PL, MP dan CU tidak terdapat perbedaan

pengaruh terhadap pH tanah, pH tanah yang dicapai pada ke tiga jenis LPT

tersebut adalah sebesar 6,82-6,90 lebih tinggi dan berbeda dengan perlakuan CP

dan kontrol (Tabel 5.15).

Tabel 5.15

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata

pH tanah (pH H2O), kadar C-organik tanah dan bahan organik tanah setelah

panen jagung

Perlakuan faktor tunggal pH tanah

(pH H2O 1:1)

C-organik

(%)

Bahan organik

tanah (%)

Jenis biomasa LPT:

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 6,55b 1,50

d 2,58

d

Biomasa CP 6,57b 1,72

c 2,96

c

Biomasa MP 6,82a 2,40

b 4,15

b

Biomasa CU 6,88a 2,48

ab 4,28

ab

Biomasa PL 6,90a 2,52

a 4,34

a

Masa inkubasi biomasa:

10 hari 6,77a 2,10

a 3,62

a

20 hari 6,75a 2,13

a 3,67

a

30 hari 6,72a 2,12

a 3,69

a

Page 121: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

98

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Analisis terhadap kadar C-organik tanah memperlihatkan adanya

peningkatan kadar C-organik tanah. Pengelolaan biomasa PL dan CU

meningkatkan kadar C-organik tanah masing-masing sebesar 68% (2,52%) dan

65% (2,48% ) yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan jenis LPT lainnya.

Peningkatan kadar C-organik tersebut diikuti oleh Jenis MP (60%) dan jenis

legum CP hanya mampu menyumbangkan kadar C-organik sebesar 14,67% dari

petak kontrol (Tabel 5.15).

Penggunaan LPT nyata meningkatkan kadar bahan organik tanah pada

akhir percobaan. Peningkatan kadar bahan organik tanah tertinggi dicapai pada

pengelolaan biomasa PL dan CU yang secara nyata meningkatkan kadar bahan

organik tanah sebesar 69,53% dan 65,89% dibanding jenis biomasa lainnya dan

kontrol (Tabel 5.15).

Faktor tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan tidak adanya

perbedaan yang nyata terhadap parameter pH, kadar C-organik dan bahan organk

tanah, baik pada 10, 20 dan 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.15).

5.5.3 Kadar N total tanah

Hasil analisis ragam terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung

(akhir percobaan 4) memperlihatkan pengaruh interaksi yang sangat nyata

(p<0,01) antara jenis biomasa LPT dan masa inkubasi biomasa (Lampiran 28).

Rata-rata kadar N total tanah pada pengaruh interaksi antara jenis dan masa

inkubasi biomasa LPT pada akhir percobaan di sajikan pada Tabel 5.16.

Page 122: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

99

Tabel 5.16

Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera

terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung

Perlakuan jenis biomasa LPT

in situ

Perlakuan masa inkubasi biomasa

10 hari 20 hari 30 hari

...........kadar N total tanah (%)................

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 0,15e 0,15

e 0,13

e

Biomasa CP 0,18d 0,18

d 0,17

d

Biomasa MP 0,23bc

0,23bc 0,23

bc

Biomasa CU 0,24ab

0,24ab

0,21bc

Biomasa PL 0,26a 0,24

ab 0,21

bc

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak

berganda Duncan taraf 5%

Pengelolaan biomasa legum PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari

sebelum tanam secara nyata meningkatkan kadar N total tanah sebesar 73% dan

60% lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan pengelolaan biomasa legum CU

10 hari dan 20 hari sebelum tanam dengan rata-rata peningkatan sebesar 60%

dibanding perlakuan interaksi lainnya (Tabel 5.16).

5.5.4 Kadar K tanah

Pengelolaan biomasa LPT dalam lahan budidaya paca bera menunjukkan

pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar K tanah setelah

panen jagung (akhir percobaan 4) (Lampiran 28).

Tabel 5.17

Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera

terhadap kadar K tanah setelah panen jagung

Perlakuan jenis biomasa LPT

in situ

Perlakuan masa inkubasi biomasa

10 hari 20 hari 30 hari

........... kadar K tanah (me 100 g-1

)...............

Page 123: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

100

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 0,18f 0,23

e 0,21

ef

Biomasa CP 0,41d 0,44

d 0,42

d

Biomasa MP 0,66a 0,63

a 0,56

c

Biomasa CU 0,62ab

0,61ab

0,57bc

Biomasa PL 0,63a 0,62

ab 0,60

abc

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak

berganda Duncan taraf 5%

Pengelolaan bomassa MP, PL dan CU dengan masa inkubasi 10 hari dan

20 hari sebelum tanam nyata meningkatkan kadar K-dd tanah masing-masing

sebesar 266% - 238% lebih tinggi dibanding dengan perlakuan interaksi lainnya.

Kadar K-dd yang paling rendah ditunjukkan oleh biomasa CP pada semua masa

inkubasi (Tabel 5.17).

5.5.5 Kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah

Hasil pengamatan terhadap kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah

panen menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis biomasa LPT in situ dan

masa inkubasi. Namun masing-masing faktor tunggal yaitu, jenis biomasa LPT in

situ dan masa inkubasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01)

terhadap kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah (Lampiran 29).

Peningkatan P-tersedia tanah juga ditunjukkan oleh jenis CU dan MP

yang keduanya tidak berbeda nyata, dengan peningkatan P-tersedia berturut-turut

sebesar 64,45% dan 55,09%. Perlakuan tunggal masa inkubasi biomasa LPT

menunjukkan 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dapat meningkatkan kadar P-

tersedia tanah pada akhir percobaan (Tabel 5.18).

Tabel 5.18

Page 124: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

101

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata

Kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen jagung

Perlakuan faktor tunggal Kadar P-tersedia

tanah (mg kg-1

)

Ca tanah

(me 100 g-1

)

Mg tanah

(me 100 g-1

)

Jenis biomasa LPT:

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 4,81d 16,83

d 1,60

c

Biomasa CP 6,45c 18,39

cd 1,82

c

Biomasa MP 7,46b 19,22

c 2,19

a

Biomasa CU 7,91b 21,24

b 1,88

ab

Biomasa PL 9,28a 23,31

a 1,87

ab

Masa inkubasi biomasa:

10 hari 7,56a 19,25

a 1,92

a

20 hari 7,18ab

20,25a 1,88

a

30 hari 6,79b 19,9

a 1,82

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Kadar Ca tanah tertinggi ditunjukkan oleh jenis biomasa PL yang dapat

meningkatkan kadar Ca sebesar 26,62% dibanding jenis biomasa CU, MP dan PL

serta kontrol. Sementara perlakuan tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan

kadar Ca yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.18).

Kadar Mg tanah pada akhir percobaan, menunjukkan bahwa jenis biomasa

MP, CU dan PL memberikan kadar Mg tanah yang lebih tinggi dan berbeda nyata

dengan perlakuan jenis CP dan kontrol. Perlakuan tunggal masa inkubasi

biomasa menunjukkan bahwa masa inkubasi biomasa 10 hari, 20 hari dan 30 hari

sebelum tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar Mg tanah (

Tabel 5.18).

5.5.6 Kapasitas tukar kation (KTK) tanah

Page 125: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

102

Penggunaan jenis LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa in

situ menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap KTK

tanah setelah panen jagung (Lampiran 29). Hasil analisis pada Tabel 5.19,

menunjukkan terjadi peningkatan KTK tanah setelah panen jagung (akhir

percobaan 4) akibat dari pengelolaan berbagai jenis biomasa LPT in situ dengan

masa inkubasi biomasa yang berbeda.

Pengelolaan biomasa CU dan PL in situ dengan masa inkubasi 30, 20 dan

10 hari secara nyata meningkatkan KTK tanah pada akhir percobaan, yaitu terjadi

peningkatan KTK tanah antara 27,31-29,64% (46,48-42,40 me 100 g-1

) lebih

tinggi dibanding perlakuan interaksi lainnya (Tabel 5.19).

Tabel 5.19

Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera

terhadap KTK tanah setelah panen jagung

Perlakuan jenis biomasa LPT

in situ

Perlakuan masa inkubasi biomasa

10 hari 20 hari 30 hari

...........KTK tanah (me 100 g-1

)...............

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 36,51d 36,37

d 36,20

d

Biomasa CP 41,66b 41,87

b 41,50

b

Biomasa MP 40,16c 42,29

b 42,40

b

Biomasa CU 46,48a 46,88

a 46,93

a

Biomasa PL 46,01a 46,07

a 45,30

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak

berganda Duncan taraf 5%

5.5.7 Total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah

Hasil pengamatan terhadap total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah

setelah panen jagung, menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis biomasa

Page 126: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

103

LPT in situ dan masa inkubasi. Namun masing-masing faktor tunggal yaitu, jenis

biomasa LPT in situ dan masa inkubasi memberikan pengaruh yang sangat nyata

(p<0,01) terhadap total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah (Lampiran 30).

Hasil analisis terhadap total koloni mikroba tanah pada akhir percobaan

menunjukkan pengelolaan biomasa LPT jenis PL secara nyata meningkatkan total

koloni mikroba tanah sebesar 49,33x10-5

cfu lebih tinggi dan berbeda nyata

dengan jenis LPT lainnya. Perlakuan pengelolaan biomasa CU dan MP, juga

memperlihatkan total koloni mikroba yang tinggi dan tidak berbeda nyata, yaitu

masing-masing sebesar 37x10-5

cfu dan 31x10-5

cfu (Tabel 5.20).

Tabel 5.20

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata

total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen jagung

Perlakuan faktor tunggal Total koloni mikroba

tanah (cfu)

Respirasi tanah

(mg CO2 g-1

hari-1

)

Jenis biomasa LPT:

Tanpa biomasa LPT (kontrol) 8,00x10-5 d

1,30c

Biomasa CP 17,67 x10-5

c 2,64

b

Biomasa MP 31,00 x10-5

b 3,19

ab

Biomasa CU 37,00 x10-5

b 3,63

a

Biomasa PL 49,33 x10-5

a 3,66

a

Masa inkubasi biomasa:

10 hari 30,80 x10-5

a 3,03

a

20 hari 28,67 x10-5

ab

2,88ab

30 hari 26,53 x10-5

b 2,74

b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Page 127: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

104

Perlakuan masa inkubasi biomasa juga secara nyata meningkatkan total

koloni mikroba tanah. Perlakuan masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari

sebelum tanah menunjukkan total koloni mikroba tanah yang lebih tinggi

dibanding dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.20).

Respirasi tanah menggambarkan tingkat aktivitas total mikroorganisme

tanah. Hasil pengukuran terhadap respirasi tanah pada akhir percobaan

menunjukkan tingkat respirasi tanah tertinggi ditunjukkan oleh pengelolaan

biomasa PL, CU dan MP yang secara nyata meningkatkan respirasi tanah masing-

masing sebesar 181% (3,66 mg CO2 g-1

hari-1

), 179% (3,63 mg CO2 g-1

hari-1

) dan

145% (3,19 mg CO2 g-1

hari-1

) lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding jenis CP

dan kontrol. Tingkat respirasi tanah yang paling rendah ditunjukkan oleh

pengelolaan biomasa CP in situ dengan tingkat respirasi tanah sebesar 2,64 mg

CO2 g-1

hari-1

dan tanpa LPT sebesar 1,30 mg CO2 g-1

hari-1

(Tabel 5.20).

Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan

tingkat respirasi sebesar (3,03 mg CO2 g-1

hari-1

dan 2,88 mg CO2 g-1

hari-1

) yang

lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari

sebelum tanam (Tabel 5.20).

5.5.8 Komponen hasil jagung

Hasil percobaan di lapang menunjukkan pengelolaan biomasa LPT in situ

pasca pemberaan tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata (p<0,01)

terhadap komponen hasil jagung yang ditunjukkan oleh panjang tongkol (cm),

diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1

(g), bobot 100 biji (g). Namun masing-

masing faktor tunggal dapat meningkatkan secara nyata (p<0,01) terhadap

Page 128: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

105

variabel tersebut (Lampiran 31). Rata-rata rata-rata panjang tongkol, diameter

tongkol, bobot biji tongkol-1

, bobot 100 biji disajikan pada Tabel 5.21.

Secara umum pengelolaan jenis biomasa LPT in situ pasca bera

meningkatkan komponen hasil jagung dibanding perlakuan kontrol (tanpa LPT).

Tongkol jagung yang paling panjang ditunjukkan pada perlakuan pengelolaan

biomasa jenis PL, CU dan MP dan berbeda dengan jenis CP dan kontrol (Tabel

5.21).

Masa inkubasi biomasa, juga memberikan pengaruh yang berbeda

terhadap panjang tongkol jagung. Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari

sebelum tanam memberikan panjang tongkol (masing-masing 15,39 cm, 15,25

cm) lebih panjang dan berbeda nyata dengan masa inkubasi biomasa 30 hari

sebelum tanam (Tabel 5.21).

Tabel 5.21

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata

panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1

, bobot 100 biji

Perlakuan Faktor Tunggal

Panjang

tongkol

(cm)

Diameter

tongkol

(cm)

Bobot

biji tongkol-1

(g)

Bobot

100 biji

(g)

Jenis biomasa LPT:

Tanpa LPT (kontrol) 11,26d 3,94

d 92,50

d 23,32

d

Biomasa CP 13,30c 4,64

c 106,70

c 25,17

c

Biomasa MP 15,79a 4,98

b 117,32

b 26,64

b

Biomasa CU 17,20a 5,32

a 134,11

a 28,95

a

Biomasa PL 17,21a 5,31

a 133,44

a 29,00

a

Masa inkubasi biomasa:

10 hari 15,39a 5,05

a 119,87

a 27,11

a

20 hari 15,25a 5,03

a 121,84

a 27,06

a

30 hari 14,23b 4,44

b 108,74

b 25,68

b

Page 129: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

106

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Diameter tongkol jagung, bobot 100 biji dan bobot biji tongkol-1

yang

paling tinggi dalam percobaan ini ditunjukkan oleh perlakuan pengelolaan

biomasa CU dan PL in situ dibanding dengan jenis bimassa MP, CP dan kontrol.

Pengelolaan biomasa CU dan PL dapat meningkatkan diameter tongkol masing-

masing sebesar 35,02% dan 34,77%, bobot 100 biji sebesar 44,98% dan 44.25%,

serta bobot biji tongol-1

sebesar 24,14% dan 24,35% lebih tinggi dan berbeda

nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.21).

Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan

diameter tongkol, bobot 100 biji dan bobot biji tongkol-1

yang lebih tinggi dan

berbeda nyata dibanding masa inkubasi biomasa 30 hari sebelum tanam. (Tabel

5.21).

5.5.9 Hasil jagung pipilan kering k.a. 15% dan bobot kering tanaman jagung

Hasil jagung pada percobaan ini dinyatakan sebagai bobot biji pipilan

kering per satuan luas. Hasil analisis ragam menunjukan tidak terjadi pengaruh

interaksi, namun terhadap faktor tunggal yang diuji menunjukkan penggunaan

jenis LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa LPT in situ

berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap bobot biji jagung pipilan kering dan

bobot kering tanaman untuk faktor tunggal, sedangkan faktor interaksi tidak

berpengaruh nyata (Lampiran 32).

Bobot biji jagung pipilan kering k.a. 15% tertinggi ditunjukkan oleh

perlakuan pengelolaan biomasa PL dan CU in situ yang nyata lebih tinggi

Page 130: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

107

meningkatkan hasil sebesar 88,17% (7,00 t ha-1

) dan 86,29% (6,93 t ha-1

)

dibanding hasil jagung pada lahan yang mendapat perlakuan pengelolaan biomasa

jenis MP dan CP dan kontrol. Sementara faktor tunggal masa inkubasi biomasa

yang diperlakukan sebelum tanam juga memberikan pengaruh yang nyata

terhadap hasil sebesar 6,15 t ha-1

untuk 10 hari sebelum tanam dan 20 hari

sebelum tanam 6,05 t ha-1

dibanding masa inkubasi 30 hari sebelum tanam yang

memberikan hasil jagung sebesar 5,10 t ha-1

(Tabel 5.22).

Tabel 5.22

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot biji

jagung pipilan kering k.a 15% dan bobot kering tanaman jagung

Perlakuan Faktor Tunggal

Bobot biji jagung

pipilan kering k.a.

15% (t ha-1

)

Bobot kering tanaman

(t ha-1

)

Jenis biomasa LPT:

Tanpa LPT (kontrol) 3,72d 8,34

b

Biomasa CP 5,25c 10,2

b

Biomasa MP 5,94b 12,95

a

Biomasa CU 6,93a 13,76

a

Biomasa PL 7,00a 13,83

a

Masa inkubasi biomasa:

10 hari 6,15a 12,14

ab

20 hari 6,05a 12,30

a

30 hari 5,10b 11,01

b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Bobot kering tanaman jagung yang diamati pada percobaan ini

memperlihatkan respon yang berbeda. Bobot kering tanaman jagung tertinggi

ditunjukkan pada perlakuan pengelolaan biomasa jenis PL, CU dan MP (dengan

Page 131: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

108

bobot masing-masing sebesar 13,83 t ha-1

, 13,76 t ha-1

dan 12,95 t ha-1

) nyata

lebih tinggi dengan bobot kering tanaman jagung yang dicapai oleh jenis legum

CP dan perlakuan kontrol (tanpa LPT). Faktor tunggal masa inkubasi biomasa

menunjukkan perlakuan masa inkubasi 20 hari dan 10 hari sebelum tanam dapat

meningkatkan bobot kering tanaman jagung (12,30 t ha-1

dan 12,14 t ha-1

) yang

nyata lebih tinggi dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel

5.22)

5.5.10 Bobot kering gulma

Pengelolaan tanaman LPT sebagai tanaman bera dalam sistem budidaya di

lahan kering secara nyata dapat menekan pertumbuhan gulma selama pertanaman

jagung. Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi, namun

terhadap faktor tunggal yang diuji menunjukkan adanya pengaruh yang sangat

nyata (p<0,01) pada 20 hst dan pengaruh yang nyata (p<0,05) pada 40 hst

terhadap bobot kering gulma (Lampiran 33)

Tabel 5.23

Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot

kering gulma

Perlakuan Faktor Tunggal Bobot kering gulma (g m

-2)

20 hst 40 hst

Jenis biomasa LPT:

Tanpa LPT (kontrol) 130,15a 59,88

a

Biomasa CP 119,99a 38,89

b

Biomasa MP 88,50b 24,76

c

Biomasa CU 95,57b 26,90

bc

Biomasa PL 89,90b 26,03

c

Masa inkubasi:

10 hari 98,72b 30,83

a

Page 132: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

109

20 hari 104,67ab

36,43a

30 hari 110,48a 38,62

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah

tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%

Pengelolaan biomasa MP, PL dan CU secara nyata mampu menekan

pertumbuhan gulma baik pada pengamatan 20 hst maupun pada 40 hst dibanding

perlakuan CP dan kontrol (tanpa LPT). Pengelolaan ketiga jenis LPT tersebut

tidak berbeda nyata dan dapat menekan bobot kering gulma pada 20 hst berturut-

turut sebesar 32%), 30,92% dan 26,87%) dibanding dengan CP dan kontrol (Tabel

5.25). Sementara pada pengamatan 40 hst ketiga jenis LPT yang sama masih

memberikan pengaruh terhadap penurunan bobot kering gulma, yaitu berturut-

turut sebesar 58,65%, 56,52 dan 55,07% dibanding dengan jenis CP dan kontrol

(Tabel 5.23).

Perlakuan faktor tunggal masa inkubasi biomasa juga memperlihatkan

bobot kering gulma yang berbeda. Bobot kering gulma terendah pada 20 hst

ditunjukkan pada masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dan berbeda

nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam. Pada pengamatan ke-40 hst

masa inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap bobot kering

gulma (Tabel 5.23).

5.6 Hubungan antara Simpanan C-Organik dengan Kualitas Tanah dan

Hasil Jagung di Lahan Kering

Hasil percobaan secara umum menunjukkan bahwa penggunaan LPT

sebagai tanaman bera dalam sistem pertanian di lahan kering berpengaruh

terhadap perubahan simpanan C-organik tanah. Perubahan simpanan C-organik

Page 133: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

110

ini berhubungan dengan hasil proses dekomposisi biomasa LPT yang secara nyata

mempengaruhi kualitas tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah serta hasil

jagung.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata

(p<0,01) antara simpanan C-organik tanah dengan kualitas tanah yang

ditunjukkan oleh (kadar air tanah, bobot isi tanah, porositas tanah, C-organik,

kadar N total, P-tersedia, Ca, Mg, KTK, total koloni mikroorganisme dan respirasi

tanah. Selanjutnya setelah dilakukan uji regresi untuk melihat kekuatan hubungan

ternyata dari semua variabel kualitas tanah yang diuji, hanya variabel bobot isi

tanah, porositas, pH, C-organik, N tanah dan K tanah yang mempunyai keeratan

hubungan dengan simpanan C-organik tanah (Lampiran 34)

Hubungan antara hasil jagung dengan simpanan C-organik tanah dan

kualitas tanah, juga telah dianalisis melalui uji korelasi dan regresi. Hasil uji

korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata (p<0,01) antara hasil

jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1

) dengan simpanan C-organik dan kualitas

tanah. Selanjutnya hasil uji regresi antara hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t

ha-1

) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah, menunjukkan dari 14

variabel yang diuji terdapat 9 variabel yang memiliki keeratan hubungan dengan

hasil jagung, yaitu: simpanan C, bobot isi tanah, porositas tanah, pH tanah, C-

organik, kadar N, P-tersedia, KTK tanah dan respirasi tanah, dengan nilai

koefisien determinasi, R2 sebesar 0,9402. Sedangkan variabel lainnya (bahan

organik, K, Ca, Mg, total koloni mikrooragisme tidak mempunyai keeratan

hubungan dengan hasil jagung (Lampiran 35).

Page 134: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

111

VI PEMBAHASAN

Pembahasan terhadap hasil penelitian disertasi ini dibagi dalam tiga

kelompok bahasan berdasarkan kaitan masing-masing hasil penelitian dari

percobaan-percobaan yang telah dilakukan. Kelompok bahasan tersebut meliputi:

(i) Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa legum penutup tanah; (ii)

Kontribusi legum penutup tanah terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah

di lahan kering; dan (iii) Pengelolaan biomasa legum penutup tanah terhadap

sinkronisasi hara dan hasil jagung di lahan kering, serta pada bagian akhir

pembahasan, akan diberikan suatu model bagaimana pengelolaan lahan kering di

masa datang. Uraian pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut adalah

sebagai berikut:

6.1 Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomasa LPT

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju dekomposisi dan pelepasan hara

(mineralisasi) biomasa legum penutup tanah (LPT) berbeda antara jenis biomasa

dan metode aplikasi. Nilai konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT tertinggi

terjadi pada biomasa CU yang diaplikasikan dengan cara pembenaman litter bag,

diikuti oleh biomasa PL dan jenis MP. Nilai konstanta laju dekomposisi (k)

Page 135: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

112

terendah ditemukan pada jenis CP (Gambar 5.2). Sampai hari ke-40 (akhir masa

dekomposisi), nilai konstanta laju dekomposisi biomasa CU, menunjukkan nilai

tertinggi, yaitu sebesar 0,27 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,34 g hari-1

atau 0,26 g tahun-1

), diikuti oleh biomasa PL dengan nilai konstanta mencapai

0,24 (atau laju dekomposisi per waktu sebesar 2,28 g hari-1

atau 0,25 g tahun-1

).

Sementara jenis MP yang dibenamkan juga mempelihatkan konstanta laju

dekomposisi sebesar 0,20 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,04 g hari-1

atau

0,22 g tahun-1

). Berbeda dengan biomassa CP yang dibenam memperlihatkan

konstanta laju dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,15 (laju dekomposisi per

waktu sebesar 1,53 g hari-1

atau 0,17 g tahun-1

) (Gambar 5.2).

Nilai k yang tinggi menunjukkan laju dekomposisi yang berlangsung cepat

dibanding dengan bahan organik yang memiliki nilai k yang rendah. Nilai laju

dekomposisi tahunan dari hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian

Sulistiyanto et al., (2005) yang dilakukan pada species mixed litter di hutan

Kalimantan memperoleh nilai k sebesar 0,28 - 0,39 g tahun-1

yang relatif sama

dari hasil penelitian ini. Sementara hasil penelitian De Costa dan Atapattu (2001)

yang dilakukan di Sri Lanka pada species Calliandra callothyrsus didapatkan

nilai laju dekomposisi sebesar 0,65 g tahun-1

dan pada Plemingia macrophylla

(0,74 g tahun-1

), nilai laju dekomposisi ini relatif lebih tinggi dari pada nilai yang

diperoleh pada penelitian ini.

Kecepatan pelepasan hara meningkat dengan makin meningkatnya laju

dekomposisi (k), artinya semakin tinggi nilai laju dekomposisi (k), maka hara

yang dirilis/dilepaskan (termineralisasi) akan semakin banyak. Hasil penelitian

Page 136: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

113

ini menunjukkan pola pelepasan C, N, P, K dan Ca selama masa dekomposisi

(Tabel 5.3) berbeda secara nyata antara species biomasa baik pada cara aplikasi

litter bag dengan cara pembenaman maupun biomasa yang ditempatkan di atas

tanah.

Mineralisasi (pelepasan hara) dari biomasa LPT asal CU dan PL yang

diaplikasikan dengan cara pembenaman berlangsung cepat, yaitu waktu paruh (t50)

sudah tercapai pada hari ke-20 dibanding dengan biomasa asal MP dan CP yang

waktu paruh (t50) baru tercapai setelah 30 hari (Tabel 5.3). Waktu paruh (t50)

berarti sudah 50% hara yang dilepaskan ke dalam tanah dari konsentrasi awal saat

aplikasi. Waktu paruh (t50) bervariasi untuk berbagai jenis tanaman, termasuk

bagian tanaman dan ditentukan oleh komposisi kimia biomasa tanaman. Serasah

tanaman yang barasal dari golongan legum waktu paruh (t50) tercapai sekitar 2-4

minggu setelah aplikasi (Hairiah dan Murdiyarso, 2007).

Meningkatnya nilai konstanta laju dekomposisi (k) dan pelepasan hara

pada kedua jenis biomasa (CU dan PL) yang berlangsung cepat dikarenakan

kualitas bahan organik ini termasuk kategori tinggi, yaitu mempunyai kandungan

N relatif tinggi, dan memliki konsentrasi lignin, polifenol dan nisbah C/N yang

rendah, di bawah nilai kritis dibanding dengan biomasa MP dan CP. Menurut

Palm et al. (2001) kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang

berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5% dan nisbah C/N

rendah (<20), sehingga mudah dirombak oleh mikroba dalam tanah. Selain itu,

kandungan lignin dan polifenol pada kedua jenis LPT juga lebih rendah dan

berada di bawah nilai kritis yaitu < 15% untuk liginin dan polifenol < 4%

Page 137: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

114

sehingga berpengaruh terhadap kecepatan/laju dekomposisi (Handayanto et al.,

1997; Rachman et al., 2006).

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa laju dekomposisi biomasa LPT

dan pelepasan hara pada percobaan ini sangat ditentukan oleh kualitas sifat kimia

biomasa LPT. Parameter kualitas sifat kimia biomasa yang paling baik untuk

menjelaskan konstanta laju dekomposisi (k) dari biomasa LPT adalah: (i) kadar N

total, (ii) nisbah C/N, dan (iii) kadar polifenol dari biomasa LPT (Tabel 5.1),

dengan persamaan regresi: Yk = 0,055 + 0,034N + 0,003C/N – 0,005Polifenol

(R2:0,98). Persamaan regresi ini memberikan gambaran bahwa 98% konstanta

laju dekomposisi (k) ditentukan oleh tiga variabel yaitu kadar N, nisbah C/N dan

kadar polifenol yang terkandung dalam biomasa LPT.

Hasil analisis regresi stepwise untuk melihat konstribusi ke tiga variabel di

atas terhadap konstanta laju dekomposisi menunjukkan bahwa nilai koefisien

determinasi (R2), masing-masing adalah kadar N (0,9792), nisbah C/N (0,9772)

dan kadar polifenol (0,9687).

Hasil analisis regresi stepwise tersebut membuktikan bahwa kadar N

biomassa LPT memberikan kontribusi yang besar yaitu 97,92% terhadap

konstanta laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT. Kadar N dalam

bahan organik merupakan titik kritis yang menentukan terjadinya dekomposisi

dan mineralisasi serta imobilisasi. Menurut Palm et al. (1997) bahan organik

yang kadar N >2,5% akan mendorong terjadinya mineralisasi yang lebih cepat

selama proses dekomposisi, sebaliknya bahan organik yang kadar N <2,5% akan

Page 138: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

115

mendorong terjadinya proses imobilisasi selama proses dekomposisi. Nitrogen

merupakan unsur penting sebagai pembentuk protein.

Selain kadar N, hasil analisis regresi stepwise juga menunjukkan bahwa

nisbah C/N memberikan pengaruh yang nyata, yaitu sebesar 97,72% terhadap

kecepatan dekomposisi dan pelepasan hara. Nisbah C/N umumnya dinyatakan

sebagai faktor kimia penting yang menentukan kecepatan dekomposisi dan

mineralisasi hara N. Hal ini sesuai dengan pendapat Cuevas dan Logu (1998);

Peradeniya (2000), yang menyatakan bahwa nisbah C/N awal dari bahan organik

akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Nisbah C/N menentukan kecepatan

dekomposisi, karena senyawa karbon dan nitrogen penting bagi mikroba selama

proses dekomposisi berlangsung. Karbon diperlukan oleh mikroba sebagai sumber

energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan organik dari

serasah tanaman (biomasa tanaman) yang mempunyai nisbah C/N tinggi lebih

lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi berarti N

dalam bahan organik (serasah) sangat kecil sehingga N yang ada akan

dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan

organik yang memiliki nisbah C/N yang rendah umumnya akan lebih cepat

mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk pada minggu kedua sampai

minggu ke empat (Hairiah dan Murdiyarso, 2007).

Faktor lain yang juga mempunyai hubungan yang erat dengan laju

dekomposisi biomasa LPT dan pelepasan hara adalah kadar polifenol, dengan

nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9687. Tingginya nilai koefisien

determinasi sebesar 96,87%, membuktikan bahwa kadar polifenol memberikan

Page 139: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

116

pengaruh yang besar terhadap laju dekomposisi biomasa LPT. Makin tinggi

kandungan polifenol proses dekomposisi akan makin lambat dan akhirnya makin

besar jumlah hara yang ditahan dalam residu selama proses dekomposisi

berlangsung sehingga makin sedikit hara yang dilepaskan. Hasil penelitian ini

sejalan dengan pendapat Palm dan Sanchez (1991) yang mengemukakan bahwa

polifenol merupakan parameter penting yang dapat dipergunakan dalam

pendugaan kecepatan dekomposisi dari pangkasan pohon legum daerah tropik.

Polifenol adalah senyawa yang larut dalam air dan mampu membentuk

kompleks dengan protein. Oleh karena itu peranan polifenol dalam proses

dekomposisi mungkin tidak ditentukan oleh jumlah total polifenol, tetapi mungkin

lebih ditentukan oleh kemampuan polifenol dalam mengikat protein. Selanjutnya

dikemukakan pula bahwa polifenol dalam mempengaruhi laju dekomposisi dan

mineralisasi ditentukan oleh pengaruh reaksi enzimatik dalam mengikat protein.

Penghambatan ini terjadi karena adanya pembentukan komplek polifenol-protein

di mana polifenol berperan sebagai pelindung protein dari serangan enzim itu

sendiri. Makin tinggi kandungan polifenol dalam biomasa menyebabkan makin

tinggi pula kemampuan mengikat protein dan akhirnya akan menghambat

pelepasan N ke dalam tanah. Akibatnya jumlah N yang dilepas ke dalam tanah

semakin sedikit.

Kandungan lignin dan polifenol yang tinggi dalam bahan organik akan

menghambat proses mineralisasi karena lignin dan polifenol dapat mengikat

protein sehingga menentukan mudah tidaknya bahan organik diuraikan oleh

mikroba tanah (Stevenson, 1994; Handayanto et al., 1997). Lebih lanjut, Torreta

Page 140: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

117

dan Takeda (1999); De Costa dan Atapattu (2001) melaporkan bahwa degradasi

biomasa sudah umum terjadi pada 2-4 minggu pertama, karena proses fisika dan

biologi terjadi lebih cepat pada tingkatan ini dan kebanyakan kehilangan berat ini

berasal dari fraksi yang mudah larut dibanding fraksi lignocellulose (Andren dan

Paustian, 1987). Bahan yang mudah larut pada serasah/biomasa tanaman

kebanyakan mempunyai susunan organik yang sederhana termasuk didalamnya

glukosa, phenolic dan asam amino (Suberkropp et al., 1976). Sementara fraksi

yang sukar larut (lignocellulosa) umumnya terdiri atas lignin, cellulose dan xylam

(Andren dan Paustian, 1987).

Selain komposisi sifat kimia biomasa LPT, faktor lingkungan terutama

suhu dan kelembaban tanah juga ikut mempengaruhi cepat lambatnya tingkat

penghancuran dan laju dekomposisi biomasa serta pelepasan hara. Suhu tanah

pada panelitian ini berbeda, yaitu pada aplikasi diatas tanah diperoleh suhu tanah

permukaan (0-5cm) sebesar 34,92oC dan untuk metode pembenaman diperoleh

suhu tanah (pada kedalaman 15-20 cm) rata-rata sebesar 27,68oC dan kelembaban

tanah rata-rata sebesar 55oC. Melalui pembenaman kadar air biomasa akan lebih

tinggi karena adanya perbedaan konsentrasi dimana uap air dalam tanah akan

diserap oleh biomasa LPT dalam litter bag sehingga meningkatkan kadar air

dalam biomasa. Meningkatnya kadar air biomasa dalam litter bag maka

temperatur (27,68oC ) dan kelembaban tanah (55%) tetap terpelihara dan relatif

lebih stabil (variasi harian) sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah

dalam proses dekomposisi dan mineralisasi.

Page 141: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

118

Faktor lainnya yang berperan penting dalam laju dekomposisi dan

pelepasan hara adalah mikroba tanah. Hasil percobaan ini menunjukkan cara

pembenaman nyata meningkatkan total koloni mikroba tanah lebih besar 22x106

cfu dibanding yang diaplikasikan di atas permukaan tanah yang hanya mencapai

17x104 cfu (Tabel 5.4). Peningkatan total koloni mikroba tanah ini berdampak

positip pada laju dekomposisi dan pelepasan hara (mineralisasi). Kondisi ini

berbeda dengan biomasa yang ditempatkan di atas permukaan tanah, penurunan

berat dan laju dekomposisi berjalan lebih lambat karena fluktuasi temperatur dan

kelembaban tanah relatif tinggi sehingga menghambat aktivitas mikroba

pendekomposisi. Aktivitas hewan tanah tidak dimonitor dalam penelitian ini tetapi

terlihat dari pengamatan visual di lapangan cara pembenaman dapat meningkatkan

aktivitas fauna tanah karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik.

Kondisi lingkungan yang optimum ini akan dapat meningkatkan aktivitas

mikroba perombak dalam menguraikan bahan organik. Menurut Sutedjo et al.

(1991), kondisi lingkungan yang optimum adalah: pH netral antara 5,5-7,5), suhu

tanah optimum berkisar 20-28oC dan kelembaban tanah antara 50-60%. Faktor

lingkungan ini menjadi penentu bagi organisme tanah dalam melakukan aktivitas

biologisnya di dalam tanah.

Dekomposisi biomasa LPT pada dasarnya akan menghasilkan perubahan

kondisi di dalam tanah di bawah pengaruh faktor biotik dan abiotik. Dekomposisi

LPT merupakan aspek penting dalam upaya menjaga kestabilan ekosistem lahan,

termasuk di dalamnya siklus nutrisi yang menentukan tingkat daur-ulang nutrisi

Page 142: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

119

menjadi hara tersedia bagi tanaman. Hal ini menjadi aspek penting dalam upaya

pengelolaan lahan budidaya pertanian lahan kering secara berkelanjutan.

Namun demikian seringkali laju mineralisasi atau pelepasan hara selama

proses dekomposisi melebihi kebutuhan tanaman pada awal pertumbuhannya,

sehingga sebagian hara yang tidak diserap oleh tanaman akan mudah hilang oleh

pencucian atau pengupanan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengetahuan

tentang pengelolaan biomasa LPT sebagai sumber C-organik dalam hal ini tentang

kualitas sifat kimia biomasa LPT dan laju dekomposisi, menjadi sangat penting

agar didapatkan hasil yang baik.

6.2 Kontribusi LPT terhadap Simpanan C-Organik dan Kualitas Tanah di

Lahan Kering

Karbon organik tanah (C-organik tanah) merupakan salah satu komponen

penyusun tanah yang penting dalam ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber

(source) dan pengikat/penyerap (sink) serta sebagai substrat bagi mikroba tanah.

Hasil percobaan secara umum, menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai

tanaman bera dan pengelolaan biomasa pasca bera berkontribusi secara nyata

terhadap peningkatan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering

(percobaan 3 dan 4).

Hasil analisis terhadap simpanan C-organik tanah pada akhir percobaan 4,

menunjukkan bahwa penanaman dan pengelolaan biomasa LPT jenis PL, CU dan

MP secara nyata mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah. Hasil analisis,

menunjukkan LPT jenis PL meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar

53,05% (86,69 t ha-1

), diikuti CU sebesar 53,07% (86,70 t ha-1

) dan legum PL

Page 143: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

120

sebesar 46,45% (82,95 t ha-1

) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan jenis CP

yang hanya mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 15,95%

(65,11 t ha-1

) dari kontrol (Tabel 5.14). Penggunaan LPT juga nyata meningkatkan

kadar C-organik dan bahan organik tanah (Tabel 5.14).

Meningkatnya simpanan C-organik, kadar C-organik dan bahan organik

tanah yang disumbangkan oleh PL, CU dan MP pada percobaan ini, disebabkan

oleh adanya penutupan permukaan tanah selama masa bera (5 bulan) oleh

fitomasa tanaman LPT yang memiliki kualitas yang tinggi serta tingginya

produksi biomasa (b.k. 10,22-11,99 t ha-1

) dan serapan C oleh LPT yang lebih

tinggi dibanding dengan jenis CP (Tabel 5.9). Selain itu, ketiga jenis LPT ini

mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi yang kering serta memiliki

pertumbuhan yang cepat yang ditunjukkan oleh prosentase penutupun lahan yang

tinggi (Tabel 5.7).

Melalui pengembalian biomasa LPT akan terjadi proses pelapukan

sehingga akan meningkatkan simpanan C-organik tanah. Peningkatan simpanan

C-organik di dalam tanah mencerminkan jumlah C yang diserap tanaman LPT

dari udara telah masuk dan terdekomposisi di dalam tanah melalui biomasa

tanaman in situ yang dikembalikan, akar tanaman dan biota dalam tanah.

Menurut Colins et al. (1992); Hikmat (2005); Ruddiman (2007) menyatakan

bahwa separuh dari jumlah karbon dioksida (CO2) yang diserap tanaman dari

udara bebas tersebut masuk ke dalam tanah melalui pengembalian residu tanaman

(serasah), akar tanaman yang mati, dan organisme tanah lainnya dan mengalami

dekomposisi sehingga terakumulasi dalam lapisan tanah.

Page 144: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

121

Kenyataan tersebut memberikan petunjuk bahwa penggunaan LPT selama

masa bera dan pengelolaan biomasanya memberikan kontribusi positip terhadap

peningkatan produktivitas lahan kering. Meskipun di lahan kering kesuburannya

rendah, tetapi tanah ini lebih cepat respon dengan baik bila dilakukan pengelolaan

yang baik, misalnya dengan pengembalian sebagian residu tanaman ke dalam

tanah.

Selain simpanan C-organik tanah, pengamatan terhadap kualitas tanah

pada percobaan 3 dan 4 juga telah dilakukan untuk melihat respon penggunaan

LPT dalam lahan budidaya tanaman jagung. Hasil analisis sifat fisik, kimia dan

biologi tanah pada penelitian ini (percobaan 3 dan 4), menunjukkan adanya

kontribusi yang nyata yang diberikan oleh LPT yang ditanam selama masa bera

terhadap perubahan kualitas tanah. Tingginya C-organik yang disumbangkan juga

mempengaruhi kualitas tanah (Stevenson, 1994). C-organik memegang peranan

penting sebagai sumber (source) dan penyerap (sink) hara serta sebagai substrat

bagi mikroba tanah, juga sebagai pembenah tanah (Lal et al., 2001; Kimble et al.,

2002; Rachman et al., 2006; Tornquist et al., 2009).

Manfaat dari bahan organik (C-organik tanah), selain sebagai sumber hara

juga dapat bermanfaat sebagai pembenah tanah telah banyak dibuktikan. Hasil

rangkuman dari berbagai penelitian dapat disimpulkan pembenah tanah dalam

bentuk polimer organik mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam

memperbaiki sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah

(Rachman et al., 2006).

Page 145: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

122

Pengamatan sifat fisik tanah sebagai respon dari penggunaan LPT, yang

meliputi kadar air, suhu, bobot isi (bulk density) dan porositas tanah

menunjukkan bahwa pengunaan LPT jenis MP, CU dan PL selama masa bera dan

pengelolaan biomasa in situ mampu meningkatkan secara nyata kadar air tanah

(Gambar 5.5), menurunkan suhu tanah (Gambar 5.6) serta menurunkan bobot isi

tanah dan meningkatkan porositas tanah (Tabel 5.8) lebih baik dibandingkan

dengan legum CP dan tanpa legum penutup tanah (kontrol).

Perbedaan kontribusi terhadap perbaikan sifat fisik tanah ini, dipengaruhi

oleh jumlah bahan organik yang disumbangkan oleh LPT yang diintroduksi dalam

lahan budidaya. Jenis MP, CU dan PL memiliki tajuk (daun dan batang) yang

padat dan tebal sehingga mampu menutupi permukaan tanah selama masa bera,

yang ditunjukkan oleh nilai area cover yang tinggi mencapai 98,36-99,35%

(Tabel 5.7). Dampaknya adalah kelembaban tanah selama masa bera selalu

terpelihara sehingga aktivitas mikroba tanah dalam mendekomposisi serasah

tanaman yang gugur tetap berlangsung. Salah satu hasil akhir dekomposisi berupa

humus, selain sebagai sumber hara juga dapat berperan sebagai bahan pembenah

tanah alami (soil conditioner), yang dapat memperbaiki struktur tanah serta dapat

merubah kapasitas tanah dalam menahan dan melalukan air.

Salah satu asas dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana menutupi

permukaan tanah sepanjang tahun agar terhindar dari terpaan cahaya langsung

terutama selama musim kemarau dan musim hujan yang dapat dilakukan dengan

metode vegetatif (Utomo, 1994; Arsyad, 2010). Metode vegetatif adalah

penggunaan tanaman ataupun sisa tanaman untuk menutupi permukaan tanah agar

Page 146: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

123

terhindar dari terpaan langsung energi matahari dan curah hujan, selain itu dapat

memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung

mempengaruhi besarnya air yang dapat ditahan oleh tanah. Penggunaan tanaman

penutup tanah dalam bentuk hidup ataupun mulsa dapat mempertahankan kadar

air tanah dan menjaga suhu tanah melalui penurunan penguapan atau melalui

peningkatan kemampuan tanah menahan air (Arsyad, 2010).

Pengamatan terhadap suhu tanah (pada percobaan 3), menunjukkan

penggunaan legum MP, CU dan PL selama masa bera, menurunkan suhu tanah

rata-rata sebesar 2,25-6,05% (28,59-28,25oC) sejak 2-5 bst dibanding tanpa LPT

(29,31oC). Sedangkan legum CP hanya mampu menekan suhu tanah antara

1,14% (28,63oC) pada umur 2 bst sampai 3,37% (28,17

oC) pada umur 5 bst

(Gambar 5.6). Hasil penelitian ini serupa dengan yang diperoleh Sauer et al.

(1996) yang melaporkan bahwa pengembalian residu tanaman jagung

menurunkan suhu tanah sekitar 0,5oC pada kedalaman 0,05 m.

Suhu tanah dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari pada

permukaan tanah, sehingga dengan adanya penutupan permukaan tanah oleh

tanaman penutup tanah atau residu tanaman sebelumnya akan menghalangi radiasi

matahari langsung mengenai permukaan tanah. Penghalangan radiasi matahari

oleh tanaman penutup tanah ini akan diperoleh suhu tanah yang lebih rendah dari

pada tanpa tanaman penutup tanah. Tadjang (1990) mengemukakan bahwa

variasi suhu harian dipengaruhi oleh faktor luar seperti radiasi surya, keawanan,

presipitasi, dan faktor dalam seperti kandungan air tanah, kandungan bahan

organik tanah serta dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh di atasnya. Adanya

Page 147: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

124

LPT selama masa bera, maka akan menghambat perpindahan udara panas dari

permukaan tanaman ke permukaan tanah.

Hasil pengamatan terhadap sifat fisik lainnya (bobot isi dan porositas

tanah) pada percobaan 3 dan 4, juga terlihat adanya perbedaan yang nyata.

Penggunaan legum MP, CU dan PL selama masa bera, dapat menurunkan bobot

isi tanah rata-rata sampai 7,69-6,15% dari perlakuan tanpa LPT 1,30 g cm-3

menjadi 1,20-1,22 g cm-3

, dan meningkatkan porositas tanah rata-rata sebesar

6,37% (62,77%). Sementara penggunaan CP hanya mampu menurunkan bobot isi

tanah sebesar 3,17% (dari 1,30 g cm-3

menjadi 1,26 g cm-3

) dan porositas tanah

hanya meningkat sebesar 2,71% (56,23%) dibanding tanpa LPT (Tabel 5,8). Hasil

penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Rupa dan Agung (2003) yang

melaporkan bahwa pemberaan dengan LPT dapat menurunkan bobot isi tanah

sekitar 5,10% (0,94 g cm-3

) dibanding bera alami (0,99 g cm-3

) dan meningkatkan

porositas tanah 4,74%. Selanjutnya Erfandi (1988) juga menemukan bahwa

penggunaan pangkasan tanaman legum pohon yang disebarkan di permukaan

tanah seperti: Lamtoro (Leucaena leucephala), Flamengia (Plemingia

macrophylla) dan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dapat menurunkan bobot

isi tanah lebih rendah 14% (1,1 g cm-3

) dibanding tanpa penutup tanah yang

menghasilkan rata-rata bobot isi 1,28 g cm-3

).

Penurunan bobot isi tanah akibat dari perlakuan ini, mungkin disebabkan

oleh adanya tanaman penutup tanah yang memiliki sistem perakaran yang dalam

dan luas sehingga mampu menembus lapisan tanah yang dalam dan membuka

ruang pori tanah yang padat. Pengembalian biomasa in situ juga dapat

Page 148: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

125

meningkatkan simpanan C-organik tanah yang akan menghalangi kontak langsung

antar butir-bitir hujan yang jatuh di permukaan tanah yang akan menghancurkan

struktur tanah, sehingga akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah. Selain itu,

penggunaan LPT dan pengembalian biomasa akan menambah bahan organik

tanah atau meningkatkan simpanan C-organik tanah. Meningkatnya simpanan C-

organik tanah dapat menjadi penyusun utama fraksi-fraksi dalam solum tanah

sehingga mampu menyatukan ikatan agregat tanah dari daya rusak eksternal.

Menurunnya bobot isi tanah akibat pengelolaan LPT tropis in situ,

berhubungan dengan struktur tanah (Sugito et al., 1995). Hal ini karena biomasa

LPT sebagai sumber bahan organik yang telah melapuk, selain meningkatkan

kesuburan kimia tanah, juga secara langsung meningkatkan agregasi tanah.

Dengan meningkatnya agregasi tanah maka struktur tanah akan menjadi lebih baik

sehingga secara langsung mempengaruhi kamampuan tanah dalam memegang air

(water hollding capacity). Pada keadaan struktur tanah yang baik atau bobot isi

tanah yang rendah, peluang untuk terjadinya stres air menjadi kecil, karena

kisaran kadar air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi lebih

besar. Kondisi ini sangat penting pada usahatani lahan kering yang sering

mengalami cekaman kekeringan.

Penelitian Hairiah dan Murdiyarso (2007) menyatakan bahwa peran

simpanan C-organik dalam perbaikan sifat fisik tanah adalah menciptakan

agregasi tanah sehingga memberikan kondisi sarang pada tanah dan dapat

menurunkan bobot isi tanah. Selanjutnya Buckman dan Brady (1982)

Page 149: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

126

mengemukakan bahwa bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk butir

tanah dan meningkatkan porositas tanah.

Pengamatan terhadap sifat kimia tanah yang meliputi, pH, kadar N, fosfor

(P), kalium (K), Ca, Mg dan KTK tanah pada percobaan ini menunjukkan bahwa

penggunaan LPT sebagai tanaman bera memberikan pengaruh yang

menguntungkan terhadap perbaikan sifat kimia tanah, yaitu adanya peningkatan

sifat kimia tanah dari awal percobaan. Peningkatan sifat kimia tanah yang cukup

tinggi, yang disumbangkan oleh jenis LPT ini erat kaitannya dengan produksi

biomasa LPT sebagai sumber bahan organik (C-organik) tanah. Bahan organik

LPT yang telah melapuk dapat berperan sebagai pembenah tanah (soil

conditioner) sehingga dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang

hara.

Hasil analisis kadar N tanah pada awal percobaan (percobaan 3) dan pada

akhir percobaan (percobaan 4) menunjukkan bahwa jenis LPT yang di coba dapat

meningkatkan kadar N total tanah. Jenis PL dan CU secara nyata meningkatkan

kadar N tanah masing-masing sebesar 62,5% dan 50%, diikuti MP sebesar 43%

dan CP sebesar 12,5% (Tabel 5.16). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Odihiambo dan Bomke (2001) yang melaporkan bahwa penggunaan

LPT secara nyata meningkatkan kadar nitrogen tanah. Meningkatnya simpanan C-

organik tanah akibat pengelolaan LPT menjadi penyebab utama meningkatnya

total N tanah. Biomasa LPT yang mempunyai kadar N tinggi (nisbah C/N rendah)

menunjukkan bahwa kadar N total tanah sangat erat hubungannya dengan

simpanan C-organik tanah.

Page 150: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

127

Peningkatan kadar hara terutama nitrogen tanah juga berkaitan dengan

kemampuan tanaman legum untuk bersimbiosis dengan bakteri rhyzobium yang

merupakan salah satu jenis bakteri penambat N dari udara bebas dengan

membentuk nodul akar pada tanaman tersebut sehingga tanaman mampu

memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi (Tisdale et al.,

1985). Nitrogen yang tertambat oleh tanaman legum dapat digunakan oleh

tanaman inang atau mungkin dieksudasi dari nodul dan masuk kedalam tanah

yang akan meningkatkan kadar nitrogen tanah atau dilepaskan dari hasil

dekomposisi biomasa tanaman setelah dikembalikan dalam tanah. Selanjutnya,

Mafangoya et al. (1997) mengemukakan bahwa pelepasan hara dari dekomposisi

bahan organik sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan organik, kadar

air tanah, temperatur dan aktivitas biologi tanah.

Pengaruh baik dari penggunaan LPT dalam sistem budidaya pertanian

lahan kering berkaitan dengan proses dekomposisi biomasa tanaman yang akan

melepaskan berbagai unsur hara ke dalam tanah secara berangsur-angsur, serta

kemampuannya untuk menambah bahan organik tanah (simpanan C-organik).

Penambahan bahan organik yang bersumber dari biomasa LPT ini akan

memperbaiki kesuburan tanah terutama pada lapisan permukaan. Tanaman

penutup tanah umumnya mempunyai sitem perakaran yang dalam dan luas

sehingga mampu menyerap hara dari lapisan bawah tanah dan kemudian

mengembalikannya ke lapisan permukaan tanah dalam bentuk bahan organik.

Bahan organik (C-organik) merupakan kunci kesuburan tanah karena

memperbesar kemampuan tanah mengikat dan menyerap hara dan air bagi

Page 151: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

128

tanaman, mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah menahan air

dan kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi biota tanah

(Kimble et al., 2002; Tornquist et al., 2009; Lines-Kelly et al., 2009).

Peningkatan sifat kimia tanah ini terjadi karena adanya pengelolaan

biomasa LPT pasca pemberaan melalui pembenaman. Melalui teknik pengelolaan

biomasa dengan cara pembenaman, biomasa yang dikembalikan akan cepat

mengalami pelapukan sehingga akan meningkatkan kadar C-organik tanah.

Meningkatnya kadar C-organik tanah juga berdampak pada peningkatan KTK

tanah, dan peningkatan unsur hara seperti N, P dan K, yang merupakan hasil

mineralisasi bahan organik tersebut (Buckman dan Brady, 1982).

Sifat biologi tanah yang diamati pada percobaan ini menunjukkan

penggunaan LPT selama masa bera dan pengelolaan biomasanya, secara nyata

meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba tanah yang diukur melalui total

koloni mikroba tanah dan respirasi tanah (Tabel 5.13 dan Tabel 5.20).

Penggunaan LPT jenis PL, MP dan CU selama masa bera dan pengelolaan

biomasanya, menunjukkan adanya peningkatan populasi mikroba tanah antara

1,39-1,68 kali pada akhir masa bera dan meningkat sebesar 2,87-5,26 kali lebih

besar pada akhir panen jagung dibandingkan dengan legum CP dan tanpa LPT

(Tabel 5.13).

Demikian pula aktivitas mikroba tanah yang diukur melalui respirasi

tanah, terlihat bahwa ketiga jenis legum ini secara nyata dapat meningkatkan

aktivitas mikroba tanah, yaitu pengelolaan biomasa jenis PL in situ yang

dibenamkan secara nyata meningkatkan respirasi tanah sebesar 4,97 kali (2,87 mg

Page 152: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

129

CO2 g-1

hari-1

) diikuti biomasa CU yang meningkat sebesar 4,89 kali (2,83 mg

CO2 g-1

hari-1

) dan MP dengan peningkatan sebesar 4,52 kali (2,65 mg CO2 g-1

hari-1

) lebih tinggi dibandingkan dengan legum CP (1,62 mg CO2 g-1

hari-1

) dan

tanpa LPT (0,48 mg CO2 g-1

hari-1

) (Tabel 5.20).

Perbedaan sifat biologi tanah ini disebabkan oleh tingginya produksi

biomasa sehingga dapat menutupi lahan selama masa bera yang memungkinkan

kondisi lingkungan rhizosphere yang selalu terjaga terutama tingkat kelembaban

tanahnya. Kondisi lingkungan rhizosphere yang kondusif ini dapat memacu

perkembangbiakan dan aktivitas mikroba (jasad renik) tanah dalam melakukan

fungsinya untuk mendekomposisi dan memineralisasi unsur hara bagi tanaman.

Dekomposisi bahan organik oleh mikroba tanah akan berpengaruh terhadap pH,

unsur hara (N, P, K, Ca, Mg) dan KTK tanah. Selain itu, perbedaan sifat biologi

tanah juga disebabkan oleh adanya inveksi mikoriza pada perakaran tanaman PL

(60,54%) dan CU (58,13%) lebih banyak dibandingkan dengan perakaran

tanaman MP (53,14%) dan CP (44,89%) (Tabel 5.13). Meningkatnya prosentase

inveksi mikoriza pada akar tanaman legum, secara nyata dapat meningkatkan luas

permukaan akar tanaman.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa, simpanan C-organik tanah

sangat kuat dipengaruhi oleh empat variabel yaitu produksi biomasa (bobot

kering), serapan C, N yang tertambat, kadar C-organik tanah dan bobot isi tanah,

yang diperoleh dengan persamaan regresi:

YSimpanan C = -56,49 - 8,04prod.biomasa +16,29serapan C - 4,76 N-tertambat+43,28 Bobot isi tanah

+ 36,23C-org dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,98

Page 153: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

130

Persamaan regresi di atas membuktikan bahwa 98% simpanan C-organik

tanah akibat pemberaan dengan LPT dipengaruhi oleh produksi biomasa (b.k. t ha-

1), serapan C (t ha

-1), N yang tertambat (kg ha

-1) dan kondisi fisik tanah terutama

bobot isi tanah (g cm-3

). Makin tinggi produksi biomasa, serapan C dan N yang

tertambat, serta makin menurunya bobot isi tanah akan makin meningkatkan

simpanan C-organik tanah di lahan kering. Meningkatnya simpanan C-organik

tanah maka kualitas tanah juga akan meningkat. Menurut Collins et al. (1992)

salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan lahan pertanian adalah tetap

terpeliharnya simpanan karbon organik tanah sehingga terjadi keseimbangan

dalam tanah, lingkungan dan keragaman sumberdaya hayati dalam tanah.

Hasil percobaan ini membuktikan bahwa LPT sebagai tanaman bera

dalam sistem budidaya di lahan kering mampu memelihara dan meningkatkan

simpanan C-organik dan kualitas tanah.

6.3 Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Sinkronisasi Hara dan

Hasil Jagung di Lahan Kering

Biomasa tanaman merupakan sumber bahan organik yang memadai dan

dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman, terutama nitrogen dan fosfat.

Kandungan nitrogen 2,5% dan fosfat 0,24% yang dikandung bahan organik

merupakan titik kritis yang menentukan terjadi poroses mineralisasi dan

imobilisasi (Palm et al., 1997). Bahan organik yang kadar N <2,5% dan P

<0,24% akan mendorong proses imobilisasi N dan P selama proses dekomposisi

sehingga menyebabkan tanah kekurangan unsur N dan P; sebaliknya bahan

organik yang kadar N>2,5% dan P>0,24 akan mendorong terjadinya proses

Page 154: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

131

mineralisasi N dan P organik menjadi bentuk anorganik yang mudah tersedia bagi

tanaman. Hasil analisis terhadap kualitas sifat kimia LPT (Tabel 5.1)

menunjukkan bahwa biomasa CU dan PL memiliki kualitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan biomasa MP dan CP.

Percobaan 2, yang bertujuan untuk melihat tingkat sinkronisasi hara N pada

tanaman jagung yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT, menunjukkan

bahwa ketersediaan unsur hara N (N-tersedia) dan kebutuhan N tanaman

berpengaruh terhadap serapan N dan hasil jagung dalam bobot kering tanaman.

Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa

inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam, menunjukkan pertumbuhan tanaman

yang lebih baik sejak 15 hst sampai 45 hst, walaupun pada 15 hst tidak bebeda

nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam. Hal ini dibuktikan oleh

serapan N tanaman jagung (Tabel 5.5) dan bobot kering total tanaman (Tabel 5.6)

yang lebih tinggi dan meningkat secara linear sejak awal fase vegetatif sampai

akhir fase vegetatif (45 hst) dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum

tanam pada jenis biomasa yang sama.

Perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari

sebelum tanam nyata meningkatkan serapan N rata-rata sebesar 4,1 kali pada 30

hst dan rata-rata 2,31 kali pada 45 hst. Berbeda dengan perlakuan masa inkubasi

30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama, rata-rata menunjukkan

peningkatan serapan N yang lebih rendah yaitu sebesar 3,03 kali pada 30 hst dan

1,79 kali pada 45 hst (Tabel 5.5). Hasil analisis terhadap bobot kering total

tanaman pada akhir fase vegetatif (45 hst), juga menunjukkan perlakuan jenis

Page 155: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

132

biomasa CU dan PL yang diinkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam, secara

nyata meningkatkan bobot kering tanaman pada fase vegetatif rata-rata sebesar

53,60% dan 54,92% berbeda lebih tinggi dengan masa inkubasi 30 hari sebelum

tanam pada jenis biomasa yang sama (Tabel 5.6).

Hasil percobaan ini membuktikan bahwa biomasa LPT sebagai sumber N

yang diinkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam mampu meningkatkan

sinkronisasi hara yaitu adanya kesesuaian antara ketersediaan hara N dan

kebutuhan tanaman jagung akan hara N. Pemberian biomasa dengan waktu

inkubasi 30 hari sebelum tanam kurang tepat. Karena selama 30 hari telah terjadi

mineralisasi N organik, pada hal pada saat itu belum ada tanaman, sehingga N

yang dilepaskan hilang atau terjerap menjadi bentuk yang tidak tersedia. Tingkat

sinkronisasi hara ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineraliasi bahan

organik (Murwira, 1994; Handayanto et al., 1997; Mayers et al., 1997; Anitha dan

Mathew, 2010). Bahan organik yang berkualitas tinggi akan lebih cepat melapuk

akibatnya unsur hara akan dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk yang tersedia

bagi tanaman.

Hasil pengamatan pada percobaan 4, menunjukkan bahwa pengelolaan

biomasa LPT sebagai sumber bahan organik in situ dapat meningkatkan

komponen hasil dan hasil jagung di lahan kering. Pengelolaan biomasa LPT

pasca bera tidak berinteraksi terhadap komponen hasil maupun hasil jagung.

Masing-masing faktor tunggal baik jenis biomasa LPT dan masa inkubasi secara

nyata dapat meningkatkan komponen hasil dan hasil jagung (bobot biji pipilan

kering) per satuan luas.

Page 156: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

133

Hasil analisis terhadap komponen hasil dan hasil jagung (bobot biji pipilan

kering, t ha-1

) pada akhir percobaan menunjukkan bahwa pengelolaan biomasa

LPT jenis PL dan CU in situ dapat meningkatkan komponen hasil (Tabel 5.21)

dan bobot biji jagung pipilan kering (Tabel 5.22). Bobot biji jagung pipilan kering

tertinggi dicapai pada jenis PL sebesar 7,00 t ha-1

atau meningkat sebesar

88,17% dari perlakuan tanpa LPT, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan

biomasa CU dengan peningkatan bobot biji pipilan kering sebesar 86,29% (6,93 t

ha-1

) dibandingkan dengan perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.22). Sementara

perlakuan pengelolaan biomasa MP dan CP, hanya dapat meningkatkan bobot

pipilan kering jagung sebesar 57,67% (5,94 t ha-1

) dan 41,12% (5,25 t ha-1

) dari

perlakukan tanpa LPT (Tabel 5.22).

Tingginya bobot biji jagung pipilan kering yang dicapai oleh pengelolaan

biomasa in situ asal PL dan CU pada percobaan ini, karena PL dan CU memiliki

kualitas dan kuantitas biomasa yang memadai untuk membangun simpanan C-

organik dan kualitas tanah. Dibanding jenis biomasa LPT lainnya, pengelolaan

biomasa PL dan CU lebih efektif karena cepat mengalami proses dekomposisi

dan mineralisasi sehingga kebutuhan tanaman akan unsur hara lebih cepat

terpenuhi.

Faktor tunggal masa inkubasi biomasa LPT, menunjukkan bahwa masa

inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata meningkatkan komponen

hasil dan bobot pipilan kering jagung (Tabel 5.21 dan 5.22). Perbedaan komponen

hasil dan hasil pipilan kering ini berkaitan dengan tingkat sinkronisasi unsur hara

yang di lepaskan oleh biomasa selama proses dekomposisi dengan kebutuhan

Page 157: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

134

tanaman jagung. Apabila waktu penyediaan unsur hara tidak sesuai dengan

kebutuhan tanaman jagung, maka akan terjadi kekurangan atau kelebihan unsur

hara.

Hasil uji korelasi untuk melihat hubungan antara hasil jagung (bobot biji

pipilan kering, t ha-1

) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta bobot

kering gulma menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata (p<0,01) antara

semua variabel. Selanjutnya setelah dilanjutkan dengan analisis regresi bertarap

diketahui prediktor yang lebih kuat menentukan hasil jagung (bobot biji pipilan

kering, t ha-1

) adalah simpanan C-organik, bobot isi tanah dan N tanah, dengan

model pendugaan sebagai berikut:

YHasil Jagung = 0,258 + 0,001Simp.C - 0,39Bobot isi tanah + 25,95N tanah, (R = 0,83)

Persamaan regresi tersebut memberikan gambaran bahwa, sekitar 83%

peningkatan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1

) yang diberi perlakuan

pengelolaan biomasa LPT pasca bera dengan masa inkubasi biomasa sebelum

tanam, dominan dipengaruhi oleh simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan

kadar N tanah. Tingginya kontribusi simpanan C-organik tanah dalam

peningkatan hasil jagung (bobot biji pipilan kering), karena simpanan C-organik

dalam tanah akan mempengaruhi sifat-sifat tanah terutama bobot isi tanah dan

ketersediaan hara N yang merupakan unsur esensial bagi tanaman. Meningkatnya

simpanan C-organik tanah maka secara langsung terjadi perbaikan kualitas tanah.

Menurut Edwards et al. (1999); Bot dan Benites (2005) di dalam ekosistem tanah,

simpanan C-organik mempengaruhi pertumbuhan tanaman, juga sebagai sumber

energi bagi organisme tanah dan pemicu ketersediaan hara melalui mineralisasi.

Page 158: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

135

Meskipun hasil biji jagung yang diberi perlakuan biomasa MP dan CP dan

masa inkubasi 30 hari, memberikan hasil jagung yang lebih rendah dibanding

jenis biomasa PL dan biomasa CU, tetapi pemanfaatan biomasa LPT secara umum

sebagai sumber C-organik tanah memiliki banyak kelebihan. Ditinjau dari sisi

lingkungan (tanah) maka pengembalian biomasa LPT in situ pasca bera

memberikan keuntungan terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro fauna tanah.

Pengembalian biomasa tanaman sebagai sumber C-organik dalam tanah akan

menyebabkan aktivitas dan populasi mikroba dalam tanah meningkat, terutama

yang berkaitan dengan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.

Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasanya pasca

bera selain meningkatkan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dalam

mendukung pertumbuhan tanaman, juga secara nyata dapat menekan pertumbuhan

gulma. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa jenis legum MP dapat menekan

pertumbuhan gulma sebesar 32%, diikuti PL (30,92% dan CU (26,87%) pada 20

hst, dibanding CP dan tanpa LPT. Pengaruh positip dalam menekan pertumbuhan

gulma adalah selama masa bera permukaan tanah selalu tertutupi oleh fitomasa

tanaman yang cukup padat sehingga pertumbuhan gulma tertekan karena tidak

mendapat cahaya matahari, dan diduga adanya sifat allelopaty dari akar legum

yang dapat mematikan biji gulma.

6.4 Model Pengelolaan Lahan Kering di Masa Depan

Page 159: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

136

Memperhatikan hasil penelitian yang didasari pada hasil analisis terhadap

respon yang diberikan oleh LPT dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering,

maka dapat disimpulkan bahwa LPT memiliki potensi besar untuk dikembangkan

dalam sistem budidaya tanaman pangan semusim di lahan kering. Penerapan

tanaman LPT dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering diharapkan adanya

peningkatan produktivitas lahan kering secara berkelanjutan.

Secara umum kabupaten Kupang NTT yang tergolong iklim kering dengan

jumlah bulan basah yang singkat sekitar 4 bulan basah, dan sisanya 8 bulan adalah

bulan kering (Tipe iklim D menurut Smith dan Ferguson). Pola distribusi hujan

yang singkat (Desember-Maret) ini menyebabkan usahatani tanaman pangan yang

dijalankan oleh petani pun relatif singkat, hanya berlangsung selama musim hujan

(+4-5 bulan) selebihnya lahan budidaya dibiarkan terbuka sampai menunggu

musim tanam berikutnya. Pola usahatani yang dijalankanpun masih sederhana

yaitu hanya mengandalkan kesuburan alami tanpa menggunakan pupuk sintetis,

akibatnya hasil produksi tanaman pangan (jagung) pada umumnya rendah.

Mempertimbangkan kondisi iklim NTT terutama curah hujan yang

distribusi hujannya singkat (3-4 bulan basah), maka pola tanam yang dapat

dipertimbangkan pada usahatani lahan kering sebagai suatu skenario dalam

pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan, adalah seperti pada Gambar 6.1.

Page 160: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

137

Implementasi LPT dapat dilakukan selama masa bera (6-8 bulan, sehingga

tidak mengorbankan lahan untuk usahatani tanaman semusim pada saat musim

hujan. Penanamannya dapat dilakukan menjelang atau akhir panen tanaman

pangan semusim, yaitu sekitar akhir bulan Maret atau awal bulan April. Adanya

sisa hujan atau sisa kelembaban tanah yang masih tersedia, memungkinkan LPT

yang dipilih (adaptif) dapat tumbuh dengan cepat sehingga dapat menutupi

permukaan tanah yang selama ini dibiarkan terbuka.

Produk biomasa yang dihasilkan ini akan dimanfaatkan kembali sebagai

sumber bahan organik (C-organik) menjelang musim hujan (musim tanam

berikutnya). Cara pengelolaan biomasa adalah melalui pembenaman bersamaan

dengan pengolahan tanah, yang dapat dilakukan 10 sampai 20 hari menjelang

tanam tanaman pangan (jagung). Cara ini terbukti efektif karena dapat

meningkatkan sinkronisasi hara.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Nop Des Jan Peb Maret Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt

Jum

lah

Cu

rah

Hu

jan

(m

m/b

ula

n)

masa bera dengan LPT yang sesuai

Jagung

Masa pembenaman biomassa LPT bersamaan dengan pegolahan tanah 10-20 hari sebelum tanam jagung berikutnya

Gambar 6.1

Pola tanam yang dipertimbangkan sesuai untuk pengelolaan lahan kering secara

berkelanjutan

Page 161: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

138

LPT tidak memiliki nilai ekonomi bagi petani (bukan sumber pangan),

namun ditinjau dari aspek peningkatan produktivitas lahan kering secara

berkelanjutan, pengembangannya memberikan kontribusi yang besar karena

secara ekonomi, sosial dan ekologi menguntungkan. Kontribusi dari tanaman

LPT secara langsung adalah sebagai sumber C-organik tanah. C-organik

merupakan kunci kesehatan dan kualitas tanah baik fisik, kimia, maupun biologi

tanah. Dipilihnya tanaman legum sebagai alternatif tanaman bera, karena

tanaman ini mempunyai kandungan hara yang relatif tinggi dibanding jenis

tanaman penutup tanah lainnya (non legum) dan relatif lebih muda

terdekomposisi, sehingga penyediaan hara menjadi lebih cepat. Kelebihannya,

selain sebagai sumber C-organik, LPT juga berkontribusi dalam peningkatan N

tanah. Hasil penelitian ini, menunjukkan nitrogen yang disumbangkan oleh

tanaman LPT selama masa bera melalui fixasi adalah: CU (476,66 kg ha-1

), PL

(350,04 kg ha-1

) MP (348,06 kg ha-1

) dan CP (122,72 kg ha-1

). Kontribusi

lainnya, adalah dalam daur ulang hara (nutrient recycling) di dalam tanah; karena

dapat menekan kehilangan hara atau tercipta siklus hara tertutup (Hairiah et al.,

2009)

6.5 Temuan Baru Penelitian

Beberapa temuan baru yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu:

1. Sinkronisasi hara N pada tanaman jagung dapat ditingkatkan melalui

pembenaman biomasa P. lunatus (PL) atau C. usaramoensis (CU) pada saat

10 hari sebelum penanaman jagung;

Page 162: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

139

2. Simpanan C-organik di lahan kering dapat ditingkatkan melalui sistem

pemberaan (fallow system) dengan P. lunatus (PL) atau dengan C.

usaramoensis (CU);

3. Sistem pemberaan (fallow system) dengan penanaman LPT tropis dapat

mempersingkat masa bera lahan budidaya pertanian di lahan kering.

VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Jenis biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang

diaplikasikan dengan cara pembenaman mempunyai konstanta laju

dekomposisi (k) yang lebih tinggi, yaitu masing-masing sebesar 0,27 (dengan

laju dekomposisi 2,34 g hari-1

atau 0,26 g tahun-1

) dan 0,24 (dengan laju

dekomposisi 2,28 g hari-1

atau 0,25 g tahun-1

), serta berbeda dengan jenis

biomasa LPT M. pruriens L. (MP) dan C. pubescens Benth. (CP).

Page 163: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

140

2. Masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam secara nyata dapat

meningkatkan sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif

dibandingkan dengan masa inkubasi 20 dan 30 hari sebelum penanaman

jagung.

3. Jenis LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang dijadikan

sebagai tanaman bera dalam sistem pemberaan lahan budidaya pertanian,

dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah (soil organic carbon, SOC)

masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1

) dan 63,16% (86,69 t ha-1

).

Peningkatan simpanan C-organik tanah secara nyata meningkatkan kualitas

tanah.

4. Pengelolaan biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) in

situ pasca bera yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman

jagung dapat meningkatkan bobot pipilan jagung kering k.a. 15% sebesar

88,17% (7,00 t ha-1

) dan 86,29% (6,93 t ha-1

) lebih tinggi dibandingkan

dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens dan C. pubescens Benth.

5. Terdapat hubungan yang erat antara simpanan C-organik tanah (soil storage

organic carbon) dan kualitas tanah dengan hasil jagung (bobot biji pipilan

kering, t ha-1

) yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar

0,83.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, sebagai berikut:

Page 164: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

141

1. Agar hasil temuan ini dapat memberikan manfaat bagi petani lahan kering,

maka perlu dilakukan desiminasi untuk memperkenalkan hasil-hasil penelitian

ini.

2. Perlu dilakukan penelitian eksplorasi lanjutan untuk mengkaji jenis LPT lain

yang potensial dikembangkan di lahan kering.

3. Produktivitas lahan kering terutama tanaman pangan semusim dapat

ditingkatkan melalui sistem pemberaan (fallow system) dengan berbagai jenis

LPT potensial, seperti C. usaramoensis (CU) dan P. lunatus (PL).

4. Jenis M. pruriens dapat dipertimbangkan sebagai tanaman bera untuk

peningkatan simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) di lahan

kering, walaupun kontribusi terhadap hasil jagung pada percobaan ini masih

rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Acosta, S. I. C. 2009. “Promoting the use of tropical legumes as cover crops in

Puerto Rico” (tesis). Mayaguez. University of Puerto Rico.

Anderson, J.M., Ingram, J.S.I. 1989. Tropical Soil Biology and Fertility: a

Hanbook of Methods. Wallingford: CAB International.

Anderson, J.M., Swift, M. J. 1983. Decomposition in Tropical Forest. p.287-309.

In: S.L. Suton. T.C. Withmore and A.C. Chadwick, (eds.). Tropical

Rainforset. Ecology and Management. Blackwell. Oxford.

Andren, O., Paustian, K. 1987. Barley straw decomposition in field: a

comparasion of models. Ecology J. 68: 1190-1200.

Anitha, S., Mathew, J. 2010. In situ green manuring with daincha (Sesbania

aculeata Pers.): a cost effective management alternative for wet seeded

rice (Oryza sativa L.). J. of Tropical Agriculture. 48 (1-2):34-39.

Page 165: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

142

Arifuddin, F.K., Yasin, M.H.G. 2002. Metoda pendugaan hasil jagung. Berita

Puslitbangtan No.24 November 2002.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. Bogor: IPB Press. 472p.

Badan Klimatologi dan Meteorologi Nusa Tenggara Timur. 2012. Data Curah

hujan 10 tahun (2003-2012) di Kabupaten Kupang. Kupang, NTT.

Baldock, J.A., Skjemstad, J.O., Kurl, E.S. 2009. Functions of Soil Organic

Matter and the Effect on Soil Properties. CSRO. Publishing.

Balkcom, K., Schomberg, H., Reeves, W., Clark, A. 2007. Managing Cover

Crops in Conservation Tillage Systems. In: Managing Cover Crops

Profitable (Third Edition). Handbook Series Book 9. Published by the

Sustainable Agriculture Network, Beltsville, MD. U.S. Department of

Agriculture.

BAPPEDA NTT. 2010. Kebijakan dan Program Pemerintah Provinsi NTT.

www.bappeda.nttprov.go.id. diakses 16 Mei 2012.

Barchia, M.F. 2009. Evolusi Karbon Tanah.

http://faizbarchia.blogspot.com/2009/06/evolusi-karbon-tanah.html.

diakses tanggal 7 Oktober 2012.

Bell, M.J., Moody, P.W., Connolly, R.D., Bridge, B.J. 1999. Using active

fraction of soil organic matter as indicators of the sustainability of

ferrosol farming system. Soil Res. Aust. J. 37: 279-287.

Blair, G. J., Chapman, L., Withbread, A.M., Coelho, B.B., Larsen P., Tissen H.

1998. Soil carbon change resulting from sugarcane trash management at

two location in Queensland, Australia and in North-East Brazil. Soil Res.

Aust. J. 38: 87-88.

Berge, B., McClaugherty. 2002. Plant Litter Decomposition Humus. New York:

Springer Verlag.

Bot, A., Benites, J. 2005. The importance of soil organic matter. Key to drought-

resistant soil and sustained food and production. FAO Soils Buletin 80.

Food and Agricukture Organization of the United Nations. Rome: 71p

Buckman, H.O., Brady, N.C. 1982. Ilmu Tanah (Soegiman, Penterjemah). Jakarta:

Penerbit Bhratara Karya Aksara.788p.

Colins, H.P., Rasmunssen, P.E., Douglas, Jr. C. 1992. Crop rotation and recidues

management effect, on soil organic carbon and microbial dynamics. Soil

Sci. Soc.Am. J. 56:783-788.

Cook, C.G., White, G.A. 1996. Crotalaria usaramoensis: a potential multipurpose

fiber crop. p.389-394. In: J. Janick (ed.), Progress in new crops.

Arlington. VA: ASHS Press.

Page 166: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

143

Cuevas, E., Logu, A.E. 1998. Dinamics of organic matter and nutrient return from

literfall in stands of ten tropical tree plantation species. Forest Ecology

and Management. 12:263-279.

Dariah, A., Nurida, N.L., Sutono. 2010. Formulasi bahan pembenah untuk

rehabilitasi lahan terdegradasi. Jurnal Tanah dan Iklim. No 11.

De Costa, W.A.J.M., Atapattu, A.M.L.K. 2001. Decomposition and nutrient loss

from prunnings of different contour hedgerow spesies in tea plantations

in the sloping highlands of Sri Lanka. Agroforestry System, 51: 201-211.

De Santo, A.V., Berg, B., Rutigiliano, F.A., Aleani, A., Frioretto, A. 1993.

Factor regulating early stage of decomposition of needle litters in five

different coniferous forest. Soil Biol. Biochem. 25: 1423-1433.

Dinga, G., Liub, X., Herbertc, S., Novakd, J., Dula, A., Baoshan X. 2006.

Effect of cover crop management on soil organic matter.

www.elsevier.com/locate/geoderma. Geoderma. 130: 229-239

Dirjenbun. 1984. Pedoman Pembangunan Penutup Tanah Kacang-kacangan.

Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian Republik

Indonesia. 79p.

Doran, J.W., Parkin, T.B. 1994. Defining and Assessing Soil Quality. p3-21. In:

J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, B.A. Stewart (eds.), Defining

Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA Spec. Pub. No. 35,

Soil Sci. Soc. Am., Am. Soc. Argon., Madison, WI

Dudal, R., Soepraptohardjo, M. 1957. Soil Classification in Indonesia. Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimatologi. Bogor.

Edwards, J.H., Wood, C.W., Thurlow, D.L., Ruf, M.E. 1999. Tillage and crop

rotation effects on fertility status of a hapludalf soil. Soil Sci. Soc. Am. J.

56:1577-1582.

Erfandi, D., Suwardjo, Rahman, A. 1988. Penelitian alley cropping di Kumang

Kuning Jambi. Pusat Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian.

Eswaran, H., van Den Berg, E. 1993. Organic carbon in soils of the world. Soil

Sci. of Am. J. 57:192-194.

Febrina. 2004. “Kontribusi berbagai jenis tanaman penutup tanah (cover crop)

terhadap perbaikan berbagai sifat kimia Ultisol lahan alang-alang”

(skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

Frye, W.W. 1983. Energy Requirement in No-tillage. p.127-151. In: Philips, R.E.

and S. H. Phillips (eds.), No Tillage Agriculture Principle and Practices.

Page 167: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

144

Gardner, F.P., Pearce, R.B., Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya

(Herawati Susilo, Penterjemah). Jakarta: UI.Press. 428p.

Gomez, K.A., Gomez, A.A. 2007. Statistical Procedures for Agricultural

Research (Endang S. and Justica S.B. (eds.). p.134-136. Jakarta: UI

Press.

Guo, L.B., Sims, R.B.H. 1999. Litter decomposition and nutrient release via litter

decomposition in New Zealand eucalypt short rotation forest.

Agriculture Ecosystem and environment. 75: 133-140.

Guritno, B. 1996. Pengaturan pola tanam dalam upaya peningkatan produktivitas

lahan kering. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Pola

Tanam. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Hairiah, K., Utomo, W.H., van der Heide, J. 1992. Biomass production and

performance of leguminous cover crops on an Ultisol in Lampung.

Agrivta J. 15 (1): 39-44.

Hairiah, K., Widianto, Utami, S. R., Suprayogo, D., Sunaryo, Sitompul, S. M.,

Lusiana, B., Mulia, R., van Noordwyk, M., Cadich, G. 2000.

Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. Refleksi Pengalaman dari

Lampung Utara. ICRAF. Bogor. 187p.

Hairiah, K., Utami, S. R., Lusiana, B., van Noordwijk, M. 2003. Neraca Hara

dan Karbon dalam Sistem Agroforestry. p.105-124. Dalam: Pengantar

Agroforestry. Bahan Ajar 6. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor:.

Hairiah, K., Murdiyarso, D. 2007. Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon

Teresterial. Word Agroforestry Centre-ICRAF. SE. Asia. Bogor-

Indonesia. 88p.

Hairiah K., Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Carbon Tersimpan’ di Berbagai

Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF,

SEA Regional Office, University of Brawijaya. Indonesia. 77 p.

Hairiah, K., van Noordwijk, M., Suprayogo, D. 2009. Interkasi antara Pohon-

Tanah-Tanaman: Kunci keberhasilan atau kegagalan dalam sistem

agroforestry. P.19-39. Dalam: Pengantar Agroforestry. Bahan Ajar 2.

Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

Hakim, N., Nyakpa, Y., Lubis, A.M., Sutopo G.N., Diha, A., Hong, G.O. B.,

Bailey, H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.

Lampung.

Handayanto, E., Cadisch, G., Giller, K. E. 1994. Nitrogen release from prunings

of legume hedgerow trees in relation to quality of the prunings and

incubation method. Plant and Soil. 160 (2): 237-248.

Page 168: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

145

Handayanto, E., Cadisch, G., Giller., K. E. 1997. Regulating N Mineralization

from Plant Recidues by Manipulation of Quality. P.175-185. In: G.

Grdisch and K.E. Giller (eds.). Driven by nature plant litter quality and

decompocition CAB International, Wallingford.

Handayanto, E. 1999. Komponen biologi tanah sebagai bioindikator kesehatan

dan produktivitas tanah. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Madia

dalam ilmu Biologi Tanah pada Fakultas PertanianUniversitas Brawijaya.

Malang.

Handayanto, E., Ismunandar, S. 1999. Seleksi bahan organik untuk peningkatan

sinkronisasi nitrogen pada Ultisol Lampung. J. Habitat. 2 (109 ): 37- 47.

Haraguchi, A., Kojima, H., Hasegawa, C., Tacahashi, Y., Lyobe, T. 2002.

Decomposition of organic matter in peat soil in a minerotrophic mire.

Europ. J. of Soil Biology. 38: 89-95.

Hartemink, A. E. 2001, Biomassa and nutrien accumulation of Piper aduncum

and Imperata cylindrica fallows in the humid lowlands of Papua New

Guinea. Forest Ecology and Management. 144: 19-32.

Haynes, R. J. 1986. The Decomposition Process: Mineralization, Immobilization,

Humus Formation and Degradation. p.52-109. In: R. J. Haynes (ed.).

Mineral Nitrogen in the Plant Soil Systems. Academic Press .Inc.

London.

Hikmat, A. 2005. Biomass estimmation, carbon storage and energy content of

three virgin jung reserves in Peninsular Malaysia. Media Konservasi.

10(2): 1- 8

ICRAF. 1997. Using the wild sunflower tithonia, in Kenya- For Soil Fertilitry and

Crop Yield Improvement. Nairobi. Kenya.

Jastrow, J.D., Boutton, T.W., Miller, R.M. 1996. Carbon dynamics of aggregate-

associated organic matter estimated by carbon-13 natural abundance. Soil

Sci. Soc. Am. J. 60:801-808.

Jime´nez, J.J., Lal, R., Leblanc, H.A., Russo, R.O. 2009. Soil C pool under native

tree plantations in the Caribbean lowlands of Costa Rica. Forest Ecology

and Management. 241: 134-144.

Juma, N.G. 1998. The Pedosphere and its Dinamycs A System: Approach to

Soil Science. Canada Quality Color Press Inc. 315p.

Karlen, D.L., Mausbach, M. J., Doran, J.W., Cline, R.G., Harris, R. F., Schuman.

G. E. 1997. Soil quality: A concept, definition, and framework for

evaluation. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:4-10.

Page 169: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

146

Kimble, J.M., Lal, R., Ruttan, L., Folett, R. F. 2002. Agricultural Practices and

Polices for Carbon Sequestration in Soil. Lewis Publisher. 512p.

Komatsuzaki, M., Syaib, M.F. 2010. Comparison of the Faring System and

Carbon Sequestration between Conventional and Organic Rice

Production in West Java, Indonesia. 933p.

Kuo, S., Sainju, U.M., Jellum, E. J. 1997. Winter cover crop effects on soil

organic carbon and carbohydrate in soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:145-

152.

Lal, R. 1995. Erosion crop productivity relationships for soils of Africa. Soil Sci.

Soc. Am. J. 5: 661-667.

La1, R. 1998. Soi1 erosion impact on agronomic productivity and environment

quality. Plant Sciences. 17: 319-464.

Lal, R., Rgnier, E., Eckert, D.I., Edwards, W.N., Hammond, R. 2000.

Espectation of cover crop for sustainable agriculture. SWCS. For

Individual Use Only.

Lal, R; Kimble, J.M., Follett, R. F., Stewart, H.A. 2001. Assesment method for

soil carbon. Lewis Publisher. 676p.

Lal, R. 2006. Enhancing crop yields in the devolopping countries through

restoration of the soil organic carbon pool in agricultural lands. Land

Degrad. Devolopping. 17: 197-209.

Larson, W.E., Pierce, F.J. 1994. The dynamics of soil quality as a measure of

sustainable management. p.37-51. In: J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F.

Bezdicek, and B.A. Stewart (eds.), Defining Soil Quality for a

Sustainable Environment. SSSA Spec. Pub. No. 35, Soil Sci. Soc. Am.,

Am. Soc. Argon., Madison, WI.

Lines-Kelly, R., Mcleod,M., Tinning, G., Slavich, P., Tinning, G., Iskandar, T.,

Moore, N., Rachman, A., Jenikins, A., Cox, J. 2009. Panduan untuk

Petani Mengenai Kehidupan Organisme Tanah. Program Kemitraan

Australia-Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan. Departemen

Pertanian Republik Indonesia.

Lipper, G.W., Uren, N.C. 1993. Soil Carbon and Soil Health. Soil Science, an

introduction (5th edn ed). Melbourne. Melboirne University Press.

Liu, X., Herbert, S.J., Hashemi, A.M. Zhang, X., Ding, G. 2006. Effects of

agricultural management on soil organic matter and carbon

transformation-a review. Plant. Soil Environ. 56(12): 531–543.

Mafangoya, P.C., Dzowela, B.H., Nair, P.K. 1997. Effect of multipurpose trees,

age of cutting and drying method on prunning quality. p.167-174. In G.

Page 170: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

147

Gradisch and K.E. Giller (eds), Driven by Nature Plant Litter Quality

and Decomposition. CAB International, Wallingford.

Maswar. 2005. Kecepatan dekomposisi biomassa dan akumulasi karbon pada

konversi lahan Gambut menjadi perkebunan Kelapa Sawit. p.165-174.

Dalam: Proseding Pertemuan Teknik Kehutanan. Balai Penelitian

Tanah. Bogor.

Milne, E. 2009. Soil Organik Carbon in Encyclopedia of Earth. Cutler J.

Cleveland (ed.) http://www.eoearth.org/article/Soil_organic_carbon

diakses tanggal 2 Maret 2012.

Myers, R.J.K.,.van Noordwijk, M., Vityakon, P. 1997. Synchrony of nutrient

release and plant demand: Plant litter quality, soil environment and

farmer management option. p.215-232. In: G. Grdisch and K.E. Giller

(eds.) Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition. CAB

International, Wallingford.

Murwira, H.R. 1994. Synchrony relationship of nitrogen release and plant uptake

in a Zimbabwean sandy soil amended with manure and fertilizer

nitrogen. African Crop Science J. 2(1): 69-77

Naidu, M., 1981. “Studies on the appropriate proportion of organic and chemical

fertilizer” (tesis). Tannil Naidu Agric. Univ.Coimbatre.

Nardi, S., Morari, F., Berti, A., Tosoni, M., Giardini, L. 2004. Soil organic

matter properties after 40 years of different use of organic and mineral

fertilisers. Europ. J. Agronomy. 21: 357-367.

Odihiambo, J.J., Bomke, A.A. 2001. Grass legume cover crop effect on dry matter

and nitrogen acumulation. Agron. J. 93: 299-307.

Oladoye, A. O., Ola-Adams, B.A., Adeire, M.O., Agboola, D.A. 2005. Nutrient

dynamics and litter decomposition in Leucena leucocephala (Lam.) de

Wit Plantation in the Nigerian Derived. West African of Applie Ecology.

Volume 13.

Olson, K.R., Ebelhar, S., Lang, A., James, M. 2010. Cover crop effects on crop

yields and soil organic carbon content. Soil Science. 175:89-98.

Palm, C. A., Sanchez, P. A. 1991. Nitrogen release from the leaves of some

tropical legumes as effected by their lignin and polyphenolic contents.

J. of Biology and Biochemistry. 23: 83-88.

Palm, C.A., Myers, R.J.K., Mandawa, S.M. 1997. Combines use of organic and

inorganic nutrient sources for soil fertility maintenance and

replenishment. Soil Sci. Soc. Am. J. (Spec. Publ.51): 193-217.

Page 171: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

148

Palm, C.A., Gachengo, C.N., Delve, R.J., Cadisch, G., Giller, K.E. 2001. Organic

inputs for soil fertility management in tropical agroecosystems:

application of an organic resource database. Agriculture, Ecosystem and

Environment. 83, 27-42.

Peradeniya, R. M. A. 2000. Integrated Plant Nutrient Systems. Training Manual.

The Fertilizer Advisory Development Information Network for Asia and

the Pacific (FADINAP), Sri Lanka.

Pettifer, J. 2003. Sustainable Agriculture. Global crisis centre. BBC Vidio

Report-The Magic Bean, Juni 2001. Last update: Januari 17 2003.

http://globalcrisis.info/sustainable.html. Diakses tanggal 10 Maret 2013

Power, J.F. 1987. Legumes: Their potential role in agricultural production. Am. J.

of Alter. Agric. 2(2): 69-73.

Prayogo, C., Hairiah, K., van Noordwijk, M. 2000. Kuantifikasi modal dan

distribusi karbon dalam system tebang bakar pada lahan berlereng di

Rantau Pandan, Jambi, Agrivita J. 22 (2) 91-102.

Purwanto, H. 1997. “Penambahan berbagai dosis pangkasan daun tanaman gamal

(Gliricidia sepium) untuk penurunan konsentasi alumunium inorganik

monomerik pada Ultisol Lampung dan Gajrug: Hubungan antara

Konsentrasi Alumunium monomerik dengan Pertumbuhan Perakaran

Tanaman Jagung (Zea mays L.)” (skripsi). Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya, Malang.

Purwanto.H. 2007. Mengenal Lebih Dekat Tanaman Leguminosae. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Rachman, A., Dahria, A., Santoso, J. 2006. Pupuk Hijau. p.41-58. Dalam:

R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan

W. Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar

Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Petranian. Bogor.

Rao, S.N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta:

UI Press.

Reinjtjes, C., Havercort, B., Waters-Beyer, A. 1999. Pertanian Masa Depan (Y.

Sukoco, Penerjemah). Yokyakarta: Penerbit Kanisius.

Rogers, H. 2002. Litterfall, decomposition and nutrient release in a lowland tropical

rain forest, Morobe Province, Papua New Guinea. J. of Tropical Ecology.

18: 449-456.

Regina, I.S., Tarazona. 2001. Nutrient pools to the soil through organic matter and

throughfall under a Scot pine plantation in the Sierra de la Demada, Spain.

Europ. J. of Soil Biology, 37: 125-133.

Page 172: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

149

Ribeiro, C., Madeira, M., Ataujo, M.C. 2002. Decomposition and nutrient release

from leaf litter of Eucalyptus globulus grown under different water and

nutrient regimes. Forest Ecology and Management. 171: 31-41.

Ruddiman, W. 2007. Losses of soil carbon Plows, Plagues, and Petroleum: How

Humans Took Control of Climate. Princeton, NJ: Princeton University

Press. 202p.

Rupa, M., Agung, IG.A.M.S. 2003. Pengaruh pengelolaan sisa tanaman pasca

bera terhadap beberapa sifat fisik dan kimia tanah serta hasil jagung.

Agritrop (Jurnal ilmu-ilmu Pertaian). Vol. 22 (3): 95-104.

Saetre, P. 1998. Decomposition, microbial community structure and earthworm

effects along a birch-spure soil gradient. Ecology J. 79: 834-846.

Samosir, S.S.R. 2000. Pengelolaan Lahan Kering. Program Pascasarjana

Universitas Hasanudin. Makasar. 203p.

Sanchez, P.A. l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. (Johana T. Jayadinata,

Penterjemah). Bandung: Penerbit ITB.

Sarrantonio, M. 2007. Building Soil Fertility and Tilth Cover crops. In: Managing

Cover Crops Profitably (Third Edition): Handbook Series Book 9. MD A

publication of the sustainable agriculture network with funding by the

Sustainable Agriculture Research and Education Program of CSREES,

U.S.Department of Agriculture.

Semaoen, M.I., Agustina, L., Somarno. 1991. Pendekatan sistem usahatani yang

berkelanjutan di lahan kering. p.1-16. Dalam: Proseding Simpoisum

Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering

yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.

Seremecic, S., Milosev, D., Djalovic, L., Zeremski, T., Ninkov, J. 2011.

Management of soil organic carbon in maintaining soil productivity and

yield stability of winter wheat. Plant Soil Environ. J. 57 (5): 216-221.

Shimamura, T., Momose, K. 2005. Organic matter dynamics control plant species

coexistence in a tropical peat swamp forest. p.1503-1510. In proceedings

of the Royal Sociaety: B272.

Six, J., Elliott, R.T., Paustoin, K., Doran, J.W. 1998. Agregation and soil organic

matter accummulation in native grassland soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:

1367-1377.

SSSA (Soil Science Society of America) . 1987. Glossary of soil science terms.

Soil Science Society of America. Madison, W1:p44.

Page 173: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

150

Suberkropp, K., Godshalk, G.L., Klug, M.J. 1976. Change in the chemical

composition of leaves during processing in a woodland stream, Ecology

J. 57: 720-727.

Sugito, Y., Yulia N., Ellis, N. 1995. Sistem Pertanian Organik. Malang: Fakultas

Pertanian Universitas Brawijaya.83p.

Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisisi Kimia Tanah,

Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Departemen Pertaian R.I. 136p.

Sulistiyanto, Y., Rieley, J.O., Lemin, S.H. 2005. Laju dekomposisi dan pelepasan

hara dari serasah pada dua sub tipe hutan rawa gambut di Kalimantan

Tengah. Trop. For. Manage. J. XI (2): 1-14.

Supriyadi. 2003. Studi penggunaan biomassa Thitonia diversifolia dan Tephosia

candida untuk perbaikan P dan hasil jagung di Andisol (disertasi).

Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.

Surhone, L. M., Tennone, M.T., Henssonow, S.F. 2010. Soil Carbon. VDM

Verlag. Dr. Muller AG & Co.kg. 132p.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

219p.

Suwardji., Tejowulan, S. 2002. Pertanian Lahan Kering di Propinsi NTB, Prospek

dan Kendala Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional

Pengembangan Sumberdaya Lokal di Universitas Wangsa Manggala,

Yogyakarta.

Suwardjo. 1981. “Peranan sisa-sisa tanaman dalam konservasi tanah dan air pada

lahan usahatani tanaman semusim” (disertasi). Bogor: Fakultas

Pascasarjana IPB.

Suwardjo, H., Muljadi, Sudirman. 1987. Prospek tanaman Benguk (Macuna)

untuk rehabilitasi tanah Podsolik yang dibuka secara mekanis di Kumang

Kuning Jambi. Proseding Penelitian Tanah Bogor. No.7 : 513- 521.

Sutedjo, M. M., Kartasapoetra, A.G., Sastroatmojdo, R.D.S. 1991. Mokrobiologi

Tanah. Jakarta: Rineka Cipta. 447p.

Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. Second

Ed. New York: John Wiley & Sons. Inc. 496p.

Steenwerth, K., Belina, R.J. 2008, Cover crops enhance soil organic matter,

carbon dynamics and microbiological function in a vineyard

agroecosystem. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/apsoil.

Applied Soil Ecology. 40:359- 369.

Page 174: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

151

Tadjang. M.H. 1990. Klimatologi Pertanian. Program Pascasarjana Universitas

Makasar.

Temel, S. 2003. Litter decomposition of Picea orientalis, Pinus sylvestris and

Costanea sativa trees crown in artvin in relation to their initial title quality

variabels. Turkey Agric. For. 27: 233-243.

Tian, G., Kang, B. T., Brussand. 1992. Soil Biology and Biochemistry: Biological

Effects of Plant Residues with Contrasting Chemical Compositions and

Nutrient Release.

Tisdale, S.L., Nelson, W.L., Beaton, J.D. 1985. Soil and Fertilizer Potassium. Ch.

7. p.249-291. In: S.L. Tisdale, W.L. Nelson, and J.D. Beaton (eds.). Soil

Fertility and Fertilizers, 4th ed. New York : Macmillan,.

Tornquist, C. G., Mielniczuk, J., Cerri, C.E.P. 2009. Modeling soil organic carbon

dynamics in Oxisols of Ibiruba´ (Brazil) with the Century Model. Soil &

Tillage Research. Soil & Tillage Research. 105 (2009) 33–43. A journal

homepage: www.elsevier.com/locate/still.

Torreta, N.K., Takeda, H. 1999. Carbon and nitrogen dynamics of decomposing

leaf litter in tropical hill evergreen forest, Europ. J. of Soil Biologi, 45: 57-

63.

Utomo, W.H. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP. Malang.

Utomo, W.H., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M. 1995. Effect of leguminous

cover crop on subsequent maize and soybean crops an Ultisol in

Lampung. Agrivita J. 15 (1): 44-53.

Wang, Q., Li, Y., Alva, A. 2010. Growing cover crops to improve biomass

accumulation and carbon sequestration: A Phytotron Study. J. of

Environmental Protection. 1(2): 73-84.

West, T.O., Post, W.M. 2002. Soil carbon sequestration by tillage anf crop

rotation: a global data analysis. Soil Sci. Soc. Am. J. 66 (1): 930- 946.

Widati, S. 2007. Respirasi tanah. p.165-170. Dalam: Rasti Saraswati, Edi Husen,

R.D.M. Simanungkalit, (eds.). Metode Analisisi Biologi Tanah Balai

Besar Litabang Sumberdaya Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengambangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Wiesje, J.N.K. 2008. Seleksi bahan organik untuk peningkatan sinkronisasi

Nitrogen pada Ultisol Lampung. Soil and Vironment J. 2 (2): 98-102.

Wilson, G.F., Okigbo, R. 1982. Effect of cover crops on soil structure and on

yield of subsequent arable crops grown under strip tillage on an eroded

Alfisol. Soil and Tillage Research. 2 (3):233-250.

Page 175: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

152

van Noordwijk, M., Widianto, M.N., Sitompul, S.M, Hairiah, K., Guritno, B.

1992. Nitrogen management under high rainfal condition for shallow

rooted crops: principles and hypotesis. Agrivta J. 15 (1): 10-18.

Vyn, T. J., Janovicek, K,J., Miller, M.H., Beauchamp, E.G. 1999. Soil nitrate

accummulation and corn response to proceding small-grain fertilization

and cover crop. Agron. J. 91: 17-24.

Young, A. 1989. Agroforestry for Soil Conservation.CABI International: 105-108.

Page 176: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

153

Lampiran 1

Analisis Sifat Tanah Percobaan

No Sifat tanah Nilai

1 Sifat fisik tanah

a. Tekstur tanah Liat

Liat (%) 72,74%

Debu (%) 18,35%

Pasir (%) 8,91%

b. Stuktur Blocky

c. Konsistensi teguh

d. Bobot isi 1,29 g cm-3

e. Warna tanah 10 R 4/6 (Cokelat kemerahan)

f. Kedalaman solum Tipis (30-35 cm

g. Kadar air kapasitas lapang 30%

2 Sifat kimia

a. pH H2O 6,55 (Netral)

b. C-organik 1,365% (Rendah)

c. N-total 0,16% (Rendah)

d. P-tersedia 20,55 ppm (Rendah)

e. K-tersedia 192,04 ppm (Sedang)

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya Malang, Juni 2012

Page 177: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

154

Lampiran 2

Deskripsi Jagung Varietas Lamuru

Tanggal dilepas : 25 Februari 2000

Asal : Dibentuk dari 3 galur GK. 5 galur SW1, GM4,

GM 12, GM15. GM11 dan galur SW3

Umur : 50% keluar rambut: 55 hari

Masak fsiologis : 90 – 95 hari

Batang : Tegap

Warna Batang : Hijau

Tinggi tanaman : + 190 cm (160 – 210 cm)

Daun : Panjang

Warna daun : Hijau

Keragaman tanaman : Agak seragam

Perakaran : Baik

Malai : Semi kompak

Warna anthera : Coklat mudah (80%)

Warna rambut : Coklat keunguan (75%)

Tongkol : Panjang dan silidris

Tinggi letak tongkol : + 90 cm (85 – 110 cm)

Kelobot : Tertutup dengan baik (75%)

Tipe biji : Mutiara (fint)

Warna biji : Kuning

Baris biji : Lurus

Jumlah Baris/tongkol : 12 – 16 baris

Bobot 1000 bji : + 275 g

Rata-rata hasil : 5,6 t ha-1

Potensi hasil 7,6 t ha-1

Ketahanan : Cukup tahan terhadap penyakiot bulai

(Penonosclerospora maydis) dan karat daun

Daerah sebaran : Dataran rendah sampai 600 m dpl.

Pemulia : Mustari Basir, Masrum Dahlan, Made J. Mejaya,

Arbi Mappe dan Firdaus Kasim

Teknisi : Wisnu Undoyo, Arifiddin, Stefanus Misi, Ulfa

Aliawati

Page 178: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

155

BLOK I

BLOK II

BLOK III

BLOK IV

Keterangan:

L0 : tanpa LPT

L1 : LPT C. pubescens Benth. Ukuran petak: 18 x 4 m

L2 : LPT M. pruriens L. Jarak antar petak : 1 m

L3 : LPT C. usaramoensis L. Jarak antar Blok: 1,5 m

L4 : LPT P. lunatus L.

Lampiran 3

Denah percobaan lapangan (percobaan 3) dalam Rancangan Acak Kelompok

Lengkap (RAKL)

a

r

a

h

k

e

s

u

b

u

r

a

n

L0 L3 L1 L4 L2

L1 L4

L2 L3 L0

L4 L2 L3 L1

L0

L2 L3 L1

L4 L1

Page 179: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

156

Keterangan:

Ж : barisan legum penutup tanah (LPT)

A: plot pengambilan sampel destruktif (ukuran 1x1m2)

Lampiran 4

Ukuran petak pada percobaan 3 dan plot pengambilan sampel LPT

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж A Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж ЖA Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж ЖЖ Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж

4 m

18 m

Page 180: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

157

BLOK I

BLOK II

BLOK III

Keterangan::

Lampiran 5.a

Denah percobaan lapangan dan pengacakan pada percobaan 4 yang disusun dalam

Rancangan Petak Terpisah (RPT)

L0I30

L0I10

L0I20

L1I30

L1I10

L1I20

L3I10

L3I10

L3I30

L4I10

L4I30

L4I20

L2I20

L2I30

L2I10

L1I30

L1I10

L1I20

L4I30

L4I10

L4I20

L2I10

L2I30

L2I20

L3I10

L3I20

L3I30

L0I30

L0I20

L0I10

L4I10

L4I30

L4I20

L2I30

L2I10

L2I20

L3I10

L3I30

L3I20

L1I10

L1I20

L1I30

L0I30

L0I20

L0I10

Petak Utama/sama dengan percobaan 3:

L0 : lahan tanpa tanaman penutup tanah

L1 : lahan bekas LPT C. pubescens Benth.

L2 : lahan bekas LPT M. pruriens L.

L3 : lahan bekas LPT C. usaramoensis L.

L4 : lahan bekas LPT P. lunatus L.

Anak Petak: Pengelolaan Biomassa LPT

I1: inkubasi 10 hari sebelum penanaman jagung

I2: inkubasi 20 hari sebelum penanaman jagung

I3: inkubasi 30 hari sebelum penanaman jagung

Page 181: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

158

Keterangan:

ϓ : barisan tanaman jagung

A: plot ubinan/sampel panen (ukuran 2 x 2 m2)

Lampiran 5.b

Ukuran anak petak, petak utama dan plot pengambilan sampel ubinan pada

percobaan 4

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ A ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ

Anak petak

5 x 4 m

Petak utama

18 x 4 m

Page 182: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

159

Lampiran 7

Analisis ragam kadar air (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada

percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 2,47tn 6,80* 13,16** 21,29**

Perlakuan 7 14,34** 38,95** 89,31** 36,91**

Jenis biomasa LPT (L) 3 5,39* 19,74** 85,90** 17,47**

Metode Aplikasi (A) 1 83,78* 208,23** 355,93** 203,39**

Interaksi (LxA) 3 0,15tn 1,74tn 3,84tn 0,85tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 8

Analisis ragam kehilangan berat (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 11,60* 9,14** 6,45* 11,88*

Perlakuan 7 44,53** 100,25** 231,19** 65,22**

Jenis biomasa LPT (L) 3 29,45** 61,19** 146,62** 1142,49**

Metode Aplikasi (A) 1 188,37** 456,10** 1015,14** 25,01**

Interaksi (LxA) 3 11,67** 20,69** 54,45** 201,88**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 9.a

Analisis ragam pelepasan C-organik (%) dari biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 11,42* 7,05* 8,41* 16,91**

Perlakuan 7 47,04** 698,22** 237,67** 931,99**

Jenis biomasa LPT (L) 3 28,30** 394,17** 121,17** 373,57**

Metode Aplikasi (A) 1 172,14** 3021,38** 1225,16** 5228,19**

Interaksi (LxA) 3 7,77tn 227,88** 25,00** 58,35**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Page 183: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

160

Lampiran 9.b

Analisis ragam pelepasan N (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,

pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 6,30* 6,80* 1,52* 10,32*

Perlakuan 7 34,87** 314,04** 162,52** 375,53**

Jenis biomasa LPT (L) 3 31,06** 149,47** 43,21** 67,53**

Metode Aplikasi (A) 1 125,57** 1555,32** 964,35** 2402,58**

Interaksi (LxA) 3 8,44** 64,84** 14,56** 7,85**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 9.c

Analisis ragam pelepasan P (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,

pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 18,90** 13,71** 13,28** 6,03*

Perlakuan 7 15,11** 143,24** 74,37** 140,45**

Jenis biomasa LPT (L) 3 9,05** 64,18** 29,77** 56,38**

Metode Aplikasi (A) 1 77,58** 735,40** 412,80** 794,61**

Interaksi (LxA) 3 0,36tn 24,92** 6,16** 6,48**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 9.d

Analisis ragam pelepasan K (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,

pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 5,66* 13,17** 12,73** 8,14*

Perlakuan 7 19,55** 419,23** 279,56** 151,30**

Jenis biomasa LPT (L) 3 13,10** 217,17** 121,43** 105,99**

Metode Aplikasi (A) 1 88,93** 1986,47** 1480,88** 669,44**

Interaksi (LxA) 3 2,88tn 98,87** 37,24** 23,90**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Page 184: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

161

Lampiran 9.e

Analisis ragam pelepasan Ca (%)dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,

pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 9,44* 5,70* 7,25* 8,45*

Perlakuan 7 161,45** 478,20** 600,44** 356,68**

Jenis biomasa LPT (L) 3 92,22** 215,58** 175,44** 99,92**

Metode Aplikasi (A) 1 779,06** 2478,08** 3450,01** 2112,00**

Interaksi (LxA) 3 24,82** 74,19** 75,58** 28,35**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 10

Analisis ragam konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT selama masa

dekomposisi, pada percobaan 1

Sumber Keragaman db F hitung

10 hst 20 hst 30 hst 40 hst

Kelompok 2 10,89* 8,54* 8,70** 8,36*

Perlakuan 7 41,77** 804,30** 314,50** 240,22**

Jenis biomasa LPT (L) 3 27,77** 486,50** 184,20** 128,58**

Metode Aplikasi (A) 1 174,44** 3164,98** 1320,36** 121,61**

Interaksi (LxA) 3 11,54** 335,20** 109,51** 391,39**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 11

Analisis ragam total koloni mikroba biomasa LPT setelah 40 hari masa

dekomposisi, pada percobaan 1

Sumber Keragaman Db F hitung

Kelompok 13,10**

Perlakuan 7 124,07**

Jenis biomasa LPT (L) 3 67,29**

Metode Aplikasi (A) 1 508,99**

Interaksi (LxA) 3 52,55**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Page 185: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

162

Lampiran 12

Analisis ragam kadar N total tanah (mg kg-1

) selama fase vegetatif jagung,

pada percobaan 2

Sumber Keragaman db F hitung N total tanah, pada

15 hst 30 hst 45

Perlakuan 12 31,00** 16,42** 21,72**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam

Lampiran 13

Analisis ragam kadar N tersedia tanah (mg kg-1

) selama fase vegetatif jagung,

pada percobaan 2

Sumber Keragaman db F hitung N tersedia tanah, pada

15 hst 30 hst 45

Perlakuan 12 258,71** 190,05** 330,25**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam

Lampiran 14

Analisis ragam serapan N tanaman jagung (mg kg-1

) selama fase vegetatif, pada

percobaan 2

Sumber Keragaman db F hitung serapan N tanaman jagung, pada

15 hst 30 hst 45

Perlakuan 12 17,26** 63,18** 51,56**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam

Lampiran 15

Analisis ragam bobot kering total tanaman jagung (g tanaman-1

) selama fase

vegetatif jagung, pada percobaan 2

Sumber Keragaman db F hitung Bobot kering total, pada

15 hst 30 hst 45

Perlakuan 12 4,14** 27,47** 20,19**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%,

hst: hari setelah tanam

Lampiran 16

Analisis ragam prosentase penutupan tanah (%), pada percobaan 3

Sumber Keragaman db F hitung Pentupan lahan, pada

1 bst 2 bst 3 bst

Kelompok 3 4,71* 12,82** 4,17*

Perlakuan 19 355,47** 786,50** 2906,92**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%;

**: F hitung nyata pada taraf 1%

bst: bulan setelah tanam

Page 186: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

163

Lampiran 17

Analisis ragam kadar air tanah (%) selama masa bera, pada percobaan 3

Sumber

Keragaman db

F hitung Kadar air tanah

1 bts 2 bst 3 bst 4 bst 5 bst

Kelompok 3 7,512** 7,64** 8,91** 8,28** 10,14**

Perlakuan 19 0,31tn 17,48** 92,83** 170,53** 153,46**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak berbeda nyata

bst: bulan setelah tanam

Lampiran 18

Analisis ragam suhu tanah (oC) selama masa bera, pada percobaan 3

Sumber

Keragaman db

F hitung Suhu tanah

1 bts 2 bst 3 bst 4 bst 5 bst

Kelompok 3 3,67* 4,27* 3,63* 10,09** 6,89**

Perlakuan 19 4,01* 4,04* 16,95** 32,37** 190,84**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

bst: bulan setelah tanam

Lampiran 19

Analisis ragam bobot isi tanah (g cm-3

) dan porositas tanah (%) pasca bera,

pada percobaan 3

Sumber Keragaman db F hitung

Bobot isi tanah Porositas tanah

Kelompok 3 7,50** 7,50**

Perlakuan 19 39,95** 39,95**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 20

Analisis ragam produksi biomasa (b.k. t ha-1

), serapan C tanaman (t ha-1

) dan

simpanan C-organik tanah (t ha-1

), pada percobaan 3

Sumber Keragaman db

F hitung

Bobot kering

biomasa

serapan C

tanaman

simpanan C-

organik tanah

Kelompok 3 9,36** 9,36** 12,18**

Perlakuan 19 72,16** 72,16** 15,34**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%

Page 187: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

164

Lampiran 21

Analisis ragam kadar N jaringan tanaman (%) dan N yang tertambat (t ha-1

),

pada percobaan 3

Sumber Keragaman db

F hitung

N total

tanaman

Nisbah C/N N yang

tertambat

Kelompok 3 10,83** 9,32** 9,32**

Perlakuan 19 4724,13** 220** 220,01**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 22

Analisis ragam pH tanah, C-organik (%) dan bahan organik tanah (%),

pada percobaan 3

Sumber Keragaman db F hitung

pH tanah C-organik tanah Bahan organik

Kelompok 3 3,05tn 12,76** 12,76**

Perlakuan 19 9,49** 44,50** 44,50**

Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak berbeda nyata

Lampiran 23

Analisis ragam kadar N total, P tersedia dan kadar K tanah setelah 5 bulan

pemberaan, pada percobaan 3

Sumber Keragaman db F hitung

N tanah P tersedia K tanah

Kelompok 5,13* 8,75** 8,75**

Perlakuan 19 13,89** 24,57** 24,57**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 24

Analisis ragam kadar Ca (me 100 g-1

tanah), Mg (me 100 g-1

tanah) dan kapasitas

tukar kation (KTK) tanah (me 100 g-1

tanah) setelah 5 bulan pemberaan,

pada percobaan 3

Sumber Keragaman db F hitung

Ca tanah Mg tanah KTK

Kelompok 3 3,64* 4,43* 4,82*

Perlakuan 19 3,97* 5,06* 34,41**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

Page 188: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

165

Lampiran 25

Analisis ragam infeksi mikoriza (%) dan total koloni mikroba tanah (cfu),

pada percobaan 3

Sumber Keragaman db F hitung

Infeksi mikoriza Total koloni mikroba

Kelompok 3 8,46** 7,79**

Perlakuan 19 1486,05** 38,19**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 26

Analisis ragam simpanan C-organik tanah (t ha-1

), bobot isi tanah (g cm-3

) dan

porositas tanah (%), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)

Sumber Keragaman db

F hitung

Simpanan C-

organik

Bobot isi

tanah

Porositas tanah

Petak Utama:

Kelompok 2 3,74tn 5,98* 5,98*

Jenis LPT (L) 4 252,06** 199,07** 199,08**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 28,95** 26,79** 26,80*

Interaksi (L x I) 8 2,10tn 1,49tn 1,49tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 27

Analisis ragam pH tanah, C-organik dan bahan organik tanah, setelah panen

(akhir percobaan 4)

Sumber Keragaman db F hitung

pH C-organik Bahan organik Petak Utama:

Kelompok 2 5,4411* 13,0562** 13,0562**

Jenis LPT (L) 4 53,3959** 658,7139** 658,7139**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 6,4396* 6,3898** 6,3898*

Interaksi (L x I) 8 2,2227tn 0,7383tn 0,7383tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Page 189: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

166

Lampiran 28

Analisis ragam kadar N total tanah (%) dan kadar K (me 100 g-1

tanah), setelah

panen jagung (akhir percobaan 4)

Sumber Keragaman db F hitung

kadar N tanah kadar K Petak Utama:

Kelompok 2 16,45** 8,0735*

Jenis LPT (L) 4 241,20** 120,7824**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 16,73** 20,9823**

Interaksi (L x I) 8 34,39** 8,3496*

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

Lampiran 29

Analisis ragam kadar P-tersedia (mg kg-1

tanah ), Ca (me 100 g-1

tanah) dan Mg

(me 100 g-1

tanah) dan KTK tanah (me 100 g-1

tanah), setelah panen jagung

(akhir percobaan 4)

Sumber Keragaman db F hitung

P-tersedia Ca Mg KTK Petak Utama:

Kelompok 2 5,1992* 15,63** 5,22* 3,921*

Jenis LPT (L) 4 51,8508** 19,68** 11,09** 18,728**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 13,7856** 3,27tn 7,40* 2,853**

Interaksi (L x I) 8 4,2720* 1,44tn 0,66tn 3,921**

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 30

Analisis ragam total koloni mikroba tanah (cfu) dan respirasi tanah (mg CO2 g

tanah-1

), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)

Sumber Keragaman db

F hitung

Total koloni mikroba

tanah

Respirasi tanah

Petak Utama:

Kelompok 2 17,51** 4,8295*

Jenis LPT (L) 4 147,70** 98,7460**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 22,76** 13,6987**

Interaksi (L x I) 8 2,23tn 1,2086tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

** : F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Page 190: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

167

Lampiran 31

Analisis ragam panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1

(g), bobot 100 biji (g), pada akhir percobaan 4

Sumber

Keragaman db

F hitung

panjang

tongkol

diameter

tongkol

bobot biji

tongkol-1

bobot 100

biji Petak Utama:

Kelompok 2 15,03** 54,57** 7,50* 14,36**

Jenis LPT (L) 4 89,57** 622,89** 117,42** 113,71**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 11,60** 162,04** 46,73** 52,71**

Interaksi (L x I) 8 1,54tn 2,14tn 2,18tn 0,05tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 32

Analisis ragam bobot kering tanaman (t ha-1

) dan hasil jagung pipilan kering k.a

15% (t ha-1

), pada percobaan 4

Sumber

Keragaman db

F hitung

Bobot kering tanaman Hasil jagung pipilan kering Petak Utama:

Kelompok 2 14,43** 12,48**

Jenis LPT (L) 4 35,17** 183,04**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 19,06** 77,52**

Interaksi (L x I) 8 0,81tn 1,61tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Lampiran 33

Analisis ragam bobot kering gulma (g m-2

) pada 20 hst dan 40 hst,

pada percobaan 4

Sumber Keragaman db

F hitung

Bobot kering gulma

20 hst

Bobot kering gulma

40 hst Petak Utama:

Kelompok 2 6,94* 1,38tn

Jenis LPT (L) 4 143,58** 31,84**

Anak Petak :

Masa Inkubasi (I) 2 12,02** 8,59**

Interaksi (L x I) 8 0,45tn 2,20tn

Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%

**: F hitung nyata pada taraf 1%

tn : tidak beda nyata

Page 191: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

168

Lampiran 34

Hasil analisis regresi antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah,

pada percobaan 4

Source SS Df MS F P

Total 6698,22 44 - - -

Regresion 6696,70 13 515,07 6912,17 0,0000***

Bobot isi tanah 5464,54 1 5464,54 7333,39 0,0000***

Porositas tanah 41,89 1 41,89 562,18 0,0000***

pH (H20 1:1) tanah 247,72 1 247,72 3324,33 0,0000***

Kadar C tanah 938,51 1 938,51 12594,61 0,7055ns

Bahan organik tanah 0,10 1 0,10 0,145 0,528ns

Kadar N total tanah 0,37 1 0,37 4,93 0,0338*

P-tersedia tanah 0,04 1 0,04 0,05 0,4722ns

K-dd tanah 1,51 1 1,51 20,21 0,0001***

Ca tanah 0,001 1 0,001 0,02 0,8909ns

Mg tanah 0,13 1 0,13 1,74 0,1960ns

KTK tanah 0,55 1 0,55 7,32 0,0110*

Koloni mikroba tanah 0,001 1 0,001 0,02 0,8863ns

Respirasi tanah 0,65 1 0,65 8,72 0,0060**

Error 2,31 31 0,07 -

Page 192: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

169

Lampiran 35

Hasil analisis regresi antara hasil jagung dengan simpanan Corganik dan kualitas

tanah, pada percobaan 4

Source SS Df MS F P

Total 84,43 4 - - -

Regresion 79,37 14 5,67 33,69 0,0000***

Simpanan C-organik 58,37 1 58,37 346,89 0,0000***

Bobot isi tanah 5,66 1 5,66 33,63 0,0000***

Porositas tanah 3,13 1 3,13 18,63 0,0002***

pH (H20 1:1) tanah 1,28 1 1,28 7,62 0,0097**

Kadar C tanah 2,92 1 2,92 17,36 0,0002***

Bahan organik tanah 0,06 1 0,06 0,41 0,528ns

Kadar N total tanah 2,52 1 2,52 14,98 0,0005***

P-tersedia tanah 0,09 1 0,09 12,47 0,001*

K-dd tanah 0,86 1 0,86 5,12 0,031*

Ca tanah 0,05 1 0,05 0,30 0,585ns

Mg tanah 0,85 1 0,85 4,73 0,069ns

KTK tanah 0,25 1 0,25 1,49 0,230ns

Koloni mikroba tanah 0,04 1 0,04 0,22 0,064ns

Respirasi tanah 0,82 1 0,82 4,85 0,350ns

Error 5,05 30 0,17 -

Page 193: Unud 74 684648981 Disertasi Mateus

170

Lampiran 36

Peta Adminstratif Kabupten Kupang Propinsi NTT, yang menjadi lokasi

penelitian

Lokasi Desa

Oelnasi,

Kecam

atan Kupang

Tengah,