unud 74 684648981 disertasi mateus
DESCRIPTION
ty6rTRANSCRIPT
i
DISERTASI
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS
DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN
KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH
SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
DI LAHAN KERING
RUPA MATEUS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
DISERTASI
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS
DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON
ORGANIK DAN KUALITAS TANAH
SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
DI LAHAN KERING
RUPA MATEUS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
DISERTASI
ii
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS
DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON
ORGANIK DAN KUALITAS TANAH
SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
DI LAHAN KERING
RUPA MATEUS
NIM: 1190471016
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS
DALAM MENINGKATKAN SIMPANAN KARBON
ORGANIK DAN KUALITAS TANAH
SERTA HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
DI LAHAN KERING
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Pertanian
Program Pascasarjana Universitas Udayana
RUPA MATEUS
NIM: 1190471016
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU PERTANIAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iv
LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAN
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL: 13 DESEMBER 2013
Promotor,
Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D.
NIP. 19500126 197302 2 001
Kopromotor I,
Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D.
NIP.19450819 196902 1 001
Kopromotor II,
Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.
NIP.19580403 198603 1 004
Mengetahui:
Ketua
Program Studi Doktor Ilmu Pertanian
Program Pascasarjana Universitas
Udayana,
Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P.
NIP. 19560525 198303 1 002
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
NIP.19590215 198510 2 001
v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Disertasi Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Udayana pada Ujian Tertutup
Tanggal: 13 Desember 2013
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
No: 3181/H.14.4/HK/2013
Tanggal: 04 Desember 2013
Ketua : Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S.
Anggota:
1. Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D.
2. Prof. Ir. I G.M. Oka Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D.
3. Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.
4. Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P.
5. Prof. Ir. I Nyoman Merit, M.Agr. Ph.D.
6. Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.S.
7. Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS.
vi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rupa Mateus
NIM : 1190471016
Program Studi : Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Uiversitas
Udayana
Konsentrasi : Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lahan Pertanian
Judul Disertasi : Peranan Legum Penutup Tanah Tropis dalam Meningkatkan
Simpanan Karbon Organik dan Kualitas Tanah serta Hasil
Jagung (Zea mays L.) di Lahan Kering
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila
dikemudiaan hari ditemukan terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sangsi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bagian dari Disertasi ini juga telah dipublikasikan
pada Journal of Biology, Agriculture and Healthcare; The International Institute for
Science, Technology and Education (IISTE), Volume 3, No. 16, Tahun 2013, halaman
107-114.
Demikian surat penyataan bebas plagiat ini di buat.
Denpasar, 21 Pebruari 2014
Rupa Mateus
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji dan syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan Berkat dan Rahmat-
Nya melalui energi dan kesehatan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar.
Penyelesaian disertasi ini tentunya akan sulit terwujud tanpa arahan, bimbingan
dan kontribusi pengetahuan dari Tim Promotor. Penulis merasa berhutang budi kepada
beliau tim promotor, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada Prof. Ir. I G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D., selaku Promotor yang
dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran
selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini.
Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Ir. I G.M. Oka
Nurjaya, M.Rur.Sc., Ph.D selaku kopromotor I dan Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc.,Ph.D.,
dari Universitas Mataram selaku kopromotor II yang dengan penuh perhatian dan
kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama pula penulis tujukkan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KMEMD atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program
Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukkan kepada Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa
program doktor pada Program Studi Doktor Ilmu Pertanian. Terima kasih ini juga
disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. I Made Adnyana, M.P selaku Ketua Program Studi
Doktor Ilmu Petanian atas bimbingan dan arahannya dalam mengikuti program doktor.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para penguji disertasi yang telah
memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud
seperti ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Tim Manajemen
Program Doktor yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk BPPS sehingga
dapat meringankan beban penulis dalam menyelasaikan studi ini.
viii
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru, mulai dari Sekolah Dasar sampai
Perguruan Tinggi yang telah membimbing penulis sehingga sampai pada jenjang
pendidikan tertinggi ini. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua Bapak dan
Mama yang telah mengasuh dan membersarkan penulis. Akhirnya penulis mengucapkan
terima kasih kepada istri tercinta Ema dan kedua anak terkasih Ririananda Johan Balan
Demoor dan Ciciliananda B.N.Somy Demoor yang dengan penuh pengorbanan,
pengertian, cinta dan kasih serta kesabarannya telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan disertasi ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas budi baik dan melimpahkan Berkat-
Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi
ini.
Denpasar, 21 Pebruari 2014
Rupa Mateus
ix
ABSTRAK
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN
SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL
JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING
Rendahnya kesuburan tanah, erosi tanah dan masalah gulma pada usaha tani di lahan kering di
negara-negara berkembang mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan dan rendahnya hasil
tanaman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya simpanan C-organik dan kualitas tanah. Tanaman
penutup tanah, terutama legum penutup tanah (LPT) tropis dapat meningkatkan simpanan C-
organik dan kualitas tanah di daerah tropis jika diterapkan secara baik dan benar. LPT tropis dapat
berperan dalam mencapai tujuan pertanian berkelanjutan melalui pengurangan pemakaian pupuk
kimia dan sebagai bahan pembenah tanah lainnya serta memberikan hasil yang setara dengan yang
diberikan oleh pupuk kimia.
Penelitian telah dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai Agustus 2013 di lahan kering milik petani
di desa Oelnasi, kecamatan Kupang Tengah, kabupaten Kupang, provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Empat percobaan lapangan telah dilakukan untuk menguji peranan LPT tropis dalam
meningkatkan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung. Keempat percobaan tersebut
masing-masing adalah: (1) Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT dengan metode
litter bags; (2) Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N selama
pertumbuhan vegetatif tanaman jagung; (3) Kajian potensi LPT dalam meningkatkan simpanan C-
organik dan kualitas tanah di lahan kering; dan (4) Pengaruh pengelolaan biomas LPT pasca bera
terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering. Percobaan tersebut
masing-masing dirancang dengan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL), rancangan acak
lengkap (RAL), rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dan rancangan petak terpisah (RPT).
Empat species LPT tropis yang digunakan adalah Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens
L., Crotalaria usaramoensis L. dan Phaseolus lunatus L. Varietas jagung yang digunakan adalah
Lamuru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa P. lunatus L. dan C. usaramoensis L. mempunyai
kualitas kimia yang lebih baik, laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan
simpanan C-organik tanah masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1
) dan 63,16% (86,69 t ha-
1). Peningkatan simpanan C-organik tanah secara signifikan dapat meningkatkan kualitas tanah.
Biomasa kedua species tersebut yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman
jagung dapat meningkatkan bobot biji jagung pipilan kering (k.a. 15%) sebesar 88,17% (7,00 t
ha-1
) dan 86,29% (6,93 t ha-1
) lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh species M.
pruriens L. dan C. pubescenc Benth. Dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan dengan
pemberaan menggunakan LPT tropis adalah potensial untuk meningkatkan produktivitas pertanian
di lahan kering.
Kata kunci: Legum penutup tanah tropis, simpanan karbon organik tanah, kualitas
tanah, hasil jagung, lahan kering.
x
ABSTRACT
THE ROLES OF TROPICAL LEGUME COVER CROPS IN INCREASING SOIL
STORAGE ORGANIC CARBON, SOIL QUALITY AND YIELDS OF
CORN (Zea mays L.) AT DRYLAND FARMING AREA
Low fertility of soils, erosion, and weed problems on dryland farms in developing
countries resulted in low land productivity and crop yields. This could be due to low soil
storage organic carbon (SOC) and soil quality. Cover crops, particularly tropical legumes
help to increase soil soil SOC and soil quality in tropical drylands by adding crop residues
above and below the ground. The legume cover crops (LCC) can play an important role
toward achieving the objectives of sustainable agriculture through the reduction of
chemical fertilizer and organic amendments used, and yet produce yields equivalent to
those produced with conventional fertilizer rates.
The research was conducted from June 2012 to August 2013 at farmer’s dryland farming
of Oelnasi village, district of Kupang Tengah, Kupang regency, province of Nusa
Tenggara Timur (NTT). Four field experiments were conducted to study the roles of
tropical legume cover crops in increasing soil organic carbon, soil quality and yields of
corn. Those field experiments were respectively: 1) Rates of decomposition and nutrient
release from biomass of several legume cover crop (LCC) species with litter bag method ;
2) The effect of incubation duration of LCC biomass on levels of N nutrient
sincronization during corn vegetative growth; 3) The study of LCC potential in increasing
soil storage organic carbon (SOC) and soil quality at dryland farming; and 4) The effect
of post fallow management of LCC biomass on soil SOC, soil quality and corn yields at
dryland farming. The experiments were designed respectively in completely randomized
block, completely randomized, completely randomized block and split plot designs. Four
species of LCC involved in all experiments were Centrosema pubescens Benth., Mucuna
pruriens L., Crotalaria usaramoensis L. and Phaseolus lunatus L . Corn variety used was
Lamuru.
Results of the research showed that species of P. lunatus L. and C. usaramoensis L. had
better biomass chemical characteristics, the highest rate of decomposistion and were
consequently able to increase soil SOC by 63,18% (86,70 t ha-1
) and 63,16% (86,69 t ha-
1) respectively. The increased SOC significantly increased the quality of soil. Embedded
biomass of the two species in the soil 10 days before corn planting resulted in significant
88.17% (7.00 t ha-1
) and 86.29% (6.93 t ha-1
) higher grain dry weight compared to those
of species of M. pruriens and C. pubescenc Benth. respectively. It can be concluded that
a fallow management system with legume tropical cover crops is potential for increasing
the productivity of dryland farming areas.
Key words:Tropical legume cover crops, soil storage organic carbon (SOC), soil quality,
corn yields, dryland
xi
RINGKASAN
PERANAN LEGUM PENUTUP TANAH TROPIS DALAM MENINGKATKAN
SIMPANAN KARBON ORGANIK DAN KUALITAS TANAH SERTA HASIL
JAGUNG (Zea mays L.) DI LAHAN KERING
Rendahnya kesuburan tanah, erosi tanah dan masalah gulma pada usaha tani di
lahan kering di negara-negara berkembang mengakibatkan menurunnya produktivitas
lahan dan rendahnya hasil tanaman. Hal ini disebabkan oleh rendahnya simpanan karbon
(C) organik dan kualitas tanah. Tanaman penutup tanah, terutama legum penutup tanah
(LPT) tropis dapat meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di daerah tropis
dengan cara mengembalikan residu atau biomasa tanaman jika dilakukan dengan cara
yang baik dan benar. LPT tropis berperanan dalam mencapai tujuan pertanian
berkelanjutan melalui pengurangan pemakaian pupuk kimia dan sebagai bahan pembenah
tanah lainnya serta memberikan hasil yang setara dengan yang diberikan oleh pupuk
kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis legum penutup tanah tropis
spesifik yang dapat mengatasi permasalahan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta
hasil jagung dan tanaman pangan semusim lainnya di lahan kering.
Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai Agustus 2013 di lahan
kering milik petani di desa Oelnasi, kecamatan Kupang Tengah, kabupaten Kupang,
provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Empat percobaan lapangan telah dilakukan untuk
mengevaluasi peranan LPT tropis dalam meningkatkan simpanan C-organik, kualitas
tanah dan hasil jagung. Keempat percobaan tersebut masing-masing adalah: 1) Laju
decomposisi dan pelepasan hara dari biomasa beberapa species LPT dengan metode litter
bags; 2) Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat sinkronisasi hara N
selama pertumbuhan vegetatif tanaman jagung; 3) Kajian potensi LPT dalam
meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering; dan 4) Pengaruh
pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan
hasil jagung di lahan kering. Percobaan tersebut masing-masing dirancang dengan
rancangan acak kelompok lengkap (RAKL), rancangan acak lengkap (RAL), rancangan
acak kelompok lengkap (RAKL) dan rancangan petak terpisah (RPT). Empat species
LPT tropis yang digunakan adalah Centrosema pubescens Benth., Mucuna pruriens L.,
Crotalaria usaramoensis L. dan Phaseolus lunatus L. Varietas jagung yang digunakan
adalah Lamuru.
xii
Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pengelolaan lahan kering
melalui sistem pemberaan dengan legum penutup tanah tropis, potensial untuk
dikembangkan di lahan kering. Hal ini karena secara umum LPT memiliki kualitas
biomasa yang baik dan secara nyata meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas
tanah serta hasil jagung di lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) jenis
biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang diaplikasikan dengan
cara pembenaman mempunyai konstanta laju dekomposisi (k) yang lebih tinggi, yaitu
masing-masing sebesar 0,27 (dengan laju dekomposisi 2,34 g hari-1
atau 0,26 g tahun-1
)
dan 0,24 (dengan laju dekomposisi 2,28 g hari-1
atau 0,25 g tahun-1
), serta berbeda
dengan species biomasa M. pruriens L. (MP) dan C. pubescens Benth. (CP); (ii) masa
inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam secara nyata dapat meningkatkan
sinkronisasi hara N pada tanaman selama fase vegetatif jagung dibandingkan dengan
masa inkubasi 20 dan 30 hari sebelum penanaman jagung; (iii) jenis LPT P. lunatus L.
(PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang digunakan dalam sistem pemberaan lahan
budidaya pertanian, mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah masing-masing
sebesar 63,18% (86,70 t ha-1
) dan 63,16% (86,69 t ha-1
). Peningkatan simpanan C-
organik secara nyata meningkatkan kualitas tanah; (iv) pengelolaan biomasa LPT P.
lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) in situ pasca bera yang dibenamkan ke
dalam tanah 10 hari sebelum penanaman jagung dapat meningkatkan bobot pipilan
jagung kering k.a. 15% sebesar 88,17% (7,00 t ha-1
) dan 86,29% (6,93 t ha-1
) lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens dan C. pubescenc Benth.;
dan (v) terdapat hubungan yang erat antara simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah
dengan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1
) di lahan kering yang ditunjukkan
dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,83.
Rekomendasi aplikatif yang dapat diberikan untuk meningkatkan produktivitas lahan
kering terutama tanaman pangan semusim adalah: (a) agar hasil temuan ini dapat
memberikan manfaat bagi petani lahan kering, maka perlu dilakukan desiminasi untuk
memperkenalkan hasil temuan; (b) perlu dilakukan penelitian eksplorasi lanjutan untuk
mengkaji jenis LPT lain yang potensial dikembangkan di lahan kering; (c) produktivitas
lahan kering terutama tanaman pangan semusim dapat ditingkatkan melalui sistem
pemberaan (fallow system) dengan LPT, seperti C. usaramoensis (CU) dan P. lunatus
(PL); dan (d) species M. pruriens dapat dipertimbangkan sebagai tanaman bera untuk
peningkatan simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) di lahan kering,
walaupun kontribisi terhadap hasil jagung masih rendah.
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM...................................................................................... ii
PERSYARATAN GELAR........................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN/PENGESAHAAN.......................................... iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................................. v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................ vii
ABSTRAK.................................................................................................... ix
ABSTRACT................................................................................................. x
RINGKASAN.............................................................................................. xi
DAFTAR ISI................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL........................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xix
DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. xx
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xxi
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9
2.1. Lahan Kering dan Permasalahannya ............................................. 9
2.2. Karbon Organik Tanah................................................................... 13
2.3. Kualitas Tanah ............................................................................... 16
2.4. Tanaman Legum Penutup Tanah Tropis........................................ 19
2.5. Dekomposisi Bahan Organik ......................................................... 28
2.6. Pengelolaan Bahan Organik (Biomasa tanaman) untuk Mening-
katkan Sinkronisasi Hara pada Tanaman .....................................
32
III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .................. 36
3.1. Kerangka Berpikir.......................................................................... 36
3.2. Konsep Penelitian........................................................................... 40
3.3. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 43
xiv
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................... 44
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... 44
4.2. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................ 45
4.3. Metode Penelitian ........................................................................ 46
4.3.1. Observasi pendahuluan ....................................................... 46
4.3.2. Percobaan 1: Kajian laju dekomposisi dan pelepasan
hara dari berbagai biomasa LPT.................................................
47
4.3.3. Percobaan 2: Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT
terhadap tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung
selama fase vegetatif...............................................
51
4.3.4. Percobaan 3: Kajian potensi LPT sebagai tanaman bera
dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah
di lahan kering...........................................................
54
4.3.5. Percobaan 4: Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca
bera terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah serta
hasil jagung di lahan kering.......................................
58
4.4 Analisis Data Penelitian................................................................ 63
V. HASIL PENELITIAN..........................................................................
64
5.1. Kualitas Biomasa LPT................................................................ 64
5.2. Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT terhadap Laju
Dekomposisi dan Besarnya Pelepasan Hara................................
66
5.3. Pengaruh Masa Inkubasi Berbagai Biomasa LPT terhadap
Tingkat Sinkronisasi Hara N pada Tanaman Jagung Selama Fase
Vegetatif..............................................................................
76
5.4. Potensi LPT sebagai tanaman bera dalam meningkatkan
simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering.............
82
5.5. Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap
Simpanan C-organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di Lahan
Kering...............................................................................
95
5.6. Hubungan antara Simpanan C-organik, Kualitas Tanah dan
Hasil Jagung di Lahan Kering......................................................
110
VI. PEMBAHASAN.................................................................................
112
6.1. Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomasa LPT..................... 112
6.2. Kontribusi LPT terhadap Simpanan C-organik dan Kualitas
Tanah di Lahan Kering...............................................................
120
6.3. Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Sinkronisasi
Hara dan Hasil Jagung di Lahan Kering.....................................
131
6.4. Model Pengelolaan Lahan Kering di Masa Depan ..................... 136
xv
6.5. Temuan Baru Penelitian............................................................... 139
VII. SIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 140
7.1. Simpulan....................................................................................... 140
7.2. Saran............................................................................................. 141
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 142
LAMPIRAN-LAMPIRAN..................................................................................... 153
xvi
DAFTAR TABEL
No Judul Hal.
5.1 Rata-rata kualitas kimia dari empat jenis LPT tropis di lahan kering ....... 65
5.2 Rata-rata kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi dalam litter
bag pada masing-masing faktor tunggal .................................
67
5
.
3
Rata-rata pelepasan hara selama masa dekomposisi pada pengaruh
interaksi antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam
litter bag ................................................................................
70
5.4 Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari
dekomposisi pada pengaruh interaksi antara jenis dan metode aplikasi
biomasa dalam litter bag ...................................................
75
5.5 Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap serapan
N tanaman jagung pada fase vegetatif ...............................
80
5.6 Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap bobot
kering total tanaman jagung pada fase vegetatif ....................
81
5.7 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap prosentase
penutupan tanah...............................................................................
83
5.8 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap bobot isi tanah dan
porositas tanah setelah 5 bulan pemberaan......................
86
5.9 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap produksi biomasa,
serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah setelah 5 bulan
pemberaan................................................................
87
5.10 Pengaruh jenis tanaman penutup tanah sebagai tanaman bera terhadap
kadar N total tanaman, ratio C/N dan N yang tertambat setelah 5 bulan
pemberaan................................................................
89
5.11 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap pH tanah, kadar C-
organik tanah dan bahan organik tanah setelah 5 bulan pemberaan ........
90
5.12
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap N total tanah, P-
tersedia, K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan ..
92
5.13 Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap infeksi mikoriza
(MVA) dan total koloni mikroba tanah setelah 5 bulan
pemberaan.........................................................................................
94
xvii
5.14
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
rata-rata simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah
setelah panen jagung...............................................
95
5.15 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
rata-rata pH tanah (pH H2O 1:1), kadar C-organik tanah dan bahan
organik tanah setelah panen jagung................................
98
5.16 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca
bera terhadap kadar N total tanah setelah panen
jagung................................................................................................
99
5.17 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca
bera terhadap kadar K tanah setelah panen jagung.................
100
5.18 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
rata-rata kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen
jagung......................................................................................
101
5.19 Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca
bera terhadap KTK tanah setelah panen jagung......................
103
5.20 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
rata-rata total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen
jagung.........................................................................
104
5.21 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
rata-rata panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1
, bobot
100 biji jagung........................................................
106
5.22 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
hasil jagung pipilan kering k.a 15% dan bobot kering tanaman
jagung..................................................................................
108
5.23 Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
bobot kering gulma.............................................................
109
xviii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal.
2.1 Pola curah hujan dalam 10 tahun (2003-2012) di kabupaten Kupang
NTT ....................................................................................
11
3.1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian.......................................... 38
3.2 Kerangka Konsep Penelitian............................................................. 42
5.1 Histogram hasil analisis rata-rata kehilangan berat biomasa LPT (%)
pada pengaruh interaksi antara jenis biomasa dan metode aplikasi
biomasa LPT dalam litter bag.............................................
68
5. 2 Histogram hasil analisis rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) pada
masing-masing jenis biomasa LPT...........................................
73
5.3 Rata-rata kadar N total tanah yang diberi perlakuan masa inkubasi
biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung.............
76
5.4
Rata-rata kadar N-tersedia tanah pada pengaruh masa inkubasi biomasa
LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung dalam
pot.....................................................................................................
78
5.5 Rata-rata kadar air tanah selama masa bera dengan berbagai jenis
LPT....................................................................................................
84
5.6 Rata-rata suhu tanah permukaan selama masa bera dengan berbagai jenis
LPT ............................................................................
85
6.1 Pola tanam yang dipertimbangkan sesuai untuk pengelolaan pertanian
lahan kering berkelanjutan................................................
137
xix
DAFTAR SINGKATAN
NTT : Nusa Tenggara Timur
C-organik : Karbon organik tanah
LPT : Legum penutup tanah
CP : Centrosema pubescens Benth.
MP Mucuna pruriens L.
CU Crotolaria usaramoensis L.
PL Phaseolus lunatus L.
hst : hari setelah tanam
Bst : bulan setelah tanam
cfu : Coloni form unit
k.a. : Kadar air
b.k : Bobot kering
KTK : Kapasitas tukar kation
k : Konstanta pelapukan
xx
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Hal.
1 Analisis Sifat Tanah Percobaan .................................................... 153
2 Deskripsi jagung varietas Lamuru.................................................. 154
3 Denah percobaan lapang (percobaan 3) dalam Rancangan Acak
Kelompok Lengkap (RAKL)..........................................................
155
4 Ukuran petak pada percobaan 3 dan plot pengambilan sampel
LPT.................................................................................................
156
5.a Denah percobaan lapang dan pengacakan pada percobaan 4 yang
disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT).........................
157
5.b Ukuran anak petak, petak utama dan plot pengambilan sampel ubinan,
pada percobaan 4...............................................................
158
6 Data hasil analisis laboratorium kualitas kimia biomasa LPT...... 159
7 Analisis ragam kadar air (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1.....................................................
160
8 Analisis ragam kehilangan berat (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1.............................................
160
9.a Analisis ragam pelepasan C-organik (%) dari biomasa LPT selama
masa dekomposisi pada percobaan 1.................................
160
9.b Analisis ragam pelepasan N (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
161
9.c Analisis ragam pelepasan P (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
161
9.d Analisis ragam pelepasan K (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
161
9.e Analisis ragam pelepasan Ca (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1......................................................
162
10 Analisis ragam konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT selama
masa dekomposisi, pada percobaan 1................................
162
11 Analisis ragam total koloni mikroba biomasa LPT setelah 40 hari masa
dekomposisi, pada percobaan 1.....................................
162
12 Analisis ragam kadar N total tanah (mg kg-1
) selama fase vegetatif
jagung, pada percobaan 2................................................
163
13 Analisis ragam kadar N tersedia tanah (mg kg-1
) selama fase vegetatif 163
xxi
jagung, pada percobaan 2...............................................
14 Analisis ragam serapan N tanaman jagung (mg kg-1
) selama fase
vegetatif, pada percobaan 2..............................................................
163
15 Analisis ragam bobot kering total tanaman jagung (g tanaman-1
) selama
fase vegetatif jagung, pada percobaan 2..............................
163
16 Analisis ragam prosentase penutupan tanah (%), pada percobaan
3........................................................................................................
163
17 Analisis ragam kadar air tanah (%) selama masa bera, pada percobaan
3.......................................................................................
164
18 Analisis ragam suhu tanah (oC) selama masa bera, pada percobaan
3........................................................................................................
164
19 Analisis ragam bobot isi tanah (g cm-3
) dan porositas tanah (%) pasca
bera, pada percobaan 3............................................................
164
20 Analisis ragam produksi biomasa (b.k. t ha-1
), serapan C tanaman (t ha-1
)
dan simpanan C-organik tanah (t ha-1
), pada percobaan 3... 164
21 Analisis ragam kadar N jaringan tanaman (%), Nisbah C/N dan N yang
tertambat (t ha-1
), pada percobaan 3......................................... 165
22 Analisis ragam pH tanah, C-organik (%) dan bahan organik tanah (%),
pada percobaan 3......................................................................
165
23 Analisis ragam kadar N total, P tersedia dan K tanah setelah 5 bulan
pemberaan, pada percobaan 3.................................................
165
24 Analisis ragam Ca (me 100 g-1
tanah), Mg (me 100 g-1
tanah) dan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah (me 100 g-1
tanah) setelah 5 bulan
pemberaan, pada percobaan 3.................................................
165
25 Analisis ragam infeksi mikoriza (%) dan total koloni mikroba tanah
(cfu), pada percobaan 3...........................................................
166
26 Analisis ragam simpanan C-organik tanah (t ha-1
), bobot isi tanah (g cm-
1) dan porositas tanah (%), setelah panen jagung (akhir percobaan
4).....................................................................................
166
27 Analisis ragam pH tanah, C-organik dan bahan organik tanah, setelah
panen jagung (akhir percobaan 4..........................................
166
28
Analisis ragam kadar N total tanah (%) dan kadar K tanah (me 100 g-1
tanah), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)................
167
29 Analisis ragam kadar Ca (me 100 g-1
tanah) dan Mg (me 100 g-1
tanah)
dan KTK tanah (me 100 g-1
tanah), setelah panen jagung (akhir
xxii
percobaan 4)........................................................................... 167
30 Analisis ragam total koloni mikroba tanah (cfu) dan respirasi tanah (mg
CO2 g tanah-1
), setelah panen jagung (akhir percobaan
4)......................................................................................................
167
31 Analisis ragam panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji
tongkol-1
(g), bobot 100 biji (g), pada akhir percobaan
4........................................................................................................
168
32 Analisis ragam bobot kering tanaman (t ha-1
) dan hasil jagung pipilan
kering k.a 15% (t ha-1
), pada akhir percobaan 4.................
168
33 Analisis ragam bobot kering gulma (g m-2
) pada 20 hst dan 40 hst, pada
akhir percobaan 4....................................................................
168
34 Hasil analisis regresi antara simpanan C dengan kualitas tanah, pada
akhir percobaan 4.....................................................................
169
35 Hasil analisis regresi antara hasil jagung dengan simpanan C dan
kualitas tanah, pada akhir percobaan 4.............................................
170
36 Peta Adminstratif Kabupten Kupang, provinsi NTT yang menjadi
lokasi penelitian ...............................................................................
171
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem pertanian lahan kering merupakan suatu praktek budidaya pertanian
yang sangat beragam, dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada faktor iklim,
sehingga mudah terdegradasi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan
cara-cara yang tepat. Degradasi (kerusakan) tanah pada ekosistem pertanian lahan
kering lebih dominan disebabkan oleh faktor alami (erosi) dan faktor pengelolaan
lahan, seperti kegiatan deforestasi, sistem pertanian konvensional dan pola
usahatani tradisional. Degradasi lahan hampir selalu disertai dengan kemerosotan
simpanan C-organik tanah, yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan
kering (Semaoen et al., 1991; Lal, 1995; Lal et al., 2000; Dariah et al., 2010).
Studi tentang simpanan karbon (Carbon sink) tanah telah menjadi
perhatian dalam rangka menilai kualitas tanah akibat praktek pertanian
konvensional yang cenderung menyebabkan degradasi tanah. Perhatian yang besar
terhadap simpanan C-organik tanah karena, C-organik dalam tanah merupakan
bagian dari sistem tanah yang kompleks dan dinamis, sifatnya yang sangat labil
dan kandungannya dapat berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan
tanah (Lipper dan Uren, 1993; Blair et al., 1998; Nardi et al., 2004; Liu et al.,
2006; Surhone et al., 2010; Seremecic et al., 2011). Kadar C-organik dalam tanah
mencerminkan kandungan bahan organik dalam tanah yang merupakan tolok ukur
yang penting untuk pengelolaan tanah-tanah pertanian. Bahkan C-organik
dipercaya sebagai kunci ketahanan terhadap kekeringan dan kelestarian produksi
pangan (Bot dan Benites, 2005).
2
Di dalam ekosistem tanah, C-organik merupakan komponen penting yang
mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya untuk mendukung pertumbuhan tanaman,
yaitu sebagai sumber energi dan pemicu ketersediaan hara bagi tanaman (Edwards
et al., 1999; Bot dan Benites, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa C-organik
tanah memegang peranan penting sebagai sumber (source) dan penyerap (sink)
hara serta sebagai substrat bagi mikroba tanah (Lal et al., 2001; Kimble et al.,
2002; Tornquist et al., 2009). Menurut Kuo et al. (1997) dan Collins et al.
(1992), salah satu indikator keberhasilan pengelolaan lahan pertanian adalah tetap
terjaganya cadangan C-organik tanah, sehingga keseimbangan dalam tanah,
lingkungan dan keaneka ragaman hayati tetap terjaga dan lestari.
Tanah-tanah pertanian lahan kering umumnya mempunyai kadar C-
organik yang rendah < 1% (Samosir (2000). Sementara, sistem pertanian bisa
menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan C-organik tanah lebih dari
2% (Young, 1989; Handayanto, 1999). Lebih lanjut menurut Lal (2006), lahan-
lahan pertanian tropis dengan pemanfaatan yang intensif tanpa adanya upaya
konservasi, dapat menyebabkan kehilangan C-organik sebesar 60-80%. Keadaan
itu dapat berdampak pada menurunnya produktivitas lahan kering. Menurunnya
kadar C-organik tanah di lahan kering sangat cepat terjadi bila residu tanaman
dikeluarkan dari lahan produksi ataupun di bakar seperti yang banyak dilakukan
oleh petani.
Sehubungan dengan kendala tersebut, maka diperlukan upaya untuk
memperbaiki kemerosotan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah. Upaya
praktis yang dapat dilakukan adalah melalui penambahan bahan organik sebagai
3
sumber C-organik tanah. Namun demikian untuk mendapatkan pengaruh yang
nyata, penggunaan bahan organik baik sebagai sumber pupuk organik dan atau
bahan pembenah tanah (soil conditioner) membutuhkan jumlah yang relatif
banyak, yaitu berkisar 5-20 t ha-1
(Dariah et al., 2010) sehingga seringkali sulit
bagi petani, jika sumber bahan organik tidak bersifat in situ.
Peningkatan simpanan C-organik dan kualitas tanah dapat dicapai dengan
penggunaan dan pengelolaan legum penutup tanah (LPT) in situ dalam sistem
budidaya pertanian (Power, 1987; Dinga et al., 2006; Sarrantonio, 2007;
Steenwerth dan Belina, 2008; Acosta, 2009; Wang et al., 2010; Olson et al.,
2010) baik sebagai tanaman sela atau tanaman pengisi selama masa bera.
Pemanfaatan LPT menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah ketersediaan
bahan organik in situ, karena murah dan mudah bagi petani. Penanaman tanaman
LPT dapat dilakukan menjelang panen tanaman semusim dan dibiarkan tumbuh
selama masa bera agar tidak menggangu sistem usahatani tanaman pangan
semusim pada musim hujan.
Tanaman LPT diperlukan dalam pengelolaan kesuburan tanah di lahan
kering, karena memiliki pertumbuhan yang cepat serta adaptif pada kondisi
kering dengan kesuburan tanah yang rendah. Ditinjau dari aspek ekologis
pemanfaatan LPT pada masa bera sangat menguntungkan, karena secara umum
LPT dapat berperan sebagai sumber C-organik tanah dalam memelihara
kesehatan dan kualitas tanah. Keberadaan LPT dalam lahan budidaya selama
masa bera dapat berperan sebagai penyelamat hara (proses daur-ulang hara) dan
menciptakan keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui sistem
4
perakaran dan input tutupan biomasa tanaman dari waktu ke waktu (La1, 1998;
Reijntjes et al., 1999; Bot dan Benites, 2005; Arsyad, 2010). Penutupan
permukaan tanah oleh LPT selama masa bera juga berdampak pada penekanan
pertumbuhan berbagai jenis gulma (Pettifer, 2003) yang merupakan salah satu
masalah dalam sistem budidaya lahan kering.
Di daerah tropis tersedia banyak jenis LPT seperti Centrosema pubescens
Benth. (CP), Mucuna pruriens L. (MP), Crotolaria usaramoensis L. (CU),
Phaseolus lunatus L. (PL) maupun jenis tanaman penutup tanah lainnya. Jenis
LPT tersebut banyak dikembangkan pada areal perkebunan untuk tujuan
konservasi lengas tanah dan sebagai penyubur tanah (Wilson dan Okigbo, 1982;
Dirjenbun, 1984).
Tanaman LPT merupakan tanaman multi fungsi dan memberikan peranan
penting dalam pengelolaan kesuburan tanah di daerah tropis (Sarrantonio, 2007;
Acosta, 2009). Secara umum LPT memiliki kualitas biomasa yang tinggi,
sehingga dapat menigkatkan ketersediaan unsur hara tanah terutama N dan
memperbaiki sifat-sifat fisik tanah (Haynes, 1986). Namun pemanfaatannya
dalam sistem pertanian lahan kering masih sangat terbatas, karena berbagai
kendala. Kendala tersebut antara lain, petani tidak ingin mengorbankan lahannya
untuk ditanami berbagai tanaman LPT yang tidak memiliki nilai ekonomi secara
langsung. Selain itu faktor pengetahuan atau pemahaman petani mengenai potensi
tanaman LPT masih terbatas. Permasalahan lainnya adalah informasi tingkat
efektifitas LPT sebagai pupuk hijau yang belum jelas. Tingkat efektifitas LPT
dalam perbaikan kualitas tanah pertanian pada prinsipnya tergantung pada
5
produksi biomasa sebagai sumber bahan organik yang diberikan, komposisi sifat
kimia biomasa asal, serta laju dekomposisi dan mineralisasi. Dekomposisi
merupakan proses biologis yang terjadi secara alamiah dan menentukan besarnya
pelepasan hara (Temel, 2003) dan besarnya simpanan C-organik dalam tanah
(Juma, 1998; Bell et al., 1999; Berge dan McClaugherty, 2002)
Kecepatan pelapukan dan mineralisasi sangat ditentukan oleh kualitas
bahan organik tersebut, yakni kandungan nitrogen, lignin, polifenol dan faktor-
faktor lingkungan lainnya (Tian et al., 1992; Stevenson, 1994; Juma, 1998;
Hairiah et al., 2003). Kualitas bahan organik dinyatakan tinggi apabila
kandungan N tinggi (>2,5%), nisbah C/N rendah (<20) serta kandungan lignin
(<15%) dan polifenol (<4%) sehingga proses pelepasan unsur haranya cepat dan
bertepatan pada saat tanaman membutuhkan (Handayanto dan Ismunandar, 1999;
Hartemink et al., 2001; Oladoye et al., 2005; Shimamura dan Momose, 2005).
Sebaliknya kualitas bahan organik yang rendah akan mengakibatkan proses
pelepasan unsur hara berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lama
sehingga tidak terjadi sinkronisasi (Young, 1989). Sinkronisasi merupakan
ketepatan (matching) menurut waktu, yaitu ketersediaan unsur hara dan kebutuhan
tanaman akan unsur hara (Myers et al., 1997).
Upaya peningkatan sinkronisasi hara dapat dilakukan melalui pengelolaan
waktu pengembalian biomasa LPT in situ dengan waktu tanam. Pengelolaan
biomasa LPT dilapangan dapat dilakukan dengan cara pembenaman (inkorporasi)
bersamaan dengan pengolahan tanah. Menurut Rachman et al. (2006)
pembenaman biomasa segar dapat dilakukan 20-30 hari sebelum tanam.
6
Pembenaman biomasa tanaman sebelum tanam merupakan cara yang tepat untuk
mempercepat laju dekomposisi sehingga tingkat sinkronisasi hara dapat tercapai.
Penelitian-penelitian tentang peranan LPT terhadap perbaikan kualitas
tanah secara parsial telah banyak dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia
lebih banyak dilakukan pada areal perkebunan untuk tujuan konservasi lengas
tanah. Sedangkan penelitian serupa dalam upaya untuk perbaikan kualitas tanah
dalam sistem pertanian di lahan kering masih sangat terbatas. Selain itu,
penelitian yang secara khusus menelaah perubahan simpanan C-organik dan
kualitas tanah dalam sistem pertanian di lahan kering melalui sistem pemberaan
(fallow system) dengan LPT belum banyak dilakukan. Atas dasar pemikiran
tersebut di atas maka telah dilakukan penelitian tentang “peranan legum penutup
tanah tropis dalam meningkatkan simpanan karbon organik dan kualitas tanah
serta hasil jagung (Zea mays L.) di lahan kering”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka beberapa masalah yang
akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT berbeda
antara jenis LPT dan cara aplikasi?;
2. Apakah masa inkubasi biomasa LPT yang dilakukan sebelum tanam
berpengaruh terhadap tingkat sinkronisasi hara pada tanaman jagung?;
3. Apakah sistem pemberaan lahan dengan LPT berpengaruh terhadap simpanan
C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya di lahan kering?;
7
4. Apakah pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan mempengaruhi
simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering?;
5. Apakah ada hubungan antara simpanan C-organik tanah dengan kualitas
tanah dan hasil jagung pasca pemberaan dengan LPT?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum adalah untuk menemukan
teknologi pengelolaan lahan kering spesifik dengan berbagai jenis LPT tropis.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini terdiri dari berbagai tahap percobaan, masing-masing dengan
tujuan khusus sebagai berikut:
1. untuk mendapatkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa LPT yang
memberikan laju dekomposisi dan besarnya pelepasan hara tertinggi;
2. untuk mendapatkan waktu inkubasi biomasa LPT sebelum tanam yang dapat
meningkatkan sinkronisasi hara pada tanaman jagung;
3. untuk mengkaji potensi LPT selama masa bera dan pengaruhnya terhadap
simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dalam sistem budidaya pertanian
di lahan kering;
4. untuk mendapatkan jenis LPT potensial lahan kering dan cara pengelolaan
biomasa in situ yang dapat meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas
tanah serta hasil jagung di lahan kering;
5. untuk mengetahui hubungan antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah
dan hasil jagung di lahan kering.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara akademik (untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi), maupun secara praktis (dapat
memecahkan masalah pembangunan pertanian lahan kering menuju sistem
pertanian yang berkelanjutan).
1.4.1 Manfaat akademik:
1. memberikan informasi terhadap pengembangan pengetahuan terutama
aspek pengelolaan LPT dan hubungannya dengan peningkatan kualitas
tanah di lahan kering.
2. merekomendasikan jenis LPT potensial spesifik untuk mendukung
sistem pengelolaan pertanian lahan kering secara berkelanjutan.
1.4.2 Manfaat praktis:
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi
pengambil kebijakan dalam pengembangan, pemberdayaan dan
pengelolaan sistem pertanian lahan kering secara berkelanjutan.
II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lahan Kering dan Permasalahannya
Lahan kering mempunyai arti yang bermacam-macam. Samosir (2000)
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang
tidak pernah tergenang air sepanjang tahun. Semaoen et al. (1991) berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang pemenuhan
9
kebutuhan air tanamannya tergantung sepenuhnya kepada air hujan dan tidak
pernah tergenang sepanjang tahun. Oleh para ahli tanah di Indonesia disepakati
defenisi lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian
dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya sumber air ini berasal dari
air hujan (Guritno, 1996). Secara umum lahan kering dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu lahan kering beriklim kering yang banyak dijumpai di
kawasan Timur Indonesia dan lahan kering beriklim basah, yang terdapat di
kawasan Barat Indonesia
Dari segi kesuburan tanah, secara umum pertanian lahan kering memiliki
masalah dengan kadar karbon (C) organik yang rendah (< 1%), kahat hara, KTK
rendah, kejenuhan basah rendah serta rentan terhadap erosi tanah (Samosir, 2000),
pencucian hebat, laju dekomposisi cepat, serta di dominasi oleh tanah masam
(Sanchez, 1992). Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan
kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman lapisan/solum tanah dangkal
yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan
berbukit (kelerengan 15-30%) (Guritno, 1996). Lahan kering berlereng curam
sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan untuk tanaman pangan
semusim.
Menurut Utomo et al. (1992) problem utama dalam pengelolaan lahan
kering adalah kurangnya perlindungan terhadap permukaan tanah dari terpaan
butiran hujan dan radiasi matahari serta pesatnya pertumbuhan gulma di satu sisi
dan disisi lain adalah kurangnya unsur hara , dan rendahnya C-organik tanah. Hal
ini akan menyebabkan pemadatan tanah yang mengakibatkan menurunnya laju
10
infiltrasi dan meningkatnya laju run-off dan erosi. Radiasi matahari yang
mengenai permukaan tanah akan meningkatkan laju oksidasi bahan organik
sehingga mempercepat kehilangan unsur-unsur hara esensial dan C-organik
dalam tanah.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai keunggulan komparatif
berupa potensi untuk lahan pertanian seluas 1.775.970 ha. Dari luas tersebut,
yang berpotensi untuk pengembangan pertanian lahan kering, sekitar 1.528.258
juta hektar (86,05%) (BAPEDA NTT, 2010). Gambaran ini berarti bahwa lahan
kering di NTT merupakan sumber mata pencaharian penting bagi sebagian besar
penduduk di wilayah ini. Potensi pengembangan pertanian lahan kering cukup
besar dibandingkan dengan lahan sawah karena: (1) sangat dimungkinkan untuk
pengembangan berbagai macam komoditas pertanian untuk keperluan eksport, (2)
dimungkinkan untuk pengembangan pertanian terpadu antara ternak dan tanaman
perkebunan/kehutanan serta tanaman pangan, (3) dimungkinkan dapat membuka
peluang kerja yang lebih besar dengan investasi yang relatif lebih kecil
dibandingkan membangun fasilitas irigasi untuk lahan sawah, dan (4)
dimungkinkan untuk pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan sebagian besar
penduduk yang saat ini menggantungkan hidupnya di lahan kering (Suwardji dan
Tejowulan, 2002).
Walaupun potensi lahan kering di NTT cukup besar, namun
pengelolaannya belum dilakukan secara optimal yang tercermin dari produktivitas
tanaman yang diusahakan yang masih sangat rendah. Faktor penting yang dapat
mengakibatkan rendahnya produktivitas lahan kering adalah kualitas sumberdaya
11
alam terutama kualitas tanah dan fisiografi/topografi lahan serta teknologi
produksi yang tidak memadai. Selain itu, faktor iklim terutama curah hujan
merupakan kendala utama dalam pengembangan pertanian lahan kering di NTT.
Data Curah hujan 10 tahun terakhir menunjukkan musim penghujan di NTT
sangat pendek (4 bulan basah) dan terjadi antara bulan Desember sampai bulan
Maret, Sedangkan musim kemarau panjang (8 bulan kering) yang terjadi pada
bulan April sampai dengan bulan November (Badan Klimatologi dan Meteorologi
Nusa Tenggarat Timur, 2012).
Gambar 2.1
Pola curah hujan dalam 10 tahun (2003-2012) di kabupaten Kupang NTT
Memperhatikan distribusi hujan tahunan (Gambar 2.1), maka pola
usahatani yang dijalankan secara umum didominasi oleh usahatani tanaman
pangan semusim. Selebihnya sekitar 8 bulan, lahan dibiarkan terbuka (bera alami)
sampai musim tanam berikutnya. Kondisi seperti ini berdampak pada
meningkatkan degradasi (kerusakan) tanah seperti pemadatan tanah,
meningkatnya kepadatan gulma sehingga dapat menurunkan produksi hasil
pertanian di lahan kering.
0
100
200
300
400
500
600
Jan Peb Maret Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
Ju
mla
h C
ura
h H
uja
n (
mm
)
Bulan
12
Memperhatikan potensi dan permasalahan lahan kering tersebut maka
diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan kering agar mampu memberikan peran
secara maksimal, yaitu melalui pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan.
Tujuannya adalah untuk melindungi dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan
kering (tanah dan air) agar mampu memenuhi kebutuhan hidup petani lahan
kering secara berkelanjutan dalam jangka waktu panjang dengan tanpa
menurunkan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri (Lal et al., 2000).
Strategi yang dapat dipilih adalah melalui penerapan usahatani konservasi
berbasis tanaman legum penutup tanah (LPT). Pemanfaatan LPT dalam sistem
budidaya pertanian lahan kering sebagai tanaman bera, secara ekonomis
menguntungkan karena sesuai bagi petani lahan kering yang tergolong ekonomi
lemah, secara sosial dapat diaplikasikan oleh petani lahan kering, dan secara
ekologis sangat tepat untuk memelihara kesehatan dan kualitas tanah sehingga
terjadi keseimbangan ekologis secara berkelanjutan melalui input tutupan
biomasa tanaman dari waktu ke waktu. (Power, 1987; Lal et al., 2000;
Sarrantonio, 2007).
2.2 Karbon Organik Tanah
Karbon (C) adalah unsur penting pembangun bahan organik, karena
sebagian besar (58%) bahan kering tanaman terdiri dari bahan organik. Unsur C,
ini diserap tanaman dalam bentuk gas CO2 dari atmosfir yang selanjutnya
digunakan dalam proses penting yang disebut fotosintesis dan menyimpan
hasilnya sebagai materi organik dalam bentuk biomasa tanaman. Separuh dari
13
jumlah karbon yang diserap tanaman dari udara bebas tersebut masuk ke dalam
tanah melalui sisa tanaman (serasah), akar tanaman yang mati, dan organisme
tanah lainnya dan mengalami dekomposisi sehingga terakumulasi dalam lapisan
tanah (Colins et al., 1992; Hikmat, 2005; Ruddiman, 2007).
Kadar C-organik di dalam tanah mencerminkan kandungan bahan organik
tanah yang merupakan tolok ukur pengelolaan tanah pertanian (Bot dan Benites,
2005). Kadar C-organik merupakan faktor penting penentu kualitas tanah
mineral. Semakin tinggi kadar C-organik total maka kualitas tanah mineral
semakin baik (Six et al., 1998; Blair et al., 1998). Komposisi C-organik pada
tanah mineral sangat sedikit (1-5%), namun pengaruhnya terhadap sifat fisik,
kimia dan biologi tanah dan keberlanjutan tanah pertanian sangat besar (Lipper
dan Uren, 1993; Juma, 1998; Liu et al., 2006; Nardi et al., 2004; Surhone et al.,
2010; Seremecic et al., 2011).
Tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan
dan memegang peranan penting dalam siklus karbon global (Eswaran dan van
Den Berg, 1993). Total karbon dalam tanah berasal dari C-organik dan C-
anorganik. Komponen C-organik berada pada fraksi bahan organik tanah,
sementara C- anorganik terutama dijumpai pada mineral karbonat. Keberadaan C-
organik dalam fraksi organik tanah terdiri dari mikroorganisme, sisa-sisa
tanaman/tumbuhan pada berbagai tingkat dekomposisi, dan humus yang lebih
stabil (Lal et al., 2001).
Besarnya simpanan C-organik dalam tanah berbeda-beda tergantung pada
ekosistem, jenis tanaman dan cara pengelolaanya. Pada ekosistem pertanian,
14
karbon yang masuk ke dalam tanah mencapai 1,2-1,9 t ha-1
tahun-1
, sedangkan
pada ekosistem hutan tropik, karbon yang masuk lebih tinggi mencapai 5,9 t ha-1
tahun-1
(Eswaran dan van Den Berg, 1993). Produksi karbon pada ekosistem
pertanian tropik lebih tinggi, namun karena laju dekomposisi bahan organik
cenderung lebih cepat dibandingkan dengan daerah sub tropis dan erosi yang
tinggi menyebabkan simpanan karbon organik tanah tropika cenderung rendah
(Jime´nez et al., 2009). Ada 3 pool (kantong) utama pemasok karbon ke dalam
tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon, tanaman penutup tanah, dan tanaman
semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui
akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; dan (c)
biota tanah (West dan Post, 2002; Hairiah dan Murdiyarso, 2007).
Menurut Hairiah et al. (2003) tanah-tanah pertanian di daerah tropik
basah umumnya memiliki kandungan C-organik yang sangat rendah di lapisan
atas <2%). Penurunan simpanan C-organik tanah pada lahan-lahan pertanian
intensif disebabkan oleh berbagai alasan: 1) pelapukan (dekomposisi) bahan
organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah
serta curah hujan yang tinggi; 2) sistem pertanian eksploitatif yang mengangkut
keluar bahan organik sisa hasil panen secara besar-besaran tanpa diimbangi
dengan pengembalian dan pemasukan bahan organik dari luar, sehingga tanah
kehilangan potensi masukan C-organik (Hairiah et al., 2003); (3) dimanfaatkan
oleh biota tanah; (4) karena terbawa oleh erosi tanah atau aliran permukaan; dan
(5) pembakaran lahan pertanian (Prayogo et al., 2000)
15
Kadar C-organik (bahan organik tanah) mempunyai pengaruh langsung
terhadap perbaikan sifat-sifat tanah, seperti: peningkatan porositas tanah,
menurunkan bobot isi tanah (bulk density), meningkatkan kemampuan manahan
air, penurunan laju erosi tanah dan meningkatkan kapasitas infiltrasi air
(Stevenson, 1994; Jastrow et al., 1996). Selain itu, kadar C-organik (bahan
organik) tanah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kesuburan kimia tanah,
antara lain: terhadap kapasitas pertukaran kation tanah, pH tanah, daya sanggah
tanah dan terhadap keharaan tanah (Stevenson, 1994). Bahan organik juga
mampu memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel
membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur micorhyza dan hasil
eskresi tumbuhan dan hewan lainnya (Rao, 1994).
Uraian di atas, memberikan gambaran bahwa C-organik tanah memegang
peranan penting dalam ekosistem pertanian, untuk itu perlu ada upaya pengelolaan
melalui masukan teknologi pemanfaatan LPT dalam rangka membangun
simpanan C-organik tanah secara berkelanjutan sehingga akan meningkatkan
produktivitas tanah secara berkelanjutan.
2.3 Kualitas Tanah
Soil Science Society of America, mendefinisikan kualitas tanah sebagai
sifat yang melekat pada tanah yang diketahui dari karakteristik tanah atau
observasi langsung (seperti kepadatan dan kesuburan). Kualitas tanah secara
sederhana disamakan dengan produktivitas tanah. Beberapa sifat fisik, kimia, dan
biologi berinteraksi secara kompleks untuk menunjukkan kemampuan potensial
tanah pada produksi berkelanjutan. Integrasi dari faktor-faktor pemacu
16
pertumbuhan yang menjadikan tanah produktif sering dimaksudkan sebagai
kualitas tanah (SSSA, 1987).
Menurut Doran dan Parkin (1994) kualitas tanah adalah kemampuan suatu
tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung
produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan
kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok
dari definisi tersebut yaitu, (1) produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah
untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, (2) mutu lingkungan yaitu
tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara,
penyakit dan kerusakan sekitarnya, dan (3) kesehatan makhluk hidup. Lebih
lanjut Doran dan Parkin (1994) menambahkan bahwa dampak negatif dari
ketidak-mampuan tanah dalam memenuhi fungsinya adalah terganggunya kualitas
tanah. Kondisi tersebut menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis, menurunnya
produktivitas tanah, dan pencemaran lingkungan secara global.
Kualitas tanah berpengaruh secara signifikan bagi kesehatan ekosistem
dan lingkungan. Proses penting yang dipengaruhi oleh kualitas tanah adalah
pergerakan air dan nutrisi, pendistribusian dan pasokan hara bagi tanaman,
perkembangan akar, kehidupan dan aktivitas biota tanah yang sesuai, serta
respons terhadap pengelolaan (Larson dan Pierce, 1994). Kualitas tanah yang
tinggi berhubungan erat dengan efisiensi penggunaan air, ketersediaan hara,
kualitas air dan udara, mitigasi emisi gas rumah kaca dan peningkatan produksi
agronomis (Lal, 1995).
17
Kualitas tanah memiliki sifat yang kompleks, sehingga kualitas tanah
tidak dapat diukur namun dapat diduga dari sifat-sifat yang dapat diukur dan dapat
dijadikan indikator untuk menilai kualitas tanah. Indikator kualitas tanah adalah
sifat fisik, kimia dan biologi serta proses dan karakteristik yang dapat diukur
untuk memantau berbagai perubahan dalam tanah. Indikator kualitas tanah yang
digunakan adalah indikator fisik tanah meliputi: tekstur tanah, ketebalan tanah,
bobot isi tanah (bulk density), kapasitas infiltrasi, kemampuan tanah memegang
air, kadar air tanah, dan temperatur tanah. Indikator kimia tanah meliputi: C-
organik, pH, konduktivitas tanah, mineral N, P dan K. Sedangkan indikator
biologi tanah, meliputi: biomasa mikroba (C dan N), potensi N yang dapat
dimineralisasi, respirasi tanah (Doran dan Parkin, 1994; Larson dan Pierce,
1994). Dari parameter-parameter tersebut, kadar C-organik tanah merupakan
indikator kimia yang utama karena secara langsung mempengaruhi agregasi tanah,
retensi air, ketersediaan hara, simpanan C-organik dan keragaman biologi dalam
tanah (Baldock et al., 2009)
Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah
harus memenuhi kriteria: (a) berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem
dan berorientasi modeling, (b) mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia,
fisika dan biologi tanah, (c) mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang
dan dapat diakses oleh para penggguna, (d) peka terhadap variasi pengelolaan dan
iklim, dan (e) sedapat mungkin merupakan komponen basis tanah.
Ada banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan indikator
kualitas tanah, namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sebagai
18
indikator kualitas tanah sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi.
Karlen et al. (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian
kualitas tanah, perlu dilakukan indentifikasi indikator-indikator yang sensitif
terhadap praktek produksi pertanian.
Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah terdegradasi yaitu:
menurunnya kandungan bahan organik tanah (C-organik), perpindahan liat,
memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian
unsur hara (Lal, 1995). Khusus untuk tanah-tanah tropik basah terdapat tiga
proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: (1) degradasi
fisik yang berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu
pemadatan tanah, aliran permukaan dan erosi, (2) degradasi kimia yang
berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur-unsur lainnya, dan
(3) degradasi biologi yang berhubungan dengan menurunnya kuantitas dan
kualitas bahan organik tanah, aktivitas biota dan keragaman spesies fauna tanah
yang juga ikut menurun (Karlen et al., 1997).
2.4 Tanaman Legum Penutup Tanah Tropis
Legum penutup tanah (LPT) merupakan tanaman kelompok leguminosa,
yang khusus di tanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi
dan untuk memulihkan kesuburan tanah-tanah pertanian. Selain itu, LPT juga
digunakan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah melalui sistem pergiliran
tanaman maupun dalam sistem rehabilitasi lahan kritis (Utomo, 1994; Samosir,
19
2000; Arsyad, 2010). Selanjutnya dikemukakan oleh Reinjntjes et al. (1999)
bahwa LPT dapat digunakan untuk menciptakan iklim mikro tanah yang baik,
mengurangi penguapan, dan melindungi tanah dari erosi, juga dapat menyuburkan
tanah karena sifat-sifat pertumbuhannya serta kuantitas dan kualitas bahan organik
yang di hasilkan. LPT mempunyai kemampuan untuk menyuburkan tanah baik
fisik, kimia, maupun biologi bahkan kadang-kadang pula mempunyai peran
sebagai pakan ternak, penahan erosi dan fungsi ekonomi yang lain (van
Noordwijk et al., 1992).
Menurut Dirjenbun (1984), beberapa peran LPT adalah untuk menekan
laju erosi, dan menambah bahan organik tanah, dan melakukan transpirasi yang
dapat mengurangi kadar air tanah saat kadar air tanah tinggi. Menurut Arsyad
(2010) peningkatan kandungan bahan organik tanah akibat adanya penutupan
tanah dapat memperbaiki sifat tanah, seperti meningkatkan ketahanan struktur
tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan manahan air hujan
yang jatuh serta menambah unsur hara.
Di Asia tropis, LPT umumnya dikembangkan pada areal tanaman
perkebunan kelapa sawit dan karet (Wilson dan Okigbo, 1982). LPT ini
dikembangkan dengan tujuan utama sebagai tanaman konservasi lengas tanah
terutama pada areal tanaman perkebunan yang belum berproduksi (tanaman
muda). LPT pada umumnya mampu menyediakan penutupan secara permanen
sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi erosi,
meningkatkan konsentrasi hara tanah dan meningkatkan kadar bahan organik di
dalam tanah. Pemanfaatan LPT, telah dipromosikan sebagai strategi mitigasi
20
untuk membantu mengimbangi kenaikan kadar karbon dioksida (CO2) atmosfer,
melalui penyerapan karbon di atmosfir (Kuo et al., 1997).
Menurut Sutanto (2002) kriteria untuk memilih LPT yang baik, yakni
produksi biomasa tinggi, sistem perakaran dalam, pertumbuhan awal cepat, lebih
banyak daun dari pada kayu, mampu memfiksasi N, mempunyai hubungan baik
dengan mikoriza, memanfaatkan air secara efisien, bukan tanaman inang bagi
hama, pembentukan biji mudah dan bersifat multiguna (sebagai penutup tanah,
penyubur tanah dan sebagai pakan ternak). Selain itu, tanaman penutup tanah
harus memenuhi syarat tahan kekeringan dan tahan terhadap pemangkasan.
Di daerah beriklim tropis, telah banyak dikembangkan berbagai jenis LPT
untuk tujuan konservasi tanah atau sebagai tanaman penguat teras, karena sistem
perakarannya yang kuat. Kaitannya dengan usaha perbaikan atau pemulihan
kesuburan tanah, penggunaan LPT lebih dominan dikembangkan oleh petani di
daerah tropis, karena berbagai keunggulannya. Keunggulan tanaman penutup
tanah dari kelompok leguminosa adalah kemampuan dalam memfiksasi N bebas
dari udara dengan bantuan bakteri penambat N sehingga kadar N yang terkandung
di dalam tanaman relatif tinggi (Power, 1987; Balkcom et al., 2007)
Peranan LPT dalam meningkatkan kandungan nitrogen tanah telah
banyak mendapat perhatian, karena unsur nitrogen merupakan faktor pembatas
utama dalam produksi tanaman budidaya (Gardner et al., 1991). Menurut Lal et
al. (2000) ; Hairiah et al. (1992), nitrogen yang dihasilkan oleh tanaman legum
penutup tanah melalui fixasi diperkirakan mencapai 200-300 kg N ha-1
.
Disamping nitrogen, juga terjadi peningkatan hara lainnya, yaitu: 20-30 kg P ha-1
,
21
95-147 kg K ha-1
dan 17-30 kg ha-1
lebih tinggi di bandingkan dengan non
legum.
Selain perannya sebagai sumber nitrogen, manfaat lainnya adalah sebagai
pengendali gulma dan dalam mensuplai C-organik tanah serta meningkatkan
proses biokimia dalam tanah (Sutanto, 2002; Acosta, 2009). Proses biokimia
dalam tanah dapat berjalan karena adanya input C-organik yang masuk ke dalam
tanah berupa biomasa hijauan sebagai sumber makanan bagi mikroba tanah dan
cenderung merangsang perubahan biologis. Proses biokimia mempunyai peranan
dalam memproduksi CO2, NH4, NO3 dan pembentukan senyawa sederhana
lainnya yang bermanfaat bagi tanaman (Hakim et al., 1986). Keunggulan lainnya
adalah, tanaman penutup tanah dapat meningkatkan struktur tanah dan
meningkatkan kapasitas pengikatan air dan berperan sebagai penyanggah
(buffering) nutrisi tanah melalui sistem perakaran.
Hasil analisis yang dilakukan oleh Hairiah et al. (2009) pada LPT dalam
sistem agroforestry, ada tiga proses utama yang terlibat dalam siklus hara: (1)
penambatan N dari udara, yaitu peningkatan jumlah N hasil penambatan dari
udara, (2) mineralisasi bahan organik/sisa tanaman, yaitu peningkatan jumlah
hara dari hasil mineralisasi biomasa tanaman penutup tanah, (3) adanya
peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar tanaman (jenis
legum pohon) yang menyebar cukup dalam ke lapisan atas tanah.
Penelitian yang dlakukan oleh Kuo et al. (1997) mendapatkan bahwa
tanaman penutup tanah mempengaruhi kandungan N tanah dan besarnya
konsentrasi nitrogen ditentukan oleh kadar N jaringan dan besarnya produksi
22
biomasa tanaman penutup tanah. Selanjutnya Vyn et al. (1999) melaporkan
bahwa tanaman penutup tanah dapat meningkatkan konsentrasi nitrat tanah. Dari
tiga jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (annual ryegrass, oilseed radish
dan red clover) terlihat bahwa red clover memberikan ketersediaan N yang lebih
tinggi yaitu sebesar 21 mg N kg-1
biomasa, dan juga dari penelitian ini dilaporkan
bahwa terdapat korelasi positip antara NO3 tanah dengan hasil tanaman jagung.
Selanjutnya dikemukakan oleh Frye (1983) bahwa tanaman penutup tanah dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan N akibat penambahan N tanah (oleh jenis
legum) dan mencegah kehilangan N akibat pencucian dan denitrifikasi.
Selain sebagai pengikat nitrogen dari udara, LPT juga memberikan
keuntungan lain. van Noordwijk et al. (1992) mengemukakan bahwa LPT dapat
memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya. Perbaikan sifat tanah ini terjadi karena
biomasa yang dihasilkan oleh tanaman LPT menjadi sumber bahan organik tanah.
Menurut Hairiah et al. (2000) tanaman LPT dapat memberikan masukan bahan
organik sebanyak 2-3 t ha-1
pada umur 3 bulan dan 3-6 t ha-1
jika dibiarkan
sampai enam bulan. Meningkatnya bahan organik tanah akan memperbaiki sifat
fisik dan kimia tanah setelah biomasa tanaman LPT mengalami pelapukan.
Peningkatan kadar C-organik tanah mengakibatkan agregat tanah menjadi lebih
mantap, pengikatan unsur P pada tanah masam berkurang, penyediaan unsur hara
secara lengkap dan berimbang serta meningkatnya aktivitas biologi dalam tanah.
Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga
akan meningkatkan kapasitas tukaran kation (KTK). Bahan organik tanah yang
telah lapuk akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan kimia tanah antara
23
lain terhadap KTK tanah. Sekitar 20-70% kapasitas pertukaran kation tanah pada
umumnya bersumber pada koloid humus, sehingga terdapat korelasi antara bahan
organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1994). KTK menunjukkan kemampuan
tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut
termasuk kation hara tanaman, sehingga KTK penting untuk kesuburan tanah.
Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 t ha–1
pada Ultisol mampu
meningkatkan 15,18% KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 c mol (+) kg-1
(Stevenson, 1994).
Pengaruh lainnya, adalah terhadap pH tanah. Penambahan bahan organik
yang belum lapuk, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah
(meningkatnya H+), karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-
asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah (Wiesje, 2008).
Peningkatan pH tanah (meningkatnya OH+) juga akan terjadi apabila bahan
organik yang ditambahkan telah terdekomposisi, sehingga mudah melepaskan
hara bagi tanaman.
Selain perannya dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah, tanaman
penutup tanah juga memberikan peran terhadap perbaikan sifat biologi tanah.
Tanaman penutup tanah dari kelompok legum merupakan inang utama bagi
sebagian mikroba tanah terutama bakteri rhyzobium. Zona perakaran
(rhizosphere) merupakan habitat bagi kehidupan organisme dalam tanah (Lines-
Kelly et al., 2009). Hal ini karena perakaran tanaman umumnya menghasilkan
dan mengeluarkan senyawa-senyawa (eksudat) organik yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan organisme tanah. Mikroba rhizosphere selain berperan dalam
24
fiksasi nitrogen, juga dalam akumulasi dan degradasi bahan organik tanah dan
menyediakan nutrisi bagi tanaman melalui proses mineralisasi (Stevenson, 1994;
Steenwerth dan Belina, 2008).
Legum penutup tanah (LPT) berpengaruh nyata terhadap peningkatan
populasi organisme tanah baik makro maupun mikro (Steenwerth dan Belina,
2008). Populasi bakteri total pada zona perakaran legum penutup tanah berbeda,
yaitu pada C. pubescens (5,21 x 105 g
-1), C. anagyroides (4,85 x 10
5 g
-1) dan M.
pruriens (5,24 x 105 g
-1) lebih tinggi di banding tanpa LPT yang hanya mencapai
3,56 x 105 g
-1 (Utomo et al., 1992; Hairiah et al., 1992). Peningkatan populasi
organisme dalam tanah, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro terutama
ketersediaan karbon, suhu dan kelembaban pada zona perakaran (rhizosphere)
yang relatif sangat mendukung kehidupan organisme tanah
Karakteristik dari LPT yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan
sebagai berikut:
1. Centrosema pubesescens Benth. (Centro)
C. pubesescens Benth., dengan nama lokal disebut centro merupakan
tanaman yang tumbuhnya merambat dan melilit, tanaman ini berasal dari Amerika
Selatan. Tanaman ini mempunyai tulang daun yang menyirip, helai daun
berjumlah tiga buah, memiliki bunga yang berwarna ungu. Polong centro
berwarna hijau dengan panjang 9-17 cm. Setiap polong umumnya menghasilkan
12-20 biji yang berwarna coklat (Dirjenbun, 1984).
Centro tahan terhadap naungan dan sangat cocok dijadikan sebagai
tanaman sela di perkebunan. Centro juga dapat tumbuh subur pada tanah yang
25
miskin hara dan tahan kekeringan, namun pertumbuhannya terhambat pada
keadaan tergenang (Dirjenbun, 1984). Selama ini centro digunakan sebagai
tanaman pionir dalam merehabilitasi lahan terdegradasi akibat erosi, pada
perkebunan kelapa sawit dan karet digunakan sebagai tanaman penyubur tanah
(Purwanto, 2007).
Keunggulan dari centro adalah dapat tumbuh dengan baik pada tanah
yang kurang subur dan masam tanpa menggunakan pupuk buatan, dapat
menghasilkan daun yang banyak dan batangnya tidak berkayu (saelent) walaupun
umur tanaman telah mencapai 18 bulan. Centro mempunyai jaringan perakaran
yang kuat dan dalam sehingga mampu bertahan pada musim kering yang panjang.
Centro tahan pada kondisi kering, tahan hidup di bawah naungan, dan tahan pada
kondisi tanah masam dengan drainase yang jelek (Dirjenbun, 1984).
2. Mucuna pruriens L. (Kacang koro)
M. pruriens L. dikenal dengan nama lokal kacang koro, merupakan
tanaman yang tumbuh merambat dan melilit dan termasuk tanaman semusim.
Tanaman ini memiliki daun yang lebar dan tajuk yang tebal, bunga berwarna ungu
dan polongnya berwarna cokelat, bijinya berukuran besar. Species ini berasal dari
Amarika Selatan. Jenis ini mempunyai penyebaran yang sangat luas di daerah
tropis. Dapat tumbuh pada tanah masam, beradaptasi baik pada tanah-tanah
dengan tingkat kesuburan yang rendah dan tahan kekeringan (Acosta, 2009).
M. pruriens dapat digunakan sebagai pengisi lahan bera di musim kemarau,
karena tahan kering.
26
M. pruriens, dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman legum penutup
tropis atau pupuk hijau untuk menjaga kesuburan tanah dan pengendalian gulma.
Berbagai keuntungan dari tanaman ini telah menyebabkan diadopsi secara luas di
banyak negara bagian di Amerika Tengah dan Afrika. Di India Mucuna
merupakan tanaman budidaya yang di pelihara sebagai tanaman penyubur tanah
(Acosta, 2009).
Di Indonesia M. pruriens di kenal dengan nama kacang koro, dan banyak
petani yang telah membudidayakannya karena selain sebagai tanaman penyubur
tanah, kacang koro juga merupakan sumber pangan. Kacang koro biasanya
memiliki kebiasaan pertumbuhan tak tentu dengan panjang sulur antara 3-18 m.
Tanaman memiliki bunga ungu yang menggantung di ketiak daun. Polong ditutupi
dengan rambut halus berwarna gelap yang dapat segera hilang dan dapat
menyebabkan iritasi pada kulit.
Hasil penelitian Suwardjo et al. (1987) menunjukkan bahwa M. pruriens
lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah dan kadar Al yang tinggi
dibanding dengan C. pubescens. Dari penelitian yang sama diperoleh informasi
bahwa M. pruriens mampu memberantas gulma alang-alang mulai pada umur 6
minggu setelah tanam. Tanaman ini berakar dangkal dengan banyak nodul.
3. Crotalaria usaramoensis L. (Krotalaria/Orok-orok)
C. usaramoensis L. (krotolaria atau orok-orok) merupakan tanaman
perdu dengan tinggi 1-1,5 m. Krotalaria mempunyai banyak cabang dan daunnya
merupakan daun trifoliet, bunganya berwarna kuning dan muncul berkelompok
pada ujung batang. Polong krotalaria memiliki ukuran 3-4 cm dengan bentuk
27
membulat pada ujung polong. Krotalaria tumbuh dari daerah dataran rendah
sampai dataran tinggi, yaitu dari 0 - 1500 m dpl. Tanaman ini toleran terhadap
cekaman kekeringan dan tahan terhadap hujan yang berkepanjangan, pada musim
kemarau batang krotolaria mengering tetapi kuncup baru segera muncul pada
musim hujan berikutnya (Dirjenbun, 1984).
Menurut Cook dan White (1996) krotalaria merupakan salah satu jenis
tanaman penutup tanah yang paling banyak ditanam sebagai pupuk hijau di
seluruh daerah tropis. Krotalaria sering di rotasi dengan berbagai spesies tanaman
yang berbeda. Di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an, dilaporkan menjadi
tanaman yang sangat baik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan juga sebagai
penghasil serat. Di Indonesia tanaman krotalaria dikembangkan sejak tahun 1960-
an, merupakan tanaman wajib pada perkebunan tembakau, yang ditanam pada
saat masa bera, selanjutnya dibenamkan menjelang tanam tembakau. Namun sejak
diperkenalkan pupuk dan herbisida yang relatif murah dan mudah, petani dan
perusahan mulai meninggalkan tanaman ini dengan alasan petani tidak rela
mengorbankan lahannya untuk ditanami tanaman yang tidak memiliki nilai
ekonomis (Rachman et al., 2006).
4. Phaseolus lunatus L. (Arbila hutan)
P. lunatus L., merupakan tanaman yang tumbuhnya merambat dan melilit
pada batang pohonan. Daun majemuk, beranak daun tiga, daun berbentuk jorong.
Sayap bunga berwarna putih kekuningan atau ungu, polong lonjong, pipih, berisi
4-5 biji. Bentuk, ukuran dan warna biji beragam.
28
Tanaman P. lunatus L., tumbuh di dataran rendah tropis sampai daerah
subtropis, serta dapat tumbuh hingga ketinggian 2000-2500 m dari permukaan
laut, dengan curah hujan normal tahunan antara 900-1500 mm. Tanaman ini
menyukai tanah beraerasi dan berdrainase baik dengan pH 6,0-6,8. Berbagai
kultivar tahan terhadap tanah masam dengan pH 4,4. Tanaman ini mempunyai
perakaran dalam, banyak dimanfaatkan sebagai tanaman bera, pencegah erosi,
sumber pupuk hijau, pemberantas alang-alang (Purwanto, 2007). Di daerah
tropika, tanaman ini ditanam secara monokultur di kebun atau tumpangsari
dengan sereal (jagung, gandum) dan ubi kayu atau tanaman lain. Penanaman
tunggal lebih sering dilakukan sebagai tanaman bera, seperti di wilayah Amerika
Serikat, Madagaskar dan Peru. Perakarannya yang dalam menyebabkan tahan
terhadap kekeringan dan potensi biomasa yang tinggi > 8 t ha-1
(Febrina, 2004).
2.5. Dekomposisi Bahan Organik
Dekomposisi merupakan proses yang sangat penting dalam siklus hara
pada suatu ekosistem tanah (Regina dan Tarazona, 2001; Sulistiyanto et al.,
2005). Proses dekomposisi tersebut sangat vital, karena produksi tanaman pada
ekosistem alami, tergantung pada proses daur ulang hara dalam sistem (Oladoye
et al., 2005). Melalui proses dekomposisi biomasa (serasah) akan terjadi proses
pelepasan hara untuk memenuhi kebutuhan tanaman, juga menentukan besarnya
simpanan C-organik tanah dalam suatu ekosistem. Menurut Oladoye et al. (2005),
kecepatan dekomposisi berhubungan dengan pelepasan hara, karena dekomposisi
merupakan proses kunci dalam mengendalikan siklus nutrisi dan pembentukan
C-organik di dalam tanah.
29
Dekomposisi merupakan proses yang sangat kompleks kerena melibatkan
beberapa faktor. Terdapat tiga faktor utama, yang mempengaruhi kecepatan/laju
dekomposisi biomasa (serasah) yaitu sumber asal dan kualitas bahan organik,
faktor lingkungan, dan keberadaan mikroorganisme dalam tanah (Guo dan Sims,
1999; Sulistiyanto et al., 2005)
Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan
organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke
udara. Ada dua proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu
dari humus dan dekomposisi dari sisa tanaman yang ditambahkan. Laju
dekomposisi C-organik tahunan rata-rata adalah 3% di daerah perladangan
(Barchia, 2009). Sekitar 2-5% dari karbon humus terdekomposisi setiap
tahunnya, tetapi kehilangan humus ini diimbangi oleh adanya suplai bahan
organik dari vegetasi penutupnya. Jumlah CO2 yang hilang karena aktivitas
heterotrop diimbangi oleh suplai bahan humus yang terbentuk dari akar, serasah
dan bagian tanaman dalam tanah yang telah mengalami pelapukan. Laju evolusi
CO2 dari bahan organik tanah berkisar dari 5 sampai 50 mg CO2 kg-1
hari-1
(Barchia, 2009)
Di lapangan laju evolusi CO2 hanya berkisar 0,5 sampai 10 g CO2 m-2
hari-1
, dan dapat juga mencapai 25 g CO2 m-2
hari-1
(Barchia, 2009). Faktor-faktor
yang mempengaruhi laju dekomposisi humus adalah pengolahan tanah,
temperatur, kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Laju evolusi CO2
yang paling besar ada di permukaan tanah dimana terdapat konsentrasi sisa
tanaman yang paling tinggi. Semakin dalam profil tanah, laju produksi CO2
30
menurun, dan pada kedalaman 50 cm atau lebih evolusi CO2 sudah sangat
terbatas.
Secara umum bahan organik yang bersumber dari jerami/brangkasan
serealia akan lebih lambat terdekomposisi dibandingkan dengan bahan organik
dari golongan legum. Hal ini karena kandungan senyawa kimia yang rendah
terutama nitrogen, dibandingkan dengan kelompok legum yang berkualitas lebih
tinggi. Kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang berkualitas
tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5%, nisbah C/N rendah (<20),
kandungan lignin rendah (<15%) dan polifenol yang rendah (< 4%) (Handayanto
et al., 1997; Rachman et al., 2006), sehingga mudah terdekomposisi oleh
mikroorganisme dalam tanah.
Nisbah C/N menentukan kecepatan dekomposisi, karena senyawa karbon
dan nitrogen penting bagi mikroorganisme selama proses dekomposisi. Karbon
diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan
untuk membentuk protein. Bahan serasah (biomasa) yang mempunyai nisbah C/N
tinggi lebih lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi
berarti N dalam bahan organik (serasah) sangat kecil sehingga N yang ada akan
dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan
organik yang memiliki nisbah C/N yang rendah (seperti golongan legum)
umumnya akan lebih cepat mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk
pada minggu ketiga (Hairiah dan Murdiyarso, 2007).
Selain nisbah C/N, kecepatan dekomposisi bahan organik juga ditentukan
oleh kandungan senyawa lignin dan polifenol (De Santo et al., 1993; Hartemink,
31
2001; Temel, 2003; Sulistiyanto et al., 2005 dan Oladoye et al., 2005). Biomasa
pangkasan gamal (Gliricidia sepium) mengandung lignin 11% sehingga dalam
waktu 4 minggu sudah habis terdekomposisi. Berbeda dengan serasah yang
berasal dari daun jambu yang kandungan ligninnya lebih tinggi yaitu 32%,
sehingga membutuhkan waktu >4 minggu (Handayanto et al., 1997; Hairiah dan
Rahayu, 2007).
Selain faktor kualitas biomasa, kecepatan dekomposisi juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan terutama pH tanah, suhu dan kelembaban tanah. Menurut
Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan tanah yang optimum adalah: pH netral
antara 5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-280C dan kelembaban tanah
antara 50-60%. Apabila faktor lingkungan (pH, suhu dan kelembaban) berada
dalam kondisi yang optimum, maka aktivitas mikroba perombak meningkat
sehingga proses dekomposisi dan pelepasan hara akan berjalan lebih cepat.
Faktor populasi mikroorganisme dalam tanah juga merupakan penentu
kecepatan dekomposisi. Serasah yang berada pada tanah yang banyak jasad
reniknya cenderung lebih cepat terdekomposisi dibanding dengan tanah yang
populasi jasad reniknya sedikit (Saetre, 1998; Sutedjo et al., 1991). Organisme
(jasad renik) di dalam tanah berperan menghancurkan sisa-sisa tanaman dan
binatang serta menggunakan komponen organik sebagai makanan/sumber
energinya. Ketika organisme yang terlibat dalam dekomposisi mati maka akan
terjadi pelepasan dan pembebasan senyawa atau ion (hara) yang berguna bagi
tanaman. Bahan organik adalah sumber hara tanaman. Bahan organik juga
merupakan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Aktivitas mikroba
32
ini akan merubah senyawa organik menjadi senyawa anorganik dan menghasilkan
asam organik yang mendorong pelepasan hara bagi tanaman (Hartemink, 2001;
Hairiah et al., 2003).
2.6 Pengelolaan Bahan Organik (Biomasa Tanaman) untuk Meningkatkan
Sinkronisasi Hara pada Tanaman
Salah satu upaya perbaikan kualitas tanah yang cukup murah adalah
dengan pengelolaan residu tanaman, hasil pangkasan tanaman atau biomasa
tanaman penutup tanah yang sengaja diintroduksi pada lahan budidaya sebagai
pupuk hijau. Penggunaan residu tanaman sebagai pupuk organik, mempunyai
beberapa kendala yang harus diperhatikan dalam meningkatkan produksi suatu
tanaman, yaitu jumlah residu yang harus dikembalikan, kualitas dari bahan
organik, cara pengelolaannya, waktu dan saat pembenaman, karena berhubungan
dengan tingkat sinkronisasi (Handayanto dan Ismunandar, 1999).
Sinkronisasi adalah matching menurut waktu, yaitu ketersediaan unsur
hara dan kebutuhan tanaman akan unsur hara pada waktu yang sama (Myers et al.,
1997). Apabila penyediaan unsur hara tidak sesuai dengan saat tanaman
membutuhkannya maka akan terjadi defisiensi unsur hara atau juga kelebihan
unsur hara. Menurut Myers et al. (1997); Handayanto dan Ismunandar (1999),
tidak terjadinya sinkronisasi disebabkan oleh dua hal yaitu: (1) jika ketersediaan
hara terjadi lebih lambat dari kebutuhan tanaman, dan (2) jika ketersediaan hara
terjadi lebih awal dibanding kebutuhan tanaman, dimana unsur hara yang tersedia
melebihi kebutuhan tanaman saat itu, sehingga mempunyai resiko hilang menjadi
bentuk tidak tersedia bagi tanaman.
33
Tingkat sinkronisasi ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan
mineralisasi bahan organik (Handayanto et al., 1997; Myers et al., 1997). Bahan
organik yang berkualitas tinggi akan lebih cepat lapuk akibatnya unsur hara akan
dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia (Murwira, 1994). Jika yang
ditanam adalah tanaman yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan
organik melapuk dan unsur hara N dilepaskan dalam jumlah maksimal ternyata
tanaman belum membutuhkan N dalam jumlah yang banyak. Hal ini berarti
terjadi kelebihan N tersedia tetapi tidak dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga N
yang berlebih ini akan hilang melalui pencucian dan penguapan. Selanjutnya
pada saat tanaman tersebut membutuhkan N dalam jumlah yang banyak ternyata
N yang tetrsedia di dalam tanah tidak mencukupi lagi.
Oleh karena itu pemberian bahan organik sebaiknya diberikan sebelum
tanam, agar pupuk organik yang berupa bahan organik biomasa tanaman tersebut
mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi sehingga tersedia bagi tanaman.
Penentuan lamanya waktu yang diberikan (pembenaman) harus melihat kualitas
dari pupuk organik, yaitu berkualitas tinggi, sedang ataupun rendah, dimana
kualitas yang tinggi, segera mengalami mineralisasi setelah diberikan
(dibenamkan) ke dalam tanah. Saat pemberian/pembenaman bahan organik, juga
harus melihat siklus hidup tanaman yang akan dipupuk, sehingga sinkronisasi
dapat tercapai.
Hasil percobaan Naidu (1981), penggunaan bahan organik baik yang
berasal dari pupuk kandang atau pupuk hijau memberikan hasil panen padi yang
sama dengan pupuk anorganik. Laporan ICRAF (1997) pupuk hijau Tithonia dan
34
Senna dapat menyumbangkan sejumlah unsur hara pada tanaman jagung di
Kenya, yaitu tanaman jagung yang dipupuk Tithonia dan Senna, masing-masing
5 ton ha-1
dan mampu memberikan sumbangan hara N sebesar 162 kg ha-1
, dan
hara P sebesar 14 kg ha-1
untuk Tithonia, sedangkan Senna menghasilkan 61 kg
N ha-1
, dan 2 kg P ha-1
. Purwanto (1997) menambahkan pupuk G. sepium dosis
10 ton ha-1
pada tanah Ultisol Lampung pada minggu ke-3 mampu meningkatkan
konsentrasi hara P sebesar 14%, dan minggu ke-9 meningkat 34%. Selanjutnya
Supriyadi (2003) menyatakan bahwa Thitonia mempunyai laju dekomposisi yang
cepat. Pelepasan hara N terjadi sekitar satu minggu dan pelepasan hara P dari
biomasa tanaman terjadi sekitar dua minggu setelah dimasukkan (dibenamkan) ke
dalam tanah.
Selain meningkatkan ketersediaan hara, cara pengelolaan bahan organik
secara in situ juga dapat memperbaiki sifat tanah lainnya. Suwardjo, (1981)
menyatakan pengembalian residu tanaman baik dalam bentuk mulsa maupun
dengan pembenaman, akan meningkatkan kualitas fisik tanah, terutama suhu
tanah dapat ditekan lebih rendah 9,41% (26,24oC) dan menurunkan bobot isi
tanah sampai 20% (1,29 g cm-3
) dibandingkan dengan tanpa pengembalian residu
tanaman dengan suhu yang lebih tinggi 28,71oC dan bobot isi yang lebih tinggi
1,46 g cm-3
. Rupa dan Agung (2003) yang melakukan pengkajian untuk melihat
pengaruh pengelolaan sisa tanaman pasca bera terhadap sifat tanah dan hasil
jagung setelah panen, menunjukkan pengelolaan residu tanaman dengan cara
dibenamkan dan dijadikan mulsa, secara signifikan meningkatkan kadar C-
organik tanah sebesar 74%, N total sebesar 25%, dan P tersedia sebesar 35%; serta
35
tejadi peningkatan hasil jagung 30% lebih tinggi di banding sisa tanaman
dikeluarkan dari lahan dan dibakar.
III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Pemanfaatan lahan kering di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk usahatani
jagung dan tanaman pangan lainnya, belum memberikan hasil yang optimal, hal
ini karena ada banyak faktor penghambat, diantaranya faktor abiotik, biotik dan
kondisi sosial ekonomi petani. Kendala faktor abiotik seperti (1) ketersediaan air
yang terbatas, (2) tanah mudah tererosi, (3) kesuburan kimia tanah yang rendah,
yang diperlihatkan oleh kandungan N tanah yang rendah (0,16%), P-tersedia
rendah (20,55 ppm) dan K-tersedia yang tergolong sedang (192,04 ppm, dan (4)
kandungan bahan organik tanah rendah yang ditunjukkan oleh C-organik yang
rendah sebesar 1,365% (Lampiran 1). Kendala dari faktor biotik yang penting
adalah pesatnya pertumbuhan gulma. Di sisi lain faktor sosial ekonomi petani
juga memegang peranan penting dalam peningkatan produksi serta pengembangan
tanaman jagung. Dampaknya adalah produktivitas lahan terus menurun yang
berdampak pada meningkatnya luas lahan kritis di NTT.
Peningkatan produktivitas lahan kering dapat dilakukan dengan berbagai
tindakan konservasi. Diantara berbagai alternatif untuk mengatasi berbagai
kendala faktor abiotik dan biotik tanah di lahan kering, penggunaan tanaman
legum penutup tanah (LPT) secara in situ merupakan cara yang tepat, murah dan
mudah dilakukan. Penanaman dapat dilakukan secara sekuensial menjelang atau
akhir panen tanaman pangan semusim (akhir musim hujan) dengan memanfaatkan
36
sisa hujan dan kelembaban tanah. Pada awal musim hujan atau menjelang musim
tanam berikutnya, LPT dimatikan dan dikembalikan ke dalam lahan budidaya
dengan cara pembenaman atau sebagai bahan mulsa (Racmhman et al., 2006;
Acosta, 2009). Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kandungan C-organik
dan N total tanah, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk sintetis sampai
batas yang rasional atau dapat berperan sebagai bahan pembenah tanah.
Beberapa jenis LPT seperti C. pubescens Benth. (CP), M. pruriens L.
(MP), C. usaramoensis L. (CU) dan P. lunatus L. (PL) memiliki potensi untuk
dikembangkan dalam lahan budidaya saat masa bera. Jenis LPT telah banyak
dimanfaatkan di daerah tropis terutama diintegrasikan dalam sistem budidaya
tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan jeruk. Banyak peneliti yang
merekomendasikan bahwa LPT mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam
meningkatkan produktivitas lahan dalam sistem budidaya pertanian (Power, 1987;
Dinga et al., 2006; Sarantino, 2007; Steenwerth et al., 2008). Bila diaplikasikan
ke dalam tanah (sebagai pupuk hijau) akan lebih cepat terdekomposisi sehingga
pelepasan hara N (net release of nitrogen) dan unsur hara lainnya akan lebih cepat
terjadi (Wang et al., 2010; Olson et al., 2010). Keunggulan penggunaan LPT,
selain sebagai sumber bahan organik tanah, juga yang paling penting adalah
kemampuannya dalam meningkatkan simpanan N dalam tanah, melalui
sombiosisnya dengan bakteri penambat.
Besarnya simpanan C-organik, N tanah, dan besarnya pelepasan hara dari
biomasa legum penutup tanah ditentukan oleh proses dekomposisi. Dekomposisi
merupakan proses yang sangat penting dalam dinamika hara pada suatu ekosistem
37
lahan (Handayanto et al., 1997; Sulistiyanto et al., 2005). Proses tersebut sangat
vital untuk keberlanjutan status hara dan ketersediaannya bagi tanaman budidaya
(Handayanto et al., 1994; Handayanto dan Ismunandar, 1999; Guo dan Sims,
1999).
Dekomposisi Biomasa
Legum Penutup Tanah
Sinkronisasi hara
Pertumbuhan cepat
umur genjah, produk
biomasa tinggi
tahan kering
sesuai sebagai
tanaman bera
Pengelolaan Legum
Penutup Tanah
Kualitas tanah di lahan kering meningkat
Produksi Pertanian
Lahan Kering Rendah:
Faktor abiotik (air terbatas,
mudah tererosi, kesuburan
tanah rendah, C- organik
rendah
Fakror biotik: gulma pesat
Faktor sosial ekonomi
Simpanan C-organik tanah
meningkat >2,0% dan N
tanah meningkat >0,2%
Potensi menyerap
karbon (CO2) di
atmosfir
Sumber C-organik
tanah
Sumber N tanah
Pengelolaan lahan
kering spesifik:
dengan legum penutup
tanah
Pelepasan hara
Pengelolaan lahan
budidaya dengan : C.
pubescens Benth., M.
pruriens L., C.
usaramoensis L., dan
P. Lunatus L.
Hasil jagung di lahan kering
meningkat (>2,3 t.ha-1
)
Kualitas Fisik:
bulk density
porositas, kadar
air, suhu tanah
tatanah,uhu tanah
Kualitas Kimia:
pH, C-organik,
N, P, K, Ca,
Mg, KTK
Kualitas Biologi:
Respirasi mikroba
Jumlah koloni
mikroba
38
Gambar 3.1
Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian
Kecepatan dekomposisi biomasa bervariasi pada berbagai species LPT, tergantung
pada kualitas biomasanya. Menurut Palm et al. (2001) LPT termasuk sumber
bahan organik yang berkualitas tinggi dibanding dengan sumber bahan organik
non legum. Legum penutup tanah umumnya mengandung kadar N >2,5%, C/N
ratio < 20, kandungan lignin < 15% dan polifenol < 4% yang rendah (Rachman et
al., 2006), sehingga lebih cepat terdekomposisi.
Selain faktor kualitas biomasa, kecepatan dekomposisi juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan terutama pH tanah, suhu dan kelembaban tanah. Menurut
Sutedjo et al. (1991), kondisi lingkungan yang optimum adalah: pH netral antara
5,5-7,5), suhu tanah optimum berkisar 20-28oC dan kelembaban tanah antara 50-
60%. Kondisi lingkungan yang optimum ini akan dapat meningkatkan aktivitas
mikroba perombak dalam menguraikan bahan organik.
Pemberian bahan organik pada lahan budidaya pertanian umumnya
belum memberikan hasil yang optimal. Penyebabnya adalah selain rendahnya
kadar hara juga lambannya pelepasan hara dari bahan organik, sehingga tidak
terjadi sinkronisasi (Handayanto dan Ismunandar, 1999). Sinkronisasi adalah
ketepatan (matching) menurut waktu, yaitu ketepatan ketersediaan unsur hara dan
jumlah kebutuhan tanaman akan unsur hara tersebut (Myers et al., 1997).
Sinkronisasi ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineralisasi bahan
organik (Handayanto, 1997). Faktor ini yang menjadi kendala dalam pemanfaatan
bahan organik in situ.
39
Studi mengenai simpanan karbon organik tanah telah menjadi perhatian
dalam rangka mengevaluasi kualitas tanah akibat praktek pertanian konvensional
yang cenderung meningkatkan degradasi tanah. Menurut Collins et al. (1992)
salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan lahan pertanian adalah tetap
terpeliharanya simpanan C-organik tanah sehingga terjadi keseimbangan dalam
tanah, lingkungan dan biodiversitas. Sebagian lahan pertanian di Indonesia (baik
lahan kering maupun sawah) mempunyai kadar bahan organik < 1-2% (Samosir,
2000). Pada hal kadar C-organik total yang optimum untuk pertumbuhan
tanaman sekitar 2,5-5% (Young, 1989; Rachman et al., 2006). Meningkatnya
simpanan C-organik dalam tanah (>2,5%) akan mempengaruhi kualitas tanah
(baik sifat fisisk, kimia dan biologi) menjadi lebih baik, sehingga pertumbuhan
dan hasil tanaman jagung serta tanaman lainnya meningkat. Secara ringkas
kerangka berpikir penelitian, seperti pada Gambar 3.1.
3.2 Konsep Penelitian
Sistem pertanian lahan kering merupakan suatu praktek budidaya yang
sangat beragam. Salah satu sistem pertanian tradisional yang banyak dipraktekan
petani lahan kering adalah sistem ladang berpindah (shifting cultivation) dengan
basis utamanya adalah usahatani tanaman pangan semusim. Sistem ini, merugikan
apabila dilakukan secara terus menerus (intensif), karena berakibat pada
penurunan produktivitas tanah dan dalam jangka panjang berdampak pada
kerusakan sumberdaya alam termasuk tanah (Suwardjo, 1981; Reijntjes et al.,
1999).
40
Indikasi kerusakan tanah dapat dilihat dari rendahnya simpanan C-organik
total. Akibat lanjutannya adalah erosi tanah yang tinggi, kerusakan struktur tanah
bagian atas, menurunnya kapasitas pengikatan air (water hollding capacity,
degradasi sifat kimia berupa penurunan cadangan unsur hara dan menurunnya
populasi mikroba dalam tanah (La1, 1998; Bot dan Benites, 2005). Lebih lanjut
Milne (2009) menyimpulkan bahwa jumlah simpanan C-organik total dalam tanah
sangat ditentukan oleh praktek pengelolaan lahan atau teknik budidaya pertanian,
faktor sifat tanah (tekstur), iklim, vegetasi dan sejarah penggunaan (manajemen)
lahan.
Rendahnya simpanan C-organik tanah merupakan masalah dalam sistem
budidaya pertanian di lahan kering. Penanganannya dapat dilakukan melalui
sistem pemberaan dengan LPT. Untuk itu dirancang konsep penelitian seperti
pada Gambar 3.2, yang bertujuan mengevaluasi prospek pemberaan dan
pengelolaan LPT tersebut. Penelitian ini diawali dengan studi pendahuluan
(observasi). Studi ini bertujuan untuk menjajagi potensi LPT di lahan kering,
jenis LPT, kesuburan tanah dan iklim. Pada tahap ini juga dilakukan analisis
terhadap kualitas dari LPT yang di coba. Luaran dari studi pendahuluan ini
adalah menetapkan lokasi penelitian dan jenis LPT yang digunakan dalam
penelitian ini.
Berdasarkan luaran pada studi pendahuluan, maka telah dilanjutkan
dengan penelitian lapang untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah
dirumuskan. Penelitian lapang ini, dirancang dalam empat tahap percobaan, untuk
menjawab masing-masing masalah yang saling terkait, yaitu: Percobaan 1,
41
bertujuan untuk mengkaji laju dekomposisi atau degradasi biomasa dari berbagai
jenis legum penutup tanah. Percobaan 2, bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara waktu pelepasan hara dengan kebutuhan tanaman (sinkronisasi hara) pada
pengaruh masa inkubasi berbagai jenis biomasa LPT selama fase vegetatif
jagung, dilanjutkan dengan percobaan 3 yang bertujuan untuk mengkaji potensi
Jenis LPT
potensial
Masa inkubasi
biomasa LPT &
waktu penanam-
an jagung yg
sesuai
jenis LPT
yang sesuai
cara
pengelolaan
biomasa
yang tepat
Studi Pendahuluan: Penjajagan potensi LPT, kualitas biomasa,
cara pengelolaan LPT oleh petani,
kesuburan tanah, iklim
Perc. 2: Percobaan pot untuk mengkaji
masa inkubasi biomasa LPT terhadap
tingkat sinkronisasi hara N pada
tanaman jagung
Perc. 1: Percobaan litterbag untuk
mengkaji laju dekomposisi dan
pelepasan hara dari beberapa jenis LPT
Perc 4: Percobaan lapang untuk
melihat efek pengelolaan berbagai jenis
biomasa LPT terhadap simpanan C-
organik dan kualitas tanah serta hasil
jagung di lahan kering
Perc. 3: Percobaan lapang untuk mengkajian potensi berbagai jenis LPT sbg tananaman bera dalam meningkatkan simpanan C-organik dan pengaruhnya terhadap kualitas tanah di lahan kering
Metode
aplikasi
biomasa LPT
yang tepat
Hasil jagung di lahan kering meningkat, >2,3 t ha-1
Simpanan C-organik meningkat
Jenis LPT potensial di lahan kering
Lokasi
penelitian,
jenis LPT
(4 jenis)
Percobaan Lapang
Jenis LPT tropis sangat
banyak, dan memiliki
potensi dan adaptasi
yang berbeda
Masalah 1: Laju
dekomposisi biomasa
LPT dalam menentukan
simpanan C-organik dan
besarnya pelepasan hara
Masalah 2: Tingkat
sinkronisasi hara yang
berasal dari berbagai
biomasa LPT
Masalah 3: Potensi LPT
di lahan kering beragam
Masalah 4: Cara
pengelolaan biomasa
LPT insitu yang belum
efektif
Masalah Penelitian Proses Penelitian Output Penelitian
42
Gambar 3.2
Kerangka Konsep Penelitian
berbagai jenis LPT dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah
dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering; dan percobaan 4, bertujuan
untuk mengetahui pengaruh pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan
terhadap perubahan simpanan C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan
kering.
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran dan konsep penelitian yang telah
diuraikan di atas, maka hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis biomasa LPT dan bentuk aplikasi biomasa menyebabkan laju
dekomposisi dan pelepasan hara yang berbeda;
2. Masa inkubasi biomasa LPT yang dilakukan dengan cara pembenaman
sebelum tanam dapat meningkatkan sinkronisasi hara pada tanaman jagung;
3. Jenis LPT yang diintroduksi dalam lahan budidaya selama masa bera
berpengaruh nyata meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah
dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering;
4. Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca bera dapat meningkatkan simpanan
C-organik, kualitas tanah dan hasil jagung di lahan kering;
5. Simpanan C-organik tanah mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas
tanah dan hasil jagung di lahan kering.
43
IV METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
4.1.1 Tempat penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini telah di lakukan di wilayah kabupaten
Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mulai dari kegiatan observasi
sampai percobaan lapang. Percobaan lapang dilakukan di lahan petani di desa
Oelnasi kecamatan Kupang Tengah kabupaten Kupang, NTT (Lampiran 36).
Lahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah lahan tegalan yang
diusahakan secara intensif selama 4-5 tahun penanaman. Jenis tanah percobaan
berdasarkan Dudal-Soepraptohardjo (1957) termasuk jenis tanah Mediteran. Hasil
analisis tanah awal menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah tergolong rendah
(Lampiran 1). Jenis tanaman yang diusahakan sebelumnya adalah tanaman pangan
semusim yaitu monokultur jagung, kadang-kadang dilakukan pola tanam tumpang
sari antara jagung dan kacang tanah. Penanaman tanaman pangan biasanya di
usahakan pada musim hujan dan setelah panen lahan diberakan secara alami
sampai menunggu hujan tiba untuk dimanfaatkan lagi. Cara persiapan lahan tanam
adalah gulma di bersihkan dengan sabit dan dibakar, tidak dilakukan pengolahan
tanah sebelum tanam.
Analisis kualitas biomasa LPT, sifat kimia dan biologi tanah di lakukan
di Laboratorium Kimia Tanah dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Analisis sifat fisik tanah dilakukan di
laboratorium Tanah dan Air Politeknik Pertanian Negeri Kupang.
44
4.1.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2012-Agustus 2013, dengan
tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Observasi lapang dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2012, dilanjutkan
dengan analisis kualitas biomasa legum penutup tanah,
2. Percobaan ke-1 (pertama) dan ke-2 (dua) dilaksanakan pada bulan Juli –
September 2012,
3. Percobaan lapang di lahan budidaya dilakukan dalam dua tahap, yaitu dimulai
dari bulan Juni-November 2012 (untuk percobaan 3). Dilanjutkan percobaam
4 dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013.
4.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan tanaman terdiri dari benih LPT C. pubescens Benth. (CP), M.
pruriens L. (MP), C. usaramoensis L. (CU) dan P. lunatus L. (PL). Benih legum
CP dan MP, diperoleh dari UD Tani Jaya, sedangkan untuk benih CU dan PL
adalah jenis LPT lokal diambil dari petani setempat yang ada di wilayah
kabupaten Kupang NTT. Benih jagung yang digunakan adalah benih jagung
komposit varietas Lamuru (deskrispsi pada Lampiran 2), tanah dan lahan
percobaan, tali rafia, kantong plastik. Alat yang digunakan meliputi: Munshel soil
colour chart, meteran, pacul, parang, pisau, termometer tanah, ring sampel,
timbangan, oven, grain moisture meter, jangka sorong, mistar, dan peralatan
analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah di laboratorium.
4.3 Metode Penelitian
45
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.
Penelitian ini dirancang untuk dilaksanakan dalam beberapa tahap sesuai dengan
kerangka konsep penelitian, yaitu:
4.3.1 Observasi/penelitian pendahuluan
4.3.1.1 Tujuan
Menjajagi potensi dan kualitas berbagai LPT di lahan kering, sebaran dan
pemanfaatannya oleh petani.
4.3.1.2 Pelaksanaan observasi
Observasi untuk penjajagan potensi dan sebaran bahan organik, mengikuti
protokol penelitian bahan organik oleh ICRAF (ICRAF, 1997). Langkah-langkah
observasi adalah: 1) pengamatan langsung di lapang, meliputi penentuan lokasi
observasi, pencatatan jenis tanaman penutup tanah, pengambilan contoh tanaman
(daun, batang/sulur dan akar), estimasi produksi biomasa legum penutup tanah. 2)
wawancara dengan petani pada berbagai lokasi yang di pilih secara random.
4.3.1.3 Analisis kualitas biomasa LPT
Penentuan kualitas biomasa LPT adalah dengan cara diambil contoh
biomasa segar dilapangan secara acak, selanjutnya dikeringkan, dihaluskan dan
dianalisisi di laboratorium. Kualitas biomasa LPT dianalisis berdasarkan standar
yang ditetapkan oleh Tropical Soil Biologi and Fertility Programme (Anderson
dan Ingram, 1989).
46
Kualitas biomasa yang dianalisis meliputi: N total (Metode Micro
Kjeldahl), P total (Uji Molibdate Blue), lignin dan polifenol (Metode ADF &
Follin-Denis), C total (Metode Walkey & Balck), Ca dan Mg (Metode ASS), K
(Metode Flamephotometer), Metode analisis kualitas biomasa LPT dilakukan
sesuai petunjuk Anderson dan Ingram, (1989).
4.3.2 Percobaan 1: Kajian laju dekomposisi dan pelepasan hara dari
berbagai biomasa LPT
4.3.2.1 Tujuan percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mengkaji laju dekomposisi atau degradasi
biomasa berbagai jenis LPT yang dicoba, dan untuk menjawab hipotesis
penelitian pertama (ke-1).
4.3.2.2 Rancangan percobaan
Pengelompokan percobaan ini dilaksanakan di lapangan. Percobaan
dirancang dengan rancangan dasar Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
pola faktorial. Faktor yang diuji adalah jenis biomasa LPT (L) dan bentuk
aplikasi biomasa dalam litter bag (A).
Faktor jenis biomasa legum penutup tanah (L), terdiri dari 4 jenis, yaitu
L1 : biomasa CP
L2 : biomasa MP
L3 : biomasa CU
L4 : biomasa PL
47
Faktor bentuk aplikasi biomasa dalam litter bag (A), terdiri dari 2 cara yaitu:
A0 : biomasa dalam litter bag di tempatkan di atas permukaan tanah
A1 : biomasa dalam litter bag dibenamkan di dalam tanah
Perlakuan diulang tiga kali, sehingga diperoleh 24 unit percobaan. Unit
percobaannya adalah biomasa LPT dalam litter bag. Setiap unit terdiri dari 4 unit
litter bag. Pengamatan dilakukan 4 kali sehingga disiapkan 96 unit litter bag.
4.3.2.3 Pelaksanaan percobaan
Percobaan laju dekomposisi biomasa LPT di uji dengan menggunakan
metode “Litter Bag Technique” yang dikembangkan oleh Anderson dan Swift
(1983); Ribeiro et al. (2002). Metode ini dilakukan dengan cara memasukan
biomasa LPT segar yang telah dikeringkan ke dalam kantong serasah (litter bag).
Contoh biomasa LPT segar yang diambil dari lapangan dikering-
anginkan, kemudian dioven pada suhu 70oC selama 48 jam untuk
mengkonstankan kadar airnya, dan dilakukan analisis kandungan kimia awal yang
meliputi: C, N, C/N ratio, P, C/P ratio, K, Ca, Mg, serta kandungan lignin dan
polifenol. Selanjutnya masing-masing biomasa legum penutup tanah di timbang
sebanyak 100 g (berat kering oven). Biomasa (kering oven) dimasukan ke dalam
litter bag yang terbuat dari bahan kassa nilon dengan ukuran 35 cm x 35 cm.
Ukuran lubang (mesh size) kassa nilon adalah 2 mm.
Selanjutnya biomasa dalam litter bag ditempatkan dalam tiga petakan
lahan sebagai ulangan dengan ukuran masing-masing petak 12 x 1 m2. Masing-
masing petak ditempatkan 32 unit litter bag. Cara aplikasi litter bag dilakukan
sesuai perlakuan, yaitu di atas permukaan tanah dan cara yang kedua dibenamkan
48
dalam tanah pada kedalaman antara 15-20 cm dari permukaan tanah dalam petak
lahan budidaya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi proses dekomposisi secara alami
(Sulistiyanto et al., 2005).
Monitoring litter bag dilakukan sebanyak empat kali, yaitu pada 10, 20, 30
dan 40 hari setelah aplikasi litter bag (interval waktu 10 hari) (Haraguchi et al.,
2002; Maswar, 2005). Setelah litter bag diambil dari lapangan, sampel biomasa
yang tertinggal dalam litter bag (pada setiap pengamatan), dikeluarkan dan
dimasukan ke dalam kantong plastik untuk di analisis di laboratorium. Variabel
yang diukur dalam penelitian ini adalah:
1. Kadar air biomasa dalam litter bag (%)
Prinsip dasarnya adalah air dalam contoh/sampel bahan diuapkan dengan cara
pengeringan (oven) pada suhu 70oC selama 48 jam (Sulaeman et al., 2005).
– ...................................................(1)
dimana, W : bobot contoh awal (g)
W0 : bobot contoh setelah dikeringkan (g)
W1 : berat kering biomasa yang tertinggal setelah waktu t time (g)
100 : faktor konversi ke %; fk (faktor koreksi kadar air) = 100/(100
- % kadar air)
2. Kehilangan berat dan pelepasan hara
Kehilangan berat dihitung berdasarkan ratio antara berat biomasa yang
hilang (periode waktu t) dengan berat biomasa kering sebelum aplikasi (berat
awal). Berat awal biomasa ditetapkan 100 g, dan menjadi dasar dalam analisis
kehilangan berat, laju dekomposisi dan besarnya pelepasan hara.
49
Sementara jumlah pelepasan hara selama periode waktu dekomposisi
dihitung berdasarkan ratio dari konsentrasi hara saat pengambilan sampel yang
dikoreksi dengan berat kering (pada waktu t) dibanding dengan konsentrasi
hara dalam biomasa saat awal mulai penelitian dan dinyatakan sebagai persen.
Kehilangan berat serasah dan pelepasan hara LPT dihitung dengan cara
yang dilakukan oleh Guon dan Sims (1999); Sulistiyanto et al. (2005); Maswar
(2005), sebagai berikut:
..............................................................................(2)
dan
....................................................................(3)
dimana, L : prosentase biomasa yang hilang (%)
W0 : berat biomasa sebelum aplikasi dimulai
Wt : berat kering biomasa yang tertinggal setelah waktu t
R : prosentase hara yang terlepas (%)
C0 : konsentrasi hara (mg kg-1
) pada biomasa awal
Ct : konsentrasi hara (mg kg-1
) pada biomasa yang masih tertinggal
3. Laju dekomposisi biomasa/serasah.
Laju dekomposisi menggambarkan kecepatan pelapukan biomasa/serasah
tanaman dalam satu perode waktu tertentu. Pada penelitian dekomposisi,
konstanta laju dekomposisi (k) umumnya dipakai untuk membandingkan
kecepatan/laju dekomposisi biomasa berbagai spesies tanaman atau antar
berbagai kondisi lingkungan.
Pendugaan laju dekomposisi biomasa dilakukan sama seperti Guo dan
Sims (1999); Ribeiro et al. (2002); Rogers (2002); Sulistiyanto et al. (2005)
50
yang mengasumsikan bahwa berat serasah yang hilang terjadi secara
eksponensial, dihitung dengan menggunakan persamaan:
dimana, Wt : bobot biomasa/serasah setelah periode pengamatan (g)
W0 : bobot biomasa/ serasah awal (g)
e : bilangan logaritma (2,71)
K : koefisien (konstanta) laju dekomposisi
t : periode pengamatan (hari)
4. Kandungan kimia biomasa LPT yang masih tertahan pasca dekomposisi,
meliputi: N total (%) dengan metode Kjeldahl, C-organik (%) dengan metode
Walkey & Balck, P total (%) Uji Molibdate Blue, Ca dan Mg (metode ASS), K
(metode Flamephotometer), dianalisis sesuai petunjuk Anderson dan Ingram,
(1989).
4.3.3 Percobaan 2: Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT terhadap tingkat
sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif
4.3.3.1 Tujuan percobaan
Untuk mengkaji tingkat sinkronisasi hara N pada tanaman jagung, dan
untuk menjawab hipotesis penelitian ke-2.
4.3.3.2 Rancangan percobaan
Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilakukan di lapangan.
Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan satu
faktor kombinasi perlakuan antara jenis biomasa LPT dan masa inkubasi, sebagai
berikut:
Wt = W0 e-kt
............................................................................................. .(4)
51
L0 : Tanpa biomasa LPT (kontrol)
L1I10 : biomasa CP diinkubasi 10 hari sebelum tanam
L1I20 : biomasa CP diinkubasi 20 hari sebelum tanam
L1I30 : biomasa CP diinkubasi 30 hari sebelum tanam
L2I10 : biomasa MP diinkubasi 10 hari sebelum tanam
L2I20 : biomasa MP diinkubasi 20 hari sebelum tanam
L2I30 : biomasa MP diinkubasi 30 hari sebelum tanam
L3I10 : biomasa CU diinkubasi 10 hari sebelum tanam
L3I20 : biomasa CU diinkubasi 20 hari sebelum tanam
L3I30 : biomasa CU diinkubasi 30 hari sebelum tanam
L4I10 : biomasa PL diinkubasi 10 hari sebelum tanam
L4I20 : biomasa PL diinkubasi 20 hari sebelum tanam
L4I30 : biomasa PL diinkubasi 30 hari sebelum tanam
Keseluruhan perlakuan (13 unit percobaan) disusun secara acak dengan tiga kali
ulangan dengan tiga kali pengamatan yang dilakukan secara destruktif, sehingga
secara keseluruhan disiapkan 117 polibag.
4.3.3.3 Pelaksanaan percobaan
Tanah untuk percobaan pot ini diambil dari lokasi penelitian untuk tahap
berikutnya. Jenis tanah adalah Mediteran (Dudal-Soepraptohardjo, 1957). Contoh
tanah diambil secara acak pada lapisan permukaan 0-20 cm, contoh tanah
dicampur dan dikering anginkan (kering udara).
Biomasa LPT sebagai sumber bahan organik dikumpulkan dari lapangan.
Biomasa LPT di potong-potong dan di kering anginkan, selanjutnya dioven pada
suhu 70oC selama 24 jam untuk mengkonstankan kadar airnya. Masing-masing
biomasa kering oven ditimbang sebanyak 0,5% dari berat tanah kering udara,
kemudian dicampur dengan media tanah yang telah di persiapkan (dosis: 50 g
52
biomasa 10 kg-1
tanah), dimasukan dalam karung dan ditempatkan di bawah
naungan dan ditutup dengan terpal agar terhindar dari cahaya langsung,
selanjutnya diinkubasikan sesuai dengan perlakuan lama inkubasi (30, 20 dan 10
hari sebelum tanaman jagung). Setelah masa inkubasi selesai, tanah hasil inkubasi
ditimbang masing-masing 10 kg, dimasukan dalam polibag, dan ditempatkan di
lapang secara acak. Selanjutnya masing-masing polibag ditanami benih jagung
komposit (varietas Lamuru) sebanyak dua biji per lubang. Setelah benih jagung
tumbuh, pada umur 7 hari diseleksi dan dipelihara satu tanaman tiap pot (polibag).
Pemberian air dilakukan setiap hari yaitu pada soreh hari, rata-rata sebesar 800 ml
polibag-1
hingga tanaman mencapai umur vegetatif maksimum (50 hari). Kadar air
tanah untuk masing-masing polibag dipertahankan pada kondisi kapasitas lapang,
dilakukan dengan cara penimbangan.
4.3.3.4 Pengamatan
Pengamatan/pengukuran dilakukan pada saat tanaman berumur 15, 30, dan 45 hari
setelah tanam (hst). Metode analisis tanah dan tanaman dilakukan sesuai
penutujuk Sulaeman et al. (2005). Variabel yang diamati adalah:
1. N total tanah (mg kg-1
), dengan methode Kjeldahl
2. N tersedia (mg kg.1
), dengan methode Kjeldahl
3. N jaringan tanaman (mg kg-1
); metode Kjeldahl.
4. Serapan hara N oleh tanaman jagung (mg kg-1
); Serapan hara ditetapkan
dengan mengalikan konsentrasi hara N jaringan dengan bobot brangkasan
kering bagian atas tanaman.
5. Bobot kering total tanaman (g).
53
4.3.4 Percobaan 3: Kajian potensi LPT sebagai tanaman bera dalam
meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan
kering
4.3.4.1 Tujuan percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mengkaji potensi berbagai LPT dalam
meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah dalam sistem budidaya
pertanian di lahan kering, dan untuk menjawab hipotesis penelitian ke-3.
4.3.4.2 Rancangan percobaan
Penelitian ini merupakan percobaan lapang sebagai dasar untuk percobaan
selanjutnya. Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL), dengan satu faktor pemberaan dengan berbagai jenis legum penutup
tanah sebagai perlakuan. Jenis tanaman legum penutup tanah yang dicoba
senagai tanaman bera (L), adalah :
L0 : Lahan dibiarkan terbuka (tanpa LPT), praktek petani
L1 : Lahan diberakan dengan CP
L2 : Lahan diberakan dengan MP
L3 : Lahan diberakan dengan CU
L4 : Lahan diberakan dengan PL
Lima perlakuan di susun secara acak dengan empat kali ulangan untuk masing-
masing perlakuan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan (denah percobaan hasil
pengacakan, Lampiran 3 dan 4).
4.3.4.3 Pelaksanaan percobaan
Lahan percobaan dibagi menjadi empat blok sebagai ulangan. Pemblokan
didasarkan atas arah kemiringan lereng (kesuburan tanah). Masing-masing blok di
bagi dalam 5 petak sesuai jumlah perlakukan jenis legum penutup tanah. Ukuran
54
masing-masing petak adalah 18 m x 4 m. Jarak antara blok 1,5 m jarak antar petak
perlakuan 1 m. Petakan percobaan dibersihkan dari gulma selanjutnya dilakukan
penanaman benih legum secara larikan dengan jarak antar larikan/baris 30 cm dan
dalam barisan 20 cm. Penanaman dilakukan pada akhir musim hujan dan di
pelihara selama masa istirahat lahan (bera).
4.3.4.4 Pengamatan
Analisis potensi legum penutup tanah:
1. Prosentase penutupan tanah (area cover): Pengamatan dilakukan pada saat
tanaman berumur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam. Prosentase penutupan tanah
dilakukan dengan cara menghitung seberapa besar kanopi tanaman tersebut
mampu menutupi permukaan tanah setiap bulan. Prosentase penutupan tanah
dilakukan dengan metode kuadrat, dengan persamaan:
PPT = A/B x 100% ..................................................................................... (5)
dimana: PPT: prosentase penutupan tanah (%)
A : jumlah lubang kawat yang tertutupi oleh tajuk LPT
B : jumlah lubang kawat yang belum tertutupi oleh tajuk LPT
2. Produksi biomasa LPT (dihitung dalam bobot kering, b.k. t ha-1
),
Pengukuran dilakukan secara acak dalam petak percobaan dengan metode
kuadrat (1m x 1 m). Total berat kering biomasa dihitung dengan rumus:
BKB = (100 - % Ka)/100 x BBs................................................................... (6)
Dimana: BKB : bobot kering biomasa total (t ha-1
)
%Ka : kadar air biomasa (%)
BBs : total berat biomasa segar (t ha-1
)
55
3. Serapan karbon tanaman (t ha-1
), dihitung dengan persamaan (Hairiah dan
Murdiyarso, 2007), sebagai berikut:
Serapan karbon (t ha-1
) = 0,5 x bobot kering biomasa (t ha-1
) .....................(7)
4. Simpanan C-organik tanah.
Pada percobaan ini pengamatan dilakukan pada akhir masa bera dengan
legum penutup tanah. Simpanan karbon organik dihitung dari kadar C-
organik tanah (Komatsuzaki dan Syaib, 2010), dengan persamaan sebagai
berikut:
SCS (t ha-1
) = BD x SOC x DP x 100 ...........................................................(8)
dimana:
SCS : soil carbon stock (t ha-1
)
BD : bulk density (g cm-3
)
SOC: soil organic carbon (%)
DP : kedalaman solum tanah (m)
5. Kadar nitrogen (N) jaringan tanaman LPT (%), dianalisis dengan metode
Kjeldahl (Sulaeman et al. 2005)
6. Nitrogen (N) yang tertambat oleh legum penutup tanah (kg ha-1
); ditetapkan
dengan mengalikan konsentrasi N jaringan dengan bobot kering tanaman
LPT.
Analisis kualitas tanah, meliputi:
1. Sifat fisik tanah:
1.1. Kadar air tanah (%), metode gravimetri
Pengukuran kadar air tanah dilakukan secara reguler setiap bulan mulai saat
tanaman legum penutup, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 bulan. Kadar air tanah
diketahui dari perbedaan bobot contoh tanah sebelum dan sesudah
56
dikeringkan, dihitung dengan persamaan (Sulaeman et al., 2005), dengan
persamaan sebagai berikut:
.................................................................................. (9)
Dimana: U : kadar air (%),
Ba: berat tanah awal ,
BK: berat tanah kering mutlak (1050C)
1.2. Suhu tanah (0C), Pengamatan dilakukan secara reguler bersamaan dengan
pengukuran kadar air tanah
1.3. Bobot isi tanah (g cm-3
), metode gravimetri
Sampel tanah diambil pada masing-masing petak percobaan pada kedalaman
10-15 cm dari permukaan tanah, dalam keadaan tidak terganggu (utuh)
dengan ring sampler (metode ring), dan dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis bobot isi. Pengukuran bobot isi tanah dilakukan pada akhir
percobaan. Persamaan bobot isi tanah adalah:
........................................................................................(10)
dimana: pb: bobot isi (bulk density) dalam g cm-3
,
Bp: berat tanah kering mutlak,
vt: volume tanah dalam ring
1.4. Porositas tanah (%); Total porositas tanah (soil porosity) dihitung dengan
persamaan:
(
) .................................................(11)
dimana: Bv : berat volume tanah (g cm-3
)
Bj : berat jenis (particel density)
57
2. Sifat kimia tanah
Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada akhir percobaan. Parameter
sifat kimia tanah yang diukur meliputi: pH (H2O 1:1 ) larutan tanah, metode
potensiometer, C-organik (Walkey & Black), N total (matode Kjeldahl), C/N
rasio, P tersedia (Bray II), K tersedia (ekstrak HCL dan dibaca dengan
Flamephotometer), Ca dan Mg (titrasi) dan KTK (NH4OAc 1 N pH 7)
(Sulaeman et al., 2005)
3. Sifat biologi tanah: Sifat biologi tanah diamati pada akhir percobaan. Sifat
biologi yang diamati adalah: (1) total koloni mikroba (plate count), (2)
inveksi mikorisa (metode pewarnaan).
4.3.5 Percobaan 4: Pengaruh pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap
simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di lahan
kering
4.3.5.1 Tujuan percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengelolaan biomasa
LPT in situ pasca pemberaan terhadap simpanan C-organik, kualitas tanah dan
hasil jagung di lahan kering. Percobaan ini juga ditujukan untuk menjawab
hipotesis penelitian ke-4 dan 5 dari kerangka berpikir.
4.3.5.2 Rancangan percobaan
Percobaan ke-4 (empat) ini merupakan lanjutan dari percobaan ke-3
(tiga) pasca pemberaan dengan LPT. Percobaan ini menggunakan pola
Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design), dengan dua faktor yaitu:
58
Faktor petak utama adalah jenis biomasa LPT yang merupakan lahan bekas LPT
dengan biomasa insitu (L):
L0 : lahan tanpa legum penutup tanah
L1 : Lahan bekas CP, biomasanya dikembalikan
L2 : Lahan bekas MP, biomasanya dikembalikan
L3 : Lahan bekas CU, biomasanya dikembalikan
L4 : Lahan bekas PL, biomasanya dikembalikan
Faktor anak petak, ditempatkan masa inkubasi (pembenaman) legum penutup
tanah (I), dengan 3 taraf, yaitu:
I10 : biomasa diinkubasi 10 hari sebelum penanaman jagung
I20 : biomasa diinkubasi 20 hari sebelum penanaman jagung
I30 : biomasa diinkubasi 30 hari sebelum penanaman jagung
Kombinasi perlakuan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah (RPT), dengan
tiga (tiga) kelompok sebagai ulangan untuk masing-masing perlakuan, sehingga
secara keseluruhan terdapat 45 unit percobaan (denah percobaan hasil
pengacakan, Lampiran 5.a dan 5.b).
4.3.5.3 Pelaksanaan percobaan
Percobaan ke empat ini menggunakan lahan bekas percobaan ketiga yang
terdiri dari 5 (lima) perlakuan jenis biomasa legum penutup tanah (L0, L1, L2, L3
dan L4) yang ditempatkan sebagai petak utama. Selanjutnya masing-masing
perlakuan pada petak utama ini dibagi menjadi tiga anak petak sesuai dengan
perlakuan masa inkubasi biomasa LPT (I10, I20 dan I30). Cara aplikasi perlakuan di
lapangan adalah sebagai berikut:
59
a. Masing-masing petak utama (18 x 4 m2) di bagi menjadi tiga anak petak
sesuai jumlah perlakuan masa inkubasi. Ukuran anak petak adalah 5 x 4 m2.
Jarak antar anak petak adalah 1 m. LPT pada masing-masing anak petak
dipanen dengan cara mencabut. Biomasa LPT di potong-potong sepanjang 3-
5 cm, ditebarkan kembali secara merata di atas masing-masing petak.
Selanjutnya biomasa dibenamkan dalam tanah bersamaan dengan
pengolahan tanah.
b. Penerapan perlakuan pada anak petak; agar waktu tanam jagung serempak
(bersamaan), maka penerapan perlakuan inkubasi pertama dilakukan pada
plot/petak yang mendapat perlakuan I30, setelah 10 hari kemudian perlakuan
I20 dan 10 hari kemudian perlakuan I10, pada saat bersamaan dilakukan
penanaman jagung pada seluruh anak petak.
c. Setelah penerapan perlakuan masa inkubasi (30, 20, dan 10 hari), masing-
masing anak petak di tanami benih jagung. Penanaman dilakukan secara tugal
dengan jarak antar baris 80 cm dan dalam baris 40 (80 x 40 cm). Jumlah
lubang tanam tiap anak petak yang berukuran 5 x 4 m2
adalah 60 lubang
tanam (31.250 lubang tanam ha-1
).
d. Setelah umur tanaman jagung 2 minggu dilakukan penjarangan dan dibiarkan
2 tanaman untuk setiap lubang tanam, sehingga populasi tanaman tiap anak
petak adalah 120 tanaman (62.500 tanaman ha-1
). Selanjutnya tanaman
jagung dipelihara sampai panen.
60
4.3.5.4 Pengamatan
Variabel yang diamati dalam penelitian keempat ini terdiri dari:
1. Simpanan C-organik tanah: Pengamatan terhadap simpanan C-organik
(Komatsuzaki dan Syaib, 2010) dilakukan pada akhir percobaan (saat panen
jagung), prinsip pengukuran sama seperti pada pengamatan pada percobaan
terdahulu.
2. Kualitas tanah, yang diamati adalah:
2.1. Sifat fisik tanah: Pengamatan dilakukan pada akhir percobaan (saat panen
jagung). Variabel sifat fisik yang yang diamati meliputi: (1) bobot isi
tanah (g cm-3
), dan (2) Porositas tanah (%). Cara perhitungan sama
seperti percobaan terdahulu.
2.2. Sifat kimia tanah: Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada akhir
percobaan (saat panen jagung). Parameter sifat kimia tanah yang diukur,
meliputi: pH H2O, N total, P-tersedia, K tersedia, Ca, Mg dan KTK.
Prosedur pengambilan sampel dan metode analisis sama seperti
percobaan 3.
2.3. Sifat biologi tanah: Sifat biologi diamati pada akhir percobaan, yaitu (1)
total koloni mikroba (metode plate count), (2) respirasi tanah (Metode
titrasi, Widati, 2007)
61
3. Komponen hasil jagung: Komponen hasil tanaman jagung yang diamati dalam
penelitian ini mencakup:
3.1. panjang tongkol (cm); pengamatan panjang tongkol dilakukan pada plot
ubinan, dengan cara mengukur panjang tongkol dari 5 tongkol jagung
yang diambil secara acak pada plot ubinan.
3.2. diameter tongkol (cm); pengamatan diameter tongkol dilakukan pada plot
ubinan, dengan cara mengukur diameter tongkol dari 5 tongkol jagung
yang diambil secara acak pada bagian tengah dan kedua bagian ujung,
dengan jangka sorong dan hasilnya dirata-ratakan.
3.3. bobot biji per tongkol (g tongkol-1
), pengukuran dilakukan pada 5 tongkol
sampel dan ditimbang untuk mendapatkan bobot rata-rata pertongkol
3.4. bobot 100 biji (g 100 biji-1
); yaitu dengan menimbang 100 biji pada
tongkol sampel.
4. Hasil jagung pipilan kering (t ha-1
)
Pengukuran hasil biji pipilan kering (k.a.15%) tiap petak dilakukan pada
petak ubinan. Hasil biji pipilan kering (t ha-1
) dihitung dengan persamaan
(Arifuddin dan Yasin, 2002), sebagai berikut
,*
+ *
+- ................. (12)
dimana:
LP : luas petak ubinan 2 m x 2 m
BTK : berat tongkol kupasan per plot ubinan (kg)
R=0,8 : konstanta rendemen biji
k.a. : kadar air biji saat panen (%)
62
5. Bobot kering tanaman (brangkasan) jagung (t ha-1
); pengukuran dilakukan
pada petak ubinan dengan menimbang brangkasan tanaman bagian atas.
6. Bobot kering gulma (g m-2
); diamati dua kali yaitu pada penyiangan I (20 hst)
dan penyiangan ke II (40 hst). Pengamatan dilakukan pada setiap petak ubinan.
4.4 Analisis Data Penelitian
Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
(Anova) sesuai dengan model dari rancangan yang digunakan untuk masing-
masing percobaan. Kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada
taraf uji 5% untuk membandingkan rata-rata antar perlakuan yang dicoba (Gomez
dan Gomez, 2007). Untuk mengetahui hubungan diantara parameter-parameter
pengamatan dilakukan dengan analisa korelasi dan regresi. Pengolahan data
dilakukan dengan program statistik Costat.
63
V HASIL PENELITIAN
Bab ini menyampaikan uraian dari hasil penelitian yang telah diperoleh
dalam beberapa rangkaian percobaan. Bagian pertama, menguraikan hasil kajian
tentang kualitas dari legum penutup tanah (LPT) tropis yang merupakan materi
utama dalam penelitian ini. Bagian kedua, menyajikan hasil percobaan litter bag
tentang pengelolaan biomasa LPT yang ditujukan untuk mengetahui laju
dekomposisi dan pelepasan hara selama masa dekomposisi. Bagian ke tiga,
menampilkan hasil percobaan pot tentang pengaruh masa inkubasi biomasa LPT
yang ditujukan untuk mengetahui tingkat sinkronisasi hara pada tanaman jagung
selama fase vegetatif. Selanjutnya bagian ke empat dan ke lima, menampilkan
hasil percobaan di lapangan yang menguraikan secara mendalam tentang potensi
dari LPT sebagai tanaman bera dan cara pengelolaan biomasa in situ pasca bera
dalam meningkatkan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta hasil jagung di
lahan kering. Bagian terakhir dari bab hasil penelitian ini akan menguraikan
64
hubungan antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah dan hasil jagung.
Secara lengkap uraian hasil penelitian adalah sebagai berikut:
5.1 Kualitas Biomasa LPT
Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar air berbeda antar jenis LPT.
Kadar air biomasa tertinggi ditunjukkan pada jenis C. usaramoensis L. (CU)
sebesar 72,06% diikuti oleh P. lunatus L. (PL) sebesar 70,35%, M. pruriens L.
(MP) 70,28% dan yang paling rendah adalah C. pubescens Benth (CP) dengan
kadar air sebesar 56,43%.
Hasil analisis terhadap kualitas biomasa LPT menunjukkan adanya
perbedaan nilai kandungan sifat kimia antar jenis LPT (Tabel 5.1). Kadar C total
yang paling tinggi ditunjukkan berturut-turut pada jenis MP, diikuti CP, PL dan
CU. Demikian pula dengan kadar N, menunjukkan jenis CU dan PL memiliki
kadar N yang lebih tinggi, diikuti oleh MP dan CP. Sementara kadar P tertinggi
ditunjukkan pada jenis PL diikuti CU, MP dan CP yang lebih rendah.
Tabel 5.1
Rata-rata kualitas kimia dari empat jenis LPT tropis yang dicoba di lahan kering
Komposisi sifat kimia
biomasa LPT*)
Jenis LPT
CP MP CU PL
a. Kadar air biomasa (%) 56,43 70,28 72,06 70,35
b. N total (%) 2,14 3,21 4,19 3,48
c. P total (%) 0,12 0,15 0,25 0,37
d. C total (%) 43,28 46,06 39,22 42,72
e. C/N 20,22 14,35 9,36 10,73
f. C/P 360,67 307,94 156,88 115,46
g. K (%) 0,96 0,98 0,39 1,37
h. Ca (%) 2,67 2,46 3,58 3,56
65
i. Mg (%) 0,11 0,14 0,03 0,42
j. Lignin (%) 17,64 11,52 9,64 11,36
k. Polifenol (%) 10,32 7,86 3,76 4,01
*) Hasil analisis laboratorium, disajikan pada Lampiran 6.
Selain kadar C, N dan P jaringan LPT, kualitas biomasa LPT juga
ditentukan oleh nisbah C/N, nisbah C/P, lignin dan polifenol yang merupakan
indikator kualitas yang menentukan kecepatan dekomposisi biomasa dan
mineralisasi hara (Tabel 5.1). Nisbah C/N dan C/P yang diukur pada penelitian
ini, menunjukkan jenis CU dan PL memiliki nisbah C/N dan C/P yang lebih
rendah dibanding jenis MP dan CP (Tabel 5.1).
Kandungan lignin yang paling rendah ditunjukkan pada jenis CU diikuti
kandungan lignin pada jenis PL, MP dan CP. Sementara kandungan polifenol
yang dianalisis dalam penelitian ini, menunjukkan jenis LPT CU dan PL
menampilkan kandungan polifenol yang lebih rendah dibanding kandungan
polifenol pada jenis MP dan CP. Selanjutnya kadar K, Ca dan Mg juga
memperlihatkan perbedaan kandungan antara jenis LPT. Kadar K, Ca dan Mg
yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis PL dan diikuti oleh jenis lainnya (Tabel
5.1). Kualitas kimia LPT yang diuraikan di atas merupakan indikator penting dan
penentu dari laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT.
5.2 Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT terhadap Laju Dekomposisi dan
Besarnya Pelepasan Hara
5.2.1 Kadar air biomasa LPT
66
Hasil analisis ragam terhadap kadar air biomasa LPT selama masa
dekomposisi menunjukkan tidak terjadi interaksi yang nyata (p>0,01), namun
terhadap masing-masing faktor tunggal menunjukkan pengaruh yang sangat nyata
(p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 7). Rata-rata kadar air biomasa
dalam litter bag selama masa dekomposisi disajikan pada Tabel 5.2.
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kadar air biomasa berbeda antara
jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag. Biomasa CU
dan PL menunjukkan kadar air rata-rata yang lebih tinggi selama masa
dekomposisi (10-40 hari) dibanding dengan biomasa MP dan CP.
Tabel 5.2
Rata-rata kadar air biomasa LPT selama masa dekomposisi dalam litter bag pada
masing-masing faktor tunggal
Perlakuan Faktor Tunggal Kadar air biomasa (%)
10 hari 20 hari 30 hari 40 hari
Jenis Biomasa LPT:
Biomasa CP 13,99c 15,38
b 19,80
c 22,76
b
Biomasa MP 15,14bc
16,15b 21,90
b 23,34
b
Bimassa CU 18,19a 20,64
a 26,83
a 27,94
a
Biomasa PL 17,32ab
19,66a 26,38
a 26,88
a
Metode aplikasi biomasa :
Di atas tanah 12,35b 13,76
b 20,11
b 20,86
b
Dibenamkan 19,97a 22,15
a 27,34
a 29,60
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Kadar air yang dicapai pada biomasa CU selama masa dekomposisi
meningkat sebesar 67,79% (18,19% pada awal pengamatan menjadi 27,94% di
akhir pengamatan) dan tidak berbeda nyata dengan rata-rata kadar air pada
67
biomasa PL dengan peningkatan sebesar 64,43% (dari kadar air 17,32% menjadi
26,88% pada akhir pengamatan). Biomasa MP dan CP memperlihatkan kadar air
biomasa yang lebih rendah selama masa dekomposisi (Tabel 5.2).
Metode aplikasi biomasa secara tunggal juga memberikan pengaruh yang
nyata terhadap tingkat kadar air biomasa. Metode pembenaman, secara nyata
meningkatkan kadar air biomasa yang lebih tinggi mulai hari ke-10 (19,97%)
sampai hari ke-40 (29,60%). Sebaliknya kondisi ini berbeda dengan metode
aplikasi biomasa di atas tanah yang menunjukkan tingkat kadar air biomasa yang
lebih rendah selama masa dekomposisi, yaitu antara 12,35-20,86% (Tabel 5.2).
5.2.2 Kehilangan berat biomasa LPT
Hasil pengukuran kehilangan berat biomasa selama masa dekomposisi
menunjukkan bahwa jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter
bag berinteraksi secara nyata (p<0,01) terhadap kehilangan berat biomasa
(Lampiran 8). Rata-rata kehilangan berat dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi disajikan pada Gambar 5.1.
68
Prosentase kehilangan berat biomasa tertinggi ditunjukkan pada semua
jenis biomasa yang diaplikasikan dengan cara pembenaman di banding dengan
biomasa yang diaplikasikan di atas tanah (Gambar 5.1).
Metode pembenaman biomasa CU dan PL menunjukkan kehilangan berat
biomasa yang lebih tinggi dan tidak berbeda, sejak hari ke-10 (masing-masing
10,47% dan 9,42%) dan kehilangan tersebut meningkat sampai hari ke-40
(masing-masing 93,63% dan 91,07%) dari bobot awal (100 g). Berbeda dengan
biomasa MP dan CP pada metode aplikasi yang sama menunjukkan kehilangan
berat yang lebih rendah dari CU dan PL (masing-masing sebesar 81,76% dan
61,08%).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
10 20 30 40
c f
d
e
c
e
d
e
bc
d
c
d
c
de
c
de
bc
c
c
c
b
b
b
b
a
a
a
a
a
a
a
a
CP-diatas tanah MP-diatas tanah CU-diatas tanah PL-diatas tanah
CP-dibenam MP-dibenam CU-dibenam PL-dibenam
Lama dekomposisi (hari)
Keh
ilan
gan
ber
at (
%)
Keterangan: Histogram dengan notasi yang sama pada masing-masing masa dekomposisi adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.1
Histogram hasil analisis rata-rata kehilangan berat biomasa LPT (%)
pada pengaruh interaksi antara jenis biomasa dan metode aplikasi
biomasa LPT dalam litter bag
69
Metode aplikasi biomasa LPT di atas tanah, menunjukkan kehilangan
berat sampai pada akhir pengamatan (40 hari) lebih rendah, yaitu masing-masing
CU (48,42%), PL (44,18%), MP (41,88%) dan CP (39,07%) dari berat awal
dibanding aplikasi pembenaman (Tabel 5.2).
5.2.3 Pelepasan hara dari biomasa LPT
Hasil pengukuran pelepasan hara dan analisis ragam, menunjukkan jenis
biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag berinteraksi secara
nyata (p<0,01) terhadap besarnya pelepasan hara selama periode dekomposisi
(Lampiran 9.a-9.e). Parameter kadar hara yang diamati dalam penelitian ini adalah
C, N, P, K dan Ca. Secara umum metode pembenaman biomasa LPT melepaskan
hara (C, N, P, K dan Ca) lebih besar dan lebih cepat dibanding dengan metode
aplikasi di atas tanah (Tabel 5.3).
Tabel 5.3
Rata-rata pelepasan hara selama masa dekomposisi pada pengaruh interaksi
antara jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa dalam litter bag
Hari ke
Perlakuan jenis biomasa LPT
Besarnya pelepasan hara C-Org N P K Ca
.................................. % ...................................
10
CP-di atas tanah 2,30c 1,92
c 1,46
c 2,50
d 2,20
e
MP-di atas tanah 3,20c 2,90
c 1,92
c 3,42
d 3,91
e
CU-di atas tanah 5,85c 6,84
bc 7,95
bc 6,6
3cd 5,35
-de
PL-di atas tanah 5,25c 6,22
bc 6,66
bc 4,49
d 8,32
cd
CP-dibenam 7,05c 5,73
bc 11,94
ab 6,96
cd 8,97
c
MP-dibenam 12,36b 10,60
b 14,60
ab 10,88
bc 15,50
b
CU-dibenam 18,87a 20,53
a 20,36
a 17,65
a 22,42
a
PL-dibenam 16,73ab
21,10a 19,55
a 14,82
ab 20,05
a
70
20
CP-di atas tanah 8,88e 10,97
e 13,67
e 8,96
e 7,46
e
MP-di atas tanah 10,94e 11,05
e 19,85
de 11,29
de 11,28
e
CU-di atas tanah 16,31de
17,49d 22,96
d 16,93
d 17,46
d
PL-di atas tanah 18,88cd
16,84d 21,34
d 14,05
de 16,17
d
CP-dibenam 25,25bc
30,00c 34,44
c 24,22
c 27,95
c
MP-dibenam 32,10b 35,66
b 42,92
b 34,26
b 45,65
b
CU-dibenam 57,55a 64,10
a 64,50
a 58,81
a 65,57
a
PL-dibenam 58,04a 60,21
a 64,40
a 56,47
a 63,41
a
30
CP-di atas tanah 24,32e 30,6-
d 39,39
d 29,05f 28,79
e
MP-di atas tanah 26,88e 32,61
d 47,91
d 38,70e 26,46
e
CU-di atas tanah 36,23d 41,91
c 52,31
cd 40,71e 36,45
d
PL-di atas tanah 39,68d 39,97
c 48,63
d 38,95e 35,28
d
CP-dibenam 51,87c 66,11
b 64,57
c 52,91d 54,23
c
MP-dibenam 62,46b 67,79
b 78,92
b 71,69c 75,41
b
CU-dibenam 89,80a 91,00
a 95,09
a 91,54a 90,95
a
PL-dibenam 87,45a 89,84
a 90,69
ab 84,10b 87,33
a
40
CP-di atas tanah 44,00e 48,81
d 50,20
e 46,52
e 45,94
f
MP-di atas tanah 47,09e 50,48
d 61,90
d 55,74
d 45,62f
CU-di atas tanah 58,14d 60,51
c 66,02
d 61,37
c 57,01
d
PL-di atas tanah 56,19d 59,50
c 61,06
d 58,69
cd 52,69
e
CP-dibenam 68,82c 81,58
b 77,97
c 63,99
c 71,12
c
MP-dibenam 88,62b 93,25
a 84,66
bc 77,25
b 89,82
b
CU-dibenam 97,07a 97,44
a 98,23
a 97,38
a 97,77
a
PL-dibenam 95,51a 94,95
a 95,94
ab 98,40
a 95,85
a
Keterangan: Angka yang diikutii huruf yang sama pada kolom dan hari yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Hasil analisis sifat kimia biomasa awal terhadap unsur C, N, P, K dan Ca
menunjukkan bahwa unsur C (karbon) merupakan unsur terbesar penyusun
biomasa tanaman di banding unsur lainnya. Jumlah pelepasan unsur C pada
percobaan ini, menunjukkan tren pelepasan yang berbeda antar biomasa LPT dan
metode aplikasi.
Biomasa CU dan PL yang diaplikasikan dengan cara pembenaman dapat
melepaskan C masing-masing sebesar 18,87% dan 16,73% pada hari ke-10 dan
meningkat menjadi masing-masing 97,07% dan 95,51% pada hari ke-40 (Tabel
5.3). Sebaliknya biomasa MP dan CP pada bentuk aplikasi yang sama
71
memperlihatkan jumlah pelepasan C yang relatif rendah yaitu baru mencapai
masing-masing 88,62% dan 68,82% pada hari ke-40.
Metode aplikasi biomasa LPT di atas tanah sampai akhir pengamatan (hari
ke-40) menunjukkan pelepasan C yang rendah, yaitu untuk biomasa CU dan PL
masing-masing baru mencapai 58,14% dan 56,19%, sedangkan biomasa MP dan
CP masing-masing sebesar 47,09% dan 44% dari berat awal (Tabel 5.3).
Selain pelepasan C, besarnya pelepasan hara N, P, K dan Ca dari biomasa
LPT menunjukkan kecenderungan pelepasan yang berbeda diantara jenis biomasa
dan metode aplikasi serta mengalami peningkatan sampai periode ke-40 hari
(Tabel 5.3). Metode aplikasi biomasa dengan pembenaman menunjukkan bahwa
setelah 20 hari pembenaman, rata-rata besarnya hara (N, P, K dan Ca) yang
dilepaskan dari biomasa CU dan PL sudah mencapai waktu paruh (t50) yang
berarti sudah 50% hara yang dilepas oleh masing-masing biomasa, yaitu: N
(64,1% dan 60,21%), P (64,50% dan 64,40%), K (58,815 dan 56,47%), Ca
(65,57% dan 63,41%) dari konsentrasi awal saat pengambilan sampel. Sementara
biomasa MP dan CP waktu paruh (t50) baru tercapai setelah 30 hari pada bentuk
aplikasi yang sama. Sebaliknya besarnya pelepasan hara tersebut berbeda untuk
aplikasi biomasa di atas tanah yang menunjukkan nilai besarnya pelepasan hara
sangat rendah dan berjalan sangat lambat, dimana waktu paruh (t50) baru tercapai
setelah periode 40 hari dekomposisi (Tabel 5.3).
5.2.4 Laju dekomposisi biomasa LPT
Laju dekomposisi menggambarkan kecepatan pelapukan biomasa/serasah
tanaman dalam satu periode waktu tertentu. Penelitian-penelitian tentang
72
dekomposisi, konstanta laju dekomposisi (k) umumnya dipakai untuk
membandingkan kecepatan/laju dekomposisi biomasa berbagai species tanaman
atau antar berbagai kondisi lingkungan per tahun. Hasil analisis ragam pada
percobaan ini menunjukkan jenis biomasa LPT dan metode aplikasi biomasa
memberikan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap konstanta
laju dekomposisi (k) biomasa LPT dalam litter bag (Lampiran 10). Nilai rata-rata
konstanta laju dekomposisi (k) dari empat jenis biomasa LPT dan bentuk aplikasi
biomasa selama periode dekomposisi disajikan pada Gambar 5.2.
Nilai konstanta laju dekomposisi untuk masing-masing jenis biomasa LPT
pada percobaan ini, dianalisis mengikuti persamaan eksponensial,
. Hasil analisis menunjukkan bahwa konstanta laju dekomposisi dari
masing-masing jenis biomasa LPT yang dicobakan berbeda. Secara umum, jenis
biomasa LPT yang diaplikasikan dengan cara pembenaman, memperlihatkan nilai
konstanta laju dekomposisi (k) yang relatif lebih tinggi, yaitu berkisar antara 0,15-
0,27 di atas tanah, dibandingkan dengan nilai konstanta (k) pada jenis biomassa
LPT yang diaplikasikan di atas tanah, yang hanya mencapai 0,07-0,14 (Gambar
5.2).
73
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa konstanta laju dekomposisi (k) selama
periode waktu t (40 hari), yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis biomasa CU
yang diaplikasikan dengan cara pembenaman, diikuti jenis PL pada aplikasi yang
sama (dibenamkan). Laju dekomposisi yang paling tinggi ditunjukkan pada jenis
CU yang dibenam, dengan mengikuti persamaan: YCU-1 (R2: 0,90).
Persamaan ini menunjukkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi biomasa CU
adalah sebesar 0,27; sedangkan laju dekomposisi per waktu sebesar 2,34 g hari-1
atau 0,26 g tahun-1
. Selanjutnya, diikuti jenis biomasa PL yang dibenamkan,
dengan model persamaan eksponensial: YPL-1 (R2: 0,92). Model
persamaan ini menunjukkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi biomasa PL
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
f
e e e d
c
a
b
Ko
nst
an
ta
laju
dek
om
po
sis
bio
ma
sa L
PT
(k
)
Jenis biomasa LPT dengan metode aplikasi
Keterangan: Histogram dengan notasi yang sama pada masing-masing jenis biomasa
adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.2
Histogram hasil analisis rata-rata konstanta laju dekomposisi (k) pada
masing-masing jenis biomasa LPT
YCP-0 e (R2:,99)
YMP-0 e 3 (R2:0,99)
YCU-0 7 e 3 (R2:0,94
YPL-0 5 5 e (R2:0,99)
YCP-1 9 e (R2:0,99)
YMP-1 e (R2:0,94)
YCU-1 e (R2:0,90)
YPL-1 e (R2:0,92)
74
yang dibenamkan adalah sebesar 0,24 dengan laju dekomposisi per waktu sebesar
2,28 g hari-1
atau 0,25 g tahun-1
,
Sementara jenis MP yang dibenamkan juga mempelihatkan konstanta laju
dekomposisi sebesar 0,20 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,04 g hari-1
atau
0,22 g tahun-1
) , dengan model persamaan: YMP-1 (R2: 0,94).
Berbeda dengan biomassa CP yang dibenam memperlihatkan konstanta laju
dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,15 (laju dekomposisi per waktu sebesar
1,53 g hari-1
atau 0,17 g tahun-1
), dengan model persamaan, YCP-1 9
(R2: 0,89). Nilai konstanta laju dekomposisi (k) yang tinggi menunjukkan bahwa
laju dekomposisi biomasa per waktu berjalan lebih capat.
Hasil uji korelasi untuk melihat hubungan antara konstanta laju
dekomposisi dengan kualitas sifat kimia biomasa, menunjukkan terdapat korelasi
yang sangat nyata. Selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk menduga keeratan
hubungan, menunjukkan terdapat tiga variabel kualitas sifat kimia yang
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap laju dekomposisi, yaitu kadar N
biomasa, nisbah C/N dan kadar polifenol biomasa LPT, dengan persamaan regresi
adalah, Yk = 0,055 + 0,034N + 0,003C/N – 0,005Polifenol (R2= 0,98).
5.2.5 Total koloni mikroba tanah setelah dekomposisi
Hasil analisis ragam antara jenis biomasa dan metode aplikasi biomasa
LPT dalam litter bag menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata
(p<0,01) terhadap total koloni mikroba tanah setelah 40 hari masa dekomposisi
(Lampiran 11). Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari
masa dekomposisi, disajikan pada Tabel 5.4.
75
Tebel 5.4
Rata-rata total koloni mikroba dalam biomasa LPT setelah 40 hari dekomposisi
pada pengaruh interaksi antara jenis dan metode aplikasi biomasa dalam
litter bag
Jenis biomasa LPT: Metode aplikasi biomasa
Di atas tanah Dibenamkan
.............. cfu ................
Biomasa CP 7,67x104 f
16,67x105 c
Biomasa MP 11x104 e
22x106 b
Biomasa CU 25,33x104 d
28x106 a
Biomasa PL 24,67x104 d
24x106 ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak
berganda Duncan taraf 5%
Rata-rata total koloni mikroba tanah berbeda antara jenis biomasa LPT
dengan metode aplikasi biomasa. Biomasa CU dan PL yang dibenamkan
memperlihatkan total koloni rata-rata lebih tinggi, masing-masing sebesar 28x106
cfu dan 24x106 cfu, diikuti oleh biomasa MP (22x10
6) dibanding dengan
perlakuan lainnya (Tabel 5.4).
Biomasa LPT yang diaplikasikan di atas tanah menunjukkan rata-rata
jumlah koloni mikroba yang lebih rendah yaitu rata-rata berkisar antara 7,67x104-
24,67x104
cfu (Tabel 5.4).
5.3 Pengaruh Masa Inkubasi Biomasa LPT terhadap Tingkat Sinkronisasi
Hara N pada Tanaman Jagung Selama Fase Vegetatif
5.3.1 Kadar N total tanah
Hasil analisisi kadar N total tanah menunjukkan pengaruh yang sangat
nyata (p<0,01) mulai dari 15 hari setelah tanam (hst) sampai 45 hst (Lampiran
12). Rata-rata kadar N total tanah disajikan pada Gambar 5.3.
76
Keterangan: - Titik dengan notasi yang sama pada umur tanaman yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
- Ikb. : masa inkubasi biomasa, sebelum tanam
Gambar 5.3
Rata-rata kadar N total tanah yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung
Secara umum hasil analisis terhadap kadar N total tanah menunjukkan
masa inkubasi biomasa CU dan PL dapat melepaskan N total lebih besar
dibanding dengan MP dan CP (Gambar 5.3).
Perlakuan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari pada biomasa CU dan PL
menunjukkan terjadi peningkatan kadar N total sejak 15, 30 dan 45 hst. Kadar N
total untuk masa inkubasi 10 hari pada legum CU dan PL meningkat masing-
masing sebesar 3467 mg kg-1
menjadi 3700 mg kg-1
dan 3167 mg kg-1
menjadi
3500 mg kg-1
dibanding dengan perlakuan lainnya.
Demikian juga, perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 20
hari sebelum tanam, masing-masing mengalami peningkatan N total sebasar 2733
2000
2200
2400
2600
2800
3000
3200
3400
3600
3800
4000
0 15 30 45
Kad
ar N
to
tal
tan
ah (
mg
kg
-1)
Umur tanaman jagung (hst)
Tanpa LPT CP, ikb. 10 hari CP, ikb. 20 hariCP, ikb. 30 hari MP, ikb. 10 hari MP, ikb. 20 hariMP, ikb. 30 hari CU, ikb. 10 hari CU, ikb. 20 hariCU, ikb. 30 hari PL, ikb. 10 hari PL, ikb. 20 hariPL, ikb. 30 hari
bbbbb b
c
aaaaaa
aaaaaa
d i
b bc cd bc cd cd
a
ab
abc
bc
cd de
ef fg f ghi
fhi
hi
77
mg kg-1
menjadi 3600 mg kg-1
dan 3367 mg kg-1
menjadi 3400 mg kg-1
.
Sementara masa inkubasi 30 hari pada biomasa yang sama, pada fase awal (15
hst) menunjukkan kadar N total yang lebih tinggi, yaitu (3800 mg kg-1
dan 3600
mg kg-1
), namun setelah 30 - 45 hst terlihat adanya penurunan kadar N total
masing-masing sebesar (3467 mg kg-1
dan 3300 mg kg-1
). Biomasa MP dan CP
pada semua masa inkubasi memperlihatkan kadar N total tanah yang relatif lebih
rendah (Gambar 5.3).
5.3.2 Kadar N-tersedia tanah
Hasil analisis ragam menunjukkan masa inkubasi biomasa LPT ber-
pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar N-tersedia tanah (Lampiran 13).
Secara umum masa inkubasi biomasa menunjukkan kadar N-tersedia yang lebih
tinggi dan berbeda dangan kadar N-tersedia pada kontrol (Gambar 5.4).
50
100
150
200
250
300
350
0 15 30 45
Kad
ar
N-t
erse
dia
tan
ah
(m
g.k
g-1
)
Umur tanaman jagung (hst)
Tanpa LPT CP, ikb. 10 hari CP, ikb. 20 hariCP, ikb. 30 hari MP, ikb. 10 hari MP, ikb. 20 hariMP, ikb. 30 hari CU, ikb. 10 hari CU, ikb. 20 hariCU, ikb. 30 hari PL, ikb. 10 hari PL, ikb. 20 hariPL, ikb. 30 hari
a a abb
c d e ef f g g g
a a ab abc bc c
d d d e ghe
f h
d de e
f fg g
a a ab ab bc c
h
78
Keterangan: - Titik dengan notasi yang sama pada umur tanaman yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
- ikb. : masa inkubasi biomasa, sebelum tanam
Gambar 5.4 Rata-rata kadar N-tersedia tanah pada pengaruh masa inkubasi biomasa LPT
sebelum tanam, selama fase vegetatif jagung dalam pot
Hasil analisis kadar N-tersedia tanah selama fase pertumbuhan jagung
terlihat bahwa masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam untuk biomasa
CU secara nyata meningkatkan kadar N-tersedia tanah sebesar 1,69 kali (menjadi
305,40 mg kg-1
pada 45 hst). Kadar N-tersedia yang tinggi dan tidak berbeda,
juga ditunjukkan oleh perlakuan masa inkubasi 10 hari pada biomasa PL yang
dapat meningkatkan kadar N-tersedia tanah sebesar 1,62 kali (297,27 mg kg-1
)
(Gambar 5.4).
Sebaliknya masa inkubasi 30 hari dan 20 hari sebelum tanam pada jenis
biomasa yang sama, menunjukkan bahwa pada 15 hst kadar N-tersedia tanah lebih
tinggi dari semua perlakuan, masing-masing sebesar (298,85 mg kg-1
, 292,22 mg
kg-1
untuk CU) dan (292,03 mg kg-1
, 295,64 mg kg-1
untuk PL), dan meningkat
pada 30 hst sebesar (300,17 mg kg-1
, 307,85 mg kg-1
) dan (296,83 mg kg-1
, 305,65
mg kg-1
).
Namun peningkatan kadar N tersedia itu bersifat fluktuatif, karena pada
akhir masa vegetatif (45 hst) kadar N-tersedia tanah justeru menurun, masing-
masing menjadi (278,56 mg kg-1
, 232,59 mg kg-1
) dan (270,69 mg kg-1
, 243,95
mg kg-1
) (Gambar 5.4). Sementara masa inkubasi yang sama pada jenis biomasa
MP dan CP menunjukkan kadar N-tersedia yang rendah (Gambar 5.4).
5.3.3 Serapan N tanaman jagung pada fase vegetatif
79
Hasil percobaan pot menunjukkan bahwa perlakuan masa inkubasi
biomasa LPT berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap serapan N jagung
selama fase vegetatif mulai dari 15 hst, 30 hst sampai 45 hst (Lampiran 14).
Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan
masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan performans
tanaman yang lebih baik sejak 15 hst sampai 45 hst, walaupun pada 15 hst tidak
bebeda nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.5).
Performans tanaman ini ditunjukkan oleh serapan N tanaman jagung yang lebih
tinggi dan menunjukkan peningkatan serapan N sejak awal fase vegetatif sampai
akhir fase vegetatif (45 hst) dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum
tanam pada jenis biomasa yang sama.
Perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari
sebelum tanam nyata meningkatkan serapan N rata-rata sebesar 4,1 kali pada 30
hst dan rata-rata 2,31 kali pada 45 hst lebih tinggi dibanding masa inkubasi 30
hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama dengan rata-rata peningkatan
Tabel 5.5
Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap serapan N
tanaman jagung pada fase vegetatif
Masa inkubasi biomasa LPT,
sebelum tanam
Serapan N tanaman jagung (mg kg-1
)
15 hst 30 hst 45 hst
Tanpa biomasa LPT 39,14d 148,55
f 841,92
e
Biomasa CP, inkubasi 10 hari 45,92d 163,87
f 931,76
e
Biomasa CP, inkubasi 20 hari 49,13d 202,45
ef 1046,21
de
Biomasa CP, inkubasi 30 hari 82,90bc
250,70e 1262,60
d
Biomasa MP, inkubasi 10 hari 68,32c 380,29
d 1722,27
c
Biomasa MP, inkubasi 20 hari 80,85bc
410,39cd
1784,64c
80
Biomasa MP, inkubasi 30 hari 95,48b 479,62
c 1876,23
c
Biomasa CU, inkubasi 10 hari 124,03a 786,34
a 2905,45
a
Biomasa CU, inkubasi 20 hari 125,68a 745,94
a 2696,38
a
Biomasa CU, inkubasi 30 hari 128,01a 590,55
b 2306,00
b
Biomasa PL, inkubasi 10 hari 126,58a 759,02
a 2745,06
a
Biomasa PL, inkubasi 20 hari 122,55a 746,53
a 2831,38
a
Biomasa PL, inkubasi 30 hari 121,67a 611,12
b 2406,70
b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
serapan N sebesar 3,03 kali pada 30 hst dan 1,79 kali pada 45 hst. Sementara
biomasa MP dan CP dengan masa inkubasi yang sama, rata-rata menunjukkan
serapan N tanaman yang rendah. Sebaliknya rata-rata serapan N tanaman yang
paling rendah ditunjukkan pada perlakuan kontrol (tanpa LPT) (Tabel 5.5).
5.3.4 Bobot kering total tanaman jagung
Masa inkubasi biomasa LPT menunjukkan pengaruh yang sangat nyata
(p<0,01) terhadap bobot kering tanaman jagung selama fase vegetatif (Lampiran
15). Rata-rata bobot kering tanaman jagung selama fase vegetatif disajikan pada
Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Pengaruh masa inkubasi biomasa LPT sebelum tanam terhadap bobot kering total
tanaman jagung pada fase vegetatif
Masa inkubasi biomasa LPT,
sebelum tanam
bobot kering total tanaman (g tanaman-1
)
15 hst 30 hst 45 hst
Tanpa biomasa LPT 5,10d 17,82
c 58,57
e
Biomasa CP, inkubasi 10 hari 5,13d 17,65
c 59,20
de
Biomasa CP, inkubasi 20 hari 5,47cd
18,37b 58,45
e
Biomasa CP, inkubasi 30 hari 5,84bcd
18,82bc
62,63cde
81
Biomasa MP, inkubasi 10 hari 5,61cd
17,38c 70,75
c
Biomasa MP, inkubasi 20 hari 5,81bcd
19,04bc
68,84cd
Biomasa MP, inkubasi 30 hari 6,04abcd
20,27b 69,38
c
Biomasa CU, inkubasi 10 hari 7,02a 25,00
a 92,44
a
Biomasa CU, inkubasi 20 hari 6,80ab
24,75a 87,49
ab
Biomasa CU, inkubasi 30 hari 6,23abc
23,62a 80,29
b
Biomasa PL, inkubasi 10 hari 6,94a 25,14
a 91,51
a
Biomasa PL, inkubasi 20 hari 6,74ab
24,38a 89,97
ab
Biomasa PL, inkubasi 30 hari 6,40abc
23,19a 82,30
ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Masa inkubasi biomasa LPT menghasilkan rata-rata bobot kering tanaman
yang lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol (Tabel 5.6). Tanaman jagung yang
mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20
hari sebelum tanam menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
dibanding perlakuan masa inkubasi LPT lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh bobot
kering total tanaman yang lebih tinggi sejak 15 hst - 45 hst, dibanding dengan
perlakuan masa inkubasi biomasa LPT lainnya (Tabel 5.6).
5.4 Potensi LPT Sebagai Tanaman Bera dalam Meningkatkan Simpanan C-
Organik dan Kualitas Tanah di Lahan Kering
Untuk mengetahui potensi LPT terhadap simpanan C-organik tanah dan
kualitas tanah, telah dilakukan percobaan selama masa bera (5 bulan), dari 2 Juni-
30 November 2013 di kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan
percobaan ketiga dari rangkaian penelitian ini. Hasil penelitian tersebut adalah
sebagai kerikut:
82
5.4.1 Prosentase (kemampuan) penutupan tanah
Hasil percobaan di lapang menunjukkan perlakuan jenis tanaman LPT
berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap prosentase penutupan tanah (area
cover) sejak umur 1 bulan setelah tanam (bst) sampai 3 bst (Lampiran 16). Rata-
rata prosentase penutupan tanah (%) di sajikan pada Tabel 5.7.
Hasil percobaan ini menunjukkan LPT yang diintroduksi dalam lahan
budidaya sebagai tanaman bera memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda.
Legum CP memperlihatkan pertumbuhan yang lambat dibanding dengan tiga
jenis legum lainnya yaitu MP, PL dan CU yang rata-rata memiliki pertumbuhan
yang lebih cepat sejak dari 1 bst-3 bst.
Tabel 5.7
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap prosentase penutupan tanah
Jenis LPT Prosentase penutupan tanah (%)
1 bst 2 bst 3 bst
Kontrol (tanpa LPT) 40,25a 23,43
d 9,50
c
CP 11,22b 37,81
c 64,86
b
MP 39,54a 67,84
a 99,35
a
CU 12,94b 57,37
b 97,18
a
PL 37,73a 65,79
a 98,36
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Memasuki bulan ke-3 (3 bst) jenis LPT MP, PL dan CU rata-rata
prosentase penutupan lahan sudah mencapai (98,36-99,35%). Sementara jenis CP
menunjukkan prosentase penutupan lahan yang rendah (11,22%) pada 1 bst, dan
pada 3 bst prosentase penutupan lahannya baru mencapai 64,86%. Perlakuan
83
petak kontrol yang tidak ditanami LPT, menunjukan adanya penurunan area
covering, yaitu pada bulan pertama (1 bst) vegetasi alami setelah panen tanaman
pangan masih tersisa sehingga masih dapat menutupi permukaan tanah mencapai
40,25%, namun memasuki bulan ke-2 dan bulan ke-3 terjadi penurunan
prosentase penutupan lahan yang drastis hingga mencapai 9,50% (Tabel 5.7).
5.4.2 Kadar air tanah selama masa bera
Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan LPT selama masa bera
memberikan pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar air tanah
mulai 2-5 bst, sedangkan pada umur 1 bst memberikan pengaruh yang tidak nyata
(p>0,05) (Lampiran 17). Rata-rata kadar air tanah selama masa bera disajikan
pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5
Rata-rata kadar air tanah selama masa bera dengan berbagai jenis LPT
10
15
20
25
30
35
40
0 1 2 3 4 5
Kad
ar a
ir t
anah
(%
)
Lama/waktu pemberaan (bulan setelah tanam, bst)
Kontrol (tanpa LPT)
Legum CP
Legum MP
Legum CU
Legum PL
a
ab
b
c
d
a
ab
b
d
a ab
b
c
d
b
c
aaa
c
Keterangan: Titik dengan notasi yang sama pada waktu yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
84
Penggunaan LPT nyata meningkatkan kadar air tanah dari bulan ke-2
sampai akhir percobaan (bulan ke-5), bulan pertama belum tampak pengaruhnya.
Kebaradaan MP, PL dan CU selama masa bera mampu meningkatkan kadar air
tanah yang nyata lebih tinggi, dengan peningkatan masing-masing sebesar
92,27%, 86,57% dan 77,95%) dibanding CP (48,89% ) dan petak kontrol
(Gambar 5.5).
5.4.3 Suhu tanah permukaan selama masa bera
Hasil percobaan di lapang menunjukkan terjadi penurunan suhu tanah
permukaan (kedalaman 5 cm) secara nyata akibat jenis LPT di banding dengan
perlakuan kontrol (tanpa LPT). Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan
LPT selama masa bera memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01)
terhadap suhu tanah mulai 2-5 bst, kecuali pada umur 1 bst penggunaan LPT
memberikan pengaruh yang tidak nyata (Lampiran 18).
85
Keterangan: Titik dengan notasi yang sama pada waktu yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Gambar 5.6
Rata-rata suhu tanah permukaan selama masa bera dengan berbagai jenis LPT
Jenis legum MP, PL dan CU nampak nyata menurunkan suhu tanah rata-
rata sebesar 2,25%-6,05% sejak 2 bst sampai 5 bst dibanding tanpa LPT.
Sementara pemberaan dengan legum CP hanya mampu menurunkan suhu tanah
antara 1,14% pada umur 2 bst sampai 3,37% pada umur 5 bst (Gambar 5.6).
5.4.4 Bobot isi tanah dan porositas tanah
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai
tanaman bera nyata menurunkan bobot isi tanah dan meningkatkan porositas tanah
pada akhir masa pemberaan (Lampiran 19). Rata-rata bobot isi tanah (bulk
density) dan porositas tanah pasca bera disajikan pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap bobot isi tanah dan porositas
tanah setelah 5 bulan pemberaan
26
27
28
29
30
0 1 2 3 4 5
Su
hu
tan
ah p
erm
ukaa
n (
oC
)
Lama/waktu pemberaan (bulan setelah tanam, bst)
Kontrol (tanpa LPT)
Legum CP
Legum MP
Legum CU
Legum PL
a
b c c c
a
b bc bc c
a
b
c c c
a
b
c c c
86
Jenis LPT Bobot isi tanah
(g cm-3
)
Porositas tanah
(%)
Kontrol (tanpa LPT) 1,30a 49,90
c
CP 1,26b 51,25
b
MP 1,21c 53,56
a
CU 1,22c 53,08
a
PL 1,20c 53,75
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Penggunaan LPT jenis MP, PL dan CU sebagai tanaman bera dapat
menurunkan bobot isi tanah (bulk density) rata-rata sebesar 7,69-6,15% (dari 1,3 g
cm-3
menjadi 1,20-1,22 g cm-3
) lebih tinggi dibanding jenis CP. Sebaliknya
penggunaan CP hanya mampu menurunkan bobot isi tanah (bulk density) sebesar
3,17% atau dari 1,30 g cm-3
menjadi 1,26 g cm-3
(Tabel 5.8).
Penggunaan legum MP, PL dan CU secara nyata meningkatkan porositas
tanah rata-rata sebesar 6,37% dibanding CP yang hanya dapat meningkatkan
porositas tanah sebesar 2,71% (Tabel 5.8).
5.4.5 Produksi biomasa, serapan C tanaman dan simpanan C-organik tanah
Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam lahan budidaya memberikan
pengaruhnya yang sangat nyata (p<0,01) terhadap produksi biomasa, serapan C
tanaman dan simpanan C-organik tanah pasca pemberaan (Lampiran 20).
Produksi biomasa (dalam bobot kering) pada akhir masa pemberaan
tertinggi ditunjukkan oleh legum CU sebesar 11,99 t ha-1
atau terjadi peningkatan
produksi biomasa sebesar 3,52 kali dari kontrol (tanpa LPT).
87
Tabel 5.9
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap produksi biomasa, serapan C
tanaman dan simpanan C-organik tanah setelah 5 bulan pemberaan
Jenis LPT Produksi biomasa
(b.k. t ha-1
)
Serapan C ta-
naman
(t ha-1)
Simpanan C-
organik tanah
(t ha-1
)
Kontrol (tanpa LPT) 2,65d 1,32
d 53,13
b
CP 5,73c 2,86
c 56,23
b
MP 10,84ab
5,42ab
61,76a
CU 11,99a 5,99
a 62,03
a
PL 10,22b 5,11
b 61,99
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak
berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Produksi biomasa yang dicapai oleh CU juga cenderung tidak berbeda nyata
dengan legum MP, dengan produksi biomasa sebesar 11,99 t ha-1
atau terjadi
peningkatan sebesar 3,09 kali, diikuti PL (10,22 t ha-1
) dengan peningkatan
sebesar 2,85 kali lebih besar dibanding kontrol (2,65 t ha-1
). Produksi biomasa
yang paling rendah ditunjukkan oleh CP (5,73 t ha-1
) atau hanya terjadi
peningkatan produksi biomasa sebesar 1,16 kali dari perlakuan tanpa LPT (Tabel
5.9).
Jenis LPT yang ditanam selama masa bera dapat meningkatkan serapan C
tanaman secara nyata (Tabel 5.11). Hal ini ditunjukkan oleh legum CU yang
selama masa bera dapat menyerap C sebesar 5,99 t ha-1
dan tidak berbeda nyata
dengan MP (5,42 t ha-1
), diikuti oleh PL (5,11 t ha-1
). Serapan C tanaman yang
paling rendah ditunjukkan oleh jenis legum CP yaitu dapat menyerap C sebesar
2,86 t ha-1
(Tabel 5.9).
88
Pemanfaatan LPT sebagai tanaman bera, juga secara nyata berkontribusi
terhadap peningkatan simpanan C-organik tanah. Pada percobaan ini, jenis CU,
PL dan MP menunjukkan sumbangan simpanan C-organik tanah yang lebih
tinggi dan tidak berbeda nyata diantara ketiganya. Penanaman jenis CU, PL dan
MP dalam lahan budidaya selama masa bera dapat meningkatkan simpanan C-
organik tanah masing-masing sebesar 16,75%, 16,67% dan 18,24% dibanding
dengan tanpa LPT (53,13 t ha-1
). Sementara jenis CP yang diintroduksi selama
masa bera hanya dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 5,83%
(Tabel 5.9).
5.4.6 Kadar N tanaman, Nisbah C/N dan N yang tertambat
Pemberaan lahan budidaya dengan jenis LPT memberikan pengaruhnya
yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar N total tanaman, nisbah C/N dan
besarnya N yang tertambat (Lampiran 21). Kadar N total, nisbah C/N dan N yang
tertambat berbeda antar jenis LPT (Tabel 5.10).
Hasil analisis kadar N jaringan LPT, menunjukkan bahwa jenis legum
CU dan PL sebagai tanaman bera memiliki kadar N jaringan yang lebih tinggi dan
tidak berbeda dibanding MP dan CP. Rata-rata kadar N jaringan tertinggi
ditunjukkan oleh jenis CU dan PL (masing-masing 4,19% dan 3,98%) dibanding
dengan MP dan CP yang kadar N jaringan sebesar 3,21% dan 2,14% (Tebel
5.10).
Tabel 5.10
Pengaruh jenis tanaman penutup tanah sebagai tanaman bera terhadap kadar N
total tanaman, nisbah C/N dan N yang tertambat setelah 5 bulan pemberaan
Jenis LPT N tanaman (%) C/N N yang tertambat (kg ha-1
)
89
CP 2,14c 20,22
c 122,72
c
MP 3,21b 14,35
b 348,06
b
CU 4,19a 9,36
a 476,66
a
PL 3,98a 10,73
a 350,04
b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Nisbah C/N pada tabel yang sama, juga menunjukkan bahwa LPT CU dan
PL, masing-masing memiliki nisbah C/N yang lebih rendah sebesar 9,36 dan
10,73 dan berbeda nyata dengan jenis MP dan CP yang memiliki nisbah C/N yang
lebih tinggi yaitu sebesar 14,35 dan 20,22. Demikian pula halnya dengan
kemampuan penambatan N, hasil analisis menunjukkan jenis LPT CU dapat
menambat N sebesar 476,66 kg ha-1
lebih tinggi, diikuti PL (350,04 kg ha-1
),
MP (348,06 kg ha-1
) dan yang paling rendah diperoleh pada CP (122,72 kg ha-1
)
(Tabel 5.10).
5.4.7 pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah
Penggunaan LPT sebagai tanaman bera berpengaruh sangat nyata (p<0,01)
terhadap pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah (Lampiran 22).
Rata-rata hasil analisis pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah pasca
pemberaan disajikan pada Tabel 5.11.
Penggunaan LPT sebagai tanaman bera nyata meningkatkan pH tanah
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa LPT). LPT jenis PL dan CU secara
nyata meningkatkan pH tanah masing-masing sebesar 4,21% 4,35% lebih tinggi
dibanding pelakuan jenis LPT MP dan CP.
Tabel 5.11
90
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap pH tanah, kadar C-organik
tanah dan bahan organik tanah setelah 5 bulan pemberaan
Jenis LPT pH tanah
(pH H2O 1:1)
C-organik tanah
(%)
Bahan organik
tanah (%)
Kontrol (tanpa LPT) 6,40c 1,36
c 2,34
c
CP 6,44c 1,48
b 2,53
b
MP 6,57b 1,71
a 2,94
a
CU 6,67a 1,70
a 2,92
a
PL 6,68a 1,72
a 2,96
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Kadar C-organik tanah yang diamati pada percobaan ini, juga terlihat
adanya peningkatan yang nyata akibat penggunaan LPT. Kadar C-organik tanah
tertinggi ditunjukkan oleh PL, MP dan CU dan tidak berbeda nyata, dengan
peningkatan C-organik sebesar 25-26% dibanding dengan perlakuan tanpa LPT
(1,36%). Sementara penggunaan tanaman CP hanya mampu meningkatkan kadar
C-organik sebesar 8,82% (1,48%) dari perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.11).
Demikian pula halnya dengan kadar bahan organik tanah pasca bera,
menunjukkan penggunaan jenis LPT PL, MP dan CU mampu meningkatkan kadar
bahan organik tanah sebesar 67,82-70,11% dibandingkan tanpa LPT yang kadar
bahan organik tanahnya hanya mencapai 2,74%. Sementara jenis CP yang
digunakan pada percobaan ini menunjukkan kadar bahan organik yang rendah
(1,74%) atau hanya dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah sebesar
45,40% dibandingkan tanpa LPT (Tabel 5.11).
5.4.8 Kadar N total, P, K, Ca, Mg dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah
91
Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dalam lahan budidaya pertanian
berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap sifat kimia tanah yang meliputi kadar
N total, kadar P-tersedia, kadar K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan
pemberaan (Lampiran 23 dan 24). Rata-rata kadar N total, P tersedia, K, Ca, Mg
dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan disajikan pada Tabel 5.12.
Penggunaan jenis legum CU dan PL sebagai tanaman bera dapat
meningkatkan kadar N total tanah berturut-turut sebesar 26,67% (dari 0,15%
menjadi 0,19%) dan 20% (dari 0,15% menjadi 0,18% lebih tinggi dibanding CP
dengan peningkatan sebesar 13,33% (0,17%) dan MP yang hanya dapat
meningkatkan kadar dar N total tanah sebesar 6,67% (0,16%).
Tabel 5.12
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap kadar N total tanah, P-
tersedia, kadar K, Ca, Mg dan KTK tanah setelah 5 bulan pemberaan
Jenis LPT
Kandungan kimia tanah pasca bera
N total P-
tersedia K Ca Mg KTK
(%) (mg kg
-1) .............(me 100 g
-1 tanah)................
Kontrol (tanpa LPT) 0,15d 7,31
c 0,17
e 15,36
c 1,23
c 35,95
c
CP 0,17bc
8,72bc
0,24d 17,36
abc 1,82
ab 41,03
b
MP 0,16c 7,86
b 0,26
c 16,43
bc 2,07
a 45,32
a
CU 0,19a 11,83
a 0,31
b 19,25
ab 1,52
bc 46,45
a
PL 0,18ab
11,44a 0,33
a 19,53
a 1,89
ab 47,82
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
92
Kadar P-tersedia tanah setelah 5 bulan pemberaan tertinggi ditunjukkan
oleh legum CU dan PL dengan peningkatan sebesar 61,83% dan 56,49%.
Peningkatan kadar P-tesedia ini lebih tinggi dibanding dengan menggunakan CP
dan MP.
Kadar K tanah yang paling tinggi ditunjukkan pada pemberaan dengan
jenis PL sebesar 0,33 me 100 g-1
tanah dan berbeda dengan CU (0,31 me 100 g-1
tanah), MP (0,26 me 100 g-1
tanah), CP (0,26 me 100 g-1
tanah) dan perlakuan
tanpa LPT sebesar 0,17 me 100 g-1
tanah.
Kadar Ca yang diamati dalam percobaan ini, juga menunjukkan
penggunaan LPT secara nyata meningkatkan kadar Ca tanah. Kadar Ca tanah
yang paling tinggi disumbangkan oleh LPT berturut-turut adalah PL (19,53 me
100 g-1
tanah) dan CU (19,25 me 100 g-1
tanah). Sebaliknya kadar Ca tanah yang
rendah ditunjukkan oleh CP dengan kadar Ca tanah sebesar (17,36 me 100 g-1
tanah), diikuti MP (16,43 me 100 g-1
tanah) dan perlakuan tanpa LPT (15,36 me
100 g-1
tanah).
Kadar Mg yang tertinggi ditujukkan pada jenis LPT MP sebesar (2,07
me 100 g-1
tanah) dan cenderung tidak berbeda dengan PL (1,89 me 100 g-1
tanah). Sebaliknya kadar Mg yang paling rendah ditunjukkan oleh jenis legum
CP, CU dan perlakuan kontrol (Tabel 5.12).
Kadar kapasitas tukar kation (KTK) yang di ukur pada akhir masa
pemberaan menunjukkan adanya peningkatan KTK tanah sebagai respon dari
penggunaan LPT sebagai tanaman bera. Penggunaan LPT jenis PL sebagai
tanaman bera secara nyata dapat meningkatkan KTK tanah sebesar 35,12%
93
(47,82 me 100 g-1
tanah) dan tidak berbeda nyata dengan penggunaan CU dan MP
yang dapat meningkatkan KTK tanah berturut-turut sebesar 28,45% (46,45 me
100 g-1
tanah) dan 28,06% (45,32 me 100 g-1
tanah) dari kontrol (35,95 me 100 g-1
tanah). Kondisi KTK tanah yang sama berbeda dengan penggunaan LPT jenis CP
yang pada percobaan ini hanya mampu meningkatkan KTK tanah sebesar 15,94%
dari kontrol (Tabel 5.12).
5.4.9 Infeksi mikoriza dan total koloni mikroba tanah
Jenis tanaman LPT sebagai tanaman bera yang digunakan dalam
percobaan ini memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap tingkat
infeksi mikoriza dan total koloni mikroba tanah (Lampiran 25). Pengamatan
terhadap total koloni mikroba tanah pada akhir percobaan, juga memperlihatkan
keberadaan tanaman LPT nampak meningkatkan secara nyata total koloni
mikroba tanah (Lampiran 26).
Jenis LPT yang diuji secara nyata mempunyai kemampuan infeksi
mikoriza pada akar tanaman dan berbeda antara jenis LPT. Hasil pengujian
terhadap potongan akar menunjukkan ke empat jenis LPT memiliki potensi yang
kuat terhadap tingkat infeksi mikoriza. Infeksi mikoriza yang paling tinggi
ditunjukkan pada akar tanaman PL (60,54-%) dan tidak berbeda nyata dengan CU
(58,13%), diikut (MP (53,14%) dan CP (44,89%) (Tabel 5.13).
Tabel 5.13
Pengaruh jenis LPT sebagai tanaman bera terhadap infeksi mikoriza (MVA) dan
total koloni mikroba tanah setelah 5 bulan pemberaan
Jenis LPT Infeksi MVA
(%)
Total koloni mikroba
tanah (cfu)
94
Kontrol (tanpa LPT) 0,00d 4,00x10
5 c
CP 44,89c 8,25x10
5 b
MP 53,14b 10,75x10
5 a
CU 58,13a 9,50x10
5 ab
PL 60,54a 10,25x10
5 ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda
nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Total koloni mikroba tanah tertinggi dijumpai pada lahan yang diberakan dengan
MP (10,75 x105 cfu) diikuti PL (10,25 x10
5 cfu) dan CU (9,50 x10
5 cfu) dan
ketiganya tidak berbeda nyata lebih tinggi, dibanding dengan CP dan tanpa LPT
yang hanya mampu menghasilkan total koloni mikroba tanah berturut-turut
sebesar 8,25 x105 cfu dan 4,00 x10
5 cfu (Tabel 5.13).
5.5 Pengaruh Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Simpanan C-
Organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di Lahan Kering
5.5.1 Simpanan C-organik, bobot isi tanah dan porositas tanah
Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca pemberaan menunjukkan pengaruh
interaksi yang tidak nyata (p>0,01) terhadap simpanan C-organik tanah, bobot isi
tanah dan porositas tanah setelah panen jagung (akhir percobaan 4). Sementara
masing-masing faktor tunggal memberikan pengaruhnya yang sangat nyata
(p<0,01) terhadap parameter tersebut (Lampiran 26). Rata-rata simpanan C-
organik, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah panen jagung (akhir
percobaan 4) disajikan pada Tabel 5.14.
Tabel 5.14
95
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata
simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan porositas tanah setelah
panen jagung
Perlakuan faktor tunggal
Simpanan C-
organik
tanah (t ha-1
)
Bobot isi
tanah
(g cm-3
)
Porositas
tanah
(%)
Jenis biomasa LPT:
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 58,03c 1,29
a 50,24
b
Biomasa CP 65,11b 1,26
b 51,44
b
Biomasa MP 82,95a 1,15
c 55,59
a
Biomasa CU 86,70a 1,16
c 55,56
a
Biomasa PL 86,69a 1,15
c 55,86
a
Masa inkubasi biomasa:
10 hari 74,11b 1,19
b 54,25
a
20 hari 76,15ab
1,20ab
53,89ab
30 hari 77,39a 1,22
a 53,07
b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan biomasa CU, PL dan MP in situ secara nyata meningkatkan
simpanan C-organik dan ketiganya tidak berbeda nyata; dengan peningkatan
masing-masing berturut-turut sebesar 49,40% (86,70 t ha-1
), 49,38% (86,69 t ha-1
)
dan 42,99% (82,95 t ha-1
) dibanding tanpa LPT. Sementara pengelolaan biomasa
legum CP in situ hanya dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar
12,20% (65,11 t ha-1
) dibanding tanpa LPT (Tabel 5.14).
Perlakuan masa inkubasi biomasa 30 hari dan 20 hari sebelum tanam nyata
meningkatkan simpanan C-organik tanah lebih tinggi dan tidak berbeda nyata
dibanding dengan masa inkubasi biomasa 10 hari sebelum tanam (Tabel 5.14).
Pengelolaan biomasa LPT in situ secara nyata menurunkan bobot isi tanah
(bulk density). Jenis biomasa PL, MP dan CU secara nyata menurunkan bobot isi
96
tanah dengan penurunan rata-rata sebesar 10,85% (1,15-1,16 g cm-3
) dibanding
dengan perlakuan tanpa LPT, dan pengaruh ke tiga jenis LPT tersebut tidak
berbeda nyata. Sebaliknya pengelolaan biomasa CP in situ hanya dapat
menurunkan bobot isi tanah sebesar 2,33% dibanding tanpa LPT (Tabel 5.14).
Masa inkubasi biomasa secara tunggal juga menurunkan bobot isi tanah
(Tabel 5.16). Masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata
menurunkan bobot isi tanah (bulk density) dan keduanya tidak berbeda nyata,
sementara masa inkubasi 30 hari sebelum tanam terlihat masih menunjukkan
bobot isi tanah (bulk density) yang tinggi, yaitu sebesar 1,22 g cm-3
(Tabel 5.14).
Porositas tanah pada akhir percobaan juga dipengaruhi jenis biomasa LPT
yang dicoba. Jenis biomasa CU, MP dan PL yang dikembalikan pasca bera ke
lahan budidaya secara nyata meningkatkan porositas tanah sebesar 10,59-11,19%
dibanding dengan CP dan tanpa LPT (Tabel 5.16), tetapi secara statistik tidak
terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga jenis LPT tersebut. Sementara
pengelolaan biomasa CP hanya mampu meningkatkan porositas tanah sebesar
2,39% dibanding kontrol (Tabel 5.14).
Masa inkubasi biomasa LPT secara tunggal meningkatkan porositas tanah
secara nyata. Porositas tanah tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan masa inkubasi
10 hari sebelum tanam (54,25%) dan tidak berbeda nyata dengan 20 hari sebelum
tanam (53,89%), sedangkan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam
memperlihatkan porositas tanah yang masih rendah yaitu 153,07% (Tabel 5.14).
5.5.2 pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah
97
Pengelolaan biomasa LPT in situ pasca bera menunjukkan interaksi yang
tidak nyata (p>0,01) terhadap pH tanah, kadar C-organik dan bahan organik tanah
setelah panen jagung, namun secara faktor tunggal masing-masing faktor
memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap parameter tersebut
(Lampiran 27).
Pengelolaan biomasa LPT kecuali CP nyata meningkatkan pH tanah
setelah panen jagung. Diantara jenis PL, MP dan CU tidak terdapat perbedaan
pengaruh terhadap pH tanah, pH tanah yang dicapai pada ke tiga jenis LPT
tersebut adalah sebesar 6,82-6,90 lebih tinggi dan berbeda dengan perlakuan CP
dan kontrol (Tabel 5.15).
Tabel 5.15
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata
pH tanah (pH H2O), kadar C-organik tanah dan bahan organik tanah setelah
panen jagung
Perlakuan faktor tunggal pH tanah
(pH H2O 1:1)
C-organik
(%)
Bahan organik
tanah (%)
Jenis biomasa LPT:
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 6,55b 1,50
d 2,58
d
Biomasa CP 6,57b 1,72
c 2,96
c
Biomasa MP 6,82a 2,40
b 4,15
b
Biomasa CU 6,88a 2,48
ab 4,28
ab
Biomasa PL 6,90a 2,52
a 4,34
a
Masa inkubasi biomasa:
10 hari 6,77a 2,10
a 3,62
a
20 hari 6,75a 2,13
a 3,67
a
30 hari 6,72a 2,12
a 3,69
a
98
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Analisis terhadap kadar C-organik tanah memperlihatkan adanya
peningkatan kadar C-organik tanah. Pengelolaan biomasa PL dan CU
meningkatkan kadar C-organik tanah masing-masing sebesar 68% (2,52%) dan
65% (2,48% ) yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan jenis LPT lainnya.
Peningkatan kadar C-organik tersebut diikuti oleh Jenis MP (60%) dan jenis
legum CP hanya mampu menyumbangkan kadar C-organik sebesar 14,67% dari
petak kontrol (Tabel 5.15).
Penggunaan LPT nyata meningkatkan kadar bahan organik tanah pada
akhir percobaan. Peningkatan kadar bahan organik tanah tertinggi dicapai pada
pengelolaan biomasa PL dan CU yang secara nyata meningkatkan kadar bahan
organik tanah sebesar 69,53% dan 65,89% dibanding jenis biomasa lainnya dan
kontrol (Tabel 5.15).
Faktor tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang nyata terhadap parameter pH, kadar C-organik dan bahan organk
tanah, baik pada 10, 20 dan 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.15).
5.5.3 Kadar N total tanah
Hasil analisis ragam terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung
(akhir percobaan 4) memperlihatkan pengaruh interaksi yang sangat nyata
(p<0,01) antara jenis biomasa LPT dan masa inkubasi biomasa (Lampiran 28).
Rata-rata kadar N total tanah pada pengaruh interaksi antara jenis dan masa
inkubasi biomasa LPT pada akhir percobaan di sajikan pada Tabel 5.16.
99
Tabel 5.16
Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera
terhadap kadar N total tanah setelah panen jagung
Perlakuan jenis biomasa LPT
in situ
Perlakuan masa inkubasi biomasa
10 hari 20 hari 30 hari
...........kadar N total tanah (%)................
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 0,15e 0,15
e 0,13
e
Biomasa CP 0,18d 0,18
d 0,17
d
Biomasa MP 0,23bc
0,23bc 0,23
bc
Biomasa CU 0,24ab
0,24ab
0,21bc
Biomasa PL 0,26a 0,24
ab 0,21
bc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak
berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan biomasa legum PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari
sebelum tanam secara nyata meningkatkan kadar N total tanah sebesar 73% dan
60% lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan pengelolaan biomasa legum CU
10 hari dan 20 hari sebelum tanam dengan rata-rata peningkatan sebesar 60%
dibanding perlakuan interaksi lainnya (Tabel 5.16).
5.5.4 Kadar K tanah
Pengelolaan biomasa LPT dalam lahan budidaya paca bera menunjukkan
pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar K tanah setelah
panen jagung (akhir percobaan 4) (Lampiran 28).
Tabel 5.17
Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera
terhadap kadar K tanah setelah panen jagung
Perlakuan jenis biomasa LPT
in situ
Perlakuan masa inkubasi biomasa
10 hari 20 hari 30 hari
........... kadar K tanah (me 100 g-1
)...............
100
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 0,18f 0,23
e 0,21
ef
Biomasa CP 0,41d 0,44
d 0,42
d
Biomasa MP 0,66a 0,63
a 0,56
c
Biomasa CU 0,62ab
0,61ab
0,57bc
Biomasa PL 0,63a 0,62
ab 0,60
abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak
berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan bomassa MP, PL dan CU dengan masa inkubasi 10 hari dan
20 hari sebelum tanam nyata meningkatkan kadar K-dd tanah masing-masing
sebesar 266% - 238% lebih tinggi dibanding dengan perlakuan interaksi lainnya.
Kadar K-dd yang paling rendah ditunjukkan oleh biomasa CP pada semua masa
inkubasi (Tabel 5.17).
5.5.5 Kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah
Hasil pengamatan terhadap kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah
panen menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis biomasa LPT in situ dan
masa inkubasi. Namun masing-masing faktor tunggal yaitu, jenis biomasa LPT in
situ dan masa inkubasi memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01)
terhadap kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah (Lampiran 29).
Peningkatan P-tersedia tanah juga ditunjukkan oleh jenis CU dan MP
yang keduanya tidak berbeda nyata, dengan peningkatan P-tersedia berturut-turut
sebesar 64,45% dan 55,09%. Perlakuan tunggal masa inkubasi biomasa LPT
menunjukkan 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dapat meningkatkan kadar P-
tersedia tanah pada akhir percobaan (Tabel 5.18).
Tabel 5.18
101
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata
Kadar P-tersedia, Ca dan Mg tanah setelah panen jagung
Perlakuan faktor tunggal Kadar P-tersedia
tanah (mg kg-1
)
Ca tanah
(me 100 g-1
)
Mg tanah
(me 100 g-1
)
Jenis biomasa LPT:
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 4,81d 16,83
d 1,60
c
Biomasa CP 6,45c 18,39
cd 1,82
c
Biomasa MP 7,46b 19,22
c 2,19
a
Biomasa CU 7,91b 21,24
b 1,88
ab
Biomasa PL 9,28a 23,31
a 1,87
ab
Masa inkubasi biomasa:
10 hari 7,56a 19,25
a 1,92
a
20 hari 7,18ab
20,25a 1,88
a
30 hari 6,79b 19,9
a 1,82
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Kadar Ca tanah tertinggi ditunjukkan oleh jenis biomasa PL yang dapat
meningkatkan kadar Ca sebesar 26,62% dibanding jenis biomasa CU, MP dan PL
serta kontrol. Sementara perlakuan tunggal masa inkubasi biomasa menunjukkan
kadar Ca yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.18).
Kadar Mg tanah pada akhir percobaan, menunjukkan bahwa jenis biomasa
MP, CU dan PL memberikan kadar Mg tanah yang lebih tinggi dan berbeda nyata
dengan perlakuan jenis CP dan kontrol. Perlakuan tunggal masa inkubasi
biomasa menunjukkan bahwa masa inkubasi biomasa 10 hari, 20 hari dan 30 hari
sebelum tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar Mg tanah (
Tabel 5.18).
5.5.6 Kapasitas tukar kation (KTK) tanah
102
Penggunaan jenis LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa in
situ menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat nyata (p<0,01) terhadap KTK
tanah setelah panen jagung (Lampiran 29). Hasil analisis pada Tabel 5.19,
menunjukkan terjadi peningkatan KTK tanah setelah panen jagung (akhir
percobaan 4) akibat dari pengelolaan berbagai jenis biomasa LPT in situ dengan
masa inkubasi biomasa yang berbeda.
Pengelolaan biomasa CU dan PL in situ dengan masa inkubasi 30, 20 dan
10 hari secara nyata meningkatkan KTK tanah pada akhir percobaan, yaitu terjadi
peningkatan KTK tanah antara 27,31-29,64% (46,48-42,40 me 100 g-1
) lebih
tinggi dibanding perlakuan interaksi lainnya (Tabel 5.19).
Tabel 5.19
Pengaruh interaksi antara jenis dan masa inkubasi biomasa LPT pasca bera
terhadap KTK tanah setelah panen jagung
Perlakuan jenis biomasa LPT
in situ
Perlakuan masa inkubasi biomasa
10 hari 20 hari 30 hari
...........KTK tanah (me 100 g-1
)...............
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 36,51d 36,37
d 36,20
d
Biomasa CP 41,66b 41,87
b 41,50
b
Biomasa MP 40,16c 42,29
b 42,40
b
Biomasa CU 46,48a 46,88
a 46,93
a
Biomasa PL 46,01a 46,07
a 45,30
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak
berganda Duncan taraf 5%
5.5.7 Total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah
Hasil pengamatan terhadap total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah
setelah panen jagung, menunjukkan tidak terjadi interaksi antara jenis biomasa
103
LPT in situ dan masa inkubasi. Namun masing-masing faktor tunggal yaitu, jenis
biomasa LPT in situ dan masa inkubasi memberikan pengaruh yang sangat nyata
(p<0,01) terhadap total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah (Lampiran 30).
Hasil analisis terhadap total koloni mikroba tanah pada akhir percobaan
menunjukkan pengelolaan biomasa LPT jenis PL secara nyata meningkatkan total
koloni mikroba tanah sebesar 49,33x10-5
cfu lebih tinggi dan berbeda nyata
dengan jenis LPT lainnya. Perlakuan pengelolaan biomasa CU dan MP, juga
memperlihatkan total koloni mikroba yang tinggi dan tidak berbeda nyata, yaitu
masing-masing sebesar 37x10-5
cfu dan 31x10-5
cfu (Tabel 5.20).
Tabel 5.20
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata
total koloni mikroba tanah dan respirasi tanah setelah panen jagung
Perlakuan faktor tunggal Total koloni mikroba
tanah (cfu)
Respirasi tanah
(mg CO2 g-1
hari-1
)
Jenis biomasa LPT:
Tanpa biomasa LPT (kontrol) 8,00x10-5 d
1,30c
Biomasa CP 17,67 x10-5
c 2,64
b
Biomasa MP 31,00 x10-5
b 3,19
ab
Biomasa CU 37,00 x10-5
b 3,63
a
Biomasa PL 49,33 x10-5
a 3,66
a
Masa inkubasi biomasa:
10 hari 30,80 x10-5
a 3,03
a
20 hari 28,67 x10-5
ab
2,88ab
30 hari 26,53 x10-5
b 2,74
b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
104
Perlakuan masa inkubasi biomasa juga secara nyata meningkatkan total
koloni mikroba tanah. Perlakuan masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari
sebelum tanah menunjukkan total koloni mikroba tanah yang lebih tinggi
dibanding dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel 5.20).
Respirasi tanah menggambarkan tingkat aktivitas total mikroorganisme
tanah. Hasil pengukuran terhadap respirasi tanah pada akhir percobaan
menunjukkan tingkat respirasi tanah tertinggi ditunjukkan oleh pengelolaan
biomasa PL, CU dan MP yang secara nyata meningkatkan respirasi tanah masing-
masing sebesar 181% (3,66 mg CO2 g-1
hari-1
), 179% (3,63 mg CO2 g-1
hari-1
) dan
145% (3,19 mg CO2 g-1
hari-1
) lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding jenis CP
dan kontrol. Tingkat respirasi tanah yang paling rendah ditunjukkan oleh
pengelolaan biomasa CP in situ dengan tingkat respirasi tanah sebesar 2,64 mg
CO2 g-1
hari-1
dan tanpa LPT sebesar 1,30 mg CO2 g-1
hari-1
(Tabel 5.20).
Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan
tingkat respirasi sebesar (3,03 mg CO2 g-1
hari-1
dan 2,88 mg CO2 g-1
hari-1
) yang
lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan perlakuan masa inkubasi 30 hari
sebelum tanam (Tabel 5.20).
5.5.8 Komponen hasil jagung
Hasil percobaan di lapang menunjukkan pengelolaan biomasa LPT in situ
pasca pemberaan tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata (p<0,01)
terhadap komponen hasil jagung yang ditunjukkan oleh panjang tongkol (cm),
diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1
(g), bobot 100 biji (g). Namun masing-
masing faktor tunggal dapat meningkatkan secara nyata (p<0,01) terhadap
105
variabel tersebut (Lampiran 31). Rata-rata rata-rata panjang tongkol, diameter
tongkol, bobot biji tongkol-1
, bobot 100 biji disajikan pada Tabel 5.21.
Secara umum pengelolaan jenis biomasa LPT in situ pasca bera
meningkatkan komponen hasil jagung dibanding perlakuan kontrol (tanpa LPT).
Tongkol jagung yang paling panjang ditunjukkan pada perlakuan pengelolaan
biomasa jenis PL, CU dan MP dan berbeda dengan jenis CP dan kontrol (Tabel
5.21).
Masa inkubasi biomasa, juga memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap panjang tongkol jagung. Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari
sebelum tanam memberikan panjang tongkol (masing-masing 15,39 cm, 15,25
cm) lebih panjang dan berbeda nyata dengan masa inkubasi biomasa 30 hari
sebelum tanam (Tabel 5.21).
Tabel 5.21
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap rata-rata
panjang tongkol, diameter tongkol, bobot biji tongkol-1
, bobot 100 biji
Perlakuan Faktor Tunggal
Panjang
tongkol
(cm)
Diameter
tongkol
(cm)
Bobot
biji tongkol-1
(g)
Bobot
100 biji
(g)
Jenis biomasa LPT:
Tanpa LPT (kontrol) 11,26d 3,94
d 92,50
d 23,32
d
Biomasa CP 13,30c 4,64
c 106,70
c 25,17
c
Biomasa MP 15,79a 4,98
b 117,32
b 26,64
b
Biomasa CU 17,20a 5,32
a 134,11
a 28,95
a
Biomasa PL 17,21a 5,31
a 133,44
a 29,00
a
Masa inkubasi biomasa:
10 hari 15,39a 5,05
a 119,87
a 27,11
a
20 hari 15,25a 5,03
a 121,84
a 27,06
a
30 hari 14,23b 4,44
b 108,74
b 25,68
b
106
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Diameter tongkol jagung, bobot 100 biji dan bobot biji tongkol-1
yang
paling tinggi dalam percobaan ini ditunjukkan oleh perlakuan pengelolaan
biomasa CU dan PL in situ dibanding dengan jenis bimassa MP, CP dan kontrol.
Pengelolaan biomasa CU dan PL dapat meningkatkan diameter tongkol masing-
masing sebesar 35,02% dan 34,77%, bobot 100 biji sebesar 44,98% dan 44.25%,
serta bobot biji tongol-1
sebesar 24,14% dan 24,35% lebih tinggi dan berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 5.21).
Masa inkubasi biomasa 10 hari dan 20 hari sebelum tanam menunjukkan
diameter tongkol, bobot 100 biji dan bobot biji tongkol-1
yang lebih tinggi dan
berbeda nyata dibanding masa inkubasi biomasa 30 hari sebelum tanam. (Tabel
5.21).
5.5.9 Hasil jagung pipilan kering k.a. 15% dan bobot kering tanaman jagung
Hasil jagung pada percobaan ini dinyatakan sebagai bobot biji pipilan
kering per satuan luas. Hasil analisis ragam menunjukan tidak terjadi pengaruh
interaksi, namun terhadap faktor tunggal yang diuji menunjukkan penggunaan
jenis LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasa LPT in situ
berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap bobot biji jagung pipilan kering dan
bobot kering tanaman untuk faktor tunggal, sedangkan faktor interaksi tidak
berpengaruh nyata (Lampiran 32).
Bobot biji jagung pipilan kering k.a. 15% tertinggi ditunjukkan oleh
perlakuan pengelolaan biomasa PL dan CU in situ yang nyata lebih tinggi
107
meningkatkan hasil sebesar 88,17% (7,00 t ha-1
) dan 86,29% (6,93 t ha-1
)
dibanding hasil jagung pada lahan yang mendapat perlakuan pengelolaan biomasa
jenis MP dan CP dan kontrol. Sementara faktor tunggal masa inkubasi biomasa
yang diperlakukan sebelum tanam juga memberikan pengaruh yang nyata
terhadap hasil sebesar 6,15 t ha-1
untuk 10 hari sebelum tanam dan 20 hari
sebelum tanam 6,05 t ha-1
dibanding masa inkubasi 30 hari sebelum tanam yang
memberikan hasil jagung sebesar 5,10 t ha-1
(Tabel 5.22).
Tabel 5.22
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot biji
jagung pipilan kering k.a 15% dan bobot kering tanaman jagung
Perlakuan Faktor Tunggal
Bobot biji jagung
pipilan kering k.a.
15% (t ha-1
)
Bobot kering tanaman
(t ha-1
)
Jenis biomasa LPT:
Tanpa LPT (kontrol) 3,72d 8,34
b
Biomasa CP 5,25c 10,2
b
Biomasa MP 5,94b 12,95
a
Biomasa CU 6,93a 13,76
a
Biomasa PL 7,00a 13,83
a
Masa inkubasi biomasa:
10 hari 6,15a 12,14
ab
20 hari 6,05a 12,30
a
30 hari 5,10b 11,01
b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Bobot kering tanaman jagung yang diamati pada percobaan ini
memperlihatkan respon yang berbeda. Bobot kering tanaman jagung tertinggi
ditunjukkan pada perlakuan pengelolaan biomasa jenis PL, CU dan MP (dengan
108
bobot masing-masing sebesar 13,83 t ha-1
, 13,76 t ha-1
dan 12,95 t ha-1
) nyata
lebih tinggi dengan bobot kering tanaman jagung yang dicapai oleh jenis legum
CP dan perlakuan kontrol (tanpa LPT). Faktor tunggal masa inkubasi biomasa
menunjukkan perlakuan masa inkubasi 20 hari dan 10 hari sebelum tanam dapat
meningkatkan bobot kering tanaman jagung (12,30 t ha-1
dan 12,14 t ha-1
) yang
nyata lebih tinggi dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam (Tabel
5.22)
5.5.10 Bobot kering gulma
Pengelolaan tanaman LPT sebagai tanaman bera dalam sistem budidaya di
lahan kering secara nyata dapat menekan pertumbuhan gulma selama pertanaman
jagung. Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi, namun
terhadap faktor tunggal yang diuji menunjukkan adanya pengaruh yang sangat
nyata (p<0,01) pada 20 hst dan pengaruh yang nyata (p<0,05) pada 40 hst
terhadap bobot kering gulma (Lampiran 33)
Tabel 5.23
Pengaruh faktor tunggal pengelolaan biomasa LPT pasca bera terhadap bobot
kering gulma
Perlakuan Faktor Tunggal Bobot kering gulma (g m
-2)
20 hst 40 hst
Jenis biomasa LPT:
Tanpa LPT (kontrol) 130,15a 59,88
a
Biomasa CP 119,99a 38,89
b
Biomasa MP 88,50b 24,76
c
Biomasa CU 95,57b 26,90
bc
Biomasa PL 89,90b 26,03
c
Masa inkubasi:
10 hari 98,72b 30,83
a
109
20 hari 104,67ab
36,43a
30 hari 110,48a 38,62
a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama adalah
tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan taraf 5%
Pengelolaan biomasa MP, PL dan CU secara nyata mampu menekan
pertumbuhan gulma baik pada pengamatan 20 hst maupun pada 40 hst dibanding
perlakuan CP dan kontrol (tanpa LPT). Pengelolaan ketiga jenis LPT tersebut
tidak berbeda nyata dan dapat menekan bobot kering gulma pada 20 hst berturut-
turut sebesar 32%), 30,92% dan 26,87%) dibanding dengan CP dan kontrol (Tabel
5.25). Sementara pada pengamatan 40 hst ketiga jenis LPT yang sama masih
memberikan pengaruh terhadap penurunan bobot kering gulma, yaitu berturut-
turut sebesar 58,65%, 56,52 dan 55,07% dibanding dengan jenis CP dan kontrol
(Tabel 5.23).
Perlakuan faktor tunggal masa inkubasi biomasa juga memperlihatkan
bobot kering gulma yang berbeda. Bobot kering gulma terendah pada 20 hst
ditunjukkan pada masa inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam dan berbeda
nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam. Pada pengamatan ke-40 hst
masa inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap bobot kering
gulma (Tabel 5.23).
5.6 Hubungan antara Simpanan C-Organik dengan Kualitas Tanah dan
Hasil Jagung di Lahan Kering
Hasil percobaan secara umum menunjukkan bahwa penggunaan LPT
sebagai tanaman bera dalam sistem pertanian di lahan kering berpengaruh
terhadap perubahan simpanan C-organik tanah. Perubahan simpanan C-organik
110
ini berhubungan dengan hasil proses dekomposisi biomasa LPT yang secara nyata
mempengaruhi kualitas tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah serta hasil
jagung.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata
(p<0,01) antara simpanan C-organik tanah dengan kualitas tanah yang
ditunjukkan oleh (kadar air tanah, bobot isi tanah, porositas tanah, C-organik,
kadar N total, P-tersedia, Ca, Mg, KTK, total koloni mikroorganisme dan respirasi
tanah. Selanjutnya setelah dilakukan uji regresi untuk melihat kekuatan hubungan
ternyata dari semua variabel kualitas tanah yang diuji, hanya variabel bobot isi
tanah, porositas, pH, C-organik, N tanah dan K tanah yang mempunyai keeratan
hubungan dengan simpanan C-organik tanah (Lampiran 34)
Hubungan antara hasil jagung dengan simpanan C-organik tanah dan
kualitas tanah, juga telah dianalisis melalui uji korelasi dan regresi. Hasil uji
korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata (p<0,01) antara hasil
jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1
) dengan simpanan C-organik dan kualitas
tanah. Selanjutnya hasil uji regresi antara hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t
ha-1
) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah, menunjukkan dari 14
variabel yang diuji terdapat 9 variabel yang memiliki keeratan hubungan dengan
hasil jagung, yaitu: simpanan C, bobot isi tanah, porositas tanah, pH tanah, C-
organik, kadar N, P-tersedia, KTK tanah dan respirasi tanah, dengan nilai
koefisien determinasi, R2 sebesar 0,9402. Sedangkan variabel lainnya (bahan
organik, K, Ca, Mg, total koloni mikrooragisme tidak mempunyai keeratan
hubungan dengan hasil jagung (Lampiran 35).
111
VI PEMBAHASAN
Pembahasan terhadap hasil penelitian disertasi ini dibagi dalam tiga
kelompok bahasan berdasarkan kaitan masing-masing hasil penelitian dari
percobaan-percobaan yang telah dilakukan. Kelompok bahasan tersebut meliputi:
(i) Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa legum penutup tanah; (ii)
Kontribusi legum penutup tanah terhadap simpanan C-organik dan kualitas tanah
di lahan kering; dan (iii) Pengelolaan biomasa legum penutup tanah terhadap
sinkronisasi hara dan hasil jagung di lahan kering, serta pada bagian akhir
pembahasan, akan diberikan suatu model bagaimana pengelolaan lahan kering di
masa datang. Uraian pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut adalah
sebagai berikut:
6.1 Laju Dekomposisi dan Mineralisasi Biomasa LPT
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju dekomposisi dan pelepasan hara
(mineralisasi) biomasa legum penutup tanah (LPT) berbeda antara jenis biomasa
dan metode aplikasi. Nilai konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT tertinggi
terjadi pada biomasa CU yang diaplikasikan dengan cara pembenaman litter bag,
diikuti oleh biomasa PL dan jenis MP. Nilai konstanta laju dekomposisi (k)
112
terendah ditemukan pada jenis CP (Gambar 5.2). Sampai hari ke-40 (akhir masa
dekomposisi), nilai konstanta laju dekomposisi biomasa CU, menunjukkan nilai
tertinggi, yaitu sebesar 0,27 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,34 g hari-1
atau 0,26 g tahun-1
), diikuti oleh biomasa PL dengan nilai konstanta mencapai
0,24 (atau laju dekomposisi per waktu sebesar 2,28 g hari-1
atau 0,25 g tahun-1
).
Sementara jenis MP yang dibenamkan juga mempelihatkan konstanta laju
dekomposisi sebesar 0,20 (laju dekomposisi per waktu sebesar 2,04 g hari-1
atau
0,22 g tahun-1
). Berbeda dengan biomassa CP yang dibenam memperlihatkan
konstanta laju dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,15 (laju dekomposisi per
waktu sebesar 1,53 g hari-1
atau 0,17 g tahun-1
) (Gambar 5.2).
Nilai k yang tinggi menunjukkan laju dekomposisi yang berlangsung cepat
dibanding dengan bahan organik yang memiliki nilai k yang rendah. Nilai laju
dekomposisi tahunan dari hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Sulistiyanto et al., (2005) yang dilakukan pada species mixed litter di hutan
Kalimantan memperoleh nilai k sebesar 0,28 - 0,39 g tahun-1
yang relatif sama
dari hasil penelitian ini. Sementara hasil penelitian De Costa dan Atapattu (2001)
yang dilakukan di Sri Lanka pada species Calliandra callothyrsus didapatkan
nilai laju dekomposisi sebesar 0,65 g tahun-1
dan pada Plemingia macrophylla
(0,74 g tahun-1
), nilai laju dekomposisi ini relatif lebih tinggi dari pada nilai yang
diperoleh pada penelitian ini.
Kecepatan pelepasan hara meningkat dengan makin meningkatnya laju
dekomposisi (k), artinya semakin tinggi nilai laju dekomposisi (k), maka hara
yang dirilis/dilepaskan (termineralisasi) akan semakin banyak. Hasil penelitian
113
ini menunjukkan pola pelepasan C, N, P, K dan Ca selama masa dekomposisi
(Tabel 5.3) berbeda secara nyata antara species biomasa baik pada cara aplikasi
litter bag dengan cara pembenaman maupun biomasa yang ditempatkan di atas
tanah.
Mineralisasi (pelepasan hara) dari biomasa LPT asal CU dan PL yang
diaplikasikan dengan cara pembenaman berlangsung cepat, yaitu waktu paruh (t50)
sudah tercapai pada hari ke-20 dibanding dengan biomasa asal MP dan CP yang
waktu paruh (t50) baru tercapai setelah 30 hari (Tabel 5.3). Waktu paruh (t50)
berarti sudah 50% hara yang dilepaskan ke dalam tanah dari konsentrasi awal saat
aplikasi. Waktu paruh (t50) bervariasi untuk berbagai jenis tanaman, termasuk
bagian tanaman dan ditentukan oleh komposisi kimia biomasa tanaman. Serasah
tanaman yang barasal dari golongan legum waktu paruh (t50) tercapai sekitar 2-4
minggu setelah aplikasi (Hairiah dan Murdiyarso, 2007).
Meningkatnya nilai konstanta laju dekomposisi (k) dan pelepasan hara
pada kedua jenis biomasa (CU dan PL) yang berlangsung cepat dikarenakan
kualitas bahan organik ini termasuk kategori tinggi, yaitu mempunyai kandungan
N relatif tinggi, dan memliki konsentrasi lignin, polifenol dan nisbah C/N yang
rendah, di bawah nilai kritis dibanding dengan biomasa MP dan CP. Menurut
Palm et al. (2001) kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang
berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5% dan nisbah C/N
rendah (<20), sehingga mudah dirombak oleh mikroba dalam tanah. Selain itu,
kandungan lignin dan polifenol pada kedua jenis LPT juga lebih rendah dan
berada di bawah nilai kritis yaitu < 15% untuk liginin dan polifenol < 4%
114
sehingga berpengaruh terhadap kecepatan/laju dekomposisi (Handayanto et al.,
1997; Rachman et al., 2006).
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa laju dekomposisi biomasa LPT
dan pelepasan hara pada percobaan ini sangat ditentukan oleh kualitas sifat kimia
biomasa LPT. Parameter kualitas sifat kimia biomasa yang paling baik untuk
menjelaskan konstanta laju dekomposisi (k) dari biomasa LPT adalah: (i) kadar N
total, (ii) nisbah C/N, dan (iii) kadar polifenol dari biomasa LPT (Tabel 5.1),
dengan persamaan regresi: Yk = 0,055 + 0,034N + 0,003C/N – 0,005Polifenol
(R2:0,98). Persamaan regresi ini memberikan gambaran bahwa 98% konstanta
laju dekomposisi (k) ditentukan oleh tiga variabel yaitu kadar N, nisbah C/N dan
kadar polifenol yang terkandung dalam biomasa LPT.
Hasil analisis regresi stepwise untuk melihat konstribusi ke tiga variabel di
atas terhadap konstanta laju dekomposisi menunjukkan bahwa nilai koefisien
determinasi (R2), masing-masing adalah kadar N (0,9792), nisbah C/N (0,9772)
dan kadar polifenol (0,9687).
Hasil analisis regresi stepwise tersebut membuktikan bahwa kadar N
biomassa LPT memberikan kontribusi yang besar yaitu 97,92% terhadap
konstanta laju dekomposisi dan pelepasan hara dari biomasa LPT. Kadar N dalam
bahan organik merupakan titik kritis yang menentukan terjadinya dekomposisi
dan mineralisasi serta imobilisasi. Menurut Palm et al. (1997) bahan organik
yang kadar N >2,5% akan mendorong terjadinya mineralisasi yang lebih cepat
selama proses dekomposisi, sebaliknya bahan organik yang kadar N <2,5% akan
115
mendorong terjadinya proses imobilisasi selama proses dekomposisi. Nitrogen
merupakan unsur penting sebagai pembentuk protein.
Selain kadar N, hasil analisis regresi stepwise juga menunjukkan bahwa
nisbah C/N memberikan pengaruh yang nyata, yaitu sebesar 97,72% terhadap
kecepatan dekomposisi dan pelepasan hara. Nisbah C/N umumnya dinyatakan
sebagai faktor kimia penting yang menentukan kecepatan dekomposisi dan
mineralisasi hara N. Hal ini sesuai dengan pendapat Cuevas dan Logu (1998);
Peradeniya (2000), yang menyatakan bahwa nisbah C/N awal dari bahan organik
akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Nisbah C/N menentukan kecepatan
dekomposisi, karena senyawa karbon dan nitrogen penting bagi mikroba selama
proses dekomposisi berlangsung. Karbon diperlukan oleh mikroba sebagai sumber
energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan organik dari
serasah tanaman (biomasa tanaman) yang mempunyai nisbah C/N tinggi lebih
lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi berarti N
dalam bahan organik (serasah) sangat kecil sehingga N yang ada akan
dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan
organik yang memiliki nisbah C/N yang rendah umumnya akan lebih cepat
mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk pada minggu kedua sampai
minggu ke empat (Hairiah dan Murdiyarso, 2007).
Faktor lain yang juga mempunyai hubungan yang erat dengan laju
dekomposisi biomasa LPT dan pelepasan hara adalah kadar polifenol, dengan
nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9687. Tingginya nilai koefisien
determinasi sebesar 96,87%, membuktikan bahwa kadar polifenol memberikan
116
pengaruh yang besar terhadap laju dekomposisi biomasa LPT. Makin tinggi
kandungan polifenol proses dekomposisi akan makin lambat dan akhirnya makin
besar jumlah hara yang ditahan dalam residu selama proses dekomposisi
berlangsung sehingga makin sedikit hara yang dilepaskan. Hasil penelitian ini
sejalan dengan pendapat Palm dan Sanchez (1991) yang mengemukakan bahwa
polifenol merupakan parameter penting yang dapat dipergunakan dalam
pendugaan kecepatan dekomposisi dari pangkasan pohon legum daerah tropik.
Polifenol adalah senyawa yang larut dalam air dan mampu membentuk
kompleks dengan protein. Oleh karena itu peranan polifenol dalam proses
dekomposisi mungkin tidak ditentukan oleh jumlah total polifenol, tetapi mungkin
lebih ditentukan oleh kemampuan polifenol dalam mengikat protein. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa polifenol dalam mempengaruhi laju dekomposisi dan
mineralisasi ditentukan oleh pengaruh reaksi enzimatik dalam mengikat protein.
Penghambatan ini terjadi karena adanya pembentukan komplek polifenol-protein
di mana polifenol berperan sebagai pelindung protein dari serangan enzim itu
sendiri. Makin tinggi kandungan polifenol dalam biomasa menyebabkan makin
tinggi pula kemampuan mengikat protein dan akhirnya akan menghambat
pelepasan N ke dalam tanah. Akibatnya jumlah N yang dilepas ke dalam tanah
semakin sedikit.
Kandungan lignin dan polifenol yang tinggi dalam bahan organik akan
menghambat proses mineralisasi karena lignin dan polifenol dapat mengikat
protein sehingga menentukan mudah tidaknya bahan organik diuraikan oleh
mikroba tanah (Stevenson, 1994; Handayanto et al., 1997). Lebih lanjut, Torreta
117
dan Takeda (1999); De Costa dan Atapattu (2001) melaporkan bahwa degradasi
biomasa sudah umum terjadi pada 2-4 minggu pertama, karena proses fisika dan
biologi terjadi lebih cepat pada tingkatan ini dan kebanyakan kehilangan berat ini
berasal dari fraksi yang mudah larut dibanding fraksi lignocellulose (Andren dan
Paustian, 1987). Bahan yang mudah larut pada serasah/biomasa tanaman
kebanyakan mempunyai susunan organik yang sederhana termasuk didalamnya
glukosa, phenolic dan asam amino (Suberkropp et al., 1976). Sementara fraksi
yang sukar larut (lignocellulosa) umumnya terdiri atas lignin, cellulose dan xylam
(Andren dan Paustian, 1987).
Selain komposisi sifat kimia biomasa LPT, faktor lingkungan terutama
suhu dan kelembaban tanah juga ikut mempengaruhi cepat lambatnya tingkat
penghancuran dan laju dekomposisi biomasa serta pelepasan hara. Suhu tanah
pada panelitian ini berbeda, yaitu pada aplikasi diatas tanah diperoleh suhu tanah
permukaan (0-5cm) sebesar 34,92oC dan untuk metode pembenaman diperoleh
suhu tanah (pada kedalaman 15-20 cm) rata-rata sebesar 27,68oC dan kelembaban
tanah rata-rata sebesar 55oC. Melalui pembenaman kadar air biomasa akan lebih
tinggi karena adanya perbedaan konsentrasi dimana uap air dalam tanah akan
diserap oleh biomasa LPT dalam litter bag sehingga meningkatkan kadar air
dalam biomasa. Meningkatnya kadar air biomasa dalam litter bag maka
temperatur (27,68oC ) dan kelembaban tanah (55%) tetap terpelihara dan relatif
lebih stabil (variasi harian) sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah
dalam proses dekomposisi dan mineralisasi.
118
Faktor lainnya yang berperan penting dalam laju dekomposisi dan
pelepasan hara adalah mikroba tanah. Hasil percobaan ini menunjukkan cara
pembenaman nyata meningkatkan total koloni mikroba tanah lebih besar 22x106
cfu dibanding yang diaplikasikan di atas permukaan tanah yang hanya mencapai
17x104 cfu (Tabel 5.4). Peningkatan total koloni mikroba tanah ini berdampak
positip pada laju dekomposisi dan pelepasan hara (mineralisasi). Kondisi ini
berbeda dengan biomasa yang ditempatkan di atas permukaan tanah, penurunan
berat dan laju dekomposisi berjalan lebih lambat karena fluktuasi temperatur dan
kelembaban tanah relatif tinggi sehingga menghambat aktivitas mikroba
pendekomposisi. Aktivitas hewan tanah tidak dimonitor dalam penelitian ini tetapi
terlihat dari pengamatan visual di lapangan cara pembenaman dapat meningkatkan
aktivitas fauna tanah karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik.
Kondisi lingkungan yang optimum ini akan dapat meningkatkan aktivitas
mikroba perombak dalam menguraikan bahan organik. Menurut Sutedjo et al.
(1991), kondisi lingkungan yang optimum adalah: pH netral antara 5,5-7,5), suhu
tanah optimum berkisar 20-28oC dan kelembaban tanah antara 50-60%. Faktor
lingkungan ini menjadi penentu bagi organisme tanah dalam melakukan aktivitas
biologisnya di dalam tanah.
Dekomposisi biomasa LPT pada dasarnya akan menghasilkan perubahan
kondisi di dalam tanah di bawah pengaruh faktor biotik dan abiotik. Dekomposisi
LPT merupakan aspek penting dalam upaya menjaga kestabilan ekosistem lahan,
termasuk di dalamnya siklus nutrisi yang menentukan tingkat daur-ulang nutrisi
119
menjadi hara tersedia bagi tanaman. Hal ini menjadi aspek penting dalam upaya
pengelolaan lahan budidaya pertanian lahan kering secara berkelanjutan.
Namun demikian seringkali laju mineralisasi atau pelepasan hara selama
proses dekomposisi melebihi kebutuhan tanaman pada awal pertumbuhannya,
sehingga sebagian hara yang tidak diserap oleh tanaman akan mudah hilang oleh
pencucian atau pengupanan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengetahuan
tentang pengelolaan biomasa LPT sebagai sumber C-organik dalam hal ini tentang
kualitas sifat kimia biomasa LPT dan laju dekomposisi, menjadi sangat penting
agar didapatkan hasil yang baik.
6.2 Kontribusi LPT terhadap Simpanan C-Organik dan Kualitas Tanah di
Lahan Kering
Karbon organik tanah (C-organik tanah) merupakan salah satu komponen
penyusun tanah yang penting dalam ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber
(source) dan pengikat/penyerap (sink) serta sebagai substrat bagi mikroba tanah.
Hasil percobaan secara umum, menunjukkan bahwa penggunaan LPT sebagai
tanaman bera dan pengelolaan biomasa pasca bera berkontribusi secara nyata
terhadap peningkatan simpanan C-organik dan kualitas tanah di lahan kering
(percobaan 3 dan 4).
Hasil analisis terhadap simpanan C-organik tanah pada akhir percobaan 4,
menunjukkan bahwa penanaman dan pengelolaan biomasa LPT jenis PL, CU dan
MP secara nyata mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah. Hasil analisis,
menunjukkan LPT jenis PL meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar
53,05% (86,69 t ha-1
), diikuti CU sebesar 53,07% (86,70 t ha-1
) dan legum PL
120
sebesar 46,45% (82,95 t ha-1
) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan jenis CP
yang hanya mampu meningkatkan simpanan C-organik tanah sebesar 15,95%
(65,11 t ha-1
) dari kontrol (Tabel 5.14). Penggunaan LPT juga nyata meningkatkan
kadar C-organik dan bahan organik tanah (Tabel 5.14).
Meningkatnya simpanan C-organik, kadar C-organik dan bahan organik
tanah yang disumbangkan oleh PL, CU dan MP pada percobaan ini, disebabkan
oleh adanya penutupan permukaan tanah selama masa bera (5 bulan) oleh
fitomasa tanaman LPT yang memiliki kualitas yang tinggi serta tingginya
produksi biomasa (b.k. 10,22-11,99 t ha-1
) dan serapan C oleh LPT yang lebih
tinggi dibanding dengan jenis CP (Tabel 5.9). Selain itu, ketiga jenis LPT ini
mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi yang kering serta memiliki
pertumbuhan yang cepat yang ditunjukkan oleh prosentase penutupun lahan yang
tinggi (Tabel 5.7).
Melalui pengembalian biomasa LPT akan terjadi proses pelapukan
sehingga akan meningkatkan simpanan C-organik tanah. Peningkatan simpanan
C-organik di dalam tanah mencerminkan jumlah C yang diserap tanaman LPT
dari udara telah masuk dan terdekomposisi di dalam tanah melalui biomasa
tanaman in situ yang dikembalikan, akar tanaman dan biota dalam tanah.
Menurut Colins et al. (1992); Hikmat (2005); Ruddiman (2007) menyatakan
bahwa separuh dari jumlah karbon dioksida (CO2) yang diserap tanaman dari
udara bebas tersebut masuk ke dalam tanah melalui pengembalian residu tanaman
(serasah), akar tanaman yang mati, dan organisme tanah lainnya dan mengalami
dekomposisi sehingga terakumulasi dalam lapisan tanah.
121
Kenyataan tersebut memberikan petunjuk bahwa penggunaan LPT selama
masa bera dan pengelolaan biomasanya memberikan kontribusi positip terhadap
peningkatan produktivitas lahan kering. Meskipun di lahan kering kesuburannya
rendah, tetapi tanah ini lebih cepat respon dengan baik bila dilakukan pengelolaan
yang baik, misalnya dengan pengembalian sebagian residu tanaman ke dalam
tanah.
Selain simpanan C-organik tanah, pengamatan terhadap kualitas tanah
pada percobaan 3 dan 4 juga telah dilakukan untuk melihat respon penggunaan
LPT dalam lahan budidaya tanaman jagung. Hasil analisis sifat fisik, kimia dan
biologi tanah pada penelitian ini (percobaan 3 dan 4), menunjukkan adanya
kontribusi yang nyata yang diberikan oleh LPT yang ditanam selama masa bera
terhadap perubahan kualitas tanah. Tingginya C-organik yang disumbangkan juga
mempengaruhi kualitas tanah (Stevenson, 1994). C-organik memegang peranan
penting sebagai sumber (source) dan penyerap (sink) hara serta sebagai substrat
bagi mikroba tanah, juga sebagai pembenah tanah (Lal et al., 2001; Kimble et al.,
2002; Rachman et al., 2006; Tornquist et al., 2009).
Manfaat dari bahan organik (C-organik tanah), selain sebagai sumber hara
juga dapat bermanfaat sebagai pembenah tanah telah banyak dibuktikan. Hasil
rangkuman dari berbagai penelitian dapat disimpulkan pembenah tanah dalam
bentuk polimer organik mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam
memperbaiki sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah
(Rachman et al., 2006).
122
Pengamatan sifat fisik tanah sebagai respon dari penggunaan LPT, yang
meliputi kadar air, suhu, bobot isi (bulk density) dan porositas tanah
menunjukkan bahwa pengunaan LPT jenis MP, CU dan PL selama masa bera dan
pengelolaan biomasa in situ mampu meningkatkan secara nyata kadar air tanah
(Gambar 5.5), menurunkan suhu tanah (Gambar 5.6) serta menurunkan bobot isi
tanah dan meningkatkan porositas tanah (Tabel 5.8) lebih baik dibandingkan
dengan legum CP dan tanpa legum penutup tanah (kontrol).
Perbedaan kontribusi terhadap perbaikan sifat fisik tanah ini, dipengaruhi
oleh jumlah bahan organik yang disumbangkan oleh LPT yang diintroduksi dalam
lahan budidaya. Jenis MP, CU dan PL memiliki tajuk (daun dan batang) yang
padat dan tebal sehingga mampu menutupi permukaan tanah selama masa bera,
yang ditunjukkan oleh nilai area cover yang tinggi mencapai 98,36-99,35%
(Tabel 5.7). Dampaknya adalah kelembaban tanah selama masa bera selalu
terpelihara sehingga aktivitas mikroba tanah dalam mendekomposisi serasah
tanaman yang gugur tetap berlangsung. Salah satu hasil akhir dekomposisi berupa
humus, selain sebagai sumber hara juga dapat berperan sebagai bahan pembenah
tanah alami (soil conditioner), yang dapat memperbaiki struktur tanah serta dapat
merubah kapasitas tanah dalam menahan dan melalukan air.
Salah satu asas dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana menutupi
permukaan tanah sepanjang tahun agar terhindar dari terpaan cahaya langsung
terutama selama musim kemarau dan musim hujan yang dapat dilakukan dengan
metode vegetatif (Utomo, 1994; Arsyad, 2010). Metode vegetatif adalah
penggunaan tanaman ataupun sisa tanaman untuk menutupi permukaan tanah agar
123
terhindar dari terpaan langsung energi matahari dan curah hujan, selain itu dapat
memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung
mempengaruhi besarnya air yang dapat ditahan oleh tanah. Penggunaan tanaman
penutup tanah dalam bentuk hidup ataupun mulsa dapat mempertahankan kadar
air tanah dan menjaga suhu tanah melalui penurunan penguapan atau melalui
peningkatan kemampuan tanah menahan air (Arsyad, 2010).
Pengamatan terhadap suhu tanah (pada percobaan 3), menunjukkan
penggunaan legum MP, CU dan PL selama masa bera, menurunkan suhu tanah
rata-rata sebesar 2,25-6,05% (28,59-28,25oC) sejak 2-5 bst dibanding tanpa LPT
(29,31oC). Sedangkan legum CP hanya mampu menekan suhu tanah antara
1,14% (28,63oC) pada umur 2 bst sampai 3,37% (28,17
oC) pada umur 5 bst
(Gambar 5.6). Hasil penelitian ini serupa dengan yang diperoleh Sauer et al.
(1996) yang melaporkan bahwa pengembalian residu tanaman jagung
menurunkan suhu tanah sekitar 0,5oC pada kedalaman 0,05 m.
Suhu tanah dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari pada
permukaan tanah, sehingga dengan adanya penutupan permukaan tanah oleh
tanaman penutup tanah atau residu tanaman sebelumnya akan menghalangi radiasi
matahari langsung mengenai permukaan tanah. Penghalangan radiasi matahari
oleh tanaman penutup tanah ini akan diperoleh suhu tanah yang lebih rendah dari
pada tanpa tanaman penutup tanah. Tadjang (1990) mengemukakan bahwa
variasi suhu harian dipengaruhi oleh faktor luar seperti radiasi surya, keawanan,
presipitasi, dan faktor dalam seperti kandungan air tanah, kandungan bahan
organik tanah serta dipengaruhi oleh vegetasi yang tumbuh di atasnya. Adanya
124
LPT selama masa bera, maka akan menghambat perpindahan udara panas dari
permukaan tanaman ke permukaan tanah.
Hasil pengamatan terhadap sifat fisik lainnya (bobot isi dan porositas
tanah) pada percobaan 3 dan 4, juga terlihat adanya perbedaan yang nyata.
Penggunaan legum MP, CU dan PL selama masa bera, dapat menurunkan bobot
isi tanah rata-rata sampai 7,69-6,15% dari perlakuan tanpa LPT 1,30 g cm-3
menjadi 1,20-1,22 g cm-3
, dan meningkatkan porositas tanah rata-rata sebesar
6,37% (62,77%). Sementara penggunaan CP hanya mampu menurunkan bobot isi
tanah sebesar 3,17% (dari 1,30 g cm-3
menjadi 1,26 g cm-3
) dan porositas tanah
hanya meningkat sebesar 2,71% (56,23%) dibanding tanpa LPT (Tabel 5,8). Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Rupa dan Agung (2003) yang
melaporkan bahwa pemberaan dengan LPT dapat menurunkan bobot isi tanah
sekitar 5,10% (0,94 g cm-3
) dibanding bera alami (0,99 g cm-3
) dan meningkatkan
porositas tanah 4,74%. Selanjutnya Erfandi (1988) juga menemukan bahwa
penggunaan pangkasan tanaman legum pohon yang disebarkan di permukaan
tanah seperti: Lamtoro (Leucaena leucephala), Flamengia (Plemingia
macrophylla) dan Kaliandra (Calliandra callothyrsus) dapat menurunkan bobot
isi tanah lebih rendah 14% (1,1 g cm-3
) dibanding tanpa penutup tanah yang
menghasilkan rata-rata bobot isi 1,28 g cm-3
).
Penurunan bobot isi tanah akibat dari perlakuan ini, mungkin disebabkan
oleh adanya tanaman penutup tanah yang memiliki sistem perakaran yang dalam
dan luas sehingga mampu menembus lapisan tanah yang dalam dan membuka
ruang pori tanah yang padat. Pengembalian biomasa in situ juga dapat
125
meningkatkan simpanan C-organik tanah yang akan menghalangi kontak langsung
antar butir-bitir hujan yang jatuh di permukaan tanah yang akan menghancurkan
struktur tanah, sehingga akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah. Selain itu,
penggunaan LPT dan pengembalian biomasa akan menambah bahan organik
tanah atau meningkatkan simpanan C-organik tanah. Meningkatnya simpanan C-
organik tanah dapat menjadi penyusun utama fraksi-fraksi dalam solum tanah
sehingga mampu menyatukan ikatan agregat tanah dari daya rusak eksternal.
Menurunnya bobot isi tanah akibat pengelolaan LPT tropis in situ,
berhubungan dengan struktur tanah (Sugito et al., 1995). Hal ini karena biomasa
LPT sebagai sumber bahan organik yang telah melapuk, selain meningkatkan
kesuburan kimia tanah, juga secara langsung meningkatkan agregasi tanah.
Dengan meningkatnya agregasi tanah maka struktur tanah akan menjadi lebih baik
sehingga secara langsung mempengaruhi kamampuan tanah dalam memegang air
(water hollding capacity). Pada keadaan struktur tanah yang baik atau bobot isi
tanah yang rendah, peluang untuk terjadinya stres air menjadi kecil, karena
kisaran kadar air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi lebih
besar. Kondisi ini sangat penting pada usahatani lahan kering yang sering
mengalami cekaman kekeringan.
Penelitian Hairiah dan Murdiyarso (2007) menyatakan bahwa peran
simpanan C-organik dalam perbaikan sifat fisik tanah adalah menciptakan
agregasi tanah sehingga memberikan kondisi sarang pada tanah dan dapat
menurunkan bobot isi tanah. Selanjutnya Buckman dan Brady (1982)
126
mengemukakan bahwa bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk butir
tanah dan meningkatkan porositas tanah.
Pengamatan terhadap sifat kimia tanah yang meliputi, pH, kadar N, fosfor
(P), kalium (K), Ca, Mg dan KTK tanah pada percobaan ini menunjukkan bahwa
penggunaan LPT sebagai tanaman bera memberikan pengaruh yang
menguntungkan terhadap perbaikan sifat kimia tanah, yaitu adanya peningkatan
sifat kimia tanah dari awal percobaan. Peningkatan sifat kimia tanah yang cukup
tinggi, yang disumbangkan oleh jenis LPT ini erat kaitannya dengan produksi
biomasa LPT sebagai sumber bahan organik (C-organik) tanah. Bahan organik
LPT yang telah melapuk dapat berperan sebagai pembenah tanah (soil
conditioner) sehingga dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang
hara.
Hasil analisis kadar N tanah pada awal percobaan (percobaan 3) dan pada
akhir percobaan (percobaan 4) menunjukkan bahwa jenis LPT yang di coba dapat
meningkatkan kadar N total tanah. Jenis PL dan CU secara nyata meningkatkan
kadar N tanah masing-masing sebesar 62,5% dan 50%, diikuti MP sebesar 43%
dan CP sebesar 12,5% (Tabel 5.16). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Odihiambo dan Bomke (2001) yang melaporkan bahwa penggunaan
LPT secara nyata meningkatkan kadar nitrogen tanah. Meningkatnya simpanan C-
organik tanah akibat pengelolaan LPT menjadi penyebab utama meningkatnya
total N tanah. Biomasa LPT yang mempunyai kadar N tinggi (nisbah C/N rendah)
menunjukkan bahwa kadar N total tanah sangat erat hubungannya dengan
simpanan C-organik tanah.
127
Peningkatan kadar hara terutama nitrogen tanah juga berkaitan dengan
kemampuan tanaman legum untuk bersimbiosis dengan bakteri rhyzobium yang
merupakan salah satu jenis bakteri penambat N dari udara bebas dengan
membentuk nodul akar pada tanaman tersebut sehingga tanaman mampu
memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi (Tisdale et al.,
1985). Nitrogen yang tertambat oleh tanaman legum dapat digunakan oleh
tanaman inang atau mungkin dieksudasi dari nodul dan masuk kedalam tanah
yang akan meningkatkan kadar nitrogen tanah atau dilepaskan dari hasil
dekomposisi biomasa tanaman setelah dikembalikan dalam tanah. Selanjutnya,
Mafangoya et al. (1997) mengemukakan bahwa pelepasan hara dari dekomposisi
bahan organik sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan organik, kadar
air tanah, temperatur dan aktivitas biologi tanah.
Pengaruh baik dari penggunaan LPT dalam sistem budidaya pertanian
lahan kering berkaitan dengan proses dekomposisi biomasa tanaman yang akan
melepaskan berbagai unsur hara ke dalam tanah secara berangsur-angsur, serta
kemampuannya untuk menambah bahan organik tanah (simpanan C-organik).
Penambahan bahan organik yang bersumber dari biomasa LPT ini akan
memperbaiki kesuburan tanah terutama pada lapisan permukaan. Tanaman
penutup tanah umumnya mempunyai sitem perakaran yang dalam dan luas
sehingga mampu menyerap hara dari lapisan bawah tanah dan kemudian
mengembalikannya ke lapisan permukaan tanah dalam bentuk bahan organik.
Bahan organik (C-organik) merupakan kunci kesuburan tanah karena
memperbesar kemampuan tanah mengikat dan menyerap hara dan air bagi
128
tanaman, mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah menahan air
dan kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi biota tanah
(Kimble et al., 2002; Tornquist et al., 2009; Lines-Kelly et al., 2009).
Peningkatan sifat kimia tanah ini terjadi karena adanya pengelolaan
biomasa LPT pasca pemberaan melalui pembenaman. Melalui teknik pengelolaan
biomasa dengan cara pembenaman, biomasa yang dikembalikan akan cepat
mengalami pelapukan sehingga akan meningkatkan kadar C-organik tanah.
Meningkatnya kadar C-organik tanah juga berdampak pada peningkatan KTK
tanah, dan peningkatan unsur hara seperti N, P dan K, yang merupakan hasil
mineralisasi bahan organik tersebut (Buckman dan Brady, 1982).
Sifat biologi tanah yang diamati pada percobaan ini menunjukkan
penggunaan LPT selama masa bera dan pengelolaan biomasanya, secara nyata
meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba tanah yang diukur melalui total
koloni mikroba tanah dan respirasi tanah (Tabel 5.13 dan Tabel 5.20).
Penggunaan LPT jenis PL, MP dan CU selama masa bera dan pengelolaan
biomasanya, menunjukkan adanya peningkatan populasi mikroba tanah antara
1,39-1,68 kali pada akhir masa bera dan meningkat sebesar 2,87-5,26 kali lebih
besar pada akhir panen jagung dibandingkan dengan legum CP dan tanpa LPT
(Tabel 5.13).
Demikian pula aktivitas mikroba tanah yang diukur melalui respirasi
tanah, terlihat bahwa ketiga jenis legum ini secara nyata dapat meningkatkan
aktivitas mikroba tanah, yaitu pengelolaan biomasa jenis PL in situ yang
dibenamkan secara nyata meningkatkan respirasi tanah sebesar 4,97 kali (2,87 mg
129
CO2 g-1
hari-1
) diikuti biomasa CU yang meningkat sebesar 4,89 kali (2,83 mg
CO2 g-1
hari-1
) dan MP dengan peningkatan sebesar 4,52 kali (2,65 mg CO2 g-1
hari-1
) lebih tinggi dibandingkan dengan legum CP (1,62 mg CO2 g-1
hari-1
) dan
tanpa LPT (0,48 mg CO2 g-1
hari-1
) (Tabel 5.20).
Perbedaan sifat biologi tanah ini disebabkan oleh tingginya produksi
biomasa sehingga dapat menutupi lahan selama masa bera yang memungkinkan
kondisi lingkungan rhizosphere yang selalu terjaga terutama tingkat kelembaban
tanahnya. Kondisi lingkungan rhizosphere yang kondusif ini dapat memacu
perkembangbiakan dan aktivitas mikroba (jasad renik) tanah dalam melakukan
fungsinya untuk mendekomposisi dan memineralisasi unsur hara bagi tanaman.
Dekomposisi bahan organik oleh mikroba tanah akan berpengaruh terhadap pH,
unsur hara (N, P, K, Ca, Mg) dan KTK tanah. Selain itu, perbedaan sifat biologi
tanah juga disebabkan oleh adanya inveksi mikoriza pada perakaran tanaman PL
(60,54%) dan CU (58,13%) lebih banyak dibandingkan dengan perakaran
tanaman MP (53,14%) dan CP (44,89%) (Tabel 5.13). Meningkatnya prosentase
inveksi mikoriza pada akar tanaman legum, secara nyata dapat meningkatkan luas
permukaan akar tanaman.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa, simpanan C-organik tanah
sangat kuat dipengaruhi oleh empat variabel yaitu produksi biomasa (bobot
kering), serapan C, N yang tertambat, kadar C-organik tanah dan bobot isi tanah,
yang diperoleh dengan persamaan regresi:
YSimpanan C = -56,49 - 8,04prod.biomasa +16,29serapan C - 4,76 N-tertambat+43,28 Bobot isi tanah
+ 36,23C-org dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,98
130
Persamaan regresi di atas membuktikan bahwa 98% simpanan C-organik
tanah akibat pemberaan dengan LPT dipengaruhi oleh produksi biomasa (b.k. t ha-
1), serapan C (t ha
-1), N yang tertambat (kg ha
-1) dan kondisi fisik tanah terutama
bobot isi tanah (g cm-3
). Makin tinggi produksi biomasa, serapan C dan N yang
tertambat, serta makin menurunya bobot isi tanah akan makin meningkatkan
simpanan C-organik tanah di lahan kering. Meningkatnya simpanan C-organik
tanah maka kualitas tanah juga akan meningkat. Menurut Collins et al. (1992)
salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan lahan pertanian adalah tetap
terpeliharnya simpanan karbon organik tanah sehingga terjadi keseimbangan
dalam tanah, lingkungan dan keragaman sumberdaya hayati dalam tanah.
Hasil percobaan ini membuktikan bahwa LPT sebagai tanaman bera
dalam sistem budidaya di lahan kering mampu memelihara dan meningkatkan
simpanan C-organik dan kualitas tanah.
6.3 Pengelolaan Biomasa LPT Pasca Bera terhadap Sinkronisasi Hara dan
Hasil Jagung di Lahan Kering
Biomasa tanaman merupakan sumber bahan organik yang memadai dan
dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman, terutama nitrogen dan fosfat.
Kandungan nitrogen 2,5% dan fosfat 0,24% yang dikandung bahan organik
merupakan titik kritis yang menentukan terjadi poroses mineralisasi dan
imobilisasi (Palm et al., 1997). Bahan organik yang kadar N <2,5% dan P
<0,24% akan mendorong proses imobilisasi N dan P selama proses dekomposisi
sehingga menyebabkan tanah kekurangan unsur N dan P; sebaliknya bahan
organik yang kadar N>2,5% dan P>0,24 akan mendorong terjadinya proses
131
mineralisasi N dan P organik menjadi bentuk anorganik yang mudah tersedia bagi
tanaman. Hasil analisis terhadap kualitas sifat kimia LPT (Tabel 5.1)
menunjukkan bahwa biomasa CU dan PL memiliki kualitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan biomasa MP dan CP.
Percobaan 2, yang bertujuan untuk melihat tingkat sinkronisasi hara N pada
tanaman jagung yang diberi perlakuan masa inkubasi biomasa LPT, menunjukkan
bahwa ketersediaan unsur hara N (N-tersedia) dan kebutuhan N tanaman
berpengaruh terhadap serapan N dan hasil jagung dalam bobot kering tanaman.
Tanaman jagung yang mendapat perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa
inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam, menunjukkan pertumbuhan tanaman
yang lebih baik sejak 15 hst sampai 45 hst, walaupun pada 15 hst tidak bebeda
nyata dengan masa inkubasi 30 hari sebelum tanam. Hal ini dibuktikan oleh
serapan N tanaman jagung (Tabel 5.5) dan bobot kering total tanaman (Tabel 5.6)
yang lebih tinggi dan meningkat secara linear sejak awal fase vegetatif sampai
akhir fase vegetatif (45 hst) dibanding dengan masa inkubasi 30 hari sebelum
tanam pada jenis biomasa yang sama.
Perlakuan biomasa CU dan PL dengan masa inkubasi 10 hari dan 20 hari
sebelum tanam nyata meningkatkan serapan N rata-rata sebesar 4,1 kali pada 30
hst dan rata-rata 2,31 kali pada 45 hst. Berbeda dengan perlakuan masa inkubasi
30 hari sebelum tanam pada jenis biomasa yang sama, rata-rata menunjukkan
peningkatan serapan N yang lebih rendah yaitu sebesar 3,03 kali pada 30 hst dan
1,79 kali pada 45 hst (Tabel 5.5). Hasil analisis terhadap bobot kering total
tanaman pada akhir fase vegetatif (45 hst), juga menunjukkan perlakuan jenis
132
biomasa CU dan PL yang diinkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam, secara
nyata meningkatkan bobot kering tanaman pada fase vegetatif rata-rata sebesar
53,60% dan 54,92% berbeda lebih tinggi dengan masa inkubasi 30 hari sebelum
tanam pada jenis biomasa yang sama (Tabel 5.6).
Hasil percobaan ini membuktikan bahwa biomasa LPT sebagai sumber N
yang diinkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam mampu meningkatkan
sinkronisasi hara yaitu adanya kesesuaian antara ketersediaan hara N dan
kebutuhan tanaman jagung akan hara N. Pemberian biomasa dengan waktu
inkubasi 30 hari sebelum tanam kurang tepat. Karena selama 30 hari telah terjadi
mineralisasi N organik, pada hal pada saat itu belum ada tanaman, sehingga N
yang dilepaskan hilang atau terjerap menjadi bentuk yang tidak tersedia. Tingkat
sinkronisasi hara ditentukan oleh kecepatan dekomposisi dan mineraliasi bahan
organik (Murwira, 1994; Handayanto et al., 1997; Mayers et al., 1997; Anitha dan
Mathew, 2010). Bahan organik yang berkualitas tinggi akan lebih cepat melapuk
akibatnya unsur hara akan dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk yang tersedia
bagi tanaman.
Hasil pengamatan pada percobaan 4, menunjukkan bahwa pengelolaan
biomasa LPT sebagai sumber bahan organik in situ dapat meningkatkan
komponen hasil dan hasil jagung di lahan kering. Pengelolaan biomasa LPT
pasca bera tidak berinteraksi terhadap komponen hasil maupun hasil jagung.
Masing-masing faktor tunggal baik jenis biomasa LPT dan masa inkubasi secara
nyata dapat meningkatkan komponen hasil dan hasil jagung (bobot biji pipilan
kering) per satuan luas.
133
Hasil analisis terhadap komponen hasil dan hasil jagung (bobot biji pipilan
kering, t ha-1
) pada akhir percobaan menunjukkan bahwa pengelolaan biomasa
LPT jenis PL dan CU in situ dapat meningkatkan komponen hasil (Tabel 5.21)
dan bobot biji jagung pipilan kering (Tabel 5.22). Bobot biji jagung pipilan kering
tertinggi dicapai pada jenis PL sebesar 7,00 t ha-1
atau meningkat sebesar
88,17% dari perlakuan tanpa LPT, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan
biomasa CU dengan peningkatan bobot biji pipilan kering sebesar 86,29% (6,93 t
ha-1
) dibandingkan dengan perlakuan tanpa LPT (Tabel 5.22). Sementara
perlakuan pengelolaan biomasa MP dan CP, hanya dapat meningkatkan bobot
pipilan kering jagung sebesar 57,67% (5,94 t ha-1
) dan 41,12% (5,25 t ha-1
) dari
perlakukan tanpa LPT (Tabel 5.22).
Tingginya bobot biji jagung pipilan kering yang dicapai oleh pengelolaan
biomasa in situ asal PL dan CU pada percobaan ini, karena PL dan CU memiliki
kualitas dan kuantitas biomasa yang memadai untuk membangun simpanan C-
organik dan kualitas tanah. Dibanding jenis biomasa LPT lainnya, pengelolaan
biomasa PL dan CU lebih efektif karena cepat mengalami proses dekomposisi
dan mineralisasi sehingga kebutuhan tanaman akan unsur hara lebih cepat
terpenuhi.
Faktor tunggal masa inkubasi biomasa LPT, menunjukkan bahwa masa
inkubasi 10 hari dan 20 hari sebelum tanam secara nyata meningkatkan komponen
hasil dan bobot pipilan kering jagung (Tabel 5.21 dan 5.22). Perbedaan komponen
hasil dan hasil pipilan kering ini berkaitan dengan tingkat sinkronisasi unsur hara
yang di lepaskan oleh biomasa selama proses dekomposisi dengan kebutuhan
134
tanaman jagung. Apabila waktu penyediaan unsur hara tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman jagung, maka akan terjadi kekurangan atau kelebihan unsur
hara.
Hasil uji korelasi untuk melihat hubungan antara hasil jagung (bobot biji
pipilan kering, t ha-1
) dengan simpanan C-organik dan kualitas tanah serta bobot
kering gulma menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata (p<0,01) antara
semua variabel. Selanjutnya setelah dilanjutkan dengan analisis regresi bertarap
diketahui prediktor yang lebih kuat menentukan hasil jagung (bobot biji pipilan
kering, t ha-1
) adalah simpanan C-organik, bobot isi tanah dan N tanah, dengan
model pendugaan sebagai berikut:
YHasil Jagung = 0,258 + 0,001Simp.C - 0,39Bobot isi tanah + 25,95N tanah, (R = 0,83)
Persamaan regresi tersebut memberikan gambaran bahwa, sekitar 83%
peningkatan hasil jagung (bobot biji pipilan kering, t ha-1
) yang diberi perlakuan
pengelolaan biomasa LPT pasca bera dengan masa inkubasi biomasa sebelum
tanam, dominan dipengaruhi oleh simpanan C-organik tanah, bobot isi tanah dan
kadar N tanah. Tingginya kontribusi simpanan C-organik tanah dalam
peningkatan hasil jagung (bobot biji pipilan kering), karena simpanan C-organik
dalam tanah akan mempengaruhi sifat-sifat tanah terutama bobot isi tanah dan
ketersediaan hara N yang merupakan unsur esensial bagi tanaman. Meningkatnya
simpanan C-organik tanah maka secara langsung terjadi perbaikan kualitas tanah.
Menurut Edwards et al. (1999); Bot dan Benites (2005) di dalam ekosistem tanah,
simpanan C-organik mempengaruhi pertumbuhan tanaman, juga sebagai sumber
energi bagi organisme tanah dan pemicu ketersediaan hara melalui mineralisasi.
135
Meskipun hasil biji jagung yang diberi perlakuan biomasa MP dan CP dan
masa inkubasi 30 hari, memberikan hasil jagung yang lebih rendah dibanding
jenis biomasa PL dan biomasa CU, tetapi pemanfaatan biomasa LPT secara umum
sebagai sumber C-organik tanah memiliki banyak kelebihan. Ditinjau dari sisi
lingkungan (tanah) maka pengembalian biomasa LPT in situ pasca bera
memberikan keuntungan terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro fauna tanah.
Pengembalian biomasa tanaman sebagai sumber C-organik dalam tanah akan
menyebabkan aktivitas dan populasi mikroba dalam tanah meningkat, terutama
yang berkaitan dengan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Penggunaan LPT sebagai tanaman bera dan pengelolaan biomasanya pasca
bera selain meningkatkan simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah dalam
mendukung pertumbuhan tanaman, juga secara nyata dapat menekan pertumbuhan
gulma. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa jenis legum MP dapat menekan
pertumbuhan gulma sebesar 32%, diikuti PL (30,92% dan CU (26,87%) pada 20
hst, dibanding CP dan tanpa LPT. Pengaruh positip dalam menekan pertumbuhan
gulma adalah selama masa bera permukaan tanah selalu tertutupi oleh fitomasa
tanaman yang cukup padat sehingga pertumbuhan gulma tertekan karena tidak
mendapat cahaya matahari, dan diduga adanya sifat allelopaty dari akar legum
yang dapat mematikan biji gulma.
6.4 Model Pengelolaan Lahan Kering di Masa Depan
136
Memperhatikan hasil penelitian yang didasari pada hasil analisis terhadap
respon yang diberikan oleh LPT dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering,
maka dapat disimpulkan bahwa LPT memiliki potensi besar untuk dikembangkan
dalam sistem budidaya tanaman pangan semusim di lahan kering. Penerapan
tanaman LPT dalam sistem budidaya pertanian di lahan kering diharapkan adanya
peningkatan produktivitas lahan kering secara berkelanjutan.
Secara umum kabupaten Kupang NTT yang tergolong iklim kering dengan
jumlah bulan basah yang singkat sekitar 4 bulan basah, dan sisanya 8 bulan adalah
bulan kering (Tipe iklim D menurut Smith dan Ferguson). Pola distribusi hujan
yang singkat (Desember-Maret) ini menyebabkan usahatani tanaman pangan yang
dijalankan oleh petani pun relatif singkat, hanya berlangsung selama musim hujan
(+4-5 bulan) selebihnya lahan budidaya dibiarkan terbuka sampai menunggu
musim tanam berikutnya. Pola usahatani yang dijalankanpun masih sederhana
yaitu hanya mengandalkan kesuburan alami tanpa menggunakan pupuk sintetis,
akibatnya hasil produksi tanaman pangan (jagung) pada umumnya rendah.
Mempertimbangkan kondisi iklim NTT terutama curah hujan yang
distribusi hujannya singkat (3-4 bulan basah), maka pola tanam yang dapat
dipertimbangkan pada usahatani lahan kering sebagai suatu skenario dalam
pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan, adalah seperti pada Gambar 6.1.
137
Implementasi LPT dapat dilakukan selama masa bera (6-8 bulan, sehingga
tidak mengorbankan lahan untuk usahatani tanaman semusim pada saat musim
hujan. Penanamannya dapat dilakukan menjelang atau akhir panen tanaman
pangan semusim, yaitu sekitar akhir bulan Maret atau awal bulan April. Adanya
sisa hujan atau sisa kelembaban tanah yang masih tersedia, memungkinkan LPT
yang dipilih (adaptif) dapat tumbuh dengan cepat sehingga dapat menutupi
permukaan tanah yang selama ini dibiarkan terbuka.
Produk biomasa yang dihasilkan ini akan dimanfaatkan kembali sebagai
sumber bahan organik (C-organik) menjelang musim hujan (musim tanam
berikutnya). Cara pengelolaan biomasa adalah melalui pembenaman bersamaan
dengan pengolahan tanah, yang dapat dilakukan 10 sampai 20 hari menjelang
tanam tanaman pangan (jagung). Cara ini terbukti efektif karena dapat
meningkatkan sinkronisasi hara.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Nop Des Jan Peb Maret Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt
Jum
lah
Cu
rah
Hu
jan
(m
m/b
ula
n)
masa bera dengan LPT yang sesuai
Jagung
Masa pembenaman biomassa LPT bersamaan dengan pegolahan tanah 10-20 hari sebelum tanam jagung berikutnya
Gambar 6.1
Pola tanam yang dipertimbangkan sesuai untuk pengelolaan lahan kering secara
berkelanjutan
138
LPT tidak memiliki nilai ekonomi bagi petani (bukan sumber pangan),
namun ditinjau dari aspek peningkatan produktivitas lahan kering secara
berkelanjutan, pengembangannya memberikan kontribusi yang besar karena
secara ekonomi, sosial dan ekologi menguntungkan. Kontribusi dari tanaman
LPT secara langsung adalah sebagai sumber C-organik tanah. C-organik
merupakan kunci kesehatan dan kualitas tanah baik fisik, kimia, maupun biologi
tanah. Dipilihnya tanaman legum sebagai alternatif tanaman bera, karena
tanaman ini mempunyai kandungan hara yang relatif tinggi dibanding jenis
tanaman penutup tanah lainnya (non legum) dan relatif lebih muda
terdekomposisi, sehingga penyediaan hara menjadi lebih cepat. Kelebihannya,
selain sebagai sumber C-organik, LPT juga berkontribusi dalam peningkatan N
tanah. Hasil penelitian ini, menunjukkan nitrogen yang disumbangkan oleh
tanaman LPT selama masa bera melalui fixasi adalah: CU (476,66 kg ha-1
), PL
(350,04 kg ha-1
) MP (348,06 kg ha-1
) dan CP (122,72 kg ha-1
). Kontribusi
lainnya, adalah dalam daur ulang hara (nutrient recycling) di dalam tanah; karena
dapat menekan kehilangan hara atau tercipta siklus hara tertutup (Hairiah et al.,
2009)
6.5 Temuan Baru Penelitian
Beberapa temuan baru yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu:
1. Sinkronisasi hara N pada tanaman jagung dapat ditingkatkan melalui
pembenaman biomasa P. lunatus (PL) atau C. usaramoensis (CU) pada saat
10 hari sebelum penanaman jagung;
139
2. Simpanan C-organik di lahan kering dapat ditingkatkan melalui sistem
pemberaan (fallow system) dengan P. lunatus (PL) atau dengan C.
usaramoensis (CU);
3. Sistem pemberaan (fallow system) dengan penanaman LPT tropis dapat
mempersingkat masa bera lahan budidaya pertanian di lahan kering.
VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Jenis biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang
diaplikasikan dengan cara pembenaman mempunyai konstanta laju
dekomposisi (k) yang lebih tinggi, yaitu masing-masing sebesar 0,27 (dengan
laju dekomposisi 2,34 g hari-1
atau 0,26 g tahun-1
) dan 0,24 (dengan laju
dekomposisi 2,28 g hari-1
atau 0,25 g tahun-1
), serta berbeda dengan jenis
biomasa LPT M. pruriens L. (MP) dan C. pubescens Benth. (CP).
140
2. Masa inkubasi biomasa LPT 10 hari sebelum tanam secara nyata dapat
meningkatkan sinkronisasi hara N pada tanaman jagung selama fase vegetatif
dibandingkan dengan masa inkubasi 20 dan 30 hari sebelum penanaman
jagung.
3. Jenis LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) yang dijadikan
sebagai tanaman bera dalam sistem pemberaan lahan budidaya pertanian,
dapat meningkatkan simpanan C-organik tanah (soil organic carbon, SOC)
masing-masing sebesar 63,18% (86,70 t ha-1
) dan 63,16% (86,69 t ha-1
).
Peningkatan simpanan C-organik tanah secara nyata meningkatkan kualitas
tanah.
4. Pengelolaan biomasa LPT P. lunatus L. (PL) dan C. usaramoensis L. (CU) in
situ pasca bera yang dibenamkan ke dalam tanah 10 hari sebelum penanaman
jagung dapat meningkatkan bobot pipilan jagung kering k.a. 15% sebesar
88,17% (7,00 t ha-1
) dan 86,29% (6,93 t ha-1
) lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dihasilkan oleh species M. pruriens dan C. pubescens Benth.
5. Terdapat hubungan yang erat antara simpanan C-organik tanah (soil storage
organic carbon) dan kualitas tanah dengan hasil jagung (bobot biji pipilan
kering, t ha-1
) yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar
0,83.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, sebagai berikut:
141
1. Agar hasil temuan ini dapat memberikan manfaat bagi petani lahan kering,
maka perlu dilakukan desiminasi untuk memperkenalkan hasil-hasil penelitian
ini.
2. Perlu dilakukan penelitian eksplorasi lanjutan untuk mengkaji jenis LPT lain
yang potensial dikembangkan di lahan kering.
3. Produktivitas lahan kering terutama tanaman pangan semusim dapat
ditingkatkan melalui sistem pemberaan (fallow system) dengan berbagai jenis
LPT potensial, seperti C. usaramoensis (CU) dan P. lunatus (PL).
4. Jenis M. pruriens dapat dipertimbangkan sebagai tanaman bera untuk
peningkatan simpanan C-organik tanah (soil storage organic carbon) di lahan
kering, walaupun kontribusi terhadap hasil jagung pada percobaan ini masih
rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, S. I. C. 2009. “Promoting the use of tropical legumes as cover crops in
Puerto Rico” (tesis). Mayaguez. University of Puerto Rico.
Anderson, J.M., Ingram, J.S.I. 1989. Tropical Soil Biology and Fertility: a
Hanbook of Methods. Wallingford: CAB International.
Anderson, J.M., Swift, M. J. 1983. Decomposition in Tropical Forest. p.287-309.
In: S.L. Suton. T.C. Withmore and A.C. Chadwick, (eds.). Tropical
Rainforset. Ecology and Management. Blackwell. Oxford.
Andren, O., Paustian, K. 1987. Barley straw decomposition in field: a
comparasion of models. Ecology J. 68: 1190-1200.
Anitha, S., Mathew, J. 2010. In situ green manuring with daincha (Sesbania
aculeata Pers.): a cost effective management alternative for wet seeded
rice (Oryza sativa L.). J. of Tropical Agriculture. 48 (1-2):34-39.
142
Arifuddin, F.K., Yasin, M.H.G. 2002. Metoda pendugaan hasil jagung. Berita
Puslitbangtan No.24 November 2002.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. Bogor: IPB Press. 472p.
Badan Klimatologi dan Meteorologi Nusa Tenggara Timur. 2012. Data Curah
hujan 10 tahun (2003-2012) di Kabupaten Kupang. Kupang, NTT.
Baldock, J.A., Skjemstad, J.O., Kurl, E.S. 2009. Functions of Soil Organic
Matter and the Effect on Soil Properties. CSRO. Publishing.
Balkcom, K., Schomberg, H., Reeves, W., Clark, A. 2007. Managing Cover
Crops in Conservation Tillage Systems. In: Managing Cover Crops
Profitable (Third Edition). Handbook Series Book 9. Published by the
Sustainable Agriculture Network, Beltsville, MD. U.S. Department of
Agriculture.
BAPPEDA NTT. 2010. Kebijakan dan Program Pemerintah Provinsi NTT.
www.bappeda.nttprov.go.id. diakses 16 Mei 2012.
Barchia, M.F. 2009. Evolusi Karbon Tanah.
http://faizbarchia.blogspot.com/2009/06/evolusi-karbon-tanah.html.
diakses tanggal 7 Oktober 2012.
Bell, M.J., Moody, P.W., Connolly, R.D., Bridge, B.J. 1999. Using active
fraction of soil organic matter as indicators of the sustainability of
ferrosol farming system. Soil Res. Aust. J. 37: 279-287.
Blair, G. J., Chapman, L., Withbread, A.M., Coelho, B.B., Larsen P., Tissen H.
1998. Soil carbon change resulting from sugarcane trash management at
two location in Queensland, Australia and in North-East Brazil. Soil Res.
Aust. J. 38: 87-88.
Berge, B., McClaugherty. 2002. Plant Litter Decomposition Humus. New York:
Springer Verlag.
Bot, A., Benites, J. 2005. The importance of soil organic matter. Key to drought-
resistant soil and sustained food and production. FAO Soils Buletin 80.
Food and Agricukture Organization of the United Nations. Rome: 71p
Buckman, H.O., Brady, N.C. 1982. Ilmu Tanah (Soegiman, Penterjemah). Jakarta:
Penerbit Bhratara Karya Aksara.788p.
Colins, H.P., Rasmunssen, P.E., Douglas, Jr. C. 1992. Crop rotation and recidues
management effect, on soil organic carbon and microbial dynamics. Soil
Sci. Soc.Am. J. 56:783-788.
Cook, C.G., White, G.A. 1996. Crotalaria usaramoensis: a potential multipurpose
fiber crop. p.389-394. In: J. Janick (ed.), Progress in new crops.
Arlington. VA: ASHS Press.
143
Cuevas, E., Logu, A.E. 1998. Dinamics of organic matter and nutrient return from
literfall in stands of ten tropical tree plantation species. Forest Ecology
and Management. 12:263-279.
Dariah, A., Nurida, N.L., Sutono. 2010. Formulasi bahan pembenah untuk
rehabilitasi lahan terdegradasi. Jurnal Tanah dan Iklim. No 11.
De Costa, W.A.J.M., Atapattu, A.M.L.K. 2001. Decomposition and nutrient loss
from prunnings of different contour hedgerow spesies in tea plantations
in the sloping highlands of Sri Lanka. Agroforestry System, 51: 201-211.
De Santo, A.V., Berg, B., Rutigiliano, F.A., Aleani, A., Frioretto, A. 1993.
Factor regulating early stage of decomposition of needle litters in five
different coniferous forest. Soil Biol. Biochem. 25: 1423-1433.
Dinga, G., Liub, X., Herbertc, S., Novakd, J., Dula, A., Baoshan X. 2006.
Effect of cover crop management on soil organic matter.
www.elsevier.com/locate/geoderma. Geoderma. 130: 229-239
Dirjenbun. 1984. Pedoman Pembangunan Penutup Tanah Kacang-kacangan.
Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian Republik
Indonesia. 79p.
Doran, J.W., Parkin, T.B. 1994. Defining and Assessing Soil Quality. p3-21. In:
J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, B.A. Stewart (eds.), Defining
Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA Spec. Pub. No. 35,
Soil Sci. Soc. Am., Am. Soc. Argon., Madison, WI
Dudal, R., Soepraptohardjo, M. 1957. Soil Classification in Indonesia. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimatologi. Bogor.
Edwards, J.H., Wood, C.W., Thurlow, D.L., Ruf, M.E. 1999. Tillage and crop
rotation effects on fertility status of a hapludalf soil. Soil Sci. Soc. Am. J.
56:1577-1582.
Erfandi, D., Suwardjo, Rahman, A. 1988. Penelitian alley cropping di Kumang
Kuning Jambi. Pusat Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian.
Eswaran, H., van Den Berg, E. 1993. Organic carbon in soils of the world. Soil
Sci. of Am. J. 57:192-194.
Febrina. 2004. “Kontribusi berbagai jenis tanaman penutup tanah (cover crop)
terhadap perbaikan berbagai sifat kimia Ultisol lahan alang-alang”
(skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
Frye, W.W. 1983. Energy Requirement in No-tillage. p.127-151. In: Philips, R.E.
and S. H. Phillips (eds.), No Tillage Agriculture Principle and Practices.
144
Gardner, F.P., Pearce, R.B., Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya
(Herawati Susilo, Penterjemah). Jakarta: UI.Press. 428p.
Gomez, K.A., Gomez, A.A. 2007. Statistical Procedures for Agricultural
Research (Endang S. and Justica S.B. (eds.). p.134-136. Jakarta: UI
Press.
Guo, L.B., Sims, R.B.H. 1999. Litter decomposition and nutrient release via litter
decomposition in New Zealand eucalypt short rotation forest.
Agriculture Ecosystem and environment. 75: 133-140.
Guritno, B. 1996. Pengaturan pola tanam dalam upaya peningkatan produktivitas
lahan kering. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Pola
Tanam. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Hairiah, K., Utomo, W.H., van der Heide, J. 1992. Biomass production and
performance of leguminous cover crops on an Ultisol in Lampung.
Agrivta J. 15 (1): 39-44.
Hairiah, K., Widianto, Utami, S. R., Suprayogo, D., Sunaryo, Sitompul, S. M.,
Lusiana, B., Mulia, R., van Noordwyk, M., Cadich, G. 2000.
Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. Refleksi Pengalaman dari
Lampung Utara. ICRAF. Bogor. 187p.
Hairiah, K., Utami, S. R., Lusiana, B., van Noordwijk, M. 2003. Neraca Hara
dan Karbon dalam Sistem Agroforestry. p.105-124. Dalam: Pengantar
Agroforestry. Bahan Ajar 6. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor:.
Hairiah, K., Murdiyarso, D. 2007. Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon
Teresterial. Word Agroforestry Centre-ICRAF. SE. Asia. Bogor-
Indonesia. 88p.
Hairiah K., Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Carbon Tersimpan’ di Berbagai
Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF,
SEA Regional Office, University of Brawijaya. Indonesia. 77 p.
Hairiah, K., van Noordwijk, M., Suprayogo, D. 2009. Interkasi antara Pohon-
Tanah-Tanaman: Kunci keberhasilan atau kegagalan dalam sistem
agroforestry. P.19-39. Dalam: Pengantar Agroforestry. Bahan Ajar 2.
Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Hakim, N., Nyakpa, Y., Lubis, A.M., Sutopo G.N., Diha, A., Hong, G.O. B.,
Bailey, H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Lampung.
Handayanto, E., Cadisch, G., Giller, K. E. 1994. Nitrogen release from prunings
of legume hedgerow trees in relation to quality of the prunings and
incubation method. Plant and Soil. 160 (2): 237-248.
145
Handayanto, E., Cadisch, G., Giller., K. E. 1997. Regulating N Mineralization
from Plant Recidues by Manipulation of Quality. P.175-185. In: G.
Grdisch and K.E. Giller (eds.). Driven by nature plant litter quality and
decompocition CAB International, Wallingford.
Handayanto, E. 1999. Komponen biologi tanah sebagai bioindikator kesehatan
dan produktivitas tanah. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Madia
dalam ilmu Biologi Tanah pada Fakultas PertanianUniversitas Brawijaya.
Malang.
Handayanto, E., Ismunandar, S. 1999. Seleksi bahan organik untuk peningkatan
sinkronisasi nitrogen pada Ultisol Lampung. J. Habitat. 2 (109 ): 37- 47.
Haraguchi, A., Kojima, H., Hasegawa, C., Tacahashi, Y., Lyobe, T. 2002.
Decomposition of organic matter in peat soil in a minerotrophic mire.
Europ. J. of Soil Biology. 38: 89-95.
Hartemink, A. E. 2001, Biomassa and nutrien accumulation of Piper aduncum
and Imperata cylindrica fallows in the humid lowlands of Papua New
Guinea. Forest Ecology and Management. 144: 19-32.
Haynes, R. J. 1986. The Decomposition Process: Mineralization, Immobilization,
Humus Formation and Degradation. p.52-109. In: R. J. Haynes (ed.).
Mineral Nitrogen in the Plant Soil Systems. Academic Press .Inc.
London.
Hikmat, A. 2005. Biomass estimmation, carbon storage and energy content of
three virgin jung reserves in Peninsular Malaysia. Media Konservasi.
10(2): 1- 8
ICRAF. 1997. Using the wild sunflower tithonia, in Kenya- For Soil Fertilitry and
Crop Yield Improvement. Nairobi. Kenya.
Jastrow, J.D., Boutton, T.W., Miller, R.M. 1996. Carbon dynamics of aggregate-
associated organic matter estimated by carbon-13 natural abundance. Soil
Sci. Soc. Am. J. 60:801-808.
Jime´nez, J.J., Lal, R., Leblanc, H.A., Russo, R.O. 2009. Soil C pool under native
tree plantations in the Caribbean lowlands of Costa Rica. Forest Ecology
and Management. 241: 134-144.
Juma, N.G. 1998. The Pedosphere and its Dinamycs A System: Approach to
Soil Science. Canada Quality Color Press Inc. 315p.
Karlen, D.L., Mausbach, M. J., Doran, J.W., Cline, R.G., Harris, R. F., Schuman.
G. E. 1997. Soil quality: A concept, definition, and framework for
evaluation. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:4-10.
146
Kimble, J.M., Lal, R., Ruttan, L., Folett, R. F. 2002. Agricultural Practices and
Polices for Carbon Sequestration in Soil. Lewis Publisher. 512p.
Komatsuzaki, M., Syaib, M.F. 2010. Comparison of the Faring System and
Carbon Sequestration between Conventional and Organic Rice
Production in West Java, Indonesia. 933p.
Kuo, S., Sainju, U.M., Jellum, E. J. 1997. Winter cover crop effects on soil
organic carbon and carbohydrate in soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:145-
152.
Lal, R. 1995. Erosion crop productivity relationships for soils of Africa. Soil Sci.
Soc. Am. J. 5: 661-667.
La1, R. 1998. Soi1 erosion impact on agronomic productivity and environment
quality. Plant Sciences. 17: 319-464.
Lal, R., Rgnier, E., Eckert, D.I., Edwards, W.N., Hammond, R. 2000.
Espectation of cover crop for sustainable agriculture. SWCS. For
Individual Use Only.
Lal, R; Kimble, J.M., Follett, R. F., Stewart, H.A. 2001. Assesment method for
soil carbon. Lewis Publisher. 676p.
Lal, R. 2006. Enhancing crop yields in the devolopping countries through
restoration of the soil organic carbon pool in agricultural lands. Land
Degrad. Devolopping. 17: 197-209.
Larson, W.E., Pierce, F.J. 1994. The dynamics of soil quality as a measure of
sustainable management. p.37-51. In: J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F.
Bezdicek, and B.A. Stewart (eds.), Defining Soil Quality for a
Sustainable Environment. SSSA Spec. Pub. No. 35, Soil Sci. Soc. Am.,
Am. Soc. Argon., Madison, WI.
Lines-Kelly, R., Mcleod,M., Tinning, G., Slavich, P., Tinning, G., Iskandar, T.,
Moore, N., Rachman, A., Jenikins, A., Cox, J. 2009. Panduan untuk
Petani Mengenai Kehidupan Organisme Tanah. Program Kemitraan
Australia-Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan. Departemen
Pertanian Republik Indonesia.
Lipper, G.W., Uren, N.C. 1993. Soil Carbon and Soil Health. Soil Science, an
introduction (5th edn ed). Melbourne. Melboirne University Press.
Liu, X., Herbert, S.J., Hashemi, A.M. Zhang, X., Ding, G. 2006. Effects of
agricultural management on soil organic matter and carbon
transformation-a review. Plant. Soil Environ. 56(12): 531–543.
Mafangoya, P.C., Dzowela, B.H., Nair, P.K. 1997. Effect of multipurpose trees,
age of cutting and drying method on prunning quality. p.167-174. In G.
147
Gradisch and K.E. Giller (eds), Driven by Nature Plant Litter Quality
and Decomposition. CAB International, Wallingford.
Maswar. 2005. Kecepatan dekomposisi biomassa dan akumulasi karbon pada
konversi lahan Gambut menjadi perkebunan Kelapa Sawit. p.165-174.
Dalam: Proseding Pertemuan Teknik Kehutanan. Balai Penelitian
Tanah. Bogor.
Milne, E. 2009. Soil Organik Carbon in Encyclopedia of Earth. Cutler J.
Cleveland (ed.) http://www.eoearth.org/article/Soil_organic_carbon
diakses tanggal 2 Maret 2012.
Myers, R.J.K.,.van Noordwijk, M., Vityakon, P. 1997. Synchrony of nutrient
release and plant demand: Plant litter quality, soil environment and
farmer management option. p.215-232. In: G. Grdisch and K.E. Giller
(eds.) Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition. CAB
International, Wallingford.
Murwira, H.R. 1994. Synchrony relationship of nitrogen release and plant uptake
in a Zimbabwean sandy soil amended with manure and fertilizer
nitrogen. African Crop Science J. 2(1): 69-77
Naidu, M., 1981. “Studies on the appropriate proportion of organic and chemical
fertilizer” (tesis). Tannil Naidu Agric. Univ.Coimbatre.
Nardi, S., Morari, F., Berti, A., Tosoni, M., Giardini, L. 2004. Soil organic
matter properties after 40 years of different use of organic and mineral
fertilisers. Europ. J. Agronomy. 21: 357-367.
Odihiambo, J.J., Bomke, A.A. 2001. Grass legume cover crop effect on dry matter
and nitrogen acumulation. Agron. J. 93: 299-307.
Oladoye, A. O., Ola-Adams, B.A., Adeire, M.O., Agboola, D.A. 2005. Nutrient
dynamics and litter decomposition in Leucena leucocephala (Lam.) de
Wit Plantation in the Nigerian Derived. West African of Applie Ecology.
Volume 13.
Olson, K.R., Ebelhar, S., Lang, A., James, M. 2010. Cover crop effects on crop
yields and soil organic carbon content. Soil Science. 175:89-98.
Palm, C. A., Sanchez, P. A. 1991. Nitrogen release from the leaves of some
tropical legumes as effected by their lignin and polyphenolic contents.
J. of Biology and Biochemistry. 23: 83-88.
Palm, C.A., Myers, R.J.K., Mandawa, S.M. 1997. Combines use of organic and
inorganic nutrient sources for soil fertility maintenance and
replenishment. Soil Sci. Soc. Am. J. (Spec. Publ.51): 193-217.
148
Palm, C.A., Gachengo, C.N., Delve, R.J., Cadisch, G., Giller, K.E. 2001. Organic
inputs for soil fertility management in tropical agroecosystems:
application of an organic resource database. Agriculture, Ecosystem and
Environment. 83, 27-42.
Peradeniya, R. M. A. 2000. Integrated Plant Nutrient Systems. Training Manual.
The Fertilizer Advisory Development Information Network for Asia and
the Pacific (FADINAP), Sri Lanka.
Pettifer, J. 2003. Sustainable Agriculture. Global crisis centre. BBC Vidio
Report-The Magic Bean, Juni 2001. Last update: Januari 17 2003.
http://globalcrisis.info/sustainable.html. Diakses tanggal 10 Maret 2013
Power, J.F. 1987. Legumes: Their potential role in agricultural production. Am. J.
of Alter. Agric. 2(2): 69-73.
Prayogo, C., Hairiah, K., van Noordwijk, M. 2000. Kuantifikasi modal dan
distribusi karbon dalam system tebang bakar pada lahan berlereng di
Rantau Pandan, Jambi, Agrivita J. 22 (2) 91-102.
Purwanto, H. 1997. “Penambahan berbagai dosis pangkasan daun tanaman gamal
(Gliricidia sepium) untuk penurunan konsentasi alumunium inorganik
monomerik pada Ultisol Lampung dan Gajrug: Hubungan antara
Konsentrasi Alumunium monomerik dengan Pertumbuhan Perakaran
Tanaman Jagung (Zea mays L.)” (skripsi). Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya, Malang.
Purwanto.H. 2007. Mengenal Lebih Dekat Tanaman Leguminosae. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Rachman, A., Dahria, A., Santoso, J. 2006. Pupuk Hijau. p.41-58. Dalam:
R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan
W. Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Petranian. Bogor.
Rao, S.N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta:
UI Press.
Reinjtjes, C., Havercort, B., Waters-Beyer, A. 1999. Pertanian Masa Depan (Y.
Sukoco, Penerjemah). Yokyakarta: Penerbit Kanisius.
Rogers, H. 2002. Litterfall, decomposition and nutrient release in a lowland tropical
rain forest, Morobe Province, Papua New Guinea. J. of Tropical Ecology.
18: 449-456.
Regina, I.S., Tarazona. 2001. Nutrient pools to the soil through organic matter and
throughfall under a Scot pine plantation in the Sierra de la Demada, Spain.
Europ. J. of Soil Biology, 37: 125-133.
149
Ribeiro, C., Madeira, M., Ataujo, M.C. 2002. Decomposition and nutrient release
from leaf litter of Eucalyptus globulus grown under different water and
nutrient regimes. Forest Ecology and Management. 171: 31-41.
Ruddiman, W. 2007. Losses of soil carbon Plows, Plagues, and Petroleum: How
Humans Took Control of Climate. Princeton, NJ: Princeton University
Press. 202p.
Rupa, M., Agung, IG.A.M.S. 2003. Pengaruh pengelolaan sisa tanaman pasca
bera terhadap beberapa sifat fisik dan kimia tanah serta hasil jagung.
Agritrop (Jurnal ilmu-ilmu Pertaian). Vol. 22 (3): 95-104.
Saetre, P. 1998. Decomposition, microbial community structure and earthworm
effects along a birch-spure soil gradient. Ecology J. 79: 834-846.
Samosir, S.S.R. 2000. Pengelolaan Lahan Kering. Program Pascasarjana
Universitas Hasanudin. Makasar. 203p.
Sanchez, P.A. l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. (Johana T. Jayadinata,
Penterjemah). Bandung: Penerbit ITB.
Sarrantonio, M. 2007. Building Soil Fertility and Tilth Cover crops. In: Managing
Cover Crops Profitably (Third Edition): Handbook Series Book 9. MD A
publication of the sustainable agriculture network with funding by the
Sustainable Agriculture Research and Education Program of CSREES,
U.S.Department of Agriculture.
Semaoen, M.I., Agustina, L., Somarno. 1991. Pendekatan sistem usahatani yang
berkelanjutan di lahan kering. p.1-16. Dalam: Proseding Simpoisum
Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering
yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.
Seremecic, S., Milosev, D., Djalovic, L., Zeremski, T., Ninkov, J. 2011.
Management of soil organic carbon in maintaining soil productivity and
yield stability of winter wheat. Plant Soil Environ. J. 57 (5): 216-221.
Shimamura, T., Momose, K. 2005. Organic matter dynamics control plant species
coexistence in a tropical peat swamp forest. p.1503-1510. In proceedings
of the Royal Sociaety: B272.
Six, J., Elliott, R.T., Paustoin, K., Doran, J.W. 1998. Agregation and soil organic
matter accummulation in native grassland soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:
1367-1377.
SSSA (Soil Science Society of America) . 1987. Glossary of soil science terms.
Soil Science Society of America. Madison, W1:p44.
150
Suberkropp, K., Godshalk, G.L., Klug, M.J. 1976. Change in the chemical
composition of leaves during processing in a woodland stream, Ecology
J. 57: 720-727.
Sugito, Y., Yulia N., Ellis, N. 1995. Sistem Pertanian Organik. Malang: Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya.83p.
Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisisi Kimia Tanah,
Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertaian R.I. 136p.
Sulistiyanto, Y., Rieley, J.O., Lemin, S.H. 2005. Laju dekomposisi dan pelepasan
hara dari serasah pada dua sub tipe hutan rawa gambut di Kalimantan
Tengah. Trop. For. Manage. J. XI (2): 1-14.
Supriyadi. 2003. Studi penggunaan biomassa Thitonia diversifolia dan Tephosia
candida untuk perbaikan P dan hasil jagung di Andisol (disertasi).
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Surhone, L. M., Tennone, M.T., Henssonow, S.F. 2010. Soil Carbon. VDM
Verlag. Dr. Muller AG & Co.kg. 132p.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
219p.
Suwardji., Tejowulan, S. 2002. Pertanian Lahan Kering di Propinsi NTB, Prospek
dan Kendala Pengembangannya. Makalah Seminar Nasional
Pengembangan Sumberdaya Lokal di Universitas Wangsa Manggala,
Yogyakarta.
Suwardjo. 1981. “Peranan sisa-sisa tanaman dalam konservasi tanah dan air pada
lahan usahatani tanaman semusim” (disertasi). Bogor: Fakultas
Pascasarjana IPB.
Suwardjo, H., Muljadi, Sudirman. 1987. Prospek tanaman Benguk (Macuna)
untuk rehabilitasi tanah Podsolik yang dibuka secara mekanis di Kumang
Kuning Jambi. Proseding Penelitian Tanah Bogor. No.7 : 513- 521.
Sutedjo, M. M., Kartasapoetra, A.G., Sastroatmojdo, R.D.S. 1991. Mokrobiologi
Tanah. Jakarta: Rineka Cipta. 447p.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. Second
Ed. New York: John Wiley & Sons. Inc. 496p.
Steenwerth, K., Belina, R.J. 2008, Cover crops enhance soil organic matter,
carbon dynamics and microbiological function in a vineyard
agroecosystem. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/apsoil.
Applied Soil Ecology. 40:359- 369.
151
Tadjang. M.H. 1990. Klimatologi Pertanian. Program Pascasarjana Universitas
Makasar.
Temel, S. 2003. Litter decomposition of Picea orientalis, Pinus sylvestris and
Costanea sativa trees crown in artvin in relation to their initial title quality
variabels. Turkey Agric. For. 27: 233-243.
Tian, G., Kang, B. T., Brussand. 1992. Soil Biology and Biochemistry: Biological
Effects of Plant Residues with Contrasting Chemical Compositions and
Nutrient Release.
Tisdale, S.L., Nelson, W.L., Beaton, J.D. 1985. Soil and Fertilizer Potassium. Ch.
7. p.249-291. In: S.L. Tisdale, W.L. Nelson, and J.D. Beaton (eds.). Soil
Fertility and Fertilizers, 4th ed. New York : Macmillan,.
Tornquist, C. G., Mielniczuk, J., Cerri, C.E.P. 2009. Modeling soil organic carbon
dynamics in Oxisols of Ibiruba´ (Brazil) with the Century Model. Soil &
Tillage Research. Soil & Tillage Research. 105 (2009) 33–43. A journal
homepage: www.elsevier.com/locate/still.
Torreta, N.K., Takeda, H. 1999. Carbon and nitrogen dynamics of decomposing
leaf litter in tropical hill evergreen forest, Europ. J. of Soil Biologi, 45: 57-
63.
Utomo, W.H. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP. Malang.
Utomo, W.H., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M. 1995. Effect of leguminous
cover crop on subsequent maize and soybean crops an Ultisol in
Lampung. Agrivita J. 15 (1): 44-53.
Wang, Q., Li, Y., Alva, A. 2010. Growing cover crops to improve biomass
accumulation and carbon sequestration: A Phytotron Study. J. of
Environmental Protection. 1(2): 73-84.
West, T.O., Post, W.M. 2002. Soil carbon sequestration by tillage anf crop
rotation: a global data analysis. Soil Sci. Soc. Am. J. 66 (1): 930- 946.
Widati, S. 2007. Respirasi tanah. p.165-170. Dalam: Rasti Saraswati, Edi Husen,
R.D.M. Simanungkalit, (eds.). Metode Analisisi Biologi Tanah Balai
Besar Litabang Sumberdaya Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengambangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Wiesje, J.N.K. 2008. Seleksi bahan organik untuk peningkatan sinkronisasi
Nitrogen pada Ultisol Lampung. Soil and Vironment J. 2 (2): 98-102.
Wilson, G.F., Okigbo, R. 1982. Effect of cover crops on soil structure and on
yield of subsequent arable crops grown under strip tillage on an eroded
Alfisol. Soil and Tillage Research. 2 (3):233-250.
152
van Noordwijk, M., Widianto, M.N., Sitompul, S.M, Hairiah, K., Guritno, B.
1992. Nitrogen management under high rainfal condition for shallow
rooted crops: principles and hypotesis. Agrivta J. 15 (1): 10-18.
Vyn, T. J., Janovicek, K,J., Miller, M.H., Beauchamp, E.G. 1999. Soil nitrate
accummulation and corn response to proceding small-grain fertilization
and cover crop. Agron. J. 91: 17-24.
Young, A. 1989. Agroforestry for Soil Conservation.CABI International: 105-108.
153
Lampiran 1
Analisis Sifat Tanah Percobaan
No Sifat tanah Nilai
1 Sifat fisik tanah
a. Tekstur tanah Liat
Liat (%) 72,74%
Debu (%) 18,35%
Pasir (%) 8,91%
b. Stuktur Blocky
c. Konsistensi teguh
d. Bobot isi 1,29 g cm-3
e. Warna tanah 10 R 4/6 (Cokelat kemerahan)
f. Kedalaman solum Tipis (30-35 cm
g. Kadar air kapasitas lapang 30%
2 Sifat kimia
a. pH H2O 6,55 (Netral)
b. C-organik 1,365% (Rendah)
c. N-total 0,16% (Rendah)
d. P-tersedia 20,55 ppm (Rendah)
e. K-tersedia 192,04 ppm (Sedang)
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Malang, Juni 2012
154
Lampiran 2
Deskripsi Jagung Varietas Lamuru
Tanggal dilepas : 25 Februari 2000
Asal : Dibentuk dari 3 galur GK. 5 galur SW1, GM4,
GM 12, GM15. GM11 dan galur SW3
Umur : 50% keluar rambut: 55 hari
Masak fsiologis : 90 – 95 hari
Batang : Tegap
Warna Batang : Hijau
Tinggi tanaman : + 190 cm (160 – 210 cm)
Daun : Panjang
Warna daun : Hijau
Keragaman tanaman : Agak seragam
Perakaran : Baik
Malai : Semi kompak
Warna anthera : Coklat mudah (80%)
Warna rambut : Coklat keunguan (75%)
Tongkol : Panjang dan silidris
Tinggi letak tongkol : + 90 cm (85 – 110 cm)
Kelobot : Tertutup dengan baik (75%)
Tipe biji : Mutiara (fint)
Warna biji : Kuning
Baris biji : Lurus
Jumlah Baris/tongkol : 12 – 16 baris
Bobot 1000 bji : + 275 g
Rata-rata hasil : 5,6 t ha-1
Potensi hasil 7,6 t ha-1
Ketahanan : Cukup tahan terhadap penyakiot bulai
(Penonosclerospora maydis) dan karat daun
Daerah sebaran : Dataran rendah sampai 600 m dpl.
Pemulia : Mustari Basir, Masrum Dahlan, Made J. Mejaya,
Arbi Mappe dan Firdaus Kasim
Teknisi : Wisnu Undoyo, Arifiddin, Stefanus Misi, Ulfa
Aliawati
155
BLOK I
BLOK II
BLOK III
BLOK IV
Keterangan:
L0 : tanpa LPT
L1 : LPT C. pubescens Benth. Ukuran petak: 18 x 4 m
L2 : LPT M. pruriens L. Jarak antar petak : 1 m
L3 : LPT C. usaramoensis L. Jarak antar Blok: 1,5 m
L4 : LPT P. lunatus L.
Lampiran 3
Denah percobaan lapangan (percobaan 3) dalam Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL)
a
r
a
h
k
e
s
u
b
u
r
a
n
L0 L3 L1 L4 L2
L1 L4
L2 L3 L0
L4 L2 L3 L1
L0
L2 L3 L1
L4 L1
156
Keterangan:
Ж : barisan legum penutup tanah (LPT)
A: plot pengambilan sampel destruktif (ukuran 1x1m2)
Lampiran 4
Ukuran petak pada percobaan 3 dan plot pengambilan sampel LPT
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж A Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж ЖA Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж ЖЖ Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж Ж
4 m
18 m
157
BLOK I
BLOK II
BLOK III
Keterangan::
Lampiran 5.a
Denah percobaan lapangan dan pengacakan pada percobaan 4 yang disusun dalam
Rancangan Petak Terpisah (RPT)
L0I30
L0I10
L0I20
L1I30
L1I10
L1I20
L3I10
L3I10
L3I30
L4I10
L4I30
L4I20
L2I20
L2I30
L2I10
L1I30
L1I10
L1I20
L4I30
L4I10
L4I20
L2I10
L2I30
L2I20
L3I10
L3I20
L3I30
L0I30
L0I20
L0I10
L4I10
L4I30
L4I20
L2I30
L2I10
L2I20
L3I10
L3I30
L3I20
L1I10
L1I20
L1I30
L0I30
L0I20
L0I10
Petak Utama/sama dengan percobaan 3:
L0 : lahan tanpa tanaman penutup tanah
L1 : lahan bekas LPT C. pubescens Benth.
L2 : lahan bekas LPT M. pruriens L.
L3 : lahan bekas LPT C. usaramoensis L.
L4 : lahan bekas LPT P. lunatus L.
Anak Petak: Pengelolaan Biomassa LPT
I1: inkubasi 10 hari sebelum penanaman jagung
I2: inkubasi 20 hari sebelum penanaman jagung
I3: inkubasi 30 hari sebelum penanaman jagung
158
Keterangan:
ϓ : barisan tanaman jagung
A: plot ubinan/sampel panen (ukuran 2 x 2 m2)
Lampiran 5.b
Ukuran anak petak, petak utama dan plot pengambilan sampel ubinan pada
percobaan 4
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ A ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ
Anak petak
5 x 4 m
Petak utama
18 x 4 m
159
Lampiran 7
Analisis ragam kadar air (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi, pada
percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 2,47tn 6,80* 13,16** 21,29**
Perlakuan 7 14,34** 38,95** 89,31** 36,91**
Jenis biomasa LPT (L) 3 5,39* 19,74** 85,90** 17,47**
Metode Aplikasi (A) 1 83,78* 208,23** 355,93** 203,39**
Interaksi (LxA) 3 0,15tn 1,74tn 3,84tn 0,85tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 8
Analisis ragam kehilangan berat (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 11,60* 9,14** 6,45* 11,88*
Perlakuan 7 44,53** 100,25** 231,19** 65,22**
Jenis biomasa LPT (L) 3 29,45** 61,19** 146,62** 1142,49**
Metode Aplikasi (A) 1 188,37** 456,10** 1015,14** 25,01**
Interaksi (LxA) 3 11,67** 20,69** 54,45** 201,88**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 9.a
Analisis ragam pelepasan C-organik (%) dari biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 11,42* 7,05* 8,41* 16,91**
Perlakuan 7 47,04** 698,22** 237,67** 931,99**
Jenis biomasa LPT (L) 3 28,30** 394,17** 121,17** 373,57**
Metode Aplikasi (A) 1 172,14** 3021,38** 1225,16** 5228,19**
Interaksi (LxA) 3 7,77tn 227,88** 25,00** 58,35**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
160
Lampiran 9.b
Analisis ragam pelepasan N (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,
pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 6,30* 6,80* 1,52* 10,32*
Perlakuan 7 34,87** 314,04** 162,52** 375,53**
Jenis biomasa LPT (L) 3 31,06** 149,47** 43,21** 67,53**
Metode Aplikasi (A) 1 125,57** 1555,32** 964,35** 2402,58**
Interaksi (LxA) 3 8,44** 64,84** 14,56** 7,85**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 9.c
Analisis ragam pelepasan P (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,
pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 18,90** 13,71** 13,28** 6,03*
Perlakuan 7 15,11** 143,24** 74,37** 140,45**
Jenis biomasa LPT (L) 3 9,05** 64,18** 29,77** 56,38**
Metode Aplikasi (A) 1 77,58** 735,40** 412,80** 794,61**
Interaksi (LxA) 3 0,36tn 24,92** 6,16** 6,48**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 9.d
Analisis ragam pelepasan K (%) dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,
pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 5,66* 13,17** 12,73** 8,14*
Perlakuan 7 19,55** 419,23** 279,56** 151,30**
Jenis biomasa LPT (L) 3 13,10** 217,17** 121,43** 105,99**
Metode Aplikasi (A) 1 88,93** 1986,47** 1480,88** 669,44**
Interaksi (LxA) 3 2,88tn 98,87** 37,24** 23,90**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
161
Lampiran 9.e
Analisis ragam pelepasan Ca (%)dari biomasa LPT selama masa dekomposisi,
pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 9,44* 5,70* 7,25* 8,45*
Perlakuan 7 161,45** 478,20** 600,44** 356,68**
Jenis biomasa LPT (L) 3 92,22** 215,58** 175,44** 99,92**
Metode Aplikasi (A) 1 779,06** 2478,08** 3450,01** 2112,00**
Interaksi (LxA) 3 24,82** 74,19** 75,58** 28,35**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 10
Analisis ragam konstanta laju dekomposisi (k) biomasa LPT selama masa
dekomposisi, pada percobaan 1
Sumber Keragaman db F hitung
10 hst 20 hst 30 hst 40 hst
Kelompok 2 10,89* 8,54* 8,70** 8,36*
Perlakuan 7 41,77** 804,30** 314,50** 240,22**
Jenis biomasa LPT (L) 3 27,77** 486,50** 184,20** 128,58**
Metode Aplikasi (A) 1 174,44** 3164,98** 1320,36** 121,61**
Interaksi (LxA) 3 11,54** 335,20** 109,51** 391,39**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 11
Analisis ragam total koloni mikroba biomasa LPT setelah 40 hari masa
dekomposisi, pada percobaan 1
Sumber Keragaman Db F hitung
Kelompok 13,10**
Perlakuan 7 124,07**
Jenis biomasa LPT (L) 3 67,29**
Metode Aplikasi (A) 1 508,99**
Interaksi (LxA) 3 52,55**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
162
Lampiran 12
Analisis ragam kadar N total tanah (mg kg-1
) selama fase vegetatif jagung,
pada percobaan 2
Sumber Keragaman db F hitung N total tanah, pada
15 hst 30 hst 45
Perlakuan 12 31,00** 16,42** 21,72**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam
Lampiran 13
Analisis ragam kadar N tersedia tanah (mg kg-1
) selama fase vegetatif jagung,
pada percobaan 2
Sumber Keragaman db F hitung N tersedia tanah, pada
15 hst 30 hst 45
Perlakuan 12 258,71** 190,05** 330,25**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam
Lampiran 14
Analisis ragam serapan N tanaman jagung (mg kg-1
) selama fase vegetatif, pada
percobaan 2
Sumber Keragaman db F hitung serapan N tanaman jagung, pada
15 hst 30 hst 45
Perlakuan 12 17,26** 63,18** 51,56**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%, hst: hari setelah tanam
Lampiran 15
Analisis ragam bobot kering total tanaman jagung (g tanaman-1
) selama fase
vegetatif jagung, pada percobaan 2
Sumber Keragaman db F hitung Bobot kering total, pada
15 hst 30 hst 45
Perlakuan 12 4,14** 27,47** 20,19**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%,
hst: hari setelah tanam
Lampiran 16
Analisis ragam prosentase penutupan tanah (%), pada percobaan 3
Sumber Keragaman db F hitung Pentupan lahan, pada
1 bst 2 bst 3 bst
Kelompok 3 4,71* 12,82** 4,17*
Perlakuan 19 355,47** 786,50** 2906,92**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%;
**: F hitung nyata pada taraf 1%
bst: bulan setelah tanam
163
Lampiran 17
Analisis ragam kadar air tanah (%) selama masa bera, pada percobaan 3
Sumber
Keragaman db
F hitung Kadar air tanah
1 bts 2 bst 3 bst 4 bst 5 bst
Kelompok 3 7,512** 7,64** 8,91** 8,28** 10,14**
Perlakuan 19 0,31tn 17,48** 92,83** 170,53** 153,46**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak berbeda nyata
bst: bulan setelah tanam
Lampiran 18
Analisis ragam suhu tanah (oC) selama masa bera, pada percobaan 3
Sumber
Keragaman db
F hitung Suhu tanah
1 bts 2 bst 3 bst 4 bst 5 bst
Kelompok 3 3,67* 4,27* 3,63* 10,09** 6,89**
Perlakuan 19 4,01* 4,04* 16,95** 32,37** 190,84**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
bst: bulan setelah tanam
Lampiran 19
Analisis ragam bobot isi tanah (g cm-3
) dan porositas tanah (%) pasca bera,
pada percobaan 3
Sumber Keragaman db F hitung
Bobot isi tanah Porositas tanah
Kelompok 3 7,50** 7,50**
Perlakuan 19 39,95** 39,95**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 20
Analisis ragam produksi biomasa (b.k. t ha-1
), serapan C tanaman (t ha-1
) dan
simpanan C-organik tanah (t ha-1
), pada percobaan 3
Sumber Keragaman db
F hitung
Bobot kering
biomasa
serapan C
tanaman
simpanan C-
organik tanah
Kelompok 3 9,36** 9,36** 12,18**
Perlakuan 19 72,16** 72,16** 15,34**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
164
Lampiran 21
Analisis ragam kadar N jaringan tanaman (%) dan N yang tertambat (t ha-1
),
pada percobaan 3
Sumber Keragaman db
F hitung
N total
tanaman
Nisbah C/N N yang
tertambat
Kelompok 3 10,83** 9,32** 9,32**
Perlakuan 19 4724,13** 220** 220,01**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 22
Analisis ragam pH tanah, C-organik (%) dan bahan organik tanah (%),
pada percobaan 3
Sumber Keragaman db F hitung
pH tanah C-organik tanah Bahan organik
Kelompok 3 3,05tn 12,76** 12,76**
Perlakuan 19 9,49** 44,50** 44,50**
Keterangan: **: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak berbeda nyata
Lampiran 23
Analisis ragam kadar N total, P tersedia dan kadar K tanah setelah 5 bulan
pemberaan, pada percobaan 3
Sumber Keragaman db F hitung
N tanah P tersedia K tanah
Kelompok 5,13* 8,75** 8,75**
Perlakuan 19 13,89** 24,57** 24,57**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 24
Analisis ragam kadar Ca (me 100 g-1
tanah), Mg (me 100 g-1
tanah) dan kapasitas
tukar kation (KTK) tanah (me 100 g-1
tanah) setelah 5 bulan pemberaan,
pada percobaan 3
Sumber Keragaman db F hitung
Ca tanah Mg tanah KTK
Kelompok 3 3,64* 4,43* 4,82*
Perlakuan 19 3,97* 5,06* 34,41**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
165
Lampiran 25
Analisis ragam infeksi mikoriza (%) dan total koloni mikroba tanah (cfu),
pada percobaan 3
Sumber Keragaman db F hitung
Infeksi mikoriza Total koloni mikroba
Kelompok 3 8,46** 7,79**
Perlakuan 19 1486,05** 38,19**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 26
Analisis ragam simpanan C-organik tanah (t ha-1
), bobot isi tanah (g cm-3
) dan
porositas tanah (%), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)
Sumber Keragaman db
F hitung
Simpanan C-
organik
Bobot isi
tanah
Porositas tanah
Petak Utama:
Kelompok 2 3,74tn 5,98* 5,98*
Jenis LPT (L) 4 252,06** 199,07** 199,08**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 28,95** 26,79** 26,80*
Interaksi (L x I) 8 2,10tn 1,49tn 1,49tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 27
Analisis ragam pH tanah, C-organik dan bahan organik tanah, setelah panen
(akhir percobaan 4)
Sumber Keragaman db F hitung
pH C-organik Bahan organik Petak Utama:
Kelompok 2 5,4411* 13,0562** 13,0562**
Jenis LPT (L) 4 53,3959** 658,7139** 658,7139**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 6,4396* 6,3898** 6,3898*
Interaksi (L x I) 8 2,2227tn 0,7383tn 0,7383tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
166
Lampiran 28
Analisis ragam kadar N total tanah (%) dan kadar K (me 100 g-1
tanah), setelah
panen jagung (akhir percobaan 4)
Sumber Keragaman db F hitung
kadar N tanah kadar K Petak Utama:
Kelompok 2 16,45** 8,0735*
Jenis LPT (L) 4 241,20** 120,7824**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 16,73** 20,9823**
Interaksi (L x I) 8 34,39** 8,3496*
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
Lampiran 29
Analisis ragam kadar P-tersedia (mg kg-1
tanah ), Ca (me 100 g-1
tanah) dan Mg
(me 100 g-1
tanah) dan KTK tanah (me 100 g-1
tanah), setelah panen jagung
(akhir percobaan 4)
Sumber Keragaman db F hitung
P-tersedia Ca Mg KTK Petak Utama:
Kelompok 2 5,1992* 15,63** 5,22* 3,921*
Jenis LPT (L) 4 51,8508** 19,68** 11,09** 18,728**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 13,7856** 3,27tn 7,40* 2,853**
Interaksi (L x I) 8 4,2720* 1,44tn 0,66tn 3,921**
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 30
Analisis ragam total koloni mikroba tanah (cfu) dan respirasi tanah (mg CO2 g
tanah-1
), setelah panen jagung (akhir percobaan 4)
Sumber Keragaman db
F hitung
Total koloni mikroba
tanah
Respirasi tanah
Petak Utama:
Kelompok 2 17,51** 4,8295*
Jenis LPT (L) 4 147,70** 98,7460**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 22,76** 13,6987**
Interaksi (L x I) 8 2,23tn 1,2086tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
** : F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
167
Lampiran 31
Analisis ragam panjang tongkol (cm), diameter tongkol (cm) bobot biji tongkol-1
(g), bobot 100 biji (g), pada akhir percobaan 4
Sumber
Keragaman db
F hitung
panjang
tongkol
diameter
tongkol
bobot biji
tongkol-1
bobot 100
biji Petak Utama:
Kelompok 2 15,03** 54,57** 7,50* 14,36**
Jenis LPT (L) 4 89,57** 622,89** 117,42** 113,71**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 11,60** 162,04** 46,73** 52,71**
Interaksi (L x I) 8 1,54tn 2,14tn 2,18tn 0,05tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 32
Analisis ragam bobot kering tanaman (t ha-1
) dan hasil jagung pipilan kering k.a
15% (t ha-1
), pada percobaan 4
Sumber
Keragaman db
F hitung
Bobot kering tanaman Hasil jagung pipilan kering Petak Utama:
Kelompok 2 14,43** 12,48**
Jenis LPT (L) 4 35,17** 183,04**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 19,06** 77,52**
Interaksi (L x I) 8 0,81tn 1,61tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
Lampiran 33
Analisis ragam bobot kering gulma (g m-2
) pada 20 hst dan 40 hst,
pada percobaan 4
Sumber Keragaman db
F hitung
Bobot kering gulma
20 hst
Bobot kering gulma
40 hst Petak Utama:
Kelompok 2 6,94* 1,38tn
Jenis LPT (L) 4 143,58** 31,84**
Anak Petak :
Masa Inkubasi (I) 2 12,02** 8,59**
Interaksi (L x I) 8 0,45tn 2,20tn
Keterangan: * : F hitung nyata pada taraf 5%
**: F hitung nyata pada taraf 1%
tn : tidak beda nyata
168
Lampiran 34
Hasil analisis regresi antara simpanan C-organik dengan kualitas tanah,
pada percobaan 4
Source SS Df MS F P
Total 6698,22 44 - - -
Regresion 6696,70 13 515,07 6912,17 0,0000***
Bobot isi tanah 5464,54 1 5464,54 7333,39 0,0000***
Porositas tanah 41,89 1 41,89 562,18 0,0000***
pH (H20 1:1) tanah 247,72 1 247,72 3324,33 0,0000***
Kadar C tanah 938,51 1 938,51 12594,61 0,7055ns
Bahan organik tanah 0,10 1 0,10 0,145 0,528ns
Kadar N total tanah 0,37 1 0,37 4,93 0,0338*
P-tersedia tanah 0,04 1 0,04 0,05 0,4722ns
K-dd tanah 1,51 1 1,51 20,21 0,0001***
Ca tanah 0,001 1 0,001 0,02 0,8909ns
Mg tanah 0,13 1 0,13 1,74 0,1960ns
KTK tanah 0,55 1 0,55 7,32 0,0110*
Koloni mikroba tanah 0,001 1 0,001 0,02 0,8863ns
Respirasi tanah 0,65 1 0,65 8,72 0,0060**
Error 2,31 31 0,07 -
169
Lampiran 35
Hasil analisis regresi antara hasil jagung dengan simpanan Corganik dan kualitas
tanah, pada percobaan 4
Source SS Df MS F P
Total 84,43 4 - - -
Regresion 79,37 14 5,67 33,69 0,0000***
Simpanan C-organik 58,37 1 58,37 346,89 0,0000***
Bobot isi tanah 5,66 1 5,66 33,63 0,0000***
Porositas tanah 3,13 1 3,13 18,63 0,0002***
pH (H20 1:1) tanah 1,28 1 1,28 7,62 0,0097**
Kadar C tanah 2,92 1 2,92 17,36 0,0002***
Bahan organik tanah 0,06 1 0,06 0,41 0,528ns
Kadar N total tanah 2,52 1 2,52 14,98 0,0005***
P-tersedia tanah 0,09 1 0,09 12,47 0,001*
K-dd tanah 0,86 1 0,86 5,12 0,031*
Ca tanah 0,05 1 0,05 0,30 0,585ns
Mg tanah 0,85 1 0,85 4,73 0,069ns
KTK tanah 0,25 1 0,25 1,49 0,230ns
Koloni mikroba tanah 0,04 1 0,04 0,22 0,064ns
Respirasi tanah 0,82 1 0,82 4,85 0,350ns
Error 5,05 30 0,17 -
170
Lampiran 36
Peta Adminstratif Kabupten Kupang Propinsi NTT, yang menjadi lokasi
penelitian
Lokasi Desa
Oelnasi,
Kecam
atan Kupang
Tengah,