unud-376-95861053-final tesis

Upload: aidan-aubrey

Post on 10-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

unud-376-95861053-final tesis

TRANSCRIPT

TESISPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATIPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANADENPASAR2011

TESISPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

TESISPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATINIM : 0890561067PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUMPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANADENPASAR2011

TESISPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

TESISPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGANTesis ini untuk memperoleh Gelar Magister HukumPada Program Studi Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas UdayanaANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATINIM : 0890561067PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU HUKUMPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANADENPASAR2011

Lembar Persetujuan PembimbingTESIS INI TELAH DISETUJUIPADA TANGGAL 16 DESEMBER 2011Pembimbing I,Pembimbing II,Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MHDewa Gede Rudy, SH, MH NIP. 19550306 198403 1 003NIP. 19590114 198601 1 001Mengetahui,Ketua Program Studi Magister Ilmu HukumDirekturProgram PascasarjanaProgram PascasarjanaUniversitas Udayana,Universitas Udayana,Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SUProf.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)NIP. 19560419 198303 1 003NIP. 19590215 19851 02 001

Tesis Ini Telah DiujiPada Tanggal 16 Desember 2011Panitia Penguji TesisBerdasarkan SK Rektor Universitas UdayanaNomor : 2033/UN14.4/HK/2011, Tanggal 7 Desember 2011Ketua: Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MHSekretaris : Dewa Gde Rudy, SH, MHAnggota : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU I Ketut Westra, SH, MHIda Bagus Putra Atmaja, SH, MH

(ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI)NIM 0890561067

SURAT PERNYATAAN KEASLIANYang bertanda tangan dibawah ini :Nama: Anak Agung Ayu Diah IndrawatiTempat/Tanggal Lahir: Denpasar/11 April 1981Jenis Kelamin: PerempuanAlamat: Jl. Dr. Sutomo No. 27 Trenggalek Jawa TimurNomor Telepon: 081337023796Jurusan: Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis)Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.Apabila Penulisan Tesis ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan / atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan / atau sanksi hukum.Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.Trenggalek, 25 November 2011Yang menyatakan

(ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI)NIM 0890561067

UCAPAN TERIMA KASIHOm Swastiastu,Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN".Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karenanya pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :1. Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) Rektor Universitas Udayana.2. Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.3. Prof.Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.4. I Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH, MH Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.5. Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Pembimbing I, yang telah banyak memberikan masukan dan selalu mengingatkan untuk sesegera mungkin menyelesaikan tesis ini.6. Dewa Gede Rudy, SH, MH Pembimbing II yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan saran serta semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

(ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI)NIM 0890561067

7. Bapak / Ibu Dosen pengajar dan seluruh staf administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam segala hal guna penyelesaian kuliah di Program Pascasarjana Universitas Udayana.8. Suamiku tersayang A.A.Putu Putra Ariyana, SH, Anandaku yang tercinta A.A.Ayu Citra Nariswari, Ibundaku yang selalu memberi motivasi tiada henti I.G.A Puspawati, SH, MH, Ajiku I Gusti Putu Gde Suwirya, kakakku A.A.Putu Agung Suryakusuma, ST, dan adikku A.A.Gde Agung Prawiranegara, SE dan keluarga di Jero Grenceng dan di Jero Peguyangan yang begitu perhatian dan memberikan dukungan moril dan materiil dalam menyelesaikan kuliah di Program Pascasarjana Universitas Udayana.9. Teman-teman kuliah serta rekan-rekan kerja di Pengadilan Negeri Tabanan dan Pengadilan Negeri Trenggalek yang selalu memberi semangat selama masa perkuliahan dan selama penyusunan tesis ini.Semoga kebaikan Bapak / Ibu dan Saudara sekalian mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.Akhir kata, apabila ada kekurangan dalam tesis ini penulis minta maaf dan besar harapan saya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.Om Santi Santi Santi Om.Trenggalek, November 2011Penulis

ABSTRAKPERLINDUNGAN HUKUM KONSUMENDALAM PELABELAN PRODUK PANGANPasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah label khususnya label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen maupun pelaku usaha, padahal label memegang peran penting dalam upaya perlindungan konsumen. Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur yang seharusnya tercantum dalam label bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat hukum pada pelaku usaha untuk bertanggungjawab apabila sampai merugikan konsumen. Untuk itu menarik untuk dikaji apakah pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibat hukum dari informasi tidak benar, jelas dan jujur dalam label.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normative, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan inventarisasi dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif.Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan label pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdata maupun pidana.Kata kunci : label, informasi, hak konsumen dan perlindungan konsumen.

ABSTRACTCONSUMER PROTECTION LAW IN LABELINGFOOD PRODUCTArticle 1 (3) of the Government Regulation 69 of 1999 on Food Labels and Advertising is meant to determine that food labels are : every description of food in the form of drawing, writings, a combination of both or any other form supplied with food, put in, affixed to or a part of food packinging. From the above definition, label can be seen that the information contained on the label. The right to correct information, clearly and honestly is one of the rights of consumers. But unfortunately, the problem of food labels, especially labels received less attention from consumers and businesses, whereas the label holds an important part in efforts to protect consumers. The absence of correct information, clear and honest that should be listed in the labels could mislead consumers and course the legal consequances on actors in the business to be responsible if to harm consumers. It is interesting to examine whether the labeling of food products as stipulated in Government Regulation 69 of 1999 has been compliance with the principles of consumer protection and wheather the legal effect of information that is not correct, clear and honest in the label.This type of research applied in this study was normative legal research, a study that puts the norm as a research object, in this case is Government Regulation 69 of 1999. This type of approach used in this research was the normative jurisdical approach that emphasizes research on the secondary data from the source material consisting of primary law, secondary, tertiary differences. The collection of data began with an inventory of legal materials by collecting and organizing legal materials. Analysis of legal materials in this study was qualititatively and comprehensively conducted.From the results, the conclusion can be obtained that the food product labeling provisions as stipulated in Government Regulation 69 of 1999 do not meet the principle of consumer protection, and violation of provisions of the food label by businesses may be subject to the responsibility of administarative, civil or criminal.Keywords : labels, information, consumer rights and consumer protection.

RINGKASANBab I Pendahuluan, menguraikan bahwa hak atas informasi yang benar adalah salah satu hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Salah satu sumber informasi adalah label. Dalam kaitannya dengan pangan yang merupakan salah salah satu kebutuhan dasar manusia, maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya, yang mana hal itu semua bisa diketahui dari label pangan.Ketentuan mengenai label diatur dalam beberapa undang-undang diantaranya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UndangUndang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, dan yang lebih spesifik lagi mengenai pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi. Namun sayangnya, dari hasil kajian yang dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh pelaku usaha, sehingga di pasaran Indonesia saat ini dapat dengan mudah kita mendapati produk pangan yang tidak memberi informasi lengkap dalam label, misalnya saja produk dengan bahasa asing. Bagaimana label dengan bahasa asing bisa memberi informasi. Dalam hal seperti ini, hak konsumen menjadi terabaikan.Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum.Bab II, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen menguraikan mengenai pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha.Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung

Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen serta asas kepastian hukum. Kelima asas itu mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas tersebut melandasi tujuan dari perlindungan konsumen sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Mengenai hak-hak konsumen di Indonesia diatur dalam l pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya, laranganlarangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain sebagainya.Bab III, Ketentuan Label Pangan Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen, menguraikan mengenai pengertian label, label sebagai wujud hak konsumen atas informasi, arti penting label pangan bagi konsumen dan ketentuan label pangan terkait dengan asas perlindungan konsumen.Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuat informasi. Informasi mana sangat berguna bagi konsumen, karena dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Informasi pada label tidak hanya bermanfaat bagi konsumen, karena label juga memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan juga bagi pelaku usaha.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung

ide-ide atau asas-asas yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi setelah dicermati ketentuan-ketentuan yang ada di dalam PP No. 69 Tahun 1999, rupanya asas-asas perlindungan konsumen sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 belum sepenuhnya memenuhi kelima asas-asas yang dimaksud. Mulai dari pengertian label sendiri yang masih memberi peluang terjadinya pelanggaran, masih adanya pengecualian penggunaan bahasa Indonesia, ketentuan penulisan masa kadaluarsa yang tidak ada keseragaman.Bab IV, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan, menguraikan bahwa dalam hal pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan label pangan maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara perdata, pidana maupun administrative. Penegakan peraturan (by the law enforcement) melalui hukum administrative berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen dengan perijinan dan pengawasan. Hukum pidana berfungsi untuk menanggulangi (represif) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman. Sedangkan hukum perdata berfungsi untuk memulihkan hak (curative/recovery) dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.Bab V, Penutup, menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan pertama : bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, kedua : pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakan sanksi secara perdata, pidana maupun administrative. Adapun saran penulis terhadap permasalahan yang diteliti, Pertama : dalam rangka untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah pelabelan pangan, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan yang lebih kongkrit dan jelas mengenai label pangan. Dengan adanya rambu -rambu dan peraturan yang jelas dari pemerintah, maka konsumen terlindungi dari kemungkinan label yang tidak benar, atau bahkan menyesatkan. Kedua : Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlu melakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masih kurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintah baik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih baik dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan, khususnya produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan. Kepada pelaku usaha penulis juga berharap agar konsep label hendaknya disusun dengan tidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur sekaligus mendidik konsumen. Dan terakhir kepada konsumen agar selalu mengecek label sebelum membeli atau mengkonsumsi suatu produk.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung

DAFTAR ISIHalamanHALAMAN JUDUL iHALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER iiHALAMAN PENGESAHAN iiiPENETAPAN PANITIA PENGUJI ivSURAT PERNYATAAN KEASLIAN vUCAPAN TERIMA KASIH viABSTRAK viiiABSTRACT ixRINGKASAN xDAFTAR ISI xiiiBAB I PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang Masalah 11.2. Rumusan Masalah 161.3.Tujuan Penelitian 171.3.1 Tujuan Umum 171.3.2 Tujuan Khusus 171.4. Manfaat Penelitian 171.4.1 Manfaat Teoritis 171.4.2 Manfaat Praktis 18

1.5.Orisinalitas Penelitian 181.6.Landasan Teoritis 201.7.Metode Penelitian 341.6.1 Jenis Penelitian 341.6.2 Jenis Pendekatan 351.6.3 Sumber Bahan Hukum 361.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 381.6.5 Teknik Analisis 38BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 402.1. Pengertian Perlindungan Konsumen 402.2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 462.3. Hak dan Kewajiban Konsumen 562.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 73BAB III KETENTUAN LABEL PANGAN DALAM KAITANNYADENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN 783.1. Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi 783.2. Pentingnya Pelabelan Bagi KonsumenUntuk Mendapatkan Perlindungan 953.3. Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen 99BAB IV TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAMPELANGGARAN LABEL PANGAN 1154.1. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan

Hukum Konsumen115

4.2.Tanggung Jawab Perdata Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan121

4.3.Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan139

4.4.Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha

Dalam Pelanggaran Label Pangan148

BAB VPENUTUP157

5.1.Kesimpulan157

5.2.Saran158

DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang MasalahSetiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang " aman .1Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa 2:" Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to nonhazard-ous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development,".Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak1 Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 33.2 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 3.

hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.3Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. 4 Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal3 Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, GhaliaIndonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h. 17.4 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h. 39.

13.dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.5Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting.6 Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. 7Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. 8 Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan5 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12.6 A.Z. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 76.7 Erman Raja Guguk, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,h. 2.8 Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.

13.secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasilhasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan

13.memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 9Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain :a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.9 Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,

h. 71.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.10Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable).Disisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada

10 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 18.

persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah.Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.11

11 Endrah, 2009, " Kasus Tentang Perundangan Pangan " diakses 2 Agustus 2010, available From URL : http://endrah.blogspot.com.

Dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa " Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atauminuman"..Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar.Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. 12 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.13Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau12 Purwiyatno Hariyadi, 2009, " Mencermati Label dan Iklan Pangan ", diakses 29 Juni 2010, available from URL : http://www.republika.co.id.13 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Yusuf Shofie II), h. 15.

perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.Selain diatur didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan " Halal " pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.Didalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang14 Dedi Barnadi - YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas Majalengka, 2009, " Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah ", Diakses 30 Juni 2010, Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc

berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut didalam pasal 2 ditentukan bahwa :(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukanbahwa :(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :a. nama produk;b. daftar bahan yang digunakan;c. berat bersih atau isi bersih;d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan :

(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca.Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan

konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya.Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.15Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum.

15 Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15.

Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya, Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.16 Pada kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan minuman kedaluwarsa.Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum ada standar baku. Ada yang sudah mengunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.

16 Ibid.

18 Ibid.

18 Ibid.Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu 17:1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes.4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kedaluarsa.Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 18: Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf latin, terutama produk impor. Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan Tidak mencantumkan waktu kedaluarsa Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih17 Konsumen Cerdas, 2009, " Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait Perlindungan Konsumen ", diakses 15 Agustus 2010, available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc.

18 Ibid.

18 Ibid. Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang tidak konsisten. Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya. Khusus menyangkut keterangan halal sebagai bagian dari label, data lembaga pemeriksa halal (LP-POM MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar 15% dari produk pangan di Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal. LP POM MUI telah menerbitkan 3.742 sertifikat halal untuk sekitar 12.000 produk pangan. Sementara itu, industri pangan di Indonesia mencapai lebih dari satu juta, dimana sekitar 2000 diantaranya merupakan industri besar dan sisanya merupakan industri kecil dan menengah.Konsumen dituntut untuk selalu berhati-hati dalam berkonsumsi rasanya tidak adil. Harus ada langkah perlindungan yang nyata dari Pemerintah kepada konsumen. Penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang benar bagi pelaku usaha yang melanggar aturan harus dilaksanakan. Itu penting untuk mengajarkan tanggung jawab moral kepada pelaku usaha.Dalam kasus-kasus perlindungan konsumen ada beberapa hal yang perlu dicermati, yakni :1. Perbuatan pelaku usaha baik sengaja maupun karena kelalaiannya dan mengabaikan etika bisnis, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya kerugian yang diderita konsumen missal (massive effect) karena menimpa apa saja dan siapa saja.

2. Dampak yang ditimbulkan juga bisa bersifat seketika (rapidy effect), sebagai contoh konsumen yang dirugikan (dari mengkonsumsi produk) bisa pingsan, sakit atau bahkan meninggal dunia. Ada juga yang ditimbulkan baru terasa beberapa waktu kemudian (hidden defect), contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknya penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlah produk yang bisa mengakibatkan kanker di kemudian hari.3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsi barang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dirinya kapan saja.19Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono20, Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?19 N.H.T. Siahaan 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Bogor, h. 11.20 Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang, h. 132.

2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ?1.3. Tujuan PenelitianTujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.1.3.1 Tujuan UmumPenelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.1.3.2 Tujuan Khusus1. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen.2. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan bagi pelaku usaha.1.4. Manfaat Penelitian1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang pelabelan.1.4.2 Manfaat PraktisPenelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.1.5. Orisinalitas PenelitianDari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian tentang " Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan ", belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti tentang yang terkait dengan pelabelan, yaitu :1. Tesis Kamila Hetami pada Program Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Ekonomi dan Teknologi Universitas Diponogoro, Semarang, 2009 yang berjudul " Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ". Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimana

implementasi perjanjian internasional mengenai organisme hasil rekayasa genetika ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. (2) Bagaimana perlindungan konsumen di Indonesia berkaitan dengan keterbukaan informasi produk-produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang berkaitan dengan pelabelan. (3) Bagaimana tanggung jawab produsen terhadap produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang berkaitan dengan pelabelan.212. Tesis Ali Amran Tanjung pada Program Magister Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, yang berjudul " Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen " . Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana pengaturan, penggunaan label halal terhadap produk makanan, (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan, (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal.223. Selanjutnya ada juga penelitian dari Ari Fatmawati dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011, yang berjudul " Konsumen dan Label (Study tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam21 Kamila Hetami, 2009, "Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ". Diakses 1 Desember 2011, avalaible from http://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila Hetami.22 Ali Amran, Tanjung, 2009, " Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ". Diakses 1 Desember 2011, avalaible from http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922.

Mengkonsumsi Produk Berlabel Halal di Kota Yogyakarta) ". Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimanakah profil label dalam makanan kemasan yang beredar di kota Yogyakarta, (2) Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat muslim sebagai konsumen makanan yang beredar di kota Yogyakarta.231.6. Landasan TeoritisTeori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam suatu system deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki fungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam diperlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.24Teori ini juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit. 25 Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan23 Ari Fatmawati, 2011, " Konsumen dan Label ", diakses 1 Desember 2011, available from http://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf.24 Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.25 Ibid.

pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif.Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Dengan demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pada bagian pembukaan UUD 1945, alenia ke-4 ada berbunyi " Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia &.". Kata " segenap bangsa Indonesia " adalah asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (sila ke-3 Pancasila Persatuan Indonesia). Dan kata " melindungi " mengandung asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut, baik dia laki-laki, perempuan, kaya, miskin, baik dia pelaku usaha ataupun konsumen.Untuk menganalisa permasalahan pada penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori hukum, diantaranya teori system hukum dari Lawrence Friedman, teori pengayoman dari Suhardjo, teori perlindungan dari Philipus M. Hadjon, teori keadilan dari Aristoteles dan John Rawls, teori negara hukum dan teori / asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller.Alasan menggunakan teori sistem hukum, karena penulis berpendapat bahwa ketentuan mengenai label merupakan elemen substansi dalam sistem hukum. Kemudian digunakannya teori perlindungan dan teori pengayoman karena ketentuan

mengenai label adalah ditujukan untuk perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat konsumen.Sedangkan digunakannya teori Negara hukum karena salah satu ciri khas Negara hukum adalah adanya pengakuan akan hak, termasuk hak konsumen akan informasi yang benar yang dapat diperoleh dari label. Disamping itu dalam konsepsi Negara hukum ada dikenal dua tipe Negara hukum yang salah satunya adalah Negara hukum dalam arti luas dimana Negara bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, termasuk berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Karena seluruh warga Negara adalah konsumen, maka perlindungan dan kesejahteraan konsumen menjadi tanggungjawab Negara.Digunakannya teori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller karena nampaknya ketentuan label sebagaimana diatur dalam PP. No. 69 Tahun 1999 masih banyak ditemukan penyimpangan oleh pelaku usaha.Kemudian digunakannya teori keadilan dari Aristoteles karena seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa perlunya undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan pelaksana dibidang konsumen termasuk diantaranya ketentuan label pangan dalam PP No. 69 Tahun 1999 karena karena lemahnya posisi konsumen dibanding posisi produsen/pelaku usaha. Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.

Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System atau tiga komponen dari system hukum. Ketiga komponen yang dimaksud adalah (1) struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau budaya. 26 PSubstansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara menegakkannya, yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Substansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada di dalam buku-buku hukum/UU/putusan hakim. Struktural mencakup wadah maupun bentuk dari system tatanan lembaga-lembaga formal, hubungan antar lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Kultural mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku. Malcolm Walters menyebutkan culture consists of generally shared visions of meaning, value and preference. 27 Penegakan hukum sebagai suatu system memerlukan sinergi antara komponen-komponennya (subsistem) tersebut diatas. Menurut H.L.A Hart " the union of primary and secondary rules is at the centre of a legal system 28 (sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer sekunder).26 Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12-18.27 Malcolm Walters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, h.13.28 Charles Samford, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell Ltd, UK, h. 26.

Teori pengayoman dikemukakan oleh Prof. Suhardjo, Menteri Kehakiman dalam Kabinet Presiden Soekarno.29 Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif. 30 Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk mewujudkan pengayoman ini termasuk didalamnya adalah :1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan2. Mewujudkan kedamaian sejati3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatKedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik lahir maupun bathin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.Teori perlindungan yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum29 Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 22.30 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 23.

represif dan perlindungan hukum preventif. 31 Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya.Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Menurut Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics maka pada dasarnya ada 2 (dua) teori tentang keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif/komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan bagian kepada setiap orang menurut jasanya, dan pembagian mana tidak didasarkan bagian yang sama akan tetapi atas keseimbangan. Sedangkan keadilan korektif/komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

31 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 3.

mengingat jasa seseorang. Keadilan korektif/komutatif memegang peranan dalam hal tukar menukar pada peraturan barang dan jasa, dalam mana sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Sehingga keadilan korektif/komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat khususnya negara dengan perseorangan.Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.32Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah. 33Menurut Lon Fuller ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik, yakni :1. &a failure to achieve rules at all, so that every issue must be diceded on an hoc basic (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya, dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc);2. A failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the rules he is expected to observe (aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut);32 Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40.33 Erman Raja Guguk, et.all, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, h.

7.

3. The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action, but undercuts the integrity of rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang);4. A failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti);5. The anactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain);6. Rules that require conduct beyond the poers if the affected party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan);7. Introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them (tidak boleh terus-menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang kehilangan orientasi); dan8. A failure of congruence between the rules as announced and their actual administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari).Dalam kaitannya dengan ketentuan label nampaknya ketentuan label sebagimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tidak memenuhi kriteria no. 8 dari teori Lon Fuller.Keberadaan tentang konsepsi negara hukum sudah ada semenjak berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan Aristoteles merupakan penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran negara hukum dimunculkan Plato. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan dalam dua pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal (sempit/klasik) yaitu negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat (negara jaga malam) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, urusan kesejahteraan didasarkan pada persaingan bebas (free fight), laisez faire, laisez ealler,

siapa yang kuat dia yang menang. Negara hukum dalam arti formal ini kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undangundang), yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan ekonomi adalah prinsip laiesez faire laiesizealler.Namun teori Negara hukum dalam arti sempit ini mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. 34 Maka para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti materiil (luas/modern) ialah negara yang terkenal dengan istilah welfare state (walvaar staat), (wehlfarstaat). Disini Negara bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan social (social security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi. 35 Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.34 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h. 16.35 Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, h. 46.

Dalam penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa " Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) ". Jadi demikian jelas Negara Indonesia adalah Negara hukum. 36Negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu :1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.2) negara didasarkan pada teori trias politica.3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur).4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatanmelanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).Seperti telah diuraikan diatas, salah satu ciri khas dari Negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Termasuk dalam hak-hak asasi manusia adalah hak konsumen.Mengingat betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan "Generasi Keempat Hak Asasi Manusia" yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi dalam perkembangan umat manusia di masa-masa yang akan datang.37 Dimana persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan36 Bernard Arief Shidarta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 47.37 Amstrong Sembiring, 2010, " Menyoal Hak-Hak Konsumen ', diakses 8 Juni 2010, available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id

yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.Hak konsumen dalam artian yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya. Konsepsi generasi keempat ini dapat disebut sebagai Konsepsi Generasi Kedua apabila seluruh corak pemikiran atau konsepsi hak asasi manusia sebelumnya yang bersifat vertikal dikelompokkan sebagai satu generasi tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan konsepsi hak asasi manusia. Konsepsi Generasi kedua adalah konsepsi hak asasi manusia untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy "Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen" saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia berujar, "Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang

38 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 27.suaranya nyaris tak didengar." Yang di dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest.Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:(1). the right to safety (hak atas keamanan)(2). the right to choose (hak untuk memilih)(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi)(4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya). 38Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy's Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hakhak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut, hak perlindungan kesehatan

38 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 27.dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming), hak untuk didengar (recht om te worden gehord).Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly) pada tanggal 9 April 1985. Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection. Lobi yang konsisten oleh kelompok konsumen berdasarkan Guidelines tersebut merupakan kesinambungan untuk meningkatkan dan memperkuat perlindungan hukum bagi kelanjutan gerakan konsumen di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun di negara maju. Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product liability.Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak: (1). To select commodities and service of their own will; (2). To know the real circumstances of the price, quality, Weight-measurement, function, ect., of commodities and service; (3). To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes as stipulated by law; (4). To request receipts for payment in purcahsing commodities

39 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 27.and services; (5). To request repairing, replacing, or returning commodities or service because of unstatisfactory quality according to the standard provided by law agreed by the parties, to request compensation when persobal or property damage is caused thereof; (6). To have other rights as stipulated law. Dalam catatan, mengenai urutan hak-hak diatas tersebut telah beberapa kali diubah dan tidak bersifat tunggal untuk seluruh negara tersebut. 39Di Indonesia, mengenai hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni :a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang

39 Ibid.mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.40Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. Indonesia melalui Undnag-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan kesembilan hak konsumen sebagai penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan Negara kesejahteraan, yaitu pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-Undang Dasar 19451.6 Metode Penelitian1.6.1 Jenis PenelitianPenelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.41 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.42 Data sekunder yaitu data-data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan hukum.43Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya kekaburan norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.Dalam kaitannya dengan penelitian hukum, maka Moris L. Cohen dan Kent. C. Olson memberikan definisi tentang penelitian hukum sebagai berikut44:Legal research is an assential component of legal practice. It is process of finding the law that the foverns an activity and materials that explain or analyse that law. The resource give the lawyers the knowledge with which orovide accurate and insigful advise, to draft effective document, or defend their clients rights in court.Artinya bahwa penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum, yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan serta menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk membuat suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di Pengadilan.1.6.2 Jenis PendekatanPenelitian hukum normatif mengenal beberapa jenis pendekatan yang dapat digunakan, yaitu :a. Pendekatan Kasus (the Case Approach);b. Pendekatan Perundang-undangan (the Statute Approach);c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach);d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach);e. Pendekatan Prasa (Word and Phrase Approach);f. Pendekatan Sejarah ( Historical Approach); dang. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach);45Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach). Permasalahan dikaji dengan mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada.1.6.3. Sumber Bahan HukumBahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat,46 yaitu:1) Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata). Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.4) Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.5) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.6) Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan7) Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan " Halal " pada Label Makanan.8) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.47 Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam penggunaan ataupun pemakaian internet antara lain efisien, tanpa batas (without

45 Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis, Universitas Udayana, h. 11-12.46 Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34

47 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h. 141.boundry), terbuka 24 jam (24 hours online), interaktif dan terjalin dalam sekejap (hyperlink).48c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus.1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan HukumPengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.49 Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuanpenemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.501.6.5 Teknik AnalisisDari bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan menggunakan tehnik deskripsi, interpretasi, argumentasi, evaluasi, dan sistematisasi. 51 Pengertian dari masing-masing tehnik analisis dimaksud adalah sebagai berikut :

48 Budi Agus Riswandi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta, h. 325.49 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20, Alumni, Bandung, h. 150.50 Romy Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 98.51 Program Studi Magister Ilmu Hukum UNUD, Op.cit, h. 14-15.

47 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h. 141.a. Tehnik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisiproposisi hukum maupun non hukum.b. Tehnik interpretasi, adalah penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum, terutama penafsiran kontekstualnya.c. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proporsi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.e. Tehnik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.

BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN2.1 Pengertian Perlindungan KonsumenDalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu " hukum konsumen " dan " hukum perlindungan konsumen ".Istilah " hukum konsumen " dan " hukum perlindungan konsumen " sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua " cabang " hukum itu identik. 52M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : &.rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted. 53Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.52 Shidarta, Op.cit, h. 9.53 Ibid, h. 23.

Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah :Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai :Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut :Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang

mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi Negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, undangundang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 54:1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :551. keselamatan fisik;2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen;3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian;6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi;

54 Yusuf Sofie II, Op.cit, h. 26.55 Taufik Simatupang, Op.cit, h. 11-13.

7. pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut56 :1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negative penggunaan teknologi;3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.Sedangkan menurut Setiawan, perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian. Dalam pandangan ini secara tegas dinyatakan bahwa upaya untuk melakukan perlindungan konsumen disebabkan adanya tindakan-tindakan atau perbuatan para pelaku usaha dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang tidak jujur sehingga dapat

56 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 6.

merugikan konsumen, praktek-praktek yang dijalankan salah satunya mengunakan bahan kimia sebagai bahan campuran dalam pengawetan makanan, misalanya formalin. Menurut Adijaya Yusuf dan John W. Head, perlindungan konsumen adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dan usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen mempunyai suatu misi yang besar yaitu untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat macam kepentingan, yaitu sebagai berikut57 :1. Kepentingan fisik;Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha.2. Kepentingan sosial dan lingkungan;Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginankonsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumbersumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang

57 M. Ali Mansyur, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, h. 81.

merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman.3. Kepentingan ekonomi;Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi dayabeli konsumen juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang dihasilkan.4. Kepentingan perlindungan hukum.Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku usaha yang merugikan.2.2. Asas dan Tujuan Perlindungan KonsumenDalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prisip yang mendasari diterbitkannya undangundang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan

peraturan pelaksananya.58 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.59Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut : ~ &bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut .60Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat ba