unud-293-234525099-bab iv
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISIS PROSPEK PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
PERKARA PIDANA OLEH JAKSA
4.1. Penyimpangan Dalam Penerimaan Pengajuan Peninjauan Kembali yang
Diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima permintaan peninjauan kembali
yang diajukan oleh jaksa dalam beberapa kasus yang telah ada, seperti putusan kasus
Muchtar Pakpahan, Kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School),
kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, dapat dikatakan sebagai
keputusan yang berani. Putusan-putusan tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai
putusan yang kontroversial, karena dianggap tidak melaksanakan aturan formal atau
telah bertindak melebihi ketentuan hukum acara mengenai hal pengaturan permintaan
peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut terlihat lebih memperhatikan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dari pada mengikuti ketentuan undang-
undang. Mahkamah Agung terlihat tidak fanatik terhadap ajaran positivisme atau
analytical positivism atau rechtsdogmatiek yang cenderung melihat bahwa hukum
sebagai suatu yang otonom, yang tujuannya tidak lain sekedar mencapai atau
terwujudnya kepastian hukum. Mahkamah Agung juga sepertinya telah berfikir
sebagaimana aliran realisme hukum yang tidak hanya berkutat pada pengongkritan
undang-undang, sebagaimana aliran realisme hukum Amerika ataupun realisme hukum
Skandinavia.
149
150
Menurut pemikir-pemikir tentang hukum di Amerika seperti Oliver Wendell
Holmes, bahwa seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara
realistis.142 Dalam pendapat yang lain, menurut Benyamin Nathan Cardozo, salah
seorang pemikir hukum Amerika berpandangan, bahwa :
1. Hukum adalah kegiatan hakim di pengadilan yang terikat pada tujuan hukum, yaitu kepentingan umum.
2. Hakim bebas memutus, tetapi dengan batasan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.143
Hampir sejalan dengan aliran realisme hukum Amerika, dalam aliran realisme
hukum Skandinavia, sebagaimana pendapat salah satu tokohnya yaitu Axel Hagerstrom,
bahwa ilmu pengetahuan hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris
yang relevan dalam bidang hukum.144 Demikian juga pendapat Ander Vilhelm
Lundstedt, bahwa hukum positif sama sekali tidak mewajibkan. Undang-undang hanya
merumuskan bagaimana kelakuan biasa orang dalam suatu situasi tertentu.145 Seperti
halnya Lundstedt, pemikir hukum lainya bernama Karl Olivecrona juga berpendapat,
bahwa :
Aturan hukum merupakan sejumlah peraturan. Peraturan-peraturan itu mempunyai pengaruh psikologis yang agak besar atas kelakuan orang. Pengaruh ini berpautan dengan organisasi kekuasaan fisik, yakni negara. Kekuasaan itu menakutkan orang untuk tidak melanggar peraturan-peraturan itu. Peraturan-peraturan hukum ditanggapi sebagai norma moral. Melalui propaganda orang-orang dibawa pada keyakinan bahwa mereka harus mentaati peraturan tersebut. Akan tetapi memang tidak terdapat peraturan yang normatif, terdapat hanya kenyataan saja.146
Putusan Mahkamah Agung dalam kasus-kasus peninjauan kembali tersebut di
142 Theo Huijbers I, Op.cit., h.179. 143 Achmad Ali, Op.cit., h.312. 144 Theo Huijbers I, Op.cit., h.181. 145 Theo Huijbers I, Op.cit.., h.182. 146 Theo Huijbers I, Op.cit., h. 182
151
atas, oleh Satjipto Rahardjo dipandang sebagai pembangkangan oleh pengadilan.147
Pembangkangan tersebut terjadi karena pengadilan lebih mendengar gejolak dalam
masyarakat dari pada mengikuti bunyi undang-undang. Filsafat atau aliran yang
legalistik-positivisme dipinggirkan dan digantikan oleh realisme hukum.148 Mahkamah
Agung dan pengadilan pada umumnya memang harus berani keluar dari lingkungan
formal dengan berfilsafat realisme seperti itu, semata-mata berdasarkan alasan demi
membangun hukum Indonesia yang lebih berkeadilan.149
Langkah hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam perkara-perkara
peninjauan kembali tersebut di atas, menunjukkan secara tidak langsung bahwa
Mahkamah Agung khususnya dalam perkara tersebut telah menerapkan tipe penegakan
hukum yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai penegakan hukum progresif.
Penegakan hukum tipe ini dilakukan demi menyelamatkan penegakan hukum di
Indonesia dengan tipe penegakan hukum moderen yang sebelumnya dianut tidak bisa
menyelesaikan kasus-kasus besar seperti korupsi, dimana para koruptor dan armada
hukumnya lebih pintar mematahkan jurus-jurus hukum yang akan dikenakan kepada
mereka.150
Sebaliknya, apabila berpegang teguh pada ajaran positivisme, putusan-putusan
peninjauan kembali di atas sebagai bentuk penyimpangan hukum. Dalam arti,
penyimpangan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sah dan berlaku, yakni
KUHAP. Ketentuan yang mengatur masalah peninjauan kembali dalam perkara pidana
147 Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, selanjutnya
disebut Satjipto Rahardjo V, h.39. 148 Ibid. 149 Ibid. 150 Satjipto Rahardjo, Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif,
htt://WWW.kompas.com. Tanggal Akses 5 Juli 2009, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo VI.
152
di Indonesia telah dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 263 KUHAP. Dalam pasal
tersebut secara jelas tidak ada ketentuan yang mengatur tentang boleh atau tidaknya
jaksa mengajukan peninjauan kembali. Hal ini berarti dalam pandangan positivisme
tidak ada kebolehan bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali, karena memang dalam
undang-undang itu tidak ada pengaturan kebolehan bagi jaksa. Kecenderungan melihat
bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, sebagaimana diagungkan penganut aliran
positivisme yang berpendapat, bahwa tujuan hukum tidak lain dari sekedar
mencapai/terwujudnya kepastian hukum, maka penyimpangan undang-undang dalam
pandangan positivisme juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum.
Keputusan Majelis Hakim Mahkamah Agung menerima peninjauan kembali
yang diajukan oleh jaksa sejak kasus pertama, yaitu kasus Muchtar Pakpahan dan kasus-
kasus berikutnya yang mengikuti hingga sekarang, secara normatif tidak mempunyai
landasan berpijak. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam menerima pengajuan
peninjauan kembali oleh jaksa dalam putusan peninjauan kembali perkara Muchtar
Pakpahan, perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), perkara
Soetiyawati maupun perkara Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut di atas, didasarkan
atas alasan yang pada intinya sebagai berikut :
1. Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman yang menentukan “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-
153
pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut.
Demikian juga Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang
menentukan, “Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan
dengan undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, dalam perkara pidana atau perdata oleh pihak-pihak yang
berkepentingan”, tidak menjelaskan ”tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan
pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali”.
Terhadap ketidakjelasan tersebut, dalam putusan Mahkamah Agung perkara
Muchtar Pakpahan maupun putusan setelahnya telah memberikan jawaban dengan
menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “pihak-pihak yang
berkepentingan dalam perkara pidana”, selain terpidana atau ahli warisnya adalah
jaksa.
2. Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu :
a. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang jaksa penuntut umum
mengajukan upaya peninjauan kembali. Sebab logikanya terpidana/ahli
warisnya tidak akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan vrijspraak
dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan
adalah jaksa penuntut umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat
(2) KUHAP.
b. Konsekuensi logis dari aspek demikian, maka Pasal 263 ayat (3) KUHAP
yang pokoknya menentukan, “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana
154
tersebut pada ayat (2) terdapat suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan
kembali apabila dalam putusan ini suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”, tidak
mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan
merugikan yang bersangkutan. Oleh kareananya logis apabila kepada jaksa
diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut dan seluruh pertimbangan sebagaimana
termuat dalam putusan-putusan peninjauan kembali di atas, terlihat Mahkamah Agung
sepertinya ingin membuktikan, bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali.
Keinginan itu juga terlihat dari salah satu pertimbangan hukum dalam perkara
peninjauan kembali perkara Pollycarpus Budihari Priyanto yang menyatakan,
”Menghadapi problema yuridis hukum acara pidana yang tidak diatur secara tegas
dalam KUHAP, Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara a quo
berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung
kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa untuk mengajukan
permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana”.
Membaca pertimbangan-pertimbangan hukum dalam perkara-perkara tersebut,
terlihat Mahkamah Agung dalam masalah hukum kasus itu telah tidak menjalankan
perintah undang-undang dan telah keluar dari ketentuan formal undang-undang (Pasal
263 KUHAP) sebagai acuan utama dalam menjalankan fungsinya mengadili suatu
perkara pidana yang diajukan peninjauan kembali. Tindakan menciptakan hukum acara
pidana sendiri dengan interpretasi ekstensif dalam mengadili perkara seperti
155
diperlihatkan Mahkamah Agung pada perkara Muchtar Pakpahan, perkara Ram Gulumal
alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), perkara Soetiyawati maupun perkara
Pollycarpus Budihari Priyanto, dalam pandangan positivisme sebagai hukum yang tidak
berlaku. Karena hukum yang berlaku menurut aliran positivisme adalah karena hukum
itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang.151
Hukum dalam bentuk positifnya (undang-undang) tersebut akan dianggap sah
dan dapat diberlakukan apabila dibentuk oleh lembaga legislatif (DPR) dengan
persetujuan bersama lembaga eksekutif (Presiden). Oleh John Austin dikatakan bahwa
setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum, yang ditentukan secara tegas
dan semua hukum positif dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang
untuk itu.152 Dengan demikian, hanya lembaga legislatif (DPR) dengan persetujuan
eksekutif (Presiden) sajalah yang berwenang menetapkan dan merubah suatu undang-
undang. Oleh karenanya, penerapan hukum dalam kasus peninjauan kembali yang
diajukan jaksa yang telah diterima oleh Mahkamah Agung, penerapannya dianggap
sebagai bentuk penyimpangan dari aturan hukum yang telah ada, yakni KUHAP. Hal
tersebut dikarenakan mengubah aturan yang sah diluar kewenangannya dalam sistem
hukum menurut H.L.A. Hart tidak dibenarkan. Dalam teori Hart tentang aturan yang
disebut secondary rule, kewenangan mengubah aturan (rules of change) dibatasi oleh
siapa dan bagaimana caranya. Jadi tidak secara bebas mengubah atau memberlakukan
suatu aturan hukum (undang-undang).
Keputusan Mahkamah Agung menerima peninjauan kembali perkara Muchtar
Pakpahan, perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), perkara
151 Theo Huijbers I, Op.cit., h. 129 152 Khudzaifah Dimyati, Op.cit., h. 64
156
Soetiyawati maupun perkara Pollycarpus Budihari Priyanto yang diajukan oleh jaksa,
dalam pandangan positivisme juga dianggap bukan sebagai keputusan yang tepat.
Putusan-putusan hukum yang tepat menurut Hart, dapat dihasilkan dengan cara-cara
yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa
mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, maupun norma-norma moral.153
Demikian juga menurut teori Lon Fuller, bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak
dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar
aturan-aturan yang umum.154. Hal itu artinya sesuai dengan teori Hart yang disebut
sebagai aturan primer (primary rule), seharusnya Mahkamah Agung bertindak
sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma yang ada, sehingga dengan langkah
seperti itu akan memberikan nilai kepastian hukum bagi pihak-pihak yang ingin
memanfaatkan lembaga peninjauan kembali.
4.2. Alasan Mahkamah Agung Menerima Pengajuan Peninjauan Kembali oleh
Jaksa
Perdebatan tentang diterimanya pengajuan peninjauan kembali yang
dilakukan jaksa oleh Mahkamah Agung, yaitu sejak adanya kasus Muchtar Pakpahan
hingga sekarang sepertinya belum tuntas. Berbagai pendapat telah banyak
mengemuka baik dari para praktisi hukum maupun para akademisi. Ada sebagian
pendapat bisa memahami dengan langkah yang telah diambil Mahkamah Agung.
Tetapi juga tidak sedikit pendapat yang keberatan atau tidak setuju dengan langkah
Mahkamah Agung tersebut.
153 Khudzaifah Dimyati, Op.cit., h. 61 154 Khudzaifah Dimyati, Op.cit., h. 62
157
Dari berbagai diskusi maupun kajian akademis, tampak bahwa pendapat-
pendapat yang muncul diwarnai oleh latar belakang dasar pemahaman yang berbeda-
beda. Sebagian pendapat terlihat didasari atas pemahaman secara kental ajaran
positivisme dan pada pendapat yang lainnya terlihat didasari atas pemahaman yang
lebih mengarah pada ajaran realisme hukum.
Menilai putusan-putusan perkara peninjauan kembali seperti pada kasus
Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School),
kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut, akan kurang
tepat apabila hanya bersandar pada satu sudut pandang teori atau ajaran hukum saja,
Melainkan harus dilihat secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang bagaimana
putusan-putusan tersebut lahir. Memperhatikan kembali putusan-putusan perkara
peninjauan kembali tersebut, pada hakikatnya terdapat dasar pembenar keputusan hukum
yang telah diambil oleh Mahkamah Agung dalam hal menerima pengajuan peninjauan
kembali yang dilakukan oleh jaksa. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai dasar
pembenar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kasus Muchtar Pakpahan.
a. Hukum terbentuk antara lain meliputi putusan-putusan hakim, seperti dalam
masalah pengajuan kasasi Pasal 244 KUHAP. Melalui penafsiran Pasal 244
KUHAP tersebut hakim menentukan bahwa terdapat dua macam putusan
bebas, yakni bebas murni dan bebas tidak murni. Terhadap putusan bebas
murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan terhadap putusan bebas tidak
murni dapat dimintakan kasasi.
158
b. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan,
bahwa dalam perkara perdata dan pidana terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam perkara pidana terdapat dua pihak yang berkepentingan, yakni
terdakwa dan jaksa yang mewakili kepentingan umum/negara. Ketentuan
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan adanya
pihak-pihak yang berkepentingan, dimaknai bahwa pihak-pihak yang
disebutkan diatas dapat mengajukan peninjauan kembali.
c. Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan, ”Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”,
memberi arti bahwa terhadap putusan pengadilan yang bukan putusan bebas
atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permintaan peninjauan
kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Terhadap putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum tidak dengan tegas ditentukan atau tidak diatur.
Dengan perkataan lain, tidak ada larangan untuk dimintakan peninjauan
kembali oleh jaksa, karena secara logika tidak mungkin terpidana atau ahli
warisnya akan mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas dan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
d. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama
sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap putusan pengadilan yang telah
159
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi
tidak diikuti suatu pemidanaan”. Mahkamah Agung berpendapat Pasal 263
ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli
warisnya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan. Oleh
karenanya, logis apabila Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut ditujukan
kepada Jaksa, sebab dalam hal ini jaksa adalah pihak yang paling
berkepentingan.
e. Berlandaskan asas legalitas dan dalam rangka menerapkan asas
keseimbangan antara hak asasi pihak-pihak peninjauan kembali sebagai
perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya, berwujud kepentingan
perseorangan atau golongan tertentu sebagai satu pihak. Sedangkan sebagai
pihak lainnya, untuk kepentingan umum, bangsa dan masyarakat termasuk
kepentingan pembangunan negara kesatuan Republik Indonesia.
Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali selaku badan
peradilan tertinggi mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar
semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan
secara tepat dan adil. Mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan
peninjauan kembali perkara ini, masih menjadi masalah hukum yang
menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam hal tersebut, Mahkamah Agung
melalui putusan perkara a quo ingin menciptakan hukum acara sendiri guna
menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa
160
tersebut dengan menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dari jaksa
secara formal dapat diterima.
2. Kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School).
a. Sepanjang mempertimbangkan jalan masuk untuk peninjauan kembali,
Majelis Hakim peninjauan kembali kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The
Gandhi Memorial School) setuju terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor
55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan
sepanjang menyangkut kewenangan/hak peninjauan kembali oleh jaksa.
b. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang jaksa berhak
mengajukan peninjauan kembali, Hal tersebut secara logika tidak mungkin
terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali terhadap
putusan vrijspraak (bebas) dan onslag van alle rechtvervolging (lepas dari
segala tuntutan hukum), sehingga dalam hal ini yang berkepentingan adalah
jaksa.
c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana
atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan,
sehingga logis apabila jaksa diberikan hak untuk mengajukan peninjauan
kembali melalui pasal ini.
3. Kasus Soetiyawati.
a. Ditinjau dari teori dan praktik yurisprudensi, dibenarkan melakukan
penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule
maupun depature. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam
sejarah perjalanan KUHAP dan diterima dalam praktik peradilan Indonesia
161
adalah kasus Natalegawa dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10
Desember 1993.
Dalam perkara itu, Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang
telah menjadi stare decisis melalui penafsiran ekstensif, yaitu meskipun Pasal
244 KUHAP “tidak memberi hak” kepada jaksa mengajukan kasasi terhadap
“putusan bebas”, tetapi ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang
melekat pada ketentuan ini dilenturkan, bahkan disingkirkan (overrule)
dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan
murni.
Motivasi meng-contra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk
mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung
dalam putusan yang dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral.
Bertolak dari kasus tersebut, Mahkamah Agung melenturkan atau
mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP demi mengejar tercapainya
kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal. Untuk itu harus diberi
hak kepada jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas,
dengan cara memberi kesempatan kepada jaksa membuktikan bahwa
pembebasan yang dijatuhkan pengadilan tidak adil (injustice).
b. Hakim/pengadilan dalam sistem hukum Indonesia mempunyai fungsi
membuat hukum baru (creation of new law). Fungsi membentuk hukum
(baru) oleh pengadilan/hakim tersebut harus dilakukan olehnya untuk mengisi
kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara
karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.
162
4. Kasus Pollycarpus Budihari Priyanto.
a. Mahkamah Agung menerima pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa
dengan pertimbangan sebagai berikut :
1) Menghadapi problema yuridis hukum acara pidana yang tidak diatur
secara tegas dalam KUHAP, Mahkamah Agung melalui putusan dalam
perkara a quo berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri,
guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang
jaksa penuntut umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali
dalam perkara pidana.
2) Untuk menyelesaikan problem yuridis tersebut, Mahkamah Agung
meneliti dan menafsir beberapa undang-undang sebagai acuan, yaitu :
a) Melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP, Mahkamah Agung
telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak
dapat dimintakan kasasi, sedangkan putusan bebas tidak murni dapat
dimintakan kasasi. Penafsiran ini telah menjadi yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung.
b) Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
menentukan, bahwa dalam perkara perdata dan pidana terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam perkara pidana terdapat
dua pihak yang berkepentingan yakni terdakwa/terpidana dan jaksa
163
yang mewakili kepentingan umum/negara. Pihak-pihak yang
berkepentingan dimaksud adalah terpidana dan jaksa.
c) Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Mahkamah Agung
ditujukan kepada jaksa, karena jaksa adalah pihak yang paling
berkepentingan agar putusan pengadilan dirubah.
d) Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak
asasi antara kepentingan perseorangan (termohon PK) disatu pihak
dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak yang
diwakili oleh jaksa, maka jaksa dapat pula mengajukan peninjauan
kembali.
e) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara
Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua
hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil. Karena
itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara
pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara
pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP
dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi
adanya kepastian hukum.
b. Selain atas alasan di atas, Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili
perkara peninjauan kembali terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto,
mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 5 Oktober 1996
Nomor 55 PK/Pid/1996 atas nama terpidana Muchtar Pakpahan dan putusan
Mahkamah Agung tanggal 25 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 atas nama
164
terpidana Ram Gulumal alias V. Ram, yang secara formal telah mengakui
hak/wewenang jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali. Pendirian
Mahkamah Agung tersebut selain untuk memelihara keseragaman putusan,
dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut terkandung “penemuan
hukum” selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan sebagaimana
tersebut di atas maupun doktrin dan asas-asas hukum, sebagai berikut :
1) Penganut doktrin sens-clair (la doctrine du sensclair) berpendapat bahwa
“penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika :
a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in concreto atau.
b) Peraturanya sudah ada tetapi belum jelas.
2) Pendapat Lie Oen Hock, apabila dalam undang-undang menunjukkan
kekurangan atau tidak jelas, dalam hal demikian undang-undang memberi
kuasa kepada hakim untuk memberikan sendiri maknanya atas ketentuan
undang-undang itu, atau artinya terhadap kata yang tidak jelas dalam suatu
ketentuan undang-undang, hakim boleh menafsir ketentuan undang-
undang tersebut secara gramatikal atau historis.
3) Pendapat M. Yahya Harahap, bahwa meskipun hukum acara tergolong
hukum public yang bersifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan
penafsiran atau diskresi, apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses
penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan
tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut
according to the principle of justice. Sifat hukum acara sebagai ketentuan
publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhya absolut. Ada
165
ketentuan yang dapat dilenturkan (fleksibel), dikembangkan (growith)
bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa
keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep to improve the quality of
justice and to reduce injustice.
4) Pertimbangan di atas sesuai dengan model pada konsep “daad-
daderstrafrecht” yang oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan
kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai
kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan
negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku
tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Selaras pula dengan
tujuan hukum dari filsafat hukum pancasila yaitu pengayoman, dimana
hukum harus mengayomi semua orang baik yang menjadi tersangka,
terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana.
5) Selain itu pertimbangan hukum tersebut juga sejalan dengan ajaran
“prioritas baku” dari Gustav Radbuch, dimana “keadilan” selalu
diprioritaskan. Ketika hukum harus memilih antara keadilan dan
kemanfaatan, maka pilihan harus kepada keadilan, demikian juga ketika
harus memilih antara kemanfaatan dan kepastian hukum, maka pilihan
harus kepada kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula
oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh panitia penyusunan RUU
KUHP 1991/1992 yaitu “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum
mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata.
Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum
166
yang akan ditetapkan hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan
diatas kepastian hukum“.
6) Pedoman pelaksanaan KUHAP menyebutkan bahwa tujuan dari hukum
acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, serta apakah
orang yang didakwa itu dapat disalahkan.
Dari pendapat atau pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagaimana
termuat dalam empat kasus di atas, apabila ditinjau dari ajaran positivisme seperti
telah diulas dalam sub bab sebelumnya, rasanya akan sulit dapat diterima. Hal itu
dikarenakan keputusan Mahkamah Agung menerima pengajuan peninjauan kembali
oleh jaksa dari empat kasus itu mendasarkan diri pada interpretasi secara luas
(interpretasi ekstensif), tidak sesuai ajaran positivisme, bahwa hukum yang dianggap
sah adalah karena bentuknya, lepas dari pengaruh sosial atau moral, semua itu
semata-mata untuk mendapatkan kepastian hukum. Namun demikian, untuk
mendapatkan pemahaman secara bulat atas pendapat atau pertimbangan hukum
Mahkamah Agung tersebut tentu haruslah meninjau pula dari sudut ajaran yang
lainnya.
167
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, hakim dalam menjalankan tugas dan
fungsinya tersebut selalu akan dihadapkan pada peristiwa-peristiwa konkrit. Untuk
dapat menyelesaikan perkara yang dihadapinya itu, seringkali hakim dihadapkan
suatu fakta bahwa hukum (tertulis) yang menjadi dasar untuk memutuskan perkara
tersebut tidak ada atau kurang jelas. Meskipun hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
hakim diharuskan tetap dapat memutuskannya. Dalam keadaan seperti itu, apakah
hakim boleh membuat sendiri hukumnya agar perkara yang dihadapinya dapat
diselesaikan ? Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengatakan, dalam keadaan
seperti itu hakim harus mencari hukumnya dan menemukan hukumnya.155
Selanjutnya menurut Sudikno dan Pitlo, bahwa penemuan hukum dimaksud
lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-
petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa
hukum yang konkrit.156
Untuk dapat menemukan hukum tersebut, maka diperlukan suatu metode
penemuan hukum dengan cara penafsiran atau interpretasi agar dapat memberi
penjelasan mengenai teks undang-undang, dan agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.157 Demikian pula seperti dikatakan
Theo Huijbers, bahwa untuk sampai pada suatu pengertian undang-undang yang
sungguh-sungguh perlu mengerti bagaimana suatu ketentuan berfungsi dalam praktik
hidup.158 Ilmu hukum itu sendiri menurut Theo Huijbers, bukan suatu sistem logis
tertutup, melainkan suatu sistem yang terbuka bagi pertimbangan-pertimbangan
155 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4 156 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4 157 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 13 158 Theo Huijbers I, Op.cit., h. 134
168
baru.159 Artinya, bahwa penafsiran terhadap undang-undang diperbolehkan sepanjang
undang-undang itu terdapat ketidakjelasan atau terdapat kekosongan norma.
Selain pendapat di atas, menghadapi problem adanya ketidakjelasan atau
adanya kekosongan norma, secara normatif sebagaimana ditentukan Pasal 28 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dari pemahaman tersebut, terhadap keputusan Mahkamah Agung
yang telah menerima pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa
melalui penafsiran-penafsiran sebagaimana telah diulas diatas dipandang merupakan
keputusan yang dapat dibenarkan.
4.3. Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Menerima Pengajuan
Peninjauan Kembali Perkara Pidana oleh Jaksa
Pro-kontra lahirnya putusan-putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung
dalam perkara pidana yang diajukan oleh jaksa dalam perkembangan hukum di
Indonesia telah menarik perhatian masyarakat luas terutama bagi kalangan akademisi
hukum maupun praktisi hukum. Pro-kontra tersebut terjadi karena dilatarbelakangi
oleh pemahaman dari sudut pandang yang berbeda dalam melihat kasus yang terjadi,
yaitu ada yang melihatnya dari sudut hukum positif dan ada yang melihatnya dari
sudut nilai keadilan. Pemahaman dari sudut hukum positif cenderung berfikir bahwa
keputusan-keputusan hukum haruslah seperti yang dikehendaki dalam undang-
undang. Sementara dalam pemahaman dari sudut keadilan, menghendaki bahwa
keputusan-keputusan hukum haruslah dilandasi nilai-nilai keadilan.
159 Theo Huijbers I, Op.cit., 134
169
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dengan mendasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan-putusan peninjauan
kembali kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi
Memorial School), kasus Soetiyawati dan kasus Pollycarpus Budihari Priyanto,
dalam tesis ini penulis mencoba menganalisis masalah diterimanya pengajuan
peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam
perkara pidana yang diajukan oleh jaksa dari beberapa kajian teori, sebagai berikut :
1. Penafsiran hukum oleh Mahkamah Agung terhadap ketentuan undang-undang
mengenai pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa.
Penafsiran hukum sebagaimana termuat dalam putusan-putusan peninjauan
kembali Mahkamah Agung pada kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias
V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati dan kasus Pollycarpus
Budihari Priyanto, secara garis besar mengenai hal sebagai berikut :
a. Penafsiran hukum terhadap Pasal 263 KUHAP sebagai dasar acuan pengajuan
peninjauan kembali pada perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
bercermin pada penafsiran hukum yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung
terhadap Pasal 244 KUHAP dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1983 kasus
Natalegawa tentang ketentuan pengajuan kasasi. Pada kasus Natalegawa tersebut
walaupun Pasal 244 KUHAP secara limitatif “tidak memberi hak” kepada
penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, akan tetapi
ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada ketentuan ini
dilenturkan, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas
yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. Mahkamah Agung dalam kasus itu
170
ternyata telah menafsirkan, bahwa putusan bebas tidak murni dapat diajukan
kasasi. Sebelum adanya penafsiran Mahkamah Agung terhadap Pasal 244
KUHAP ini, dalam praktik peradilan terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan
kasasi. Penafsiran Mahkamah Agung itu kemudian diartikan bahwa putusan
bebas ada dua jenis yaitu putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni.
Terhadap putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan
terhadap putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Sekarang penafsiran
tentang putusan tersebut sudah menjadi yurisprudensi tetap, sehingga dapat
diikuti oleh hakim-hakim yang lain setelahnya.
Istilah putusan bebas murni atau putusan bebas tidak murni dalam
KUHAP tidak dikenal. Pasal 191 ayat (1) KUHAP hanya menentukan, ”jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan menyakinkan, terdakwa diputus bebas”. Dari ketentuan Pasal 191 KUHAP
dan penjelasanya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud bebas murni adalah
putusan bebas karena berdasarkan penilaian hakim apa yang didakwakan jaksa
penuntut umum tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Adapun putusan
bebas tidak murni menurut Lilik Mulyadi, yaitu batalnya dakwaan secara
terselubung atau pembebasan yang menurut kenyataan tidak didasarkan pada
ketidakterbuktian surat dakwaan.160 Pendapat yang sama terhadap pengertian
bebas tidak murni, juga disampaikan Andi Hamzah, bahwa suatu putusan yang
bunyinya bebas tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum,
160 Lilik Mulyadi, op.cit., h. 158
171
yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung.
Selanjutnya dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, mengenai pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali tidak dijelaskan dengan
tegas siapa sebenarnya yang termasuk dalam pihak-pihak berkepentingan yang
dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut. Mahkamah Agung menafsirkan
pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana ada dua, yaitu
terdakwa/terpidana disatu pihak dan jaksa yang mewakili korban, masyarakat,
bangsa dan negara di pihak yang lainnya. Melalui tafsiran demikian itu maka
jaksa juga dipandang mempunyai hak untuk mengajukan peninjauan kembali
perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Terhadap Pasal 263 ayat (3) KUHAP, Mahkamah Agung menafsirkan bahwa
ketentuan tersebut ditujukan pada jaksa, karena logikanya tidak mungkin
ketentuan pasal ini akan dipergunakan oleh terpidana yang telah diputus bebas
untuk mengajukan peninjauan kembali. Kepentingan jaksa untuk mengajukan
peninjauan kembali menurut ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP ini adalah
sebagai pintu masuk mengoreksi putusan hakim yang kurang tepat melalui
Mahkamah Agung.
c. Berdasarkan asas legalitas dan penerapan asas keseimbangan hak asasi,
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa jaksa untuk mewakili korban atau
masyarakat umum, bangsa dan negara juga mempunyai hak untuk mengajukan
peninjauan kembali. Hal itu dikarenakan jaksa dalam tugasnya melakukan
penuntutan perkara pidana adalah untuk mewakili korban atau kepentingan
172
umum, bangsa dan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan
fungsinya bahwa Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara
Republik Indonesia yang bertugas membina dan menjaga agar semua hukum dan
undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, maka ketika ada undang-undang
yang digunakan dalam fungsi peradilan ternyata ada kekurangan atau kekosongan
aturan dan tidak bisa diterapkan secara maksimal, Mahkamah Agung akan
mengisi kekosongan hukum (undang-undang) tersebut dengan cara menciptakan
hukum sendiri melalui cara penafsiran terhadap undang-undang itu, demi
terwujudnya kepastian hukum. Hasil penafsiran yang telah dilakukan oleh
Mahkamah Agung terhadap undang-undang dan menghasilkan hukum secara
sendiri dalam kasus Muchtar Pakpahan telah menjadi yurisprudensi.
Yurisprudensi yang dibuat oleh Mahkamah Agung dalam tata perundang-
undangan juga merupakan sumber hukum, sehingga mempunyai kekuatan
mengikat. Bagi hakim-hakim yang ada dibawahnya atau yang sederajat dengan
Mahkamah Agung dapat mengikuti yurisprudensi yang telah dibuat Mahkamah
Agung dalam perkara yang sejenis.
Beberapa faktor yang menyebabkan penafsiran harus dilakukan dalam
hukum pidana baik mengenai hukum materiilnya atau hukum formilnya, yaitu:
1. Hukum tertulis tidak dapat dengan mudah segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat yang terjadi juga merubah nilai-nilai yang dianut masyarakat, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu misalnya rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku sehingga tidak mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, oleh karena itu untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka praktik hukum harus menggunakan suatu penafsiran.
2. Ketika hukum tertulis dibentuk ada suatu hal yang tidak diatur karena terlepas dari perhatian pembentuk undang-undang ketika undang-
173
undang dijalankan barulah muncul persoalan mengenai hal yang tidak diatur tadi, maka untuk mengisi kebutuhan dan kekosongan hukum, dapat menggunakan suatu penafsiran.
3. Keterangan yang menjelaskan beberapa arti istilah atau kata dalam undang-undang tidak mungkin memuat semua istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana pembentuk undang-undang memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur-unsur yang benar-benar ketika undang-undang dibentuk dianggap sangat penting sesuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal pembentuk undang-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran oleh hakim.
4. Seringkali suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga maksud dan artinya menjadi kurang jelas, sehingga dalam penerapan norma tersebut juga sering kali mengalami kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut digunakan penafsiran, dalam hal ini hakim bertugas menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya terkandung dalam norma tertulis. 161
Melalui penafsiran ekstensif, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa jaksa
adalah sebagai pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1)
dan ayat (3) KUHAP maupun Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Posisi jaksa dalam hal ini adalah
sebagai pihak yang mewakili kepentingan masyarakat atau negara. Mahkamah
Agung dalam fungsinya menjaga agar hukum diterapkan secara adil dan tidak
menjadi masalah hukum yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian hukum,
terutama bagi pihak yang merasa dirugikan, maka pengajuan peninjauan kembali
yang diajukan oleh jaksa secara formal dapat diterima oleh Mahkamah Agung.
2. Penggunaan yurisprudensi oleh Mahkamah Agung dalam mengadili suatu
perkara.
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam menerima pengajuan
161 Adam Chazawi I, Op.cit., h. 1-2
174
peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa pada perkara-perkara pidana setelah
kasus Muchtar Pakpahan, salah satunya adalah dengan mengikuti putusan
peninjauan kembali perkara pidana sebelumnya, yaitu perkara Muchtar Pakpahan,
yang selanjutnya dipergunakan sebagai yurisprudensi. Sesuai dengan
pengertiannya, yurisprudensi adalah putusan terdahulu yang sering diikuti dan
dijadikan dasar putusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.162
Penggunaan yurisprudensi sebagai dasar acuan bagi hakim untuk memutus
perkara yang sejenis dalam sistem hukum Indonesia dapat dilakukan, meskipun
pada umumnya dalam praktik peradilan di Indonesia hakim tidak terikat putusan
yang terdahulu. Dikatakan R. Soepomo, bahwa di Indonesia hakim tidak terikat
pada putusan-putusan hakim yang telah ada.163 Sebaliknya, dalam praktik
pengadilan-pengadilan di Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan putusan-
putusan hakim diatasnya termasuk terhadap permohonan banding dan kasasi.
Melihat dari fungsinya itu, maka yurisprudensi merupakan sumber penting untuk
mengisi kekosongan hukum atau untuk menjelaskan secara obyektif
ketidakjelasan norma yang terjadi dalam suatu ketentuan perundang-undangan.
Pada umumnya dalam sistem peradilan dikenal dua sistem, yaitu civil law
system dan cammon law system. Civil law system sering disebut anglo saxon.164
Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum kontinental, dalam praktik
peradilan hakim tidak terikat pada yurisprudensi mengenai perkara yang serupa.
162 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, h. 50 163 Komariah Emong Supradjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan hukum Materiil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Studi kasus Tentang Penerapan dan Perkembanganya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, h. 62
164 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 261-262
175
Sebaliknya, dalam Cammon law system untuk memutuskan suatu perkara, hakim
terikat pada “presedent”, atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan
yang akan diputus. Oleh karenanya, hakim ketika berhadapan dengan peristiwa
yang harus diselesaikan dan diputus secara hukum maka hakim harus berpedoman
pada putusan-putusan pengadilan yang terdahulu.
Penggunaan yurisprudensi sebagai dasar untuk memutus perkara adalah
sah, sebelum ada putusan lain yang membatalkan. Hal ini didukung dengan asas
res judicata pro veretate habetur, artinya putusan pengadilan atau hakim harus
dianggap benar selama belum ada pembatalan oleh putusan pengadilan yang lebih
tinggi. Langkah Mahkamah Agung menggunakan putusan Muchtar Pakpahan
sebagai salah satu dasar hukum mengadili perkara peninjauan kembali yang
diajukan jaksa setelahnya, adalah sah menurut hukum, karena belum ada putusan
yang membatalkan putusan tersebut. Yurisprudensi dalam praktik peradilan di
Indonesia mempunyai peranan yang sangat besar, menurut Mochtar
Kusumaatmadja, karena yurisprudensi erat kaitanya dengan pembaharuan
hukum.165
Menurut pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa keberadaan
yurisprudensi dalam sistem peradilan di Indonesia mempunyai peranan penting,
yaitu disamping untuk mengisi kekosongan hukum atau sebagai penjelas atas
ketidakjelasan norma, juga dapat sebagai pembaharuan hukum. Hal tersebut
dikarenakan suatu undang-undang yang berisi peraturan-peraturan yang bersifat
umum sering kali menghadapi permasalahan ketika dihadapkan pada peristiwa
165 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum Masyarakat dan pembinaan hukum nasional Suatu Uraiaan tentang landasan Pikir. Pola Dari Mekanisme Pembaharuan Di Indonesia, Binacipta, Bandung, h.12
176
konkrit yang bersifat khusus yang tidak diatur dalam undang-undang. Supaya
peraturan perundang-undangan dapat mengikuti perkembangan yang terjadi pada
masyarakat, maka disini peran hakim dibutuhkan dalam menerapkan undang-
undang terhadap peristiwa yang tidak jelas atau belum diatur dalam undang-
undang, yaitu dengan cara mencari hukumnya.
Sebagaimana hukum pada umumnya, putusan hakim mempunyai kekuatan
mengikat dan harus ditaati, terutama mengikat para pihak yang berperkara.
Meskipun putusan hakim hanya mengikat para pihak yang terkait, tetapi semua
pihak diluar para pihak tetap harus menghormatinya. Putusan hakim mengikat
para pihak yang bersangkutan, artinya putusan hakim itu harus dianggap benar
sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, meskipun putusannya itu
secara materiil tidak benar.166
3. Kewajiban hakim menemukan hukum.
Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan hukum acara pidana secara jujur dan tepat,
dengan tujuan untuk mengetahui pelaku yang sebenarnya, hal demikian memberi
arti bahwa KUHAP harus digunakan secara maksimal guna mendapatkan
kebenaran materiil dari suatu peristiwa pidana.
Pasal 263 KUHAP sebagai acuan utama dalam proses pengajuan peninjauan
kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap perkara
pidana seperti telah diuraikan di atas, ternyata telah menimbulkan masalah dalam
166 Sudikno mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4
177
pelaksanaannya, yaitu ketika jaksa ingin mengajukan peninjauan kembali atas
perkara pidana, timbul berbagai pendapat pro dan kontra karena ketidakjelasan
aturannya. Menghadapi masalah tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya
baik dalam kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi
Memorial School), kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto,
telah melakukan penafsiran ekstensif terhadap pasal 263 KUHAP. Menurut
pendapat Mahkamah Agung, jaksa termasuk sebagai pihak yang berkepentingan
dalam hal peninjauan kembali perkara pidana. Oleh karenanya, pengajuan
peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa diterima Mahkamah Agung.
Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan cara memperluas berlakunya norma
hukum kedalam peristiwa konkrit yang pada dasarnya tidak termasuk pada
kejadian yang diatur suatu norma hukum.167
Berkaitan dengan tugas hakim, yaitu mengadili perkara-perkara yang
dihadapkannya, hakim akan selalu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa konkrit.
Peristiwa konkrit tersebut tidak jarang muncul tidak dapat diselesaikan oleh
peraturan perundang-undangan yang telah ada, karena belum ada ketentuan yang
mengaturnya. Bahkan dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan hukum atau
hukumnya tidak jelas.
Menghadapi keadaan seperti itu hakim dituntut menemukan hukumnya,
agar perkara yang dihadapkannya itu dapat terselesaikan, tidak saja mewujudkan
tetapi juga membentuk hukum secara in concreto. Maksud hukum in concreto
167 Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana (Penafsiran Hukum Pidana, Pemberatan
& Peringanan, kejahatan Aduan, Pembarengan & Ajaran Kausalitas), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, selanjutnya disebut Adam Chazawi II, h. 12
178
adalah hukum dalam wujud putusan atau penetapan hakim.168
Penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia, adalah suatu hal yang
boleh dan sah dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara,
yaitu ketika hukumnya tidak ada atau tidak lengkap atau hukumnya tidak jelas.
Adanya penemuan hukum tersebut, kasus yang tidak diatur dalam suatu regulasi
tertulis dapat diselesaikan dan diputus dengan rasa keadilan. Penemuan hukum
adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
kongrit.169
Sesuai dengan keadaan masyarakat yang selalu berkembang dan terus
mengalami perubahan, maka kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga ikut
berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan nilai-nilai yang dianut
masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan
nilai-nilai yang berkembang tersebut, diperlukan penemuan hukum, yakni apabila
hukum tertulis tidak memenuhi kebutuhan terhadap terjadinya perkembangan atau
perubahan masyarakat.
Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya menyangkut pada
penerapan peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa kongkrit, tetapi juga
membentuk hukum bahkan menciptakan hukum. Hasil penemuan hukum oleh
hakim merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan hukum mengikat yang
dituangkan dalam bentuk putusan, dan juga sekaligus sumber hukum, karena dapat
168 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII Press,
Yogyakarta, selanjutnya disebut Bagir Manan II, h. v 169 Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
h. 37
179
diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam memutus perkara yang sejenis.
Ditinjau dari ajaran positivisme, pendapat Mahkamah Agung di atas sebagai
bentuk penyimpangan dan dianggap sebagai hukum (aturan) yang tidak tepat. Karena
dalam pandangan positivisme, seperti pendapat H.L.A. Hart, bahwa sistem hukum
adalah suatu sistem logis tertutup, artinya putusan-putusan hukum yang tepat hanya
dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang
telah ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial,
kebijaksanaan maupun norma-norma moral.170 Penafsiran hukum secara ekstensif
yang telah dilakukan Mahkamah Agung dengan mempertimbangkan keadaan-
keadaan sosial masyarakat dan guna memenuhi rasa keadilan, dalam pandangan
positivisme jelas sebagai bentuk contra legem (penyimpangan ketentuan undang-
undang). Hal itu karena dalam pandangan positivisme keputusan hukum harus
dilakukan sebagaimana peraturan yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini adalah
KUHAP. Sementara KUHAP secara jelas tidak mengatur tentang posisi jaksa.
Ajaran positivisme juga mewajibkan manusia bertindak atau tidak bertindak
berdasarkan aturan-aturan yang telah ada sebelumnya. Demikian juga seharusnya
sikap Mahkamah Agung dalam melihat persoalan hukum peninjauan kembali
tersebut. Sikap Mahkamah Agung itu dalam sistem hukum menurut Hart, dipandang
telah bertindak melampaui dari yang seharusnya seperti dikehendaki dalam aturan
primer (primary rules).171 Pandangan Hart itu sejalan dengan pandangan Lon Fuller,
bahwa aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang diluar kemampuan
170 H.R. Otje Salman, Op.cit., h. 90 171 H.R. Otje Salman, Op.cit., h. 90
180
pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang
tidak mungkin dilakukan, dan hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu.172
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan Mahkamah Agung yang
secara formal menerima pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa,
dalam pandangan positivisme merupakan suatu keputusan yang tidak tepat dan
sebagai bentuk penyimpangan. Hal itu karena dalam penerapan hukum tersebut telah
mengubah aturan yang sah diluar kewenangannya, dan dalam pemikiran secondary
rule tidak dibenarkan. Sebab kewenangan mengubah aturan itu dibatasi oleh siapa
dan bagaimana cara mengubahnya (rules of change).
Apabila putusan tersebut dipandang tidak tepat dan telah menyimpang, dalam
pandangan positivisme dapat dikatakan hasil putusannyapun dapat dianggap tidak
sah. Sebab bagi mereka yang berpandangan positivisme, menurut J.J. H. Bruggink,
hukum positif per definisi adalah hukum yang berlaku, sebab hukum positif itu
dibuat oleh orang-orang yang berwenang untuk itu. Orang-orang itu adalah para
pengemban kewenangan hukum yang didalam masyarakat yang bersangkutan
memiliki kewenangan pembentukan hukum. Zij beweren dan dat positief recht per
definitie geldend recht is, want het is door mensen gemaakt die daartoe bevoegd
waren. Die mensen zijn de rechtsautoriteiten die in de betreffende samenleving
rechtsvormend gezag hebben.173
Perkembangan masyarakat yang sangat pesat dengan problem yang semakin
kompleks sekarang ini, seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya, seringkali
membuat aturan hukum tertulis tidak dapat mengimbanginya. Ajaran positivisme
172 Khuzaifah Dimyati, op.cit., h. 63 173 J.J.H. Bruggink, 1993, Rechtsrelecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Kluwer-
Deventer, Holland, h. 100.
181
juga dirasa tidak sepenuhnya cocok dengan keadaan yang sedang terjadi.
Sebagai contoh dalam kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V.
Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus
Budihari Priyanto. Apabila ajaran positivisme secara kaku diterapkan, dapat
dibayangkan untuk mewujudkan tujuan hukum segi yang lain sulit terwujud dan
dapat menjadi kemungkinan menimbulkan problem baru dalam masyarakat, yaitu
hilangnya rasa keadilan.
Hukum yang sentralistik, yang terpusat pada peraturan, menurut Philippe
Nonet dan Philip Selznick, akan berguna pada saat seseorang menghadapi situasi-
situasi khusus yang terjadi berulang-ulang, yang juga akan terulang dimasa yang
akan datang. A centralized, rule-centered law is expedient when ”one is dealing with
typical, recurring situations, that will be repeated also in the future”.174 Lebih lanjut
menurut Nonet dan Selznick :
But when a new task is placed before society, when it is necessary to organize people for carrying out activity which has never been carried out before, and which in the future, when analogous tasks arise, will not be a simple repetition of what was done earlier....it becomes more difficult to prescribe directly from the center the concrete actions that must be or need not be taken to accomplish each of the multiple and variegated tasks.175
Menurut mereka, ketika tugas baru dihadapi oleh masyarakat, ketika tugas tersebut
mengharuskan mengorganisasi masyarakat agar melakukan kegiatan yang belum
pernah dilakukan sebelumnya dan dimasa akan datang, ketika tugas-tugas yang mirip
timbul, apa yang harus dilakukan bukan sekedar pengulangan sederhana atas apa
yang terjadi sebelumnya, maka akan menjadi sulit bagi pusat kekuasaan untuk
174 Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition : Toward
Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, h. 100. 175 Ibid.
182
membuat petunjuk-petunjuk mengenai tindakan-tindakan konkrit yang harus diambil
atau tidak perlu diambil untuk menyelesaikan setiap tugas yang sangat banyak dan
beragam.
Ditinjau dari ajaran hukum responsive, sebagai respons atas terjadinya
perkembangan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznick,
bahwa hukum dituntut menjadi sistem yang terbuka dalam perkembangan yang ada
dengan mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya
serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.176 Ajaran hukum
responsif sangat mendukung terhadap terjadinya perubahan yang terjadi pada
masyarakat. Menurut ajarannya, tatanan hukum harus ditekankan pada keadilan
substantif sebagai dasar legitimasi hukum, dan pertimbangan hukum harus
berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan.177
Bertolak dari ajaran hukum responsif tersebut, kiranya keputusan Mahkamah
Agung menerima pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa cukup
beralasan. Karena dalam fakta, penerimaan pengajuan peninjauan kembali oleh
Mahkamah Agung didasarkan atas alasan telah terjadi kesalahan dalam putusan
tingkat kasasi dan hal ini semata-mata dengan tujuan memberikan nilai kemanfaatan
dan kebaikan bagi masyarakat.
Selain ajaran hukum responsif diatas, dalam ajaran hukum progresif
sebagaimana diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, keputusan Mahkamah Agung
menerima pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa dipandang cukup
beralasan. Disini Mahkamah Agung disamping telah merespons secara baik
176 Bernart L. Tanya, dkk., Op.cit., h. 239 177 Bernart L. Tanya, dkk., Op.cit., h. 240-241
183
perkembangan yang muncul di masyarakat, ternyata juga tidak lagi terpaku pada
ajaran positivisme. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum harus memberi perhatian
besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia disini
merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegang
secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.178
Ajaran hukum progresif itu memberi kesimpulan, bahwa proses perubahan
tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas perilaku hukum dalam
mengaktualisasikan hukum secara tepat. Peraturan yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan kehidupan manusia dan dirasa kurang adil, tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan. Dari
pemaparan kasus di atas, telah terlihat bahwa Pasal 263 KUHAP secara limitatif
hanya mengatur hak terpidana atau ahli warisnya. Ketentuan tersebut apabila ditinjau
dari sisi manfaat dan keadilan dirasa tidak lagi mencerminkan keseimbangan hak
asasi.
Ajaran Penemuan hukum melalui penafsiran hukum yang dilakukan hakim,
oleh para ahli hukum telah diterima kebenarannya. Seperti pandangan Paul Scholten,
yaitu penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang lain dari pada hanya
penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat
sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan.179 Pendapat lainnya yang
mendukung ajaran penemuan hukum oleh hakim juga dikemukakan oleh Van
Eikema Hommes, bahwa :
Penemun hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh
178 Bernart L. Tanya, dkk., Op.cit., h. 144 179 Achmad Ali, Op.cit., h. 146
184
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.180
Ajaran penemuan hukum diatas relevan dengan ajaran hukum ekologis yang
dikemukakan oleh Carlos Cossio, bahwa :
Pada dasarnya keputusan pengadilan terdiri dari tiga unsur utama, yakni pertama, struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka aturan. Kedua, kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan oleh suatu keadaan khusus. Ketiga, penilaian yuridis yang diberikan oleh hakim pada dua unsur ini dalam suatu situasi tertentu.181
Lebih lanjut Carlos, berpendapat :
Dalam menghadapi suatu aturan hukum, seorang hakim tidak bertindak sebagai robot, tetapi sebagai manusia. Dalam konteks hakim sebagai manusia, ia dituntut mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepentingan umum. Dalam hal tiada norma yang spesifik, para hakim wajib berusaha mengikuti prinsip-prinsip hukum atau norma-norma dasar yang dianggap adil. Untuk sampai pada suatu keputusan yang didasarkan atas konsep keadilan.182
Pendapat-pendapat di atas sesuai juga dengan pendapat Nonet dan Selznick,
ketika sebuah permasalahan timbul dan ambiguitas terungkap, hakim harus
menciptakan cara-cara yang otoritatif untuk menyelesaikannya. When problems
occur and ambiguities are revealed, judges must evolve authoritative ways of
resolving them.183 Meskipun para hakim dianggap berbicara atas nama prinsip-
prinsip kewajiban yang mapan, mereka harus, suka atau tidak suka, menunjukkan
beberapa kemampuan untuk melakukan penemuan ketika mengadaptasikan prinsip-
prinsip tersebut pada situasi-situasi konkrit. Although judges are presumed to speak
for established principle of obligation, they must, willy-nilly, display some
180 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4 181 Bernart L. Tanya, dkk., Op.cit, h. 233 182 Bernart L. Tanya, dkk., Op.cit., h. 233-234 183 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.cit., h. 80
185
inventiveness in adapting such principles to concrete situations.184
Pendapat di atas kiranya cukup beralasan, karena suatu peraturan perundang-
undangan tidak selalu lengkap dan sempurna. Adakalanya ditemukan ketidakjelasan,
kekosongan, atau mungkin saja kurang memberikan keadilan. Oleh karenanya,
apabila dalam suatu peraturan perundang-undangan terdapat ketidakjelasan norma
atau kekosongan norma atau kurang memberi keadilan, perlu tindakan-tindakan
nyata guna penyempurnaannya. Charles Sampford dalam hal tersebut, berpendapat :
Some theorists see judges choosing the decision they personally feel to be the best among those arguable under existing precedent; others see judges choosing the decision that is entailed by the best justification of past decisions. The former involves a view of law as a partly incomplete and inconsistent mass of sources, the latter as something amenable to rational reconstruction.185
Menurut Sampford, bahwa hukum sebagai sumber-sumber massa yang secara parsial
tidak lengkap dan tidak konsisten. Selain itu, hukum adalah sesuatu yang
memungkinkan untuk suatu rekonstruksi rasional. Hal tersebut juga seperti dikatakan
Satjipto Rahardjo, bahwa skema dan hubungan hukum yang dirumuskan dengan
eksplisit dalam perundang-undangan tidak menghilangkan sifat melee
dibelakangnya.186 Melee dimaksud adalah keadaan cair (fluid), sehingga tidak
memiliki format formal atau struktur yang pasti dan kaku.
Hal diatas juga pernah diingatkan oleh Oliver Wendell Holmes, yaitu :
The life of the law has been, not logic, but experience.... Law will not be found by a mere examination of theoretical rules; concentration on those rule alone harms the legal profession since it leads to the ignoring of the wider context which gives law its true social significance.187
184 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.cit., h. 66-67 185 Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil
Blackwell Ltd, New York, h. 20-21 186 Satjipto Rahardjo III, h. 17 187 L.B. Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd, Estover, Plymouth, h. 187
186
Menurut Holmes, hukum tidak dapat ditemukan hanya dengan melakukan
penyelidikan terhadap aturan-aturan hukum. Pemusatan perhatian hanya pada aturan-
aturan tersebut justru akan membahayakan profesi hukum, karena pemusatan seperti
itu akan mengarah kepada pengabaian terhadap konteks yang lebih luas yang telah
memberikan makna sosial bagi hukum.
Berdasarkan ajaran-ajaran ataupun pendapat-pendapat tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa keputusan Mahkamah Agung menerima pengajuan peninjauan
kembali yang diajukan oleh jaksa dengan cara menemukan hukum cukup beralasan.
4.4. Prospek Pemberlakuan Permintaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Pada
Masa Akan Datang
Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana secara normatif telah diatur dalam Pasal
263 KUHAP. Dalam ketentuan pasal tersebut terlihat sebagai pihak yang
dimungkinkan dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli
warisnya.
Seiring perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, telah muncul
persoalan hukum, yaitu ketika jaksa berkeinginan mengajukan peninjauan kembali
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, oleh
karena menurut penilaian jaksa, putusan tersebut dianggap ada kekeliruan atau
kekhilafan hakim. Namun, jaksa dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat
umum, bangsa atau negara, tidak terakomodir kepentingannya dalam Pasal 263
KUHAP, karena dalam Pasal 263 KUHAP tersebut tergambar hanya diperuntukkan
bagi kepentingan terpidana sebagai pelaku tindak kejahatan (offender oriented).
187
Keadaan seperti di atas mencerminkan terlanggarnya asas yang dianut dalam
hukum acara pidana, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum
dengan tidak membedakan perlakuan (equality before the law). Perlakuan yang
demikian menunjukkan rasa ketidakadilan terutama bagi masyarakat yang dalam hal
ini diwakili oleh jaksa. Hal itu terlihat pada fakta bahwa ternyata bukan hanya
terpidana atau ahli warisnya saja yang memiliki kepentingan dalam penegakkan
hukum untuk mengoreksi putusan pengadilan yang kurang tepat melalui kewenangan
Mahkamah Agung. Korban atau masyarakat umum ternyata juga memiliki
kepentingan disana.
Apabila korban atau masyarakat umum yang diwakili jaksa tidak diberi ruang
yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya untuk melakukan pengajuan
peninjauan kembali, akan dapat merugikan bagi pihak korban atau masyarakat umum
ketika ingin membuktikan kembali bahwa putusan pengadilan kurang tepat. Adanya
kesalahan atau kekurangtepatan putusan pengadilan itu mungkin saja terjadi, kendati
hukum telah diikuti dengan cermat dan prosesnya dilakukan dengan tepat dan fair.
Hal tersebut juga seperti dikatakan John Rawls, even though the law is carefully
followed, and the proceedings fairly and properly conducted, it may reach the wrong
outcome.188
Melihat fakta pada kasus hukum mengenai pengajuan peninjauan kembali
pada beberapa kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, pengaturan tentang
pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana sebagaimana termuat dalam
Pasal 263 KUHAP perlu segera direvisi. Tindakan revisi itu untuk menjaga asas
188 John Rawls, 1972, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press,
Massachusetts, h. 86
188
keseimbangan kepentingan dan memenuhi rasa keadilan, yaitu kepentingan terpidana
atau ahli warisnya disatu pihak, dan jaksa dalam kapasitas mewakili korban,
masyarakat umum, bangsa dan negara di pihak lainnya. Hal itu menurut John Rawls,
jika kita menganggap keadilan sebagai sesuatu yang selalu mengekspresikan sejenis
kesetaraan, maka keadilan formal mengharuskan dalam tatanannya hukum dan
lembaga diperlakukan secara sama (yakni dengan cara yang sama) terhadap orang-
orang yang berada dalam kelas yang ditentukan oleh keadilan formal. If we think of
justice as always expressing a kind of equality, then formal justice require that in
their administration laws and institutions should apply equality (that is, in the same
way) to those belonging to the classes defined by them.189
Berkaitan dengan hal di atas, lebih lanjut John Rawls dalam teorinya
menegaskan, a distinctive feature of pure procedural justice is that the procedure for
determining the just result must actually be carried out, for in these case there is no
independent criterion by reference to which a definite outcome can be known to be
just.190 Bentuk tegas dari keadilan prosedural murni menurut John Rawls, bahwa
prosedur untuk menentukan hasil yang adil harus benar-benar dijalankan, sebab
dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang bisa dijadikan acuan hasil nyata bisa
adil. Dari hal-hal tersebut John Rawls berkesimpulan, we can not say that a
particular state of affairs is just because it could have been reached by following a
fair procedure.191 Menurut John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi
tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair.
189 Ibid., h. 58 190 Ibid., h. 86 191 Ibid., h. 58
189
Meskipun dalam perkembangannya melalui yurisprudensi, pengajuan
peninjauan kembali juga dapat dilakukan oleh jaksa, namun tetap dibutuhkan
pengaturan hukum formal setingkat undang-undang. Hal itu sebagai landasan hukum
dalam pelaksanaanya, sehingga tidak lagi menimbulkan keraguan dalam praktik
peradilan.
Berdasarkan asas keseimbangan perlakuan yang sama di depan hukum
(equality before the law), yakni dalam rangka menemukan kebenaran materiil
sebagaimana tujuan hukum acara pidana yang dianut dalam KUHAP, Undang-
undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-
undang Dasar 1945, maka sudah seharusnya hak untuk mengajukan peninjauan
kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
tidak hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi, juga kepada
jaksa dalam kapasitasnya mewakili kepentingan korban kejahatan, masyarakat
umum, bangsa dan negara. Hal itu sebagai upaya hukum apabila terjadi adanya
putusan pengadilan yang kurang tepat, dan jaksa dapat membuktikan
kekurangtepatan putusan pengadilan tersebut seperti dalam kasus-kasus di atas.
Pemberian hak kepada jaksa untuk dapat mengajukan peninjauan kembali
dalam perkara pidana, dipandang tidak berlebihan apabila diingat dari tujuan hukum
itu sendiri, yaitu selain diharapkan mendapatkan kepastian hukum seperti dalam
doktrin hukum positif normatif, juga mendapatkan kemanfaatan seperti dalam
doktrin sosiologi hukum, dan terwujudnya rasa keadilan seperti dalam ajaran filsafat
hukum. Ketiga tujuan hukum itu, seperti dikemukakan oleh Gustav Rabruch dengan
190
istilah tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, masing-masing adalah
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.192
Selain itu, uraian di atas kiranya juga tidak berlebihan, sebab menurut teori
keadilan prosedural sebagaimana dirumuskan John Rawls, yaitu If we wish to hold a
doctrine of equality, we must interpret it in another way, namely as a purely
procedural principle. Thus to say that human beings are equal is to say that none
have a claim to preferential treatment in the absence of compelling reasons.193
Menurut John Rawls, jika kita ingin memakai doktrin kesetaraan, kita harus
menafsirkannya dengan cara sebagai sebuah prinsip yang murni prosedural. Jadi
apabila mengatakan, bahwa manusia adalah setara, berarti mengatakan bahwa tidak
ada seorangpun yang mempunyai klaim atas perlakuan istimewa tanpa adanya alasan
yang memaksa.
Teori John Rawls lebih lanjut menyebutkan, the burden of proof favors
equality: it defines a procedural presumption that person are to be treated alike.
Departures from equal treatment are in each case to be defended and judged
impartially by the same system of principles that hold for all; the essential equality is
thought to be equality of consideration.194 Beban bukti menyukai kesetaraan menurut
John Rawls, adalah ia menentukan sebuah anggapan prosedural, bahwa orang-orang
hendaknya diperlakukan sama. Penyimpangan dari perlakuan yang setara, dalam
semua kasus, akan dipertahankan dan diadili secara tak memihak dengan sistem
prinsip-prinsip yang sama yang berlaku untuk semua, dan kesetaraan mendasar
dianggap sebagai kesetaraan pertimbangan.
192 Achmad Ali, Op.cit., h. 95 193 John Rawls, Op.cit., h. 507 194 John Rawls, Op.cit., h. 507
191
Sebagai perbandingan tentang pengaturan hak pengajuan peninjauan kembali
dalam praktik peradilan di Indonesia, dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 248
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ketentuan tersebut
selengkapnya sebagai berikut :
Ayat (1) : Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Ayat (2) : Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar : a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Ayat (3) : Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.195
Ketentuan Pasal 248 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer di atas menunjukkan, bahwa dalam hal pengajuan peninjauan
kembali perkara pidana, secara jelas oditur (Penuntut Umum dalam peradilan militer)
diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali. Jika dibandingkan dengan
ketentuan Pasal 263 KUHAP, terlihat adanya kesamaan. Hanya saja dalam Pasal 248
195 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
192
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, secara tegas
mencantumkan kata ”Oditur”. Contoh ketentuan di atas memberi gambaran, bahwa
pemberian hak kepada jaksa untuk dapat mengajukan peninjauan kembali sangat
dimungkinkan, bijaksana dan fair.
Berdasarkan segala yang telah diuraikan di atas, pemberlakuan hak pengajuan
peninjauan kembali perkara pidana akan menjadi ketentuan yang bijaksana,
mempunyai nilai manfaat dan berkeadilan, apabila diberikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan secara berimbang, bukan hanya kepada pihak tertentu.
Selanjutnya untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan menghindarkan dari
pertentangan atas pemberlakuan peninjauan kembali dalam perkara pidana
khususnya bagi jaksa, seluruh ketentuan dalam undang-undang yang menyangkut
pengajuan peninjauan kembali perkara pidana harus ditinjau ulang atau direvisi,
dengan memasukkan suatu ketentuan mengenai hak jaksa dalam peninjauan kembali.
Hal tersebut harus dilakukan, karena sudah selayaknya jaksa diberikan hak untuk
dapat mengajukan peninjauan kembali.
Penataan ulang ketentuan Pasal 263 KUHAP dimaksud di atas, sebagai
respons atas terjadinya perkembangan hukum dalam masyarakat. Oleh Nonet dan
Selznick dalam teorinya disebutkan, Rules necessarily depend for their relevance
and viability on appropriate historical conditions. As circumstances alter, rules must
be refashioned, not only to meet the needs of policy but also to protect the authority
of the rules themselves and the integrity of their application.196 Menurut Nonet dan
Selznick, suatu peraturan agar tetap relevan dan bertahan hidup, mesti bergantung
196 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.cit., h. 80.