unud-271-730660155-tesis 2011

108
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebuah bangsa dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia, salah satunya dengan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang olahraga. Prestasi olahraga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu bangsa. Prestasi olahraga di Indonesia secara makro sekarang ini belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan apabila dilihat dari segi peringkat, perolehan medali pada kegiatan-kegiatan seperti: Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade serta pada kejuaraan-kejuaraan dunia untuk masing-masing cabang olahraga prestasinya perlu ditingkatkan. Prestasi olahraga Indonesia dapat berjaya kembali di Asean dan mulai bicara di Asia melalui kerja keras selama 8 hingga 12 tahun lagi (Paulus, 2000). Pemerintah Indonesia selalu menggaungkan semboyan memasyarakatkan olahraga atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas bergerak badan (Nala, 1992). Olahraga merupakan suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh masyarakat, keberadaannya sekarang ini tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sebab olahraga dewasa ini sudah dikenal oleh masyarakat baik orang tua, remaja, maupun anak-anak. Hal ini terbukti pada hari-hari libur di lapangan-lapangan serta tempat–tempat lainnya yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan olahraga.

Upload: sulastri-nawangsari

Post on 14-Nov-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Sebuah bangsa dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia,

    salah satunya dengan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang olahraga. Prestasi

    olahraga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu bangsa. Prestasi olahraga di

    Indonesia secara makro sekarang ini belum menunjukkan perkembangan yang

    menggembirakan apabila dilihat dari segi peringkat, perolehan medali pada

    kegiatan-kegiatan seperti: Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade serta pada

    kejuaraan-kejuaraan dunia untuk masing-masing cabang olahraga prestasinya perlu

    ditingkatkan. Prestasi olahraga Indonesia dapat berjaya kembali di Asean dan mulai

    bicara di Asia melalui kerja keras selama 8 hingga 12 tahun lagi (Paulus, 2000).

    Pemerintah Indonesia selalu menggaungkan semboyan memasyarakatkan olahraga

    atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas

    bergerak badan (Nala, 1992).

    Olahraga merupakan suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh

    masyarakat, keberadaannya sekarang ini tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi

    sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sebab olahraga dewasa ini sudah

    dikenal oleh masyarakat baik orang tua, remaja, maupun anak-anak. Hal ini terbukti

    pada hari-hari libur di lapangan-lapangan serta tempattempat lainnya yang

    memungkinkan untuk melakukan kegiatan olahraga.

  • 2

    Olahraga berdasarkan sifat dan tujuannya dapat dibagi menjadi olahraga

    prestasi, olahraga pendidikan, serta olahraga kesehatan (Kanca, 2006). Bentuk

    pelaksanaan latihan olahraga yang dilakukan berbeda-beda disesuaikan dengan

    tujuan yang ingin dicapai.

    Olahraga prestasi merupakan olahraga yang lebih menekankan pada

    peningkatan prestasi seorang atlet pada cabang olahraga tertentu. Sejak delapan

    tahun yang lalu, pada tahun 2002, Piala Thomas dan Piala Uber tak pernah lagi

    digenggam Indonesia. Kemampuan atlet Indonesia pun tampak jauh ketinggalan

    dibanding pemain negara lain. Padahal dulu jawara di bidang olahraga ini,

    mengalahkan raksasa bulu tangkis seperti Cina atau Malaysia. Indonesia pernah

    juara Thomas 13 kali. Kejayaan ini seolah tanpa bekas. Keterpurukan ini dibuktikan

    dengan perolehan peringkat Taufik Hidayat dan ganda Markis kido/Hendra

    peringkat 10 besar (BWF, 2011). Dengan terjadinya kemerosotan ini pembenahan

    yang paling krusial dirombak adalah sistem pembinaan atlet (Tangkudung, 2006).

    Prestasi olahraga dihasilkan melalui program pembinaan dan

    pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan, peranan ilmu pengetahuan

    dan teknologi, sumber daya manusia dan sumber daya alam mempengaruhi

    pencapaian prestasi. Dalam suatu pelatihan pencapaian prestasi secara maksimal

    tidak lepas dari aspek fisik, tehnik, taktik dan mental. Menurut Bompa (2000),

    faktor-faktor dasar latihan yaitu meliputi persiapan fisik, tehnik, taktik dan

    kejiwaan (psikologi). Disamping itu juga komponen penting yang menentukan

    keberhasilan seorang atlet untuk berprestasi adalah kesegaran jasmani. Tanpa

    kesegaran jasmani yang prima atlet tidak akan berhasil memperoleh prestasi

  • 3

    walaupun memiliki keterampilan tehnik dan taktik yang baik. Kenyataan

    menunjukkan bahwa kesegaran jasmani yang baik berhubungan dengan prestasi

    olahraga. Latihan fisik dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kesegaran

    jasmani merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi keadaan darurat dan

    tekanan-tekanan yang datang mendadak dalam kehidupan (Setijono, 2001). Proses

    pelatihan fisik yang terprogram dengan baik sehingga faktor-faktor tersebut dapat

    dikuasai. Bompa (1999) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah aktivitas

    olahraga yang sistematik dalam waktu lama yang ditingkatkan secara progresif dan

    individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis manusia

    untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Program pelatihan sebaiknya

    direncanakan dengan baik dan sempurna. Menurut Harsono (1988), program latihan

    kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis yang bertujuan

    untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh

    sehingga memungkinkan atlet mencapai prestasi yang lebih baik. Aktivitas yang

    teratur memantapkan fungsi sistem kekebalan, sedangkan aktivitas marathon yang

    melelahkan bersifat menekan kekebalan sehingga aktivitas yang teratur memiliki

    kontribusi terhadap kesehatan (Sharkey, 2003).

    Permainan bulutangkis sarat dengan berbagai kemampuan dan keterampilan

    gerak yang kompleks. Sepintas lalu dapat diamati bahwa pemain harus melakukan

    gerakan-gerakan seperti lari cepat, berhenti dengan tiba-tiba dan segera bergerak

    lagi, gerak meloncat, menjangkau, memutar badan dengan cepat, melakukan

    langkah lebar tanpa pernah kehilangan keseimbangan tubuh sehingga aspek kondisi

    fisik dapat memegang peranan penting untuk permainan bulutangkis yang

  • 4

    membutuhkan kualitas kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, kelincahan,

    dan koordinasi gerak yang baik. Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan agar

    individu mampu bergerak dan bereaksi untuk menjelajahi setiap sudut lapangan

    selama permainan. Karena itu, pebulutangkis sangat penting memiliki derajat

    kondisi fisik prima. Berdasarkan hal tersebut salah satu komponen biomotorik

    dalam permainan bulutangkis tidak lepas dari daya ledak otot lengan karena

    melibatkan pukulan-pukulan di atas untuk menghasilkan pukulan yang keras,

    dibutuhkan tenaga yang maksimal, yang bersumber dari kekuatan otot-otot bagian

    tubuh, yang melibatkan segmen-segmen otot lengan dalam suatu rangkain gerakan

    memukul yang utuh.

    Daya ledak merupakan kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan

    maksimal dalam waktu yang sangat cepat. Menurut Harsono (1988), cabang-cabang

    olahraga yang gerakannya didominasi gerakan meloncat seperti dalam bola voli,

    bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Setiap individu yang memiliki daya ledak

    seyogyanya memiliki derajat kekuatan otot, derajat kecepatan, dan derajat

    keterampilan yang tinggi dalam keterampilan. Bentuk pelatihan daya ledak ditandai

    adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, seperti tubuh terdorong ke

    atas, terdorong ke depan, atau melempar, memukul atau menyemes bola serta

    menendang (Nala, 2002). Dalam kenyataan di lapangan atau sering ditemukan di

    tempat pelatihan yang sering dilakukan seperti push up, angkat barbell dengan

    gerakan naik turun dengan arah vertikal serta pelatihan weight trainning seperti

    incline press, standing press up righ row, triceps extension, revers curl,bench press

    kebanyakan pelaksanaan dilakukan dalam posisi duduk, berbaring, padahal dalam

  • 5

    permainan bulutangkis dilakukan posisi berdiri. Tipe pelatihan hendaknya

    menyerupai gerakan memukul atas (overhead) pada olahraga bulutangkis sehingga

    komponen biomotorik yang dilatih (spesifikasinya) tepat sasaran yaitu

    meningkatkan daya ledak otot lengan. Tetapi akibat yang ditimbulkan otot lengan

    semakin besar dan kuat sehingga hasilnya otot lengan yg besar bukan untuk

    melakukan pukulan yg cepat dan tepat tetapi untuk mengangkat barang atau hanya

    untuk sekedar keindahan. Sinkronisasi unit motorik, kelompok otot antagonis dan

    sinergis pada lengan bahu dan dada serta kelompok tubuh lainnya belum terbina

    (Nala, 2002), sehingga perlu dikembangkan tipe pelatihan yang posisinya

    disesuaikan dengan karakteristik permainan bulutangkis pada saat melakukan

    pukulan atas (overhead).

    Berdasarkan dari kenyataan di atas timbul keinginan untuk mengadakan

    penelitian yang berkaitan dengan meningkatkan daya ledak otot lengan khusus bagi

    pemain bulutangkis melalui pelatihan menarik katrol beban yang posisi gerakannya

    mirip dalam keadaan memukul overhead pada pukulan bulutangkis. Pelatihan

    menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti sikap

    menyemes bola sesungguhnya merupakan cara yang tepat untuk melatih kekuatan

    otot lengan (Nala, 2002). Pukulan smash dalam bulutangkis merupakan bagian dari

    pukulan atas (overhead). Bentuk pelatihan menarik katrol merupakan salah satu

    bentuk pelatihan beban dengan memberikan tahanan eksternal, berupa karung pasir

    berbeban yang ditarik dengan menggunakan katrol. Cara pelatihan dengan menarik

    lengan dari belakang, atas kepala setinggi jangkauan tangan dengan arah gerakan

    dari atas ke bawah, posisi tubuh berdiri.

  • 6

    Untuk pelatihan menarik katrol melibatkan beberapa jenis otot. biseps braki,

    otot brakialis, otot karoko brakiali, otot pectoralis major, otot deltoid, otot supra

    spinatus, otot infra spinatus, otot teres major, otot muskulas triceps braki, muskulas

    ekstensor karpi radialis longus, muskulas ekstensor karpi radialis brevis, muskulas

    ekstensor karpi ulnaris, digitonum karpi radialis, muskulas ekstensor policis longus

    yang sesuai dengan pukulan overhead pada permainan bulutangkis (Syaifuddin,

    1996).

    Alat yang digunakan dirancang sesuai dengan posisi dan arah gerakan.

    Bentuk alat sederhana dapat dibuat sendiri, diharapkan dapat menghemat waktu dan

    biaya karena bisa dilakukan di rumah. Takaran pelatihan untuk meningkatkan daya

    ledak otot lengan dengan beban bervariasi, kontraksi cepat, dalam repetisi kalau

    kecepatan berkurang pengulangan dihentikan (Satriya, dkk., 2007). Repetisi

    merupakan bentuk pengulangan. Dalam teori takaran beban dalam pelatihan daya

    ledak 40%-80% dari kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007), sedangkan

    repetisi 12-15 dan set 3-5 (Harsono, 1988). Pelatihan dengan frekuensi tiga kali

    seminggu sesuai untuk pemula yang akan menghasilkan peningkatan yang berarti

    (Fox, 1983). Pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan menarik

    katrol beban yang menekankan pada perbedaan jumlah repetisi dan set dengan

    beban yang sama. Pengulangan yang tinggi (Nala, 2002), akan menjadikan suatu

    pelatihan sangat efektif dan hal ini sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut

    otot, terutama tipe otot putih yang sangat dibutuhkan dalam anggota gerak atas.

    Dari penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran dan hasil yang diperoleh

    mampu melakukan menarik beban dari belakang, atas kepala samping ke bawah

  • 7

    sebanyak 12 repetisi dengan beban maksimal yang mampu ditarik duabelas kg.

    Hasil maksimal beban duabelas kg dari beban ini diambil 40 % dari kemampuan

    maksimal yaitu lima kg. Sedangkan repetisi dan set diperoleh antara 12-15 kali

    dengan tiga set, karena pelatihan ini diberikan kepada pemula sehingga takaran

    diambil dari yang terendah supaya semua sampel yang terpilih dapat melakukan

    pelatihan. Berdasarkan hasil ini diperoleh repetisi, set, dan beban dalam pelatihan

    menarik katrol dengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan

    repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan yang jumlah

    totalnya tigapuluhenam kali.

    Penelitian dilakukan terhadap siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK

    dengan beberapa pertimbangan seperti siswa menguasai tehnik dasar bermain

    bulutangkis, ditinjau dari umurnya berada pada masa remaja (adolescence), dimana

    pada masa tersebut keterampilan secara maksimal dapat tercapai. Pertimbangan

    lainnya siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK kurang bermunculan dilihat dari

    prestasi tingkat PORJAR Denpasar sehingga perlu diberikan pelatihan menarik

    katrol beban yang digunakan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan

    beban yang sama tetapi set dan repetisi yang berbeda.

    1.2 Rumusan masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang

    disampaikan sebagai berikut:

    1. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan

    tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu dapat

  • 8

    meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler

    bulutangkis SMK-1?

    2. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan

    empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu

    dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler

    bulutangkis SMK-1?

    3. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan

    tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu lebih

    baik dari pada pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan

    repetisi, dan empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama

    enam minggu dalam meningkatkan daya ledak otot lengan

    ekstrakurikuler bulutangkis siswa SMK-1?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

    1.3.1 Tujuan Umum

    Mendapatkan tipe pelatihan menarik katrol beban serta takaran pelatihan

    yang lebih baik dalam meningkatkan daya ledak otot lengan.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan pada pelatihan

    menarik katrol beban lima kg, dengan duabelas repetisi, tiga set dalam

    meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler

    bulutangkis SMK-1.

  • 9

    2. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan menarik katrol beban

    lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya

    ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.

    3. Untuk mengetahui bahwa pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan

    duabelas repetisi, tiga set lebih baik dibandingkan dengan pelatihan menarik

    katrol beban lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam

    meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler

    bulutangkis SMK-1.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

    1. Memperoleh data empirik tentang tipe dan takaran pelatihan untuk

    meningkatkan daya ledak otot lengan demi perkembangan kasana ilmu

    pengetahuan di bidang olahraga.

    2. Sebagai pedoman bagi pelatih, guru dan pembina olahraga dalam upaya

    meningkatkan prestasi cabang olahraga khususnya yang memerlukan daya

    ledak otot lengan.

  • 10

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Pelatihan Olahraga

    Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang

    dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban

    latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus

    dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk

    meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya

    (Hairy, Junusul, 1989). Pelatihan dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang

    (repetitive) dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara

    progressive, memiliki tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan

    psikologi tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai

    penampilan yang optimal (Nala, 1998).

    Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan

    dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai

    atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982)

    menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur

    dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis.

    Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan untuk

    melakukan dan kepastian penampilan atlet.

  • 11

    Pelatihan adalah sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu

    yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah

    kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran

    yang telah ditentukan (Bompa, 1999). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik

    yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip

    pelatihan yang benar.

    Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam

    mendefinisikan pelatihan antara lain:

    1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis.

    2. Bentuk suatu proses

    3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama.

    4. Berkesinambungan.

    5. Adanya pembebanan secara bertahap

    6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.

    Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu proses

    penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis dan

    berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar,

    untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.

    2.1.1 Tujuan Pelatihan

    Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki

    kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan

    dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk

    meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 1998).

  • 12

    Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan

    pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik,

    pematangan strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang

    olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan

    tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan

    kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.

    Menurut Bompa (1999), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu

    memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh

    pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan

    sebagai berikut:

    1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh.

    2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai

    suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga.

    3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih.

    4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat

    diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.

    5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta

    disiplin untuk tingkah laku, ketekunan, dan keingginan untuk

    menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.

    6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal.

    7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.

  • 13

    8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan

    juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan

    gerakan yang penting.

    9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan

    teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan,

    pencernaan gizi, dan regenerasi.

    Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara kaku

    dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan ciri-ciri

    khusus pada kecabangan olahraga yang dilakukan dan juga memperhatikan kondisi

    atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan

    pelatihan utama adalah mengembangkan dasar-dasar latihan secara fungsional

    yang diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan cabang

    olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bulutangkis kebutuhan yang digunakan

    kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya.

    Jenis Pelatihan menarik katrol berbeban merupakan salah satu tipe pelatihan yang

    digunakan dalam penelitian ini. Menurut Nala (2002) cara pelatihan yang paling

    tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang

    dilakukan dengan pelatihan menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah

    gerakan lengan seperti melakukan smash atau melakukan pukulan overhead.

    Apabila diberi pelatihan, efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot),

    ko-kontraksi otot antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan

    kekuatan dan meningkatkan koordinasi.

    2.1.2 Prinsip-Prinsip Pelatihan

  • 14

    Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah

    rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai

    sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan

    memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut

    secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip

    dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah:

    a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise).

    Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus

    dilakukan yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan

    hendaknya dimulai dari kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada

    kelompok otot kecil (Fox, dkk., 1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan

    kondisi fisik dan psikis sebelum latihan atau pertandingan/ perlombaan.

    Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah pada

    otot sekelet yang aktif (Nala, 1998). Dalam pelaksanaannya pemanasan

    tidak harus selalu lama dilakukan, pemanasan yang berkisar lima sampai

    limabelas menit sudah cukup untuk membuat tubuh berkeringat dan

    bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme meningkat dan tubuh siap untuk

    mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya latihan inti, gerakan inti olahraga

    merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok dalam suatu pelatihan atau

    kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama untuk mencapai tujuan

    dari pelatihan. Pendinginan bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik

    dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan dilakukan setelah aktivitas

    fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan. Pendinginan akan bermanfaat

  • 15

    untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas fisik yang berat. Latihan-latihan

    pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya dari urutan latihan

    pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis, dan peregangan

    statis) (Giam dan Teh, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada tingkat

    kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya

    asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit.

    b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity).

    Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan

    morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang

    olahraga tersebut (Bompa, 1999). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan

    dalam menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a)

    spesifikasi kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c)

    spesifikasi ciri gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu

    periodisasinya.

    c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality).

    Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet

    untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (1999) faktor individu

    harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai

    karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis.

    Sukadiyanto (2005) menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip

    individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu

    istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan

    motivasi.

  • 16

    d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance).

    Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan

    disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu

    olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap

    merupakan suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut.

    Menurut Bompa (1999) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem

    syaraf, koordinasi neuromuskular, dan kapasitas psikologi untuk

    menanggulangi stres peningkatan beban latihan, atlet membutuhkan waktu,

    dan pendapat Astrand (1986) bahwa; Peningkatan kinerja olahragawan

    memerlukan latihan dan penyesuaian dalam waktu yang panjang, disamping

    itu peningkatan kemampuan organisme secara morphologis, fisiologis dan

    psikologis bergantung pada peningkatan beban latihan. Dalam pembebanan

    latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika

    harus ditingkatkan secara regular (progressive overload). Dalam mendisain

    pelatihan overload, Bompa (1999) menyarankan untuk memakai the step

    type approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 1.

    Gambar 2.1 The Step Type Approach System ( Bompa, 1999). Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban,

    sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru.

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    11

    PRESTASI

  • 17

    Beban latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap.

    Pada cycle ke empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading

    fase) yang maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organ-

    organ tubuh untuk melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step type

    approach atau sistem tangga berlaku untuk pelatihan olahraga yang

    bertujuan untuk prestasi maupun kesehatan.

    e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle).

    Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali

    kondisi-kondisi overload yang diikuti dengan kesempatan untuk istirahat

    untuk mendapatkan efek pelatihan (Rushall dan Pyke, 1992). Menurut

    Sukadiyanto (2005), beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit

    di atas batas ambang rangsang. Sebab beban yang terlalu berat akan

    mengakibatkan tidak mampu diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu

    ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, sehingga

    beban latihan harus memenuhi prinsip moderat. Untuk pembebanan

    dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan tingkat perubahan

    yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu mengatasi

    beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus ditingkatkan

    secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang dengan

    beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak

    saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada

    tingkat yang lebih tinggi yang disebut overkompensasi. Overkompensasi

    (peningkatan prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada

  • 18

    latihan tepat di atas ambang rangsang (threshold), disertai dengan

    pemulihan (recovery).

    Menurut Martens dalam Sukadiyanto (2005) tingkat penambahan

    beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu frekuensi, intensitas, dan

    durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan cara menambah sesi

    latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara meningkatkan kualitas

    pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan cara menambah

    jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara memperpendek

    waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi meningkat.

    f. Prinsip Beragam (variety principle).

    Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang,

    hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih

    menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam

    bentuk latihan (Bompa, 1999).

    g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle)

    Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila

    tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi

    sebagai hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak

    dipraktekkan dan dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan

    demikian latihan harus berkesinambungan.

    2.1.3 Volume Pelatihan

    Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat

    penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian

  • 19

    fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan,

    yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1) waktu atau

    jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah tegangan yang

    dapat ditanggulangin atau diangkat per satuan waktu, (3) jumlah pengulangan

    bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Jadi

    diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan yang

    dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan

    selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 1999).

    Menurut Nala (1998), bahwa volume latihan merupakan jumlah

    seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak

    tepat, volume latihan ini disamakan dengan durasi atau lama latihan.

    Padahal durasi ini merupakan bagian dari volume latihan. Pada umumnya

    volume latihan ini terdiri atas:

    a. Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu

    atau bulan).

    b. Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan

    dalam satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu

    menit).

    c. Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu

    (berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit). Penggunaan

    repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen

    biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja atau aktivitas yang

    dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 1999).

  • 20

    Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan

    kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan. Adapun dalam proses

    latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan

    dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3) dipercepat, atau (4)

    diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume dapat dilakukan

    dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat per sesi, (b) jumlah ulangan per

    sesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi, (e) jumlah seri atau

    sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu recovery dan interval.

    Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi ditentukan

    berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian pendahuluan. Hasil

    penelitian pendahuluan bahwa kemampuan menarik katrol berbeban dengan beban

    duabelas kg. Dari beban duabelas kg diambil 40% dari kemampuan maksimal

    (Satriya, dkk., 2007) yaitu lima kg. Beban yang diberikan dari terendah karena

    melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan.

    Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan menarik katrol berbeban lima kg hasil

    yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set. Sehingga dalam penelitian daya

    ledak otot lengan dengan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi dan tiga

    set dengan istirahat lima menit yang ditentukan dari denyut nadi istirahat.

    2.1.4 Intensitas Pelatihan

    Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang

    menurut program yang telah ditentukan (Sajoto, 1995). Intensitas merupakan salah

    satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen kualitatif

    pada penampilan kerja dalam suatu periode. Menurut Bompa (1999) bahwa

  • 21

    intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan

    dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan

    gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Intensitas

    adalah faktor terpenting dalam pengembangan maksimal pemasukan oksigen

    (VO2max), intensitas merefleksikan kebutuhan energi dan kalor energi yang

    dikeluarkan (Sherkey, 2003). Intensitas juga merupakan ukuran yang menunjukan

    kualitas suatu rangsangan atau pembebanan.

    Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang

    dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang:

    61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%.

    Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan dengan

    tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi cepat,

    repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena dalam daya

    ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan (Harsono, 1988). Derajat intensitas

    dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang dilakukan untuk pelatihan

    yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter/detik, atau intensitas untuk

    kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk jarak contohnya jauh dan

    tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 1999).

    Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya

    submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 60-

    90% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan meningkatkan

    kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan

    dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan

  • 22

    kontraksi diperpendek (Jensen dan Fisher, 1983). Manfaat dari pemberian beban

    untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat dipertahankan karena

    penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat atau dua kali lipat

    kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007).

    2.1.5 Repetisi dan Set

    Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah

    suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir

    pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan

    otot dapat terujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set

    dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang menggunakan

    daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi dan 3-4 set.

    Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan 1215

    repetisi, 3-5 set. Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak antara

    repetisi 8-10 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang

    tinggi untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam

    kecepatan.

    2.1.6 Densitas dan Frekuensi Pelatihan

    Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan per

    satuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan suatu

    hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu

    densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara

    rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 1999). Berdasarkan hal tersebut, padat

    atau tidaknya densitas ini sangat tergantung oleh lamanya pemberian waktu

  • 23

    pemulihan yang diberikan. Semakin pendek waktu pemulihan maka densitas latihan

    makin tinggi, sebaliknya semakin lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan

    semakin rendah (kurang padat). Menurut Harre (Bompa, 1999) untuk membangun

    komponen biomotorik dalam daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang

    optimal antara waktu kerja dan waktu istirahat perbandingannya berkisar antara

    1:, atau 1:1. Sedangkan untuk rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau

    1:6. Sehingga dalam melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle

    terus menerus untuk meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi

    pemain bulutangkis diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan

    selama 3-6 menit ( selama 3 x 1 menit =3 menit sampai 6 x 1 menit= 6 menit).

    Setelah itu dilanjutkan kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1

    menit. Untuk komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit,

    bukan -1 menit. Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada

    berat ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama

    angkatannya. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya

    berat, waktu istirahat sampai 5 menit.

    Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan

    (frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu yang terjadi pada atlet

    ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau kerapnya latihan

    per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada tipe olahraganya

    dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan. Frekuensi latihan untuk

    mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan sebanyak tujuh kali

  • 24

    dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Bila dilakukan sekali

    seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah.

    Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode

    waktu tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung

    jumlah frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan

    untuk menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi

    latihan misalnya:

    a. Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila

    dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu.

    b. Sebaliknya untuk meningkatkan komponen daya tahan

    kardiovaskular atau kesegaran jasmani (physical fitness), maka

    frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan

    istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari

    berturutan.

    c. Sedangkan untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh

    frekuensi lat ihannya lebih kerap, t idak cukup sebanyak 3-4

    kal i seminggu, tetap i sebanyak 6-7 kali seminggu.

    d. Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (non-

    endurance) atau anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu,

    dengan durasi latihan selama 8-10 minggu (Nala, 1998).

    Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,

    untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi

    kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau

  • 25

    lebih (Sajoto, 1995). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan

    tiga kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat

    gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan

    terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton dan Hall,

    2007).

    2.2 Pelatihan Fisik

    Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang

    tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.

    Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen

    tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap

    komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto,

    1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha

    peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar

    yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi. Menurut Harsono (1988), jika

    kondisi fisik baik maka: (1) akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem

    sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan,

    stamina, kecepatan dan lain-lain komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi

    gerak yang lebih baik pada waktu latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat

    dalam organ-organ tubuh setelah latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari

    organisme tubuh apabila sewaktu-waktu respon demikian diperlukan. Proses latihan

    kondisi fisik dalam olahraga, adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hati-

    hati, dengan sabar dan dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan

    yang berulang-ulang dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi

  • 26

    sedikit bertambah, lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih

    pegas, lebih lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988).

    Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan kondisi fisik

    haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk meningkatkan

    kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan

    demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah direncanakan secara

    sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan

    fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi

    yang lebih baik.

    2.3 Komponen Biomotorik

    Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau

    aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2002). Menurut Sajoto (1995) komponen

    kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat

    dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya. Komponen biomotorik yakni

    kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan,

    waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2002). Menurut Jensen dan

    Fisher (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang sangat penting untuk

    melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa cepat dapat berlari dan

    berenang, seberapa tinggi dapat melompat, seberapa jauh dapat melempar, dan

    seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh komponen biomotorik

    ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang akan digunakan dalam

    pelatihan bulutangkis.

    2.4 Daya Ledak

  • 27

    Daya ledak merupakan komponen biomotorik. Daya ledak adalah

    kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang

    sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak sering disebut eksplosif

    atau daya otot. Menurut Sajoto (1995) daya otot (muscular power) adalah

    kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang

    dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak sangat

    penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti

    lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga

    yang gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga

    pada bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang

    mempunyai daya ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya

    ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang

    besar (Boosey, 1980). Daya ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok

    otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam

    satu gerakan yang utuh (Suharno, 1993).

    Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan

    maksimum (Bompa,1999, Bosco, dan Gustafson, 1983). Daya ledak adalah

    kemampuan seseorang mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi

    dalam gerak yang utuh (Harre, 1982). Bosco dan Gustafson (1983)

    menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan melakukan gerakan

    secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983) menyatakan

    bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan

    aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan sebagainya.

  • 28

    Bompa (1999), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam waktu yang

    singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang individu

    yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan otot

    yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi

    dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut

    Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1)

    banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak

    sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu

    rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang harmonis.

    Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk menghasilkan

    kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai kekuatan

    dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat disimpulkan

    bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak adalah kekuatan

    dan kecepatan.

    2.4.1 Jenis Daya Ledak

    Bompa (1999) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang

    dilakukan yaitu:

    a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya

    tidak sama. Contoh olahraga atletik, lompat, lempar. Pada olahraga

    permainan bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll.

    b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang

    gerakannya sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat,

    berenang, balap sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan

  • 29

    tinggi.

    Nossek (1982) membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan

    aktivitas yang dilakukan yaitu:

    a. Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi

    perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum,

    tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum.

    b. Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan

    akselarasi di bawah maksimum.

    Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif

    berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda,

    pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk

    gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif

    atau perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek,

    1982).

    Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot lengan bila dilihat lebih

    mendalam potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan

    faktor ekternal (Berger, 1982).

    a. Faktor internal

    Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet

    sendiri diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas,

    kebugaran fisik, umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan

    dengan pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan

    kekuatan otot, selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Astrand, 1986).

  • 30

    Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun

    beberapa faktor internal yaitu:

    1. Jenis Kelamin.

    Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan

    dan kecepatan karena adanya hormone testosterone pada laki-laki

    dan wanita. Perbedaan terjadi sangat mencolok setelah mengalami

    pubertas karena adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam

    tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan

    dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys 2004).

    2. Berat Badan

    Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah

    presentasi keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan

    seseorang menyebabkan pembesaran massa otot dan juga akan

    meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot makin kuat otot

    tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan.

    Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat

    badan seseorang karena otot makin tebal maka kekuatan akan

    bertambah. Tetapi otot kuat belum menjamin akan mempunyai

    daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat merupakan

    modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi.

    3. Tinggi badan

    Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik

  • 31

    tertinggi pada posisi kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan

    yang lebih tinggi dapat menpengaruhi pertumbuhan organ tubuh

    lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai (Hadi, 2005)

    4. Kesegaran jasmani

    Kesegaran jasmani seseorang, merupakan salah satu

    parameter dalam memeberikan pembebanan pelatihan, karena

    tingkat kesegaran jasmani yang kurang dapat mengakibatkan

    kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan secara

    maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin

    baik pula kebugaran fisiknya (Soekarman, 1986). Kebugaran

    fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan

    stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit

    dengan ketelitian 0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik

    berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam tabel (Sajoto, 2002).

    b. Faktor Eskternal

    1. Suhu lingkungan

    Suhu lingkungan yang panas akan berpengaruh

    terhadap aktivitas kerja otot karena akan mempercepat terjadinya

    pengeluaran keringat. Sebagaian dari volume darah akan dibawa

    kekulit untuk mengkompessasi kelebihan panas. Hal ini berarti

    bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan

    pelatihan. Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang

    dingin tubuh akan bereaksi untuk mengimbangi kosentrasi panas

  • 32

    tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan mengigil memerlukan

    energi tambahan (Manuaba, 1983).

    2. Kelembaban relatif

    Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena

    perbandingan udara basah dan kering sangat menentukan

    kenyamana dalm pelatihan. Apabila kelembaban udara cukup

    tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi

    kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan

    melalui evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%,

    maka akan mempengaruhi keseimbangan panas tubuh,

    metabolism meningkat akibat aktivitas tubuh untuk mengimbangi

    suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar

    untuk menyesuaikan suhu tubuh dan suhu lingkungan.

    Kelembaban relatif Indonesia berkisar antara 70-80% (Manuaba,

    1983).

    2.4.2 Penggunaan Daya ledak dalam olahraga bulutangkis

    Bulutangkis merupakan olahraga prestasi yang mampu membawa

    bangsa Indonesia ke prestasi tingkat dunia. Untuk mencapai prestasi

    seseorang harus menguasai teknik dasar, teknik pukulan dan pola

    pukulan dari tingkat kesukaran masing-masing. Teknik dasar merupakan

    penguasaan yang pokok yang harus dikuasai oleh setiap pemain.

    Adapun teknik pukulan menurut Tohar (1992) terdiri atas (1) pukulan

  • 33

    service, (2) pukulan lob, (3) pukulan drive, (4) pukulan dropshot, (5)

    pukulan pengembalian service, (6) pukulan smash. Dilihat dari teknik

    pukulan dalam bulutangkis seperti dropshot, lob dan smash, gerakannya

    diawali dari atas kepala (overhead). Pukulan overhead (atas) yang

    diarahkan ke bawah. (Tahir, dkk 2004). Dalam Faktor fisik diperlukan

    adalah daya ledak. Gerakan pukulan overhead lebih banyak didominasi

    oleh gerakan otot lengan. Oleh karena itu, perlu koordinasi gerak yang

    baik dari gerakan pukulan lob secara cepat diubah menjadi pukulan

    dropshot dan berubah ke pukulan smash. Dengan demikian semakin

    cepat perubahan itu dilakukan maka semakin banyak pula komponen

    gerakan yang harus dikoordinasikan. Mekanisasi gerakan tubuh yang

    sama, terjadi pada tiga jenis pukulan clear (pukulan bersih), drop

    (pukulan jatuh), dan smash (pukulan keras) menurut James (2009). Agar

    faktor daya ledak otot lengan dapat berkembang optimal, seorang

    pebulutangkis perlu latihan rutin dan mengarah pada kekhususan dengan

    memperhatikan pola latihan. Salah satunya dalam pelatihan menarik

    beban dengan katrol yang gerakannya sama dengan gerakan bulutangkis

    pada saat melakukan pukulan atas (overhead). Gerakan melakukan

    pukulan overhead yang sesuai dengan pelatihan menarik katrol berbeban

    dalam bulutangkis:

    1. Berat badan berpindah dari kaki kanan ke kaki kiri pada saat badan

    berputar sehingga menghadap kedaerah sasaran

    2. Lengan bergerak keatas mulai dari siku dan lengan bawah serta serta

  • 34

    pergelangan tangan berputar ke arah dalam

    3. Pada saat raket menyentuh shuttle, pergelangan berubah menjadi lurus

    4. Kepala raket mengayun ke bawah dengan pergelangan tangan setinggi

    dada, sehingga terjadi suatu putaran ayunan penuh dan gerakan akhir

    ayunan raket menyilang sebelah kiri tubuh (James, 2009).

    Gambar 2.2 Gerakan Pukulan overhead (James, 2009)

    2.4.3 Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan

    a. Melempar menggunakan bola softball

    Alat yang digunakan bola softball dengan 198,45 gr dan lingkaran

    30,80 cm. Pada tahap pelaksanaan orang coba berdiri melempar bola

    soptball gerakannya seperti gerakan dalam bulutangkis pukulan atas

    kepala (overhead). Lemparannya sejauh-jauhnya yang dimulai dari

    belakang garis batas. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan tiga kali

    melempar. Skor lemparan diambil dari lemparan terjauh. Jarak diukur

    diukur dengan satuan sentimeter (Nurhasan, 2000).

    b. Melempar two hand mendicine ball put.

    Alat yang digunakan bola medicine dengan berat 6 pound atau 2,7

    kg. dan seutas tali. Pada tahap pelaksanaan orang coba duduk tegak

  • 35

    dengan punggung menyentuh dinding, sambil kedua tangannya

    memegang bola medicine sehingga bola tersebut menyentuh dada.

    Kemudian tangan mendorong bola medicine sejauh-jauhnya. Sebelum

    orang coba mendorong bola medicine, badan bersandar pada dinding.

    Hal ini untuk mencegah agar orang coba padawaktu mendorong tidak

    dibantu oleh badan ke depan. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan

    melempar tiga kali. Skor jarak tolakan terjauh dari tiga kali percobaan,

    yang diukur mulai dinding tembok, tempat bersandar sampai batas

    tanda dimana bola tersebut jatuh. Jarak diukur dalam satuan sentimeter

    (Nurhasan, 2008).

    2.5 Pelatihan Pembebanan

    Latihan otot untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya perlu

    menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri atau beban yang berasal

    dari luar. Pemberian beban disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki

    dalam menjalani pelatihan, sesuai dengan tujuan pelatihan, dan juga sesuai

    dengan cabang olahraganya. (Giriwijoyo, 2008). Pada pelatihan yang

    menggunakan beban hendaknya berpedoman pada empat prinsip yaitu prinsip

    overload, prinsip penggunaan beban secara progresif, prinsip pengaturan

    latihan dan prinsip kekususan program latihan menurut Sajoto (1995). Pada

    permainan bulutangkis, untuk pelatihan otot lengan menggunakan beban pada

    daerah 1/3 bawah minimal karena kebutuhan akan daya tahan dalam

    melakukan pukulan secara beulang-ulang (Giriwijoyo, 2008). Sedangkan

    (Satriya, dkk., 2007) penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan yaitu

  • 36

    40-80% dari kemampuan maksimal.

    2.5.1. Alat yang digunakan pada pelatihan menarik katrol berbeban

    a. Beban dengan menggunakan karung berpasir

    b. Katrol yang digunakan untuk menarik beban

    c. Tali

    Gambar 2.3 Pelatihan menarik katrol 2.5.2. Pelatihan menarik katrol

    Pelaksanaan pelatihan menarik katrol. Posisi berdiri selebar bahu

    membelakangi, kaki kiri maju didepan, kedua tungkai sedikit ditekuk

    kemudian pelaksanaan tangan kanan lurus vertikal yang berada di atas kepala

    samping dan tangan yang melakukan tarikan memegang pegangan tali.

    Kemudian menarik katrol/mengayun lengan dengan hentakan sampai di depan

    dada. Kemudian diulang lagi. Beban yang digunakan lima kg repetisi

    duabelas dan tiga set, istirahat setiap set lima menit. Dan beban lima kg,

  • 37

    sembilan repetisi dan empat set.

    2.5.3. Struktur angggota gerak atas.

    2.5.3.1.Struktur Otot Bahu

    Menurut Syaifuddin (1996), otot bahu hanya meliputi sebuah sendi

    saja dan membungkus tulang lengan dan tulang belikat akromion yang

    teraba dari luar.

    1. Muskulus Deltoid (otot segi tiga), otot ini untuk membentuk lengkung

    bahu dan berpangkal di sisi tulang selangka ujung bahu, balung tulang

    belikat dan diafise tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan

    sampai mendatar.

    2. Muskulus Subskapularis (otot depan tulang belikat) otot ini mulai dari

    depan tulang belikat menuju taju kecil pangkal lengan. Fungsinya

    menengahkan dan memutar tulang humerus ke dalam.

    3. Muskulus Suprasuspinatus (otot atas tulang belikat) otot ini berpangkal

    dilekuk sebelah atas menuju tulang pangkal lengan fungsinya mengangkat

    lengan.

    4. Muskulus. Infraspinatus (otot bawah tulang belikat) otot ini berpangkal di

    lekuk sebelah bawah tulang belikat dan menuju ke taju besar tulang

    pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar.

    5. Muskulus Teresmayor (otot lengan bulat besar)otot ini berpangkal di siku

    bawah tulang belikat dan menuju ke taju kecil tulang pangkal lengan.

    Fungsinya memutar lengan ke dalam.

  • 38

    6. Muskulus Teres minor (otot lengan belikat kecil) otot ini berpangkal di

    siku sebelah luar tulang belikat dan menuju ka taju besar tulang pangkal

    lengan. Fungsinya memutar lengan keluar

    Gambar 2.4 Anatomi anggota gerak badan (Widiastuti, 2011) 2.5.3.2. Struktur Otot Lengan Atas

    Menurut Syaifuddin (1996), otot-otot lengan atas terdiri dari:

    1. Otot-otot ketul (fleksor).

    a. Muskulus Biseps braki (otot lengan kepala dua) kepala yang panjang

    melekat pada sendi bahu, kepala yang pendek melekat di sebelah luar dan

    yang kedua di sebelah dalam. Otot itu kebawah menuju tulang

    pengumpil. Di bawah uratnya terdapat kandung lender. Fungsinya

    membengkokkan lengan bawah siku, merata hasta dan mengangkat

    lengan.

  • 39

    b. Muskulus Brakialis (otot lengan dalam). Otot ini berpangkal di bawah

    otot segitiga di tulang pangkal lengan dan menuju taju di pangkal tulang

    hasta. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku.

    c. Muskulus korako brakialis. Otot ini berpangkal pada prosesuskorakoid

    dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan.

    2.Otot-otot kedang (ekstensor). Muskulus triseps braki (otot lengan

    berkepala tiga).

    a. Kepala luar berpangkal di sebelah belakang tulang pangkal dan menuju

    ke bawah kemudian bersatu dengan yang lain.

    b. Kepala dalam di mulai di sebelah dalam tulang pangkal lengan.

    c. Kepala panjang di mulai pada tulang di bawah sendi dan ketiga-tiganya

    mempunyai sebuah urat yang melekat di olekrani

    2,5.3.3. Struktur Otot Lengan Bawah

    1. Otot-otot kedang yang memainkan peranannya dalam pengetulan di atas

    sendi siku, sendi-sendi tangan dan sendi-sendi jari dan sebagian dalam

    gerak silang hasta.

    a. Muskulus ekstensor karpi radialis longus.

    b. Muskulus ekstensor karpi radialis brevis.

    c. Muskulus ekstensor karpi ulnaris.

    d. Digitonum karpi radialis, fungsinya ekstensi dari jari tangan kecuali

    ibu jari.

    e. Muskulus ekstensor policis longus, fungsinya ekstensi dari ibu jari

    D. Gerakan Sendi Bahu

  • 40

    Damiri (1994) gerakan-gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu

    adalah sebagai berikut:

    1. Mengayun lengan ke depan (swing forward anteflexion/flexion)

    2. Mengayun lengan ke belakang (swing backward/flexion)

    3. Mengangkat lengan ke samping menjahui badan (abduction)

    4. Menarik lengan dari samping mendekati badan (addunction)

    5. Memutar lengan ke arah dalam (inward rotation)

    6. Memutar lengan ke arah luar (outward rotaion)

    7. Sirkumduksi lengan (circumduction)

    8. Menarik lengan dari posisi abduksi ke arah depan (horizontal adduction)

    9. Menarik lengan dari posisi antefleksi ke posisi abduksi lengan (horizontal

    adduction)

    Pada saat melakukan overhead merupakan gerakan rotasi yang berpangkal

    pada bahu. Sesuai dengan gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu yaitu

    mengayun lengan kebelakang (swing backward atau extention), maka untuk

    melakukan gerakan overhead tersebut dibutuhkan ruang gerak sendi bahu yang

    luas, serta elastisitas otot-otot disekitarnya.

  • 41

    Gambar 2.5 Anatomi lengan (Anonim. 2011) 2.6. Sistem Energi Latihan

    Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan

    pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja

    tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari pemecahan

    glukosa. Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya

    dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis

    karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi

    oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati.

    Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada intensitas,

    densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk suatu kegiatan

  • 42

    atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan yang kita makan, akan

    tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, karbohidrat

    ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP

    (adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi

    di dalam tubuh.

    ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul phosphate. Energi

    dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari pembebasan dengan merubah ATP

    menjadi ADP + Pi (Bompa, 1999).

    Persediaan ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP

    harus secara berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik

    secara berkelanjutan. Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot

    seorang atlet yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan

    otot yang maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008).

    ATP diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross

    bridge selama kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase

    akan menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan

    kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk

    berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross

    bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur

    melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpang-

    tindih dan terjadilah kontraksi otot.

    Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen

    miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi

  • 43

    maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu

    mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk

    memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan bakar

    seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas yang dapat

    dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP (Hairy, Junusul,

    1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi, oleh karena itu ATP

    harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP saja diperlukan energi.

    Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy, Junusul, 1989):

    1. ATP-PC atau sistem fosfagen. Dalam sistem ini energi untuk resintesis ATP

    berasal dari hanya satu persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin

    phosphate akan dipecah yang akan menghasilkan energi untuk mensintesis

    ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP +

    P yang akan menyebabkan pelepasan energi yang akan digunakan untuk

    kontraksi otot. Menurut David (1984) sistem ini sangat penting ketika

    melakukan latihan yang berat, seperti lari sprint dan angkat berat.

    2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA) penyediaan ATP berasal dari

    glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan dengan memecahkan glukosa atau

    glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati. Sistem ini akan melepaskan

    energi untuk meresintesi ADP + P menjadi ATP. Selama glikolisis anaerobik

    hanya beberapa mol ATP yang dapat diresintesis dari glikogen, jika

    dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui proses glikolisis ini 4 buah

    molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan

  • 44

    mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2 buah ATP akan dapat

    terbentuk.

    3. Sistem aerobik (O2). Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat,

    maka pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada

    glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul asam

    piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetapi melewati sarkoplasma

    masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di dalam

    mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi

    produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan

    respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi

    menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA

    dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai Transpor Elektron

    (Electron Transfer Chain/Oxidative Phosphorylation). Sistem aerobik

    memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi energi dalam

    meresintesis ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan glikogen

    berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan pernapasan harus

    ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang

    dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk

    aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3 jam. Aktivitas

    yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk

    menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis.

    Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk menghasilkan

    energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerobik. Dalam

  • 45

    proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk sebanyak 36 buah

    sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua buah ATP. Ikatan yang

    terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar

    7.3 kilokalor per-molnya.

    Kebanyakan cabang olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem

    energi sering secara kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif

    sebagian besar energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA).

    Sedangkan kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari

    sistem aerobik.

    Tabel 2.1 Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993)

    Sistem ATP-PC Sistem Asam Laktat (LA) Sistem Oksigen (O2) Anaerobik (tanpa

    oksigen) Anaerobik Aerobik

    Sangat cepat Cepat Lambat Bahan bakar dari :

    PC Bahan bakar dari:

    glikogen Bahan bakar dari:

    glikogen Produksi ATP

    sangat terbatas Produksi ATP

    terbatas Produksi ATP bukan

    tak terbatas Dengan simpanan

    di otot yang terbatas

    Dengan memproduksi asam laktat, menyebabkan kelelahan otot

    Dengan memproduksi kembali, tidak melelahkan

    Menggunakan aktivitas lari cepat atau berbagai power yang tinggi dengan aktivitas pendek

    Menggunakan aktivitas dengan durasi antara 1-3 menit

    Menggunakan daya tahan atau aktivitas dengan durasi yang panjang

    Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi

    sangat diperlukan. Menurut Nala, (2002) bahwa dalam dunia olahraga kebanyakan

    atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun anaerobik.

  • 46

    Penelitian ini tentang pelatihan menarik katrol berbeban yang menekankan pada

    perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan yang tinggi menurut

    Nala, (2002) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan sangat baik dalam

    mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat diperlukan dalam daya ledak

    eksplosif.

  • 47

    BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Berpikir

    Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, seperti yang telah

    diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu kerangka konsep sebagai berikut:

    faktor daya ledak otot lengan sangat diperlukan dalam cabang olahraga bulutangkis.

    Daya ledak otot lengan dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Program pelatihan

    harus dilakukan secara sistematis, terencana, teratur, dan berkelanjutan, salah

    satunya dengan pelatihan beban. Tipe pelatihan yang digunakan sebelumnya

    memilih komponen biomotorik yang dominan dengan melibatkan semua kelompok

    otot yang ingin dilatih dan menyesuaikan dengan cabang olahraga.

    Komponen biomotorik yang dominan dalam cabang bulutangkis adalah

    daya ledak otot lengan. Daya ledak merupakan kemampuan untuk melakukan

    aktivitas secara tiba tiba dan cepat mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu

    yang singkat. Daya ledak dalam olahraga bulutangkis adalah daya ledak eksplosif,

    yang melibatkan komponen biomotorik yaitu kecepatan dan kekuatan. Dalam

    pelatihan daya ledak otot lengan melibatkan beban karung pasir dengan

    mengayunkan lengan dari belakang atas kepala ke bawah dengan tangan menarik

    katrol.

    Daya ledak dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor

    internal antara lain umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan kesegaran

  • 48

    jasmani, sedangkan faktor eksternal, seperti suhu lingkungan dan kelembaban

    relatif. Selain itu untuk mendapatkan daya ledak yang baik kekuatan dan kecepatan

    harus baik.

    Upaya untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan pelatihan ayunan

    lengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan repetisi, empat set.

    Pelatihan ini menggunakan frekuensi tiga kali dalam seminggu selama enam

    minggu.yang disesuaikan dengan takaran jumlah set dan jumlah repetisi. Mengacu

    pada beberapa landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam membuat

    kerangka konsep, yaitu: Takaran beban dalam pelatihan daya ledak 40%-80% dari

    kemampuan maksimal. Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk

    pemula akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Takaran pelatihan untuk

    meningkatkan daya ledak otot lengan dengan bervariasi, kontraksi cepat, dalam

    repetisi kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan. Pelatihan daya ledak

    menggunakan repetisi 12-15 dan set 3-5. Mekanisasi gerakan tubuh yang sama

    terjadi pada tiga jenis pukulan yaitu pukulan clear, drop dan smash. Dengan

    melakukan pukulan overhead yang diarahkan ke bawah. Cara yang paling tepat

    untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat dengan menarik beban berulang-

    ulang mempergunakan katrol.

  • 49

    3.2 Konsep Penelitian

    Berdasarkan uraian dan pendapat tersebut diatas, maka dapat dibuat

    bagan:

    Gambar. 3.1 Konsep

    3.3. Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan tinjauan pustaka dan konsep di atas, maka hipotesis dapat

    dirumuskan sebagai berikut:

    FAKTOR EKSTERNAL Suhu Kelembaban Penonton Keadaan Lapangan

    PELATIHAN Pelatihan menarik beban katrol 5kg, 12 R, 3 set Pelatihan menarik beban katrol 5kg, 9 R, 4 set

    FAKTOR INTERNAL Umur Jenis kelamin Berat badan Tinggi badan Indek massa tubuh Kebugaran Fisik

    Daya Ledak Otot Lengan

  • 50

    1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi dan tiga set

    dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya

    ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.

    2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi dan empat set,

    dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya

    ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.

    3. Pelatihan menarik katrol berbeban lima kg, duabelas repetisi dan tiga set

    dalam tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik daripada

    sembilan repetisi, empat set, tiga kali seminggu selama enam minggu

    dalam meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler

    bulutangkis SMK-1.

  • 51

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan The

    Randomized Pre and Post Test design (Pocock, 2008).

    Rancangan ini memiliki skema sebagai berikut:

    P1

    O1 O2

    P R S P2

    O3 O4

    Bagan 4.1 Rancangan Penelitian

    P : Populasi

    R : Random S : Sampling

    O : observasi daya ledak otot lengan P1 : Kelompok perlakuan I, pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi,

    tiga set

  • 52

    P2 : Kelompok perlakuan II, pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set

    O1 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sebelum pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set

    O2 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sesudah pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set

    O3 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 sebelum pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set

    O4 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 setelah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

    4.2.1 Lokasi penelitian

    Penelitian dilakukan di lapangan Lumintang Denpasar, karena aktivitas

    olahraga SMK-1 dilakukan dilokasi Lumintang selain tempatnya luas.

    4.2.2 Waktu penelitian

    Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2011.

    Waktu pengambilan data dilakukan selama enam minggu, dilakukan tiga kali

    seminggu, mulai pukul 05.30-07.00 Wita.

    4.3 Populasi Dan Sampel

    4.3.1 Populasi

    Populasi penelitian adalah semua siswa kelas I SMK Denpasar yang

    memilih kegiatan ekstrakurikuler bulutangkis berjumlah 40 siswa.

    4.3.2 Sampel

    Sampel dalam penelitian ini dari populasi yang memenuhi kreteria inklusi

    dan eksklusi sebagai berikut:

  • 53

    4.3.2.1 Kriteria inklusi:

    1. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai selesai, dengan

    menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel.

    2. Berbadan sehat dan tidak cacat, berdasarkan pemeriksaan dokter.

    3. Jenis kelamin laki-laki.

    4. Umur 15-16 tahun.

    5. Siswa kelas I SMK yang memilih ekstrakurikuler bulutangkis.

    6. Berat badan 48,1-68,3 kg.

    7. Tinggi badan 152,2-173,5 cm.

    8. Indeks Masa Tubuh 18,5-24,9.

    9. Kebugaran fisik 10,49-12.10.

    4.3.2.2 Kriteria eksklusi

    Kriteria eksklusi adalah subjek yang berdomisili di luar Kota Denpasar.

    4.3.2.3 Kreteria tidak dilanjutkan sebagai subjek

    Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk membatalkan keterlibatan

    seseorang sebagai sampel:

    a. Jika dalam pengambilan data orang tersebut tidak masuk atau tidak datang

    ke lokasi pengambilan data

    b. Jika selama penelitian orang tersebut tibatiba jatuh sakit atau cedera karena

    kecelakaan

    c. Jika selama penelitian orang tersebut pindah sekolah

    d. Jika selama penelitian orang tersebut mengundurkan diri sebagai subjek

    penelitian.

  • 54

    4.3.3 Besar Sampel

    Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan daya ledak

    otot lengan terhadap tujuh siswa kelas SMK yang berumur 15-16 tahun, diperoleh

    data dengan rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan adalah 26,16 m

    dengan standar deviasi 3,42. Harapan peningkatan daya ledak otot lengan sebesar

    % sehingga besar sampel disubstitusikan kedalam rumus Pocock (2008) sebagai

    berikut:

    Keterangan:

    n= jumlah sampel = standar deviasi (SD) daya ledak otot lengan=3,42 f(, )=7,9 table velue 1=rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan=26,16 m 2=harapan peningkatan daya ledak setelah pelatihan (15%)=30,084 m Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka diperoleh hasil = 12,

    untuk mengantisipasi subjek tidak melanjutkan penelitian ini, maka jumlah sampel

    untuk tiap kelompok ditambah 15% dari jumlah (n) sehingga jumlah sampel

    menjadi 14 orang untuk masing-masing kelompok. Total keseluruhan sampel

    sebanyak 28 (2 kelompok x 14 orang).

    4.3.4 Teknik Pengambilan sampel

    Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut:

    1. Mengadakan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi berdasarkan

    kreteria inklusi dan eksklusi dengan cara acak sederhana (simple random

    sampling)

    2. Melakukan pembagian kelompok penelitian sebanyak dua kelompok dengan

    masing-masing kelompok berjumlah 14 orang. Pembagian kelompok

    ( ) ( )

    ,

    22

    21

    2

    fn

    =

  • 55

    dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok I akan

    menerima perlakuan pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg,

    duabelas repetisi, tiga set, dan kelompok II akan menerima perlakuan

    pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, sembilan repetisi, empat

    set.

    4.4 Variabel Penelitian

    4.4.1 Identifikasi variabel

    4.4.1.1 Variabel bebas (independent variable).

    Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan

    pelatihan lima kg, sembilan repetisi, empat set.

    4.4.1.2 Variabel tergantung (dependent variable)

    Daya ledak otot lengan

    4.4.1.3 Variabel kendali (kontrol) adalah umur, berat badan, tinggi badan dan

    indeks masa tubuh( IMT).

    4.4.1.4. Variabel Random adalah kondisi lingkungan

    4.4.2 Definisi Operasional Variabel

    Untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam

    pengambilan data, maka berikut diuraikan definisi variabel sebagai berikut:

    1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan dua belas repetisi, tiga set.

    Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan 12 kali ulangan yang

    diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan

    dengan duabelas kali ulangan menarik katrol sampai pada tiga set.

  • 56

    2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dengan sembilan repetisi, empat set.

    Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan kali ulangan yang

    diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan

    dengan sembilan kali ulangan menarik katrol sampai pada empat set.

    3. Daya ledak otot lengan

    Kemampuan otot lengan untuk melakukan gerakan secara sentakan tiba-tiba

    dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.

    Daya ledak otot lengan diukur dengan melempar menggunakan bola softball

    dengan mengukur jauhnya lemparan dalam satuan sentimeter (cm). Alat

    yang digunakan bola softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80

    cm yang diukur dari garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran

    Kinglon buatan Jepang dalam satuan centimeter. Dengan cara subjek

    melemparkan bola softball sejauh jauhnya. Pelaksanaan adalah posisi kaki

    berdiri dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri di

    depan dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus

    vertikal di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam,

    lengan dan tangan kiri dalam keadaan bebas, posisi menghadap bentangan

    tali yang apabila disentuh tepat mengenai pergelangan tangan, kalau lengan

    kanan diayun ke depan dalam posisi bentuk 300 dari sikap semula. Tes

    dilakukan selama tiga kali diambil dari jarak terjauh. Hasil yang digunakan

    sebagai data penelitian dan dicatat dengan ketelitian 0,1 mm. Pelaksanaan

  • 57

    pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Jarak lemparan bola softball

    merupakan hasil yang menunjukkan seberapa besar kemampuan daya ledak

    otot lengan.

    4. Umur

    Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal, bulan kelahiran yang

    tercatat dalam data administrasi sesuai dengan akte kelahiran yang berusia

    sekitar 15-16 tahun.

    5. Jenis kelamin

    Jenis kelamin laki-laki yaitu jenis kelamin yang telihat penampakkan luar

    (phenotif) dan kesesuaian yang tertulis dalam administrasi sekolah.

    6. Berat badan

    Berat badan adalah bobot tubuh subjek yang diukur dengan timbangan berat

    badan merk Tanita dengan ketelitian 0.1 kg. Saat penimbangan tidak

    menggunakan alas kaki.

    7. Tinggi badan

    Tinggi badan adalah ukuran tinggi badan yang diukur dengan antropometer

    merk Super buatan Jepang dengan ketelitian 0.1 cm. Subjek berdiri tegak

    membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan

    diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun

    (vertex).

    8. Indeks Masa Tubuh ( IMT)

    Indeks masa tubuh adalah nilai komposisi tubuh atau berat badan ideal yang

    ditentukan dengan berat tubuh (kg) dan kuadrat tinggi badan (m).

  • 58

    9. Kebugaran Fisik

    Kebugaran fisik adalah kategori kebugaran jasmani subjek yang diperoleh

    melalui kemampuan melakukan lari 2,4 km dengan hasil yang dicatat

    berdasarkan satuan menit yang dikonversikan dalam skor berdasarkan

    penilaian Cooper. Waktu yang digunakan menggunakan stopwatch merk

    Q&Q buatan Jepang dengan tingkat ketelitian 0,01 detik.

    10. Suhu udara

    Suhu adalah suhu kering yang rata-rata yang diukur setiap melakukan

    penelitian dengan termometer elektronik. Merek Extech buatan Jerman

    dengan tingkat ketelitian 0.10C.

    11. Kelembaban Relatif udara

    Kelembaban relatif adalah presentase uap air dalam udara yang diukur

    dengan hygrometer elektronik digital merek Exctech buatan Jerman dengan

    tingkat ketelitian 1%.

    4.5 Alat Pengumpul data

    Alat ukur atau instrument yang digunakan dalam penelitian:

    1. Alat katrol beban yang dirancang khusus untuk pelatihan menarik katrol

    berbeban.

    2. Alat pelatihan dengan katrol dari bahan besi dengan lebar 200 cm dan

    tinggi 200 cm dan bola soft ball.

  • 59

    3. Timbangan berat badan merk Tanita untuk mengukur berat badan yang

    digunakan pada pelatihan menarik katrol beban dengan ketelitian 0.1 kg.

    4. Karung pasir dengan berat lima kg sebagai beban yang ditarik pada

    pelatihan menarik katrol beban.

    5. Antropometer Super buatan Jepang untuk mengukur tinggi badan dalam

    satuan centimeter (cm) dengan ketelitian 0,1 cm.

    6. Stop watch digital merk Q&Q untuk mengukur kecepatan lari 2,4 km,

    lama waktu istirahat tiap set, dan lamanya pelatihan dalam satu kali

    pelatihan, denagn ketelitian1/100 detik.

    7. Meteran merk Kinglon buatan Jepang.

    8. Metronom merk Nikko buatan Jepang untuk mengukur irama gerakan

    menarik katrol dengan arah gerakan dari belakang atas kepala ke bawah

    supaya irama gerakan setiap mengangkat beban sama.

    9. Norma penilaian tes lari 2,4 km Cooper, untuk mengukur status

    kebugaran fisik subjek.

    10. Termometer merk Extech buatan Jerman untuk mengukur suhu kering

    lingkungan, satuan 0C, ketelitian 0,1 0C.

    11. Higrometer elektronik digital merk Extech buatan Jerman untuk

    mengukur kelembaban relative udara, ketelitian 1%.

    12. Alat-alat tulis untuk mencatat data

    13. Kamera digital merk Nikon buatan Jepang yang digunakan untuk

    mendokumentasikan setiap kegiatan yang berkaitan dengan penelitian

    ini.

  • 60

    4.6 Prosedur Penelitian

    Prosedur penelitian terdiri dari tahap-tahap penelitian, yang dapat dijelaskan

    sebagai berikut:

    4.6.1 Tahap Persiapan

    Tahap persiapan menyangkut :

    1. Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain

    yang relevan dengan topik penelitian ini.

    2. Mengurus surat-surat penelitian.

    3. Meminta persetujuan penelitian kepada kepala sekolah dan

    mengkoordinasikan dengan wali kelas serta guru olahraga yang

    menyangkut jadwal penelitian dan persiapan.

    4. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian.

    5. Menyiapkan alat ukur yang baku dan memiliki ketelitian yang dapat

    dipercaya dan diakui secara ilmiah.

    6. Melakukan uji coba terkait alat yang dirancang khusus yang digunakan

    pelatihan menarik katrol. Dalam bentuk beban (berupa karung pasir lima

    kg) digantungkan dengan seutas tali melalui tiga buah katrol. Ujung tali

    terhubung dengan beban, lengan kanan yang akan menarik. Subjek

    berdiri dalam posisi tegak dengan sedikit tungkai ditekuk, kaki kiri maju

    kedepan kemudian tangan kanan menarik katrol berbeban lima kg dari

    atas kepala di arahkan ke bawah dan kembali ke posisi semula sesuai

    dengan takaran pelatihan. Posisi tangan kiri bebas.

    4.6.2. Tahap Penelitian Pendahuluan

  • 61

    1. Memberikan penjelasan tentang pelaksanaan penelitian

    2. Menentukan subjek yang akan dilibatkan

    3. Melakukan pengukuran pada beberapa variabel, seperti umur, berat

    badan, tinggi badan dan daya ledak otot lengan

    4. Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel

    dalam penelitian selanjutnya.

    5. Pengukuran Kebugaran fisik. Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2.4

    km, yaitu subjek berlari dengan menempuh jarak 2.4 km sesuai dengan

    kemampuan tanpa henti. Waktu tempuh dikonversikan dengan table

    tingkat kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah

    subjek yang memiliki kategori fisik sedang.

    6. Pengukuran berat badan.

    7. Pengukuran tinggi badan.

    8. Pengukuran daya ledak anggota gerak atas dilakukan dengan bola

    softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm. Pengukuran dari

    garis batas sa