unud 1091 1436105223 tesis full merge

164
TESIS PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR NI KADEK FEMY YULISTIAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: nita-hafidz

Post on 14-Jul-2016

48 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

penerapan standart kontrak

TRANSCRIPT

Page 1: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

TESIS

PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR

NI KADEK FEMY YULISTIAWATI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

TESIS

PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR

NI KADEK FEMY YULISTIAWATI

NIM.1092461009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

ii

PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP DEBITUR

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister

Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI KADEK FEMY YULISTIAWATI

NIM. 1092461009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL : 07 Juli 2014.

Pembimbing I

(Prof.Yohanes Usfunan,Drs.,SH.,MH.)

Pembimbing II

(Ida Bagus Putra Atmadja,SH.,MH.)

NIP. 19551126 198511 1 001 NIP. 19541231 198303 1 018

Mengetahui :

Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

(Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH.) (Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001

Page 5: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

iv

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Tanggal: 04 Juli 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana,

Nomor : 1861 / UN14.4 / HK / 2014

Tanggal 20 Juni 2014

Ketua : Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs.,, SH., MH.

Anggota : 1. Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH.

2. Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH.

3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MH., LLM.

4. Dr. I Made Udiana, SH., MH.

Page 6: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :

Nama : NI KADEK FEMY YULISTIAWATI

NIM : 1092461009

Program Studi : Kenotariatan

Judul Tesis : Penerapan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank

Terhadap Debitur

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia

menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 10 Mei 2014

Yang membuat pernyataan

(Ni Kadek Femy Yulistiawati)

Page 7: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Penerapan Standard Contract

Dalam Perjanjian Kredit Bank Terhadap Debitur”. Dalam penulisan tesis ini,

penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis

semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar

Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari

pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes

Usfunan, Drs., SH., MH., selaku Pembimbing Pertama dan terimakasih penulis

ucapkan kepada Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH selaku Pembimbing Kedua

yang telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis

menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut

Suastika, Sp. PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas

kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-

Page 8: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

vii

besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH selaku dekan

Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama,

SH.,MH selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana.

Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di

Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana

yang telah memberikan ilmu kepada penulis, Bapak dan Ibu seluruh staff dan

karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah

membantu penulis dalam proses administrasi. Terimakasih juga penulis tujukan

kepada Ayah tercinta I Nyoman Madra BA, dan Ibu Dra. Luh Sartini, serta kakak

dan adik tersayang Luh Feby Purnamayanthi, SE dan I Komang Pramana Sanjaya,

beserta seluruh keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya selama ini.

Terimakasih kepada Made Bisama Widura, SH, yang selalu sabar dan

tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesis ini. Terimakasih

kepada sahabat Putu Deviyanti Sugitha, SH, Made Irpiana Prahandari, SH, Desak

Putu Thiarina Agastia Mahaswari, SH, I Putu Sugandika, SH., M.Kn, serta

seluruh teman-teman Angkatan I Magister Kenotariatan Universitas Udayana

yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis

ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini.

Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak I Wayan Sugitha, SH,

yang selalu memberikan motivasi, dorongan, saran dan kritik selama proses

penulisan tesis ini, serta terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis untuk menerapkan ilmu prakteknya pada kantor beliau.

Page 9: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

viii

Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan

kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna

bagi masyarakat.

Denpasar, 10 Mei 2014

Penulis

Page 10: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

ix

ABSTRAK

PENERAPAN STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT

BANK TERHADAP DEBITUR

Perjanjian kredit sangat penting artinya dalam penyaluran kredit karena

berfungsi sebagai perjanjian pokok yang menentukan ruang lingkup hak dan

kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, perjanjian kredit juga berlaku

sebagai alat monitoring bagi jalannya pemberian kredit. Seiring dengan

perkembangan di bidang perdagangan dan keuangan, muncul aneka jenis

perjanjian kredit, salah satunya adalah perjanjian standar (standard contract).

Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah perwujudan asas

keseimbangan dalam standard contract antara bank dan debitur, apakah

penerapan standard contract oleh bank dalam menyalurkan kredit mencerminkan

asas kebebasan berkontrak.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang

menjelaskan kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan

yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam

perjanjian kredit oleh pihak bank. Sifat penelitian adalah deskriptif. Data dan

sumber data primer, data sekunder dan bahan hukum tersier yang terdiri dari

kamus dan ensiklopedi. Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan teknik

pengolahan data secara kualitatif dan penyajiannya dilakukan dengan jalan

menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan.

Hasil kesimpulan menunjukkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada

dan BPR Lestari yang isinya memuat klausul baku cenderung berat sebelah.

Terdapat banyak klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala

petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur

kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak

menyatakan hak pihak bank. Sementara itu kewajiban pihak bank hanya

memberikan kredit sejumlah telah yang dijanjikan. Berdasarkan lingkup

kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu perjanjian maka perjanjian kredit

Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan

berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen.

Kebebasan berkontrak terjadi adalah dalam lingkup kebebasan untuk membuat

atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia

ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan

dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-

undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat

ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk

perjanjian. Bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh

pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku.

Kata Kunci: Perjanjian Kredit Bank, Standard Contract.

Page 11: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

x

ABSTRACT

ADOPTION OF STANDARD CONTRACTS IN BANK LOAN AGREEMENTS

TOWARDS DEBTORS

A loan agreement plays an important role in channeling loans because it

functions as a principal agreement that determines the scopes of rights and

obligations of creditors and debtors. In addition, a loan agreement also functions

a monitoring tool in channeling loans. In line with the development of trade and

finance sectors, there are various loan agreements, including standard contracts.

The questions of this study are: how fairness principles are applied in standard

contracts among banks and debtors and does the adoption of standard contracts

by banks in channeling loans reflect freedom principles in concluding contracts.

This study is categorized into empirical legal research that

explains/describes the gap between theory (das solen), namely provision of article

1338 paragraph (1) of the Civil Code of the Republic of Indonesia that reflects

freedom principle in concluding contracts and the existing facts or practices (das

sein), namely the adoption of standard agreements in loan agreements by banks.

The primary data, secondary data and secondary legal data resources of this

descriptive study come from dictionaries and encyclopedias. The data were

processed and analyzed by using the qualitative data processing technique and

then presented systematically so that conclusions could be withdrawn.

The conclusions show that loan agreements of Mayapada Bank and BPR

Lestari Bank containing standard clauses that tend to be biased or one-sided.

There are a number of clauses requiring customers to comply with the applicable

rules and regulations of banks, including the existing ones and those that will be

issued in the future. The clauses in the said loan agreements also contain/describe

a lot of rights on the bank sides. Meanwhile, the bank obligations are only to

provide the loans as per the agreement. Based on the scopes of freedom that have

been applied in agreements, the loan agreements of Mayapada Bank and BPR

Lestari Bank do not fully apply freedom principles in concluding contracts

because they are restricted by the provisions of article 1320 and article 1338

paragraph (1) of the Civil Code of the Republic of Indonesia and article 18

paragraph (1) of Customers Protection Law. The freedom to conclude contracts is

just within the scope of whether to conclude or not to conclude agreements,

freedom to choose to whom to conclude contracts, freedom to choose agreement

clauses that will be concluded and freedom to receive and deviate from provisions

of law that are optional (aanvullen, optional). However, there are not any

freedoms in concluding agreements, namely in determining the forms of

agreements. The forms of loan agreements have been determined unilaterally by

bank sides, namely standard written agreements.

Keywords: Bank Loan Agreement, Standard Contract.

x

Page 12: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

xi

RINGKASAN

Tesis ini membahas mengenai penerapan standard contract dalam

perjanjian kredit bank terhadap debitur, terkait dengan penerapan asas kebebasan

berkontrak dan asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank tersebut.

Bab I menguraikan mengenai ketentuan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang merupakan asas kebebasan berkontrak seringkali tidak sesuai

dengan kenyataan yang berlaku dalam sistem perbankan Indonesia yang

menerapkan perjanjian standar dalam pemberian kredit. Dengan kata lain terjadi

kesenjangan antara teori (das solen), yaitu ketentuan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan kenyataan yang

berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan perjanjian standar dalam

perjanjian kredit oleh pihak bank. Perjanjian standar memunculkan (kesan) pola

hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah. Perjanjian kredit

sebagai perjanjian standar (standard contract) sudah lama menjadi masalah yang

menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Permasalahannya terletak

pada klausul-klausulnya ditetapkan secara sepihak oleh bank dan diberlakukan

secara massal pada konsumen. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut

maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan.

Bab II menguraikan mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan

standard contract dan perjanjian kredit. Konsep-konsep yang berkaitan dengan

standard contract yaitu hakekat dan dasar hukum kontrak, keabsahan kontrak,

bentuk-bentuk perjanjian, perjanjian baku atau kontrak standar, perjanjian standar

dan asas kebebasan berkontrak, perjanjian standar dan asas keseimbangan.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan perjanjian kredit yaitu hakekat perjanjian

kredit, kriteria perjanjian kredit, asas-asas perjanjian kredit, bentuk-bentuk

perjanjian kredit.

Bab III merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan pertama

yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab, yaitu tentang klausul-klausul dalam

standard contract kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, keabsahan standard

contract dalam perjanjian kredit bank, perwujudan asas keseimbangan dalam

perjanjian kredit bank. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perjanjian

kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari yang isinya memuat klausul baku

cenderung berat sebelah. Terdapat banyak klausul mewajibkan nasabah untuk

tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau

yang akan diatur kemudian. Sedangkan dari pihak bank, terdapat banyak klausul

dalam perjanjian kredit yang menyatakan hak bank, sementara itu hanya ada satu

klausul yang menyebutkan kewajiban pihak bank yaitu memberikan kredit

sejumlah telah yang diperjanjikan.

Bab IV merupakan hasil uraian penelitian dari permasalahan kedua yang

diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab, yaitu tentang kebebasan berkontrak dalam

pelaksanaan standard contract perjanjian kredit antara bank dan debitur, akibat

hukum dari klausul baku, pembatasan kebebasan berkontrak dalam perjanjian

kredit bank dengan standard contract. Hasil dari penelitian ini adalah perjanjian

Page 13: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

xii

kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas

kebebasan berkontrak karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan

Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi dalam lingkup kebebasan untuk

membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak

siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih causa perjanjian

yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan

undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan tentang simpulan dan

saran. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah perjanjian kredit bank yang dalam

hal ini Bank Mayapada dan BPR Lestari yang memuat klausul baku (standard

contract) kurang mencerminkan asas keseimbangan. Klausul baku (standard

contract) yang termuat dalam perjanjian kredit pada bank tersebut cenderung

berat sebelah, karena banyak terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk

tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau

yang akan diatur kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga

banyak menyatakan hak pihak bank, sementara itu kewajiban pihak bank hanya

memberikan kredit sejumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit

tersebut. Kemudian Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam

suatu perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR

Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena dibatasi

oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata serta

Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan berkontrak terjadi

hanya dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,

kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian, dan

kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan

untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat

opsional (aanvullen, optional). Namun masih terdapat ketidakbebasan dalam

membuat perjanjian yaitu dalam menentukan bentuk dari perjanjian yang akan

dibuat, karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah ditentukan secara sepihak

oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk baku. Bertitik tolak dari

kesimpulan tersebut di atas maka saran yang dapat diberikan adalah bank

diharapkan lebih memperhatikan kepentingan debitur tanpa mengesampingkan

faktor resiko dalam pemberian kredit. Klausul baku yang dicantumkan dalam

perjanjian kredit harus ditempatkan di tempat yang mudah dibaca sehingga

debitur benar-benar memperhatikan akibat hukum dari klausul baku tersebut.

Selain itu bank diharapkan lebih meningkatkan kinerja perbankan dengan

menerapkan good corporate governance, salah satunya dengan mengadakan

pelatihan-pelatihan dalam bentuk perancangan kontrak (contract drafting) bagi

karyawannya khususnya bagian legal. Sehingga nantinya dapat membuat

perjanjian kredit bank yang mencerminkan keseimbangan kedudukan antara bank

dan debitur tanpa merugikan kepentingan salah satu pihak. Nasabah debitur

diharapkan bertindak lebih teliti dalam membaca dan mencermati perjanjian

kredit, dan apabila kurang memahami klausul tertentu dan akibat hukum yan

ditimbulkan hendaknya debitur melakukan negosiasi dengan pihak bank atau

Page 14: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

xiii

pihak lain yang memahami hukum sehingga terhindar dari akibat hukum yang

tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri.

Page 15: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

PERSYARATAN GELAR .............................................................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi

ABSTRAK ....................................................................................................... ix

ABSTRACT ....................................................................................................... x

RINGKASAN .................................................................................................. xi

DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 11

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12

1.3.1.Tujuan Umum ........................................................................... 12

1.3.2.Tujuan Khusus .......................................................................... 12

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 13

1.4.1.Manfaat Teoritis ........................................................................ 13

1.4.2.Manfaat Praktis ......................................................................... 13

1.5. Landasan Teoritis ............................................................................... 14

1.5.1.Teori Keadilan ......................................................................... 14

1.5.2.Teori Perjanjian ....................................................................... 25

Page 16: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

xv

1.5.3.Asas Keseimbangan .................................................................. 29

1.5.4.Asas Kebebasan Berkontrak ..................................................... 31

1.6. Metode Penelitian .............................................................................. 33

1.6.1.Jenis Penelitian .......................................................................... 33

1.6.2.Sifat Penelitian .......................................................................... 34

1.6.3.Data Dan Sumber Data.............................................................. 35

1.6.4.Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 36

1.6.5.Teknik Penentuan Sampel Penelitian ........................................ 36

1.6.6.Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ..................................... 38

BAB II TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN

STANDARD CONTRACT DAN PERJANJIAN KREDIT ......... 39

2.1. Konsep-Konsep Standard Contract ................................................... 39

2.1.1.Hakekat dan Dasar Hukum Kontrak ......................................... 39

2.1.2.Keabsahan Kontrak ................................................................... 42

2.1.3.Bentuk-Bentuk Perjanjian ......................................................... 44

2.1.4.Perjanjian Baku/Kontrak Standar ............................................. 45

2.1.5.Perjanjian Standar dan Asas Kebebasan Berkontrak ................ 52

2.1.6.Perjanjian Standar dan Asas Keseimbangan ............................. 55

2.2. Konsep-Konsep Tentang Perjanjian Kredit ....................................... 57

2.2.1.Hakekat Perjanjian Kredit ......................................................... 57

2.2.2.Kriteria Perjanjian Kredit .......................................................... 66

2.2.3.Asas-Asas Perjanjian Kredit ..................................................... 69

2.2.3.Bentuk Perjanjian Kredit ........................................................... 71

Page 17: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

xvi

BAB III PERWUJUDAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM

STANDARD CONTRACT ANTARA BANK DAN DEBITUR .. 74

3.1. Klausul-klausul Dalam Standard Contract Kredit Bank Mayapada

dan BPR Lestari ............................................................................... 78

3.2. Keabsahan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank ....... 84

3.3. Perwujudan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank ... 95

BAB IV STANDARD CONTRACT DALAM MEMBERIKAN

KREDIT MENCERMINKAN ASAS KEBEBASAN

BERKONTRAK ............................................................................ 115

4.1. Kebebasan Berkontrak Dalam Pelaksanaan Standard Contract

Perjanjian Kredit Antara Bank dan Debitur .................................... 118

4.2. Akibat Hukum Dari Klausul Baku .................................................. 124

4.3. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank

Dengan Standard Contract .............................................................. 132

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 139

5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 139

5.2. Saran-saran ......................................................................................... 140

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 142

DAFTAR RESPONDEN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 18: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perjanjian kredit sangat penting artinya dalam penyaluran kredit karena

berfungsi sebagai perjanjian pokok yang menentukan ruang lingkup hak dan

kewajiban antara kreditur dan debitur. Selain itu, perjanjian kredit juga berlaku

sebagai alat monitoring bagi jalannya pemberian kredit.

Pada awalnya istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium

Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967 lalu pada Instruksi

Presiden Kabinet No. 15/EK/10, tanggal 3 Oktober 1996 jo Surat Edaran Bank

Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/pemb, tanggal 8 Oktober 1996, yang

menginstruksikan keadaan masyarakat perbankan bahwa bank wajib mempergunakan

akad perjanjian kredit dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun tanpa

menjelaskan dan mengatur secara spesifik bentuk klausul yang perlu atau harus

dicantumkan dan klausul yang tidak boleh dicantumkan, khususnya yang menyangkut

hak dan kewajiban para pihak.

Sekalipun ada ahli yang menggunakan istilah persetujuan bukan perjanjian,

seperti misalnya R. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum

Perikatan, namun dalam peraturan perundangan mengenai perbankan di Indonesia

istilah yang digunakan adalah perjanjian. Apabila dikaitkan dengan kredit, maka

1

Page 19: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

2

istilah yang umum digunakan dalam dunia perbankan di Indonesia adalah perjanjian

kredit bukan persetujuan kredit. Apabila dilihat dari segi yuridis, persetujuan berbeda

dengan perjanjian. Persetujuan adalah salah satu syarat dari suatu perjanjian sesuai

ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

Seiring dengan perkembangan di bidang perdagangan dan keuangan, muncul

aneka jenis perjanjian kredit, salah satunya adalah perjanjian standar (standard

contract). Menurut catatan sejarah, perjanjian standar sudah dikenal sejak zaman

yunani kuno (423-347 SM). Lalu Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 di

Inggris menyebabkan munculnya perjanjian atau kontrak baku. Timbulnya produksi

massal dari pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan pada awalnya tidak

menimbulkan perubahan apa-apa dalam kontrak bisnis. Tetapi kemudian

standardisasi produksi membawa desakan yang kuat untuk pembakuan perjanjian-

perjanjian.1 Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika Serikat berbentuk

perjanjian standar, begitu juga di Indonesia. Perjanjian standar bahkan merambah ke

sektor properti dengan cara-cara yuridis yang masih kontroversional, misalnya

diperbolehkan membeli satuan rumah susun secara inden dalam bentuk perjanjian

standar.2

Perjanjian standar (standard contract) adalah perjanjian yang hampir seluruh

klausul-klausulnya distandarisasi (distandarkan) oleh pembuatnya dan kemudian

1Gemala Dewi, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan

Perasuransian Syariah di Indonesia, cet. III, Kencana, Jakarta, hal.204. 2Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,

Jakarta, hal.146.

Page 20: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

3

disodorkan ke pihak lain. Pihak yang disodori perjanjian standar tersebut pada

dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan

isinya.3 Dengan kata lain, perjanjian standar ditetapkan secara sepihak, kemudian

dicetak dalam bentuk formulir, diperbanyak dan digunakan berulang-ulang untuk

perjanjian sejenis.

Perjanjian kredit bank adalah salah satu contoh kategori perjanjian standar

(standard contract). Dalam menyalurkan kredit, pihak bank pada umumnya

menyiapkan perjanjian dalam bentuk blanko atau formulir sebagai model perjanjian

kredit. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh bank sebagai pihak yang

kedudukannya lebih kuat dalam perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian sifat

perjanjian standar lebih menguntungkan bank daripada nasabah debitur sebagai pihak

yang kedudukannya lebih lemah.

Perumusan syarat-syarat dalam perjanjian standar yang disiapkan pihak bank,

secara rinci diuraikan dalam bentuk klausul-klausul tertentu yang mengandung arti

tertentu yang hanya dipahami dan dimengerti oleh pihak bank, sedangkan pihak

nasabah debitur sulit atau tidak dapat memahaminya dalam waktu yang singkat.

Pihak bank dengan sengaja tidak menginformasikan hal tersebut kepada nasabah

debitur. Dengan demikian, perjanjian standar bertentangan dengan asas kebebasan

berkontrak.

3Ibid, hal.119.

Page 21: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

4

Asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahasa Belanda disebut contracts

vrijheid, mengandung makna bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat

perjanjian sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. Kebebasan yang

dimaksud meliputi :

1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian

atau tidak membuat perjanjian

2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu

perjanjian

3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian

4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian

5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara membuat perjanjian.4

Dalam hukum perdata, asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III

KUHPerdata merupakan sistem (materiil) terbuka dan bebas, sebagai lawan sistem

(materiil) tertutup yang dianut Buku II KUHPerdata (Hukum Benda), sehingga setiap

orang berhak dan bebas membuat dan mengadakan perjanjian dengan siapapun,

dalam bentuk yang mereka kehendaki serta mengatur serta menentukan isi suatu

perjanjian. Akan tetapi pelaksanaan asas ini hendaknya tidak dipahami dalam artian

bebas sebebas-bebasnya, karena berlakunya dibatasi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Pasal 1320 KUHPerdata, yang menguraikan tentang syarat sahnya suatu

perjanjian (kontrak).

4Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut

Bankir Indonesia, Jakarta, hal.47.

Page 22: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

5

2. Pasal 1335 KUHPerdata, yang menyatakan larangan dibuatnya suatu kontrak

tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang,

dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.

3. Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang,

dan apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum. Asas ketertiban umum bukan merupakan

suatu hal yang baru dan tidak popular.5 Tetapi asas ini dikenal dalam setiap sistem

hukum, baik common law maupun civil law. Dalam sistem hukum common law

asas ketertiban umum dikenal dengan istilah public policy, sedangkan dalam

sistem hukum civil law dikenal dengan istilah ordre public, salah satunya di

Perancis. Disamping itu masih banyak istilah lain tentang asas ketertiban umum

seperti dalam bahasa Belanda openbare orde, vorbehaltklausel dalam bahasa

Jerman, ordine public dalam bahasa Itali dan orden public dalam bahasa spanyol.6

4. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang

dilaksanakan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, itikad baik,

kepatutan serta keadilan. Asas itikad baik ini merupakan asas bahwa para pihak,

yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak

berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari

5Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan

Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 1.

6Sudargo Gautama, 1989, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni,

Bandung, hal.3.

Page 23: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

6

para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi

dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap

dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian

terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk

menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

Sedangkan Asas Kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian

yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

5. Pasal 1339 KUHPerdata, yang menekankan pada terikatnya perjanjian pada sifat,

kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal

tersebut diatas bukanlah kebiasaan setempat, tetapi ketentuan-ketentuan yang

diperhatikan oleh kalangan tertentu.

6. Pasal 1347 KUHPerdata yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut

kebiasaan selamanya disetujui dan secara diam-diam dimasukkan dalam suatu

kontrak.

Dalam sistem terbuka Buku III KUHPerdata dan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata dinyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dapat dikatakan bahwa

kata “semua” pada pasal tersebut merupakan cara untuk menyimpulkan asas

kebebasan berkontrak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata tersebut terkesan menyatakan bahwa siapa saja diperbolehkan untuk

membuat perjanjian dalam bentuk apapun dan mengikat para pihak yang

Page 24: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

7

membuatnya sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap

kebebasan itu hanya “ketertiban umum dan kesusilaan”.

Kebebasan berkontrak memberi kebebasan kepada para pihak untuk membuat

perjanjian dengan bentuk atau format apapun, baik tertulis, lisan, non otentik,

sepihak, standar dan lain-lain, serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan

para pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada

umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.7 Hal yang penting

untuk diperhatikan adalah bahwa kebebasan berkontrak dan ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata tidaklah berdiri sendiri. Asas tersebut berada dalam satu sistem

yang utuh dan terkait dengan ketentuan lainnya.

Asas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata tersebut seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku

dalam sistem perbankan Indonesia yang menerapkan perjanjian standar dalam

pemberian kredit. Dengan kata lain terjadi kesenjangan antara teori (das solen), yaitu

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan asas kebebasan

berkontrak dan kenyataan yang berlaku atau praktek (das sein), yaitu penerapan

perjanjian standar dalam perjanjian kredit oleh pihak bank.

Perjanjian standar memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang

tidak seimbang dan berat sebelah. Perjanjian kredit sebagai perjanjian standar

(standard contract) sudah lama menjadi masalah yang menimbulkan pro dan kontra

7Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika,

hal.195.

Page 25: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

8

di kalangan ahli hukum. Permasalahannya terletak pada klausul-klausulnya

ditetapkan secara sepihak oleh bank dan diberlakukan secara massal pada konsumen.

Dalam klausul-klausul tersebut nampak adanya ketidakseimbangan kedudukan antara

bank dan nasabah debitur yang membutuhkan dana. Dalam kondisi yang demikian

nasabah tidak dapat mengajukan revisi terhadap klausul perjanjian yang ditawarkan

pihak bank. Debitur hanya dapat menerima atau menolak isi perjanjian yang

ditetapkan oleh bank.

Untuk memperoleh keuntungan ekonomi, bank merancang perjanjian kredit

yang mengandung klausul-klasul tidak wajar dan memberatkan pihak debitur. Di

samping itu pula, perjanjian kredit yang disodorkan bank sering memuat klausul

eksonerasi atau klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung

jawab sepihak bank terhadap gugatan debitur yang melaksanakan kewajibannya

secara tidak semestinya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit

tersebut. Padahal seharusnya klausul-klausul tersebut memberi perlindungan hukum

bagi para pihak, terutama bagi nasabah debitur sebagai pihak yang kedudukannya

lemah.

Adapun contoh klausul yang secara tidak wajar dan memberatkan debitur

adalah klausul penetapan besarnya suku bunga. Umumnya klausul tersebut berbunyi

“Ketentuan suku bunga kredit dapat ditinjau dan ditetapkan kembali secara sepihak

oleh bank terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut pihak bank cukup

Page 26: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

9

memberitahukannya secara tertulis dan pemberitahuan dimaksud mengikat pengambil

kredit/nasabah debitur”.

Apabila dilihat dari bunyi klausul tersebut diatas jelas-jelas tidak seimbang

dan merugikan nasabah debitur. Seharusnya perubahan atau penyesuaian tingkat suku

bunga mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Sudah seharusnya dalam suatu

perjanjian, pemberlakuan, perubahan dan pengakhirannya tetap harus dengan dasar

persetujuan kedua belah pihak dan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Penggunaan

perjanjian standar dalam dunia perbankan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi

dalam pemakaian tenaga, biaya dan waktu serta bertujuan memberikan pelayanan

yang sebaik-baiknya kepada nasabah debitur. Perjanjian standar pada umumnya

dimaksudkan untuk lebih memberikan jaminan pelunasan utang debitur.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai permasalahan tersebut diatas di dalam praktek

perbankan dan dalam penelitian ini penulis merumuskan judul ”PENERAPAN

STANDARD CONTRACT DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

TERHADAP DEBITUR”.

Dari penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa hasil penelitian yang telah

dipublikasikan memiliki objek penelitian serupa. Meskipun demikian penelitian

tersebut tidak terdapat kesamaan dengan penelitian penulis. Adapun penelitian yang

dimaksud adalah :

Page 27: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

10

a. Tesis dari Dwi Santi Wulandari, Sarjana Hukum dengan Nomor Induk

Mahasiswa B4B.004.112, alumni mahasiswi Program Pascasarjana Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan judul

“Prinsip Kehati-Hatian Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi Pada Bank Central

Asia Cabang Cilegon)”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis

tersebut adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian diaplikasikan dalam Perjanian

Kredit pada Bank Central Asia Cabang Cilegon Propinsi Banten?

2. Bagaimana tanggung jawab Bank Central Asia Cabang Cilegon Propinsi

Banten dengan pihak debitur dalam Perjanjian Kredit menyangkut hak dan

kewajiban?

b. Tesis dari Hamzah Fatoni, Sarjana Hukum dengan Nomor Induk Mahasiswa

B4B.0004.112, alumni mahasiswa Program Pascasarjana Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2006, dengan judul “Tinjauan Yuridis

Perjanjian Kredit Umum Di PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang. Adapun

yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis tersebut adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit umum beserta syarat-syarat yang

diajukan kepada masyarakat dari PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang?

2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pemberian kredit

kepada masyarakat dari PT.Bank Jawa Tengah Cabang Rembang?

Page 28: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

11

3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh PT.Bank Jawa Tengah Cabang

Rembang jika terjadi wanprestasi?

Dari hasil penelitian tersebut, tidak dijumpai penelitian yang sama dengan

penelitian ini dan mengambil permasalahan berbeda sebagaimana tersebut di atas,

yang artinya penelitian ini mengangkat sebuah topik permasalahan dengan

mengupas sisi lain dari suatu objek penelitian yang memang belum tereksplorasi,

sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya atau

keasliannya. Akan tetapi apabila dikemudian hari ternyata ditemukan hasil

penelitian yang serupa, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai pelengkap

atas penelitian terdahulu.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perwujudan asas keseimbangan dalam standard contract

antara bank dan debitur?

2. Apakah penerapan standard contract oleh bank dalam menyalurkan kredit

mencerminkan asas kebebasan berkontrak?

Page 29: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

12

1.3. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul yang dan permasalahan dalam penelitian ini, maka

dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1.3.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara

mendalam penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dan debitur

sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan kalangan

perbankan agar tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian

kredit.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang

dibahas adalah :

a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perwujudan asas keseimbangan

dalam standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur.

b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang asas

kebebasan berkontrak dalam penerapan standard contract pada pemberian

kredit.

Page 30: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

13

1.4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik

pengembangan ilmu pengetahuan maupun mempunyai kegunaan praktis. Begitu juga

dengan penelitian ini mempunyai manfaat, yaitu :

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran teoritis bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum Perjanjian dan Hukum Perbankan

yang berhubungan penerapan standard contract antara bank dengan debitur.

1.4.2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari hasil penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua)

manfaat, yaitu :

a. Bagi masyarakat (calon debitur), hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang nantinya bermanfaat untuk

memecahkan masalah-masalah perbankan yang ada di masyarakat khususnya

mengenai persoalan tentang klausul dalam standard contract yang pada

umumnya memberatkan debitur.

b. Bagi peneliti, hasil penelitian tesis ini sebagai syarat untuk penyelesaian studi

pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana serta dapat

menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang

perbankan dalam hal ini penerapan standard contract yang dilakukan antara

bank dengan debitur dalam pemberian kredit.

Page 31: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

14

1.5. Landasan Teoritis

Dalam mengkaji permasalahan yang dibahas pada tesis ini, diperlukan adanya

landasan teoritis yang merupakan dukungan teori, konsep, asas, dan pendapat-

pendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan

yang dianalisis. Oleh karena itu teori merupakan serangkaian konsep, definisi dan

proposisi yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis

tentang suatu gejala.8 Teori dalam penelitian empiris selain berfungsi untuk

menjelaskan fakta, juga harus mampu meramalkan atau membuktikan fakta-fakta

atau kejadian-kejadian.9 Teori, konsep atau asas tersebut mampu memberikan arah

kepada penelitian yang dilakukan.

Landasan teoritis dalam penulisan tesis ini menggunakan beberapa teori, dan

asas-asas hukum yaitu sebagai berikut :

1.5.1. Teori Keadilan

Teori Keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut John

Rawl. Sesungguhnya ada beberapa sarjana lain yang membahas mengenai keadilan

seperti John Locke, Rosseau, Immanuel Kant. Para pemikir itu mengajukan ide-ide

tentang hakikat keadilan dalam kontrak. Mereka menyadari, tanpa kontrak serta hak

dan kewajiban yang ditimbulkannya masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Kontrak

memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan

8Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar

Maju, Bandung, hal.141. 9Ibid.

Page 32: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

15

memenuhi janjinya, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya transaksi diantara

para pihak.10

Oleh karena itu karena itu tanpa adanya kontrak, para pihak tidak akan

bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain.

John Rawl mengkritik teori dari John Locke, Rosseau dan Immanuel Kant

karena cenderung bersifat utilitarianisme dan intuisionisme. Teori Keadilan John

Rawl bertitik tolak dari kritiknya atas kegagalan teori-teori keadilan yang

berkembang sebelumnya yang disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi

baik utilitarianisme maupun intuisionisme.11

Dengan belajar dari kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls menawarkan

suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori

keadilan berbasis kontrak.12

Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus

dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih

merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu yang bebas rasional dan

sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin

pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua

orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang

baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap konsep keadilan yang tidak berbasis

kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam

10

Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas

dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40. 11

Andre Ata Ujan, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik

Jhon Rawls), Kanisius, Yogyakarta, hal.21. 12

Ibid.

Page 33: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

16

konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya

prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.13

Oleh karena itu diperlukan prinsip-

prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip

keadilan distributif dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut :14

a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang

sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi) yang

harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan

kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud

(prinsip kesamaan hak).

b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial

ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling

menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak

mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan

prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan

dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan prinsip

persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of

opportunity.

Dapat disimpulkan bahwa Teori Keadilan dari John Rawls memiliki inti

sebagai berikut :

13

Ibid. hal. 71. 14

Ibid. hal.129.

Page 34: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

17

1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya

untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.

2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial

maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social

goods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada

kemungkinan keuntungan yang lebih besar.

3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap

ketidaksetaraan kelahiran dan kekayaan.

Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls memberikan 3 (tiga)

prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yaitu :

1. Prinsip kesetaraan yang sama (equal liberty of principle)

2. Prinsip perbedaan (differences principle)

3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)

Tentu saja ketiga prinsip keadilan ini tidak dapat diwujudkan bersama-sama

karena dapat menimbulkan benturan antara prinsip yang satu dengan prinsip yang

lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas yaitu prioritas pertama menetapkan

bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal belaku terlebih

dahulu daripada prinsip yang kedua dan ketiga. Hanya setelah kebebasan yang

diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan

uang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya prioritas kedua merupakan relasi

Page 35: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

18

antara dua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu prinsip perbedaan dan prinsip

persamaan kesempatan).

Menarik untuk digarisbawahi bahwa prinsip kesamaan menurut Rawls harus

dipahami sebagai “kesetaraan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti “kesamaan

hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu dalam

kebebasan yang “tersituasi” sehingga disandarkan pada berbagai kondisi, keadaan-

keadaan dan kualitas masing-masing. Bagi Rawls kesamaan hasil bukanlah alasan

untuk membenarkan sebuah prosedur.

Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice tidak menuntut

setiap orang yang terlibat menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh

prosedur yang sama juga harus mendapatkan hasil yang sama. Sebaliknya, hasil

prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga apabila setiap orang tidak

mendapatkan hasil yang sama. Dengan demikian, prinsip keadilan yang lahir dari

suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima sebagai prinsip

yang pantas berlaku untuk umum.15

Oleh karena itu, yang harus dipahami bahwa

keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam

jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif

ada pada setiap individu.

Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam hubungan bisnis,

khususnya terkait dengan aspek keadilan dalam kontrak komersial, maka berdasarkan

15

Ibid, hal.45.

Page 36: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

19

pikiran-pikiran tersebut diatas, hendaknya kita tidak boleh terpaku pada pembedaan

keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak komersial harus memadukan

konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi-kontra prestasi) sebagaimana

dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif

sebagai landasan hubungan kontraktual.16

Hubungan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit bank

bertentangan dengan Teori Keadilan dari John Rawls dalam hal :

1. Memaksimalkan kemerdekaan.

2. Kesetaraan bagi semua orang.

3. Prinsip kesamaan kesempatan.

Selain itu terdapat pula Teori Keradilan menurut Aristoteles. Keadilan

menurut Aristoteles adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi

haknya. Menurut teori keadilan Aristoteles, secara tradisional keadilan dibagi menjadi

tiga yaitu : Keadilan Legal, Keadilan Komutatif, dan Keadilan Distributif.

1. Keadilan Legal

Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai

dengan hukum yang belaku. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua orang harus

dilindungi dan tunduk pada hukum yang berlaku tanpa terkecuali. Keadilan legal

menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara.

16

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.65.

Page 37: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

20

Intinya smeua pihak dijamin mendapat perlakuan dan diperlakukan sama oleh

Negara dan berdasarkan hukum yang berlaku.

2. Keadilan Komutatif

Keadilan komutatif ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang

satu dengan yang lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal

antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dalam bisnis, keadilan komutatif

juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan

komutatif ini menyangkut pertukaran yang adil antara para pihak yang terlibat.

Prinsip dari keadilan ini adalah menuntut agar semua orang menepati apa yang

telah dijanjikan sebelumnya, mengembalikan pinjaman, member ganti rugi yang

seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas dan menjual barang dengan

mutu dan harga yang seimbang.

3. Keadilan Distributif

Prinsip dasar dari keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan

ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi

semua orang. Keadilan distributif mempunya relevansi dalam dunia bisnis,

khususnya dalam perusahaan. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan

bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.

Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya

ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti

dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa

Page 38: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

21

ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Yang sangat penting dari

pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian

kesamaan. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya

sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Distribusi yang adil

boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni

nilainya bagi masyarakat. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan

terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.

Menurut Aristoteles negara yang berdasarkan atas hukum menjamin keadilan

kepada warga negaranya. Negara hukum mengandung arti, penguasa dalam

mengambil tindakannya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Suatu Negara baru dapat digolongkan sebagai Negara hukum (rechstaat)

apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dikatakan M.C.Burkens, antara lain :

1. Asas legalitas

2. Pembagian kekuasaan

3. HAM

4. Pengawasan Pengadilan (peradilan administrasi).17

Keadilan merupakan hakekat dari doktrin Hak Asasi Manusia (HAM). Secara

etimologis, hak manusia terbentuk dari tiga suku kata yaitu hak, asasi dan manusia.

Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia

17

Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan

Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004, hal.24.

Page 39: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

22

adalah kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata

huquq yang artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Hak adalah kewenangan atau

kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.18

HAM Ekonomi adalah Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan aktivitas-

aktivitas perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang meliputi hak

untuk :

a. Bekerja

b. Usaha dalam bidang ekonomi

c. Aktivitas perekonomian, perburuhan dan aktivitas perbankan dan asuransi.19

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39

Tahun 1999 Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor

165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886, selanjutnya

disebut Undang-Undang HAM) Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang

melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM dan kemartabatan manusia

memiliki korelasi yang kuat. Perlindungan dan pemenuhan HAM sangat

18

Jack Donnelly, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice,

Ithaca : Cornell University Press, hal.10. 19

Yohanes Usfunan, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi,

sosial, budaya)”, Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua,

Tanggal 10 Mei 2013, hal.3.

Page 40: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

23

memungkinkan bagi terwujudnya kesempurnaan eksistensi manusia yang pada

gilirannya menghasilkan interaksi sosial yang baik pula.

Dalam tataran konseptual, HAM mengalami proses perkembangan yang

sangat komplek. Dapat dikatakan HAM merupakan puncak konseptualisasi manusia

tentang eksistensi dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, jika disebukan sebagai

konsepsi, itu berarti pula sebuah upaya maksimal dalam melakukan formulasi

pemikiran strategis tentang hak dan kewajiban dasar yang dimiliki manusia.

Dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 secara eksplisit dan implisit terdapat pandangan-pandangan dan nilai-nilai

fundamental, disamping sebagai konstitusi politik (political constitution) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga merupakan konstitusi

ekonomi (economic constitution). Negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan

pengaturan lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun

lebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan

kesejahteraan sosial yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila,

yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi.

Konstitusi ekonomi (economic constitution) tersebut di atas dari materinya

dapat dilihat sebagai berikut :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas

kekeluargaan.

Page 41: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

24

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Perekomian Indonesia berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-

undang.

Penjelasan mengenai Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tersebut, menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar

demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan

atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang

diutamakan bukan kemakmuran perseorangan atau segelintir orang, karena ini

berlawanan dengan logika kapitalisme : produksi untuk melayani kepentingan

kapitalis (menggali keuntungan sebesar-besarnya). Pasal 33 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini dapat dikatakan bertentangan

(penentangan) terhadap liberalisme dan motif untuk mencari keuntungan pribadi.

Teori Keadilan berbasis kontrak dari John Rawl, Teori Keadilan dari

Aristoteles, serta HAM berupa persamaan kedudukan dalam bidang ekonomi ini

Page 42: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

25

kiranya relevan digunakan untuk mengkaji permasalahan pertama yaitu bagaimana

perwujudan asas keseimbangan dalam penerapan standard contract antara bank dan

debitur. Apabila perjanjian kredit bank dianalisis menggunakan Teori Keadilan

berbasis kontrak dari John Rawl, Teori Keadilan dari Aristoteles, serta HAM berupa

persamaan kedudukan dalam bidang ekonomi maka hubungan antara bank dengan

debitur adalah hubungan kontraktual yang tidak mencerminkan keadilan sehingga

terjadi ketidakseimbangan kedudukan antara para pihak yang terlibat langsung dalam

perjanjian kredit. Keadilan hanya dapat dicapai apabila para pihak yang terlibat

langsung dalam perjanjian kredit tersebut berada dalam posisi yang seimbang,

sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dapat terlaksana secara adil.

1.5.2. Teori Perjanjian

Teori Perjanjian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perjanjian

menurut Mariam Darus Badrulzaman. Menurut teori tersebut, perjanjian mengandung

asas kekuatan mengikat. Para pihak, tidak semata-mata hanya terikat sebatas pada apa

yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang

dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.20

Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan

pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Salah satu teori dari hukum kontrak

klasik adalah teori kehendak. Menurut Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa

20

Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal.87-

88.

Page 43: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

26

selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa

teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:

a. Ajaran Kehendak (Wilsleer), dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor

yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin

yang ada dalam kehendak subyektif para calon kontrakan;

b. Pandangan Normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikit pun tidak

memainkan peranan; apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada

hakikatnya tergantung pada suatu penafsiran normatif para pihak pada

persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama;

c. Ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan

yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu

telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu

persetujuan. 21

Terkait dengan teori yang dikemukakan oleh Gr. Van der Burght bahwa

dengan adanya kehendak para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian,

maka timbullah perjanjian utang piutang (perjanjian kredit). Kemudian, dengan

adanya pemikiran bahwa apabila para pihak menyatakan sepakat dan berjanji

mengikatkan diri yang dituangkan suatu perjanjian kredit tersebut akan memenuhi

kebutuhan para pihak itu, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak.

Selanjutnya bahwa adanya kesepakatan kedua belah pihak mengikat diri dalam suatu

perjanjian kredit, disertai pemberian jaminan timbullah suatu kepercayaan kreditur,

sehingga kredit dapat diberikan kepada debitur.

Sementara itu menurut R. Setiawan, perjanjian merupakan suatu perbuatan

hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

21

Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi

Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.40.

Page 44: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

27

dirinya terhadap satu orang atau lebih.22 Inti dari suatu perjanjian adalah “saling

mengikatkan diri.” Dalam kaitan hubungan antara pihak bank dan nasabah yang

menjadi debiturnya, pemikiran Munir Fuady bisa dijadikan acuan. Munir Fuady

mengidentifikasikan dua bentuk hubungan antara pihak bank dan nasabahnya, yaitu

hubungan kontraktual dan non kontraktual.23

Hubungan non kontraktual menyangkut

hubungan antara pihak bank dengan nasabah deposan sedangkan hubungan

kontraktual berkaitan dengan hubungan antara pihak bank selaku pemberi kredit dan

nasabah debitur.

Adapun definisi perjanjian sesungguhnya terdapat juga dalam Pasal 1313

KUHPerdata yang menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih.” Definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang

lengkap karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas. Oleh karena

itu sangat banyak yang tidak sependapat mengenai definisi perjanjian tersebut.

Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata menyiratkan bahwa sesungguhnya dari

suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)

kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.

Rumusan tersebut mengandung konsekuensi hukum bahwa dalam perjanjian selalu

ada dua pihak dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan

22

R.Setiawan, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,

hal.49. 23

Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bhakti, Cet.II,

Jakarta, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.100.

Page 45: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

28

satu pihak lainnya berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak dapat

terdiri dari satu atau lebih orang bahkan dengan perkembangan ilmu hukum, pihak

tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. Dalam Pasal 1320

KUHPerdata diatur bahwa ada 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka mengikatkan diri

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat

tersebut mengenai subyek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan

syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian. Dengan diberlakukannya kata

sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua pihak harus memiliki kebebasan

kehendak. Para pihak tidak mendapat tekanan yang mengakibatkan adanya cacat

hukum bagi perwujudan kehendak tersebut. Sehubungan dengan syarat kesepakatan

bahwa mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal

yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut.

Teori Perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman di atas, kiranya relevan

untuk mengkaji permasalahan kedua, yaitu apakah penerapan standard contract

dalam pemberian kredit mencerminkan asas kebebasan berkontrak bagi debitur.

Pembahasan kebebasan berkontrak dalam penelitian ini dilakukan tanpa mengabaikan

fakta bahwa kebebasan berkontrak tidak dapat dilakukan secara tak terbatas.

Page 46: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

29

Pembatasan tersebut diberikan oleh ketentuan-ketentuasn dalam KUHPerdata dan

peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya undang-undang mengenai

perlindungan konsumen. Sekalipun terdapat pembatasan dalam kebebasan berkontrak

namun dengan adanya jaminan keadilan dan kepastian hukum dalam perjanjian kredit

bank maka klausul-klausul yang memberatkan debitur dihapuskan sehingga debitur

tidak merasa dirugikan lagi.

1.5.3. Asas Keseimbangan

Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak harus memiliki keseimbangan hak

dan kewajiban dengan berdasar pada asas keseimbangan. Asas keseimbangan

menurut Herlien Budiono adalah asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan

pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam

KUHPerdata dengan mendasarkan pada pemikiran dan latar belakang individualisme

pada satu pihak dan di lain pihak pada cara pikir bangsa Indonesia. Keseimbangan

dalam membuat perjanjian sangat penting agar terjadi keseimbangan hak dan

kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian

terjadi keselarasan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.24

Pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan

keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya

dengan kontrak konsumen. Hal ini didasari pemikiran bahwa dalam perspektif

perlindungan konsumen, dalam hal ini debitur, terdapat ketidakseimbangan posisi

24

Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya

Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.29.

Page 47: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

30

tawar para pihak.25

Hubungan konsumen-produsen, dalam hal ini pihak debitur-bank,

diasumsikan hubungan yang subordinat. Pihak debitur berada pada posisi lemah

dalam proses pembentukan kehendak kontraktualnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu diberdayakan dan diseimbangkan

posisi tawar bagi pihak debitur. Dalam konteks ini, asas keseimbangan yang

bermakna “equal-equilibrium” akan bekerja memberikan keseimbangan manakala

posisi tawar para pihak menjadi tidak seimbang. Tujuan dari asas keseimbangan

adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam

menentukan hak dan kewajibannya.26

Oleh karena itu, apabila terdapat posisi yang tidak seimbang di antara para

pihak, maka hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi

maupun maksud dan tujuan dibuatnya kontrak itu. Interpretasi terhadap penggunaan

istilah keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut ialah :

a. Pertama, lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam

hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan

keseimbangan.

b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan

kontraktual seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam

penentuan hasil akhir pembagian tersebut.

c. Ketiga, keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir sebuah proses.

d. Keempat, intervensi Negara merupakan intrumen pemaksa dan mengikat

agar terwujud keseimbangan posisi para pihak.

e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai

pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).27

25

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.79. 26

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.80. 27

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.84.

Page 48: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

31

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus

memperhatikan kepentingan pihak debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur, dalam

hal ini adalah bank, menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi pihak debitur

mungkin bank dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan iktikad baik.

Selanjutnya menurut R. Subekti, jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru

akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk

menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya.28

Uraian mengenai asas keseimbangan dan bertitik tolak dari pemikiran Herlien

Budiono tersebut dapat mengkaji permasalahan pertama mengenai perwujudan asas

keseimbangan dalam standard contract yang dilakukan antara bank dengan debitur.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian, dalam

hal ini bank dan pihak debitur, sangat penting agar tercipta keselarasan dalam

pelaksanaan perjanjian. Keselarasan tersebut akan tercermin dalam pelaksanaan

perjanjian oleh para pihak dan tidak berat sebelah dan mencerminkan keadilan.

1.5.4. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dalam bahasa asing disebut contracts vrijheid,

contracteen vrijheid atau partij autonomie, atau dalam pustaka bahasa Inggris disebut

dengan istilah freedom of contract. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas

yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau

28

Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian : Teori Dan Analisa Kasus, Edisi

Pertama, Cetakan ke 6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.4.

Page 49: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

32

perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum.29

Asas kebebasan bekontrak ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari ketentuan diatas dapat disimak 3 (tiga) pokok atau asas yang terkandung

di dalamnya, yaitu :

a. Pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas

kebebasan berkontrak;

b. Pada kalimat ”berlaku sebagai Undang-Undang” menunjukkan asas kekuatan

mengikat atau asas pacta sunt servanda.

c. Pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas

personalitas.30

Dengan kata lain apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum,

maupun kesusilaan, maka perjanjian yang dibuat tersebut telah melanggar syarat

obyektif dari sahnya perjanjian dan perjanjian tersebut batal demi hukum dan

dianggap tidak pernah ada sehingga tidak dapat mengikat para pihak yang membuat

perjanjian tersebut.

29

Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata,

Alumni, Bandung, hal.212. 30

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Pasal

1233 sampai 1456 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.78.

Page 50: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

33

Syarat obyektif tersebut berkaitan dengan kausa yang halal dalam syarat

sahnya suatu perjanjian. Dapat diartikan bahwa kausa tersebutlah yang menjadi dasar

obyektif terjadinya suatu kontrak. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1320 ayat (4)

KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu kontrak adalah batal demi hukum (null and

void) apabila didasari oleh kausa yang tidak halal.

Penjabaran dari kausa yang tidak halal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1337

KUHPerdata yang menguraikan bahwa suatu kausa dari suatu perjanjian tersebut

dinyatakan tidak halal apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan

dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.31

Berdasarkan uraian mengenai asas

kebebasan berkontrak tersebut diatas, maka asas ini dapat mengkaji permasalahan

kedua mengenai asas kebebasan berkontrak dalam penerapan standard contract.

Karena kebebasan berkontrak sangat penting, baik bagi individu dalam konteks

kemungkinan pengembangan diri dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas

kehidupan kemasyarakatan. Dari sudut kepentingan masyarakat, kebebasan

berkontrak merupakan sebagai suatu totalitas.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris yaitu penelitian

hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau

31

Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak

Bisnis, Cetakan II : Edisi Revisi Juli 2011, Kontrak Publishing, hal.200.

Page 51: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

34

implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang atau kontrak)

secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam

masyarakat (in concreto).32

Morris L. Cohen and Kent C. Olson berpendapat dalam

bukunya yang berjudul Legal Research bahwa penelitian hukum yaitu : “legal

research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the

law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”33

yang

artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah perundang-undangan

sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara praktek.

Penelitian yuridis empiris dilakukan untuk memastikan apakah hasil dari

penerapan pada peristiwa hukum in concreto tersebut telah sesuai atau tidak dengan

ketentuan undang-undang atau perjanjian telah dilaksanakan sebagaimana mestinya

atau tidak, sehingga para pihak yang berkepentingan mencapai tujuannnya. Penelitian

yuridis empiris harus dilakukan di lapangan dengan metode dan teknik penelitian

lapangan dengan cara melihat dan meneliti fakta-fakta yang terjadi di lapangan

tentang penerapan standard contract yang dilakukan antara bank dengan kreditur

tidak sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata.

1.6.2. Sifat penelitian

Sifat penelitian di dalam penulisan tesis ini bersifat deskriptif yang bertujuan

32

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya

Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hal.134. 33

Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,

ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, hal.1.

Page 52: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

35

untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau

kelompok tertentu untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan

ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.

1.6.3. Data dan sumber data

Data dan sumber data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan (Field

Research) yang berlokasi di Kota Denpasar, yaitu dengan melakukan penelitian pada

PT. Bank Mayapada Internasional Tbk (selanjutnya disebut Bank Mayapada) dan

BPR Lestari selaku kreditur yang menerapkan standard contract dalam dalam

pemberian kreditnya. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara

dengan informan dan responden yang ada pada lokasi penelitian tersebut.

2. Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian ini diperoleh melalui 3 (tiga) bahan hukum yaitu

sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer yang terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Page 53: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

36

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

b. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah,

dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen yang relevan dengan

masalah yang dibahas.

c. Bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi.34

1.6.4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan teknik wawancara atau interview dan peneliti datang

langsung bertemu dengan informan dan responden yang sebelumnya telah ditentukan

oleh peneliti yaitu pihak-pihak yang terkait dengan pembuatan standard contract

dalam memberikan kredit kepada debitur pada Bank Mayapada dan BPR Lestari yang

berlokasi di Denpasar.

Teknik pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini bahan-bahan bacaan

digunakan teknik telah dokumen yaitu membaca serta mengkaji bahan-bahan bacaan

yang bersumber pada bahan hukum primer maupun dari bahan buku sekunder seperti

buku-buku yang terkait dan relevan dengan pembahasan ini dan bahan hukum tertier

yang berupa kamus dan ensiklopedi.

1.6.5. Teknik penentuan sampel penelitian

Sebelum dilakukan penentuan sampel penelitian, terlebih dulu ditentukan

lokasi penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas. Menurut Bahder

34

Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal.120.

Page 54: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

37

Johan Nasution, dengan teknik sampling non probabilitas tidak semua subyek atau

individu mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.35

Dari beberapa teknik non probabilitas yang ada, yang digunakan dalam

penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan

tertentu, sesuai dengan tujuan penelitian bahwa sampel memenuhi kriteria yang

merupakan ciri utama populasinya.

Sebagaimana diketahui, Kota Denpasar adalah pusat aktivitas ekonomi dan

perdagangan di Provinsi Bali sehingga tingkat aktivitas pengucuran kredit perbankan

sangat tinggi. Setelah dilakukan penentuan lokasi penelitian, langkah selanjutnya

adalah penentuan sampel penelitian dengan menggunakan teknik non probabilitas

dalam bentuk purposive sampling. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut, dari beberapa bank yang beroperasi di Kota

Denpasar, yang dipilih adalah Bank Mayapada dan BPR Lestari karena lebih terbuka

memberikan informasi perjanjian kredit dengan standard contract dibandingkan bank

lain. Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya semua bank, dalam menjalankan

aktifitasnya tunduk pada ketentuan dari Bank Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan Perbankan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3790, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan). Sehingga

35

Bahder Johan Nasution, op.cit, hal.156.

Page 55: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

38

dengan adanya ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan inilah penulis hanya

mengambil 2 (dua) kreditur sebagai responden dalam penelitian ini.

1.6.6. Teknik pengolahan dan analisis data

Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut diolah dan dianalisa

dengan menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif yaitu dengan memilih

data yang kualitasnya dapat menjawab permasalahan yang diajukan dan untuk

penyajiannya dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh

suatu kesimpulan.

Page 56: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

39

BAB II

TEORI DAN KONSEP YANG BERKAITAN DENGAN STANDARD

CONTRACT DAN PERJANJIAN KREDIT

Pada Bab II ini akan dibahas mengenai hakekat dan dasar hukum kredit,

keabsahan kontrak, perjanjian baku/kontrak standar, perjanjian standar dan asas

kebebasan berkontrak, perjanjian standar dan asas keseimbangan, pengertian kredit

dan perjanjian kredit, jaminan kredit dan perjanjian kredit sebagai bentuk perjanjian

standar.

2.1. Konsep -Konsep Standard Contract

2.1.1. Hakekat dan Dasar Hukum Kontrak

Kontrak memiliki hakekat pengertian yang lebih sempit daripada perjanjian.

Kontrak mengacu pada perjanjian atau persetujuan tertulis. Subekti

mendefinisikan kontrak atau perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan suatu hal.36

Hal ini berarti bahwa peristiwa dimana

seseorang secara berjanji kepada orang lain secara lisan untuk melakukan

sesuatu tidak dapat disebut kontrak. Janji tersebut memiliki hakekat kontrak

apabila dituangkan dalam perjanjian secara tertulis.

36

R.Subekti, 1996, Hukum Perjanjian,St.XIV, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya

disebut R.Subekti I), hal. 1.

39

Page 57: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

40

Pandangan senada diungkapkan oleh Abdul R. Saliman, dimana kontrak

merupakan konsep yang memiliki pengertian yang lebih sempit dibandingkan

perjanjian. Menurut Saliman kontrak dalam pengertian yang lebih luas sering

dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak atau perjanjian didefinisikan

sebagai peristiwa dimana dua orang atau lebih saling mengadakan berjanjian untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.37

Sekalipun menurut Saliman kontrak dan perjanjian memiliki kesamaan

definisi tetapi konsep kontrak memiliki hakekat yang lebih sempit daripada

perjanjian. Kontrak pada hakekatnya adalah perjanjian antara dua orang atau dua

pihak secara tertulis. Macam-macam kontrak menurut Abdul R. Saliman adalah:

a. Perjanjian Kredit

b. Perjanjian Leasing (Kredit Barang)

c. Perjanjian Keagenan dan Distributor

d. Perjanjian Franchising dan Lisensi.38

Sementara itu menurut Agus Yudha Hernoko, perjanjian dan kontrak

memiliki pengertian yang sama. Yudha Hernoko mengatakan ”Hal ini disebabkan

fokus kajian saya berlandaskan pada Burgerlijk Wetboek (BW) dimana antara

perjanjian dan persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan

37

Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan

Contoh Kasus, Kencana Prenada, Jakarta, hal.45. 38

Ibid, hal.53.

Page 58: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

41

kontrak (contract).”39

Dengan demikian apabila dua orang berjanji untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis, berarti keduanya

telah melakukan kontrak.

Sekalipun secara umum disepakati bahwa dasar hukum kontrak nasional

terdapat dalam KUHPerdata namun menurut Munir Fuady, sumber lain dari hukum

kontrak adalah:

1. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis

kontrak tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak.

2. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara

berkenaan dengan kontrak.

3. Perjanjian internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur

tentang aspek bisnis internasional.

4. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.

5. Doktrin atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas.

6. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut dengan kontrak-

kontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan.40

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata ”Perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang

atau lebih.” Sumber hukum lain dari kontrak selain KUHPerdata adalah :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

39

Agus Yudha Ernoko, op.cit, hal.15. 40

Munir Fuady, 2005, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,

Citra Aditya, Buku I, Jakarta, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal.10.

Page 59: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

42

2.1.2. Keabsahan Kontrak

Menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, perjanjian dinyatakan sah

apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.41

Pasal 1320 KUHPerdata

menentukan sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Syarat nomor 1 dan nomor 2 disebut sebagai syarat subyektif, yaitu syarat

untuk subyek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat nomor 3 dan nomor 4 disebut

syarat objektif yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya. Syarat nomor 1 dan 2

menyangkut kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau

dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat antara subjek hukum dapat terjadi

dengan tegas, baik secara lisan maupun tertulis dan secara diam, baik dengan suatu

sikap atau dengan syarat.

Suatu perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan apabila

menyangkut unsur paksaan (dwang), unsur kekeliruan (dwaling) dan unsur penipuan

(bedrog).42

Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab

terdapat unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat

41

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata,

Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta hal.223. 42

Ibid, hal.224.

Page 60: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

43

dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana ketentuan

Pasal 1454 KUHPerdata. Seseorang dikatakan cakap hukum membuat perjanjian

apabila telah berumur minimal 21 (duapuluh satu) tahun, atau apabila belum berumur

21 (duapuluh satu) tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Menurut Ligna

Spagnola ”The law of contracts protects person who are under 18 (minors), those

who are mentally infirm, and those under influence of drugs or alcohol.”43

(Hukum

kontrak melindungi orang yang berumur di bawah 18 tahun, mereka yang lemah

secara mental, mereka yang berada dalam pengaruh obat-obatan atau alkohol).

Selain itu seseorang itu tidak boleh sedang berada dalam pengampuan

(curatele), yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab

pemabuk, gila, atau boros. Secara lebih jelas dapat dilihat ketentuan Pasal 1330

KUHPerdata menyebutkan bahwa orang tidak cakap membuat kesepakatan :

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ada di bawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang

dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat perjanjian.

Sementara itu ketentuan mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau

mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu

menyangkut mengenai objeknya, apakah menyangkut benda berwujud, tidak

43

Linda A. Spagnola, 2008, Contract For Paralegal : Legal Principle and

Practival Aplication, McGraw-Hill Irwin, United States, p. 97.

Page 61: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

44

berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek

benda oleh para pihak biasanya ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang,

kualitas dan mutu barang, buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna

barang, dan lain sebagainya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata, dalam

perjanjian yang menyangkut tentang barang, paling sedikit ditentukan barang

jenisnya, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian.

Terkait dengan suatu sebab yang halal (causa yang halal) mengandung

pengertian bahwa pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus

melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu

kuat. Pasal 1335 KUHPerdata merinci mengenai perjanjian yang dibuat tanpa sebab,

perjanjian yang dibuat karena sebab palsu atau karena perjanjian karena sebab yang

terlarang. Semua itu menggambarkan sebab yang tidak halal dalam perjanjian.

Dengan demikian penulis berkesimpulan, bahwa perjanjian akan mendapatkan

keabsahannya apabila memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagaimana ketentuan

Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subyektif menyangkut subyek hukum atau orangnya

sedangkan syarat objektif merupakan syarat untuk objek hukum atau bendanya.

2.1.3. Bentuk-Bentuk Perjanjian

Menurut ketentuan KUHPerdata, pokok yang diperjanjikan dalam suatu

perjanjian merupakan barang yang dapat diperjualbelikan. Sebagaimana ketentuan

Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ”Pokok perjanjian adalah barang

yang dapat diperdagangkan.” Dengan demikian maka penulis berpendapat bahwa

Page 62: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

45

objek perjanjian tidak hanya merupakan barang-barang yang kasat mata melainkan

juga barang-barang yang tidak kasat mata.

Menurut Salim H.S, jenis-jenis kontrak atau perjanjian yang paling asasi

adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat.

Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti

segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban, misalnya,

perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.44

Dari sekian banyak pendapat mengenai jenis-jenis atau macam-macam

kontrak penggolongan yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah menurut I

Ketut Artadi dan Asmara Putra yang mengkategorikan bentuk-bentuk kontrak

menjadi :

1. Perjanjian Biasa

2. Perjanjian Baku

3. Perjanjian Tersamar

4. Perjanjian Simulasi.45

2.1.4. Perjanjian Baku / Kontrak Standar

Perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan

atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku lebih tepat disebut kontrak baku

44

Salim, H.S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusuran Kontrak, Sinar

Grafika, Jakarta, hal.27. 45

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi

Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dalam Perancangan Kontrak, Udayana

University Press, Denpasar, hal.36.

Page 63: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

46

karena ditulis secara tertulis. Kontrak baku disiapkan secara seragam untuk banyak

orang lazimnya satu objek perjanjian dan satu prestasi.46

Tujuan dari kontrak baku

untuk memberi kemudahan dan kepraktisan bagi pihak yang bersangkutan. Untuk itu

maka perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan

dalam bentuk formulir.47

Memang keuntungan dari perjanjian standar adalah praktis,

banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat.

Akan tetapi menurut Sriwati perjanjian standar secara langsung maupun tidak

telah merugikan pihak-pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul dalam

perjanjian. Di satu pihak pihak yang tidak membuat klausul adalah salah satu pihak

dalam perjanjian memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam

menjalankan perjanjian tersebut tapi di sisi lain dia harus menurut terhadap isi

perjanjian yang disodorkan kepadanya.48

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perjanjian baku dar hampir seluruh

klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain hampir tidak mempunyai

peluang merundingkan atau meminta perubahan. Mengenai hal yang belum

dibakukan hanya menyangkut harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal spesifik

46

Ibid, hal.37. 47

Mariam Darus Badrulzaman, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen

Dilihat Dari Perjanjian Baku, Binacipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Mariam Darus

Badruzaman II), hal.58. 48

Sriwati, 2000, Perlidungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku,

Majalah Yustika Volume III tanggal 2 Desember, hal.176.

Page 64: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

47

dari objek yang diperjanjikan. Sedangkan yang dibakukan adalah klausul-klausulnya

bukan formulirnya.49

Dari berbagai pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa perjanjian

standar atau kontrak standar merupakan perjanjian yang klausul-klausulnya disiapkan

oleh pihak yang kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut dan dituangkan

dalam suatu dokumen yang mengikat para pihak. Pendapat penulis di atas sesuai

dengan pengertian perjanjian baku menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821, selanjutnya

disebut UU Perlindungan Konsumen) ”Klausul baku adalah aturan atau ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak

oleh pelaku usaha yang diruangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.”

Mariam Barus Badrulzaman kemudian mengemukakan ciri-ciri perjanjian

standar, yaitu :50

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur dengan posisinya yang relatif

kuat dari debitur

b. Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian tersebut

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut

d. Disiapkan terlebih dulu bsecara massal atau individual.

49

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal.66. 50

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, Azas Kebebasan Berkontrak Dan

Kaitannya Dengan Perjanjian Standar (Standard) dalam Majalah Media Notariat No.

28-29 Tahun VII Juli-Oktober (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III),

hal.45.

Page 65: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

48

Dari beberapa pendapat mengenai perjanjian standar di atas maka dapat

disimpulkan bahwa klausul dalam kontrak standar dibuat oleh salah satu pihak, yaitu

pihak yang kuat dan pihak lain yang lebih lemah hanya menerima kontrak yang

disodorkan. Dalam konteks inilah kemudian muncul adanya klausul eksonerasi dalam

perjanjian standar, yaitu klausul yang menguntungkan baginya sebagai klausul

tambahan.

Klausul eksonerasi atau dalam sistem common law disebut exculpatory

clause.51

Menurut penulis, klausul eksonerasi adalah klausul tambahan atas klausul

essensalia, dimana pihak yang kuat untuk dapat menghindar untuk memenuhi

kewajiban atau menghindar dari kemungkinan kerugian yang dipikulnya, menghindar

membayar ganti rugi yang terjadi akibat ingkar janji perbuatan melawan hukum.

Secara lebih sederhana, Abdulkadir Muhammad menyebutkan klausul eksonerasi

adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab dari

akibat yang merugikan yang timbul dari pelakanaan perjanjian.52

Dengan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa klausul eksonerasi adalah

klausul yang mengalihkan tanggung jawab dari suatu pihak ke pihak lainnya, yaitu

dari pihak yang kedudukannya kuat dalam perjanjian kepada pihak yang

kedudukannya lemah. Tujuannya adalah agar pihak yang kuat terhindar dari

51

Suharnoko, 2005, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana,

Cetakan III, Jakarta, hal.124-125.

52

Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan

dan Perdagangan, Citra Aditya, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir

Muhammad II), hal.21

Page 66: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

49

kemungkinan kerugian. Dalam pandangan Abdulkadir Muhammad klausul eksonerasi

dapat ditambahkan dalam suatu perjanjian standar karena keadaan memaksa, karena

perbuatan pihak-pihak tertentu dalam perjanjian. Perbuatan pihak-pihak ini dapat

mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga.53

Ada tiga kemungkinan klausul eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam

syarat-syarat perjanjian :

1. Eksonerasi karena keadaan memaksa

Kerugian yang ditimbulkan karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab

pihak-pihak, tetapi syarat-syarat dalam perjanjian dapat dibebankan kepada

konsumen, pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab.

2. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua.

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi

tanggung jawab pengusaha. Hal ini karena tidak baik atau lalai melaksanakan

kewajiban terhadap pihak kedua. Tapi dalam syarat-syarat perjanjian,

kerugian dibebankan pada pengusaha.

3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi

tanggung jawab pengusaha. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dibebabkan

pada pihak kedua yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini

53

Ibid, hal.21.

Page 67: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

50

pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan

pihak ketiga.54

Relevansi antara klausul eksonerasi dengan perjanjian standar/baku adalah

karena perjanjian baku pada umumnya pasti mengandung klausul eksonerasi. Bahkan

dapat disebutkan bahwa jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan perjanjian

standar/baku dalam perjanjian kredit bank adalah karena dicantumkannya klausul

eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah

klausul yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali

tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak perbankan. Dengan

demikian klausul eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar

antara pihak bank selaku kreditur dengan nasabah debitur.

Klausul eksonerasi tidak sepenuhnya dilarang karena juga berdasarkan

kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana ketentuan Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata. Yang dilarang adalah klausul eksonerasi yang tergolong perbuatan

penyalahgunaan keadaan (undue influence). Artinya, sepanjang kedua belah pihak

yang membuat perjanjian itu mempunyai kedudukan ekonomi dan psikologi yang

seimbang, tidak terdapat indikasi bahwa pihak yang satu dapat menekan pihak yang

lain maka sejauh memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian tersebut tetap

sah.

54

Munir Fuady II, op.cit, hal.86.

Page 68: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

51

Menurut UU Perlindungan Konsumen, perjanjian baku/standar kontrak adalah

sah, akan tetapi melarang pencatuman klausula baku yang bersifat berat sebelah. Jika

dicantumkan dalam perjanjian, maka klausul baku tersebut adalah batal demi hukum.

Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa klausul baku yang

dilarang untuk dicantumkan pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, yaitu :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen.

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, memberi hak kepada pelaku

usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan

konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa

f. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh

pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

Page 69: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

52

g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen disebutkan

bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak dan bentuknya

sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit

dimengerti. Pencantuman klausul seperti ini juga batal demi hukum sebagaimana

yang ditetapkan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen.

Apabila ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen dilanggar maka

sanksi akan diberikan sebagaimana diatur Pasal 62 ayat (1), yaitu :

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruh a, huruf b,

huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5

(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.0000.000,00 (dua miliar

rupiah).

2.1.5. Perjanjian Standar Dan Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral

dalam hukum kontrak, meskipun tidak dituangkan dalam aturan hukum tetapi

mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.55

Menurut

Mariam Darus Badrulzaman, perjanjiaan standar bertentangan dengan asas kebebasan

berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam perjanjian standar, kedudukan debitur

dan kreditur membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya.

55

Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.108.

Page 70: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

53

Pengusaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Perjanjian standar

hanya membuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul debitur.56

Bahkan menurut Djumadi, proses pembuatan perjanjian standar belum

seluruhnya memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320

ayat (1) KUHPerdata, terutama menyangkut unsur ”sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya”, karena yang yang dimaksud dengan sepakat disini

mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat ada

persesuaian kemauan atas saling menyetujui kehendak masing-masing, yaitu yang

dilahirkan oleh pihak dengan tiada paksaan tertentu dan penipuan.57

Perjanjian

standar merupakan wujud pembatasan dari asas kebebasan berkontrak. Menurut

Mariam Darus Badrulzaman, setelah Perang Dunia II pembatasan kebebasan

berkontrak semakin meningkat. Pengaruh paham individualisme mulai memudar

pada akhir abad ke-19 seiring semakin meningkatnya paham etis dan sosialis. Oleh

karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, tetapi diberi arti relatif

dikaitkan dengan kepentingan umum.58

Sementara itu Setiawan menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi

pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu:

56

Mariam Darus Baldrulzaman II, op.cit, hal.53. 57

Djumadi, 1996, Tinjauan Tentang Azas Kebebasan Berkontrak Dalam

Perjanjian Keagenan Dalam Era Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta, hal.72. 58

Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya

Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman IV), hal.43.

Page 71: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

54

1. Perkembangan doktrin itikad baik

2. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan

3. Makin banyak kontrak standar

4. Berkembangnya hukum ekonomi59

Jika asas kebebasan berkontrak yang merupakan substansi dari Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata ditempatkan dalam kerangka sistem Hukum Perdata Indonesia,

maka kebebasan berkontrak bukanlah suatu yang absolut melainkan relatif. Ada

beberapa ketentuan-ketentuan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu:

1. Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai sah tidaknya suatu perjanjian.

2. Pasal 1335 KUHPerdata yang melarang kontrak tanpa causa atau dibuat

berdasarkan causa yang palsu atau terlarang.

3. Pasal 1337 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu sebab adalah

terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan

dengan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum.

4. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus

dilaksanakan dengan itikad baik.

5. Pasal 1339 KUHPerdata menunjuk perjanjian pada sifat kepatutan, kebiasaan

dan undang-undang.

6. Pasal 1347 KUHPerdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan

selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.

59

Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata,

Alumni, Badung, hal.179.

Page 72: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

55

2.1.6. Perjanjian Standar Dan Asas Keseimbangan

Selain keempat asas dalam hukum perjanjian yang telah disebutkan di atas,

ada pula asas lain yang perlu dibahas yang relevan dengan penelitian ini, yaitu asas

keseimbangan. Selain itu, asas keseimbangan adalah pertanyaan mendasar yang

timbul dalam pelaksanaan perjanjian standar, yaitu terkait dengan asas keseimbangan

kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Oleh karena itu asas

keseimbangan dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak

dalam menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian. Ketidakseimbangan

menimbulkan ketidakadilan sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi

pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.60

Perjanjian kredit bank dalam bentuk perjanjian standar menurut Mariam

Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang tidak memenuhi asas keseimbangan.

Menurut Badrulzaman, dalam hubungan bank dengan nasabah, kedudukan nasabah

adalah lemah sehingga perlu dilindungi dengan campur tangan pemerintah terhadap

substansi perjanjian kredit bank.61

Tentu saja campur tangan pemerintah ini bertujuan

agar perjanjian kredit bank memenuhi asas keseimbangan dalam berkontrak.

Artadi dan Asmara Putra menyebut asas keseimbangan ini sebagai asas

kedudukan yang seimbang. Perjanjian dapat dibatalkan karena menyalahgunakan

keadaan (subdue influence), dimana salah satu pihak berada dalam posisi yang kuat,

60

Sri Gambir Melati Hatta, 2000, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama:

Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni Bandung,

hal.161. 61

Mariam Darus Badrulzaman III, op.cit, hal.42.

Page 73: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

56

posisi mana disalahgunakan oleh pihak tersebut sehingga merugikan pihak lain.62

Dalam kaitan dengan hubungan antara produsen dan konsumen, asas keseimbangan

ini dibahas dalam konteks kedudukan konsumen yang lebih rendah dari produsen.

Salah satu cara utama dalam mencapai keseimbangan antara perlindungan

produsen dan perlindungan konsumen adalah dengan menegakkan hak-hak

konsumen. Hak-hak yang merupakan hak dasar konsumen untuk pertama kali di

kemukakan oleh Presiden AS John F. Kennedy, yaitu :

1. Hak memperoleh keamanan

2. Hak memilih

3. Hak mendapat informasi

4. Hak untuk didengar.63

Dengan memahami berbagai pendapat mengenai asas keseimbangan yang

telah disebutkan di atas maka asas keseimbangan menyangkut kedudukan yang

seimbang antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila suatu perjanjian

tidak memenuhi asas keseimbangan, dimana posisi atau kedudukan salah satu pihak

lebih kuat dari pihak lain, maka diperlukan intervensi pemerintah untuk

mengembalikan keseimbangan antara pihak tersebut. Ketidakseimbangan antara

pihak yang terlibat dalam perjanjian terjadi dalam perjanjian kredit bank, yaitu antara

bank dan nasabah. Adapun dalam perspektif hubungan antara produsen dan

62

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal.69. 63

Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Ahmadi Miru I),

hal.102.

Page 74: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

57

konsumen maka ketidakseimbangan terjadi karena konsumen berada pada pihak yang

lemah sedangkan konsumen adalah pihak yang kuat.

2.2. Konsep-Konsep Tentang Perjanjian Kredit

2.2.1. Hakekat Perjanjian Kredit

Teori perjanjian ini digunakan karena adanya hubungan antara debitur dan

kreditur mengadakan suatu perjanjian kredit. Menurut Gr. Van der Burght bahwa

selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa

teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:

a. Ajaran kehendak

b. Pandangan normatif Van Dunne

c. Ajaran kepercayaan.64

Pengertian perjanjian terdapat dalam buku III KUHPerdata pada Pasal 1313

yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian

memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya untuk dapat

melaksanakan hak dan kewajiban. Perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan

hukum dan memberikan kepastian dalam penyelesaian suatu sengketa.65

Dalam suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau

lebih lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata

64

Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, loc.cit. 65

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal.28.

Page 75: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

58

memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua

pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak

lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi (kreditur). Bentuk prestasi yang

dilakukan dalam perjanjian berupa perjanjian untuk memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan

antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya

untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Di dalam hukum apabila perbuatan itu

mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan

hukum.66

Menurut Subekti, perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang

lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III itu diatur juga mengenai

hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau

perjanjian. Perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige

daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang

tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming), tetapi sebagian besar dari Buku III

ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan perjanjian.67

Perikatan yang dimaksud merupakan suatu perikatan yang lebih luas

dibandingkan dengan perjanjian. Dimana dalam perikatan tidak saja dikenal

mengenai perikatan yang lahir dari undang-undang akan tetapi juga perikatan yang

66

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian

Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal.1. 67

R. Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,

(selanjutnya disebut R.Subekti II), hal.122.

Page 76: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

59

lahir dari perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan perjanjian yang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sedangkan, perikatan yang

lahir dari undang-undang merupakan perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam

ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perikatan-perikatan yang

dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-

undang sebagai akibat perbuatan orang.

Istilah perjanjian dapat disamakan dengan kontrak. Menurut Catherine Elliott

dan Frances Quinn ialah:

Normally a contract is formed when an effective acceptance has been

communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it

indicates the terms on which the offeror is prepared to make contract (such as

the price of the goods for sale). And gives a clear indication that the offeror

intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.

Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that

offer.68

(Biasanya kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan

menjadi offeree. Suatu komunikasi akan diperlakukan sebagai tawaran jika

menunjukkan persyaratan yang offeror siap untuk membuat kontrak (misalnya

harga barang untuk dijual). Dan memberikan indikasi yang jelas bahwa offeror

bermaksud untuk terikat oleh syarat-syarat tersebut jika mereka diterima oleh

offeree. Penerimaan tawaran berarti kesepakatan tanpa syarat untuk semua

persyaratan penawaran)

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan

mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal

dalam lapangan harta kekayaan.69

Dapat dijelaskan bahwa di dalam melakukan

68

Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason

Education Limited, England, hal.10. 69

Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III), hal.78.

Page 77: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

60

perjanjian para pihak telah sepakat melaksanakan perjanjian tersebut tapi hanya

terbatas dibidang harta kekayaan seperti perjanjian kredit, padahal perjanjian tidak

hanya terbatas dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian apabila dikaitkan dengan

hukum dagang yaitu di dalam membuat suatu perusahaan dimana para pihak yang

ikut terlibat dalam perusahaan tersebut telah sepakat mengikatkan diri dan

kesepakatan tersebut dituangkan dalam Akta Perusahaan tersebut. Apabila terkait

dengan hukum administrasi dimana pemerintah melakukan perjanjian kerjasama

dengan pihak swasta terkait dengan pengelolaan tanah milik pemerintah yang akan

dikembangkan untuk tempat-tempat umum. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian

tersebut tidak hanya terkait dengan harta kekayaan akan tetapi lebih luas daripada itu.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu hubungan hukum

mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji untuk melakukan

suatu hal atau untuk tidak melakukan hal, sedangkan pihak lain berhak untuk

menuntut pelaksanaan tersebut.70

Dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu

perjanjian para pihak harus sepakat untuk mengikatkan diri dan melaksanakan hal

yang telah disepakati dalam perjanjian. Dalam perjanjian kredit ini, pihak debitur dan

kreditur sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kredit dan pihak kreditur

berhak untuk menuntut pihak debitur melaksanakan prestasinya, sedangkan pihak

debitur berkewajiban membayar hutangnya pada kreditur pada hari yang telah

70

Wiryono Prodjodikoro, 1985, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung,

hal.17.

Page 78: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

61

ditentukan. Jadi dapat dikatakan bahwa para pihak memiliki hak dan kewajiban

masing-masing dalam pelaksanaan perjanjian.

Istilah kontrak dan perjanjian dalam sistem hukum Indonesia adalah sama.

Menurut Roger Vickery dan Wayne Pendelton, kontrak ialah:

A valid contract is an agreement made between two or more parties (including

business organitation) that create right and obligations that are enforceable by

law. People may make hundreds of thousands of agreement in their lifetime, but

only some will be classified as contract and not all of these will be valid and

legally enforceable.71

(Sebuah kontrak yang valid adalah perjanjian yang dibuat antara dua pihak atau

lebih (termasuk organisasi bisnis) yang menciptakan hak dan kewajiban yang

diberlakukan oleh hukum. Orang mungkin membuat ratusan ribu perjanjian

dalam hidup mereka, tetapi hanya beberapa akan diklasifikasikan sebagai

kontrak dan tidak semua ini akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum)

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu credere yang berarti

kepercayaan atau credo atau creditum yang berarti percaya. Oleh karena itu dasar dari

kredit adalah kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha

mendapat fasilitas kredit dari bank (kreditur), maka orang atau badan usaha tersebut

telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit, dan penerima kredit (debitur)

pada masa yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah

dijanjikan.72

Dapat dijelaskan bahwa pemberian kredit bank didasarkan atas dasar

kepercayaan bahwa debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Untuk

71

Roger Vickery and Wayne Pendelton, 2003, Autralia Business Law

Principle & Applications, Pearson Education Australia, New South Wales, hal.186. 72

Thomas Suyatno, et. al., 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta,

hal.11.

Page 79: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

62

menimbulkan suatu kepercayaan, pihak bank melaksanakan prinsip 5 C yaitu menilai

seluruh aspek calon debitur apakah akan sanggup melunasi hutangnya tepat pada

waktunya. Hal ini dilakukan untuk menghidari terjadinya wanprestasi. Selain prinsip

5C pihak bank juga menerapkan prinsip 4P yaitu berupa para pihak, tujuan,

pembayaran dan perolehan laba. Menurut Achmadi Anwari, kredit ialah suatu

pemberian prestasi oleh satu pihak kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan

dikembalikan lagi pada waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu

kontrak prestasi (balas jasa yang berupa biaya).73

Menurut UU Perbankan Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa kredit adalah

penyediaan uang atas tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian pembiayaan adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu

tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

73

Djuhaendah Hasan, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan

Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan

Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta, hal.108.

Page 80: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

63

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang

sebagaimana tersebut diatas, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai

kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:74

a. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

penyediaan uang

b. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan

pihak lain

c. Adanya kewajiban melunasi utang

d. Adanya jangka waktu tertentu

e. Adanya pemberian bunga kredit

Dalam Buku III KUHPerdata Bab XIII Pasal 1754 menjelaskan bahwa pinjam

meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada

pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,

dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang

sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor

15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I

Nomor 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstrusikan kepada

masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, bank-

bank wajib mempergunakan perjanjian kredit.

74

M.Bahsan, 2012, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan

Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.76-78.

Page 81: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

64

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (principal) yang bersifat riel.

Sebagai perjanjian principal, maka perjanjian jaminan adalah asesornya. Ada dan

berakhrinya perjanjian jaminan bergantung perjanjian pokok. Arti riel ialah bahwa

terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada

nasabah. Perbankan haruslah jeli untuk meneliti momentum terjadinya perjanjian

kredit dan terjadinya perjanjian jaminan. Idealnya ialah momentum itu jatuh

bersamaan, akan tetapi pada kenyataannya terjadi pada momentum yang berbeda-

beda. Keadaan ini dapat menimbulkan kerugian bagi bank bagi penyedia kredit.75

Menurut Muhamad Djumhana, bahwa perjanjian kredit pada hakekatnya

adalah perjanjian pinjam pengganti sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata

Pasal 1754, yang menyebutkan bahwa :

Perjanjian pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang

menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini

akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama

pula.76

Dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan dengan mana para

pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kredit

yang mana pihak debitur menerima sejumlah uang dari pihak kreditur dan pihak

kreditur akan menerima pembayaran atas hutang debitur dengan jumlah yang sama

dengan bunga pada waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Pihak

75

Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,

Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman V), hal.111. 76

Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 385.

Page 82: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

65

debitur diberikan kredit oleh pihak kreditur didasarkan atas dasar kepercayaan bahwa

pihak debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya. Jadi apabila debitur

telah mengembalikan apa yang diperjanjikan maka kreditur juga berkewajiban

menyerahkan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur. Mariam Darus

Badrulzaman berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari

penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara

pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara

keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) obligatoir, yang

dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan dan bagian umum KUHPerdata.77

Dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok yang dibuat oleh

pihak bank secara baku. Maksudnya adalah isi yang ada dalam perjanjian kredit

seluruhnya ditentukan oleh pihak bank dan perjanjian pokok ini akan diikuti dengan

perjanjian tambahan yang berupa jaminan harta benda debitur seperti tanah yang

dapat digunakan oleh kreditur apabila debitur wanprestasi. Jika wanprestasi tejadi,

maka keuntungan menjadi kreditur yang diistimewakan ialah kreditur dapat menjual

langsung objek yang dijadikan jaminan tanpa meminta penetapan pengadilan karena

dalam hak tanggungan menganut parate eksekusi.

Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan

oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada

nasabahnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan

77

Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni,

Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman VI), hal.28.

Page 83: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

66

aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan

tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit

wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya.78

2.2.2. Kriteria Perjanjian Kredit

Teori perjanjian dipergunakan karena adanya hubungan antara para pihak.

Dalam doktrin teori lama, perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan pada doktrin teori baru oleh

Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi teori ini

tidak hanya memandang perjanjian saja tetapi juga perbuatan sebelum atau yang

mendahuluinya.

Agar suatu perjanjian sah harus memenuhi beberapa syarat. Syarat sahnya

suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kesepakatan dalam perjanjian

ialah perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa

yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya,

78

Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,

hal.24.

Page 84: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

67

kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya

sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah

satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu

pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam

persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para

pihak.

Kecakapan untuk membuat perikatan; seseorang yang membuat suatu

perjanjian harus cakap menurut hukum. Untuk menentukan seseorang cakap yaitu

yang tidak termasuk dalam bunyi Pasal 1330 KUHPerdata yaitu:

1) Anak yang belum dewasa

2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan

3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

Ad.1. Anak yang belum dewasa

Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak

kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Ketentuan Pasal tersebut memberikan

arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa seseorang

baru dikatakan dewasa jika ia telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah

menikah. Kedua hal tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seseorang anak

yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap

berusia 21 (dua puluh satu) tahun tetap dianggap telah dewasa. Anak yang belum

Page 85: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

68

dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh orang tuanya atau

walinya. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal

50 disebutkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan

orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Ad.2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan

Dalam Pasal 433 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa, yang

selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di

bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah

pengampuan karena keborosannya. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 436

KUHPerdata menyatakan bahwa segala permintaan akan pengampuan, harus

dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang

yang dimintakan pengampuan berdiam. Jadi dengan diletakkannya orang-orang

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 433 KUHPerdata di bawah pengampuan, maka

segala tindakan orang-orang tersebut harus dilaksanakan oleh pengampunya.

Ad.3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

Semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu. Namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka seorang perempuan yang masih

Page 86: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

69

bersuami berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di

depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya.

Suatu hal tertentu; menurut ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan

bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok-pokok perjanjian berupa

suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan

bahwa jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Suatu sebab yang halal; Pada Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa

suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu

atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Ketentuan ini menjelaskan yang

dimaksud dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu

dan bukan sebab yang terlarang.

2.2.3. Asas-Asas Perjanjian Kredit

Berikut ini merupakan asas-asas yang pada umumnya terdapat dalam

perjanjian kredit yaitu :

a. Asas Kebebasan Berkontrak

b. Asas Konsensualisme

c. Asas Kepatutan

d. Asas Pacta Sunt Servanda

e. Asas Itikad Baik

Asas Kebebasan Berkontrak, maksud dari asas ini ialah terdapat dalam ketentuan

Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Page 87: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

70

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk

secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:

1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak

2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian

3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian

4. Bebas menentukan bentuk perjanjian

5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan. 79

Asas Konsensualisme, maksud dari asas ini ialah lahirnya kontrak yaitu pada

saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara

para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu.

Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak

dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah

obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak

tersebut.80

Asas Kepatutan, asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas

tersebut menyatakan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang

secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

79

Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali

Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Ahmadi Miru II), hal. 4. 80

Ibid, hal.3.

Page 88: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

71

Asas Pacta Sunt Servanda, dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.

Asas ini pada mulanya dikenal di dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu

disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila adanya kesepakatan kedua belah

pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian

yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan

dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas ini diberi

arti paktum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan

formalitas lainnya.

Asas itikad baik, dalam Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pentingnya itikad baik tersebut sehingga

dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu

hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus itu

akan membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak

dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.81

2.2.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjian

kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk

tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini akan

81

Ibid, hal.5.

Page 89: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

72

merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah

disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank.82

Bentuk perjanjian kredit bank yang menunjuk pada perjanjian standar ini

dibuat dengan 2 (dua) cara yaitu:

a. Perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan adalah perjanjian pemberian

kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka

tanpa notaris. Bahkan, lazimnya dalam penandatanganan perjanjian tanpa

adanya saksi yang turut serta dalam membubuhkan tanda tangannya.

Padahal, saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata.

b. Perjanjian kredit dengan akta otentik adalah perjanjian pemberian kredit oleh

bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris.

Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1886

KUHPerdata.

Jadi, pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara

tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Perjanjian

kredit berfungsi untuk memberikan panduan pada bank tentang perencanaan,

pelaksanaan dan pengawasan dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh bank,

sehingga bank tidak dirugikan dan nasabah akan merasa aman bahwa dananya

terjamin dengan baik. Oleh karena itu, sebelum bank memberikan kredit kepada calon

82

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar

Grafika, Jakarta, hal.319-320.

Page 90: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

73

debitur maka bank akan menilai seluruh aspek yuridis dari debitur tersebut agar bank

merasa mendapat perlindungan apabila terjadi wanprestasi dikemudian hari.

Page 91: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

74

BAB III

PERWUJUDAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM STANDARD CONTRACT

ANTARA BANK DAN DEBITUR

Uraian Bab III ini pada hakekatnya untuk menjawab pokok permasalahan

pertama yang merupakan hasil wawancara. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian

Legal Bank Mayapada Cabang Denpasar (selanjutnya disebut Bank Mayapada) Ni

Komang Purnama Dewi tanggal 17 Februari 2014 disebutkan :

1. Perjanjian kredit dengan klausul baku di Bank Mayapada tidak

mencerminkan asas keseimbangan karena tidak terdapat klausul yang

menyatakan secara tegas kewajiban bank sedangkan banyak klausul

menyebutkan kewajiban yang harus dipatuhi debitur. Selain itu tidak terdapat

klausul yang secara tegas menyebutkan hak debitur sedangkan banyak

klausul menyebutkan hak bank.

2. Ketidakseimbangan para pihak dalam perjanjian kredit dengan klausul baku

mengakibatkan tidak terwujudnya asas kebebasan berkontrak dalam suatu

perjanjian.

3. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dapat dikategorikan

menjadi :

a. Klausul jenis, jumlah pinjaman, fasilitas, tujuan penggunaan pinjaman,

jangka waktu fasilitas kredit.

b. Klausul cara penarikan pinjaman

74

Page 92: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

75

c. Klausul bunga dan provisi

d. Klausul cara pembayaran

e. Klausul kelalaian

f. Klausul jaminan berakhir dan diakhiri perjanjian.

g. Klausul asuransi

h. Klausul menjaminulangkan

i. Klausul biaya lainnya

j. Klausul perubahan

k. Klausul lain-lain

4. Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada terdapat banyak terdapat klausul

mengenai kewajiban debitur tanpa sekalipun menyebut adanya kewajiban

pihak bank. Kewajiban bank untuk memberikan pinjaman kepada debitur

sejumlah yang telah diperjanjikan terdapat dalam klausul jumlah

pinjaman/hutang dan fasilitas pinjaman yang tidak secara tegas dinyatakan

bahwa pihak bank wajib memberikan pinjaman melainkan dengan kata-kata

“Bank Mayapada yang berkedudukan di Jakarta Selatan telah memberikan

pinjaman sejumlah tertentu”.

Sementara itu Kepala Bagian Legal BPR Lestari I Nyoman Suardana dalam

wawancara tanggal 10 Februari 2014 mengatakan bahwa :

Page 93: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

76

1. Perjanjian kredit di BPR Lestari dan di Bank Mayapada tidak memenuhi asas

keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban

masing-masing pihak.

2. Dalam perjanjian kredit tersebut hubungan antara pihak Bank dan debitur

diasumsikan sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah

pihak yang lemah.

3. Klausul perjanjian kredit BPR Lestari dapat dikelompokan menjadi:

1. Klausul jumlah kredit

2. Klausul bunga, provisi dan administrasi

3. Klausul jangka waktu kredit

4. Klausul cara pembayaran

5. Klausul jaminan kredit

6. Klausul asuransi

7. Klausul kelalaian

8. Klausul pemerikasaan oleh bank

9. Klausul perkembangan usaha

10. Klausul pembatasan tindakan debitur

11. Klausul kuasa

12. Klausul ketentuan bank

13. Klausul pembukuan utang

14. Klausul ahli waris/penanggung

Page 94: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

77

15. Klausul biaya

16. Klausul lain-lain

17. Klausul tambahan

Dengan demikan maka perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari

yang menggunakan standard contract tidak memenuhi asas keseimbangan

sebagaimana yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman. Asas keseimbangan

menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam

perjanjian kredit tersebut hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan

sebagai hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah.

Akibat atau konsekuensi dari tidak terpenuhinya asas keseimbangan adalah

tidak adanya asas kebabasan berkontrak karena isi perjanjian ditentukan secara

sepihak oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Sedangkan pihak yang

kedudukannya lebih lemah hanya menerima kontrak yang disodorkan oleh pihak

yang kuat tersebut. Pembenaran teoritik terhadap hal tersebut di atas dapat ditemukan

dalam literatur Mariam Barus Badrulzaman, Djumadi, Agus Yudha Hernoko, C.S.T

Kansil dan Christine Kansil, Abdulkadir Muhhamad, Kartini Mauljadi dan Gunawan

Widjaja, Salim H.S, J. Satrio, R. Setiawan, Sidharta, Sutan Remi Sjahdeini.

Page 95: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

78

3.1. Klausul-Klausul Dalam Kontrak Standar Kredit Bank Mayapada dan

BPR Lestari

Dalam penelitian ini ditemukan data yang mendukung dan melengkapi

penelitian yang berkaitan dengan “Penerapan Standard Contract Perjanjian Kredit

Bank Terhadap Debitur”. Secara lebih lengkap klausul-klausul dalam perjanjian

kredit BPR Lestari dan Bank Mayapada dapat dikelompokan menjadi klausul-klausul

sebagai berikut :

1. Klausul Jenis, Jumlah Pinjaman, Fasilitas, Tujuan penggunaan pinjaman, jangka

waktu fasilitas kredit.

a. Kreditur dengan ini telah memberikan pinjaman uang kepada Debitur

dengan jumlah setinggi-tingginya dalam bentuk fasilitas pinjaman

berikut perpanjangan, perubahan, penambahan dan pembaharuannya.

b. Debitur dengan ini mengaku berhutang pada Kreditur sampai jumlah

setinggi-tingginya …..dalam bentuk fasilitas….. berikut perubahan,

penambahan dan pembaharuannya.

c. Kreditur memberi pinjaman uang dengan fasilitas tersebut untuk

tujuan……

d. Kreditur memberikan pinjaman tersebut kepada Debitur unutk jangka

waktu …..terhitung mulai tanggal…sampai dengan tanggal

2. Klausul Cara Penarikan Pinjaman

a. Pengambilan uang atas fasilitas tersebut harus dilakukan Debitur dengan

menandatangani dan menyerahkan cek, bilyet, giro, surat atau tanda

penerimaan uang lainnya yang disetujui oleh Kreditur.

b. Cek, giro, bilyet, surat atau tanda penerimaan uang lainnya yang

diserahkan oleh Debitur akan dibayar Kreditur pada waktu Kreditur

membuka kasnya untuk umum.

3. Bunga dan Provisi

a. Debitur wajib membayar bunga sebesar…

Page 96: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

79

Besarnya suku bunga tersebut dapat diubah sewaktu-waktu oleh

Kreditur secara sepihak, sesuai tingkat suku bunga yang berlaku pada

Kreditur dan ditetapkan oleh Kreditur.

Debitur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) memberi

kuasa pada Kreditur untuk mengubah besarnya suku bunga tersebut

sampai semua hutang debitur kepada Kreditur lunas, bunga dithitung

dari jumlah pinjaman Debitur kepada Kreditur.

b. Debitur wajib membayar provisi sebesar…

4. Cara Pembayaran

a. Setiap waktu, pada saat Kreditur membuka kasnya untuk umum, Debitur

berhak mengangsur maupun membayar semua hutang pada Kreditur.

b. Kreditur akan memasukan setiap pembayaran tersebut di atas dalam

suatu rekening/ koran/pembukuan pinjaman Debitur dan Debitur akan

menerima turunan atau salinan dari rekening koran/pembukuan tersebut.

c. Bunga atas fasilitas tersebut dan semua biaya yang mungkin ada

sehubungan dengan perjanjian ini akan diperhitungkan dan dibebankan

pada rekening/Koran/pembukuan Debitur setiap awal bulan.

d. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak Debitur menerima

salinan rekening koran/pembukuan tersebut, Debitur tidak memahukan

keberatannya, maka rekening koran/pembukuan tersebut dianggap telah

disetujui oleh Debitur dan Debitur tidak berhak menyangkal dengan

apapun juga mengenai rekening koran/pembukuan tersebut.

5. Klausul Kelalaian

Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya, maka Debitur dianggap

lalai. Kelalaian tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang

telah ditetapkan sehingga tidak diperlukan lagi surat juru sita atapun surat-

surat lain yang berkekuatan demikian. Untuk tiap hari kelalaian Debitur

tersebut, Debitur wajib membayar denda sesuai yang umum dibebankan

oleh Kreditur yang dihitung dari jumlah yang terlambat dibayar oleh

Debitur kepada Kreditur.

6. Klausul Jaminan Berakhir dan Diakhirinya Perjanjian

a. Perjanjian ini berakhir sesuai dengan jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 di atas

b. Menyimpang dari ketentuan Pasal 4 di atas

i. Debitur setiap waktu berhak mengakhiri perjanjian ini, apabila Debitur

memberitahukan kehendaknya tersebut secara tertulis kepada Kreditur

Page 97: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

80

7 (tujuh) hari sebelumnya dan surat tersebut telah diterima Kreditur.

Kreditur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya memberikan

persetujuan untuk hal tersebut di atas dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pinjaman dilunasi sebelum jangka waktu fasilitas kredit berakhir

akan dikenakan denda/penalty sebesar 2 % (dua persen) dari plafon

pinjaman.

b. Kreditur berhak untuk sewaktu-waktu mengubah besar denda

penalty sesuai dengan keadaan pasar tanpa pemberitahuan terlebih

dahulu dan tanpa perlu mendapat persetujuan dari debitur.

ii. Kreditur secara sepihak membatalkan sewaktu-waktu, tanpa syarat

perjanjian ini, apabila:

a. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan meninggal dunia dan/atau

dibubarkan/dinyatakan pailit, memohon penundaan pembayaran

hutang, ditaruh di bawah pengampuan atau karena apapun juga tidak

berhak mengurus atau menguasai harta kekayaannya.

b. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan tidak mematuhi satu atau

beberapa syarat dalam perjanjian ini.

c. Sebagian atau semua kekayaan Debitur dan/atau Pemberi jaminan

disita oleh pihak lain.

d. Bonafiditas Debitur dan/atau Pemberi Jaminan diragukan oleh

Kreditur.

e. Kekayaan Debitur dan/atau Pemberi Jaminan berkurang sehingga

tidak mencukupi sebagai jaminan utang Debitur kepada Kreditur.

iii. Kreditur membatalkan secara otomatis sisa fasilitas kredit yang belum

dipergunakan oleh Debitur, apabila Debitur tidak dapat memenuhi satu

atau beberapa kewajibannya kepada Kreditur atau menurut penilaian

Kreditur kondisi keuangan dan prospek usaha Debitur menurun

sehingga mengakibatkan kemampuan Debitur membayar menjadi

Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.

iv. Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh Debitur untuk aewaktu-waktu

menarik kembali sebagian/semua fasilitas tersebut jika Kreditur menilai

bahwa Kreditur dalam keadaan kurang layak untuk meneruskan

pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan

kepada Debitur atau pihak lain.

Penarikan sebagian/semua fasilitas tersebut akan diberitahukan secara

tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus

dibayar lunas paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan

kemudian oleh Kreditur.

c. Dalam hal berakhir atau diakhirinya perjanjian ini sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatas maka:

i. Kreditur tidak wajib melakukan pembayaran kepada debitur.

Page 98: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

81

ii. Kreditur secara sepihak berhak untuk tidak memberikan sisa fasilitas

yang belum digunakan Debitur.

iii. Debitur wajib membayar semua jumlah uang yang masih terhutang

berikut bunga, provisi dan biaya lainnya kepada Kreditur dengan sekali

dan sekektika lunas

iv. Debitur dan/atau Pemberi Jaminan dengan ini memberikan hak kepada

Kreditur untuk menetapkan sendiri jumlah hutang Debitur yang masih

harus dibayar, berdasarkan rekening dan/atau pembukuan Kreditur yang

khusus dibuat untuk itu. Rekening dan/atau pembukuan mengenai

jumlah hutang Debitur kepada Kreditur merupakan bukti yang cukup

dan mengikat Debitur, Pemberi Jaminan, Kreditur sehingga tidak

diperlukan lagi bukiti atau cara pembuktian tambahan apapun.

Debitur dan/atau Pemberi jaminan melepaskan semua semua hak untuk

menyangkal atau menyanggah jumlah hutang Debitur dan hal-hal lain

yang ditetapkan oleh Kreditur sampai semua hutang Debitur yang

ditetapkan oleh Kreditur melebihi jumlah yang terhutang oleh Debitur

kepada Kreditur, maka Kreditur wajib mengembalikan kelebihannya,

namun Kreditur tidak wajib membayar bunga dan/atau ganti rugi apapun

kepada Debitur dan/atau Pemberi Jaminan.

d. Semua pembayaran yang telah diperhitungkan oleh Kreditur dan didebet

dalam rekening koran/pembukuan Debitur, yaitu biaya administrasi,

provisi dan biaya lainnya, tidak dapat dituntut kembali oleh Debitur.

e. Pada waktu Debitur melunasi semua hutangnya kepada Kreditur maka

Kreditur harus mengembalikan Barang Jaminan kepada Debitur dan/atau

Pemberi Jaminan atau yang berhak menerimanya.

7. Klausul Asuransi

a. Selama perjanjian ini berlaku, Pemberi Jaminan wajib mengasuransikan

Barang Jaminan. Apabila Barang Jaminan belum merupakan obyek yang

dapat diasuransikan, maka Pemberi Jaminan dengan ini (sekarang untuk

nanti pada waktunya, apabila Barang Jaminan telah memenuhi syarat

sebagai obyek asuransi), memberi kuasa kepada Kreditur untuk

mengasuransikan Barang Jaminan pada perusahaan asuransi yang

ditunjuk/disetujui oleh Kreditur dengan jumlah pertanggungan yang

ditetapkan oleh Kreditur. Pembayaran premi adalah tanggungan dan

wajib dibayar oleh Debitur, namun polisnya menunjuk Kreditur sebagai

yang berhak atas uang ganti kerugian/uang santunannya.

b. Apabila Pemberi Jaminan telah mengasuransikan Barang Jaminan

kepada perusahaan asuransi lain, maka Pemberi Jaminan dengan ini

memberi Kuasa kepada Kreditur untuk mengubah polis yang

bersangkutan dan mencantumkan Bunker’s Clause untuk kepentingan

Page 99: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

82

Kreditur agar Kreditur menjadi pihak yang berhak sepenuhnya atas

uang santunan, apabila terjadi sesuatu peristiwa yang menurut perjanjian

asuransi mendapat uang ganti kerugian/uang santunan.

c. Kreditur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) diberi hak

dan kuasa oleh Pemberi Jaminan untuk mengajukan klaim kepada

perusahaan asuransi yang bersangkutan, mengadakan perundingan,

mengajukan/menunut/menyetujui jumlah uang ganti kerugian/uang

santunan, menerima semua pembayaran kerugian/santunan dan

memberikannya serta menandatangani tanda terimanya (kuitansinya)

yang sah.

d. Kreditur akan memperhitungkan uang ganti kerugian/uang santunan

tersebut dengan hutang Debitur kepada Kreditur tersebut dengan utang

Debitur kepada Kreditur.

Apabila terdapat kelebihan maka Kreditur akan mengembalikannya

kepada Debitur dan/atau pemberi jaminan. Untuk kelebihan uang

tersebut Pemberi Jaminan tidak berhak meminta bunga atau ganti rugi

yang berupa apapun kepada Kreditur.

Apabila terdapat kekurangan Debitur tertap wajib melunasi kekurangan

tersebut pada waktunya.

8. Klausul Menjamin Ulangkan

Debitur dan Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa kepada Kreditur

untuk menjamin-ulangkan (dengan cara apapun) piutang Kreditur kepada

Debitur berikut barang jaminan kepada Bank Indonesia, dengan syarat-

syarat yang dianggap baik oleh Kreditur.

9. Klausul Biaya Lainnya

Selain bunga dan provisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di atas,

Debitur wajib membayar semua biaya yang mungkin ada sehubungan

dengan perjanjian ini dan perjanjian lain yang berkaitan dengan akta

notaris/akta di bawah tangan, termasuk

a. Biaya pembuatan akta ini

b. Biaya pengacara atau kuasa Kreditur untuk menagih kepada Debitur

atas kelalaianya.

Biaya-biaya tersebut adalah tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur

dan Debitur dengan ini (sekarang untuk nanti pada waktunya) memberi

kuasa kepada Kreditur untuk memperhitungkannya pada saldo

rekening/pembukuan Debitur.

Page 100: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

83

10. Klausul Perubahan

i. Ketentuan mengenai jangka waktu, jumlah hutang dan Barang Jaminan

dari fasilitas tersebut dapat diperpenjang dan diubah dengan perjanjian

lain yang ditetapkan/disetujui oleh para pihak, yang dapat dibuat dengan

akta notaris/akta di bawah tangan.

Perjanjian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan

dengan perjanjian ini.

ii. Untuk keperluan tersebut dalam ayat 1 di atas maka Pemberi Jaminan

(sekarang untuk nanti pada waktunya) secara tegas menyatakan dan

menyetujui bahwa barang jaminan ini, tetap berlaku untuk perjanjian lain

sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatas.

iii. Apabila terdapat perubahan sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 di atas,

maka Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa pada Kreditur untuk

memperpanjang/memperbaharui/mengubah perjanjian asuransi atas

Barang Jaminan dengan menggunakan syarat, jangka wakru, dan jumlah

tanggungan yang dianggap baik oleh Kreditur dengan biaya dibayar oleh

Debitur

11. Klausul lain-lain

a. Debitur wajib menyerahkan laporan keuangan sebagai berikut:

i. Memiliki kekayaan paling sedikit ……wajib menyerahkan laporan

keuangan yang telah diaudit untuk setiap tahun fiskal yang berkala

kepada Kreditur selambat-lambatnya sebelum berakhirnya tahun fiskal

berikutnya.

ii. Memiliki kekayaan di bawah…… (dua puluh lima miliar rupiah)

wajib menyerahkan laporan keuangan internal akhir tahun kepada

kreditur serta laporan keuangan internal akhir tahun kepada kreditur

serta laporan keuangan internal posisi triwulan terakhir.

b. Perjanjian ini dan perjanjian lain yang dibuat antara debitur dengan

Kreditur yang berhubungan dengan perjanjian ini dan segala akibatnya

tunduk pada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan pemberian

peminjaman yang berlaku umum, baik yang timbul sekarang maupun di

kemudian hari, sejauh ini tidak bertentangan atau menyimpang dari

undang-undang dan peraturan yang berlaku.

c. Apabila satu atau beberapa syarat, ketentuan kuasa atau janji yang

tercantum dalam perjanjian ini menjadi tidak berlaku/batal/tidak sah/tidak

dapat dilaksanakan menurut hukum yang berlaku maka hal itu tidak

mengakibatkan semua atau sebagian syarat, ketentuan, kuasa atau janji

dalam perjanjian ini menjadi tidak berlaku/batal/tidak sah/tidak dapat

dilaksanakan.

Page 101: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

84

3.2. Keabsahan Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Bank

Dalam hukum kontrak di Indonesia, keabsahan perjanjian kredit yang berupa

kontrak standar dapat dinilai berdasarkan dua peraturan perundangan yaitu,

KUHPerdata dan UU Perlindungan Konsumen sebagai peraturan perundangan yang

khusus mengatur perjanjian atau kontrak dengan klausul baku. Sebagaimana telah

disebutkan dalam bab sebelumnya, keabsahan perjanjian menurut KUHPerdata

terdapat dalam ketentuan Pasal 1320, yakni:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat nomor 1, yaitu mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

dan syarat nomor 2 yaitu mengenai kecakapan membuat perjanjian berkenaan

dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat nomor 3 mengenai suatu hal tertentu dan

syarat nomor 4 mengenai suatu sebab yang halal, berkenaan dengan objek perjanjian.

Perbedaan kedua bentuk persyaratan tersebut dikaitkan dengan ketentuan “perjanjian

batal demi hukum” dan “dapat dibatalkannya suatu perjanjian”.

Apabila syarat objektif suatu perjanjian tidak dipenuhi maka perjanjian

tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian tersebut sudah batal.

Hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Tujuan para pihak yang

mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah

Page 102: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

85

gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Pasal 1337

KUHPerdata menentukan “Suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak

dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat

perjanjian itu batal demi hukum”.

Sedangkan apabila persyaratan subjektif tidak dipenuhi oleh suatu perjanjian

maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan. Pembatalan

suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata yang menentukan :

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal-balik,

andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian

persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada

pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal

mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika

syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat

keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka-waktu

untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu

bulan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata tersebut di atas maka dapat

disimpulkan adanya tiga syarat untuk pembatalan perjanjian, yaitu:

1. Harus terjadi dalam suatu persetujuan timbal balik dimana salah satu pihak

tidak memenuhi kewajiban.

2. Harus ada ingkar janji dimana salah satu pihak, misalnya debitur, harus

diberi penetapan lalai. Pengadilan memutuskan apakah ingkar janji yang

dilakukan debitur cukup berat untuk membatalkan perjanjian.

3. Harus melalui putusan hakim.

Page 103: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

86

Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum

atau tidak dibatalkan pengadilan. Artinya perjanjian yang sudah dibatalkan

pengadilan tidak perlu dibatalkan oleh para pihak. Apabila belum dibatalkan

pengadilan maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku dan dalam

perjalanannya dapat dimohonkan pembatalan oleh salah satu pihak.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya ada empat syarat mengenai sahnya

suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Berikut ini akan diulas satu persatu dari keempat syarat mengenai sahnya

suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas:

1. Kata Sepakat

Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau

persesuaian dari kehendak para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

Pengertian sepakat merupakan persyaratan kehendak yang disetujui

(overeenstemende wilsverklaring). Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan

tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi

(accceptatie).

Page 104: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

87

Tetapi kesesuaian kehendak antara dua pihak saja belum melahirkan

perjanjian. Kehendak tersebut harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan

harus dapat dimengerti oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah

menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbullah kata sepakat.

Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat

dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu adanya

paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan

(bedrog).83

Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat

kehendak yang lain, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

Terkait dengan paksaan Pasal 1324 KUHPerdata menyebutkan :

Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan

dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya,

orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat.

Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin

dan kedudukan orang yang bersangkutan.

Dengan demikian menurut Pasal 1324 KUHPerdata yang disebut kondisi

dimana telah terjadi paksaan adalah apabila perbuatan itu adalah sedemikian rupa

sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan

itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau

kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Bahkan dalam

Pasal 1325 KUHPerdata yang paksaan yang menyebabkan adanya cacat kehendak

bukan hanya paksaan pada orang yang terlibat perjanjian, melainkan juga paksaan

83

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, loc.cit.

Page 105: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

88

yang menimpa keluarganya. Pasal 1325 KUHPerdata pada hakikatnya menyatakan

paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap

salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap

suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah. Hal ini juga

dijumpai pada Pasal 290, Pasal 1323, Pasal 1449 KUHPerdata.

Paksaan tentu saja dapat berupa kekerasan jasmani atau ancaman melalui atau

dengan sesuatu yang menimbulkan ketakutan sehingga yang bersangkutan terpaksa

membuat perjanjian. Sementara itu kekeliruan atau kesesatan terjadi apabila salah

satu pihak keliru mengenai hal-hal yang pokok dari hal yang diperjanjikan. Keliru

mengenai syarat-syarat yang penting dari barang atau jasa yang menjadi objek

perjanjian atau keliru dalam memahami dengan siapa perjanjian itu dilakukan.

Namun agar dapat menimbulkan cacat kehendak maka kekeliruan itu harus

sedemikian rupa sehingga apabila tidak terjadi kekeliruan maka orang itu tidak akan

memberikan persetujuan.

Kemudian terkait cacat kehendak akibat penipuan, hal itu terjadi apabila salah

satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak

benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk agar pihak lain yang akan diajak

mengadakan kesepakatan memberikan persetujuannya. Dengan demikian maka

penipuan merupakan tindakan yang sengaja dalam mengajukan gambaran atau fakta

yang salah untuk sehingga pihak lain sepakat memasuki hubungan kontrak.

Page 106: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

89

Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan “Tiada suatu persetujuan pun

mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan

paksaan atau penipuan”. Hal ini berarti jika dalam suatu perjanjian terdapat

kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka dalam perjanjian itu terdapat cacat pada

kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.

2. Kecakapan Membuat Perjanjian

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan “Setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk itu”. Terkait dengan

tidak cakap membuat perjanjian, Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa ada

beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni orang yang belum

dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan orang-orang perempuan,

dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang

kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Seseorang

dikatakan belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata jika belum mencapai umur

21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur

kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Namun dalam perkembangannya

kemudian, definisi dewasa berdasarkan Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya

disebut UU Perkawinan) kedewasaan seseorang ditentukan anak berada di bawah

kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung

Page 107: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

90

melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa

dengan berlakunya UU Perkawinan, maka batas seseorang berada di bawah

kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.

Sekalipun seseorang telah dewasa tetapi dapat tergolong tidak cakap

melakukan perjanjian jika yang bersangkutan diletakkan di bawah pengampuan

(curatele). Seseorang dapat diletakkan di bawah pengampuan akibat kondisi tertentu,

misalnya, yang bersangkutan gila, dungu, mata gelap, lemah akal atau juga pemboros.

Orang yang demikian itu tidak menggunakan akan sehatnya, dan oleh karenanya

dapat merugikan dirinya sendiri.

3. Adanya suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu merupakan salah satu syarat objektif suatu perjanjian yang

apabila tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 1333

KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu

benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki

objek tertentu. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu berarti bahwa yang

diperjanjikan, menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang

dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tetapi objek

perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Menurut J. Satrio

yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi

perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan

jenisnya.

Page 108: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

91

4. Kausa Hukum yang halal

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata suatu kausa dinyatakan terlarang

jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu

kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila kausa di dalam

perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang

berlaku. Sedangkan untuk menentukan suatu kausa perjanjian bertentangan dengan

kesusilaan relatif sulit mengingat konsep kesusilaan sangat abstrak, berbeda-beda

antara daerah yang satu dan daerah lain. Kausa hukum dalam perjanjian juga

tergolong terlarang apabila bertentangan dengan ketertiban umum. Ketertiban umum,

dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum,

keamanan negara, keresahan dalam masyarakat.

KUHPerdata Indonesia sesungguhnya tidak secara khusus mengatur mengenai

perjanjian dengan klausul baku. Namun KUHPerdata dapat diterapkan pada

perjanjian dengan klausul baku apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik.

Karenanya para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul

yang terdapat dalam perjanjiian, terutama perjanjian kredit yang ada di perbankan.

Klausul-klausul baku dalam perjanjian kredit tersebut harus didasarkan dan

dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk

misalnya paksaan atau penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat

dibatalkan.

Page 109: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

92

Pengaturan secara khusus mengenai klausul baku terdapat dalam UU

Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen

tercantum larangan terhadap pencantuman berbagai klausul baku dalam suatu

dokumen atau perjanjian.

Bedasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa keabsahan

perjanjian kredit yang menggunakan klausul baku baku sangat ditentukan oleh

pemenuhan persyaratan mengenai keabsahan perjanjian sebagaimana ditentukan oleh

Pasal 1320 KUHPerdata. Jika dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang

ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut maka perjanjian kredit dengan

menggunakan klausul baku tersebut adalah sah. Kontrak baku dapat dibatalkan jika

tidak memenuhi syarat subjektif melalui gugatan pembatalan kontrak ke pengadilan.

Perjanjian kredit dengan klausul baku akan batal demi hukum apabila tidak

memenuhi persyaratan objektif sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

Selain itu keabsahan perjanjian kredit bank yang menggunakan klausul baku juga

ditentukan oleh UU Perlindungan Konsumen. Jika memuat klausul yang dilarang

oleh Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen maka perjanjian tersebut batal

demi hukum sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan

Konsumen.

Terkait dengan beberapa klausul yang dilarang untuk dimuat dalam dokumen

atau perjanjian antara produsen dan konsumen sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU

ayat (1) UU Perlindungan Konsumen maka penurut penulis ada beberapa klausul

Page 110: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

93

baku dalam perjanjian kredit pada bank yang diteliti sangat rentan untuk

dikategorikan sebagai melanggar larangan tersebut. Salah satu klausul yang dilarang

tersebut adalah klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari, klausul yang dapat tergolong sebagai

pengalihan tanggung jawab pelaku usaha adalah klausul dalam Pasal 16 yang

berbunyi :

Bank berhak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur memindahkan atau

mengalihkan dengan cara apapun sebagian atau seluruh hak/dan atau kewajiban

bank dalam memberikan fasilitas kredit berdasarkan perjanjian kredit kepada

lembaga keuangan, bank atau kreditur lainnya.

Untuk keperluan tersebut debitur sekarang untuk nanti pada waktunya memberi

kuasa kepada bank untuk memberikan data dan/atau keterangan yang diperlukan

kepada lembaga keuangan, bank atau kreditur lainnya.

Selain itu ada pula klausul lain dalam perjanjian kredit di bank yang diteliti

dapat digolongkan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f UU Perlindungan

Konsumen yang melarang mencantumkan pemberian hak kepada pelaku usaha untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi

objek jual beli jasa. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari pada Pasal 11 tercantum :

1. DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK:

a. Untuk mendebet dan mempergunakan dana tersimpan pada BANK, baik

dari rekening/tabungan/deposito milik DEBITUR guna pembayaran

pokok angsuran (pokok pinjaman dan bunga), provisi, denda, premi

asuransi, biaya-biaya lain dan segala sesuatu yang terhutang berkenaan

dengan pemberian kredit tersebut.

b. Untuk dan atas nama DEBITUR membuat dan menandatangani Akta

Pengakuan Hutang Murni untuk menegaskan jumlah yang terhutang

secara nyata oleh DEBITUR jika diperlukan untuk memenuhi Pasal 224

Reglemen Indonesia yang diperbaharui atau Pasal 228 Reglemen untuk

luar jawa dan Madura berdasarkan syarat-syarat lain dan ketentuan-

Page 111: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

94

ketentuan yang dianggap baik oleh BANK (selanjutnya disebut

pengakuan hutang).

2. Khusus untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaran Bermotor

(KKB) DEBITUR dengan ini memberikan kuasa kepada BANK untuk

mentransfer atau dengan cara apapun menyerahkan jumlah uang yang berasal

dari perjanjian kredit ini kepada Developer/Dealer/Penjual.

3. PENGAKUAN HUTANG meliputi jumlah hutang yang diterima DEBITUR

dari BANK yang besarnya ditetapkan berdasarkan pembukuan BANK

sehubungan dengan perjanjian ini berikut dengan perubahan dan/atau

pembaharuannya dan merupakan bukti yang sempurna dan mengikat

DEBITUR dihadapan semua badan peradilan dan mengikat DEBITUR

dihadapan semua badan peradilan dimanapun juga.

4. DEBITUR dengan ini menyetujui dan mensahkan semua tindakan BANK

dan tidak akan menuntut atau menggugat BANK dan membebaskan BANK

dari segala tuntutan dan/atau gugatan dari pihak manapun sehubungan dengan

pembuatan dan pelaksanaan PENGAKUAN HUTANG tersebut diatas.

5. Kuasa-kuasa tersebut di atas merupakan bagian yang terpenting dan tidak

dapat dipisahkan dari surat perjanjian ini, yang tidak dapat dibuat tanpa

adanya kuasa tersebut dan oleh karena itu kuasa ini tidak akan dicabut dan

tidak akan berakhir karena sebab apapun juga atau karena sebab-sebab lain

yang diatur dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Selain itu pemberian kuasa kepada bank oleh debitur juga terdapat dalam

klausul mengenai asuransi dimana disebutkan bank diberi kuasa oleh debitur untuk

menutup dan memperpanjang asuransi atas biaya debitur dengan mendebetnya dalam

rekening dan atau simpanan lain debitur pada bank. Klausul baku lainnya dalam

perjanjian kredit di BPR Lestari juga dapat digolongkan melanggar ketentuan Pasal

18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan pelarangan

terhadap klausul baku untuk menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan yang

merupakan aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Pasal 12 Perjanjian Kredit di BPR Lestari berbunyi

”DEBITUR dengan ini berjanji akan tunduk pada segala ketentuan dan kebiasaan-

Page 112: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

95

kebiasaan yang berlaku pada BANK baik yang berlaku sekarang maupun di

kemudian hari”.

Klausul perjanjian kredit sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Perjanjian

Kredit di BPR Lestari adalah hal yang sudah sejak lama diterapkan pihak perbankan

dalam perjanjian kredit. Karena itu pelarangan terhadap klausula dimaksud

tampaknya akan sulit dipenuhi oleh pihak bank kecuali terdapat pengecualaian

terhadap penerapan klausul seperti itu. Hal itu karena adanya kaitan antara klausul

tersebut dengan klausul lain yang menentukan bahwa bank berhak melakukan

perubahan suku bunga sesuai dengan perkembangan moneter yang akan diuraikan

pada bagian selanjutnya. Klausul baku sebagaimana ketentuan Pasal 12 Perjanjian

Kredit di BPR Lestari, di satu pihak menunjukan dominannya pihak bank dalam

perjanjian dibandingkan dengan nasabah debitur. Tetapi di sisi lain menunjukan suatu

mekanisme pertahanan dari bank terhadap berbagai gejolak yang dapat merugikan

bank yang bersangkutan dalam jangka berlakunya kredit. Terkait hal ini akan

diuraikan dalam bagian selanjutnya karena terkait dengan persoalan asas kebebasan

dan asas keseimbangan dalam perjanjian standar.

3.3. Perwujudan Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank

Perjanjian kredit yang menggunakan klausul baku adalah perjanjian yang

ditentukan secara sepihak oleh pihak Bank dan pihak nasabah debitur hanya dapat

menerima atau menolak menandatangani perjanjian kredit tersebut. Tidak terbuka

Page 113: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

96

ruang bagi debitur untuk melakukan perubahan klausul kredit baku yang disodorkan

oleh pihak bank. Perjanjian standar dalam penyaluran kredit bank membatasi

kebebasan nasbah debitur dalam tiga hal, yaitu :

1. Kebebasan dalan menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar

berbentuk tertulis.

2. Kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara

pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank.

3. Kebebasan dalam menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh

pihak bank.

Sekalipun demikian perjanjian standar masih menyediakan ruang dalam hal

kebebasan berkontrak kepada nasabah debitur terkait apakah akan membuat

perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Tidak

terwujud sepenuhnya asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank

menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara pihak dalam perjanjian

tersebut.

Dalam perjanjian kredit di bank yang diteliti, penulis menemukan bahwa

ketidakseimbangan tampak dari klausul-klausul standar di bawah ini yang dibuat

secara sepihak oleh bank yang tidak mencerminkan asas keseimbangan karena

memberatkan debitur, yaitu :

1. Klausul Perubahan Suku Bunga Kredit

2. Klausul Penarikan Fasilitas Kredit

Page 114: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

97

3. Klausul Asuransi Jaminan Kredit

4. Klausul Percepatan Pelunasan Utang Debitur

5. Klausul Eksekusi Barang Jaminan.

Penjelasan mengenai klausul-klausul tersebut akan diuraikan dibawah ini

sebagai berikut:

1. Klausul tentang perubahan suku bunga kredit

Dalam kondisi perekonomian dan moneter yang rentan mengalami fluktuasi

maka pihak bank menerapkan klausul yang memungkinkannya melakukan perubahan

tingkat suku bunga secara sepihak untuk mencegah kerugian akibat gejolak moneter.

Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul tersebut terdapat pada Pasal 2 angka 3

yang menentukan ”Tanpa pemberitahuan kepada DEBITUR, BANK setiap saat

berhak melakukan perubahan suku bunga kredit”. Pada Bank Mayapada klausul

tersebut terdapat pada Pasal 4 yang menyatakan :

Besarnya suku bunga tersebut dapat diubah sewaktu-waktu oleh Kreditur secara

sepihak, sesuai tingkat suku bunga pada kreditur dan ditetapkan oleh Kreditur.

Debitur dengan ini memberi kuasa kepada kreditur untuk mengubah besarnya

suku bunga tersebut sampai hutang debitur kepada kreditur lunas, bunga tersebut

dihitung dari jumlah pinjaman debitur kepada Kreditur.

Klausul penetapan suku bunga kredit ini adalah klausul eksonerasi yang

merupakan satu sumber permasalahan dari suatu perjanjian baku yang bertujuan

membebaskan bank dari akibat yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Adanya

klausul semacam ini dapat memberatkan pihak debitur apabila suatu saat suku bunga

kredit mengalami kenaikan. Bunga bank merupakan karakteristik dari produk bank.

Page 115: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

98

Apabila pihak bank akan melakukan perubahan dari karakteristik produk bank, maka

pihak bank diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada setiap nasabah yang

sedang memanfaatkan produk bank (kredit) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja

sebelum perubahan, penambahan dan/atau pengurangan pada karakteristik produk

bank tersebut sebagai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk dan Penggunaan Data Nasabah.

Bank Indonesia juga mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006

yaitu salah satunya berupa Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang

Mediasi Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia

Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan yang merupakan realisasi dari upaya Bank

Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat UU

Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara

pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket

Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa

dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula

kepentingan nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi

perkembangan perbankan nasional ke depan.

Mengenai penetapan bunga juga diatur pula pada KUHPerdata yaitu

sebagaimana pada ketentuan Pasal 1767 KUHPerdata yang menyatakan :

Ada bunga menurut penetapan undang-undang, ada pula yang ditetapkan dalam

perjanjian. Bunga menurut undang-undang ialah bunga yang ditentukan oleh

Page 116: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

99

undang-undang. Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian boleh melampaui

bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang undang-

undang. Besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian harus dinyatakan

secara tertulis.

Dengan demikian penetapan bunga dalam perjanjian kredit harus dilakukan

secara tertulis. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/6/PBI/2005 sesungguhnya dapat digunakan untuk melakukan penetapan bunga

secara tertulis dalam kredit perbankan karena memiliki waktu 7 (tujuh) kerja untuk

melakukan perubahan tingkat suku bunga kredit. Hal ini tentu saja dengan catatan

apabila debitur setuju terhadap perubahan suku bunga kredit tersebut. Persetujuan

debitur sangat penting bagi berlakunya perubahan suku bunga kredit oleh bank karena

Pasal 18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen melarang klausul baku yang

menyatakan konsumen tunduk pada peraturan yang merupakan aturan baru,

tambahan, lanjutan atau pengubahan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.

Klausul mengenai penentuan tingkat suku bunga secara sepihak menjadi

persoalan karena dalam praktek perbankan tidak pernah menurunkan suku bunga.

Dengan kata lain klausul perubahan tingkat suku bunga tersebut merupakan usaha

pihak bank untuk memastikan bahwa nasabah setuju apabila bank menaikan suku

bunga di tengah jalan akibat terjadinya suatu peritiwa yang dianggap dapat merugikan

pihak bank apabila tingkat suku bunga tidak dinaikan. Disinilah titik soal tidak

dipenuhinya asas keseimbangan dalam klausul bank mengenai perubahan trngkat

suku bunga ini. Klausul ini semata-mata hanya untuk melindungi pihak bank sama

sekali tidak memperhatikan kepentingan debitur. Tidak beralasan apabila beban

Page 117: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

100

akibat kenaikan suku bunga yang dilakukan pemerintah dibebankan pada nasabah

debitur.

2. Klausul Tentang Penarikan Fasilitas Kredit

Dalam Perjanjian Kredit di BPR Lestari, klausul ini terdapat dalam Pasal 1

angka 2 yang menentukan “Bank berhak untuk mengurangi jumlah kredit tersebut

setiap saat semata-mata menurut pertimbangan BANK, antara lain karena keadaan,

karena perubahan nilai barang jaminan, atau karena keadaan likuiditas bank dan

sebagainya”. Pada Bank Mayapada klausul tersebut terdapat dalam Pasal 10 huruf d

yang menentukan:

Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh debitur untuk sewaktu-waktu menarik

kembali sebagian/semua fasilitas tersebut, jika Kreditur menilai bahwa Kreditur

berada dalam keadaan yang tidak tepat atau kurang layak untuk meneruskan

pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu dibuktikan kepada

Debitur atau pihak lain. Penarikan sebagian/semua fasilitas tersebut akan

diberitahukan secara tertulis oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut

harus dibayar lunas oleh Debitur paling lambat pada tanggal yang akan

ditetapkan Kreditur.

Klausul tersebut di atas menunjukan ketidakseimbangan antara para pihak

dalam perjanjian kredit, dimana pihak bank terlihat sangat dominan dalam perjanjian

dengan melakuan tindakan pengurangan kredit tanpa harus memberi penjelasan

apapun kepada debitur. Klausul ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat

(1) huruf f UU Perlindungan Konsumen yang menetapkan melarang pelaku usaha

mencantumkan klausul baku yang menyatakan memberi hak kepada pelaku usaha

untuk mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

Page 118: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

101

3. Klausul Asuransi Jaminan Kredit

Klausul ini selalu ada pada setiap perjanjian kredit. Dalam Perjanjian Kredit

di BPR Lestari klausul ini terdapat dalam Pasal 6 angka 1, yaitu :

Selama Perjanjian Kredit dimaksud di atas berlaku, maka barang jaminan harus

dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan,

pencurian, atau bahaya lain yang dianggap perlu oleh BANK kepada Maskapai

asuransi yang disetujui oleh BANK, dengan ketentuan premi asuransi dan biaya

lain berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan

dalam polis BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala

pembayaran berdasarkan asuransi tersebut (Bunker’s Clause). Untuk maksud

tersebut BANK dengan ini diberi kuasa oleh DEBITUR untuk menutup dan

memperpanjang asuransi tersebut, satu dan lain atas biaya DEBITUR dengan

mendebetnya dalam rekening atau simpanan DEBITUR pada BANK.

Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul ini terletak pada Pasal 11

angka 1 yang menentukan:

Selama perjanjian ini berlaku, Pemberi Jaminan wajib mengasuransikan Barang

Jaminan. Apabila Barang Jaminan belum merupakan obyek yang dapat

diasuransikan, maka Pemberi Jaminan dengan ini (sekarang untuk nanti pada

waktunya, apabila Barang Jaminan telah memnuhi syarat sebagai objek asuransi)

memberi kuasa kepada debitur untuk mengasuransikan Barang Jaminan pada

perusahaan asuransi yang ditunjuk/disetujui oleh Kreditur dengan jumlah

tanggungan yang ditetapkan oleh Kreditur. Pembayaran premi adalah

tanggungan dan wajib dibayar oleh Debitur, namun polisnya menunjuk Kreditur

sebagai yang berhak atas uang ganti rugi.

Keberadaan klausul ini penting karena asuransi adalah bentuk pertanggungan

atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.

Umumnya klausul ini digunakan oleh pihak bank sebagai pengalihan resiko kepada

perusahaan asuransi apabila terjadi bencana. Tetapi pengalihan resiko tersebut

dilakukan atas biaya yang dibebankan kepada debitur. Padahal yang mendapat

Page 119: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

102

manfaat dari perlindungan asuransi tersebut bukan hanya nasabah, melainkan juga

bank.

4. Klausul Tentang Percepatan Pelunasan Utang Debitur

Klausul ini diadakan sebagai antisipasi kemungkinan debitur tidak memenuhi

janji-janji yan telah disepakati dalam perjanjian kredit. Dalam Perjanjian Kredit di

Bank Lestari klausul ini tercantum dalam Pasal 7 yang menentukan :

Menyimpang dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 tersebut di atas, maka BANK

berhak untuk sewaktu-waktu menghentikan atau memutuskan perjanjian kredit

ini dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1268

KUHPerdata, BANK dan DEBITUR sepakat menyenyampingkan ketentuan-

ketentuan tersebut di atas sehingga tidak memerlukan surat pemberitahuan

(somasi) atau surat peringatan dari juru sita atau surat lain yang serupa itu.

Dalam hal demikian seluruh hutang DEBITUR kepada BANK harus dibayar

dengan seketika dan sekaligus, yaitu dalam hal terjadi salah satu dari kejadian di

bawah ini :

a. Bilamana DEBITUR menggunakan uang pinjaman tersebut menyimpang dari

tujuan penggunaannya.

b. Bilamana DEBITUR lalai atau tidak memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-

ketentuan yang dimaksud dalam Perjanjian Kredit ini dan/atau

perubahan/perpanjangan dan/atau perjanjian-perjanjian pengikatan jaminan

yang telah `ada maupun yang akan ditabuat di kemudian hari.

c. Bilamana aktivitas rekening atau aktifitas usaha DEBITUR tidak menunjukan

adanya kehiatan yang baik menurut pertimbangan BANK.

d. Bilamana menurut pertimbangan BANK kedaan keuangan DEBITUR,

bonafiditas, solvabilitasnya mundur sedemikian rupa sehingga DEBITUR

tidak dapat membayar hutangnya lagi.

e. Bilamana harta kekayaan DEBITUR atau penjamin baik seluruhnya atau

sebagian disita.

f. Bilamana harta kekayaan DEBITUR dan/atau pihak lain penanggung hutang

DEBITUR (penjamin) dimintakan pernyataan pailit atau ia sendiri

mengajukan permintaan itu dalam hal meminta atau mendapatkan penundaan

pembayaran (sueseance van betaling) atau karena sebab apapun DEBITUR

tidak berhak lagi mengurus dan menguasai kekayaannya atau dikenakan

hukum penjara atau meninggal dunia.

g. Bilamana debitur mengadakan penagihan atau pengoperan usaha atau

mengadakan perubahan Anggaran Dasar, Perubahan Susunan Pemegang

Page 120: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

103

Saham, Direksi dan Dewan Komisaris tanpa persetujuan tertulis terlebih dulu

dari BANK

h. Bilamana barang-barang jaminan untuk pemberian kredit inim usnah,

berkurang nilainya baik sebagian atau seluruhnya atau karena sesuatu hal

berakhir hak penguasaannya.

i. Bilamana pernyataan-pernyataan, surat-surat, keterangan-keterangan yang

diberikan DEBITUR kepada BANK ternyata tidak benar.

j. Bilamana ijin-ijin usaha DEBITUR dicabut karena suatu sebab apapun juga

dicabut, berakhir dan dinyatakan tidak berlaku lagi atau dibatalkan.

k. Bilamana menurut pertimbangan BANK ada hal-hal lain yang meragukan

pengembalian/pelunasan kredit tersebut.

Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul tentang percepatan

pelunasan utang debitur terdapat dalam Pasal 10 huruf d, yaitu sebagai berikut:

Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh Debitur untuk sewaktu-waktu menarik

untuk sewaktu-waktu menarik sebagian/semua fasilitas tersebut, jika Kreditur

menilai bahwa Kreditur berada dalam keadaan tidak tepat atau kurang layak

untuk meneruskan pemberian fasilitas tersebut. Keadaan tersebut tidak perlu

dibuktikan kepada Debitur atau pihak lain.

Penarikan semua/sebagian fasilitas tersebut akan diberitahukan secara tertulis

oleh Kreditur kepada Debitur dan fasilitas tersebut harus dibayar lunas oleh

Debitur paling lambat pada tanggal yang akan ditetapkan oleh kemudian oleh

Kreditur.

Klausul diatas merupakan klausul yang mengatur mengenai bentuk-bentuk

peristiwa yang secara sepihak dikategorikan oleh bank sebagai kelalaian. Kelalaian

tersebut merupakan alasan bagi bank untuk membatalkan perjanjian kredit.

Pembatalan yang dilakukan bank tersebut merupakan pembatalan sepihak.

Pasal 1266 KUHPerdata menentukan 3 (tiga) syarat untuk memutuskan

perjanjian, adanya persetujuan timbal balik, adanya kelalaian (wanprestasi dan

putusan hakim). Tetapi keputusan bahwa debitur telah melakukan kelalaian tidak

berada di tangan pihak bank. Hakimlah yang harus memutuskan apakah ingkar janji

Page 121: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

104

daripada debitur cukup berat atau tidak untuk membatalkan perjanjian. Tetapi

sebagaimana tercantum dalam klausul percepatan pembayaran utang debitur dalam

Perjanjian Kredit BPR Lestari terdapat kata-kata ”...dengan mengenyampingkan Pasal

1266 dan 1267 KUHPerdata...” yang dimaksudkan oleh Kepala Bagian Legal BPR

Lestari, Bapak I Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014, agar

dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu

pihak, maka:

a. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke

pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu

sendiri.

b. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain

untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut

ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Tetapi pengenyampingan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata bukannya tanpa

akibat hukum. Pada perikatan atau perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para

pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah

terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut (untuk

ini lihat ketentuan Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUHPerdata). Yang dapat ditiadakan

dengan pembatalan tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi dimasa yang

akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh

Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada

Page 122: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

105

keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan

pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undang-

undang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Dengan demikian akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut,

pembatalan perjanjian tidak mengembalikan keadaan seperti semula, melainkan

hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri

dalam perjanjian. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari

perjanjian tersebut tetap harus ditanggung oleh para pihak.

5. Klausul Tentang Eksekusi Barang Jaminan

Pada Perjanjian Kredit BPR Lestari klausul terdapat dalam Pasal 13, yang

menetapkan:

Bilamana BANK menjalankan hak-haknya dan hak-hak istimewanya baik

berdasarkan ketentuan Undang-Undang maupun berdasarkan Perjanjian Kredit

ini dan/atau perubahan/tambahan/perpanjangannya kemudian dan/atau

berdasarkan salah satu Perjanjian Pengikatan/Pemberian Jaminan atau

perjanjian-perjanjian lainnya yang dibuat berkenaan dengan Perjanjian Kredit

ini, maka lewatnya tanggal waktu pembayaran akan cukup membuktikan

KELALAIAN DEBITUR, sehingga tidak diperlukan pemberitahuan atau

peringatan (somasi) terlebih dahulu dari BANK. BANK berhak untuk

menetapkan berdasarkan catatan/pembukuannya jumlah hutang DEBITUR

kepada BANK berdasarkan Perjanjian Kredit dimaksud di atau karena sebab

apapun baik karena pokok maupun bunga, provisi, aksep dan biaya-biaya

lainnya.

Dengan ketentuan itu setelah dilakukan penjualan atau pelelangan tersebut

melebihi seluruh hutang DEBITUR maka kelebihan mana akan dikembalikan

kepada DEBITUR tanpa hak bagi DEBITUR untuk menuntut bunga atau ganti

rugi atau ganti rugi berupa apapun juga terhadap BANK. Sedangkan jika

ternyata belum cukup untuk melunasi hutang DEBITUR kepada BANK maka

kekurangannya ini tetap menjadi tanggung jawab DEBITUR untuk

melunasinya.

Page 123: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

106

Pada perjanjian kredit di Bank Mayapada klausul tersebut terdapat dalam

Pasal 8 yang menentukan :

Apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya, maka Debitur dianggap

lalai. Kelalaian tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah

ditetapkan sehingga tidak diperlukan lagi surat juru sita atapun surat-surat lain

yang berkekuatan demikian. Untuk tiap hari kelalaian Debitur tersebut, Debitur

wajib membayar denda sesuai yang umum dibebankan oleh Kreditur yang

dihitung dari jumlah yang terlambat dibayar oleh Debitur kepada Kreditur.

Barang-barang yang dapat dijadikan jaminan dapat berupa barang bergerak

dan barang tak bergerak. Pembedaan antara kedua jenis barang jaminan tersebut akan

menentukan jenis dan bentuk pembebanan atau pengikatan jaminan atas benda

tersebut dalam perjanjian kredit. Jamian berupa barang bergerak bentuk

pengikatannya berupa fidusia yang diatur dalam Fidusia. Jaminan berupa benda tak

bergerak (tanah dan bangunan) bentuk pengikatannya berupa Hak Tanggungan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut UUHT).

Pembebanan Hak Tanggungan adalah untuk menjamin pelunasan utang

debitur kepada pihak bank sebagai pemegang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 20

UUHT ayat (1) yang mentukan agar penjualan melalui pelelangan umum. Pasal 20

ayat (1) UUHT menyatakan apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.

Page 124: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

107

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan

dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak

Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.

Tetapi penjualan tidak harus melalui pelelangan. Apabila terjadi kesepakatan

antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak

Tanggungan dapat dilakukan dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal

20 ayat (2) UUHT yang menyatakan ”Atas kesepakatan pemberi dan

pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat

dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”.

Dengan demikian penjualan di bawah tangan atas objek Hak Tanggungan

harus berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun dapat terjadi

kemungkinan dimana kespeakatan itu tidak tercapai karena berbagai alasan, misalnya,

debitur tidak berniat baik, maka tidak mendapat kesulitan menjual sendiri agunan

secara dibawah tangan maka didalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank

diberi kewenangan untuk menjual jaminan tersebut secara di bawah tangan.

Jual-beli itu sah saja, namun apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan

harga jauh di bawah harga wajar, maka pemberi Hak Tanggungan dan debitur (dalam

hal ini debitur bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan

Page 125: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

108

kepada Bank. Gugatan tersebut bukan ditujukan pada penjualan tetapi pada penjualan

yang dinilai tidak wajar. Dalih yang dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa

bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan

atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas itikad baik.

Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah

tangan atas objek Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1

(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak

Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-

dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan

dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Dalam hak benda yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit adalah benda

bergerak maka yang berlaku adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889,

selanjutnya disebut UU Fidusia) yang mengatur cara atau model eksekusi atas benda

yang dujadikan jaminan fidusia. Pasal 29 ayat (1) UU Fidusia menetapkan :

Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang

menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

Pengalihan hak atas piutang juga dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan

beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada

Kreditur baru.

1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) oleh

penerima fidusia.

2. Penjualan yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima

fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan.

Page 126: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

109

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi

dan penerima fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga terttinggi

yang menguntungkan para pihak.

Dengan demikian undang-undang menuntut agar penjualan objek Hak

Tanggungan dan penjualan objek fidusia secara di bawah tangan harus merupakan

kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia. Penjualan tersebut tidak dapat

dilakukan tanpa persetujuan para pihak. Penjualan tersebut hanya dapat dilakukan

setelah lewat satu bulan setelah diberikan secara tertulis oleh pemberi dan/atau

penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan

sedikitnya di dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Setiap janji

untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia

dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UU Fidusia adalah batal

demi hukum.

Berdasarkan uraian mengenai klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian

kredit dua bank yang telah diteliti oleh penulis maka tampak jelas bahwa perjanjian

kredit pada kedua bank tersebut tidak memenuhi asas keseimbangan suatu perjanjian.

Hal itu bertentangan dengan raison d’etre terjadinya suatu perjanjian, yaitu

kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang berada pada posisi atau kedudukan

seimbang. Apabila kedudukan para pihak dalam perjanjian tidak seimbang, maka

pihak yang kuat dapat menekan pihak yang lemah dengan menentukan secara sepihak

isi perjanjian, yang tentu saja menguntungkan pihak yang kuat tersebut.

Page 127: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

110

Dalam menganalisis keseimbangan berkontrak dalam hubungan antara bank

dengan debitur, dapat disimpulkan bahwa keseimbangan para pihak akan terwujud

apabila berada pada posisi yang sama kuat. Oleh karena itu, dengan membiarkan

hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak

seringkali akan menghasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak berada posisi

yang lemah. Dengan demikian perlu adanya campur tangan dari Negara untuk

melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu atau dilarang

dalam suatu kontrak.

Berdasarkan uraian di atas maka asas keseimbangan dalam perjanjian kredit

antara bank dan debitur dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para

pihak. Apabila dilihat dari sudut pandang etikal maka asas keseimbangan merupakan

pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak yang

terlibat dalam perjanjian. Sebagai asas yuridikal maka asas keseimbangan merupakan

asas yang layak atau adil sehingga dapat diterima sebagai landasan keterikatan

yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.

Terkait dengan klausul dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR

Lestari, ketidakseimbangan kedudukan antara bank sebagai pihak yang kuat dan

debitur sebagai pihak lemah tercermin dari berbagai klausul kontrak yang

mengandung kewajiban bagi debitur dan hanya satu klausul yang menyangkut hak

debitur yaitu hak untuk mendapat pinjaman sejumlah yang telah disepakati.

Sedangkan dari sudut pandang bank, hanya satu klausul yang mengatur kewajiban

Page 128: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

111

bank, yaitu wajib memberikan kredit sejumlah yang telah disepakati kepada debitur.

Tetapi ada banyak klausul yang menentukan hak pihak bank.

Perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak memenuhi asas

keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-

masing pihak. Dalam perjanjian kredit di BPR Lestari dan di Bank Mayapada

hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai hubungan yang

subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah. Untuk itu pihak debitur

perlu diberdayakan dan diseimbangkan posisi tawarnya sehingga asas keseimbangan

yang bermakna ”equal equilibrium” akan berkerja dan memberi keseimbangan

kedudukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Tujuan asas keseimbangan

adalah menempatkan posisi para pihak seimbang dengan menentukan hak dan

kewajibannya.

Apabila perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari dianalisis

menggunakan Teori Keadilan menurut John Rawl maka hubungan antara Bank

Mayapada dan BPR Lestari dengan masing-masing debitur adalah hubungan

kontraktual yang kurang mencerminkan asas keadilan. Keadilan hanya dapat dicapai

apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank tersebut di atas

dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan maka hubungan

antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi konsep justice as

fairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.

Page 129: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

112

Hubungan antara pihak bank dan debitur dalam perjanjian kredit di Bank

Mayapada dan BPR Lestari bertentangan dengan Teori Keadilan dari John Rawls

seperti yang telah diuraikan pada Bab I sub bab Landasan Teoritis diatas.

Ketidaksesuaian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Memaksimalkan kemerdekaan. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada

dan BPR Lestari kemerdekaan debitur tidak maksimal karena dibatasi dalam

hal cara menentukan bentuk perjanjian, terbatas dalam hal cara, dan terbatas

dalam menentukan isi perjanjian dan.

2. Kesetaraan bagi semua orang. Kedudukan antara pihak bank dan debitur

dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari sangat tidak

setara karena debitur dibebani banyak tanggung jawab dan hanya sedikit hak,

kebalikannya dari pihak bank, yang dibebani sedikit kewajiban tetapi diberi

banyak hak.

3. Prinsip kesamaan kesempatan. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada

dan BPR Lestari pihak bank maupun pihak debitur mendapat kesempatan

yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari kredit yang disalurkan.

Namun perlu ditegaskan bahwa prinsip kesamaan menurut John Rawls tidak

mengacu pada kesamaan dalam memperoleh hasil melainkan kesetaraan

kedudukan dan hak dalam suatu hubungan kontraktual. Sekalipun terjadi

kesamaan dalam mendapatkan hasil dari kredit yang disalurkan namun

Page 130: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

113

perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak mencerminkan

keseteraaan kedudukan dan hak antara debitur dan kreditur.

Rangkuman dari pembahasan Bab III yang merupakan hasil penelitian dengan

wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Ni Komang Purnama Dewi

dan Kepala Bagian Kredit BPR Lestari I Nyoman Suardana ini dapat diuraikan

sebagai berikut :

1. Perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak memenuhi asas

keseimbangan yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban

masing-masing pihak. Dalam perjanjian kredit di Bank Mayapada dan BPR

Lestari hubungan antara pihak Bank dan debitur diasumsikan sebagai

hubungan yang subordinat dimana pihak debitur adalah pihak yang lemah.

2. Ketidakseimbangan kedudukan antara bank sebagai pihak yang kuat dan

debitur sebagai pihak lemah tercermin dari berbagai klausul kontrak yang

mengandung kewajiban bari debitur dan tidak ada klausul yang secara tegas

menyatakan hak debitur. Sedangkan dari sudut pandang bank, tidak ada

klausul yang secara tegas menyatkan kewajiban bank. Tetapi ada banyak

klausul yang menentukan hak pihak bank.

3. Asas keseimbangan dalam perjanjian kredit anatara bank dan debitur

dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak. Apabila

dilihat dari sudut pandang etikal maka asas keseimbangan merupakan

pembagian yang seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak

Page 131: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

114

yang terlibat dalam perjanjian. Sebagai asas yuridikal maka asas

keseimbangan merupakan asas yang layak atau adil sehingga dapat diterima

sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.

Konsekuensi dari kedudukan para pihak tidak seimbang adalah pihak lemah

biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa

yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi

lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-

klausul tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya

dibuat/dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi

dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang

kedudukannya lebih kuat.

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang

memiliki kedudukan lebih kuat, maka dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat

klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau meringankan/menghapuskan

beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung

jawabnya. Penerapan klausul-klausul tertentu yang dilakukan oleh pihak yang

memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang lebih

lemah dalam hal ini debitur, yang biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.

Page 132: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

115

BAB IV

STANDARD CONTRACT DALAM MEMBERIKAN KREDIT

MENCERMINKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

Isi bab ini mendeskripsikan hasil wawancara mengenai asas kebebasan

berkontrak para pihak dalam perjanjian kredit perbankan yang menggunakan kontrak

standar. Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal Bank Mayapada Cabang

Denpasar (selanjutnya disebut Bank Mayapada) Ni Komang Purnama Dewi tanggal

17 Februari 2014 disebutkan :

1. Penandatangan perjanjian kredit yang dilakukan Bank Mayapada dan debitur

menunjukkan bahwa perjanjian kredit tersebut mengandung kebebasan

masing-masing pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Selain itu

pihak bank dan nasabah debitur juga memiliki kebebasan dengan siapa

hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan.

2. Hal ini karena sebelum terjadi kesepakatan kredit, pihak bank memberi

kesempatan pada pihak debitur untuk membaca dan memahami klausul-

klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak

oleh pihak bank.

Dalam wawancara dengan Kepala Bagian Legal BPR Lestari Bapak I

Nyoman Suardana dalam wawancara tanggal 10 Februari 2014 dinyatakan:

1. Sekalipun para pihak memiliki kebebasan dalam mengadakan kontrak namun

perjanjian kredit perbankan membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam

115

Page 133: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

116

hal menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk

tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara

pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam

menentukan isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank.

Kebebasan yang terjadi dalam perjanjian kredit untuk menentukan apakah

akan mengadakan perjanjian atau tidak dan kebebasan dengan siapa akan

mengadakan perjanjian sebagaimana diuraikan di atas merupakan kebebasan yang

paling hakiki dalam suatu perjanjian. Selain itu pula kebebasan dalam perjanjian

kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan

dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian. Tetapi karena

tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak maka tentu saja harus ada pembatasan

terhadap kebebasan dalam perjanjian kredit karena :

Pertama, pembatasan tersebut dilakukan agar perjanjian tersebut tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. Sebagaimana

ditentukan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa “semua kontrak (perjanjian)

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Kata “semua” dalam Pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang

dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur

dalam KUHPerdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang

membuatnya.

Page 134: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

117

Pasal 1338 KUHPerdata menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal

ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undang-

undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila kebebasan dalam

berkontrak dilakukan secara tanpa batas akan mengakibatkan kekacauan dalam hal

ketertiban umum. Kedua, apabila kebebasan berkontrak tidak dibatasi maka semua

orang akan membuat perjanjian dengan kausa yang tidak halal atau kausa yang

melanggar undang-undang, mencapai kesepakatan dengan cara menipu sebagaimana

dilarang Pasal 1320 KUPerdata atau melakukan perjanjian tanpa itikad baik yang

dilarang oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

Penerapan asas kebebasan berkontrak bagi debitur dalam perjanjian kredit

dengan standard contract oleh Bank Mayapada dan BPR Lestari tercermin dengan

adanya kebebasan antara masing-masing pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian.

Selain itu masing-masing bank dan nasabah debitur memiliki kebebasan dengan siapa

hendak mengadakan perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. Sebelum terjadi

kesepakatan kredit, pihak Bank memberi kesempatan kepada debitur untuk membaca

dan memahami klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat

secara sepihak oleh pihak Bank. Apabila para pihak sepakat maka terjadilah

perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian pihak debitur memiliki kebebasan untuk

menentukan apakah akan mengikatkan diri dengan Bank Mayapada dalam suatu

perjanjian kredit atau tidak. Apabila debitur memilih untuk mengikatkan diri dalam

Page 135: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

118

perjanjian kredit dengan Bank Mayapada, maka sebenarnya debitur menjalankan

kebebasannya untuk menentukan dengan siapa akan mengadakan perjanjian.

Tetapi perjanjian kredit bank membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam

hal kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar

berbentuk tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena

cara pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan

isi perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Selain itu pula kebebasan

dalam perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa

perjanjian yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu

perjanjian.

4.1. Kebebasan Berkontrak Dalam Pelaksanaan Standard Contract (Kontrak

Baku) Perjanjian Kredit Antara Bank dan Debitur

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam membuat

perjanjian sebagaimana yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang menyatakan “segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun yang dimaksud

dengan pasal tersebut adalah bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dimana

perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak.

Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu

pernyataan bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu

Page 136: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

119

akan mengikat orang yang membuat perjanjian, sebagaimana mengikatnya undang-

undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan

"ketertiban umum dan kesusilaan". Kata "semua" mengandung arti meliputi seluruh

perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-

undang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu

kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang

diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

Kemudian dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut itu ditarik

kesimpulan bahwa setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian sepanjang tidak

melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Secara yuridis, perjanjian memberikan

kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi

apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berarti

bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-

ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan mereka

diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka

adakan.

Bukan hanya leluasa untuk membuat perjanjian, subyek yang membuat

perjanjian bahkan diperbolehkan mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam

dalam KUHPerdata sebagaimana yang tercermin dalam Perjanjian Kredit di BPR

Lestari yang menyampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata

terkait pemutusan perjanjian kredit secara sepihak. Pengecualian ketentuan-ketentuan

Page 137: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

120

dalam KUHPerdata tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).

Dengan adanya asas kebebasan ini maka kepada para pihak yang terlibat dalam

perjanjian tidak perlu khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu berlaku sebagai

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Perjanjian standar dalam penyaluran kredit bank menyediakan ruang dalam

hal kebebasan berkontrak kepada nasabah debitur terkait apakah akan membuat

perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa akan membuat perjanjian. Ruang

bagi dua jenis kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit dengan klausul baku

tersebut terkait erat dengan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut Sutan

Remy Sjahdeini, yaitu84

:

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;

3. Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;

4. Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Namun kebebasan berkontrak di atas tidak dapat berlaku tanpa batas. Terkait

dengan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah

pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan akibat berlakunya asas

kebebasan berkontrak. Misalnya menekan akibat buruk dari diberlakukannya klausul

eksonerasi dalam perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak

karena alasan demi kepentingan umum (public interest). Dalam hukum kontrak,

84

Sutan Remy Sjahdeini, loc.cit.

Page 138: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

121

kedua pembatasan tersebut terwujud dalam UU Perlindungan Konsumen dan asas

itikad baik yang terkandung dalam KUHPerdata.

Terkait dengan pembatasan oleh UU Konsumen, maka sebelumnya telah

diuraikan secara panjang lebar mengenai klausul baku yang dilarang dicantumkan

dalam perjanjian baku sebagaimana ketentuan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen. Sementara itu pembatasan terhadap penggunaan klausul

baku dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh KUHPerdata terkait dengan asas

itikad baik dalam suatu perjanjian. Tanpa adanya itikad baik maka perjanjian kredit

dengan klausul baku tidak dapat berlaku. Ada dua pengertian itikad baik dalam

KUHPerdata, yaitu:

1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan

suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang

pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini

diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

2. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus

didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu

kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai

pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.

Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah

satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa

Page 139: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

122

kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan

memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Penandatangan perjanjian kredit oleh Bank Mayapada dan BPR Lestari

dengan masing-masing debitur yang bersangkutan menunjukkan adanya kebebasan

antara masing-masing pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian. Selain itu masing-

masing bank dan debitur memiliki kebebasan dengan siapa hendak mengadakan

perjanjian kredit, tanpa adanya paksaan. Menurut Kepala Bagian Legal Bank

Mayapada Internasional Cabang Denpasar (selanjutnya disebut bank Mayapada) Ibu

Ni Komang Purnama Dewi dalam wawancara tanggal 17 Feburari 2014, sebelum

terjadi kesepakatan kredit, pihak Bank Mayapada memberikan kesempatan terlebih

dahulu untuk membaca dan memahami klausul-klausul yang tercantum dalam

perjanjian kredit yang dibuat secara sepihak oleh pihak Bank Mayapada. Apabila para

pihak sepakat maka terjadilah perjanjian kredit tersebut. Dengan demikian debitur

memiliki kebebasan untuk menentukan apakah akan mengikatkan diri dengan Bank

Mayapada dalam suatu perjanjian kredit atau tidak. Apabila debitur memilih untuk

mengikatkan diri dalam perjanjian kredit dengan Bank Mayapada, maka sebenarnya

debitur menjalankan kebebasannya untuk menentukan dengan siapa akan

mengadakan perjanjian.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam perjanjian kredit dengan

klausul baku para pihak memiliki kebebasan menyangkut keputusan apakah akan

mengadakan perjanjian atau tidak dan dengan siapa akan mengadakan perjanjian,

Page 140: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

123

tetapi perjanjian kredit perbankan membatasi kebebasan berkontrak debitur dalam hal

kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian dimana perjanjian standar berbentuk

tertulis, kebebasan dalam menentukan cara pembuatan perjanjian karena cara

pembuatannya telah ditentukan oleh pihak bank, kebebasan dalam menentukan isi

perjanjian karena telah ditentukan oleh pihak bank. Selain itu pula kebebasan dalam

perjanjian kredit bank juga menyangkut kebebasan untuk memilih causa perjanjian

yang akan dibuatnya dan kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian.

Akan tetapi sekalipun memiliki keterbatasan namun perjanjian kredit bank

dengan klausul baku pada hakekatnya telah memenuhi asas kebebasan berkontrak.

Sebagaimana dikatakan Kepala Bagian Legal BPR Lestari I Nyoman Suardana dalam

wawancara tanggal 10 Februari 2014, kebebasan dalam perjanjian kredit untuk

menentukan apakah akan mengadakan perjanjian atau tidak, kebebasan dengan siapa

akan mengadakan perjanjian merupakan kebebasan yang paling hakiki dalam suatu

perjanjian. Tetapi karena tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak maka tentu saja

harus ada pembatasan terhadap kebebasan dalam perjanjian kredit.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan dalam

perjanjian kredit dengan klausul baku diatasi oleh dua hal, yaitu:

1. Pembatasan filosofis sebagaimana yang ditentukan oleh asas itikad baik yang

terkandung dalam ketentuan KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata

menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan

kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja

Page 141: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

124

pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada

waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan

berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu

tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa

kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan

sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.

2. Pembatasan praktis sebagaimana ditentukan UU Perlindungan konsumen.

Tidak seperti ketentuan KUHPerdata yang merupakan batasan longgar bagi

kebebasan membuat perjanjian dengan klausul baku maka Pasal 18 ayat (1)

UU Perlindungan Konsumen memberi batasan yang relatif lebih ketat dalam

penggunaan klausul baku.

4.2. Akibat Hukum Dari Klausul Baku

Dalam hukum perjanjian di Indonesia tidak ada larangan terhadap perjanjian

dengan klausul baku. UU Perlindungan Konsumen hanya melarang penggunaan

beberapa penggunaan klausul baku dalam hal tertentu sebagaimana terdapat dalam

Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal

18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tersebut akan mengakibatkan perjanjian

tersebut batal demi hukum.

Adapun klausul baku yang dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen adalah :

Page 142: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

125

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan ini

berkaitan dengan Pasal 27 huruf e UU Perlindungan Konsumen yang

melarang pelaku usaha yang memproduksi barang atau jasa melepaskan diri

dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila lewat

empat tahun sejak barang (atau jasa) dibeli atau lewat dari jangka waktu yang

diperjanjikan.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang

yang dibeli konsumen. Pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali

barang yang sudah dijualnya dan tidak menerima kembali barang yang sudah

dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang sudah diterimanya atas barang

tersebut, asalkan pengembalian barang tersebut disertai alasan yang

dibenarkan oleh hukum.

c. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran. Ketentuan pemberian kuasa kepada pelaku usaha untuk melakukan

segala tindakan sepihak adalah tidak adil selain dapat dikualifikasikan

sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen.

d. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. Pengaturan perihal pembuktian

atas hilangnya barang yang dibeli konsumen cenderung merugikan

Page 143: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

126

konsumen karena pengaturan seperti ini dilakukan secara sepihak oleh pelaku

usaha.

e. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.

Dalam perjanjian kredit bank ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan yang

menyatakan pihak bank berhak mengurangi plafond kredit yang telah

disetujui atas dasar penilaian bank bahwa kemampuan berkurang untuk

membayar kredit sesuai yang diperjanjikan.

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa.

Larangan terhadap hal ini sudah tepat karena member keadilan pada

konsumen.

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh

pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

Apabila dikaitkan dengan perjanjian kredit bank ketentuan ini menyangkut

ketentuan yang memberi wewenang pada bank untuk melakukan perubahan

suku bunga kredit apabila diharuskan oleh keadaan ekonomi tertentu. Dapat

dipastikan pihak bank tidak akan mengikuti adanya larangan terhadap

ketentuan ini karena apabila diikuti akan mengakibatkan bank mengalami

Page 144: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

127

kerugian apabila terjadi keadaan yang mengharuskan bank menaikan suku

bunga, seperti kondisi krisis moneter.

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan

Konsumen tersebut diatas akan mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak

batal demi hukum sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan

Konsumen. Batal demi hukum artinya adalah sejak semula perjanjian dengan klausul

baku tersebut tidak pernah ada. Dengan kata lain suatu perikatan tidak pernah

dilahirkan. Pengertian batal demi hukum berbeda dengan pengertian dapat dibatalkan.

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu.

Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh

hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.

Perjanjian dengan klausul baku tidak hanya mendapat akibat hukum batal

demi hukum apabila melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan

Konsumen. Batal demi hukum juga terjadi apabila perjanjian dengan klausul baku

tidak dapat memenuhi syarat objektif suatu sesuai yang diatur oleh Pasal 1320

KUHPerdata. Sedangkan apabila syarat subjektif terpenuhi, yaitu tidak cakap atau

bebas dalam membuat perikatan maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan.

Page 145: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

128

Apabila dikaitkan dengan klausul perjanjian Bank Mayapada dan BPR Lestari

yang telah diuraikan di atas maka ada beberapa klausul yang rentan mendapat akibat

hukum batal demi hukum karena melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Klausul yang menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada klausul ini terdapat dalam Pasal 10 huruf

d. Ketentuan tersebut menetapkan bahwa Kreditur berhak dan diberi kuasa oleh

kreditur untuk sewaktu-waktu menarik kembali sebagian/semua fasilitas kredit

tersebut jika kreditur menilai kreditur berada dalam keadaan yang tidak tepat atau

kurang layak meneruskan pemberian kredit tersebut. Dalam perjanjian kredit BPR

Lestari klausul pemberian kuasa tersebut terdapat dalam Pasal 11 huruf a, yaitu

“Debitur memberi kuasa pada bank untuk mendebet dan mempergunakan dana

yang tersimpan pada bank, baik rekening/tabungan/deposito milik debitur guna

pembayaran angsuran dan bunga”. Klausul pemberian kuasa lainnya yang

terdapat dalam perjanjian kredit BPR Lestari terdapat dalam Pasal 12 yaitu

“Debitur dan Pemberi Jaminan dengan ini memberi kuasa menjamin ulangkan

(dengan cara apapun) piutang kreditur terhadap debitur berikut barang jaminan

kepada Bank Indonesia dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh Kreditur”.

Page 146: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

129

Pemberian kuasa untuk mengambil segala tindakan sepihak terkait kredit yang

telah diberikan adalah tidak adil dan tergolong sebagai penyalahgunaan keadaan

konsumen. Pemberian kuasa dalam perjanjian kredit BPR Lestari tidak hanya

terdapat dalam Pasal 11 huruf a, melainkan juga dalam Pasal 11 huruf b yang

menyangkut pemberian kuasa dalam hal membuat dan menandatangani perjanjian

utang murni.

2. Klausul yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Klausul dalam Pasal 10 huruf d perjanjian kredit Bank Mayapada tersebut di atas

juga dapat dikategorikan sebagai klausul pengalihan tanggung jawab pelaku

usaha. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul pengalihan tanggung jawab

terdapat dalam Pasal 1 angka 3, yaitu “Bank berhak mengurangi jumlah kredit

tersebut setiap saat semata-mata menurut pertimbangan bank, antara lain karena

keadaan, karena perubahan nilai barang jaminan atau karena keadaan likuiditas

bank dan sebagainya”.

3. Pengalihan tanggung jawab dalam klausul perjanjian kredit di bank

Bank Mayapada dan BPR Lestari tersebut merupakan pengalihan tanggung jawab

pihak bank terhadap suatu kejadian yang mengakibatkan munculnya potensi

kerugian. Klausul yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang

berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya. Dalam perjanjian kredit BPR Lestari klausul ini terdapat dalam Pasal

Page 147: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

130

12, yaitu “Debitur dengan ini berjanji akan tunduk kepada segala ketentuan dan

kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada bank, baik yang berlaku sekarang maupun

di kemudian hari”.

Kebebasan untuk membuat perjanjian kredit dengan klausul baku tidak dapat

dilakukan tanpa batas. Batas tersebut adalah ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen. Sekalipun beberapa klausul dalam perjanjian kredit Bank

Mayapada dan BPR Lestari dapat dikategorikan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat

(1) namun perjanjian kredit tersebut dapat dikategorikan telah memenuhi syarat

objektif dan subjektif sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat

subjektif menyangkut subyek perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak dalam

perjanjian dan kecakapan para pihak dalam perjanjian telah dapat dipenuhi karena

para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari

tersebut telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Persetujuan

kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas

karena tidak didasarkan atas paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Paksaan dalam kaitan ini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychics),

jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak, karena diancam atau

ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan atau kekeliruan

terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang

diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek

perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan

Page 148: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

131

tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai

hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.

Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-

keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk

membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu

bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut

yurisprudensinya, tak cukup kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai

suatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu

perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.

Apabila perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari melanggar syarat

subyekyif maka pembatalan atas perjanjian tersebut dapat dimintakan kepada hakim.

Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh

undang-undang diberi perlindungan itu (pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak

bebas dalam memberikan sepakat). Meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454

KUHPerdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun, yang mulai

berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap

menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal

kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.

Cara untuk meminta pembatalan perjanjian dapat dibagi menjadi dua yaitu

sebagai berikut :

Page 149: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

132

1. Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada

hakim upaya perjanjian itu dibatalkan.

2. Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian

tersebut, kemudian mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah

disetujuinya ketika ia masih belum cakap, atau karena diancam, ditipu atau

khilaf mengenai objek perjanjian. Didepan sidang pengadilan itu ia

memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan

secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.

Selain itu perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari telah memenuhi syarat

objektif suatu perjanjian karena telah memenuhi adanya objek perjanjian atau suatu

hal tertentu dan perjanjian tersebut disarkan atas kausa yang halal karena tidak

dilarang oleh undang-undang.

4.3. Pembatasan Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Dengan

Standard Contract

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa perjanjian kredit Bank

Mayapada dan BPR Lestari mencerminkan asas kebebasan berkontrak karena para

pihak bebas menentukan apakah akan membuat perikatan atau tidak dan bebas untuk

menentukan dengan siapa akan membuat perikatan. Akan tetapi terdapat pembatasan

kebebasan terhadap debitur yaitu dalam hal pembuatan perjanjian dengan klausul

baku atau standar, pembatasan dalam membuat isi perjanjian, bentuk perjanjian dan

cara pembuatan perjanjian tersebut. Sedangkan pembatasan terhadap pihak bank

Page 150: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

133

selaku kreditur tidak menyangkut kebebasan dalam hal-hal yang disebutkan di atas

melainkan pembatasan terhadap penerapan klausul standar sebagaimana ketentuan

Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Selain itu adapula pembatasan secara

filosofis yaitu perjanjian harus didasarkan atas itikad baik sebagaimana diharuskan

oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan tentang berlakunya "asas itikad

baik". Dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari

tidak didasarkan atas itikad buruk para pihak terhadap satu sama lainnya.

Untuk dapat mengambil kesimpulan apakah perjanjian kredit Bank Mayapada

dan BPR Lestari mencerminkan asas kebebasan berkontrak maka perjanjian kredit

tersebut harus dianalisa menggunakan lingkup kebebasan berkontrak menurut Sutan

Remi Sjahdeini, yaitu:

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian

Dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari, para pihak yang terikat

dalam perjanjian kredit tersebut memiliki kebebasan apakah akan membuat atau

tidak membuat perjanjian. Tidak ada pihak yang dipaksa untuk membuat

perjanjian dan pihak yang mempunyai kedudukan lebih lemah (debitur) sepakat

untuk membuat perjanjian dengan pihak yang memiliki kedudukan yang lebih

kuat (bank) sekalipun isi perjanjian telah ditentukan secara baku oleh pihak bank

tersebut. Dengan demikian perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari

telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai sepakat membuat

perikatan.

Page 151: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

134

2. Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian

Para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari

bebas menentukan dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. Pada saat perjanjian

kredit ditandatangani oleh para pihak maka masing-masing dari mereka telah

memutuskan dengan siapa hendak membuat perjanjian. Nasabah (debitur) Bank

Mayapada memilih bersepakat dengan Bank Mayapada selaku kreditur. Begitu

pula sebaliknya pihak Bank Mayapada memilih membuat perjanjian dengan

debitur tertentu. Hal yang sama berlaku pula untuk BPR Lestari dan debiturnya.

3. Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya

Baik Bank Mayapada dan debiturnya serta BPR Lestari dan debiturnya bebas

memilih kausa perjanjiannya, dalam hal ini kausa yang dipilih yaitu perjanjian

kredit bank.

4. Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian

Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa paling tidak objek

perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya, baik benda itu berwujud maupun

tidak berwujud. Objek perjanjian dapat berupa benda-benda yang baru akan ada

di kemudian hari. Dalam hal perjanjian kredit bank maka objek perjanjian adalah

benda berwujud yaitu uang yang merupakan kredit bank yang diberikan pihak

bank selaku debitur kepada debiturnya. Dalam hal ini para pihak yang

mengikatkan diri dalam perjanjian kredit bank telah secara bebas menentukan

Page 152: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

135

bahwa objek dari perjanjian dimana mereka mengikatkan diri adalah uang yang

merupakan kredit.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian

Perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari adalah perjanjian yang

berbentuk tertulis yang sudah dibakukan atau perjanjian baku. Perjanjian baku

merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah

pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan. Dalam hal

ini perjanjian kredit Bank Mayapada dan perjanjian kredit BPR Lestari tidak

memenuhi asas kebebasan berkontrak karena bentuk perjanjian kredit tersebut

tidak ditentukan secara bebas oleh masing-masing, melainkan telah ditentukan

oleh pihak bank sebagi pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih

kuat. Pihak debitur yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah secara

ekonomi hanya dapat menerima saja bentuk perjanjian yang telah ditentukan

pihak bank tersebut. Dari segi kepastian hukum, perjanjian tertulis jauh lebih

meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan karena mengingat perjanjian

tertulis dapat menjadi bukti otentik menurut hukum.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang

bersifat opsional (aanvullen, optional).

Hal ini berarti asas kebebasan berkontrak memungkinkan orang menciptakan

jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama

dan isinya menyimpang dari kontrak bernama yang diatur oleh Undang-Undang,

Page 153: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

136

yakni Buku III KUHPerdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak

bernama. Artinya bahwa undang-undang tidak memberi nama khusus terhadap

perjanjian tersebut. Berbeda dengan perjanjian tak bernama, perjanjian bernama

(khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah

perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-

undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari perjanjian

bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. Di luar

perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian

yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dimasyarakat. Jumlah

perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas

kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam

hukum perjanjian. Adapun yang merupakan kontrak bernama menurut

KUHPerdata adalah sebagai berikut :

a. Kontrak jual-beli terdapat dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540

KUHPerdata.

b. Kontrak tukar-menukar, mulai dari Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546

KUHPerdata.

c. Kontrak sewa-menyewa, mulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600

KUHPerdata.

d. Kontrak persetujuan untuk melakukan pekerjaan, mulai dari Pasal 1601

sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata.

Page 154: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

137

e. Kontrak perseroan, mulai dari Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652

KUHPerdata.

f. Kontrak perkumpulan, mulai dari pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665

KUHPerdata.

g. Kontrak hibah, mulai dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693

KUHPerdata.

h. Kontrak penitipan barang, mulai dari Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1739

KUHPerdata.

i. Kontrak pinjam pakai, mulai dari Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1743

KUHPerdata.

j. Kontrak pinjam mengganti, mulai dari Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769

KUHPerdata.

k. Kontrak bunga tetap atau bunga abadi, mulai dari Pasal 1770 sampai dengan

Pasal 1773 KUHPerdata.

l. Kontrak untung-untungan, mulai dari Pasal 1774 sampai dengan Pasal 1791

KUHPerdata.

m. Kotrak pemberian kuasa, mulai dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819

KUHPerdata.

n. Kontrak penanggungan utang, mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal

1850 KUHPerdata.

Page 155: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

138

o. Kontrak perdamaian, mulai dari Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864

KUHPerdata.

Dengan demikian perjanjian kredit, termasuk perjanjian kredit Bank

Mayapada dan BPR Lestari, merupakan wujud dari kebebasan untuk menerima atau

menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional karena perjanjian

kredit bank tergolong sebagai perjanjian tak bernama. KUHPerdata tidak memberi

nama secara khusus terhadap perjanjian kredit bank.

Berdasarkan uraian mengenai lingkup kebebasan berkontrak di atas maka

dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR Lestari tidak

sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak. Ketidakbebasan itu terjadi dalam

hal menentukan bentuk perjanjian karena bentuk perjanjian kredit tersebut telah

ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian tertulis dengan bentuk

baku.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan pembatasan kebebasan

berkontrak dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat

sahnya suatu perjanjian, Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan

perjanjian harus didasarkan atas itikad baik, serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan

Konsumen melarang penggunaaan klausul tertentu yang apabila dilanggar perjanjian

kredit dengan klausul baku berakibat batal demi hukum.

Page 156: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

139

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan dan analisis dalam bab-bab sebelumnya terhadap

permasalahan yang dikaji dalam tesis ini, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Perjanjian kredit bank yang dalam hal ini Bank Mayapada dan BPR Lestari

yang memuat klausul baku (standard contract) kurang mencerminkan asas

keseimbangan. Klausul baku (standard contract) yang termuat dalam

perjanjian kredit pada bank tersebut cenderung berat sebelah, karena banyak

terdapat klausul yang mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala

petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur

kemudian. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut juga banyak

menyatakan hak pihak bank, sementara itu kewajiban pihak bank hanya

memberikan kredit sejumlah yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit

tersebut.

2. Berdasarkan lingkup kebebasan yang sudah diterapkan dalam suatu

perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian kredit Bank Mayapada dan BPR

Lestari tidak sepenuhnya menerapkan asas kebebasan berkontrak karena

dibatasi oleh ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata serta Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Kebebasan

139

Page 157: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

140

berkontrak terjadi hanya dalam lingkup kebebasan untuk membuat atau tidak

membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin

membuat perjanjian, dan kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang

akan dibuatnya dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan

undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional). Namun masih

terdapat ketidakbebasan dalam membuat perjanjian yaitu dalam menentukan

bentuk dari perjanjian yang akan dibuat, karena bentuk perjanjian kredit

tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak bank, yaitu perjanjian

tertulis dengan bentuk baku.

2. Saran-saran.

Bertitik tolak dari kesimpulan tersebut di atas maka disarankan hal-hal

sebagai berikut:

1. Bank diharapkan lebih memperhatikan kepentingan debitur tanpa

mengesampingkan faktor resiko dalam pemberian kredit. Klausul baku yang

dicantumkan dalam perjanjian kredit harus ditempatkan di tempat yang mudah

dibaca sehingga debitur benar-benar memperhatikan akibat hukum dari

klausul baku tersebut. Selain itu bank diharapkan lebih meningkatkan kinerja

perbankan dengan menerapkan good corporate governance, salah satunya

dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dalam bentuk perancangan kontrak

(contract drafting) bagi karyawannya khususnya bagian legal. Sehingga

nantinya dapat membuat perjanjian kredit bank yang mencerminkan

Page 158: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

141

keseimbangan kedudukan antara bank dan debitur tanpa merugikan

kepentingan salah satu pihak.

2. Nasabah debitur diharapkan bertindak lebih teliti dalam membaca dan

mencermati perjanjian kredit, dan apabila kurang memahami klausul tertentu

dan akibat hukum yan ditimbulkan hendaknya debitur melakukan negosiasi

dengan pihak bank atau pihak lain yang memahami hukum sehingga terhindar

dari akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh debitur itu sendiri.

Page 159: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

142

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-buku :

Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Artadi, I Ketut, dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi

Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian dan Perancangan Kontrak, Udayana

University Press, Denpasar.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung.

, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku,

Binacipta, Jakarta.

_____ , 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung.

______, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

______, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bahsan, M, 2012, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di

Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Cohen, Morris L and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul

Minn, Printed in the United States of America.

Dewi, Gemala, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian

Syariah di Indonesia, cet. III, Kencana, Jakarta.

Donnelly, Jack, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca:

Cornell University Press.

Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Djumadi, 1996, Tinjauan Tentang Azas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian

Keagenan Dalam Era Hukum, Universitas Tarumanegara.

142

Page 160: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

143

Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education

Limited, England.

Fuady, Munir, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Cet.II, Jakarta.

, 2005, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya,

Buku I, Jakarta.

Gautama, Sudargo, 1989, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Alumni, Bandung.

Gazali, Djoni.S, dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,

Jakarta.

Hasan, Djuhaendah, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain

Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan

Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta.

Hatta, Sri Gambir Melati, 2000, Beli-Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama :

Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni

Bandung.

Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ibrahim, Johanes dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi

Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Bandung.

Johan Nasution, Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Termasuk

Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Longdong, Tineke Louise Tuegeh, 1998, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New

York 1958, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika.

Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Pasal 1233

sampai 1456 BW, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Page 161: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

144

Miru Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Press,

Jakarta.

_____ , 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi konsumen di Indonesia,

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan dan

Perdagangan, Citra Aditya, Bandung.

______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam

Islam, Sinar Grafika, Jakarta.

Salim, H.S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusuran Kontrak, Sinar Grafika,

Jakarta.

Saliman, Abdul S, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus,

Kencana Prenada, Jakarta.

Setiawan, R, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni,

Bandung.

, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.

Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Simanjuntak, Ricardo, 2011, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,

Cetakan 2 : Edisi Revisi Juli 2011, Kontang Publishing.

Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,

Institut Bankir Indonesia, Jakarta.

Spagnola, Linda A, 2008, Contract For Paralegal : Legal Principle and Practival

Aplication, McGraw-Hill Irwin, United States.

Subekti, R, 1996, Hukum Perjanjian, St. XIV, Intermasa, Jakarta.

______, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Suharnoko, 2005, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Cetakan

III, Jakarta.

Page 162: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

145

Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.

Suyatno, Thomas, et. al., 1989, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta.

Syahrani, Ridwan, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,

Bandung.

Ujan, Andre Ata, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik Jhon

Rawls), Kanisius, Yogyakarta.

Vickery, Roger, and Wayne Pendelton, 2003, Autralia Business Law Principle &

Applications, Pearson Education Australia.

b. Makalah

Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik

Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004.

, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya),”

Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua, Tanggal

10 Mei 2013.

c. Majalah/Jurnal

Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, “Azas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya

dengan Perjanjian Standar (Standard)” dalam majalah Media Notariat No. 28-

29 Tahun VII Juli-Oktober.

Sriwati, 2000, “Perlidungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku”,

Majalah Yustika Voume III tanggal 2 Desember.

d. Internet

Dewa Wiguna, 2013, “Penyaluran Kredit di Bali Belum Merata”,

www.bali.antaranews.com diunduh 3 Desember 2013.

e. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 163: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

146

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW) Terjemahan R. Subekti dan R.

Tjitrosudibio, 2009, Cetakan XXXX, Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ( Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3632).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3790).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran

Negera Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3833).

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negera

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3821).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ( Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3889).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 3).

Page 164: Unud 1091 1436105223 Tesis Full Merge

DAFTAR RESPONDEN

1. Nama : Ni Komang Purnama Dewi, SH

Umur : 46 tahun

Jabatan: Kepala Legal PT. BANK MAYAPADA INTERNASIONAL, Tbk

Cabang Denpasar.

Alamat : Jalan Thamrin, Denpasar-Bali

2. Nama : I Komang Suardana

Umur : 50 tahun

Jabatan: Kepala Legal PT. BPR Sri Artha Lestari

Alamat : Jalan Teuku Umar Denpasar Bali