universitas indonesia keabsahan perbuatan hukum...

140
i Universitas Indonesia UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Dewi Susanti 1006828022 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI 2013 Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Upload: vuongminh

Post on 04-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

i Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM OLEH PIHAK YANG

TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan

Dewi Susanti

1006828022

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

SALEMBA

JANUARI 2013

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama Dewi Susanti

NPM 1006828022

Tanda Tangan ~ Tanggal 21 Januari 2013

11 Universitas Indonesia

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

iv Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini

dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya

untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua

Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Indonesia;

2. Bapak Pieter E. Latumeten, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing

yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;

3. Ibu Chairunnisa Said Selenggang, S.H., M.Kn. dan Ibu Wismar ’Ain

Marzuki, S.H., M.H., selaku dosen penguji yang sangat menginspirasi

saya, dan telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menguji

dan memberikan masukan terkait tesis ini;

4. Para Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada saya dan teman-

teman selama menjalankan studi di Program Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Indonesia;

5. Seluruh Staff Sekretariat Program Megister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia;

6. Alam Ginting dan Ida selaku kedua orang tua serta adik-adik tercinta

saya antara lain Yanwar Alamdo, Melyanti dan Mazmur Daud Ginting,

yang telah senantiasa memberikan bantuan dukungan material dan

moral;

7. G-Dragon, Tablo, Wooyoung, dan pria idaman lainnya yang senantiasa

memberikan inspirasi dan dukungan moral kepada saya terutama

ketika penyusunan tesis ini;

8. Sahabat-sahabat saya selama 2 (dua) tahun terakhir dalam menempuh

jenjang pendidikan Kenotariatan antara lain Astrid Triana Fabia dan

Oliv Fabia, Cicilia Julyani Tondy, Chikita Goenawan dan Ko

Christian, David Santosa, Mbak Delny Teoberto dan Mas Aji, Elza

Huzaifah Nirmaliana dan Arieeess, Lee DC, Mbak Meidicianawati dan

Om Adi, Nani Norseva, Nessya Chandra, Mbak Novi Herawati dan

Abang Satya Wijayantara, Sari Jacob dan Umi, serta Veneranda Julia

Belinda yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis

ini;

9. Sahabat seperjuangan dan sepenanggungan dalam rangka bimbingan

dan penulisan tesis, yaitu Mbak Sally dan Mbak Rahmania;

10. Sahabat-sahabat MKn UI saya lainnya antara lain Thia, Tommy Liem,

Karina Nadia, Airin, Dyah Kusumaningrum dan Hari Fitriansyah,

Clara Riza, Jeannette Lesmana, Cici Shuei, Ci Shilviana, Ci Way,

April, Monika Yulianty, dan seluruh teman-teman Magister

Kenotariatan angkatan 2010 Salemba yang tidak dapat disebutkan satu

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

v Universitas Indonesia

persatu, yang telah bekerja sama dan membantu saya dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini baik secara materiil maupun

immaterial.

11. Sahabat-sahabat saya di Universitas Padjdjaran antara lain Christin

Anggrainy, Lita Natalia, Maria Yashinta, Meiske G.T Panggabean,

Monica Arindra, Trinzky Syulivany Ginting, dan Vica Paulma, yang

senantiasa membantu saya secara moral;

12. Sahabat-sahabat sewaktu saya masih remaja, antara lain Renny

Oktavia, Nathania Yandhi, Mama Amy, Olivia Jeniffer, Lavinda,

Priscilla, Birgitta, Ivonne TD, Angelina Febrina, Mely, Kharisma

Wulandari Guntur dan Made Setiawan, Fina Jessica, Gede, Candika

Fenny yang senantiasa membantu saya;

13. Teman-teman kantor yang senantiasa mendukung dan membimbing

saya dalam menuntut ilmu baik di bangku kuliah maupun di dalam

dunia kerja, antara lain Ibu Dra. Ayu Tiara Siregar, S.H., Mbak Upik,

Mbak Dwi Puspita Sari, S.H., M.Kn., Pak Pardi, Pak Ramli, dan Ical;

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Saya menyadari bahwa

penulisan tesis ini jauh dari sempurna, dan masih terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun

untuk lebih menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu, khususnya ilmu hukum.

Jakarta, Januari 2013

Penulis

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Dewi Susanti NPM 1006828022 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty­Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Keabsahan Perbuatan Hukum Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ fonnatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 21 Januari 2013

Yang menyatakan,

_ .........~_o

VI Universitas Indonesia

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Dewi Susanti

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul : Keabsahan Perbuatan Hukum Oleh Pihak Yang Terkait

Perkara Pidana Melalui Akta Notaris

Keabsahan dan implikasi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang

terkait perkara pidana yang dituangkan melalui akta notaris yang merupakan akta

otentik dengan kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat para pihak.

Pasal 3 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada satu pun hukuman yang dapat

menghilangkan keperdataan seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun

seseorang yang terkait perkara pidana bahkan ditahan sekalipun tetap dapat

menjalankan hak keperdataannya dalam kehidupan bermasyarakat namun

tentunya tidaklah dapat dilakukan dengan bebas atau dengan kata lain lingkup hak

keperdataannya adalah terbatas. Misalnya dalam perkara tindak pidana korupsi,

hak keperdataan seseorang menjadi dibatasi terutama untuk melakukan perbuatan

hukum tertentu yang berkaitan dengan perkara pidana korupsi yang sedang

dijalaninya. Organisasi profesi notaris dengan lembaga penegak hukum lainnya

seperti lembaga kepolisian, penuntut umum, dan lembaga lainnya diperlukan

adanya kerja sama dan perlu dibuatnya suatu nota kesepahaman khususnya

mengenai akta notaris yang berisi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak

yang terkait perkara pidana, serta perlu lebih banyak diadakan sosialisasi

mengenai prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh para notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya.

Kata kunci:

Keabsahan, akta notaris, perbuatan pidana

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Dewi Susanti

Study Program : Notary Magister

Judul : The Validity of Legal Act Conducted by Party Involved in

Criminal Case Through Notary Deed

The validity and implication of legal act conducted by party involved in criminal

case which implemented in deed of notary as an authentic deed with impeccable

evidentiary function and binds the parties. Article 3 of Civil Code stipulates that

no punishment can annul the civil right of any individual. This assertion

concludes that although a person involved in criminal case or even imprisoned,

such person still can perform his civil right in social life, yet, such right can’t be

performed in a liberty manner or in other words, the civil right scope is limited.

For instance, in corruption case, the civil right of person is limited particularly in

certain legal acts related to the ongoing corruption case. Organization of Notary

Profession and another law enforcement institutions such as police, prosecutor,

and others need to cooperate and enter into Memorandum of Understanding

particularly regarding deed of notary containing legal act conducted by party

involved in criminal case, also, socialization of prudent principle implemented by

the notary in performing their duties.

Keywords :

Validity, notary deed, crime

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

ABSTRACT ................................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................ ix

1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Pokok Permasalahan .............................................................................. 8

1.3 Metode Penelitian ................................................................................... 9

1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................. 12

2. TINJAUAN KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM YANG

DILAKUKAN OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA

PIDANA MELALUI AKTA NOTARIS ............................................ 14

2.1 Manusia Sebagai Subjek Hukum ........................................................... 14

2.2 Tinjauan Umum tentang Perbuatan Hukum ........................................... 19

2.2.1 Perjanjian sebagai Perbuatan Hukum ........................................... 24

2.2.2 Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ............................................. 27

2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian .............................................................. 37

2.2.4 Akibat Hukum Suatu Perjanjian ................................................... 44

2.2.4.1 Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak

yang membuatnya ........................................................... 44

2.2.4.2 Kebatalan dalam Perjanjian ............................................. 46

2.3 Tinjauan Umum tentang Notaris ............................................................ 49

2.3.1 Penghadap sebagai Pihak dalam Akta Notaris ............................. 57

2.3.2 Tugas, Kewenangan dan Larangan Notaris .................................. 61

2.3.3 Daerah Jabatan Notaris ................................................................. 71

2.3.4 Pengaturan Pembuatan Akta Notaris ............................................ 73

2.3.5 Sanksi terhadap Notaris Berkaitan dengan Akta

yang Dibuatnya ............................................................................

74

2.4 Perbuatan Hukum Oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui

Akta Notaris ........................................................................................... 76

2.4.1 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3641K/PDT/2001 .......... 76

2.4.2 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 792 K/Pdt/2002 ............ 81

2.5 Keabsahan dan Kebatalan Suatu Perbuatan Hukum Yang Dilakukan

Oleh Pihak Yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris ............ 83

2.6 Implikasi Hukum Terhadap Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum

dan Tanggung Jawab Notaris dimana Salah Satu Pihak Terkait

Perkara Pidana ........................................................................................

97

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

x Universitas Indonesia

3. PENUTUP ............................................................................................... 106

3.1 Simpulan ................................................................................................. 106

3.2 Saran ....................................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 110

LAMPIRAN

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional yang merupakan usaha peningkatan kualitas

manusia dan masyarakat Indonesia diarahkan pada pengembangan potensi,

inisiatif, dan daya kreasi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta

diupayakan pelaksanaannya secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan

nasional dengan memanfaatkan segala modal atau sumber daya yang

dimiliki guna mewujudkan Tujuan Nasional, salah satunya adalah

meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, sebagaimana termaktub

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.1

Salah satu aspek yang menjadi prioritas pembangunan nasional

Indonesia adalah aspek di bidang hukum mengingat bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang menjamin ketertiban, keadilan, perlindungan serta kepastian

hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.

Hukum merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia

terutama dalam hubungannya dengan manusia lainnya dalam suatu

pergaulan hidup. Tanpa pergaulan hidup (masyarakat) tidak akan ada

hukum (ibi societas ibi ius, zoon politicon). Hukum berfungsi untuk

mengatur hubungan pergaulan antarmanusia. Namun tidak semua perbuatan

manusia itu memperoleh pengaturannya, hanya perbuatan atau tingkah laku

1 Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi

Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 25/DIKTI/Kep./1985, (Malang: Penerbit IKIP

Malang, 1990), h. 267.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

2

yang diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi

perhatiannya.2

Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum yang

dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban yang

dikehendaki oleh pelaku yang bersangkutan. Perbuatan hukum dapat terdiri

dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat dan perbuatan

hukum dua pihak seperti persetujuan jual beli.

Untuk menjamin terciptanya ketertiban, keadilan, perlindungan

serta kepastian hukum, dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan adanya

suatu alat bukti mengenai keadaan, peristiwa ataupun perbuatan hukum

yang dapat menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai

subyek hukum dalam masyarakat.

Saat ini, manusia dalam melakukan hubungan dalam kehidupan

bermasyarakat dengan sengaja membuat alat-alat bukti dalam bentuk

tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan di

kemudian hari. Alat bukti dalam bentuk tulisan dapat dibedakan dalam akta

dan surat bukan akta, yang kemudian akta masih dapat dibedakan lagi

menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.

A. Pitlo berpendapat bahwa, “Akta adalah suatu surat yang

ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk

dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.3 Dengan

adanya penandatanganan dalam suatu akta tersebut, seseorang dianggap

menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dan diuraikan dalam akta

tersebut.

Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan dan diakui di

Indonesia adalah akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan

terpenuh sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini ditegaskan pula

dalam Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk selanjutnya

dalam tesis ini disebut KUHPerdata, yang menyatakan bahwa pembuktian

2 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Alumni, 1985), h. 7.

3 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta: Intermasa, 1978), h. 52.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

3

dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan

tulisan-tulisan di bawah tangan. Kebutuhan akan alat bukti tertulis berupa

akta otentik semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya tuntutan akan

kepastian hukum di tiap aspek kehidupan bermasyarakat.

Pentingnya akta otentik dalam suatu perbuatan hukum yang

dilakukan oleh subyek hukum adalah untuk memberikan perlindungan baik

kepada para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan

maupun kepada pihak ketiga dalam hal ini masyarakat, melalui faktor

kepastian hukum yang dijamin serta diberikan oleh akta notaris sebagai alat

bukti yang sempurna. Hal ini dikarenakan akta otentik mengandung nilai

kepastian dalam hubungan hukum antara para pihak, yang meletakkan hak

dan kewajiban secara timbal balik, mengingat apa yang dicantumkan dalam

akta tersebut merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan

kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1338

KUHPerdata. Selain itu, undang-undang telah memberikan nilai pembuktian

yang sempurna dan mengikat kepada akta otentik artinya apabila salah satu

pihak mengajukan suatu akta otentik dalam suatu perkara di pengadilan,

hakim harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang dituangkan di

dalam akta otentik tersebut sungguh-sungguh adalah benar sehingga hakim

tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lainnya, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1870 dan Pasal 1871 KUHPerdata.

Akta otentik, menurut Pasal 1868 KUHPerdata, adalah suatu akta

yang di dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau

dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta

dibuatnya. Salah satu pejabat umum yang dimaksud oleh Pasal 1868

KUHPerdata adalah seorang Notaris.

Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga menunjukkan bahwa akta

otentik masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik yang dibuat oleh

pejabat umum dan akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum. Suatu

akta yang dibuat oleh pejabat umum merupakan suatu laporan yang memuat

catatan atau berita acara dari apa yang telah dialami atau disaksikan oleh

Notaris, antara lain apa yang ia lihat, ia dengar atau apa yang dilakukannya.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

4

Akta tersebut disebut juga akta verbal (verbaal acte). Hal ini berarti inisiatif

dari isi akta tersebut tidak datang dari orang yang diberitakan tentang

sesuatu hal di dalam akta yang bersangkutan.4

Akta yang dibuat dihadapan pejabat umum merupakan suatu

laporan mengenai suatu perbuatan dan/atau kejadian selain memuat catatan

tentang apa yang disaksikan dan dialami oleh Notaris, juga memuat apa

yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak yang menghadap Notaris, dan

akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan untuk

itu. Jadi, pejabat umum hanya mendengar apa yang dikehendaki oleh pihak

yang berkepentingan yang menghadap dan menyatakan atau mewujudkan

kehendak tersebut di dalam suatu akta. Dengan kata lain, akta otentik yang

dibuat dihadapan pejabat umum yang juga dapat disebut sebagai akta para

pihak (partij acte) berisikan keterangan dari para pihak sendiri dan

keterangan tersebut diperkuat dengan keterangan notaris dalam kalimat

pembukaan dan penutup akta.5

Dalam Akta Pejabat atau akta verbal, akta tersebut masih sah

sebagai suatu alat pembuktian walaupun satu atau lebih di antara

penghadapnya tidak menandatangani akta tersebut tetapi oleh Notarisnya

disebutkan alasan mereka tidak menandatangani akta tersebut. Berbeda

halnya dengan Akta Pihak, apabila salah satu pihak dalam akta tidak

menandatangani akta tersebut, tentu dapat menimbulkan masalah karena hal

tersebut dapat diartikan bahwa ia sebagai pihak yang tidak menandatangani

akta tersebut tidak menyetujui isi akta yang bersangkutan, kecuali

didasarkan atas alasan yang kuat misalnya tidak dapat menandatangani akta

karena tangannya sakit dan alasan kuat lainnya, namun alasan tersebut tetap

harus dicantumkan dengan jelas oleh Notaris dalam akta tersebut.

Fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta

4 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2004),

h. 41.

5 Ibid., h. 42-44.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

5

sebagai alat pembuktian, dan oleh karenanya akta mempunyai 3 (tiga)

macam kekuatan pembuktian yaitu:6

a. Kekuatan pembuktian luar/lahiriah ( uitwendige bewijskracht ),

yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan agar akta notaris

dapat berlaku sebagai akta otentik.

b. Kekuatan pembuktian formal ( formale bewijskracht ), yaitu

kepastian, bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta

betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-

pihak yang menghadap.

c. Kekuatan pembuktian materiil ( materiele bewijskracht), yaitu

kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta tersebut

merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang

membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku

umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).

Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga menunjukkan bahwa tanpa

adanya kedudukan seorang pejabat umum, maka seseorang tidak

mempunyai wewenang untuk membuat suatu akta otentik. Adapun yang

dimaksud dengan pejabat umum itu sendiri adalah apabila ia diangkat dan

diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang serta kewajiban untuk

melayani publik dalam hal-hal tertentu, dan juga ikut melaksanakan

kewibawaan dari pemerintah. Namun ada perbedaan antara pejabat umum

dengan pegawai negeri yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

tentang pegawai negeri. Antara pegawai negeri dengan pemerintah terdapat

hubungan kedinasan tetapi hal itu tidak berlaku bagi Notaris, meskipun

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah.

Notaris, menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya dalam tesis ini

disebut dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan

bahwa “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang ini.” Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa Notaris

6 R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta:

CV. Rajawali Pers, 1982), h.55.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

6

sebagai Pejabat Umum berwenang untuk membuat suatu akta otentik, yang

dalam menjalankan jabatannya berkewajiban bertindak jujur, saksama,

mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam

perbuatan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a

UUJN. Oleh karena itu, Notaris mengemban kepercayaan dari masyarakat

umum terutama dalam rangka menjalankan jabatannya membuat akta

otentik yang berisi kehendak para pihak yang membuatnya. Kewenangan

membuat akta otentik ini menuntut notaris harus bebas dari segala pengaruh

khususnya pengaruh eksekutif.

Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaar) dan bukan

merupakan pegawai menurut undang-undang/peraturan-peraturan

kepegawaian negeri, ia tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt,

tetapi menerima honorarium dari kliennya berdasarkan peraturan yang

berlaku.7 Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini menunjukkan bahwa notaris

adalah profesi terhormat yang menuntut kualifikasi tersendiri.

Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga

menyiratkan bahwa fungsi utama/pokok seorang notaris yaitu pembuatan

akta-akta otentik yang harus dilakukan oleh atau dihadapan notaris seperti

akta-akta wasiat, perjanjian kawin, kuasa hipotik, pendirian perseroan

terbatas dll. Hal ini sejalan dengan Peraturan Jabatan Notaris 1860 yang

menegaskan bahwa pekerjaan Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke

verrichtingen) dan satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat

akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang memberi wewenang serupa

kepada pejabat lain.

Mengingat tugas yang diembannya sangat berat, notaris dalam

melakukan tugas melaksanakan jabatannya harus dengan penuh tanggung

jawab dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang

meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang,

7 Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1984), h. 45.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

7

etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik.8 Seorang

Notaris dalam menjalankan jabatannya membuat suatu akta terkait erat

dengan kode etik seorang Notaris baik berasal dari UUJN maupun kode etik

organisasi dalam hal ini organisasi Ikatan Notaris Indonesia.

Wewenang umum notaris terbatas pada lapangan hukum perdata

(privaat rechtelijk terrein). Tanpa alasan yang kuat (berdasar) Notaris tidak

boleh menolak melakukan pekerjaan yang bertalian dengan jabatannya dan

diminta untuk melakukannya. Jika notaris mengira adanya alasan kuat untuk

menolaknya, maka ia dapat memberitahukannya secara tertulis kepada

orang yang meminta jasa notaris itu. Jika orang yang bersangkutan tetap

menghendaki jasa notaris itu, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada

dan/atau dengan melalui hakim perdata, dengan mengemukakan surat alasan

penolakan dari notaris yang bersangkutan.9

Dalam pembuatan akta otentik, seorang notaris harus kenal dengan

pihak, lebih sering dikenal dengan istilah penghadap, yang meminta

dibuatkan akta notaris, bahkan kenal itu harus disebutkan dengan tegas

dalam akta. Apabila notaris tidak kenal dengan penghadap, maka tidak

boleh dibuatkan aktanya. Yang dimaksud dengan penghadap itu adalah

mereka yang datang sengaja menghadap kepada notaris.10

Setiap orang dapat mendatangi seorang notaris untuk meminta

dibuatkan suatu akta otentik perihal yang dikehendaki yang bersangkutan,

dan notaris tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan hukum

kepada masyarakat khususnya pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut.

Namun demikian, tidak semua orang dalam kedudukannya selaku subyek

hukum dapat menjadi penghadap dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh

seorang notaris. Hanya subyek hukum yang sudah cakap hukum dan

memang berhak untuk melakukan tindakan hukum sebagaimana yang

dimaksudkan dalam akta tersebutlah yang berhak menjadi seorang

8 C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta:

PT. Pradnya Paramita, 2003), h. 98.

9 Ibid.

10

A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 38.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

8

penghadap. Salah satu hal yang menjadi perhatian penulis adalah bagaimana

jika seorang yang tersangkut perkara pidana baik dalam kedudukannya

sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana melakukan perbuatan hukum

melalui akta notaris.

Pasal 3 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada satu pun

hukuman yang dapat menghilangkan keperdataan seseorang, hal ini

menunjukkan bahwa walaupun seseorang yang terkait perkara pidana tetap

dapat menjalankan hak keperdataannya dalam kehidupan bermasyarakat

namun tentunya tidaklah dapat dilakukan dengan bebas. Lebih lanjut, baik

di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

25 Tahun 2003 tidak diatur secara khusus apakah seseorang yang terkait

perkara korupsi ataupun perkara pencucian uang dapat melakukan perbuatan

hukum atau larangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.

Dalam praktek masih diketemukan adanya kurang kesepahaman

ketika seseorang yang terkait perkara pidana hendak membuat akta otentik

perihal perbuatan hukum yang akan dilakukannya, terutama terkait

keabsahan perbuatan hukum yang dituangkan melalui akta notaris tersebut.

Oleh karenanya tak jarang diketemukan notaris yang sangat berhati-hati dan

bahkan menolak permintaan pihak yang berkepentingan tersebut. Hal

tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan larangan bahwa notaris

tidak boleh menolak untuk membuatkan akta bagi para pihak yang meminta

untuk dibuatkan akta tersebut.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

dapat ditarik identifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keabsahan dan kebatalan suatu perbuatan hukum

yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana melalui

akta notaris?

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

9

2. Bagaimanakah implikasi hukum terhadap keabsahan suatu

perbuatan hukum dan tanggung jawab Notaris dimana salah satu

pihak terkait perkara pidana?

1.3 Metode Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, Penulis memerlukan metode

penelitian yang berguna untuk mempermudah penelitian sehingga akan

mendapatkan suatu hasil penelitian yang jelas serta akurat.

Bentuk penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian yuridis

normatif atau yang lebih dikenal dengan penelitian kepustakaan, dengan

pendekatan yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian yuridis normatif

lebih menekankan pada penggunaan data sekunder yang berupa norma

hukum tertulis atau bahan hukum yang lain. Pendekatan deskriptif analisis

ialah bahwa data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif tanpa

menguji hipotesis, dalam rangka untuk mendapatkan gambaran mengenai

peran notaris serta keabsahan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak

yang terkait perkara pidana.

Penelitian ini juga merupakan penelitian preskriptif yang akan

memberikan jalan keluar dari pokok permasalahan penelitian ini serta

menggunakan tipe penelitian mono-disiplin, dimana Penulis hanya

menggunakan 1 (satu) disiplin ilmu yaitu ilmu hukum.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kasus dengan menggunakan analisa logika Deduktif ke Induktif,

yaitu pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut

prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Aplikasi dari logika

dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut

dengan pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat

digunakan dua jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif dan penalaran

induktif. Namun, dalam penelitian ini yang digunakan adalah penalaran

induktif yang merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus

sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau

pengetahuan baru yang bersifat umum.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

10

Data-data yang Penulis gunakan dalam penulisan tesis ini

bersumber dari data sekunder, yaitu data yang telah dalam keadaan siap

pakai, bentuk dan isinya telah disusun penulis terdahulu dan dapat diperoleh

tanpa terikat waktu dan tempat.11

Penulis memperoleh data langsung

melalui penelusuran kepustakaan atau dokumentasi, di antaranya adalah

Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, peraturan

tertulis lainnya, buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang Penulis

teliti, artikel hukum dan lain sebagainya.

Untuk menunjang penelitian ini, penulis menggunakan bahan

hukum yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat atau yang membuat masyarakat mentaati dan

menghargai hukum seperti peraturan perundang-undangan.

Bahan hukum primer ini sangatlah penting dalam rangka untuk

mendapatkan landasan hukum dari permasalahan penelitian ini.

Bahan hukum primer yang diteliti adalah peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas,

yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan tertulis lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary sources), yaitu bahan-

bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang

berkaitan yang mendukung sumber primer serta

implementasinya dan digunakan untuk melakukan analisis data,

seperti buku karangan R.Soegondo Notodisoerjo yang berjudul

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia-

Press, 2010), h.37.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

11

”Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan”, buku

karangan Komar Andasasmita dengan judul ”Notaris I”, dan

berbagai bahan hukum sekunder lainnya.

c. Bahan Hukum Tersier (tertierary sources), adalah bahan-bahan

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

meliputi buku petunjuk, kamus-kamus hukum, ensiklopedia dan

sebagainya.

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan alat pengumpulan data

yaitu Studi Kepustakaan/Dokumen. Studi kepustakaan yang dimaksud

adalah dengan menelaah asas-asas hukum serta ketentuan-ketentuan yang

termuat dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan pokok permasalahan penelitian ini.

Data-data yang telah diperoleh untuk menunjang penelitian ini

kemudian akan dianalisis dan dipresentasikan secara analisis kualitatif yang

sesuai dengan bentuk penelitian yuridis normatif yang Penulis gunakan

dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan data yang dianalisis bersifat

menyeluruh dan merupakan satu kesatuan (holistic), serta Penulis tidak

menentukan hasil kajian atas penelitian dalam bentuk numerik atau jumlah

melainkan dari analisa. Selain itu, penelitian ini menekankan pada aspek

analisis subyektif peneliti dengan menekankan pada data yang diperoleh,

perspektif komprehensif peneliti dan pendekatan terhadap pokok

permasalahan yang dilakukan oleh peneliti.

Adapun bentuk hasil penelitian ini adalah deskriptif analitis

sekaligus preskriptif analitis. Hasil dari penelitian yang Penulis lakukan

adalah memberikan penilaian umum tentang data yang telah diperoleh

termasuk peraturan perundang-undangan yang terkait. Gambaran umum ini

dapat menjadi acuan untuk memberikan jalan keluar (solusi) dari pokok

permasalahan dalam penelitian ini.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

12

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi dalam 3 (tiga) bab yang mempunyai

hubungan yang terikat satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang

utuh dalam pemahaman permasalahan dan diakhiri dengan suatu simpulan

dan saran. Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Bab 1 yang merupakan bab pendahuluan memuat secara singkat

mengenai latar belakang penelitian khususnya manakala seseorang

yang terkait perkara pidana meminta dibuatkan akta notaris perihal

perbuatan hukum yang dilakukannya. Bab 1 ini juga berisi pokok

permasalahan yang menjadi sasaran penelitian, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

Bab 2 Tinjauan Keabsahan Perbuatan Hukum Yang Dilakukan Oleh

Pihak yang Terkait Perkara Pidana melalui Akta Notaris

Bab 2 ini menguraikan kerangka konseptual dan kerangka teori

termasuk aspek-aspek yuridis untuk menganalisis serta menjawab

permasalahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini, diantaranya

mengenai manusia sebagai subyek hukum, tinjauan umum tentang

perbuatan hukum termasuk salah satu bentuknya adalah mengenai

perjanjian, serta tinjauan umum tentang notaris yang berisi

kewenangan, larangan, daerah jabatan notaris, dan teori lainnya.

Dalam bab ini juga menguraikan hasil penelitian yang telah

dianalisis terutama mengenai keabsahan dan implikasi hukum

perbuatan hukum oleh pihak yang terkait perkara pidana dan

mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya

perihal perbuatan hukum tersebut.

Bab 3 Penutup

Bab 3 yang merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis ini

berisikan beberapa simpulan yang merupakan hasil kristalisasi

antara pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi sebelumnya

dan pembahasan atau analisis atas pertanyaan-pertanyaan tersebut

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

13

yang pada akhirnya akan diperoleh jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan yang diteliti, sebagai hasil penelitian. Salah satunya

adalah meskipun seseorang terkait perkara pidana dan dikenakan

penahanan terhadap dirinya, ia tetap dapat melakukan perbuatan

hukum dan dituangkan dalam suatu akta notaris perihal perbuatan

hukum tersebut, dengan batasan perbuatan hukum yang

dilakukannya tidak mempunyai hubungan/keterkaitan dengan

perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya. Selain itu, bab

ini juga berisikan saran-saran yang pada dasarnya merupakan

usulan atau masukan dari penulis yang sifatnya operasional dan

konkrit, yang dapat diberikan sehubungan dengan permasalahan

yang menjadi objek penelitian ini.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

14

BAB 2

TINJAUAN KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM YANG DILAKUKAN

OLEH PIHAK YANG TERKAIT PERKARA PIDANA MELALUI

AKTA NOTARIS

2.1 Manusia sebagai Subyek Hukum

Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut

hukum, sehingga dapat melakukan suatu perbuatan hukum, seperti

mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan

sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum

dalam sistem hukum Indonesia, ialah individu (orang) dan badan hukum

(perusahaan, organisasi, institusi).

Manusia sebagai pengertian biologis ialah gejala dalam alam,

gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca-indera dan

mempunyai budaya, sedangkan orang sebagai pengertian yuridis ialah gejala

dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian

adalah orang atau person.12

Oleh karena itu, setiap manusia (naturlife

persoon) diakui sebagai subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu

pendukung hak dan kewajiban.

Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama,

golongan, jenis kelamin, umur, ataupun kewarganegaraan seseorang. Hak

dan kewajiban perdata seseorang juga tidak bergantung pula kepada status

sosial seseorang, kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam

masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama di

hadapan hukum.

12

Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, cet. I, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1969), h.68.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

15

Setiap manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau

secara alami, yaitu mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau

meninggal dunia. Apabila ia meninggal dunia maka hak dan kewajibannya

telah berakhir dan akan beralih kepada ahli warisnya. Anak-anak serta balita

pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Pengecualian mulainya

mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 2

yang menyebutkan bahwa anak (bayi) yang masih berada dalam kandungan

seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, dalam hal terdapat

urusan atau kepentingan si anak menghendakinya. Ketentuan ini

menegaskan bahwa hak dan kewajiban si anak baru dianggap ada jika ia

dilahirkan hidup, apabila ia dilahirkan mati maka haknya dianggap tidak

ada, misalnya kepentingan si anak untuk menjadi ahli waris dari orang

tuanya, walaupun ia masih berada dalam kandungan ia dianggap telah

dilahirkan dan oleh karena itu harus diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli

waris. Apabila si anak mati atau meninggal dunia sewaktu dilahirkan, maka

ia dianggap tidak pernah telah ada. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2

KUHPerdata ini sering disebut “rechtsfictie”, dan sangat penting dalam hal

warisan misalnya.

Meskipun setiap orang tidak ada yang dikecualikan adalah sebagai

pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum, tetapi tidak semuanya

cakap atau tidak dapat bertindak sendiri untuk melakukan perbuatan hukum

(rechtsbekwaamheid). Adapun orang-orang yang menurut undang-undang

dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum antara lain:

a. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata

juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut UU

Perkawinan;

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-

orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

16

pemboros, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata

juncto Pasal 433 KUHPerdata;

c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan

perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang

dinyatakan pailit, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330

KUHPerdata juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang yang selanjutnya dalam tesis ini disebut UU Kepailitan.

Menurut KUPerdata, seseorang dikatakan sudah dewasa adalah

saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita, sedangkan

menurut UU Perkawinan, kedewasaan seseorang adalah saat berusia 19

tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita. Lain hal pula menurut hukum

adat, kedewasaan seseorang apabila sudah mampu bekerja atau mencari

nafkah sendiri. Meskipun demikian, acuan yang dipakai pada umumnya

adalah berdasarkan KUHPerdata karena ketentuan ini masih berlaku secara

umum, sedangkan ketentuan lainnya yaitu UU Perkawinan dan hukum adat

hanya berlaku secara khusus.

Orang-orang yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan

hukum diwakili oleh orang tuanya ataupun walinya, sedangkan bagi orang-

orang yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam melakukan

perbuatan hukum diwakili oleh pengampunya (curator).

Yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dengan

subyek hukum yang tidak cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan

tanggung jawab. Subyek hukum yang tidak cakap tidak dapat dikenakan

tanggung jawab secara langsung atas perbuatan hukum yang dilakukannya,

namun tanggung jawab tersebut dikenakan melalui pengampunya. Hal yang

sama berlaku pula untuk subyek hukum yang belum dewasa.

Setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni

pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak setiap orang cakap untuk

melakukan perbuatan hukum. Cakap melakukan perbuatan hukum artinya

subyek hukum tersebut dapat melakukan atau bertindak baik sendiri maupun

bersama orang lain di dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Orang

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

17

yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah

dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-

undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2

(dua) maksud, antara lain pertama adalah maksud yang dilihat dari sudut

keadilan yaitu perlunya orang yang melakukan perbuatan hukum, misalnya

membuat perjanjian, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi/

menyadari secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan

perbuatan tersebut. Kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban

hukum, yaitu bahwa orang yang membuat perjanjian tersebut dengan kata

lain berarti mempertaruhkan kekayaannya.

Pada prinsipnya setiap orang tidak kecuali dapat memiliki dan

melaksanakan hak-hak akan tetapi tidak semua orang dinyatakan cakap di

dalam melaksanakan hak-haknya tersebut. Untuk dapat dikatakan cakap

melakukan perbuatan hukum, subyek hukum tersebut harus memenuhi

beberapa syarat sebagai berikut :

a. Orang tersebut telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah.

b. Orang tersebut mempunyai kewenangan untuk melaksanakan

hak dan kewajiban tersebut, misalnya ia memang berwenang

untuk menjual sebuah barang yang adalah benar miliknya.

c. Orang tersebut harus memiliki jiwa dan akal yang sehat.

Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum

(rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan

hukum (rechtsbevoegheid).13

Dengan demikian, rechtsbekwaamheid adalah

syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus bagi subyek

hukum untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam ketentuan KUHPerdata, kecakapan merupakan salah satu

syarat untuk sahnya suatu perikatan/perjanjian yang berarti bahwa segala

perikatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak cakap dapat dibatalkan

atau diminta pembatalannya melalui hakim. Namun sebaliknya dalam hal

perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), ketidakcakapan seseorang

13

H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,

2006), h. 45.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

18

tidak mempengaruhi timbul atau tidaknya “akibat hukum” dari perbuatan

tersebut.

Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban

dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Hal ini berarti selama

seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak.

Pasal 3 KUHPerdata menyatakan dengan tegas bahwa, “Tiada suatu

hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak

perdata”.

Akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak

tersebut antara lain:14

a. Kewarga-negaraan, misalnya dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut UUPA,

disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang

dapat mempunyai hak milik atas tanah;

b Tempat tinggal, misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1960 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor

41 Tahun 1964 (Tambahan Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e)

juncto Pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan

tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar

kecamatan tempat letak tanahnya;

c. Kedudukan atau jabatan, misalnya hakim dan pejabat hukum

lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih

dalam perkara;

d. Tingkah laku atau perbuatan, misalnya dalam Pasal 49 dan Pasal

53 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut

dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan

kewajibannya sebagai orang tua/wali atau bahkan berkelakukan

buruk sekali.

14

Ibid., h. 43-44.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

19

Disamping itu, Pasal 467 juncto Pasal 468 juncto Pasal 469

KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap telah meninggal dunia

jika hilang atau tidak diketahui dimana ia berada dan tidak ada kepastian

apakah ia masih hidup dalam tenggang waktu setelah lewat 5 (lima) tahun

sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu.

2.2 Tinjauan Umum tentang Perbuatan Hukum

Setiap manusia adalah subyek hukum tidak ada yang dikecualikan,

yang erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa hukum dalam kehidupan

bermasyarakat. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat

hukum yaitu menimbulkan hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum

kepada para pihak yang terlibat dalam peristiwa yang bersangkutan. Hukum

juga mengatur lahir dan hapusnya hak-hak subyektif dan akibat hukum

lainnya dari para pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Peristiwa hukum merupakan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan

yang timbul dari hubungan anggota masyarakat yang oleh hukum diberikan

akibat-akibat hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, antara lain :

a. Perbuatan subyek hukum (manusia dan badan hukum), apabila

akal budi manusia dapat menguasai atau mengaturnya, dengan

kata lain bahwa orang yang bersangkutan mempunyai kekuasaan

untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa seperti itu.

b. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau

“peristiwa hukum yang lain”, terjadi diluar jangkauan manusia

untuk mengatur/menguasainya, dan terjadi tanpa

memperhitungkan kehendak para pihak yang terkait.

Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan

apa saja dalam kehidupannya. Namun demikian tidak semua perbuatan

manusia memperoleh pengaturannya, hanya perbuatan yang dapat

diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang diatur oleh hukum.

Perbuatan subyek hukum dapat pula dibedakan menjadi 2 (dua)

kategori yaitu Perbuatan Hukum dan Perbuatan lain yang bukan perbuatan

hukum. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum yang

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

20

dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban. Suatu

perbuatan merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum

diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh

pelaku yang bersangkutan. Perbuatan hukum dapat kita bedakan menjadi 2

(dua) bagian, yaitu:

a. Perbuatan hukum sepihak yaitu perbuatan hukum yang

dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan

kewajiban pada satu pihak pula misalnya pembuatan surat

wasiat, pengakuan anak, pembebasan hutang dan sebagainya.

Untuk lahirnya/timbulnya akibat hukum yang dikehendaki

tersebut, cukup dengan pernyataan kehendak dari satu orang

tersebut saja.

b. Perbuatan hukum dua pihak, yang lebih dikenal dengan istilah

perjanjian, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua

pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi

kedua belah pihak misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa

menyewa, dan sebagainya. Pada perbuatan hukum dua pihak ini

dibutuhkan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yang

saling bertemu.

Sama halnya dengan perbuatan hukum, perbuatan (manusia) yang

lain dan bukan perbuatan hukum juga dapat dibedakan :

a. Zaakwaarneming, yaitu perbuatan memperhatikan (mengurus)

kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu

untuk memperhatikan kepentingannya. Perbuatan yang

akibatnya diatur oleh hukum, meskipun tidak dikehendaki oleh

pihak yang melakukan perbuatan itu, tetapi perbuatan tersebut

bukanlah perbuatan hukum. Menurut Pasal 1354 KUHPerdata,

pengertian zaakwaarneming adalah mengambil alih tanggung

jawab dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi

untuk mengurus dirinya sendiri. Pasal 1354 KUHPerdata

menyebutkan, ”jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak

mendapat perintah untuk itu, mewakili orang lain dengan atau

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

21

tanpa pengetahuan orang tersebut, maka dia secara diam-diam

telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta

menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili

kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusan tersebut.

Ia diwajibkan pula mengerjakan segala kewajiban yang harus

dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian

kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Sebagai contoh adalah bila

terdapat kasus kecelakaan yang mengakibatkan seseorang luka

parah dan harus dioperasi secepatnya maka dokter harus

mengoperasinya tanpa meminta ijin kepada orang tersebut atau

keluarganya, dan dalam posisi bahwa yang mengurus (dokter)

tidak memiliki hubungan dengan si sakit, namun dokter dengan

niat sendiri mengurus si sakit.

b. Onrechtmatigedaad adalah suatu perbuatan yang bertentangan

dengan hukum. Akibat suatu perbuatan yang bertentangan

dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun akibat itu

memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan

tersebut. Dalam hal ini siapa yang melakukan suatu perbuatan

yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian

yang diderita oleh yang dirugikan karena perbuatan itu. Jadi,

karena suatu perbuatan bertentangan dengan hukum timbullah

suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh

yang dirugikan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1365

KUHPerdata.

Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau

peristiwa hukum lainnya adalah peristiwa hukum yang terjadi dalam

masyarakat yang tidak merupakan akibat dari perbuatan subyek hukum,

misalnya kelahiran seorang bayi, kematian seseorang, atau lewat waktu

(daluarsa).

Setiap perbuatan hukum erat kaitannya dengan hubungan hak dan

kewajiban para pihak yang timbul dari perbuatan tersebut. Hubungan

tersebut merupakan perikatan. Perikatan itu sendiri adalah hubungan hukum

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

22

antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu

(kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban

memenuhi prestasi itu.15

Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat

hubungan hukum, yaitu hubungan antara 2 (dua) subyek hukum atau lebih

dimana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan

kewajiban di pihak yang lain dan kesemuanya diatur oleh hukum. Tiap

hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi yakni : kekuasaan/hak

(bevoegheid) dan kewajiban (plicht). Selain itu, hubungan hukum juga harus

mempunyai dasar hukum yang mengatur hubungan tersebut. Suatu

hubungan hukum memiliki 3 unsur, antara lain:

a. Orang-orang yang berhak/kewajibannya saling berhadapan

b. Obyek terhadap nama hak/kewajiban diatas tadi berlaku

c. Hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau

hubungan terhadap obyek yang bersangkutan.

Tiap perbuatan hukum menimbulkan perikatan bagi pihak yang

melakukan perbuatan tersebut. Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki

pengertian yang lebih luas daripada pengertian perbuatan hukum salah

satunya perjanjian (overeenkomst). Perikatan merupakan suatu hubungan

hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang

lahir baik karena adanya suatu persetujuan (Pasal 1338 KUHPerdata)

maupun karena undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata). Oleh karena itu,

“perikatan” lebih bersifat abstrak, sedangkan perjanjian lebih bersifat

“nyata” atau riil. Hal ini dikarenakan suatu perikatan hanya merupakan

bentuk dari suatu hubungan hukum antara para pihak.

Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa perikatan bersumber

dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari

perjanjian diatur dalam titel II yaitu Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351

KUHPerdata dan titel V sampai dengan titel XVIII yaitu Pasal 1457 sampai

dengan Pasal 1864 Buku III KUHPerdata. Perikatan yang bersumber dari

undang-undang diatur dalam titel III yaitu Pasal 1352 sampai dengan Pasal

1380 Buku III KUHPerdata.

15

H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 196.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

23

Sumber-sumber perikatan dan pembeda-pembedanya dapat

diskemakan sebagai berikut:16

Perikatan

Bersumber dari

(Pasal 1233 KUHPerdata)

Perjanjian Undang-Undang

Pasal 1313 KUHPerdata Pasal 1352 KUHPerdata

Undang-Undang saja Undang-Undang karena

Perbuatan Manusia

Pasal 1353 KUHPerdata

Perbuatan yang sesuai dengan hukum Perbuatan yang melawan

(rechtmatige) hukum (onrechtmatige)

Pasal 1354 KUHPerdata (zaakwaarneming) Pasal 1365 sampai

Pasal 1359 KUHPerdata (onverschuldigde betaling) dengan Pasal

1380 KUHPerdata

Vollmar, Pitlo, H. Drion, dan Meyers dalam ajaran umumnya

menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara

perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari

undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi

sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun

demikian, tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan

Pasal 1233 KUHPerdata itu.17

16

H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 201-202.

17

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 22.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

24

Namun demikian, sumber perikatan yang terpenting adalah

perjanjian, karena dengan melalui perjanjian para pihak mempunyai

kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan bernama

yang tecantum dalam titel V sampai dengan titel XVIII Buku III

KUHPerdata maupun perikatan yang tidak bernama. Hal ini sesuai dengan

asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) sebagai salah satu asas yang

menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang disebutkan pada titel V

sampai dengan titel XVIII sebagai perjanjian bernama, juga menjadi dasar

lembaga-lembaga hukum yang tidak disebutkan di dalam titel-titel itu

sebagai perjanjian yang tidak bernama.18

2.2.1 Perjanjian sebagai Perbuatan Hukum

Perbuatan hukum yang menjadi fokus utama dalam konteks

tesis ini adalah perbuatan hukum dua pihak khususnya perjanjian.

Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan kata lain,

perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata,

baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan secara fisik, dan tidak

hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah

kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil

dan perjanjian riil.19

Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh

para pihak secara lisan, melalui ucapan saja dengan segera telah

mengikat para pihak.20

Agak berbeda dari perjanjian konsensuil,

dalam perjanjian formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-

mata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban

yang mengikat di antara mereka, sebagai contoh dalam perjanjian

18

H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 203.

19

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,

(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 7-8.

20

Ibid.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

25

mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1682 KUHPerdata, yaitu

mengenai formalitas yang harus dipenuhi yaitu hibah dibuat dengan

akta notaris agar hibah menjadi sah dan mengikat bagi para pihak,

serta adanya ancaman batal jika formalitas tersebut tidak dipenuhi.

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian riil adalah suatu

perjanjian yang baru melahirkan perikatan atau kewajiban setelah

adanya perbuatan nyata, misalnya perbuatan nyata dari Penerima

Hibah yaitu dalam bentuk pernyataan kesediaannya untuk menerima

hibah secara tertulis semasa Pemberi Hibah masih hidup

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1683 KUHPerdata. Contoh

lain perjanjian riil ialah penitipan barang yang sejati, diatur dalam

Pasal 1697 KUHPerdata, yaitu tidak akan terlaksana sebelum

dilakukan penyerahan barangnya secara nyata atau secara

dipersangkakan.

Selain itu, perjanjian dapat dibedakan lagi menjadi perjanjian

sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah

perjanjian, dimana – sebagai akibat hukumnya – di satu pihak ada

hak (saja) dan di lain pihak ada (kewajiban) saja.21

Namun tentu saja

karena ia merupakan perjanjian maka paling sedikit harus ada 2

(dua) pihak yang saling berhadapan satu sama lain dan saling

memberikan persetujuannya. Contohnya adalah pemberian hadiah

sesuatu benda (hibah), yang diatur dalam Pasal 1666 KUHPerdata,

yang menimbulkan kewajiban bagi pemberi hibah untuk

menyerahkan benda hibah dan menimbulkan hak untuk menuntut

penyerahan benda tersebut bagi penerima hibah.

Pada perjanjian timbal balik, hak dan kewajiban yang muncul

sebagai akibat hukumnya, ada pada kedua belah pihak.22

Sebagai

contoh adalah jual beli (Pasal 1457 KUHPerdata), tukar-menukar,

sewa menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata). Munculnya hak dan

kewajiban sebagai akibat hukum ditutupnya perjanjian tersebut.

21

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999),

h.49. 22

Ibid.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

26

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya 3

(tiga) unsur dalam perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas

kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata

dan Pasal 1339 KUHPerdata, antara lain:23

a. Unsur esensialia, yang mewakili ketentuan-ketentuan berupa

prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih

pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang

membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.

Unsur ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan

rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Misalnya

perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata

dibedakan dari perjanjian tukar menukar yang diatur dalam Pasal

1541 KUHPerdata. Tanpa keberadaan unsur ini, maka perjanjian

yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para

pihak dapat menjadi berbeda dan karenanya menjadi tidak sejalan

dan sesuai dengan kehendak para pihak.

b. Unsur naturalia, adalah unsur yang pasti ada dalam suatu

perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara

pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur

esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa

kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual

dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat

disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli

menghendaki hal yang demikian. Hal tersebut sejalan dengan

Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-

perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan didalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan

atau undang-undang”.

c. Unsur aksidentalia, adalah unsur pelengkap dalam suatu

perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h.84-90.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

27

diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan

kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang

ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Unsur ini pada

hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus

dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual

beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan

kebendaan yang dijual atau dibeli.

2.2.2 Asas-asas dalam Hukum Perjanjian

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yang harus

diperhatikan bagi para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini

penting untuk menjadi pegangan dalam proses dan pelaksanaan

perjanjian serta jika di kemudian hari terdapat permasalahan hukum

berkaitan dengan perjanjian yang dibuat tersebut. Beberapa asas

dalam hukum perjanjian yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij autonomie) atau

lebih dikenal dengan istilah Asas Kebebasan Berkontrak

Sistem hukum perjanjian bersifat terbuka, maka pada

waktu perjanjian yang berlaku tidak hanya pada Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dan/atau Hukum Adat saja, tetapi berlaku

pula nilai-nilai hukum lainnya yang hidup di masyarakat sesuai

dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dan/atau larangan

penyalahgunaan keadaan/kesempatan dan/atau larangan

penyalahgunaan ekonomi yang berlaku secara berdampingan

menjadi satu kesatuan.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang

menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat

kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

umum.24

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang

membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk

24

R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. VI., (Jakarta: Intermasa, 1979), h. 13.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

28

menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang

melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi

atau kewajiban pada salah satu pihak tersebut bukanlah sesuatu

yang terlarang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1337

KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah

terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila

berlawanan dengan kesusilaan baik ataupun ketertiban umum.

Selain itu, asas ini juga sejalan dengan asas Pacta Sunt

Servanda yaitu bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku

sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan.

Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak

para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah

disepakati atau disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh

para pihak sebagaimana yang telah dikehendaki oleh mereka.

Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak

melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk

memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur

hukum yang berlaku.25

Dalam hukum perdata, asas kebebasan berkontrak yang

dianut Buku III KUHPerdata ini merupakan sistem (materiil)

terbuka sebagai lawan sistem (materiil) tertutup yang dianut Buku

II KUHPerdata (Hukum Benda).26

Hal ini berarti bahwa dengan

kebebasan membuat perjanjian tersebut, para pihak diberi

kesempatan untuk membuat klausula-klausula yang menyimpang

dari ketentuan Buku III KUHPerdata, yang selanjutnya untuk

diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata. Namun demikian, kebebasan berkontrak ini bukan

berarti tiap orang boleh membuat kontrak (perjanjian) secara

25

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 59.

26

Ibid.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

29

bebas tidak terbatas, tetapi kontrak (perjanjian) tersebut juga

harus tetap dibuat dengan memperhatikan syarat-syarat untuk

sahnya suatu perjanjian, baik syarat umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata maupun syarat khusus

untuk perjanjian-perjanjian tertentu. Ketentuan yang dapat

disimpangi adalah ketentuan yang bersifat optional atau pilihan,

sedangkan ketentuan yang bersifat memaksa tidak dapat

disimpangi atau dilanggar oleh para pihak.

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan

individu yang merupakan pancaran hak asasi manusia, sehingga

yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa kebebasan individu

memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum

perjanjian Indonesia, menegaskan adanya asas kebebasan

berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat

perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang

tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya, khususnya

untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju

mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak

mengikatkan diri pada perjanjian. Sepakat yang diberikan dengan

paksa dikenal dengan istilah Contradictio interminis. Adanya

paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin

dilakukan oleh pihak lain, dan dapat berakibat transaksi yang

diinginkan menjadi tidak terlaksana.

Dengan adanya kebebasan berkontrak, kedudukan pasal-

pasal pada titel V sampai dengan titel XVIII Buku III

KUHPerdata banyak yang hanya bersifat sebagai hukum

pelengkap (aanvullens recht) saja, yaitu pasal-pasal tersebut boleh

dikesampingkan penggunaannya sekiranya para pihak pembuat

perjanjian menghendakinya. Selain itu, para pihak pembuat

perjanjian juga diperbolehkan menciptakan ketentuan sendiri

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

30

yang mengatur kepentingan-kepentingan mereka sesuai dengan

apa yang mereka kehendaki dan sepakati bersama. Pasal-pasal

yang bersifat sebagai hukum pelengkap tersebut baru mengikat

terhadap para pihak pembuat perjanjian, jika mereka tidak

mengatur sendiri kepentingannya dalam perjanjian yang

dimaksud ataupun mengaturnya dalam perjanjian tetapi tidak

lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu

diberlakukan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Dengan kata lain,

hukum yang bersifat sebagai hukum pelengkap akan menambah

kekosongan yang ada dalam perjanjian, terutama mengenai suatu

hal tertentu yang tidak diberikan pengaturannya oleh para pihak

yang bersangkutan.

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi

perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan

“siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai

dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan

mengikat. Undang-undang sendiri tidak memberikan patokan

yang pasti untuk menetapkan mana undang-undang yang bersifat

memaksa dan mana undang-undang yang bersifat menambah.

Pada umumnya orang menafsirkan dari bunyi ketentuan yang

bersangkutan, dihubungkan dengan tuntutan masyarakat.27

Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, perjanjian-

perjanjian dengan sebutan perjanjian bernama itu hanyalah

sebagai contoh belaka. Oleh karena itu, tiap orang boleh membuat

perjanjian yang lain daripada perjanjian bernama dalam

KUHPerdata atau bahkan membuatnya secara sama dengan salah

satu daripadanya sesuai dengan kebutuhan para pihak pembuat

perjanjian.

Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan

berkontrak, Asikin Kusuma Atmaja dalam makalahnya

menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti

27

J. Satrio, Op.cit, h.37.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

31

isi suatu kontrak, apabila diperlukan, karena isi dan pelaksanaan

suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.28

Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak yang terdapat

dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak lagi bersifat absolut, yang

berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran

hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa

kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam

keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah

satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.

Lebih lanjut, Asikin Kusuma Atmaja mengatakan bahwa

kebebasan berkontrak yang murni/mutlak, khususnya mengenai

kedudukan seimbang sepenuhnya para pihak, praktis tidak ada,

karena dalam prakteknya selalu ada pihak yang lebih lemah dari

pihak yang lainnya. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita

lama yang mengandung moral, yang ada kaitannya dengan

tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin

dan mempunyai hutang yang besar, karena meminjam uang untuk

menyekolahkan anak gadis tersebut. Apabila hutangnya tidak

segera dibayar, maka satu-satunya harta berupa rumah dan

pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai

kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan

orang tua gadis tersebut, bahwa hutang akan dilunasi asal gadis

tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong tersebut,

sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan.

Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan

orang tua yang miskin tersebut. Dalam hal ini terkandung nilai

moral bahwa janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan

atau jangan menyalahgunakan kesempatan.29

28

R.Z, Asikin Kusuma Atmaja, Pembatasan Renternir Sebagai perwujudan pemerataan

keadilan, Varia Keadilan, Vol. II, Tahun 1987.

29

Ibid.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

32

Dalam ilmu hukum, moral di atas disebut misbruik van

omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau

penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat

digunakan sebagai kategori cacat terutama dalam menentukan

kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan

alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian

yang tidak diatur dalam undang-undang, serta merupakan suatu

konstruksi yang dapat dikembangkan melalui yurisprudensi.

Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi

penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap

sebagai faktor yang membatasi dan/atau yang mengganggu

adanya kehendak yang bebas, untuk menentukan persetujuan

antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat

disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi pada salah satu

pihak, yang dapat menggangu keseimbangan antara kedua belah

pihak, sehingga tidak adanya kehendak yang bebas untuk

memberikan persetujuan yang dengan kata lain telah terjadi cacat

kehendak. Menurut Asikin Kusuma Atmaja, yang penting ialah

menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim

untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan

sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan, sehingga

mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi

kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan

persetujuan. Di sini terletak wewenang hakim untuk

menggunakan interpretasi, sebagai sarana hukum untuk

melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang.30

Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi, tentang

adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk

dipertimbangkan oleh hakim. Apabila umpamanya ternyata ada

syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk

akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan

30

Ibid.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

33

perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un

faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti

faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal, tidak patut, atau

tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitu pula apabila tampak

atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang

positie), maka hakim wajib meneliti apakah terjadi

penyalahgunaan ekonomis. Selanjutnya juga apabila terdapat

keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali

mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan,

yang dapat disebut sebagai keadaan dimana nilai dan hasil

perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan

dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Dalam hal tersebut,

hakim wajib meneliti apakah terjadi penyalahgunaan kekuasaan

ekonomis atau tidak. Dengan demikian, maka jelas bahwa asas

kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas,

akan tetapi terbatas oleh tanggung jawab para pihak, dan dibatasi

oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.

Selain itu, meskipun KUHPerdata Indonesia telah

mengakomodir kebebasan bagi seluruh subyek hukum untuk

membuat perjanjian/kontrak, namun kebebasan tersebut tidaklah

mutlak melainkan tetap terdapat beberapa batasan-batasan

terutama dalam kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian/

kontrak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata.

Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini

semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu dari segi

kepentingan umum, dari segi perjanjian baku (standard) dan dari

segi perjanjian dengan pemerintah.

b. Asas konsensualisme

Hukum perjanjian menganut asas konsensualisme yang

berarti bahwa perjanjian sudah mengikat para pihak yang

membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

34

hal yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian sudah sah

dan mengikat para pihak tanpa perlu suatu formalitas atau

perbuatan tertentu.31

Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata mengandung arti adanya “kemauan” (will) para

pihak untuk saling berpartisipasi, dan adanya kemauan untuk

saling mengikatkan diri satu sama lain.

Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)

bahwa perjanjian itu dipenuhi. Kepercayaan ini merupakan nilai

etis yang bersumber pada moral. Menurut Eggens, manusia

terhormat akan memelihara janjinya. Grotius juga mencari dasar

konsesus itu dalam Hukum Kodrat. Ia mengatakan bahwa pacta

sunt servanda yang berarti bahwa janji itu mengikat, dan

promissorum implendorum obligatio yang berarti bahwa kita

harus memenuhi janji kita.32

Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat

dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas

kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1

KUHPerdata, yang berbunyi bahwa “semua persetujuan yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.” Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa

setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya

(will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.

c. Asas personalia

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan

Pasal 1315 KUHPerdata, yang berbunyi “pada umumnya tak

seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau

31

Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata

(Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), h. 145.

32

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang

Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2005), h. 109.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

35

meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.33

Dari ketentuan tersebut, pada dasarnya suatu perjanjian yang

dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu,

subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk

dirinya sendiri.

Ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata juga menunjuk pada

kewenangan bertindak dari seseorang sebagai individu pribadi

khususnya sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang

memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya

sendiri dalam rangka membuat atau mengadakan perjanjian.

Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang

cakap bertindak dalam hukum, maka setiap perbuatan yang

dilakukannya sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, akan

mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan akan

mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilikinya secara pribadi,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

d. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa

satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan

memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya

kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan

oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak

mengikatkan dirinya dan untuk keduanya tersebut perjanjian itu

mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

e. Asas kekuatan mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan

mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak

semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi

juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 14-15.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

36

kebiasaan, kepatutan dan moral yang juga akan mengikat para

pihak.

f. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan

derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit,

bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan perbedaan lainnya.

Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan

mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain

sebagai manusia ciptaan Tuhan.

g. Asas keseimbangan

Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan

hukum dan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan

melaksanakan perjanjian yang dibuatnya. Kreditor mempunyai

kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat

menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun

kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu

dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan

kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditor dan

debitor menjadi seimbang.

h. Asas kepastian hukum

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah

mengandung kepastian hukum yang terungkap dari kekuatan

mengikat perjanjian tersebut yaitu sebagai undang-undang bagi

para pihak yang membuatnya.

i. Asas moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu

perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak

baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitor. Asas

ini juga terlihat dalam zaakwaarneming, yaitu ketika seseorang

yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang

bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

37

dan menyelesaikan perbuatannya. Dengan kata lain, faktor-faktor

yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan

perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral),

sebagai panggilan dari hati nuraninya.

j. Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas

ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut

Mariam Darus Badrulzaman, asas kepatutan ini harus

dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan

ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.34

k. Asas kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 juncto Pasal 1347

KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian.

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara

tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan

kebiasaan yang lazim diikuti.

Berdasarkan Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUHPerdata,

dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian antara

lain :

1) isi perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang dinyatakan

secara tegas oleh kedua pihak mengenai hak dan

kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut;

2) kepatutan;

3) kebiasaan; dan

4) undang-undang.

2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian

Tiap orang sebagai subyek hukum dan cakap untuk melakukan

perbuatan hukum dapat membuat perjanjian secara bebas untuk

menentukan atau menetapkan isi dan macamnya perjanjian yang

dimaksud, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan

34

Ibid., h. 115.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

38

undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dengan kata

lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas

dan tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk

dalam hal harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu

perjanjian.

Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata antara lain:

a. Syarat Subyektif, meliputi :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

b. Syarat Objektif, meliputi :

1) Suatu hal tertentu;

2) Suatu sebab yang halal

Syarat subyektif dan syarat objektif tersebut memiliki akibat

hukum yang berbeda jika syarat tersebut tidak terpenuhi dalam suatu

perjanjian. Apabila syarat subyektif yang erat kaitannya dengan para

pihak (subyek) yang mengadakan perjanjian tidak terpenuhi, maka

perjanjian yang dibuat tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas

permintaan pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan

kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan

perjanjian ini dibatasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUHPerdata. Selama tidak

dibatalkan meskipun syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian

tersebut tetap mengikat.

Apabila syarat objektif yang erat kaitannya dengan objek

perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi

hukum. Hal ini berarti bahwa sejak semula tidak pernah dilahirkan

suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan, sehingga tidak ada

dasar untuk saling menuntut di muka pengadilan. Jika perjanjian

batal maka prestasi atau obyek perjanjian yang sudah dilakukan oleh

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

39

salah satu pihak harus dikembalikan sehingga kembali ke dalam

keadaan semula.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna

bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau kedua

pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan terdapat

persesuaian kehendak di antara keduanya atau saling menyetujui

kehendak masing-masing pihak yang dilahirkan oleh para pihak

dengan tidak ada unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan. Paksaan

(dwang), kekeliruan (dwaling), dan penipuan (bedrog) merupakan

tiga hal yang mengakibatkan kesepakatan menjadi tidak sempurna,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata sampai dengan

Pasal 1328 KUHPerdata.

Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada sepakat

yang sah apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan ataupun penipuan. Pasal 1322

KUHPerdata mengenal adanya 2 (dua) macam kekhilafan

(kesesatan) yaitu kesesatan mengenai orangnya dinamakan error in

persona dan kesesatan mengenai hakekat barang yang diperjanjikan

dinamakan error in substantia.35

Pasal 1323 dan Pasal 1324 KUHPerdata mengatur bahwa yang

dimaksud dengan paksaan bukanlah paksaan dalam arti yang absolut,

sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak terjadi,

misalnya jika seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang

yang lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan di bawah

sebuah perjanjian. Yang dimaksud dengan paksaan dalam

pembuatan perjanjian adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan

membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang

menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat

perjanjian. Paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu

ketakutan bagi yang menerima paksaan.36

35

Ibid., h. 100.

36

Ibid., h. 101.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

40

Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian dapat

dinyatakan baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pengertian

sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui

(overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan

pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte), sedangkan

pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi

(acceptatie).37

Terdapat empat teori yang mencoba memberikan

penyelesaian mengenai kapan kesepakatan itu terjadi, antara lain:

a. Uitings theorie (teori saat melahirkan kemauan).

Menurut teori ini, perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah

dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini

dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai

menulis surat penerimaan.

b. Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan).

Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan

dikirimkan kepada si penawar.

c. Ontvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan).

Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat

penerimaan sampai di alamat si penawar.

d. Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan).

Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah

membuka dan membaca surat penerimaan itu.

R. Subekti menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim

dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat

dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) menerima yang

termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap

sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak

membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ia

37

Ibid., h. 98.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

41

dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam

waktu yang sesingkat-singkatnya.38

Syarat subyektif yang kedua adalah cakap untuk membuat

suatu perjanjian. Pasal 1329 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap

orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh

undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat

melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa,

sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-

undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dan hal ini

terkait erat dengan Bab II KUHPerdata mengenai Hukum Orang.

Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu

bahwa orang yang membuat perjanjian, yang nantinya akan terikat

oleh perjanjian yang dibuatnya itu, harus benar-benar mempunyai

kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal

dipikulnya karena perbuatannya itu.39

Lain halnya bila dilihat dari

sudut ketertiban umum, karena orang yang membuat perjanjian itu

mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang

tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta

kekayaannya.40

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang

menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata

barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu,

setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya

tidak perlu ditentukan, asalkan dapat ditentukan atau diperhitungkan

di kemudian hari. Selain itu, barang-barang yang baru akan ada di

kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian,

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata.

Namun, Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata menegaskan bahwa

38

R. Subekti, Op.cit., h. 29-30.

39

Ibid., h. 18-19.

40

Achmad Ichsan, Op.cit., h. 126.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

42

barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang dilarang

dijadikan objek suatu perjanjian, meskipun perjanjian tersebut telah

disepakati oleh orang yang akan meninggal dunia dan akan

meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini

karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai objek

perjanjian bertentangan dengan kesusilaan.41

Lain halnya jika barang

yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon

isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon

suami atau calon isteri, ini diperkenankan.42

Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa barang-barang

yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang yang

dapat diperdagangkan. Barang-barang yang dipergunakan untuk

kepentingan umum seperti jalan umum, pelabuhan, dan sebagainya

tidak dapat dijadikan objek perjanjian karena dianggap sebagai

barang-barang di luar perdagangan.

Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya

suatu sebab yag halal yang diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang

telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan. Dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para

ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab tersebut

adalah sebagai berikut :43

a. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab

dalam pengertian Ilmu Pengetahuan Hukum yang berbeda dengan

pengertian Ilmu Pengetahuan lainnya.

b. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang

mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu) karena motif

adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.

41

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, cet. VII, (Bandung: Sumur

Bandung, 1973), h. 22-23.

42

H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 210.

43

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., h. 35.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

43

c. Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari Bahasa Belanda

yaitu oorzaak atau causa dalam Bahasa Latin yang menurut

riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam

perjanjian adalah tujuan yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua

pihak dengan mengadakan perjanjian. Dengan perkataan lain

sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.

d. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam

Pasal 1335 KUHPerdata adalah suatu kemungkinan yang tidak

akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat

yang harus diisi.

Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan “sebab”

(causa) adalah isi atau maksud dari perjanjian. Syarat ini merupakan

upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan

Hakim.44

Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu

dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian bertentangan atau tidak

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Selain itu,

hakim mempunyai wewenang untuk mengawasi pelaksanaan

perjanjian supaya tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan

perjanjian dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip itikad baik,

sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Pasal

1335 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat dengan

sebab yang dilarang undang-undang atau berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum tidak mempunyai kekuatan.

Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian ini merupakan

syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh para pihak pembuat

perjanjian guna melindungi kepentingan para pihak yang

bersangkutan sendiri dan melindungi kepentingan pihak ketiga

dalam hal ini adalah masyarakat.

Suatu perjanjian yang dibuat secara sah, adalah perjanjian yang

mengikat dan akibat hukum dari adanya perikatan adalah para pihak

44

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., h. 106.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

44

yang membuat perjanjian menjadi terikat pada isi perjanjian dan juga

kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang, hal ini diatur dalam Pasal

1338, Pasal 1339 jo Pasal 1340 KUHPerdata.

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith),

hal ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Itikad baik

sangat erat kaitannya dengan kepatutan atau keadilan dan ukuran

itikad baik ini harus ada pada para pihak. Menurut Yurisprudensi

(Arres HR 9 Februari 1923), unsur-unsur itikad baik dan kepatutan

itu ada bila tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal,

sedangkan pendapat para ahli lainnya yang menganggap itikad baik

dapat juga diterjemahkan atau diartikan sebagai kejujuran.45

Dalam Pasal 1339 KUHPerdata, menyatakan bahwa perjanjian

tidak dapat mengikat untuk hal yang dengan tegas dinyatakan

didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-

undang. Atas dasar unsur-unsur pada Pasal 1339 KUHPerdata dapat

diketahui hal-hal yang mengikat para pihak perjanjian antara lain :

a. Isi dari perjanjian itu sendiri;

b. Kepatutan;

c. Kebiasaan; dan

d. Undang-undang.

2.2.4 Akibat Hukum Suatu Perjanjian

2.2.4.1 Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang

membuatnya

Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan

kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut

undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal

1338 KUHPerdata mengandung suatu asas yang dikenal dengan asas

45

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan,1993), h. 119-120.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

45

partij autonomie, yaitu semua orang mempunyai kebebasan

(otonomi) untuk membuat perjanjian diantaranya. Selain itu istilah

“secara sah” dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengandung makna

bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua

perjanjian/persetujuan yang dibuat menurut hukum atau dibuat

secara sah sesuai Pasal 1320 KUHPerdata adalah mengikat pihak-

pihak sebagai undang-undang. Hal ini mengandung adanya asas

kepastian hukum dalam hukum perjanjian.

Oleh karena itu, dapat diuraikan adanya 3 (tiga) unsur akibat

suatu perjanjian itu sah yaitu :

a. Berlaku sebagai undang-undang

Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa

perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para

pihak yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa perjanjian

mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi

kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya, dan para

pihak harus mentaati perjanjian itu sama halnya dengan mentaati

undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang

mereka buat, ia dianggap sama melanggar undang-undang,

sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi

siapa yang melanggar perjanjian, ia dapat dituntut dan diberi

hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang

(perjanjian).

b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Oleh karena perjanjian merupakan persetujuan kedua belah

pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah

wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak pula, tetapi apabila

ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat

ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

c. Pelaksanaan dengan itikad baik (good faith)

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

46

dalam perjanjian mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga

dalam pelaksanaan perjanjian disyaratkan dilaksanakan dengan

itikad baik.

Pasal 1338 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk

menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan, apakah

pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar,

dengan melihat arti kepatutan yang mengandung arti kepantasan,

kelayakan, kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan, artinya

kesopanan dan keadaban. Dari arti kata-kata ini dapat

digambarkan, kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai

yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab”

sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak

yang berjanji.46

Itikad baik ini juga menegaskan bahwa suatu perjanjian

yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian

tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan baik

kepentingan debitor dan kreditor maupun pihak ketiga lainnya di

luar perjanjian. Oleh karena itu, itikad baik harus selalu ada pada

setiap pihak yang melakukan transaksi.

2.2.4.2 Kebatalan dalam Perjanjian

Dalam perjanjian konsensuil, keabsahannya ditentukan oleh

terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-

undang, dalam hal ini Pasal 1320 KUHPerdata. Jika suatu perjanjian

yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih

persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka

perjanjian terancam batal.

Adapun kebatalan dalam perjanjian dapat dikategorikan

menjadi 2 (dua) yaitu berdasarkan alasan kebatalannya dan

46

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2000), h. 235.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

47

berdasarkan sifat kebatalannya. Kebatalan yang berdasarkan alasan

kebatalannya dapat dibedakan antara lain: 47

a. Perjanjian yang dapat dibatalkan

Suatu perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika

perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-

pihak tertentu tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi

meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar

para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini

pembatalan tersebut dapat terjadi, baik sebelum maupun setelah

perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan.

Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan manakala

tidak terpenuhinya syarat subyektif sahnya perjanjian, antara lain:

1) tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang

membuat perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan,

paksaan ataupun penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal

1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata.

2) salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak

dalam hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 sampai

dengan Pasal 1331 KUHPerdata dan atau tidak memiliki

kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan

hukum tertentu.

b. Perjanjian yang batal demi hukum

Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, dalam

pengertian tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi

pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perjanjian.

Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek

dalam perjanjian ini dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan

Pasal 1334 KUHPerdata. Tanpa adanya suatu obyek dalam

perjanjian maka jelas perjanjian tidak pernah ada dan karenanya

tidak pernah pula menerbitkan perikatan di antara para pihak.

Selanjutnya diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336

47

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., h. 182-183.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

48

KUHPerdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal,

yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak

berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam

hal ini yang terpenting adalah pelaksanaan prestasi yang

dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian,

karena suatu causa yang halal tidaklah mudah ditemukan

rumusnya dalam suatu perjanjian.

Disamping ketidakpemenuhan syarat obyektif sahnya

perjanjian, undang-undang juga merumuskan secara konkrit untuk

tiap-tiap perbuatan hukum, terutama pada perjanjian formil, yang

mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi maka

perjanjian tersebut akan batal demi hukum, dengan pengertian

bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan

tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.48

Sebagai contoh adalah

Pasal 1687 KUHPerdata yang menegaskan bahwa hibah harus

dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman batal jika hibah

tersebut tidak dibuat dengan akta notaris.

Kebatalan yang berdasarkan sifat kebatalannya juga dapat

dibedakan ke dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Suatu

kebatalan disebut dengan relatif, jika kebatalan tersebut hanya

berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja, dan disebut

juga dengan mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap

seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Suatu perjanjian yang

dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atapun mutlak, meskipun

tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.49

Di samping pemberlakuan kebatalan tersebut di atas,

KUHPerdata juga mengatur ketentuan mengenai pengecualian

pemberlakuan kebatalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1341 ayat

(2) KUHPerdata, yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah

48

Ibid.

49

Ibid., h. 184.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

49

diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi

pokok perjanjian yang batal tersebut.

2.3 Tinjauan Umum tentang Notaris

Sebelum adanya ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengertian Notaris diatur

dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Stb.1860:3), yang berbunyi

sebagai berikut :

“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh

yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu

akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya,

memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang

pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Notaris

adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut.

Dalam Pasal 1 tersebut terdapat hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan

dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum

(openbaar ambtenaar), dimana kewenangannya atau kewajibannya yang

utama ialah membuat akta-akta otentik.50

Bila rumusan pengertian Notaris dalam Peraturan Jabatan Notaris

(untuk selanjutnya dalam tesis ini disebut PJN) dibandingkan dengan

rumusan pengertian Notaris pada UUJN, rumusan UUJN sedikit berbeda

dibandingkan dengan PJN, namun keduanya masih memiliki esensi yang

sama tentang Notaris, yakni sebagai pejabat umum yang berwenang

membuat akta.

Terminologi wewenang (bevoegd) dalam PJN dan UUJN

diperlukan karena berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa :

50

R. Soegondo Notodisoeryo, Op.cit., h. 42.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

50

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat

umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”

Sebagai pelaksanaan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, pembuat undang-

undang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk

para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Oleh

karena itu, para Notaris ditunjuk sebagai pejabat yang demikian tersebut

berdasarkan PJN dan UUJN.51

Pengertian Notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang

berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam

UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dalam rumusan PJN

dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa untuk membuat akta otentik,

seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum“, dan

Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak

turut pejabat lainnya. Semua pejabat lain hanya berwenang tidak lebih

daripada pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada

mereka oleh undang-undang. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam

peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan

adanya akta otentik maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta

Notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan yang ada yang

menyatakan dengan tegas bahwa selain dari Notaris, juga pejabat umum

lainnya turut berwenang atau sebagai satu-satunya yang berwenang untuk

itu.52

Dalam UUJN, terminologi satu-satunya (uitsluitend) tidak lagi

dicantumkan. Meskipun demikian pengertian Notaris tidak berubah secara

radikal. Hal ini dikarenakan terminologi uitsluitend telah tercakup dalam

penjelasan UUJN yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum

51

Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika,

(Yogyakarta : UII Press, 2009), h. 14.

52

G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 34.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

51

yang berwenang membuat akta otentik tertentu, tidak dikhususkan bagi

pejabat umum lainnya.53

Menurut Muchlis Patahna, Notaris adalah lembaga atau organ

negara yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik dan

menyimpannya sebagai dokumen atau arsip negara.54

Menurut Paulus Effendi Lotulung, pengertian jabatan dan profesi

itu berbeda. Kehadiran lembaga Notariat merupakan Beleidsregel dari

Negara dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris. Dengan kata lain, Jabatan Notaris sengaja diciptakan Negara

sebagai implementasi dari Negara dalam memberikan pelayanan kepada

rakyat, khususnya dalam pembuatan alat bukti otentik yang diakui oleh

Negara, sedangkan profesi lahir sebagai hasil interaksi diantara sesama

anggota masyarakat, yang lahir dan dikembangkan dan diciptakan oleh

masyarakat sendiri. 55

Pekerjaan yang dilimpahkan kepada seorang Notaris adalah sesuatu

yang demikian berharga, sehingga harus dilaksanakan dengan sebaik-

baiknya. Seorang notaris harus menjunjung tinggi tugas tersebut serta

melaksanakan dengan tepat dan jujur serta bertindak menurut kebenaran

sesuai dengan sumpah jabatan notaris, karena pekerjaan notaris tersebut

harus dapat dipertanggungjawabkan dan juga notaris sebagai pejabat umum

yang terpercaya yang akta-aktanya harus menjadi alat bukti yang sempurna

apabila terjadi sengketa hukum di muka pengadilan.

Notaris sebagai jabatan wajib bertindak profesional, baik

profesional dalam pikiran maupun profesional dalam tindakan, dalam

melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan standar jabatan yang diatur

dalam UUJN, yaitu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada

masyarakat. Perlu juga dipahami bahwa yang profesional bukan hanya harus

53

Ghofur, Op.cit., h. 15.

54

Muchlis Patahna dan Joko Purwanto, Notaris Bicara Soal Kenegaraan, (Jakarta:

Watampone Press, 2003), h. 262.

55

Paulus Effendi Lotulung, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum

Dalam Menjalankan Tugasnya,” (makalah disampaikan pada Kongres dan Upgrading-Refreshing

Course Ikatan Notaris Inonesia, Bandung, 23 Januari 2003), h. 2.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

52

dilakukan oleh suatu profesi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa Notaris di Indonesia adalah suatu jabatan, bukan

merupakan suatu profesi.

Menurut Habib Adjie, jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya

dikehendaki oleh suatu aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan

melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat

otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar

seperti ini, mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai

semangat untuk melayani masyarakat. Atas pelayanan tersebut, masyarakat

yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya,

dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu, Notaris

tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. Dengan

demikian, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai

karakteristik, yaitu:56

a. Sebagai jabatan.

UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan

Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk

undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia,

sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus

mengacu kepada UUJN.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada

aturan hukumnya, sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan

dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan

lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris)

melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah

ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar

wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam pasal

15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.

56

Habib Adjie, Op.cit.,h. 15.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

53

c. Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan

diberhentikan oleh Menteri, dalam hal ini Menteri yang

membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris

meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan)

yang mengangkatnya yaitu Menteri.

Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :

a. Bersifat mandiri (autonomous);

b. Tidak memihak siapa pun (impartial);

c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti

dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh

pihak yang mengangkatnya ataupun oleh pihak lain.

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya

meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah.

Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah

dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma

untuk mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

yang memerlukan dokumen hukum berupa akta otentik dalam

bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung

jawab untuk melayani masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat

dapat menggugat Notaris secara perdata dan menuntut biaya,

ganti rugi dan bunga, jika ternyata akta tersebut dapat

dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang

berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada

masyarakat.

Selain dari sifat-sifat yang disebutkan di atas sebagai Pejabat

Umum yang diangkat oleh Pemerintah, dalam diri Notaris juga melekat

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

54

asas-asas Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang dikenal dengan asas-asas

sebagai berikut:57

a. Asas Persamaan;

Notaris tidak boleh membeda-bedakan masyarakat yang

meminta untuk dibuatkan akta berdasarkan status sosial dan

status lainnya.

b. Asas kepercayaan;

Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus

selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris

sebagai orang yang dipercaya. Antara Jabatan Notaris dan

Pejabatnya yaitu yang menjalankan tugas jabatan Notaris harus

sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat

dipisahkan. Oleh karena itu, Notaris mempunyai kewajiban

untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang

dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna

pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali

undang-undang menentukan lain, bahwa Notaris tidak wajib

merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan

yang berkaitan dengan akta tersebut, sebagaimana diatur dalam

Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Dengan demikian batasannya

hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris

untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang

diketahui oleh Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta

yang dimaksud.

Sumpah/janji sebagai Notaris mengandung makna yang

sangat dalam yang harus dijalankan dan mengikat selama

menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Sumpah atau janji

tersebut mengandung dua hal yang harus dipahami, yaitu :

1) Notaris wajib bertanggung jawab kepada Tuhan, karena

sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama

masing-masing, dengan demikian artinya segala sesuatu yang

57

Habib Adjie, Op.cit., h. 33.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

55

dilakukan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya akan

diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang

dikehendaki Tuhan;

2) Notaris wajib bertanggung jawab kepada Negara dan

masyarakat, artinya Negara telah memberi kepercayaan untuk

menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang Hukum

Perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang

mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, dan kepada

masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris mampu

memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta

Notaris, dan percaya bahwa Notaris mampu merahasiakan

segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan

Notaris.

c. Asas kepastian hukum;

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman

secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan

segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan

dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku

akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak, bahwa

akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi

permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para

pihak.

d. Asas kecermatan;

Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus dipersiapkan dan

didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Meneliti semua

bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan

keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai

bahan dasar untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini

merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, yaitu

dalam menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak seksama.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

56

e. Asas pemberian alasan;

Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus

mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang

bersangkutan atau mempunyai pertimbangan hukum yang harus

dijelaskan kepada para pihak/penghadap.

f. Larangan penyalahgunaan wewenang;

Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya. Penyalahgunaan wewenang yaitu

suatu tindakan yang dilakukan oleh Notaris di luar dari

wewenang yang telah ditentukan. Jika Notaris membuat suatu

tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka

tindakan Notaris dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan

wewenang yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan

melawan hukum. Jika tindakan tersebut juga merugikan para

pihak maka para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut

penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

g. Larangan bertindak sewenang-wenang;

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat menentukan

tindakan para pihak dapat dituangkan dalam bentuk akta Notaris

atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti itu, Notaris

harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang

diperlihatkan kepada Notaris. Keputusan yang diambil harus

berdasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada

para pihak.

h. Asas proporsionalitas;

Dalam pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya wajib menjaga kepentingan para

pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam

menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib mengutamakan

adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang

menghadap Notaris.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

57

i. Asas profesionalitas.

Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, Notaris wajib

memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN,

kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini mengutamakan

keahlian (keilmuan) Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya berdasarkan UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris.

Tindakan profesional Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya diwujudkan dalam melayani masyarakat dengan

membuatkan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris harus

bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung

jawab kepada diri sendiri berarti Notaris yang bersangkutan bekerja karena

integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari

kehidupannya. Dalam memberikan pelayanannya, seorang Notaris akan

selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan

kewajiban hati nuraninya.58

Bertanggung jawab kepada masyarakat mengandung arti kesediaan

memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, sehingga

menghasilkan layanan yang bermutu yang berdampak positif bagi

masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif hanya

untuk mencari keuntungan, melainkan juga dalam rangka pengabdian

kepada sesama manusia. Dalam arti luas, bertanggung jawab berarti berani

menanggug segala resiko yang timbul akibat pelayanan yang telah

diberikannya tersebut.

2.3.1 Penghadap sebagai Pihak dalam Akta Notaris

Pembuat akta adalah orang atau para pihak yang

menyatakan/berjanji tentang sesuatu dan meminta kepada Notaris

untuk menuangkannya ke dalam suatu akta, yang lebih dikenal

dengan istilah penghadap. Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan

bahwa penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan

58

Abdulkadir Muhammad, Op.cit., h. 60.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

58

kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Dalam berbagai akta

Notaris banyak digunakan kata untuk membuktikan bahwa yang

bersangkutan datang kepada Notaris atas kemauannya sendiri,

misalnya kata “menghadap” atau “telah menghadap” atau

“berhadapan” atau “telah hadir di hadapan”. Bahwa yang dimaksud

sebenarnya yang bersangkutan adalah kehadiran yang nyata

(verschijnen) secara fisik atau digunakan kata menghadap

terjemahan dari verschijnen, yang berarti datang menghadap yang

dimaksudkan dalam arti yuridisnya adalah kehadiran nyata.

Yang dimaksud dengan penghadap itu adalah mereka yang

datang sengaja menghadap kepada Notaris, jadi orang yang diwakili

umpamanya bukanlah penghadap.59

Yang dimaksud dengan “para

penghadap” dalam Pasal 24 P.J.N. hanya mereka yang datang

menghadap kepada Notaris untuk pembuatan akta itu, bukan mereka

yang diwakili dalam akta itu, baik yang diwakili secara lisan maupun

secara tertulis ataupun dalam kedudukan atau jabatan.60

Identitas dari para penghadap harus dikenal oleh notaris, sebab

jika tidak, mungkin terjadi pemalsuan mengenai diri seseorang

dihadapan notaris, dan hal ini dapat berakibat bahwa sesuatu akta

notaris menjadi batal. Misalnya, seseorang mengaku dirinya bernama

A, padahal ia sesungguhnya bernama B, membuat suatu akta jual

beli dihadapan notaris, dimana ia bertindak sebagai penjual, dan oleh

karena itu terjadilan suatu penipuan (bedrog). Ataupun notaris

mengira bahwa ia berhadapan dengan A, tetapi yang dihadapinya

ialah B, sehingga terjadilah suatu kekeliruan (dwaling). Dalam hal-

hal tersebut di atas, maka perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris

adalah dapat dibatalkan, sebagaimana diatur pula dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Oleh karena itu, dikenalinya identitas penghadap oleh

notaris adalah syarat mutlak untuk sahnya suatu akta. Dalam hal

identitas itu tidak dikenal oleh Notaris, maka penghadap harus

59

A.Kohar, Op.cit., h. 39.

60

G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 177.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

59

diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi yang fungsinya semata-mata

hanya memperkenalkan identitas dari penghadap kepada Notaris.

Mereka ini bukan saksi instrumentair dalam akta, sebagaimana diatur

dalam Pasal 22 dan 23 Peraturan Jabatan Notaris, melainkan mereka

itu adalah saksi-saksi pengenal atau saksi-saksi atestasi (atesterende

getuigen).61

Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, misalnya

sebagai teman atau sudah kenal lama, kalaupun para penghadap

sudah dikenal sebelumnya oleh Notaris hal ini merupakan nilai

tambah untuk Notaris saja, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti

yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat yang

disebutkan oleh orang yang bersangkutan dihadapan Notaris dan

juga dengan alat-alat bukti atau identitas atas dirinya yang

diperlihatkan kepada Notaris. Mengenal juga berarti penunjukkan

orang dalam akta harus sama dengan penunjukkannya, yang

dengannya ia dapat dibedakan dan diindividualisasi dari orang-orang

dalam masyarakat. Kenal tersebut tidak terbatas seperti tersebut

diatas, tetapi juga harus diperhatikan bahwa yang bersangkutan

mempunyai wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang

akan disebutkan dalam akta. Dalam kalimat yang sederhana kenal

tersebut dalam hubungannya membuat akta dan yang bersangkutan

datang ke hadapan Notaris.62

Pada pengertian pertama sebagaimana diuraikan diatas,

penghadap secara langsung dikenal oleh Notaris, Notaris dapat

melakukan pengenalan dengan cara penghadap diperkenalkan

kepadanya (Notaris) oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Cara

pengenal seperti itu perlu diatur dalam UUJN karena Notaris tidak

mungkin mengenal setiap orang yang datang kepadanya, akan tetapi

hal ini tidak boleh menyebabkan, bahwa seseorang yang tidak

dikenal Notaris, tidak dapat membuat akta (otentik) dihadapan

61

R. Soegondo Notodisoerjo, Op.cit., h. 148.

62

Ibid., h. 172.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

60

Notaris. Untuk kepentingan masyarakat umum harus diciptakan

kemungkinan bahwa Notaris sekalipun ia tidak mengenal orang yang

datang menghadap kepadanya untuk membuat akta tetap dapat

membuat akta otentik. Apabila kemungkinan sedemikian tidak ada,

maka sudah barang tentu Notaris akan menolak permintaan

seseorang yang tidak dikenalnya untuk membuat sesuatu akta. Itu

pulalah sebabnya pembuat undang-undang memberikan jalan dengan

cara memperkenalkan (bekenmaking) para penghadap oleh 2 (dua)

orang saksi, yang mana dapat dikatakan sebagai pengganti

(surrogaat) dari pengenalan (bekendheid).63

Dalam perspektif yang

lain, bahwa cara pengenalan seperti tersebut diatas dilakukan karena

ketiadaan atau kekurangan atau ketidakjelasan alat bukti berupa

identitas para penghadap, dan juga kekurangjelasan kewenangan

yang bersangkutan untuk melakukan suatu tindakan hukum

dihadapan Notaris, sehingga tidak ada keraguan untuk membuat akta

Notaris atas permintaan para penghadap tersebut, dan saksi pengenal

tersebut akan turut bertanggungjawab terhadap identitas dan

kewenangan penghadap yang diperkenalkannya.

Salah satu kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i

UUJN, yaitu membacakan akta dihadapan penghadap dengan

dihadiri oleh paling sedikti 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani

pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris, dalam

penjelasannya ditegaskan bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan

menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. Substansi

pasal tersebut bila dikaitkan dengan Pasal 39 ayat (2) dan (3) UUJN,

menegaskan bahwa Notaris harus mengenal para penghadap, dan

pengenalan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta dan

demikian pula halnya pengenalan untuk saksipun disebutkan dalam

Pasal 40 ayat (3) dan (4) UUJN. Substansi pasal-pasal tersebut baik

para penghadap dan para saksi harus dikenal Notaris berdasarkan

63

Ibid., h. 179-180.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

61

identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris, dan berada pada

tempat yang sama pada saat itu juga serta hadir secara fisik, baik

para saksi, penghadap maupun Notaris.

2.3.2 Tugas, Kewenangan dan Larangan Notaris

Seorang Notaris mempunyai tugas dan kewenangan yang harus

dipatuhi. Tugas Notaris yang utama dan pada pokoknya adalah

membuat akta-akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti terkuat

dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam hubungan

hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam pembuatan akta-

akta otentik tersebut, Notaris mempunyai peranan yang sangat

penting, yaitu melayani kepentingan umum terutama dalam hal

pelayanan hukum pembuatan akta-akta otentik mengenai hubungan

keperdataan yang terjadi diantara mereka.

Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya selain harus

memiliki pengetahuan secara teoritis dan pengalaman secara teknis,

juga harus ditambah memiliki tanggung jawab etika hukum yang

tinggi berupa nilai atau ukuran-ukuran etika, penghayatan terhadap

keluhuran dan tugas jabatannya, serta integritas dan moral yang baik.

Sumpah jabatan Notaris juga menyebutkan bahwa seorang

Notaris haruslah menjalankan jabatannya dengan jujur, seksama, dan

tidak memihak. Seorang Notaris juga harus patuh dan taat terhadap

semua peraturan-peraturan dan nilai moral bagi jabatan Notaris yang

sedang berlaku atau akan diadakan. Hal ini berarti bahwa seorang

Notaris harus tetap memperhatikan seluruh peraturan perundang-

undangan yang ada dan masih berlaku di Indonesia agar dapat

menyesuaikan dengan akta yang dibuatnya tersebut. Oleh karena itu,

Notaris dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat

terjadi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang ada dan dapat mengakibatkan hilangnya keotentisitasan akta

yang dibuatnya.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

62

Notaris diwajibkan memberikan penyuluhan dan nasehat

hukum serta memberikan penjelasan mengenai peraturan perundang-

undangan yang berlaku kepada pihak yang datang kepadanya. Hal

ini berarti bahwa sebelum para pihak menuangkan kehendaknya

dalam akta, Notaris harus terlebih dahulu memberikan nasihat

seperlunya kepada para pihak, antara lain mengenai siapa yang boleh

menurut hukum sehubungan dengan akta yang hendak dibuatnya,

serta apa yang harus dilengkapi untuk keperluan pembuatan akta

tersebut dan lain sebagainya.64

Wewenang atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan

merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada

suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan

demikian, setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang

tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Wewenang Notaris terbatas sebagaimana peraturan perundang-

undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan, dalam

hal ini UUJN. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai

sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi, wewenang bisa

diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat.65

Penjelasan lebih lanjut menyebutkan bahwa wewenang secara

Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu

jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan

hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/

pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan

perundang-undangan atau aturan hukum. Mandat sebenarnya bukan

pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang

berkompeten berhalangan.

Berdasarkan UUJN, Notaris sebagai Pejabat Umum

memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut

64

A.Kohar, Op.cit., h. 27.

65

Habib Adjie, Op.cit., h. 77.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

63

diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi, wewenang yang

diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setiap wewenang

harus ada dasar hukumnya, sehingga jika seorang Pejabat melakukan

tindakan di luar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar

hukum.66

Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik,

yang merupakan bukti tertulis mengenai perbuatan hukum para

pihak dalam bidang hukum perdata. Otentisitas dari akta notaris

bersumber dari Pasal 1 angka 1 UUJN, yaitu akta yang dibuat oleh

notaris dalam kedudukannya selaku pejabat umum memperoleh sifat

akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

Dalam Pasal 1 angka (7) UUJN menyebutkan bahwa, “Akta

Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang

ini.” Jadi, suatu akta yang hendak memperoleh stempel otentisitas,

harus memenuhi ketiga unsur, yaitu:

a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang

c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Menurut Habib Adjie, kewenangan Notaris tersebut dalam

pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN dapat dibagi

menjadi:

a. Kewenangan Umum Notaris

Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan suatu kewenangan

Notaris yakni Notaris berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam

66

Ibid., h. 78.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

64

akta otentik. Pasal tersebut juga menegaskan bahwa salah satu

kewenangan Notaris, yaitu membuat akta secara umum.67

Hal ini

disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris, dengan batasan

sepanjang :

1) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh

Undang-Undang;

2) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,

dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau

dikehendaki oleh yang bersangkutan;

3) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk

kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang

berkepentingan.

Wewenang Notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat,

seperti surat pada umumnya atau membuat surat lain, mengenai

semua perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.

b. Kewenangan Khusus Notaris

Kewenangan khusus ini diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN.

Selain itu, Notaris juga berwenang untuk membetulkan

kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam Minuta

akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita

Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan

tersebut wajib disampaikan oleh Notaris kepada para pihak,

sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UUJN.

c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian

Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan

ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan

67

Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (ke dalam bentuk akta),

tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa

akta itu harus berguna di kemudian hari jika terjadi keadaan yang khas. Lubbers dalam Tan Thong

Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.

452.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

65

datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan

wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar

wewenang yang telah ditentukan, maka produk atau akta Notaris

tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat

dilaksanakan (nonexecutable), dan mereka yang merasa

dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut dapat

menggugat Notaris secara perdata ke Pengadilan Negeri.

Wewenang Notaris yang akan ditentukan kemudian merupakan

wewenang yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini perlu diberikan

batasan mengenai peraturan perundang-undangan yang

dimaksud. Batasan perundang-undangan dapat dilihat dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan

peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang tersebut

ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum

termasuk semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara,

baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Berdasarkan uraian di atas, kewenangan Notaris yang akan

ditentukan kemudian tersebut dalam peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh lembaga Negara (Pemerintah

bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat) akan

mengikat secara umum.

Tugas utama seorang notaris selaku pejabat umum adalah

membuat akta. Adapun akta yang dibuat oleh Notaris dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :68

a. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan

pula “akta relaas” ataupun “akta pejabat” (ambetelijke akten),

yaitu misalnya berupa berita acara rapat umum pemegang saham

dalam Perseroan Terbatas dimana Notaris dalam aktanya

menerangkan mengenai segala sesuatu yang ia lihat, ia dengar,

68

G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 51-52.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

66

dan dialaminya dalam rapat dengan dituangkan ke dalam akta

yang dibuatnya. Dalam hal ini, Notaris bersifat aktif dalam

pengertian bahwa Notaris tersebut harus menuliskan segala

sesuatu apa yang ia lihat dan dengar, serta diputuskan dalam

rapat atau yang dikenal dengan risalah rapat.

b. Akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang

dikenal dengan “akta partij” (partij akten). Misalnya akta kerja

sama, akta sewa menyewa. Dimana di dalam akta ini

dicantumkan secara jelas mengenai keterangan-keterangan

mengenai apa yang hendak mereka cantumkan dalam akta dari

para pihak yang hadir dihadapan Notaris yang bertindak sebagai

pihak-pihak dalam akta tersebut. Para pihak dalam akta bersifat

aktif, artinya bahwa akta itu tidak dibuat oleh Notaris melainkan

berdasarkan kesepakatan para pihak sendiri mengenai yang akan

dimasukkan ke dalam akta tersebut dan Notaris hanya membantu

mengkonstantir keterangan-keterangan dari para pihak untuk

disusun dalam bentuk akta.

Akta otentik sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu,

merupakan bukti yang kuat (lengkap) bagi pihak-pihak yang

bersangkutan, mereka yang menandatangani suatu akta bertanggung

jawab dan terikat akan isi akta.69

Akta Notaris sebagai akta otentik

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak

perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya. Jika ada

orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak

benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar

tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai

aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini

berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris.

Pada dasarnya suatu akta otentik mempunyai tiga macam

kekuatan pembuktian, yaitu antara lain :70

69

Komar Andasasmita, Op.cit., h. 47.

70

Ibid., h. 55.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

67

a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijksracht).

Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu

sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik,

sehingga apabila suatu akta yang kelihatannya sebagai akta

otentik artinya menandakan dirinya dari luar, ataupun kata-

katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka

terhadap setiap orang haruslah dianggap sebagai akta otentik,

sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini berbeda dengan akta

di bawah tangan, dimana baru berlaku sah apabila berasal dari

orang terhadap siapa akta itu dipergunakan dan pihak-pihak yang

menandatangani akta tersebut telah mengakui kebenaran dari

tanda tangannya tersebut.

b. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Kekuatan pembuktian formal dimaksudkan bahwa pejabat yang

bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, bahwa apa

yang tercantum dalam akta itu merupakan hal yang benar karena

telah disaksikan sendiri oleh pejabat (notaris) yang bersangkutan

dalam menjalankan jabatannya.

c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Maksud dari kekuatan pembuktian material adalah bahwa apa

yang tercantum dalam akta merupakan keterangan yang

sebenarnya karena telah dibuktikan dalam isi yang terkandung

dalam akta. Notaris menerima keterangan dan menjamin

keterangan yang diberikan penghadap sebagai suatu keterangan

yang benar dan keterangan tersebut dibuktikan dalam suatu isi

atau materi akta tersebut.

Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam

membuat akta otentik membutuhkan tingkat kecermatan yang

memadai karena berkaitan dengan setiap kata yang dibuat dalam akta

yang harus terjamin otentisitasnya. Ketentuan mengenai keharusan

bertindak cermat ini diatur dalam beberapa pasal UUJN, antara lain :

a. Cermat dalam mengenal para penghadap.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

68

Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan bahwa para penghadap

harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2

(dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk memberikan

kesaksian di muka pengadilan. Notaris dalam memperoleh

keterangan-keterangan tentang pengenalan itu, diharuskan untuk

dapat memperoleh keterangan-keterangan dari orang yang

dikenalnya dan dapat dipercayainya, Notaris dapat melihat

identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Paspor dan surat-

surat lain dari orang-orang yang bersangkutan, meminta

informasi lainnya dan masih banyak cara lain bagi Notaris untuk

meyakinkan dirinya bahwa orang yang datang menghadap

kepadanya itu benar-benar adalah sama dengan orang yang

namanya dicantumkan dalam kartu identitasnya, termasuk dalam

aktanya sebagaimana orang itu juga dikenal dalam masyarakat.

b. Cermat dalam menyerap maksud dan tujuan dari keterangan para

pihak.

Para penghadap harus menghadap secara bersama-sama untuk

mengutarakan maksud dan tujuan para pihak, dengan tujuan

untuk dibuatkan akta. Dalam prakteknya, mungkin yang

memberikan keterangan kepada Notaris hanya salah satu dari

para penghadap, akan tetapi para penghadap dapat menyimak

secara langsung dan memiliki kesempatan dalam meluruskan

atau menyangkal terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang

atau merugikan dirinya dari kesepakatan semula atau menolak

terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya. Jika di antara para

pihak ada yang tidak hadir dan memberikan kuasa kepada pihak

yang hadir, maka surat kuasa itu sendiri harus menunjukkan

tentang hal-hal yang disepakati untuk dibuatkan aktanya. Dengan

demikian, Notaris dapat mengambil sikap untuk tidak menerima

keinginan, maksud dan tujuan para pihak yang hadir, jika

menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan

pemberi kuasa. Notaris mempunyai hak dan kewajiban untuk

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

69

mengingatkan atau menolak dimasukkannya keinginan, maksud

dan tujuan para penghadap, jika hal itu bertentangan dengan

peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Notaris dapat

juga memberikan saran-saran, jika terjadi perbedaan pendapat di

antara para pihak dengan memberikan masukan kepada mereka

tentang bagaimana seharusnya permasalahan itu ditempatkan

berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan.

c. Cermat dalam penulisan akta.

Hal ini diatur secara terperinci dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal

48, Pasal 49, Pasal 50 UUJN dengan sanksi kehilangan otensitas

akta yang dibuat atau hukuman denda berupa penggantian biaya,

ganti rugi serta bunga kepada Notaris. Pasal-pasal tersebut antara

lain mengatur tentang :

1) Pengaturan pembuatan akta, kecermatan dan bahasa.

2) Keharusan untuk menjelaskan dalam akta, jika salah satu dari

para pengahadap tidak bersedia membubuhkan tandatangan

pada akta.

3) Tata cara perubahan, tambahan dan pencoretan.

d. Cermat dalam pendataan, pengarsipan dan laporan.

Pendataan, pengarsipan dan laporan ini mengatur juga tentang

penyimpanan, pengambilalihan minuta, daftar-daftar dan

reportorium dalam hal Notaris meninggal dunia, pensiun,

diangkat sebagai pejabat negara dan/atau diberhentikan atau

pindah wilayah yang terdiri dari Pasal 58 sampai dengan Pasal

66 UUJN.

e. Cermat dalam penyerahan Grosse, Salinan dan Kutipan

Penyerahan suatu grosse hanya boleh dilakukan oleh Notaris

kepada pihak yang berkepentingan, meskipun dalam suatu akta

grosse telah diuraikan dengan jelas dan akurat tentang siapa yang

berkepentingan, dan untuk apa akta tersebut dibuat, tetapi jika

terjadi kesalahan penyerahan grosse, salinan dan kutipan kepada

pihak yang tidak berkepentingan akan berisiko terjadinya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

70

penyalahgunaan serta tidak terjaminnya kerahasiaan atas akta

tersebut yang wajib dijunjung tinggi oleh Notaris.

Tegasnya notaris harus menghindari sejauh mungkin suatu

perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan para pihak, karena

kurang cermat atau lalai, terlebih lagi karena kesalahan yang

disengaja.

Dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris juga memikul

tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUJN yang

wajib dipenuhi. Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, terdapat

alasan yang mengakibatkan Notaris untuk menolak pembuatan akta,

antara lain:71

a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya,

berhalangan karena fisiknya;

b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam masa cuti;

c. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta,

tidak diserahkan kepada Notaris;

d. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh

penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau tidak diperkenalkan

kepadanya;

e. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar

sumpah jabatannya atau melakukan perbuatan melanggar

hukum;

f. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta

dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-

orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas,

sehingga Notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki mereka.

Dalam pasal 17 UUJN disebutkan bahwa dalam menjalankan

kewenangannya, Notaris dibatasi oleh berbagai larangan, yaitu

bahwa Notaris dilarang :

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

71

R.Soegondo Notodisoerjo, Op.cit., h. 97-98.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

71

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja

berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan

Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan

Usaha Swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar

wilayah jabatan Notaris;

h. Menjadi Notaris Pengganti;

i. Melakukan pekerjaaan lain yang bertentangan dengan norma

agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi

kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Terkait pembuatan akta, Notaris tidak boleh menolak untuk

memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya

kepada orang yang mendatangi seorang Notaris untuk meminta

dibuatkan suatu akta otentik perihal yang dikehendakinya.

2.3.3 Daerah Jabatan Notaris

Daerah jabatan Notaris adalah daerah kerja Notaris dalam

melaksanakan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan

tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan

kepadanya dan hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk

memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya dalam

pembuatan akta otentik.

Setiap Notaris harus ditentukan daerah jabatannya agar Notaris

terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan

yang telah ditetapkan dan juga agar para masyarakat yang

membutuhkan pelayanan Notaris dapat lebih mudah untuk

menjumpai Notaris yang mereka inginkan baik pada waktu siang

maupun pada waktu malam hari, dan di samping itu untuk mencegah

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

72

terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris.

Mengenai ruang lingkup kerja notaris diatur dalam Pasal 18, Pasal

19 dan Pasal 20 UUJN.

Dalam Pasal 17 butir a UUJN, Notaris dilarang menjalankan

jabatan di luar wilayah jabatannya. Apabila Notaris membuat akta di

luar daerah jabatannya, maka akta tersebut hanya berlaku sebagai

akta di bawah tangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1869

KUHPerdata, yaitu: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau

tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat

dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik

namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah

tangan jika ia ditandatangani oleh kedua belah pihak”.

Akan tetapi ada kalanya Notaris dapat juga membuat akta di

luar daerah jabatannya, antara lain seperti yang dimaksud dalam

pasal 942 jo Pasal 937 KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam

pasal-pasal tersebut di atas mengharuskan Notaris untuk

menjalankan jabatannya di luar daerahnya. Penyerahan surat wasiat

rahasia atau surat olografis tertutup untuk dibuka oleh Balai Harta

Peninggalan termasuk dalam tugas jabatan Notaris (notariele

ambisbediening) dan penyerahan surat-surat wasiat sedemikian

menurut Pasal 942 KUHPerdata harus dilakukan kepada Balai Harta

Peninggalan di dalam daerah siapa warisan itu terbuka. Apabila

Balai Harta Peninggalan yang akan melakukan pembukaan surat

wasiat itu dan pembuatan berita acara penyerahannya tidak

berkedudukan dalam daerah tempat Notaris menjalankan jabatannya,

maka untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 942 jo 937

KUHPerdata, Notaris terpaksa dalam hal tersebut menjalankan

jabatannya di luar daerahnya. Dengan demikian pasal ini merupakan

pengecualian dari ketentuan dalam Pasal 17 juncto Pasal 19 UUJN.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

73

2.3.4 Pengaturan Pembuatan Akta Notaris

Akta Notaris merupakan akta otentik sehingga pembuatannya

tidak boleh dilakukan secara sembarang. Dalam Undang-undang

Jabatan Notaris, mengenai pembuatan akta Notaris diatur secara

khusus dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 UUJN. Akta yang

dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan

dalam pasal 38 UUJN, bahwa setiap akta notaris terdiri atas:

a. Awal akta atau kepala akta memuat judul akta; nomor akta; Jam,

hari, tanggal, bulan dan tahun; dan Nama lengkap dan

kedudukan notaris;

b. Badan akta memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,

kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal

para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; Keterangan

mengenai kedudukan bertindak menghadap; Isi akta yang

merupakan kehendak dan keinginan dari pada para pihak tang

berkepentingan; dan Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir

serta pekerjaan , jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari

tiap-tiap saksi pengenal; dan

c. Akhir atau penutup akta memuat uraian tentang pembacaan akta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau

Pasal 16 ayat (7) UUJN; uraian tentang penandatangan dan

tempat penandatangan atau penerjemahan akta bila ada; nama

lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan,

jabatan, kedudukan dan tempat tinggal tiap-tiap saksi akta; dan

uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam

pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang

dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

Salah satu bagian akta notaris yang mempunyai peranan

penting adalah mengenai komparisi. Perkataan komparisi berasal

dari bahasa Belanda comparitie yang berarti verschijning van

partijen atau tindakan menghadap dalam hukum atau dihadapan

pejabat umum, seperti Notaris dan openbaar ambtenaar lainnya.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

74

Dalam dunia notariat perkataan ”komparisi” mengandung arti yang

lebih luas. Komparisi tidak hanya persoalan apakah orang yang

menghadap itu mempunyai kecakapan bertindak (rechtsbekwaam),

tetapi juga apakah dia mempunyai hak untuk melakukan tindakan

(rechtsbevoegd) mengenai soal yang dinyatakan (geconstateerd)

dalam surat akta.72

Komparisi ini merupakan salah satu bagian yang penting sekali

dari suatu akta notaris atau akta pejabat lainnya, karena sah atau

batalnya akta otentik itu antara lain tergantung pada benar atau

tidaknya komparisi yang bersangkutan. Komparisi (comparitie:

verschijning van partijen, menghadap) merupakan bagian suatu akta

yang menyebutkan nama-nama para pihak yang membuat perjanjian,

lengkap dengan penyebutan pekerjaan dan identitas serta tempat

tinggal yang bersangkutan. Identitas di sini bukan dalam arti jati diri

yang menyebutkan ciri-ciri khusus seseorang, melainkan mengenai

pekerjaan, tempat tinggal dan biasanya juga mencakup kewenangan

para pihak sehingga yang bersangkutan berhak melakukan tindakan

hukum sebagaimana dinyatakan dalam akta.

2.3.5 Sanksi terhadap Notaris Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya

Sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang

biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-

larangan yang ada dalam suatu ketentuan hukum telah dilanggar.

Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum untuk

memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa

suatu tindakan yang telah dilakukannya tersebut tidak sesuai dengan

suatu aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan pihak

yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang

berlaku, guna menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan

hukum.

72

Tan Thong Kie, Op. cit., h. 50.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

75

Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris adalah sebagai upaya

penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah

melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan

Notaris sebagaimana tercantum secara tegas dalam UUJN, dan untuk

mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas

jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN. Pemberian sanksi

terhadap Notaris bertujuan untuk melindungi masyarakat dari

tindakan Notaris khususnya dalam menjalankan tugas jabatannya

yang dapat merugikan masyarakat. Sanksi tersebut bertujuan pula

untuk menjaga kehormatan dan martabat lembaga Notaris sebagai

lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran

tentunya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap

Notaris itu sendiri.

Adapun sanksi terhadap Notaris diatur pada bagian akhir

UUJN, yaitu pada Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN. Pasal 84 UUJN

menegaskan jika Notaris melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k, pasal 41, Pasal 44,

Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52, maka akta yang

dibuat oleh Notaris yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta di bawah tangan ataupun bahkan suatu akta

menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut dapat dijadikan alasan

bagi para penghadap yang menderita kerugian untuk menuntut

penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Tuntutan

para pihak terhadap Notaris tersebut berupa penggantian biaya, ganti

rugi dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris jika

akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.

Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam

Pasal 84 UUJN dapat dikategorikan sebagai sanksi perdata.

Pasal 85 UUJN menegaskan jika Notaris melanggar ketentuan

Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal

20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

76

dan/atau Pasal 63 UUJN maka Notaris dapat dijatuhi sanksi berupa:

teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara;

pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian tidak hormat.

2.4 Perbuatan Hukum oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui

Akta Notaris

2.4.1 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

3641K/PDT/2001

MADEOKA MASAGUNG selaku Penguggat, adalah seorang

pengusaha di Jakarta, berdasarkan Laporan Kepolisian ia telah

ditahan dalam Rumah Tahanan (Rutan), sejak Mei 1997 sampai

dengan Desember 1997 oleh Kepolisian POLDA METRO JAYA,

dengan Surat Perintah Penangkapan Nomor

Pol.SPP/155/V/1997/Ditserse, tanggal 5 Mei 1997, disusul dengan

Surat Penahanan Nomor SPP/48/V/1997/Ditserse dari Kepolisian

dan diperpanjang oleh Kejaksaan Negeri serta Pengadilan Negeri,

karena sangkaan Tindak Pidana Korupsi Perbankan dan Pemalsuan.

Pada saat Penggugat berada di dalam tahanan tersebut, antara

bulan Oktober dan November 1997, seseorang membawa berkas

akta-akta Notaris di Jakarta datang ke rumah tahanan menemuinya,

agar Penggugat bersedia menandatangani Akta Notaris dan Akta

Pernyataan.

Akta-akta Notaris yang diminta untuk ditandatangani oleh

Penggugat tersebut berupa 3 (tiga) buah Akta Notaris yaitu :

a. Akta Notaris Nomor 41 tanggal 29 Oktober 1997; dan

b. Akta Notaris Nomor 42, tanggal 29 Oktober 1997;

Akta Notaris Nomor 41 memuat pernyataan bahwa Penggugat

masih mempunyai hutang kepada PT. BANK ARTHA GRAHA

selaku Tergugat I, yang belum diselesaikan seluruhnya berjumlah

Rp.215.837.382.000,- (duaratus limabelas milyar delapanratus

tigapuluh tujuh juta tigaratus delapanpuluh dua ribu rupiah), yang

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

77

ditentukan harus bayar kepada Tergugat I sebesar

Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah), yaitu :

a. Sebesar 20 % atau Rp.20.000.000.000,- (duapuluh milyar

rupiah), akan dibayar tunai atau dengan penyerahan assetnya

atas milik pihak manapun yang oleh Tergugat dinilai memiliki

nilai ekonomis sebesar itu yang dilaksanakan selambat-

lambatnya 60 (enam puluh) hari, terhitung sejak dikabulkannya

penangguhan penahanan oleh yang berwajib.

b. Sebesar 80% atau Rp.80.000.000.000,- (delapanpuluh milyar

rupiah), akan dibayar seketika dan sekaligus dengan uang tunai

Rp.15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah), yang wajib

dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 180 (seratus

delapanpuluh) hari terhitung sejak dikabulkannya permohonan

penangguhan penahanan.

Pada saat dalam tahanan tersebut, Penggugat diminta untuk

membuka rekening di PT. BANK ARTHA GRAHA bersamaan

dengan diajukannya Akta Notaris Nomor 41 untuk

ditandatanganinya, selanjutnya diminta untuk menandatangani 2

(dua) cheque PT. BANK ARTHA GRAHA masing-masing :

a. No. CA.574711, dengan nilai Rp.20.000.000.000,- (duapuluh

milyar rupiah)

b. No. CA.574712, dengan nilai Rp.15.000.000.000,- (limabelas

milyar rupiah)

Akta Notaris Nomor 42 merupakan penegasan dan perincian

ketentuan yang dibuat para Tergugat pada Akta Nomor 41 sepanjang

menyangkut Penggugat dengan mengkaitkan pihak lain yaitu

KETUT ABDURAHMAN MASAGUNG dan PUTRA

MASAGUNG sebagai orang yang menjamin (Penjamin) atas

utangnya kepada PT. BANK ARTHA GRAHA (Tergugat I).

Selain akta-akta tersebut diatas, telah dibuat dan

ditandatangani Akta Nomor 31, sebagai perubahan atas Akta Nomor

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

78

42, yang mengganti penjamin (borgtocht) pihak lain tersebut dengan

harta kekayaan Penggugat berupa:

a. Tanah 4.500 M2 di Permata Hijau, Blok A-5, 6 dan 7;

b. Apartemen Four Seaseon Park-Singapore Blok 2 Type D Nomor

25.01.50 Cuscaden Walk yang terdaftar atas nama Groschen

Ltd.

Penggugat dalam keadaan frustasi karena sedang ditahan di

Kepolisian tersebut, akhirnya menandatangani semua akta notaris

tersebut serta 2 (dua) buah cheque dengan janji dari PT. BANK

ARTHA GRAHA akan membantu untuk penangguhan dari

penahanan Kepolisian, dengan membuat surat permohonan kepada

Penyidik, Penuntut Umum dan Pengadilan yang isinya penahanan

atas Penggugat ditangguhkan dengan alasan PT. BANK ARTHA

GRAHA tidak dirugikan.

Harta Kekayaan Penggugat yang beralih kepada PT. BANK

ARTHA GRAHA akibat terbitnya Akta Nomor 41 dan Akta Nomor

42, berupa:

a. Tanah SHM No.639/Grogol Utara

b. Tanah SHM No.761/Grogol Utara

c. Tanah HGB No.1907/Grogol Utara

d. Tanah Hak Pakai seluas 312 M2 Permata Hijau

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili terdakwa,

dalam hal ini Penggugat, memberikan putusan: Terdakwa

dibebaskan dari dakwaan melakukan tindak pidana korupsi. Oleh

karena merasa dirugikan, maka Penggugat melalui kuasa hukumnya

mengajukan gugatan perdata terhadap para tergugat.

Dalam gugatannya, pihak Penggugat mengajukan Petitumnya

yang diantaranya adalah menyatakan Para Tergugat melakukan

Perbuatan Melawan Hukum dan membatalkan atau menyatakan batal

akta-akta yang telah ditandatangani Penggugat tersebut, antara lain

Akta Nomor 41 tanggal 29 Oktober 1997, Akta Nomor 42 tanggal 29

Oktober 1997, serta menyatakan tidak sah dan karenanya tidak

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

79

mengikat Penggugat atas Akta Nomor 31 tanggal 26 November

1997, yang seluruhnya dibuat dihadapan Notaris KOESBIONO

SARMANHADI, SH. Selain itu, Penggugat juga mengajukan

petitum yang menghukum Para Tergugat terkait untuk

mengembalikan harta Penggugat yang diambil.

Dengan adanya gugatan perdata tersebut di atas, pihak

Tergugat melalui Kuasa Hukumnya menanggapi gugatan tersebut

baik berupa eksepsi maupun materi pokok sengketa. Eksepsi yang

diajukan oleh Tergugat menyatakan, bahwa keberadaan Penggugat

dalam tahanan karena adanya sangkaan melakukan Tindak Pidana

Korupsi, tidak dapat dijadikan awal adanya “Perbuatan Melawan

Hukum” oleh Tergugat I (PT. BANK ARTHA GRAHA), pembinaan

para tahanan didalam Rutan/LP tidak memungkinkan Penggugat

berada dibawah tekanan, paksaan, ancaman, juga tidak mungkin

Tergugat IV selaku Notaris berprilaku negatif, ia menyadari setiap

proses pembuatan Akta.

Terhadap materi pokok perkara, Tergugat menyangkal dalil

gugatan Penggugat dengan menyatakan bahwa Akta-Akta dan Surat

Peryataan adalah tidak cacat hukum dan tetap sah serta berlaku asas

“pacta sunt servada”. Demikian pula dalil gugatan yang menyatakan

Para Tergugat telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum”

karenanya ditolak.

Majelis Hakim tingkat pertama yang mengadili perkara ini

dalam putusannya tertanggal 11 Mei 2000 Nomor:

442/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel., memberi putusan yang amar pokoknya

menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan

hukum, menyatakan batal perjanjian dan/atau pernyataan akta-akta

Notaris yang dibuat oleh KOESBIONO SARMANHADI, SH,

Notaris di Jakarta, masing-masing yang termuat dalam akta-akta

Nomor 41, Nomor 42, dan Nomor 31 sepanjang mengenai

kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung saat dibuatnya

akta-akta tersebut, serta menyatakan para Tergugat untuk

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

80

mengembalikan harta Penggugat yang meliputi Tanah SHM

No.639/Grogol Utara, Tanah SHM No.761/Grogol Utara, Tanah

HGB No.1907/Grogol Utara, dan Tanah Hak Pakai seluas 312 M2

Permata Hijau.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan

putusan tersebut dengan salah satu pertimbangannya adalah bahwa

kondisi Penggugat yang terampas kemerdekaannya dalam tahanan

yang berwajib, ia dalam keadaan yang terjepit itu, Penggugat diminta

Tergugat untuk menandatangani Akta-Akta Notaris, maka Tergugat

telah melakukan “misbruik van de omstandingheden”

(penyalahgunaan keadaan atau kesempatan), yang merupakan

pelanggaran tata krama dan kesusilaan yang mengakibatkan kerugian

orang lain. Selain itu terdapat fakta yang mengenai adanya cacat

kehendak atau cara memaksakan kehendak persetujuan yang disalah

gunakan, sesuai dengan Pasal 1321 dan Pasal 1324 KUHPerdata dan

dengan demikian, maka perjanjian atau pernyataan yang melibatkan

Penggugat dalam akta notaris mengandung cacat hukum dan

dinyatakan batal sejak penandatangan akta-akta notaris yang dibuat

dihadapan Tergugat IV (Notaris).

Tidak puas dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan tersebut, para Tergugat mengajukan upaya hukum

banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan Pengadilan Tinggi

Jakarta Nomor: 393/PDT/2000/PT.DKI membatalkan Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Mei 2000

No.442/Pdt.G/2000/PN.Jkt Sel, yang dimohonkan banding tersebut,

dengan beberapa pertimbangan diantaranya bahwa penyelesaian

masalah dalam Akta Nomor 41, Akta Nomor 42, dan Akta Nomor 31

tanggal 29 Oktober 1997 dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh

Penggugat sendiri terdiri dari orang yang berintegritas tinggi, serta

Penggugat tidak berhasil membuktikan adanya paksaan dalam

pembuatan ketiga akta tersebut, sehingga dengan demikian adalah

akta-akta tersebut sah, termasuk perjanjian-perjanjian yang dibuat

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

81

yang didasarkan atas alasan hak dari akta-akta tersebut diatas adalah

sah juga.

Majelis hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara ini

dalam putusannya menilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi salah

menerapkan hukum, sehingga putusan-putusan tersebut harus

dibatalkan dan Majelis Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia No. 3641K/Pdt/2001 menyatakan para

Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan

batal perjanjian atau pernyataan Akta Nomor 41, Akta Nomor 42,

dan Akta Nomor 31 yang dibuat oleh KOESBIONO

SARMANHADI, SH. Notaris di Jakarta sepanjang mengenai

kepentingan dan harta kekayaan Penggugat terhitung saat dibuatnya

akta-akta tersebut, dan menghukum para Tergugat untuk

mengembalikan harta Penggugat.

2.4.2 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

792K/Pdt/2002

JAYA SUPARMAN selaku Penggugat dengan Ir. WU KUO

WAH selaku Tergugat terdapat hubungan hukum kerja sama dalam

bidang usaha PT. BINTANG LAJU SENTOSA, yang didirikan oleh

Penggugat pada tanggal 18 Mei 1990 dihadapan Notaris IMAS

TARWIAH SUDRAJAT, SH. Nomor 3. Pada tanggal 1 September

1995 diadakan kerja sama antara Penggugat dan Tergugat, yang

dibuat dihadapan Notaris IMAS TARWIAH SUDRAJAT, SH.,

sesuai dengan risalah Rapat PT. BINTANG LAJU SENTOSA,

dengan akta Nomor 3 tertanggal 1 September 1995, yang

berdasarkan Akta tersebut, Penggugat adalah Direktur Utama,

Tergugat adalah Direktur Persero dan WAHYU ISKANDAR adalah

Presiden Komisaris, ketiganya adalah pemegang Saham dari

PT.BINTANG LAJU SENTOSA;

Pada bulan Agustus 1998, Penggugat dipanggil oleh

KAPOLRES BANDUNG untuk menghadap atas laporan Tergugat

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

82

karena menurut Tergugat, Penggugat telah melakukan Tindak Pidana

Penipuan dan Penggelapan atas pinjaman Penggugat kepada

Tergugat guna modal usaha PT. BINTANG LAJU SENTOSA.

Meskipun berkas perkara dikembalikan lagi oleh Kejaksaan

kepada Kepolisian, sehubungan dengan dasar bukti-buktinya tidak

cukup dalam tindak pidana tersebut, Penggugat dipanggil lagi dan

akhirnya ditahan di RUTAN Kls I KEBONWARU sejak tanggal 10

Juni 1999 s/d 18 Agustus 1999.

Pada saat Penggugat asli berada dalam tahanan terdapat Surat

dari Ketua Majelis Hakim Bale Bandung AYUB O. TAULO, SH.

No.292/Pid.B/1999/PN.BB, tertanggal 7 Agustus 1999 yang

ditujukan kepada Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Bale Bandung,

bahwa Penggugat diizinkan (dibon) untuk menghadap Notaris

KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH selaku Turut Tergugat dalam

rangka menandatangani Akta Perjanjian Perdamaian atas dasar

peminjaman tahanan, hal mana Penggugat maupun isteri Penggugat

tidak pernah mengajukan permohonan untuk berdamai dan

menandatangani surat-surat untuk kepentingan tersebut. Dengan

demikian terbit Akta Perdamaian Nomor 18 tertanggal 7 Agustus

1999.

Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor : 792 K/Pdt/2002 menyatakan Penggugat telah

ingkar janji atau melawan hukum dan menyatakan Penggugat

berhutang pada Tergugat dengan sisa hutang sebesar Rp.

100.000.000,- (seratus juta rupiah) dari jumlah hutang sebesar Rp.

165.420.429,- (seratus enampuluh lima juta empatratus duapuluh

ribu empatratus duapuluh sembilan rupiah), yang dengan kata lain,

Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut tetap sah dan berlaku.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

83

2.5 Keabsahan dan Kebatalan Suatu Perbuatan Hukum yang Dilakukan

oleh Pihak yang Terkait Perkara Pidana Melalui Akta Notaris

Setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni

pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak setiap orang cakap untuk

melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya

serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-

perbuatan hukum tertentu.

Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat

adalah subyek hukum yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan

perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris. Namun yang menarik

pada kedua kasus tersebut adalah bahwa salah satu pihak dalam akta notaris

tersebut adalah subyek hukum yang sedang terkait perkara pidana dan

karenanya ditahan oleh pihak yang berwajib dengan sangkaan melakukan

tindak pidana.

Pada kasus pertama dengan Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor: 3641K/PDT/2001, akta-akta notaris ditandatangani oleh

Penggugat yang sedang berada dalam tahanan karena adanya sangkaan

melakukan tindak pidana korupsi. Para Tergugat memberikan selipan

kalimat di dalam akta-akta tersebut mengenai akan ditangguhkannya

penahanan Penggugat yang telah terbukti dalam kasus ini memang benar

adanya surat permohonan dari Tergugat I kepada Kepolisian, Penuntut

Umum dan Pengadilan Jakarta Selatan untuk memohon penangguhan

penahanan terhadap Penggugat dengan alasan bahwa Penggugat tidak

merugikan pihak Pelapor dalam hal ini Tergugat I.

Pembuatan dan penandatanganan akta-akta notaris yang dilakukan

oleh Penggugat yang berada dalam tahanan dan Tergugat tetap mengacu

pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata khususnya

mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Syarat cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam kasus

ini telah terpenuhi yaitu Penggugat telah dewasa, tidak dilarang oleh

undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dan Penggugat

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

84

memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terkait akta-akta

yang ditandatanganinya karena objek dari akta-akta tersebut adalah terkait

harta kekayaan Penggugat sendiri. Syarat mengenai suatu hal tertentu juga

telah terpenuhi yaitu dalam akta-akta tersebut disebutkan secara jelas dan

tegas mengenai objek perjanjian salah satu diantaranya adalah sebidang

tanah dengan sertipikat Hak Milik Nomor 639/Grogol Utara. Kedua syarat

sahnya perjanjian tersebut telah dipenuhi oleh para pihak yang

bersangkutan, namun berkaitan dengan syarat lainnya yaitu sepakat bagi

mereka yang mengikatkan dirinya menimbulkan keraguan apakah sepakat

tersebut diberikan oleh para pihak secara bebas atau tidak, serta syarat

mengenai suatu sebab yang halal.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna

bahwa para pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan terdapat

persesuaian kehendak di antara mereka dengan tidak ada unsur paksaan,

kekeliruan dan penipuan. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak

ada sepakat yang sah apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan,

atau diperolehnya dengan paksaan ataupun penipuan. Pasal 1323 dan Pasal

1324 KUHPerdata mengatur bahwa yang dimaksud dengan paksaan dalam

pembuatan perjanjian adalah kekerasan jasmani atau ancaman dengan

sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada

seseorang sehingga ia membuat perjanjian.

Dalam kasus ini tidak terdapat kekerasan jasmani yang dialami

oleh Penggugat melainkan adanya keterpaksaan Penggugat dalam

menandatangani akta-akta tersebut karena adanya ketakutan yang timbul

jika Penggugat ditahan lebih lama oleh pihak yang berwajib. Ketakutan

Penggugat tersebut disadari oleh para Tergugat dan kemudian menggunakan

kesempatan tersebut untuk memberikan selipan kalimat di antara akta-akta

bahwa akan ditangguhkannya penahanan Penggugat. Pasal 1324

KUHPerdata menyatakan bahwa paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu

sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat,

dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut

bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian terang dan

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

85

nyata. Suatu keterpaksaan (ketidakbebasan kehendak) juga harus dibuktikan

secara materiil dan pembuktian materiil tersebut harus memperhatikan pada

ada tidaknya unsur kerugian yang dialami oleh pihak yang

membuat/menandatanganinya sebagai akibat perjanjian tersebut. Hal ini

sejalan dengan apa yang terjadi kepada Penggugat yang dengan

keterpaksaan menandatangani akta-akta notaris yang berkaitan dengan suatu

hutang yang bukan merupakan hutang Penggugat melainkan hutang dari PT.

GUNUNG AGUNG GROUP yangmana hutang tersebut timbul pada saat

Penggugat masih menjadi pemilik dan pengurus atas perseroan tersebut.

Penandatanganan suatu akta notaris di dalam Rumah Tahanan yang

berisi suatu janji akan membayar suatu jumlah hutang yang bukan

hutangnya melainkan hutang pihak lain yaitu PT. GUNUNG AGUNG

GROUP hanya dapat dilakukan karena terpaksa atau dalam keadaan tidak

bebas. Keadaan seperti itu jelas dialami oleh Penggugat karena Penggugat

tidak hanya tidak bebas secara fisik tetapi juga secara psikis yaitu secara

fisik telah ditahan di rumah tahanan selama 7 (tujuh) bulan tanpa kepastian

untuk dibebaskan, sehingga tidak sempat berpikir secara jernih, dan

manakala Tergugat memberikan selipan kalimat di dalam akta-akta tersebut

mengenai akan ditangguhkannya penahanan Penggugat, Penggugat

senantiasa percaya dan menandatangani akta-akta tersebut tanpa menyadari

bahwa akta-akta tersebut berisi janji akan membayar suatu hutang yang

bukan merupakan hutang pribadinya sendiri bahkan hingga membebankan

pula pada sejumlah harta kekayaan Penggugat untuk menjadi jaminan atas

pelunasan hutang yang dimaksud dalam akta-akta tersebut.

Dengan adanya selipan kalimat tersebut di atas telah jelas bahwa

Tergugat I juga telah melakukan penyalahgunaan keadaan dan kesempatan

yang merupakan pelanggaran tata krama dan kesusilaan yang berakibat

timbulnya kerugian bagi Penggugat. Tidak berimbangnya prestasi dan

kontra prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih

jauh apakah lahirnya suatu perjanjian itu didahului oleh adanya

penyalahgunaan keadaan. Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan

prestasi tersebut terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

86

satu pihak disalahgunakan. Tekanan keadaan dan ketidakseimbangan saja

juga tidak cukup, yang penting justru dibuktikan adanya penyalahgunaan

dari keadaan ekonomis atau psikologis.73

Oleh karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat

yang terkait perkara pidana dalam kasus pertama adalah tidak sah sebab

tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif sahnya perjanjian dan oleh

karenanya Penggugat selaku salah satu pihak mengajukan pembatalan

terhadap akta-akta tersebut. Pembatalan (annullability, voidability) dipilih

bila semata-mata kepentingan salah satu pihak perlu dilindungi, dalam hal

ini kepentingan Penggugat.

Terkait syarat objektif sahnya suatu perjanjian yaitu adanya suatu

sebab yang halal tidak terpenuhi khususnya dalam pembuatan akta Nomor

41 yang ditandatangani oleh Penggugat, yang memuat pernyataan bahwa

Penggugat masih mempunyai pinjaman/hutang kepada Tergugat I.

Pembuatan akta tersebut tidaklah mempunyai suatu landasan sebab yang

halal karena hutang yang dimaksud dalam Akta Nomor 41 tersebut

bukanlah hutang pribadi Penggugat melainkan hutang PT. GUNUNG

AGUNG GROUP kepada Tergugat I pada saat Penggugat masih menjadi

pemilik saham dan pengurus perseroan tersebut. Pada 1 Februari 1994

terjadi jual beli saham PT. KOSGORO dan PT. TRIMUDA JAYA yang

merupakan bagian dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP antara Penggugat

selaku pemilik dengan SUGIANTO KUSUMA dan PT. BINAJAYA

PADUKREASI (Tergugat V dan VI) selaku pembeli atas saham-saham

tersebut. Berdasarkan Perjanjian Jual Beli tertanggal 1 Februari 1994,

terhitung sejak beralihnya saham-saham PT. GUNUNG AGUNG GROUP

tersebut kepada Tergugat V dan VI yaitu pada tanggal 17 Desember 1993,

maka seluruh hutang PT. GUNUNG AGUNG GROUP telah beralih

seluruhnya kepada Tergugat V dan VI. Dengan demikian, sejak tanggal

peralihan tersebut, Penggugat tidak lagi menjadi pemilik saham dan

pengurus dari PT. GUNUNG AGUNG GROUP.

73

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I, (Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2001), h. 322-323.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

87

Baik Akta Nomor 41, Nomor 42 maupun Nomor 31 memuat

pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai hutang kepada Tergugat I,

dan atas sisa hutang tersebut terdapat jaminan perorangan yang selanjutnya

diubah dengan jaminan kebendaan berupa harta kekayaan Penggugat.

Pembuatan ketiga akta tersebut tentunya tidak didasari oleh alas hak adanya

hutang Penggugat kepada Tergugat I. Hutang yang dimaksud dalam ketiga

akta tersebut pada dasarnya merupakan hutang PT. GUNUNG AGUNG

GROUP kepada Tergugat I, dan oleh karenanya tidak ada satu alasan pun

yang dapat membebankan Penggugat atas hutang-hutang PT. GUNUNG

AGUNG GROUP termasuk pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan

pribadi Penggugat karena Penggugat tidak lagi menjadi pemilik sekaligus

pengurus perseroan tersebut, meskipun lahirnya hutang dengan adanya

perjanjian pinjaman antara PT. GUNUNG AGUNG GROUP dengan

Tergugat I ketika Penggugat masih menjadi pemilik dan pengurus perseroan

tersebut.

Terkait kasus pertama ini, kepentingan Penggugat perlu dilindungi

karena terkait pengalihan sebagian besar harta kekayaan Penggugat tanpa

didasari alas hukum yang sah untuk itu yaitu untuk pelunasan hutang yang

bukan hutang Penggugat melainkan hutang perseroan dimana Penggugat

tidak lagi menjadi pemilik dan pengurus perseroan tersebut. Selain itu, akta-

akta yang telah ditandatangani Penggugat pun juga mengandung unsur

penyalahgunaan keadaan. Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung

pun dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

3641K/PDT/2001 membatalkan akta-akta yang dibuat oleh para pihak

tersebut.

Lain halnya dengan kasus yang pertama, Mahkamah Agung dalam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 792 K/Pdt/2002

tidak membatalkan akta perdamaian yangmana salah satu pihak dalam hal

ini Penggugat juga terkait perkara pidana dan ditahan oleh pihak berwajib.

Penggugat terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan dan

penggelapan kekayaan serta tidak mempertanggungjawabkan keuangan

milik perusahaan, sebagaimana telah diputus dan telah berkekuatan hukum

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

88

tetap dengan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tertanggal 18

Agustus 1999 No.292/Pid.B/1999/PN.BB.

Perjanjian Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua

belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,

mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya

suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara

tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUHPerdata. Dalam

perdamaian tersebut kedua belah pihak saling melepaskan sebagian tuntutan

mereka demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau

untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam prakteknya suatu

perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta karena perjanjian

tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan

alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Dalam kasus ini,

perjanjian perdamaian yang tertuang dalam Akta Perdamaian Nomor 18 dan

ditandatangani oleh para pihak merupakan akta perdamaian dalam rangka

pelunasan hutang Penggugat selaku debitur kepada Tergugat selaku

kreditur.

Terkait salah satu syarat subyektif sahnya perjanjian yaitu

kesepakatan, dalam pembuatan Akta Perdamaian Nomor 18 tersebut telah

terjadi kesepakatan tanpa adanya paksaan, dalam arti yang ditentukan Pasal

1324 juncto Pasal 1859 KUH Perdata, dari para pihak untuk membuat dan

menandatangani akta tersebut, sebagaimana diperkuat dengan keterangan

saksi dibawah sumpah yang diajukan Tergugat. Dengan kata lain, dalam

pembuatan perjanjian tersebut tidak ada penyalahgunaan keadaan, karena

Penggugat masih dapat memilih untuk tidak membuat perjanjian tersebut.

Penggugat pun terbukti telah ingkar janji atau melawan hukum dan

Penggugat masih mempunyai sisa hutang yang wajib dibayar kepada

Tergugat, dan tidak terdapat satu alasan pun untuk membatalkan perjanjian

yang telah dibuat di antara kedua belah pihak. Selain itu, Penggugat pada

waktu penandatangan, tersebut walaupun dalam status penahanan, adalah

cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian, karena ia tidak termasuk

sebagai orang yang tidak cakap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

89

KUHPerdata. Perjanjian Perdamaian yang disepakati oleh kedua belah

pihak, tanpa ada paksaan dan para pihak cakap untuk membuat perjanjian,

meski salah satu pihak dalam status penahanan, perjanjian tersebut adalah

sah. Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian telah dipenuhi oleh para

pihak dan karenanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak

adalah sah dan perjanjian yang telah dibuat di antara kedua belah pihak

berlaku sebagai undang-undang yang mengikat para pihak tersebut serta

tidak ada satu alasan pun yang dapat membatalkan atau tidak melaksanakan

perjanjian tersebut.

Keabsahan suatu perbuatan hukum salah satunya perjanjian tidak

terlepas dari ketentuan yang bersifat memaksa dalam Buku III KUHPerdata

khususnya Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian.

Ketentuan dalam pasal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus

dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian. Jika tidak terpenuhi seluruh

syarat sahnya suatu perjanjian, dapat menimbulkan akibat hukum antara lain

dapat dimintakan batalnya perjanjian yang sudah dibuat tersebut ke

pengadilan ataupun batal demi hukum perjanjian tersebut seolah-olah tidak

pernah dibuatnya perjanjian yang dimaksud.

Keempat syarah sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata, khususnya syarat subyektif, sama sekali tidak mengatur

mengenai status ataupun kedudukan subyek hukum selaku pihak yang

membuat perjanjian, melainkan lebih menegaskan mengenai adanya

kecakapan pihak dalam melakukan perbuatan hukum dan adanya kebebasan

dari para pihak untuk menyatakan sepakat dibuatnya perjanjian yang akan

mengikat para pihak layaknya undang-undang.

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa salah satu syarat sahnya

perjanjian adalah bahwa para pihak adalah cakap untuk melakukan

perbuatan hukum. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum dalam

kedua kasus diatas merupakan subyek hukum yang cakap untuk melakukan

perbuatan hukum meskipun salah satu pihak terkait perkara pidana dan

karenanya ditahan oleh pihak yang berwajib. Hal ini sering menimbulkan

keraguan bagi para Notaris manakala salah satu pihak, yang akan

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

90

melakukan perbuatan hukum meminta untuk dibuatkan akta notaris, terlibat

perkara pidana.

Sekalipun tersangka atau terdakwa berada dalam penahanan, bukan

berarti dapat diperlakukan sewenang-wenang. Penahanan sebagai upaya

paksa, tidak menghilangkan harkat martabat tahanan, dan tidak dapat

melenyapkan hak asasi yang melekat pada dirinya secara keseluruhan.

Dengan ditimpakan upaya paksa penahanan terhadap tersangka atau

terdakwa, hak asasinya telah dibatasi. Namun demikian sepanjang yang

berkenaan dengan hak asasi yang berhubungan dengan harkat martabat serta

hak yang perlu untuk melindungi kepentingan pribadinya tidak boleh

dikurangi, dan harus dijamin oleh hukum sekalipun dia berada dalam

penahanan. Hukum harus melindungi haknya untuk mendapat perlakuan

yang adil dan beradab, dan untuk mendapat kedudukan yang sederajat di

hadapan hukum.74

Perlindungan kepada tersangka atau terdakwa tersebut

juga meliputi pemberian jaminan bagi seseorang untuk tetap dapat

melakukan perbuatan hukum karena ia tidak akan kehilangan hak

keperdataannya dan tetap merupakan subyek hukum. Pasal 3 KUHPerdata

telah menyatakan dengan tegas bahwa “tiada suatu hukumanpun

mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak perdata”. Hak

keperdataan seseorang hanya berakhir apabila ia meninggal dunia serta

dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan hukum

tertentu. Pasal 3 KUHPerdata ini menegaskan bahwa meskipun seseorang

selaku subyek hukum terkait perkara pidana dan bahkan mendapatkan

hukuman atas perbuatan pidananya tersebut tidak serta merta

menghilangkan hak dan kebebasan keperdataan orang yang bersangkutan.

Dengan adanya hukuman yang diterimanya, kebebasan pihak yang menjadi

terpidana tersebut menjadi terbatas termasuk kebebasan keperdataannya.

Hal ini berarti bahwa seorang terpidana yang telah dewasa dan cakap

sekalipun tetaplah merupakan subyek hukum yang dapat melakukan

perbuatan hukum melalui akta notaris sepanjang tidak dilarang oleh suatu

peraturan perundang-undangan tertentu.

74

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 197.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

91

Hak seorang yang terkait perkara pidana untuk dapat melakukan

perbuatan hukum sejalan dengan beberapa asas yang diterapkan dalam

hukum perjanjian di Indonesia yaitu asas persamaan hukum, asas

keseimbangan, asas personalia, asas konsensualisme, dan asas kebebasan

berkontrak. Asas persamaan hukum menekankan adanya persamaan derajat

di antara para pihak dan mengharuskan para pihak untuk menghormati satu

sama lain, meskipun salah satu pihak terkait perkara pidana. Asas

keseimbangan menghendaki agar kedua belah pihak menghormati,

memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya, dengan

mengutamakan pelaksanaan dengan itikad baik di antara para pihak. Asas

personalia menekankan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh pihak

yang terkait perkara pidana sekalipun sebagai subyek hukum pribadi yang

mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan

akan mengikat seluruh harta kekayaan yang dimilikinya secara pribadi. Hal

ini menegaskan bahwa walaupun salah satu pihak terkait perkara pidana dan

bahkan ditahan oleh pihak yang berwajib, tetap harus melaksanakan

perjanjian yang telah dibuatnya tersebut meskipun dalam keadaan yang

tidak bebas.

Salah satu perhatian terkait perbuatan hukum yang dilakukan pihak

terkait perkara pidana adalah apakah ia telah memenuhi syarat cakap untuk

melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang telah dewasa dan sehat akal pikirannya

serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-

perbuatan hukum tertentu. Misalnya, putusan pernyataan pailit mengubah

status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan

hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan

pernyataan pailit diucapkan oleh pengadilan, sebagaimana juga dipertegas

dalam Pasal 1330 KUHPerdata juncto UU Kepailitan. Larangan tersebut

dalam rangka melindungi kreditor pada khususnya dan melindungi

masyarakat pada umumnya, untuk mencegah orang yang bersangkutan

mengalihkan harta kekayaannya sehingga tidak dapat membayar utang-

utangnya kepada seluruh kreditor.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

92

Seandainya orang-orang yang tidak cakap bertindak melakukan

suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum yang mereka lakukan dianggap

sah-sah saja atau tetap berlaku, sepanjang para pihak belum menuntut

pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan kepada hakim pengadilan. Ini

berarti ketidakcakapan mereka bertindak dalam melakukan perbuatan

hukum tidak menyebabkan perbuatan hukum yang mereka lakukan menjadi

batal dengan sendirinya, namun harus dimintakan pembatalan terlebih

dahulu kepada hakim pengadilan.75

Ketentuan dalam Pasal 1331

KUHPerdata menyatakan bahwa para pihak yang tidak cakap melakukan

perbuatan hukum tetapi terlanjur melakukan perbuatan hukum dapat saja

menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka lakukan

kepada hakim pengadilan. Oleh karena itu, apabila para pihak meminta

Notaris untuk membuatkan akta perihal suatu perbuatan hukum, Notaris

harus cermat dan teliti terutama dalam menilai kecakapan seseorang

dikaitkan dengan Pasal 1330 KUHPerdata, terutama apabila pihak yang

bersangkutan terkait perkara pidana.

Berbeda halnya dengan UU Kepailitan, baik Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana selanjutnya disingkat dengan KUHPidana maupun Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya

dalam tesis ini disebut KUHAP, tidak mengatur secara khusus mengenai

hak-hak yang dimiliki pihak yang terkait perkara pidana baik dalam

statusnya sebagai tersangka, terdakwa ataupun terpidana untuk membuat

akta yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukannya.

Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak diatur secara khusus mengenai perihal

tersebut.

Penghormatan harkat dan martabat manusia telah diatur dalam

KUHPidana. Namun demikian, dalam beberapa hal pengaturannya masih

75

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 85.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

93

belum memberikan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, salah

satunya terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa dalam penahanan

terutama dalam pembuatan akta notaris. Adapun mengenai hak-hak seorang

tersangka ataupun terdakwa diatur secara tegas dalam Pasal 50 sampai

dengan Pasal 68 KUHAP, antara lain:

a. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,

tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara

bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52);

b. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat

hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat

pemeriksaan (Pasal 54);

c. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima

kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan

kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa

guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan

ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60);

d. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan

perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima

kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada

hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk

kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan

(Pasal 61); dan hak-hak lainnya.

KUHAP tidak mengatur secara khusus mengenai hak seorang yang terkait

perkara pidana untuk dapat meminta dibuatkan akta Notaris terkait

perbuatan hukum yang akan dilakukannya. Namun demikian, Pasal 60

juncto Pasal 61 KUHAP dapat diterapkan manakala seseorang yang terkait

perkara pidana baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa meminta

kepada Notaris untuk dibuatkan suatu akta terkait perbuatan hukum yang

akan dilakukannya. Pasal 60 KUHAP menegaskan adanya hak bagi

tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum, termasuk

diantaranya bantuan hukum yang dapat diperoleh dari seorang Notaris

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

94

terutama dalam membuat akta otentik terkait perbuatan hukum yang

bersangkutan. Pasal 61 KUHAP juga menekankan bahwa meskipun

seseorang terkait perkara pidana dan berstatus sebagai tersangka ataupun

sebagai terdakwa, seseorang tetap dapat menjalin komunikasi dengan pihak

lain untuk kepentingan pekerjaan ataupun untuk kepentingan keluarganya

dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau

terdakwa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa KUHAP secara tersirat

juga menjamin hak-hak tersangka ataupun terdakwa dalam meminta Notaris

untuk dibuatkan akta otentik terkait perbuatan hukum yang dilakukannya,

dengan batasan tidak ada hubungan antara perbuatan hukum yang dilakukan

dengan perkaranya.

Sejalan dengan Pasal 61 KUHAP, Pasal 12 ayat (1) huruf g

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya,

Komisi Pemberantasan Korupsi, selanjutnya dalam tesis ini disebut KPK,

berwenang untuk menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,

transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara

perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka

atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada

hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa

terhadapnya. Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak

pidana korupsi tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang ada

keterkaitannya dengan perkara yang sedang diperiksa terhadapnya,

termasuk perjanjian yang sudah dibuat pun tetap dapat dihentikan sementara

oleh KPK.

Hal ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap Pasal 3

KUHPerdata yang menjamin tiada suatu hukumanpun yang dapat

menghilangkan hak perdata, akan tetapi hak keperdataan yang dimiliki

seorang pihak yang terkait perkara pidana menjadi dibatasi khususnya

dalam melakukan perbuatan hukum yang ada kaitannya dengan perkara

pidana yang sedang diperiksa terhadapnya.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

95

Meskipun KPK berwenang untuk menghentikan suatu perjanjian

yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa,

namun Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

mengakomodir perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik,

yaitu dengan memungkinkan pihak ketiga untuk mengajukan keberatan

apabila hak-hak pihak ketiga tersebut akan dirugikan dengan adanya

putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang terkait perkara.

Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik ini sangatlah

penting karena juga melindungi kepentingan seluruh masyarakat, sekaligus

menjamin kepastian dan penegakan hukum di Indonesia.

Selain cakap untuk melakukan perbuatan hukum, kesepakatan atau

sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya juga menjadi syarat penting

untuk sahnya suatu perjanjian. Pentingnya kata sepakat atau persesuaian

kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian merupakan bentuk

riil dari asas konsensualisme yang berlaku dalam hukum perjanjian. Notaris

sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik

harus cermat dan teliti untuk melihat apakah terdapat kesepakatan atau

sepakat diantara para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang akan

dituangkan melalui akta yang dibuatnya. Kesepakatan ini penting karena

terkait Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiada sepakat yang

sah apabila sepakat itu diberikan karena khilapan atau diperoleh dengan

paksaan atau penipuan.

Kesepakatan para pihak juga sangat berkaitan erat dengan asas

kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas

kebebasan berkontrak tidaklah bersifat mutlak, dan sering terjadi dalam

praktek bahwa kedudukan para pihak dalam keadaan yang tidak seimbang

sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk

menyatakan kehendaknya dan seolah-olah perjanjian tersebut terjadi secara

sepihak. Seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum pribadi

meskipun sedang terkait perkara pidana tetap dapat mempunyai kebebasan

individu untuk ikut serta menentukan dan menyampaikan kehendak

bebasnya untuk selanjutnya dengan kehendak bebas yang dimilikinya pula

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

96

menyetujui suatu perjanjian yang telah dibuatnya sepanjang tidak ada

hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa terhadapnya. Suatu

perjanjian yang dibuatnya tersebut hanya akan berlaku dan mengikat untuk

dirinya sendiri. Dalam hal seseorang tidak menjadi pihak dalam suatu

perjanjian, maka ia tidak terikat dengan perjanjian tersebut.

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, keabsahan perbuatan

hukum yang dilakukan oleh seseorang yang terkait perkara pidana erat

kaitannya dengan syarat subyektif sahnya perjanjian, sehingga hal-hal yang

berhubungan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian pada umumnya harus

dikuasai dengan baik oleh seorang Notaris, terutama yang berhubungan

dengan kewenangan bertindak para pihak untuk membuat suatu perjanjian,

sebab apabila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat

dibatalkan. Selain itu, keabsahan perbuatan hukum tersebut juga erat

kaitannya dengan syarat obyektif sahnya perjanjian khususnya mengenai

adanya kausa atau sebab yang halal untuk melakukan perbuatan hukum

yang dimaksud. Dalam hal yang demikian, Notaris harus senantiasa berhati-

hati, seksama dan mengedepankan integritas jabatannya dalam menilai

apakah para pihak melakukan perbuatan hukum tersebut dengan itikad baik

atau tidak, termasuk cermat terhadap motif para pihak yang melakukan

perbuatan hukum tersebut agar jangan sampai perbuatan hukum tersebut

justru merupakan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang

untuk dilakukan. Sebagai contoh, seorang terpidana tindak pidana korupsi

dilarang untuk melakukan perbuatan hukum apapun yang mempunyai

tujuan baik langsung maupun tidak langsung untuk mengalihkan harta

kekayaannya yang berindikasi hasil tindak pidana korupsi. Jika ternyata

Notaris yang bersangkutan tidak cermat terhadap ada atau tidaknya kausa

yang halal atas suatu perbuatan hukum, akan berakibat batal demi hukum

akta yang dimaksud, dan nama baik Notaris yang bersangkutan pun

dipertaruhkan.

Suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang terkait

perkara pidana ataupun tidak tetap mengacu pada ketentuan dalam

KUHPerdata khususnya ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian dan

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

97

berlaku pula asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal

1338 KUHPerdata. Tidak ada perbedaan yang khusus perihal status subyek

hukum yang melakukan perbuatan hukum baik yang sedang terkait perkara

pidana maupun tidak. Dalam hal ini, Notaris harus bersikap cermat,

seksama, adil terutama dalam melindungi kepentingan para pihak agar

seimbang dan menjamin kepastian hukum, serta melindungi kepentingan

pihak ketiga yang beritikad baik termasuk melindungi kepentingan

kehormatan dan martabat jabatan Notaris yang bersangkutan.

2.6 Implikasi Hukum Terhadap Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum dan

Tanggung Jawab Notaris dimana Salah Satu Pihak Terkait Perkara

Pidana

Sebagaimana telah diuraikan di atas, meskipun seseorang terkait

perkara pidana namun ia tetaplah merupakan subyek hukum yang diakui

kedudukannya dan mempunyai persamaan dengan subyek hukum lainnya di

mata hukum. Ia sebagai subyek hukum juga tetap dapat melakukan

perbuatan hukum meskipun ia terkait perkara pidana dan bahkan ditahan

oleh pihak yang berwajib dengan syarat ia telah cakap dan memang ia

berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud. Hal ini

sejalan dengan Pasal 3 KUHPerdata yang menegaskan bahwa hak

keperdataan seseorang hanya dapat berakhir ketika ia meninggal dunia atau

secara khusus dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu

perbuatan hukum tertentu. Dengan demikian, setiap orang bahkan seorang

tersangka ataupun terdakwa sekalipun tetap dapat melakukan hak-hak

keperdataan namun sifatnya terbatas. Salah satu contoh pembatasan

pelaksanaan hak keperdataan seorang tersangka atau terdakwa adalah bahwa

seorang tersangka ataupun seorang terdakwa tidak boleh melakukan

perbuatan hukum yang berkaitan dengan perkara yang sedang dijalaninya.

Pembatasan tersebut sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 61

KUHAP.

Status seorang subyek hukum sebagai seorang tersangka ataupun

terdakwa tidaklah mempengaruhi syarat sahnya perjanjian yang

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

98

dilakukannya, karena dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak diatur secara

tegas mengenai kedudukan dan status pihak yang membuat perjanjian. Pasal

1320 KUHPerdata mengatur secara tegas dan terbatas (limitatif) mengenai

syarat sahnya perjanjian pada 4 (empat) elemen yaitu cakap seorang yang

membuat perjanjian, adanya kata sepakat di antara para pihak, adanya suatu

hal tertentu dan adanya sebab yang halal. Keempat syarat tersebut tidak

menekankan pada status pihak dalam perjanjian, dengan demikian jika suatu

perjanjian yangmana salah satu pihak sedang terkait perkara pidana dan

dikenakan penahanan tetap dibuat dengan memperhatikan dan memenuhi

keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka tidak ada alasan apapun

yang dapat meminta dibatalkan atau batal demi hukum perjanjian yang

dimaksud. Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat tersebut adalah sah dan

harus dilaksanakan secara penuh untuk kepentingan kedua belah pihak

secara berimbang.

Dalam kasus pertama, perbuatan hukum yang dilakukan oleh

Penggugat yang terkait perkara pidana terbukti tidak dilakukan secara bebas

melainkan terindikasi adanya penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh

Tergugat sehingga dengan demikian perbuatan hukum tersebut adalah tidak

sah dan tidak mengikat para pihak khususnya Penggugat. Selain itu, timbul

pula implikasi hukum terhadap akta-akta yang telah dibuat dihadapan

Koesbiono Sarmanhadi, SH selaku Notaris yaitu terhadap akta-akta Notaris

yang berkaitan dengan perbuatan hukum dalam kasus ini adalah menjadi

tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana layaknya

akta otentik pada umumnya yang mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna. Oleh karena itu, baik perbuatan hukum maupun akta-akta notaris

yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak sah

sekaligus tidak mengikat kedua belah pihak, termasuk pihak ketiga yaitu

masyarakat. Bagi pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini khususnya

Penggugat, dapat menggugat Notaris secara perdata dan menuntut biaya,

ganti rugi dan bunga, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab Notaris

dalam menjalankan tugas jabatannya khususnya tanggung jawab terhadap

akta yang telah dibuatnya.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

99

Hal tersebut berbeda dalam kasus kedua yaitu perbuatan hukum

yang dilakukan oleh pihak terkait perkara pidana tetaplah sah karena

terbukti bahwa Penggugat telah ingkar janji atau melawan hukum, dan

Penggugat masih berhutang pada Tergugat, sehingga Akta Perdamaian

Nomor 18 yang ditandatangani oleh Penggugat yang sedang terkait perkara

pidana dan dikenakan penahanan tersebut tetap sah dan berlaku di antara

para pihak. Oleh karena itu, timbul 3 (tiga) unsur akibat atas sahnya Akta

Perdamaian tersebut, antara lain:

a. Berlaku sebagai undang-undang

Akta Perdamaian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan

memaksa serta memberi kepastian hukum baik kepada

Penggugat selaku debitor maupun Tergugat selaku kreditor.

Para pihak harus mentaati Akta Perdamaian tersebut sama

halnya dengan mentaati undang-undang. Jika ada pihak yang

melanggar perjanjian sebagaimana tertuang dalam Akta

Perdamaian Nomor 18, maka ia dapat dituntut dan diberi

hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang,

khususnya dalam perjanjian.

b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Oleh karena Akta Perdamaian tersebut merupakan persetujuan

kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau

dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak,

tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang,

perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

c. Pelaksanaan dengan itikad baik (good faith)

Oleh karena Akta Perdamaian Nomor 18 dinyatakan tetap sah

dan berlaku, maka Penggugat dengan itikad baik berkewajiban

memenuhi prestasinya termasuk membayar sisa hutangnya

kepada Tergugat. Kewajiban pelaksanaan dengan itikad baik ini

sangatlah penting karena para pihak telah menggunakan haknya

untuk menerapkan asas kebebasan berkontrak dalam membuat

Akta Perdamaian tersebut sehingga sudah selayaknya jika para

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

100

pihak wajib melaksanakan dengan itikad baik akta tersebut

dalam rangka melindungi kepentingan para pihak yang

bersangkutan dan melindungi pihak ketiga yang beritikad baik

termasuk masyarakat.

Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah mempunyai

kebebasan dalam berkehendak terutama untuk menyetujui perjanjian yang

dibuat itu, sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian khususnya tentang

adanya kata sepakat, terutama dengan adanya itikad baik dari para pihak

yang membuatnya. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1338 ayat (3) juncto

Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik dan perjanjian tidak hanya mengikat

terhadap apa yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga kepada

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang. Pasal-pasal tersebut merupakan sebagian

kecil dari pembatasan dari suatu perjanjiaan atau persetujuan.

Itikad baik ini sangatlah penting terutama dalam melindungi para

pihak dalam perjanjian pada khususnya dan melindungi masyarakat pada

umumnya. Tanpa adanya penerapan itikad baik ini, suatu perjanjian dapat

dikatakan tidaklah terlaksana dengan baik, dan akan menimbulkan kerugian

pada salah satu pihak dalam perjanjian.

Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian bagi salah

satu pihak dalam perjanjian termasuk jika salah satu pihak terkait perkara

pidana, para pihak pada umumnya meminta kepada Notaris untuk dibuatkan

akta otentik terkait perbuatan hukum yang dilakukan. Hal ini berkaitan erat

dengan tugas Notaris yang utama dan pada pokoknya yaitu membuat akta-

akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh yang

mempunyai peranan penting dalam hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat. Di dalam pembuatan akta-akta otentik tersebut, Notaris

mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu melayani kepentingan

umum terutama dalam hal pelayanan hukum pembuatan akta-akta otentik

mengenai hubungan keperdataan yang terjadi diantara mereka.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

101

Salah satu kewajiban Notaris sebagai Pejabat Umum adalah bahwa

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam hal ini khususnya dalam

pembuatan akta otentik berkewajiban untuk bertindak jujur, saksama,

mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam

perbuatan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 UUJN. Terkait

kasus yang pertama, KOESBIONO SARMANHADI, SH telah tidak

menjalankan kewajibannya sebagaimana ditegaskan dalam UUJN terutama

dalam hal ketidakcermatan Notaris tersebut dalam memeriksa alas hak yang

melandasi pembuatan ketiga akta yang disengketakan, terutama bahwa

pembuatan ketiga akta tersebut tidak dilandasi oleh adanya hutang

Penggugat terhadap Tergugat I, melainkan dilandasi oleh hutang suatu

perseroan yang pernah dimiliki dan diurus oleh Penggugat sebelum saham-

saham perseroan yang dimaksud dialihkan kepada Tergugat V dan VI.

Dengan beralihnya saham-saham yang dimiliki Penggugat kepada Tergugat

V dan VI, maka seluruh hutang perseroan juga telah beralih seluruhnya

kepada Tergugat V dan VI selaku pembeli. Oleh karena itu, pembuatan Akta

Nomor 41, Nomor 41, dan Nomor 31 tidaklah didasari alas hak yang sah,

termasuk pembebanan jaminan terhadap harta kekayaan Penggugat pun juga

tidak sah. KOESBIONO SARMANHADI, SH. sebagai Notaris yang

membuatkan ketiga akta tersebut jelas tidaklah cermat dalam menjalankan

tugas jabatannya, sekaligus tidak menjaga kepentingan para pihak

khususnya dalam hal ini kepentingan Penggugat yang pada dasarnya tidak

memiliki kewajiban untuk membayar sisa hutang yang dimaksud oleh

Tergugat I, dan bahkan membebankan harta kekayaannya Penggugat

sebagai jaminan pelunasan hutang tersebut. Terhadap tindakan Notaris

KOESBIONO SARMANHADI, SH. dapat dikenai Pasal 85 UUJN yang

dapat berupa teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara;

pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian tidak hormat. Selain itu,

terhadap akta Nomor 41, Nomor 41, dan Nomor 31 tersebut menjadi tidak

sah dan dibatalkan sepanjang mengenai kepentingan dan harta kekayaan

Penggugat terhitung sejak dibuatnya akta-akta tersebut.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

102

Berbeda halnya dengan Notaris yang membuatkan Akta

Perdamaian Nomor 18 dalam kasus yang kedua. KIKIT WIRIANTI

SUGANDA, SH telah menjalankan tugas jabatannya sebagaimana

diamanatkan dalam UUJN, khususnya kewajiban untuk bertindak jujur,

saksama, mandiri, tidak berpihak serta menjaga kepentingan para pihak

yang terkait. KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH membuat Akta

Perdamaian dengan dilandasi alas hak yang sah yaitu adanya hutang

Penggugat terhadap Tergugat sebagaimana diperkuat dengan putusan

perkara pidana yang dijatuhkan terhadap Penggugat. Dengan sikap jujur,

mandiri serta kecermatan KIKIT WIRIANTI SUGANDA, SH, para pihak

baik Penggugat maupun Tergugat terlindungi kepentingannya terutama

dalam rangka pelunasan hutang yang dimaksud dalam Akta Perdamaian

Nomor 18 tersebut, yaitu bahwa Penggugat selaku debitur terlindungi yaitu

dengan hanya membayar sisa jumlah hutang yang menjadi kewajibannya

tersebut dan Tergugat selaku kreditur terlindungi dengan adanya janji akan

dibayarnya sisa jumlah hutang oleh Penggugat.

Sesuai dengan perkembangan jaman, institusi Notaris telah menjadi

bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin

meneguhkan institusi Notaris dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris tidak boleh membeda-

bedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaaan sosial-ekonomi

atau alasan lainnya. Alasan-alasan seperti keadaan sosial-ekonomi atau

alasan apapun lainnya tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh Notaris dalam

melayani masyarakat, melainkan hanya alasan hukum sajalah yang dapat

dijadikan dasar bahwa Notaris dapat tidak memberikan jasa kepada yang

menghadap Notaris. Bahkan dalam keadaan tertentu, Notaris wajib

memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada

yang tidak mampu, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUJN. Hal ini

dikarenakan Notaris wajib melakukan perintah tugas jabatannya sesuai

dengan isi sumpah pada waktu hendak menerima/memangku jabatan

Notaris. Batasan seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas dan

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

103

kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah imperatif

Undang-Undang yang dibebankan kepadanya.

Seorang Notaris juga berkewajiban untuk memberikan penyuluhan

dan nasehat hukum serta memberikan penjelasan mengenai peraturan

perundang-undangan yang berlaku kepada pihak yang datang kepadanya.

Sebelum para pihak menuangkan kehendaknya dalam akta, Notaris harus

terlebih dahulu memberikan nasihat seperlunya kepada para pihak, antara

lain mengenai syarat-syarat yang harus dilengkapi untuk keperluan

pembuatan akta tersebut serta mengenai siapa yang boleh menurut hukum

sehubungan dengan akta yang hendak dibuatnya dengan mengingat bahwa

ketidakcakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum dapat pula

disebabkan oleh undang-undang yang melarang seseorang tersebut untuk

melakukan perbuatan hukum tertentu. Notaris juga harus mempunyai

keyakinan mengenai kemampuan dan kewenangan masing-masing pihak

yang melakukan perbuatan hukum tersebut.

Apabila para pihak dalam akta notaris memasukkan pengertian

yang kurang tepat atau mempunyai arti ganda sehingga mudah

mengakibatkan terjadinya sengketa hukum, atau tidak mempunyai akibat

hukum, atau dapat diperkirakan dengan jelas bahwa suatu ketentuan

bermaksud untuk menguntungkan salah satu pihak yang mengadakan

perjanjian, maka Notaris harus mengemukakannya kepada para pihak

tentang keberatan-keberatan itu dan memberitahukannya secara layak.

Dalam hal para pihak tetap pada ketentuannya, maka Notaris harus

melaksanakannya, tetapi dengan mencantumkan secara tegas tentang

keberatan-keberatan yang telah diajukannya.76

Terkait kewajiban memberikan penyuluhan hukum tersebut,

Notaris merupakan pihak yang netral dan tidak membela kepentingan pihak

manapun. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab seorang

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pengemban

kepercayaan masyarakat, dengan mengingat bahwa otoritas Notaris

diberikan oleh Undang-Undang dalam rangka untuk pelayanan kepentingan

76

R. Soegondo Notodisoeryo, Op.cit., h.60.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

104

publik, dan bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris yang

bersangkutan.

Notaris dilarang untuk menolak memberikan pelayanan hukum

kepada masyarakat khususnya pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut,

maka secara garis besar notaris dapat menjalankan tugas jabatannya untuk

membuat akta yang berisi kehendak pihak yang datang kepada notaris,

meskipun salah satu pihak sedang terkait perkara pidana, sebagai contoh

Notaris dapat membuat akta wasiat yang diminta untuk dibuatkan oleh

seorang terpidana sekalipun. Namun demikian, Notaris tetap harus

menjalankan tugas jabatannya dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian

terutama dalam melihat dan menilai apakah para pihak adalah memang

berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksud dan apakah

tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang para pihak

khususnya bagi pihak yang terkait perkara pidana untuk melakukan

perbuatan hukum yang dimaksud tersebut. Notaris juga harus sangat

berhati-hati, teliti, seksama dan menggunakan hati nurani dalam menilai

kondisi jasmani dan rohani pihak yang meminta dibuatkan akta, apakah ia

dalam kondisi yang sehat dan memungkinkan untuk dibuatkan akta atas

perbuatan hukum yang dilakukannya atau tidak. Kondisi jasmani dan rohani

pihak yang meminta dibuatkan akta tersebut akan sangat berpengaruh

terhadap unsur kesadaran dalam kebebasan menyatakan kehendak dan unsur

sepakat yang diperlukan sebagai syarat sahnya perjanjian. Dengan kata lain,

Notaris juga harus peka terhadap kondisi psikis para pihak yang meminta

dibuatkan akta, guna melindungi kepentingan para pihak yang bersangkutan

di kemudian hari sekaligus guna melindungi kepentingan jabatan Notaris

sendiri.

Dalam pembuatan akta mengenai perbuatan hukum yang dilakukan

pihak terkait perkara pidana tetap mengacu pada UUJN, salah satunya

adalah mengenai daerah jabatan notaris. Notaris hanya bisa menjalankan

tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan

hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk memberikan pelayanan

hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik. Oleh

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

105

karena itu, meskipun salah satu pihak sedang terkait perkara pidana dan

berada dalam tahanan, Notaris tetap dapat membuatkan akta yang diminta

oleh para pihak meskipun tidak dilakukan di kantor Notaris yang

bersangkutan asalkan masih dalam wilayah jabatannya. Hal ini untuk

memudahkan salah satu pihak yang terkait perkara pidana dengan

terbatasnya kebebasan yang dimilikinya untuk memperoleh bantuan hukum

berupa pembuatan akta notaris terkait perbuatan hukum yang akan

dilakukannya. Apabila suatu akta telah dibuat oleh notaris yang tidak

berwenang di tempat dimana akta itu dibuat, akta tersebut menjadi tidak

otentik dan hanya masih mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di

bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para pihak yang

bersangkutan.77

Mengingat betapa besarnya tanggung jawab seorang Notaris

terutama dalam mengemban kepercayaan dari masyarakat, Notaris tetap

harus jujur, cermat, teliti dan berusahan menjaga kepentingan para pihak

secara seimbang sesuai dengan kehendak para pihak semula sebelum

melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, dengan melakukan berbagai

tindakan preventif yang diperlukan terutama sebelum pembuatan akta.

Notaris juga harus aktif memperhatikan serta mengikuti perkembangan

setiap peraturan perundang-undangan bahkan peraturan internal instansi

terkait sekalipun, mengingat perubahan masyarakat yang sifatnya dinamis.

77

G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., h. 104.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

106

BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

3.1.1 Setiap orang adalah subyek hukum yang diakui sama di depan

hukum. Meskipun dikenai suatu hukuman tertentu, tidak ada yang

dapat menyebabkan kematian perdata atau kehilangan hak

keperdataan seseorang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3

KUHPerdata. Dengan dikenainya suatu hukuman kepada seseorang,

baik hak-hak asasi maupun hak-hak keperdataannya pun menjadi

terbatas, sebagai contoh seseorang yang dijatuhi hukuman penjara

tidak dapat bebas melakukan kegiatan usahanya layaknya orang yang

tidak dijatuhi hukuman penjara, termasuk dalam perbuatan hukum

yang dilakukannya melalui akta Notaris. Pihak yang terkait perkara

pidana tetap dapat melakukan perbuatan hukum, layaknya warga

negara pada umumnya, sepanjang perbuatan tersebut tidak

berhubungan langsung dengan perkara yang dijalaninya dan

perbuatan tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan KUHPerdata yang

sifatnya memaksa seperti Pasal 1320 KUHPerdata. Keabsahan suatu

perbuatan yang dilakukan oleh para pihak tidaklah bergantung pada

status para pihak yang bersangkutan yaitu manakala salah satu pihak

terkait perkara pidana atau tidak, melainkan tetap bergantung pada

syarat sahnya perjanjian yang diatur secara limitatif pada Pasal 1320

KUHPerdata. Jika keempat syarat yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata telah dipenuhi, maka perbuatan hukum, dalam hal ini

perjanjian, yang dilakukan manakala salah satu pihak terkait perkara

pidana adalah sah dan kepada para pihak mengikat berlaku sebagai

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

107

undang-undang. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan atau

klafisikasi yang khusus antara perbuatan hukum yang dilakukan oleh

pihak yang terkait perkara pidana ataupun dilakukan oleh pihak yang

tidak terkait perkara pidana. Kedua perihal tersebut walaupun dengan

status subyek yang berbeda, yaitu terkait perkara pidana atau tidak,

tetap mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus lainnya terutama

mengenai larangan bagi pihak yang terkait perkara pidana untuk

melakukan perbuatan hukum tertentu. Namun demikian, Notaris juga

harus memperhatikan itikad baik dari para pihak yang melakukan

perbuatan hukum, dalam rangka untuk melindungi kepentingan para

pihak, kepentingan masyarakat dan melindungi Notaris yang

bersangkutan.

3.1.2 Suatu perbuatan hukum dimana salah satu pihak terkait perkara

pidana adalah sah sepanjang memenuhi ketentuan yang sifatnya

wajib dipenuhi seperti dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan

dipenuhinya keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan

mengakibatkan sahnya suatu perbuatan hukum, mengakibatkan

perbuatan hukum tersebut mengikat para pihak serta akta yang dibuat

mengenai perbuatan hukum tersebut juga tetap sah, sehingga para

pihak harus melaksanakan perbuatan hukum tersebut dengan itikad

baik, baik untuk kepentingan para pihak khususnya maupun untuk

kepentingan masyarakat termasuk kepentingan Notaris yang

bersangkutan pada umumnya. Notaris sebagai pejabat umum yang

wajib mengedepankan kepentingan publik dibandingkan kepentingan

dirinya sendiri, mempunyai tanggung jawab untuk membuatkan akta

otentik yang akan menjadi bukti sempurna perihal perbuatan hukum

yang dilakukan oleh para pihak, termasuk memberikan penyuluhan

hukum yang akan membantu para pihak. Notaris berkewajiban pula

untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Notaris

mempunyai beban dan tanggung jawab moral sebagai pengemban

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

108

kepercayaan masyarakat yang bertugas melayani kepentingan

masyarakat khususnya dalam membuat akta otentik, serta menjamin

kepastian hukum dan bersikap adil dalam melindungi kepentingan

para pihak terkait akta yang dibuatnya tersebut.

3.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya, penulis memberikan saran yaitu :

a. Perlunya dibuat suatu nota kesepahaman dan kerja sama antara

organisasi yang menaungi notaris dalam hal ini Ikatan Notaris

Indonesia (INI) dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti

lembaga kepolisian, penuntut umum, komisi pemberantasan korupsi,

dan lembaga pembina masyarakat. Nota kesepahaman dan kerja sama

ini nantinya akan sangat membantu khususnya bagi para notaris dalam

membuat akta yang diminta dibuatkan oleh pihak yang terkait perkara

pidana, terutama dalam membantu penerapan prinsip kehati-hatian yang

harus diterapkan notaris dalam proses pembuatan akta. Misalnya,

sebelum membuatkan suatu akta oleh pihak terkait perkara pidana,

Notaris dapat meminta keterangan/pernyataan secara tertulis terkait

perkara pidana yang sedang diperiksa terhadapnya dari Pejabat yang

berwenang terhadap penahanan dan/atau perkara pidananya tersebut.

Hal ini untuk mencegah pihak yang terkait perkara pidana melakukan

perbuatan hukum yang justru dilarang oleh undang-undang dan

kemudian dituangkan dalam akta notaris.

b. Perlunya kegiatan pembinaan yang sifatnya berkala dan kontinyu

terhadap para notaris pada khususnya dan terhadap para penegak

hukum pada umumnya mengenai keabsahan perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, dalam rangka

meningkatkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas

jabatannya. Hal ini dikarenakan masih terdapat Notaris yang ragu untuk

memberikan jasa pembuatan akta notaris atas suatu perbuatan hukum

yang dilakukan oleh pihak yang terkait perkara pidana, sehingga tidak

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

109

jarang pihak yang terkait perkara pidana tersebut mengalami kesulitan

untuk memperoleh bantuan hukum berupa pembuatan akta otentik,

termasuk sulitnya meminta dibuatkan akta otentik secara cuma-cuma

karena terkendala biaya yang dimilikinya.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

110

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Andasasmita, Komar. Notaris I. Bandung: Sumur Bandung. 1984.

Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: PT. Refika Aditama.

2008.

Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai

Pejabat Publik. Cet. 2. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009.

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti. 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III

tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni. 2005.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Cet.1. Yogyakarta: LaksBang Mediatama. 2008.

Ichsan, Achmad. Hukum Perdata IA. Cet.1. Jakarta: Pembimbing Masa. 1969.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum.

Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003.

Kie, Tan Thong. Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT.

Ichtiar baru Van Hoeve. 2007.

Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung: Alumni. 1983.

Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi

Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 25/DIKTI/Kep./1985.

Malang: Penerbit IKIP Malang. 1990.

Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum

Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya. 2005.

Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

2006.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

111

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. 1980.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

1992.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti. 2000.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian.

Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2003.

Notodisoeryo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan.

Jakarta: CV.Rajawali Pers. 1982.

Pitlo, A. Pembuktian dan Daluwarsa. Jakarta:Intermasa. 1978.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Perikatan. Surabaya: Bina Ilmu. 1979.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Cet. VII. Bandung: Sumur

Bandung. 1973.

Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni. 1985.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan. 1993.

Salim. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada. 2006.

Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Edisi Pertama.

Bandung: Alumni. 2004.

Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni. 1999.

Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta. 1979.

Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang

Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta:

Institut Bankir Indonesia. 1993.

Soesanto. Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris dan Wakil Notaris. Jakarta:

PT. Pradnya Paramita. 1982.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

112

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas

Indonesia-Press. 2010.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perjanjian. Cet. XVI. Jakarta: PT.

Intermasa. 1996.

Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. X. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1995.

Subekti, R. Hukum Perjanjian, Cet. XVI. Jakarta: Intermasa. 1996.

Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika. 2006.

Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni.

2006.

Tedjasaputro, Liliana. Etika Profesi Notaris (dalam Penegakan Hukum Pidana).

Yogyakarta: BIGRAF Publishing. 1995.

Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga.

1983.

Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3209)

Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134 Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4150)

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Lembaran Negara Tahun 2002

Nomor 137 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250)

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31 Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3472).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Subekti dan R.

Tjitrosudibio. Jakarta: PT.Pradnya Paramita. 2006.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Universitas Indonesia

113

MAJALAH:

Atmaja, R.Z. Asikin Kusuma. Pembatasan Renternir Sebagai Perwujudan

Pemerataan Keadilan. Varia Keadilan. Volume II. Tahun 1987.

Ghofur, Abdul. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika.

Yogyakarta : UII Press. Tahun 2009.

Patahna, Muchlis dan Joko Purwanto. Notaris Bicara Soal Kenegaraan. Jakarta:

Watampone Press. 2003.

Setiawan, Wawan. Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta

Otentik. Media Notariat. Edisi Mei dan Juni 2004.

INTERNET:

Heryanto. Notaris Antara Profesi dan Jabatan.

http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=opini&id=102865.

Diakses pada tanggal 23 Oktober 2012.

Haryantho. Boedi. Penyalahgunaan Sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian.

http://www.scribd.com/doc/39221558/. Diakses pada tanggal 01 Desember

2012.

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA KEABSAHAN PERBUATAN HUKUM …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334298-T32595-Dewi Susanti.pdf · dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

Keabsahan perbuatan..., Dewi Susanti, FH UI, 2013