ultimart vol v no1

83

Upload: michaelgumelar

Post on 25-Jul-2015

319 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Jurnal Fakultas Seni & Desain Universitas Multimedia Nusantara

TRANSCRIPT

Page 1: Ultimart Vol v No1
Page 2: Ultimart Vol v No1

Ultimart, Vol. V, Nomor 1, April 2012 ISSN 1979-0716

“UltimArt” ialah kependekan dari ultima (Latin: dalam, berbobot, bernilai) dan art (seni). Dengan akronim itu, jurnal ilmiah ini dimaksudkan sebagai wahana informasi, saling silang pendapat, berbagi, serta telaah ilmiah yang berkaitan dengan dunia desain komunikasi visual dan estetika pada umumnya, selain memuat perkembangan teori, konsep, dan praktik komunikasi visual, artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian, dan resensi buku/film.

Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Desain Komunikasi Visual, Universitas Multimedia Nusantara. Redaksi mengundang para ahli, praktisi, dan siapa saja yang berminat untuk berdiskusi dan menulis sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Jurnal Ilmiah UltimArt tidak selalu mencerminkan pandangan/pendapat redaksi.

Pelindung : Dr. Ninok LeksonoPenanggung jawab : Johannes Prajitno, M.Sc. Prof. Muliawati G. Siswanto, M. Eng. Sc.Pemimpin Umum : Dr. P.M. WinarnoKetua Dewan Redaksi : M.S. Gumelar, M.A.Redaktur Pelaksana : Drs. R. Masri Sareb PutraDewan Redaksi : Prof. Dr. Sugiarto, Hira Meidia, Ph.D, Ir. Budi Susanto, M.M., Andrey Andoko, M.Sc., Dra. Bertha Sri Eko, M.Si., Hendar Putranto, M.Hum., Edwin Sutiono, M.A., Niknik Kuntarto, S.Pd., M.Hum., Jeffy Kusumajaya, S.Sn.Tata Usaha : Ina Listyani Ryanto, S.Pd., M.A.Sirkulasi dan Distriusi : SularminKeuangan : I Made Gede Suteja, S.E.

Alamat Redaksi dan Tata Usaha:Universitas Multimedia NusantaraScientia Garden, Jl. Boulevard, Gading Serpong – TangerangTelepon: (021) 5422 0808, (021) 3703 9777, Faks: (021) 5422 0800www.umn.ac.id; e-mail: [email protected]

Page 3: Ultimart Vol v No1

Ultimart, Vol. V, Nomor 1, April 2012 ISSN 1979-0716

Musik Sebagai Metafisika ”Mengingat Kembali yang Terlupakan” HENRY S. SABARI ............................................................................................................ 1-8

Mendesain Menerapkan Metode Hermeneutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRAYANI H. ................................................................................................... 9-18

Humor sebagai Pengalaman Estetis Penerapannya dalam Studi Kasus Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) HENDAR PUTRANTo ..................................................................................................... 19-33

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak R. MASRI SAREB PUTRA ................................................................................................. 34-39

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMELAR ................................................................................................................. 40-54

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MoHAMMAD RIzALDI .................................................................................................. 55-67

Lambang olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANTo RUSTAN ........................................................................................................ 68-79

DAFTAR ISIVolume V, Nomor 1

Page 4: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 1-8ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Musik merupakan fenomena yang lekat dalam keseharian manusia. Ia hadir mengisi relung-relung tindak kehidupan. Pada acara makan malam, di dalam mobil, gedung-gedung konser, bahkan di kamar tidur pun musik dapat hadir menemani. Namun demikian, sebagai bagian dari kehidupan manusia, ada sisi yang terlupa-kan dalam memahami musik, yaitu musik se-bagai metafisika. Dalam tulisan ini, saya akan menunjukkan bagaimana pemahaman musik sebagai metafisika terlupakan dan saya juga akan mengingatkan kembali apa yang telah ter-lupakan selama ini. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan membahas pemahaman musik dalam keseharian, kemudian hubungan musik dengan masyarakat. Dua bagian tersebut merupakan bagian dari ke-lupa-an akan musik. Selanjutnya, akan dibahas sisi yang terlupakan dari musik dengan memahami pengertian musik pada ke-budayaan Yunani kuno dan pemahaman musik

sebagai metafisika, yaitu sebagai gerak Ke-hendak.

Musik Sebagai Metafisika”Mengingat Kembali yang Terlupakan”

HENRY S. SABARIPenulis buku Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern © Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2008

Diterima: 10 Februari 2012Disetujui: 24 Februari 2012

Abstract:

Music seems so close in our life. This is a truth one can not deny. We enjoy listening music in every moment we want. Some of us also play music and even create it for peoples. But, is music only something that we hear? Something we play? Or some sounds we just can create? Music is more than those things. Music is a move-ment of our will. Even music is the will of the world itself. Modern era has forgotten the ontology of music in life itself. Music today is no longer perceived as great as people in classical era believed. Embedded with economic value, music in modern era is mostly treated as a commodity, namely: something for sale. Music indicates a social status for people who can buy it. ”Musing the music” with Schopenhauer, Nietzsche and ancient Greek culture of art, we will re-recognize what music really is.

Keywords: music, commodity, ontology, metaphysic, will, phenomena, noumena.

http://mainstreamisntsobad.blogspoy.com/2011_03_01_archive.html

Page 5: Ultimart Vol v No1

2 Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” Vol V, 2012

Musik dalam KeseharianDalam keseharian kita, disadari atau tidak, musik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam riuhnya suasana pesta, jamuan makan, bahkan ketika menghadapi kemacetan lalu lintas musik menjadi kawan yang siap menemani. Bu-kan hanya itu, di saat kesunyian dan kesendirian menyergap, musik dapat menjadi ”mesias”1 yang menolong kita mendapat sedikit (atau mung-kin juga banyak) pencerahan. Dapat dikatakan bahwa musik selalu ada di mana-mana. Ia dapat hadir dalam suasana religius maupun sekular, dalam kesendirian maupun keramaian.

Musik merupakan fenomena yang begitu dekat dengan manusia. Ia laksana sahabat setia yang selalu siap menemani kala dibutuhkan dan seolah dapat mengerti apa yang kita rasakan. Namun demikian, apakah kita memahaminya? Apakah kita memahami sang sahabat tersebut? Dalam dunia keseharian dapat kita lihat ba-gaimana musik dipahami oleh manusia. Dari berbagai pemahaman yang ada, setidaknya da-pat dilihat dua cara memahami musik, yaitu se-cara objektif dan secara subjektif.

Secara objektif, musik dapat dipahami se-bagai sebuah ilmu (seperti halnya matemati-ka, fisika, geometri, dan lain-lain). Dengan me-mandang nya sebagai ilmu, terdapat jarak antara musik (sebagai objek) dan manusia (sebagai subjek). Memahami musik sebagai objek berarti juga memahaminya secara teknis. Hal-hal yang menjadi perhatian lewat cara ini adalah dengan memperhatikan hal-hal teknis, seperti tekstur suara yang ada, harmonisasi, teknik penjarian, dan pernapasan. Di sini keindahan terkait de-ngan hal-hal teknis tersebut.

Cara pandang yang lain adalah dengan me-mahami musik secara subjektif. Yang menjadi penekanan dari cara pandang ini adalah manu-sianya. Musik dipandang sebagai media untuk mengekspresikan diri. orang dapat melanggar hukum-hukum harmoni dan teknik (jika perlu) asalkan dapat membebaskan ekspresinya. Hal-hal teknis, seperti penjarian, pernapasan dan lainnya, yang begitu ditekankan pada cara pan-dang objektif, menjadi sekunder pada cara ini.

Dua cara pandang mengenai musik tersebut merupakan cara pandang yang dominan dalam keseharian manusia. Namun demikian, dua cara tersebut tampaknya melupakan hal yang begitu penting dalam musik. Pada dunia modern, musik sebagai metafisika sangat dilupakan. Bagaimana kelupaan itu terjadi? Sebagaimana telah kita ket-ahui bahwa musik begitu lekat dengan kehidup-an manusia, baik secara individual maupun ko-munal maka pertanyaan tersebut harus dilihat dari kacamata ke-ber-manusia-an itu sendiri. Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk yang tak dapat lepas dari sesama dan lingkungan so-sialnya. Untuk itu, ada baiknya jika kita melihat hubungan musik dengan masyarakat.

Musik dan Masyarakat (Modern)Zaman modern adalah zaman yang ditandai dengan kemajuan teknik dan industri. Hal de-mikian menyebabkan segala aspek kehidupan (pada titik tertentu) dikaitkan dengan pola-pola teknik dan industri tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada musik. Musik pada zaman modern sangat berkaitan dengan industri musik men-jadi komoditas, sama seperti barang-barang lain yang diperdagangkan. Sebagai barang dagang-an, ia harus memenuhi tuntutan atau kehendak pasar. oleh karena itu, musik tidak lagi memiliki

http://music.glestradio.com/2011/05/floindustri-musik-indonesia-tak-akan.html

Page 6: Ultimart Vol v No1

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” HeNrY S. SABArI 3

nilai pada dirinya sendiri. Nilai yang disandang-nya kini adalah nilai jual belaka. Pada kesadaran konsumen, keindahan musik juga terkait de-ngan keakraban musik dengan telingga mereka. Di sini tentu dapat dipahami bagaimana sebuah promosi menjadi begitu penting untuk dilaku-kan. Dengan publikasi besar-besaran, produk akan terasa begitu dekat dengan konsumen se-hingga membuat konsumen merasa membutuh-kan produk tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehidupan musik dalam dunia modern sa ngat didominasi oleh bentuk-bentuk komoditas (Adorno, 2001: 37).

Ketika musik telah menjadi komoditas, per-bedaan-perbedaan yang ada pada jenis musik

itu sendiri tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi para penikmat (manusia). Tidak ada perbe-daan antara musik pop dan klasik. Semua men-jadi sama di hadapan pasar. Sangat tepat yang dikatakan Theodor Adorno, seorang filsuf neo-marxis, untuk menggambarkan situasi tersebut. Ia mengatakan bahwa ”The differences in reception official ’classical’ music and light music no longer have any real significance. They are only still manip-ulated for reason of marketability.” (Adorno, 2001: 35). Jadi, jangankan untuk membicarakan musik Apollonian atau Dyonisian, untuk membicara-kan musik klasik dan musik pop pun sudah tidak lagi memikat karena perbedaan keduanya sudah tidak lagi mempunyai arti di hadapan pasar.

lebih jauh, dari pemaparan di atas, dapat di-lanjutkan dengan fungsi musik pada masyarakat modern. Pada zaman modern, musik berfungsi untuk menunjukkan status sosial seseorang. orang pergi ke gedung-gedung konser bukan lagi untuk menikmati musik tertentu, melainkan karena dengan menghadiri konser tersebut, ia dapat meraih suatu status sosial tertentu (Ador-no, 2001: 34). lantas, bagaimana status-status tersebut dapat dikenakan? Pada dunia mo dern,

kategorisasi terhadap penikmat jenis musik tertentu menjadi penentu status sosial mereka. Penikmat musik rock identik dengan pemuda/i pemberontak, musik jazz identik dengan orang-orang pesolek dan hidup santai, musik blues identik dengan para pemabuk di bar-bar, musik dang-dut dengan masyarakat pinggiran, musik klasik dengan masyarakat kelas atas, dan lain-lain. Ada begitu banyak identifikasi status de ngan jenis musik yang diminati di zaman

https://lailashares.wordpress.com/category/daily-journalmoodswing/page/2/

Page 7: Ultimart Vol v No1

4 Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” Vol V, 2012

modern. Nyatakah status-status tersebut? Sebe-narnya, jika dicermati lebih dalam, status-status tersebut merupakan rekayasa para produsen. Produsen menawarkan bentuk-bentuk identitas tertentu bagi jenis-jenis musik yang ada. lantas, atas dasar apa hal tersebut dapat terjadi? Tentu-nya atas dasar keuntungan dagang. Di sisi lain, orang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan identitas yang ditawarkan. oleh karena itu, tidak perlu heran jika di dalam gedung kon-ser musik klasik tidak semua orang yang datang mengerti atau menyukai musik yang dimainkan. Begitu juga dengan orang-orang di klub-klub malam yang menyajinan jenis musik tertentu.

Kelupaan manusia akan musik sebagai metafisika di zaman modern tampaknya men-jadi suatu hal yang wajar karena pengaruh dari kemajuan industri dan teknologi yang ada. Pada zaman modern, di mana segala sesuatu ber-jalan dan berubah dengan cepat, musik tidak lagi memiliki status ontologis yang jelas. Ke-beradaannya hanya menjadi sesuatu yang ber-sifat instrumental atau sebuah perangkat saja. Keindahan juga kemudian hanya menjadi hal yang sangat teknis. Hal demikian tampaknya menjadi konsekuensi dari kemajuan yang ada di zaman modern.

Pemahaman akan musik pada zaman mo-dern tidak lebih dari sekadar bunyi-bunyian belaka, yang kemudian mempengaruhi status sosial seseorang. lantas, apa sebenarnya musik itu? Untuk mengetahui apa sebenarnya musik tersebut, mau tidak mau kita harus kembali mencari pengertian musik mula-mula (yang te-lah terlupakan selama ini).

MusikPengertian Musik pada Kebudayaan Yunani KunoUntuk berbicara mengenai pemahaman akan musik, mau tidak mau kita harus melihatnya pada pengertian musik pada kebudayaan Yu-nani kuno. Mengapa? Karena harus diakui bah-wa pengaruh kebudayaan Yunani pada dunia musik cukup besar. Perbendaharaan kata pada

istilah-istilah musik modern masih tetap mencer-minkan pengaruh tersebut. Istilah-istilah, seper-ti melodi, ritme, harmoni, dan khorus merupa-kan contoh berpengaruhnya kebudayaan Yunani pada musik hingga saat ini. Namun berbeda dari zaman modern, yang telah melupakan makna dari istilah-istilah tersebut dan hanya meman-dangnya sebagai istilah teknis, pada budaya Yu-nani kuno istilah-istilah tersebut merupakan cer-minan dari suatu konsep pemikiran dan maksud dari musik itu sendiri. (Ferris, 1998: 74)

Musik dalam bahasa Yunani kuno disebut dengan istilah Mousike (µουσικε). Kata ini dikem-bangkan dari asal kata Mousa dan Ike. Mousa be-rasal dari bahasa Mesir Muse, sedang kan kata Ike berasal dari bahasa Celtik, Aik (d’olivet, 1987: 90–91). Pada mitologi Mesir, Muse dipahami memiliki tiga personalitas, yakni Melete (dewi yang membangkitkan), Mneme (dewi yang me-melihara/merancang), dan Aeode (dewi yang memberikan pengertian). (d’olivet, 1987: 91) orang Yunani kemudian mengambil alih pe-makaian mitologi ini dengan pengertian yang lebih luas. Pada budaya Yunani kuno, Muse be-rada di bawah kekuasaan Appolo (dewa pelin-dung seni). Dewi-dewi muse yang berjumlah tiga pada awalnya disebut dengan istilah mosag-etes (µοσαγετεσ). Namun demikian, seiring de-ngan berjalannya waktu, pada masa Homeros, jumlah dewi-dewi tersebut bertambah menjadi sembilan (Prier, 1991: 19).

orang Yunani kuno menganggap semua seni adalah pelengkap dari musik. Mengikuti makna dari kata musik, semua tindakan yang dihasilkan oleh pikiran untuk menggambarkan suatu bentuk perasaan dari wilayah intelektual mengacu pada musik. Pengertian musik pada zaman itu digunakan untuk menyatakan setiap ruang aktivitas di mana roh berlalu dari potensi menuju aktus dan menggunakan bentuk yang dapat diindrai. (d’Olivet, 1987: 90). Dengan de-mikian, musik memiliki status ontologi yang tinggi dibandingkan dengan seni-seni yang lain. Seni-seni lain, seperti puisi, teater, dan tari dipa-hami merupakan bagian dari musik. oleh karena itu, hanya musik yang memiliki dewi pelindung.

Page 8: Ultimart Vol v No1

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” HeNrY S. SABArI 5

Seni pahat, arsitektur, dan seni lukis tidak memi-liki dewi pelindung. Dewi-dewi musik pada ke-budayaan Yunani tersebut adalah:1. Kalliope : Dewi seni sastra dan syair2. Klio : Dewi sejarah3. Erato : Dewi sastra erotis4. Entrepé : Dewi seni sastra liris5. Thalia : Dewi ria jenaka6. Melponemé : Dewi tragedi7. Terpsichoré : Dewi seni tari8. Polyhymnia : Dewi olah nada9. Urania : Dewi ilmu bintang

Selain dewi-dewi yang berada di bawah naungan Dewa Apollo tersebut, bangsa Yunani juga mengenal dewa lain sebagai dewa musik, yaitu Dewa Dyonisos yang merupakan dewa anggur dan mabuk-mabukan. Sebagai dewa musik, figurnya bertolak belakang dari Apollo (Prier, 1991: 20).

Arti pengertian di atas dapat kita lihat bahwa musik pada pemahaman yang paling primordial sangat berbeda dari musik yang di-pahami pada zaman modern. Jika pada zaman modern musik hanya dipandang sebagai hal teknis yang berhubungan dengan industri, pada pengertian mula-mula ia tidak hanya berbicara mengenai hal-hal praktis, tetapi juga hal spiritu-al yang dibungkus dalam mitos-mitos. Menarik untuk melihat kitab Hermetik Asclepius atau yang dikenal dengan The Perfect Sermon bab XIII. Di situ dikatakan bahwa musik adalah pengeta-huan yang mendasari segala sesuatu, ia adalah ilmu tentang hubungan harmoni dengan alam semesta (Mead, 1906: 331). Dengan begitu, da-pat dikatakan bahwa musik merupakan sesuatu yang ”dahsyat” yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.

Penggunaan Musik pada Zaman Yunani Kuno

Pada kebudayaan Yunani kuno, musik memiliki banyak kegunaan. Di antaranya musik diguna-kan untuk mengiringi suatu ritus, untuk meng-halau kekuatan jahat, sebagai epiklese (doa per-mohonan kehadiran roh), sebagai pengantar menuju katarsis (pemurnian jiwa) dalam suatu inisiasi, sebagai pengiring pemakaman dan se-bagai kekuatan magis tertentu (Warner, 1959: 332). Dalam komunitas Pythagoras, musik juga dikenal sebagai obat yang dapat menyembuh-kan suatu penyakit (Guthrie, 1988: 84).

Musik pada masa itu dimainkan ber-dasarkan suatu tropos. Tropos adalah bentuk pe-namaan Yunani untuk suatu nada dasar. Dalam bahasa latin, istilah ini lebih dikenal de ngan se-butan modus. Pada masa itu terdapat tiga tropos utama, yaitu Lydian, Frigian, dan Dorian. Ketiga

Musics (dewi dewi Musik)http://museum-mputantular.com/arti-dan-fungsi/

Music of the Spheres – Phytagoras. http://www.sacredtexts.com/eso/sta/img/08200.jpg

Page 9: Ultimart Vol v No1

6 Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” Vol V, 2012

tropos tersebut merupakan simbol dan memiliki makna tertentu. Lydian yang berada di bawah naungan planet Jupiter merupakan lambang dari suara bangsa. Phrygian yang berada di bawah naungan Planet Mars melambangkan roh yang bergelora dari para kesatria, sedangkan Dorian yang berada di bawah naungan matahari me-rupakan lambang dari kebebasan dan kekuatan (d’olivet, 1987: 122–128). Penyimbolan tropos ini sangat erat hubungannya dengan ajaran mistik tentang alam semesta dan dipercaya dapat mem-pengaruhi manusia dan alam sekitarnya. Musik menjadi daya penyatu antara makrokosmos dan mikrokosmos (rudhyar, 1982: 25). Hal tersebut tercermin dari ritus-ritus yang mereka lakukan saat itu.

Musik sebagai Gerak MetafisisMusik, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan sebuah gerak dari potensi menuju aktus. Jika demikian, apakah musik itu dalam pengertian yang sesungguhnya? Musik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah gerak kehendak. Apa maksudnya musik sebagai gerak kehendak? Sebelum menjawab pertanyaan terse-but, ada baiknya jika kita kembali melihat pada sejarah filsafat.

Dalam sejarah filsafat, terutama mengenai metafisika, pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah: Apakah dunia ini seperti yang tampak atau terlihat oleh kita? Thales mengatakan bahwa dunia ini tidak seperti yang tampak. Kenyataan yang sesungguhnya dari dunia ini adalah air. Pada plato, kita temukan jawaban yang berbeda. Tentu telah kita ketahui perumpamaannya ten-tang manusia gua yang melihat bayang-bayang. Manusia bodoh menganggap bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas atau dunia yang sesungguhnya. Tetapi, menurut Plato, bayang-bayang yang dilihat mereka bukanlah realitas yang sesungguhnya. realitas yang sesungguh-nya adalah dunia tempat di mana cahaya yang menyinari gua itu berasal. Tentu maksud dari perumpamaan itu adalah dunia yang sejati atau yang sesungguhnya bukanlah apa yang tampak

di depan kita. Dunia yang tampak di hadapan kita hanyalah pengejawantahan dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia Idea.

Menarik untuk melihat pendapat Arthur Schopenhauer yang mengatakan bahwa realitas yang tampak ini merupakan pengejawantahan dari kehendak. Kehendak merupakan dasar dari realitas yang tampak ini. Menurutnya, dunia yang tampak tersebut hanya merupakan sensa-si-sensasi atau dengan kata lain, kita dapat me-nyebutnya ”maya”.

Dalam filsafat Schopenhauer, terdapat dua dunia, yaitu dunia sebagai representasi dan dunia sebagai kehendak. Pembagian ini tentu mengingatkan kita pada filsuf lain, yaitu Im-manuel Kant yang membagi dunia menjadi dun-ia fenomenal dan dunia noumenal. Bagi Scho-penhauer, terdapat dua cara untuk mengetahui kedua dunia tersebut. Cara yang pertama ada-lah cara untuk mengetahui dunia fenomenal dan cara kedua adalah cara untuk mengetahui dunia noumenal. Pengetahuan untuk menyingkap dunia representasi atau fenomenal adalah den-gan ilmu-ilmu alam atau sains. Pada tataran ini, dibutuhkan jarak antara subjek sebagai penahu dan objek sebagai yang diketahui agar pengeta-huan dapat berfungsi, sedangkan untuk menge-tahui dunia noumenal atau kehendak, orang harus tidak memikirkannya sebagai objek kar-ena ia memang bukan objek tertentu. Jalan un-tuk mengetahuinya, bagi Schopenhauer, adalah lewat seni. Mengapa? Karena dalam seni yang

Schopenhauer dan Nietzschehttp://www.counter-currents.com/2011/01/an-examination-of-friedrich-nietzsches-thought/

Page 10: Ultimart Vol v No1

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” HeNrY S. SABArI 7

terjadi bukanlah suatu objektifikasi ter hadap realitas, melainkan kontemplasi (Schopenhau-er, 2000: 108). Dalam kontemplasi, hubungan subjek-objek hilang. Mereka tidak lagi terpisah, tetapi satu. Dengan melakukan kontemplasi, subjek meniadakan dirinya dan melebur den-gan objek sehingga tidak ada lagi dualitas yang memisahkan mereka. Schopenhauer menyebut tindak tersebut dengan istilah will-less subject of knowledge. (Schopenhauer, 2000: 109)

Seni, dalam pandangan Schopenhauer, ber-puncak pada musik. Mengapa? Karena pada seni-seni lain, seperti seni lukis, pahat atau arsi-tektur, kontemplasi yang dilakukan hanya me-rupakan kontemplasi terhadap dunia objektif, dunia fenomenal atau representasi saja. Jadi, da-pat dikatakan bahwa seni-seni lain selain musik hanyalah tiruan dari penampakan-penampakan. lalu, apa yang membedakannya dari musik? Schopenhauer beranggapan bahwa musik tidak memiliki rujukan di dunia fenomenal, tetapi di dunia noumenal. Dalam bahasanya, ia menga-takan bahwa musik tidak seperti seni-seni yang lain, yang merupakan tiruan dunia fenomenal; musik adalah kehendak itu sendiri, atau dunia noumenal (Schopenhauer, 2000: 164). Jadi, apa yang menjadi ”objek” pada musik adalah se-suatu yang metafisis, yaitu dunia noumenal. Di sinilah kita dapat menyebut kembali (seperti yang dipahami oleh bangsa Yunani kuno) bahwa musik merupakan metafisika.

Musik merupakan pesan dari surga. Pe-musik, seperti yang dikatakan Nietzsche (filsuf yang juga dipengaruhi Schopenhauer), merupa-kan ventriloquist of God; musik merupakan baha-sa dari jurang yang tak berdasar (abyss), ia murni metafisik (van der Leeuw, 1963: 245). Pendapat tersebut tampaknya tidak berlebihan mengingat bahwa musik, walaupun tidak memiliki objek material, seperti pada seni-seni lain, dapat be-gitu mempengaruhi kehidupan manusia.

Pemahaman musik pada zaman modern memang telah melupakan makna musik dan arti musik itu sendiri. Hal tersebut tampaknya menjadi perlu untuk disingkap melalui peng-ingatan kembali akan apa itu musik. Musik se-

bagai metafisika, yaitu kehendak yang diung-kapkan Schopenhauer, menunjukkan bahwa musik memiliki status yang berbeda sama sekali dengan yang dipahami dalam dunia modern. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bah-wa musik bukan hanya terbatas pada bunyi-bunyian, melainkan terkait dengan pemikiran tertentu, yaitu metafisika. Musik sebagai gerak kehendak merupakan cara lain untuk menyebut bahwa ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia bukan-lah aspek belaka dari kehidupan ini, melainkan hidup yang melingkupi kehidupan ini.

Penutup

Telah kita lihat bagaimana kelupaan akan musik sebagai metafisika di zaman modern sangat terkait dengan kemajuan teknologi dan indus-tri. Hal demikian membuat musik, tidak lebih, hanya dipandang sebagai komoditas pasar yang diperjualbelikan. Musik untuk suatu status so-sial tertentu memang terdengar menggelikan, namun itulah yang terjadi di zaman modern. Apa yang menjadi bahasan tulisan ini adalah untuk mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan ini, yaitu musik sebagai metafisika. Musik sebagai gerak dari kehidupan itu sendiri. Dengan melihat pemahaman musik yang terda-pat pada zaman Yunani kuno dan filsafat Scho-penhauer, setidaknya dapat memberikan kejutan akan kesalahpahaman kita yang terjadi selama ini terhadap musik. Kiranya tulisan ini dapat membantu kita untuk memahami musik dengan lebih baik dan terlepas dari belenggu kepalsuan (penampakan/representasi) dari dunia modern.

Daftar PustakaAdorno, Theodore. 2001. The Culture Industry.

london: routledge Classic.d’olivet, Antoine Fabre. 1987. Trans. Josclelyn

Godwin. Music Explained as Science and Art. rochester Vermont: Inner Tradition Interna-tional ltd.

Page 11: Ultimart Vol v No1

8 Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan” Vol V, 2012

Ferris, Jean. 1988. Music: The Art of Listening. Iowa: Wm. C. Brown Publisher.

Guthrie, Kenneth Sylvan. 1988. The Pythagorean Source Book and Library: An Anthology of An-cient Writings Which Relate to Pythagoras and Pythagorean Philosophy. Michigan: Phane Press.

Mead, G.r.S. 1906. Thrice Greatest Hermes Vol. II. london: Theosophical Publishing House.

Prier, Karl Edmund. 1991. Sejarah Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat Musik liturgi.

Rudhyar, Dane. 1982. The Magic of Tone and the Art of Music. Colorado: Shambala Publica-tion.

Schopenhauer, Arthur. 2000. Trans. Jill Berman. The World as Will and Idea. london: every-man.

van der leeuw, Gerardus. 1963. Sacred and Pro-fane Beauty: The Holy in Art. New York: Holt rinehart and Winston Inc.

Warner, eric. 1959. The Sacred Bridge: The Inter-dependence of Liturgy and Music in Synagogue and Church during the First Millennium. New York: Columbia University Press.

Catatan Akhir(Endnotes)

1 Mesias merupakan terminologi prophetik Yahudi untuk menyebut seseorang yang di-percaya akan datang untuk menyelamatkan mereka. Istilah ini di kemudian hari diadopsi oleh kekristenan untuk menyebut Yesus. Da-lam tulisan ini, saya memakai istilah tersebut untuk musik. Dengan begitu, musik (seolah) menjadi penyelamat manusia dari kesehari-annya yang kerap kali membosankan. Jadi, kata Mesias dalam tulisan ini sama sekali tidak berhubungan dengan tradisi religius mana pun, tetapi hanya peminjaman istilah.

Page 12: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 9-18ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Apa Itu LogoLogo berasal dari sebuah kata di dalam bahasa Yunani, yaitu Logos. Logos berarti kata, pikiran, pembicaraan, akal budi (Wikipedia Encyclope-dia Online 2010). Kata Logos banyak dipakai di dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti filsa-fat, psikologi, bahkan juga agama. Namun, logo yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah logo yang berkaitan dengan bidang desain grafis atau desain komunikasi visual. Berikut definisi logo menurut beberapa sumber.

”A logo is a design symbolizing ones orga-nization. Logotype is a graphic representation or symbol of a company name, trademark, abbre-viation, etc., often uniquely designed for ready recognition.” (LogoBee n.d.)

”A logo is a graphical element in the form of ideogram, symbol, emblem, icon, sign that is collectively form a trademark or commercial brand.” (Rose India n.d.)

”A logo is a graphic mark or emblem com-monly used by commercial enterprises, orga-

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermeneutika

untuk Memahami Client Brief

DESY SANDRAYANI H.Universitas Multimedia Nusantara

Jln. Boulevard, Gading SerpongTangerang

email: [email protected]

Diterima: 27 Februari 2012Disetujui: 7 Maret 2012

Abstract:Logo is an important part in the communication field. Logo is a special symbol that represents an entity. Logo establishes the image of a brand, increasing the attractiveness of products, increase sales, raises motivation, and so forth. Because of the importance of a logo, the logo design becomes a crucial portion.

In general, Hermeneutics can be described as a theory or a method to interpret. The object of interpretation is the text. At first, it is commonly used to interpret religious texts and laws. But in its development, Herme-neutics is also used in attempts to comprehend human behavior and culture.

In designing a logo, Client Brief is the fundamental guidance. Client Brief is a document that contains information about the client, product/service, project objectives, and other important information. This paper tries to describe the relationship between the process of designing a logo and Hermeneutics, how to implement Hermeneutics on the process of designing a logo.

Keywords: design, logo, Client Brief, Hermeneutics, Gadamer

Page 13: Ultimart Vol v No1

10 Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief VOL V, 2012

nizations and even individuals to aid and pro-mote instant public recognition. Logos are either purely graphic (symbols/icons) or are composed of the name of the organization (a logotype or wordmark).” (Wikipedia Encyclopedia Online 2010)

Secara umum, logo diartikan sebagai tanda atau gambar khusus yang mewakili atau meru-juk suatu entitas tertentu. Entitas di sini bisa berupa orang/perorangan pribadi, perusahaan, organisasi, kelompok nonformil, daerah/tempat, benda/produk, jasa, kegiatan kampanye, acara/perayaan, bahkan minat atau gagasan.

Sebuah logo bisa terdiri dari tulisan, gam-bar atau simbol, atau keduanya (tulisan dan gambar). Elemen logo yang berupa tulisan biasa disebut sebagai logotype, dan elemen logo yang berupa gambar biasa disebut sebagai logogram.

Sejarah penggunaan logo oleh manusia da-pat diuraikan jauh berawal pada masa kekaisa-ran Romawi kuno, yaitu sekitar tahun 27 Sebe-lum Masehi. Pada peninggalan-peninggalan masa ini, ditemukan tulisan ”SPQR” koin, lite-ratur politik, dan monumen. ”SPQR” adalah singkatan dari ”Senatus Populusque Romanus”, atau Senat dan Rakyat Roma (Rustan, 2009).

Sekitar tahun 1439, dunia percetakan Eropa mengalami perkembangan yang pesat. Seiring dengan kemajuan ini, mulai timbul pembajakan. Untuk melindungi hasil cetakan dari pembajak-an, para pencetak membubuhkan suatu tanda khusus yang disebut dengan ”Printer’s mark” atau ”Typographer’s mark”. Lama-kelamaan, simbol ini berkembang menjadi suatu karya seni tersendiri (Rustan, 2009).

Pada awal abad 18, sekitar tahun 1759, Raja Prancis, yaitu Louis XV memiliki pabrik yang menghasilkan porselen berkualitas tinggi. Pabrik tersebut terletak di Vincennes. Untuk menandai keaslian produk hasil dari pabriknya, Raja Loius XV memberi tanda pada setiap porselen. Tanda itu berisikan informasi mengenai tahun produk-si, nama pelukis yang menggambar porselen

tersebut, nama tukang emas yang memberi lapisan emas, dan juga tanda dari Raja Louis sendiri (Rustan, 2009).

Pada tahun 1875, dikenal trademark perta-ma di dunia, yaitu ketika perusahaan penghasil bir di Inggris, Bass & Co Brewery mendaftarkan mereknya berupa gambar segitiga dan tulisan ”Bass”. Perusahaan Bass Brewery didirikan oleh William Bass di Burton, England, pada tahun 1777. Berawal dari penjualan di daerah regional, produk ini akhirnya tersebar di seluruh Inggris dan pada tahun 1875, Bass Brewery mendaftar-kan trademark-nya (Rustan, 2009).

Pada saat ini, logo memainkan peranan yang sangat penting di dalam bidang pencitraan, mar-keting, dan komunikasi. Logo benar-benar men-jelma menjadi simbol dari suatu entitas, bukan lagi hanya tanda atau gambar khusus, melaink-an merupakan ”wakil” dari entitas tersebut. Se-luruh sejarah, ide, sifat, cita-cita, bahkan prestasi atau keberhasilan suatu entitas, dituangkan da-lam sebentuk tanda yang khas, khusus dan unik. Sebuah logo mengemban tugas yang sangat penting, dan kompleks tentunya, untuk ”men-ceritakan” begitu banyak informasi dan pesan yang ingin disampaikan sang pemilik tanda tersebut.

Logo yang dianggap baik dan bagus ada-lah logo yang berhasil ”menceritakan” begitu ba nyak pesan, yang dimaksudkan oleh pemilik logo untuk disampaikan kepada publik, tanpa tulisan panjang dan kata-kata, namun hanya da-lam sebentuk gambar (Smith, 2004). Keberhasilan logo dapat dilihat dari hal yang paling sederhana dan berdampak langsung, seperti makin popul-ernya suatu produk, jasa, atau pribadi, sampai ke hal yang bersifat internal dan untangible, se-perti bangkitnya suatu kesadaran atau motivasi. Logo yang baik akan melambungkan citra suatu entitas, mendongkrak penjualan produk dan jasa, menciptakan kesetiaan konsumen, meng-arahkan emosi dan pendapat khalayak.

Page 14: Ultimart Vol v No1

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRIYANI H. 11

Bagaimana Mendesain Sebuah LogoKarena logo memiliki peran dan tugas yang sa ngat penting, mendesain logo pun menjadi suatu kegiatan yang sangat serius. Desain logo biasanya dibuat oleh seorang desainer grafis, yaitu seseorang yang mempelajari mengenai De-sain Grafis atau Desain Komunikasi Visual se-cara khusus, baik di jenjang pendidikan formal maupun nonformal.

Pada awalnya, Desain Grafis adalah bidang yang mempelajari tentang desain/rancang ben-tuk komunikasi yang dicetak (graphic). Namun pada perkembangannya, Desain Grafis atau kini biasa disebut dengan Desain Komunikasi Visual, memperluas bidang cakupannya ke seluruh ben-tuk komunikasi visual, tidak hanya pada benda hasil cetakan, termasuk di dalam cakupannya adalah media Audio Visual, seperti Televisi, dan Multimedia, seperti Internet dan Mobile Device. Di dalam masa pendidikannya, seorang Desainer Grafis dibekali dengan ilmu-ilmu me-ngenai komunikasi, budaya, simbol dan lay-out, estetika, dan sebagainya. Secara umum, seorang Desainer Grafis mempelajari bagaimana meran-cang dan menyampaikan suatu komunikasi di dalam bentuk visual (gambar, teks, suara) yang

baik, benar, dan bisa menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.

Mendesain logo, selalu mendapat porsi cu-kup besar di dalam pendidikan Desain Grafis. Hal ini didasari oleh pengetahuan akan pent-ingnya desain logo pada dunia kerja nyata. Sebuah pekerjaan mendesain logo secara umum menduduki peringkat tertinggi di dalam tarif pekerjaan seorang Desainer Grafis. Seorang mahasiswa Desain Grafis akan diberi teori dan latih an, yang dapat membantunya untuk mem-buat desain logo yang baik. Namun pada akhir-nya, ketajam an intuisi dan daya kreasi masing-ma sing Desainer Grafislah yang akan berperan besar di dalam berhasil atau tidaknya tugas/pekerjaan mendesain sebuah logo.

Secara umum, ada empat langkah dasar di dalam mendesain sebuah logo (Rustan, 2009). Tentunya, seperti halnya di dalam Ilmu-Ilmu Sosial lainnya, tidak ada satu metode yang pa-ling benar di dalam hal ini. Satu pengajar mung-kin mengajarkan metode yang berbeda dengan pengajar lainnya. Seorang Desainer Grafis se-nior mungkin mengajarkan metode yang ber-beda dengan Desainer Grafis senior lainnya. Na-mun secara umum, langkah-langkah yang akan

Logo Unilever: Membawa pesan yang sangat padat/kom-pleks, terdiri dari elemen-elemen gambar kecil, yang mewakili beraneka ragam produknya, seperti dari minuman sampai produk kecantikan, juga menampilkan visi dan misi perusahaan, seperti komitmen daur ulang dan kreativitas.

Logo Microsoft: Membawa citra akan teknologi tinggi, namun juga ada kesan monopoli dan arogansi. Kesan monopoli timbul karena prestasi Microsoft yang berhasil men-dominasi di bidang aplikasi komputer. Kesan arogansi timbul karena kegigihan Microsoft di dalam membasmi pembaja-kan atas produknya dan mengibarkan isu hak cipta (lisensi) dengan sangat intens/vokal.

Logo Mercedez Benz: Membawa citra akan suatu karya yang prestise, produk yang dapat diandalkan karena memiliki sejarah yang panjang dan cemerlang. Mobil pertama Mercedes di-luncurkan tanggal 22 Desember 1900, dan sejak itu produk merek ini selalu menunjuk-kan prestasi yang membanggakan.

Page 15: Ultimart Vol v No1

12 Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief VOL V, 2012

ditempuh dapat dirumuskan sebagai berikut:1. riset,2. pertemuan dengan klien/wawancara,3. analisis data, dan4. mendesain.

Langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Riset Yang dilakukan pada tahap ini adalah De-

sainer Grafis mengumpulkan semua data/in-formasi mengenai klien yang akan ditemui-nya. Data ini bisa didapatkan dari membaca brosur, company profile, atau berita-berita di media cetak. Pada saat ini, hadirnya internet sangat mempermudah tahap pengumpulan informasi ini. Begitu banyak informasi yang terpapar di internet, dari sejarah perusaha-an, berita-berita, sampai iklan-iklan yang dibuat untuk dipasang di media TV pun dapat dilihat/diakses di internet. Informasi yang dikumpulkan pada tahap ini adalah mengenai sejarah perusahaan/klien, visi dan misi, kegiatan-kegiatan promosi yang per-nah dilakukan. Hal ini dimaksudkan supa-ya Desainer Grafis mempunyai gambaran/bayangan atau pengetahuan awal akan klien yang akan ditemui. Karena informasi yang didapat adalah hasil pengumpulan dari me-dia massa, bukan dari klien langsung, in-formasi-informasi ini masih bersifat umum, atau skin deep.

2. Pertemuan dengan klien/wawancara Pada tahap ini, Desainer Grafis akan mene-mui klien secara langsung, untuk menggali secara lebih dalam akan keinginan klien, visi, dan pesan yang ingin disampaikan. Biasa-nya ketika menemui klien, seorang Desainer Grafis akan menyiapkan sebuah dokumen yang disebut dengan Client Brief. Dokumen ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk mengenal klien dan produk/jasa-nya, untuk dapat mengetahui secara lebih spesifik mengenai tujuan proyek, batasan-batasan dan preferensi tertentu yang dipilih

oleh klien. Dokumen ini menjadi landasan dan pedoman dalam mendesain logo (Ellis n.d.). Dari pertanyaan-pertanyaan di doku-men ini, Desainer Grafis bisa mengembang-kan wawancara, sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi. Sekali lagi, tidak ada satu dokumen yang paling benar untuk wawan-cara ini. Satu Desainer Grafis mungkin mengajukan lebih sedikit atau lebih banyak pertanyaan daripada Desainer Grafis lain-nya. Namun secara umum, berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada sebuah Client Brief:

a. Siapa klien? b. Apa tujuan proyek kali ini? Misal nya membuat logo, membangun

citra produk baru, dan meningkatkan penjualan.

c. Siapa target audience yang ingin disasar? d. Apa keunggulan produk atau jasa mi-

lik klien, yang membedakannya dengan produk/jasa dari produsen lain?

e. Siapa pesaing dari klien? f. Apa pesan yang ingin disampaikan klien

pada target audience? g. Apa preferensi visual dari klien? Hal ini berhubungan dengan style yang

disukai oleh klien, misalnya gaya orien-tal, dan warna-warna etnik.

3. Analisis Setelah mendapatkan informasi langsung

dari klien, Desainer Grafis akan menganali-sis data tersebut. Berbekal pengetahuan awal dari riset yang sudah dilakukan dan jawaban-jawaban yang didapat dari wawan-cara dengan klien, Desainer Grafis akan mulai membangun suatu persepsi akan in-formasi/pesan yang ingin disampaikan klien lewat logo yang akan didesain. Desainer Grafis harus dapat menangkap makna-makna yang tersirat maupun yang tersurat, dari jawaban klien, dan juga harus mampu meng ungkapkan kebenaran yang sesung-guhnya dari kata-kata klien. Misalnya, klien berkata bahwa ingin logonya terlihat ba-gus. Arti bagus di sini adalah bagus menu-

Page 16: Ultimart Vol v No1

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRIYANI H. 13

rut klien, kebenaran menurut klien, bukan menurut Desainer Grafis atau orang lain. Oleh karena itu, Desainer Grafis perlu un-tuk mengetahui latar belakang klien, ideal-isme, dan karakter klien, untuk dapat meng-ungkapkan kebenaran yang ada di dalam jawaban/informasi dari klien. Kembali me-makai contoh kata bagus, yang bagus menu-rut seseorang yang menganut paham Feng Shui dengan yang bagus menurut seseorang yang sangat rasional adalah berbeda. Setelah mengungkapkan kebenaran-kebenaran ini, Desainer Grafis akan mencoba merumuskan persepsinya sendiri. Berarti Desainer Grafis akan menambahkan persepsi/pemikiran-nya sendiri pada informasi/kebenaran yang didapat dari klien, untuk bisa menemukan suatu konsep atau dasar pemikiran akan de-sain logo. Biasanya digunakan metode Mind Map dan Keywords untuk membantu menda-patkan konsep.

4. Mendesain Setelah Desainer Grafis menemukan ”dasar

pemikiran” atau konsep untuk logo, barulah kegiatan desain dimulai. Biasanya desain dimulai dengan membuat sketsa-sketsa/gambar dengan menggunakan tangan un-tuk ide atau konsep yang sudah dibuat. Se telah tahap sketsa, kemudian Desainer Grafis memilih dan mengembangkan ide-ide yang dianggap cukup mewakili konsep, dengan menggunakan komputer. Lalu, logo pun didesain sampai selesai dan siap dipre-sentasikan kepada klien. Biasanya proses de-sain belum selesai sampai di sini. Klien akan memberi masukan dan revisi. Desain logo akan mengalami perubahan-perubahan, sampai ditemukan persetujuan dari klien.

Sekilas mengenai HermeneutikaHermeneutika, atau Hermeneutics dalam bahasa Inggris, adalah kata yang berasal dari bahasa Yu-nani, yaitu hermeneuo. Hermeneuo berarti ”men-gungkapkan pikiran-pikiran seorang dalam kata-kata” (Hardiman 2003, p37). Secara umum,

Hermeneutika memiliki pengertian sebagai teori atau metode untuk menafsirkan. Yang men-jadi objek penafsiran adalah teks. Namun pada perkembangannya, batasan untuk objek ini me-luas, bukan hanya pada teks, melainkan juga pada manusia dan kebudayaan.

Pada awalnya, yaitu pada Abad Pertenga-han, Hermeneutika dipakai untuk menafsirkan naskah-naskah kuno, termasuk di dalamnya Kitab Suci agama Kristen. Saat itu, para ilmuwan agama Kristen memakai Hermeneutika untuk menafsirkan tulisan-tulisan yang berumur lebih dari ribuan tahun yang silam, dan menuangkan-nya dalam bahasa yang sesuai dengan zaman-nya.

Wilhelm Dilthey adalah tokoh filsuf yang dikenal memperluas penggunaan Hermeneuti-ka di luar bidang religius. Dilthey menggunakan Hermeneutika sebagai metode yang diterapkan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan bu-daya. Tindakan Dilthey ini merupakan kritiknya terhadap dampak Positivisme. Dilthey berang-gapan bahwa kehidupan manusia lebih dari sekadar realitas biologis, yaitu realitas yang san-gat kompleks (Wisarya, 2003). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode khusus untuk mem-pelajarinya, dan pada akhirnya untuk memaha-minya. Metode yang dianggapnya tepat adalah Hermeneutika.

Pemikiran Dilthey ini membawa pengaruh yang kuat di dalam dunia ilmu pengetahuan ke-manusiaan, sosial, budaya, dan juga pada dunia filsafat. Sesudah Dilthey, beberapa filsul lainnya juga mencoba merumuskan apa dan bagaimana Hermeneutika tersebut.

Hermeneutika GadamerHans-Georg Gadamer adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Lahir pada tanggal 11 Februari 1900 di Marburg, bagian selatan Jerman. Gadamer menunjukkan minatnya terhadap ilmu kemanusiaan ketika ia menuntut ilmu di univer-sitas di Breslau pada tahun 1918. Gadamer bela-jar pada Paul Natorp dan Nicolai Hartmann, na-mun Martin Heidegger lah yang paling banyak

Page 17: Ultimart Vol v No1

14 Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief VOL V, 2012

memberi pengaruh pada pemikiran-pemikiran filosofi Gadamer (Stanford Encyclopedia of Phi-losophy, 2003). Gadamer bekerja sebagai asisten Heidegger pada waktu itu, yang kemudian juga membimbingnya di dalam menyelesaikan dis-ertasinya. Karya Gadamer yang paling terkenal dan memberi dampak kuat pada dunia filsafat adalah Truth and Method, yang dipublikasikan pada tahun 1960.

Pemikiran Gadamer berawal dari pemikiran Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Khususnya Plato, yang dibahas Gadamer pada disertasinya, yaitu Plato’s Dialectical Ethics pada tahun 1928. Menurut Gadamer, untuk dapat memahami pemikiran Plato, haruslah dengan mempelajari dialog-dialog Platonic. Bukan saja dengan cara masuk dan mencoba memahami dialog tersebut, melainkan dengan cara mengu-langi kegiatan dialog tersebut, untuk dapat me-mahami artinya (Stanford Encyclopedia of Philoso-phy, 2003).

Di dalam Truth and Method, Gadamer mengemukakan suatu metode dasar untuk me-mahami, yaitu melalui dialog. Sebuah dialog melibatkan pertukaran antara dua orang yang bercakap-cakap mengenai suatu hal. Pertukaran ini tidaklah ditentukan oleh salah satu pihak, tetapi oleh hal yang menjadi topik dialog. Dia-log selalu mengambil bentuk di dalam bahasa, seiring dengan pandangan Gadamer yang be-ranggapan bahwa pemahaman selalu dimediasi oleh bahasa. Karena dialog dan pemahaman sama-sama membutuhkan kesepakatan, Gad-amer berpendapat bahwa semua pemahaman membutuhkan suatu kesepakatan umum yang terbentuk di dalam proses pemahaman itu. Da-lam konteks ini, Gadamer merumuskan, semua pemahaman adalah interpretasi, dan karena se-mua interpretasi melibatkan pertukaran antara yang sudah dikenal dan yang belum dikenal, interpretasi juga bersifat penerjemahan (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).

Gadamer juga menunjukkan minatnya pada literatur dan seni, dua hal yang selalu mempen-garuhi dan tampil di dalam karya-karyanya. Ga-damer menulis beberapa puisi, antara lain Cel-

an, Goethe, dan Rilke. Namun berbeda dengan estetika kontemporer pada umumnya, Gadamer memakai pengalaman akan keindahan sebagai pusat dari usaha untuk memahami suatu seni tertentu. Pada bagian akhir Truth and Method, Gadamer membicarakan keindahan yang mem-buktikan dirinya sendiri, atau dengan kata lain memancarkan sinarnya, yang juga mengeksplor-asi hubungan yang erat antara keindahan dan kebenaran.

Pemikiran Gadamer yang penting mengenai literatur dan seni adalah tiga ide yang tercan-tum di dalam tulisannya yang berjudul ”The rel-evance of the beautiful”. Tiga ide itu adalah seni sebagai lakon/permainan, simbol, dan perayaan. Karakter simbolis dari seni, menurut Gadamer, bukanlah di dalam arti suatu bentuk represen-tasi yang sederhana, melainkan bahwa seni se-lalu menunjukkan sesuatu yang lebih dari secara harfiah disajikannya. Sebuah karya seni, terlepas dari apa pun mediumnya, melalui karakter sim-bolisnya, mengungkapkan suatu dimensi di mana dunia dan keberadaan kita di dalam dunia dinyatakan sebagai suatu kesatuan yang sangat kaya (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).

Pemikiran Gadamer lainnya yang juga cuk-up populer adalah Lingkaran Hermenetis. Dasar pemikiran ini adalah untuk dapat memahami arti keseluruhan dari sebuah teks, haruslah di-pahami terlebih dahulu bagian-bagian dari teks tersebut. Demikian juga sebaliknya, untuk da-pat memahami bagian-bagian dari sebuah teks, haruslah dipahami makna dari keseluruhan teks terlebih dahulu (Wattimena, 2009).

Proses Mendesain Logo dan Hermeneutika, Contoh Kasus

Di bagian-bagian sebelumnya telah diuraikan mengenai apa itu logo, bagaimana proses men-desainnya, dan sekilas mengenai Hermeneutika. Berdasarkan semua hal itulah, penulis berpenda-pat bahwa di dalam proses mendesain logo, terutama pada tahap menganalisis, dibutuhkan suatu metode yang dapat mengungkapkan ke-benaran dan pada akhirnya memahami Client

Page 18: Ultimart Vol v No1

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRIYANI H. 15

Brief yang menjadi landasan dan pedoman dari proses mendesain logo. Metode yang dianggap tepat adalah Hermeneutika. Walaupun di sini tidak terjadi kesenjangan waktu antara penulis teks (klien) dan pembaca teks (Desainer Grafis), tetap ada perbedaan latar belakang, pola pikir, dan sifat antara penulis teks dan pembaca teks. Oleh karena itu, tetap dibutuhkan penafsiran atau Hermeneutika untuk dapat mencapai pe-mahaman.

Pada tahap analisis, Desainer Grafis ditun-tut untuk dapat mengungkapkan kebenaran-kebenaran dari informasi-informasi yang sudah didapatkan, terutama dari Client Brief atau hasil wawancara dengan klien. Sekali lagi diungkap-kan di sini, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran menurut klien. Misalnya, apa itu ba-gus, apa itu dinamis, apa itu manis, apa itu ceria, dan sebagainya, menurut klien. Semua informa-si tersebut terpapar di dalam teks/tulisan, yang akan menjadi objek dari metode Hermeneutika. Untuk membantu memahami teks yang ada, biasanya seorang Desainer Grafis akan membuat ”dialog bayangan”, sebuah dialog yang sebenarnya dilakukan seorang diri. De-sainer Grafis akan melontarkan pertanyaan-per-tanyaan untuk menggali kebenaran. Di sinilah pendapat Gadamer dianggap penulis menjadi metode yang tepat untuk keadaan ini, yaitu mencapai pemahaman melalui dialog. Untuk lebih menjelaskan pendapat-nya, penulis akan menyajikan sebuah contoh kasus, yaitu sebuah proyek pembuatan desain logo dari sebuah perusahaan teknik informasi, yang pernah dikerjakan oleh penulis. Berikut adalah hasil dari Client Brief:a. Siapa klien?

Perusahaan TI baru bernama PT Sofnet In-donesia. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa TI, yaitu menjual dan customize aplikasi/software untuk network dan aplikasi komput-er lainnya.

b. Apa tujuan proyek kali ini? Membuat logo untuk perusahaan yang baru berdiri, berarti membangun awareness.

c. Siapa target audience yang ingin disasar? Para konsumen yang akan mengguna-kan jasa perusahaan ini, yaitu pihak-pihak awam, yang akan menjadi penentu keputus-an, misalnya pihak manajerial.

d. Apa keunggulan produk atau jasa mi-lik klien, yang membedakannya de-ngan produk/jasa dari produsen lain? Menawarkan jasa yang menyeluruh, dari penyediaan hardware, peng-install-an soft-ware, dan customize software sesuai dengan kebutuhan klien.

e. Siapa pesaing dari klien? Perusahaan-perusahaan sejenis, yang sudah terlebih dahulu berdiri.

f Apa pesan yang ingin disampai kan klien pada target audience? Perusahaan ini adalah perusahaan yang ju-jur, terbuka, komitmen (menepati janji di da-lam men-deliver produk). Ketepatan waktu dalam men-deliver produk adalah hal yang krusial di dalam bidang TI.

g. Apa preferensi visual dari klien? Klien menyukai gaya minimalis dan hi-tech. Sebagai tambahan, klien adalah penganut paham Feng Shui.

Setelah mengumpulkan cukup informasi, dimulailah tahap analisis. Penulis membuat per-tanyaan-pertanyaan (dialog) untuk membantu-nya memahami informasi/teks yang sudah dida-pat. Dialog tersebut, antara lain sebagai berikut.T : Apa yang dapat menyimbolkan suatu

hal yang menyeluruh (terhubung dengan keunggulan jasa dari perusahaan, yaitu layanan yang menyeluruh)?

J : Suatu bentuk yang tidak memiliki titik awal dan titik akhir, yaitu lingkaran. Ling-karan adalah simbol dari suatu bentuk yang utuh, whole.

T : Apa itu software komputer ? Apa itu net-work komputer?

J : Software adalah sekumpulan data elek-tronik yang disimpan di dalam komputer, yang berisi instruksi untuk menjalankan suatu perintah tertentu. Melalui software,

Page 19: Ultimart Vol v No1

16 Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief VOL V, 2012

komputer dapat menjalani suatu perintah. Network adalah cara menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lain. Hubungan antara keduanya adalah software (bisa) mengatur network.

T : Apa yang bisa menggambarkan hal yang jujur, terbuka?

J : Bentuk atau gambar dengan garis-garis yang sederhana, tidak rumit. Juga warna putih.

T : Apa yang menggambarkan komitmen, atau seseorang yang selalu menepati jan-jinya?

J : Bentuk atau gambar dengan garis-garis yang tegas, warna-warna yang tegas (bu-kan warna-warna lembut seperti pink, mauve, dan sebagainya).

T : Bagaimana desain yang minimalis?J : Bentuk-bentuk yang sederhana, tidak ru-

mit, tidak tumpang-tindih, tidak padat/penuh, banyak ruang kosong (whitespace).

T : Bagaimana desain yang hi-tech?J : Menggunakan warna-warna bernuansa

”dingin” (cold), seperti biru, dan juga abu-abu.

T : Apa yang disukai oleh klien, yang adalah seorang pria dewasa (sekitar 40 tahunan), eksekutif, pengusaha?

J : Biasanya yang disukai oleh pribadi se-perti demikian adalah bentuk desain yang berkesan formil atau resmi, tidak funky atau grunge. Juga warna-warna yang berkesan resmi, bukan warna-warna ceria seperti kuning terang.

Setelah melakukan analisis, mencoba menaf-sirkan Client Brief, penulis membuat Mind Map dan Keywords untuk mencari konsep untuk logo yang akan dibuat. Berikut hasil dari desain logo yang dibuat penulis:

Setelah klien melihat desain logo, didapat sebuah revisi. Klien meminta untuk mengubah posisi lingkaran dengan persegi panjang se-hingga persegi panjang ada di atas atau di de-pan lingkaran. Walaupun klien memahami dan membenarkan konsep ”Software mengatur

Network”, berdasarkan paham Feng Shui yang dianut klien, tidak baik untuk memutus bentuk lingkaran. Bentuk lingkaran yang baik adalah tanpa awal dan tanpa akhir. Hal ini dikaitkan dengan peruntungan atau nasib baik. Jadi, su-paya peruntungan atau nasib baik tetap ada di dalam perusahaan ini, bentuk lingkaran tidak boleh diputus. Inilah yang dimaksud penulis sebagai kebenaran menurut klien, yang menjadi landasan dalam membuat logo. Akhirnya, de-sain logo mengalami perubahan dan mendapat persetujuan klien. Berikut desain logo yang su-dah disetujui oleh klien dan dipergunakan:

Konsep Logo

Bentuk lingkaran menggambarkan produk yang ditawar-kan perusahaan, yaitu Network. Bentuk persegi panjang di atas lingkaran menggambarkan Software, yang meng-atur Network. Menggunakan hanya dua warna, untuk menggambarkan kesederhanaan atau keterbukaan. Dipilih warna yang kuat untuk menggambarkan komitmen. Warna biru dipilih juga untuk menggambarkan hi-tech.

Memahami Logo, Sebuah Proses Hermeneutika Lainnya

Setelah sebuah logo selesai didesain, logo terse-but akan dipublikasikan ke khalayak. Dimulai-lah sebuah perjalanan pemahaman berikutnya. Khalayak yang adalah orang awam, dari berba-gai latar belakang, akan mencoba memahami arti atau pesan yang terkandung di dalam sebuah logo. Karena beragamnya latar belakang orang, merupakan hal yang sulit untuk dapat membuat semua orang memahami arti atau pesan da-

Page 20: Ultimart Vol v No1

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRIYANI H. 17

lam sebuah logo. Yang menjadi fokus perhatian adalah Target Audience, yaitu orang-orang yang diharapkan terkena dampak dari logo tersebut dan pada akhirnya memberi keuntungan kepada pemilik logo. Keuntungan di sini bukan hanya hal yang bersifat tangible atau materiil, misalnya naiknya angka penjualan, melainkan juga hal-hal yang intangible, seperti terbentuknya motiva-si atau opini dari pihak yang menjadi sasaran.

Di sinilah terjadi, secara sadar atau tidak sa-dar, suatu proses penafsiran akan makna yang dikandung dalam sebuah logo. Terjadi suatu proses Hermeneutika, dengan logo (gambar/teks/simbol) yang menjadi objeknya. Karena pada hakikatnya, manusia cenderung untuk se-lalu memberi makna, pada semua objek yang ditemuinya, terutama simbol-simbol (Hardiman 2003, p39). Walaupun proses penafsiran yang ter-jadi di sini tidaklah terlalu dalam, karena tidak ada tujuan yang harus dicapai, selain pemaha-man dari orang yang bersangkutan itu sendiri,

terhadap arti atau makna dari logo yang sedang ditafsirkannya.

Biasanya orang akan mengaitkan makna logo dengan entitas yang diwakili/dirujuknya. Orang akan berusaha mencari suatu hubungan yang selaras antara entitas dan logonya. Sebagai contoh, bagaimana orang mencoba memahami sebuah logo dari minuman rasa buah. Yang bi-asa terjadi adalah orang akan menghubungkan logo dengan produknya, yaitu minuman yang mempunyai rasa buah-buahan. Apakah logonya sudah mengingatkan orang akan minuman, atau buah-buahan. Apakah logonya sudah menggam-barkan minuman yang menggiurkan sehingga membuat orang mau meminum produknya.

Berikut beberapa penafsiran makna logo oleh penulis, yang dilakukan hanya dengan menggunakan nalar atau pengetahuan umum, tanpa mencari data/informasi resmi mengenai logo tersebut.

Logo Apple: Apple adalah merek untuk produk komputer dan multimedia. Logonya menggambarkan buah apel dengan bekas gigitan. Penulis beranggapan, gambar ini menyimbolkan buah pengetahuan di dalam Kitab Suci agama Kristen, yaitu buah yang dapat memberikan pengetahuan yang sangat berpengaruh. Hal ini mungkin ingin melambangkan produk Apple yang membawa pengetahuan dan hiburan yang terkini di kelasnya.

Logo Addidas: Addidas adalah produk untuk perlengkapan olahraga, seperti sepatu, dan bola. Penulis beranggapan bahwa tiga bentuk persegi panjang yang ada, melambangkan suatu gerakan, suatu hal yang dinamis, yang berubah dari kecil/pelan menjadi besar/cepat. Mungkin produsen Addidas ingin mengatakan bahwa produk mereka akan membuat prestasi pemakainya meningkat.

Logo Microsoft Windows: Microsoft Windows adalah aplikasi Operating System, yaitu aplikasi yang menjadi dasar/platform dari beroperasinya sebuah komputer. Mungkin Microsoft ingin melambangkan produk mereka sebagai media untuk melihat ”dunia” (dunia digital), seperti halnya orang memandang dunia lewat jendela. Digambarkan jendela dengan empat filter warna. Warna Red, Green, dan Blue adalah komponen warna cahaya (warna yang kita lihat di monitor, TV, layar). Mungkin semua ini sekali lagi menyimbolkan bagaimana Microsoft mengatur dan membentuk interaksi pengguna dengan komputer.

Page 21: Ultimart Vol v No1

18 Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief VOL V, 2012

Daftar PustakaElliss, A. n.d.. The client brief, Home Design Di-

rectory, viewed 13 November 2010, <http://www.diyhomedesign.com.au/client-brief.shtml>.

Hardiman, F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

LogoBee n.d.. What is a logo?, viewed 14 No-vember 2010, <http://www.logobee.com/fea-ture3.htm>.

Rose India. n.d.. What is Logo Design, viewed 14 November 2010, <http://www.roseindia.net/services/webdesigning/corporatewebsitede-sign/What-is-Logo-Design.shtml>.

Rustan, S. 2009. Mendesain LOGO. Jakarta: Gra-media.

Smith, R. 2004. How Do You Define a Good Logo Design?, EzineArticles, viewed 10

November 2010, <http://ezinearticles.com/?How-Do-You-Define-a-Good-Logo-Design?&id=7307>.

Wattimena, RAA. 2009. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer. Rumah Filsafat, viewed 13 No-vember 2010, <http://rezaantonius.wordpress.com/2009/09/21/hermeneutika-hans-georg-gad-amer/>.

Wisarya, I.K. 2003. ’Hermeneutika sebagai me-tode ilmu kemanusiaan’, Jurnal Filsafat, vol. 3, pp. 202-208.

Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2003. Hans-Georg Gadamer, viewed 12 November 2010, <http://plato.stanford.edu/entries/ga-damer/>.

Wikipedia Encyclopedia Online. 2010. Logo, viewed 10 November 2010, <http://en.wikipedia.org/wiki/Main_Page>.

Page 22: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 19-33ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

PengantarSebagai sebuah praxis2, humor sudah memasya-rakat di Indonesia. Ada begitu banyak dagelan, bercandaan, lelucon, baik yang sudah terdoku-mentasi dan terpublikasikan, bahkan dipentas-kan, maupun yang belum (hidup di level lisan, ditularkan dari mulut ke mulut), yang dilontar-kan, dicetuskan dan beredar, mulai dari warung kopi di pinggir jalan, studio-studio TV kedap suara dan berpendingin, klub dan pub, hingga hotel-hotel berbintang lima dan bahkan di peng-

Humor sebagai Pengalaman Estetis Penerapannya dalam Studi Kasus Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI)

HENDAR PUTRANTO1

Universitas Multimedia NusantaraJln. Boulevard Gading Serpong, Tangerang

Telp. 021-54220808, ext. 3605. email: [email protected]

Diterima: 21 Februari 2012Disetujui: 3 Maret 2012

Abstract: Humor, as a praxis, is already practiced in Indonesian society, by and large. Nevertheless, it is rarely discussed amongst academician or analyzed in serious academic fashion or published in credible academic journals in In-donesia. This paper is an initial attempt to bridge such gap, first of all by reintroducing three big theories of hu-mor already discussed and debated in western academic (philosophy, linguistic, psychology) circles. Secondly, by highlighting and analyzing the term aesthetic experience. Afterward, by combining theories of humor with theory of aesthetic experience, it will be shown two things: (1) how humor could be perceived as aesthetic expe-rience, and (2) how humor can be classified as aesthetic and non-aesthetic humor. Thus combined, it becomes an analytical tool for dissecting a case study of recent phenomenon of stand-up comedy in Indonesia. With careful observation, I will argue that in some cases of stand-up comedy (such as stand-up comedy programs aired by Kompas TV and Metro TV), aesthetic experience is no longer experienced as a ”l’art pour l’art,” but rather, a mixture of aesthetic with utilitarian function and financial motif.

Keywords: humor, tiga teori besar tentang humor (incongruity, superiority, relief theory), pengala-man estetis (aesthetic experience), kesenangan (enjoyment), humor estetis dan non-estetis, stand-up comedy.

adilan (!). Sedemikian luas dan inklusifnya daya tarik humor sehingga orang dari beragam profe-si dan latar belakang, tanpa adanya pembedaan status, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama dan kepercayaan, suku bangsa, bahasa, budaya, minat dan kepentingan, dapat membuat dan terlibat dalam humor3. Begitu juga dengan tema atau topik yang bisa dijadikan objek hu-mor begitu luas dan beragam, mulai dari poli-tik, ekonomi, budaya, seks, hal-ikhwal keluar-ga, pekerjaan, musik, tokoh dan peristiwa, serta

Page 23: Ultimart Vol v No1

20 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

lainnya. Akan tetapi sayangnya, praxis humor yang sudah sedemikian memasyarakat tersebut belum banyak dijadikan tema kajian penelitian yang memadai4 dalam lingkaran akademis ber-bahasa Indonesia5. Tema humor juga minim (eu-femisme untuk mengatakan ”tidak ada sama sekali”) diangkat dalam buku-buku teks estetika atau filsafat keindahan berbahasa Indonesia6 se-lama dua dasawarsa terakhir. Kekurangan inilah yang hendak diisi penulis dalam artikel berikut.

Sebagai sebuah fenomena khas manusiawi yang diangkat ke tataran objek kajian penelitian filosofis (linguistik, estetis, etis, psikologis), da-lam tradisi akademis Barat (Eropa dan Amerika), humor sudah sering dibahas dan diperdebatkan oleh beberapa pemikir7, mulai dari para pemikir zaman Yunani kuno hingga para pemikir kon-temporer abad XX dan XXI.

Era Yunani kuno diwakili oleh Plato (dalam Philebus) dan Aristoteles (dalam Rhetoric, the Po-etics, dan the Nicomachean Ethics). Era awal (abad ke-16 dan ke-17) dan puncak (abad ke-18 dan ke-19) modernitas (termasuk di dalamnya perio-de Romantisisme dan Eksistensialisme awal) diwakili para pemikir, seperti Thomas Hobbes (dalam The Elements of Law, Natural and Politic Pt. I Human Nature, 1640)8, James Beattie (An Es-say on Laughter, and Ludicrous Composition, 1779), Immanuel Kant (Kritik der Urteilskraft atau The Critique of Judgment, 1790), Arthur Schopenhauer (Die Welt als Wille und Vorstellung atau The World as Will and Representation, 1818), Søren Kierkeg-aard (dalam Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift til de philosophiske Smuler atau Concluding Un-scientific Postscript to the Philosophical Fragments, 1846), Herbert Spencer (The Physiology of Laugh-ter, 1860), Henri Bergson (Le Rire. Essai sur la sig-nification du comique, atau Laughter, an essay on the meaning of the comic, 1900), dan Sigmund Freud (Jokes and Their Relation to the Unconscious, 1905).

Mewakili abad XX dan XXI, ada sejumlah pemikir dari berbagai disiplin ilmu yang mem-bahas tentang humor, di antaranya David Hector Monro (Argument of Laughter, [1951] 1963), Mi-chael Clark (“Humour and Incongruity” dalam jurnal Philosophy Vol. 45, No. 171, Januari 1970),

Neil Schaeffer (The Art of Laughter, 1981), Vic-tor Raskin (Semantic mechanisms of humor, 1985), John Morreall (Taking Laughter Seriously, 1983; The Philosophy of Laughter and Humor, 1987; Com-edy, Tragedy, and Religion, 1999; Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor, 2009), Elliott oring (Joking and Their Relations, 1992; Engaging Humor, 2003), Neal R. Norrick (Conversational Joking: Humor in Everyday Talk, 1993), Salvatore Attardo (Linguistic theories of humor, 1994), Peter l. Berger (Redeeming Laughter: The Comic Dimen-sion of Human Experience, 1997), Willibald Ruch (“Sense of humor: A new look at an old concept” dalam buku The sense of humor: Explorations of a personality characteristic, 1998), Berys Gaut (ar-tikel “Just Joking: The Ethics and Aesthetics of Humour” dalam jurnal Philosophy and Literature, 22, 1998), Ted Cohen (Jokes: Philosophical Perspec-tives on Laughing Matters, 1999; “Jokes”, sebuah entri dalam the Encyclopedia of Aesthetics, 1998; “Humor” sebuah entri dalam The Routledge Companion to Aesthetics, 2001), John Lippitt (se-jumlah artikel tentang humor9 yang terbit di be-berapa jurnal filsafat, seperti Cogito, Philosophy Now, dan British Journal of Aesthetics; pengarang buku Humour and Irony in Kierkegaard’s Thought, 2000), Robert R. Provine (Laughter: A Scientific Investigation, 2000), Quentin Skinner (“Hobbes and the Classical Theory of laughter”, 2004)10, Peter Marteinson (On the Problem of the Comic: A philosophical study on the Origins of Laughter, 2006), Arvo Krikmann (Contemporary Linguistic Theories of Humour, 2007)11, Joshua Shaw (artikel “Philosophy of Humor” yang dimuat dalam jur-nal Philosophy Compass, Volume 5, Issue 2, 2010), dan Mordechai Gordon (“What Makes Humor Aesthetic”, 2012)12.

Untuk lebih menegaskan tingkat akademis pembahasan humor, pada tahun 1988 diter-bitkanlah sebuah jurnal ilmiah peer-reviewed dan inter-disipliner yang khusus membahas tentang humor dan berbagai aspek tinjauannya, yaitu Humor: International Journal of Humor Research. Jurnal Humor diterbitkan penerbit Walter de Gruyter13 berkat dorongan dan dukungan dari International Society for Humor Studies.14 Sejak

Page 24: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 21

1988, sudah lebih dari 400 artikel dimuat dalam jurnal Humor15. Editor kepala (editor-in-chief) jur-nal Humor per 2008 dijabat oleh Prof. Salvatore Attardo dari Texas A & M University-Commerce, salah satu otoritas yang dihormati di bidang ka-jian akademis humor dewasa ini. Menurut Jour-nal Citation Reports 2010, impact factor jurnal Hu-mor adalah 0.780.

ruddin Hoja. Skripsi diajukan untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar sarjana juru-san Sastra Indonesia, fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia;19 (4) Suryani, Esti. 2010. Analisis Tindak Tutur dalam Humor Ketawa Ngakak di Senayan (Humor-humor Anggota DPR)20; (5) Muldan, Andina. 2007. Analisis Un-sur Humor yang Merupakan Pelanggaran terhadap Prinsip Komunikasi menurut Grice dalam Yonkoma Manga Yukaina Senryuu Goshichigo. Sebuah Skrip-si Jurusan Sastra Jepang Universitas Bina Nusan-tara (Binus); (6) Kurniawan, Ivan. 2011. Analisis Wacana Humor Gara-gara dalam Pagelaran Wayang Kulit dengan Dalang Ki Medot Samiyono Sudarsono (Sebuah Kajian Pragmatik). Skripsi Fakultas Kegu-ruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Univer-sitas Muhammadiyah Surakarta; (7) Rohmadi, Mohammad. tanpa tahun penerbitan. Wacana Humor dalam Bahasa Indonesia: Analisis Tekstual dan Kontekstual21; (8) Kusumawati, Novita Dwi. 2009. Analisis Semantik Teks Humor Berbahasa In-donesia. Skripsi untuk mencapai gelar Sarjana, Universitas Negeri Malang; (9) Hartanti. 2008. Apakah Selera Humor Menurunkan Stres? Sebuah Meta-analisis, yang dimuat dalam jurnal psikolo-gi Indonesia, Anima, Vol. 24, No. 1, hlm. 38–5522; 10) Nasiruddin T.J., M. 2012. Kolaborasi Humor dan Kritik Sosial dalam Kartun “Clekit”: Analisis Wacana.23

Dari daftar tersebut kita bisa melihat bah-wa wilayah kajian (academic field) yang cukup dominan sebagai latar maupun paradigma un-tuk mengkaji tema humor adalah (berdasarkan urutan mulai dari yang paling dominan sampai yang paling kurang dominan): kajian linguistik (bahasa Indonesia), kajian komunikasi, kajian psikologi, dan kajian ekonomi. Akan tetapi, dari daftar tersebut belum terlihat adanya tulisan tentang humor yang mengambil sudut pandang filsafat, secara khusus estetika24. Mengapa de-mikian? Dengan sedikit nada mencurigai yang sehat penulis bertanya, apakah di Indonesia secara umum beredar anggapan bahwa humor (dagelan, lelucon, banyolan, dan bentuk-bentuk humor lainnya) adalah hal yang terlalu “remeh”

Kontekstualisasi PenelitianPencarian dengan menggunakan mesin pencari www.google.co.id16, dengan kata kunci “analisis tentang humor” hanya menghasilkan kurang dari 15 laman dan konten tentang humor yang ditinjau dan dianalisis secara akademis17 di antaranya adalah (1) Agustin, Vivin Dwi. 2009. Analisis Wacana Humor Anak-Anak Ditinjau dari Struktur dan Fungsi Pragmatik. Skripsi diajukan untuk mencapai gelar Sarjana Sastra di Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang; (2) Danoarto, Arif. Analisis Perbandingan Pengaruh Iklan Humor dan Non Humor terhadap Sikap atas Merek Konsumen di Surabaya. Sebuah skripsi yang diajukan untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Universitas Airlangga, Surabaya18; (3) Hidayati. 2009. Analisis Pragmatik Humor Nas-

Page 25: Ultimart Vol v No1

22 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

untuk diangkat ke tataran kajian akademis yang filosofis?25 Jika betul demikian, mengapa di du-nia akademis Barat (untuk menyebut beberapa saja: Yunani kuno, Inggris, Jerman, Prancis, Den-mark, Amerika Serikat) cukup banyak pemikir yang memperhatikan dan membahas soal hu-mor ini secara serius, analitis, dan mendalam? Ini pun masih ditambahi fakta historis bahwa minat akademis dan tulisan yang membahas tentang humor bukanlah suatu tren yang baru terjadi setahun dua tahun, atau sepuluh dua pu-luh tahun terakhir ini saja, namun sudah mem-bentang selama ribuan tahun peradaban (sejak Plato dan Aristoteles mengulasnya di abad ke-5 dan ke-4 SM).

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan pen-dahuluan di atas, penulis akan memproblemati-sasi fenomena humor dalam artikel ini dengan pertama, menjelaskan tiga kerangka teori yang umum digunakan untuk menjelaskan mengapa humor ada. Kedua, menjelaskan secara singkat pengertian pengalaman estetis (secara umum) dan pengertian humor sebagai pengalaman es-tetis. Ketiga, menjadikan hasil uraian di bagian pertama dan kedua sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena stand-up comedy di Indo-nesia, secara khusus program Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI). Artikel akan ditutup dengan beberapa poin kesimpulan.

Mendefinisikan Humor dengan Meng-gunakan Tiga Kerangka Teoretis

Secara garis besar, ada tiga teori yang cukup se-ring dijadikan rujukan tentang humor, yaitu (1) incongruity theory, (2) superiority theory, dan (3) re-lief theory.26 Masing-masing teori mengklaim dap-at menjadi kerangka rujukan untuk menjelaskan dan menganalisis motif dasar serta sistematika humor. Berikut akan dijelaskan secara cukup ringkas inti dari masing-masing teori.

Incongruity theory (dalam artikel ini selan-jutnya akan disebut sebagai “Teori Ketidakcoco-kan”) untuk menjelaskan fenomena humor pada

dasarnya berkisar pada persepsi tentang adanya suatu ‘ketidakcocokan’ (incongruity). Pendekatan ini merupakan teori humor yang paling dominan diadopsi oleh para filsuf dan psikolog dewasa ini [Morreall 2009: 10, 12]. Tokoh pemikir yang mendukung dan ikut terlibat “membesarkan” teori ini di antaranya adalah James Beattie, Im-manuel Kant, Søren Kierkegaard, Arthur Scho-penhauer, dan sejumlah pemikir selanjutnya di antaranya adalah Prof. Elliott Oring, antropolog dari Departemen Antropologi California State University, los Angeles (USA) yang menekuni bidang humor dan cerita rakyat. Dalam bukunya Engaging Humor (oring, 2003: 1), ia mengatakan bahwa “humor tergantung pada persepsi of an appropriate incongruity; artinya persepsi tentang relasi yang appropriate antara kategori-kategori yang biasanya dianggap sebagai incongruous.” Seorang ahli teori humor yang lain, Robert l. Latta [dalam Morreall 2009: 10] merumuskan “incongruous” sebagai “hal-ikhwal yang dengan satu dan lain cara tidak klop atau cocok” (things do not go together, match, or fit in some way).

Sumber gambar: http://www.jimlyttle.com/images/VennDiagram.jpg

Mengapa ‘ketidakcocokan’ dapat menjadi sumber tawa dan humor? Salah satu alasan yang paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa tawa terjadi karena adanya pe-langgaran terhadap kode atau pola mental ter-tentu, termasuk di dalamnya ekspektasi orang akan terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu.

Humor requires both:

Page 26: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 23

Sudah sejak ribuan tahun yang lalu, Aristoteles mengindikasikan muncul dan mapannya ‘teori ketidakcocokan’ ini untuk menjelaskan humor. Seperti diulas oleh Smuts (2009), dalam bukunya the Rhetoric (III, 2), Aristoteles pernah mengata-kan bahwa cara terbaik untuk membuat audiens tertawa adalah dengan cara membangun suatu konstruksi ekspektasi dan lalu dilanjutkan de-ngan ‘sesuatu yang sama sekali lain’ (that gives a twist).

Selain Aristoteles, filsuf ternama dari Jer-man, Immanuel Kant (1724–1804), pernah me-ngatakan alasan berikut ini untuk mendukung teori ketidakcocokan. “Apa pun yang mem-bangkitkan gelak tawa pasti memuat adanya sesuatu yang aneh (di mana pemahaman tidak menemukan kepuasannya). Tawa adalah suatu afeksi yang muncul dari ‘perubahan mendadak’ (sudden transformation) sebuah rentetan ekspek-tasi yang berujung pada ketiadaan. Perubahan ini meskipun tidak disukai pemahaman, secara tidak langsung memberikan ‘rasa senang aktif’ (very active enjoyment) untuk sementara waktu. Karenanya, penyebab ini semua haruslah terdiri dari pengaruh representasi terhadap tubuh dan dampak refleksnya terhadap pikiran.” [Morreall, 2009: 11] Ringkasnya, tawa terjadi karena adanya pelanggaran atas rentetan ekspektasi (the viola-tion of expectations).

Salah satu contoh humor yang dilandasi ”teori ketidakcocokan” adalah humor yang di-ceritakan oleh filsuf zaman Romantik, Arthur Schopenhauer [dalam Morreall, 2009: 12]. Suatu hari ada beberapa orang sipir penjara yang ber-main kartu dan membiarkan seorang tahanan ikut bermain dengan mereka. Namun ketika mereka mendapati si tahanan itu berlaku curang saat main kartu, mereka ‘menendangnya ke-luar’. Schopenhauer menggarisbawahi adanya ‘ketidakcocokan’ dalam humor ini ketika orang tergiring oleh konsep umum (untuk berpikir dan berekspektasi) bahwa seorang teman yang ber-main curang memang pantas untuk ‘dikeluar-kan’ (tidak lagi diajak bermain atau berteman). Namun, orang tidak menyadari adanya fakta atau konsep lain dalam cerita humor singkat tadi, yaitu bahwa dia adalah tahanan, artinya

orang yang seharusnya dijaga oleh para sipir agar tidak kabur atau melarikan diri.

Seperti sudah dicontohkan di atas oleh Aris-toteles, Kant dan Schopenhauer, ‘teori ketidak-cocokan’ memang menciutkan syarat yang perlu (necessary condition) untuk objek humor27. Na-mun, berfokus pada objek humor saja masih be-lum bisa dibilang syarat yang memadai (sufficient condition) untuk mendasarkan adanya humor karena ada begitu banyak hal di luar sana yang “tidak cocok” namun tidak otomatis dikate-gorikan sebagai objek humor (dan juga tidak menghasilkan rasa geli-senang atau amusement), seperti mobil yang parkir tidak pada tempatnya, celana yang sempit dipakai oleh orang yang ber-badan besar, dan lainnya.

John Morreall mencoba menawarkan solu-si lain dari kebingungan konseptual ini untuk mendapatkan sufficient conditions for identifying humor dengan melihat tanggapan atau respons kita terhadap humor. Menurut Morreall, hu-mor yang menyenangkan (humorous amusement) adalah hal yang terjadi ketika kita ‘menikmati pergeseran kognitif’ (taking pleasure in a cognitive shift). Yang dimaksud Morreall dengan ‘pergeser-an kognitif’ ini bisa dijelaskan dalam empat pola dasar humor (Morreall 2009: 50), yaitu sebagai berikut.1. Kita mengalami suatu pergeseran kognitif–

perubahan yang cepat dalam persepsi atau pikiran kita.

2. Kita sedang siap bermain (play mode) dari-pada serius, artinya tidak sedang disibuki dengan urusan-urusan konseptual maupun praktis.

3. Alih-alih menanggapi pergeseran kognitif ini dengan terkaget-kaget, bingung, gamang, takut, marah, atau aneka emosi negatif lain-nya, kita malah menyukainya (enjoy).

4. Kesukaan kita pada terjadinya pergeseran kognitif ini diekspresikan lewat tawa, yang memberi sinyal pada orang lain bahwa me-reka juga bisa rileks dan ikut bermain.

Superiority theory [dalam artikel ini akan di-sebut sebagai Teori Superioritas] dianggap sebagai

Page 27: Ultimart Vol v No1

24 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

teori yang menjelaskan fenomena humor (dan tawa) sebagai antisosial (Morreall 2009: 4–9). Di manakah letak antisosial dari humor? Tawa yang dihasilkan oleh humor membuat seseorang cenderung lepas kontrol terhadap dirinya sen-diri dan orang yang diobjekkan atau ditargetkan sebagai bahan tertawa menjadi terpojok atau direndahkan. Beberapa filsuf Yunani klasik, se-perti Protagoras, Epictetus, dan Plato cenderung melihat dan memahami humor sebagai bentuk longgarnya kendali atas diri dan dapat beraki-bat pada terganggunya harmoni sosial. Pemikir sosial Inggris abad ke-17, Thomas Hobbes, juga mengafirmasi hal yang sama tentang humor. Menurutnya, tawa mengekspresikan prinsip SoS (Senang lihat orang lain Susah) dan merupakan ciri kepengecutan (pusillanimity). Perasa an supe-rioritas yang muncul, entah disadari atau dise-ngaja entah tidak, pada diri orang yang mener-tawakan (penderitaan, nasib, tindakan, pikiran, dan perkataan) orang lain hampir selalu disertai dengan perasaan rendah-diri (inferioritas) yang dialami oleh “si subjek yang merasa diobjekkan” (dijadikan bahan tertawaan). Para pemikir yang pro pada Teori Superioritas pada dasarnya sepa-kat bahwa ketika sesuatu menimbul kan tawa, itu pasti karena terungkapnya inferioritas (‘ca-cat’ fisik maupun ‘cacat’ pikiran) seseorang jika dibandingkan dengan orang yang menertawa-kan.

Release theory (dalam artikel ini akan di-sebut dengan istilah Teori Pelepasan) bisa dila-cak asal usulnya sejak zaman Yunani kuno, da-lam pemikiran Aristoteles tentang seni drama/teater, dengan menggunakan istilah catharsis (releasing pent-up emotion or energy while watching drama/theatrical performance)28. Teori pelepasan ini didukung oleh sejumlah ahli psikologi dan biologi modern, seperti Sigmund Freud dan Herbert Spencer, yang mengaitkan fenomena tawa de ngan sistem saraf manusia, hal yang relatif diabaikan oleh teori superioritas mau-pun teori ketidakcocokan. Ada dua versi yang umum dijadikan rujukan untuk menjelaskan teori pelepasan. Pertama, versi kuat yang me-ngatakan bahwa semua tawa adalah hasil dari

pelepasan energi yang berlebihan. Kedua, versi lemah yang mengatakan bahwa cukup sering ter-jadi tawa yang disebabkan humor melibatkan adanya pelepasan ketegangan atau energi.

Menurut Freud (dalam Morreall 2009: 18), se-bagian besar dagelan atau komentar lucu-cerdas berbicara tentang seks atau kebencian, dua jenis dorongan alamiah manusiawi yang masyarakat cenderung ”alergi” membicarakannya secara terbuka dan karenanya direpresi. Dengan me-nyampaikan dan mendengarkan dagelan ber-bau seks, atau lelucon yang mengejek individu atau kelompok, kita tidak ambil pusing dengan sensor internal (versi pembatinan super-ego) dan bahkan dengan senang hati kita dapat mengeks-presikan libido atau kebencian kita yang sela-ma ini dipendam. Energi yang tadinya dipakai untuk menekan dorongan-dorongan alamiah manusiawi tadi lalu dilepaskan dalam bentuk tawa.

Dalam pengertian ini, kesimpulan semen-tara yang bisa kita tarik adalah teori pelepasan memberi tekanan lebih pada mekanisme biolo-gis dan sistem saraf manusia, bukan pada kon-ten dari humor.

Untuk meringkas bagian ini, pantas diku-tipkan di sini pendapat Prof. Mordechai Gordon dari Quinnipiac University (USA) yang mengata-kan bahwa “Rasa humor adalah kapasitas yang memampukan kita untuk mengidentifikasi ber-bagai ekspresi, komentar maupun tindakan yang ironis, sinis, sarkastis, cerdas, nyeleneh, dan lucu. Kesemuanya ini bisa terwujud dalam berbagai cara dan bentuk seperti dagelan (jokes), plesetan kata (puns), mimik wajah yang lucu (funny facial expressions), meniru orang lain, komentar spon-tan yang membuat orang tertawa, dan sebagai-nya. Rasa humor kita memampukan kita untuk tidak hanya menertawakan orang lain, situasi, dan kejadian lucu yang kita baca atau tonton, tetapi juga menertawakan diri sendiri. Pendek kata, humor mengajak kita untuk melihat dunia dari perspektif yang menyenangkan dan komi-kal alih-alih serius atau sedih.” (Gordon, 2012: 62)

Page 28: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 25

Humor sebagai Pengalaman EstetisMenurut Eran Guter (2010: 71)29, ide pengalam-an estetis dapat dikelompokkan menjadi em-pat cara pemahaman teoretis30, yaitu (1) secara fenomenologis, pengalaman estetis dipahami se-bagai sebuah perhatian yang terfokus sekaligus refleksif dan melibatkan afeksi secara mendalam yang membedakannya dari arus pengalaman biasa; (2) secara fungsional, nilai estetis dari pe-ngalaman estetis dipahami berdasarkan jumlah (volume) atau intensitas pengalaman itu sendiri; (3) secara kognitivis, pengalaman estetis dipa-hami sebagai ‘momen perubahan’ (transforming moment), di mana subjek penahu mendapatkan pengetahuan yang lebih dari biasanya, atau bu-kan lewat penalaran biasa, menyangkut objek yang dialami; (4) secara esensialis, pengalaman estetis dipahami sebagai identifikasi dan indi-viduasi karya-karya seni, di mana karya seni dipahami sebagai rujukan primer (primary loci) dari pengalaman estetis. Dengan demikian, jika diringkas, pengalaman estetis meliputi unsur-unsur berikut ini: (1) fokus-refleksif-melibatkan afeksi, (2) memiliki volume dan intensitas, (3) mengubah diri, dan (4) dapat diidentifikasi serta bersifat individual.

Sementara itu, merujuk pada buku Aesthetic Experience (Shusterman dan Tomlin, 2008), pe-ngalaman estetis digambarkan sebagai ”pengal-aman yang sulit didefinisikan dengan kata-kata yang jelas dan pasti dalam kerangka logika ba-hasa dan bahasa yang logis” (mengikuti anjuran Wittgenstein dalam bukunya Philosophische Un-tersuchungen, 1953). Apalagi mengingat bahwa tren zaman ini cenderung bergerak dari an expe-riential to an informational culture.31 Yang tampak lebih jelas disepakati, baik oleh para ahli maupun orang awam adalah pengalaman estetis itu ber-harga dan bernilai bagi manusia dan karenanya layak untuk dinikmati dan diapresiasi.

Pandangan Tomlin di atas memang sekilas menyiratkan adanya kebingungan konseptual untuk mendefinisikan atau menarik garis de-markasi yang jelas tegas untuk membedakan pengalaman estetis dengan jenis pengalaman

lainnya (seperti pengalaman religius, pengalam-an sensual, pengalaman seksual). Akan tetapi, Tomlin (2008: 6) tidak berhenti di situ. Agar dis-kursus tentang humor menjadi lebih produktif dan bermanfaat, ia menyarankan agar titik berat kajian dan diskusi digeser ke ‘berbagai dampak yang dimunculkan oleh pengalaman tersebut’, atau ikhtiar untuk mengeksplorasi dimensi transformatif dan evaluatif dari pengalaman es-tetis. Sebuah saran yang menarik untuk diikuti, tentu saja. Karena itu, alih-alih membahas “kod-rat dari pengalaman estetis” secara berkepan-jangan dan teoretis, serta cenderung “kering” dan “tidak produktif,” pada bagian berikut akan (lebih) dibahas salah satu perwujudan dari pe-ngalaman estetis yang sifatnya universal32, yaitu humor.

Menurut ahli psikologi positif yang terke-nal berdedikasi untuk mengeksplorasi soal ke-bahagiaan dan kreativitas, Mihaly Csikszent-mihalyi dalam bukunya Flow: The Psychology of Optimal Experience (1990: 49), “’Fenomenologi kesenangan’ (the phenomenology of enjoyment) memiliki delapan komponen pokok, yaitu per-tama, pengalaman senang biasanya terjadi ke-tika kita menghadapi tugas yang dapat kita selesaikan. Kedua, kita harus dapat berkonsen-trasi pada apa yang sedang kita kerjakan. Keti-ga dan keempat, konsentrasi tersebut biasanya dimungkinkan karena pekerjaan yang sedang digeluti memiliki tujuan-tujuan yang jelas dan memberikan umpan balik yang segera. Kelima, orang menggeluti tugas atau pekerjaan tersebut sedemikian rupa (a deep but effortless involvement) sehingga rasa khawatir dan frustrasi sehari-hari tidak dirasakan. Keenam, pengalaman yang me-nyenangkan membuat orang dapat mengendali-kan tindakan-tindakan mereka. Ketujuh, perha-tian terhadap diri sendiri hilang namun anehnya secara bersamaan rasa kedirian malah menjadi lebih kuat setelah pengalaman flow tersebut be-rakhir. Akhirnya, kedelapan, rasa dan perhatian akan durasi waktu juga mengalami perubahan; jam terasa seperti menit dan menit bisa sede-mikian teregang hingga terasa seperti sudah berjam-jam. Kombinasi dari seluruh komponen

Page 29: Ultimart Vol v No1

26 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

pokok berikut menyebabkan ’rasa senang yang mendalam’ (a sense of deep enjoyment) yang begi-tu berharga sehingga orang rela menghabiskan energi nya sekadar agar dapat merasakannya kembali.”

Berdasarkan analisis Erin Guter di bagian sebelumnya, kita menangkap adanya kedekat-an konseptual atau family resemblance dalam hal konsep antara yang disebut flow experience oleh Csikszentmihalyi dengan pengalaman estetis versi pemahaman fenomenologis. Keduanya memberikan tekanan pada munculnya rasa keterlibatan dan kesenangan yang mendalam, terfokus atau terkonsentrasi, sekaligus refleksif dalam arti rasa kedirian yang semakin menguat. Jika ”fenomenologis” di sini dipahami pertama-tama sebagai studi tentang struktur kesadaran yang dilihat dari sudut pandang orang pertama (“aku”) yang bercirikan intensionalitas dalam arti pengalaman tentang atau tertuju pada objek yang berada di luar kesadaran yang dianggap bernilai atau bermakna33 maka bukanlah sebuah kekeliruan untuk mengatakan bahwa aktivitas humor dan humor (sebagai objek atau fenome-na) itu sendiri adalah sebuah bentuk pengalam-an estetis yang dapat dianalisis secara fenome-nologis.

Tema “humor sebagai pengalaman estetis” sudah pernah ditelaah secara mendalam dan konsisten oleh beberapa pemikir dan pendidik di bidang Estetika. Menurut Prof. John Morreall34 (dalam Gordon, 2012: 62), humor paling baik di-pahami sebagai sebuah jenis pengalaman estetis, paling tidak ‘sederajat dalam nilai’ dengan jenis pengalaman estetis lainnya. Baik humor mau-pun pengalaman estetis, demikian Morreall, me-libatkan penggunaan imajinasi, rasa kebebasan, dan acapkali berujung pada kejutan-kejutan yang tidak diantisipasi. Selain tiga faktor ini, pe-ngalaman estetis juga sedikit banyak melibatkan ‘penjarakan emosi’ (emotional detachment), yaitu sebuah jenis penjarakan yang biasanya orang ra-sakan di dalam atau pada saat pengalaman este-tis dialami. Penjarakan dari hal apa? Penjarakan dari tugas dan tanggung jawab sehari-hari demi

‘terhanyut atau terlibat penuh’ (being engrossed in) dalam pengalaman itu sendiri.

Mengapa humor sebagai pengalaman estetis penting untuk hidup kita? Seorang guru, pemikir di bidang pendidikan dan aktivis sosial, Maxine Greene (dalam Gordon, 2012: 64) mengatakan bahwa pengalaman estetis membantu orang un-tuk menjadi sadar akan adanya macam-macam kekurangan (defisiensi) dalam hidupnya sekali-gus membuka imajinasi kita terhadap peluang-peluang baru untuk mengubah hidup menjadi lebih baik lagi. Di samping itu, Gordon menam-bahkan, humor amatlah bermanfaat untuk men-jadi alat kritik sosial dan sekaligus penyingkap lapisan kebenaran yang tidak nyaman dan tidak mudah diterima (inconvenient truths) namun per-lu untuk perkembangan pemahaman diri kita. Secara paralel, baik seni maupun humor adalah cara yang efektif untuk menarik perhatian kita terhadap ambiguitas, ketidakcocokan, dan ab-surditas yang mewarnai eksistensi manusia.

Pertanyaan berikutnya, apakah semua jenis humor dapat dikategorikan sebagai pengalaman estetis? Sebagai peringatan dini, Gordon meng-ingatkan kita bahwa sebagaimana penilaian es-tetis dapat diterapkan untuk mengevaluasi dan mengkritik karya seni sehingga ada karya seni yang secara umum dan disepakati bernilai ba-gus, medioker, atau bahkan buruk, begitu juga dengan humor. Ada humor yang estetis, ada juga yang non-estetis. Morreall mencatat bahwa lelu-con khas laki-laki (male joking), yang melibatkan unsur-unsur seperti kompetisi, merendahkan (humiliation), dan menikmati penderitaan orang lain, juga dagelan seks (sexual joking) yang disam-paikan untuk membuat shock atau mempermalu-kan penonton, sulit untuk dikategorikan sebagai humor yang estetis (Morreall, 2009: 71; Gordon, 2012: 65). Dengan demikian, yang membedakan humor estetik dan non-estetik adalah motivasi orang tersebut.35

Mengutip pendapat Morreall (Morreall, 2009: 72), “Humor cenderung estetis sampai pada batas bahwa pergeseran kognitif dinikmati pada dirinya sendiri, secara bermain-main, dan bukan untuk keuntungan (boon) apa pun. Humor

Page 30: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 27

bersifat estetis sejauh ia tidak dicampuradukkan dengan self-interested pleasures.”

Tampaknya poin distingsi humor yang este-tis dan non-estetis versi Morreall ini cukup dekat dengan pengertian istilah l’art pour l’art yang kurang lebih berarti “seni itu bernilai dan pantas dikejar demi seni itu sendiri dan tidak harus di-justifikasi secara moral”36.

Akan tetapi, dihadapkan pada konsep hu-mor sebagai pengalaman estetis seperti sudah dijelaskan di atas, kita bisa dengan kritis ber-tanya dua hal berikut ini. Pertama, benarkah humor, sebagai bagian dari pengalaman estetis, dilakukan atau dialami demi kepuasan pengala-man itu sendiri dan bukan untuk meraih sesuatu yang lain, misalnya ketenaran, pengakuan, juga imbalan materiil? Kedua, bisakah kita membe-dakan secara tegas antara self-interested pleasures si pencipta atau penyampai humor dengan au-diens penikmat humor tersebut? Bagaimana jika self-interested pleasures si penyampai humor ”kebetulan” sama dengan self-interested pleasures sebagian penonton atau penikmat humor terse-but (misalnya: dalam contoh dagelan seks atau sexual jokes)? Sekurang-kurangnya dua pertan-yaan kritis ini menjadi pengantar bagi kita untuk memasuki bagian aplikasi teori humor ke dalam analisis studi kasus stand-up comedy di Indonesia berikut ini.

Humor sebagai Pengalaman Estetis: Studi Kasus Stand-Up Comedy di Indo-nesiaMenurut laman Wikipedia tentang stand-up com-edy37, yang dimaksud dengan stand-up comedy adalah sebuah jenis atau gaya menyampaikan humor (komedi) yang dilakukan secara peroran-gan, di depan audiens, secara langsung (live). Si penampil biasanya disebut sebagai komik (com-ic), stand-up comic, stand-up comedian atau cukup disebut stand-up. Tidak jarang penampilan mer-eka direkam (dalam format film) dan kemudian dirilis lewat DVD, internet (misalnya diunggah lewat situs berbagi video, www.youtube.com) dan televisi. Masih dari laman yang sama, dikatakan

bahwa stand-up comedy di Indonesia masih dili-hat sebagai sebuah jenis seni yang sedang naik daun (an emerging art form).

Berbicara dalam kerangka bentuk seni (art form), stand-up comedy adalah sebuah bentuk seni yang terbuka dalam arti berorientasi pada penonton dan rohnya didapatkan dari tawa segera penonton (immediate laughs from an audi-ence). Berbeda dengan komedi teatrikal yang menciptakan tawa dalam kerangka struktur sebuah skenario drama yang di dalamnya terda-pat karakter dan situasi yang lucu, dalam model penyampaian humor stand-up comedy, si kome-dian biasanya menuturkan serentetan cerita hu-mor secara cepat dan silih berganti, atau lelucon pendek yang disebut “bits”, dan humor satu baris (one-liners). Cerita humor yang disampaikan ko-median tersebut bisa dipandu oleh suatu tema yang sudah ditentukan sebelumnya, namun bisa juga secara spontan tergantung dari permint-aan, respons atau feed-back penonton. Sejumlah komedian menggunakan alat-alat bantu, musik atau trick sulap untuk menguatkan humor yang mereka sampaikan. Biasanya stand-up comedy dipentaskan di klub-klub komedi, café, bar dan lounge, mall, restoran, kampus dan gedung teat-er.38 Tidak jarang, untuk keperluan menghibur, stand-up comedy juga dipentaskan di luar tempat-tempat hiburan yang lazim, misalnya di country clubs, konferensi dan rapat (events) perusahaan, dan acara penggalangan dana.

Sampai tulisan ini diselesaikan, belum ditemukan kajian ilmiah dan komprehensif da-lam bahasa Indonesia tentang fenomena stand-up comedy. Dalam bahasa Inggris juga belum terlalu banyak ditemukan dokumentasi aka-demis dalam bentuk artikel ilmiah atau buku yang khusus membahas soal stand-up comedy. Meskipun demikian, ketika menelusuri dunia maya, penulis menemukan sebuah situs yang mendedikasikan dirinya untuk berbagi macam-macam tips, berita, acara, dan foto serta video tentang stand-up comedy di Indonesia, yaitu http://standupindo.com/. Meskipun kontennya tidak bisa dikatakan ”memadai secara akademis”, situs ini menampilkan, di antaranya panduan praktis

Page 31: Ultimart Vol v No1

28 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

yang didasarkan pada pengalaman sejumlah comic, tentang bagaimana caranya menjadi se-orang comic yang sukses. Beberapa di antaranya, misalnya, tips soal riffing [rehearsed spontanity] dari Pandji Pragiwaksono. ”Riffing adalah ketika seorang comic ‘ngobrol’ dengan penonton den-gan tujuan menggali tawa dari penonton terse-but. Contoh sederhana, misalnya ‘gue’ nanya: ”Tinggal di mana?”; Penonton: ”Bintaro”; Gue: “Pantesan muka lo jauh kayak rumah lo.” Atau tips soal persona dari Raditya Dika. ”Persona, dalam konteks stand-up comedy mengacu pada aura, karakter panggung seorang comic, topeng yang dia pakai di atas panggung. Persona is what makes you unique as a comic. Remember, you don’t need to be better, you just need to be different. Perso-na berkaitan erat dengan delivery materi seorang comic, tapi sebenarnya tidak terbatas pada itu saja. Persona didapatkan dari gesture, ekspresi muka, gaya berpakaian, sampai emosi yang dib-awakan di atas panggung. Berikut contoh-con-toh comic keren dengan persona keren. Persona oracle (pemberi pencerahan) pada George Carlin. Dia seperti berceramah di panggung.”

Mengapa penulis memilih studi kasus stand-up comedy? Ada beberapa alasan. Pertama, di Indonesia, jenis penyampaian humor lewat stand-up comedy masih relatif baru ”bangun dari tidur panjangnya” setelah sempat mengalami hibernasi selama beberapa tahun. Generasi per-tama stand-up comedy di Indonesia [era 1980-an] belum seindividual dan sekompetitif sekarang, masih cenderung stage comedian dan radio come-dian [Radio Prambors 102.3 FM], baru belakan-gan merambah layar kaca. Representasi generasi pertama yang paling dikenal masyarakat ada-lah kelompok lawak Warkop DKI, yang terdiri dari Dono (Wahjoe Sardono, 1951–2001), Kasino (Kasino Hadiwibowo, 1950-1997), dan Indro (Indrodjojo Kusumonegoro). Generasi kedua [1995–2006] dipelopori oleh (alm.) Taufik Savalas (1966–2007), yang terkenal fasih menyampaikan joke telling dan tebak-tebakan lucu di atas pang-gung. Generasi pertama dan kedua ini, meskipun belum bisa dikatakan memenuhi syarat-syarat stand-up comedy kontemporer secara penuh, su-

dah bisa dianggap sebagai perintis stand-up com-edy di Indonesia. 39

Kedua, program Stand-up Comedy di Indo-nesia mengikuti tren ”ajang pencarian bakat dengan melewati tahap audisi, kompetisi/battle, workshop dan eliminasi untuk meraih gelar juara” (ajang pencarian bakat lainnya yang pop-uler di Indonesia adalah Indonesian Idol RCTI, Idola Cilik RCTI, Akademi Fantasi Indosiar, Kontes Dangdut TPI atau KDI) sehingga relatif lebih bergengsi dan merakyat (populer).

Sumber gambar: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2011/12/1323428608315132032.jpg

Ketiga, jika dilihat dari latar belakang pe-sertanya, baik ajang Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) yang disiarkan di KompasTV maupun Stand-Up Comedy: Battle of Comics yang disiarkan MetroTV, terbuka untuk diikuti berbagai orang dan kelompok. Dengan demikian, tidak hanya pelawak profesional yang dapat mengikuti dan berkompetisi di acara ini, tetapi juga siapa pun yang memiliki bakat humor dan keberanian un-tuk tampil di depan audiens (dan juga dewan juri, pada babak audisi).

Demi fokusnya artikel ini, unit analisis yang akan dibahas adalah babak grand final SUCI, di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia In-dah, Jakarta, pada Rabu malam (14/12/2011), dan ditayangkan oleh Kompas TV pada Sabtu (17/12/2011). Babak final mempertemukan Ryan Adriandhy (Jakarta) dengan Insan Nur Akbar (Surabaya). Babak final berlangsung selama 3 putaran (bergantian) dan pada setiap putaran, si comic harus perform selama kurang lebih 3 sam-

Page 32: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 29

pai 4 menit. Setiap selesai 1 putaran, si comic akan dikomentari atau dikritik oleh dewan juri (Butet Kertaradjasa, Indro Warkop, dan Astrid Tiar).

lewat pengamatan atas video 2 putaran Ryan vs. Akbar pada babak final SUCI, yang menjadi kekhasan humor Ryan adalah melucu dengan tempo cepat dan artikulasi yang cukup jelas, getol mengeksplorasi budaya pop orang muda (alay, facebookers, anak gaul) dan impostor (meniru gaya dan aksen orang lain, termasuk kompetitornya, Akbar). Sementara, yang men-jadi kekhasan humor Akbar adalah budaya ple-setan (oleh Butet disebut sebagai local genius, yang bukan hanya memplesetkan kata-kata, melainkan juga logika dan stereotip-stereotip kemapanan), kritik sosial [pemberian nasi ko-tak sebagai bentuk pengalihan isu pesawat yang mengalami delay] dan menyergah tawa audiens dengan seruan “hey hey hey hey”.

Jika dilihat dengan menggunakan kerangka teoretis yang sudah diuraikan di bagian awal ar-tikel ini, babak final SUCI kental diwarnai jenis humor yang didasarkan terutama pada para-digma incongruity theory dan superiority theory. Meskipun kedua comic sama-sama mengguna-kan (mencampur) kedua teori ini sebagai latar belakang pengemasan lelucon dan bits-nya, Ryan cenderung lebih agresif “menyerang” Akbar dan meninggikan dirinya sendiri (superiority theory), misalnya dengan mengatakan (1) “Akbar tadi bilang juara itu ditentukan dari tinggi podium, ye, padahal dia lupa kalo menang, nanti di po-dium itu dilihat, yang dikasih hadiah itu yang kelihatan, terang, putih, kalo item kayak dia juga panitia gak bakal bisa ng’lihat,” (2) “Terus tadi, tadi, Akbar bilang katanya juara itu jangan dielu-elukan, harus di-gue guekan. Itu artinya apa? maksudnya, juara itu harus di-akbar akbar-kan. Gue pikir, oke, dia pikir hanya dia yang bisa jadi Akbar.” [Ryan lalu menambah kostumnya berupa topi, yang biasa digunakan Akbar waktu perform, dan juga mengubah aksen dan gayan-ya menjadi seperti Akbar] (3) “Gak lucu ya? Ya mohon maaf, Akbar memang begitu,” dan (4) “Heh heh heh heh [menyergah tawa audiens, persis seperti yang biasa dilakukan Akbar dalam

gaya comic-nya], kalo ketawa jangan keras-keras. Semakin keras Anda tertawa, semakin Akbar merasa lucu.”

Sementara itu, Akbar, dalam setting ”sedang menunggu boarding masuk pesawat”, dagelan-dagelannya lebih kental diwarnai incongruity the-ory. Contohnya: (1) saat bertanya ke audiens dan juri, ”Ini tasnya siapa? Kasihan tertukar dengan saya.” [audiens, termasuk peneliti, cenderung akan tergiring untuk berpikir bahwa Akbar akan memulai dagelannya dengan mengeluarkan se-suatu dari dalam tas tersebut, ternyata tidak] Dilanjutkan olehnya, “Karena tadi saya nggak bawa tas. [ketawa] saya tapi bawa istri!” (2) ”Pe-sawat itu ya kalo kita tepat, pesawatnya yang telat. Kalo kita yang telat, pesawatnya minggat. Tapi kalo kita tepat, pesawatnya tepat, kita belum tentu berangkat, kalo ada pejabat mau lewat!” (3) ”Pesawat itu kalo kita delay, itu mesti dikasih nasi kotak. Itu tahu apa artinya? Itu pengalihan isu: pertama kita ngomel sama pesawat, begitu kita dikasih nasi kotak, kita ngomel sama kate-ring, makanan apa ini?” (4) ”Memasuki pesawat, kita selalu diingatkan, melipat meja, kencang-kan sabuk pengaman, tegakkan sandaran kursi. Tahu artinya? Itu artinya gini. Melipat meja, su-dah ndak ada lagi makanan yang disajikan. Ka-lau Anda lapar? Kencangkan saja ikat pinggang. Tegakkan sandaran kursi? Anda kan lemes, biar terlihat kuat, tegakkan sandaran kursi!”

Pola “ketidakcocokan” yang sering diguna-kan Akbar dalam humornya ternyata cocok de-ngan pengertian incongruity versi Scopenhauer, yaitu “adanya diskrepansi antara konsep ab-strak kita dan persepsi kita tentang benda atau hal yang menjadi contoh dari konsep tersebut” dan juga incongruity versi Immanuel Kant, yaitu the violations of our expectations. (Morreall, 2009: 11–12)

Setelah menganalisis dua putaran babak fi-nal SUCI antara Ryan vs. Akbar, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa humor dalam acara dan peristiwa stand-up comedy bukanlah melulu terkait dengan “pengalaman estetis”, melainkan juga mengandung motif-motif lain. Dengan ditayangkan sebagai sebuah program

Page 33: Ultimart Vol v No1

30 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

Kompas TV, mau tidak mau SUCI telah menjadi bagian dari proses komodifikasi budaya massa yang digerakkan oleh dorongan untuk mencari keuntungan, khususnya keuntungan materi-il. SUCI tidak lagi “suci” dalam arti “l’art pour l’art”, tetapi SUCI telah bertransformasi menjadi sebuah wadah perjumpaan, pergumulan, dan tarik-menarik antara yang estetis dan yang non-estetis, antara seni dan ekonomi, antara kreativi-tas dan kebebasan individu dengan konformitas terhadap “selera pasar” dan represi kebebasan individu. Meskipun demikian, komodifikasi hu-mor oleh selera dan gaya pasar bukanlah peristi-wa yang seyogianya diratapi [tidak seperti para pemikir dari Frankfurter Schule, seperti Adorno dan Horkheimer dalam The Culture Industry40, 1944] karena pada akhirnya, kita sebagai pemir-sa, penonton, penikmat, toh merasa terhibur dan mengalami catharsis.

KesimpulanApa yang khas dan kontributif dari penelitian pustaka tentang humor dan aplikasinya dalam studi kasus stand-up comedy di Indonesia ini? Ada tiga hal, yaitu pertama, pemetaan dan pe-nautan antara kajian akademis tentang humor di dunia Barat dengan di Indonesia. Kedua, pen-jelasan tentang tiga teori humor yang dominan dipakai dalam wacana akademis sampai seka-rang sembari dikaitkan dengan ide humor seba-gai pengalaman estetis. Ketiga, penerapan teori tentang humor dan pengalaman estetis dalam an emerging art form di Indonesia, yaitu stand-up comedy, khususnya babak final SUCI yang belum lama ini berlangsung. Setelah dianalisis, ditemukan bahwa konten humor yang dominan ditampilkan para comic dalam babak final SUCI cenderung pro teori superioritas (Ryan) dan pro teori ketidakcocokan (Akbar). Selain itu, terdap-at indikasi bahwa humor (dalam arti penciptaan, penyampaian, dan penikmatan) bukanlah me-lulu bagian dari pengalaman estetis belaka, me-lainkan juga (sudah menjadi) bagian dari proses komodifikasi budaya massa yang digerakkan oleh hasrat serta kepentingan non-estetis.

Tawa dan humor tidak bisa dipisahkan dari human condition dan human life. Seperti dikatakan Kathleen Madigan, seorang perempuan kome-dian ternama dari Amerika yang memenangkan penghargaan “Funniest Female Stand-Up Com-ic” di ajang the American Comedy Awards tahun 1996, “Juga meskipun saya tidak merasa me-nyukainya, bagaimanapun juga komedi (baca: humor) membuat hidup ini jadi sedikit lebih baik.”41 Bukankah ini [humor dan komedi] yang kita inginkan dalam hidup?

Daftar PustakaClark, Michael. 1970. “Humour and Incongrui-

ty” dalam jurnal Philosophy Vol. 45, No. 171 (Jan., 1970), hlm. 20-32.

Csikszentmihalyi, Mihaly. 1990. Flow: The Psy-chology of Optimal Experience. New York: Harper & Row Publishers, Inc.

Cohen, Ted. 2001. “Humor” dalam Gaut, Berys dan lopes, Dominic McIver. tim editor. The Routledge Companion to Aesthetics. london dan New York: Routledge. hlm. 375–380.

Gordon, Mordechai. 2012. “What makes humor aesthetic?” dalam jurnal International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 2 No. 1; Januari 2012, hlm. 62–70.

Guter, Eran. 2010. Aesthetics A–Z. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Jones, Jonathon D. 2005. A Complete Analysis of Plato’s Philosophy of Humor yang bisa diakses di http://www.jonathonjones.com/papers/plato.pdf

Morreall, John. 2009. Comic Relief: A Comprehen-sive Philosophy of Humor. West Sussex (UK), oxford (UK) dan Malden, MA (USA): Wiley-Blackwell.

Shusterman, Richard dan Tomlin, Adele. tim ed-itor. 2008. Aesthetic Experience. london dan New York: Routledge.

Smuts, Aaron. [2009] 2006. Humor. Sebuah en-tri dalam Internet Encyclopedia of Philosophy yang bisa diakses di http://www.iep.utm.edu/humor/

Page 34: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 31

Catatan Akhir(Endnotes) 1 Pengampu Mata Kuliah Estetika di Fakul-

tas Desain Komunikasi Visual, Universitas Multimedia Nusantara. Alumnus program Magister STF Driyarkara, 2008. Penulis da-pat dihubungi di [email protected]

2 Praxis adalah sebuah proses perwuju-dan teori, pelajaran atau suatu kecakapan tertentu; praxis juga bisa dipahami seba-gai suatu tindakan untuk terlibat dengan, mewujudkan, menindaklanjuti ide [the pro-cess by which a theory, lesson, or skill is enacted, practised, embodied, or realised. “Praxis” may also refer to the act of engaging, applying, ex-ercising, realising, or practising ideas.” lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Praxis_(process), diakses oleh Hendar Putranto pada Kamis, 1 Maret 2012 pukul 9:47 WIB. lihat juga Bauman, Zygmunt. 1999. Culture as Praxis. london, Thousand oaks, New Delhi: Rout-ledge, hlm. 96. Bauman percaya bahwa jika dilihat dalam keseluruhan ciri umumnya, “Human praxis” terdiri dari upaya untuk mengubah kekacauan menjadi keteraturan (chaos into order), atau menggantikan sebuah keteraturan dengan keteraturan lainnya–keteraturan di sini dipahami sebagai se-suatu yang masuk akal dan bermakna.

3 lihat Cohen, 2001, hlm. 375. Dikatakan olehnya bahwa “Humor is a marvelous subject for philosophers of art. Humor is to be found in canonical works of art: plays, movies, stories, novels, paintings, operas and so forth. And it is found in contexts not typically associated with art: jokes, wit in ordinary conversation and even in events to be witnessed in the world, like um-brella blowing inside-out, dogs chasing their tails or a baby grabbing the nose of an intrusive adult. Thus humor is found both in and outside art, in both fictional and real contexts.”

4 “Memadai” di sini berarti disertai argumen yang lengkap dan valid, disertai analisis yang mendalam.

5 lihat di bagian “Kontekstualisasi Peneli-tian”

6 Beberapa buku teks pengantar Estetika/Filsafat Keindahan berbahasa Indonesia yang tidak menyinggung tema “humor,” di antaranya adalah Kartika, Dharsono Sony & Nanang Ganda Prawira. 2000. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains; Sutrisno, Mudji & Christ Verhaak. 1994. Estetika Fil-safat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius; Su-mardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB; Ali, Matius. 2011. Estetika: Pengantar Fil-safat Seni. Tangerang: Sanggar luxor.

7 Untuk daftar pembanding, bisa dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_humor_re-search_publications [diakses Hendar Putran-to pada 9 Maret 2012 pukul 15:31 WIB]

8 lih. tulisan Smuts, Aaron. [2009] 2006. Hu-mor. Sebuah entri dalam Internet Encyclope-dia of Philosophy yang bisa diakses di http://www.iep.utm.edu/humor/ [diakses oleh Hendar Putranto pada Kamis, 1 Maret 2012 pukul 10.30 WIB].

9 Artikel yang berjudul “Humour and Superi-ority” bisa diakses di https://uhra.herts.ac.uk/dspace/bitstream/2299/3991/1/900210.pdf

10 lihat versi elektroniknya di http://fds.oup.com/www.oup.co.uk/pdf/0-19-926461-9.pdf

11 Tulisan yang dimuat di jurnal Folklore vol. 33, edisi elektronik, bisa diakses di http://www.folklore.ee/folklore/vol33/kriku.pdf

12 Tulisan yang dimuat di International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 1, Januari 2012, versi elektroniknya bisa diakses di http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_1_January_2012/6.pdf

13 lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Walter_de_Gruyter (diakses Hendar Putranto pada Ju-mat, 2 Maret 2012 pukul 15:36 WIB)

14 website resmi bisa diakses di http://www.hnu.edu/ishs/

15 Untuk melihat daftar lengkap artikel-ar-tikel yang pernah dipublikasikan dalam jurnal Humor sejak 1988-2010, lihat http://www.hnu.edu/ishs/ISHS%20Documents/Humor1988_2010.pdf

16 Dilakukan pada hari Kamis, 1 Maret 2012 (sejak pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB) oleh Hendar Putranto.

Page 35: Ultimart Vol v No1

32 Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus Vol V, 2012

17 Data menggunakan rujukan dua laman per-tama yang dibuka pada hari dan jam terse-but. Penelusuran lebih jauh menghasilkan campuran antara laman yang “akademis dan serius” (seperti tulisan untuk skripsi, tesis, dan penelitian) dan laman yang tidak relevan dengan tema humor, atau laman yang berisi humor dalam arti lelucon atau dagelan (jokes).

18 Abstrak dapat dilihat di http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/2805828839_abs.pdf

19 Versi elektronik tulisan ini bisa dilihat dan diunduh di http://eprints.undip.ac.id/5700/

20 Tulisan dapat diakses di http://esti2009-indonesia.blogspot.com/2010/01/analisis-tindak-tutur-dalam-humor.html atau versi lainnya di http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/1982190-analisis-tindak-tutur-da-lam-humor/

21 Abstrak bisa diakses di http://www.uns.ac.id/penelitian.php?act=det&idA=285

22 Artikel bisa diakses di http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/241083855.pdf

23 Tulisan bisa diakses di https://muntijo.word-press.com/2012/01/10/465/#respond

24 Satu pengecualian adalah tulisan Kresna, Aryaning Arya. 2011. “Menatap Kelucuan: Menelaah opera Van Java” dalam UltimArt Jurnal Ilmu Seni dan Desain Universitas Mul-timedia Nusantara, Vol. 3, No. 1, Maret 2011, hlm. 34 – 41 Jurnal UltimArt produksi Fakul-tas Seni dan Desain, Universitas Multime-dia Nusantara Serpong–Tangerang ini bisa diunduh secara gratis dengan mengakses alamat ini http://www.lulu.com/product/ebook/ultimart-voliii-no1/17799935]. Dalam tulisan ini, Aryaning Arya Kresna menyoroti prob-lem etis yang muncul dari kelucuan dalam tayangan opera Van Java yang disiarkan stasiun televisi swasta, Trans7, dengan menggunakan, di antaranya, kerangka teori catharsis Aristoteles.

25 Anggapan umum seperti ini pernah di-afirmasi oleh Krichtafovitch, Igor. 2006. Hu-mor Theory: Formula of Laughter. outskirts Press. versi online dari buku ini bisa diakses

di http://www.humortheory.com/index.php/hu mor-theory/30. Menurut Krichtafovitch, “Jokes, anecdotes, farces, and caricatures are treated as things of a secondary impor-tance in our society; as things not particularly significant to our daily lives or to the path of the development of history. But if the non-biased reader takes this issue under critical observation, he will undoubtedly see the er-rors in this curbed position.” (hlm. 1. Italic ditambahkan oleh Hendar Putranto)

26 Smuts, 2009. Bdk. Morreall, 2009; Krikmann, 2007.

27 Pada paragraf ini, penulis mengikuti alur berpikir dan membahasakan kembali pen-jelasan Smuts (2009) pada bagian 2. c. Theo-ries of Humor [Incongruity Theory]

28 lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Catharsis [di-akses Hendar Putranto pada 7 Maret 2012 pukul 09.05 WIB]. Bdk. Morreall, 2009: 19. “People often describe a bout of heavy laughter as having a cathartic effect, much as exercise does.” (italic ditambahkan oleh Hendar Putranto).

29 lih. Guter, Eran. 2010. Aesthetics A – Z. Ed-inburgh: Edinburgh University Press, hlm. 71.

30 Meskipun empat cara memahami pengala-man estetis secara teoretis ini sudah dikritik oleh sejumlah pakar (seperti George Dickie, Hans-Georg Gadamer, John Dewey, dan Walter Benjamin), penulis menilai bahwa empat cara ini masih cukup berguna sebagai parameter untuk memahami secara historis dan komprehensif keluasan ranah penger-tian “pengalaman estetis”.

31 lih. Shusterman, Richard. 1997. “The End of Aesthetic Experience”, yang dimuat di Jour-nal of Aesthetics and Art Criticism, 55 (1997), 29–41; sebagaimana dirujuk oleh Tomlin, Adele. 2008. “Introduction: Contemplating the undefinable” dalam Shusterman, Rich-ard dan Tomlin, Adele. tim editor. 2008. Aesthetic Experience. london dan New York: Routledge, hlm. 2.

32 Yang dimaksud dengan “universal” di sini adalah “fenomena dan tindakan yang

Page 36: Ultimart Vol v No1

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus HENDAR PUTRANTo 33

ditemukan di berbagai tempat, di sepanjang waktu sejarah/peradaban manusia, dan di-lakukan oleh berbagai macam orang dari berbagai latar belakang.”

33 Lih. Smith, David Woodruff, “Phenom-enology”, The Stanford Encyclopedia of Phi-losophy (Fall 2011 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URl = http://plato.stanford.edu/archives/fall2011/entries/phenomenology/. lengkapnya berbunyi sebagai berikut: Phenomenology is the study of structures of consciousness as expe-rienced from the first-person point of view. The central structure of an experience is its inten-tionality, its being directed toward something, as it is an experience of or about some object. An experience is directed toward an object by virtue of its content or meaning (which represents the object) together with appropriate enabling condi-tions.

34 Profesor di bidang kajian religius dari the College of William and Mary di Williamsburg, Virginia (USA), ahli dan otoritas di bidang analisis humor sekaligus pendiri Interna-tional Society for Humor Studies (ISHS).

35 Pandangan Morreall tentang humor estetis dan non-estetis ini sudah dikritik oleh Mor-dechai Gordon dalam esainya “What makes humor aesthetics?” (2012). Gordon melihat bahwa analisis Morreall gagal membeda-kan antara motivasi si pencipta humor non-estetis (katakanlah ‘dagelan seks’) maupun orang (audiens) yang hanya mengalaminya (penikmat).

36 lih. Art for art’s sake. (2008, April 2). New World Encyclopedia. Diakses kembali pada 16:38, 5 Maret, 2012 dari http://www.new-worldencyclopedia.org/entry/Art_for_art%27s_sake?oldid=678009. lengkapnya berbunyi sebagai berikut, art was valuable as art, that artistic pursuits were their own justification, and that art did not need moral justification and was even allowed to be morally subversive.

37 lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Stand-up_comedy [diakses oleh Hendar Putranto pada Senin, 5 Maret 2012 pukul 12.00 - 12.30 WIB]

38 lih. http://www.teguhsantoso.com/2011/11/stand-up-comedy-alternatif-hiburan-baru-yang-kritis-dan-kontruktif.html [diakses Hen-dar Putranto pada Rabu, 7 Maret 2012 pu-kul 00:07 WIB]

39 lih. http://www.pandji.com/susah-tapi-pasti-bi-sa-part-7-2/ [diakses Hendar Putranto pada 7 Maret 2012 pukul 9:55 WIB]

40 Yang mengatakan bahwa budaya pop itu mirip dengan pabrik yang memproduksi barang-barang budaya yang terstandarisa-si, misalnya lewat film, radio dan majalah, yang bertujuan untuk memanipulasi massa menjadi pasif dan konsumtif, dan yang pada gilirannya akan membuat massa menjadi orang-orang yang patuh serta senang (da-lam arti tidak kritis), tidak peduli meskipun sedang mengalami kesulitan ekonomi.

41 lih. http://www.laughspin.com/2012/02/14/laughfest-comedians-speak-out-about-healing-through-comedy/

Page 37: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 34-39ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak

R. MASRI SAREB PUTRA Universitas Multimedia Nusantara

Jln. Boulevard, Gading SerpongTelp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

Diterima: 20 Februari 2012Disetujui: 17 Maret 2012

Abstract:

Media-literate society, especially the younger generation, tends to leave the print-book and switch to e-book. This tendency was not solely due to the problems of design and layout of the book, but most significant is that because media coexist and coevolve with community.

Are conventional media and digital media killing each other or are complementing one another? This ar-ticle attempts to answer that question by describing the advantages and limitations of each.

Keywords: buku, media, analog, digital, koeksistensi, koevolusi.

PendahuluanTidak ada yang memungkiri kebenaran kata-ka-ta McLuhan (1964) bahwa media adalah kepan-jangan manusia (media is extension of man). Mela-lui media, manusia memperpanjang indera nya sehingga komunikasi antarmanusia tidak lagi dibatasi oleh waktu dan ruang. Media memung-kinkan orang berkomunikasi kapan saja dan di mana saja. Dalam konteks inilah, media komu-nikasi–terutama media digital–disebut sebagai omnipresent communication (Cavallini, 2009; Ja-cobson, 2009).

Apabila dicermati dengan saksama, tampak media yang digunakan manusia untuk berkomu-nikasi satu sama lain koesistensi dan koevolusi

dengan manusia itu sendiri (Fidler, 1997). Seba-gai contoh, pada saat mesin cetak yang mem-produksi koran, majalah, dan buku marak sejak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg pada 1445, hingga era 1990-an, industri media berba-sis kertas itu demikian mendominasi kehidupan umat manusia. Kita menyebut era ini sebagai era ”analog”, atau media lama (old media) yang be-lum didigitalisasi (the new media).

Pada masa proses peralihan media konven-sional ke media baru tersebut, seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan teknolo-gi, industri perbukuan yang berbasiskan analog mengalami masa-masa turbulensi. Suka tidak suka, generasi muda kini adalah generasi digi-

Page 38: Ultimart Vol v No1

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak R. MASRI SAReB PUTRA 35

tal. Dengan demikian, by nature, generasi muda perlahan, namun pasti, akan meninggalkan me-dia lama (dalam hal ini print-book) dan beralih ke e-book.

Apakah persaingan antara e-book dan p-book semata-mata persoalan desain (design) dan tata letak (layout) atau masalah visual versus tekstu-al? Ternyata, jawabannya tidak sekadar hitam atau putih.

Artikel ini coba melihat kelebihan dan keter-batasan antara p-book dan e-book. Lebih spesifik, pembahasan difokuskan pada mediamorfosis di mana masyarakat dan media koevolusi dan koeksistensi.

Tinjauan PustakaPada 2008, terbit buku berjudul New Think-ing for 21st-Century Publishers: Emerging Pat-terns and Evolving Stratagems. Buku ini ditu-lis Joost Kist, mantan wakil presiden Wolters Kluwer, kelompok penerbitan internasional terkemuka. Kist mengetuai electronic Pub-lishing Committee of the International Publish-ers Association.

Tema utama buku ini adalah pertanyaan menarik: bagaimana penerbitan buku dapat bertahan dan berkembang pada abad ke-21? Perusahaan penerbitan buku hari ini sedang di-landa kegamangan di tengah-tengah perubahan besar berhadapan dengan media digital dalam menyampaikan suatu pesan (isi), konvergensi isi dan layanan, bahkan dalam struktur industri penerbitan itu sendiri.

Pada awal abad 21, kita menyaksikan pe-rubahan yang semakin cepat dalam transisi dari pencetakan tradisional dan percetakan print-on-demand (POD) atau penerbitan berdasarkan jumlah yang dicetak untuk pengiriman online dan konten nirkabel. Salah satu pertanyaan dalam buku ini adalah: apakah teknologi baru penerbitan elektronika dapat membantu untuk me nyusun dan mengatur industri penerbitan dalam masa transisi dan membantu buku cetak tradi sional untuk menemukan tempat dalam sebuah dinamika masyarakat baru?

Tidak ada jawaban pasti seperti apa masa depan industri buku. Paling-paling berdasarkan teori dapat diramalkan adanya kecenderungan bahwa perlahan-lahan secara evolutif industri buku yang berbasis analog akan semakin ter-gerus oleh industri buku berbasis digital.

Prediksi tersebut berdasarkan teori McLu-han. Dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964) McLuhan menegaskan bahwa me-dia adalah kepanjangan manusia. Meneruskan konsep McLuhan ini dapat dikatakan bahwa baik media tradisional maupun media baru keduanya adalah ”kereta” untuk memuat atau menyampaikan content buku. Sifat dan jenis isi yang disampaikan media tradisional dan media baru dapat saja sama.

Akan tetapi, karena teknologi berkembang dan berevolusi sesuai dengan perkembangan masyarakat maka media pun bermorfosis. Inilah yang oleh Fidler (1997) disebut dengan ”medi-amorfosis”, yaitu perubahan bentuk media ko-evolusi dan koeksistensi dengan masyarakat.

PembahasanBuku sebagai symbolic reality terdiri atas dua komponen, yaitu teks dan gambar atau tekstual dan visual. Secara sederhana, para pakar kerap menyebutkan bahwa buku terdiri atas isi dan ke-masan. Isi adalah teks dan gambar, sedangkan kemasan adalah bungkusan atau bagaimana ide-ide kreatif divisualkan agar orang terkesan memiliki (membeli) sebuah buku.

Buku bukan sekadar kertas yang ditintai, melainkan di dalam buku terdapat pesan yang hendak disampaikan. Akan tetapi, isi buku ha-rus dikemas sedemikian rupa sehingga menarik. Tidak cukup isi, tetapi isi tersebut harus dibuat menarik dengan desain dan penataan yang juga apik. Sedemikian pentingnya desain dan pe-nataan buku sehingga Mark Kremer (1993: 94) menyatakan bahwa orang dapat menjual buku asalkan desain sampulnya menarik ”you can sell a book by it cover”.

Dominasi print media dalam kehidupan umat manusia dapat dikatakan telah berlang-

Page 39: Ultimart Vol v No1

36 Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak VOL V, 2012

sung cukup lama, kurang lebih 5,5 abad, terhi-tung sejak mesin cetak ditemukan pada 1445. Dapat dibayangkan sudah berapa kilogram ker-tas pada rentang waktu 5,5 abad untuk mem-produksi buku. Produksi buku juga tersebar di seluruh dunia. Buku yang berbahan baku kertas ternyata terserak di mana-mana, dan karena si-fatnya yang statis, tidak mobile, tidak dapat di-akses kapan saja dan di mana saja.

Oleh karena itu, muncul pemikiran dan upaya untuk mendigitalisasikan buku-buku berba han baku kertas yang dikenal dengan nama ”Project Gutenberg”. Hingga saat ini, Proyek Gutenberg sudah mendigitalisasikan (e-books) 36.000 untuk Kindle, Android, iPad, dan iPhone. Akan tetapi, proyek ini menghadapi kendala karena terbentur masalah hak cipta dari pemegangnya (http://www.gutenberg.org ).

Seiring dengan perkembangan teknolo-gi, media sebagai alat penyampaian isi buku berkembang dari masa ke masa. Kita kini se-dang berada pada era digital. Oleh karena itu, media penyampaian isi buku kepada khalayak juga yang paling tepat menggunakan media yang berbasiskan digital atau populer disebut “e-book” atau buku elektronika.

Buku elektronik (e-book) menurut Oxford English Dictionary ialah “an electronic adaptation of a published book which can be read on a PC or hand-held device configured specifically for this function”. Lazimnya, e-book dibaca lewat media perangkat keras seperti komputer pribadi (PC), notebook/laptop, dan beberapa telepon seluler (handphone) juga dapat digunakan untuk membaca e-book.

Untuk pertama kali, e-book diperkenalkan oleh Michael S. Hart pada 1971 dari Proyek Gutenberg (http://www.gutenberg.org). Bentuk e-book pada awalnya ialah prototipe desktop komputer notebook sebagaimana diperkenalkan Dynabook pada 1970-an di PARC yang menjadi cikal bakal komputer pribadi sebagaimana yang dikonsepkan oleh Paul Drucker (http://ebook-store-usa.com/).

Pada awalnya, e-book sesungguhnya dimak-sudkan untuk daerah khusus, dengan khalayak yang terbatas dan dibaca hanya oleh kelompok

kecil dan setia. Ruang lingkup e-book termasuk pedoman teknis untuk hardware, teknik manu-faktur, dan mata pelajaran pada umumnya.

Seiring dengan perkembangan teknologi ko-munikasi, pada 1990-an, ketersediaan Internet membuat orang mudah mentransfer file elek-tronik, termasuk e-book menandai datangnya era digital yang oleh Roger Fidler disebut sebagai “age of digital communication” (Fiedler, 1997: 219). Seiring dengan itu, berbagai format e-book mun-cul dan berkembang biak, didukung beberapa perusahaan software besar, seperti Adobe dengan format PDF, selain didukung programmer inde-penden dan open source.

Banyak orang dapat mengikuti perubahan format buku secara adaptif. Namun, tidak sedikit yang mengkhususkan diri pada satu format se-hingga mendorong fragmenting pasar e-book makin meningkat. Karena eksklusif dan terbatas penggunanya maka penulis dan pemasar e-book tidak memiliki konsensus mengenai standar ke-masan, berikut bagaimana harus memasarkan e-book.

Kendati demikian, e-book terus berkem-bang bahkan membentuk pasar di kalangan penggunanya sendiri. Banyak penerbit e-book menerbitkan buku yang semula segmentasinya terbatas, perlahan-lahan masuk ranah publik. Pada saat yang sama, penulis yang naskahnya ditampik penerbit menawarkan karyanya secara online sehingga dapat diketahui oleh orang lain. Secara tidak resmi (dan kadang-kadang tidak disensor) katalog buku disediakan melalui web, dan situs-situs yang ditujukan untuk marketing e-book mulai menyebarkan informasi tentang e-book untuk konsumsi umum.

Pada 2009, model pemasaran baru e-book berbasis hardware mulai dikembangkan. Namun, tetap saja e-book belum mencapai distribusi glo-bal seperti halnya p-book yang merasuk hingga ke desa-desa terpencil sekalipun. Omzet pen-jualannya bisa menembus jutaan eksemplar.

Untuk mendukung promosi dan penjualan e-book, di Amerika Serikat, pada September 2009, Amazon dan Sony PRS-500 mengembangkan perangkat e-reading. Sementara itu, Barnes &

Page 40: Ultimart Vol v No1

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak R. MASRI SAReB PUTRA 37

Noble, Inc., retailer buku terbesar di Amerika Serikat, terus mengembangkan e-book dan coba membangun jaringan pemasaran di dunia maya. Tidak ingin kalah dalam persaingan, Apple Inc. perangkat multifungsi yang disebut iPad dan mengumumkan perjanjian dengan lima dari enam penerbit terbesar yang memungkinkan Apple mendistribusikan e-book. Namun, ban-yak penerbit dan penulis belum sepenuhnya didukung oleh konsep penerbitan elektronik, baik dalam promosi, penjualan, administrasi pe-langgan maupun administrasi keuangan (Viney, 2005).

Pada Juli 2010, Amazon.com melaporkan penjualan e-books untuk perusahaan Kindle un-tuk pertama kalinya pada kuartal kedua 2010 kalah jumlah penjualan buku hardcover. Dilapor-kan bahwa Kindle berhasil menjual 140 e-book untuk setiap 100 buku hardcover, termasuk hard-cover untuk yang tidak ada edisi digitalnya. Pada Juli 2010, jumlah ini meningkat menjadi 180 per 100 e-books.

Sementara itu, data American Association menunjukkan bahwa penerbitan e-book baru sekitar 8,5% dari penjualan buku di Amerika pada pertengahan 2010. Dengan demikian, di Amerika yang nota bene adalah negara maju yang masyarakatnya melek teknologi (media) dan sudah lama berkomunikasi dan bertransak-si secara digital, keberadaan p-book masih cukup dominan untuk saat ini.

Sebagaimana halnya setiap media yang me-ngandung keunggulan dan kekurangan, e-book juga demikian. Keunggulan e-book, antara lain 1) mengklik (membukanya) lebih mudah

dibandingkan p-book, 2) pembaca dapat sesuka hati menyesuaikan

format (memperbesar ukuran font dan style, mengubah orientasi pada perangkat, me-modifikasi kontras layar),

3) apa yang diinginkan dapat dengan mudah dicari (misalnya, istilah khusus, definisi, bab), sering dengan hanya mengklik pada kata kunci dalam teks,

4) potensi untuk menambahkan multimedia (grafis, audio, video) dan hyperlink ke infor-

masi lain, termasuk bahan referensi, 5) pembaca mudah mendapatkan judul ham-

pir seketika melalui Internet, termasuk yang backlisted atau out-of-print, dan ribuan yang berada dalam ranah publik,

6) usai dibaca mudah disimpan, dan 7) dapat dibaca dalam gelap.

Sementara itu, kekurangan e-book, antara lain 1) tergantung pada alat (komputer, laptop, ja-

ringan Internet), 2) cenderung menjadi milik personal, 3) tidak mudah dibawa ke mana-mana, misal-

nya ke pantai dan kolam renang, 4) melelahkan mata, dan 5) kurang prestisius karena tidak dapat dipa-

jang dan dilihat orang.

Kebanyakan orang membaca e-book pada komputer pribadi. Namun, beberapa menggu-nakannya pada ponsel. Hal ini terutama dilaku-kan pembaca yang ingin mendapatkan infor-masi langsung di web. Pembaca ini juga disebut e-reader (pembaca elektronik)..

Sama seperti penerbit buku di dunia nyata, kita sekarang memiliki penerbit e-book di World Wide Web (WWW) di dunia maya. Banyak penu-lis ingin memiliki versi e-book dari buku-buku mereka untuk dipublikasikan. Namun, ada juga penulis yang menentangnya. Salah satunya J.K. Rowling yang tegas menampik menerbitkan versi elektronik seri Harry Potter.

E-book mempunyai pasar yang sangat luas dengan target pengguna yang besar. Inilah se-babnya, mengapa bisnis e-book bergerak pada kecepatan yang sangat luar biasa. Kita dengan mudah menemukan buku-buku elektronik di Internet. Melalui mesin pencari Google, dalam sekejap informasi dan data apa saja dari buku dengan mudah dan cepat kita temukan.

E-book memiliki keuntungan, antara lain penggunanya dapat menghemat waktu. Kita tidak perlu repot pergi ke toko, membeli buku atau membuang waktu menunggu kiriman tiba di rumah. Secara keseluruhan, ini proses yang

Page 41: Ultimart Vol v No1

38 Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak VOL V, 2012

memakan waktu. Karena waktu merupakan fak-tor sangat penting dalam dunia sekarang, e-book memberi solusi instan bagi manusia postmo. Se-lain itu, kita juga dapat menghemat biaya karena tersedia banyak e-book di Internet yang gratis. Hal yang tidak kita jumpai di dunia nyata.

Kita dapat dengan mudah mencari topik yang diinginkan di Internet dan kemudian de-ngan mudah mendapatkan banyak e-book men-genai topik serupa. Buku elektronik juga terse-dia di ponsel karena perangkat tersebut telah menggunakan e-book yang lebih luas. Seorang pengguna bisa mendapatkan informasi melalui e-book dari kantornya langsung di telepon geng-gamnya. Ini membawa revolusi dalam dunia Internet dan komunikasi, sekaligus mengubah perilaku dan pola bisnis, termasuk bisnis buku.

Gejala seperti inilah yang oleh Stewart Clegg (1990) disebut sebagai ciri-ciri organisasi post-modernisme, yaitu struktur fleksibel yang men-syaratkan karyawan dengan multiketerampilan yang cakap dan terus-menerus menjadi manu-sia pembelajar serta datangnya era perusahaan multinasional yang semakin menciutkan peran manusia dan cenderung mereduksi karyawan dengan subtitusi mesin dan alat.

Seperti halnya koin yang memiliki dua sisi, e-book juga memiliki kelemahan. Misalnya, peng-guna membutuhkan komputer pribadi atau ponsel untuk dapat memanfaatkannya. Data tersebut dapat hilang jika format file yang tidak didukung atau diubah dalam komputer peng-guna.

Pembajakan adalah aspek yang harus dipikirkan saat berbicara mengenai e-book. E-book sering mendorong pembajakan yang pada gilirannya mengurangi keuntungan dari pener-bit buku asli.

Selain itu, e-book yang tersedia di Internet pada umumnya masih gratis. Setiap orang yang mengunduh dan menggunakan e-book tidak membayar, berbeda dengan membeli buku ce-takan. Inilah alasan penulis serial Harry Potter tidak mendukung e-book. Oleh karena itu, e-book yang kini tersedia di Internet sering tidak utuh. Jika pun menginginkan e-book yang utuh maka

harus membayar terlebih dahulu. Ditilik dari sisi teknologi, e-book sejalan

dengan perkembangan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, yang memiliki perangkat keras untuk mengaksesnya. Akan tetapi, e-book masih terbentur pada masalah hak cipta atau copy right. Ke depan, apabila masalah hak cipta ini dapat dipecahkan maka e-book akan meng-geser kedudukan buku-buku konvensional yang berbasis analog.

Dengan demikian, sejatinya antara e-book dan p–book bukanlah semata-mata persaingan di bidang desain dan tata letak. Kelebihan p-book terletak pada media (kertas) yang secara visual tampak indah warna warni, mudah dibawa ke mana saja, prestisius, dapat dipamerkan di ru-ang publik (perpustakaan), dan mengaksesnya mudah karena tidak bergantung pada listrik dan media lain. Sementara kekurangannya juga ada, antara lain p-book memakan tempat penyimpan-an, mencari kata kunci sering tidak mudah dan memakan waktu karena tidak setiap buku ada indeksnya, mudah rusak, dan tidak dapat di-akses banyak orang.

Di pihak lain, e-book gampang diakses, tidak memakan tempat, mudah mencari kata kunci, dan tersedia banyak asalkan sudah didigitalisasi dan masuk ke dalam jaringan Internet. Semen-tara kekurangannya juga ada, e-book tergantung alat, listrik, dan Internet sesuai dengan esensi digitalisasi yang mengacu kepada generasi ke-dua layanan berbasiskan web yang mengandal-kan kolaborasi online. Seperti dicatat Manovich (2001: 28) bahwa ”…many new media objects are converted from various forms of old media…. Con-verting continuous data into a numerical representa-tion is called digitalization”.

E-book dan p-book bukanlah sekadar masalah persaingan media konvensional vis a vis media baru. Bukan bula semata-mata persoalan de-sain dan tata letak. Sebagaimana dikemukakan McLuhan, antara e-book dan p-book sejatinya by nature medianya sudah menentukan atau deter-minasi manusia pengguna atau pengaksesnya.

Dengan demikian, ketika pengguna memi-lih menggunakan e-book atau p-book, media su-

Page 42: Ultimart Vol v No1

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak R. MASRI SAReB PUTRA 39

dah mendeterminasi si pengguna yang dalam bahasa McLuhan disebut ”technological and media determinism”.

McLuhan selanjutnya mennyebutkan bahwa sesungguhnya media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message). Artinya, media yang kita pilih atau kita gunakan menunjukkan siapa kita? Apakah termasuk generasi konvensional ataukah generasi digital, ketika memilih media, sejak awal sudah terpilah.

Masalahnya, tidak senantiasa orang yang menggunakan media konvensional sama sekali tidak menggunakan media digital untuk men-gakses buku, atau sebaliknya. Bisa jadi, sese-orang menggunakan kedua media sekaligus.

Kesimpulan Teknologi dan media koevolusi dan koeksistensi dengan masyarakat. Demikian pula teknolgi cetak, dalam hal ini teknologi berbasis analog dan teknologi berbasis digital sebagai media yang menyampaikan isi suatu buku.

E-book dan p-book bukanlah semata-mata per-saingan di bidang desain dan tata letak. Lebih dari itu, kedua media yang menjadi kereta di da-lam menyampaikan suatu pesan (isi) terkait den-gan hubungan tak terpisahkan antara teknologi dan masyarakat.

E-book dan p-book memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atas dasar ini-lah dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak kanibal, tetapi saling melengkapi. Meski de-mikian, sesuai dengan hukum koevolusi dan koeksistensi di mana media bermorfosis sejalan dengan dinamika zaman dan masyarakatnya, ke depan akan semakin banyak orang beralih ke e-book yang berbasis digital.

Daftar PustakaCavallini, Ricardo. 2009. Omnipresent: Communi-

cation Where We Came from and Where We Are Going. InScribe Translation: www.inscribe.com.br

Clegg. Stewart. 1990. Organization Theory and Class Analysis. Berlin: Walter de Gruyter & Co.

Gibson, Donald. 2004. Communication, Power and Media. New York: Nova Science Publishers, Inc.

Edward, Jim dan David Garfinkel. 2006. Ebook Secret Exposed. New York: Morgan James.

Fidler, Roger. 1997. Mediamorphosis: Understand-ing New Media. California: Pine Forge Press.

Jacobson, Susan Kay. 2009. Communication Skills for Conservation Professionals. Washington DC: Island Press.

Kist, Joost. 2008. New Thinking for 21st-Century Publishers: Emerging Patterns and Evolving Stratagems.

Kremer, John. 1993. 1001 Ways to Market Your Books. Iowa: Open Horizons.

Manovich, Lev. 2001. The Language of New Media. Massachusett: MIT Press.

Viney, David. 2005. The eBook Self Publishing Guide. Desktop to Amazon in 10 Easy Steps. London: Mercury Web Publishing.

Watson, James. 1998. Media Communication: An Introduction to Theory and Process. New York: Palgrave.

”Self Publishing and Printing Your Own Book” http://www.fonerbooks.com/paper.htm http://dictionary.reverso.net/english-cobuild/e-book diunduh 10 Februari 2012 pukul 11.37.

http://www.privatelabelrightsknow.info/diunduh 10 Februari 2012 pukul 15.02.

Page 43: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 40-54ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

PendahuluanMata manusia sangat mudah untuk dimanipula-si hingga menimbulkan ilusi, salah satunya ada-lah ilusi gambar 3D dari gambar 2D. Dewasa ini, membuat gambar 2D seolah-olah berkesan men-jadi 3D, hal ini semakin marak di dunia hiburan sehingga merambah ke berbagai produk, seperti untuk produk cinema (motion pictures) dengan banyaknya produk cinema yang menggunakan teknik 3D.

Namun, tentu saja tidak banyak yang tahu perbedaan antara ilusi 3D dari gambar 2D, baik untuk still picture (gambar diam) maupun motion picture (gambar bergerak) dengan 3D sebagai di-mensi, sebagai alat dan atau medium pembuat-nya.

Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan lebih dahulu apa itu arti ilusi 3D dari gambar 2D yang selanjutnya disebut dengan nama Stereogram. Juga 3D sebagai alat atau medium pembuatnya.

Stereoscopic adalah suatu cara (teknik) yang digunakan untuk membuat image 2D (tinggi x lebar) yang dibuat oleh goresan tangan, foto, ataupun movie hingga saat dilihat dengan mem-

permainkan dan memanipulasi mata kita, akan terjadi ilusi gambar 2D tadi menjadi 3D dan ada kedalaman di dalamnya. Stereogram adalah ha-sil gambar dari teknik stereoscopic.

2D adalah dimensi ukuran, suatu bentuk dianggap 2D bila benda tersebut hanya memi-liki tinggi (height) x lebar (width). Misalnya, ada image persegi empat dengan ukuran sembarang, ini disebut Shape, seperti gambar 1.

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

M.S. GUMELARUniversitas Multimedia Nusantara

Jln. Boulevard Gading Serpong, TangerangMobile: 0818966667, email: [email protected]

Diterima: 28 Februari 2012Disetujui: 10 Maret 2012

Abstract:3D illusion on a flat 2D plane, known as stereograms can be created by combining two hand drawn images al-most identical are  traditionally aligned in such a way, so by using simple tools like paper two paper tubes by looking at the stereogram through it, we can see a stereogram.

Keywords: ilusi 3D, stereogram, stereoscopic, stereoscopy.

Gambar 1

Gambar 2

Sementara itu, 3D merupakan dimensi ukuran. Benda diang-gap 3D karena memiliki tinggi (height) x lebar (width) x keda-laman (depth). Hingga bila di asumsikan, ada batu ber-bentuk kotak dengan ukuran sembarang maka batu terse-but adalah benda 3D yang pu-nya volume (form), gambar 2.

Page 44: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 41

Sekarang, akan menjadi membingungkan bila kita menggambarkan kotak dengan ukuran sembarang di kertas, hingga ada tinggi, lebar, dan kedalaman, seolah-olah (ilusi) 3D, padahal itu sesungguhnya gambar 2D. Yang terjadi di sini adalah kita menggambar kotak dalam me-dia kertas dan melibatkan perspektif serta sudut pandang. Hal ini disebut dengan ilusi form (form illution), atau ilusi seolah-olah ada volume, sep-erti gambar 3.

Gambar 3

Mengapa hal ini terjadi?. Perspektif atau su-dut pandang. Sebelumnya kita akan membahas tentang sumbu khayal (axis) agar memudahkan pengertian. Sumbu khayal (axis) ini tentu saja ti-dak ada di alam nyata, hanya alat bantu tambah-an untuk memudahkan kita menganalisis.

Kita mengenal garis datar yang disebut de-ngan Axis X dan kita dapat membuat garis me-lintang yang disebut dengan Axis Y. Siapa yang memberi simbol atau nama garis khayal datar disebut Axis X?. Tentu saja, manusia dan pembe-ri nama sejak awal. Semua akhirnya setuju untuk memudahkan komunikasi. Kita lihat hasilnya seperti gambar 4.

Gambar 6

Penerapan dari Axis X, Axis Y, dan Axis Z ini juga diperoleh saat kita menggambar kubus (ilusi form), seperti pada gambar 7.

Gambar 4

Bila garis Axis X dan Axis Y hanya diambil sebagian hingga ada titik temu, dan tidak mene-ruskan lanjutan dari titik temunya, dapat digam-bar seperti gambar 5.

Gambar 5

Dengan menambahkan axis baru sebagai alat tambahan untuk membuat perspektif, kita dapat membuat Axis Z sebagai simbol dari ke-dalaman, hingga hasil dari tambahan tersebut seperti gambar 6.

Gambar 7

lalu, kita akan belajar tentang perspektif. Perspektif ini timbul karena adanya perbedaan level saat kita memandang suatu objek. Hingga cara pandang ini terbagi menjadi tiga kategori atau klasifikasi, yaitu sebagai berikut.1. eye level, mata kita dengan objek yang kita

lihat tepat sejajar.2. low Angle, mata kita dengan objek yang

kita lihat, posisi kita melihat lebih rendah.3. High Angle, mata kita dengan objek yang

kita lihat, posisi kita melihat lebih tinggi, li-hat gambar 8.

Page 45: Ultimart Vol v No1

42 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

Gambar 8

Sebagai contoh, batu kotak dengan ukuran sembarang yang diletakkan sejajar mata kita dan sudut sejajar juga dengan mata (eye  level) maka yang terlihat bukanlah benda yang terdiri dari tinggi x lebar x kedalaman, melainkan cenderung yang terlihat hanya tinggi x lebar. Jadi, ilusi 2D dapat juga terjadi pada benda yang sebenarnya 3D di alam nyata.

Kini, diasumsikan kita memiliki batu ber-bentuk kotak dengan ukuran sembarang di alam nyata, dan batu kotak tadi lalu difoto. Yang tadinya batu kotak yang benar-benar 3D di alam nyata telah menjadi 2D di medium kertas.

Batu kotak telah menjadi 2D saat telah men-jadi foto. lalu muncul ide, bagaimana batu ko-tak yang ada di foto tadi jika dilihat tidak lagi 2D, tetapi seperti 3D, seolah-olah kita melihat-nya saat masih belum menjadi foto di alam nyata dengan memanipulasi gambar dan mata kita. Inilah yang disebut dengan Stereogram.

Ilusi 3D dari gambar 2D, baik berupa go-resan tangan maupun dari foto, ada faktor yang sangat penting yang diperlukan, yaitu kedalam-an (depth) dan ilusi kedalaman pada gambar 2D adalah dengan memainkan sudut pandang mata ataupun kamera pada objek atau subjek yang akan digambar atau difoto, hingga memuncul-kan perspektif yang telah kita pelajari sebelum-nya, lihat gambar 9.

Membuat stereogram tidak harus menggu-nakan alat yang mahal, cukup dengan alat-alat sederhana, seperti pensil, tinta, pena (ballpoint), kertas, dan lightbox atau memanfaatkan kaca (glass) yang salah satu sisinya terang, dapat di-gantikan oleh jendela kaca, serta keahlian meng-gambar yang disesuaikan dengan tingkatan lev-elnya.

Bila kita tidak dapat menggambar objek yang bagus maka cukup dengan objek seder-hana seperti kotak ataupun bentuk gambar 2D yang mempunyai ilusi form lainnya.

Dengan memahami apa yang telah dibahas ini, membuat stereogram dengan cara sederhana ini akan memberikan stimulasi dan memperce-pat pemahaman para graphic designer dan orang-orang yang passion dalam bidang graphic untuk berkarya dengan memanfaatkan stereogram ini.

Tinjauan Pustaka“Binocular vision implies the seeing of natural objects in relief and relates to the properties of the human eyes which  enable  the  relief,  distance  and  perspective  ef-fects to be experienced. Stereoscopy, on the other hand, 

Gambar 9 Ilusi form tekstur pasir terkena angin pada foto.Sumber: http://burjo.files.wordpress.com/2009/06/sahara-desert-sand-dune.jpg

Page 46: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 43

relates to the artificial reproduction of similar effects, with the aid of suitable diagrams or photographs, and usually with the aid of special viewing apparatus for merging, or combining, the diagrams or photographs” Judge, W. Arthur, (1926), Stereoscopic Photo-graphic, C. Tinting 6-Co., ltd, liverpool, UK.

Pandangan binocular mata manusia mem-buat manusia dapat melihat objek secara alami, di mana jarak dan perspektif dapat dialami. Ste-reoscopy, di sisi lain, mempunyai cara buatan yang mempunyai efek sama, tetapi pada gambar atau foto, dan biasanya dengan menggunakan tambahan alat agar gambar menyatu untuk me-lihat hasilnya menjadi ilusi kedalaman.

Stereogram secara etimologi (awal kata dan bentukannya) dari kata stereo = dua dan gram atau graph= gambar. Jadi maksudnya, bagaima-na membuat suatu gambar menjadi stereo.

Atau pada umumnya, disebut dengan ”gam-bar yang memiliki kesan kedalaman (depth) dan form yang seperti sesungguhnya di alam nyata”. lebih jelasnya lagi ”Bagaimana membuat gam-bar 2D dibuat seolah-olah mempunyai kedala-man sehingga mampu menipu mata kita, hingga tampak menjadi seperti benda saat di alam nyata (3D)”.

”Illusion of 3D can be made from 2D images either create from hand drawing or from pho-tos or other relevan images, there are very im-portant factor that is necessary, which is depth (z axis illusion) and illusion of depth in the 2D image is by putting it side by side are needed, which almost in same size and resolution, and by playing and manipulating our eye point to create perspective, depth and 3D illusion, this called Stereoscopic.” M.S. Gumelar

Tujuan dan Manfaat PenelitianTujuan dan hasil yang ingin diperoleh dalam pe-nelitian sebagai berikut.

(1) Bagaimana membuat Stereogram dapat di-lakukan dengan menggabungkan teknik

tradisional dan digital untuk mempercepat proses membuat Stereogram secara alter-natif lain dengan teknik hybrid. Setiap ge-nerasi memiliki solusi untuk mengatasi per-masalahan untuk menghasilkan sesuatu.

(2) Bagaimana cara dan mengembangkan Ste-reogram, dengan teknik ini hanya diberikan contoh berdasarkan research  analytical dan experienced base, untuk kekurangannya, akan dibahas di artikel lainnya, seperti pewar-naan yang lebih detail menggunakan cara tradisional ataupun digital.

(3) Diharapkan dengan membuat Stereogram secara hybrid ini lebih efisien dari segi wak-tu bila sudah bisa, dan lebih ekonomis ka-rena tidak memerlukan bahan pewarna un-tuk membelinya bila habis. Cukup membeli komputer maka bahan pewarna akan terse-dia terus-menerus secara digital di komput-er.

MetodeDalam membuat Stereogram secara tradisional, metode yang digunakan dalam penelitian mela-lui tahapan-tahapan kreatif sebagai berikut.1. Idea. Dalam tahap ini, ide sangat penting se-

bab ide adalah gagasan kreatif akan segala sesuatu yang belum pernah dipikirkan atau dilakukan orang lain. Jika memiliki ide maka harus segera diwujudkan sebab di luar sana mungkin saja ada orang yang sama idenya dengan kita. Siapa yang lebih dulu, itulah yang menjadi penentu. Ide dapat dirumus-kan secara bersama ataupun secara indi-vidu, disesuaikan dengan kebutuhan.

2.  Concept. Setelah mendapatkan ide maka ide tersebut dituangkan dalam coretan-coretan sementara berupa teks ataupun gambar, da-pat juga disebut dengan nama sketch. Tetapi, concept juga menjadi ambigu pengertiannya, yaitu sebagai design yang sudah matang, tetapi belum dipublikasikan ataupun belum diwujudkan dalam product massal. Namun,

Page 47: Ultimart Vol v No1

44 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

dalam bahasan ini, kata concept sebagai sketch dan ide-ide tulisan secara kasar.

3. Traditional  Design. Dalam tahap ini, tujuan dari penggambaran objek ditentukan dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan menggambar seseorang. Alat-alat tradi sio-nal lainnya juga digunakan. Kemampuan menggambar tingkat dasar akan digunakan agar tiap orang dapat melakukannya tanpa kesulitan.

4.  Digital  Design. Proses selanjutnya bisa di-lakukan dengan men-scan image design yang telah dibuat untuk dijadikan data digital. Ataupun tetap biarkan dengan cara seder-hana tradisional tadi.

5.  Evaluation. Setelah hasil desain stereogram jadi maka dilakukan evaluasi yang berguna untuk memperbaiki kualitas hasil karya ste-reogram yang telah dibuat dan sebagai ac-uan untuk memperbaiki kualitas hasil karya di masa depan atau dapat juga dengan mem-buat ulang karya yang sama dengan kualitas yang lebih baik.

PembahasanMengapa stereogram dapat terjadi?Manusia dan makhluk lain yang mempunyai dua mata di area depan dan menghadap ke depan mempunyai kemampuan untuk mem-persepsikan bentuk alam nyata lebih mendetail dan indah menurut persepsi manusia.

Mengapa begitu? Sebab tiap mata kita me-wakili salah satu sisi pandang dari sudut yang berbeda untuk satu objek yang dilihat, contoh: pandang dosen menggunakan salah satu mata yang ditutup, terlihat sudut pandang mata terse-but, buka mata tersebut dan tutup secara bergan-tian, lihat objek yang sama.

Mata yang terbuka akan melihat objek yang sama dari sudut pandang yang berbeda, seperti pada gambar 10.

Gambar 10

Hal inilah yang disebut mata kita sebagai stereo (dua) karena melihat benda di alam nya-ta yang mempunyai form (bentuk 3D) dan juga mampu melihat shape (bentuk 2D). Namun den-gan kemampuan seperti ini, mata kita dapat dimanipulasi. Manipulasi mata ini melibatkan dua gambar, baik goresan tangan maupun foto yang hampir identik dari segi ukuran maupun tampilan serta resolusinya bila masuk ke dunia digital.

Teknik menggabung-kan dua image menjadi satu disebut Stereoscopy, tetapi hasil gambarnya disebut Stereogram. Ada banyak padan kata dari Stereogram ini, salah sa-tunya, yaitu anaglyph. Pembaca mungkin ma-sih ingat dengan alat yang bernama Viewmas-ter. Bila kita masukkan gambar-gambar dalam slot yang berputar maka kita dapat melihat im-age 2D menjadi 3D, lihat gambar 11.

Gambar 11 Sumber: http://www.tintoyar-cade.com/products/View-Mas-ter-Retro-Red-3D-Reel-Viewer.html#

Page 48: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 45

Tentu saja, ilusi 3D ini merambah ke dunia Cinema, hingga banyak sekali beberapa animasi 2D, bahkan Movie hasil shoot dari Video Camera, Cinema Camera yang dikonversi menjadi ilusi 3D, dan animasi yang dihasilkan oleh softwares 3D juga dijadikan ilusi 3D.

Sebelum membuatnya, kita memerlukan alat-alat:1. pensil,2. kertas,3. penghapus pensil,4.  ballpoint,5. cat air atau spidol dengan pengencer air,6. kuas, dan7.  lightbox atau alat yang dapat berfungsi sama,

seperti jendela kaca.

Alat-alat tersebut dapat diperoleh di toko stationary  (alat-alat tulis), misalnya Gramedia. Mari kita membuatnya, dengan tahapan-tahapan berikut.1. Idea. Membuat Stereogram lebih cenderung

belajar ke teknik dulu, jadi ide yang luar biasa, tidak diperlukan. Cukup membuat gambar kubus dengan kedalaman dan jarak yang berbeda.

2. Concept. Setelah mendapatkan ide, ide tersebut dituangkan dalam coretan-coretan kasar. Agar memudahkan, buat gambar ku-bus dari tampak atas, berapa banyak? Ses-uai kebutuhan saja, misalnya seperti gambar 12.

Gambar 13

3. Traditional Design. Dalam tahap ini, kon-sep dan sket kasar diperbaiki secara halus, dan tentukan sendiri juga faktor mana yang diberi emphasize (menjadi penekanan atau point of focus). Misalnya, penekanan pada kubus yang paling dekat, hingga diberi garis tebal.

lalu, yang agak jauh diberi garis warna yang lebih soft dari gambar kubus yang pal-ing dekat. Kemudian, gambar yang paling jauh, warna garisnya lebih lembut dan juga pewarnaannya tidak begitu kuat atau paling soft, kurang lebih seperti gambar 14.

Gambar 12

lalu, kita proyeksikan secara Orthographic projection di mana menyajikan objek atau form berupa 3 dimensi yang memiliki form, ke format 2D. Dari Top View (tampak atas) secara high angle (cara lihat dari atas) menjadi eye  level (setinggi mata), gambar juga dinamis, ada tinggi rendah-nya, hingga gambar kurang lebih seperti gambar 13.

Gambar 14

langkah selanjutnya, kita akan meng-copy gambar tersebut dan juga mewarnainya, jangan takut tidak akan sama, memang tidak akan sama bila dilakukan secara tradisional, tetapi dari sit-

Page 49: Ultimart Vol v No1

46 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

Gambar 16

Setelah gambar di-trace dan diwarnai juga dengan pewarnaan dan penekanan yang kurang lebih sama, selanjutnya kita akan menyejajarkan image yang kurang lebih sama hasil karya tadi dengan jarak yang berdekatan seperti kurang lebih gambar 17.

Kini setelah kedua image tersebut disejajar-kan, tantangan selanjutnya adalah dengan me-nyilangkan mata kita saat melihatnya, hingga fokus pada dua image tadi dan berusaha me-nyatukan kedua gambar tadi menjadi satu.

Bila berhasil, akan muncul gambar ketiga yang berada di tengah, tetapi gambar ini seperti bukan gambar 2D dan tercipta ilusi baru. Ilusi inilah yang disebut dengan Stereoscopy, bagian dari optical illusion yang bertujuan untuk mema-nipulasi mata.

Teknik ini memerlukan waktu untuk belajar menyesuaikan mata kita pada stereo image atau stereogram yang disejajarkan tanpa memerlukan alat tambahan seperti sejenis Viewmaster. Ketika masih kecil mungkin kita membelinya, tetapi saat itu kita hanya menggunakan tanpa menge-tahui bagaimana caranya. Kini, cara itu telah kita ketahui, tinggal tantangan selanjutnya adalah membuat alat sejenis itu sendiri dan buat an anak bangsa kita sendiri.

Namun tentu saja, itu dalam bahasan lain-nya, sebab kali ini penelitian lebih difokuskan pada teorinya terlebih dulu.

Bagi yang masih kesulitan untuk melihat hasil karya Stereogram ini dengan teknik Stere-oscopy menyejajarkan image yang kurang lebih sama menggunakan mata kita, kita akan meng-gunakan image tambahan untuk memudahkan, yang dapat dilakukan, yaitu dengan menempel-kan kertas hitam untuk membantu fokus dan tanda bulatan putih di atas kedua gambar terse-but untuk memudahkan penyatuan silang mata kita, hingga kurang lebih seperti gambar 18.

ulah keunikan akan muncul dan tampak realis hasilnya.

Trace  image atau meng-copy dengan tangan dan alat tradisional seperti pensil untuk image yang telah jadi tadi, dengan memanfaatkan light box (gambar 15) atau dapat juga menggunakan jendela di mana salah satu sisinya terang, hingga dapat dimanfaatkan untuk men-trace image yang telah dibuat semirip mungkin, cara men-trace li-hat gambar 16.

Gambar 15

Gambar 17

Gambar 18

Page 50: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 47

4. Digital Design. Proses digital dilakukan ka rena menyesuaikan dengan alat terkini. Ingat, menggunakan alat digital seperti komputer, itu hanya sebagai alat, ide dan teorinya tetap dari basis tradisional.

Seandainya kita sudah menggambar objek yang ada kedalamannya (depth), lalu untuk mempercepat proses peng-copy-an image maka kita memerlukan alat yang disebut 2D Scanner atau cukup disebut Scanner.

Scanner diperlukan untuk mendigitalisasi gambar 2D hasil goresan tangan kita menjadi data digital dan bisa memberi warna di kom-puter bila gambar tersebut belum diwarnai, bisa juga untuk men-scan foto hasil cetak. Contoh Scanner dapat dilihat pada gambar 19.

Tidak punya scanner? tetapi punya digital camera dengan resolusi atau megapixel di atas 8 mega?. Digital camera dapat juga digunakan untuk memfoto image yang telah dibuat, lalu dengan meletakkannya di tempat yang landai (rata) dengan penyinaran yang cukup kemudian difoto, dengan cara ini maka digital camera da-pat pula menggantikan fungsi scanner.

Gambar 20

Setelah itu, kini click File–Import–Pilih Scan-ner Driver yang telah ter-install, misalnya HP Scanjet 2400 TWAIN atau Scanner merek lain-nya, click lepas, urutannya seperti pada gambar 21 dan gambar 22.

Gambar 19

Belajar Men-scanBuka penutup scanner, siapkan gambar, lalu le-takkan kertas yang ada gambarnya menghadap ke bawah di atas permukaan scanner, persis se-perti memfotokopi, tutup penutup scanner.

Pastikan pembaca memiliki program Adobe Photoshop versi apa pun. Di sini tidak diajarkan cara menggunakan Software Adobe Photoshop, diasumsikan pembaca sudah bisa. launch Adobe Photoshop dengan meng-clik iconnya 2x, tunggu proses launch selesai, seperti pada gambar 20.

Gambar 21

Gambar 22

Page 51: Ultimart Vol v No1

48 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

Gambar 23

Color Mode (mode warna) pilih sesuai kebu-tuhan. Kalau ingin men-scan Photo maka pilih Color Photo, kalau ingin men-scan dari majalah, koran atau hasil cetak lainnya, pilih Color Docu-ment, kalau men-scan hasil goresan pensil hitam putih maka gunakan grayscale (1).

output resolution (resolusi warna) pilih se-suai kebutuhan, tetapi biasanya berkisar antara 200–300 sudah bagus (2).

Preview, untuk melihat gambar yang akan di-scan, terbalik atau tidak gambarnya (3) di area scan (4).

Bila sudah mantap, click scan (5), tunggu prosesnya sampai selesai, beberapa scanner saat proses scan biasanya berdengung, seperti pada gambar 24 dan gambar 25.

Bagaimana bila kita tidak membutuhkan semua area untuk di-scan?, gampang, click dan drag saja bintik-bintik berkedip dan bergerak seperti semut berjalan, click dan drag di tepinya untuk mengurangi atau menambahkan area scan lalu lepas tombol mouse. Bila di-click di pojok-

pojoknya juga bisa, bila sudah mantap, seperti pada gambar 26.

Click scan untuk proses scanning, sampai selesai, click tanda X di pojok kanan atas jendela scan untuk menutupnya, seperti pada gambar 27.

Akan muncul jendela scan. Jendela ini akan kosong di area scan atau akan muncul sisa pre-view hasil scan sebelumnya, di sini digunakan scanner dari Canon Scanner, tetapi kurang lebih semua menu sama walaupun letaknya mungkin berbeda.

Perhatikan, kita akan menggunakan Ad-vanced Mode karena kita bisa mengatur resolusi lebih leluasa, seperti pada gambar 23.

Gambar 24

Gambar 25

Gambar 26

Page 52: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 49

Gambar 28

langkah selanjutnya adalah dengan me-lebarkan area kanvas kerja image ini, caranya click image di main menu–lalu click lepas Can-vas Size, seperti pada gambar 29.

Akan muncul jendela Canvas Size, tujuan kita adalah dengan melipatgandakan nilai lebar

Gambar 30

Di situ terlihat lebarnya 13.72 cm maka dika-likan 2, menjadi 27.44 cm sebagai ukuran yang baru (1), lalu click tanda panah yang ada di kiri tengah Kolom Anchor, agar tambahan area baru akan berada di kanan image sebelumnya (2), bila sudah mantap click tombol oK (3) atau tekan en-ter, seperti gambar 31.

Gambar 27

Menyejajarkan GambarSetelah proses scan, selanjutnya kita akan mem-buat duplikasi atau meng-copy image atau gam-bar tersebut untuk disejajarkan. Perhatikan im-age yang telah di-scan (1), lalu jendela layer aktif (2) dan thumbnail atau gambar versi kecil dari gambar yang besar juga ada di jendela layer ini (3), seperti di gambar 28.

Gambar 29

kanvasnya, dapat digunakan untuk menempat-kan image yang sama di sampingnya.

letak kolom isian width seperti gambar 30.

Page 53: Ultimart Vol v No1

50 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

Gambar 32. Area baru ditambahkan di sebe-lah kanan.

Kemudian, kita akan men-copy area di gam-bar sebelah kiri, dan paste-kan di sebelah kanan

di area yang telah dibuat sebelumnya. Caranya click Marquee Tool berbentuk persegi/Rectangle Marquee  Tool (1), lalu seleksi keseluruhan area gambar yang akan di-copy, seleksi area akan ada tanda seperti garis-garis putus mirip semut ber-baris (2), seperti pada gambar 33.

Kini, tekan kombinasi di keyboard keypad, yaitu Ctrl C, untuk meng-copy image yang dis-eleksi, lalu tekan Ctrl V untuk paste (tempel) area yang telah di-copy. langkah berhasil di-lakukan bila di Jendela layer muncul tambahan layer baru, seperti pada gambar 34.

Gambar 31

Area baru sudah ditambahkan, seperti pada gambar 32.

Gambar 32

Gambar 33

Gambar 34

lalu, click Move Tool atau tekan V (1) un-tuk shortcut memilih tool tersebut, lalu click and drag layer baru tersebut ke area yang masih ko-song (2), seperti pada gambar 35.

Gambar 35

Hingga hasil copy-an image tersebut me-menuhi area seperti pada gambar 36.

Gambar yang sama persis bila diletakkan berdampingan, tentu saja masih bisa dilihat se-cara stereogram, tetapi akan menarik bila tidak sama persis seperti saat menggambar dengan meng-trace atau meng-copynya secara tradision-al. Ketidakmiripan yang sedikit akan membuat image stereogram menjadi lebih unik.

Page 54: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 51

Gambar 37

Caranya, tekan Ctrl T untuk Free Transform maka akan muncul nodal-nodal kotak kecil di area tertentu dan garis kotak melingkupi image tersebut, seperti pada gambar 38.

Kini, tempatkan mouse pointer di nodal yang terletak di pojok kanan atas maka mouse pointer akan berubah menjadi 2 mata panah, tahan keypad Shift di keyboard lalu click dan

Gambar 39

Dapat ditambahkan pula area hitam dan guidance point warna putih guna memudahkan untuk mata menyesuaikan untuk manipulasi stereogram ini, seperti pada gambar 40.

Optimalisasi Menyejajarkan Gambar

Setelah mengetahui dan memahami proses secara teori dan praktik (doing) membuat stereo-gram sendiri, kita akan menelaah dan menganal-

Gambar 36

Untuk membuat ketidakmiripan secara digital dapat dilakukan dengan cara bermain transform scale. Caranya, pastikan mouse pointer masih aktif di layer copy-an image yang telah di-geser ke area baru, seperti pada gambar 37.

Gambar 38

drag nodal ke arah luar dan beri penambahan skala dari sebelumnya sekitar 1-2 persen, seperti pada gambar 39.

Page 55: Ultimart Vol v No1

52 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

isis lebih jauh, manakah yang lebih optimal, im-age yang lebih cenderung melintang (portrait) ataukah cenderung mendatar (landscape)?

Untuk mengetahuinya, tentu saja harus di-alami dan dianalisis lebih dalam, ada 2 image stereogram di 2 halaman berikutnya, satu secara mendatar (landscape) pada gambar 41 dan satu-nya secara melintang (portrait) pada gambar 42.

Tetapi adakalanya, jarak pandang juga mem-pengaruhi, jadi bila image stereogram yang telah dibuat belum juga dapat dilihat menjadi ilusi optic 3D maka atur jarak pandang, biasanya se-makin jauh atau semakin kecil objek image, akan semakin cepat pula ilusi optic 3D (stereogram) terbentuk.

Dari situ terlihat bahwa gambar yang cend-erung melintang (portrait) lebih mudah untuk dilihat dan proses mata cepat menyesuaikan me-lihat gambar stereogram tersebut.

Pada dasarnya, kedua format mendatar atau melintang, bila kita sudah bisa melihat gambar stereogram, tidak menjadi masalah, tetapi bagi para pemula yang ingin melihat image stereo-

Gambar 40

Page 56: Ultimart Vol v No1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMelAr 53

gram, bentuk melintang (portrait) cenderung mudah untuk diterapkan dan secara optimal memudahkan untuk membuat mata menyesuai-kan dan menjadi termanipulasi.

oleh karena itu, bentuk melintang (portrait) disarankan dibuat karena lebih memudahkan untuk melihat stereogram versi print.

Untuk versi non print, seperti movie atau animasi, membuat stereogram/ilusi 3D atau cuk-up disebut 3D saja, dengan menggunakan teknik lainnya, yaitu dengan penambahan kacamata tertentu, misalnya satu sisi warna merah dan satu sisi lainnya warna biru atau teknik lainnya yang relevan.

Apakah masih kesulitan melihatnya? Bai-klah, kita akan membuat alat bantu sederhana yang dapat dibuat. Sediakan alat dan bahan se-bagai berikut.

1. Kertas, warna hitam polos jauh lebih baik bila ada, bila tidak, cukup warna seadanya, misalnya putih polos.

2. lem atau isolasi perekat.3. Gunting bila diperlukan.

Kini, bentuklah kertas menjadi seperti tabung atau teropong dengan diameter sekitar 2,5 cm seperti gambar 43, kalau punya tabung pipa air seukuran kurang lebih sama, dapat di-gunakan, potong dengan panjang yang sama.

Gambar 43

Page 57: Ultimart Vol v No1

54 Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital Vol V, 2012

Setelah terbentuk, genggam kedua gulun-gan kertas yang bentuknya seperti tabung atau pipa ini seperti menggenggam binocular (tero-pong dua lensa) seperti pada gambar 44.

buat Stereogram secara alternatif lain, yaitu de ngan teknik hybrid. Setiap generasi memi-liki solusi untuk mengatasi permasalah-annya sendiri untuk menghasilkan sesuatu.

2. Pengembangan Stereogram dengan teknik ini hanya memberikan contoh berdasarkan research  analytical dan experienced  base, un-tuk kekurangannya, akan dibahas di artikel lainnya, seperti pewarnaan yang lebih detail menggunakan cara tradisional ataupun di-gital.

3. optimalisasi menyejajarkan dua image yang mirip dengan image yang lebih cenderung ke format portrait (melintang) lebih mudah untuk mempercepat proses ilusi optic 3D Stereogram dibandingkan dengan format image yang mendatar.

4. Membuat Stereogram secara hybrid ini lebih efisien dari segi waktu bila sudah bisa, dan lebih ekonomis karena tidak memerlukan bahan pewarna untuk membelinya bila ha-bis, cukup membeli komputer maka bahan pewarna akan tersedia terus-menerus secara digital di komputer

Daftar PustakaBooks llC. May 22, 2010. Stereoscopy: 

3-D  Film,  Stereoscopy,  Autostereogram, Anaglyph Image, Depth Perception, Binocu-lar Vision,  Stereopsis, View-Master,  Stereo-gram. New York: Books llC.

Judge, W. Arthur. 1926. Stereoscopic Photographic. C. Tinting 6- Co. ltd, liverpool, UK.

M.S. Gumelar. 2011. Comic Making. Jakarta: Indeks.

Wanless, Harold r. 1998. Serial  Stereograms: An Introduction  to Geology, Geography, Conserva-tion, Forestry, and Surveying Using Stereo Pho-tographs. New York: Hubbard Scientific.

http://en.wikipedia.org/wiki/Stereogram

Gambar 44

lalu, lihat gambar stereo yang telah disiap-kan, di mana gambar sisi kanan pastikan dilihat melalui teropong kertas ini mengenai area hanya sisi kanan, dan gambar sisi kiri dilihat di area sisi kiri saja, dan pastikan area yang dilihat kanan dan kiri di area yang sama.

Alat teropong ini untuk memudahkan pe-nyatuan gambar kanan dan gambar kiri, hingga menghasilkan suatu ilusi optic 3D. Bila masih susah juga, tempatkan teropong ini tepat sejajar mata dan kiri, nanti akan terbentuk 2 image yang seolah-olah ingin menyatu, biarkan menyatu, hingga terbentuk ilusi optic 3D ini.

Dari beberapa contoh dan analisis gambar stereogram terlihat bahwa gambar yang cen-derung melintang (portrait) lebih mudah untuk dilihat dan proses mata cepat menyesuaikan me-lihat gambar stereogram tersebut.

KesimpulanBerdasarkan tujuan dan hasil yang diperoleh dalam penelitian, dapat ditarik kesimpulan se-bagai berikut.

1. Membuat Stereogram dapat dilakukan de-ngan menggabungkan teknik tradisional dan digital. Untuk mempercepat proses mem-

Page 58: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 55-67ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

MOHAMMAD RIZALDI

Universitas Multimedia NusantaraJln. Boulevard, Gading Serpong

Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

Diterima: 20 Januari 2012Disetujui: 26 Maret 2012

Abstract:

Visual design as a physical real object are resulting from a series of thinking processed based on cognitive abilities and supported by motoric activity, which on design academic environment with the same curriculum, their value may vary from one class lecturer to another. This phenomenon is tend to happen in design school or university with much classes and students learning the same curriculum. On the process, the matter of how a visual design is assessed on each design class was often entirely up to their lecturer, therefore, their portion of subjective judgement based on their each own unique cognitive experience is inevitable. This paper is discuss about how those subjective judgement on a visual design can be minimalized by making a visual quality stan­dart assessement parameters based on taxonomy of education.

In a pursuit of quality, those parameters and criteria of how a visual design is assessed by each class lec­turer should become foundation for all visual design grading process to maintain a quality value of good design based on exact parameters to made a necesarily and appropriate action for academic evaluation.

Keywords: visual design, value, assessed, parameter, lecturer, education taxonomy.

Pendahuluan

Karya visual dalam desain merupakan suatu bentuk konkret dari penerjemahan rangkaian proses berpikir yang didasari oleh kemampuan kognitif yang ditunjang oleh aktivitas motorik, seperti brain storming, concepting, produksi, dan presentasi, di mana masing-masing proses tersebut akan dikategorisasikan kembali sesuai dengan bidang praktis dan keilmuan yang se-

suai dengan materi kelas akademik yang sedang ditempuh. Karya visual akademik inilah dalam sebuah mata kuliah studio atau perancangan akhir dalam tugas akhir digunakan sebagai pe-nentu dari kelulusan atau kelanjutan dari proses studi yang terkait.

Bagi para pengajar pengampu kurikulum desain, bentuk karya konkret seperti ini akan diterjemahkan dalam sebuah rumusan penilaian dan menghasilkan suatu output berupa angka

Page 59: Ultimart Vol v No1

56 Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Vol V, 2012

yang pada akhirnya akan diubah menjadi sebuah predikat nilai. Proses yang didasarkan pada ru-musan penilaian inilah yang memiliki kadar ber-beda pada setiap individu pengajar pengampu mata kuliah yang sama sehingga menghasilkan perbedaan kriteria tingkat kualitas pada sebuah karya desain dari kurikulum mata kuliah yang sama. Untuk meminimalisasi hal tersebut dan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidik-an visual, perlu adanya suatu rumusan standar penilaian yang berlaku secara perorangan atau individual agar dapat digunakan untuk mengu-rangi tingkat subjektivitas dalam penilaian karya visual sebuah desain dalam lingkup akademik. Eisner (1985) dalam bukunya The Art of Educa­tional Evaluation: a Personal View mengutarakan pentingnya evaluasi dalam proses edukasi un-tuk mengukur tingkat konsep, representasi, dan perkembangan aspek kognisi, afeksi, serta psikomotor dari individu peserta didik yang tu-rut merepresentasikan kualitas institusi lembaga pendidikan tersebut.

Dalam evaluasi visual sebuah desain, lang-kah yang dilakukan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu melalui pengujian dan pengukuran. Pengujian dan pengukuran inilah yang akan me-nyatakan apakah desain tersebut layak atau tidak layak untuk memasuki kriteria penilaian, bukan baik atau jeleknya. Ketika desain tersebut lahir karena adanya kebutuhan, yang menjadi barom-eter pengukuran bukanlah baik atau jeleknya desain karena baik atau jeleknya desain lebih mengutamakan faktor estetik daripada fungsi-nya walaupun hal tersebut cukup penting ketika berbicara tentang ’bahasa visual’, namun kore-lasi tingkat pemenuhan terhadap permasalahan-lah yang seharusnya menjadi parameter detail-nya sehingga yang muncul adalah pengukuran tingkat layak atau tidak layak, di mana ’layak’ berarti semakin mendekat pada demand yang ter-masuk di dalamnya kualitas estetik, sedangkan

’tidak layak’ berarti menjauhi demand atau tidak sesuai dengan purpose.

Unsur Desain Visual

Pembahasan mengenai sebuah visual desain le-bih pada ’kandungan’ yang tersirat dan tersurat terhadap karya visual tersebut. Dalam penye-derhanaannya, kandungan dalam desain visual tersebut dapat dikategorisasikan menjadi dua, yaitu struktur dan makna. Struktur dalam desain berbicara lebih banyak mengenai tata visual yang memunculkan persepsi, di mana dalam struktur tersebut terdapat elemen dan prinsipal dari de-sain, yaitu bentuk, warna, kesatuan, irama, kom-posisi, dan sistem. Permainan pengelompokan, kesatuan, dan sistem yang terdapat dalam struk-tur inilah yang mendasari atau memunculkan persepsi audience terhadap tingkat keterbacaan, proporsi, keseimbangan, point of interest, dan keindahan terhadap visual desain.

Makna dalam sebuah visual desain adalah bagaimana keseluruhan struktur tersebut ’ber-bicara’ pada audience, merupakan pesan yang terkandung dalam keseluruhan maupun pada masing-masing bagian dari elemen desain, yang juga mampu berbicara melalui penataan dan sistem yang terbangun dalam desain tersebut. Efektivitas pesan dan jenis pesan yang terkan-dung di dalamnya ditentukan oleh persamaan pengetahuan antara designer dan audience yang dapat dipelajari lebih dalam dalam bidang semi-otika, semantika, kiasan atau metafora, persuasi dan sugesti, serta tanda dan simbol.

Visualisasi dalam desain visual terbagi da-lam karakteristik visual masing-masing yang di dalamnya terdapat teknik dan pemahaman yang berbeda satu sama lain dalam proses pen-ciptaan. Secara garis besar, sebuah karya desain dibedakan menjadi dua dalam jenis maupun konten, yaitu yang sifatnya 2 dimensi (tidak memiliki kedalaman dan volume) dan yang ber-

Page 60: Ultimart Vol v No1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MohAMMAD RIzAlDI 57

sifat 3 dimensi (memiliki kedalaman, volume, dan terpengaruh oleh hukum alam dan fisika.) baik yang berlaku secara riil maupun yang ber-laku secara semu. Karya-karya 2D yang bersifat riil contohnya adalah gambar (ilustrasi, story­board, komik, graphic novel, karikatur, gambar suasana, sketsa presentasi, dan sebagainya), foto (foto ilustrasi, foto desain, foto jurnalistik), print­ing media (koran, majalah, tabloid, brosur, pos-ter, spanduk, baliho, wallpaper, dan sebagainya). Karya 2D ini juga dapat berkembang ke karya 2,5D berupa desain relief. Karya yang bersifat 3D secara riil arahnya lebih pada benda produk dan benda pakai (usable and wearable). Karya yang memiliki karakteristik 2D dan 3D secara semu, lebih digunakan sebagai konten dan pencitraan dalam karya desain di bidang animasi, game, multimedia, dan sinematografi.

Perbedaan jenis unsur dan karakteristik dalam masing-masing desain visual tersebut memerlukan jenis pemahaman yang berbeda terhadap material, konten, teknik, proses, dan teknologi yang dalam proses edukasinya dika-tegorisasikan dalam jenis kurikulum yang berbe-da-beda dan dalam tingkatan yang berbeda. hal yang sama juga diterapkan pada pendalaman konteks makna, pesan, dan isi yang secara teo-retikal terdapat dalam setiap jenis dan tingkatan yang sesuai dengan jenis aplikasi media, namun juga dapat dipelajari secara mandiri dan menda-lam yang lebih mengarah ke proses komunikasi. Karakteristik yang berbeda dalam berbagai jenis karya desain visual tersebut juga memerlukan pemisahan terhadap proses pencarian bentuk atau metodologi, manajemen proses produksi, evalusi, pengukuran, dan pengujian yang berbe-da pula. Unsur-unsur yang membangun visual tersebut akan dikorelasikan dengan ranah kog-

nisi, afeksi, dan psikomotorik sebagai taksonomi yang melandasi suatu proses transfer keilmuan atau edukasi.

Taksonomi Edukasi dalam Desain Visual

Untuk melakukan proses pengukuran yang di dalamnya terdapat poin penilaian, perlu terlebih dahulu dicari parameter tolak ukur, di mana pe-rumusannya pada lingkup akademis, pencapai-an proses edukasi yang optimal merujuk pada teori klasifikasi proses pendidikan yang dikenal dengan Taxonomy of Educational Objectives (1956). Teori klasifikasi tersebut merupakan sebuah lit-eratur yang disusun dan diformulasikan oleh tim komite edukatif dari berbagai universitas yang dikoordinasi dan diediting oleh Benjamin S. Bloom. Teori yang dikenal dengan taksono-mi Bloom tersebut mencakup tiga ranah atau domain taksonomi kompetensi, yaitu kognisi, afeksi, dan psikomotor. Masing-masing domain tersebut memiliki tingkatan perubahan dan tingkatan kesulitan yang berbeda di setiap pe-rubahan tingkatan, Bernawi Munthe (2009) da-lam bukunya Desain Pembelajaran juga merujuk pada taksonomi Bloom dalam kaitannya dengan kompetensi dan strategi pembelajaran. Berikut ini tabel yang memuat perubahan dari masing-masing domain tersebut beserta kata kerja ope-rasionalnya yang dapat diterapkan dalam karak-teristik ruang lingkup edukasi desain visual.

1. Aspek Kognisi (Cognitive)Aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berpikir secara intelektual dari yang sifatnya sederhana hingga yang kompleks.

Page 61: Ultimart Vol v No1

58 Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Vol V, 2012

Tabel 1Aspek Kognisi

Level Taksonomi DeskripsiPenerapan

dalam Desain VisualKata Kerja yang Dipergunakan

Pengetahuan

(Knowledge)

Mengetahui informasi, fakta, dan •metode

Dapat menjelaskan mengenai jenis desain visual, karakteristik secara teori, teknik dan proses prinsip kerja

Menunjukkan

Menghafal

Menyatakan

Menyebutkan kembali

Menyortir

Komprehensif

(Comprehension)

Menerjemahkan, memahami, dan •menjelaskan kembali informasi dengan bahasa sendiri

Menjelaskan elemen dan prinsip desain dan penerapannya dalam bentuk 2D dan 3D, baik secara riil maupun semu

Mendeskripsikan

Menerjemahkan

Mengatur kembali

Mengilustrasikan

Menerangkan

MenjelaskanAplikasi

(Application)

Mengaplikasikan konsep dan •menggeneralisir dalam kondisi baru

Memecahkan problem •formulasi

Menyusun grafik tabel dan •bagan

Menggunakan prosedur dan •konsep

Dapat mengidentifikasi permasalahan, merancang konsep, dan skema proses produksi dalam desain visual

Mengaplikasikan

Mengorganisasikan

Mengklasifikasi

Mengalkulasi

Menghubungkan

Menghasilkan

Menunjukkan

MenyekemakanAnalisis

(Analysis)

Menganalisis hubungan antara •struktur dasar dan bagian-bagiannya

Mengevaluasi relevansi data, •fakta dan interpretasi

Mendetail proses kerja menjadi bagian-bagian unit kerja yang terkategorisasi berdasarkan relasi

Membandingkan

Mendiferensiasi

Mengategorikan

Menunjukkan hubungan

MenyekemakanSintesa

(Synthesis)

Mengungkap dan •merumuskan konsepsi baru

Memadukan bagian-bagian •yang terpisah menjadi utuh dan terhubung

Menghasilkan dan menyusun •kerangka teoretis

Mengatasi konflik yang terjadi dalam proses perancangan atau penulisan

Menemukan metode percepatan waktu perancangan atau produksi

Merangkai

Memodifikasi

Mengomposisi

Memformulasi

Mengombinasi

Menciptakan kembali

Memolakan

MerancangEvaluasi

(Evaluation)

Membuat penilaian •berdasarkan kriteria dan parameter, baik internal maupun eksternal

Memahami proses •perancangan dan teori teknis yang melatari

Mempertimbangkan •kemungkinan lain

Dapat merancang kembali proses perancangan dan produksi lanjutan dengan kualitas hasil, proses, dan kinerja yang lebih baik

Menyimpulkan

Mengargumentasi

Meranking

Menggradasi

Merevisi

Mempertahankan

Mempertimbangkan

Mengomparasi

Page 62: Ultimart Vol v No1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MohAMMAD RIzAlDI 59

2. Aspek Afeksi (Affective)Aspek afeksi merupakan hierarki lima tingkatan yang berorientasi pada perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap.

Tabel 2Aspek Afeksi

Level Taksonomi Deskripsi Penerapan

dalam Desain Visual

Kata Kerja yang Dipergunakan

Penerimaan

(Receiving)

Kesadaran terhadap situasi dan •kondisi

Menerima dan mengakui serta •perhatian

Mendengarkan mengenai sejarah, perkembangan, pengetahuan, nilai-nilai, makna, etika dan wawasan keprofesian

Menempatkan

Menanyakan

Mendengar

Menyeleksi

Mengikuti

Mewaspadai

Mengamati

Berpartisipasi

Merespons

(Responding)

Aktif berpartisipasi dalam kelompok •atau studio

Mematuhi peraturan, tuntunan, dan •perintah

Diskusi terhadap makna, nilai, pesan, dan isi serta etika dan konten keprofesian desain di industri kreatif

Melaksanakan

Menampilkan

Membawakan

Melatih

Memunculkan

Mengeksplorasi

Mematuhi

Merespons

Menyampaikan

Penilaian

(Valuing)

Menerima nilai-nilai normatif•

Menghargai dan mengapresiasi•

Bersikap, menyepakati, dan mengakui •nilai

Menerima bahwa desain adalah bagian dalam suatu rangkaian proses yang panjang

Mengapresiasi dan saling mengomentari mengenai hasil desain perorangan dan kolompok

Merasakan

Mengapresiasi

Bergabung

Bertanggung jawab

Menumbuhkan

Menuntun

Membenarkan

Menginisiasi

Organisasi

(Organization)

Membentuk sistem nilai•

Mengintegrasikan nilai dalam •kehidupan personal dan sosialisasi

Bertanggung jawab terhadap •konsekuensi nilai

Membentuk kelompok kajian, bergabung dalam asosiasi, forum, atau komunitas desainer

Pengaplikasian kelompok kerja dalam mendesain, bertanggung jawab secara personal dan team work

Menyesuaikan

Mempertahankan

Mengintegrasikan

Menyusun

Mengendalikan

Mengatur

Merelasikan

Merealisasikan

Pembentukan Karakter

(Characteriza

tion)

Pelibatan diri•

Menunjukkan kesadaran citra diri•

Internalisasi nilai menjadi pola hidup•

Menemukan karakteristik nilai individu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja

Mengerjakan proses desain sesuai dengan tenggat waktu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja

Menunjukkan

Melakukan

Membuktikan

Memperlihatkan

Mempraktikkan

Mengonsistensikan

Page 63: Ultimart Vol v No1

60 Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Vol V, 2012

3. Aspek Psikomotor (Psychomotor)Aspek psikomotor mempertimbangkan segala hal yang mungkin dilakukan secara fisik dan berkaitan dengan keterampilan motorik fisik yang berhubungan dengan pelibatan anggota

badan yang didukung oleh mental dan emosi. Berikut ini urutan taksonomi dari domain psiko-motor yang diadaptasi dari Desain Pembelajaran (Bernawi Munthe, 2009) dan disesuaikan de ngan kebutuhan edukasi desain visual.

Tabel 3

Aspek Psikomotor

Level Taksonomi Deskripsi Penerapan

dalam Desain Visual

Kata Kerja yang Dipergunakan

Persepsi

(Perception)

Menafsirkan stimulasi rangsangan

Peka dan mampu mengategorisasikan jenis stimulir yang memicu sensasi

Bereaksi terhadap stimulir

Mengenal tingkatan respons visual berdasarkan sensasi indera

Mengenal tingkatan respons visual berdasarkan memori dari pengalaman sensasi

Mengenal tingkatan respons visual berupa imajinasi yang didasarkan pada memori yang terkait dengan sensasi

Mengamati

Mengidentifikasi

Menghayati

Merasakan

Merespons

Membedakan

Mengadaptasi

Kesiapan

(Set)

Berkonsentrasi

Mempersiapkan fisik

Mengenali tools

Memilih jenis karakteristik keahlian proses dan produksi desain visual serta mengenali proses kerja

Mempersiapkan

Mengawali

Mengenali

Memfokuskan diri

Melaksanakan

Gerakan Terbimbing

(Guided Response)

Melakukan gerakan dan tindakan berdasarkan contoh

Melakukan tindakan produksi dengan mencontoh proses yang sudah ada, baik melalui literatur maupun mentor

Mengikuti secara seksama proses yang dicontohkan oleh pengajar Pembina.

Mencontoh

Mempraktikkan

Mengikuti

Menduplikasi

Mengerjakan

Mencoba

Mechanism Berpegang pada pola aturan pengerjaan

Mempertahankan keterampilan yang terbentuk

Berproduksi sesuai pola dan mekanisme kerja, baik secara personal maupun pola kerja tim

Mengikuti dengan baik cara kerja, batasan media, dan waktu yang diberikan

Menyesuaikan

Mengoperasikan

Melaksanakan

Mengatur

Menyusun

Complex Overt Response

Gerakan merespons secara kompleks yang melibatkan keterampilan secara lancar dan luwes

Mampu melakukan pola kerja dalam produksi perancangan secara lancar, responsif, dan membentuk pembiasaan dan keterampilan di bidang tersebut

Membiasakan

Menyesuaikan

Melaksanakan

Mengatur

Merespons

Mangaktualisasikan

Meningkatkan

Page 64: Ultimart Vol v No1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MohAMMAD RIzAlDI 61

Penyesuaian

(Adaptation)

Menyesuaikan diri terhadap lingkup kerja

Pembiasaan mental dan fisik kerja

Berani melakukan variasi

Terbiasa pada proses produksi, timing, tools, lingkungan kerja, dan rekan kerja serta mampu membuat variasi terhadap teknik dan efisiensi proses produksi

Mengadaptasi

Mengubah

Mengatur

Memvariasikan

Menyesuaikan

Menyusun

Kreativitas

(Creativity)

Membuat inisiatif baru

Merancang sesuatu yang baru

Membuat inovasi dan perkembangan terhadap bentuk dan proses sebelumnya

Melakukan inovasi baru terhadap proses perancangan atau produksi

Mengubah pola pikir dan konsep untuk menghasilkan bentuk desain yang baru

Mengembangkan proses yang sama terhadap ide atau aplikasi pada jenis desain yang baru

Merancang

Mengombinasikan

Menciptakan

Mendesain

Mengadaptasi

Mengatur

Mengubah

Mengoptimalkan

Menginovasi

Penjabaran ketiga ranah atau domain tak-sonomi edukasi dalam desain visual tersebut mengilustrasikan kondisi ideal untuk proses edukasi desain visual. Korelasi dalam pencapa-ian penilaian yang ideal dalam sebuah karya de-sain hendaknya mempertimbangkan pencapaian ketiga ranah tersebut dalam masing-masing mata

kuliah di setiap domain. Tiap tingkatan meng-hasilkan nilai utama hingga mencapai tujuan akhir pembentukan nilai edukasi yang terdapat di bagian bawah tabel, yaitu menghasilkan indi-vidu yang mampu mengevaluasi, memiliki nilai karakteristik, dan berdaya kreativitas tinggi.

Tabel 4

Tujuan Akhir Edukasi Desain Visual

Domain Level Taksonomi Deskripsi Penerapan

dalam Desain Visual

Kata Kerja yang Dipergunakan

KognitifEvaluasi

(Evaluation)

Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan parameter, baik internal maupun eksternal

Memahami proses perancangan dan teori teknis yang melatari

Mempertimbangkan kemungkinan lain

Dapat merancang kembali proses perancangan dan produksi lanjutan dengan kualitas hasil, proses, dan kinerja yang lebih baik

Menyimpulkan

Mengargumentasi

Meranking

Menggradasi

Merevisi

Mempertahankan

Mempertimbangkan

Mengomparasi

Afeksi

Pembentukan Karakter

(Characteriza

tion)

Pelibatan diri

Menunjukkan kesadaran citra diri

Internalisasi nilai menjadi pola hidup

Menemukan karakteristik nilai individu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja

Mengerjakan proses desain sesuai dengan tenggat waktu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja

Menunjukkan

Melakukan

Membuktikan

Memperlihatkan

Mempraktikkan

Mengonsistensikan

Page 65: Ultimart Vol v No1

62 Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Vol V, 2012

PsikomotorikKreativitas

(Creativity)

Membuat inisiatif baru

Merancang sesuatu yang baru

Membuat inovasi dan perkembangan terhadap bentuk dan proses sebelumnya

Melakukan inovasi baru terhadap proses perancangan atau produksi

Mengubah pola pikir dan konsep untuk menghasilkan bentuk desain yang baru

Mengembangkan proses yang sama terhadap ide atau aplikasi pada jenis desain yang baru

Merancang

Mengombinasikan

Menciptakan

Mendesain

Mengadaptasi

Mengatur

Mengubah

Mengoptimalkan

Menginovasi

Kreativitas sebagai Kunci Utama De-sain Visual

Orang kreatif itu lebih penting ketimbang in­dustri kreatif. Sebab, untuk terjun ke industri kreatif, dibutuhkan kreativitas yang tinggi.” (hudaya, 2010)

Kreativitas dalam tabel ranah taksonomi edukasi di atas berada pada domain psikomotor. Penerapan dan pencapaiannya melalui akumu-lasi rangkaian tindakan yang menghasilkan wa-wasan pengetahuan dan memori yang berasal dari rangsangan atau stimuli melalui beragam indera yang disebut pengalaman. Sesuai dengan domainnya, kreativitas dapat dicapai melalui aktivitas fisik atau doing, sederhananya dicapai melalui learning by doing.

Nilai kreativitas dalam wujud visual melalui hasil diskusi dan wawancara dengan Muham-mad Ihsan (Jurusan Desain Produk Industri, FSRD, Institut Teknologi Bandung, September 2011) pengajar bahasa rupa dari desain produk ITB, dapat dicirikan dari beberapa faktor yang mempengaruhi sebagai berikut. Urutan teratas menjadi faktor terpenting.

1. Kontekstual, kreativitas yang memiliki nilai adalah yang dikembangkan sesuai dengan konteks dan lingkupnya.

2. Bermain dengan batasan, bercirikan proses kreasi yang bermain pada batas konteks.

3. Original, dalam pengertian yang berbeda dari umum dan kebanyakan, lebih pada

pengertian ’nakal’, yaitu kemampuan me-munculkan nilai-nilai baru yang mengarah ke proses inovatif.

4. Wawasan, yang bercirikan nilai kognisi, yaitu pengetahuan yang didasarkan oleh la-tar sosial budaya, pengalaman, kemampuan pengamatan, dan pengetahuan literatur.

5. Keberanian, berupa aksi motorik untuk mengeksekusi ide dalam media desain.

Sebagai salah satu sisi dari pencapaian nilai ideal, nilai kreativitas yang dijabarkan melalui kelima hal di atas dapat digolongkan sebagai un-sur goodness dari visual design (estetik, unik, be-rani, original). Di sisi lain, terdapat nilai kognitif yang diwakilkan oleh level evaluasi, yaitu pema-haman kita terhadap kebenaran, baik secara wa-wasan, teori, maupun teknik yang dapat disebut sebagai correctness. Idealnya, sebagai landasan kognitif maka unsur correctness harus dicapai terlebih dahulu sebagai fondasi untuk mencapai goodness. Contohnya untuk mendapatkan hasil foto yang bagus maka sebaiknya terlebih dahulu dicapai kemampuan untuk menghasilkan foto yang benar.

Bagan 1 Ciri Orang Kreatif: Bermain dengan Batasan

Page 66: Ultimart Vol v No1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MohAMMAD RIzAlDI 63

Ketika sebuah desain sudah memiliki kara-kteristik benar dan kreatif maka yang tersisa adalah unsur afeksi, yaitu pembentukan karak-teristik yang merupakan ciri khas atau ekspresi diri dari sebuah visual desain. hal inilah yang akan membuat desain yang dihasilkan lebih ’berbicara’ pada audience atau yang mampu me-munculkan perasaan emosi dan citra diri dari desainer. Pada tingkat inilah, visual desain yang dihasilkan seakan memiliki ’jiwa’. Pada ranah afeksi tersebut desainer melakukan proses per-wujudan internalisasi dari nilai-nilai karakteris-tik dan pencapaian pribadi yang tercermin da-lam hasil desain. Citra diri ini dapat tercermin

dari proses perancangan, konten, maupun hasil akhir desain. level pembentukan karakter ini dapat disebut sebagai fitness, yaitu unsur opti-mal dari desain visual yang dapat diterjemahkan menjadi ’tidak berlebih’. Jadi, desain visual yang mampu mengakomodasi ketiga ranah taksono-mi edukasi dalam desain setidaknya memiliki ketiga karakteristik tersebut, yaitu benar, kreatif, dan optimal.

Ketiga unsur yang mengakomodasi tiga ra-nah taksonomi edukasi di atas kemudian dapat disederhanakan melalui tabel di bawah ini, yaitu ciri-ciri yang terlihat dalam karya desain visual:

Tabel 5Ciri-Ciri yang Terlihat pada Desain Visual

Unsur Visual Ciri yang Terlihat pada Hasil DesainTeknik

(Correctness)

Peran yang terlihat

dari aspek kognitif

1. Penguasaan materi dan teori desain (teori warna dan bentuk, estetika, semiotika) Praproduksi * pemahaman dan penggunaan wawasan terhadap konsep & konteks2. Penerapan prinsip dan elemen desain: Produksi * Komposisi* Kesatuan (harmoni dan keutuhan gambar)

* Irama

* Penekanan (point of interest)

* Keseimbangan (perbandingan jarak dan ukuran antar-objek)

* Proporsi (perbandingan gambar dan media gambar)

* Sudut pandang (angle dan perspektif )

* Kesan 3 dimensi (penguasaan cahaya dan bayangan)

* Warna dan bentuk

* Elemen penunjang (adanya faktor pembanding atau skala)3. Keluwesan penggunaan alat/tools4. Adaptasi dan pemaksimalan media gambar5. Kekokohan dan kerapian6. Teknik finishing dan post produksi

Ekspresi

(Fitness)

Peran yang terlihat

dari aspek afeksi

1. Gaya, style, dan karakteristik ciri khas desain yang mencirikan citra diri desainer.

2. Perwujudan elemen ekspresif di dalam visual berupa

ekspresi wajah, gesture, tarikan garis, suasana.

3. Cukup dan tidak berlebihan.

Kreativitas

(Goodness)

Peran yang terlihat

dari aspek motorik

1. Kontekstual (sesuai aturan, memiliki purpose, dan tujuan yang jelas)2. Bermain dengan batasan (pemaksimalan eksplorasi terhadap konteks) 3. Original (berbeda dengan kategori umumnya-inovatif )4. Wawasan (aplikasi kedalaman pengetahuan dalam proses perancangan)5. Keberanian (keberanian dalam proses eksekusi)

Page 67: Ultimart Vol v No1

64 Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Vol V, 2012

Relasi dan Keterkaitan Ketiga Unsur Visual Berbicara tentang kreativitas, tidak lepas dari pengaruh unsur teknik dan ekspresi yang walau-pun dapat diidentifikasi secara terpisah, porsi kekuatan dari masing-masing bagian akan sa ling mempengaruhi bagian yang lain. Dalam pro­sesnya, pemunculan ciri-ciri kreativitas dalam proses perancangan desain visual berlangsung secara serempak dengan proses belajar, memben-tuk memori, dan berimajinasi. Menurut Primadi (2000), hal itu disebut sebagai berpikir-integral, yaitu suatu kemampuan yang secara alamiah dimiliki setiap manusia.

lebih lanjut menurut Primadi (2000) dalam bukunya yang berjudul Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar, kreativitas merupakan salah satu dari tiga kemampuan utama yang dimiliki oleh se-tiap manusia, yaitu fisik, rasio, dan kreatif. Tiga kemampuan inilah yang terutama pada kemam-puan kreatif, membuat manusia berbeda dengan makhluk dan benda lainnya, baik yang berwujud biologis maupun artifisial. Tiga kemampuan ini memiliki kadar yang berbeda-beda perimbang-annya pada setiap manusia. Relasi dan hubung-an ketiga kemampuan utama tersebut dilukis-kan dalam bentuk limas yang disebut limas citra manusia.

ling berhubungan tersebut menggambarkan suatu proses kerja sama, misalnya kreativitas pada li-mas di atas merupakan kerja sama dari kemam-puan rasio dan imajinasi, serta merupakan kerja sama fisik dan perasaan.

Di puncak limas perwujudan citra manusia oleh Primadi (2000) tersebut terdapat intuisi (I) sebagai integrasi ketiga rusuk utama, lalu di ke-tiga ujung alas terdapat goodness (G) yang me-rupakan integrasi antara kreatif, imajinasi, dan perasaan. Lalu, correctness (C) yang merupakan integrasi rasio, gerak, dan imajinasi, dan fitness (F) yang merupakan integrasi dari fisik, gerak, dan perasaan. Goodness dalam unsur gambar dapat merupakan hasil output dari kreativitas, correctness dapat berarti benar secara teknik dan prinsip menggambar, serta fitness dapat berupa aktualisasi dan citra diri dari perasaan penggam-bar yang ekspresif.

Penggunaan tiga kriteria yang disebut good-ness, correctness, dan fitness yang tercermin da-lam nilai kreativitas, teknik, dan ekspresi yang didasarkan pada taksonomi edukasi Bloom pada Tabel 5 di atas, jika dibandingkan dengan yang terdapat pada ujung limas segitiga citra manusia tersebut memiliki benang merah yang dapat di-integrasikan. Teori limas citra manusia dan tak-sonomi edukasi Bloom akan dileburkan dengan unsur-unsur dalam visual desain untuk memper-oleh relasi dan keterkaitan antara ciri­ciri yang terlihat dalam visual dengan ranah edukasi dari taksonomi Bloom yang mencakup domain kog­nisi, afeksi, dan psikomotor. Hasil leburan terse-but dapat disebut limas taksonomi edukasi visu-al.

Gambar 2 Limas Citra Manusia

Sumber: Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar oleh Primadi Tabrani

(2000)

08881415742

Dalam limas tersebut dapat dilihat bahwa ketiga kemampuan utama manusia terletak pada rusuk utama, sedangkan pada alas terdiri dari gerak, perasaan, dan imajinasi. Garis yang sa­

Gambar 3 Persilangan Limas Citra Manusia dengan Ranah

Taksonomi Edukasi

Page 68: Ultimart Vol v No1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MohAMMAD RIzAlDI 65

Gambar di atas merupakan hasil metateori yang dimunculkan dalam artikel ini dari sebuah peleburan nilai-nilai taksonomi edukasi dalam konteks edukasi visual dengan tiga kemampuan manusia yang mengacu pada limas citra manu-sia sehingga menjadi bentukan baru yang dapat disebut limas taksonomi edukasi visual. Dalam limas tersebut terlihat bahwa imajinasi dilebur

menjadi domain psikomotor, perasaan dilebur menjadi domain afeksi, dan gerak dilebur men-jadi domain kognitif, sedangkan ketiga pilar kemampuan utama manusia, yaitu fisik, kre-atif, dan rasio masih tetap terepresentasi pada rusuk-rusuk yang berdiri pada limas. Peleburan tersebut dilakukan dengan pertimbangan dalam tabel berikut:

Tabel 6Proses Integrasi Nilai

Nilai Awal Proses Peleburan Integrasi

Imajinasi

Imajinasi adalah proses pengolahan image secara internal yang merupakan hasil integrasi antara persepsi yang diperoleh melalui pengalaman stimuli luar dengan memori di mana memori dan stimuli luar diperoleh melalui proses learning by doing yang mengasah keterampilan dengan melibatkan anggota badan yang masuk ke ranah psikomotorik. Imajinasi inilah yang mengawali munculnya ide-ide unik yang mengarah pada pembentukan proses kreativitas.

Psikomotorik

PerasaanPerasaan merupakan bagian dari domain afeksi, yaitu ranah yang berorientasi pada pelibatan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap yang membentuk nilai ekspresi dan orisinalitas pada sebuah karya.

Afeksi

Gerak

Gerak adalah awal didapatkannya pengetahuan karena pengalaman yang didapat dari setiap gerakan yang dilakukan merupakan dasar dari proses observasi dan pemahaman terhadap logika serta wawasan yang mengarah pada dasar ranah kognitif dengan melibatkan kemampuan memori.

Kognitif

Nilai awal tersebut dileburkan berdasar pada kemiripan karakteristik dan kedekatan fak-tor-faktor yang saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai relasi dan keterkaitan antarparam-eter berdasarkan integrasi dalam limas tersebut. Berdasarkan Tabel 5 mengenai ciri visual yang terlihat, idealnya dalam menilai sebuah desain visual, diawali melalui tahap analisis nilai cor­rectness, selanjutnya dilihat fitness dan goodness sebagai berikut.

Correctness : Value yang tercipta dari kerja sama antara kemampuan rasio manusia yang didukung oleh penguasaan ranah kognitif dan ditunjang oleh ranah psikomotorik.

Fitness : Value yang tercipta dari kerja sama antara kemampuan fisik manusia yang didukung oleh penguasaan

ranah kognitif dan ranah afeksi.Goodness : Value yang tercipta dari hasil kerja

sama antara kemampuan kreatif manusia yang didukung dengan penguasaan ranah psikomotorik dan ranah afeksi.

Intuisi : Intuisi yang baik dapat tercapai ketika ketiga rusuk kemampuan utama manusia yang berdiri mampu mencapai keseimbangan, dengan dilandasi oleh tiga ranah taksonomi edukasi visual yang tercapai dengan optimal.

Evaluasi Berdasarkan Relasi Antar-valueKeterkaitan dan relasi antara value yang muncul dalam bentuk limas taksonomi edukasi visual tersebut dapat digunakan sebagai alat evaluasi

Page 69: Ultimart Vol v No1

66 Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Vol V, 2012

mengenai kondisi akademik peserta didik yang mengacu pada tabel taksonomi edukasi visual.

Peta tingkatan dan korelasinya secara lebih jelas digambarkan sebagai berikut:

Bagan 1 Peta Relasi Antar-value

Tingkat satu merupakan awal evaluasi yang mengkaji correctness, yaitu benar atau tidaknya karya visual tersebut dari segi pengetahuan dan penerapan teknik. Jika cukup baik, tahap penilai an kedua adalah melihat tingkat fitness, yaitu pengkajian mengenai ekspresi dan ciri khas karya tersebut, berupa nilai-nilai individu yang tertanam pada karya. Pada tahap ini da-pat dilihat apakah karya tersebut benar-benar karya sendiri, dibuat oleh orang lain, ataukah merupakan aksi plagiarism dari karya orang lain. Jika sudah lolos tingkat kedua, berikutnya ada-lah mengkaji goodnees, yaitu sejauh mana tingkat kreativitas individu tersebut tecermin dalam karyanya.

Sebuah karya desain visual yang berkuali-tas adalah ketika goodness, correctness, dan fitness memiliki kesamaan tingkat nilai yang baik dan berimbang. Evaluasi bisa didasarkan pada value yang terlihat rendah dan elemen yang mempen-garuhinya. Contohnya pada karya yang terlihat memiliki correctness yang rendah maka ditin-jau pada unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu kemampuan rasio, value tersebut dapat dilihat pada garis relasinya dipengaruhi oleh kemampuan kognitif (teknik) dan kemampuan psikomotorik (kreativitas). Dengan mengacu pada Tabel 5, yaitu ciri yang terlihat pada visual yang dapat segera dikorelasikan pada Tabel 1-3

tentang taksonomi edukasi visual maka dapat dilacak kekurangannya sehingga evaluasi yang dihasilkan oleh pengajar pun akan sesuai de-ngan kebutuhan peserta didik tersebut.

Dengan aturan penelusuran tersebut maka pengajar dapat menghindarkan terjadinya eva-luasi yang meleset, yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Ketika masalahnya terdapat pada correctness maka tidak perlu digali lebih dalam di ranah afeksi karena selain tidak ada relasi secara langsung, ranah afeksi lebih menyentuh pada permasalahan goodness dan fitness, yaitu ranah yang berada pada tingkat 2 dan 3. Untuk ranah taksonomi yang sama namun terdapat pada tingkatan yang berbeda, kajian mengenai masing-masing ranah taksonomi tersebut dapat berbeda kedalaman dan topik pembahasannya. Misalnya, afeksi yang dibahas pada tingkat 2, topiknya dapat seputar nilai emosional yang ter-kandung dalam karya, seperti mimik atau peng-gunaan elemen-elemen yang mengandung nilai emosi. Pada tingkat 3, pembahasan afeksi dapat lebih diarahkan pada ciri khas atau munculnya personalitas individu yang mengarah pada ori-sinalitas dalam berkarya.

Evaluasi yang diuraikan di atas merupakan ranah pengukuran dan penilaian terhadap pa-rameter tertentu. Idealnya pada sebuah karya desain, selain diperlukan adanya pengukuran,

Page 70: Ultimart Vol v No1

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain MohAMMAD RIzAlDI 67

perlu pula dilakukan pengujian. Tahap penguji-an ini dapat dilakukan setelah tahap pengukuran selesai dan dievaluasi. Tahap pengujian terhadap karya visual dapat berupa pameran, presentasi, atau sidang di mana karya visual tersebut akan dirilis ke publik, dibandingkan, diujicobakan, dan dipertahankan sehingga mendapatkan pe-nilaian yang objektif melalui lebih dari satu sum-ber penilai.

Penutup

Penilaian sebuah karya desain dengan lingkup akademik sedapat mungkin melalui beberapa kriteria yang telah ditentukan porsinya kar-ena dengan adanya kriteria akademis maka pe-nelusuran dan evaluasi dapat lebih terarah dan mencapai sasaran. Proses tersebut dalam ling-kup desain visual akan terasa lebih rumit karena banyak faktor dalam desain visual yang terkait erat dengan seni. Ketika berbicara mengenai seni, faktor sensing akan lebih dominan terasa dan mengambil peranan dalam proses penilaian sehingga yang terjadi adalah bukan proses peng-ukuran, melainkan lebih pada penghakiman. Ketika hal tersebut terjadi, peranan subjektivitas berupa sensing yang didasarkan pada pengala-man dan individu pengajar akan mendominasi proses sehingga hasilnya pun akan susah di-evaluasi secara akademik. Pencarian tolak ukur dan kriteria untuk pengukuran pun seharusnya tidak menghapuskan subjektivitas karena kuali-tas sebuah kelas juga ditentukan oleh kualitas

kemampuan pengajar di mana individu peng-ajar yang berkualitas baik pada dasarnya memi-liki sensing dan kemampuan judgement karya yang juga baik. Kadar subjektivitas yang ideal dalam lingkup akademik adalah ketika subjek-tivitas itu terlebih dahulu dipilah dan disalurkan menurut kriteria pengukuran yang sudah diru-muskan atau apabila subjektivitas tersebut har-us berdiri sendiri, kadarnya tidak melebihi value yang diperoleh melalui pengukuran dan penila-ian yang berbasiskan parameter di atas.

Daftar Pustaka

Rizaldi, Mohammad. 2011. Tesis: Kajian Potensi Pendidikan Formal Animasi di Sekolah Mene­ngah Kejuruan Kota Cimahi 2011. Bandung: ITB.

Tabrani, Primadi. 2000. Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar. Bandung: Penerbit ITB.

Munthe, Bernawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yog jakarta: PT Pustaka Insan Madani.

latuconsina, hudaya. 2010. Kreativitas Tanpa Batas: Menuju Ekonomi Kreatif Berbasis Insan Kreatif. Jakarta: TERAJU.

Eisner, Elliot W. 1985. The Art of Educational Evaluation: A Personal View. london: Falmer Press.

Page 71: Ultimart Vol v No1

Ultimart, April 2012, hal 68-79ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

SURIANTO RUSTANUniversitas Multimedia Nusantara

Jln. Boulevard, Gading SerpongTelp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

Diterima: 8 Januari 2012Disetujui: 6 Maret 2012

Abstract:Olimpiade yang pada awalnya diciptakan sebagai ajang persaudaraan negara-negara dunia mela-lui olahraga, sejalan dengan waktu telah berkembang menjadi luar biasa besar dengan segala cit-ra berkenaan dengan kemajuan dan kontroversi sepanjang perjalanan riwayatnya, bahkan secara konkret mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa di dunia.

Tidak terlepas dari peranannya sebagai tanda (sign) yang memiliki berbagai atribut, lambang Olimpiade juga memiliki makna dan konten yang melekat padanya. Penelitian ini ingin mengupas seberapa besar dan seberapa dalam makna yang melekat pada lambang Olimpiade serta bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi, termasuk apa saja sumbangan konkret Olimpiade terhadap umat manusia.

Penelitian dilakukan melalui serangkaian pengumpulan data dari berbagai lintas disiplin, beru-pa catatan sejarah dan kumpulan berbagai kejadian kontroversial yang mewarnai Olimpiade.

Kata kunci: olimpiade, lambang, makna.

A. Pendahuluan1. Latar BelakangOlimpiade yang dikenal saat ini berasal dari tra-disi Yunani kuno berupa pertandingan olahraga yang diselenggarakan empat tahun sekali di setiap musim panas. Olimpiade kuno pertama kali diselenggarakan pada tahun 776 sebelum Masehi. Lalu pada tahun 393, Kaisar Romawi Theodosius I melarang diadakannya Olimpiade, dan sejak saat itu kejayaan Olimpiade telah dilu-pakan orang.

Baron Pierre de Coubertin adalah seorang pemikir dari Prancis. Ia mengangkat kembali semangat Olimpiade kuno di zaman modern untuk menggaungkan persaudaraan dan perda-

maian di antara bangsa-bangsa di dunia, seperti yang pernah dikatakannya:

”The most important thing in the Olympic Games is not winning but taking part.... The essential thing in life is not conquering but fighting well.”1

Sebagai pemrakarsa Olimpiade modern, Baron Pierre de Coubertin diangkat menjadi Ba-pak Olimpiade modern. Ia juga yang merancang lambang Olimpiade yang digunakan hingga kini. Lambang tersebut sangat sederhana, yaitu

1 Barney, Robert, Olympic Revue (November 1992), 72-73.

Page 72: Ultimart Vol v No1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANto RUStAN 69

berupa lima cincin berukuran sama yang saling bertautan satu sama lain.

Mengetahui riwayat olimpiade modern dan daftar panjang prestasi maupun kontroversi di dalamnya, menjadi menarik bahwa dari lam-bang yang bentuknya sangat sederhana itu kini terkandung makna yang luar biasa kaya.

2. PermasalahanPertama, apa sajakah aspek formalistik dari lam-bang Olimpiade sehingga dapat dikatakan se-bagai lambang yang sederhana dan tidak kom-pleks? Kedua, apa yang mendasari pemikiran sang perancang lambang tersebut sehingga membuat bentuk yang demikian? Ketiga, ba-gaimana proses pengayaan makna dari lambang Olimpiade? Keempat, seberapa besar dan lu-asnya pengaruh olimpiade terhadap umat ma-nusia di dunia? Kelima, bagaimana kini kontras yang tercipta antara kebesaran nilai Olimpiade dan kesederhanaan lambang yang mewakili-nya?

3. Tujuan dan ManfaatTujuan penulisan ini secara aspek teoretis ada-lah membuktikan bahwa dari sebuah bentuk lambang yang secara formalistik sangat seder-hana, sejalan dengan waktu akan mengalami pengayaan makna dan mempengaruhi segala bidang keilmuan.

Sementara secara aspek praktis, penelitian ini dapat digunakan untuk menjadi bahan ajar pada disiplin desain komunikasi visual, brand-ing, maupun ilmu komunikasi, dan ilmu sosial, tentang terbentuknya citra yang luar biasa besar dari sebuah entitas yang sangat sederhana.

B. Landasan Teori

1. Teori IkonologiMelalui pendekatan ikonologi dari teori Erwin Panofsky, kita dapat melakukan kajian yang mendalam atas kontinuitas dan perubahan yang terjadi atas sebuah fenomena seni. Menurut Er-

win Panofsky, terdapat tiga strata pendekatan yang perlu dilakukan2, pertama-tama adalah tingkat deskripsi pra-ikonografis yang men-dasarkan pada kajian pseudo-formalistik. Ting-kat kajian berikutnya adalah melakukan analisis ikonografis atas makna sekunder yang men-cakup berbagai interpretasi imaji, cerita, serta kiasan. Tingkat kajian ketiga adalah melakukan interpretasi ikonologis atas makna intrinsik atau kandungan nilai-nilai lambangik yang terdapat pada suatu fenomena seni.

2. Teori SemiotikSemiotik Charles Sanders Peirce (1839-1914) dengan sistem kategorinya cocok digunakan da-lam penelitian yang melibatkan artefak visual ini. Menurut Peirce, tanda berpartisipasi dalam tiga macam kategori: representamen, objek, dan interpretan.

Kemudian, Peirce membagi lagi menjadi: icon, index, symbol. Icon adalah imitasi atau tiruan yang serupa dengan objek sesungguhnya. Sym-bol adalah sesuatu yang mewakili objek sesung-guhnya, bersifat arbitrari dan konvensional. In-dex secara langsung berhubungan dengan objek sesungguhnya melalui satu atau beberapa cara, atau merupakan bagian darinya.

2 Panofsky, Erwin, Meaning in The Visual Arts (New York: Doubleday Anchor Books, 1955), 40.

Gambar 1 Trichotomy tanda Charles Sanders Peirce(Sumber: Noth, Winfried, Handbook of Semiotics

(Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 45.

Page 73: Ultimart Vol v No1

70 Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna VoL V, 2012

William Morris (1901-1979)-melalui pen-dekat an yang berbeda- mengajukan tiga jenis dimensi semiosis, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik adalah hubungan antara satu representamen dengan representamen lain-nya. Semantik adalah hubungan antara repre-sentamen dengan objek, sedangkan pragmatik adalah hubungan antara representamen dengan interpretan.

Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengem-bangkan pemikirannya mengenai teori-teori umum tentang bahasa dan sistem tanda, beru-pa bilateral/ dyadic: signifier dan signified, atau penan da dan petanda. Melalui pendekatan se-miotiknya dari sudut pandang linguistik ini, kelak lahirlah strukturalisme.

Mengaitkan dengan penelitian tentang lam-bang Olimpiade sebagai tanda maka teori-teori semiotik dianggap cocok digunakan untuk memilah dan mengungkap artefak visual ini.

C. Metode Penelitian

1. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dan pencarian sumber seluruhnya di-lakukan di Jakarta, baik secara online (melalui internet, ebook, artikel, dan sebagainya) mau-pun offline (buku-buku dari perpustakaan), se-jak tanggal 15 Desember 2011 sampai dengan tanggal 18 Januari 2012.

2. Objek PenelitianObjek penelitian yang diteliti adalah lam-bang Olimpiade, Olimpiade itu sendiri, dan masyarakat.

3. Jenis PenelitianPada penelitian ini digunakan metode kualitatif yang menggunakan pendekatan multidisiplin, bertolak dari data di lapangan, kemudian me-manfaatkan teori yang ada sebagai bahan pen-jelas, dan berakhir dengan kesimpulan.

4. Metode Pengumpulan DataPengumpulan data pada penelitian ini menggu-nakan metode dokumentasi, yaitu dengan men-cari data berupa catatan, buku, majalah, artikel, dan sebagainya, baik online maupun offline.

D. Hasil PenelitianDeskripsi dan analisis atas unsur-unsur formalis-tik lambang Olimpiade adalah sebagai berikut.

Dalam lambang olimpiade tersebut tidak terdapat elemen titik, tetapi hanya garis-garis lengkung yang membentuk lima lingkaran sem-

Gambar 2 Tiga korelasi semiosis dan tiga dimensi semiotik menurut William Morris.

Gambar 3 Tanda linguistik Ferdinand de SaussureSumber: Noth, Winfried, Handbook of Semiotics

(Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 60.

Gambar 4 Model tanda dyadic Ferdinand de Saussure(Sumber: Noth, Winfried, Handbook of Semiotics

(Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 60.

Page 74: Ultimart Vol v No1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANto RUStAN 71

purna/cincin yang geometris dan saling bertaut-an, tiga di bagian atas, dan dua di bagian bawah. Apabila lambang berada dalam kondisi ukuran yang relatif besar terhadap pengamatnya, cin-cin lebih mengesankan bidang, tetapi dalam keadaan ukuran normal, ia lebih mengesankan garis.

Depth3 tercipta dengan adanya beberapa garis yang terputus akibat pertemuan cincin-cin-cin, yang mengesankan tumpang-tindih/ bertau-tan, yang satu di depan/di belakang yang lain.

Masing-masing cincin dalam lambang terse-but memiliki warna yang berbeda-beda, yaitu biru muda, hitam, merah, kuning, dan hijau. Warna yang digunakan adalah warna-warna komplementer4 yang tegas/pekat dengan ting-kat opacity 100%. Warna dasar putih membuat bentuk lebih legible dan warna-warna pada cin-cin terlihat lebih jelas dan terang. Tidak terdapat tekstur pada lambang tersebut.

Masing-masing cincin memiliki ukuran yang sama dan satu sama lain skalanya sama besar dengan proporsi yang seimbang. Kesan kesatuan sangat terasa dengan jarak antarcincin yang cukup dekat dan saling terkait, keanekaan juga sangat terasa dengan adanya kontras warna yang tinggi di masing-masing cincin walaupun ukurannya semua sama.

Menggunakan keseimbangan simetris de-ngan vertical axis di tengah5. Namun, karena po-

sisinya 3 cincin di atas dan 2 cincin di bawah, bentuk keseluruhannya berkesan tidak berdiri kokoh pada landasan, tetapi dinamis. Irama ter-bentuk dari kontras warna antara cincin yang satu dan yang lain. Selain itu, juga karena ben-tuk yang melingkar mengesankan gerakan, tidak diam/statis. Jadi, kesan dinamis terbangun oleh beberapa factor, yaitu bentuk cincin yang mel-ingkar, warna yang komplementer, posisi tiga cincin di atas dan dua cincin di bawah.

Emphasis6 tercapai dari warna-warna kon-tras cincin yang menarik perhatian mata di atas latar belakang putih. Lambang tersebut tidak mengandung pola/ornamen di dalamnya, tetapi masing-masing cincin itu membentuk pola rep-etition dengan jarak yang sama besar.

Pengkajian lambang Olimpiade ini didu-kung oleh dimensi-dimensi: Teologis, Spirituali-tas, Filsafat, Etika, Historis, Antropologi Budaya, Psikologis, Sosiologis, Politis, Ekonomis, Teknol-ogis, Biologis, Ekologis, Komunikasi, Estetika.

1. Dimensi Historis, Antropologi Bu-daya, Psikologis, EstetikaKegiatan pertandingan olahraga kuno yang

disebut dengan Olimpiade diperkirakan sudah ada di Yunani sejak tahun 776 S.M. Olimpiade menjadi festival penting empat tahunan yang tu-juannya adalah penghormatan bagi Zeus, dewa tertinggi orang-orang Yunani.

Penemuan situs pada sekitar tahun 1875 dan semangat Olimpiade masa lalu memberi-kan ide bagi Baron Pierre de Coubertin untuk melestarikannya dalam ajang perayaan olahraga dunia berupa Olimpiade modern. Coubertin juga mendesain lambang Olimpiade tersebut dan diaplikasikan dalam sebuah bendera kain berwarna putih.

Gambar 5 Lambang Olimpiade(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Olympic_symbol)

3 Landa, Robin, Graphics Design Solution (New York: thomson Delmar Learning, 3rd edition, 2005), 56.

4 Dameria, Anne, Color Basic-Panduan dasar warna untuk desainer dan industri grafika (Jakarta: Link & Match Graphic, 2007), 31.

5 Harris, Robert W. The Elements of Visual Style (Boston, Massachusetts: Houghton Mifflin Reference Books, 2007), 62.

6 Arntson, Amy E. Graphic Design Basics 4 (Whitewater: University of Wisconsin, Thomson Wadswoth, 2003), 77.

Page 75: Ultimart Vol v No1

72 Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna VoL V, 2012

Ketika diperkenalkan untuk pertama ka-linya lambang Olimpiade di depan umum tahun 1912, Baron Pierre de Coubertin menulis sebagai berikut:

‘’Lima cincin yang saling bertautan-berwar-na biru, kuning, hitam, hijau, dan merah-di-letakkan di tengah bidang putih. Kelima cin-cin itu melambangkan lima bagian dunia…‘’

Beranjak dari hasil penelitian seorang ahli sejarah berkebangsaan Amerika, Robert Bar-ney, dalam tulisannya pada sebuah artikel7

yang menjelaskan bahwa ide desain Baron Pierre de Coubertin menggunakan lambang lima cin-cin saling bertautan tersebut berasal dari lam-bang dua cincin seperti yang sering digunakan sebagai lambang pernikahan. Bentuk dua cincin kawin itu adalah lambang yang digunakan oleh USFSA (Union des Societes Francaises de Sports Athletiques), sebuah asosiasi hasil penggabung-an dua asosiasi olahraga di Prancis.

Lambang dua cincin pernikahan yang di-sebut dengan istilah Latin: Vesica Piscis (bentuk oval seperti ikan), atau bahasa Italia: Mandorla (buah almon), merupakan lambang mistik za-man dahulu.

Vesica Piscis8 adalah bentuk varian dari halo/nimbus yang mengelilingi tubuh seorang tokoh suci. Mandorla melambangkan aura kekuatan dan spiritualitas dari tokoh tersebut. Bentuk ini sering muncul pada icon di gereja-gereja, juga pada seni arsitektur Gothic.

Menurut Carl Gustav Jung9, bentuk cincin melambangkan kelestarian/sesuatu yang tak ter-putus, dan melambangkan manusia.

Mengenai kaitan antara bentuk lima cincin pada lambang Olimpiade dengan lima benua yang sering dikonotasikan orang, Pierre de Cou-bertin tidak pernah mengatakannya secara ter-surat, termasuk penggunaan lima warna yang sering dikatakan mewakili lima benua. Robert Knight Barney-direktur Centre for Olympic Studies-mengatakan bahwa lima warna itu di-gunakan Pierre de Coubertin untuk mewakili warna-warna yang ada pada bendera negara-negara peserta olimpiade I, II, III, IV, V.10

Lambang Olimpiade adalah lambang yang paling mudah dikenali orang. Suatu survei berkaitan dengan lambang dan tingkat kemu-dahan identifikasinya dilakukan di sembilan negara pada tahun 1995 oleh Sponsorship Re-search International, atau Sri11. Hasilnya, lam-bang Olimpiade paling banyak dikenal orang

7 Barney, Robert, Olympic Revue (November 1992), 72-73.8 Fontana, David, a Visual Key to Symbols and Their

Meanings (San Francisco: Chronicles Books, 1994), 130.

Gambar 6 Vesica Piscis(Sumber: http://vigilant citizen.com/vigilantreport/occult-

symbols-in-corporate-logos-pt-1)9 Jung, Carl Gustav, Marie-Luise von Franz, Man and His

Symbols (London: Aldus Books, Limited, 1964), 154.10 Barney, Robert Knight, This Great Symbol (Toronto:

Canada, 1984), 122. 11 Sponsorship Research International (http://www.teamsri.

com/research/1995).

Gambar 7 Yesus Kristus di dalam bentuk Vesica Piscis/Mandorla dalam sebuah manuskrip berwarna abad pertengahan.

(Sumber: http://vigilant citizen.com/vigilantreport/occult-symbols-in-corporate-logos-pt-1)

Page 76: Ultimart Vol v No1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANto RUStAN 73

(92%), kedua lambang lengkung berbentuk M pada logo McDonald’s (88%).

Berkaitan dengan kemudahan identifikasi, Irving Biederman, seorang peneliti di bidang neuroscience12-sebuah cabang ilmu Psikologi yang berhubungan dengan cognition system-memper kenalkan ’geons’. Geons adalah ben-tuk-bentuk paling dasar yang saling tersusun menciptakan bentuk lain yang lebih kompleks. Contohnya sebuah meja, terdiri dari geons beru-pa sebuah kotak pipih dan empat kaki berbentuk kotak panjang atau balok. Begitu pula yang ter-jadi dalam bidang dua dimensi, yang paling mu-dah dikenali otak adalah bentuk-bentuk dasar atau primitive shapes. Lambang Olimpiade yang terdiri dari bentuk-bentuk dasar inilah yang me-nyebabkan otak mudah mengenalinya seketika.

Dari sekian banyak logo di seluruh dunia, Per Mollerup-penulis Marks of Excellence13

-membaginya menjadi tiga jenis, yaitu 1. tulisan saja, gambar konkret/foto/ilustra-

si, 2. gambar abstrak/bentuk dasar, dan 3. tulisan dan gambar berbaur.

Menggabungkan tulisan Per Mollerup di atas dan hasil penelitian Irving Biederman mengenai Geons maka dapat dibuat sebuah diagram lam-bang yang merangkum semuanya. Diagram itu beranjak dari bentuk-bentuk dasar, lalu ke atas menyusun gambar, atau ke bawah menyusun tulisan. Hal ini ternyata berhubungan dengan teori Saussure mengenai dua macam bentuk vi-sual bahasa, yaitu Alphabetic dan Ideographic.

Keseluruhannya membentuk segitiga den-gan masing-masing sudut ditempati oleh bentuk abstrak, gambar konkret, dan tulisan. Di tengah-tengah segitiga merupakan area lambang yang

mengandung ketiga elemen tersebut. Apabila lambang Olimpiade diletakkan pada diagram tersebut, ia akan berada di area sudut paling kiri.

12 Biederman, Irving, Recognition-by-components: a theory of human image understanding in psychological review (California: University of Southern California, 1987), 126-127.

13 Mollerup, Per, Marks of Excellence (London: Phaidon Press, 1999), 110.

Gambar 8 Bentuk-bentuk dasar adalah penyusun lambang-lambang, baik yang berbentuk gambar maupun tulisan

(Sumber: Rustan, Surianto, Mendesain LOGO (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 23.

Gambar 9 Posisi lambang Olimpiade di dalam diagram terhadap lambang/logo lainnya. Diagram tersebut hanya bertujuan untuk memudahkan klasifikasi.

(Sumber: Rustan, Surianto, Mendesain LOGO (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 24-25.

Page 77: Ultimart Vol v No1

74 Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna VoL V, 2012

Walaupun didesain tahun 1912, bentuk lam-bang tersebut masih sangat aktual di zaman modern ini, tidak ketinggalan zaman karena berpijak pada kriteria ideal: unik, simpel, dan fleksibel14. Pada gambar 6, kita lihat apabila lam-bang Olimpiade disandingkan bersama emblem Olimpiade kota/negara penyelenggara maupun lambang lain, hasil keseluruhannya tetap terli-hat harmonis.

Di dalam mitologi ada banyak dewa dan para pahlawan yang dipercayai memiliki hidup aba-di. Cerita dalam mitologi kompleks dan saling berhubungan satu sama lain.

Orang-orang Yunani purba tidak memiliki satu pandangan mutlak, dan juga tidak memiliki naskah suci seperti kitab suci. Tiap kota memili-ki dewa sendiri dan dibangun kuil khusus untuk penyembahan dewa tersebut. Penyembahan ke-pada dewa juga dilakukan dalam bentuk festival atau persembahan kurban.

Menurut mitos, olympia, tempat diseleng-garakannya Olimpiade kuno, diciptakan oleh pahlawan Yunani paling hebat, yaitu Herakles (Herkules), anak dewa Zeus. Herakles dianggap yang menyelenggarakan Olimpiade pertama di Yunani sebagai penghormatan bagi Zeus.

3. Dimensi Politis, Sosiologis, EkonomisVisi awal Olimpiade untuk menjadi ajang

kebersamaan yang melupakan segala perbedaan status, agama, politik, ras16, sepertinya makin hari makin berubah, terlihat dari banyaknya per-istiwa kontroversi politik, sosial, ekonomi, dan lainnya di sepanjang perjalanan Olimpiade.

Sejak pertama kali diadakan, dalam sekejap Olimpiade menjadi event yang menarik perha-tian dunia internasional. Olimpiade menjadi kesempatan yang sangat ideal bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk tujuan ter-tentu.

Negara yang berhasil menjadi tuan rumah akan mendapat promosi besar-besaran ke selu-ruh dunia, demikian pula ideologi politik para pemimpinnya, produk-produk dagangannya, semuanya dapat berakibat langsung pada kon-disi sosial dan ekonomi rakyat banyak maupun kesejahteraan segelintir pihak.

Gambar 10 Atas: Lambang Olimpiade pada emblem Olimpiade Beijing 2008, Paralympics, dan London 2012. Bawah: Emblem Olimpiade biasanya mengandung ciri khas budaya kota/negara penyelenggara. Pada emblem Olimpiade Vancouver 2010, menggunakan inuksuk, penunjuk arah berupa tumpukan batu berbentuk manusia, yang biasa digunakan oleh masyarakat di daerah kutub utara.

(Sumber: http://www.olympic.org/olympic-games)

14 Adams, Sean, and Morioka, Noreen, and Stone, Terry, Logo Design Workbook: A Hands-on Guide to Creating Logos (Gloucester, Massachusetts: Rockport Publishers, 2004), 87-89.

15 Greek Mythology, Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

2. Dimensi Teologis, Filsafati, SpiritualitasSebelum kemunculan filsafat, masyarakat

Yunani purba menggunakan mitologi untuk men-jelaskan jagat raya dan kehidupan di dalamnya15.

16 De Coubertin, Pierre, Pierre de Coubertin 1863-1937: Olympism (Lausanne: International Olympic Committee, 2000), 627.

Page 78: Ultimart Vol v No1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANto RUStAN 75

Tiap kali Olimpiade diadakan, selalu diwar-nai oleh kontroversi politik17. Beberapa kejadian politik yang berkaitan dengan Olimpiade, antara lain sebagai berikut. 1. Hingga saat ini, sudah tiga kali Olimpiade

dibatalkan karena Perang Dunia, yaitu pada tahun 1916, 1940, dan 1944.

2. Tahun 1920 Austria, Bulgaria, Jerman, Hu-ngaria, dan Turki dilarang ikut serta dalam Olimpiade karena terlibat Perang Dunia I.

3. Peristiwa politik yang paling membekas adalah tahun 1936, saat olimpiade Berlin di-jadikan ajang propaganda Nazi oleh Adolf Hitler.

4. Di Olimpiade Munich 1972, teroris Palestina menyerbu perkampungan atlet, membunuh dua atlet Israel, dan menyandera sembilan orang lainnya.

5. Uganda tidak diizinkan ikut serta dalam Olimpiade Montreal tahun 1976 karena Jen-deral Idi Amin, pemimpin Uganda terbuk-ti melakukan kejahatan hak asasi dengan membunuh 100.000 orang.

6. Amerika Serikat memboikot Olimpiade Moskow tahun 1980 karena Uni Soviet me-nyerbu Afghanistan. Saat itu, Amerika Se-rikat sedang perang dingin dengan Uni So-viet.

7. Dari tahun 1970 sampai dengan 1980, olim-piade diwarnai oleh boikot.

8. Selama 25 tahun, Afrika Selatan dilarang ikut serta dalam Olimpiade karena politik apharteid. Baru diizinkan kembali pada ta-hun 1992 setelah Nelson Mandela dibebas-kan.

Olimpiade adalah sebuah event global yang paling penting saat ini di kalangan para olah-ragawan elite dunia. Ditonton oleh jutaan orang, hal ini mengundang ketertarikan para pihak sponsor, apalagi bila produk mereka mendapat

label ‘sponsor resmi’. Untuk itu, perusahaan-perusahaan raksasa bersedia membayar jutaan dolar untuk mendapatkan hak mencantumkan lambang Olimpiade pada berbagai produk dan reklame mereka.

Sponsorship memegang peranan penting terhadap kelangsungan hidup Olimpiade18.

Uang dari sponsor dipergunakan untuk ber-bagai keperluan, calon tuan rumah Olimpiade memerlukan biaya untuk ikut serta dalam bid-ding, pembangunan infrastruktur kota termasuk perkampungan atlet dan stadion olahraga, dan lain-lain.

Bagi negara peserta, diperlukan biaya untuk keperluan administrasi, biaya perjalanan, ako-modasi, komunikasi, serta perlengkapan para atlet dan para pendukungnya.

Berikut ini beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan dimensi ekonomi dan sosial.1. Pada Olimpiade Barcelona 1992, 44 perusa-

haan masuk dalam The Olympic Programme (TOP).

2. Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika juga banyak yang menjadi sponsor langgan-an Olimpiade, contohnya McDonald’s, Co-ca-Cola, Kodak, Sema Group, TIME/Sports Illustrated, Xerox, Visa.

3. Tahun 1984 ketika diadakan Olimpiade di Los Angeles, tahun sukses bagi Amerika Serikat dalam menyebarkan paham Amerikanisasi yang melibatkan 30 perusahaan sponsor19.

Euphoria komersialisme ini berhasil men-dorong negara-negara tuan rumah olimpi-ade berikutnya untuk melakukan hal yang sama.

4. Makin lama orang makin tidak peduli de-ngan olahraganya, tetapi malah semakin tenggelam dalam komersialisasi Olimpiade.

17 Gruneau, R., The Hamburger Olympics, in A. Tomlinson and G. Whannel, eds., Five-Ring Circus-Money, Power and Politics at the Olympic Games (London: Pluto Press, 1984), 237-238.

18 Barney, R.K., Wenn, S.R., Martyn, S.G., Selling the Five Rings: The International Olympic Committee and the Rise of Olympic Commercialism (Salt Lake City: The University of Utah Press, 2002), 145-146.

19 Tomlinson, A., Los Angeles 1984 and 1932: Commercial-izing the American Dream (Albany NY: State University of New York Press, 2006), 180-182.

Page 79: Ultimart Vol v No1

76 Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna VoL V, 2012

4. Dimensi Teknologis, Komunikasi, Biologis, EtikaSejak makin populernya media televisi di ta-

hun 1960-an, exposure Olimpiade makin meroket. Hingga kini, televisi, satelit, dan Olimpiade me-rupakan kesatuan. Stasiun TV berlomba-lomba mendapatkan hak rekam karena bila dijual lagi akan memberikan untung ratusan juta dolar.

Dengan munculnya teknologi komputer dan internet, pengiriman data informasi dan komu-nikasi semakin mudah. Peliput berita dapat de-ngan seketika menyiarkannya ke seluruh dunia dan siapa saja dapat mengetahui secara aktual, apakah itu status pemenang, medali, jadwal aca-ra, membeli tiket, menonton siaran langsung, dan lain-lain.

Teknologi selular, sebagai yang termutakhir saat ini, akan sangat memperluas gaung Olim-piade. Siapa saja, di mana saja, kapan saja dapat mengirim dan mengakses data yang diinginkan di ajang global tersebut.

Selain berpengaruh terhadap dimensi ko-munikasi dan publisitas Olimpiade dan negara-negara penyelenggaranya, pemanfaatan teknolo-gi juga digunakan dalam hal-hal lain20.1. Teknologi, bahan dan desain pakaian olah-

raga: baju, sepatu, helm, kacamata renang, sarung tinju.

2. Teknologi, bahan dan desain peralatan olah-raga: bola, pemukul, tongkat, sepeda.

3. Teknologi latihan dan peralatannya.4. Teknologi makanan dan diet.5. Teknologi pengecekan zat-zat terlarang da-

lam tubuh olahragawan: steroid, hormon.6. Teknologi pengukuran waktu dan jarak: stop-

watch dengan tingkat akurasi tinggi, kamera dan video dengan resolusi tinggi.

7. Teknologi bangunan: stadion, velodrome, ko-lam renang.

Kontroversi terus berkembang di seputar masalah pemanfaatan teknologi ini, terutama

yang berkaitan dengan obat-obatan penambah daya tahan tubuh, di antaranya berikut ini.1. Pada Olimpiade Seoul tahun 1988, Ben John-

son, pelari Kanada, memenangkan medali emas lomba lari 100 meter dan mencetak re-kor dunia baru. Namun tiga hari berikutnya, keputusan menang dicabut kembali, dan ia diskors selama 2 tahun karena terbukti ber-salah menggunakan steroid.

2. Pada Olimpiade Athena tahun 2004, 20 olah-ragawan didiskualifikasi karena penggu-naan obat-obatan terlarang.

Selain masalah teknologi, kontroversi lain adalah berkaitan dengan masalah penyuapan21.Skandal suap yang terkenal terjadi pada saat bid-ding untuk Olimpiade musim dingin tahun 2002, hasilnya, Salt Lake City menjadi tuan rumah ha-sil dari menyuap para pejabat IOC.

5. Dimensi EkologisSegala aspek kehidupan kota termasuk in-

frastruktur, masyarakat, dan lingkungannya akan berubah begitu ia menjadi penyelenggara Olimpiade. Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan lingkungan melengkapi kontroversi ajang bergengsi ini, antara lain 1. Isu lingkungan banyak berkembang di Olim-

piade Beijing 2008, beberapa di antaranya adalah polusi udara yang parah di kota Bei-jing dikhawatirkan mengganggu kesehatan para atlet peserta. Tingkat polusi udara di Beijing berada dua sampai tiga level di atas ambang batas aman menurut WHO.

2. Li-Ning adalah produsen pakaian olahraga dan perlengkapan olahraga, pada Olimpi-ade Beijing 2008, walaupun bukan sponsor resmi, mereka menyediakan pakaian bagi para atlet peserta Olimpiade. Pabrik pe-masok produk Li-Ning dituduh melakukan

20 Oxlade, Chris, Ballheimere, David, Eyewitness: Olympics (NY: DK Publishing, Inc., 2005), 36-37, 42-51.

21 Gruneau, R., The Hamburger Olympics, in A. Tomlinson and G. Whannel, eds., Five-Ring Circus-Money, Power and Politics at the Olympic Games (London: Pluto Press, 1984), 250-252.

Page 80: Ultimart Vol v No1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANto RUStAN 77

praktik pencemaran Sungai Yangtze dan Pearl di Cina.

3. Menggunakan alasan untuk bidding Olim-piade ke-22 tahun 2014, perusahaan-perusa-haan konstruksi di Sochi, Rusia membangun resort elite, lapangan golf, empat pembangkit listrik tenaga panas bumi, empat pembang-kit listrik tenaga air, dan sistem transportasi baru di area taman nasional Sochi yang akan menghabiskan biaya sebesar 1.9 miliar dolar Amerika.

Lambang Olimpiade sebagai sebuah tanda, di dalam area semiotik melalui teori Charles Sanders Peirce dapat dipilah menjadi tiga ele-men, yaitu representamen, objek, dan interpre-tan. Lambang Olimpiade berupa lima cincin itu sebagai representamen. Olimpiade beserta se-gala fakta yang melekat padanya adalah objek. Sementara itu, segala makna, gambaran mental, citra yang terbentuk di benak pengamat ter-hadap olimpiade adalah interpretan.

Dalam realisasinya, ketiga elemen tersebut bersama-sama membentuk citra Olimpiade se-bagai fenomena pertandingan global di berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam kancah politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa ada dua macam bahasa yang berbentuk visual, yaitu yang memvisualkan bunyi dan yang mem-visualkan ide/ gagasan. Yang memvisualkan bu-nyi disebut dengan alphabetic, dan yang memvi-sualkan ide disebut ideographic.22

Alphabetic disusun dari huruf-huruf yang merepresentasikan satuan ujaran /unit of speech. Ideographic disusun dari lambang-lambang gam-bar yang merepresentasikan makna tertentu.

Lambang Olimpiade ini bersifat ideographic karena disusun dari elemen-elemen visual beru-pa bentuk-bentuk dasar, bukan berupa satuan ujaran yang bersifat alphabetic. Kelebihan dari sifat ideographic ini adalah mampu mengun-

dang penafsiran dan interpretasi seluas-luasnya, tidak dibatasi oleh pengertian yang sempit hasil rangkaian kata. Oleh karena itu, kebesaran citra Olimpiade juga terbangun dari lambang visual yang tidak memiliki batasan interpretasi.

Mengacu dari ide Saussure mengenai signifi-er dan signified, lambang olimpiade yang berdiri sebagai ideographic memiliki dua elemen, yaitu l signifier adalah bentuk/rupa, dan l signified adalah makna yang dihasilkan oleh

bentuk/rupa tersebut.

Signifier dan signified sangat serupa dengan aspek formalistik yang terdapat pada dimensi pra-ikonografis.

22 Noth, Winfried, Handbook of Semiotics (Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 53.

Gambar 11 Identifier dan Identified MOBIL

Gambar 12 Identifier dan Identified Lambang OLIMPIADE

Apabila kita melihat urutan huruf-huruf M, O, B, I, L, atau mendengar bunyi MOBIL (ber-sifat memvisualkan bunyi/alphabetic) maka di benak kita akan tercipta suatu gambaran mental berupa objek yang bersangkutan berdasarkan pengalaman masing-masing individu.

Page 81: Ultimart Vol v No1

78 Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna VoL V, 2012

Pada lambang Olimpiade sebagai objek yang bersifat ideographic juga terjadi demikian. Segala segi formalistik dari bentuk keseluruhan lambang Olimpiade tersebut akan menciptakan gambaran mental yang bermacam-macam di benak pengamat.

Signifier dan signified masih berada di level pertama dalam order of signification-menurut Ro-land Barthes-yang sifatnya denotatif, definitif, literal, obvious, langsung, gamblang.

Olimpiade telah menjadi event milik dunia yang melegenda, dengan segala kehebatan maupun kekayaan kontroversi di dalamnya hingga saat ini sangat menginspirasi pemikiran umat manu-sia dan mempengaruhi dinamika kehidupan di berbagai dimensi.

Secara struktural, ada kemiripan antara teori ikonologis Erwin Panofsky mengenai segi for-malistik/pra-ikonografis, ikonografis, dan ikono-logis, dengan teori icon, index, symbol pada teori semiotik Charles Sanders Peirce.

Berkaitan dengan teori yang dilontarkan oleh Charles Sanders Peirce tentang icon, index, dan symbol maka jelas bahwa lambang Olimpia-de berupa simbol. Kondisi tersebut terbangun dengan sendirinya dari riwayat dan sejarah pan-jang yang dialaminya, serta luasnya pengaruh yang diakibatkannya maka secara konvensional segala citra kehebatan dan kontroversi Olimpia-de terekam dalam lambang tersebut, dan secara arbitrari melalui lambang Olimpiade, orang bisa langsung mengaitkan kekayaan makna yang melekat padanya.

E. KesimpulanDari peninjauan seluruh aspek pra-ikonografis, dapat dilihat bahwa lambang Olimpiade memili-ki bentuk formalistik yang sangat sederhana dan tidak kompleks karena terdiri dari bentuk-ben-tuk dasar/primitive shape. Sebuah lambang yang terdiri dari bentuk-bentuk dasar lebih fleksibel. Apabila disandingkan dengan lambang lain, ia akan tetap terlihat harmonis. Selain itu, juga fleksibel dalam pengertian interpretasi, diban-dingkan dengan lambang yang sudah mengarah ke bentuk-bentuk eksklusif tertentu.

Yang mendasari Baron Pierre de Couber-tin dalam mendesain lambang Olimpiade ada-lah konsep persatuan dan persaudaraan antara bangsa-bangsa sehingga ia mengambil ben-tuk yang berasal dari lambang dua cincin se-perti yang sering digunakan sebagai lambang pernikah an. Selain itu, Vesica Piscis atau Man-dorla yang melambangkan aura kekuatan dan spiritualitas.

Gambar 13 2nd level of identification MOBIL > connotative

Level kedua bersifat connotative, di sini signifier dan signified keduanya bersama-sama menjadi sebuah signifier yang memiliki signified baru. Level connotative menyangkut sisi sosial budaya dan segi pemaknaan secara personal.

Lambang Olimpiade telah mencapai level yang lebih dalam dari sekadar konotatif, yaitu mencapai level mythic23 karena dari peninjauan yang dilakukan dari segala bidang, terbukti

23 Barthes, Roland, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1972), 24.

Page 82: Ultimart Vol v No1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANto RUStAN 79

Proses pengayaan makna dalam lambang Olimpiade terbentuk dari panjangnya sejarah Olimpiade yang kini sudah berusia 116 tahun, yaitu terhitung sejak Olimpiade pertama yang diadakan pada tahun 1896 hingga sekarang. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan poli-tik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan se-gala aspek kehidupan manusia terekam secara unik dalam Olimpiade. Selain perjalanan sejarah yang panjang, juga luasnya jangkauan Olim-piade yang mencakup seluruh negara di dunia, menjadikan Olimpiade semakin sarat dan kaya makna.

Olimpiade sangat berpengaruh besar ter-hadap umat manusia di seluruh dunia, khusus-nya berdampak secara langsung terhadap masyarakat di negara penyelenggara. Pemba-ngunan dan penataan sektor ekonomi dan in-dustri, infrastruktur bangunan, transportasi, pariwisata, perbankan, teknologi informasi dan komunikasi, sosial dan budaya, serta sektor lain-nya berubah secara signifikan.

Antara Olimpiade dan lambang Olimpiade yang mewakilinya tercipta kontras yang sa ngat besar. Dibandingkan dengan makna murni lam-bang tersebut pada awal penciptaannya oleh Baron Pierre de Coubertin-untuk menjalin per-saudaraan di antara bangsa-bangsa-sejalan de-ngan waktu, kini telah berkembang, selain yang positif, lambang itu juga berkonotasi negatif.

Di dalam lambang yang sederhana itu ter-simpan nilai sejarah perjalanan umat manusia, beserta dokumentasi kerja keras, prestasi, penca-paian, termasuk juga dokumentasi keserakahan, arogansi, kebobrokan, kekejaman, antara ma-nusia satu dan manusia lainnya. Betapa sebuah lambang yang sederhana namun sarat makna dan nilai.

Daftar PustakaAdams, Sean, and Morioka, Noreen, and Stone,

terry. 2004. Logo Design Workbook: A Hands-on Guide to Creating Logos. Gloucester, Mas-sachusetts: Rockport Publishers.

Barney, R.K., Wenn, S.R., Martyn, S.G. 2002. Sell-

ing the Five Rings: The International Olympic Committee and the Rise of Olympic Commercial-ism. Salt Lake City: The University of Utah Press.

Barney, Robert Knight. November 1992. Olympic Revue. Toronto: Canada.

Barthes, Roland. 1972. Mythologies. New York: The Noonday Press.

Biederman, Irving. 1987. Recognition-by-compo-nents: a theory of human image understanding in psychological review. California: University of Southern California.

De Coubertin, Pierre. 2000. Olympism. Lausanne: International Olympic Committee.

Fontana, David. 1994. A Visual Key to Symbols and Their Meanings. San Francisco: Chronicles Books.

Gruneau, R. 1984. The Hamburger Olympics, in A. tomlinson and G. Whannel, eds., Five-Ring Circus-Money, Power and Politics at the Olym-pic Games. London: Pluto Press.

Hjelmslev, Louis. 1969. Prolegomena to a Theory of Language. Wisconsin: University of Wiscon-sin Press, reprint edition.

Jung, Carl Gustav, Marie-Luise von Franz. 1964. Man and His Symbols. London: Aldus Books, Limited.

Mollerup, Per. 1999. Marks of Excellence. London: Phaidon Press.

Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics, In-dianapolis: Indiana University Press.

Oxlade, Chris, Ballheimere, David. 2005. Eyewit-ness: Olympics. New York: DK Publishing, Inc.

Panofsky, Erwin. 1955. Meaning in The Visual Arts. New York: Doubleday Anchor Books.

Rustan, Surianto. 2009. Mendesain LOGO. Jakar-ta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in general linguistics. New York: Columbia University Press.

tomlinson, A. 2006. Los Angeles 1984 and 1932: Commercializing the American Dream. Albany NY: State University of New York Press.

Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: New York University Press.

Page 83: Ultimart Vol v No1

Ultimart, Vol. V, Nomor 1, April 2012 ISSN 1979-0716

1. Artikel berasal dari kata Latin ”articulus” yang berarti: bagian atau pasal (dalam suatu karya tulis). Dengan demikian, artikel untuk jurnal UltimaCom ialah bagian dari hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel konseptual) di bidang ilmu seni dan desain.

2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dan atau Inggris yang baik dan benar (SPOK), panjang artikel 7.000 – 8.000 kata (setara dengan 20 - 25 halaman kertas A-4 spasi ganda), dilengkapi abstrak dalam bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci dalam bahasa Inggris (maksimal 6 kata).

3. Tata cara pengutipan dianjurkan meng guna kan catatan perut yang memuat: nama belakang penulis, tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung (name – date).

Contoh Satu Penulis : (Miller, 2005:11) Artinya, kutipan tersebut mengacu pada karya Katherine Miller yang terbit pada 2005, halaman

11. Lebih dari tiga penulis : (Fidler, dkk., 2010:325)4. PenulisandaftarpustakamenggunakangayaHarvardCitationStyle:Namabelakang,nama

depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit. Contoh: Penulis (dibalik, kecuali Tahun terbitan Judul buku Tempat/kota penerbit Nama penerbit Cina, Korea, dan Batak)

Levine,StevenZ.2008.A Guide for the Arts Student. New York: I.B. Tauris & Co. Ltd

5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki pada hala-man pertama naskah dengan poin huruf lebih kecil dibandingkan badan naskah.

6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopydalamMicrofoftWorddenganformatRTFmenggunakanjenishurufTimesNewRoman,font 12.

7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul, me-muat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan penelitian), (6) Met-odologiPenelitian, (7)HasilPenelitian, (8)Pembahasan, (9)SimpulandanSaran, (10)DaftarPustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel).

8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam ba-hasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul(sesuaikebutuhan),(7)Penutup,(8)DaftarPustaka(hanyamemuatpustakayang dirujuk dalam artikel).

9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan kepada:RedaksiJurnalUltimArt

Fakultas Seni dan Desain, UniversitasMultimediaNusantaraJl.Boulevard,GadingSerpong

Telp. (021) 5422 0808; Fax. (021) 5422 0800Email: [email protected], [email protected], [email protected]

10. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan baik secara lisan maupun tu-lisan. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat honorarium yang pantas dan nomor bukti pemuatan sebanyak tiga eksemplar. Adapun artikel yang tidak dimuat, tidak dikembalikan, kec-uali atas permintaan penulis.

GAYA SELINGKUNG DAN SYARAT PEMUATAN ARTIKEL

JURNAL ULTIMART