ujian tengah semester ikhwan
DESCRIPTION
uts ikhwanTRANSCRIPT
Ujian Tengah Semester
Politik Multikulturalisme
Ikhwan Dawam – 071112091
1. A. Dalam artikel yang diberikan yang berjudul Debate on the Multiculturalism yang
dikarang oleh Dicko Abdourahamane, memaparkan empat model multikulturalisme dari empat
negara berbeda; Prancis, Amerika, Kanada dan Inggris. Perancis sebagai salah satu negara yang
jumlah pendatang dari luar Eropa yang menetap di Prancis termasuk cukup banyak, Perancis
mengeluarkan kebijakan asimilasi untuk menjaganya kebudayaan Perancis yang ditakutkan
luntur akibat pendatang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak. Kebijakan yang dibuat oleh
Perancis tentu saja berdasarkan rasa cinta yang tinggi terhadap Perancis itu sendiri. Seperti
dengan terbentuknya peraturan bahwasanya para pendatang haruslah menggunakan bahasa
Perancis sebagai bahasa sehari-hari. Para imigran yang mengadu nasib di Prancis harus tunduk
sepenuhnya terhadap nilai-nilai yang berlaku di negara tersebut dan ‘bergabung dalam satu
cetakan’ dengan melupakan nilai-nilai dari negara asalnya (Abdourahamane 2011:34). Tujuan
dari dibentuknya kebijakan ini adalah untuk sebagai tindakan yang dilakukan berupa
pengasingan, permajinalan dan sanksi diskriminatif apabila ada para pendatang yang tidak mau
mengikuti kebudayaan dan peraturan yang dibuat ataupun dimiliki oleh Perancis.
Sementara itu, Amerika Serikat sebelum Perang Dunia I mengatur multikulturalisme dalam
negaranya dengan istilah melting pot, yaitu berarti asimilasi sepenuhnya atas para warga negara
asing. . Para imigran harus tunduk dan berintegrasi sepenuhnya terhadap nilai-nilai di Amerika
walaupun nilai dari negara asli mereka harus dikorbankan. (Abdourahamane 2011:33). Amerika
sebagai negara adidaya jelas membuat sistem seperti ini guna persiapan dalam menghadapi
negara-negara yang menjadi ancaman bagi Amerika. Kini, multikulturalisme di Amerika Serikat
dikenal dengan sebutan salad bowl¸yang berarti berbagai budaya hidup berdampingan di satu
wilayah namun tidak bercampur satu sama lain (Abdourahamane 2011:34).
Disisi lain, Inggris dan Kanada merupakan negara dengan sistem penerimaan dalam perbedaan
budaya dalam bermasyarakat. Kedua negara sama-sama setuju terhadap perbedaan yang terjadi
di seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya kebijakan Bicultural yang membuat individu-
individu bebas mengekspresikan perbedaannya sebagai langkah awal dalam berbaurnya
masyarakat pendatang dengan masyarakat asli.
Di Inggris dan Kanada sistem politik multicultural hampir sama dalam sistem penerimaan dalam
perbedaan budaya dalam bermasyarakat. Kedua negara sama-sama setuju terhadap perbedaan
yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya kebijakan Bicultural yang membuat
individu-individu bebas mengekspresikan perbedaannya sebagai langkah awal dalam berbaurnya
masyarakat pendatang dengan masyarakat asli. Akan tetapi model Kanada bersifat lebih ketat
dari Inggris, karena Kanada mengatur limitasi atas komunitas kultural di area publik,
sebagaimana yang diatur dalam Canadian Charter of Rights and Liberties.
B. Dari keempat perbandingan model yang dituturkan oleh Abdourahmane di atas, terdapat
beberapa konsep yang dia tawarkan untuk menjelaskan mengapa fenomena tersebut terjadi,
Abdourahmane menawarkan beberapa konsep yaitu konsep asimilasi dan penghargaan terhadap
perbedaan serta inheritance vertikal dan horisontal. Hubungan diantara konsep-konsep tersebut
diletakkan pada dua sumbu tegak lurus. Sumbu vertikal melambangkan konsepnsi inheritance
vertikal. Dua ujung dari susmbu tersebut mengatur berbagai kultur dalam negara tersebut, mulai
dari budaya turunan nenek moyang hingga kultur minoritas di masyarakat. Inheritance horisontal
melihat individual di suatu masyarakat ‘ditarik’ di antara dua ujung sumbu, namun jarang sekali
benar-benar bertemu di ujung tersebut (Abdourahamane 2011:35).
C. Keberagaman masyarakat Indonesia memang sangat indah, dapat dibilang bahwa hal ini
adalah berkah bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding dengan musibah
sehingga kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi pekerjaan rumah daripada
berkah. Fenomena ini terlihat dari perkembangan sejarah Indonesia, seperti semakin kuatnya
etnosenterisme. Hal ini dapat dilihat dari munculnya konflik antaretnik di berbagai daerah di
Indonesia, antara lain disebabkan oleh perkembangan etnosentrisme ke arah etnonasiolisme yang
mendorong lahirnya gerakan sparatisme.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut, ternyata dominan
berubah menjadi hiperotomoni sehingga memunculkan proses politik kedaerahan Ini merupakan
fenomena yang menandakan adanya masalah serius dalam mengelola kepluralistikan di
Indonesia sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika semakin jauh dari cita-cita kesatuan
Indonesia. Begitu juga krisis yang melanda bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi dan skala
merupakan cobaan moralitas dan kemanusiaan yang tidak ringan. Krisis ini menurut
Kusumohamidjojo (2000:50) merupakan permasalahan serius bangsa, tetapi secara moralitas
memperoleh tanggapan yang kurang sungguh-sungguh dari elite masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk segera mentransformasikan
kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional menuju terwujudnya kesatuan Indoensia.
Kesadaran baru ini berlaku untuk seluruh komponen bangsa sehingga memiliki peran yang sama
dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia. Denghan demikian, semuanya memiliki hak yang
sama untuk hidup dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Sekali lagi,
kesadaran inilah yang harus ditransformasikan menjadi identitas nasional bangsa Indonesia, baik
sebagai komunitas politik maupun budaya. Persoalan ini menjadi semakin rumit ketika sejarah
bangsa telah menorehkan luka sosial-kultural, berupa ketimpangan sosial, ketidakadilan,
ketidakmerataan pembangunan, dan tirani minoritas di berbagai daerah di Indonesia.
2. A. Orde baru yang telah lama berkuasa di Indonesia akhirnya runtuh juga pada bulan Mei
tahun 1998. Hal ini tentu membawa rasa kemerdekaan yang besar bagi masyarakat Indonesia
yang pada saat orde baru tidak peduli terhadap keragaman budaya yang ada di Indonesia dan
hanya mengedepankan aspek kesatuan saja, sehingga sering sekali terjadi diskriminasi terhadap
kelompok minoritas/kelompok yang menolak seragam dalam kehidupan bermasyarakat
(Nurhayati 2013).
Pasca orde baru semakin terlihat bahwa kemajemukan dan pluralitas justru menyimpan potensi
konflik yang bersumber dan berlatar belakang pada adanya kesenjangan yang tajam antara
harapan dengan kenyataan (Lesperssi 2008). Isu-isu SARA menjadi pemicu efektif meledaknya
konflik, seperti yang terjadi di Ketapang pada tahun 1998, perseteruan antara warga Aceh dan
warga transmigrasi dari Jawa, dan kasus aliran Syiah di Madura. Selain itu, isu disintegrasi juga
marak terjadi di Indonesia, seperti yang terjadi di Timor Timur, Aceh dan Papua
B. Pada era Reformasi ininpolitik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat
diperbincangkan orang ketika Abdurahman Wahid atau Gus Dur menjabat Presiden RI. Beliau
dipandang sebagai tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme
yang ada di Indonesia. Gus Dur sering memprakarsai dialog antar agama. Untuk menghilangkan
sentiment anti cina, dalam pemerintahannya, keberadaan dan eksistensi komunitas Cina
ditengah–tengah warga pribumi diakui, dengan memberi mendapat kesempatan untuk berperan
serta. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di
Indonesia.
Gerakan reformasi yang muncul di akhir rezim Soeharto membawa peluang baru bagi
masyarakat untuk menengok kembali perlakuan – perlakuan sosial dan politik yang otoriter dan
bersifat membatasi politik rakyat. Muncul sistem multi partai menggantikan sistem tiga partai
dalam Pemilu yang dipercepat pada tahun 1999. Dalam sistem multi partai, diharapkan rakyat
mendapat kebebasan menyalurkan aspirasi politik mereka.
Dalam reformasi pangakuan adanya pluralitas, perbedaan cara hidup, baik secara agama,
budaya, politik, maupun jenis kelamin mulai didengungkan, baik melalui legislasi ( lahir UU.
Konflik Sosial, UU. Fakir Miskin dan Rativikasi Konvensi Internasional mengenai Penyandang
Dissabilitas) maupun dalam berbagai aktivitas kultural. Hal tersebut memberi ruang kepada
masing – masing masyarakat yang berbeda untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus
takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
C. Kebijakan-Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia sebenarnya sudah sangat tepat
untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di dalam negeri ini, akan tetapi masih banyak
kendala-kendala yang harus dihadapi agar kebijakan-kebijakan ini berjalan dengan mulus. Salah
satu kendala yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya komitmen pemerintah serta
ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan warga negaranya yang sangat
beragam. Namun hal ini sebenarnya wajar karena konsep multikulturalisme itu sendiri
merupakan suatu fenomena yang baru berkembang dalam dua puluh tahun terakhir (Kelly
2002 :1), Kendala yang lain adalah sangat dominannya kelompok mayoritas di Indonesia, seperti
contohnya suku Jawa dan para Muslim yang ‘menguasai’ pemerintahan pusat dan penindasan
yang terjadi pada kaum minoritas. Kedua contoh di atas merupakan beberapa kendala yang
dihadapi oleh Indonesia demi memperoleh politik multikulturalisme yang baik.
D. langkah strategis yang harus dilakukan Indonesia tentunya adalah menanamkan kesadaran
bahwa Indonesia ini tidak hanya terdiri dari satu atau dua budaya saja. Melainkan banyak budaya
lain di Indonesia baik budaya itu sudah terpelajari ataupun yang belum terpelajari. Karena
dengan adanya kesadaran ini maka masyarakat Indonesia akan sadar bahwa kesatuan itu penting,
akan tetapi tidak akan berarti jika artinya harus menghilangkan keberagaman yang ada, seperti
semboyan Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tapi satu”.
E. Fenomena yang terjadi di Aceh tentu saja menggetarkan bukan saja Indonesia akan tetapi
selutuh dunia. Agama dan etnis memunculkan geliat di berbagai belahan dunia sebagai sentimen
baru ikatan masyarakat. Tumbuh suburnya religious nationalism dan etno nationalism sebagai
identitas-identitas politik baru mengkonstruksi imaji tentang sebuah komunitas agama dan etnis
yang seolah-olah seragam. Identitas baru ini memberikan harapan kepada masyarakat akan
munculnya kekuatan lain di luar kapitalisme dan modernisme, yaitu agama.
Agama seringkali bersifat paradoks, pada satu sisi agama dijalani sebagai jalan penjamin menuju
keselamatan, cinta, dan perdamaian. Sementara itu, pada pihak lainnya agama justru menjadi
sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Hal ini adalah
alasan mengapa agama tidak cocok untuk dijadikan sebagai acuan untuk hidup bersama karena
atas nama agama orang bisa saling membunuh dan menghancurkan
Referensi :
Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. “Kebhinnekaan masyarakat di Indonesia: Suatu problematik filsafat kebudayaan” Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia
Nurhayati, Diah Iswatun. 2014. “Pluralisme-Multikulturalisme di Indonesia” P4TK Seni dan Budaya Yogyakarta (Maret), diakses pada 29 November 2014. http://www.pppgkes.com/images/phocadownload/Pluralisme-Multikulturalisme%20di%20Indonesia.pdf
Tim Lesperssi. 2008. “Konflik Domestik Pasca Soeharto” Lesperssi Domestic Politik Paper (Januari) diakses pada 29 November 2014.
http://lesperssi.org/en/publications/papers/11-domestic-politic/11-konflik-domestik-pasca-soeharto
Kelly, Paul. 2002. “Multiculturalism Reconsidered: 'Culture and Equality' and its Critics.” Cambdridge:Polity Press
Abdourahamane, Dicko.2o11. “Debate on Multiculturalism:Issues and Particularism”. Asian Social Science 7, no. 1 (Januari):32-36