uji mikrobiologi bahan pangan
DESCRIPTION
laporab praktikum biologi terapan menguji bahan makananTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM ke 4
MIKROBIOLOGI TERAPAN
Di susun oleh :
Nama : Wiwik Septiani
Nim : 342007055
Kelas/ Semester : A/ V
Jurusan : Pendidikan MIPA
Program studi : Pendidikan Biologi
Dosen pengasuh : Susi Dewiyeti,S.Si,M.Si
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2008/2009
A. PRAKTIKUM KE : 4 (empat)
B. JUDUL : Uji Mikrobiologi bahan pangan.
C. TUJUAN : 1. Untuk mengetahui higienitas bahan pangan.
2. Untuk mengetahui ada / tidak mikroba pada bahan
pangan.
D. DASAR TEORI :
Pencegahan Pencemaran Mikroba Patogen pada Daging Ayam
Pangan merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup, tidak terkecuali
manusia. Kondisi pangan yang sehat akan mempengaruhi mutu dari kualitas
pangan yang dikonsumsi. Ketahanan pangan sangat perlu untuk dikaji dan
diaplikasikan pada semua penghasil produk pangan, baik dari produk
peternakan, pertanian maupun pada perikanan. Oleh karena itu, upaya
penyediaan pangan baik dari segi kualitas maupun kuantitas terus diusahakan
oleh pemerintah, salah satunya dengan program ketahanan pangan.
Perdagangan global saat ini membawa dampak pada produk pangan,
terutama produk peternakan. Produk peternakan terutama daging ayam memiliki
porsi besar disamping telur dan susu sebagai sumber protein hewani
masyarakat. Dampak dari perdagangan global, yaitu adanya isu keamanan
pangan. Isu tersebut dapat menurunkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi
produk asal ternak. Wuryaningsih (2005) dan Rahmianna (2006) mengemukakan
bahwa isu keamanan pangan asal ternak yang meresahkan masyarakat yaitu
kasus antaks, keracunan susu, flu burung, dan cemaran mikroba pathogen pada
ternak.
Salah satu persayaratan dari kualitas daging ayam adalah bebas dari
mikroba patogen. Terdapat banyak kasus penyakit yang disebabkan akibat
cemaran mikroba patogen pada daging ayam. Baumler at al. (2000) menyatakan
bahwa Terdapat penyakit yang disebabkan oleh Salmonella Enteritidis yang
ditularkan melalui daging ayam, telur dan produk olahan dari ayam. Lebih lanjut
Raharjo (1999) mengemukakan bahwa Salmonella dapat menginfeksi manusia
dengan dikaitkan dengan karkas ayam mentah.
Titik dan Rahayu (2007) melaporkan beberapa hasil penelitian yang
menyimpulkan bahwa ketidakamanan daging unggas dan produk olahannya di
Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tingkat pengetahuan peternak,
kebersihan kandang, serta sanitasi air dan pakan.
Penyakit lain yang dapat ditimbulkan dari adanya cemaran mikroba
patogen, yaitu penyakit campylobacteriosis dengan gejala utama diare, demam,
muntah, nafsu makan menurun dan leukositosis. Penyakit ini disebabkan oleh
bakteri C. Jejuni. Menurut Poloengan et al. (2005), sekitar 20-100% daging ayam
yang dipasarkan di Jabotabek tercemar bakteri C. Jejuni.
Supaya daging ayam terhindar dari pencemaran bakteri patogen maka
diperlukan pencegahan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam
proses produksi dan pemasaran daging ayam. Dalam menghasilkan daging
ayam, produsen terutama peternak harus menerapkan tatalaksana pemeliharaan
yang baik sehingga menghasilkan ayam yang sehat dan bebas dari penyakit.
Disamping peternak, Rumah Pemotongan Ayam (RPA) merupakan pemegang
peranan penting dalam menentukan kualitas daging ayam yang bebas dari
kontaminasi mikroba patogen.
Daging ayam sampai ke konsumen melalui tahapan seperti pengecer atau
pengusaha jasa rumah makan yang menjual daging ayam ke konsumen. Setiap
individu memegang peranan penting dalam menjaga mutu keamanan pangan.
Keamanan pangan harus diperhatikan mulai dari budidaya sampai bahan
pangan tersebut dikonsumsi oleh masyarakat. Keamanan pangan merupakan
tanggung jawab bersama antara produsen, pengolah, distributor, konsumen, dan
pemerintah. Pemerintah berperan dalam penentu kebijakan yang berkaitan
dengan keamanan pangan serta sebagai pengawas pelaksanaan aturan yang
telah ditetapkan. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi adanya pencemaran
mikroba patogen terhadap daging ayam.
Penggunaan bakteriosin untuk mempertahankan kesegaran daging ayam
Pendahuluan
Terjaminnya mutu dan keamanan daging ayam memegang peranan
penting untuk keselamatan dan kesehatan konsumen. Mata rantai teknis
operasional dan pengelolaan berpengaruh terhadap mutu daging yang
dihasilkan. Kontaminan mikrobiologis merupakan salah satu penyebab
berkurangnya mutu daging ayam bahkan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi
(Media Indonesia, 2005).Kontaminasi mikroba patogen atau pembusuk
menyebabkan degradasi protein yaitu proses pemecahan protein menjadi
molekul-molekul sederhana seperti asam amino yang menyebabkan sel-sel
daging menjadi rusak/busuk.
Saat ini sedang marak adanya penggunaan bahan kimia formalin untuk
pengawet daging yang bertujuan untuk mempertahankan kesegaran daging
ayam yang sebenarnya hanya tampak secara fisik dari luar. Pada dasarnya
proses pembusukan dalam daging tetap berlangsung mengingat terjadinya
degradasi protein secara alamiah selama penyimpanan. Salah satu alternatif
untuk mempertahankan kesegaran daging ayam secara aman adalah dengan
penggunaan biopreservatif diantaranya bakteriosin yang dapat disintesis oleh
bakteri asam laktat (BAL) yang cukup banyak di Indonesia. Tersedianya
bakteriosin diharapkan menjadi solusi agar pengawet kimia yang berbahaya bagi
kesehatan konsumen tidak digunakan lagi. Selain itu dengan merebaknya kasus
flu burung penggunaan bakteriosin diharapkan dapat menghindari penularan
penyakit tersebut dari unggas hidup kepada manusia dalam wilayah tertentu.
Daging ayam dalam bentuk karkas yang dilindungi oleh bakteriosin dapat tetap
segar dalam waktu cukup panjang selama beredar di pasar (distribusi).
Bakteri penyebab kebusukan dan kerusakan daging
Keberadaan kontaminan mikroba Eschericia coli, Salmonella sp. dan
Listeria sp pada daging sangat dimungkinkan karena sifat fisikokimia daging
seperti water activity (aw), pH dan zat gizi mendukung pertumbuhan mikroba
tersebut (Hugas, 1998). Keberadaan mikroba patogen dan pembusuk tersebut
dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian.
Strain patogen E.coli dapat menimbulkan penyakit diare berdarah,
pembengkakan dan kelainan ginjal, demam, kelainan syaraf dan bahkan
kematian (Veclerc et al., 2002). Di Amerika, dalam setahun diperkirakan terdapat
110.220 kasus infeksi akibat E.coli (STEC), 158.840 kasus infeksi E.coli (ETEC)
dan diarrheogenic E. coli (Mead et al., dalam Scroeder et al., 2004). Escherichia
coli dapat dijumpai pada daging masak yang terkontaminasi dengan daging
mentah (Veclerc et al., 2002).
Salmonella sp. selain sebagai bakteri patogen juga pembusuk (Okolocha
and Ellerbroek, 2005) sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang
serius (Deumier and Collignan, 2003). Salah satu strain Salmonella yang
terdapat pada daging yaitu Salmonella typhimurnium (Budde et al., 2003).
Salmonella dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enteric (thypoid dan
parathypoid), septicemia (mikroorganisme berkembangbiak dalam aliran darah),
diare, nausea dan muntah. Daging ayam dan olahannya dilaporkan sebagai
media penyebaran penyakit salmonellosis.
Listeria monocytogenes merupakan bakteri patogen penyebab wabah
listeriosis (food borne disease) yang banyak terdapat pada daging dan produk
mentah serta mampu bertahan pada suhu rendah. Kasus infeksi
L.monocytogenes dilaporkan terdapat 228 kasus di Perancis tahun 1997 dan
2002, yaitu pasien sebanyak 63% bacteriemia dan 26% bermasalah dengan
sistem syaraf (Veclerc et al., 2002).
Peningkatkan mutu dan keamanan daging dapat ditempuh dengan
menurunkan jumlah mikroba patogen dan pembusuk secara biopreservasi
(pengawetan alami) menggunakan bakteriosin (Hugas, 1998; Sullivan et al.,
2002; Deegan et al., 2006). Biopreservasi menarik perhatian karena potensial
untuk diaplikasikan dalam pengawetan pangan (Ammor et al., 2006) yaitu
dengan mengontrol bakteri pembusuk dan patogen secara alami (Mataragas,
2003). Dengan biopreservasi maka waktu penyimpanan produk pangan dapat
diperpanjang dan keamanan pangan dapat meningkat (Stiles dalam Hugas,
1998). Pemakaian bakteriosin komersial seperti Nisin sebagai biopreservatif
sudah dilakukan di beberapa negara yang diaplikasikan pada beberapa jenis
makanan dengan dosis yang bervariasi, bahkan beberapa negara tidak
membatasi dosis.
Sifat-sifat bakteriosin
Bakteriosin memiliki sifat mudah didegradasi enzim proteolitik dan mampu
menghambat pertumbuhan mikroba yang secara filogenik dekat dengan bakteri
penghasil bakteriosin (Jack et al., 1995). Tagg et al. (1976) mengemukakan
beberapa kriteria bakteriosin yaitu berupa protein, bersifat bakterisidal, bakteri
target memiliki sifat pengikatan spesifik (specific binding site), gen pengkode
bakteriosin ada dalam plasmid, aktif terhadap bakteri yang dekat secara
filogenik. Syarat bakteriosin adalah sebagai protein dan tidak membunuh bakteri
penghasilnya. Bakteriosin yang dihasilkan oleh beberapa galur BAL diketahui
mempunyai aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen
makanan sehingga dapat meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan.
Bakteriosin biasanya tahan terhadap panas, dan aktivitasnya masih tetap
ada dalam lingkungan asam misalnya pada suhu 100˚C atau 121˚C selama 15
menit (Bhunia et al., 1988 dalam Ogunbawo, 2003), demikian pula suhu yang
sangat rendah dalam penyimpanan tidak mempengaruhi aktivitas bakteriosin.
Umumnya bakteriosin sensitif terhadap protease.
Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus memenuhi kriteria seperti
pengawet atau bahan tambahan makanan lainnya antara lain aman bagi
konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri Gram positif
dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata dalam sistem
makanan, dan ekonomis (Ray, 1996). Beberapa bakteriosin yang dihasilkan oleh
BAL telah diuji sebagai pengawet dalam berbagai produk makanan. Bakteriosin
tersebut diproduksi oleh Lactoccus, Lactobacillus dan Pediococcus yang berasal
dari berbagai bahan makanan. Nisin adalah bakteriosin polipeptida yang
diproduksi oleh Lactococcus lactis dan telah dikenal aman untuk mengontrol
bakteri patogen dan pembusuk makanan.
Sintesis bakteriosin dari bakteri asam laktat
Bakteriosin diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL), didefinisikan sebagai
protein yang aktif secara biologi atau kompleks protein (agregat protein, protein
lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa secara ribosomal, dan menunjukkan
aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamme, 1994). Bakteriosin efektif sebagai
antibakteri terhadap bakteri patogen dan pembusuk (Sullivan et al., 2002) dan
penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan. Bakteriosin dari BAL lebih
bersifat bakterisidal dibandingkan dengan bakteriolisis ataupun bakteriostatik
pada sel-sel yang sensitif (Gonzales et al., 1996). Beberapa diantaranya lebih
dominan bersifat bakteriostatik (Liao et al., dalam Rahayu, 2000).
Bakteriosin disintesis selama fase eksponensial pertumbuhan sel mengikuti
pola klasik sintesis protein. Sistem ini diatur oleh plasmid DNA ekstra
kromosomal dan dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama pH. Umumnya
bakteriosin disintesis melalui jalur ribosomal (Engelke et al. 1992), sedangkan
kelompok lantibiotik disintesis secara ribosomal sebagai prepeptida kemudian
mengalami modifikasi. Sekresi prepeptida dilakukan pada fase eksponensial dan
diproduksi secara maksimal pada fase stasioner. Prinsip regulasi sintesis
bakteriosin diatur oleh adanya gen pengkode produksi dan pengkode immunitas.
Beberapa BAL diketahui menghasilkan bakteriosin dengan spektrum
antibakteri yang luas melawan bakteri Gram positif sehingga potensial digunakan
sebagai biopreservatif makanan (Ray, 1996). Bakteriosin dari Lactobacillus
brevis dapat menghambat pertumbuhan bakteri E.coli, S.typhimurnium dan
L.monocytogenes (Ogunbanwo et al., 2003), demikian juga bakteriosin dari
Leuconostoc (Budde et al., 2003). Bakteriosin dari Lactobacillus sakei dan
Lactobacillus plantarum mampu menghambat pertumbuhan bakteri
L.monocytogenes yang terdapat pada daging masak (Vermeiren et al., 2004).
Todorov and Dicks (2005) melaporkan bahwa bakteriosin dari Lactobacillus
plantarum mampu menghambat pertumbuhan E. coli.
Sejumlah BAL yang ditumbuhkan pada media kompleks semi sintetis
seperti MRS (deMann Rogosa Sharpe) dapat menghasilkan populasi sel bakteri
yang tinggi dan bakteriosin yang relatif banyak (Olivera et al., 2004). Media
komersial mengandung protein tinggi seperti tripton, pepton, ekstrak daging, dan
ekstrak khamir yang akan tersisa karena tidak dikonsumsi oleh bakteri (Vazquez
et al., 2006). Harga media tersebut mahal sehingga tidak ekonomis untuk
produksi bakteriosin. Oleh karena itu perlu ada formula media produksi
bakteriosin yang lebih murah (Vazquez et al., 2006). Penggunaan beberapa
limbah industri pangan sebagai basis media pertumbuhan kultur tampaknya lebih
ekonomis, misalnya whey dari limbah pembuatan keju (Olivera et al., 2004), jus
jaitun (Leal et al., 1998), jerohan ikan (Vazquez et al., 2006).
Produksi bakteriosin umumnya dilakukan dalam kultur substrat cair.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi produksi bakteriosin dalam media tersebut.
Aktivitas produksi bakteriosin oleh BAL dipengaruhi oleh faktor pH, suhu, sumber
karbon, serta fase pertumbuhan. Jenis sumber karbon maupun sumber nitrogen
yang digunakan dalam medium produksi mempengaruhi laju pertumbuhan sel
BAL, selanjutnya berpengaruh terhadap metabolisme produksi bakteriosin, selain
itu tingkat salinitas medium produksi seperti kandungan garam dari media turut
mempengaruhi metabolisme produksi bakteriosin. Secara umum kondisi
optimum produksi bakteriosin selain dipengaruhi oleh fase pertumbuhan, pH
media, suhu inkubasi, jenis sumber karbon dan sumber nitrogen juga konsentrasi
NaCl (Kim, 1990).
Kinerja bakteriosin dalam aktivitas penghambatan
Target kerja bakteriosin dari bakteri asam laktat adalah membran
sitoplasma sel bakteri yang sensitif (Gonzales et al., 1996). De Vuyst dan
Vandam (1994) menyebutkan bahwa target utama bakteriosin adalah membran
sitoplasma sel bakteri karena reaksi awal bakteriosin adalah merusak
permeabilitas membran dan menghilangkan proton motive force (PMF) sehingga
menghambat produksi energi dan biosintesis protein atau asam nukleat. Aktivitas
penghambatan bakteriosin membutuhkan reseptor spesifik permukaan sel,
contohnya pada pediocin AcH. Selain itu mengakibatkan terjadinya lisis pada sel.
Hal ini adalah efek sekunder dari aktivitas pediocin AcH melalui depolimerisasi
lapis peptidoglikan, sehingga secara tidak langung dapat mengaktifkan sistem
autolisis sel (Gonzales et al., 1996). Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin
adalah sebagai berikut: (1) molekul bakteriosin kontak langsung dengan
membran sel, (2) proses kontak ini mampu mengganggu potensial membran
berupa destabilitas membran sitoplasma sehingga sel menjadi tidak kuat, dan (3)
ketidakstabilan membran mampu memberikan dampak pembentukan lubang
atau pori pada membran sel melalui proses gangguan terhadap PMF (Proton
Motive Force) (Gonzalez et al., 1996). Kebocoran yang terjadi akibat
pembentukan lubang pada membran sitoplasma ditunjukkan oleh adanya
aktivitas keluar masuknya molekul seluler. Kebocoran ini berdampak pada
penurunan gradien pH seluler. Pengaruh pembentukan lubang sitoplasma
merupakan dampak adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya
perubahan gradien potensial membran dan pelepasan melekul intraseluler
maupun masuknya substansi ekstraseluler (lingkungan). Efeknya menyebabkan
pertumbuhan sel terhambat dan menghasilkan proses kematian pada sel yang
sensitif terhadap bakteriosin.
Bakteriosin sebagai pengawet alami pada Daging
Daging adalah sebagai semua jaringan hewan dan produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi (Soeparno, 1998). Daging
digolongkan kedalam dua kelompok yaitu kelompok daging yang berasal dari
ternak besar (sapi, kerbau, kambing) dan umumnya merupakan daging merah,
serta kelompok daging dari ternak kecil (burung, ayam, itik) dan umumnya
adalah daging putih.
Daging mengandung zat gizi yang tinggi. Kandungan gizi yang tinggi
terutama protein dengan komposisi asam amino yang seimbang hal ini sangat
bermanfaat bagi tubuh manusia. Lemak merupakan komponen utama dalam
daging. Lemak berfungsi sebagai pembentuk energi dan komposisi lemak terdiri
atas gliserol dan asam lemak. Karbohidrat merupakan komponen yang
memegang peranan utama di dalam bahan-bahan organik. Kebanyakan
karbohidrat di dalam jaringan tubuh hewan terdiri atas polisakarida kompleks dan
beberapa diantaranya berkaitan dengan komponen protein serta sulit dipisahkan.
Glikogen merupakan karbohidrat yang utama di dalam daging.
Kandungan gizi yang tinggi ini menyebabkan daging mempunyai sifat
mudah rusak (perishable) karena mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak di
dalamnya. Menurut Gill (1986), daging digolongkan sebagai bahan pangan yang
mudah rusak karena merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan
mikroba. Hal ini disebabkan oleh karena kadar air daging termasuk tinggi, kaya
akan zat gizi yang mengandung nitrogen, karbohidrat yang dapat difermentasi,
kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba, dan memiliki pH yang baik untuk
pertumbuhan mikroba (5,3-6,5) (Soeparno, 1998).
Kualitas daging diantaranya dipengaruhi oleh faktor metode penyimpanan
dan preservasi. Daging yang disimpan pada suhu kamar dalam waktu tertentu
akan cepat rusak. Kerusakan daging yang berakibat terhadap penurunan mutu
daging segar antara lain disebabkan oleh kontaminasi mikroba. Secara internal
daging akan terkontaminasi bila tidak didinginkan setelah proses penyembelihan.
Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari daging ditentukan oleh tingkat
pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan diawali saat
penyembelihan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke konsumen.
Saat ini, kualitas mikrobiologi daging telah menjadi salah satu perhatian
masyarakat dalam hal keamanan pangan. Daging yang sehat seharusnya tidak
mengandung mikroba patogen, kalaupun mengandung mikroba non patogen
maka jumlahnya harus sedikit. Rozbeh et al. (1993) mengasumsikan bahwa jika
kandungan bakteri daging melebihi 106 bakteri/g maka daging tersebut dianggap
berkualitas rendah. Menurut Soeparno (1998) batas jumlah mikroba daging
selama dilayukan tidak boleh lebih dari 105 bakteri/cm2 daging.
Pertumbuhan mikroba berhubungan erat dengan kualitas daging segar.
Peningkatan jumlah mikroba pembusuk/patogen berpengaruh terhadap
keamanan dan daya tahan atau masa simpan serta kandungan awal mikroba
dalam daging segar (Liesner et al., 1995). Kandungan mikroba awal dalam
jumlah sedikit dalam bahan pangan dicapai melalui aplikasi sanitasi yang efektif
selama penanganan bahan pangan (Ray, 1992) serta penggunaan biopreservatif
yaitu zat untuk pengawetan secara biologi untuk mencegah mikroba
patogen/pembusuk. Bakteriosin yang dihasilkan oleh beberapa BAL telah diuji
untuk biopreservatif bahan pangan yang potensial (Hsieh and Glatz, 1996).
Bakteriosin ini digunakan sebagai bahan pengawet untuk bahan pangan yang
memerlukan daya tahan selama proses pengolahan, distribusi dan penyimpnana
dalam waktu yang cukup lama. Aplikasi bakteriosin sebagai biopreservatif pada
bahan pangan tidak merubah rasa dan tekstur tetapi dapat menghambat
pertumbuhan mikroba patogen (Gonzales et al., 1993). Oleh karena itu
bakteriosin menjadi perhatian khusus sebagai biopreservatif yang potensial dan
aman untuk kesehatan (Holzapfel et al., 1995).
Hasil penelitian peran bakteriosin sebagai biopreservatif pada daging dan
produk daging banyak dilaporkan. Bakteriosin dari Pediococcus acidilactic dapat
digunakan untuk mengontrol mikroba patogen pada produk daging fermentasi
(Foegeding et al., 1992). Menurut Budde et al. (2003), kultur Leuconostoc
carnosum 4010 dapat digunakan sebagai biopreservatif daging dan produk
olahannya karena menghasilkan bakteriosin yang serupa dengan leucocin A dan
B. Bakteriosin yang secara alamiah dihasilkan oleh BAL dalam suatu bahan
pangan tidak menghambat pertumbuhan BAL endogenous yang ada dalam
bahan pangan tersebut (Vermeiren et al., 2004).
Ammor et al. (2006a) menyatakan bahwa senyawa serupa bakteriosin
(bacteriocin-like) dari bakteri Vagococcus carniphilus dan Lactococcus garvieae
yang diisolasi dari sosis kering aktif menyerang L.monocytogenes dan
Staphylococcus aureus. Antimikrobial ini merupakan senyawa untuk mencegah
pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan yang mengkontaminasi peralatan
selama pengolahan produk daging. Masih menurut Ammor et al. (2006b),
beberapa BAL yang menghasilkan senyawa serupa bakteriosin dapat menekan
pertumbuhan mikroba yang tidak diharapkan sehingga merupakan barrier
terjadinya kontaminasi dari alat-alat dan lingkungan selama penanganan daging
segar.
Penggunaan biopreservatif berhubungan dengan makin maraknya
penggunaan pengawet kimia formalin pada daging segar akhir-akhir ini yang
membahayakan kesehatan konsumen. Pengawet tersebut digunakan untuk
mencegah terjadinya pembusukan oleh bakteri patogen pada bahan pangan
terutama yang berkadar air dan gizi tinggi seperti daging. Dengan merebaknya
kasus flu burung, maka penggunaan biopreservatif bakteriosin merupakan salah
satu alternatif yang aman dan baik dalam mempertahankan kesegaran dan
keamanan pangan daging ayam/unggas. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian telah menghasilkan bakteriosin cair yang
dapat digunakan sebagai biopreservatif pada daging ayam. Hasil aplikasi
bakteriosin cair pada daging ayam menunjukkan bahwa daging ayam dapat
dipertahankan kesegarannya selama 18 jam, padahal daging ayam secara
normal tanpa pengawet dapat bertahan segar selama 10 jam (bila ditangani
relatif bersih) dan 6 jam (bila ditangani tidak bersih).
E. PELAKSANAAN PRAKTIKUM :
1. Waktu dan Tempat :
Waktu : Hari Jum’at, tanggal 4 Desember 2009.. jam 13.00
Tempat : Laboratorium Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Alat Dan Bahan :
1. Alat : 2. Bahan:
Cawan petri Daging ayam
Termometer Agar NA (nutrien agar)
Gelas kimia Alcohol 70 %
Bunsen Spiritus
Pinset Cotton bud
Sprayer Aquadest
Autoklafe
Inkubator
Korek api
3. Cara Kerja :
a. Bahan pangan padat.
Cuci pinset dan gelas kimia, rendam pinset dengan alcohol 70% dalam
gelas kimia.
Jepit bahan pangan (makanan) dengan pinset, kemudian usapkan cotton
bud pada seluruh permukaan makanan.
Usapkan/oleskan cotton bud tersebut diatas media agar NA dengan
perlahan secara aseptis, panaskan pinggir mulut cawan petri diatas api
Bunsen.
Letakkan cawan petri terbalik dan bungkus dengan kertas.
Inkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam amati jumlah koloni, bentuk
koloni, warna, elevasi, permukaan, tepi dan diameter koloni.
b. Bahan pangan cair.
Cuci gelas kimia dengan bersih dan sterilisasi di atas api bunsen.
Masukkan bahan pangan cair dalam gelas kimia.
Masukkan cotton bud ke dalam bahan pangan cair tersebut.
Usapkan/oleskan cotton bud tersebut diatas media agar NA dengan
perlahan secara aseptis, panaskan pinggir mulut cawan petri diatas api
Bunsen.
Letakkan cawan petri terbalik dan bungkus dengan kertas.
Inkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam amati jumlah koloni, bentuk
koloni, warna, elevasi, permukaan, tepi dan diameter koloni.
F. HASIL PENGAMATAN:
1. Hasil Praktikum :
Gambar diatas adalah hasil foto pengamatan pertumbuhan mikroba pada
daging ayam.
2. Pembahasan :
Pada hasil pengamatan dari percobaan mikroorganisme dalam daging ayam,
hanya terdapa 2 jenis mikroba yaitu, jamur dan bakteri. Yang menurut saya
masih normal terdapat pada daging ayam dan tidak bersifat membahayakan.
Dan mikroba tersebut akan mati bila dipanaskan pada suhu maximum.
G. KESIMPULAN :
Dari hasil percobaan yang dilakukan berdasarkan hasil pengamatan
terhadap pertumbuhan mikroba pada daging ayam adalah:
Ternyata daging ayam yang di uji coba masih normal, artinya tidak
mengandung mikroorganisme yang bersifat pathogen bagi mahluk
hidup yang mengonsumsinya.
Pada daging ayam tersebut, ternyata ditemukan mikroba. Ini
menandakan daging tersebut tidak higienis, walaupun mikroba yang
tumbuh berasal dari lingkungan bukan dari daging ayam tersebut.
H. DAFTAR PUSTAKA :
Priyono. 2009. Pencegahan Pencemaran Mikroba Patogen pada Daging Ayam.
http://priyonoscience.blogspot.com/2009/08/pencegahan-pencemaran-
mikroba-patogen.html (diaksea tanggal 4 Desember 2009).
Usmiati, Sri. 2009. Penggunaan bakteriosin untuk mempertahankan kesegaran
daging ayam. http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/index.php/berita/65
(diakses tanggal 2 Desember 2009).
I. LAMPIRAN :
Potongan daging ayam 5 x 5
Gambar Alkohol 70 % yang digunakan untuk merendam pinset agar dalam
keadaan steril.
Gambar pinset untuk menjepit daging ayam, agar daging ayam tidak tercemar
mikroba yang berasal dari kulit, bila kita mnyentuh daging ayam tersebut.
Gmbar bunset untuk alat mensterilkan
Gambar cotton bud untuk mengusapkan/mengoleskan daging ayam dan olesan
pada cotton bud tadi di usapkan pada media agar NA