uii skripsi 05410364 pratomo febrianto 05410364 pratomo febrianto 2445411920 bab 1

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dan kelancaran sarana telekomunikasi akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan informasi ke seluruh pelosok tanah air, misalnya sektor industri, perdagangan, pariwisata dan pendidikan. Dalam lingkungan nasional, telekomunikasi merupakan sarana vital negara Indonesia untuk memperlancar kegiatan pemerintah, meningkatkan hubungan antar bangsa, mempelancar komunikasi warga antar daerah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam rangka wawasan nusantara. Untuk melaksanakan penyelenggaraan telekomunikasi diperlukan suatu badan pengelola, seperti yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia (PT. Telkom) yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa sambungan telekomunikasi. Salah satu layanan PT. Telkom yang mulai diluncurkan pada tahun 2006 adalah Telkom Speedy. Telkom Speedy merupakan layanan internet access end to end dari PT. Telkom dengan basis teknologi Asymetric Digital Subscriber Line (ADSL), yang dapat menyalurkan data dan suara secara simultan melalui satu saluran telepon biasa dengan kecepatan maksimal 384 kbps yang dijaminkan dari modem sampai BRAS (Broadband Remote Access Server) di sisi perangkat Telkom Speedy. Dengan slogan Broadband Internet Access for Home and Small Office, maka Telkom

Upload: danielle-martin

Post on 12-Nov-2015

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

law

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kemajuan dan kelancaran sarana telekomunikasi akan menunjang

    pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan informasi ke seluruh

    pelosok tanah air, misalnya sektor industri, perdagangan, pariwisata dan

    pendidikan. Dalam lingkungan nasional, telekomunikasi merupakan sarana

    vital negara Indonesia untuk memperlancar kegiatan pemerintah,

    meningkatkan hubungan antar bangsa, mempelancar komunikasi warga antar

    daerah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam rangka wawasan

    nusantara.

    Untuk melaksanakan penyelenggaraan telekomunikasi diperlukan

    suatu badan pengelola, seperti yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi

    Indonesia (PT. Telkom) yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa

    sambungan telekomunikasi. Salah satu layanan PT. Telkom yang mulai

    diluncurkan pada tahun 2006 adalah Telkom Speedy. Telkom Speedy

    merupakan layanan internet access end to end dari PT. Telkom dengan basis

    teknologi Asymetric Digital Subscriber Line (ADSL), yang dapat menyalurkan

    data dan suara secara simultan melalui satu saluran telepon biasa dengan

    kecepatan maksimal 384 kbps yang dijaminkan dari modem sampai BRAS

    (Broadband Remote Access Server) di sisi perangkat Telkom Speedy. Dengan

    slogan Broadband Internet Access for Home and Small Office, maka Telkom

  • 2

    Speedy menjadi solusi utama bagi akses broadband koneksi internet tidak

    hanya di kalangan bisnis namun meluas sampai ke rumah-rumah.

    Telkom Speedy mulai diluncurkan dengan cakupan layanan nasional

    secara bertahap mulai bulan Mei 2006. Pada awalnya beberapa daerah yang

    sudah dapat dilayani (first package) meliputi, Medan, Pekanbaru, Padang,

    Batam, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang,

    Yogyakarta, dan Solo. Cakupan layanan Telkom Speedy senantiasa terus

    diperluas ke daerah-daerah lainnya di tahun 2010 ini dan tahun-tahun

    berikutnya untuk memenuhi kebutuhan akses broadband yang telah

    meningkat pesat.

    Bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan jasa telekomunikasi,

    khususnya internet dengan provider Telkom Speedy yang diselenggarakan

    oleh PT. Telkom, terlebih dahulu harus mengadakan perjanjian dengan PT.

    Telkom. Perjanjian berlangganan internet Telkom Speedy pada PT. Telkom

    dapat dikonstruksikan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa. Perjanjian

    untuk melakukan jasa diatur dalam Pasal 1601 K.U.H.Perdata yang berbunyi:

    Selain persetujuan-persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang

    diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang

    diperjanjikan, dan apabila ketentuan-ketentuan yang syarat-syarat ini tidak

    ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan.

    Hukum perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang berarti

    bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

    seseorang untuk membuat perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan

  • 3

    undang-undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak

    ini ditafsirkan dari Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan,

    bahwa: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

    undang bagi mereka yang membuatnya.

    Dalam sebuah perjanjian, masing-masing pihak yaitu, pihak pengguna

    jasa atau pelanggan dan pihak penyelenggara jasa yaitu PT. Telkom

    mempunyai hak dan kewajiban. Pelaksanaan suatu perjanjian yang telah

    disepakati oleh kedua belah pihak tidak selalu sesuai dengan apa yang

    diharapkan. Sebagai pihak penyedia jasa, PT. Telkom sudah semestinya

    memperoleh hak untuk menerima harga pembayaran jasa telekomunikasi

    internet dari pelanggan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak pihak

    pelanggan yang sama sekali tidak melakukan pembayaran. Di lain pihak,

    pengguna jasa Telkom Speedy juga ada yang merasa dirugikan, seperti

    pengguna jasa Telkom Speedy tidak memakai melebihi batas pemakaian

    (kuota), namun jumlah tagihan pembayarannya malah meningkat. Hal ini

    dapat saja terjadi karena username dan password pemakaian diketahui oleh

    orang lain akibat kesalahan sendiri atau kelemahan pihak PT. Telkom dalam

    mengantisipasi pengambilan data oleh pihak-pihak yang tidak

    bertanggungjawab atau dikarenakan kesalahan instalasi, yaitu pada waktu

    instalasi pertama kali pemasangan Telkom Speedy, pihak pengguna jasa tidak

    diberikan penjelasan secara jelas.

    Seperti diketahui bahwa setting instalasi Telkom Speedy ada 2 (dua)

    macam, yaitu denga sistem dial-up dan otomatis. Dengan sistem dial-up ini,

  • 4

    maka kontrol pemakaian dapat diketahui pihak pengguna jasa, sedangkan

    sistem otomatis tidak dikontrol oleh pengguna jasa, akan tetapi koneksi

    internet otomatis berjalan apabila komputer dan modem dinyalakan. Sistem

    otomatis ini biasanya dipasang apabila digunakan lebih dari 2 (dua) komputer,

    karena instalasi pemasangan lebih mudah, dari pada menggunakan sistem

    network connection dengan kabel LAN.

    Pembengkakan atau penurunan kualitas pelayanan dapat terjadi,

    apabila kuota yang diberikan telah habis. Pengguna jasa Telkom Speedy

    biasanya menggunakan paket family, yaitu paket kuota sampai dengan 3 GB

    dengan kecepatan maksimal 384 dan kecepatan akan menurun apabila kuota

    yang disediakan telah habis. Permasalahan dapat terjadi apabila pengguna jasa

    Telkom Speedy tidak diberikan penjelasan oleh petugas instalasi tentang

    sistem koneksi yang digunakan Telkom Speedy. Seperti yang terjadi pada

    kasus berikut ini: Seorang pengguna jasa Telkom Speedy berlangganan paket

    family, karena menginginkan agar kedua koputernya dapat berkoneksi dengan

    internet, maka petugas instalasi menyambungkan kedua komputer milik

    pengguna jasa dengan Telkom Speedy. Petugas instalasi yang bersangkutan

    memasang dengan sisten otomatis, akan tetapi dalam proses instalasi ini, pihak

    pengguna jasa tidak diberikan penjelasan tentang kelebihan dan kekuarngan

    sistem dial-up maupun sisten otomatis. Akibatnya pihak pelanggan Telkom

    Speedy merasakan pelayanan yang dijanjikan tidak sesuai, karena baru

    beberapa hari pemakaian, kecepatan yang dijanjikan sudah menurun, padahal

    pihak pelanggan merasa tidak pernah melakukan download sama sekali.

  • 5

    Meskipun demikian pihak pelanggan tetap berkewajiban membayar biaya

    secara penuh, sehingga ia merasa dirugikan. Pada kasus yang lain, ada juga

    seorang pengguna jasa Telkom Speedy yang berlangganan paket Game. Pada

    paket game ini, kecepatan yang dijanjikan adalah sampai dengan 768 kbps,

    akan tetapi pada kenyataannya kecepatan yang didapat hanya 153 kbps sampai

    dengan 384 kbps, padahal biaya yang dibayar tetap sesuai dengan paket game,

    dimana paket game ini lebih mahal dari pada paket family.

    Padahal di dalam Pasal 8 ayat (2) huruf 6 Undang-Undang Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa: Pelaku usaha

    dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang

    tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,

    iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Di samping hal

    tersebut, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memberikan

    kewajiban kepada pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas

    dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

    penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

    Dikaitkan dengan contoh kasus yang telah diuraikan di atas, maka

    pengguna jasa Telkom Speedy yang dimaksud kurang mendapatkan

    perlindungan hukum terhadap konsumen sesuai dengan ketentuan yang ada

    dalam undang-undang, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian

    tentang, Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Internet

    Telkom Speedy.

  • 6

    B. Perumusan Masalah

    Atas dasar latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan

    dalam penulisan skripsi ini adalah:

    Bagaimanakah perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna

    jasa Telkom Speedy?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka

    tujuan dari penelitian ini adalah:

    Untuk mengetahui perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna

    jasa Telkom Speedy.

    D. Tinjauan Pustaka

    1. Pengertian Perjanjian

    Istilah perjanjian, sebagai terjemahan dari agreement dalam bahasa

    Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda.1 Di samping itu, ada juga

    istilah yang sepadan dengan istilah perjanjian, yaitu istilah transaksi yang

    merupakan terjemahan dari istilah Inggris transaction. Namun demikian,

    istilah perjanjian adalah yang paling modern, paling luas dan paling lazim

    digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis.

    Perjanjian adalah suatu kesepakatan (promissory agreement) di antara

    2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau

    menghilangkan hubungan hukum. Ada juga yang memberikan pengertian

    1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 9.

  • 7

    sebagai suatu serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi

    terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari

    kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.

    Pasal 1313 K.U.H.Perdata memberikan definisi perjanjian adalah:

    Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

    mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

    Menurut Subekti, perjanjian merupakan terjemahan dari kata

    overeenkomst.2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menerjemahkan istilah

    overeenkomst dengan pengertian persetujuan.3 Menurut Setiawan,

    overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang berarti setuju ataupun

    sepakat, karena itulah dipergunakannya istilah persetujuan untuk

    menerjemahkan istilah overeenkomst.4

    Berdasarkan rumusan perjanjian yang telah dikemukakan tersebut,

    maka pengertian perjanjian itu mempunyai unsur-unsur yang dapat diuraikan

    sebagai berikut:

    a. Ada dua pihak atau lebih

    Para pihak yang disebutkan itu adalah subyek pada perjanjian yang dapat

    berupa manusia pribadi atau badan hukum. Untuk dapat membuat

    perjanjian tersebut harus mampu atau wenang melakukan perbuatan

    hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

    b. Ada kesepakatan diantara para pihak

    2 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa Jakarta, 1985, hlm. 1. 3 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, Sumur Bandung, Bandung, 1989, hlm. 1. 4 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 2.

  • 8

    Kesepakatan yang dimaksud adalah yang bersifat tetap, artinya tidak

    termasuk tindakan-tindakan pendahuluan untuk mencapai adanya

    persetujuan atau kesepakatan. Persetujuan ini dapat diketahui dari

    penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran yang berarti apa yang

    ditawarkan pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya.

    c. Ada tujuan yang akan dicapai

    Tujuan para pihak mengadakan perjanjian adalah agar memenuhi

    kebutuhan pihak-pihak, oleh karena itu di dalamnya harus ada tujuan yang

    akan dicapai. Tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

    umum, kesusilan dan tidak dilarang oleh undang-undang.

    d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan

    Dalam suatu perjanjian, para pihak disamping memperoleh hak dibebani

    pula dengan kewajiban-kewajiban yang berupa suatu prestasi. Prestasi

    merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai

    persyaratan atau syarat-syarat perjanjian, misalnya penjual berkewajiban

    menyerahkan barang yang telah dijualnya.

    Tidak ada kesatuan pendapat mengenai pengertian perjanjian, namun

    apabila diperhatikan dengan sesama, maka pada dasarnya perjanjian

    merupakan suatu hubungan hukum berdasarkan kesepakatan antara dua pihak

    atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan suatu akibat

    hukum tertentu. Kedua belah pihak atau lebih tersebut terikat karena

  • 9

    kesepakatan yang mereka lakukan untuk melaksanakan tujuan yang termaksud

    dalam perjanjian yang mereka buat.5

    2. Asas-asas Perjanjian

    Dalam hukum perjanjian juga terdapat beberapa asas yang mendasari

    berlakunya suatu perjanjian. Untuk lebih jelasnya mengenai asas hukum yang

    dimaksud dalam perjanjian ini, satu persatu dapat dijelaskan sebagai berikut:

    a. Asas Konsensualitas

    Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian. Asas ini

    menyatakan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata

    sepakat diantara para pihak mengenai unsur-unsur pokoknya.

    Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Untuk

    adanya perjanjian harus ada dua kehendak yang mencapai kata sepakat

    atau konsensus. Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian, tidak

    menjadi soal apakah kedua kehendak itu disampaikan secara lisan atau

    tertulis. Bahkan dengan bahasa isyarat atau membisu sekalipun dapat

    terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.6

    b. Asas Kebebasan Berkontrak

    Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan peluang kepada

    masyarakat untuk menentukan isi perjanjian, bentuk maupun obyek dari

    perjanjian tersebut. Kebebasan berkontrak haruslah memperhatikan

    batasan-batasan tertentu seperti diatur dalam Pasal 1337 K.U.H.Perdata

    5 Ibid, hlm. 96. 6 Ibid, hlm. 96.

  • 10

    yang intinya memberikan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-

    undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

    Asas kebebasan berkontrak ini juga dapat dianalisis dari ketentuan

    Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan: Semua persetujuan

    yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

    membuatnya.

    c. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian

    Pengertian asas kekuatan mengikat perjanjian ini adalah para pihak

    yang telah mengadakan perjanjian tersebut, masing-masing terikat dengan

    ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian yang telah diadakan tersebut.

    Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Para pihak

    haruslah melaksanakan apa yang mereka sepakati sehingga perjanjian itu

    berlaku sebagai undang-undang. Ini berarti bahwa kedua belah pihak

    wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian. Asas kekuatan mengikat ini

    berhubungan dengan akibat perjanjian dan dikenal sebagai Pacta Sunt

    Servanda, sudah selayaknya bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh

    kedua belah pihak dipatuhi pula oleh kedua belah pihak.7

    d. Asas Kepribadian

    Pasal 1315 dan 1340 K.U.H.Perdata mengatur bahwa, pada dasarnya

    suatu perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak yang mengadakan

    perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian,

    sedangkan pihak-pihak di sini maksudnya adalah, siapa saja yang

    7 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengatar, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 97.

  • 11

    tersangkut dalam perjanjian, yaitu kreditur dan debitur. Terhadap asas

    kepribadian tersebut terdapat suatu pengecualian yang disebut janji guna

    pihak ketiga, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian dimungkinkan adanya

    hak pihak ketiga yang adanya sejak pihak ketiga itu menyatakan

    kesediaannya menerima prestasi tersebut, seperti diatur dalam Pasal 1317

    K.U.H.Perdata.

    Menurut Setiawan, janji untuk pihak ketiga adalah, Janji yang oleh

    para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian dimana ditentukan bahwa

    para pihak ketiga akan memperoleh hak atau suatu prestasi.8

    e. Asas Itikad Baik

    Asas itikad baik ini merupakan asas yang berkaitan dengan

    pelaksanaan perjanjian. Di dalam asas ini ditentukan bahwa suatu

    perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana yang

    diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata.

    Pengertian asas itikad baik di dalam hukum perjanjian adalah,

    bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus berjalan sebagaimana mestinya,

    sesuai dengan ukuran obyektif masyarakat. Hal ini untuk menjamin

    kepastian hukum, sebab dengan adanya pelaksanaan perjanjian secara baik

    dan benar, tidak akan terjadi suatu penyimpangan terhadap suatu

    perjanjian.

    8 Setiawan, op.cit., hlm. 35.

  • 12

    3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

    Pasal 1320 K.U.H.Perdata menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu

    perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

    a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

    b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

    c. Adanya hal tertentu.

    d. Suatu sebab yang halal.

    Keempat syarat tersebut merupakan syarat mutlak di dalam perjanjian

    yang harus dipenuhi oleh para pihak apabila ingin perjanjian yang dibuatnya

    sah. Tidak dipenuhinya keempat syarat tersebut akan berakibat perjanjian itu

    batal atau dapat dibatalkan. Hal ini tergantung pada syarat mana dari keempat

    syarat tersebut yang tidak dipenuhi, karena keempat syarat tersebut dapat

    digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

    a. Syarat subyektif, adalah syarat yang menyangkut subyek dari suatu

    perjanjian atau syarat yang melekat pada subyek-subyek yang

    mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Apabila syarat ini tidak

    dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian ini dapat dibatalkan. Termasuk

    syarat subyektif adalah syarat sepakat yang mereka mengikatkan diri dan

    adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

    b. Syarat obyektif, adalah suatu syarat yang menyangkut obyek perjanjian itu

    sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukum dari

    perjanjian itu adalah batal demi hukum. Termasuk syarat obyektif adalah

    syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

  • 13

    Pengertian perjanjian dapat dibatalkan ini adalah perjanjian yang telah

    ada tetap terus berjalan selama belum ada atau tidak diadakan pembatalan,

    pembatalan hanya dapat dilakukan oleh hakim pengadilan atas permintaan

    yang berhak meminta pembatalan, berbeda dengan pengertian batal demi

    hukum. Apabila perjanjian batal demi hukum, maka maksudnya perjanjian itu

    sejak semula dianggap tidak pernah ada, dengan demikian perjanjian itu

    menjadi batal tanpa campur tangan dari hakim.

    Adanya perbedaan dapat dibatalkan dan batal demi hukum ini menurut

    Subekti merupakan suatu sistem logis dan dapat dianut di mana-mana, dan

    lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa, Sistem tersebut logis karena tidak

    dipenuhinya syarat subyektif tidak dapat dilihat oleh hakim dan karenanya

    harus diajukan kepadanya oleh yang berkepentingan, sedangkan hal tidak

    dipenuhinya syarat obyektif seketika dapat dilihat oleh hakim.9

    4. Hak dan Kewajiban Para Pihak

    Pendukung dalam suatu perjanjian sekurang-kurangnya harus ada 2

    (dua) orang yang disebut subyek perjanjian. Masing-masing orang menduduki

    tempat yang berbeda, satu orang menjadi kreditur yang berhak atas prestasi

    dan orang lainnya sebagai debitur yang wajib memenuhi prestasi. Pihak-pihak

    dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi (persoon) atau lembaga/badan

    hukum (rechtspersoon).

    9 Subekti, op.cit., hlm. 26.

  • 14

    Subyek perjanjian harus mampu dan berwenang melakukan tindakan

    hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Sesuai dengan teori dan

    praktek hukum, yang dapat menjadi kreditur atau debitur adalah terdiri dari:

    a. Individu sebagai person.

    1) Manusia tertentu (persoon).

    2) Badan Hukum (rechtspersoon).

    b. Seseorang sebagai individu atas keadaan atau kedudukan tertentu

    bertindak untuk atau atas nama orang tertentu.

    c. Seseorang sebagai individu yang menggantikan kedudukan debitur

    semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun atas ijin dan persetujuan

    kreditur.

    Hak dan kewajiban para pihak adalah merupakan isi dari perjanjian itu

    sendiri. Isi perjanjian didasarkan atas azas kebebasan berkontrak, yaitu para

    pihak bebas untuk menentukannya. Pada hakekatnya hak disatu pihak adalah

    merupakan kewajiban pihak lain, dengan kata lain prestasi yang merupakan

    hak dari kreditur adalah merupakan kewajiban bagi debitur untuk

    memenuhinya. Jadi baik kreditur maupun debitur sama-sama berorientasi pada

    satu hal yaitu prestasi, karena kreditur berhak atas prestasi dan debitur

    berkewajiban untuk memenuhi prestasi atau melaksanakan prestasi.

    5. Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian

    Perjanjian yang dibuat dengan sah menimbulkan perikatan atau hak

    dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Dalam suatu perjanjian ada

    kalanya terjadi wanprestasi, yang artinya menurut Soedikno Mertokusumo,

  • 15

    adalah: tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan,

    baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul

    karena undang-undang.10

    Tidak dipenuhinya kewajiban itu selain karena wanprestasi dapat juga

    karena keadaan memaksa (overmacht), atau peristiwa yang terjadi diluar

    kemampuan debitur, sehingga debitur tidak mempunyai kesalahan.

    Bentuk wanprestasi ada 4 (empat), yaitu:

    a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak dapat

    memenuhi kewajibannya yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam

    suatu perjanjian.

    b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

    c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya.

    d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

    Mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi, perlu

    diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan pelaksanaan pemenuhan

    prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu ditentukan pelaksanaan

    pemenuhan prestasi, maka ketentuan Pasal 1238 K.U.H.Perdata menyatakan

    sebagai berikut: Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan

    akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila

    perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya

    waktu yang ditentukan.

    10 Ibid, hlm. 73.

  • 16

    Alasan kedua tidak dapat dipenuhinya kewajiban adalah keadaan

    memaksa (overmacht), akibatnya ada salah satu pihak yang dirugikan.

    Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya

    prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karena

    kesalahannya. Peristiwa dimana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga

    akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.11

    Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa:

    a. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang

    memusnahkan atau membinasakan benda yang menjadi obyek perjanjian.

    b. Tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi karena suatu peristiwa yang

    menghalangi perbuatan debitur.

    c. Peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

    membuat perikatan atau perjanjian baik oleh debitur maupun oleh

    kreditur, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur.

    Sifat keadaan memaksa ada 2 (dua):

    a. Overmacht yang bersifat absolute (mutlak) ialah suatu keadaan dimana

    prestasi sama sekali tidak dapat dipenuhi, maka perikatan tersebut terhenti

    sama sekali.

    b. Overmacht yang bersifat relatif ialah suatu keadaan dimana kewajiban

    berprestasi terhentikan untuk sementara dan akan timbul lagi setelah

    keadaan memaksa berhenti.

    11 Setiawan, op.cit., hlm. 27.

  • 17

    6. Berakhirnya Perjanjian

    Hapusnya perjanjian pada umumnya adalah jika tujuan dari suatu

    perjanjian itu telah tercapai. Dengan demikian isi perjanjian yang telah mereka

    buat bersama itu telah dilaksanakan dengan baik oleh mereka. Beberapa

    macam cara hapusnya perjanjian, yaitu apabila:

    a. Masa berlakunya perjanjian yang telah disepakati sudah terpenuhi.

    b. Pada saat masa berlakunya perjanjian belum berakhir para pihak sepakat

    mengakhirinya.

    c. Adanya penghentian oleh salah satu pihak dalam perjanjian dengan

    memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat.

    d. Waktu berakhirnya suatu perjanjian ditentukan dengan batas waktu

    maksimal oleh undang-undang.

    e. Adanya putusan hakim karena adanya tuntutan pengakhiran perjanjian

    dari salah satu pihak.

    f. Di dalam undang-undang atau perjanjian itu sendiri ditentukan bahwa

    dengan adanya suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir.12

    7. Perlindungan Konsumen

    Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

    menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen

    dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat

    merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih

    12 Ibid, hlm. 106.

  • 18

    relatif baru, khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju hal ini mulai

    dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi.13

    Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun-1999 tentang

    Perlindungan Konsumen disebutkan: Perlindungan konsumen adalah segala

    upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan

    kepada konsumen.

    Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan

    jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan

    konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap

    konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk

    mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang

    dan jasa itu.

    Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat

    dijelaskan sebagai berikut:

    a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang

    dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau

    melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk

    persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi,

    proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai

    dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau

    tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan

    13 Adijaya Yusuf dan John W. Haed, Hukum Ekonomi, ELIPS, Jakarta, 1998, hlm. 9.

  • 19

    penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi

    produk yang tidak sesuai.

    b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat

    yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi

    dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan

    sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam

    memproduksi dan mengedarkan produknya.14

    Aspek yang pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang

    dihasil-kan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab

    produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena

    barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya,

    sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan

    makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena

    kualitasnya rendah, barang tidak dapat bertahan lama karena cepat rusak, dan

    sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab produk erat kaitannya dengan

    persoalan ganti kerugian.

    Sedangkan yang kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang

    dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang

    mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen

    kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau

    jasa kebutuhannya.

    14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 2006, hal 10.

  • 20

    Umumnya produsen membuat atau menetapkan syarat-syarat

    perjanjian secara sepihak .tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh

    kepentingan konsumen, sehingga bagi konsumen tidak ada kemungkinan

    untuk mengubah syarat-syarat itu guna mempertahankan kepentingannya.

    Seluruh syarat yang terdapat pada perjanjian, sepenuhnya atas kehendak pihak

    produsen barang atau jasa. Bagi konsumen hanya ada pilihan: mau atau tidak

    mau sama sekali. Vera Bolger menamakannya sebagai take it or leave it

    contract. Artinya, kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh dibuat; kalau

    tidak setuju, silakan pergi.15

    E. Metode Penelitian

    Untuk mendapatkan data dan pengolahan yang diperlukan dalam

    rangka penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum

    empiris sebagai berikut:

    1. Objek Penelitian

    Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Internet

    Telkom Speedy.

    2. Subjek Penelitian

    a. Direksi PT. Telkom Wilayah Yogyakarta.

    b. Pihak pengguna jasa Telkom Speedy.

    3. Sumber Data

    15 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standart

    Kontrak (Baku), makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen,

    BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1980, hlm. 59-60.

  • 21

    a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dengan subyek

    penelitian.

    b. Data sekunder adalah berupa data yang diperoleh dari penelitian

    kepuatakaan (library research) yang terdiri atas:

    a. Bahan hukum primer, dalam hal meliputi: K.U.H.Perdata dan

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen.

    b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang digunakan sebagai

    pelengkap bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur,

    dokumen-dokumen, maupun makalah-makalah yang berkaitan

    dengan obyek penelitian.

    4. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara bebas

    terpimpin berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

    5. Metode Pendekatan

    Metode yang dilakukan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang mana

    dalam melakukan pada objek penelitian lebih menitikberatkan pada aspek-

    aspek yuridis, yang dimana dalam melakukan analisa data-data yang

    diperoleh dari objek penelitian dengan menggunakan asas-asas hukum,

    teori-teori hukum serta ketentuan perundang-undangan.

    6. Metode Analisis Data

    Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu

    menganalisa hasil penelitian dengan menggambarkan hubungan yang ada

  • 22

    antara hasil penelitian yang diperoleh tersebut untuk memaparkan dan

    menjelaskan suatu persoalan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan.

    F. Kerangka Skripsi

    Penulisan skripsi ini terbagi dalam empat bab, yaitu bab I mengenai

    pendahuluan, bab II mengenai hukum perlindungan konsumen, bab III

    mengenai hasil penelitian dan pembahasan, bab IV penutup.

    Pada bab I terdiri dari 6 sub bab diantaranya adalah latar belakang

    masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode

    penelitian dan kerangka skripsi.

    Pada bab II terdiri dari 5 sub bab, yaitu: hukum perlindungan

    konsumen diuraikan menjadi pengertian hukum perlindungan konsumen,

    kepentingan dan masalah yang dihadapi konsumen, perilaku konsumen, aspek

    hukum perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa.

    Pada bab III terdiri dari 5 sub bab, yaitu: hasil penelitian dan

    pembahasan dari perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa

    internet telkom speedy yang meliputi gambaran umum telkom speedy, syarat

    berlangganan telkom speedy, bentuk dan isi perjanjian, hak dan kewajiban

    para pihak, perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa internet

    telkom speedy.

    Pada bab IV yaitu penutup, berisi mengenai kesimpulan dan saran,

    dimana kesimpulan dan saran ini diuraikan mengenai hasil akhir penelitian

    yang sudah dilakukan oleh penulis.