tugas teori kepemimpinan (latif)

Upload: ansar-kalam

Post on 17-Jul-2015

474 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENDEKATAN KEPEMIMPINAN DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA INDONESIA A. LANDASAN TEORI Sebagai salah satu ilmu pengetahuan, kepemimpinan memiliki peranan penting dalam kerangka menajemen, sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya merupakan penjabaran serangkaian fungsi kepemimpinan. Dalam kepemimpinan ini terdapat hubungan antar manusia yaitu hubungan saling mempengaruhi (dari pimpinan), dan hubungan kepatuhan atau ketaatan para pengikut / bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin. Para pengikut terkena pengaruh kekuatan dari pimpinannya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan kepada pemimpin. Dari satu segi kepemimpinan dapat dilihat sebagai instrumen dalam organisasi, yang memiliki kekuasaan dan kekuatan tertentu untuk

melancarkan kegiatan organisasi mengejar tujuan bersama. Kepemimpinan juga dapat dilihat sebagai produk satu keadaan, yang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : 1) Pribadi pemimpin dengan cara hidup dan filsafat hidupnya. 2) Struktur kelompok dengan ciri-ciri khasnya. 3) Problema dan kejadian-kejadian yang berlangsung pada saat ini.

B. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN Untuk mengerti kepemimpinan maka kita harus memahami lebih jauh teori-teori kepemimpinan. Berikut ini adalah petikan tentang pendapat para ahli mengenai definisi kepemimpinan.

Menurut C. N. Cooley (1902) Kepemimpinan merupakan titik pusat dari suatu kecendrungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau di amati secara cermat akan ditemukan kecendrungan yang memiliki titik pusat.

Menurut Ordway Tead (1929) Kepemimpinan sebagai perpaduan yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.

Menurut G. U. Cleeton dan C. W. Mason (1934) Kepemimpinan menunjukan kemampuan mempengaruhi orang-orang dan mencapai hasil melalui himbauan emosional dan ini lebih baik di bandingkan dengan melalui penggunaan kekuasaan.

Menurut P. Pigors (1935) Kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan-perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama.

Menurut Soekamto (2000:318), Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagai mana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.

Rivai (2004:36) dalam bukunya berjudul Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain, baik didalam organisasi maupun diluar oraganisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam suatu situasi dan kondisi tertentu.

Menurut John Gage Allee dalam Kartono (2004:38) Leader a guide; a conductor; a commander (pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun, komandan).

Tead dalam bukunya The Art of Leadership, sebagaimana dikutip oleh Kartono (2004:57) mengemukakan bahwa Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

C. PENGERTIAN KEPEMERINTAHAN

Menurut D. G. A. Van Poelje (1953) Kepemerintahan adalah mengajarkan bagaimana dinas umum di susun dan di pimpin dengan sebaik-baiknya.

Menurut U. Rosenthal (1978) Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang

penunjukan cara kerja ke dalam dan keluar, struktur dan proses pemerintahan umum.

Menurut H. A. Brasz (1975) Ilmu Pemerintahan dapat di artikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana lembaga pemerintahan umum itu di susun dan diungsikan baik secara kedalam maupun secara keluar terhadap warganya.

Menurut W. S. Sayre Pemerintahan adalah sebagai organisasi dari negara, yang

memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.

Menurut C. F. Strong (1960) Pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan utnuk

memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar .

Menurut R. Mac Ivar (1947) Pemerintahan adalah sebagai suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Ilmu Pemerintahan adalah sebuah ilmu tentang bagaimana manusia dapat di perintah (a science of how men are governed).

Menurut Samuel Edward Finer Pemerintahan adalah sebuah sistem yang mempunyai kegiatan yang terus menerus (process) wiayah negara tempat kegiatan itu

berlangsung (state), pejabanat yang memerintah (the duty), dan cara, metode serta sistem (manner, method and sistem) dari pemerintah terhadap masyarakatnya.

Menurut Bayu Surianingrat Disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan karena sudah di pelajari sejak sebelum masehi oleh para filosof, dewasa ini ilmu pemerintah berjuang keras untuk menjadi ilmu yang berdiri sendiri.

Menurut Prajudi Atmosudirjo Tugas pemerintah antara lain adalah tata usaha negara, rumah tangga negara, pemerintahan, pembangunan dan penglestarian lingkungan hidup.

Menurut Sumendar Ilmu pemerintahan sebagai badan yang penting dalam rangka pemerintahannya, pemerintah mesti memperhatikan ketentraman dan ketertiban umum, tuntunan dan harapan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta pendpat rakyat, pengaruh lingkungan,

pengturan komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat serta keberadaan legitimasi.

Menurut Musanef Ilmu pemerintahan adalah suatu imu yang dapat menguasai dan memimpin serta menyelidiki unsur-unsur dinas berhubungan dengan

keserasian

kedalam hubungan antar dinas-dinas itu dengan

masyarakat yang kepentingannya diwakili dinas tersebut.

Menurut Inu Kencana Syafiie Ilmu pemerintahan adalah imu yang mempelajari pengaturan bagaimana (legislatif),

melaksanakan

pengurusan

(eksekutif),

Kepemimpinan dan koordinasi pemerintah (baik pusat dengan daerah maupun antara penguasa dengan rakyatnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala poemerintahan yang dihrapkan secara baik dan benar.

D. KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN SEBAGAI ILMU Kepemimpinan secara umum masih berbagai titik pandang displin ilmu yang memilikinya seperti imu jiwa, imu administrasi, ilmu manajemen, ilmu politik maka karena kepemimpinan pemerntahan berbeda dengan

kepemimpinan swasta yang spesifik, maka kepemimpinan pemerintahan untuk sementara dapat di kaji secara khas obyek, subyek, sistematika, metode, keuniversalan, terminologi, filosofi, teori, prinsip, dalil, rumus dan cara mempelajarinya. Obyek formal kepemimpinan pemerintahn adalah hubungan antara

pemimpin dengan yang di pimpin dalam hal ini yang memimpin adalah rakyatnya sendiri, obyek materinya adalah manusia. Jadi berbeda dengan imu pemerintahan memiliki obyek materi manusia mengembangkan ilmu

baru ini akan bertumpah tindah dengan ilmu jiwa, ilmu administrasi , ilmu manajemen bahkan ilmu ekonomi. Kekuasaan di tunjuk untuk memusnahkan

dekadensi moral (nahi munkar) sedangkan pelayanan ditujukan hanya untuk yang baik dan benar (amar maruf). Bila sudah menjadi disiplin ilmu yang mandiri nantinya maka kepemimpinan pemerintahan akan mempunyai methode antara lain yaitu methode induksi yang menarik kesimpulan apakah kepemimpinan itu di

lahirkan atau dibentuk oleh lingkungan, methode deduksi yang menguraikan fakta dan data kepemimpinan pemerintahan.

E. PEMIMPIN PEMERINTAHAN SEBAGAI SENI Menurut George R. Terry (1964) Art is personal creative power plus skill in perormance (Maksudnya seni adalah kekuatan pribadi seseorang yang kreatif, ditambah dengan keahlian yang bersangkutan dalam menampilkan tugas

pekerjaannya. Jadi seni merupkan kemampuan seseorang untuk mewujudkan cipta, rasa dan karsa yang dimiliki yang bersangkutan sebagai seniman. Kepemimpinan seseorang pemerintahan sebagai seni berarti bagaimana dalam tugas dan fungsinya

pemimpin

pemerintahan

dengan

keahliannyamampu

menyelenggarakan pemerintahan secara indah. Misalnya membuat surat keputusan yang berpengaruh menjadikan pekerjaannya sebagai teater dan dirinya menjadi dalang sekaigus wayangnya, bagaimana yang bersangkutan menyampaikan kehalusan sastra rethorika yang menggugah, sehingga

tercapai pemerintah yang berdayungan dan berhasil guna.

Seni kepemimpinan pemerintah juga berkenan dengan bagaimana seni membujuk (persuasif) seni mendorong (motivati), seni menghubungkan (komunikatif), seni bagaimana memfasilitasi, seni bagaimana mematahkan hubungan seni bagaimana menjadi teladan yang di contohkan orang lain.

F. KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN SEBAGAI MORAL Dalam suatu daerah yang tidak ada kepemimpinan pemerintahan sama sekali tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai dekadensi moral yang anarkis seperti perkosaan, perzinahan, pelecehan, pencurian,

perampokan, penindasan, perkelahian, pembunuhan dan berbagai jenis lainnya, untuk itu diperlukan seseorang pemegang kekuasaan yang memegang aturan dengan kekuasaannya di sebut dengan pemimpin pemerintahan, bayangkan apa jadinya bila pemimpin pemerintahan tersebut tidak memiliki moral.

Sebagai

penjaga

malam

pemimpin

pemerintahan

tersebut

mengendalikan masyarakatnya, antisipasi seperti ini di istilahkan dengan negatif, sedangkan kejadian yang terjadi juga diistilahkan dengan negatif, dengan begitu secara matematis antara negatif dikaikan dengan negatif akan menjadi positif, hal ini hanya boleh di perlakukan untuk pemimpin pemerintahan.

Sebaliknya untuk masyarakatnyanya yang berlaku baik dan benar pemerintahan harus melayani karena akan terjadi berbagai permohonan pertolongan bagi pelayanan publik, seperti fakir miskin dan anak terlantar,

orang tua jompo, bencana alam seperti banjir, kebakaran dan lain-lain, untuk ini pemimpin pemerintah memberikan pelayanan. Selanjutnya antara kekuasaan untuk kejahatan dan pelayanan untuk kebaikan seperti ini tidak boleh di balik perlakuannya, yaitu kekuasaannya digunakan orang-orang yang baik dan benar (disebut dengan dzalim) sedangkan pelayanan yang diberikan kepada pelaku kejahatan di sebut

dengan fasik. Seperti melayani lokasi pelacuran, perjudian dan sejenis lainnya. Itulah sebabnya pemimoin pemerintahan harus bermoral, artinya yang bersangkutan selain ulama (ruhaniawan) juga harus umara

(negarawan).

G. FILSAFAT KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN Negara dapat saja mengeksploitasi tenaga rakyat mereka yang membangkang terhadap pemerintahan negara di anggap pemberontak, separatis, pengacau keamanan, gerombolan dll. Kecuali pemberontak itu begitu besar lalu mampu mengganti pemerintah yang lama dalam suatu revolusi, reformasi, atau pengganti secara amai dalam sebuah pemilihan umum. Bersasarkan apa yang disampaikan ini maka pemerintahan suatu negara pada abad ini berjuang untuk menggeser paradigma kekasaan

menjadi paradigma pelayanan pemerintah dijadikan abdi masyarakat dengan ukuran bila rakyat menghendaki pelayanan kepengurusan sesuatu maka sebaiknya cepat bermutu, murah dan menimbulkan kepuasan kepada masyarakat.

Keepemimpinan pemerintahan harus berangkat dari pengkajian filsafat, apa yang baik dan benar bagi masyarakat dan pemerintahan itu

sendiri, jauh dari rasa fanatisme apalagi fundanmentalis. Landasan skriptualis adalah Dan hendaklah ada segolonbgan elit yang mengajak kepada kebaikan, mengajak kepada kebenaran, melarang perbuatan keburukan dan itulah orang yang beruntung (Q.S. 3 :104). Baik adalah ukuran moral bagi aparat pemerintah sedangkan kebenaran adalah ukuran logika kepemerintahan, mereka yang

mengandalkan logika tanpa moral cendrung tirani dalam kekuasaannya sedangkan mereka yang mengandalkan moral tanpa logika akan membiarkan masyarakatnya bertindak anarkis, karena segolongan ummat adalah

pemerintah itu sendiri, yang baik dan benar dalam pemerintahannya. Inilah yang kenudian berkembang menjadi good governance dan cleant

goverment.

BAB II JENIS KEPEMIMPINAN

BAB III GAYA KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN Gaya dalam baahasa inggris disebut dengan style berarti corak atau mode seseorang yang tidak banyak berubah dalam mengerjakan sesuatu, hal ini karena gaya merupakan kesanggupan, kekuatan, cara, iramaa,ragam, bentuk, lagu, metode yang khas dari seseorang untuk bergerak serta berbuat sesuatu, dengan demikian yang bersangkutan mendpat penghargaan untuk keberhasilannya dan kejatuhan nama bila mengaami kegagalan. Ada beberapa gaya dalam kepemimpinan pemerintahan akan di uraikan antaraalain sebagai berikut :

A. GAYA DEMOKRATIS DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya demokratis dalam kepemimpinan pemerintahan adalah cara dan irama seseorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan masyarakatnya dengan memakai metode pembagian tugas dengan bawahan, begitu juga antar bawahan di anjurkan berdiskusi tentang keberadaanya untuk membahas tugasnya, baik bawahan yang terendah sekalipun boleh menyampaikan saran serta di akui haknya, dengan demikian imiliki persetujuan dan konsensus atas kesepakatan bersama. Oleh karena itu harus dibuat ketentuan tertentu dalam pendemokrasian ini karena kekuasaan berada ditangan bawahan, hal ini untuk mencegah anarkisme yang terjadi karena hak asasi di sanjung dalam organisasi pada gilirannya antara dan bawahan dan masyarakat diharapkan terjadi persaingan

keadilan, dalam kalangan idiologi islam dikenal dengan syura, dengan moto wa am ruhum syura bainahum (musyawarakan urusanmu) dengan begitu akan menjadi fastabiqul chairat (berlomba-lomba dalam amal kebaikan) msyawara seperti ini akan melahirkan kebijaksanaan (wisdom) disamping berbagai perintah yang turun darai atasan disebut kebijakan (policy), yang dapat di ubah sesuai kebutuhan sepanjang tidak menyalahi aturan (syariah).

B. GAYA BIROKRATIS DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya birokratis dalam kepemerintahan adalah cara dan irama seorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan

masyarakatnya dengan memakai metode tanpa pandang bulu,artinya setiap bawahan haus di perlakukan sama ddisiplinnya, spesialisasi tugs yang khusus, kerja yang ketat paada aturan (rule), sehingga bawahan menjadi kaku tetapi sederhana (zakelijk). Dalam kepemimpinan pemerintahan seperti ini segala sesuatunya dilakukan secara resmi dikantor pada jam dinas tertentu dan denga tatacara formal, pengaturan dari atas kebawa sedangkan pertanggung jawaban dari bawa ke atas secara sentralistis, serta harus berdasarkan logika bukan perasaan (irasional), taat dan paatuh (obdience) kepada aturan (dicipline) serta terstruktur dalam kerjanya. Pakar yang banyak berceloteh tentang kepemimpinan pemerintahan yang birokrasi ini adalah Max Weber, tetapi kemudian dikolaborasi oleh Warren Benis sebagai berikut. 1. Perlu kebijaksanaan diluar aturan yang sudah berjalan.

2. 3. rasa 4. 5.

Tugas yang satu dengan yang lain harus dikordinasikan. Harus ada seni dalam menerapkannya yang berkonotasi

Bawahan di perkenankan memberi saran yang produktif. Pembagian tugas hendaknya lebih demokratis desentralistis.

Sedangkan Nicolas Henry memberikan kontribusi agar tidak terjadi kutuk ekstrim ketiranian atasan, yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tugas rutin hanya dlam kondisi stabil. Harus ada spesialisasi tugas Penekana pada cara kerja Konflik di selasaikan dari atas Penekanan pada tanggungjawab Kesetiaan setiap orang pada uniknya Struktur hierarkis organisasi piramid Pimpinan dianggap mengetahui segalanya Mengutamakan kesetiaan pada organisasi

C. GAYA KEBEBASAN DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya kebebasan dalam kepemimpinan pemeruntahan adalah cara daan irama seorang pemimpinan pemerintahan dalam menghadapi bawahan dam masyarakatnya dengan memakai metode pemberiaan keleluasaan pada bawahan seluas-luasnya, metode ini dikanal juga dengan laissez faire atau liberalism

Dengan begitau dalam gaya ini setiap bawahan bebas bersaing dalam berbagai strategi ekonomi, politik, hukum, administrasi. Jadi pimpinan pemerintahan memberikan peluang besar pada kegiatan organisasi. Hal ini hanya cocok pada daera yang sudah moderen dengan pola pikir bisa di pertanggung jawabkan, tetapi bila di daera tradisional akan membuat masyarakat semakin berada di alam keterbelakangan. Resiko kehidupan lamas dalam organisasi ini akan menimbulakan hubungan atasan dan bawahan seperti kekasih baik dalam pakaia suasana kantor maupun dalam tatakrama pergaulan. Dalam kepemimpinan pemerintahan bila memakai gaya bebas seperti ini tidak menuntut kemungkianan pemimpin pemerintahan akan membuka berbagai lokasi perjudian, lokasi pelacuran, lokasi mabuk-mabukan untuk menghasilkan pendapatan negara. Bahkan untuk mempertahankan diri masyarakat sipil diperkenankan memperdagangkan senjata api. Bila bagi masyarakat yang memilki selera hedonisme dan materialisme yang tinggi akan membuka pula bisnis filem cabul, bisnis duel saling menjaatuhkan (wreatling) menerbitkan majalah cabul, pers yang mengkritik pemerintah dengan kecapan pedas. Sudah barang tentu kebebasan pemerintahan seperti ini akan dimanfaatkan oleh pemilik modal yang berjaringan (konglomerat) untuk antara lain sebagai berikut : 1. 2. Memproduksi barang secara besar-besaran Menumpuk barang untuk kemudian dijual setelah mahal.

3.

Memberlakukan pasar bebas dengan permainan harga

monopoli. Apabila posisi pemerintahan menjadi lemah dalam menghadapi kaum borjuis kapitalis maka para pemilik modal menjadi kelompok menekan (plesure grop) dalam menerapkan pemilihan gubernur dan bupati bahkan presiden, begitu juga dalam mengatur tender, gaji jam kerja, pemberhentian, sangsi, bahkan terjadi pemerasan tenaga manusia oleh manusia (ekploitation der lhomme par lhomme)

D. GAYA OTOKRATIS DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Gaya otokratis dalam kepemimpinan pemerintahan adalah cara daan irama seorang pemimpin pemerintahan dalam menghadapi bawahan dan masyarakat dengan memakai metode paksaan kekuasaan (ceorcoive power) Cara ini cocok untuk mempercepat waktu dikalangan militer karena itu diterapkan sistem komando dengan on way trffic dalam komunikasi pemerintahannya sehingga efektif hasilnya. Sangat berakibat fatal bagi daerah-daerah yang sudah maju karena ketakutan bawahan hanya ketika pemimpinan pemerintahan sedang memiliki kekuasaan saja. Jadi gaya ini hanya di terpakan pada keadaan dan situai antara lain sebagai berikut dibawa ini : 1. Untuk menimbulkan rasa persatuan dan kesatuan 2. Untuk keseragaman antara bawahan 3. Agar pemimpin pemerintahan tidak di ganggu gugat

4. Agar menekan faham separatisme 5. Untuk meningkatkan pengawasan. 6. Untuk mempercepat mencapai tujuan

Dari uraian tersebut di atas maka pemimpin pemerintahan yang menerapkan gaya otokratis ini hanya cocok untuk negara-negara yang antara lain : 1. Negara yang sedang berperang dengan negara lain 2. Negara yang sedang bersengketa dalam daerahnya 3. Negara yang sedang membangun dengan cepat 4. Negara yang heterogen dan sulit di atur

BAB V VARIABEL KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Variabel

adalah

sesuatu

yang

dapat

berubah-rubah

dalam

kkepemimpinan pemerinyahan ada 3 variabel angsangat berpengaruh namun selalu berubah-rubah sehingga disebut variabel epemimpinann pemerintahan, yaitu sebagai berikut diuraikan dibawah ini :

A. VARIABEL SITUASI DAN KONDISI PEMERINTAHAN Ada tujuh situasi dan kondisi yang menyebabkan kondisi pemerintahan harus otokratis atau demokrasi yaitu : 1. Faktor sifat dan bentuk negara, bila situasi dan kondisi negara dalam keadaan bebentuk serikat atau federal, maka akan membuat pemimpin relatif pemerintahannya cenderung lebih melakukan demokratis,

pemerintahan

yang

sedangkan bila situasi dan kondisi negara kesatuan, maka akan membuat pemimpin pemmerintahannya relatif cenderung lebih otokratis 2. Faktor geograis, bila kondisi suatu negara berbentuk kepulauan maka pemimpin pemerintahan sebaiknya

melakukan demokrasi agar setiap daerah diurus oleh putra daerahnya sendirisedangkan bila geodrafisnya daratan

konntinental maka sebaiknya pemimpin pemerinyahannya melakukan otokratisasi. 3. Fakktor warga negara, bila kondisi suatu negara penduduknya homogen maka pemimpin pemerintahannya sebaiknya otokratis sedangkan bila bentuk pemerinntahannya heterogen maka sebaiknya pemimpin pemerintahannya

melakukan demokrat demokratisasi agar setiap aspirasi suku, agama, adat, kebiasaan tertampung. 4. Faktor berperang sejarah, bila situasi negara senantiasa

maka

sebaiknya

pemimpin

pemeintahannya

melakukan otokratisasi sedangkan bila situasi negara aman, maka sebaiknya pemimpin pemerintahannya melakukan

demokratisasi 5. Faktor efisiensi dan efektivitas, bila suatu negara menghendaki kondisi yang efisien maka sebaiknya pemimpin pemerintahan malakukan demokratisasi sedangkan bila suatu negara menghendaki kondisi yang efektif maka sebaiknya pemimpin pemerintahannya melakukan otokratisasi 6. Faktor Politik, bila negara menghendaki kondisi yang stabil dengan perekonomian yang kontrol maka sebaiknya pemimpin pemerintahan melakukan otokratisasi, sedangkan bila negara melakukan kondisi yang mendidik rakyatnya berpatisipasi, demokratisasi maka pemimpin pemerintahan melakukan

7.

Faktor Rezim yang berkuasa, bila rezim yang berkuasa seorang yang sulit dikritik dengan sendirinya mereka

melakukann ootoratisasi, sedangkan bila elot pemerintahann yang berkuasa seorang yang suka bermusyawarah, maka sebaiknya dilakukan demokratisasi. Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa situasi dan kondisi menentukan bagaimana seorang pemimpin dan pemerintahan seharusnya akan bertindak, bahkan pada siituasi dan kondisi tertentu dapat melahirkan pemimpin, ketika awal kemerdkaan bangssa Indonesia orang membutuhkan orator yang mampu menggugah semangat maka mucul Soekarno, ketika para jenderal terbunuh diawal Orde Baru, orang membutuhkan penebusan maka munncul Soeharto walaupun kemudiann orang bertanya akan kemungkinan pencetusnya adalah sang Arbiter sendiri. Itulah sebabnya terjadi kecelakan pesawat pilot mendominasi keadaan karena satu-satunya penyelamat, ketika kapal akan tenggelam orang begitu mendengar nasihat kapten kapal karena dianggap yang paling tahu soal laut, ketika tejadi perampokan maka polisi yang datang bagaikan dewa penyelamat karena yang bersangkutan seakan-akan mampu mengembalikan barang-barang yang hilang. Itulah sebabnya para dokter dapat sangat berkuasa di rumah sakit karena keinginan datang kerumah sakit tersebut adalah karena butuh pertolongan dokter.

B.

VARIABEL ORANG BANYAK SEBAGAI PENGIKUT Orang bayak yang dikenal sebagai rakyat jelata memang selama ini diam (silent) hanya saja jumlahnya sangat bayak (mayority), maksudnya bila

terjadinya demonstrasi maka karena jumlah orang banyak melebihi jumlah peluru maka kemarahan orang banyak sulit dibendung kita mengenal dengan keroyokan massa yang anarkis, orang banyak yang disebut dengan silent majority. Berikut ini berbagai kemarahan massa yang tidak dapat dibendung oleh pemimpin pemerintahan, kendatipun sebelumnya pemimpin pemerintahannya sangat tirani, kaku dan keras dalam pemerintahannya. 1. ketika massa mengumpul untuk menjatuhkan

Coucescu Di Rumania, kepala negara ini akhirnya diadili oleh massanya sendiri. 2. Ketika massanya mengamuk dipenjara Bastille dan

menuntut Raja Louis turun dari tahtanya. 3. Ketika kerumunan massa pabrik tebu yang mendukung

Corry Aquino mendemmonstrasi Ferdinand Marcos yang memiliki tank siap tembak 4. Ketika massa mahasiswa yang mendorong Amien Rais

untuk mejatuhkan Soeharto yang sudah 32 tahun berkuasa. Oleh karena itu massa dinegara kita sekalipun musti dikenali tuntutannya, dikenali budaya sehari-harinya, dikenali orang yang berada dibelakang layar, dan seberapa jauh lkesatuan tujuan dikenal seberapa kuat pengerahannya serta diprediksi dampak positif serta ekses negatifnya. Setelah itu diperlukan suara yang mantap, penguasaan medan, sumber suara (mick), lokasi strategis seperti podium, panggung dan ditengah lapangan. Kemudian baru dipengaruhi satu persatuan orang yang

berkerumun. Kesalahan bicara yang sedikit saja akan berakibat fatal dalam penguasaan massa seperti ini.

Dalam massa biasanya beredar isu, baik isu yang masuk akal dan diterima umum, tetapi ada pula isu fitnah bahkan konntra isu yang dibuat seseorang yang karena dituduh dibuat alibi. Oleh karena itu diperlukan opini, itulah sebabnya dipersiapkan departemen penerangan selama Orde Baru. Megawati saat ini juga mempersiapkan Undang-Undang penyiaran, untuk menngkebiri kebebasan pers yang dapat mmemmbentuk isu baik yang miring maupun yang baik. Antara kebebasan pers yang memberikan kesalahan pejabat pemerintahan dengan kebebasan pers dalam mmemuat foto porno hendaknya dibedakan karena kebebasab mamuat berita korupsi pejabat dianggap kritik, sedangkan kebebasan pers menyuguhkan ponografi adalah merusak generasi muda. Karena sulitnya membendung kekuatan pengikut dalam kepemimpinan pemerintahan ini, ada istilah yang mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Fox populey fox dey) bahkan dalam islam dikatakan bahwa tangan Tuhan diatas tangan orang banyak (dalam arti kekuasaan orang banyak dilindungi Tuhan karena ada hati nurani yangsedang diperjuangkan sebagai nasib wong cilik).

C.

VARIABEL PENGUASA SEBAGAI PEMIMPIN PEMERINTAHAN Pemeimpin pemerintah adalah penguasa tetapi perlu di ingat bahwa bagaimanapun ytang bersangkutan memiliki kekuasaan namun tetap saja sebagai manusia mempunyai jiwa, jiwa itulah yang memiliki rasa seperti

hibah, sayang, kasih benci, dendam, terharu, gembira, sedih, rindu, cemburu, susah senang dan gunda gulana. Oleh karena itu variabel ini perlu di kaji melalui berbagai disiplin ilmu seperti manajemen, politik, pemerintahan, adminstrasi, kejiwaan, bahkan juga kedokteran. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana bila seorang pemimpin pemerintahan itu hanya berbicara tentang kebenaran logikanya saja tetapi idak meniliki kebaikan moral, artinya, dalam menertibkan pedagang kaki lima yang bersangkutan main usir dalam upaya mencegah berkeliarannya pelcur yang bersangkutan melokalisasikannya, dalam menertibkan perjudian lalu dia mencarikan pulau tertentu agar tidak mengganggu para rohaniawan. Ini adalah yang disebut benar tetapi tidk baik. Kekuasaan itu harus diseimbangkan kekuasaan dengan pelayanan dalam arti

ditujukan kepada mereka yang melakukan dekadensi moral kepada

disebut dengan nahi munkar sedangkan kebaikan ditujukan

masyarkat yang secara aturan memang membutuhkan untuk di tolong tanpa melanggar aturan kesusilaan agama dan adat istiadat, inilah yang di sebut dengan amar maruf. Pemberian kasih yang berlebihan inilah yang melahirkan liberalisme kapitalisme sebagaimana dinyatakan oleh Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and The Spirit Of Capitalism, sedangkan pemusnahan kaum borjuis secara kasar dinyatkan oleh Karl Marx dalam Bukunya Das Capital, kendati Al-quran mengantisipasinya dalam keseimbangan (evenwichtingheid) yang trancendent (Q.S. 1 : 17).

D.

FILSAFAT MANUSIA Ketika seorang pejabat hanya ilmuan maka dia hanya membedakan benar dan salah saja kendati dia juga seharusnya seorang moralis yang membedakan baik dan buruk, bahkan sekaligus harus mampu menjadi seniman pemerintah yaitu mampu membuat , surat keputusan secara yang manis

berpwngaruh,

berpidato

secara

cantik

memimpin

sebagaimana seniman pemerintahan yang memiliki jiwa kepamongprajaan. Dengan demikian akan lahirlah manusia unggul dalam pemerintahan yang akan datang , bukan hanya sekedar memungut pajak dan retribusi saja. Tetapi pemerintah harus memiliki rasa betapa miskinnya rakyat saat ini, jadi bukanlah mempoecundangi rakyat, demi pendapatan asli daerah, sekarang yang hilang dari pemimpin pemerintahan ataupun aparay wakil rakyat adalah perasaan yang berasal dari rasa seni pemerintahan ataupun aparat sendiri, kemudian yang hilang adalah moral yang berasal dari etika pemerintahan itu sendiri, mereka hanya berlogika tetaoi tidak beretika dan tidak berestetika, artinya para pemimpin pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif hanya pintar tetapi tidak bermoral dan tidak berseni, itulah yang di sebut benar tetapi tidak baik dan tidak indah kepemimpinannya. Pemerintah daerah hendaknya menggali potensinya masing-masing dalam mengisi otonomi daerag dewasa ini, kalau perlu belajar dari daerah lain yang sudah maju bahkan negara lain bila memungkinkan, terutama potensi pariwisata yang memang sudah di ciptakan Yang Maha Kuasa adar menarik dengan keberadaannya masing-masing.

BAB 6 TEKNIK KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

E.

H. SIFAT-SIFAT KEPEMIMPINAN

Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas / mutu perilakunya, yang dipakai sebagai suatu kriteria untuk menilai

kepemimpinannya. Ordway Tead dalam Kartono (2004:44) berpendapat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat : 1) Energi jasmaniah dan mental (Physical and Nervous Energy) 2) Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction) 3) Antusiasme (entusiasme, semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar). 4) Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affection) 5) Integritas (Integrity, kejujuran, keutuhan, ketulusan) 6) Penguasaan teknis (Technical Mastery) 7) Ketegasan dalam mengambil keputusan (Decisiveness) 8) Kecerdasan (Inteligence) 9) Keterampilan mengajar (Teaching skill) 10) Kepercayaan (Fait)

Menurut Keith Davis dalam bukunya Human Behavior At Work dalam Thoha (1995:33) merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu. 1)Kecerdasan. Hasil pada umunya membuktikan bahwa pemimpin memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari yang dipimpinnya. Namun yang menarik adalah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.

2)Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial. Pemimpin cenderung lebih matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitasaktivitas sosial. Dia mempunyai mempunyai keinginan menghargai dan dihargai. 3)Motivasi diri dan dorongan berprestasi Para pemimpin relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan

penghargaan yang instrinsik dibanding dari ekstrinsik. 4)Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.

Selanjutnya Terry dalam bukunya Principles of Management dalam Kartono (2004:47) menuliskan sepuluh sifat pemimpin yang unggul yaitu.

1) Kekuatan 2) Stabilitas emosi 3) Pengetahuan tentang relasi insani 4) Kejujuran 5) Objektif 6) Dorongan pribadi 7) Keterampilan berkomunikasi 8) Kemampuan Mengajar 9) Keterampilan sosial 10)Kecakapan teknis dan kecakapan manajerial

I. TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN Dalam diri setiap pemimpin. Hal ini menyebabkan munculnya bermacam-macam teori kepemimpinan Dalam pelaksanaan. kepemimpinan, seorang tentunya mempunyai seni tersendiri. Menurut Wahjosumidjo (1994:116) ada tiga sasaran utama dari teori kepemimpinan, yaitu : sifat, perilaku dan situasi, dan yang lainnya adalah pemimpin. 1) Teori Kepemimpinan

Teori ini didasarkan pendapat bahwa keberhasilan pemimpin karena disebabkan oleh adanya kelebihan dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin itu sendiri. Sifat-sifat itu dapat berupa sifatsifat fisik, seperti : tinggi badan, raut muka, stamina dan sebagainya. Di samping sifat fisik juga sifat kemampuan seperti : Kecerdasan dan cara berbicara. Sifat yang lain adalah sifat

kepribadian, seperti halnya harga diri, kejujuran, keteladanan dan sebagainya.

2) Perilaku

Teori perilaku dan situasi. seorang pemimpin menurut teori ini mempunyai

kecendrungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan, yang dibagi menjadi dua yaitu : (1) Konsiderasi ialah kecenderungan pemimpin yang

menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. (2) Struktur Inisiasi, ialah kecenderungan seorang pemimpin dan peran bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.

3)

Teori kewibawaan pemimpin. Kewibawaan sebagai suatu konsep kepemimpinan menyangkut semua aspek yang berkaitan dengan kepemimpinan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi kelompok lain.

Dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Syafiie (2003:15) mengemukakan TEORI-TEORI MENGENAI KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN itu adalah sebagai berikut. 1) Teori Otokratik Dalam Kepemimpinan Pemerintahan

Teori Otokratis dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori otokratis dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori bagaimana seorang pemimpin pemerintahan dalam menjalankan tugasnya bekerja tanpa menerima saran dari bawahan. Perintah diberikan

dalam satu arah saja artinya tidak diperkenankan membantah, mengkritik, bahkan bertanya. Teori ini biasanya terjadi pada organisasi militer terutama dalam keadaan darurat, dan memang namun tidak menutup bawahan. berakibat cepat serta efektif timbulnya keresahan seperti

kemungkinan Dalam

dikalangan

keadaan

darurat

penanggulangan bahaya, menghadapi musuh, terpepetnya waktu, dan rawan serta krisisnya situasi teori ini diperlukan karena organisasi tidak memiliki waktu untuk berdialog. Dalam pemerintahan, pejabat gubernur, bupati, walikota, camat kepala desa dan lurah yang sedang menghadapi gelombang demonstrasi, kebakaran, kecelakaan dan peristiwa kritis lainnya (Vorce Majur) atau kejadian alam yang tidak pernah dikehendaki oleh akal sehat manusia. Pertimbangan ruang dan waktu untuk teori kepemimpinan yang otokratis ini adalah di tempat yang cendrung relative terbelakang, ttradisional dan semakin lokasi cendrung lebih modernis maka teori ini harus senakin dikurangi.

2)

TEORI

SIFAT

DALAM

KEPEMIMPINAN

PEMERINTAHAN Teori Sifat dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori sifat dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori yang mengatakan bahwa pemimpinan tercipta dari seseorang berdasarkan sifat-sifat

yang dimiliki seseorang tersebut. Berarti yang bersangkutan sudah sejak lahir memilki ciri-ciri untuk menjadi pemimpin. Menurut teori ini seseorang memiliki bawaan bakat turunan, antara lain cukup terampil untuk mengurus orang lain memiliki kkepekaan insiati mempunyai rangsangan emosional untuk membela teman, dewasa dalam pemikiran, pandai membujuk dalam rayuan yang menghanyutkan, gampang berkomnikasi , percaya untuk tampil di depan umum, kreatif dalam

mengemukakan gagasan baru, mempunyai persepsi positif serta jalan keluar setiap masalah, dan selalu berpartisipasi daam setiap kegiatan orang lain. 3) TEORI MANUSIAWI DALAM KEPEMIMPINAN

PEMERINTAHAN Teori Manusiawi dalam Kepemimpinan Pemerintahan.Teori

manusiawi dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori yang pemimpinnya benar-benar merasakan bawahannya (baik rakyat maupun staf) sebagai manusia yang dapat dimotivasi

kebutuhanmnya sehingga menimbulkan kepuasan kerja. Untuk itu teori ini berkaitan dengan teori motivasi. Ada tiga pakar yang popular dengan teori motivasi.

a. Motivasi Motivasi dalam kehidupan manusia sangat diperlukan, hal ini berkaitan dengan peningkatan kinerja manusia itu sendiri. Terutama dalam kelompok atau organisasi, dengan motivasi yang

tinggi tentunya suatu pekerjaan akan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Manusia bukan saja menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu, tetapi juga dalam keinginan mereka untuk motif, motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motif-motif mereka, oleh karena itu sebelum kita mengetahui makna motivasi, terlabih dahulu kita ketahui

pengertian motif itu sendiri. Kartono (2004:174) Motivasi adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impulsimpuls yang muncul dalam kondisi sadar atau tidak sadar.

Menurut Wadjosumidjo (1994:174) Motivasi adalah suatu proses psikologis yang mencermimkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor didalam diri manusia itu sendiri yang disebut intrinsik dan faktor ekstrinsik atau faktor dari luar.

b. Pola Motivasi David Mc. Clelland dalam Hasibuan (2003:97) mengemukakan pola motivasi sebagai berikut. Achievement Motivation, adalah suatu keinginan untuk

mengatasi atau mengalahkan suatu tantangan untuk kemajuan dan pertumbuhan.

Affiliation Motivation,

adalah

dorongan

untuk

melakukan

hubungan-hubungan dengan orang lain. Competence Motivation, adalah dorongan untuk berprestasi baik dengan melakukan pekerjaan yang bermutu tinggi. Power Motivation, adalah dorongan untuk dapat mengendalikan suatu keadaan dan adanya kecendrungan mengambil resiko dalam menghancurkan rintangan-rintangan yang terjadi.

c. Teknik Motivasi Teknik motivasi adalah kemampuan seseorang atau pemimpin secara konseptual atau dengan berbagai sumber daya dan sarana dalam menciptakan situasi yang memungkinkan timbulnya motivasi pada setiap bawahan atau orang lain untuk berperilaku sesuai dengan tujuan organisasi. Menurut Steauss dan Sayles dalam Wahjosumidjo (1994:198) ada enam (6) macam teknik motivasi yaitu sebagai berikut.

Dengan Kekerasan (the strong approach)

pemimpin lebih menekankan wewenang yang dimilikinya, bentuk motivasi yang ada berupa pemaksaan orang untuk bekerja dengan ancaman. Pemimpin menyebutkan setiap aturan yang ada dan kurang memberi kebebasan pada bawahan.

Bersikap Baik

Pemimpin berusaha meningkatakan semangat bawahan dengan memberi kondisi kerja yang baik, berbagai tunjangan, servis, gaji yang tinggi dan sebagainya.

Melalui

Perundingan

secara

Implisit

(implicit

bergainning) Melalui persetujuan atasan dan bawahan mengenai imbalan yang akan diberikan oleh atasan terhadap hasil kerja.

Melalui Kompetisi (Competition)

Kompetisi merupakan sumber motivasi yang cukup baik, yang mengharuskan setiap orang bergantung pada dirinya sendiri untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin. Internalisasi (ineternalized motivation)

Pemimpin selalu memperhatikan kebutuhan bawahan yang berupa keterampilan, kebebasan, prestasi, pengertian,

pengetahuan, posisi seseorang, pujian, penerimaan, perhatian dan rasa percaya diri, sehingga meningkatkan motivasi pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya guna mencapai tujuan yang diinginkan.

4. TEORI PERILAKU PRIBADI DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Teori Perilaku Pribadi dalam kepemimpinan PemerintahanTeori perilaku dalam pemerintahan adalah teori dimana pemimpin melakukan pendekatan kepada bawahan melalui cara-cara non fomal yang tidak resmi. Dengan begitu perintah biasanya dilakukan secara lisan dan bukan tertulis. Jadi kalau teori otokratis dinilai cukup efisien hasilnya maka teori perilaku pribadi cukup efisien dalam tenaga dan biaya. Teori ini memerlukan bakat tersendiri dari pemimpin yang

melakukannya, dalam kepemimpinan pemerintahan biasanya atasan mengadakan arisan, undangn makan malam, kumpul reuni, kesukuan, keagamaan. Di Indonesia hal ini sangat

terdukung karena masyarakat Indonesia dari suku apapun selalu mendahulukan yang dianutnya. pemimpin pemerintahan karena paternalistik

5. TEORI LINGKUNGAN DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Teori Lingkungan dalam Kepemimpinan Pemerintahan.Teori kepemimpinan dalam pemerintahan adalah teori yang

memperhitungkan ruang dan waktu. Berbeda dengan teori sifat yang mengatakan pemimpin itu dilahirkan (Leader is born) maka dalam teori ini pemimpin dapat dibentuk.

Karena suasana kemerdekaan membutuhkan seorang politikus yang memiliki kemampuan orasi yang membakar semangat rakkyat. Soekarno tampil kepanggung kepemimpinan

pemerintahan. Begitu juga ketika PKI dipersalahkan melakukan pemberontakan dan pembantaian para jendral, maka diperlukan seorang jendral bernama Soeharto naik ke panggung

kepemimpinan pemerintahan

6. TEORI SITUASI DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN Teori Situasi dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori situasi dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori dimana

pemimpin memanfaatkan situasi dan kondisi bawahannya dalam kepemimpinannya yaitu dengan memperhatikan dukungan

(supportif) dan mengarahkan (directif). Banyak sekali para pakar yang mendukung teori ini diantaranya adalah Hersey dan Blanchard. Kemudian menyusul Lippit dan White setelah itu juga ditambahkan oleh Martins Evans dan Robert Hause. Bila kepada bawahan tidak terlalu banyak diberikan dukungan dan pengarahan, berarti bawahan tersebut sudah matang artinya bawahan tersebut memang mampu bekerja dan yakin akan menyelesaikannya. Oleh karenanya pimpinan dapat

mendelegasikan wewenangnya, yang disebut delegating.

7. TEORI PERTUKARAN DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Teori pertukaran dalam Kepemimpinan PemerintahanTeori ini adalah dimana pemimpin pemerintahan dalam mempengaruhi bawahannya memakai strategi take and give. Dimana ketika atasan hendak memberikan perintah maka selalu diutarakan bahwa bila berhasil akan dinaikan gaji atau sebaliknya sebelum penerimaan suatu honor, lalu pimpinan mengutarakan bahwa selayaknya bawahan bekerja lebih rajin. Pemimpin yang memakai teori ini senantiasa dalam setiap penggajian dan pemberian apapun dijadikan semacam jasa yang ditanamkan organisasi yang saatt itu sedang di pimpin oleh yang bersangkutan

8. TEORI KONTIGENSI DALAM KEPEMIMPINAN KEPEMERINTAHAN Teori Kontingensi dalam Kepemimpinan Pemerintahan Teori kontingensi dalam kepemimpinan pemerintahan adalah teori yang berpatokkan kepada tiga hal yaitu hubungan atasan dengan bawahan(leader member relation), struktur/organisasi tugas (task structur) dan posisi/wibawa pemimpin (leader position power) yang dikemukakan oleh Fred Fiedler (1976) dalam bukunya A Theory of Leadership Effective

i. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Rivai mengatakan gaya kepemimpinan merupakan dasar

mengklasifikasikan tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu: 1) Mementingkan pelaksanaaan tugas, 2) Mementingkan hubungan kerja sama, 3) Mementingkan hasil yang dapat dicapai.

Ada

dua

hal

yang

biasanya

dilakukan

pemimpin

kepada

bawahannya, yaitu perilaku mengarahkan dan perilaku mendukung. Pamudji (1989:122) memberikan gambaran tentang gaya kepemimpinan pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut : Gaya kepemimpinan adalah bicara tentang bagaimana pemimpin menjalankan yang tugas kepemimpinananya merencanakan, misalnya merumuskan, kepada gaya dan yang

digunakan

dalam

menyampaikan

perintah-perintah/ajakan-ajakan

diperintah, gaya kepemimpinan pemerintahan sangat dipengaruhi faham-faham yang dianut mengenai kekuasaan-kekuasaan dan wewenang sikap mana yang diambil terhadap hak dan martabat manusia.

ii. Tipe Kepemimpinan

Situasi dan kondisi yang berkembang didalam kelompok atau masyarakat sangat mempengaruhi tipe kepemimpinan yang akan

diterapkannya. Tentunya hal ini menjadi persoalan yang sangat penting. Apabila tipe kepemimpinan yang diterapkan tepat sasaran maka seorang pemimpin akan diterima dikalangan kelompoknya. Sebaliknya apabila dia menggunakan tipe yang berlawanan dengan kelompok atau masyarakat tersebut, maka akan sulit untuk dapat sepaham dengan bawahan. Rivai (2004:56) mengatakan tiga tipe pokok kepemimpinan yaitu. 1)Tipe Kepemimpinan Otoriter. Tipe ini menempatkan kekuasan ditangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buah semata-mata hanya sebagai pelaksanan keputusan,

perintah dan bahkan kehendak pimpinan. 2)Tipe Kepemimpinan Kendali Bebas Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan

dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kehendak dan kepentingan masing-masing, baik secara

perorangan maupun kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya memfungsikan diri sebagai penasehat. 3)Tipe Kepemimpinan Demokratis Tipe ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok organisasi. Kepemimpinan

domokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah. Kepemimpinan tipe ini dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah yang diwujudkan pada setiap jenjang dan didalam unit masing-masing.

Kartono (2004:80) mengatakan ada kelompok sarjana lain yang membagi tipe kepemimpinan sebagai berikut. 1)Tipe Kharismatik. Tipe ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaaan yang luar biasa, untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bias dipercaya. 2) Tipe Paternalistis dan Meternalistis. Dalam tipe ini pemimpin bersikap kebapakan. Ia menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa atau anaknya sendiri yang perlu dikembangkan, jarang memberi kesempatan untuk timbulnya inisiatif dari bawah, bahkan dalam tipe meternalistik terlalu over protective (terlalu melindungi). 3)Tipe Militeris. Hal yang paling menonjol dari tipe ini adalah sikap dari pemimpin yang sok kemiliter-meliteran, sangat menyenangi formalitas, garis perintahnya bersifat komando, atau

komunikasisatu arah, disiplin yang kaku dan tidak suka menerima kritikan dari bawahannya. 4) Tipe Otokratis/Otoritatif (autorative dominator) berasal dari kata autos yaitu sendiri, dan karatos yaitu kekuasaan. Jadi otokrat berarti penguasa absolut yaitu pemimpin selalu berperan sebagai

pemain tunggal one man show, jauh dari anggota kelompoknya/ eksklusivisme. Yang paling disukai adalah tipe pegawai dan buruh hamba nan setia. 5) Tipe Leisses Faire, yaitu pemimpin lebih sebagai simbol seluruh pekerjaan dan tanggungjawab dilakukan oleh bawahan sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya kedudukannya diperoleh dengan cara menyogok, penyuapan, atau berkat sistem nepotisme. 6)Tipe Populistis. Kepemimpinan seperti ini mengutamakan penghidupan (kembali) nasionalisme, berpegang tuguh pada nilainilai masyarakat yang tradisional dan kurang mempercayai dukungan luar negeri. 7)Tipe Administratif dan Eksekutif. Kepemimpinan ini adalah tipe kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administratif secara efeketif. Pimpinannya terdiri dari para teknokrat dan administrator-administrator yang mampu

menyelenggarakan dinamika modernisasi dan pembangunan. 8)Tipe Demokratis. Kepemimpinan ini berorientsi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada kepada para semua

pengikutnya,

terdapat koordinasi

pekerjaan

bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggungjawab internal (pada diri sendiri) dan bekerja sama dengan baik, kekuatannya terdapat pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompoknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

Bab dua ini berisi telaah pustaka yang digunakan sebagai landasan pengembangan kerangka teoritis dan perumusan hipotesis. Pertama akan dijelaskan berbagai kerangka teoritis yang membahas mengenai variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian. Kedua, berdasarkan uraian pada bagian pertama, akan dikembangkan suatu rumusan hipotesis penelitian yang didasarkan pada kerangka teoritis dan penelitianpenelitian terdahulu.

A. Kepemimpinan Ketika seorang individu berusaha mempengaruhi perilaku lainnya dalam suatu kelompok tanpa menggunakan bentuk paksaan, usaha ini dapat dikatakan sebagai kepemimpinan. Lebih spesifik lagi, buku Handbook of Leadership (Stogdill, 1974; pada Bass, 1985) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu interaksi antar anggota suatu kelompok. Selanjutnya, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1995) mengatakan bahwa pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih mempengaruhi orang lain daripada perilaku orang lain yang

mempengaruhi mereka. Definisi kepemimpinan menyiratkan bahwa, kepemimpinan

melibatkan penggunaan pengaruh, dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Elemen kedua dalam definisi ini melibatkan pentingnya menjadi agen bagi perubahan, mampu mempengaruhi perilaku dan kinerja bawahannya. Terakhir, definisi ini memusatkan pada

pencapaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus memusatkan pada tujuan-tujuan individu, kelompok, dan organisasi. Keefektifan pemimpin secara khusus diukur dengan pencapaian dari satu atau beberapa kombinasi tujuan-tujuan ini. Individu dapat memandang pemimpinnya efektif atau tidak, berdasarkan kepuasan yang mereka dapatkan dari pengalaman kerja keseluruhan. Pada kenyataannya, diterimanya arahan atau permintaan sang pemimpin sebagian besar tergantung pada harapan pengikutnya bahwa suatu respon yang tepat dapat mengarah pada hasil akhir yang menarik. Bagi Burns (1978; pada Yukl, 1994), kepemimpinan merupakan sebuah proses, bukan sejumlah tindakan yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Burns (1978; pada Yukl, 1994) menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antarhubungan yang berkembang dimana para pemimpin secara terus menerus membangkitkan tanggapan-tanggapan motivasional para pengikut dan memodifikasi perilaku mereka untuk mencapai tujuan bersama.

B. Kepemimpinan Transaksional Sependapat dengan Burns (1978; pada Yukl, 1994), Bass memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Dalam menggunakan gaya transaksi, pemimpin bersandar pada contingent reward leadership (imbalan) dan management by exception (hukuman).

Contingent reward leadership atau kepemimpinan berdasarkan pemberian imbalan merupakan suatu bentuk pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan bawahan, bawahan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kepemimpinan berdasarkan imbalan ini pada umumnya dianggap berhubungan positif dengan kinerja. Hasil-hasil penelitian secara konsisten menemukan bahwa kepemimpinan berdasar imbalan berhubungan positif terhadap kinerja bawahan dan kepuasan

kerja (Hunt & Schuler, 1976; Klimoski & Hayes, 1980; Podsakoff & Schriesheim, 1985; Podsakoff et al., 1982; Sims & Szilagyi, 1975; Sims, 1977; Reitz, 1971; pada Howell & Avolio, 1993). Hubungan positif ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan menjelaskan apa yang dikehendaki pemimpin dan selanjutnya memberi imbalan bila dilakukan dengan benar, maka pimpinan telah mengarahkan bawahan ke kinerja yang dikehendakinya. Selain itu, dalam kepemimpinan berdasarkan imbalan, tercakup kejelasan mengenai jenis-jenis pekerjaan untuk memperoleh imbalan sehingga mampu membangkitkan motivasi individu untuk mencapai dan meningkatkan kinerja. Hasil-hasil meta analisis menemukan bahwa perilaku kepemimpinan berdasarkan imbalan berhubungan positif dengan kinerja bawahan dan perilaku-perilaku pemimpin lainnya berhubungan signifikan dan negatif dengan kinerja, walau besarnya korelasi untuk non-contingent reward dan contingent punishment cukup kecil (Williams & Podsakoff, 1988; pada Williams, Podsakoff, & Huber, 1992).

Selain ditemukannya pengaruh positif, kepemimpinan berdasarkan imbalan juga berpengaruh negatif terhadap beberapa outcomes.

Penelitian Howell dan Merenda (1999) dengan menggunakan responden para manajer dan karyawan bank berusaha meneliti hubungan antara Leader Member Exchange, kepemimpinan transformasional dan

transaksional, dan prediksi jarak terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa kepemimpinan berdasarkan

imbalan berhubungan negatif dengan kinerja karyawan selama lebih dari satu periode. Penelitian lain yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Bass & Avolio, 1990; Bass & Yammarino, 1991; Howell & Merenda, 1999), menyatakan bahwa kepemimpinan berdasarkan imbalan sering tidak berfungsi dan berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan yang sering kali dihubungkan dengan kinerja extra-role (organizational citizenship behavior/OCB). Dimensi kedua kepemimpinan transaksional adalah management by exception yang merupakan transaksi aktif dan pasif antara pemimpin dan bawahan (Hater & Bass, 1988). Perbedaan antara management by exception aktif dan pasif didasarkan pada timing intervensi pemimpin. Dalam bentuk yang aktif, pemimpin terus memonitor kinerja bawahan guna mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus menerus mencari permasalahan dan penyimpangan serta menjelaskan standar kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin yang menggunakan management by exception aktif ini, bisa mendorong kinerja pengikutnya melalui kritik, menjelaskan standar kerja, atau memodifikasi kinerja yang

buruk dengan cara-cara yang bisa diterima untuk menghindarkan konsekuensi yang merugikan. Sedangkan dalam bentuk yang pasif, pemimpin melakukan intervensi dengan kritik dan mengoreksi setelah terjadinya kesalahan. Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya setelah terjadi kesalahan. Pada kepemimpinan transaksional yang didasarkan pada management by exception pasif ini, pemimpin

selalu mengandalkan pada kritik dan teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya (Bass & Yammarino, 1991). Penelitian Howell dan Avolio (1993) menemukan bahwa

management by exception secara aktif maupun pasif akan berdampak negatif pada kinerja. Teguran atau ketidaksetujuan, seperti yang dicontohkan pada managemeny by exception, pada umumnya memiliki dampak negatif pada kepuasan dan kinerja karyawan, terutama bila pemimpin menunggu hingga muncul masalah dan baru menetapkan standar. Penelitian Howell dan Avolio (1993) dan Howell dan Merenda (1999) menyimpulkan bahwa management by exception berhubungan negatif dengan kinerja unit bisnis dan kinerja karyawan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Bass dan Avolio (1990) menyimpulkan bahwa tipe kepemimpinan transaksional merupakan resep yang tidak sepenuhnya dijalankan. Hal ini terutama terjadi bila pemimpin sangat mengandalkan pada management by exception secara pasif, melakukan intervensi hanya bila prosedur dan standar untuk menyelesaikan tugas tidak terpenuhi. Sudah jelas bahwa aspek-aspek tertentu dalam kepemimpinan transaksional seperti yang telah

dicontohkan di atas mungkin menjadi kontraproduktif terhadap tujuan pemimpin, pengikut dan organisasi dan akhirnya berdampak negatif pula terhadap kinerja karyawan khususnya oganizational citizenship behavior.

C. Kepemimpinan Transformasional Transformasi diartikan sebagai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, seorang pemimpin yang reformis adalah seorang pemimpin yang mampu melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasi yang dipimpinnya guna mendapatkan atau mencapai kinerja organisasi yang lebih baik. Seorang pemimpin yang reformis adalah juga seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan transformasional merupakan perluasan dari

kepemimpinan transaksional yang mencakup unsur yang lebih luas dari kepemimpinan transaksional (Waldman, Bass, & Einstein, 1985). Bass (1985; pada Yukl, 1994) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang dibangun dari gagasan-gagasan Burns. Tingkat sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahannya. Para bawahan seorang pemimpin transformasional merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin dan termotivasi untuk melakukan lebih dari yang awalnya diharapkan terhadap mereka. Pemimpin transformasional berusaha mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: (a) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (b) meminta individu mementingkan kepentingan

tim di atas kepentingan pribadi, dan (c) mengubah tingkat kebutuhan (Hirarki Maslow) bawahan atau memperluas kebutuhan bawahan. Pemimpin yang transformasional mendapatkan komitmen lebih besar dari bawahan dan mendorong mereka mendahulukan kepentingan organisasi di atas

kepentingan pribadi bukan saja dengan kharismanya tapi juga dengan berperan sebagai pelatih, guru atau mentor (Bass, 1985; Yukl, 1989; Keller, 1992). Pada kepemimpinan transformasional menerapkan lebih dari sekedar pertukaran dan selalu berusaha meningkatkan perhatian, memberi stimulasi intelektual dan memberi inspirasi pada bawahan untuk lebih mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi. Jenis kepemimpinan ini lebih dari sekedar transaksi konstruktif dan korektif. Formulasi asli teori kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen: idealized influence (karisma), stimulasi intelektual (intelectual stimulation), dan perhatian individual (individualized consideration) (Bass, 1985). Sebuah revisi baru dari teori kepemimpinan transformasional, menambahkan perilaku transformasional lain yang disebut motivasi inspirasi (inspirational motivation) (Bass & Avolio, 1990). Sehingga secara keseluruhan terdapat 4 (empat) dimensi dalam kepemimpinan transformasional, yaitu: 1. Karisma (idealized influence/charisma). Pemimpin yang karismatik akan mampu menumbuhkan antusiasme dan loyalitas di kalangan para anggota organisasi, mendorong mereka untuk mengemukakan pendapat dan pandangan mereka secara bebas serta mampu mengarahkan perhatian mereka ke visi yang mengantisipasi situasi dan kondisi di masa datang. 2. Rangsangan intelektual (intelectual stimulation). Pemimpin yang memiliki intelektualitas mengajak para anggota organisasi untuk berpikir secara

rasional serta menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para bawahan juga didorong untuk berpikir dengan cara

mereka sendiri, menghadapi tantangan, dan mempertimbangkan caracara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka sendiri. 3. Perhatian individual (individualized consideration). Pemimpin selalu memberikan perhatian pada persoalan yang dihadapi dan kebutuhan para anggota organisasi serta mau membantu memecahkan persoalan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Para bawahan diperlakukan secara berbeda-beda tetapi adil dengan dasar perhatian satu per satu. Bukan saja kebutuhan mereka dikenali dan perspektif mereka

ditingkatkan, tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih efektif, dan pekerjaan yang menantang juga diberikan kepada bawahan. Dengan perhatian individual, tugas-tugas diberikan kepada bawahan untuk memberikan kesempatan belajar. 4. Motivasi inspirasi (inspirational motivation), sering tumpang tindih dengan pengertian karisma, tergantung pada seberapa besar bawahan berusaha mengidentifikasikan diri mereka dengan pemimpin. Menetapkan simbolsimbol dan menyederhanakan himbauan-himbauan emosional untuk meningkatkan kesadaran dan pengertian mengenai tujuan bersama. Perilaku-perilaku dimensi dari kepemimpinan transformasional tersebut saling berhubungan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut. Besarnya inspirasi yang ditimbulkan oleh pemimpin

transformasional pada pengikutnya untuk menyelesaikan tujuan-tujuan yang lebih sulit, mendekati dan memecahkan masalah dengan cara-cara baru, dan

meningkatkan kemampuan mereka, akan berhubungan langsung dengan prosentase sasaran yang akan dicapai oleh perusahaan. Dengan

menggunakan inspirasi, karismatik, perhatian individual atau rangsangan intelektual, para pemimpin transformasional membantu pengikut menjadi lebih percaya untuk mencapai sasaran-sasaran yang ada dan bekerja sesuai dengan arah yang akan mengarah ke pencapaian sasaran yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Para pemimpin transformasional juga cenderung memperhatikan bawahan secara individual, berbagi rasa dan memperlakukan masing-masing sebagai individu. Para manajer yang memberi rangsangan intelektual mengubah cara pandang bawahan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dengan membantu mereka memandang permasalahan-

permasalahan lama dengan cara kreatif. Lebih lanjut Tichy dan Devana (1986; pada Yukl, 1994) berusaha mengidentifikasikan dan menganalisis proses-proses yang khas yang terjadi bila para pemimpin mengubah dan menghidupkan kembali organisasi, perilaku-perilaku yang memudahkan proses tersebut, serta karakteristikkarakteristik dari ciri-ciri dan ketrampilan-ketrampilan para pemimpin

transformasional. Proses tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari tahap-tahap: (1) dimulai dengan pengakuan akan kebutuhan perubahan, (2) mengelola transisi perubahan, (3) menciptaan sebuah visi yang baru, dan (4) melembagakan perubahan-perubahan tersebut. Pada setiap tahap dari proses transformasional tersebut, keberhasilan pemimpin sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan ketrampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai

atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen-agen perubahan, (2) mereka adalah para pengambil resiko yang berhati-hati, (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, (4) mereka mampu mengartikulasikan

sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka, (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman, (6) mereka mempunyai ketrampilan kognitif, dan yakin pada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati, dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi dan mempercayai intuisi mereka. Karena besarnya dampak kepemimpinan transformasional pada keinginan bawahan untuk berkinerja dengan baik, bila dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional akan lebih berhubungan dengan rating kinerja. Faktor-faktor transaksional dan

transformasional akan berhubungan dengan cara yang berlainan dengan berbagai aspek kepuasan bawahan dengan sistem pengukuran kinerja organisasi. Beberapa bukti penelitian yang telah terakumulasi menyimpulkan, bahwa jenis kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja karyawan dalam banyak cara yang secara kuantitatif dan kualitatif berbeda dengan jenis kepemimpinan lainnya contohnya kepemimpinan transaksional. Bass (1985; pada Waldman, Bass & Einstein, 1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional akan memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan kepemimpinan transaksional pada kinerja bawahan. Dengan memperjelas sasaran kerja dan imbalan-imbalan yang terkait pada para bawahan, para pemimpin transaksional meningkatkan usaha dan kinerja untuk mencapai

sasaran. Di sisi lain, karena membangun inspirasi dan kepercayaan diri yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional, bisa diduga adanya usaha dan kinerja yang melebihi apa yang telah ditetapkan atasan. Hal ini akan tercermin pada evaluasi kinerja yang lebih tinggi yang diberikan kepada bawahan yang menganggap para pemimpin mereka transformasional. Di samping itu Bass (1985; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) juga berpendapat bahwa pemimpin transformasional dapat menggunakan tiga komponennya (charisma, individualized consideration, dan intellectual stimulation) untuk mengubah motivasi karyawan dan meningkatkan kinerja unit lebih dari yang telah diharapkan. Bukti-bukti empiris juga menyimpulkan bahwa kepemimpinan

transformasional dan komponen-komponennya berhubungan positif dengan kinerja pada area penelitian yang berbeda-beda yaitu pada: studi lapangan (Curphy, 1992; Hater & Bass, 1988; pada Howell & Merenda, 1999; Howell & Avolio, 1993; Keller, 1992), penelitian historis (House, Spangler, & Woycke, 1991; pada Howell & Merenda, 1999), penelitian laboratorium (Howell & Frost, 1989; Kirkpatrick & Lacke, 1996; pada Howell & Merenda, 1999), dan penelitian meta analisis ( Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam, 1996; pada Howell & Merenda, 1999). Lebih dari 35 penelitian mengenai pengaruh kepemimpinan

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan (Kirkpatrick & Locke, 1996). Sedangkan Shamir, House, dan Arthur (1993) berpendapat bahwa lebih dari 20 penelitian menemukan adanya hubungan positif pemimpin kharismatik atau kepemimpinan transformasional terhadap kinerja, sikap, dan persepsi

karyawan.

Hasil

meta

analisis

mengenai

penelitian

kepemimpinan

transaksional dan transformasional menemukan bahwa baik pemimpin transaksional maupun pemimpin transformasional berhubungan positif dengan kinerja karyawan, meskipun pemimpin transformasional mempunyai hubungan positif yang lebih kuat dibanding pemimpin transaksional terjadap kinerja karyawan. Penelitian Sosik, Avolio, dan Kahai (1997) yang mengevaluasi mengenai pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) dan anonymity level terhadap potensi dan keefektifan kelompok, menemukan bahwa pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) terhadap potensi dan keefektifan kelompok adalah positif. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Howell dan Avolio (1993), bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja

perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk kinerja unit bisnis terkonsolidasi. Begitu juga, penelitian Keller (1992) menyatakan bahwa pemimpin yang

efektif dalam kelompok proyek R & D cenderung memberikan inspirasi dan menekankan pentingnya pelaksanaan tugas, merangsang cara-cara berpikir baru dan pemecahan masalah dan mendorong anggota kelompok bekerja lebih banyak dibanding yang ditentukan sehingga dapat meningkatkan kualitas proyek. Sedangkan beberapa penelitian lainnya walaupun tidak secara langsung mengkaitkan hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja karyawan, namun berusaha mengkaitkannya dengan: kinerja unit bisnis (Howell & Avolio, 1993); keefektifan kepemimpinan, upaya ekstra

bawahan, dan kepuasan kerja (Bass & Seltzer, 1990); dan komitmen organisasi (Bycio, Hackett, & Allen, 1995; Koh, Steers, & Terborg, 1995). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa para manajer yang berperilaku seperti pemimpin transformasional lebih berkecenderungan dipandang oleh para teman kerja dan karyawannya sebagai pemimpin yang memuaskan dan efektif dibanding mereka yang berperilaku seperti pemimpin transaksional, sesuai dengan respon dari para teman kerja, supervisor, dan karyawan pada Multifactor Leadership Questionaire (MLQ). Hasil yang sama ditemukan diberbagai setting organisasi. Para pemimpin yang diteliti berasal dari berbagai bagian organisasi: chief executive officers, senior manajer, dan manajer level menengah di perusahaan-perusahaan bisnis dan industri di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan India; pemimpin-pemimpin proyek riset dan

pengembangan; para pejabat militer angkatan darat di Amerika, Kanada, dan Inggris; pejabat senior angkatan laut di Amerika Serikat; taruna angkatan laut di Annapolis; penyelenggara pendidikan; dan para pemimpin agama.

D. Pemberdayaan Psikologis (Psychological Empowerment) Pemberdayaan (empowerment) menjadi isu manajemen dan bisnis yang telah menjadi bahasa sehari-hari di kalangan praktisi manajemen dan sumber daya manusia. Bagi perusahaan integral berskala dalam global, kegiatan

pemberdayaan

bahkan

menjadi

bagian

manajerialnya. Perusahaan menerapkan pemberdayaan sebagai bagian dari upaya pengembangan keunggulan kompetitif di tengah persaingan global. Dalam penerapannya, pemberdayaan memerlukan pendekatan

baik dari pihak manajemen/pimpinan untuk rela memberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang kepada karyawan disertai kepercayaan maupun dari pihak karyawan untuk terus mengembangkan potensi diri guna menjalankan tugas/tanggungjawab yang dipercayakan. Pilihan manajemen untuk menerapkan pemberdayaan amat tepat sebab situasi dan perubahan pasar menuntut inovasi, kemampuan, dan kecepatan perubahan untuk beradaptasi. Pemberdayaan didefinisikan sebagai keyakinan pengikut akan kemampuan mereka sendiri, atau kemampuan organisasi atau unit tempat mereka bekerja, untuk mengatasi hambatan dan mengontrol peristiwa (Behling & McFillen, 1996). Pemberdayaan melebihi delegasi wewenang. Karyawan

diperlakukan sebagai mitra kerja sehingga ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab atas aset perusahaan. Dengan pemberdayaan, karyawan diberi kemampuan dan kesempatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan mengendalikan implementasi dari rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan atau tanggung jawab kelompok (Nangoi, 2001). Pemberdayaan harus disertai dengan

pemberian kekuasaan (power) dan tanggung jawab yang lebih besar kepada karyawan dan berimplikasi positif bagi peningkatan

kompetensi/kapasitas mereka. Dengan pemberdayaan, tenaga kerja diharapkan dapat melakukan pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan secara baik. Pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan jelas perlu diimbangi dengan tingkat kemampuan dan pengetahuan karyawan akan tugas yang harus dijalankannya. Dalam pemberdayaan, karyawan

harus dipastikan: (1) memiliki pengetahuan (knowledge) yang memadai dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka, (2) memahami visi yang akan dituju organisasi, (3) memiliki komitmen terhadap visi organisasi, dan (4) memanfaatkan smart technologies untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam pembuatan produk dan

penyediaan jasa bagi konsumen. Para peneliti dan praktisi organisasi telah mengidentifikasikan

pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) sebagai konstruk yang perlu memperoleh perhatian kritis. Meluasnya minat terhadap masalah pemberdayaan psikologis muncul pada saat persaingan global dan berbagai perubahan yang terjadi sehingga mengharuskan anggota organisasi untuk lebih memiliki inisiatif dan inovatif (Drucker, 1988; pada Spreitzer, 1995). Thomas & Velthouse (1990) telah mengusulkan pandangan-

pandangan alternatif tentang pemberdayaan yang dibedakan antara atribut situasional (contohnya: praktek-praktek manajemen) dengan kognisi

pekerjaan dari atribut-atribut tersebut (contohnya: pemberdayaan psikologis). Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) menyatakan bahwa praktek-praktek manajemen hanyalah merupakan satu rangkaian kondisi dan praktek tersebut tidak selalu berhasil untuk memperkuat keinginan para pegawai tanpa dilengkapi dengan pemberdayaan psikologis dari karyawan tersebut. Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) mendefiniskan pemberdayaan pemenuhan diri, psikologis sebagai konsep motivasional tentang

yang secara lebih spesifik dapat dinyatakan sebagai yang

meningkatnya motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation)

terwujud dalam serangkaian kognisi yang mencerminkan orientasi individu pada peran kerjanya yang terwujud dalam empat dimensi: arti (meaning), kompetensi (comptence), pemenuhan diri (self-determination), dan

pengaruh (impact). Motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation) dapat diartikan sebagai apa yang dirasakan oleh individu yang secara langsung dirasakan dari tugas atau kerjanya. Penjelasan dari masing-masing dimensi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Arti (meaning), adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan (Thomas & Velthouse, 1990). Arti mencakup suatu kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku (Brief & Nord, 1990; Hackman & Oldham, 1980; pada Spreitzer, 1995). 2. Kompetensi (competence), mempunyai arti yang sama dengan selfefficacy, yaitu keyakinan individu atas kemampuannya dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan keahlian yang dimilikinya (Gist, 1987; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi merupakan keyakinan,

penguasan pribadi, atau pengharapan yang berkaitan dengan usaha dan hasil kerja (Bandura, 1989; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi lebih memfokuskan pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan peran kerja secara luas yang sering kali diistilahkan dengan self-esteem. 3. Penentuan diri (self-determination), adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan dalam mengawali dan mengatur tindakan (Deci, Connell, & Ryan, 1989; pada Spreitzer, 1995). Penentuan diri

merefleksikan otonomi dalam mengawali dan melaksanakan perilaku dan

proses kerja, misalnya mengenai pembuatan keputusan tentang metode kerja, kecepatan, dan usaha yang dilaksanakan (Bell & Staw, 1989; Spector, 1986; pada Spreitzer, 1995). 4. Pengaruh (impact), adalah tingkat dimana individu dapat mempengaruhi hasil-hasil strategik, administratif, dan operasional dari hasil kerja (Ashforth, 1989; pada Spreitzer, 1995). Lebih jauh lagi, pengaruh berbeda dari locus of control, dimana pengaruh dipengaruhi oleh lingkup kerja, sedangkan internal locus of control merupakan karakteristik kepribadian global yang berlaku dalam semua situasi (Wolfe & Robertshaw, 1982; pada Spreitzer, 1995). Secara bersama-sama, keempat dimensi tersebut merefleksikan orientasi terhadap suatu peran kerja secara aktif. Orientasi aktif yang dimaksudkan di sini adalah orientasi dimana individu berkeinginan dan merasa mampu melaksanakan peran dalam konteks kerjanya. Keempat dimensi di atas tergabung membentuk keseluruhan konstruk

pemberdayaan psikologis, atau dengan kata lain, apabila salah satu dimensi tidak ada, maka tingkat pemberdayaan yang diperoleh juga tidak maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan psikologis meliputi variabel individual (locus of control) dan variabel struktural sosial (desain kerja, iklim kerja, dan sistem reward) (Spreitzer, 1995). Sejumlah asumsi umum tentang definisi pemberdayaan perlu dijelaskan lebih jauh. Pertama, pemberdayaan bukanlah karakteristik kepribadian yang tahan lama dan bisa digeneralisasikan dalam semua situasi, namun lebih merupakan serangkaian kognisi yang terbentuk oleh lingkungan kerja (Thomas & Velthouse, 1990). Dengan demikian,

pemberdayaan mencerminkan persepsi individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan lingkungan kerja (Bandura, 1989; pada Thomas & Velthouse, 1990). Kedua, pemberdayaan merupakan variabel yang kontinyu, individu bisa dilihat sebagai individu yang memperoleh pemberdayaan besar atau kecil, bukan individu yang memperoleh pemberdayaan pemberdayaan dan bukan tidak memperoleh pemberdayaan. global yang Ketiga, bisa

merupakan

konstruk

digeneralisasikan dalam berbagai peran dan situasi kehidupan, namun hanya terbatas pada bidang kerja. Studi mengenai pemberdayaan psikologis didasarkan pada lingkungan kerja, bukan didasarkan pada penilaian global.

E. Substitut Kepemimpinan (Substitutes for Leadership) Kerr dan Jermier (1978; pada Yukl 1994) telah mengembangkan sebuah model untuk mengidentifikaskan aspek-aspek situasi yang mengurangi pentingnya kepemimpinan bagi para manajer dan para pemimpin formal lainnya. Teori tersebut membuat perbedaan antara dua jenis variabel situasional: substitute (substitusi/pengganti) dan neutralizer (penetral). Substitute membuat perilaku pemimpin itu tidak perlu dan berkelebihan. Substitute mencakup setiap karakteristik dari bawahan,

tugas, dan organisasi yang memastikan agar para bawahan dengan jelas memahami peran mereka, pengetahuan mengenai cara melakukan tugasnya, sangat termotivasi, dan puas dengan pekerjaan mereka. Sedangkan neutralizer adalah setiap karakteristik dari tugas atau

organisasi yang menghalangi seorang pemimpin untuk bertindak dalam suatu cara spesifik atau yang menghapus efek-efek tindakan-tindakan pemimpin tersebut. Misalnya, kurangnya kekuasan seorang pemimpin untuk memberi imbalan bagi kinerja yang efektif, merupakan suatu hambatan situasional yang bertindak sebagai suatu neutralizer,

sedangkan kurangnya minat terhadap suatu insentif yang ditawarkan pemimpin tersebut merupakan sebuah kondisi yang membuat perilaku tersebut menjadi tidak ada artinya. Seperti dikatakan oleh Howell, Bowen, Dorfman, Kerr, dan Podsakoff (1990; pada Yukl, 1994),..substitut kepemimpinan

berfokus kepada apakah para bawahan menerima bimbingan mengenai tugas serta insentif untuk berbuat tanpa menganggap selalu benar bahwa pemimpin formal tersebut adalah pemasok yang utama. Sebenarnya, substitute adalah aspek-aspek situasi yang

menyebabkan variabel-variabel intervensi berada pada tingkat optimal, sedangkan neutralizer merupakan hambatan-hambatan yang mencegah atau mengecilkan hati pemimpin tersebut untuk melakukan hal-hal untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang sekarang terdapat pada variabel-variabel intervensi. Dalam praktiknya substitute dan neutralizer sangat sulit untuk dibedakan, dan istilah substitutes for leadership (substitusi kepemimpinan) seringkali digunakan sebagai istilah umum bagi keduanya. Pada substitut kepemimpinan tercakup 3 (tiga) karakteristik utama dan 12 (duabelas) dimensi. Penjelasan dari masing-masing karakteristik dan dimensi dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Karakteristik Bawahan (characteristics of subordinates), terdiri dari 4 dimensi: a. Kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan (ability,

experience, training, and knowledge) Bila para bawahan mempunyai kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan sebelumnya yang ekstensif, maka sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan karena mereka sudah mempunyai ketrampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka mempunyai kompetensi untuk bekerja secara independen atau tidak tergantung pada atasan mereka dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mereka tidak tergantung pada atasan dalam hal memperoleh data, informasi, maupun nasehat. b. Orientasi profesional (professional orientation) Para profesional yang secara internal termotivasi oleh nila-nilai,

kebutuhan-kebutuhan, dan etika, mereka tidak perlu dorongan dari pemimpin tersebut untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas tinggi. Para profesional mempunyai perhatian lebih pada proses kerja yang sesuai dengan disiplin ilmunya dan bukan pada evaluasi kerja nantinya. c. Tidak tergantung terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi

(indifference toward organizational rewards). Pada tingkat tertentu penghargaan akan memotivasi individu, tergantung pada apakah: 1. Kompensasi yang ditawarkan perusahaan berarti atau penting bagi individu. 2. Kenaikan kompensasi tergantung pada kinerja.

3. Bawahan yakin bahwa usaha yang lebih akan menghasilkan imbalan yang lebih tinggi. Namun kadangkala bawahan bersikap acuh terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi. Misalnya, bawahan yang menginginkan lebih banyak waktu untuk berada dengan keluarganya tidak akan termotivasi oleh tawaran uang yang lebih banyak agar mau bekerja lebih banyak beberapa jam. d. Keinginan karyawan untuk mandiri (subordinate need for independence) Para bawahan menginginkan otonomi lebih di tempat kerjanya. Mereka menginginkan kontrol lebih pada bagaimana pekerjaan harus dilakukan melalui beberapa program yang fleksibel.

2. Karakteristik tugas (characteristics of tasks), teridir dari 3 dimensi: a. Kejelasan, kerutinan, dan metodologi dari riset (unambiguous, routine, methodologically invariant tasks). Substitut lain bagi kepemimpinan instrumental adalah sebuah tugas sederhana dan yang diulang-ulang. Para bawahan dapat dengan cepat belajar ketrampilan yang sesuai bagi jenis pekerjaan tanpa pelatihan dan instruksi yang ekstensif dari pemimpin. b. Adanya umpan balik dari tugas (task provided feedback concerning accomplishment). Bilamana tugas atau pekerjaan memberi umpan balik (feedback) secara otomatis tentang bagaimana baiknya pekerjaan dilaksanakan, maka pemimpin tidak perlu lagi memberikan umpan balik. Misalnya, sebuah studi

telah menemukan bahwa para pekerja dalam sebuah perusahaan yang mempunyai networked computer system dan computer integrated manufacturing tidak membutuhkan banyak supervisi karena mereka mampu untuk memperoleh arus balik mengenai produktivitas serta kualitas secara langsung dari sistem informasi tersebut, dan mereka dapat memperoleh bantuan dalam memecahkan masalah-masalah dengan memintanya kepada orang lain dalam jaringan kerja tersebut (Lawler, 1988; pada Yukl, 1994). c. Tugas yang secara intrinsik memuaskan (intrinsically satisfying tasks). Jika pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan menarik dan menyenangkan, maka para bawahan dapat cukup termotivasi oleh pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan apa pun dari pemimpin dalam mendorong dan memberi mereka inspirasi. Sebagai tambahan, sebuah pekerjaan yang sangat menarik dan menyenangkan dapat digunakan sebagai sebuah substitut bagi kepemimpinan yang mendukung dalam kaitannya dengan

memastikan suatu tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

3. Karakteristik organisasi (characteristics of organization) terdiri dari 6 dimensi: a. Tingkat formalitas dari organisasi (organizational formalization) Dalam organisasi-organisasi yang mempunyai peraturan, pengaturan, dan kebijakan-kebijakan tertulis, sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan segera setelah peraturan-peraturan serta kebijakan-kebijakan tersebut dipahami oleh para bawahan.

b.

Tingkat kekakuan dari organisasi (organizational inflexibility) Peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan dapat membantu sebagai suatu neutralizer maupun sebagai suatu substitute bila peraturan atau kebijakan tersebut tidak fleksibel (kaku) sehingga menghalangi seorang pemimpin untuk membuat perubahan-perubahan dalam penugasan pekerjaan atau dalam prosedur-prosedur untuk memudahkan usaha-usaha para bawahan. c. Dukungan dari penasehat dan staf (advisory and staff support) Dukungan dan kerjasama dari penasehat maupun staf di luar departemen atau unit kerja merupakan substitut bagi kepemimpinan. Para bawahan cukup melakukan kerjasama dengan staf lain untuk mendapatkan informasi, data, dan laporan guna melengkapi pekerjaan tanpa bantuan pemimpin. d. Tingkat kohesivitas dari kelompok kerja (closely-knit, cohesive,

interdependent work groups) Substitut lain bagi kepemimpinan yang mendukung adalah sebuah kelompok yang sangat kohesif (cohesive) atau solider, yang di dalamnya para bawahan memperoleh dukungan psikologis satu sama lainnya bilamana diperlukan. Solidaritas kelompok (group cohesiveness) dapat mensubstitusi usaha-usaha kepemimpinan untuk memotivasi para

bawahan bila tekanan-tekanan sosial terjadi bagi masing-masing anggota, untuk membuat kontribusi yang signifikan kepada tugas kelompok. Sebaliknya, solidaritas dapat digunakan sebagai suatu neutralizer bila hubungan dengan manajemen itu jelek, dan tekanan sosial dilakukan untuk membatasi produksi.

e. Penghargaan

organisasi

yang

berada

di

luar

kontrol

pemimpin

(organizational rewards not within the leadersubstitutes for leadership control) Sebuah sistem imbalan otomatis seperti komisi atau bagi hasil dapat mensubstitusi penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. Position power yang terbatas atau serikat kerja yang kuat cenderung akan mentralisir penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. f. Jarak atau ruang antara pemimpin dan karyawan (spatial distance between superior and subordinate). Perilaku pemimpin yang mendukung dan yang instrumental dinetralisir bila para bawahan secara geografis terpencar dan tidak sering mempunyai kontak dengan pemimpin mereka.

F. Organizational Citizenship Behavior Meskipun Katz (1964, pada Williams & Anderson, 1991) telah membedakan antara perilaku in-role dan extra-role lebih dari 25 tahun yang lalu, hal ini belum membuktikan bahwa pengukuran perilaku extrarole yang dilaksanakan oleh supervisor benar-benar berbeda dari pengukuran perilaku in-role. Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-role dengan perilaku extra-role adalah pada reward. Pada in-role biasanya dihubungkan dengan reward dan sanksi (hukuman), sedangkan pada extra-role biasanya terbebas dari reward dan perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam reward yang akan mereka

terima (Morrison, 1994). Tidak ada insentif tambahan yang diberikan ketika individu berperilaku extra-role. Organizational citizenship behavior (OCB) dilihat secara luas sebagai faktor yang memberikan sumbangan pada hasil kerja organisasi secara keseluruhan. Pemimpin memainkan peran penting dalam

mendorong pencapaian OCB dengan cara meningkatkan sikap positif karyawan (misalnya: melalui kepuasan kerja, keadilan, dan komitmen organisasi). Organizational citizenship behavior oleh peneliti OCB didefinisikan terpisah dari kinerja in-role (bekerja sesuai dengan tugas dan deskripsi kerja), dan menekankan OCB sebagai kinerja extra- role (Bateman & Organ, 1983; Smith et al., 1983; pada Van Dyne, Graham, & Dienesch, 1994). Organizational citizenship behavior seringkali

didefinisikan sebagai perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih, yang secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi (Organ, 1988; pada Williams & Anderson, 1991). Sedangkan Organ (1988; pada Williams & Anderson, 1991)

mendefinisikan OCB sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan beban kerja mereka, tidak banyak beristirahat, melaksanakan tugas yang tidak diminta, dan membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah.

Peran penting OCB adalah mampu memperbaiki dan meningkatkan keefektifan dan keefisienan organisasi melalui transformasi sumberdaya, proses inovasi, dan proses adaptasi. Beberapa bentuk dari OCB adalah:1. Mengutamakan kepentingan orang lain, misalnya dengan membantu

rekan kerja dalam suatu proyek2. Bekerja dengan teliti, termasuk di dalamnya menggunakan waktu kerja

yang ada tanpa membuang waktu3. Civic virtue, misalnya: selalu mencari informasi baru. 4. Sportif, termasuk bekerja tanpa mengeluh 5. Berusaha menghindari masalah dengan melakukan pengecekan terlebih

dahulu, tidak mudah dipengaruhi saat diprovokasi Secara konseptual OCB dapat dibedakan menjadi dua kategori: OCBO dan OCBI. OCBO adalah perilaku-perilaku yang bermanfaat bagi organisasi pada umumnya (misal: kehadiran di tempat kerja melebihi norma yang berlaku dan mentaati peraturan-peraturan informal yang ditetapkan untuk memelihara ketertiban). Sedangkan OCBI adalah perilaku-perilaku yang secara langsung bermanfaat bagi individu itu sendiri dan tidak secara langsung juga bermanfaat bagi organisasi (misal: membantu orang lain yang tidak masuk kerja dan bersedia membantu karyawan baru). G. Perilaku Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan

Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior Berbagai studi telah menguji bagaimana perilaku kepemimpinan seperti yang dilukiskan oleh para bawahan pada MLQ berhubungan

dengan berbagai kriteria tentang efektifitas kepemimpinan seperti penilaian kinerja oleh para atasan dan tingkat komitmen terhadap pekerja seperti yang dilaporkan oleh para bawahan (Avolio & Howell, 1992; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Waldman, Bass, & Einstein, 1987; Waldman, Bass, & Yammarino, 1990; Yammarino & Bass, 1990; pada Yukl, 1994; Hater & Bass, 1998; Seltzer & Bass, 1990). Dalam studi-studi tersebut, perilaku-perilaku dari kepemimpinan transformasional biasanya

berkorelasi lebih kuat dengan beberapa variabel kriteria daripada perilakuperilaku kepemimpinan transaksional, tetapi beberapa perilaku

kepemimpinan transaksional (misal: contingent reward dan management by exception active) adalah juga relevan bagi efektifitas dari pemimpin. Hasil-hasil dari penelitian tersebut mendukung konklusi bahwa para pemimpin yang efektif menggunakan dan sebuah campuran perilaku

kepemimpinan transaksional. Selain itu,

transformasional

perilaku

kepemimpinan

beberapa

penelitian

empiris

dan

meta

analisis

menyimpulkan bahwa kepemimpinan transaksional dan transformasional mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap OCB. Walaupun beberapa penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemimpinan transaksional dan kinerja karyawan, Hater dan

Bass (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional (contingent reward dan management by exception) sebenarnya mempunyai hubungan positif dengan kepuasan oleh kerja dan keefektifan penilaian yang

dipersepsikan

bawahan.

Dengan

menggunakan

hierarchical

regression analysis, hasil penelitian menemukan bahwa kepemimpinan

transformasional

memberikan

tambahan

pengaruh

melebihi

kepemimpinan transaksional yang dinyatakan dengan peningkatan F ratio dari 87,88 menjadi 141,62. Hal ini didukung oleh penelitian Koh, Steers, dan Terborg (1995) yang menguji pengaruh langsung perilaku pemimpin transformasional dan kepemimpinan transaksional yang dihubungkan dengan komitmen

organisasi, OCB, kepuasan terhadap pemimpin, dan kinerja objektif (produktivitas, turnover, dan absensi). Hasil analisis dengan menggunakan hierarchical regression analysis y