tugas tas filsafat ilmu

Upload: ferdiyupw

Post on 18-Jul-2015

330 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PARADIGMA Pengertian Paradigma Secara Umum Versus Pendekatan Paradigma Menurut Thomas Kuhn Dalam Pengembangan Penelitian Ilmiah Untuk Mencapai Kebenaran Maya Djawa, S.Th Abstraksi : Adapun rumusan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kita memahami paradigma menurut Kuhnt idak hanya sebatas cara pandang melainkan sebagai suatu standar, pedoaman atau teladan harus dimiliki oleh para ilmuan dalam pengembangan penelitian ilmiah untuk mencapai kebenaran. Penghayatan terhadap makna paradigma lahir melalui proses perdebatan dan eksperimen dari beberapa ilmuan. Disinilah ilmu berproses dan terus mengalami perkembangan. Dan dalam penulisan ini tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui proses terjadinya perkembangan ilmu hingga munculnya konsep paradigma menurut Kuhn yang bermanfaat pengembangan penelitian ilmiah dalam mencapai kebenaran dan kontribusinya bagi pengembagan ilmu selanjutnya.

PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini tidaklah terjadi dengan serta merta. Ia adalah hasil dari interaksi berbagai macam bidang ilmu yang saling bertentangan sesuai dengan dasar filosofisnya masing-masing. Contohnya, Plato, filsuf Yunani, mengatakan bahwa segala yang berasal dari penangkapan indra tidak ada yang layak disebut pengetahuan, dan bahwa satu-satunya pengetahuan yang sejati hanyalah berkaitan dengan konsep-konsep. Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif. Konsep pemikiran Plato dibantah oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa konsep atau idea itu terbentuk setelah melakukan observasi dengan indra. Aristoteles mengandalkan pengamatan indrawi sebagai dasar untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Ajaran Aristoteles mengilhami aliran Empirisme yang dikenalkan oleh David Hume, yang kemudian dipersempit lagi oleh aliran positivisme. Dari positivisme, yang kemudian dikukuhkan oleh kelompok kajian filsafat Lingkaran Wina (Vienna Circle), neo-postivisme, ilmu pengetahuan berkembang

1

pesat, baik ilmu fenomena alam maupun sosial. Mereka menganggap pernyataanpernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense atau meaningless (ungkapan yang tidak bermakna). Kelompok ini kemudian membuat garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Disebut bermakna jika dapat dibuktikan secara empiris-positif dengan metode induktif-verifikatif. Pada akhirnya mereka menyatakan bahwa sesuatu dikatakan ilmiah jika bermakna, dan jika tidak bermakna maka itu tidak ilmiah. Paradigma positivisme maupun neo-positivisme nampaknya mulai terusik dengan hadirnya Karl Popper. Ia secara khusus mengkritik pandangan neopositivisme (Vienna Circle), yang menerapkan pemberlakuan hukum umum (induksi) sebagai teori ilmiah. Menurutnya, peralihan dari partikular ke yang universal (generalisasi) itu secara logis tidak sah. Popper juga menolak penyamaan meaningful dengan ilmiah. Menurut Popper, ungkapan yang tidak ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningful), begitu juga sebaliknya. Pandangan kaum Induktivisme dan Falsifikanisme tentang ilmu hanya memusatkan perhatian pada relasi antara teori dan observasi, dan telah gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang urgen. Baik itu pada penekanan kaum induktifis naif yang menarik teori secara induktif dari hasil observasi, maupun kaum falsifikasi yang menarik dari hasil reduksinya. Dengan teori general dan koheren, konsep akan dapat memperoleh makna yang tepat dan memungkinkan memenuhi kebutuhan untuk berkembang lebih efisien. Karena di dalamnya terdapat petunjuk dan keterangan mengenai bagaimana seharusnya teori (ilmu) itu dikembangkan secara luas. Menurut Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolut dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Adapun Skema perkembangan ilmu pengetahuan menurut Khun dapat penulis sajikan sebagai berikut : Praparadigma - prasscience Paradigma - Norma Science Anomali Kritis

Revolusi Paradigma Baru Ekstra ordinary Science. Konsep utama Kuhn dalam bukunya The Structure of Science Revololution adalah paradigma yang merupakan elemen primer dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dimana seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun disekitar atau berdasarkan paradigma dasar. Hal ini dikarenakan tidak ada satu ilmuan pun yang menghasilkan suatu teori yang pada hakikatnya baru, melainkan ia selalu menjadikan teori baru sebagai paradigma atau dasar pijak ketika ia memulai untuk menemukan hal baru. Paradigma itu memungkinkan seorang ilmuan untuk memecahkan kesulitankesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya dan menuntut adanya revolusi paradigmatic terhadap ilmu tersebut. Dengan demikian, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dunia ilmu pengetahuan selalu berkembang sesuai dengan konteksnya baik itu konteks historis, sosiologis, psikologis, antropologis, dan lain-lain. Berbagai macam perdebatan atau pertentangan justru memberikan gambaran bahwa ilmu itu tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Perdebatan atau pertentangan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu hal yang kokoh. Dalam kaitannya dengan pembahasan penulis mengenai konsep paradigm, maka penulis akan menyajikan apa sebenarnya pengertia dan makna dasar serta implementasi konsep paradigma yang merupakan sumbangsih berharga dari perkembangan ilmu pengetahuan melalui buah pemikiran Kuhn dan beberapa ilmuan besar yang lainnya. Konsep pemikirannya ternyata memberikan penghayatan berharga mengenai bagaimana manusia berpikir dan berkarya dalam ranah filosofis dalam mendalami kehidupan. Dimana kehidupan yang dijalani manusia tidak secara asali berasal dari karyanya sendiri, melainkan melalui sebuah proses panjang dengan melakukan paradigma.

3

PEMBAHASAN Dalam Bab II ini penulis akan membahas mengenai pokok-pokok dasar dari paradigma dan perkembangannya dalam dunia ilmu pengetahuan. A. Pengertian Paradigma Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah : 1. Cara memandang sesuatu. 2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari modelmodel ini fenomena dipandang dan dijelaskan. 3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan menentukan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu. 4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. Pengertian paradigma menurut Thomas Kuhn adalah sebuah contoh, standar atau kasus yang sempurna. Seseorang disebut memiliki paradigma, jika mereka memiliki perilaku atau kebajikan yang dapat ditiru atau diteladani. Jadi paradigma sama dengan teladan. Contohnya karya-karya ilmuan besar diambil sebagai paradigma dari berbagai cabang ilmu pengetahuan dilaksanakan. B. Perkembangan Paradigma Ilmu pengetahuan 1. Positivisme. Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu yang harus

sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan alam. Positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). Positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh tokoh empiris Francis Bacon. Menurut kaum positivism, ilmu adalah satu-satunya pengetahuan valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dalam perkembangannya ada tiga positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner dan positivisme kritis. 1. Positivisme sosial Positivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh utama positivisme ini. Sedangkan para perintisnya adalah Saint Simon dan penulis-penulis sosialistik dan utilitarian; yang karyakaryanya juga dekat tokoh besar dalam ekonomi : Thomas Maltrus dan David Ricardo. a. August Comte 1) Filsafat positivistik Auguste Comte Filsafat positivistik Comte ini tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam pikir manusia, matematika bukan ilmu namun merupakan alat berpikir logik. Ia terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia yaitu : teologik, metaphisik dan positif. Pada jenjang teologik manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya, jenjang ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu: tahap animisme atau fetishisme, yang memandang bahwa pada setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri. Kedua tahap polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada sejumlah obyek dan

5

ketiga, tahap monotheisme yang memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek. Pada jenjang alam berfikir metaphisik abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam semesta. Pada jenjang positif, alam berfikir mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab utama, ilmu yang pertama menurut Comte adalah astronomi, lalu fisika lalu kimia dan akhirnya biologi. 2) Metodologi A. Comte Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak mengamati sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipothetik diperbolehkan oleh Comte. Itu merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum dan merupakan lingkaran yang tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi dipakai untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi. 3) Sosiologi A. Comte Comte-lah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan istilah phisique sociale dari Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjangjenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut. b. Bentham dan Mill Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy Bentham dan James Mill, menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta.

Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi marak pada akhir abad 20-an ini. 2. Positivisme Evolusioner Hal ini berangkat dari phisika dan biologi dan digunakan doktrin evolusi biologik a. Herbert Spencer Konsepnya diilhami oleh konsep evolusi biologik, dalam konsepnya, evolusi merupakan proses dari sederhana ke kompleks, pengetahuan manusia menurut dia terbatas pada kawasan phenomena. Agama yang otentik mengungkap kawasan yang penuh misteri, yang tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang phenomena tunduk kepada misteri b. Haeckel dan Monisme Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualisme, Hackel berpendapat bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai substansi yang satu, monistik. Berbeda dengan Lambrosso yang berpendapat bahwa perilaku criminal bersifat positivistic biologic deterministic. Wilhelm Wundt penganut positivism evolusioner menampilkan teori paralelisme Lombrosso. 3. Positivisme kritis Pada akhir abad XIX positivisme menampilkan bentuk lebih kritis dalam karya-karya Ernst Mach dan Richard Avenarius dan lebih dikenal sebagai empiriocritisisme. Fakta menjadi satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas. psikhophisik, menentang monism materialistic

7

1. Mach dan Avenarius 2. Pearson 3. Petzoldt Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan kesatuan ilmu yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal. Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan

ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi. Auguste Comte (1798-1857) sering disebut Bapak Positivisme karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Metode positif Auguste Comte menepatkan akal (rasio) pada tempat yang sangat penting. Dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada dimasyarakat kelompok ini berusaha mengetahui (lewat penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan azaz positivisme. 2. Postpositivisme Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi thd realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi Edmund Husserl (1859-1938) Gagasan Dasar Phenomenologi dari Franz Bremento (1838-1917): all consciousness is by its very nature intentional, that is, directed toward some object. Phenomenologi dari Husserl (Phenomenologi modern). Kesadaran berilmu pengetahuan yg pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang objek-objek intensional. Dua arti objek intensional: semantik dan ontologik. Makna semantik intensional: bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya (satu makna). Ontologik: sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin utk dikatakan equivalen atau identik Inti Pemikiran Husserl Intensionalitas: pengembangan konstruk teori hrs (mengarah, aktif, rasional), yang subjektif, paralel dg penamaan kita. Logika transendentalpengalaman intersubjektivitas. Seseorang mrp subjek pengalaman sendiri, tetapi orang lain juga menyadari adanya perilaku eksternal. Kedua akan

9

saling mengurun (sharing) dlm membangun dunia, budaya, dan nilai (ilmu) 3. Falsifikasi dari Karl R. Popper a. Asumsi Dasar Karl R. Popper Popper mengakui bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan kebenaran objek dengan rasio dan pengalamannya. Di sini Popper tidak mengabaikan model rasionalis dan empiris. Namun bagi Popper, kebenaran yang ditangkap oleh manusia selalu bersifat sementara (tentativ). Menurutnya, semua teori, ilmu, atau hipotesa harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test). Caranya dengan pengujian "trial and error" (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga kebenaran se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur (dugaan) dan refutasi (bantahan) dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisisme-kritis dengan metodologi deduktiffalsifikatif. Karena sifat kesementaraan inilah, menurut Popper ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekati kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, dan ilmuwan tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang mendekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Menurutnya versimilitude adalah metode pendekatan dengan kebenarankebenaran dan teori. Menurutnya diantara dua teori ada salah satu teori yang mendekati kebenaran. Teori itu dibangun dengan mengandalkan hipotesis dan intuitif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran

dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi. Atas dasar kesementaraannya ini juga, Popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa. Upaya ini ia sebut dengan the thesis of refutability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Atau dengan kata lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Sebab hanya melalui kritik ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan. Popper menegaskan syarat perumbuhan pengetahuan dimulai dengan merumuskan hipotesis melalui pemikiran deduktif dan imajinasi kreatif. Kemudian hipotesis itu diuji dengan keras dan disanggah. Penyanggahan itu digunakan untuk untuk merumuskan hipotesis baru dan teori baru. Jadi pengamatan empiris ditujukan untuk membuktikan kesalahan teori dan gagasan, bukannya untuk membenarkan teori dan gagasan tersebut. Pandangan Popper ini, sekaligus menunjukan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, yakni pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Popper merasakan ada suatu kejanggalan dengan model kerja neo-positivisme. Pasalnya proses akumulasi itu hanya akan menambah kebohongan jika hasil inferensi induksinya salah. Model kerja ini tidak pernah mengembangkan apaapa, dan dan hanya ketidaktahuanlah yang dikembangkan oleh kalangan neo-positivisme. Bagi popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitive atau mendekati kebenaran. Seorang ilmuwan harus rela meniggalkan suatu teori, jika muncul teori yang ternyata lebih memuaskan untuk menjelaskan fakta-fakta. Buktibukti sejarah ilmu telah banyak memperlihatkan bagaimana proses

11

pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dan contoh yang paling jelas adalah ketika Einsten berhasil menggulingkan teori Isaac Newton. Bagi Popper, kemajuan ilmiah itu dicapai lewat dugaan dan penyanggahan, dan semangat kritik diri adalah esensi ilmu. Sikap kritis Popper muncul setelah menyaksikan kejeniusan Einsten yang telah berhasil menggulingkan teori Isaac Newton, seorang fisikawan legendaries yang telah membuat garis besar system of the world, langkah awal untuk memasuki dunia industri. Contoh peristiwa sejarah ilmu ini mampu membangkitkan ambisi Popper untuk mengembangkan sikap kritisnya terhadap aliran neo-positivisme yang dipelopori oleh ilmuwan Lingkaran Wina (Vienna Circle). Selain faktor di atas, Popper juga melihat bahwa model logika induksi yang diperagakan oleh aliran neo-positivisme memiliki banyak kelemahan. Logika induksi biasanya digunakan oleh kaum empiris yang percaya bahwa justifikasi pengetahuan dibangun melalui pengalaman dan pengamatan. Hanya pengalaman dan pengamatan yang boleh memutuskan diterima atau ditolaknya pernyataan ilmiah. Proses inferensi induksi ini sebenarnya dapat menjerumuskan seorang peneliti yang telah meyakini kebenaran prinsip umum sambil mengabaikan kemungkinan-kemungkinan premis lainnya. Misalnya dengan beberapa penelitian (kasus) ditemukan bahwa angsa berwarna putih, kemudian disimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih. Contoh yang paling dekat bahwa matahari terbit setiap hari alasannya karena gerakan rotasi bumi. Maka kesimpulannya adalah matahari akan terbit esok hari. Ketika kebenaran prinsip umum ini diyakini maka seorang ilmuwan akan terkejut ketika menemukan ada angsa berwarna coklat atau matahari tidak terbit esok hari karena bumi bertabrakan dengan benda angkasa lainnya. David Hume (1711-1716) juga melontarkan kritik tentang empirisisme yang rnenggunakan logika induktif. la mengingatkan, bahwa proses logika induktif tak akan pernah mampu memapankan

hubungan antara sebab dan akibat untuk membuat kesimpulan fundamental. Bagi Hume untuk pengambilan kesimpulan, logika induktif tidaklah sekuat logika deduktif. Menurut Bertrand Russell, pengumpulan data-data partikular dengan harapan mengetahui masa depan dari keseragaman masa lalu dapat dianggap sebagai sebuah penyesatan. Popper sendiri berpendapat bahwa logika induktif tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Alasannya karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premispremis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Oleh sebab itulah, ia sangat kritis terhadap proses berpikirnya aliran neo-positivisme. Di lain pihak, logika deduktif yang diklaim lebih solid oleh kalangan rasionalis, ternyata juga memiliki kelemahan. Alasanya, karena logika deduktif masih memiliki ketergantungan terhadap logika induktif yang tidak solid. Artinya deduktif merupakan perluasan kebenaran yang dikumpulkan melalui induksi. Selain itu, aturan formal logika deduktif juga sulit dibuktikan, yang kadang tidak sesuai dengan fakta. Misalnya: (1) Burung gagak berwarna hitam; (2) Jeremy adalah burung gagak; oleh karena itu (3) Jeremy berwarna hitam. Proposisi nomor 3 akan benar jika premis 1 dan 2 juga benar. Untuk meyakinkan bahwa premis nomor 1 itu benar, diperlukan bukti empiris yang lagi-lagi akan kembali ke nalar induktif yang diklaim sebagai upaya penyesatan. Karenanya Popper berusaha mendamaikan kedua problem di atas. Ia berusaha mengawinkan elemen penting rasionalisme dan empirisme. Ia berdiri di antara rasionalisme-kritis dan empirisismekritis. Namun ia berbeda dengan Immanuel Kant yang juga berdiri di antara Rasionalisme eropa dan Empirisme inggris, yang masih mendudukan induksi pada tataran sintesis antara unsur-unsur apriori dan

13

aposteriori guna memperoleh kebenaran yang meyakinkan. Dan tidak seperti Hume yang membuang induksi sama sekali. Di sini, Popper meletakkan hasil penalaran induktif pada tataran awal pra-ilmiah dalam rangka pengujian deduktif. Jadi pada dasarnya, Popper masih menggunakan hipotesis dari hasil nalar induktif sebagai langkah awal untuk melakukan uji ilmiah secara deduktif-falsifikatif. Namun bedanya, Popper menegaskan bahwa hipotesis tidak harus memiliki substansi empiris untuk dikatakan sah. Penegasan Popper ini dalam rangka menyelamatkan metafisika yang nir-empiris. Misalnya pernyataan Tuhan adalah Esa harus dipandang sebagai suatu pernyataan yang terletak di luar dunia ilmu pengetahuan empiris, dan oleh karena itu tidak bias dianggap tidak sah, dan tidak harus diuji secara empiris. b. Falsifikasi Sebagai Syarat Berkembangnya Ilmu Pengetahuan Bagi Popper, problem utama yang ada adalah apa yang disebutnya problem demarkasi (the problem of demarcation). Bagi ilmuwan Lingkaran Wina, ia adalah apa yang disebutnya untuk menunjuk pada garis batas antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi-konfirmasi). Pembedaan itu digantinya dengan demarkasi atau garis batas antara ungkapan ilmiah (science) atau tidak ilmiah (pseudo-ilmiah). Karena menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningful) dan begitu sebaliknya. Popper melihat beberapa kelemahan prinsip verifikasi Lingkaran Wina, antara lain: pertama prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukumhukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Kedua berdasarkan prinsip verifikasi metafisika dianggap sebagai ungkapan yang tidak bermakna (meaninngless). Menurut mereka, metafisika termasuk dalam pseudo-statements, yaitu pernyataan yang

tidak ilmiah. Dan perdebatan mengenai metafisika sebenarnya tidak perlu, karena tidak menghasilkan apa-apa (unfruitful). Biarpun dikatakan bahwa ia tidak bermakna oleh aliran neo-positivisme, akan tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisika atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Akibat pencampakan metafisika inilah, ilmu pengetahuan dan teknologi barat bersifat ambivalen. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus dimengerti. Sehingga yang jadi persoalan, bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori. Untuk menghindari kesalahan kaum positivis seperti yang sudah disebutkan di atas, Popper selanjutnya mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama teori ilmiah. Menurutnya suatu teori atau ucapan dikatakan bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Sejarah menunjukkan, selama suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi selama itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tidak hilang. Itulah yang dimaksud dengan prinsip falsifiabilitas (the principle of falsifiability). Dan sebaliknya suatu teori yang secara prinsipil mengeksklusifkan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan teori falsifikasionisme yang digunakan untuk mengkritik ilmuwan Lingkungan Wina, yang sangat dekat dengan pemikirannya. Selanjutnya, falsifikasi digunakan untuk merumuskan hipotesis baru, menyempurnakan pengetahuan, dan pengujian hipotesis baru, dan demikian seterusnya. Menurut Popper, tujuan pengulangan riset adalah untuk menambah bukti kesalahan hipotesis, bukannya untuk memperkuat bukti kebenaran hipotesis. Maka pengembangan ilmu

15

dilakukan dengan cara merontokkan teori karena terbukti salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu, falsifikasi menjadi alat untuk membedakan genuine science (ilmu murni) dari pseudo science (ilmu tiruan). Dengan demikian, ketika suatu hipotesa dapat ditunjukan kesalahannya dengan teori falsifikasi, maka dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan tengah menuai perkembangannya. Dan sebaliknya, jika hipotesa tidak dapat ditunjukan kesalahannya, maka ilmu pengetahuan belum dapat dikatakan berkembang. Di sini, falsifikasi nampak berbeda dengan prinsip verifikasi yang hanya menumpuk dan mengumpulkan bukti-bukti hipotesa sebelumnya untuk menguatkan hipotesa tersebut. Dimana hipotesa-hipotesa tadi belum bisa diyakini seratus persen kebenarannya. c. Konsekuensi dalam Kerja Ilmiah Setelah menyimak pemaparan singkat mengenai filsafat Popper di atas, penulis beranggapan bahwa teori kritis Popper memiliki konsekuensi psikologis terhadap seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan akan senantiasa ragu dengan kebenaran pengetahuan yang didapatinya. Ia tidak pernah seratus persen yakin akan kebenarannya itu. Kondisi seperti ini akan menjebak seorang ilmuwan ke dalam dunia relativisme. Pasalnya semua observasi yang dilakukan oleh seorang ilmuwan tidak dimaksudkan untuk menguatkan bukti kebenaran hipotesis. Artinya seorang ilmuwan harus meninggalkan usahanya untuk mencari kepastian mutlak dalam pengetahuan manusia. Karena pengetahuan yang diperoleh selamanya akan bersifat sementara (tentative), selalu harus diuji, dan ilmu pengetahuan tak akan pernah final pada satu titik tertentu. Namun demikian, setidaknya dalam satu sisi, pemikiran Popper akan memberikan nuansa yang berbeda dengan para pendahulunya yang serempak mencampakkan metafisika. Nampaknya Popper memahami betul bahwa pencampakan metafisika telah menjadikan ilmu

pengetahuan

bersifat

ambivalen.

Maksudnya

kemajuan

ilmu

pengetahuan saat itu dan sekarang ini harus dibayar mahal dengan hilangnya nilai-nilai spiritualitas pada alam ini. Pengosongan nilai-nilai spiritualitas alam, menurut al-Attas, mengakibatkan manusia bertindak sewenang-wenang untuk berbuat terhadap alam yang ada di hadapannya. Dan pada akhirnya, alam yang dihuni oleh manusia sekarang ini sudah kehilangan keseimbangannya, bisa dikatakan sudah tidak aman lagi bagi kelangsungan makhluk hidup. d. Kritik terhadap karl R. Popper Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya antara pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda, terutama criteria dari sesuatu yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua pandangan tersebut memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistic, yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan, keduanya juga sama-sama memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi. Menurut Kuhn, ilmuwan (termasuk ilmuwan kalangan Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip seperti para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn menamai sistem keyakinan yang sudah mapan dengan istilah paradigma. Dalam pandangan Kuhn, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Jadi menurut Kuhn, Popper sama saja dengan ilmuwan Lingkaran Wina, yang masih berkutat dalam paradigma positivistik. Point penting yang menjadi pembeda antara Popper dengan pemikir sebelumnya adalah mengenai hakikat ilmu dan cara pengembangannya. Bagi Popper, manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan melalui rasio dan pengalamannya dengan jalan falsifikasi. Namun pengetahuan yang didapat oleh manusia besifat sementara (tentative). Oleh karenanya, ilmu

17

pengetahuan tidak akan pernah final dalam satu titik tertentu dan Ilmu pengetahuan akan selalu berakhir dengan munculnya problem baru. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dikatakan berkembang jika terbukti atau ada kemungkinan salahnya. 4. Konstruktivisme Konstruktivisme menjadikan konsensus sebagai landasan bagi teori kebenaran. Menurut teori ini, konsensus di antara anggota komunitas merupakan jalan bagus untuk mencapai kebenaran, dengan kata lain konsensus hanya merupakan kriteria validitas. Konstruktivisme terjebak dalam pandangan bahwa Alam tidaklah ada, yang ada hanya merupakan kontruksi dari anggota-anggota yang melakukan konsensus.Latous dan Wolgar menyatakan bahwa aktivitas ilmiah tidak hanya tentang alam, tetapi adalah usaha keras untuk mengkonstruksi realitas. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.

5. Evolusionisme a. Pengertian paradigm menurut Kuhn Gagasan Thomas Kuhn tentang paradigma mengatakan bahwa sejarah ilmu pengetahuan terdiri dari dua tahap yakni ilmu pengetahuan normal dan ilmu revolusioner. Selama metode penelitian, ilmu normal diatur oleh standar tertentu dan teladan paradigma. Sedangkan revolusi menandai transisi antara satu periode ilmu normal dan yang lain.

Mereka terjadi ketika sebuah paradigma diganti. Paradigma adalah sebuah contoh, standar atau kasus yang sempurna. Seseorang disebut memiliki paradigma, jika mereka memiliki perilaku atau kebajikan yang dapat ditiru atau diteladani. Jadi paradigma sama dengan teladan. Contohnya karya-karya ilmuan besar diambil sebagai paradigma dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang harus dilaksanakan. Dalam The structure of Science Revolution, Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma merupakan suatu keputusan yudikatif dalam hukum yang tidak tertulis. Secara singkat pengertian paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh. b. Pandangan Kuhn tentang perkembangan Ilmu (open ended) Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fundamental tentang konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogmadogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik. Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat

19

perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya, yang dalam perkembangan ilmu tersebut adalah secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik. Kuhn memberikan konsep ilmu pengetahuan alternatif dalam outline yang ia gambarkan dalam beberapa tahap, yaitu: Pra paradigma Pra ilmu Paradigma-Normal Science AnomaliKrisis Revolusi- Paradigma Baru-Ekstra ordinary Science AnomaliKrisis Revolusi. 1) Pra paradigma-Pra ilmu Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir. Sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan diantara mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epicurus, teori Aristoteles, atau teori Plato, satu kelompok menganggap cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda itu dan mata; yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata; di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri.

Walaupun aktifitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir sesuai dengan pandangan yang dianut halini tetap memberikan sumbangan yang penting kepada jumlah konsep, gejala, teknik yang dari padanya suatu paradigma tunggal akan diterima oleh semua aliran-aliran ilmuan tersebut, dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan. Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori. 2) Paradigma normal science Para stage ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Dan hal inilah merupakan ciri yang membedakan antara normal science dan pra science. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demkian, didalam paradigma tersebut tercakup : Beberapa komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Dengan demikiann, hukum gerak Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum persamaan Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik. Beberapa cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berbagai tipe situasi. Beberapa instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat

21

bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri. Beberapa prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma. Bebrapa keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science. Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan tekateki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis (dalam paradigma Newtonian) meliputi perencanaan teknik matematik untuk menangani gerak suatu planet yang tergantung pada beberapa gaya tarik dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan hukum Newton pada benda cair. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya. Dalam tahap ini terdapat tiga fokus yang normal bagi penelitian science faktual, yaitu : a. Menentukan fakta yang penting. b. Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyususn masalah-masalah yang harus dipecahkan; seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang teori mampu paradigma beberapa memecahkan masalah tersebut. c. Mengartikulasikan dengan memecahkan

ambiguitasnya yang masih tersisa dan

memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja. Barangkali ciri yang paling menonjol dari masalah riset yang normal dalam tahap ini adalah betapa sedikitnya masalah-masalah itu ditujukan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang besar, yang konseptual atau yang hebat tetapi; normal science sasarannya adalah memecahkan teka-teki dan masalah-masalah science. Teka-teki tersebut harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma. Dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.

3) Krisis Revolusi Walaupun sasaran normal adalah memecahkan teka-teki science dan bukan mengahsilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, gejala-gejala baru dan tidak terduga berulangkali muncul dan tersingkap oleh ilmiah tersebut yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru. Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat

23

diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi). Anomali dipandang sebagai hal serius yang yang dapat paling menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut : a) Menyerang hal-hal fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya. b) Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada tahap ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumenargumen filosofis dari posisi dubuis dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja. Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula. Setiap krisis selalu diawali dengan penngkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidaktidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas.

Karya Lavoisier menyajikan kasus seperti itu. Notanya yang disegel diserahkan kepada akademi Prancis kurang dari satu tahun setelah studi pertamanya yang seksama tentang perbandingan Barat dalam teori Flegiston dan sebelum publikasi-publikasi Priestley secara tuntas menyingkap krisis dalam kimia pneumatic. Demikian halnya dengan Thomas Young tentang teori gelombang dari cahaya, muncul pada tahap awal sekali ketika krisis dalam optika sedang berkembang. Persaingan antara paradigma yang telah dianut dan paradigma rival yang muncul, menandai adanya kegawatan suatu krisis. Paradigma-paradigma yang bersaing akan memandang berbagai macam pertanyaan sebagai hal yang sah dan penuh arti dilihat dari masing-masing paradigma. Pertanyaan-pertanyaan mengenai beratnya phlogiston adalah penting bagi para ahli teori phlogiston, tetapi hampa bagi Lavoisier. Soal aksi pada suatu jarak yang tidak dapat diterangkan itu, diterima oleh kaum Newton, tetapi ditolak oleh kaum Cartesian sebagai hal yang metafisis bahkan gaib. Gerak tanpa sebab adalah mustahil bagi Aristoteles, tetapi dipandang sebagai aksiomatik bagi Newton. Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama. Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan. Oleh karena itu, dalam diskusi dan adu argumen antara

25

pendukung paradigm yang bersaing tersebut adalah untuk mencoba meyakinkan dan bukan memaksakan paradigma. Sebab tidak ada argumen memaksa logis yang murni yang dapat mendemontrasikan ilmuan yang rasional untuk melakukan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat seorang perpindahan paradigma. Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan ondividual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan Gestalt Switch (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan religious conversion (pertukaran agama). Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa : a) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan b) Penyusun standar, seorang ilmuan mengenai yang lain faedah suatu teori ilmiah. paradigma-paradigma prinsip metafisik dan bersaing menganut berbagai perangkat sebagainya yang berlainan. Menurut Kuhn ada enam kriteria untuk menilai apakah suatu teori lebih baik dari saingannya. Kriteria itu meliputi keakuratan ramalan terutama ramalan kuantitatif, perimbangan antara pokokpokok masalah sehari-hari dan masalah keahlian, dan jumlah berbagai macam problema yang sudah dipecahkan, kesederhanaan, ruang lingkup dan kesesuaiannya dengan kekhususan-kekhususan lainnya. Oleh karena itu, para pendukung paradigma tidak akan saling menerima premis lawannya dan karenanya masing-masing tidak perlu dipaksa oleh argumen rivalnya. Menurut Kuhn, faktor-

faktor yang benar-benar terbukti efektif yang menyebabkan para ilmuan mengubah paradigma adalah masalah yang harus diungkap oleh penyelidikan psikologi dan sosiologi. Karena hal itulah Kuhn dianggap sebagai seorang Relativis. Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan. Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan. Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya walaupun berhasil mengatasi permasalahan itu revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa. Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan

27

terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut. c. Komentar Singkat tentang Konsep Science Kuhn Konsep Kuhn tentang science progres yang terdapat dalam bukunya The Structure Of Scientific Revolution yang berpusat pada paradigma, telah mendobrak adanya citra suatu pencapaian ilmiah yang absolut, atau suatu yang mempunyai kebenaran seakan-akan suigeneris dan objektif. Kuhn menyatakan bahwa, pengetahuan tidak terlepas dari ruang dan waktu. Konsep dan pandangan Kuhn tentang science progres tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dengan revolusi besar menuju ke arah yang makin mendekati kesempurnaan dan lebih sesuai dengan kondisi sejarah dan zaman. Dengan konsep paradigmanya yang fleksibel dan tidak ketat di satu sisi, mampu mendukung adanya tradisi-tradisi ilmiah dan melepaskan adanya ketergantungan observasi pada teori. Di sisi lain, sifat paradigma yang tidak sempurna dan tidak terbebas dari anomalianomali, mampu mendorong terjadinya suatu revolusi science dan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Jika mengikuti model konsep Kuhn tentang perkembangan ilmu tersebut, maka adalah suatu kekeliruan serius jika seorang ilmuan hanya memegang satu paradigma klasik saja, sedang anomali-anomali menyerang paradigmanya secara fundamental, walaupun tidak ada argumen logis yang dapat memaksa ilmuan untuk melakukan konversi paradigma. 1) Paradigma lahir menurut zamannya Setiap paradigma yang muncul adalah diperuntukkan mengatasi dan menjawab teka-teki atau permasalahan yang dihadapi

pada zaman tertentu. Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentusaja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan. Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan. Perpaduan antara paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial yang masing-masing mempunyai perbedaan dan berlawanan diformulasikan dalam suatu paradigma yang utuh yang dapat memecahkan permasalahan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Dari hal tersebut mencerminkan adanya suatu kemajuan dalam bidang tertentu jika terjadi revolusi-revolusi yang ditandai adanya perpindahan dari paradigma klasik ke paradigma baru. 2) Aplikasi Paradigma dalam Ilmu Agama Mungkinkan revolusi yang ditandai konversi paradigma tersebut terjadi dalam ilmu-ilmu agama? Pertanyaan itu paling tidak mengingatkan kita pada sejarah penetapan hukum oleh salah satu imam mazhab empat yang terkenal dengan qaul qadim dan jadidnya. Adanya perubahan (revolusi) tersebut terjadi karena dihadapkan pada perbedaan varian kondisi ruang dan waktu. Berpijak pada hal tersebut dan pola yang dikembangkan Kuhn maka sudah menjadi keniscayaan untuk menemukan paradigma baru dalam menjawab permasalahan dan tantangan zaman. Paradigma yang telah dibuat pijakan oleh para ulama terdahulu yang muncul sesuai dengan varian kondisi ruang dan

29

waktunya serta kecenderungan profesionalnya perlu dipertanyakan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat terakhir ini. Sebagai contoh, pemikir muslim Hasan Hanafi dengan konsep kiri Islamnya, telah mencoba menawarkan paradigma baru dalam ajaran pokok Islam, yakni Tauhid. Konsep atau ajaran Tauhid yang hanya dipandang dan dilekatkan pada ke-Esaan Tuhan perlu dirubah dan diperluas sebagai suatu konsep ketauhidanmakhlukNya sehingga akan terbentuk pola kehidupan umat yang seimbang antara ritual dan sosial, lahir dan batin, dunia dan akherat. Sehingga umat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di dunia dengan baik. Dan masih banyak lagi bidang-bidang yangperlu adanya pengembangan paradigma baru. 6. Relativisme Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya (Feyerabend, 1983: 156). Rortry mengatakan bahwa pencarian kebenaran adalah nothing tapi hanya perubahan ke kebaikan. Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam Bab II, maka ada beberapa hal penting yang dapat penulis simpulkan, antara lain:

1. Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya. 2. Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling baik hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam. Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing. 3. Konsep paradigma Kuhn menunjukkan bahwa ilmu itu harus bersifat konsistensi. Artinya setiap orang atau ilmuan yang mau membuat sebuah teori, dia tidak melakukannya tanpa berpedoman atau berparadigma dari teori lain yang telah ada. Ia melakukan penelitian ilmiah yang akurat jika ia berparadigma dari teori-teori lainnya. 4. Konsep paradigma Kuhn menunjukkan bahwa ilmu itu harus

31

bersifat terbuka. Artinya dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode ilmiah, maka orang dapat diajak untuk mengajukan sendiri pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya berdasarkan pengalamannya tentang alam. Metode ini lebih menjamin tercapainya kebenaran, karena kebenaran dapat terungkap jika kita membuka diri kita, keluar dari diri kita, lalu berkomunikasi dengannya dalam komunitas orang-orang yang memiliki semangat yang sama, semangat mencari kebenaran demi kebenaran. B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka ada beberapa hal peting yang dapat penulis sarankan, antara lain : 1. Pemahaman terhadap paradigma hendaklah mengalami transformasi sesuai dengan pemikiran Kuhn. 2. Kita hendaknya menghayati secara lebih mendalam proses perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini. Karena hal itu menunjukkan kepada kita bahwa untuk menjadi suatu teori atau ilmu merupakan proses yang tidak mudah. Eksperimen menjadi hal penting bagi pembuktian fakta-fakta, namun hal itu juga senantiasa mempertimbangkan konteks historis dan sosiologis. Proses ini kemudian dapat dijadikan paradigma bagi pengembangan ilmu selanjutnya. 3. Setiap penelitian ilmiah selalu mengandalkan rasioanlitas. Dengan demikian maka kita diharapkan akan belajar menghargai rasionalitas kita sehingga menolong kita memahami bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat holistik dan terus terbuka untuk dikaji dan mengkaji dirinya sendiri. Rasioanlitas yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan mendorong manusia terus menerus berupaya.

33

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. http://merymaswarita.wordpress.com/2009/10/15/paradigma-khun/ Diakses pada tanggal 7 Maret 2012 pukul 20.22 WIB http://anwafi.blogspot.com/2010/12/karl-r-popper-dan-problem-filsafat-ilmu.html http://roedijambi.wordpress.com/ http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/post?act=reply&messageNum=28184 http://filsafatus.blogspot.com/2011/05/paradigma-ilmu-pengetahuan-modernteori.html http://www.filsafatilmu.com/artikel/pengertian/paradigma-thomas-kuhn http://pitcing.blogspot.com/2011/11/pengertian-paradigma.html Bird, Alexander, 1998, Philosophy of Science, London: UCL Press Limited. Chalmers, A. F, 1983, Apakah itu yang Dinamakan Ilmu?, Jakarta: Hasa Mitra.

TUGAS TES AKHIR SEMESTERFILSAFAT ILMU

PARADIGMAPengertian Paradigma Secara Umum Versus Pendekatan Paradigma Menurut Thomas Kuhn Dalam Pengembangan Penelitian Ilmiah Untuk Mencapai Kebenaran

Oleh : Maya Djawa, S.Th

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI (STAKN) KUPANG 201235