tugas sejarah mandar by adnan and marin jhie

16
Daerah mandar Oleh: Muh. Adnan as’ad Mar’in M.M IVC Ma 2010/2011

Upload: wahyu0205

Post on 25-Jun-2015

533 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

Daerah mandar

Oleh:

Muh. Adnan as’ad

Mar’in M.M

IVC Ma

2010/2011

Page 2: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

Cerita rakyat mandar

1. Asal-Mula Tari Patuddu

Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum

semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia

terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk

mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor

merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka

bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja

dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah

satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang

asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-

endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.Setelah puas mandi dan

bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan.

Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya,

selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa

pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar.

Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu

menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.”Kalau begitu, tinggallah bersamaku.

Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan

pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.

Page 3: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang.

Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang

mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.Saat

suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah

melihat pelangi!”Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada

pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-

ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.

* * *Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang

milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa

sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan.

Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.

Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan

memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi,

uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual

dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan

melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal.

2. Asal Mula Nama Pamboang

Alkisah, di Kampung Benua, Majene, Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai. Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut.Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).Ketiga pemuda tersebut melaksanakan tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang

Page 4: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

bekerja di daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh semangat di wilayah kerja masing-masing.Menjelang sore hari, ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.“Hari ini saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.“Kalian bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.“Saya sudah banyak membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.“Saya juga sudah meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.“Kalau begitu, saya perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing,” kata I Lauase.“Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.Ternyata benar perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan.Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase. Demikian pula di pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu.“Tapi, apa nama yang cocok untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase kemudian mengajukan usulan.“Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”“Pallayarang Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.“Pallayarang artinya tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti Tiga Tiang Layar,” jelas I Lauase.“Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya I Labuqang kepada I Lauwella.“Saya juga setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella.Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh. Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar.Suatu hari, Puatta Di Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri Pallayarang Tallu untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud kedatangannya.”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.”Maaf, Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.”Baiklah, kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena.

Page 5: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,” jawab I Lauase.Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang. Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut oleh ketiga pemuda tersebut.”Bagaimana keputusan kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.”Maafkan kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I Lauase.”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena.”Negeri kami belum makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella.”Bagaimana jika aku membayar tambo[2] kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.Mendengar tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk menerima tawaran itu.”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I Lauase.”Kami akan mengantarkan tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga pemuda itu sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat Pallayarang Tallu. Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo berubah menjadi Tamboang, lalu menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.* * *Demikian cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.Pertama, sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:tegak adat karena mufakat,tegak tuah karena musyawarahKedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita harus tekun dalam bekerja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:wahai ananda cahaya mata,rajin dan tekun dalam bekerja

Page 6: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

penat dan letih usah dikirasupaya kelak hidupmu sejahtera

Pahlawan daerah mandar

CALO' AMMANA I WEWANG

Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo Balanipa,Dalam Pakaian Hadat

Jika di Bone dikenal Lapawowoi, Lasinrang di Sawitto, maka di Mandar kita kenal Ajuara Topole di Juppadang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo Banggae dan Pamboang, Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo Balanipa, La'langi Parimuku, Pattolo' Pattana Sompa, Ka'mundri (Kali Pondhi) Kadhi Adolang.

Sebelum kita tiba kepada sejarah perlawanan mereka kepada Belanda ada baiknya jika penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) memperlihatkan silsilahnya (Lihat Lampiran). Jika melihat silsilah ini, maka jelas terlihat bahwa pahlawan-pahlawan itu masih keturunan Puang (bah. Ind. Bangsawan). Jadi penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) berpendapat bahwa kepemimpinan Bangsawan pada masa dahulu masih sangat diperlukan, dalam memimpin suatu perjuangan baik perlawanan terhadap Belanda maupun terhadap perjuangan-perjuangan lainnya. Sekitar tahun 1894 Kerajaan Pamboang diperintah oleh Ajuara gelar To Pole di Juppadang. Gelar ini diperoleh karena beliau sempat diasingkan ke Ujung Pandang dan ditawan di BALLA' TINGGIA.

Menurut keterangan dari Jalani Pua' Tammasala yang masih hidup sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini bertempat tinggal di Luaor Kecamatan Pamboang bahwa kedatangan Belanda di Majene/Pamboang adalah disekitar tahun 0 (nol). [penafsiran penulis ANDI SYAIFUL SINRANG) tentang istilah 0 (nol) ini adalah tahun 1900). Bermula kedatangannya diterima baik oleh raja-raja dan bangsawan-bangsawan pada umumnya. Bahkan selama 5 (lima) tahun berhasil mengadakan kerjasama khusus dibidang

Page 7: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

perdagangan, dan kesehatan yang diikat dalam suatu perjanjian tertulis.

Tahun 1905 Belanda memulai politik penjajahannya yang merupakan maksud utama kedatangannya di Indonesia. Tahun itupula Belanda telah mengingkari perjanjian. Akibatnya Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali dan Calo' Ammana I Wewang mengadakan pemberontakan. Menyusul pemberontakan La'langi Parimuku dan Pattolo' Pattana Sompa' dari Mamuju.

Pada hari-hari pertama Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali berhasil membakar tangsi (Boyang Sowa') di Majene dan merampas sebanyak 80 pucuk senjata dan menawan seorang juru tulis Belanda.

Dengan pertimbangan kekuatan tidak seimbang, maka ada diantara anggota Hadat Banggae yang tidak menyetujui pemberontakan itu. Dengan segala alat-alat perlengkapan perang dan beberapa anggota Hadat Banggae, berangkatlah ke Pamboang untuk menyusun kekuatan yang lebih besar. Menurut perhitungan ditinjau dari sudut Pertahanan Militer, Pamboang sangat strategis apalagi dengan BETTENGNYA di Galung Adolang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ditinjau dari segi perlengkapan perang sangat cocok karena pedagang-pedagang di Pamboang sudah kenal dengan Singapura. Dilihat dari segi kekompakan Raja, Hadat dan Rakyatnya ada labih baik dari pada Banggae. Ditinjau dari supply makanan lebih dekat dengan kerajaan Sendana, kerajaan terbanyak makanannya pada masa itu, yang Rajanya bernama I RUKKA LUMU dari tahun 1903-1907. Sesuai dengan struktur TAMMAJARRA, kerajaan Senada adalah KINDO' yang senantiasa bersedia memberi makanan kepada anak-anaknya bila menghendaki atau menghadapi kesulitan.

Setibanya di Pamboang segera mengadakan perundingan dengan Pallayaran Tallunna Pamboang termasuk seluruh Pappuangan, mengenai tindakan yang harus diambil bila Belanda menyerang Pamboang. Diputuskan – ditetapkan :

1. Sejengkalpun tanah tersisa di Pamboang – Mandar, akan kita pertahankan sampai tetesan darah yang terakhir.

2. Kalah perang di pantai, kita mundur ke Betteng Galung Adolang sebagai pusat pertahanan dan gerilya.

3. Semua yang dianggap tidak membantu perjuangan, diambil hartanya untuk biaya perjuangan, yang melawan dibunuh.

Hari yang tak diketahui tanggalnya, Belanda mengirim utusan ke Pamboang untuk menemui Raja (Arayang) mengenai pendiriannya. Arayang Pamboang Ajuara yang diapit oleh menantu dan sepupu sekalinya yaitu Ammana I Pattolawali dan Ammana I Wewang menjawab: "Tidak ada jalan untuk kompromi apalagi untuk menyerah"

Pada hari H, Belanda mulai menyerang Pamboang melalui Banggae dan dibantu oleh serdadu yang naik Kapal Putih (Kapal Perang) dari laut, yang diperlengkapi dengan meriam yang belum pernah di lihat dan di dengar semacamnya oleh rakyat Pamboang. Dari laut sebelum meriam kapal itu meletus, sirenenya dibunyikan sebanyak 3 kali. Secara spontan pasukan Ammana I Pattolawali membalas dengan bunyi meriam 3 kali pula dan serentetan bunyi senjata yang kecil-kecil. Serdadu yang dari kapal itu khusus didatangkan dari Betawi melalui Menado, Palu dan Donggala.

Dari kapal Belanda berbunyilah meriam otomatis dan senjata-senjata berat lainnya. Menurut

Page 8: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

keterangan Ibu Kandung Penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang masih hidup sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini yang merupakan sumber utama dari penulisan sejarah ini menyatakan :

Kebanyakan serdadu Belanda itu terdiri dari bangsa kita sendiri yaitu : Ambon, Menado dan Jawa.

Karena ketakutan yang berlebihan mendengar bunyi meriam itu, maka orang-orang (non militer) yang sedang buang air besar tak ingat lagi untuk bercuci langsung melarikan diri.

Serdadu yang dari kapal Belanda mendarat sudah. Pasukan Mara'dia Malolo bermaksud untuk bertahan di Pantai Pamboang, tetapi Ajuara Arayang Pamboang membuat kebijaksanaan khusus untuk menghindarkan pengorbanan rakyat biasa yaitu "Kita harus mundur ke Betteng Galung, nanti disana kita bertahan mati-matian" Kebijaksanaan ini berkenan di hati kedua Pahlawan itu. Maka mundurlah mereka bersama pasukannya secara jantan (bah. Mandar malai tommuanei). Dengan semangat baja, TRI TUNGGAL ini yaitu : Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Mara'dia Malolo Banggae, dan I Latta Permaisuri Kerajaan Pamboang, tiba dengan selamat di Betteng Galung.

Berkali-kali Belanda mengirim Delegasi ke Galung untuk mengajak berdamai tetapi tidak berhasil. Tri Tunggal dan beberapa orang pengikutnya termasuk Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang dan Daenna I Hama' memilih mati daripada bekerjasama dengan Belanda apalagi dikatakan menyerah. Mereka malu mengingkari pasang (kata semula) yang berbunyi : "Ropo'o mai bulang, tililimo'o sau buttu, tannaulele diuru pura loau" artinya "Sekiranya langit boleh runtuh, yah…runtuhlah; Gunung bisa terbang, ya…terbanglah; tetapi saya tidak akan beranjak sedikitpun dari kata semula"

Betteng Galung di serang. Pertempuran dikobarkan terus. Kedua belah pihak bergumul mati-matian. Korban kedua belah pihak berjatuhan. Dapat ditandai, jika yang luka (mati) mengucapkan aduh…, itu menandakan serdadu Belanda itu berasal dari Suku Ambon, Menado atau Jawa. Jika Belanda Totok (asli), mengaduh dengan bahasanya sendiri. Belanda mengakui jika Betteng Galung diserang dari arah mana saja, memang sukar ditembus karena sangat jurang, tambah pula banyak batu-batu besar yang dijejer dipinggir tebing untuk digulingkan sewaktu-waktu ada serangan. Kecuali satu jalan rahasia dari Timbogading.

Pada hari-hari terakhir muncullah seorang penghianat, yaitu bekas Syahbandar Pamboang juga bekas pasukan Ammana I Pattolawali, menunjukkan jalan rahasia itu dari Timbogading (dari belakang). Pada saat itu serdadu Belanda lolos masuk ke dalam Betteng. Maka terjadilah pertempuran yang sangat sengit. Beradulah senjata api dengan senjata api, pedang bayonet dengan parang, kondo wulo, keris dan tombak. Darah pahlawan menyirami Bumi Betteng Galung. Daging dan tulang berserakan/berhamburan. Karena sentuhan peluru dan pedang memupuk persada Betteng Galung. Seorang Obos (menurut pengertian orang di Galung) yang memakai topi Strep kuning emas, persis berhadapan langsung dengan Panglima Kaco' Puang Mara'dia Malolo. Menurut cerita orang tua-tua (ada yang masih hidup sampai terbitnya buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS ini) bahwa duel kedua orang itu berlangsung kira-kira 7 (tujuh) menit. Dalam persitiwa itu gugurlah Kesuma Bangsa Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo dengan meninggalkan seorang isteri bernama Haji Jamilah dan 2 orang anak perempuan bernama Puang Bere dan Puang Pune, bersama kawan seperjuangannya yang paling setia yaitu Kali Ka'mundri (Kali Podhi) Kali Adolang dan Daenna I Hama', keduanya dari Kerajaan Pamboang.

Menurut keterangan dari 2 orang yang turut memakamkan Ammana I Pattolawali melalui Andi

Page 9: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

Mappatunru' cucu langsung dari Mara'dia Ammana I Wewang dan Maralai cucu langsung dari Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang keduanya masih hidup saat tersusunnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini menyatakan : "Pahlawan itu (Ammana I Pattolawali) gugur tanpa luka. Beliau tahan peluru dan benda-benda tajam lainnya. Yang menyebabkan kegugurannya ialah lengannya ditarik oleh beberapa orang serdadu Belanda, sampai tulang lengannya berpisah dengan badannya. Dari mulut, telinga, dan mata mengeluarkan darah" Dengan gugurnya Ammana I Pattolawali adalah merupakan titik terakhir perlawanan yang berarti dari pasukan penentang Belanda di daerah Mandar.

Ajuara Arayang Pamboang dengan Permaisuri I Latta mengundurkan diri ke Onang Kerajaan Sendana melalui Ulu Balombong. Ammana I Wewang mengundurkan diri ke hutan (daerah Alu), dimana bapaknya bernama I GA-ANG menjadi Mara'dia pada masa itu. Mayat Ammana I Pattolawali dapat diselamatkan (tidak diambil Belanda) atas perlindungan Pasukan Mandar yang masih hidup atas petunjuk Puang Tondo'.

Setelah beberapa hari Belanda menduduki Pamboang, Belanda mengirim utusan ke Onang Sendana dengan pesanan :

Arayang supaya kembali saja ke Pamboang dan akan tetap menjadi raja dengan Hadat-Hadatnya.

Kedatangan Belanda hanya urusan dagang dan akan diadakan perundingan mengenai soal tersebut.

Maka berangkatlah Ajuara ke Pamboang bersama pengikutnya termasuk Kura'da Daeng Mattantu gelar Puang Tondo' Pa'bicara Adolang. Sesampai di Pamboang diadakanlah perundingan di atas Kapal Putih/Kapal Perang. Tidak di adakan di darat karena dikhawatirkan sementara perundingan, Ammana I wewang menyerang. Itulah alasan Belanda yang membuat Arayang Ajuara tidak merasa curiga.

Sebelum perundingan dimulai, Kapal Perang Putih diberangkatkan ke Ujung Pandang (sekarang Makassar), berarti pengasingan bagi pahlawan-pahlawan kita. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1907. Mereka ditawan di Balla Tinggia di Ujung Pandang. Berselang beberapa tahun mereka kembali ke Pamboang dengan selamat. Sebagai kenangan dan peringatan bagi mereka berdua, Arayang Ajuara diberi gelar TO POLE DI JUPPADANG dan Kura'da Puang Tondo', salah seorang cucunya yang dilahirkan sementara beliau dalam pengasingan di Balla' Tinggia diberi nama I TINGGI.Malang bagi pahlawan Ammana I Wewang dalam suatu serangan yang tak disangka-sangka dari serdadu Belanda, berliau tertangkap dan diasingkan ke Pulau Belitung (sekarang Propinsi Bangka Belitung). Oleh anak cucu beliau menugaskan kepada seorang bernama Muhammad Ali untuk mengambil dalam pengasingan. Peristiwa pengasingan ini terjadi dari tahun 1907 dan kembali ke Mandar tahun 1944. Beliau wafat dan dimakamkan di dalam pekarangan Masjid Limboro Balanipa pada tanggal 11 April 1967. Dengan surat keputusan dari Pemerintah Republik Indonesia beliau diakui sebagai PEJUANG PERINTIS KEMERDEKAAN. Pahlawan ini oleh masyarakat Mandar dikenal dengan gelar TO POLE DI BALITUNG. Dan sebagai kenangan dari Kali Adolang lahir pulalah serangkaian syair berbunyi sebagai berikut : "Mate Kalinna Adolang, Tombong guma kowi'na, Pura sumangi' to ilalang tumae" artinya "Gugurlah sudah Kadhi Adolang, Tembus berlobang sarung parungnya, semua orang dalam tunangan, turut meratap sambil menangis" Catatan :

Mengapa orang-orang dalam tunangan turut menangis?

Page 10: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

Karena menurut pendapat orang Adolang pada masa itu, hanyalah Kadhi Adolang satu-satunya yang dapat (punya berkah) dalam mengawinkan orang.

Belum ada yang berpendapat bahwa tidak akan kawin sama sekali dengan kematian Kadhi Adolang tersebut.

Lagu daerah mandar

1. Namalai tongan dani

Namalai tongan dani To tandi turuannaMottossaranna mottosarannaMellisu salilinnasalili’u oh iyaunamarrusa’ battannunamappalatto namappalattousu’ di salakka’unasalili ma’ manininame’ ita innamame’ita mating- me’ita matingbuttu di malindungipitu buttu di malindungipitu taena ayupurami’ accur- purami’ accurnaola salili’uNamalai tongan daniTo tandi turuannaMottossaranna mottosarannaMellisu salilinnasalili’u oh iyaunamarrusa’ battannunamappalatto namappalattousu’ di salakka’unasalili ma’ manininame’ ita innamame’ita mating- me’ita matingbuttu di malindungipitu buttu di malindungipitu taena ayu

Page 11: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

purami’ accur- purami’ accurnaola salili’u

2. Lita' Pembolongang

Buttu-buttu na marioDi lita' melimboLopi-lopi na poyalaMerio-rio pa'mai'

Bayu pokkona to banggaeBeru-beru'na to kandemengLipa Sa'be na to karamaSiratang di pebokkoang

Salili salili pa matingDi lita'-lita'na mandarLita'-lita' pembolonga'iDisalili allo bongi

Sekian and thank you

redaksi

Mar’in M.M IV C Ma

Page 12: Tugas Sejarah Mandar by Adnan and Marin Jhie

Muh. Adnan as’ad