tugas pak slamet tppp

32
PROPOSAL PENELITIAN APLIKASI EDIBLE COATING PATI SORGUM (Sorgum bicolor) UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN APEL POTONG SEGAR (FRESH-CUT APPLE) Disusun oleh: MARIO LORENSO 21030112120026 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015

Upload: mario-vensfisecrew

Post on 27-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

yoyoo

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Pak Slamet Tppp

PROPOSAL PENELITIAN

APLIKASI EDIBLE COATING PATI SORGUM (Sorgum bicolor) UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN APEL POTONG SEGAR (FRESH-CUT APPLE)

Disusun oleh:

MARIO LORENSO 21030112120026

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

Page 2: Tugas Pak Slamet Tppp

RINGKASAN

Perlakuan proses pengolahan menyebabkan produk terolah minimal mudah mengalami

penurunan mutu. Salah satu contoh penurunan mutunya adalah akibat terjadinya pencoklatan

enzimatis (enzymatic browning). Pelapisan buah menggunakan edible coating merupakan salah

satu alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir penurunan mutu buah terolah minimal.

Edible coating merupakan lapisan terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan berfungsi

menahan laju perpindahan gas dan uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun edible coating

terdiri atas hidrokoloid, lemak, atau campurannya (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994). Untuk

mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible coating yang memiliki daya

penahan gas yang baik, misalnya pati sorgum. Tujuan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai edible coating, fungsi edible coating, karakteristik edible

coating, metode atau cara pembuatan edible coating, dan aplikasi dari edible coating berbasis

pati sorgum untuk bahan pengemas dan aplikasinya pada buah apel Manalagi utuh.

Pada penelitian yang dilakukan kali ini akan menguji dan membandingkan edible coating

yang dihasilkan dari berbagai perlakuan yaitu : Perlakuan pada konsentrasi pati, perlakuan pada

penambahan zat tambahan atau zat kimia pada edible coating, dan perlakuan pada kondisi

penyimpanan produk yang dikemas dengan menggunakan edible coating dengan variasi suhu

penyimpanan. Semua perlakuan yang dilakukan bisa dibuat sesuai dengan kebutuhan dalam

penelitian.

Page 3: Tugas Pak Slamet Tppp

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah potong segar

(fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan pencucian,

pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu rendah untuk

penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi

yang dikandungnya (Perera, 2007).

Buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih tidak tahan lama dibandingkan buah segar.

Berbagai perlakuan yang dialami buah potong segar seperti pengupasan, pemotongan,

pengirisan dapat mengganggu integritas jaringan dan sel yang dimilikinya. Akibatnya terjadi

peningkatan produksi etilen, peningkatan laju respirasi, degradasi membran, kehilangan air,

dan kerusakan akibat mikroorganisme. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya perubahan

enzimatis dan penurunan umur simpan serta mutu (Baeza-Rita, 2007). Kerusakan mekanis

pada produk potong segar misalnya akibat pemotongan dapat mengaktifkan enzim polifenol

oksidase membentuk senyawa melanin menimbulkan warna coklat pada buah atau sayuran

(Wong et al., 1994). Padahal warna menjadi atribut mutu yang sangat penting pada produk

buah-buahan atau sayuran terolah minimal (Lin dan Zhao, 2007). Jenis buah-buahan yang

sering mengalami reaksi pencoklatan adalah pisang, pir, salak, pala, dan apel.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah reaksi pencoklatan adalah

penggunaan edible coating. Yakni lapisan terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan

berfungsi menahan laju perpindahan gas dan uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun

edible coating terdiri atas hidrokoloid, lemak, atau campuran (Donhowe-Irene dan Fennema,

1994). Untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible coating yang

memiliki daya penahan gas yang baik, misalnya pati. Warna coklat ini meskipun tidak

berbahaya tetapi tetap saja mengurangi mutu produk karena konsumen tidak menyukainya.

Dibutuhkan edible coating dengan karakteristik penahan gas yang baik karena dalam reaksi

pencoklatan enzimatis juga melibatkan oksigen sebagai substrat pembantu (co-substrate).

Semakin sedikit oksigen yang tersedia dalam jaringan buah maka reaksi pencoklatan

dapat diminimalisir (Marshall et al., 2000). Selain sebagai penahan gas yang baik untuk

Page 4: Tugas Pak Slamet Tppp

diterapkan sebagai bahan edible coating, pati juga memiliki kelebihan lain, yaitu harganya

yang murah, ketersediaan yang melimpah, serta penanganan yang relatif mudah (Gontard

dan Guilbert, 1994). Salah satu tanaman penghasil pati yang sangat potensial adalah sorgum.

Belum berkembangnya usaha pati sorgum ini karena pemanfaatannya dalam industri yang

masih sangat terbatas dibanding tapioka.

Mempertimbangkan faktor tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari

pengaruh penggunaan pati sorgum yang dikombinasikan dengan tapioka sebagai bahan

Edible Coating terhadap perubahan warna coklat yang menjadi masalah besar pada produk

apel potong segar. Apel dipilih sebagai produk potong segar karena apel termasuk jenis buah

yang tidak tergantung musim sehingga menguntungkan untuk dikembangkan secara

berkelanjutan. Banyaknya apel impor membuat posisi apel lokal seperti varietas Manalagi

semakin terpinggirkan. Dengan mengolahnya menjadi produk potong segar, diharapkan

dapat meningkatkan nilai tambah apel lokal.

1.2 Rumusan Masalah

Produktivitas dari sorgum di Indonesia jarang dimanfaatkan lebih lanjut. Pati sorgum

merupakan salah satu sumber pati yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan edible film

(edible eoating). Edible Coating yang terbuat dari karbohidrat (contoh: pati) memiliki sifat

granula yang brittle. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang sering ditambahkan ke

dalam pembuatan edible film (edible coating) untuk memperbaiki sifat dari edible film

(edible coating) tersebut. Jenis plasticizer yang sering digunakan adalah gliserol dalam

pembuatan edible coating berbasis pati, sehingga dalam penelitian ini digunakan plasticizer

dalam pembuatan edible coating berbasis pati untuk memperbaiki karakteristiknya. Edible

Coating dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan umur simpan dan mutu dari berbagai jenis

bahan pangan, salah satunya adalah buah-buahan.

Buah apel merupakan salah satu buah yang mempunyai umur simpan yang singkat dan

mudah mengalami kerusakan setelah dipanen. Peningkatan karbondioksida yang dihasilkan

dari buah apel akibat dari proses respirasi menyebabkan buah apel mengalami kerusakan,

sehingga diharapkan dengan adanya edible coating tersebut akan meningkatkan umur

simpan, mencegah kerusakan, dan menjaga kualitas dari buah tersebut.

Page 5: Tugas Pak Slamet Tppp

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan bahan pelapis (edible

coating) yang berasal dari pati sorgum yang digunakan pada pelapisan buah apel Manalagi

untuk memperpanjang umur simpan.

Tujuan secara khusus adalah :

1. Mendapatkan formula edible coating dan karakteristik formula edible coating berbasis

pati sorgum.

2. Mengkaji karakteristik formula edible coating yang dapat dibuat dan dihasilkan.

3. Mendapatkan formula edible coating yang mampu memperpanjang umur simpan apel

Manalagi.

4. Mendapatkan suhu penyimpanan yang terbaik untuk penyimpanan apel Manalagi.

5. Mengkaji sifat fisikokimia dari aplikasi edible coating pada apel Manalagi selama

penyimpanan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Formulasi edible coating yang terbaik nantinya dapat diterapkan untuk mengatasi

permasalahan pencoklatan pada produk potong segar (fresh-cut product), misalnya apel.

2. Dapat diketahui kondisi-kondisi yang diperlukan dalam pembuatan edible coating serta

aplikasinya pada produk apel potong segar.

Page 6: Tugas Pak Slamet Tppp

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible Coating

Edible Coating adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan,

dibentuk melapisi makanan (coating) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap

perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) dan atau

sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Baldwin,

1994). Saat ini, coating digunakan untuk buah-buahan dan sayuran segar yang

bertujuan menghambat susut bobot, memperbaiki penampilan dengan meningkatkan kilap

pada produk, dan menahan pertukaran gas antara produk dengan lingkungan (Grant dan

Burns,1994).

Terdapat tiga kelompok penyusun edible coating, yakni : hidrokoloid, lipid, dan

campurannya (komposit). Yang termasuk hidrokoloid adalah protein, turunan selulosa,

alginat, pektin, pati, dan polisakarida lain. Lipid dapat diperoleh dari lilin, asilgliserol, dan

asam lemak. Sementara itu, komposit merupakan campuran antara lipid dan hidrokoloid

(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Hidrokoloid yang digunakan untuk coating dapat dibagi berdasarkan komposisi, muatan

molekul, dan kelarutan airnya. Berdasarkan komposisinya, hidrokoloid terdiri atas

karbohidrat dan protein. Jenis karbohidrat yang dapat digunakan meliputi pati, alginat,

pektin, gum arabik, dan pati termodifikasi. Sementara itu, dari jenis protein adalah gelatin,

kasein, protein kedelai, whey, gluten gandum, dan zein jagung. Berdasarkan muatan

molekulnya, hidrokoloid baik untuk pembentuk film. Sedangkan alginat dan pektin

membutuhkan ion polivalen, biasanya kalsium untuk membentuk film. Menurut

kelarutan terhadap air, hidrokoloid lebih rendah daya tahannya terhadap uap air dibanding

protein karena sifat hidrokoloid yang hidrofilik (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Lipid sering digunakan sebagai penahan uap air atau sebagai pelapis untuk

meningkatkan kilap pada produk-produk konfeksionari. Lipid jarang digunakan secara

tunggal karena integritas struktur serta daya tahannya yang rendah. Dari golongan lipid

yang paling sering digunakan adalah lilin yang berfungsi menghambat respirasi dan susut

bobot pada buah dan sayuran (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Page 7: Tugas Pak Slamet Tppp

Film (lapisan) dari bahan komposit dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan-

kekurangan lipid dan hidrokoloid jika digunakan secara tunggal. Jika sifat penahan uap

air yang diinginkan, dapat digunakan lipid sebagai bahan Edible Coating. Sementara itu,

sifat daya tahan lipid yang rendah dapat ditutupi dengan penggunaan hidrokoloid

(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Pemilihan jenis Edible Coating dapat disesuaikan dengan fungsi dan kegunaan yang

diinginkan, seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pemilihan Jenis Edible Coating

Kegunaan Jenis Film yang Sesuai

Memperlambat migrasi kelembaban

Memperlambat migrasi gas

Memperlambat migrasi minyak dan lemak

Memperlambat migrasi bahan terlarut

Memperbaiki integritas struktur atau sifat-sifat

penanganan

Mempertahankan senyawa flavor yang volatil

Pembawa bahan tambahan pangan

Lipid, komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

(Sumber : Donhowe-Irene dan Fennema, 1994)

Bahan yang sering ditambahkan pada edible coating antara lain antimikroba,

antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Bahan antimikroba yang umumnya sering

digunakaan adalah asam benzoat, asam sorbat, kalium sorbat, dan asam propionat.

Antioksidan diperlukan untuk melindungi dari reaksi oksidasi, degradasi, dan

pemudaran. Antioksidan yang sering digunakan berupa senyawa asam dan senyawa

fenolik. Senyawa asam yang digunakan antara lain asam sitrat, asam sorbat, dan ester-

esternya. Senyawa fenolik yang digunakan adalah BHA, BHT, propil galat, dan tokoferol.

Jenis plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol (Anonim, 2006). Gliserol

ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik mekanis dari film yang terbentuk

(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994.

Gliserol dibuat dengan menguraikan fruktosa difosfat dengan enzim aldosa menjadi

dihidroksi aseton fosfat, kemudian direduksi menjadi α- gliserofosfat. Setelah itu, gugus

fosfat dihilangkan dengan proses fosforilasi (Winarno, 1997).

Page 8: Tugas Pak Slamet Tppp

Selain plasticizer, bahan lain yang sering ditambahkan dalam formulasi

coating adalah CMC. CMC (carboxymethylcellulose) atau gum selulosa merupakan eter

selulosa anionik yang diperoleh dengan mereaksikan selulosa alkali dengan natrium

monokloroasetat. Fungsinya antara lain menjaga tekstur alami, kerenyahan dan

kekerasan produk, menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, dan

mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida

pada jaringan buah-buahan (Nisperos-Carriedo, 1994).

CMC jarang digunakan sebagai bahan tunggal dalam pembuatan Edible Coating atau

film. Tetapi kemampuannya membentuk film yang kuat dan tahan minyak sangat baik

untuk diaplikasikan (Nisperos-Carriedo, 1994).

2.2 Pati

Pati adalah polisakarida alami yang tersusun dari monomer glukosa yang diekstrak dari

tumbuhan seperti akar, batang, biji, dan buah. Pati tersusun atas butiran kecil dimana ukuran

dan bentuk sesuai dengan sifat fisika-kimia dan fungsi dari masing-masing sumber

tumbuhannya (Jaimes et al., 2013). Sebagian besar pati dalam bentuk amilopektin (polimer

rantai bercabang) dan amilosa (polimer rantai lurus) serta sejumlah kecil kandungan fosfor,

lipid, dan protein (Cai et al., 2014).

Pati memiliki komponen utama amilosa dan amilopektin (Butterworth et al., 2012).

Amilosa tersusun atas satuan glukosa yang saling berikatan dengan ikatan 1,4 -D glukosa

dan struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 2.1 Sedangkan amilopektin merupakan

polisakarida yang tersusun atas ikatan 1,4 -D glukosa dan rantai cabang 1,6 -D glukosa

dan struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Ahmed & Auras, 2011). Amilosa

adalah komponen utama dalam pati yang berperan dalam peristiwa gelatinasi yaitu

pengelompokan molekul-molekul pati melalui pembentukan ikatan-ikatan hidrogen pada gugus

hidroksil intermolekuler antar rantai molekul amilosa. Sedangkan amilopektin sebaliknya, dapat

menghalangi terjadinya gelatinasi karena adanya percabangan dalam molekulnya yang dapat

mencegah pengelompokan tersebut.

Butiran pati tidak larut dalam air pada suhu ruang dengan struktur semikristal (Chen &

Zhang, 2012). Dalam air panas, pati memiliki sifat untuk membentuk sol atau gel yang

bersifat kental. Pemanasan pati menggunakan air akan menyebabkan struktur kristal rusak

dan menjadi acak. Hal tersebut menyebabkan pengembangan dan pemadatan pati atau

Page 9: Tugas Pak Slamet Tppp

disebut dengan gelatinisasi. Cabang-cabang dalam struktur amilopektin yang menyebabkan

pembentukan gel yang cukup stabil.

Pati memiliki harga yang relatif murah, tersedia, dan sangat berguna di sejumlah daerah

sebagai pengental, film, penstabil detergen, dan emulsi (Geng et al., 2010). Pati banyak

digunakan pada industri makanan dan sifat fungsionalnya tergantung pada sumber tumbuhan

dan juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti modifikasi zat kimia, komposisi, pH dan

kekuatan ion dari media. Pati bersifat renewable (dapat diperbaharui) dan dapat membentuk

film dengan sifat fisika sama dengan plastik sintetis seperti transparan, tidak berasa, tidak

berbau, dan resisten terhadap O2 (Maran et al., 2013).

Gambar 2.1 Struktur amilosa

Gambar 2.2 Struktur amilopektin

2.3 Sorgum

2.3.1 Tanaman Sorgum

Sorgum (Sorgum bicolor) merupakan komoditas serealia selain gandum, jagung, dan

beras. Sorgum dikenal dengan nama Guinea corn di Afrika Barat, Kafir corn di Afrika

Selatan, Dura di Sudan, Mtama di Afrika Bagian Timur, Jowar di India dan Kaoliang di

China. Masyarakat Jawa menyebut nama lain sorgum adalah Cantel atau dalam beberapa

bahasa lokal di Flores yang dikenal dengan Watar. Tanaman ini mudah dikembangkan di

tanah yang kurang produktif dan dapat beradaptasi pada daerah kering. Sebagai bahan

pangan dunia, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah gandum, padi, jagung, dan barley

Page 10: Tugas Pak Slamet Tppp

(U.S. Grains Council, 2006). Daerah penghasil sorgum utama di Indonesia adalah Provinsi

Jawa Tengah (Kabupaten Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo), Provinsi Jawa Timur (Kabupaten

Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian Provinsi Nusa Tenggara Barat

dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Badan Litbang Pertanian, 2011). Meskipun dalam

jumlah yang terbatas, sorgum Indonesia telah diekspor ke Singapura, Hongkong, Taiwan,

Malaysia, dan Jepang untuk digunakan sebagai bahan baku pakan serta industri makanan

dan minuman.

Di Indonesia, biji sorgum digunakan sebagai bahan makanan pengganti beras karena

kandungan nutrisi sorgum cukup tinggi. Di negara maju, biji sorgum digunakan sebagai

pakan ternak unggas sedangkan batang dan daunnya untuk ternak ruminansia. Biji sorgum

mengandung 65−71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana. Gula sederhana

yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan

alkohol. Kualitas nira sorgum manis setara dengan nira tebu dengan kandungan sukrosa

masing-masing adalah 10-14,4 % dan 9-17 %, kecuali kandungan amilum berkisar 209-

1764 ppm dan asam akonitat 0,56 % yang relatif tinggi. Di beberapa negara seperti

Amerika, India dan Cina, sorgum telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan

bakar etanol (bioetanol).

Morfologi dari tanaman sorgum yaitu akar serabut, batang tunggal yang terdiri atas

ruas-ruas, daun terdiri atas lamina (blade leaf) dan auricle, dan rangkaian bunga sorgum

yang nantinya akan menjadi bulir-bulir sorgum. Pada daun sorgum terdapat lapisan lilin

yang ada pada lapisan epidermisnya. Adanya lapisan lilin tersebut menyebabkan tanaman

sorgum mampu bertahan pada daerah dengan kelembaban sangat rendah. Lapisan lilin

tersebut menyebabkan tanaman sorgum mampu hidup dalam cekaman kekeringan.

Tanaman sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.3

Page 11: Tugas Pak Slamet Tppp

Gambar 2.3 Tanaman sorgum

(Sumber : Bakeer et al., 2013)

Biji sorgum berbentuk bulat dengan ujung mengerucut, berukuran beragam (misal : 4

x 2,5 x 3,5 mm) dengan variasi berat 8-50 mg. Struktur biji sorgum hampir sama dengan

struktur serealia lainnya dengan komponen utama adalah perikarp, testa, endosperm dan

embrio. Kulit biji ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum putih yang disebut

sorgum kafir dan yang berwarna merah/cokelat biasanya termasuk varietas Feterita. Warna

biji ini merupakan salah satu kriteria menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna

lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk

digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang

berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit.

Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk memperbaiki warna

biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas cucian beras yang telah

difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta tepung. Kulit sorgum juga

mengandung tannin. Tannin adalah senyawa polifenolik yang dapat membentuk kompleks

dengan protein sehingga menurunkan daya cerna protein. Kandungan tannin dalam kulit

biji sorgum berkisar 0.4-3.6 % w/w. Tannin dapat menyebabkan rasa lengket dan pahit

dalam olahan pangan.

2.3.2 Kandungan Nutrisi Sorgum

Sorgum dapat digunakan sebagai sumber kalori selain beras, jagung, dan gandum bagi

penduduk daerah tropis. Selain itu, kandungan gizi sorgum tinggi sehingga sangat baik

digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Perbandingan

komposisi kimia sorgum dapat dilihat pada Tabel 2.2

Page 12: Tugas Pak Slamet Tppp

Tabel 2.2 Perbandingan kandungan gizi sereal sebagai bahan edible film dalam 100 g

(Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1992)

Sorgum memiliki kandungan protein yang tinggi. Akan tetapi sorgum memiliki

kelemahan dibandingkan tanaman serealia lainnya. Sorgum memiliki nilai gizi dan kualitas

organoleptik yang rendah karena memiliki zat anti gizi yang membentuk interaksi

kompleks dengan kandungan nutrisi pada tepung sorgum tersebut. Sorgum mengandung

tanin yang rnenyebabkan rasa sepat, terutama pada sorgum yang mempunyai kulit biji

berwarna tua. Reaksi tanin-protein dalam sorgum melibatkan ikatan hidrogen dan interaksi

hidrofobik (Butler et al., 1984). Prolamin pada sorgum dapat mengikat tanin dengan kuat

dan juga mengikat karbohidrat serta mineral, sehingga mengurangi daya cerna nutrient

sorgum.

2.3.3 Pati Sorgum

Biji sorgum juga dapat dibuat pati (starch) yang berwarna putih. Pati sorgum

digunakan dalam berbagai industri, seperti perekat, bahan pengental, dan aditif pada

industri tekstil, sedangkan hasil samping dari pembuatan pati dapat digunakan sebagai

makanan ternak. Pati merupakan bahan utama pada berbagai sistem pengolahan pangan,

antara lain sebagai sumber energi utama, serta berperan sebagai penentu struktur, tekstur,

konsistensi, dan penampakan bahan pangan. Kandungan pati biji sorgum sekitar 70-80%

berat kering tergantung daerah dan kondisi iklim (Sirappa, 1996). Pati sorgum

mengandung amilopektin 75% dan amilosa 25%.

Bahan Pangan Sorgum Gandum Jagung

Kalori (kkal) 329 348 358

Karbohidrat (g) 73 71 73

Protein (g) 10.9 11.6 9.2

Lemak (g)

Kalsium (mg)

Zat besi (mg)

3.2

27

4.3

2.0

30

3.5

4.6

26

2.7

Serat (%)

Abu (g)

Thiamin (mg)

Niacin (mg)

Riboflavin (mg)

2.3

1.6

0.3

2.83

0.138

2.0

1.6

0.405

5.05

0.101

2.8

1.2

0.378

3.57

0.197

Page 13: Tugas Pak Slamet Tppp

Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan

dari pati itu sendiri. Pati sorgum dapat diekstrak dari biij sorgum salah satunya dengan

menggunakan bleaching reagent. Proses ekstrak pati sorgum terdiri dari perendaman,

penggilingan, penyaringan, sedimentasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam

NaOH selama 24 jam (Iranna et al., 2012). Tujuan perendaman adalah untuk

menghilangkan zat tanin sehingga memberikan pengaruh warna yang lebih putih pada biji

sorgum dan untuk menghilangkan rasa pahit pada olahan pangan. Perendaman dengan

NaOH dapat menghilangkan tannin sebesar 70-80%. Proses penggilingan, penyaringan,

dan sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan pati dari komponen-komponen lainnya.

Diagram alir ekstraksi pati sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Ekstraksi pati biji sorgum

2.4 Pencoklatan (Browning)

Proses pencoklatan (Browning) sering terjadi pada buah-buahan yang rusak, memar,

pecah, atau terpotong seperti pada pisang, peach, pir, salak, pala, dan apel. Proses

pencoklatan dapat dibagi menjadi dua jenis, proses pencoklatan enzimatis dan non

enzimatis. Reaksi pencoklatan non-enzimatis belum diketahui atau dimengerti penuh.

Tetapi pada umumnya ada tiga macam reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu

karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C (Winarno, 1997).

Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung senyawa

fenol (Winarno, 1997). Berdasarkan pada derajat kekompleksannya, senyawa fenol

Biji Sorgum

Perendaman, Penggilingan,

Sedimentasi

Sentrifugasi

Pati Sorgum

Page 14: Tugas Pak Slamet Tppp

pada tanaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : (1) senyawa fenol sederhana dan

(2) senyawa fenol kompleks (Muchtadi, 1992).

Kelompok senyawa fenol yang sederhana terdiri dari asam amino tirosin,

dihidroksifenilalanin (DOPA), katekol, dan asam kafeat. Asam kafeat bila bereaksi dengan

asam kuinat akan membentuk asam klorogenat. Asam klorogenat banyak terdapat pada

apel, kentang, arbei, dan pir (Muchtadi, 1992).

Golongan senyawa fenol yang kompleks terdiri sari antosianin, lignin, dan tanin.

Berdasarkan dapat tidaknya dihidrolisis, maka tanin dapat dibagi menjadi dua golongan,

yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Yang pertama adalah tanin yang dapat

dihidrolisis baik dengan asam, basa, atau enzim yang akan menghasilkan senyawa-senyawa

seperti sakarida, asam galat, asam elagat atau asam yang lain. Yang kedua adalah tanin

yang mempunyai struktur yang kompleks dan tidak dapat dihidrolisis. Yang termasuk ke

dalam grup ini adalah katekin dan leukoantosianin, di mana molekulnya dapat

terpolimerisasi (Muchtadi, 1992).

Menurut Marshall et al. (2000), pencoklatan enzimatis terjadi setelah senyawa fenolik

yang bertindak sebagai substrat dan terdapat di vakuola bertemu dengan enzim polifenol

oksidase yang terdapat di sitoplasma dan dibantu oleh oksigen yang bertindak sebagai

substrat pembantu (co-substrate). Mekanisme pencoklatannya adalah enzim polifenol

oksidase mengkatalisis oksidasi fenol menjadi o-quinon. Kemudian o-quinon secara

spontan melangsungkan reaksi polimerisasi menjadi pigmen berwarna coklat yang

disebut juga dengan melanin seperti yang terjadi pada apel pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Apel Manalagi sebelum mengalami browning (kiri) dan setelah mengalami

browning (kanan)

(Sumber: Latifah, 2009)

Page 15: Tugas Pak Slamet Tppp

Enzim-enzim yang dapat mengkatalisis oksidasi dalam proses pencoklatan dikenal

dengan berbagai nama, yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase, atau polifenolase;

masing-masing bekerja spesifik untuk substrat tertentu (Winarno, 1997). Enzim merupakan

protein yang dihasilkan oleh sel hidup yang bertindak sebagai katalis dalam reaksi kimia

organik, yang dapat mengubah bahan sedangkan dia sendiri tidak mengalami

perubahan (Sucipto, 2008).

Untuk mencegah terbentuknya warna coklat pada buah atau sayuran dapat dilakukan

dengan : (1) menghilangkan oksigen pada permukaan buah atau sayuran yang terpotong,

misalnya dengan merendam dalam air; (2) menghilangkan tembaga yang terdapat pada

gugus prostetik enzim polifenol oksidase dengan menggunakan pengkelat seperti EDTA,

asam-asam organik, dan fosfor sehingga enzim polifenol oksidase tidak dapat

melangsungkan reaksi pencoklatan enzimatis; (3) inaktivasi enzim polifenol oksidase

dengan melakukan blansir pada buah atau sayuran; (4) penyimpanan dingin; (5)

menggunakan senyawa antioksidan; dan (6) menggunakan edible coating (Marshall et

al., 2000).

2.5 Apel

Menurut Sunarjono (2005), tanaman apel (Malus domesticus Borkh) diduga berasal

dari sekitar Israel-Palestina, kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Eropa dan Australia merupakan negara yang paling dulu mengembangkan tanaman apel

secara agribisnis. Di Indonesia, tanaman apel banyak terdapat di Batu (Malang) dan Soe

(Timor Timur Selatan).

Buah apel berbentuk bulat hingga bulat telur, keras tetapi renyah, dan airnya sedikit.

Bila buah sudah tua, warnanya ada yang merah, kuning, atau hijau (Sunarjono, 2005). Salah

satu varietas unggul yang telah dilepas adalah Manalagi, seperti terlihat pada Gambar 2.6

Asalnya dari Desa Gandon, Batu. Warna buahnya hijau muda kekuningan, pori kulit

buahnya putih, jarang, aromanya sedap. Daging buahnya agak liat, kurang berair, warnanya

putih (Kusumo, 1986).

Page 16: Tugas Pak Slamet Tppp

Gambar 2.6 Apel Manalagi

(Sumber: Latifah, 2009)

Menurut Sunarjono (2005), selain sebagai buah segar untuk buah meja (cuci mulut),

buah apel mempunyai nilai tinggi sebagai minuman (jus). Nilai gizi yang terkandung di

dalamnya cukup tinggi karena selain mengandung vitamin A, B, dan C juga banyak

mengandung mineral yang penting untuk menjaga kesehatan manusia.

Apel termasuk buah yang dapat mengalami reaksi pencoklatan enzimatis apabila

mengalami kerusakan berupa memar ataupun pengirisan dan pemotongan (Winarno, 1997).

Hal ini disebabkan di dalam apel terkandung senyawa fenol yang apabila berinteraksi

dengan enzim polifenol oksidase dengan bantuan oksigen akan mengalami pencoklatan

(browning). Senyawa fenol yang terkandung pada apel meliputi asam klorogenat, katekol,

katekin, asam kafeat, 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA), p-kresol, 4-metil katekol,

leukosianidin, dan flavonol glikosida (Marshall et al., 2000).

2.6 Pengolahan Minimal

Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah potong

segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan pencucian,

pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu rendah untuk

penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi

yang dikandungnya (Perera, 2007). Akan tetapi, proses pemotongan produk-produk

tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sel dan mempercepat kerusakan mutu (Baldwin

dan Nisperros-Carriedo, 1993).

Kelebihan dari buah-buahan dan sayuran yang terolah minimal, seperti terlihat pada

Gambar 2.7, selain kemudahan dalam penyajian adalah memungkinkan konsumen melihat

secara langsung kondisi bagian dalam produk sehingga menawarkan mutu yang lebih

terjamin dibandingkan buah utuh. Apalagi buah-buahan umumnya tidak terlepas dari

serangan hama lalat buah (fruit fly), sehingga meskipun nampak mulus di bagian luar,

Page 17: Tugas Pak Slamet Tppp

akan tetapi di dalamnya bisa saja terinfestasi telur atau ulat dari lalat buah. Untuk buah

berukuran besar, konsumen tidak harus mengeluarkan uang ekstra hanya untuk

membeli satu buah yang beratnya kiloan. Bahkan konsumen dapat membeli beberapa jenis

buah dalam satu kemasan dalam ukuran berat yang relatif kecil, sehingga bisa memenuhi

selera sekaligus menghemat pengeluaran (Hasbullah, 2006).

Gambar 2.7 Contoh Produk Terolah Minimal

(Sumber: Latifah, 2009)

Perlakuan-perlakuan pada produk potong segar seperti pengupasan dan pemotongan

dapat menyebabkan perubahan kimia dan biokimia yang selanjutnya menyebabkan

kerusakan mutu. Perubahan tersebut meliputi peningkatan respirasi, produksi etilen,

perubahan warna, flavor, pembentukan metabolit sekunder, dan peningkatan pertumbuhan

mikroba (Baldwin, 2007).

Perlakuan tambahan dapat diberikan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat

pengolahan minimal yang bertujuan mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa

simpan, di antaranya adalah (i) penggunaan bahan tambahan pangan (BTP), dan (ii)

penggunaan pelapis edibel. Penggunaan BTP seperti asam askorbat untuk buah mangga dan

rambutan, tri sodium phosphate atau Na-alginat untuk melon terbukti dapat

memperpanjang masa simpan. Pelapis edibel dapat digunakan sebagai pengemas primer

yang dapat dimakan dan berfungsi untuk mengawetkan dan mempertahankan kesegaran

serta kualitas produk (Hasbullah, 2006).

2.7 Respirasi

Setelah dipanen, buah dan sayur masih melangsungkan metabolisme hidup. Pada saat

itu terjadi degradasi komponen di dalam buah dan sayur menjadi komponen yang lebih

Page 18: Tugas Pak Slamet Tppp

sederhana. Proses tersebut berlangsung hingga akhirnya buah atau sayur menjadi layu dan

busuk (Wulandari, 2006).

Aktivitas metabolisme itu adalah respirasi atau pernapasan, di mana terjadi penyerapan

oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO) melalui pemecahan komponen-komponen

yang terkandung di dalam buah dan sayur tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi

(pelepasan uap air) melalui poripori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang terus-

menerus terjadi, pada akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi layu (Wulandari,

2006). Apabila persediaan oksigen berkurang maka buah-buahan cenderung untuk

melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Senyawa organik yang biasa

digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah glukosa yang akan menghasilkan

beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol, atau asam. Bila buah-buahan melakukan

fermentasi, maka energi yang diperoleh lebih sedikit per satuan substrat dibandingkan

dengan cara pernapasan (respirasi). Oleh karena itu, bila buah-buahan melakukan proses

fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan substrat (glukosa) dalam jumlah

yang banyak sehingga dalam waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan

akhirnya buah tersebut akan mati dan busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan sintesa etilen.

Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan kecepatan respirasi karena

diketahui bahwa etilen dapat menstimulir reaksi enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi,

1992). Perubahan-perubahan fisiologis yang disebabkan peningkatan etilen meliputi : (1)

peningkatan permeabilitas sel, (2) hilangnya sekat-sekat (decompartmentation), (3)

peningkatan pelayuan dan aktivitas respirasi, dan (4) peningkatan aktivitas enzim (Wong et

al., 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi dapat dibedakan atas dua, yaitu faktor

internal (dari dalam bahan sendiri) seperti tingkat perkembangan organ, komposisi kimia

jaringan, ukuran produk, adanya pelapisan alami pada permukaan kulitnya, dan jenis

jaringan. Faktor eksternal (dari luar atau lingkungan di sekeliling bahan) seperti suhu,

penggunaan etilen, ketersediaan oksigen, karbondioksida, terdapatnya senyawa pengatur

pertumbuhan, dan adanya luka pada buah (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Page 19: Tugas Pak Slamet Tppp

Menurut Muchtadi (1992), terdapat tiga fase dalam respirasi, yaitu :

1. Perombakan polisakarida menjadi gula-gula sederhana,

2. Oksidasi gula-gula sederhana tersebut masih menjadi asam piruvat, dan

3. Perubahan (transformasi) aerobik dari piruvat dan asam-asam organik lain menjadi

karbondioksida, air, dan energi.

Beberapa senyawa penting yang dapat digunakan untuk mengukur proses respirasi

adalah glukosa, ATP, CO2, dan O2. Oleh karena itu, beberapa cara telah dicoba digunakan

untuk mengukur perubahan kandungan gula, jumlah ATP, jumlah CO2 yang dihasilkan, dan

jumlah O2 yang digunakan.

Dari keempat cara tersebut, pengukuran yang mungkin dilaksanakan dengan

menggunakan cara yang sederhana dan praktis adalah dengan menghitung produksi CO2.

Cara ini mudah dilakukan karena selama respirasi jumlah CO2 yang keluar relatif cukup

banyak (Winarno dan Wirakartakusumah, 1979).

Page 20: Tugas Pak Slamet Tppp

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Percobaan

Pada bab ini akan dibahas langkah-langkah untuk mencapai tujuan penelitian, diagram

alir penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Keseluruhan

3.2 Penetapan Variabel

Variabel Tetap

a. Suhu pemanasan larutan Edible Coating : 70oC

b. Suhu pendinginan larutan Edible Coating : 25-300C

c. Volume basis larutan Edible Coating : 500 mL

d. Lama pencelupan : 60 detik

e. Pengeringan apel terlapis : 45 menit

Variabel Berubah

a. Konsentrasi pati sorgum : 2 % ; 3 % ; 4 % (b/v)

b. Konsentrasi CMC : 0.2 % ; 0.3 % ; 0.3 % (b/v)

c. Konsentrasi gliserol : 1 % ; 3 % ; 5 % (v/v)

d. Lama penyimpanan apel terlapis : 10 ; 20; 30 oC

Biji Sorgum

Pengujian Sifat Fisikokimia Apel Terlapis

Aplikasi Edible Coating

pada Apel

Pembuatan Pati Sorgum

Pembuatan Larutan Edible Coating

Page 21: Tugas Pak Slamet Tppp

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah apel Manalagi dengan tingkat

kematangan sedang yang dicirikan berwarna kuning muda Pasar Banyumanik, Semarang

serta sorgum putih yang berasal dari Wonogiri. Bahan yang digunakan untuk formulasi

Edible Coating adalah pati sorgum, Carboxymethylcellulose (CMC), gliserol, potassium

sorbat, asam stearat, asam askorbat (vitamin C) dan aquades yang diperoleh dari Toko

Kimia Indrasari . Peralatan yang digunakan adalah hot plate, stirer, timbangan analitik,

thermometer, pH meter, rheometer (Brookfield), penetrometer, chromameter (colorimeter),

refraktometer,tachometer, dan alat-alat laboratorium lainnya (gelas piala, gelas ukur,

Erlenmeyer, stirer dan pipet).

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan Pati Sorgum

Pembuatan pati sorgum menggunakan metode dari penelitian Iranna et al. (2012)

dengan beberapa modifikasi. Biji pati sorgum yang telah disortir dikemudian dicuci

hingga bersih dalam bak yang berisi air dan 1 kg biji sorgum direndam dalam NaOH 0.25

% (w/v) selama 24 jam. Biji sorgum dicuci dan diblender dengan penambahan air

sebanyak 200 mL selama 3 menit. Bubur disaring pada screen 200 mesh dan diendapkan.

Setelah mengendap, dilakukan penyaringan dan residu pada saringan dibilas dengan air.

Residu yang telah dicuci selanjutnya dibuang. Filtrat didiamkan selama 1 jam selanjutnya

disentrifugasi pada 6000 rpm selama 10 menit. Lapisan paling atas yang berwarna abu-abu

merupakan protein dan harus diambil dengan menggunakan spatula. Kelebihan air

ditambahkan untuk me-resuspend sampel dan sentrifugasi kembali selama 5 menit. Cuci

dan sentrifugasi kembali sampai lapisan atas pati berwarna putih. Pati dikeringkan selama

24 jam pada 400C. Keseluruhan proses dapat dilihap pada gambar 3.2

Page 22: Tugas Pak Slamet Tppp

Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Pati Sorgum

Biji Sorgum

Pengupasan

Pencucian

Perendaman 1 kg biji sorgum

+

NaOH 0.25 % (w/v)

Penghancuran (blender, 3 menit) 200 ml air

Penyaringan (200 mesh)

Pengendapan

Penyaringan

Filtrat Residu

Pencucian

Pengendapan (1 jam)

Sentrifugasi (6000 rpm, 10 menit) Lapisan putih

(Pati Sorgum)

Pengambilan Pati Sorgum

Pengeringan (40C, 24 jam)

Pati Sorgum

Page 23: Tugas Pak Slamet Tppp

3.4.2 Pembuatan Edible Coating

Pada penelitian pembuatan formula Edible Coating ini dicoba dengan mengatur

komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan. Bahan baku yang digunakan

yaitu pati sorgum, komposisi pati sorgum yang digunakan yaitu (2%, 3%, dan 4% (b/v)),

CMC yang digunakan yaitu (0,2%, 0,3%, dan 0,4% (b/v)), dan variasi komposisi gliserol

yang digunakan yaitu (1% , 3%, dan 5% (v/v)). Bahan tambahan yang digunakan yaitu

potassium sorbat, asam stearat, dan asam askorbat (vitamin C).

Metode pengadukan menggunakan pengadukan secara manual dengan sudip dan

dibantu dengan menggunakan stirer untuk proses homogenisasi. Proses pembuatan formula

Edible Coating sebanyak 500 ml dengan metode pengadukan secara manual dengan sudip

dan dibantu menggunakan stirer untuk proses homogenisasi dapat dilihat pada Gambar

3.3. Pertama aquades (aquades) dipanaskan dengan hot plate sampai suhu 700C.

Kemudian CMC (0,2% , 0,3%, dan 0,4% (b/v)) dilarutkan sedikit demi sedikit ke dalam

aquades (aquades) sambil diaduk selama 3 menit sampai homogen. Selanjutnya,

ditambahkan pati sorgum (2%, 3%, dan 4% (b/v)) sedikit demi sedikit dan diaduk selama 3

menit. Setelah antara CMC dan pati sorgum homogen, ditambahkan gliserol (1%, 3%, dan

5% (v/v)) untuk meningkatkan elastisitas lapisan dan potassium sorbat (0,5% (b/v)) sambil

terus diaduk. Setelah semua larut, ditambahkan asam lemak stearat (0,5% (b/v)) dengan

tetap diaduk sampai homogen. Proses selanjutnya adalah pendinginan formula Edible

Coating pada suhu kamar (25-300C) dan dilakukan penyimpanan selama 5 hari untuk

mengetahui pada penyimpanan berapahari formula Edible Coating mengalami kerusakan

serta untuk mengetahui karakteristik formula Edible Coating selama penyimpanan.

Pengamatan atau pengujian formula Edible Coating yang meliputi pH, viskositas dan

penampakan visual (penggumpalan, kelarutan, bau, sineresis dan buih) dilakukan setiap

hari (hari ke-0 sampai dengan hari ke-5). Setelah 5 hari penyimpanan dilakukan pemilihan

terhadap formula Edible Coating terbaik dengan kriteria pengujian pH, viskositas dan

penampakan visual. pH yang dipilih adalah yang cenderung netral (pH 6-7) dan viskositas

yang dipilih adalah yang terkecil dan cenderung stabil, sedangkan pengujian penampakan

visual yang dipilih adalah yang memiliki tingkat kelarutan tinggi dan tingkat

penggumpalan, bau, sineresis dan buih yang rendah.

Page 24: Tugas Pak Slamet Tppp

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Edible Coating Pati Sorgum

Page 25: Tugas Pak Slamet Tppp

3.4.3 Aplikasi Edible Coating pada Apel

Untuk aplikasi formula Edible Coating, buah apel Manalagi dicelupkan segera setelah

pisang dilepas dari tandanya ke dalam larutan 0,5% asam askorbat selama 60 detik untuk

mencegah terjadinya pencoklatan (browning), kemudian ditiriskan dan dikering anginkan

dengan bantuan kipas angin. Setelah itu, buah apel Manalagi dicelupkan ke dalam formula

Edible Coating selama 60 detik dan kemudian ditiriskan dan dikering anginkan kembali

dengan bantuan kipas angin. Penggunaan kipas angin ditujukan untuk mempercepat proses

pengeringan. Penyimpanan dilakukan pada suhu 100, 160C, dan suhu 300C. Buah apel

Manalagi yang tidak dilapisi Edible Coating disimpan sebagai kontrol. Parameter yang

diamati pada buah apel Manalagi selama penyimpanan terdiri dari sifat fisiko-kimia yang

meliputi: persen kerusakan, susut bobot (AOAC, 1995), kekerasan (Gardjito, 2003), warna

(Gardjito, 2003), dan total padatan terlarut (AOAC, 1984). Penyimpanan dilakukan sampai

terjadi pematangan, dengan frekuensi pengamatan setiap dua hari sekali.

Page 26: Tugas Pak Slamet Tppp

Gambar 3.4 Diagram Alir Aplikasi Edible Coating pada Apel Manalagi

Page 27: Tugas Pak Slamet Tppp

BAB IV

JADWAL PELAKSANAAN

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan di Laboratorium Bioproses dan Laboratorium

Mikrobiologi Industri Jurusan Teknik Kimia dan Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro

dengan rincian kegiatan seperti disajikan pada Tabel 4.1 dibawah ini.

Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Bentuk Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyiapan Bahan dan

Alat

Pelaksanaan Penelitian

Analisa Hasil

Pembuatan Laporan

Akhir

Seminar Penelitian

Page 28: Tugas Pak Slamet Tppp

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, J., and Auras, R., 2011. Effect of acid hydrolysis on rheological and thermal

characteristics of lentil starch slurry. LWT - Food Science and Technology, 44(4), pp.976–

983.

Badan Litbang Pertanian. 2011. Potensi dan Teknologi Penanganan Sorgum Sebagai Olahan

Pangan. Agroinovasi, 3402, pp.11–16.

Bakeer, B., Taha, I., El-Mously, H., and Shehata, S. A. 2013. On The Characterisation Of

Structure And Properties Of Sorghum Stalks. Ain Shams Engineering Journal, 4(2),

pp.265–271.

Baldwin, E.A. 1994. Edible Coatings for Fresh Fruits and Vegetables : Past, Present, and

Future. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds),

Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company

Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 25-64.

Ban, W., Song, J., Argyropoulos, D. S., and Lucia, L.A. 2006. Improving The Physical And

Chemical Functionality Of Starch-Derived Films With Biopolymers. Journal of Applied

Polymer Science, 100(3), pp.2542–2548.

Budiman, 2011. Aplikasi Pati Sorgum Sebagai Bahan Baku Edible Coating Untuk

Memperpanjang Umur Simpan Apel Manalagi (Musa Cavendishii.) Skripsi Budiman

Fakultas Teknologi Pertanian Edible Coating To Extend Shelf Life. Skripsi. Fakultas

Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Butterworth, P.J., Warren, F. J., Grassby, Terri., Patel, Hamung., and Ellis, P. R. 2012. Analysis

Of Starch Amylolysis Using Plots For First-Order Kinetics. Carbohydrate Polymers, 87(3),

pp.2189–2197.

Cai, J., Cai, C., Man, J., Yang, Y., Zhang, F., and Wei, C. 2014. Crystalline And Structural

Properties Of Acid-Modified Lotus Rhizome C-Type Starch. Carbohydrate polymers, 102,

pp.799–807.

Chen, G,. and Zhang, B. 2012. Hydrolysis Of Granular Corn Starch With Controlled Pore Size.

Journal of Cereal Science, 56(2), pp.316–320.

Chien, P. J., Sheu, F., and Yang, F. H. 2007. Effects Of Edible Chitosan Coating On Quality And

Shelf Life Of Sliced Mango Fruit. Journal of Food Engineering, 78(1), pp.225–229.

Page 29: Tugas Pak Slamet Tppp

Dhanapal, A., P, Sasikala., Rajamani, L., V, Kavitha., G, Yazhini., and Banu, M. S. 2012. Edible

Films From Polysaccharides. Food Science and Quality Management, 3(1), pp.9–18.

Geng, F., Chang, P. R., Yu, J., and Ma, X. 2010. The Fabrication And The Properties Of

Pretreated Corn Starch Laurate. Carbohydrate Polymers, 80(2), pp.360–365.

Grant, L.A. dan Burns, J. 1994. Application of Coatings. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin,

E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food

Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 189-200.

Han, J.H., 2014. Edible Films and Coatings : A Review, Elsevier Ltd.

Hasbullah, R. 2006. Teknologi Pengolahan Minimal. Food Review 1 (10) : 40-45.

Iranna, S., Sahoo, A.K., and Hend, G.M. 2012. Extraction And Characterization Of Sorghum

(Sorghum bicolor L. Moench) Starch. International Food Research Journal, 19(1), pp.315–

319.

Kusumo, S. 1986. Apel (Malus sylvestris Mill). CV. Yasaguna, Jakarta.

Mali, S., Sakanaka, L. S., Yamashita, F., Grossmann, M. V. E. 2005. Water Sorption And

Mechanical Properties Of Cassava Starch Films And Their Relation To Plasticizing Effect.

Carbohydrate Polymers, 60(3), pp.283–289.

Marshall, M.R., Kim, J., dan Wei, C-I. 2000. Enzymatic Browning in Fruits, Vegetables, and

Seafoods. www.fao.org [1 Mei 2008].

Moreno, O., Pator, Clara., Muller, Justine., Atares, Lorena., Gonzalez, C., Chiralt, A. 2014.

Physical and Bioactive Properties of Corn Starch – Buttermilk Edible Films. Journal of

Food Engineering, 141, pp.27–36.

Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk Laboratorium.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat

Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat

Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Nisperos-Carriedo, M.O. 1994. Edible Coatings and Films Based on Polysaccharides. Di dalam

: Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and

Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster

Pennsylvania, p. 305-335.

Page 30: Tugas Pak Slamet Tppp

Perera, C.O. 2007. Minimal Processing of Fruits and Vegetables. Di dalam : Rahman, M. S.

(Ed), Handbook of Food Preservation, 2nd Ed. CRC Press, New York, p. 137-150.

Sirappa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum Di Indonesia Sebagai Komoditas Alternatif

Untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4), pp.133-140.

Sirviö, J.A., Kolehmainen, A., Liimatainen, H., Niinimaki, J., and Hormi, O. E. O. 2014.

Biocomposite Cellulose-Alginate Films: Promising Packaging Materials. Food chemistry,

151, pp.343–51.

Sunarjono, H. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Winarno, F.G., Fardiaz, D., dan Fardiaz, S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia,

Jakarta.

Wong, D.W.S., Camirand, W.M., dan Pavlath, A.E. 1994. Development of Edible Coatings for

Minimally Processed Fruits and Vegetables. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan

Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality.

Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 65-88.

Wulandari, N. Teknologi Praktis MAS untuk Buah dan Sayur. Food Review 1 (10) : 30-35.

Page 31: Tugas Pak Slamet Tppp

LAMPIRAN

Prosedur Analisis

1. Warna Buah (Gardjito, 2003)

Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat Colorimeter atau

Chromameter. Bahan uji diletakkan tepat dibawah sensor cahaya dan diukur. Hasil

pengukuran warna berupa nilai L, a dan b.

2. Susut Bobot (AOAC, 1995)

Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu membandingkan selisih bobot

sebelum penyimpanan dengan sesudah penyimpanan. Kehilangan bobot selama

penyimpanan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

3. Kekerasan Buah (Gardjito, 2003)

Uji kekerasan buah dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer. Bahan uji diletakkan

tepat di bawah jarum. Sebelumnya dipastikan bahwa jarum penunjuk telah menunjukkan

angka nol. Buah ditusuk dengan menekan tuas selama ± 10 detik, dilepaskan dan dibaca

nilai yang tertera. Kekerasan buah dinyatakan dalam satuan mm per detik dengan berat

beban yang dinyatakan dalam gram.

4. Derajat Keasaman (AOAC, 1984)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Pengukuran ini dilakukan

terhadap 100 gram sampel yang kemudian ditambahkan 100 ml air destilat dan dihancurkan

dengan blender. Pengukuran keasaman dengan pH meter dilakukan sebanyak 3 kali

pengukuran dengan menghitung keasaman sampel sebagai rata-rata dari 3 kali pengukuran.

5. Kekentalan (SNI 01-2891-1992)

Pengukuran viskositas (kekentalan) dilakukan dengan menggunakan alat Rheometer.

Masukkan 200 ml sampel dalam gelas piala, kemudian celupkan ke rotor yang telah

terpasang pada alat ke dalam sampel dengan kecepatan 100rpm. Tekan tombol ON untuk

Page 32: Tugas Pak Slamet Tppp

melakukan pengukuran. Biarkan rotor berputar selama 1 menit. Setelah 1 menit baca angka

yang terbaca pada alat.

6. Total Padatan Terlarut (AOAC, 1984)

Jumlah padatan terlarut dihitung menggunakan refraktometer. Ambil sedikit bahan yang

akan diukur total padatan terlarutnya dan teteskan pada alat. Kemudian ukur nilai total

padatan terlarutnya yang berada diantara batas terang dan batas gelap dengan satuan obrix.

7. Persen Jumlah Kerusakan

Persen jumlah kerusakan pisang cavendish diukur dengan mengamati jumlah kulit hitam,

bintik-bintik hitam dan jumlah atau bagian pisan yang rusak pada pisang cavendish. Jumlah

kerusakan yang ada diperkirakan jumlahnya dan dibandingkan dengan jumlah total luasan

pisang cavendih yang ada.