tugas pak rusli

22
Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 1 BAB I PENDAHULUAN Bagi negara beriklim tropis seperti Indonesia, keadaan cuaca yang panas, sangat kering atau lembab akan mempengaruhi status kesehatan hewan. Variasi perubahan cuaca akan mempengaruhi fluktuasi prevalensi penyakit yang dalam kondisi tertentu dapat mencapai titik intensitas yang sangat tinggi atau sebaliknya dapat pula mencapai titik intensitas yang rendah, bahkan / mungkin meghilang sama sekali. Bila suhu dan kelembaban udara sangat tinggi, prevalensi parasit atau penyakit dapat berkembang dan meningkat sampai ke situasi kesehatan hewan, sehingga hewannya tidak dapat dipertahankan lagi keseimbangannya. Keadaan yang demikian sekurang-kurangnya menyebabkan dua kemungkinan, kemungkinan pertama organisme parasit tetap bertahan dan berkembang biak di dalam suasana lingkungan yang ada dan tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Kemungkinan kedua adalah lingkungan memiliki dampak yang merugikan terhadap hewan itu sendiri, seperti lingkungan yang lembab sehingga parasit dapat berkembang dengan baik. Kambing dan domba merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara petani ternak di pedesaan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan hidupnya. Namun demikian, dalam

Upload: darconababan

Post on 03-Jan-2016

61 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 1

BAB I

PENDAHULUAN

Bagi negara beriklim tropis seperti Indonesia, keadaan cuaca yang panas, sangat kering

atau lembab akan mempengaruhi status kesehatan hewan. Variasi perubahan cuaca akan

mempengaruhi fluktuasi prevalensi penyakit yang dalam kondisi tertentu dapat mencapai titik

intensitas yang sangat tinggi atau sebaliknya dapat pula mencapai titik intensitas yang rendah,

bahkan / mungkin meghilang sama sekali. Bila suhu dan kelembaban udara sangat tinggi,

prevalensi parasit atau penyakit dapat berkembang dan meningkat sampai ke situasi kesehatan

hewan, sehingga hewannya tidak dapat dipertahankan lagi keseimbangannya. Keadaan yang

demikian sekurang-kurangnya menyebabkan dua kemungkinan, kemungkinan pertama

organisme parasit tetap bertahan dan berkembang biak di dalam suasana lingkungan yang ada

dan tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Kemungkinan kedua adalah lingkungan memiliki

dampak yang merugikan terhadap hewan itu sendiri, seperti lingkungan yang lembab sehingga

parasit dapat berkembang dengan baik.

Kambing dan domba merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara petani

ternak di pedesaan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai tabungan yang sewaktu-waktu

dapat dijual untuk keperluan hidupnya. Namun demikian, dalam pemeliharaan ternak kambing

memerlukan perhatian terhadap kesehatannya. Salah satu penyakit yang biasanya timbul dan

perlu diwaspadai adalah Haemoncosis.

Secara umum parasit dapat terjadi bila terpenuhi komponen-komponen sebagai berikut :

(1) adanya parasit, (2) adanya sumber parasituntuk hospes yang rentan (reservoir: hospes antara

atau hospes definitif), (3) proses pembebasan stadium parasit dari reservoir, (4) proses penularan

terhadap hospes yang rentan, (5) adanya hospes yang rentan. Adanya parasit di dalam hospes

yang rentan tidak harus di ikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis. Banyak proses parasitisme

yang bila di ukur dari jumlah parasit di dalam tubuh hospes definitive jumlahnya cukup banyak,

tetapi perubahan klinisnya tidak dapat dikenali dari luar (sub klinis).

Page 2: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 2

Adanya parasit yang patogen di dalam tubuh hospes tidak selalu mengakibatkan

parasitisme yang sifatnya klinis. Jumlah parasit yang menyerang hospes yang rentan harus cukup

banyak agar terjadi keseimbangan hubungan parasit-hospes. Jumlah tersebut sangat bervariasi

tergantung pada jenis parasitnya, jenis hospes yang rentan dan bahkan untuk satu jenis hospes

pun dapat bervariasi tergantung pada waktu terjadinya parasitisme. Parasitisme akan

memperlihatkan gejala klinis bila keseimbangan hubungan antara hospes dengan parasit

terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan hospes yang menurun dan / atau oleh

peningkatan jumlah parasit yang pathogen dalam tubuh hospes.

Untuk dapat menyebabkan parasitisme secara klinis sifat pathogen parasit dipengaruhi

oleh virulensi parasit dan mikrohabitat parasit dalam organ penderita. Keruskan jaringan oleh

parasit yang virulen dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Perubahan yang

ditimbulkan oleh parasit dapat berupa kerusakan sel dan jaringan, perubahan fungsi faali dari

hospes, penurunan daya tahan terhadap agen penyakit lain, masuknya agen penyakit sekunder

setelah terjadi kerusakan mekanik dan parasit mampu menyebarkan mikroorganisme patogen.

Karena kerusakan jaringan menyebabkan fungsi faali akan mengalami penurunan dan mungkin

berbentuk sebagai hilangnya nafsu makan, gangguan digesti, gangguan penyerapan, hilangnya

cairan dan elektrolit dan hypersensitivity secara lokal atau sistemik.

Page 3: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 3

MENDIAGNOSA KASUS PENYAKIT PADA KAMBING

Diagnose

A. Anamnesa

B. Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan feses

2. Pemeriksaan urine

Gambar metode pemeriksaan urin yang dilakukan

Page 4: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 4

3. Pemeriksaan darah

Page 5: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 5

LABORATORIUM KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Darussalam Banda Aceh Telp (0651) 51977 Pesawat 157,158

Nama Pemilik : Teaching Farm FKH Unsyiah

Alamat Pemilik : Jl. InongBalee, Tungkop-Darussalam

Signalement :Warna bulu merah hitam, ras local, umur 2 tahun,

Jenis Hewan :Kambing

Jenis Kelamin :Betina

I. ANAMNESA : Kambing kurusa, nafsu makan kurang, dan bulu kusam.

II. STATUS PRAESENT

1. KeadaanUmum :Kulit kusam

a. Gizi :Buruk

b. Temperamen :Jinak

c. Habitus :Lordosis

2. Frekuensi nafas : 27x/menit

Frekuensi pulsus :113x/menit

SuhuTubuh : 39 oC

3. Kulit dan bulu : Turgor kulit jelek dan bulu kusam

4. Selaput lendir :Anemi

5. Kelenjar limfe : -

6. Alat pernafasan : -

7. Alat peradaran darah : -

8. Alat pencernaan : Anus kotor

9. Alat kelamin dan urinasi : -

10. Urat saraf : -

Page 6: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 6

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Kulit : a. Parasit : -

b. Jamur : -

2. Feses : a. Keadaan feses : Normal

b. Parasit Interna : Ditemukan telur cacing

c. Protozoa : -

d. Mikroba : -

3. Urin : a. Warna :Kuning jernih

b. Bau :Amonia

c. Eritrosit : -

d. Urobilinogen : Normal

e. Bilirubin : +

f. Protein : 30 (0,3)mg/dL

g. Nitrit : -

h. Keton : -

i. Glukosa : -

j. pH : 8

k. Densitas : 1,000

l. Leukosit : Ca.25

4. Darah : a. WBC :17,0 x 103

b. Hb :7,1 g/dL

c. RBC : 1,51 x 106

d. PCV : -

e. MCV : 29,8

f. MCH : 47,0pg

g. MCHC : 161,3 g/dL

h. RDW-CV : 17,3%

i. RDW-SD : 16,7

Page 7: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 7

IV. DIAGNOSA : Hemonchosis

V. DIFFERENTIAL DIAGNOSA :

VI. PROGNOSA : Dubius

VII. TERAPI : -

Page 8: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 8

BAB II

PEMBAHASAN

Sampel pemeriksaan yang digunakan kambing lokal di Teaching Farm Fakultas

Kedokteran Hewan Unsyiah dengan no 008. Hewan kurus, nafsu makan kurang, dan bulunya

kusam. Frekuensi nafas 27 kali/menit masih dalam keadaan normal karena frekuensi nafas

normal pada kambing 26-54 kali/menit, frekuensi pulsus 113 kali/menit tidak normal karena

frekuensi pulsus normal pada kambing 70-104 kali/menit ini mungkin hewan pada saat

pemeriksaan dalam keadaan stress sehingga frekuensinya tidak normal, menurut Walser, (1990)

pada sapi, domba, dan babi ditemukan adanya frekuensi pulsus yang tinggi selama masa

menyusu dan kemudian mengalami penurunan seiring dengan pertambahan umur. Suhu tubuh

hewan 39 0C masih dalam keadaan normal karena suhu normal pada kambing 38-49,9 0C nilai

suhu tubuh ini tidak berbeda dengan nilai pada ruminansia kecil lain (domba) pada umur yang

sama (Bostedt, 1990) atau rata-rata suhu tubuh fisiologis pada kambing dewasa 39,4 0C.

Pemeriksaan darah ternak ruminansia yang umum dan biasa dilakukan yaitu untuk

mengetahui kesehatan umum ternak dan mendiagnosa suatu penyakit secara umum penghitungan

jumlah eritrosit, leukosit, PCV, dan Hemoglobin (Hb)

Eritrosit

Faktor yang mempengaruhi kualitas eritrosit bukan saja jumlah sel-selnya tetapi juga

kadar Hb, PCV dan kadar konstituen darah laninya. Factor lain yang dapat mempengaruhi

kualitas eritrosit adalah umur, sex, gizi, kehamilan, laktasi, iklim, fase estrus, dan ketinggian

lokasi (Widjajakuisuma dan Sikar, 1986). Dari pemeriksaan darah yang dilakukan pada kambing

no 008 di dapatkan hasil RBC 1,51 x 106 ini menanndakan hasilnya rendah dibandingkan dengan

nilai normal RBC pada seekor kambing yaitu 8-18 x 106 bila pada ternak ruminansia terjadi

defisiensi vitamin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan eritrosir

misalnya penyakit anemia terjadi apabila jumlah sel-sel darah merah yang fungsional atau

jumlah hemoglobin berkurang jauh di bawah keadaan normal. Anemia dapat terjadi karena

pembentukan darah yang kurang memadai karena gizi yang tidak baik masuk disini adanya

defisiensi zat besi, C1, vitamin dan asam-asam amino di dalam makanan, tapi dapat juga

Page 9: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 9

disebabkan oleh hilangnya darah karena perdarahan dari luka atau karena parasit seperti cacing

[perut atau karena sel-sel darah merah tidak berhasil menjadi masak secara normal (Frandson,

1993).sedangkan pada polisitemia atau peningkatan produksi eritrosit bisa disebabkan karena

adanya hipoksia jaringan akibat kadar oksigen dalam udara terlalu rendah, transportasi oksigen

dari alveoli paru-paru ke sirkulasi terganggu hemoglobin tidak dapat melepaskan oksigen ke

jaringan.

Leukosit

Didalam aliran darah kebanyakan sel-sel darah putih bersifat nonfungsional dan hanya

diangkut ke jaringan ketika dan dimana dibutuhkan saja , sel darah putih dibagi ke dalam dua

golongan yaitu: granulosit (adanya bintik granula) terdiri dari netrofil, eosinofil, basofil, yang

termasuk arganulosit limposit dan monosit. Dari pemeriksaan di dapatkan nilai leukosit 17,0 x

103 tinggi bila dibandingkan dengan nilai normal yaitu 4000-13000 peningkatan jumlah leukosit

(leukositosis) sering disebabkan oleh infeksi, umum, infeksi lokal, intoksikasi, dan obatan-

obatan, pertumbuhan neoplasma yang ganas, peredaran akut di dalam rongga tubuh, hemolisis

eritrisitdan leukemia.

Hematokrit (PCV)

Pada ternak \-ternak yang sehat (normal) penghitungan PCV harus sebanding dengan

jumlah eritrosit dan Hb. Hematokrit di pergunakan untuk menghitung jumlah darah dan untuk

mengecek jumlah sel darah merah. Meskipun hematokrit bukan pengukuran volume darah yang

tepat, derajat hemokonsentrasi pada syok dan berhubungan dengan kesehatan, trauma, dan luka-

luka bakar dapat dinilai dengan hematokrit (Mitruka dan Rawnsley, 1977).

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein komplek terkonyugasi

yang mengandung besi. Proteinnya adalah globulin suatu histon. Warna hemoglobin senyawa

metalik disebabkan oleh heme yaitu suatu senyawa yang mengadnung suatu atom besi

(Widjajakuisuma dan Sikar, 1986), ditambah globin yang merupakan protein globular yang

terdiri dari 4 rantai asam-asam amino. Hemoglobin menggabung dengan oksigen udara yang

Page 10: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 10

terdapat di dalam paru hingga terbentuklah oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan

oksigen itu ke sel-sel jaringan dalam tubuh, karena adanya hemoglobin, darah dapat mengangkut

sekitar 60 kali oksigen lebih banyak di bandingkan dengan air dalam jumlah kondisi yang sama

(Frandson, 1993)

Dari hasil pemeriksaan di dapatkan hasil Hb 7,1 g/dl rendah di bandingkan dengna nilai

normal Hb yaitu 8-12 g/dl hemoglobin, hematokrit dan eritrosit akan meningkat apabila hewan

dalam keadaan takut atau hewan dalam keadaan gembira. Hal ii dapat disebabkan karena

dilepaskannya katekolamin (epinefrin/norepinefrin), akibatnya tekanan darah meningkat dan

disertai kontraksi dari limpa sehingga eritrosit akan di pindahkan untuk ikut aliran darah begitu

juga jika terjadi penurunan Hb bisa di sebabkan oleh salah astunya oleh anemia.

Pemeriksaan Feses

Adanya parasit yang patogen di dalam tubuh hospes tidak selalu mengakibatkan

parasitis me yang sifatnya klinis. Jumlah parasit yang menyerang hospes yang rentan

harus cukup banyak agar terjadi keseimbangan hubungan parasit-hospes. Jumlah tersebut

sangat berva-riasi tergantung pada jenis parasitnya, jenis hospes yang rentan dan bahkan

untuk satu jenis hospes pun dapat bervariasi tergantung pada waktu terjadinya

parasitisme. Parasitis me akan memperlihatkan gejala klinis bila ke-seimbangan hubungan

antara hospes dengan parasit terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan hospes

yang menurun dan / atau oleh peningkatan jumlah parasit yang pa-togen dalam tubuh

hospes. Untuk dapat me nyebabkan parasitisme secara klinis sifat pato-gen parasit

dipengaruhi oleh virulensi parasit dan mikrohabitat parasit dalam organ pen-derita.

Keruskan jaringan oleh parasit yang vi rulen dapat bersifat langsung maupun tidak

langsung.

Perubahan yang ditimbulkan oleh parasit dapat berupa kerusakan sel dan jaring-an,

perubahan fungsi faali dari hospes, penu runan daya tahan terhadap agen penyakit lain,

masuknya agen penyakit sekunder setelah ter-jadi kerusakan mekanik dan parasit mampu

menyebarkan mikroorganisme patogen. Kare-na kerusakan jaringan menyebabkan

fungsifaali akan mengalami penurunan dan mungkin berbentuk sebagai hilangnya nafsu

makan, gangguan digesti, gangguan penyerapan, hi langnya cairan dan elektrolit dan

Page 11: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 11

hipersensi-tivity secara lokal atau sistemik. Dari pemeriksaan feses di temukan telur cacing

Haemonchus contortus di dalam feses.

Haemonchus contortus merupakan parasit yang patogenik, luas penyebaran dan tingkat

infeksinya dapat mencapai 80%. Kambing dan domba mudah terkena infeksi cacing sapuran

pencernaan ini karena Indonesia yang beriklim tropis basah sangat menguntungkan

kelangsungan hidup dan mempermudah penularannya.

Patogenitas Haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi, hal tersebut

tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai 250 larva infektif akan terjadi

kematian, sedangkan pada domba dewasa jika terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing

Haemonchus contortus. Telah dilaporkan bahwa infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba

dan ditemukan sebanyak 20.000 sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999).

Kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan

produksi karena sifat cacing adalah menghisap darah yang mengakibatkan anemia hemoragie

dengan ditandai penurunan jumlah eritrosit dan PCV. Infeksi kronis dapat berjalan lama karena

masih adanya sejumlah cacing. Jika disertai nutrisi jelek maka berakibat penurunan berat badan

dan disertai penurunan protein dalam tubuh.

Panjang cacing Haemonchus contortus betina 18-30 mm dan jantan sekitar 10-20 mm.

pada cacing betina secara mikroskopis usus yang berwarna merah berisi darah saling melilit

dengan uterus yang berwarna putih

Etiologi

Haemonchus contortus merupakan cacing kawat yang tinggal di dalam abomasum

domba, kambing, sapi serta golongan ruminansia lainnya. Nama lain yang dikenal bagi cacing ini

adalah “cacing lambung”, “cacing kawat”, dan “cacing halus”. Cacing ini mempunyai lanset

pada bagian dorsal dari rongga mulut dan papillae cervical berbentuk duri kira-kira 300 µ dari

ujung anterior. Cacing jantan mempunyai bursa yang berbentuk seperti huruf y dan spikula.

Cacing betina mempunyai ovarium dan uterus berwarna putih yang meliliti saluran pencernaan

berwarna merah, berekor kecil dan berujung runcing. Vulva ditutupi oleh penutup anterior yang

saling melebar dan terbuka.

Page 12: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 12

Gambar : Bagian ujung belakang Haemonchus contortus dengan bursa dan spikula

Siklus hidup

Siklus hidup Haemonchus contortus dan nematode lain pada ruminansia bersifat

langsung, tidak membutuhkan hospes intermediet. Cacing dewasa hidup di abomasum,

memproduksi telur. Telur dikeluarkan oleh ternak bersama-sama dengan pengeluaran feses.

Diluar tubuh hospes, pada kondisi yang sesuai telur menetas dan menjdai larva. Larva stadium

L1 berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3 yang merupakan stadium infektif. Larva

infektif menempel pada rumput-rumput dan teringesti oleh domba selanjutnya larva akan dewasa

di abomasums.

Infestasi pada domba terjadi apabila larva stadium tiga (L3) termakan oleh domba, yang

biasanya berlangsung dilapangan pada waktu domba merumput. Kemudian bergerak dari

retikulorumen ke abomasums. Di dalam retikulorumen larva infektif akan segera melepaskan

kulit yang membungkusnya, hal ini terjadi satu jam setelah domba terinfeksi (Dakkak et al,

1981). Kemudian Larva ketiga mengadakan ekdisis dalam waktu 48 jam setelah di dalam

abomasum, membentuk larva stadium keempat (L4). Menurut Whitlock (Dakkak et al,

1981)hanya larva tidak berselubung yang dapat berkembang di dalam abomasums. L4 dilengkapi

dengan “bucal capsul” sementara. Cacing menjadi dewasa di dalam abomasums 19 hari setelah

infestasi dan telur pertama dikeluarkan bersama tinja induk semang 18-21 hari setelah infestasi.

Page 13: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 13

Gambar : Siklus hidup cacing Haemonchus spp (Whittier, et al., 2003)

Kerugian

Haemonchus contortus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor perhari

menhabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia berlangsung melalui 3 tahap, yaitu

tahap I, 3 minggu setelah terinfeksi ternak akan kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini

merupakan tahap akut, tahap II, antara 3-8 minggu setelah terinfeksi kehilangan darah dan zat

besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III,

terjadi kelelahan sistem eritropoetik yang disebabkan oleh kukarangan besi dan protein hal ini

merupakan tahap kronis.

Gejala klinis

Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus contortus bersamaan dengan

kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung dibawah rahang, diare, tapi kadang-

kadang kambing sudah mati sebelum diare muncul. Gejala lain yang menonjol yaitu: penurunan

berat badan, pertumbuhan yang jelek, dan penurunan jumlah produksi susu

Page 14: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 14

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan identifikasi telur-telur cacing di bawah

mikroskop. Diagnosis Haemonchosis secara serologis menggunakan antibody poliklonal untuk

mendeteksi infeksi Haemonchosis pada domba dan kambing sampai saat ini di Indonesia belum

ada laporan. Penelitian yang dilakukan oleh Kodyman et al. (2000) menunjukkan antigen dari

produksi eksresi dan sekresi cacing Haemonchosis yang mengandung protein 15 dan 24 kDa

merupakan protein yang sangat imunogenik sehingga bisa dikembangkan sebagai vaksin sub unit

untuk Haemonchosis.

Mufasirin dkk. (2002) telah memproduksi antibody poliklonal spesifik terhadap protein

ekresi dans ekresi dengan berat molekul sebesar 33 kDa dari cacing Haemonchus contortus

isolate local dari kambing dan domba. Antibody yang didapatkan dapat digunakan untuk

mendeteksi protein Haemonchus contortus dalam sirkulasi darah sehingga antibody tersebut

dapat dikembangkan untuk diagnosis Haemonchus contortus pada ternak kambing dan domba.

Pencegahan

Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan menggembalakan ternak terlalu

pagi, pemotongan rumput sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan

mengurangan pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.

Pengobatan

Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain

albendazole dengan dosis 5-10 mg/kg bb, mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg bb, dan

thiabendazole dengan dosis 44-46 mg/kg bb. Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan

awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak bunting, tapi thiabnedazole sering

menyebebkan resistensi. Pemberian daun nenas segar maupun serbuk daun nenas kering

menurunkan jumlah telur cacing Haemonchus contortus pada feses kambing PE sampai 45%

namun efektifitas anthihelmentiknya menurun dengan cepat. Efektifitas pemberian atau frekuensi

pemberian maupun kombinasi keduanya.

Page 15: Tugas Pak Rusli

Laporan Pemeriksaan Ternak Klinik Interna Page | 15

DAFTAR PUSTAKA

Kodyman, F.N., H.D. Scaling., M.A Vanleuwen., S. Mackella. And J.F Huntley. 2000. Protection in Lambs Vaccinated with Haemonchus contortus antigens is age Related and Corellates with IgE rather than IgGI Antibody. Parasite. Immunonal; 22(1):13-20

Mufasirin, N.D.R Lastuti, dan LS. Hamid. 2002. Identifikasi dan produksi antibody poliklonal protein spesifik eksresi-eksresi cacing Haemonchus contortus untuk diagnosis haemonchosis pada domba dan kambing. Laporan Penelitian DUE-Like Batch III tahun 2002, FKH, Unair. Surabaya.

Dakkak, A.J. Floramenti, L. Bueno. 1981. Haemonchus contortus third stage larvae in sheep kinetics of arrival into abomasums and transformation during rumino-omasal transit. Researchin Veterinary Science 31:384-385.

Panjaitan. T dan Astutu, L.G.S. 2009. Pengendalian Infestasi Cacing Haemonchus contortus Menggunakan Daun Nenas Pada Kambing PE. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Mataram

Walser, K. 1990. Herz und Kreislaufsystem, Atmung, Blut, Nieren, Dalam: Walser K, and H. Bostedt (Eds.): Neugeborenen- und Saeuglingskunde der Tiere. Ferdinan Enke Velag. Stuttgart. Pp. 4-23.

Bostedt, H. 1990. Erkrangkungen bei Schaf-und Ziegenlaemmen. Dalam: Walser K and H, Bostedt (Eds): Neugeborenen-und Saeulingskunde der Tiere. Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart. Hal: 336-413.

Frandson, R.D. 1993. Darah dan cairan Tubuh Lainnya. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke 4 Gajah Mada University Press.

Widjajkusuma, R dan H. Sikar. 1986. Fisiologi Hewan. Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Bogor

Mitruka, B.M and H.M Rawnsley. 1977 Clinical Biochemical and Hematogical Reference Valuesin Normal Exsperimental Animals. Mason Publishing. U.S.A