tugas mandiri sken 2 blok mpt.docx

25
SKENARIO 2 REAKSI ALERGI Tn A mengeluh demam dan batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu, dan setelah berobat, dokter memberikan antibiotika golongan penisilin kepada Tn A. Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang merata diseluruh tubuhnya, dan timbul bengkak pada kelopak mata dan bibirnya. Ia memutuskan untuk kembali berobat kedokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema dan urtikaria di seluruh tubuhnya. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan pengobatan antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat. 1

Upload: erinvera

Post on 26-Sep-2015

44 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

cf

TRANSCRIPT

SKENARIO 2

REAKSI ALERGI

Tn A mengeluh demam dan batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu, dan setelah berobat, dokter memberikan antibiotika golongan penisilin kepada Tn A. Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang merata diseluruh tubuhnya, dan timbul bengkak pada kelopak mata dan bibirnya. Ia memutuskan untuk kembali berobat kedokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema dan urtikaria di seluruh tubuhnya. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan pengobatan antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.

SASARAN BELAJAR

LI 1. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas

LO 1.1 Definisi dan Etiologi Hipersensitivitas

LO 1.2 Jenis-Jenis Reaksi Hipersensitivitas

LI 2. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I

LO 2.1 Mekanisme Hipersensitivitas tipe I

LO 2.2 Preformed Mediator pada Reaksi Hipersensitivitas tipe I

LI 3. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II

LO 3.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II

LO 3.2 Jenis-Jenis Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

LI 4. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III

LO 4.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III

LO 4.2 Bentuk Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

LI 5. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV

LO 5.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV

LO 5.2 Jenis-Jenis Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

LI 6. Memahami Dan Menjelaskan Antihistamin Dan Kortikosteroid

LO 6.1 Golongan Antihistamin dan Kortikosteroid

LO 6.2 Farmakokinetik Dan Farmakodinamik

LO 6.3 Indikasi, Kontra Indikasi dan Efek Samping

LI 7. Memahami Dan Menjelaskan Batasan Hukum Islam Untuk Menentukan Alternatif Terbaik Dari Dua Pilihan Sulit

LI 1. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas

LO 1.1 Definisi dan Etiologi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya atau respon imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.

Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan, alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :a.perbedaan keadaan fisik setiap bahanb.kekerapan pajananc.daya tahan tubuh seseorangd.adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi

LI 1.2 Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas

a. Menurut waktu timbulnya reaksi

- Reaksi cepat

Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat.

- Reaksi intermediet

Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. Manifestasi reaksi intermediet berupa :

1.Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia hemolitik autoimun).

2.Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES).

- Reaksi lambat

Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

Perbedaan

Reaksi cepat

Reaksi intermediet

Reaksi lambat

Waktu timbul reaksi

Hitungan detik

Terjadi setelah beberapa jam terpajan

Terjadi setelah 48 jam terpajan

b. Menurut Gell dan Coombs

-Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.

Reaksi hipersensitifitas tipe I adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih dahulu diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast) dan basofil.

-Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik.

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitolitik atau sitotoksik, karena dibentuk Antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.

-Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.

Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.

-Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.

Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8 .

LI 2. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I

LO 2.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe I

Pada tipe I terdapat beberapa fase, yaitu :

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.

3. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.

Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.

LO.2.2 Memahami dan Menjelaskan Preformed Mediator pada Reaksi Hipersensitivitas tipe I

a. Histamin

Histamin merupakan kompenen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamine yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine ( H1,H2,H3,H4 ) dengan distribui yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine, menunjukkan berbagai efek.

b. PG dan LT

PG dan LT dihasilkan dari metabolism asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi tipe 1. PG dan LT merupakan mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolism asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama disbanding dengan histamine

c. Sitokin

Sitokin dilepas sel mast dan basofil (IL-3,IL-4,IL-5,IL-6,IL-10,IL-13,GM-CSF dan TNF-). Beberapa berperan dalam reaksi tipe 1. Sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil.

Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1

Mediator

Efek

Histamin

Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos, sekresi mukosa gaster

ECF-A

Kemotaksis eosinofil

NCF-A

Kemotaksis neutrofil

Eosinophil chemotactic

Kemotaktik untuk eosinofil

Neutrophil chemotactic

Kemotaktik untuk neutrofil

Protease

Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh darah, pembentukan produk pemecah komplemen

PAF

Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru

Hidrolase asam

Degradasi matriks ekstraseluler

NCA

Kemotaksis neutrofil

BK-A

Kalikrein : kininogenase

Proteoglikan

Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan; mencegah komplemen yang menimbulkan koagulasi (?)

Enzim

Kimase, triptase, proteolisis

Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1

Mediator

Efek

Sitokin

Aktivasi berbagai sel radang

Bradikinin

Peningkatan permebilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri

Prostaglandin D2

Kontraksi otot polos paru, vasodilatasi, agregasi trombosit

Leukotrien

Kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, kemotaksis

Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe I

Manifestasi khas : anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, asma, urtikaria, alergi makanan dan ekzem .

Reaksi Alergi

Jenis Alergi

Alergen Umum

Gambaran

Anafilaksis

Obat, serum, kacang-kacangan

Edema dengan peningkatan permeabilitas kapiler, okulasi trakea , koleps sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian

Urtikaris akut

Sengatan serangga

Bentol, merah

Rinitis alergi

Polen, tungau debu rumah

Edema dan iritasi mukosa nasal

Asma

Polen, tungau debu rumah

Konstriksi bronkial, peningkatan produksi mukus, inflamasi saluran nafas

Makanan

Kerang, susu, telur, ikan, bahan asal gandum

Urtikaria yang gatal dan potensial menjadi anafilaksis

Ekzem atopi

Polen, tungau debu runah, beberapa makanan

Inflamasi pada kulit yang terasa gatal, biasanya merah dan ada kalanya vesikular

LI 3. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II

LO 3.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II

Reaksi diawali oleh reaksi antara ab dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan komplemen atau ADCC.

LO 3.2 Jenis-Jenis Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

1). Reaksi transfusi

Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau lambat .

-Reaksi cepat :

Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik.

Gejala khas : Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah, dan hemoglobinuria.

-Reaksi lambat:

Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd, Kell, dan Duffy

2). Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah rhesus dan janin dengan rhesus (+).

3). Anemia hemolitik

a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa

b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

LI 4. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III

LO 4.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III

Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III

Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan.

1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah

Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:

- Agregasi trombosit

- Aktivasi makrofag

- Perubahan permeabilitas vaskuler

- Aktivasi sel mast

- Produksi dan pelepasan mediator inflamasi

- Pelepasan bahan kemotaksis

- Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan

Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut terjadi karena histamin yang dilepas oleh sel mast.

LO.4.2. Memahami dan Menjelaskan Bentuk-Bentuk Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus

Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa vaskulitis dengan nekrosis.

Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :

1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.

2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.

3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

B. Reaksi Tipe 3 Sistemik atau Serum Sickness

Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.

2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)

3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.

4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan.

5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.

LI 5. Memahami Dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV

LO 5.1 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :

a. Fase sensitasi

Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

b. Fase efektor

Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas sitokin yang menyebabkan :

- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.

- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.

- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.

Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .

LO.5.2. Memahami dan Menjelaskan Jenis-Jenis Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

- Dematitis kontak

Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).

- Hipersensitivitas tuberkulin

Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.

- Reaksi Jones Mote

Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.

- Penyakit CD8+ ( T cell mediated cytolysis )

Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.

LO 6. Memahami Dan Menjelaskan Antihistamin Dan Kortikosteroid

LO.6.1 Memahami dan Menjelaskan Golongan Antihistamin dan Kortikosteroid

A. Antihistamin

Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan, neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).

B. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Obat-obat golongan kortikosteroid seperti prednison, dexametason dan hydrocortisone memiliki potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya.

LO.6.2. Memahami dan Menjelaskan Farmakodinamik dan Farmakokinetik

A. Antihistamin

1). Antagonis reseptor H1 (AH1)

a. Farmakodinamik :

AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.

b. Farmakokinetik :

Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya

2). Antagonis reseptor H2 (AH2)

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan nizatidin.

1. Simetidin dan Ranitidin

a. Farmakodinamik :

Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.

b. Farmakokinetik :

Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek pada periode pasca makan. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.

2. Famotidin

a. Farmakodinamik :

Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

b. Farmakokinetik :

Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi20 jam.

3. Nizatidin

a. Farmakodinamik :

Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.

b. Farmakokinetik :

Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.

B. Kortikosteroid

a. Farmakodinamik :

-Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.

-Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.

1. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.

2. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.

-Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.

1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.

2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.

3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

b. Farmakokinetik :

Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.

Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

LO.6.3. Memahami dan Menjelaskan Indikasi dan Kontra Indikasi dan Efek Samping

1. Antihistamin :

- Antagonis reseptor H1 (AH1)

Indikasi :

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.

Kontraindikasi :

Antihistamin generasi pertama hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui,narrow-angle glaucoma,stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik,bladder neck obstruction, penyumbatanpyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakanmonoamine oxidase inhibitor(MAOI), dan pasien tua.

Efek samping :

Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.

- Antagonis reseptor H2 (AH2)

1. Simetidin dan Ranitidin

Indikasi :

Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.

Kontraindikasi :

Antihistamin generasi kedua hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.

Efek samping :

Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

2. Famotidin

Indikasi :

Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.

Kontra Indikasi :

Penderita yang hipersensif terhadap Famotidine.

Efek samping :

Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

3. Nizatidin

Indikasi :

Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.

Kontraindikasi :

Hipersensitivitas terhadap nizatidin

Efek samping :

Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek antiandrogenik

2. Kortikosteroid

Indikasi :

Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini digunakan:

-Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.

-Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.

-Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.

-Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.

-Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.

-Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

Kontraindikasi :

Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.

Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.

Efek samping :

-Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.

-Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.

-Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau perforasi, osteoporosis dll.

-Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroid sintetik.

-Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan.

LO 7. Memahami Dan Menjelaskan Batasan Hukum Islam Untuk Menentukan Alternatif Terbaik Dari Dua Pilihan Sulit

Maslahah :

Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah yaitu:

Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam mencapai maksudnya.

Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya maka ia akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)

DAFTAR PUSTAKA :

Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. (2012). Imunologi Dasar. Ed. 10. FKUI : Jakarta.

Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan Terapi. Edisi V, Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

1