tugas mandiri sk3 -mimit

35
LI 1 MM Asma Anak LO 1.1 Definisi Asma adalah serangan berulang dyspnea paroksismal, disertai dengan peradangan jalan napas dan mengi akibat kontraksi spasmodik bronkus dengan beberapa kasus adalah manifestasi alergi pada orang-orang yang telah tersensitisasi (allergic asthma), yang lain dicetuskan oleh berbagai faktor seperti latihan fisik berat, partikel- partikel iritan, stress psikologis, dan lain sebagainya. Disebut juga bronchial asthma dan spasmodic asthma. LO 1.2 Klasifikasi PNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit, dengan kriteria lebih lengkap dibandingkan Konsensus International, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit asma anak Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma Persisten 1.Frekuensi serangan < 1x/ bulan >1x/ bulan sering 2. Lama serangan < 1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi 3.Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat 4.Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam 5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu 6.Pemeriksaa n fisik di luar serangan Normal (tidak ditemukan kelainan) Mungkin terganggu (ditemukan kelainan) Tidak pernah normal 7.Obat pengendali (anti- Tidak perlu Perlu Perlu

Upload: fadli-ilham

Post on 16-Nov-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tt

TRANSCRIPT

LI 1 MM Asma AnakLO 1.1 DefinisiAsma adalah serangan berulang dyspnea paroksismal, disertai dengan peradangan jalan napas dan mengi akibat kontraksi spasmodik bronkus dengan beberapa kasus adalah manifestasi alergi pada orang-orang yang telah tersensitisasi (allergic asthma), yang lain dicetuskan oleh berbagai faktor seperti latihan fisik berat, partikel-partikel iritan, stress psikologis, dan lain sebagainya. Disebut juga bronchial asthma dan spasmodic asthma.

LO 1.2 KlasifikasiPNAA (Pedoman Nasional Asma Anak) membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit, dengan kriteria lebih lengkap dibandingkan Konsensus International, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini.Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit asma anakParameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paruAsma episodik jarangAsma episodik sering Asma Persisten

1.Frekuensi serangan < 1x/ bulan>1x/ bulansering

2. Lama serangan< 1 minggu>1 mingguHampir sepanjang tahun, tidak ada remisi

3.Intensitas serangan Biasanya ringanBiasanya sedangBiasanya berat

4.Diantara serangan Tanpa gejalaSering ada gejalaGejala siang dan malam

5.Tidur dan aktivitasTidak tergangguSering tergangguSangat terganggu

6.Pemeriksaan fisik di luar seranganNormal (tidak ditemukan kelainan)Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)Tidak pernah normal

7.Obat pengendali (anti-inflamasi)Tidak perluPerlu

Perlu

8. Uji faal paru (di luar serangan)PEF/FEV1>80%PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1 15%Variabilitas >30%Variabilitas >50%

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.Klasifikasi asma menurut derajat seranganParameter klinis, fungsi faal paru, laboratoriumRinganSedangBeratAncaman henti napas

Sesak (breathless)BerjalanBerbicaraIstirahat

Bayi :Menangis kerasBayi :-Tangis pendek dan lemah-Kesulitan menetek/makanBayi :Tidakmau makan/minum

PosisiBisa berbaringLebih suka dudukDuduk bertopang lengan

BicaraKalimatPenggal kalimatKata-kata

KesadaranMungkin iritabelBiasanya iritabelBiasanya iritabelKebingungan

SianosisTidak adaTidak adaAdaNyata

WheezingSedang, sering hanya pada akhir ekspirasiNyaring, sepanjang ekspirasi inspirasiSangat nyaring, terdengar tanpa stetoskopSulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorikBiasanya tidakBiasanya yaYaGerakan paradok torako-abdominal

RetraksiDangkal, retraksi interkostalSedang, ditambah retraksi suprasternalDalam, ditambah napas cuping hidungDangkal / hilang

Frekuensi napasTakipnuTakipnuTakipnuBradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :Usia Frekuensi napas normal per menit< 2 bulan 20mmHg)Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

PEFR atau FEV1(%nilai dugaan/%nilai terbaik)Pra bonkodilatorPasca bronkodilator

>60%>80%

40-60%60-80%

30%

1. Persisten berat Gejala terjadi setiap hari Serangan sering terjadi Gejala asma nokturnal sering terjadi FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik untuk individu Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

LO 1.3 EpidemiologiAsma dapat timbul pada segala umur, 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus-menerus daripada yang musiman, menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari. Baik prevalensi maupun mortalitas asma meningkat selama 2 dekade terakhir. Faktor-faktor risiko timbulnya asma adalah kemiskinan, ras kulit hitam, umur ibu kurang dari 20 tahun saat melahirkan, berat badan kurang dari 2500 gram, ibu merokok (lebih dari setengah bungkus rokok sehari), ukuran rumah kecil (< 8 kamar), ukuran keluarga besar (> 6 anggota), dan paparan alergen masa bayi kuat (> 10 g alergen tungau debu rumah Dermatophagoides pterronyssinus 1 per gram debu rumah yang dikumpulkan). Faktor resiko tambahan dapat meliputi seringnya infeksi pernapasan pada awal masa kanak-kanak dan kurang optimalnya perawatan oleh orangtua. Sensitisasi terhadap alergen hirupan dapat terjadi pada masa bayi, tetapi sensitisasi semakin bertambah sering setelah umur 2 tahun dan dapat ditunjukkan dari banyaknya anak setelah usia 4 tahun yang perlu mengunjungi ruang gawat darurat karena mengi. Faktor resiko kematian asma adalah asma berat, menunda pelaksanaan pengobatan yang tepat, kurangnya penggunaan bronkodilator dan kortikosteroid, kulit hitam, tidak setia pada nasihat untuk penanganan, disfungsi dan stress psikososial yang dapat mengganggu kesetiaan atau tanggapan terhadap bertambahnya penyumbatan jalan napas, sedasi, serta pemaparan berlebihan terhadap alergen. Pengobatan gawat darurat atau rawat inap di rumah sakit karena asma yang baru saja dilalui menambah risiko kematian asma. Penderita yang menjadi sasaran penyumbatan jalan napas berat, mendadak, dan mereka yang menderita asma kronis tergantung steroid adalah yang terutama berrisiko tinggi untuk asma yang mematikan (Behrman et al., 1999)

LO 1.4 EtiologiAsma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase adrenergik- dengan penurunan respons adrenergik. Faktor imunologis. Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik, eksaserbasi terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepungsari, dan ketombe. Seringkali, tapi tidak selalu, kadar IgE total maupun spesifik penderita seperti ini meningkat terhadap antigen yang terlibat. Asma instrinsik ditemukan paling sering pada usia 2 tahun pertama dan orang dewasa (asma yang timbul lambat) dengan penelitian klinis, tidak ditemukan keterlibatan IgE, uji kulit negatif dan kadar IgE rendah. Asma ekstrinsik mungkin dihubungkan dengan lebih mudahnya mengenali rangsang pelepasan mediator daripada asma intrinsik. Penderita asma dari semua umur biasanya mempunyai kadar serum IgE yang meningkat, pada kebanyakan penderita memberi kesan komponen alergik-ekstrinsik. Walaupun kenaikan kadar IgE dapat karena atopi, rangsangan non-spesifik kronis, yaitu reaksi imun fase lambat akibat alergen pada sel mast menciptakan hiperreaktivitas jalan napas non-spesifik yang lama, yang dapat menghasilkan bronkospasme tanpa adanya faktor ekstrinsik yang dapat diketahui. Agen virus adalah pemicu infeksi asma paling penting. RSV (Respiratory Syncytial Virus) dan virus parainfluenzae adalah yang paling sering terlibat. Infeksi parainfluenzae diduga berperan penting pada umur yang semakin tua.Faktor endokrin. Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan menstruasi, terutama prementruasi atau dapat timbul pada saat wanita menopause. Asma membaik pada beberapa anak saat pubertas.Faktor psikologis. Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi penyimpangan emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma tidak lebih sering daripada anak dengan penyakit cacat kronis lain. Sebaliknya, pengaruh penyakit kronis berat seperti asma pada pandangan anaknya sendiri, pandangan orangtua padanya, atau kehidupan pada umumnya, dapat merusak.LO 1.5 PatofisiologiPencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorangmenghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif. Beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik (Rengganis, 2008).

Serangan asma terjadi apabila terpajan alergen sebagai pencetus. Pajanan alergen tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi saluran napas dengan hasil akhir berupa obstruksi saluran napas bawah sehingga terjadi gangguan ventilasi berupa kesulitan napas pada saat ekspirasi (air trapping). Terperangkapnya udara saat ekspirasi mengakibatkan peningkatan tekanan CO2 dan pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan O2 dengan akibat penimbunan asam laktat atau asidosis metabolik. Adanya obstruksi juga akan menyebabkan terjadinya hiperinflasi paru yang mengakibatkan tahanan paru meningkat sehingga usaha napas meningkat. Usaha napas terlihat nyata pada saat ekspirasi sehingga dapat terlihat ekspirasi yang memanjang atau wheezing. Adanya peningkatan tekanan CO2 dan penurunan tekanan O2 serta asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonar yang berakibat pada penurunan surfaktan. Penurunan surfaktan tersebut dapat menyebabkan keadaan atelektasis. Selain itu, hipersekresi akan menyebabkan terjadinya sumbatan akibat sekret yang banyak (mucous plug) dengan akibat atelectasis

Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotriene C4 dari sel mast, neuropeptida dari dari saraf afferent setempat, dan asetilkolon dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodelling, hyperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu, hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submucosa, protein plasma yang keluar mikrovaskular bronkus dan debris selular.LO 1.6 Manifestasi klinikGejala dan tanda klinis sangat dipengaruhi oleh berat ringannya asma yang diderita. Bisa saja seorang penderita asma hampir-hampir tidak menunjukkan gejala yang spesifik sama sekali, di lain pihak ada juga yang sangat jelas gejalanya. Gejaladan tanda tersebut antara lain:1. Batuk 2. Nafas sesak (dispnea) terlebih pada saat mengeluarkan nafas (ekspirasi)3. Wheezing (mengi)4. Nafas dangkal dan cepat5. Ronkhi6. Retraksi dinding dada7. Pernafasan cuping hidung (menunjukkan telah digunakannya semua otot-otot bantu pernafasan dalam usaha mengatasi sesak yang terjadi)8. Hiperinflasi toraks (dada seperti gentong)Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejalaklinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerjadengan keras.Gejala klasik dari asma ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan padasebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selaludijumpai bersamaan.Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak,antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardidan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.Penderita asma dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut:1. Asma intermiten ringan, gejala terjadi kurang dari seminggu sekali denganfungsi paru normal atau mendekati normal diantara episode serangan.2. Asma persisten ringan, gejala muncul lebih dari sekali dalam seminggudengan fungsi paru normal atau mendekati normal diantara episodeserangan.3. Asma persisten moderat, gejala muncul setiap hari dengan keterbatasan jalan napas ringan hingga moderat.4. Asma persisten berat, gejala muncul tiap hari dan mengganggu aktivitasharian. Terdapat gangguan tidur karena terbangun malam hari, danketerbatasan jalan napas moderat hingga berat.5. Asma berat, gejala distress berat hingga tidak bisa tidur. Keterbatasan jalan napas yang kurang respon terhadap bronkodilator inhalasi dan dapatmengancam nyawa.

LO 1.7 Diagnosis& Diagnosis bandingRiwayat penyakit/ gejala : Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu Respons terhadap pemberian bronkodilatorHal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi/ atopi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan

1. Pemeriksaan FisikKeadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi dudukJantung:Pekak jantung mengecil, takikardiParu Inspeksi: Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah Auskultasi: Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang Perkusi : Hipersonor Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri2. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan SputumPemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkhus Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

Pemeriksaan Darah Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

Pemeriksaan Penunjang Lain1) Pemeriksaan RadiologiGambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis local Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru2) Pemeriksaan Tes KulitDilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3) ElektrokardiografiGambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu: Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block) Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative4) Scanning ParuDengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5) SpirometriUntuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.Gambaran Klinis Status Asmatikus Penderita tampak sakit berat dan sianosis Sesak nafas, bicara terputus-putus Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat

6) Faal ParuUmumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dyspnea dan mengi; sehingga butuh pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai : Obstruksi jalan napas Reversibiliti kelainan paruVariabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas.Diagnosis banding:1. Bronkitis Kronis2. Emfisema Paru3. Gagal Jantung Kiri4. Emboli ParuDiagnosis banding lainnya :1. 25

1. Rinosinusitis,PJB1. Refluks gastroesofageal1. Infeksi respiratorik bawah viral berulang1. Displasia bronkopulmoner1. Tuberkulosis 1. Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik intratorakal1. Aspirasi benda asing1. Sindrom diskinesia silier primer1. Defisiensi imun

LO 1.8 PenatalaksanaanPada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk :a. meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkinb. mengurangi hipoksemiac. mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnyad. rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan

Tatalaksana serangan asma bertujuan untuk menghilangkan gejala dan hipoksemia sesegera mungkin. Untuk mengatasi hal tersebut maka yang paling tepat adalah pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan terapi inhalasi adalah obat langsung menuju sasaran, awitannya cepat, dosis minimal, dan efek samping minimal. Pada serangan asma terjadi keadaan bronkokonstriksi sehingga penanganan awal adalah pemberian bronkodilator, selain pemberian oksigen bila terjadi hipoksemia. Bronkodilator yang digunakan adalah agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan lain lain. Bronkodilator tersebut harus segera diberikan untuk menghindari dampak hipoksemia lama yang akan mengakibatkan sekuele di kemudian hari.Pada keadaan tertentu pemberian bronkodilator jenis agonis beta-2 saja kurang efektif sehingga perlu ditambahkan jenis bronkodilator lain seperti ipratropium bromida atau golongan xanthine. Ipratropium bromida adalah suatu antikolinergik yang merupakan antagonis kompetitif asetilkolin yang bekerja dengan cara berikatan di reseptor kolinergik sehingga menghambat efek asetilkolin. Reseptor kolinergik yang dihambat adalah reseptor di otot polos dan kelenjar submukosa sehingga mencegah peningkatan konsentrasi cyclic guanosine monophosphate (cyclic GMP) intraselular yang terjadi akibat interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos bronkus. Dengan demikian dapat menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar submukosa saluran napas. Ipratropium bromida merupakan derivat atropin yang dikenal sebagai kuartener amonium sintetik.Secara makroskopik ipratropium bromida adalah zat kristal putih, sangat larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol, tapi tidak larut dalam pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan flurokarbon.Ipratropium bromida tidak menembus sawar darah otak dan mukosa gastrointestinal sehingga efek sistemiknya minimal, yaitu di bawah 1%. Meskipun ipratropium bromide mempunyai efek bronkodilator, tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dan awitan kerjanya lebih lambat bila dibandingkan dengan agonis beta-2. Ipratropium bromide mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dibandingkan dengan agonis beta-2 sehingga penambahan ipratropium bromida memperpanjang masa kerja obat bronkodilator secara keseluruhan. Ipratropium bromida sangat jarang digunakan sebagai bronkodilator secara tunggal. Dengan penambahan kedua obat tersebut didapatkan awitan kerja yang cepat dan masa kerja yang lama. Seperti umumnya obat bronkodilator, ipratropium bromida mempunyai efek samping mulut kering, mual, tremor, dan iritasi mata. Keluhan palpitasi dijumpai pada sebagian kecil pengguna ipratropium bromida. Meskipun ipratropium bromida termasuk derivat atropin tetapi tidak dijumpai efek samping retensi urin, gangguan penglihatan dan agitasi seperti pada atropin.Aplikasi Pemberian Agonis beta-2 dan Ipratropium Bromida pada Serangan Asma Beberapa peneliti menggunakan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida pada serangan asma baik ringan, sedang, maupun berat. Dosis agonis beta-2 yang digunakan adalah 2,5 mg sedangkan dosis ipratropium adalah 250 mikrogram.Serangan Asma Ringan Dalam Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak (PNAA), pemberian bronkodilator cukup dengan agonis beta-2 saja karena penambahan obat lain tidak menimbulkan perbedaan yang bermakna.2 Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dikemukakan Storr dan Lenny,13 yangmenyatakan bahwa efektivitas penggunaan terapi kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida tidak berbeda dalam hal penurunan skor gejala, perbaikan uji fungsi paru, dan angka perawatan di rawat inap dibandingkan dengan pemberian beta-agonis sendiri saja pada serangan ringan. Dengan dasar tersebut direkomendasikan bahwa pada serangan asma ringan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.2Serangan Asma SedangPada serangan asma sedang diberikan inhalasi agonis beta-2, steroid sistemik, dan oksigen serta penggantian cairan bila diperlukan. Inhalasi yang diberikan cukup agonis beta-2 saja dan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.1,2 Namun pada penelitian-penelitian terakhir, disebutkan adanya keuntungan yang didapat pada penggunaan kombinasi agonis beta-2 dengan ipratropium bromida pada serangan asma sedang. Beberapa penelitian mengenai penggunaan terapi kombinasi pada serangan asma sedang mendapatkan hasil yang baik namun ada juga yang tidak bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Schuch,6 mendapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna antara pemberian agonis beta-2 saja dengan penambahan ipratropium bromida, baik dalam hal penurunan skor gejala, uji fungsi paru, maupun angka kejadian perawatan. Penelitian lain oleh Kartiningsih et al. mendapatkan bahwa penambahan ipratropium bromide dibandingkan agonis beta-2 sendiri memberikan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan skor gejala, penurunan uji fungsi paru, dan rerata saturasi oksigen. Hasil metaanalisis yang dilakukan Rodrigo et al,9 mendapatkan bahwa pemberian ipratropium bersama agonis beta-2 dibandingkan agonis beta- 2 sendiri mempunyai hasil yang bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi paru: (FEV1) yaitu sebesar 16,3% (IK 95% 8,2 sampai 24,5%) dan peningkatan PEFR sebesar 15% (IK 95% 5 sampai 24%) serta penurunan angka perawatan di rumah sakit dengan RR 0,73 (IK 95% 0,63 sampai 0,85). Dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan keberhasilan penggunaan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromide dibandingkan agonis beta-2 sendiri pada serangan asma sedangSerangan Asma Berat Pada tatalaksana serangan asma berat penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida menjadi keharusan karena mempunyai beberapa keuntungan. Dengan penambahan ipratropium bromida pada inhalasi dengan agonis beta-2 mempunyai perbedaan yang cukup bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi paru, yaitu PEFR (peak expiratory flow rate) dan FEV1 (forced expiratory volume in 1 second). Pada tahap awal (kurang dari 30 menit pasca inhalasi) terlihat tidak ada perbedaan bermakna Antara pemberian agonis beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida, tetapi setelah lebih dari 60 menit (1 jam) terlihat adanya peningkatan uji fungsi paru secara bermakna baik PEFR maupun FEV1.6,9,17 Selain itu penambahan ipratropium bromida dapat memperbaiki obstruksi saluran napas kecil yang dibuktikan dengan peningkatan FEF25-75 (forced expiratory flow pada 25-75% vital capacity) setelah 60 menit pasca pemberian inhalasi. Pada awal inhalasi tidak terdapat perbedaan uji fungsi paru FEF25-75 antara agonis beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida tetapi setelah lebih dari 60 menit terlihat perbedaan secara bermakna.17 Penelitian meta-analisis mendapatkan bahwa penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida dibandingkan agonis beta-2 sendiri meningkatkan uji fungsi paru (FEV1) sebesar 9,8% (IK 95% 6,5 sampai 13,1%) dan menurunkan angka perawatan di rumah sakit dengan OR 0,62 (IK 95% 0,38 sampai 0,99). Tidak didapatkan perbedaan efek samping antara keduanya baik tremor, nausea dan muntah.8 Penatalaksanaan serangan asma berat sesuai standar harus dilakukan bukan hanya pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida saja. Penambahan terapi yang lain seperti pemberian oksigen, kortikosteroid sistemik, aminofilin, dan suportif seperti penggantian cairan, koreksi asam basa dan elektrolit harus diperhatikan.(Supriyatno, B. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 5, Mei 2010 )

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak Klinik / IGD

Nilai derajat serangan(1)(sesuai tabel 3)Tatalaksana awalnebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)Serangan sedang(nebulisasi 1-3x, respons parsial)berikan oksigen (3)nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasipasang jalur parenteralSerangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)observasi 2 jamjika efek bertahan, boleh pulangjika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedangSerangan berat(nebulisasi 3x, respons buruk)sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasipasang jalur parenteralnilai ulang klinisnya, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inapfoto Rontgen toraksBoleh pulangbekali obat -agonis (hirupan / oral)jika sudah ada obat pengendali, teruskanjika infeksi virus sbg. pencetus, dapat diberi steroid oral dalam 24-48 jam kon-trol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasiRuang Rawat Sehari/observasioksigen teruskanberikan steroid oralnebulisasi tiap 2 jambila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat InapRuang Rawat Inapoksigen teruskanatasi dehidrasi dan asidosis jika adasteroid IV tiap 6-8 jamnebulisasi tiap 1-2 jamaminofilin IV awal, lanjutkan rumatanjika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jamjika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulangjika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat IntensifCatatan:Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergikBila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat IntensifJika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kaliUntuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

Tahapan tatalaksana serangan asmaGINA membagi tatalaksana asma menjadi 2 yaitu tatalaksana dirumah dan di rumah sakit. Tatalaksana dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) dirumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan dirumah, disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi -agonis kerja cepat sebantak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan dokter atau sarana kesehatan.

ALGORITMA PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH

Penilaian berat seranganKlinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambahAPE , 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awalInhalasi agonis beta-2 kerja singkat(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

PulangPengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2Membutuhkan kortikosteroid oralEdukasi pasienMemakai obat yang benarIkuti rencana pengobatan selanjutnyaDirawat di RSInhalasi agonis beta-2 + antikolinergikKortikosteroid sistemikAminofilin dripTerapi Oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturiPantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilinDirawat di ICUInhalasi agonis beta-2 + anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IVAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanikPenilaian AwalRiwayat dan pemeriksaan fisik(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasiPenilaian Ulang setelah 1 jamPem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasiRespons baikRespons baik dan stabil dalam 60 menitPem.fisi normalAPE >70% prediksi/nilai terbaikRespons Tidak SempurnaResiko tinggi distressPem.fisis : gejala ringan sedangAPE > 50% terapi < 70%Saturasi O2 tidak perbaikanRespons buruk dalam 1 jamResiko tinggi distressPem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran menurunAPE < 30%PaCO2 < 45 mmHgPaCO2 < 60 mmHgSerangan Asma RinganSerangan Asma Sedang/BeratSerangan Asma Mengancam JiwaPengobatan AwalOksigenasi dengan kanul nasalInhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)Kortikosteroid sistemik : - serangan asma berat,tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam kortikosterois oralPerbaikanTidak PerbaikanPulangBila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasiDirawat di ICUBila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.

Terapi medikamentosaBronkodilatorBeta adrenergic Kerja Pendek (Short Acting)Merupakan terapi fundamental dan obat pilihan pada serangan asma. Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergic menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vascular, dan berkurangnya pelepasan mediator dari sel mast. Reseptor 1 terutama terdapat di jantung sedangkan reseptor 2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan pancreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif. Epinefrin/adrenalinUmumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma, kecuali jika tidak ada obat 2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sbb : larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml),dengan dosis 0,01 ml/kgbb (max. 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja efeknya subkutan adalah 5-15 menit, efek puncaknya 30-120 menit, durasi efeknya 2-3 jam. Inhalasi racemic ephineprine 2,25% aerosol dapat diberikan dengan nebulizer. Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor 1,2, dan , sehingga akan menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, takiaritmia, tremor dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping terutama pada jantung dan CNS. 2-agonis selektifobat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgbb/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgbb/kali, diberikan setiap 6 jam ; fenoterol 0,1 mg/kgbb/kali, setiap 6 jam. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara inhalasi (dengan inhaler/nebulizer) memiliki dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian subkutan tidak memberi efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi, sehingga cara ini tidak dianjurkan jika ada alat nebulisasi. Dosis salbutamol subkutan adalah 10-20 mcg/kgbb/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan adalah 5-10 mcg/kg/kali.Pemberian secara noninvasive (inhalasi) lebih disukai daripada pemberian subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien. Untuk serangan ringan, dapat diberikan metered dose inhaler (MDI) 2-4 semprotan (puff) tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam, sedangkan serangan berat memerlukan 10 semprotan. Pemberian dengan MDI lebih dari 6 semprotan harus dengan pengawasan dokter atau di rumah sakit. Pemberian MDI dengan spacer dan masker pada pasien asma akut (tetapi pada kasus yang tidak mengancam jiwa), dengan dosis 3-4 semprotan, ternyata mempunyai efek bronkodilatasi yang sama dengan nebulizer. Salbutamol dapat diberikan melalui nebulizer dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgbb (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menitatau nebulizer secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Pasien yang tidak responsive dengan pemberian 2 kali inhalasi (MDI dan spacer) atau nebulizer dikategorikan sebagai non-responder dan pada inhalasi ke-3, dapat ditambahkan ipratropium bromide. Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.Berdasarkan teori, pemberian obat beta-agonis secara intravena berguna pada serangan asma berat karena pada keadaan ini, obat beta-agonis inhalasi sulit mencapai jalan napas di bagian distal obstruksi. Namun, pada beberapa penelitian, tidak terdapat perbedaan signifikan anatara efek bronkodilator intravena dan inhalasi. Pada pemberian intravena, efek samping takikardi lebih sering terjadi. Pemberian 2-agonis IV dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespons dengan pemberian nebulisasi 2-agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin ipratropium bromide. Salbutamol IV dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2 mcg/kgbb/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kg setiap 15 menit dengan dosis mulai dari 0,2 mcg/kgbb/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan 0,1-4g/kgbb/jam dengan infus kontinu.Efek samping 2-agonis antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardia. Selain itu, dapat terjadi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat adanya peningkatan perfusi (sirkulasi) ke paru yang ventilasinya kurang. Hal ini akan menimbulkan hipoksemia dan dapat terjdi hypokalemia. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pmeantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan elektrokardiografi.Methyl Xanthine (Teofilin Kerja Cepat)Efek bronkodilatasinya setara dengan 2-agonis inhalasi, tetapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini sebaiknya diberikan hanya serangan asma berat yang dengan pemberian kombinasi 2-agonis dan antikolinergik serta steroid tidak/kurang memberikan respons. Konsentrasi obat di darah harus dijaga sekitar 10-20 mcg/ml agar tetapi memiliki efek terapi/Dosis aminofilin intravena jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya adalah dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgbb dilarutkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau garam fisiologis, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya. Selanjutnya, aminofilin diberikan dengan dosis rumatan yaitu 0,5-1 mg/kgbb/jam. Dosis maksimal aminofilin adalah 16-20 mg/kgbb/hari apabila tidak dapat mengukur konsentrasi plasma teofilinKarena farmakokinetik teofilin dipengaruhi oleh usia pasien, dosis awal aminofilin berbeda-beda sesuai usia: usia 1-6 bulan : 0,5 mg/kgbb/jam usia 6-11 bulan : 1,0 mg/kgbb/jam usia 1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/kgbb/jam usia >10 tahun: 0,9 mg/kgbb/jamefek samping obat ini adalah mual, muntah dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia dan aritmia. Secara teori, selain sebagai bronkodilator, keunggulan teofilin pada serangan asma adalah dapat merangsang pusat respiratorik dan meningkatkan kontraktilitaas otot-otot respiratorik.

AntikolinergikIpratropium bromidePemberian kombinasi nebulisasi 2-agonis dan antikolinergik menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan secara sendiri-sendiri. Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1 kali nebulisasi 2-agonis tidak/kurang memberikan respons. Sebaiknya pemberian kombinasi ini dilakukan lebih dulu sebelum pemberian methyl xanthine. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgbb, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sbb: untuk usia >6 tahun 8-20 tetes; usia 95%). Meskipun pasien sudah mendapat oksigen beraliran tinggi, jika saturasi oksigen kurang dari 90% dan kondisi pasien memburuk, sebaiknya dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Saturasi oksigen sebaiknya dipertahankan sebesar sekitar 95%. Hal ini dapat dicapai dengan pemerian oksigen memakan kanula hidung, masker, atau kadang head box. Pada nebulisasi 2-agonis oksigen sebaiknya diberikan untuk mengatasi efek samping hipoksia.Campuran Helium dan OksigenInhalasi helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pada pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metil prednisolone IV secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow, dan mengurangi sesak. Cara ini juga bias mencegah kebutuhan ventilasi mekanik beberapa pasien. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi. Hal ini dapat terjadi karena sifat helium yang ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.Tetapi ini tidak selalu menunjukan hasil menguntungkan

Terapi cairanDehidrasi dapat terjadi pada serangan asma. Hal ini disebabkan oleh kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water lost, takipnea, serta akibat efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari hidrasi berlebihan; pada asma berat, terjadi peningkatan sekresi ADH yang memudahkan terjadinya retensi cairan serta terdapat tekanan negative yang tinggi dari tekanan pleura pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Biasanya, jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Obat-obat lainSelain obat-obat diatas, beberapa obat yang dicantumkan dibawah ini sering digunakan pada serangan asmaMagnesium SulfatPeberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada serangan asma berat. Pemebrian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak dengans erangn asam berat yang di rwat di ICU, terutama yang tidak/ kurang berespons terhadap pemberian kortikosteroidsistemik dan nebulisasi berulang dengan 2-agonis dan aminofilin.Beberapa teori menerangkan bahwa efek bronkondilator obat ini terjadi melaluiperannya di dalam regulasi kompleks adenyl cyclase pada reseptor 2, yaitu suatu kofaktor enzim yang mengatur keluar masuknya Na dan K melalui membrane sel. Obat ini juga bekerja sebagai penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker), memiliki efek sedatif , mengurangi pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf , dan menstabilkan sel mast.Dosis magnesiu sulfat adalah 25-5- mg/ kg BB IV, diberikan selama 1 jam. Kadar magnesium serum sebaiknya diperiksa setiap 6 jam, infus magnesium harus dititrasiuntuk menjaga agar kadar di dalam darah tetap sebesar 3,5-4,5 meq/dl. Efek samping obat hipotensi, takikardi, mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung. Suatu penelitian pendahulaun melaporkan bahwa nebulisasi kombinasi salbutamol dan magnesium sulfatisotonik menunjukan hasil yang lebuh baik daripada kombinasi dalbutamol dan salin nirmal. Namun, penggunaan magnesium sulfat isotonic secara rutin belum direkomendasikan sampai ada penelitian lebih lanjut.Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat 50 mg/ kg BB(inisial) dalam 20 menit dilanjutkan dengan 30 mg/ kgBB/ jam mempunyai efektifitas yang sama dengan pemberian -agonis. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di rumah sakit.Mulkolitik Pemebrian mulkolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan reflex batuk yang tidak optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat. Inhalasi obat mukolitik tidak menunjukan kegunaan dalam menangani serangan asma, pada serangan asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.AntibiotikPemberian antibiotic pada asma tidak dianjurkan Karen sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu, antibiotic dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri, seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulent, serta jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma.Obat SedasiPemebrian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat menekan/ mendepresi pernapasan.AntihistaminAntihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat memperkental sputum. (Rahajoe, NN dkk. 2013. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed.1 Cet. 4. Jakarta : Badan Penerbit IDAI)

LO 1.9 KomplikasiAsma yang tidak dikendalikan dengan baik dapat berujung pada komplikasi-komplikasi yang terjadi pada organ-organ pada saluran pernapasan termasuk:1. Pneumonia (infeksi pada paru-paru). Pneumonia adalah peradangan (pembengkakan) pada jaringan yang ada pada salah satu atau kedua paru-paru yang biasanya disebabkan oleh infeksi.2. Lumpuhnya sebagian atau keseluruhan paru-paru 3. Kegagalan pernapasan. Kegagalan pernapasan terjadi ketika tingkat oksigen dalam darah berkurang ke tingkat yang membahayakan, atau tingkat karbon dioksida yang meninggi ke tingkat yang membahayakan.4. Status asthmaticus (serangan asma yang parah yang tidak dapat merespon pada perawatan tertentu)Adapun komplikasi nya :a. PneumothoraxKeadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru paru kesulitan untuk mengembang.b. PneumodiastinumAdanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.c. EmfisemaPembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.d. Atelektasispengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.e. BronchitisPeradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.f. Gagal nafasg. Perubahan bentuk thorax

LO 1.10 Pencegahana) Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup. Berikan istirahat cukup dan tidur 8 10 jam tiap malam. Istirahat yang cukup dapat menurunkan stress dan meningkatkan kenyamanan anakb) Ajarkan anak teknik manajemen stressc) Bronkospasme mungkin disebabkan oleh emosional dan stressd) Hindari makanan yang menyebabkan alergie) Kontrol secara rutin ke petugas kesehatanf) Edukasi pasienAsma merupakan suatu penyakit kronis. Pasien dan keluarganya harus diberi edukasi mengenai asma yang diderita pasien dan perawatan lanjutan atau follow-up. Informasi mengenai perawatan atau pengobatan maintenance, monitoring dan kontrol terhadap lingkungan pasien sangat penting, terutama untuk mencegah eksaserbasi dari asma.

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orangtua asma), dengan cara :a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anakb. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janinc. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 buland. Diet hipoalergenik ibu menyusui2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

LO 1.11 PrognosisBeberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45-85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan. Adanya asma pada orangtua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma di kemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinophilia, rhinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.