tugas mandiri salbutamol
Embed Size (px)
DESCRIPTION
FarmaTRANSCRIPT

BAB I
PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
peningkatan daya responsif percabangan trakeobronkial terhadap berbagai jenis
stimulus. Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk
penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat sembuh spontan
atau dapat sembuh dengan terapi dan secara klinis ditandai oleh serangan
mendadak dyspneu, batuk serta mengi. Secara khas, sebagian besar serangan
berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam dan sesudah itu,
pasien tampaknya mengalami kesembuhan klinis yang total.1,2,3.
Penyebab asma sangat kompleks dan bervariasi di antara berbagai
kelompok populasi dan bersifat individual. Diduga yang memegang peranan
utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus).
Hiperaktivitas bronkus ini belum diketahui dengan jelas penyebabnya.4 Faktor
risiko utama asma adalah riwayat pribadi dan/atau keluarga mengenai penyakit
alergi seperti rinitis, urtikaria, dan exzema.1.
Faktor predisposisi yang dapat menimbulkan serangan akut asma dapat
dikelompokkan menjadi tujuh kelompok utama, yaitu :1
1. alergen
2. rangsangan farmakologik
3. lingkungan dan polusi udara
4. faktor pekerjaan
0

5. infeksi
6. exercise
7. stress emosional
Trias gejala asma terdiri atas dyspneu, batuk, dan mengi. Gejala yang
nampak pada saat serangan asma, akan diteruskan sulit bernapas dan mungkin
dimulai dengan napas yang cepat. Penderita merasa napas menjadi pendek walau
dalam keadaan istirahat. Batuk dan wheezing juga merupakan tanda yang paling
penting selama terjadinya asma, keduanya juga lebih sering terjadi pada malam
hari pada anak yang menderita asma.1,5
Asma bronkial dapat didiagnosis dengan anamnesis adanya riwayat
asma sebelumnya, ataupun adanya riwayat keluarga, riwayat adanya faktor
predisposisi, serta anamnesis gejala-gejala yang sesuai. Dari pemeriksaaan fisik
didapatkan adanya ekspirasi yang memanjang, wheezing ekspirasi, ronki basah
pada kedua bagian paru, hiperinflasi paru, takipnea sampai sianosis. Pemeriksaan
penunjang yang dapat menunjang adalah spirometri, tes kulit, pemeriksaan IgE
dan eosinofil serta pemeriksaan radiologi.6
Penatalaksanaan asma dibedakan atas pengobatan medikamentosa dan
non medikamentosa. Pengobatan medikamentosa berupa :3
Obat Quick Relief (Reliever)
1. Bronkodilator
a) Adrenergika
Yang termasuk golongan adrenergik : Beta 2 adrenergik selektif
seperti salbutamol, metaproterenol, terbutalin, fenoterol, dan lain–lain.
1

b) Derivat xantin
Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor
adenosine. Selain itu, teofilin mencegah meningkatnya hiperreaktivitas
dan berdasarkan ini bekerja profilaksis.
Penggunaan secara terus menerus pada terapi pemeliharaan
ternyata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada
keadaan akut dapat dikombinasi dengan obat asma lain, tetapi
kombinasi dengan β2-mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati
berhubung kedua jenis obat saling memperkuat efek pada jantung.
Yang termasuk golongan methylxantine : teofilin, aminophyllin.
c) Golongan antikolinergik : Sulfas Atropin, Ipratropium Bromide
Obat Long Term Control (Controller)
1. Kortikosteroid
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta 2
adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunyai efek bronkodilator.
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti
peradangan dan gatal-gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blokade
enzim fosfolipase-A2, sehingga pembentukan mediator peradangan
prostaglandin dan leukotrien dari asam arakhidonat tidak terjadi. Lagipula
pelepasan asam ini oleh mast cell juga dirintangi. Singkatnya
kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan alergen yang melalui IgE
2

dapat menyebabkan degranulasi mast cell, juga meningkatkan kepekaan
reseptor β2 hingga efek beta mimetika diperkuat.
2. Natrium kromoglikat
Obat ini berdaya menstabilisasi membran mast cell, sehingga
menghalangi pelepasan mediator vasoaktif, seperti histamin, serotonin,
dan leukotrien, pada waktu terjadinya reaksi alergen antibodi.
Penggunaannya efektif untuk obat pencegah serangan asma dan
bronkitis yang bersifat alergika (hay fever) dan alergi akibat bahan
makanan.
3. Antihistamin, masih kontroversi
Obat sebagai Terapi Penunjang
1. Antibiotik
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali sebagai
profilaksis infeksi dan ada infeksi sekunder.
2. Ekspektoransia
Maksud pemberian ekspektoransia adalah untuk memudahkan
dikeluarkannya mukus dari saluran napas. Beberapa ekspektoran adalah :
- Gliseril guaikolat (ekspektoran)
- Ammonium Klorida
3. Mukolitik
Obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan jalan
memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
Obat ini mengurangi kekentalan dahak, mukolitika dengan merombak
3

proteinnya dan ekspektoransia dengan mengencerkan dahak, sehingga
pengeluarannya dipermudah. Obat ini dapat meringankan perasaaan sesak
napas dan terutama berguna pada serangan asma hebat yang dapat
mematikan bila sumbatan lendir sedemikian kental hingga tidak dapat
dikeluarkan.
Contohnya adalah :
Bromheksin
Ambroxol
Pengobatan non medikamentosa di waktu serangan adalah :
1. Pemberian O2 untuk hipoksemia, baik atas dasar gejala klinik maupun hasil
analisa gas darah.
2. Pemberian cairan / bahan elektrolit.
3. Drainase postural.
Di luar serangan, sebagai tindakan preventif atau sebagai tambahan pada
pengobatan asma bronkial :
1. Pendidikan : penderita diberi pengertian mengenai penyakitnya supaya dapat
menanggulanginya dengan baik. Penderita hendaklah mengetahui berat
penyakitnya, faktor-faktor yang dapat mencetuskan asma serta faktor yang
bisa memperburuk penyakit.
2. Menghindari alergen, kontrol terhadap lingkungan
3. Relaksasi dan kontrol terhadap emosi dan senam pernapasan (senam untuk
asma)
4. Fisioterapi, mobilisasi dan fasilitasi ekspektorasi, drainase postural
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum ada dua cara untuk mengatasi asma yaitu dengan terapi non-
farmakologis dan terapi farmakologis seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan menghindari faktor-faktor risiko
yang dapat menimbulkan asma serta dengan melakukan olahraga ringan seperti
renang.7
Adapun untuk terapi farmakologis, ada dua jenis obat yang biasa
digunakan yaitu quick-relief dan long-term control. Kedua jenis obat tersebut
memiliki cara kerja yang berbeda. Obat-obat quick-relief, misal bronkodilator,
bekerja dengan merelaksasi otot-otot di saluran nafas sehingga saluran nafas yang
semula menyempit akan melebar kembali dan penderita mampu bernafas dengan
lega. Dengan demikian, obat-obat ini lebih efektif digunakan saat serangan asma
terjadi, salah satu contohnya adalah salbutamol. Adapun obat-obat long-term
relievers digunakan untuk mencegah timbulnya serangan asma dengan mengatasi
peradangan di saluran pernafasan agar tidak semakin memburuk, antara lain
dengan mengurangi edem. Contoh obat yang termasuk long-term relievers ini
adalah kortikosteroid.7
2.1 Agonis Reseptor β2 (β2-Agonis)
Agonis adalah obat yang apabila menduduki reseptor akan menimbulkan
efek farmakologi secara intrinsik. Reseptor β1 terutama terdapat di jantung
5

sedangkan reseptor β2 adalah reseptor yang terdapat di otot polos (bronkus,
pembuluh darah, saluran cerna, saluran kemih-kelamin), otot rangka, dan hati.8
β2-agonis dibagi menjadi long acting β2 agonis (LABA) dan short acting
β2 agonis (SABA) berdasarkan onset kerjanya dalam tubuh. SABA terdiri dari
epinefrin/adrenalin dan β2 agonis selektif. Dalam golongan SABA termasuk
metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol, terbutalin, fenoterol, ritodrin, isoetarin,
pirbuterol, bitolterol, dan lain-lain. Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada
reseptor β2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor β1. Tetapi apabila
dosisnya ditinggikan, selektivitas ini hilang. Misalnya pada penderita asma,
salbutamol kira-kira sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator (bila
diberikan secara aerosol), tetapi jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai
stimulan jantung. Tetapi bila dosis salbutamol ditinggikan 10 kali lipat, diperoleh
efek stimulan jantung yang menyamai efek isoproterenol.8
β2-agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma
bronkial. Bentuk aerosolnya adalah obat pilihan utama untuk mengatasi serangan
akut. Bentuk ini juga efektif untuk profilaksis serangan akibat hawa dingin atau
berolahraga. Tetapi penderita perlu dilatih untuk menggunakan aerosol dengan
teknik yang benar, karena hal ini sangat menentukan keberhasilan terapi. Sediaan
oral menimbulkan lebih banyak efek samping kardiovaskuler dan sentral, karena
itu hanya digunakan untuk penderita yang tidak mau menggunakan aerosol atau
yang menyalahgunakannya.8
Di samping keuntungan klinisnya, β2 adrenergik berpotensi menimbulkan
efek samping pada kardiovaskular, yaitu: takikardi, aritmia, memberatnya iskemi
6

miokard, bahkan hipotensi atau hipertensi tergantung dari besarnya dosis obat dan
efeknya terhadap curah jantung atau tahanan pembuluh darah perifer. 9
Efek samping sistemik SABA berupa rasa gugup, tremor, takikardi,
palpitasi, mengantuk, nyeri kepala, nausea, dan berkeringat, terutama pada
pemberian oral, jarang pada pemberian inhalasi. 8
2.2 Salbutamol
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan
paling efektif. Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma.
Selain untuk membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif
untuk mencegah timbulnya exercise-induced broncospasm (penyempitan saluran
pernafasan akibat olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak beredar di pasaran
dengan berbagai merk dagang, antara lain: Asmacare, Bronchosal, Buventol
Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax, dll. Selain itu, salbutamol juga
telah tersedia dalam berbagai bentuk sediaan mulai dari sediaan oral, inhalasi
aerosol, inhalasi cair sampai injeksi.7
a. Struktur Kimia
Struktur kimianya ialah (RS)-4-[2-(tert-butylamino)-1-hydroxyethyl]-2-
(hydroxymethyl)phenol.10
7

Gambar 1. Struktur kimia salbutamol C13H21NO3 10
b. Mekanisme Kerja
Dalam otot saluran napas, persarafan langsung simpatometik hanya
sedikit, meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus,
reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan
bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu
substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi. Persarafan bronkus berasal dari sistem parasimpatis melalui
nervus vagus. Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen
utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui.
Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan
bronkokonstriksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan
dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul
bronkodilatasi.8,11
8

β2-Agonis ini banyak dipakai pada pengobatan asma karena
kemampuannya menimbulkan bronkodilatasi melalui reseptor beta adrenergik di
paru yang mengaktifkan kompleks reseptor β-adenil siklase yang mengkatalisasi
produksi adenosine monofosfat (AMP) dari adenosine trifosfat (ATP), hingga
mengakibatkan peningkatan kadar cAMP dalam sel yang menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus. Efek ini menyebabkan stabilisasi sel mast sehingga dapat
mencegah pelepasan mediator kimia. Katekolamin seperti epinefrin,
selproterenol, dan isoetarin tidak efektif diberikan peroral oleh karena perusakan
yang sangat cepat di saluran cerna. Nonkatekolamin sebaliknya dari katekolamin,
jenis ini efektif bila diberikan peroral dan dapat bekerja lebih lama oleh karena
9
Gambar 2. Farmakologi obat bronkodilator untuk menimbulkan bronkodilatasi saluran nafas12

lebih tahan terhadap enzim yang ada di saluran cerna. Contohnya metaproterenol,
terbutalin, fenoterol.8,11
Jadi mekanisme kerja salbutamol melalui stimulasi reseptor B2 di bronki
yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat perubahan
adenosintrifosfat (ATP) yang kaya energi menjadi cAMP dengan pembebasan
energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Salbutamol digunakan
untuk meringankan bronkospasme yang berhubungan dengan asma dan berbagai
kelainan paru-paru.8,11
c. Farmakologi13
Onset of action: peak effect: sediaan dalam bentuk nebulization/oral
inhalation: 0.5-2 jam, sediaan oral: 2-3 jam. Duration of Action: sediaan dalam
bentuk nebulization/oral inhalation: 3-4 jam, sediaan oral: 4-6 jam. Salbutamol
mengalami metabolisme di hati menjadi bentuk sulfat yang tidak aktif. T½
eliminasi: sediaan dalam bentuk inhalasi: 3-8 jam, sediaan oral: 3.7-5 jam.
Ekskresi melalui urin (30% dalam bentuk yang tidak berubah).
d. Indikasi dan Kontraindikasi
Salbutamol merupakan agen beta adrenergik yang digunakan sebagai
bronkodilator yang efektif untuk meringankan gejala asma akut dan
bronkokonstriksi. Obat ini diindikasikan untuk penderita bronkospasme pada usia
dewasa dan anak-anak. Di beberapa negara dikenal juga dengan nama albuterol.14
Salbutamol diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut:10
10

Asma akut
Pengobatan dan profilaksis asma dan kondisi lain yang berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang reversibel (termasuk PPOK dan bronkitis)
Perlindungan terhadap asma yang diinduksi latihan
Dapat menginduksi hipokalemi, khususnya pasien dengan gagal ginjal
Dapat diaerosol dengan nebul untuk pasien kistik fibrosis, selama dengan
ipratropium bromida, asetilsistein, dan pulmozime.
Juga dapat ditemukan penggunaannya dalam obstetri. Salbutamol IV dapat
digunakan sebagai tocolytic untuk merelaksasikan otot polos rahim yang
bertujuan memperlambat kelahiran prematur.
Kontraindikasi dari obat ini adalah untuk penderita yang hipersensitif
terhadap salbutamol maupun salah satu bahan yang terkandung di dalamnya.
Adapun efek samping yang mungkin timbul karena pemakaian salbutamol, antara
lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing, sakit kepala, kejang,
insomnia), nyeri dada, mual, muntah, diare, anoreksia, mulut kering, iritasi
tenggorokan, batuk, gatal, dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk penderita asma
yang disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus,
gangguan jantung termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya
pengawasan yang lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa memperparah
keadaan dan meningkatkan risiko efek samping. Pengawasan juga perlu
dilakukan pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena
11

salbutamol dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping
maka untuk wanita hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan
pertama. Penggunaan salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia lanjut
sebaiknya dihindari mengingat efek samping yang mungkin muncul.7,14
e. Dosis, Sediaan dan Cara Pemakaian
Sediaan oral (tablet, kapsul, kaptab)7,11
Anak < 2 tahun = 100 mcg/kgBB diminum 4 kali sehari
Anak 2-6 tahun = 1-2 mg 3-4 kali sehari
Anak 6-12 tahun = 2 mg diminum 3-4 kali sehari
Dewasa = 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali minum
sebesar 8 mg
Dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2 mg.
Inhalasi aerosol11
Anak = 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan)
bila perlu.
Dewasa = 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
Inhalasi cair11
12

Dewasa dan anak >18 bulan = 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali
bila perlu (manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan).
Injeksi subkutan atau intramuscular11
Dosis = 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
Injeksi intravena lambat11
Dosis = 250 mcg, diulang bila perlu infus intravena 5mcg/menit lalu disesuaikan
dengan respon dan denyut jantung, lazimnya antara 3-20mcg/menit, atau bila
perlu.
Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk mengatasi
asma akut yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi penyempitan
saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti tablet, sirup, dan kapsul
digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat menggunakan cara inhalasi.
Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian salbutamol dalam bentuk
inhalasi aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek
samping yang ditimbulkan lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti
tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif untuk mengatasi serangan asma ringan
sampai sedang, dan pada dosis yang dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama
3-5 jam. Beberapa keuntungan penggunaan salbutamol dalam bentuk inhalasi
aerosol, antara lain :7, 11
13

Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap
langsung masuk ke saluran nafas.
Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat yang dibutuhkan lebih
kecil jika dibandingkan dengan sediaan oral.
Efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena
dosis yang digunakan juga lebih kecil.
Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga memiliki
kelemahan yaitu ada kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi sehingga
dosis obat yang masuk ke saluran nafas menjadi lebih sedikit dari dosis yang
seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke saluran nafas, maka bisa
digunakan alat yang disebut spacer (penghubung ujung alat dengan mulut).
Sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara penggunaan inhalasi aerosol
yang benar. Karena cara pakai yang salah bisa berakibat kegagalan terapi. Cara
yang benar adalah dengan menghisapnya secara perlahan dan menahan nafas
selama 10 detik sesudahnya.7,11
Beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol
untuk mengatasi asma, adalah sebagai berikut:7,14
Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki riwayat alergi terhadap
salbutamol atau bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya.
Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah
makan.
Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun mengunyahnya.
14

Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan buang 4
semprotan pertama jika menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah
tidak terpakai selama lebih dari 2 minggu.
Sebaiknya berkumur setiap kali sehabis mengkonsumsi salbutamol supaya
tenggorokan dan mulut tidak kering.
Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka beri jarak
waktu minimal 1 menit untuk setiap hisapan.
Simpan obat pada suhu kamar agar stabil (aerosol: 15-25o C; inhalasi cair: 2-
25o C dan sirup: 2-30o C)
Jika ada dosis yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat. Namun
jika waktu yang ada hampir mendekati waktu pengonsumsian selanjutnya,
lewati pengonsumsian yang tertinggal kemudian lanjutkan mengkonsumsi
salbutamol seperti biasa. Jangan pernah mengkonsumsi 2 dosis dalam sekali
pemakaian.
Obat-obat golongan beta blocker, seperti: propanolol, metoprolol, atenolol,
dll bisa menurunkan efek salbutamol.
Penggunaan salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid dosis
tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia.
Asetazolamid, diuretik kuat, dan thiazida dosis tinggi akan meningkatkan
resiko hipokalemia jika diberikan bersamaan dengan salbutamol dosis tinggi
pula.
Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor
(misal: isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius.
15

Hindari pemakaian obat-obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama
maupun sesudah konsumsi salbutamol.
f. Efek Samping 11,14
Kardiovaskuler : takikardia, angina
CNS : tremor, pusing, insomnia, lemas, gugup, mengantuk, gelisah
Salivasi : mulut kering, iritasi tenggorokan
Respirasi : batuk, bronkospasme, nafas bunyi, dispnea
Gastrointestinal : mual, muntah, diare, anorexia
Urogenital : penimbunan urine
g. Interaksi Obat 11,14
Atomoxetine Meningkatkan risiko efek samping jantung saat salbutamol intravena diberikan dengan atomoxetine
Glikosida jantung Salbutamol mungkin menurunkan kadar digoxin dalam darah
Kortikosteroid Meningkatkan risiko hipokalemia saat dosis tinggi Beta2 simpatomimetik diberikan bersamaan dengan kortikosteroid
Diuretik Meningkatkan risiko hipokalemia saat beta 2 simpatomimetik dosis tinggi diberikan dengan asetazolamid, loop diuretik atau tiazide dan diuretik lainnya
Metildopa Hipotensi akut dilaporkan saat infus salbutamol diberikan dengan metildopa
Pelemas otot Bambuterol meningkatkan efek suxamethonium
Teofilin Risiko hipokalemia meningkat saat beta2 simpatomimetik dosis tinggi diberikan dengan teofilin
16

BAB III
KESIMPULAN
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator golongan β2 agonis yang
paling aman dan paling efektif untuk terapi asma. Salbutamol juga telah tersedia
dalam berbagai bentuk sediaan mulai dari sediaan oral, inhalasi aerosol, inhalasi
cair sampai injeksi. Walaupun salbutamol merupakan obat yang paling aman dan
efektif dalam penanggulangan terapi asma, praktisi kesehatan juga harus
memperhatikan kontraindikasi salbutamol, efek samping salbutamol, serta
interaksinya terhadap obat lain.
17

DAFTAR PUSTAKA
1. McFadden ER. Penyakit Asma dalam Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Harrison Edisis 13 Vol 3. EGC, Jakarta, 2000 :1113-1117.
2. Salim EG, Musai M, Muin M. Perbandingan Efektivitas klinis Antiinflamasi Alergik antara Protakerol dengan Salbutamol Lepas Lambat pada Penderita Asma Bronkial. Surabaya, subbagian Alergi Imunologi Bag. IPD FK Unair, 1998.
3. Amir M, Alsugaff, H, Aleh T (ed). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, Airlangga University Press, 1993 : 1 – 5.
4. Behram. RE, Vaughan, VC. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Bagian I Edisi 15, Jakarta, EGC, 1999 : 775 – 91.
5. Assagaf, Ali. Asthma bronchiale. Diajukan pada Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Dalam III, 2003. PAPDI Wilayah Kalsel-Kalteng.
6. Yasmina, Alfi, dr. Farmakoterapi pada Gangguan/Penyakit Sistem Respirasi dalam Kumpulan Bahan Kuliah Farmakologi II, 2001. FK UNLAM, Banjarbaru.
7. Shanti BD. Penggunaan Salbutamol (Albuterol) dalam Terapi Asma. 2007. http://farmakoterapi-info.htm .
8. Ganiswarna, Sulistia G. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI Jakarta, 1995.
9. Putrawan, I. B, Ngurah Rai, I. B. Terapi β2-adrenergik kerja panjang pada tatalaksana penyakit paru obstruktif kronik. Jurnal Penyakit Dalam volume 9 nomor 2. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fk Unud / RSUP Sanglah Denpasar, 2008.
10. Anonymous. Salbutamol. Wikipedia 2009. (online). (http://en.wikipedia.org/wiki/salbutamol, diakses 13 September 2009).
18

11. Prianingrum, Endra Dewi. Penggunaan bronkodilator: simpatomimetika (β2
agonis) dalam terapi asma. Farmakoterapi-info (online), 2007
12. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan paru Obstruksi. Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997.
13. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Salbutamol. 2006. http://index.php.
14. Judarwanto, Widodo. Obat yang sering dipakai penderita alergi : adrenergik. 2009. (online). (ht t p://www.childrenallergyclinic.wordpress.com , diakses 13 September 2009).
19