tugas mandiri pbl skenario 1
DESCRIPTION
pblTRANSCRIPT
Harvien Bhayangkara 1102013124
1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Sistem Pernapasan Atas
1.1. Makroskopik
Pembagian makro anatomi system pernafasan dibagi atas saluran pernafasa atas dan bawah.
Saluran pernafasan atas dimulai dari nasal, cavum nasal, sinus paranasal sampai ke Faring
(tenggorok). Lorong-lorong tersebut menyaring, menghangatkan, melembabkan udara yang
masuk serta melindungi permukaan halus saluran pernafasan bawah.
A. Hidung
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran napas. Terdapat vestibulum nasi yang
terdapat cilia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara. Bagian dalam rongga
hidung ada terbentuk terowongan yang disebut cavum nasi mulai dari nares anterior
sampai ke nares posterior lalu ke nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang dan
mucusa yaitu septum nasi yang dibentuk oleh :
a. Cartilago septi naso
b. Os vomer
c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis
Harvien Bhayangkara 1102013124
Merupakan organ
berongga yang terdiri
atas tulang, tulang
rawan hyalin otot
bercorak dan jaringan
ikat. Fungsi :
- Menyalurkan
udara
- Menyaring udara dari benda asing
- Menghangatkan udara pernafasan
- Melembabkan udara pernafasan
- Alat pembau
Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi, yang berhubungan dengan nasofaring
melalui choana (nares posterior)
Fossa Nasalis
Harvien Bhayangkara 1102013124
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis ethmoidalis yang
memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung. Dinding inferior dibentuk os
maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior. Kalau yang
anterior, di cavum nasi di sisi lateral ada concha nasalis yang terbentuk dari tulang tipis
dan ditutupi mukusa yang mengeluarkan lendir dan di medial terlihat dinding septum
nasi. Kalau pada posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung belakang
conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan dengan
telinga.
Ada 3 buah concha nasalis, yaitu :
a. Concha nasalis superior
b. Concha nasalis inferior
c. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis superior. Antara
concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media. Antara concha nasalis
inferior dan dinding atas maxilla terdapat meatus nasalis inferior.
Fungsi chonca :
- Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
- Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan
mukosa
Sinus-sinus yang berhubungan dengan
cavum nasi disebut sinus paranasalis :
- Sinus sphenoidalis mengeluarkan
sekresinya melalui meatus
superior
- Sinus frontalis ke meatus media
- Sinus maxillaris ke meatus media
- Sinus ethmoidalis ke meatus
superior dan media.
Harvien Bhayangkara 1102013124
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui ductus
nasolacrimalis tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Di
nasofaring terdapat hubungan antara hidung dan rongga telinga melalui OPTA
(Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) eustachii. Alurnya bernama torus tobarius.
Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :
- Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervus
opthalmicus
- Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi ganglion
sfenopalatinum.
- Nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari cabang
ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman.
Proses penciuman : pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa
ethmoidalis ke traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n. olfactorius pda
mucusa atas depan cavum nasi.
Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang a. Opthalmica dan a. Maxillaris interna
- Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan lateralis,
arteri septalis anterior
- Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis posterior,
lateralis dan septal, arteri palatinus majus
- Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna. Ketiga pembuluh
tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan
Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering
menjadi sumber epistaxis pada anak.
B. Faring
Harvien Bhayangkara 1102013124
Faring merupakan suatu saluran yang bermula dari dasar tenggorokan dan berakhir
dibelakang laring di ruas vertebra servikal keenam. Saluran ini merupakan milik
bersama dari saluran pernapasan dan saluran pencernaan. Faring berbentuk seperti
corong, bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Panjang faring sekitar 13cm
pada orang dewasa. Dinding faring tersusun oleh otot lurik yang bertindak secara
otomatis. Otot yang penting dibagian faring adalah otot sfingter yang bertanggung
jawab dalam proses menelan. Sfingter akan menutup kerongkongan ketika kita
inspirasi dan akan menutup tenggorokan ketika kita menelan makanan.
Faring dapat terbagi menjadi tiga bagian :
a. Nasofaring
Nasofaring merupakan faring yang terletak dibelakang hidung mulai dari dasar
tenggorokan hingga dasar anak tekak atau uvula. Bagian depan menyambung
terus dengan dengan lubang hidung belakang. Dibagian belakang terdapat suat
kumpulan jaringan limfa yang dikenal dengan jaringan adenoid. Pada dinding
samping faring terdapat dua lubang untuk saluran eustachius yang
menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.
b. Orofaring
Orofaring merupakan faring yang terletak dibelakang rongga mulut, yaitu dari
uvula hingga epiglotis. Meskipun orofaring memungkinkan udara beredar di
dalamnya, struktur ini sebenarnya merupakan bagian dari sistem pencernaan.
Pada dinding sampingnya terdapat tonsil; setiap tonsil terletak diantara
selaput mulut depan dan belakang.
c. Laringo faring
Laringo faring terletak dibagian belakang orofaring diruas vertebra servikal
keenam. Laringo faring merupakan saluran terakhir dari saluran pernapasan
atas.
C. Laring
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka
laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
Harvien Bhayangkara 1102013124
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, cricoid 1 buah.
Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan kecil cartilago cornuculata dan
cuneiforme.
Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.
Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot
mulut dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s laryngis
atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan
inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi
untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus
laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid dengan
ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.
Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring
1. M.cricothyroid
2. M. thyroepigloticus
b. Otot intrinsik laring
Harvien Bhayangkara 1102013124
1. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika terdapat
gangguan pada otot ini maka bisa menyebabkan orang tercekik dan
meninggal karena rima glottidis tertutup. Otot ini disebut juga safety muscle
of larynx.
2. M. cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan menutup rima
glottdis
3. M. arytenoid transversus dan obliq
4. M.vocalis
5. M. aryepiglotica
6. M. thyroarytenoid
Dalam cavum laryngis terdapat :
Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu.
Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica
vestibularis terdapat rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus
vagus dengan cabang ke laring sebagai n.laryngis superior dan n. recurrent.
1.2. Mikroskopik
A. Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares
terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum
Harvien Bhayangkara 1102013124
merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi)
yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media,
inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh
epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus
untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel
penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang
melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan
memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk
piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan
sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk
membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung
membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan
penghangatan sebelum masuk lebih jauh.
Silia berfungsi untuk mendorong lendir ke arah nasofaring untuk tertelan atau
dikeluarkan (batuk) .Sel goblet dan kelenjar campur di lamina propria menghasilkan
sekret, untuk menjaga kelembaban hidung dan menangkap partikel debu halus . Di
bawah epitel chonca inferior terdapat swell bodies , merupakan fleksus vonosus untuk
menghangatkan udara inspirasi
Harvien Bhayangkara 1102013124
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid,
semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi
oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta
lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu
dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.
B. Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum
mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng .
Terdiri dari :
Nasofaring (epitel bertingkat torak bersilia,
dengan sel goblet)
Orofaring (epitel berlapis gepeng dengan lapisan
tanduk)
Laringofaring (epitel bervariasi)
C. Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina
propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang
mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi.. Di
bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Epiglottis
- Memiliki permukaan lingual dan laringeal
- Seluruh permukaan laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati basis
epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel
bertingkat silindris bersilia
Harvien Bhayangkara 1102013124
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Sistem Pernapasan Atas
2.1. Fungsi
RESPIRASI merupakan dua proses terintegrasi : internal dan eksternal respirasi.
Eksternal respirasi, merupakan proses yang mencangkup pertukaran O2 dan CO2 pada cairan
intestinal tubuh dengan lingkungan luar. Tujuan dari eksternal respirasi dan fungsi primer dari
system respirasi adalah memenuhi kebutuhan respirasi sel. Respirasi internal merupakan
proses absorpsi O2 dan pelepasan CO2 oleh sel tersebut. Yang diatur oleh mitokondria pada
sel. (sellular respirasi).
Tahap respirasi eksternal:
1. Ventilasi pulmonal atau bernafas, dimana secara fisih udara keluar-masuk paru.
2. Diffusi gas , proses pernafasan membrane antara ruang alveolar dengan kapiler alveolar,
dan dinding kapiler antara sel darah dengan jaringan lainya.
3. Perfusi : pengangkutan O2 dan CO2 oleh sistem pembuluh darah dari paru ke
jaringan,sebaliknya
4. Transport O2 dan CO2 antara kapiler alveolar dan ruang kapiler dalam jaringan.
Kelainan pada salah satu tahap respirasi eksternal dapat mempengaruhi kadar gas cairan
intestinal dan juga aktivitas sel. Contohnya Hipoksia (kurangnya level oksigen pada tingkat sel)
yang mempengaruhi aktivitas sel sekitarnya. Jika suplai oksigen benar-benar terhalang
( anoxia). Dapat mengakibatkan mati.
Harvien Bhayangkara 1102013124
Ventilasi pulmonal, merupakan proses pergerakan aliran udara keluar masuk saluran
pernafasan. Yang tujuan utamanya mengatur kecukupan pergerakan ventikular alveolar udara
keluar-masuk aveoli.
Pada saat mulai bernafas, tekanan dalam dan luar cavum toraks adalah sama, (tidak ada
pergerakan udara keluar-masuk paru).
Pada saat cavum toraks membesar, paru melebar untuk mengisi udara tambahan, yang
menjadikan peningkatan volume dan penurunan tekanan di dalam paru.
Aliran udara masuk kedalam paru pada saat tersebut, dikarenakan tekanan di dalam paru
lebbih kecil daripada tekanan luar paru.
Udara terus masuk kedalam paru sampai volume berhenti meningkat dan pekanan
internalsama dengan tekanan eksternal.
Ketika volum cavum toraks menurun, tekanan dalam paru akan meningkat, dan udara
terhembus keluar system pernafasan.
Harvien Bhayangkara 1102013124
A. Mekanisme pernapasan berdasarkan antomi
Pada waktu inspirasi udara masuk melalui kedua nares anterior → vestibulum nasi
→cavum nasi lalu udara akan keluar dari cavum nasi menuju → nares posterior
(choanae) → masuk ke nasopharynx,masuk ke oropharynx (epiglottis membuka aditus
laryngis) → daerah larynx → trakea.masuk ke bronchus primer → bronchus sekunder →
bronchiolus segmentalis (tersier) → bronchiolus terminalis → melalui bronchiolus
respiratorius → masuk ke organ paru → ductus alveolaris → alveoli.pada saat di alveoli
terjadi pertukaran CO2 (yang dibawa A.pulmonalis)lalu keluar paru dan O2 masuk
kedalam vena pulmonalis.lalu masuk ke atrium sinistra → ventrikel sinistra →
Harvien Bhayangkara 1102013124
dipompakan melalui aorta ascendens → masuk sirkulasi sistemik → oksigen (O2) di
distribusikan keseluruh sel dan jaringan seluruh tubuh melalui respirasi
internal,selanjutnya CO2 kembali ke jantung kanan melalui kapiler / vena → dipompakan
ke paru dan dengan ekspirasi CO2 keluar bebas.
2.2. Mekanisme Pertahanan
Harvien Bhayangkara 1102013124
Debu atau pathogen yang terhirup bersama udara dapat mencederai permukaan pertukaran
saluran nafas. Beberapa mekanisme fltrasi dapat mencegah kontaminasi saluran nafas.
Sepanjang saluran nafas, sel mukosa dan kelenjar mukosa pada lamina propia dapat
memproduksi mucus kental yang dapat melapisi permukaan sel.
Pada cavum nasal, silia menyapu mucus yang mengikat debu atau mikrorganisme yang menuju
faring. Dan membawanya ke asam atau enim pencernaan. Pada saluran pernafasan bawah, silia
mendorong mucus berlawanan dengan arah faring dan membersihkan permukaan saluran
nafas. Proses ini seringdi sebut mucus escalator.
Filtrasi pada cavum nasal pada hakikatnya akan membuang semua partikel yang lebih besar
dari 10 µm yang terhirup bersama udara. Partikel yang lebih kecil akan terjebak di dalam
mucus yang si sekresikan di nasofaring atau faring. Jumlah produksi mucus pada cavum nasal
dan sinus paranasal akan meningkat apabila mendapat pajaan stimuli yang tak di inginkan,
contohnya uap berhaya, banyak debu, allergen dan pathogen.
3. Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi
3.1. Definisi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, Rhinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Harvien Bhayangkara 1102013124
3.2. Etiologi
Penyebab tersering adalah allergen inhalan (dewasa) dan allergen ingestan (anak-anak). Pada
anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.
Dipeberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas :
Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara pernafasan, misalnya
tungau debu rumah, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur.
Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.
3.3. Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
I. Berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
II. Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, dibagi menjadi:
Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
3.4. Patofisiologi
I. Sensitisasi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi
terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di
mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel
Harvien Bhayangkara 1102013124
Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut.
Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu
kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul
ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh
sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan lainnya. IL4 dan IL13 dapat diikat
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi
IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil yang
mana kedua sel ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan
teraktifasinya kedua sel tersebut.
II. Reaksi Alergi Fase Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin,
tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan
dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema,
berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung
tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan
sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal
pada hidung dan bersin-bersin.
III. Reaksi Alergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel
postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM)
dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada sel
endotel. Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,
limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian
menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan
Harvien Bhayangkara 1102013124
hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi
oleh sumbatan hidung.
3.5. Manifestasi Klinik
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin.
Rinore. Ingus yang keluar.
Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan
gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak.
Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).
Gejala spesifik lain pada anak adalah:
Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat
stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung.
Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal.
Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat
kebiasaan menggosok hidung.
3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
A. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang, rinore
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang kadang
disertai dengan banyaknya air mata kelur (lakrimasi).
2. Pemeriksaan Fisik
Harvien Bhayangkara 1102013124
Rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi.
Gejala spesifik lain pada anak adalah allergic shiner, allergic salute, dan
allergic crease, serta facies adenoid.
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3. Pemeriksaan Penunjang
A. Hitung eosinofil dalam secret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan secret hidung merupakan indikator
yang lebih sensitive dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan dapat membedakan
rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain. Meskipun demikian tidak dapat
menentukan alergen penyebab yang spesifik. Eosinofilia nasal pada anak apabila
ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada
remaja dan dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga dapat
memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung topikal. Hitung
eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus dan konjungtiva
B. Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan
secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST (Radio
Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST
enzim.2,5 Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan
hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST
berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas
RAST lebih rendah.
C. Uji kulit
Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan
kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif ). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi
segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30
menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas
Harvien Bhayangkara 1102013124
yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir
setelah 24 jam (fase lambat).
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (skin
prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).
Uji kulit intradermal
0,01-0,02 ml ekstrak allergen disuntikkan ke dalam lapisan dermis
sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm. Dimulai dengan
konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan
berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.
Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT),
namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat
mencetuskan reaksi anafilaksis.
Uji gores (scratch test)
sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat
Uji tusuk (skin prick test/SPT):
Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja,
dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah
dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan.
Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit.
Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum
khusus untuk uji tusuk.6 Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm.
Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis
dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum
uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun.6
Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding
alergen hirup. Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang
lebih rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi
yang lebih baik dengan gejala yang timbul.
B. Diagnosis Banding
Rinitis alergi harus dibedakan dari rinosinusitis akibat infeksi. Benda asing pada hidung
dan kelainan anatomi seperti atresia koana, deviasi septum nasi, polip nasal, dan
Harvien Bhayangkara 1102013124
hipertropi adenoid dapat menyebabkan gejala kronis yang mirip rinitis alergi. Penggunaan
nasal dekongestan yang berlebihan dapat mengakibatkan rinitis medikamentosa akibat
rebound congestion, sedangkan obat-obatan seperti propranolol, klonidin dan beberapa
agen psikoaktif dapat menyebabkan hidung tersumbat. Makanan pedas dan panas dapat
merangsang terjadinya gustatory rhinitis.
3.7. Tatalaksana
A. AntiHistamin
Suatu zat atau obat untuk menekan reaksi histamin sebagai faktor alergen bagi tubuh.
Mekanisme :
Menahan aktifitas sel mast untuk tidak mengalami degranulasi
Terdapat 2 blocker : AH1 dan AH2
Antihistamin 1
o Farmakodinamik :
Antagonis kompetitif pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot
polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan.
o Farmakokinetik :
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit
kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati.
o Penggolongan AH1
AH generasi 1
Contoh : etanolamin
Etilenedamin
Piperazin
Alkilamin
Derivat fenotiazin
Keterangan : AH1 = - sedasi ringan-berat
Harvien Bhayangkara 1102013124
- antimietik dan komposisi obat flu
- antimotion sickness
o Indikasi AH1 berguna untuk penyakit :
1. Alergi
2. Mabuk perjalanan
3. Anastesi lokal
4. Untuk asma berbagai profilaksis
o Efek samping
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada tangan.
Antihistamin golongan 1 – lini pertama
- Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral.
- Bersifat lipofilik, dapat menembus sawar darah otak, mempunyai efek pada SSP dan
plasenta.
- Kolinergik
- Sedatif :
Oral : difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
Topikal : Azelastin
Antihistamin 2
Contoh : simetidin dan ranitidin
o Farmakodinamik
Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2
akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau
ranitidin sekresi asam lambung dihambat.
o Farmakokinetik
Harvien Bhayangkara 1102013124
1. Bioavibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian
intravena atau intramuskular. Ikatan absorpsi simetidin diperlambat oleh
makanan, sehingga simetidin diberikan segera setelah makan.
2. Bioavibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat
pada pasien penyakit hati.
o Indikasi
efektif untuk mengatasi gejala tukak duodenum.
o Efek samping
pusing, mual, malaise, libido turun, disfungsi seksual.
B. Dekongestan
Dekongestan nasal adalah alfa agonis yang banyak digunakan pada pasien rinitis
alergika atau rinitis vasomotor dan pada pasien ISPA dengan rinitis akut. Obat ini
menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor alfa 1 sehingga
mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.
Obat golongan ini disebut obat adrenergik atau obat simptomimetik, karena obat ini
merangsang saraf simpatis. Kerja obat ini digolongkan 7 jenis :
1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, misal :
vasokontriksi mukosa hidung sehingga menghilangkan pembengkakan mukosa pada
konka.
2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus dan bronkus, misal : bronkodilatasi.
3. Perangsangan jantung : peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan Sistem Saraf Pusat : perangsangan pernapasan dan aktivitas
psikomotor.
5. Efek metabolik : peningkatan glikogenolisis dan lipolisis.
6. Efek endokrin : modulasi sekresi insulin, renin, dan hormon hipofisis.
7. Efek prasipnatik : peningkatan pelepasan neurotransmiter.
Obat Dekongestan Oral
1. Efedrin
Harvien Bhayangkara 1102013124
Adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada pemberian
oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta
1 dan beta 2.
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat, tekanan nadi
membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena vasokontriksi dan
stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang relatif lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik yanf dapat diatasi
dengan pemberian sedatif.
Dosis. Dewasa : 60 mg/4-6 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam
2. Fenilpropanolamin
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain menimbulkan
konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi
pembuluh darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan
menimbulkan stimulasi jantung.
Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi kurang menimbulkan efek SSP.
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada pria dengan
hipertrofi prostat.
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontraindikasi. Obat ini jika
digunakan dalam dosis besar (>75 mg/hari) pada orang yang obesitas akan
meningkatkan kejadian stroke, sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis
maksimal 75 mg/hari sebagai dekongestan.
Dosis.
Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
3. Fenilefrin
Harvien Bhayangkara 1102013124
Adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit mempengaruhi reseptor
beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung secara langsung dan tidak
merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah
splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.
Obat Dekongestan Topikal
Derivat imidazolin (nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin, dan xilometazolin).
Dalam bentuk spray atau inhalan. Terutama untuk rinitis akut, karena tempat kerjanya
lebih selektif. Tapi jika digunakan secara berlebihan akan menimbulkan penyumbatan
berlebihan disebut rebound congestion. Bila terlalu banyak terabsorpsi dapat
menimbulkan depresi Sistem Saraf Pusat dengan akibat koma dan penurunan suhu
tubuh yang hebat, terutama pada bayi. Maka tidak boleh diberikan pada bayi dan anak
kecil.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral,
dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti
beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone,
memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan
absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki
keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan
(efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya,
jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan
secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan
bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada
kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti
menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan
kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid
inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang
parah.
Berikut ini contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:
Harvien Bhayangkara 1102013124
Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus
dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan
kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis.
MEKANISME AKSI
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A 2, sehingga menghambat
pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu
berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan.
Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi
dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan
sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara
teratur.
Nama generik Nama dagang di
Indonesia
Bentuk Sediaan Dosis dan Aturan
pakai
Beclomethasone
dipropionate
Becloment
(beclomethasone
dipropionate 200μg/
dosis)
Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol:
200μg , 2 kali
seharianak: 50-100
μg 2 kali sehari
Budesonide Pulmicort (budesonide
100 μg, 200 μg, 400 μg
/ dosis)
Inhalasi
aerosolSerbuk
inhalasi
Inhalasi aerosol: 200
μg, 2 kali
sehariSerbuk
inhalasi: 200-1600
μg / hari dalam
dosis terbagianak:
200-800 μg/ hari
dalam dosis terbagi
Fluticasone Flixotide (flutikason
propionate50 μg , 125
μg /dosis)
Inhalasi aerosol Dewasa dan anak >
16 tahun: 100-250
μg, 2 kali sehariAnak
4-16 tahun; 50-100
μg, 2 kali sehari
Harvien Bhayangkara 1102013124
INDIKASI
Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan mencegah
gejala asma.
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid.
EFEK SAMPING
Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini
tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian
kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara
oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek
pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena
infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang
timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di
sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan,
dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah menggunakan
sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis,
dan karatak.
RESIKO KHUSUS
Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan
pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda
pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi tinggi
badan orang dewasa.
Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.
D. Operatif
Konkotomi parsial ( pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple
outfractured, inferior turbinoplasty bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dgn kauterisasi menggunakan AgNO3 25% atau triklor asetat.
E. Imunoterapi
Harvien Bhayangkara 1102013124
Dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala berat dan sudah berlangsung lama serta
dengan pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Bertujuan untuk
membentuk IgG Blocking antibody dan penurunan IgE.
3.8. Komplikasi
A. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung
biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses
inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip
memiliki tanda patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang
luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-
alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi alergis.
B. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
C. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan
ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
Harvien Bhayangkara 1102013124
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah.
3.9. Prognosis
Ad Vitam : bonam, karena bila menghindari allergen, gejala alergi tdk tampak.
Ad Functionam : dubia ad bonam, bila terpapar allergen terus maka dapat rhinitis alergi
dapat berkembang menjadi rhinitis infeksiosa, polip, sinusitis, otitis media, tapi bila
allergen dihindari maka tidak akan terjadi.
Ad Sanationam : dubia ad bonam, karena alergi merupakan kondisi yang dipengaruhi
genetic maka tidak dapat sembuh selama ada allergen, jadi agar tidak ada serangan,
menghindari allergen.
3.10. Pencegahan
Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier.Pencegahan primer ditujukan untuk
mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Halyang dapat dilakukan adalah menghindari paparan
terhadap alergen inhalanmaupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula
dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah
mencegahgejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi
medikamentosa.Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi atau berlanjutnya penyakit.
4. Memahami dan Menjelaskan Etika Bersin dalam Islam
Hadits riwayat Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Jika salah seorang dari
kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan ‘Alhamdulillah (Segala puji bagi ALLOH)’ dan saudaranya
atau orang yang bersamanya mengatakan kepadanya ‘Yarhamukallah (Semoga ALLOH memberikan
rahmat-Nya kepadamu)’. Jika salah seorang mengucapkan ‘Yarhamukallah’, maka orang yang bersin
tersebut hendaklah menjawab ‘Yahdiikumullah wayushlih baalakum (Semoga ALLOH SWT
memberikanmu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).”
Harvien Bhayangkara 1102013124
Daftar Pustaka
Sherwood lauralee.2001. “Fisiologi Manusia dari sel ke system”.Jakarta.EGC
Sulistia Gan Gunawan al. 2009. “Farmakologi Dan Terapi Edisi V”. Jakarta : FKUI